Ceritasilat Novel Online

Pusaka Penebus Dendam 2

Pendekar Hina Kelana 6 Pusaka Penebus Dendam Bagian 2


melanjutkan ucapannya, tiba-tiba terdengar tawa, kemudian terdengar pula ucapan
mencemooh: "Orang muda.
Sampai jagad ini terbalik tujuh,
engkau tak mungkin bisa mengajak
bicara orang gila ini dengan cara yang waras! Mulanya juga kami bermaksud baik
padanya. Akan tetapi di luar dugaan, kunyuk sinting ini malah
menuduhku yang bukan-bukan. Bahkan dia telah begitu berani membunuh kawan kami
yang tiada memiliki kesalahan apa-apa padanya. Bukankah itu sangat
keterlaluan sekali...." kata Bidadari Tangan Maut secara tiba-tiba. Sesaat
lamanya pendekar Hina Kelana menatap tajam pada Bidadari Tangan Maut.
Meskipun hanya sekilas dia
memperhatikan Bidadari genit ini, tapi dia sudah dapat menduga kalau
perempuan maupun laki-laki tua
berpakaian merah ini merupakan orang yang sangat sulit dipercaya.
Sebaliknya apabila dia memperhatikan Awang Taruna, dia malah punya kesan bahwa
pemuda sakit ingatan ini tentunya berada di pihak yang benar.
Hanya mungkin saja orang ini memiliki kerapuhan jiwa. Sehingga batinnya terlalu
mudah tergoncang! Menimbang sampai ke situ mendadak Pendekar Hina Kelana
tergelak-gelak.
"Bidadari Tangan Maut! Apa
untungmu memberi peringatan
padaku...?" tanya Pendekar Hina Kelana dengan sesungging senyum dipaksakan.
"Hi... hi... hi...! Pemuda
tampan, sudah barang tentu aku sangat tidak rela kalau wajahmu yang bagus itu
rusak di tangan bocah gendeng ini." jawab Bidadari Tangan Maut. Di matanya
memancarkan gelora nafsu
birahi yang menggebu-gebu.
"Kalau aku merelakan mukaku
hancur tercabik-cabik mata pedangnya, engkau bisa berbuat apa..."!" pancing
pendekar dari Negeri Bunian ini pula.
"Huh! Budak sakit syaraf itu pasti aku cincang....
"Orang muda, kuminta engkau
minggirlah! Di antara kita tak ada persoalan. Kami ingin secepatnya
mengirim kunyuk gila ini ke liang kubur...." Tiba-tiba saja Datuk Dugal yang
sejak dari tadi hanya diam saja ikut-ikutan menyela. Serta merta
pendekar Hina Kelana mendengus.
"Huh! Kalau persoalannya semudah itu, sudah barang tentu hal ini
merupakan satu keberuntungan bagi kalian berdua. Akan tetapi siapa sudi menuruti
perintahmu...."
Baik Bidadari Tangan Maut maupun
Datuk Dugal, nampak terkejut begitu mendengar ucapan si pemuda. Sesaat lamanya
mereka saling berpandangan
sesamanya. Kemudian Bidadari Tangan Maut yang tadinya sudah girang hatinya
karena akan mendapat korban baru guna memenuhi hasrat birahinya, langsung saja
menyela. "Pemuda tampan. Apakah maksud dari semua ucapanmu itu...?" tanya wanita jalang
itu harap-harap cemas.
"Hak... hak... hak...! Engkau
jangan pura-pura tak tahu perempuan budak nafsu. Bukankah kalian
mengingini pedang pusaka di tangan orang gemblung ini" Mengapa harus sungkansungkan menjelaskan maksud kalian yang sesungguhnya...?" bentak Buang Sengketa
dengan senyum mencemooh. Dan seketika itu juga wajah ke dua dedengkot dari Lembah Dosa inipun
menjadi merah padam. Akan
tetapi agaknya Bidadari Tangan Maut punya maksud yang sangat istimewa pada
Pendekar Hina Kelana. Terbukti
meskipun sudah dihina sedemikian rupa dia masih dapat menahan diri. Lain lagi
dengan Datuk Dugal, dia merasa tidak rela gendaknya dihina sedemikian rupa,
laki-laki tua jenggot kambing ini sangat tersinggung sekali.
Kemudian dia maju satu tindak, matanya nampak memerah dan menyungging senyum
ganas. "Bocah gembel! Mulutmu dangat keterlaluan sekali. Kiranya engkau tidak lebih
dari kunyuk berpenyakit jiwa ini...!"
"Janggut kambing, mengapa harus heran. Aku bahkan bisa lebih gila dari orangorang gila...!" kata Pendekar Hina Kelana ketus sekali.
"Orang muda kuminta engkau tak turut campur segala macam urusan kami!
Menyingkirlah, aku mau membereskan orang sinting ini...!" pinta Bidadari Tangan
Maut masih berusaha menahan kemarahannya.
"Adi putri. Mengapa harus
berbasa-basi. Manusia berperiuk ini kiranya bapak moyangnya orang
gila...!" Datuk Dugal yang sudah sangat marah itupun menyela dengan perasaan
cemburu yang meluap-luap.
Sebab walau bagaimanapun si janggut kambing ini tahu, apa artinya lirikan dan
senyum yang selalu terlepas dari bibir gendaknya ini. Tidak lain
hanyalah sebuah maksud kurang ajar.
"Hak... hak... hak...!" Pendekar Hina Kelana mengekeh! Sesungging
seringai maut, mengawali bentakan suaranya yang diiringi jeritan Ilmu Pemenggal
Roh. "Heiiik...! Orang-orang celaka.
Agaknya kalian belum tahu bagaimana adat si Hina Kelana...!" Terkesiap darah
Majikan Lembah Dosa, begitu juga
halnya dengan Awang Taruna yang sedang mengalami gangguan jiwa ini. Mereka yang
hadir di situ semuanya menutup telinga dengan tangannya masing-masing. Meskipun
begitu, tetap saja pengaruh lengkingan Ilmu Pemenggal Roh, masih terasa
berpengaruh dan menggetarkan jantung mereka. Baik Datuk Dugal, Bidadari Tangan
Maut, maupun Awang Taruna. Masing-masing dari telinga mereka mengalirkan darah.
Daun-daun yang masih hijau berguguran, begitu juga ranting-ranting kering yang
berada di sekitarnya nampak luruh terhempas ke bumi.
Sementara itu Awang Taruna yang
sedang terganggu jiwanya ini, begitu suara itu menggaung di angkasa. Tanpa
menghiraukan mereka yang hadir di situ, langsung saja lari tunggang langgang.
Buang Sengketa segera
hentikan jeritannya, dia nampak
memanggil-manggil Awang Taruna, tetapi pemuda sakit ingatan itu tidak perduli
lagi, bahkan terus berlari, hingga akhirnya tak terlihat lagi. Tinggallah orangorang dari Lembah Dosa ini yang sudah nampak semakin pucat parasnya.
Tak lama setelah berlalunya Awang Taruna, pendekar berwajah tampan ini
kembali memandangi Bidadari Tangan Maut dan Datuk Dugal silih berganti.
Kedua bola mata pemuda itu tampak memerah saga. Dari bibir pemuda itu keluar
bunyi mendesis bagai suara raja ular Piton yang sedang mengamuk.
Kemudian sambil membentak dia
memandangi kedua orang itu silih
berganti. "Kudengar kalian telah membantai penduduk Desa Kajenar... dan membunuh orang
itu...?" kata Buang Sengketa dengan pandangan berapi-api. Mendapat tuduhan
seperti itu, datuk-datuk dari Lembah Dosa ini, meskipun nyali mereka sudah
kedodoran. Nampak kurang senang sekali.
"Bocah! Hati-hati engkau bicara, meskipun ilmu kepandaian setinggi langit siapa
takut...!" tukas Datuk Dugal sangat gusar sekali
"Pemuda gagah. Engkau harus
percaya padaku, bahwa kami tidak tahu menahu tentang pembantaian itu...!"
Bidadari Tangan Maut ikut menyela. Dan agaknya dia pun menyadari sangat kecil
sekali harapannya untuk memiliki
pemuda yang sangat mendebarkan
jantungnya itu. Saat itu Pendekar dari Negeri Bunian itu, demi mendengar
ucapan Bidadari Tangan Maut, tampak tersenyum getir. Kemudian dia berkat lagi:
"Bagaimana mungkin aku bisa
mempercayai omongan orang yang sangat licik. Aku dengan pemuda sakit ingatan ini
mengatakan bahwa kalianlah yang telah melakukan pembantaian itu. Mana yang
benar...?" tanya pendekar Hina Kelana bersungut- sungut.
"Sial betul! Kiranya engkau lebih percaya dengan omongan orang gila daripada
kata-kata kami." kata Datuk Dugal berangnya bukan main. Pendekar Hina Kelana
nampak tersenyum kecut.
Dalam dia merasa geli sekali melihat cara orang-orang dari Lembah Dosa ini dalam
meyakinkan dirinya.
"Terkadang omongan orang gila lebih bisa dipercaya daripada ucapan orang yang
waras...!"
"Kurang ajar, kiranya engkau benar-benar telah menuduh kami." Datuk Dugal
kertakkan rahang. Dia benar-benar sangat tersinggung dengan apa yang telah
dituduhkan oleh pemuda itu.
Dalam pada itu, kiranya Bidadari
Tangan Maut menyadari kalau pemuda yang berpenampilan gembel ini sudah sangat
sulit untuk diajak kompromi
lagi. Maka tiada pilihan kecuali
menggempur pemuda tampan ini sampai titik darah yang terakhir. Beberapa saat
kemudian, pemuda ini menyela pula.
"Lalu bagaimana pula dengan niat kalian untuk memiliki pedang pusaka milik si
gila itu...?" tanyanya
mencemooh. Kata-kata pendekar Hina Kelana yang sebelumnya tiada mereka duga ini,
benar-benar membuat Bidadari Tanjgan Maut dan Datuk Dugal mati kutu. Merah
parasnya karena menahan marah bercampur malu.
"Gembel terkutuk. Kiranya engkau hanya ingin mencampuri segala urusan orang
lain. Mampuslah...!" Dengan disertai jerit tinggi melengking, Datuk Dugal yang
sudah sangat kalap itu menghunus pedang kembarnya. Saat itu juga dia langsung
menyerang pendekar Hina Kelana dengan sangat gencar sekali. Kedua pedang kembarnya
berkelebat cepat, sehingga dalam waktu sekejap sudah berubah menjadi gulungan
gelombang sinar putih yang menderu-deru bagai serbuan angin topan.
Mengetahui kembratnya sudah bergerak.
Maka Bidadari Tangan Maut tidak
tinggal diam! Tubuhnya melesat cepat
dan dengan ilmu mengentengi tubuh yang sudah mencapai tingkat sempurna,
tubuhnya berkelebat-kelebat bagai seekor burung walet. Perempuan budak nafsu ini
pun langsung lancarkan
pukulan-pukulan mautnya. Sekali dua dia sambitkan senjata-senjata
rahasianya pula.
Pendekar Hina Kelana yang sedikit banyaknya sempat melihat jurus-jurus silat
lawannya, dan sudah mengetahui bahwa sesungguhnya pukulan-pukulan maut Bidadari
inilah yang lebih
berbahaya ketimbang permainan pedang kembar Datuk Dugal. Cepat-cepat
memapaki setiap serangan-serangan perempuan binal ini. Satu saat Datuk Dugal
melihat salah satu sisi
pertahanan Buang Sengketa nampak
terbuka. * * * 8 Datuk Dugal girangnya bukan alang kepalang, dia langsung kirimkan satu tusukan
satu babatan. Pendekar Hina
Kelana dengan jurus Membendung
Gelombang Menimba Samudra, putar kedua tangannya sehingga membentuk balingbaling. Sekejap saja tubuhnya
berkelebat lenyap sehingga merupakan bayang-bayang saja. Sesaat kemudian
Bidadari Tangan Maut kirimkan pukulan-pukulan gencar. Satu rangkaian
gelombang pukulan yang berwarna kening keemasan melesat begitu cepat mengarah
pada perta-hanan lawannya. Mengetahui datangnya gelombang pukulan yang
saling susul menyusul itu, pendekar Hina Kelana menggerung bagai harimau
terluka. Tubuhnya melesat laksana kilat. Tusukkan maupun sabetan yang
dilancarkan oleh Datuk Dugal mencapai tempat yang kosong. Datuk Dugal memaki
panjang pendek.
Sementara itu, pukulan-pukulan
Bidadari Tangan Maut, yang terkenal sangat ganas yang diberi nama Sepuluh
Bidadari Menggoda Arjuna terus melesat dan mengejar ke mana pun pendekar ini
menghindar. Pemuda dari Negeri Bunian ini menjadi sangat marah. Bibir
keluarkan bunyi mendesis, bagai raja Piton yang sedang marah. Tak lama kemudian,
dengan diiringi jerit melengking tinggi. Pendekar Hina Kelana
sudah nampak bersiap-siap dengan
pukulan Empat Anasir Kehidupan yang tak perlu lagi diragukan akan
kemampuannya. Lalu! Sekali saja
tangannya berkiblat ke depan, selarik gelombang sinar Utra Violet menderu lebih
cepat hingga timbulkan suara bercuit-an. Dua kekuatan berisi tenaga sakti itu,
tanpa dapat terelakkan lagi saling bertu-brukkan di udara.
"Bum! Bum!"
Tubuh Bidadari Tangan Maut
tergetar hebat, dada terasa sesak dan sakit sekali. Bagian kaki amblas
sebatas lutut. Sementara itu, pendekar Hina Kelana yang pada saat memapaki
serangan lawannya, dalam posisi berada di udara. Sudah barang tentu tubuhnya
terpelanting delapan tombak. Darah meleleh dari celah bibir dan hidung.
Cepat-cepat dia himpun hawa murni, sebentar kemudian wajahnya yang pucat pasi
itu pun berubah seperti
sediakala. Kini dia sudah bangkit kembali. Bidadari Tangan Maut dan Datuk Merah
Dari Lembah Dosa, merasa diatas angin. Tampak terus terkekeh-kekeh. Perempuan
budak nafsu itu
langsung menyela dengan nada
mencemeeh. "Bocah! Kuberi engkau jalan ke surga untuk bersenang-senang denganku.
Tak dinyana engkau malah memilih jalan ke neraka...." kata Bidadari Tangan Maut
tersenyum-senyum penuh percaya diri. Buang Sengketa meludah
melampiaskan rasa jijik. Kedua matanya kini nampak kian memerah saga. Dia
kertakkan rahang! Kemudian dengan bibir bergetar dia membentak.
"Betina hamba nafsu. Jangan
sombong dulu, aku belum kalah...!"
kata Pendekar Hina Kelana geram.
"Kalaupun engkau punya lima kaki lima tangan. Engkau tak bakal ungkulan
menghadapi kami pendekar gembel."
cibir Datuk Dugal.
"Ha... ha... ha...! Kiranya
engkau terlalu sombong untuk bisa melihat siapa yang engkau hadapi ini, tua
bangka janggut kambing..."!" Datuk Dugal yang gampang naik darah itupun demi
mendengar penghinaan sedemikian rupa tampak sangat marah sekali,
wajahnya yang sudah keriputan itu berubah kelam membesi. Dia langsung melompat
dan saling berhadapan muka dengan Pendekar Hina Kelana.
"Jahanam betul engkau ini!
Agaknya engkau ingin, agar aku cepatcepat mengirimmu ke liang kubur...!"
Dan baru saja Datuk Dugal bermaksud meliciki pendekar ini dengan
pedangnya. Tahu-tahu tangan Buang Sengketa telah bergerak lebih cepat lagi
memukul bagian selangkangan
lawannya. Tak ampun lagi Datuk jenggot kambing ini menjerit-jerit setinggi
langit, sambil berjingkrak-jingkrak memegangi pusaka kramatnya yang kena dipukul
oleh Pendekar Hina Kelana.
Pemuda ini tersenyum dikulum.
"Enak saja engkau mau main
curang! Aku paling benci dengan sikap pengecut seperti engkau. He... he...
he...! Sebilah pusaka kramatmu itu tak mungkin dapat engkau gunakan untuk
menyerang musuh...!" kata Buang Sengketa konyol. Pada saat itu juga di luar
sepengetahuan pendekar Hina Kelana. Bidadari Tangan Maut yang sudah sangat gusar
langsung bertindak:
"Ser! Ser!"
Senjata rahasia yang berupa jarum beracun milik Bidadari Tangan Maut meluncur
cepat pada bagian punggung si pemuda. Masih untung pendekar ini benar-benar
memiliki nalar yang peka.
Begitu dia merasakan adanya sambaran
angin pukulan, cepat dia mengelak dan kiblatkan tangannya.
"Hwees!"
Jarum-jarum beracun yang


Pendekar Hina Kelana 6 Pusaka Penebus Dendam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

disambitkan lawannya, runtuh dan
berpentalan ke mana-mana. Bahkan
beberapa batang di antaranya sempat membalik dan hampir saja memakan
pemiliknya sendiri. Bukan main
marahnya pendekar ini mendapat
bokongan seperti itu.
"Kunyuk betina sialan! Iblis geblek tak tahu aturan, kiranya kalian adalah
iblis-iblis berhati
pengecut...."
"Untuk mencapai kemenangan dalam satu pertarungan, bagi kami cara
apapun dapat kami lakukan...!" Datuk Dugal menyela.
"Wah.., kalau begitu aku harus memberimu pelajaran untuk dapat
berkata krama. Nih, makanlah...!"
Pendekar Hina Kelana kirimkan dua pukulan berturut-turut pada Datuk Dugal dan
Bidadari Tangan Maut.
Secepat kilat, pukulan yang berisi setengah tenaga dalam si pemuda itu menderu.
Baik Bidadari Tangan Maut dan Datuk Jenggot Kambing yang tiada
menyangka bahwa datangnya pukulan bisa
secepat itu. Dengan tergagap segera kiblatkan pedangnya.
"Trang! Brees!"
Pedang kembar di tangan Datuk
Dugal terpental dua-duanya, lebih dari itu, gelombang pukulan itu terus
melanda tubuhnya hingga berpelantingan beberapa tombak.
"Tobat!" jerit Datuk Dugal, dengan badan hampir hangus dilanda hawa panas yang
sangat luar biasa.
Tubuh Datuk ini tersuruk di semak-semak belukar, dengan luka sangat parah.
Sementara itu, di luar
sepengetahuan Buang Sengketa, Bidadari Tangan Maut, begitu dapat
menyelamatkan diri dari pukulan
pendekar Hina Kelana cepat-cepat ambil langkah seribu. Bukan main kesalnya hati
si pemuda demi melihat lawannya telah kabur di luar sepengetahuan matanya.
"Kurang ajar. Tak dinyana,
kiranya kalian hanyalah manusia yang berjiwa binatang...!" maki pendekar ini
saking kesalnya. Kemudian dengan langkah mantap, dia menghampiri Datuk Dugal
yang tergeletak tiada berdaya.
Penghuni Lembah Dosa yang sudah
sekarat itu nampak ketakutan sekali,
begitu melihat Pendekar Hina Kelana berdiri persis di hadapannya.
"Ah, sayang sekali janggut
kambingmu habis terbakar. Kini
kembratmu sudah kabur meninggalkan dirimu! He... he... he...." Buang Sengketa
mengekeh. "Kiranya dia seorang gundik yang tidak setia, datuk sial...! Persetan, itu bukan
urusanku. Sekarang katakan saja, ke mana perginya Bidadari Tangan Maut. Di mana
pula tempat tinggalnya Giri Sora, Ketua Kumbang Kencana
itu...?" Datuk Dugal yang sudah sekarat itu tersenyum getir. Kemudian gelengkan
kepalanya berulang-ulang.
"Jadi engkau benar-benar tidak mau kasih tau di mana sesungguhnya markas Kumbang
Kencana berada...?"
tanya pendekar Hina Kelana geram.
"Tuk! Tuk!"
Tiba-tiba pemuda ini menotok urat syaraf tertentu, sehingga membuat Datuk Dugal
berteriak-teriak bagai orang yang sedang kesurupan.
"Auuhhh...
sakit... sakit sekali...! Bangisat, engkau bunuh saja aku...!" jerit Datuk Dugal menggeliatgeliat bagai cacing kepanasan.
"Kematian bagimu tak mudah, kau rasakanlah siksaan itu sampai mampus!
Aku hendak mengubur mayat orang
itu...!" kata Buang Sengketa. Seraya membalikkan badan dan terus melangkah
meninggalkan Datuk Dugal yang masih melolong-lolong bagai seekor anjing
pesakitan. Kira-kira sepuluh tindak Pendekar dari Negeri Bunian ini melangkah,
Datuk Dugal yang sudah tak dapat menahan rasa sakit yang luar biasa itu
berteriak-teriak
memanggilnya: "Bocah gembel. Lepaskan siksaan ini, aku mau mengatakannya padamu...!"
sela Datuk Dugal kalang kabut.
Mendengar teriakkan Datuk Dugal Merah dari Lembah Dosa itu si pemuda
hentikan langkahnya. Tanpa menoleh dia berkata lirih.
"Walaupun engkau mau mengatakan di mana tempat tinggal si Giri Sora, akan tetapi
karena engkau tak punya peradatan dalam memanggilku! Aku jadi batalkan niat
untuk membebaskanmu.
Lagipula aku tak butuh keterangan...!"
ujar Buang Sengketa berpura-pura.
Pucatlah wajah Datuk Dugal, apalagi perasaan sakit yang menyiksa, kian lama kian
bertambah hebat. Bahkan
datuk yang sudah berusia sangat lanjut itu sampai terkencing-kencing di
celana. Saking tersiksanya! Bagaimana pula kalau pemuda yang telah membuat
dirinya setengah mati itu tak bersedia membebaskan totokannya" Kini dia
berteriak lagi.
"Orang muda, harusnya aku
memanggil apa padamu...?" tanya Datuk Dugal
dengan tubuh menggigil
ketakutan. Pendekar Hina Kelana
tertawa ganda, lalu buru-buru menyela,
"Kalau engkau ingin aku membebaskan totokan itu...!" Sesaat Buang Sengketa
garuk-garuk kepalanya yang tak gatal.
"Panggillah aku dengan sebutan Majikan Besar...
bagaimana, apakah engkau
setuju...?" tanya pendekar Hina Kelana, sambil tertawa-tawa. Datuk Dugal yang
sudah tak tahan didera rasa sakit itupun, cepat-cepat menjawab:
"Baiklah... baiklah majikan besar! Sekarang engkau bebaskanlah
totokan ini majikan besar...!" kata Datuk Dugal penuh permohonan. Si
pemuda tersenyum-senyum. Geli sendiri:
"Kurang asem, berani sekali
engkau memerintah majikanmu...!"
"Harusnya aku ngomong
bagaimana...?" tanya Datuk Dugal, menahan rasa dongkol.
"Mana ada seorang majikan
diperintah oleh kacungnya. Sekarang engkau ikuti dulu apa yang aku
katakan...." ujar pendekar Hina Kelana.
"Busyet ini sudah sangat sakit sekali majikan...!" Tanpa
memperdulikan protes datuk dari Lembah Dosa itu, si pemuda segera berucap:
"Ikuti kata-kataku...!
"Baiklah... baiklah...." jawab Datuk Dugal, semakin geram saja
hatinya. "Aku ini si bandot tua...!" Datuk Dugal langsung mengikuti, kata-kata yang di
ucapkan oleh si pemuda.
"Aku ini si bandot tua...!"
"Pekerjaan hanya menumpuk
dosa...!" ujar pendekar Hina Kelana.
"Perempuan mau juga...!"
"Sudah mau masuk liang kubur belum tobat juga...." Datuk Dugal lagi-lagi meniru.
"Sudah mau masuk liang kubur belum tobat juga...!"
"Dasar celaka...!"
"Dasar celaka...!"
Lebih baik mampus saja...!" kata Buang Sengketa mengekeh. Sementara
.Datuk Dugal nampak terperangah.
"Apakah engkau mau
membunuhku..."! Bukankah aku telah mengikuti segala keinginanmu...!" kata Datuk
Dugal ketakutan sekali.
"Goblook! Siapa sudi bunuh
engkau, dosamu banyak...!"
"Tapi katanya engkau mau
membebaskan aku. Tolonglah
majikan...!" rintih Datuk Dugal memelas sekali.
"Setelah bebas nanti, apakah engkau mau tobat...?"
"Ya... aku akan tobat...." jawab Datuk Merah Dari Lembah Dosa ini buru-buru.
"Baik! Aku percaya padamu...."
Usai berkata begitu pendekar Hina Kelana, melangkah. Kembali menghampiri Datuk
Dugal, kemudian dengan sekali sentuh. Datuk dari Lembah Dosa itupun sudah
terbebas dari pengaruh totokan.
Beberapa saat setelahnya, tanpa
menghiraukan Datuk Dugal yang
tertatih-tatih meninggalkan tempat itu. Buang Sengketa melangkah
menghampiri mayat wanita malang, ibu kandung Awang Taruna. Pemuda ini
segera menggalikan kubur untuk mayat yang telah membusuk itu. Sebentar saja dia
sudah menyelesaikan pekerjaannya, kemudian setelah menguburkan mayat itu, dengan
mempergunakan ilmu ajian Sapu Angin tubuh pendekar Hina Kelana telah melesat
pergi. Tapi dia sangat kesal pada diri sendiri, karena sampai Iupa menanyakan
tempat tinggalnya Giri Sora. Dasar tolol! Umpatnya dalam hati.
* * * 9 Dengan sebuah tongkat yang terbuat dari ukuran kayu cendana, kakek tua ini terus melangkah dengan pasti.
Sesekali tubuhnya berkelebat ringan di atas bebatuan yang sangat licin
menelusuri lereng-lereng Gunung Bajul Buntung yang menjulang tinggi ke angkasa.
Dari segi usia, sesungguhnya kakek tua ini sudah berumur kurang lebih sembilan
puluh lima tahun. Satu masa yang boleh dikatakan sangat
lanjut. Walaupun umurnya sudah hampir mencapai satu abad, kakek ini masih
kelihatan sangat lincah dan gesit.
Sudah hampir empat puluh tahun, kakek
tua ini mengasingkan diri dari dunia ramai. Selama ini dia menetap di
wilayah air terjun Sampuran Harimau.
Kakek ini di kenal sebagai tokoh
beraliran putih yang memiliki berbagai kepandaian, yang membuat jerih pihak
lawan maupun kawan. Dunia persilatan mengenalnya sebagai Eyang Wiku Panulu.
Lalu apa yang menyebabkannya sampai turun gunung di hari itu" Tak lain dan tak
bukan karena murid dan juga masih terbilang cucunya, yaitu si Awang Taruna masih
juga belum kembali,
setelah hampir satu purnama dalam usaha menjemput ibunya.
Seperti apa yang dijanjikan oleh
Awang Taruna pada Eyang Wiku Panulu.
Pemuda itu atas permintaan kakeknya bermaksud memboyong orang tuanya ke Lembah
Sampuran Harimau. Lebih dari itu, pemuda ini kiranya menyangsikan keselamatan
ibunya, yang oleh Eyang Wiku Panulu disebut-sebut sebagai seorang bekas tokoh
yang mempunyai banyak musuh. Itulah sebabnya, hari itu setelah empat tahun Awang
Taruna diangkat menjadi murid oleh kakeknya sendiri. Eyang Wiku Panulu memberi
ijin pada cucunya ini untuk membujuk sekaligus memboyong ibunya ke Lembah
Sampuran Harimau. Kenyataannya setelah beberapa hari kemudian, tunggu punya
tunggu. Awang Taruna masih juga belum kembali ke Lembah Sampuran Harimau.
Tentu saja hal ini membuat kecurigaan Eyang Wiku Panulu. Sebab seperti
kebiasaannya Awang Taruna selalu tepat janji. Begitupun Eyang Wiku Panulu masih
menunggu hingga beberapa hari lagi. Akan tetapi tetap saja Awang Taruna tidak
juga muncul hingga
akhirnya Eyang Wiku Panulu memutuskan untuk menyusul pemuda itu.
Demikianlah dengan mempergunakan
ilmu meringankan tubuh yang sangat sempurna, kakek yang sudah berusia sangat
lanjut ini pun nampak berloncatan dari batu yang satu ke batu yang lainnya. Satu saat dia
mendadak hentikan larinya, kedua
kelopak matanya yang sudah keriputan dan cekung itu
tampak semakin menyipit. Di kejauhan sana dia melihat dua titik, sedang berlari sangat cepat
menuju ke arah di mana dia sedang berdiri saat itu. Semakin lama semakin
terlihat dengan jelas. Kakek tua
inipun nampak tersenyum-senyum penuh arti. Agaknya dia mengenali siapa adanya
mereka yang sedang berlari-lari
ini. Dua orang kakek gundul,
berpakaian kulit kambing dan hanya bercawat pula. Siapa lagi kalau bukan Dua
Datuk Sesat dari Pulau Putri.
Seperti diketahui, setelah kalah
bertarung dengan Awang Taruna. Kedua orang ini langsung melarikan diri dan
bermaksud bergabung dengan Giri Sora yaitu Ketua Perkumpulan Kumbang
Kencana. Akan tetapi di tengah jalan maksudnya mendadak berubah. Mereka
bermaksud menemui kembrat-kembratnya di Lembah Dosa. Tujuan mereka sudah jelas.
Yaitu ingin memberi tahukan adanya pedang pusaka yang saat ini berada di tangan
si gila Awang Taruna.
Sebab seperti apa yang pernah
dikatakan oleh Penghuni Lembah Dosa.
Kedua Datuk Jenggot Kambing
itu mempunyai hasrat yang sangat besar untuk memiliki Pedang Pusaka Penebus Dendam.
Tak pelak lagi sebagai kembrat terdekat bila dibandingkan dengan Giri Sora,
yaitu Ketua Perkumpulan Kumbang Kencana.
Akan tetapi alangkah kecewanya
hati datuk-datuk berkepala gundul ini ketika sesampainya di Lembah Dosa,
kembrat-kembratnya sudah meninggalkan tempat itu. Dengan membawa kecewa
akhirnya mereka ini memutuskan untuk menyusul kembrat-kembratnya yang
sedang menghadiri undangan di tempat kediaman Giri Sora. Baik Datuk Kwalat
maupun Datuk Kwali dari Pulau Putri ini, tidak menyadari kalau ada
sepasang mata yang sejak tadi
memperhatikan gerak mereka. Hingga ketikan jarak di antara mereka benar-benar
telah dekat sekali Eyang Wiku Panulu membentak:
"Berhenti...!" Bentakan Wiku Panulu sesungguhnya sangat pelan saja, akan tetapi
karena bentakan itu
disertai tenaga dalam yang sangat sempurna, akibatnya sungguh sangat terasa
sekali bagi Datuk dari Pulau Putri ini. Telinga mereka terasa sakit tubuh
tergetar untuk beberapa saat lamanya. Seketika itu juga kedua orang ini hentikan
langkah, kemudian
memandang ke arah datangnya suara.
Belum lagi hilang kejut di hati datuk-datuk ini, tiba-tiba saja dari puncak
bebatuan tinggi melayang sosok tubuh yang nampak sangat ringan sekali.
Begitu melihat kehadiran kakek
tua bertongkat kayu Cendana ini, bukan alang kepalang kejut di hati mereka.
Wajah datuk-datuk ini nampak
semakin memucat. Bahkan tanpa mereka sadari, Datuk dari Pulau Putri ini undur
beberapa langkah. Wiku Panulu yang memang masih mengenali siapa adanya orangorang berada di depannya itu, untuk sesaat lamanya tampak
memandang tiada berkesip. Kemudian dengan suara lirih namun mantap dia berkata:
"Tak salah kiranya pandangan mataku yang sudah lamur ini" Bukankah aku yang
lapuk ini sedang berhadapan dengan Datuk Kwalat dan Datuk Kwali dari Pulau
Putri...?" Yang ditanya nampak gelagapan.
"Ah! Orang tua yang terhormat.
Nama kami hanyalah nama kosong
belaka... tiada artinya bila
dibandingkan dengan anda...." sela Datuk Kwalat merendah.
"Sudah puluhan tahun anda kami dengar telah mengasingkan diri di air terjun
Sampuran Harimau. Akan tetapi hari ini kami melihat anda sedang melakukan
perjalanan di dunia ramai.
Tentu ada hal-hal yang sangat penting sehingga anda sampai keluar dari
pengasingan...!" tanya Datuk Kwali pula. Ditanya seperti itu, untuk beberapa
saat lamanya Wiku Panulu terdiam.
Hanya kedua alisnya yang sudah nampak memutih itubergerak-gerak turun naik.
Tak lama kemudian:
"He... he... he...! Benar sekali dugaan kalian itu, saat di ambang menghadap


Pendekar Hina Kelana 6 Pusaka Penebus Dendam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sang Hyang Kuasa, semestinya kau harus memusatkan diri dan banyak beramal
padanya. Akan tetapi terkadang urusan dunia yang sudah lama
kutinggalkan ini, memerlukan campur tanganku untuk menyelesaikannya...!"
kata Wiku Panulu seperti pada dirinya sendiri.
"Apakah maksud anda Wiku...!"
tanya kedua datuk itu hampir
bersamaan. Wiku Panulu tersenyum pias, sesungguhnya dia tahu kalau datuk-datuk
dari Pulau Putri ini nampak menyembunyikan sesuatu di hati mereka.
Untuk itu kemudian dia berkata terus terang.
"Datuk Kwalat dan Datuk Kwali!
Aku ingin bertanya tentang sesuatu pada kalian berdua. Karena
sesungguhnya aku tau, kalian pasti mengetahui apa yang ingin aku tanyakan ini.
Dan kuharap kalian jangan coba-coba untuk berbohong padaku yang sudah gaek ini.
Kalau itu tetap kalian
langgar, maka sekali ini aku tak akan
mengampuni jiwa kalian berdua...!"
kata Wiku Panulu mengancam.
"Wiku... mengapa anda bisa
berkata begitu...?" tanya Datuk Kwali sudah dapat menduga-duga apa kiranya yang
bakal ditanyakan oleh Wiku
Panulu. "Jangan engkau potong kata-kataku Datuk Kwali...!" Sejenak Wiku Panulu menarik
nafas pendek, beberapa saat kemudian dia melanjutkan ucapannya.
"Aku yakin kalian pernah
keluyuran di desa Tungging! Nah... aku merasa sangat pasti kalau kalian
pernah jumpa dengan seorang pemuda yang umurnya sekitar sembilan belas tahun!"
Bukan main terperanjatnya kedua datuk ini begitu mendengar ucapan Wiku Panulu
yang tidak pernah dia duga sebelumnya. Dua Datuk dari Pulau Putri ini nampak
saling pandang sesamanya, sorot mata mereka
membersitkan perasaan bimbang. Sebab walau bagaimanapun Wiku Panulu yang juga
merupakan seorang yang ahli dalam ilmu batin ini sudah barang tentu tidak bisa
dibohongi. Dari nada
ucapannya saja sudah dapat ditebak, bahwa sedikit banyaknya Wiku Panulu
telah mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya.
Untuk berkata terus terang pun
bagi mereka ini rasanya tidak akan menolong banyak. Secara langsung
mereka pernah bentrok dengan Awang Taruna, bahkan pernah berniat
membunuhnya. karena semua itu,
akhirnya Datuk Kwalat coba berbohong.
"Wiku... anda jangan menuduh yang bukan-bukan! Kami sungguh-sungguh tidak pernah
pergi ke sana...." Wiku Panulu nampak menyeringai. Satu mimik yang merupakan
ciri khas dari kakek sakti yang meragukan keterangan orang ini.
"Pada orang tua yang sudah mau masuk liang kubur saja kalian masih begitu berani
berbohong. Katakan
dengan jelas, atau kalian malah
mendahuluiku berangkat ke liang
kubur...!" kata Wiku Panulu dingin.
Terkesiaplah darah kedua datuk itu demi mendengar ancaman Wiku Panulu yang
selama ini mereka ketahui sebagai suatu hal yang tak pernah main-main.
Lebih dari itu, mereka juga cukup maklum. Jangankan berhadapan dengan kakek yang
pernah mempecundangi
mereka, sedangkan berhadapan dengan
muridnya saja mereka sudah kalah.
Meskipun tanpa Pedang Pusaka Penebus Dendam di tangan kakek ini, mereka berdua
masih merasa sangsi untuk dapat mengalahkan Wiku Panulu.
"Jadi kalian benar-benar tak mau mengakuinya.... bukankah kalian bahkan sempat
bertarung dengan muridku
itu..."!" sindir Wiku Panulu. Merasa tak ada pilihan lain, pada akhirnya Datuk
Kwalat mengakui:
"Benar.... kami sempat bertarung dengan muridmu itu...."
"Tapi semua itu dengan sangat terpaksa kami lakukan karena dia telah menuduh
kami sebagai pembunuh orang tua dan penduduk Desa Tongging...."
Datuk Kwali buru-buru menyela. Wiku Panulu nampak sangat terkejut, hatinya
menjadi pedih bercampur gusar. Dia tidak pernah menyangka kalau
kejadiannya malah lebih buruk dari semua tafsir-tafsir
yang pernah diketahuinya. "Jadi Pujita Sari, ibu kandung muridku itu telah binasa" Cepat
katakan siapa yang telah bertanggung jawab atas kematiannya...!" bentak Wiku
Panulu sangat marah sekali.
Meskipun dua orang Datuk dari Pulau
Putri ini tahu siapa sesungguhnya yang telah melakukan pembantaian itu. Akan
tetapi mereka tetap konsekwen dalam men-taati peraturan golongan hitam.
"Kami tak tahu siapa yang telah melakukannya, Wiku...!" Maka semakin bertambah
gusarlah Wiku Panulu demi mendengar ucapan Datuk Kwalat yang sesungguhnya hanya
merupakan kepura-puraan saja.
"Bagus! Kalau kalian tak tau, maka aku akan menggebukmu...." kata Wiku Panulu
dengan kemarahan yang meluap-luap. Bersamaan dengan
ucapannya itu, Wiku Panulu pukulkan tangannya ke depan. Meskipun pukulan itu
pada dasarnya hanya terlihat bagai lambaian tangan saja, akan tetapi berakibat
sangat luar biasa. Satu gelombang angin topan menderu dahsyat mengarah pada
kedua Datuk Pelalap Daun Muda ini. Datuk Kwali terpekik kaget serta merta
tubuhnya melesat ke atas.
Meskipun begitu Datuk Kwali masih merasakan adanya sambaran angin
pukulan yang terasa dingin luar biasa.
Tak dapat disangkal, karena Wiku
Panulu telah mempergunakan pukulan Menyingkap Kabut Menangkap Bayang-Bayang.
Sementara itu, Datuk Kwalat yang
mencoba memapaki pukulan yang
dilancarkan oleh Wiku Panulu padanya.
Begitu pukulan yang begitu cepat itu saling berbenturan dengan pukulan lawannya,
tubuh Datuk Gundul dari Pulau Putri ini nampak terlempar empat tombak! Dada
terasa nyeri luar biasa, parut mual bagai diaduk-aduk. Kemudian dia terbatukbatuk bagai seekor kucmg kurus terserang penyakit paru-paru.
Bersamaan dengan suara batuk itu, darah kental kehitam-hitaman nampak
menggelogok ke luar. Cepat-cepat dia menghimpun hawa murninya. Setelah itu dia
bangkit kembali dengan membawa luapan kemarahan.
* * * 10 Datuk Kwalat yang sedang dilanda
kemarahan itu menjadi gelap mata. Dia sudah tidak lagi memikirkan bahwa Wiku
Panulu sesungguhnya bukanlah lawan kedua datuk ini. Secara serentak kedua orang
ini mencabut golok tipis yang terselip di pinggang mereka. Datuk
Kwalat dan Datuk Kwali langsung
mengurung Wiku Panulu dengan serangan-serangan ganas. Golok tipis di tangan
lawan-lawannya menyambar cepat
berkelebat ke berbagai penjuru.
Walaupun sambaran golok itu terlihat beberapa kali mengancam Wiku Panulu, akan
tetapi kakek renta ini sebaliknya malah terkekeh sambil memutar
tongkatnya dengan sangat cepat sekali.
"Trang! Trang!" Percikan bunga api berpijar ketika senjata-senjata itu saling
berbenturan, meskipun
tongkat di tangan Wiku Panulu,
hanyalah berasal dari oyot kayu
cendana. Akan tetapi karena pada saat menangkis dengan tongkatnya, Wiku Panulu
mengerahkan sebagian tenaga dalamnya, tak urung golok tipis di tangan masingmasing lawannya menjadi gompal di beberapa bagian. Semakin lumerlah nyali orang
orang ini. Satu ketika tubuh Wiku Panulu berkelebat lenyap. Dan dalam pada itu
dia berseru lantang.
"Tuyul-tuyul Pelalap Daun Muda!
Agak nya engkau lebih suka mati
ketimbang beri keterangan padaku! Kalau memang itulah yang kalian ingini maka jangan salahkan aku nantinya...!"
Datuk Kwalat dan Datuk Kwali sembari mengirimkan pukulan-pukulan gencar langsung
menyela: "Wiku Panulu! Sekalipun engkau manusia dewa, tidak nantinya kami mau kasih
keterangan padamu...!" tukas Datuk Kwali. Mendengar jawaban seperti itu, Wiku
panulu menggembor macam banteng terluka, kemudian tubuhnya melesat ke udara dan
langsung berputar-putar di atas kepala lawan-lawannya. Kedua Datuk dari Pulau Putri ini
pun nampak semakin gugup dan kebingungan. Saking geramnya mereka ini karena
merasa dipermainkan lawan.
Manusia tuyul berjenggot putih ini pun, segera berteriak-te-riak: "Wiku
Panulu... manusia pengecut
Nampakkanlah dirimu, kami paling benci menghadapi manusia sepengecut engkau!"
Masih berkelebat-kelebat, Wiku Panulu tertawa ganda!
"Golok di tanganmu itu hanya lebih pantas untuk menggorok leher kalian
sendiri...!" kata Wiku Panulu mencemooh. Kemudian dengan sekali saja dia
gerakkan tongkatnya. Datuk Kwali, yaitu orang yang berada paling dekat
dengannya. Nampak menjerit-jerit
sambil menakap bagian perutnya yang
terburai isi dalamnya. Kiranya di luar sepengetahuan lawan-lawannya. Tongkat di
tangan Wiku Panulu, pada bagian ujungnya bermata tajam yang sewaktu-waktu dapat
ditarik keluar masuk.
Tubuh Datuk Kwali nampak bergulingguling di atas rerumputan, berkelejat-kelejat
untuk kemudian diam untuk selama-lamanya. Menghadapi kenyataan seperti ini,
Datuk Kwalat kedernya bukan alang kepalang, wajahnya pucat pasi. Bibir bergerakgerak, namun tiada satu pun kata yang terucap.
Semua itu kiranya tak terlepas
dari perhatian Wiku Panulu. Kakek ini berharap dengan kematian Datuk Kwali
semoga Datuk Kwalat mau memberi
keterangan padanya tentang Awang
Taruna. Mengingat sampai ke situ, Wiku Panulu dari Sampuran Harimau ini pun
berkata: "Manusia yang menamakan dirinya Kwalat! Cepat katakan di mana adanya
muridku itu...?"
"Aku tak tahu kakek peot." jawab Datuk Kwalat tak kalah sengitnya. ,
"Rupanya engkau ingin nasibmu seperti kembratmu
itu, tuyul busuk..."!" bentak Wiku Panulu semakin bertambah gusar saja.
Tiba-tiba, dalam ketakutannya itu Datuk Kwalat malah tertawa terbahak-bahak.
Begitu sinis matanya memandangi Wiku Panulu yang dulunya juga pernah
mempecundanginya.
"Wiku Panulu manusia sial! Bagiku lebih baik mati daripada harus
berkhianat pada kawan sendiri. Satu saja yang harus kau tahu, bahwa
setelah kematian emaknya muridmu yang berilmu sangat tinggi itu kini sudah
menjadi tak waras, dia sudah gila.
Sayang sekali Wiku... engkau merupakan seorang dedengkot yang sangat sakti, akan
tetapi murid edan malah kau
urus...!" kata Datuk Kwalat dengan sesungging senyum penuh kemenangan.
Wiku Panulu bagai mendengar petir di siang bolong, nampak sangat terkejut
sekali. Bahkan dia hampir-hampir tak percaya dengan apa yang di katakan oleh
Datuk dari Pulau Putri ini.
Wajahnya yang sudah keriput itu nampak memerah karena menahan amarah
bercampur malu. tiba-tiba dia
membentak gusar.
"Tuyul bungkuk punggung unta..
jangan kau coba-coba mengelabuhiku.
Tak mungkin muridku itu secara tiba-tiba berubah menjadi gila...." tukas
Wiku Panulu dengan hati bagai
terhempas. "Huh! Aku tak perduli engkau mau percaya atau tidak. Bukankah sejak awal tadi
telah kukatakan...."
"Kurang ajar! Rupanya engkau benar-benar hendak mempermainkan aku, tuyul
bungkuk...?"
"He... he... he...! Kau boleh tak usah percaya padaku Wiku dungu. Akan tetapi
begitulah kenyataan yang kau lihat. Dunia persilatan pasti akan mentertawaimu,
seorang tokoh sakti tapi mempunyai murid yang tidak
waras.!" Mendengar ucapan Datuk Kwalat yang bernada mencemooh itu nampak
terdiam, hatinya sangat sedih.
Terpukul bukan karena kabar yang dia terima itu, tapi demi teringat bahwa
cucunya itu sejak kecil belum pernah merasakan hidup senang. Sebagai
eyangnya sejak Awang Taruna dilahirkan sampai berumur lima belas tahun dia
sangat mengacuhkan cucunya ini. Sebab selama itu dia beranggapan bahwa Awang
Taruna bukanlah titisan Bayu
Siliwangi. Seperti diketahui sebelum menikah dengan putranya. Mantunya yang juga
merupakan muridnya yaitu Pujita Sari sempat terlibat percintaan dengan
beberapa pemuda. Sungguh pun akhirnya dia menyesali tindakannya yang telah
menjodohkan Pujita Sari dengan anaknya boleh dibilang secara paksa. Akan tetapi
sejauh itu dia masih belum dapat mengakui kalau Awang Taruna
merupakan anak dari hubungan yang syah antara Bayu Siliwangi dan Pujita Sari.
Lama setelah mengasingkan diri,
barulah Wiku Panulu menyadari kalau semua yang telah dilakukannya kiranya
merupakan kepicikan dirinya yang sudah tua bangka. Setelah menyadari akan semua
kesalahannya dia langsung
mendidik cucunya dengan berbagai ilmu kanuragan. Baru empat tahun dia
berusaha menebus segala kesalahannya.
Akan tetapi kini...! Awang Taruna sesungguhnya merupakan tanggung
jawabnya sejak kematian Bayu
Siliwangi. Yaitu ayah kandung pemuda itu, kini ketika kesilapan itu belum
tertembus seluruhnya, tiba-tiba
malapetaka telah menimpa ibunya. Lebih dari itu, sekarang cucunya malah sakit
ingatan. Tanpa sadar, dua butir air mata menggelinding menuruni pipi Wiku Panulu
yang sudah keriputan di sana sini. Melihat kenyataan itu, Datuk Kwalat kembali
tergelak-gelak. Kemudian dengan nada mengejek dia
berkata: "Puh! Sungguh tak pernah
kusangka, kalau seorang tokoh
persilatan yang namanya kesohor di mana-mana kiranya hanyalah merupakan seorang
yang sangat cengeng dan rapuh.
Berita ini akan kusebar di mana-mana, agar semua orang tahu macam apa
kiranya tokoh yang namanya pernah menggegerkan dunia persilatan itu...!"
Wiku Panulu merah parasnya, panas hatinya. Kedua bibir terkatup rapat, rahang
mengeluarkan bunyi
bergemeletukan. Sementara kedua
matanya menatap tajam pada Datuk
Kwalat dari Pulau Putri ini. Kemudian Wiku Panulu tertawa mengekeh. Akah tetapi
dari suara tawanya yang
terdengar sumbang itu siapapun dapat menduga bahwa kakek keriputan ini
sesungguhnya sedang berusaha meredam kepedihan jiwanya. Lalu ketika begitu dia
menghentikan tawanya, tiba-tiba saja dia membentak garang.
"Datuk Kwalat! Sebelum
kesombonganmu itu melampaui batas, sebelum mulutmu yang kotor itu
menyebarkan bau busuk di mana-mana.
Semuanya akan kuselesaikan hari ini juga...!"
"He... he... he...! Engkau kira akan semudah itu...?" kata Datuk Kwalat
mencibir. "Hak, Ingin kulihat sampai di mana kesetiaanmu terhadap orang-orang
segolonganmu...." menyela Wiku Panulu dengan nada penuh ancaman. Menciut juga
nyali Datuk Kwalat mendengar ancaman tokoh dari Lembah Sampuran Harimau itu.
"Jangan coba-coba menggertakku, sobat tua... aku tak akan takut!
Karena aku merasa tak punya salah denganmu...!"
"Engkau memang tak punya salah manusia tuyul punggung unta! Akan tetapi garagara kembrat-kembratmulah maka cucuku sampai mengalami kejadian seperti itu!
"Kalau begitu aku akan mengadu jiwa denganmu! Hiat...!" Datuk Kwalat memburu dan


Pendekar Hina Kelana 6 Pusaka Penebus Dendam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

langsung membabatkan
goloknya mengarah pada kepala Wiku Panulu. Kakek peot ini adalah seorang tokoh
sakti yang mempunyai banyak pengalaman, meskipun golok di tangan lawannya hampir
mencapai batok kepalanya, dia masih kelihatan tenangtenang saja. Kemudian dengan sedikit berkelit, golok di tangan lawan
mencapai tempat yang kosong,
sebaliknya dia malah memberi satu sodokan pada bagian yang rawan.
"Plok!" Datuk Kwalat berteriak kesakitan, dia berjingkrak-jingkrak bagai seekor
anjing yang sedang
kencing. Datuk ini merasakan perutnya mules luar biasa, tak heran karena Wiku
Panulu telah memukul bagian yang sangat dikeramatkan. Datuk dari Pulau Putri
inipun memaki panjang pendek, dia berubah menjadi semakin beringas.
"Kurang ajar! Tua bangka tak tahu adat, engkau benar-benar telah
menghinaku." maki Datuk Kwalat dengan mata melotot bagai hendak melompat ke
luar. Wiku Panulu tertawa rawan!
"Apanya yang kurang ajar!
Bukankah tadi engkau menyerangku...
kini engkau malah memakiku kurang ajar...!"
"Kau telah memukul anuku...
manusia iblis...!"
"Wah! sial betul. Maling malah berteriak maling...." Belum lagi usai katakatanya, mendadak Wiku Panulu lambaikan tangannya ke depan. Satu rangkaian
gelombang sinar kuning ke
biru-biruan meluncur deras ke arah Datuk Kwalat. Tentu saja Datuk Kwalat yang
sudah merasakan bagaimana
hebatnya pukulan tersebut tidak
tinggal diam. Secepat kilat dia
mengelak, tubuhnya berjumpalitan
ketika angin pukulan yang berhawa sangat dingin itu hampir melanda
dirinya. Akan tetapi, Wiku Panulu tidak
berhenti sampai di situ saja! Begitu pukulan pertama yang dilancarkannya luput,
menyusul pula pukulan kedua, ketiga dan seterusnya. Tentu saja, walaupun Datuk
Kwalat memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat sempurna, sangat
mustahil mengelak dan berlompatan secara terus-menerus.
Begitupun pukulan demi pukulan terus dia elakkan. Hingga tak begitu lama
kemudian gerakannya mulai lamban.
Akhirnya: "Blammm!" Tanpa sempat menjerit atau melolong, tubuh Datuk Kwalat terpelanting
roboh dan tewas seketika itu juga. Wiku Panulu menarik nafas pendek. Sekejap dia
memandangi mayat Datuk Kwali dan Datuk Kwalat silih berganti. Tak lama
setelahnya seperti tidak pernah ada kejadian apapun kakek
penghuni Lembah Sampuran Harimau
itupun segera berlalu dari tempat itu.
*** 11 Panas matahari yang terasa begitu teriknya tidak sedikitpun mengurangi semangat
Pendekar Hina Kelana untuk melanjutkan niatnya mencari tempat kediaman Giri
Sora, yaitu Ketua
Perkumpulan Kumbang Kencana. Peluh sudah mulai bercucuran membasahi
sekujur tubuh pemuda itu, rasa penat sudah tidak dia hiraukan lagi.
Sementara tubuh Awang Taruna yang baru saja ditolongnya nampak bergelantungan di
atas bahu kirinya. Sampai saat itu pemuda yang sedang mengalami gangguan jiwa
itu masih belum juga sadarkan diri. Seperti diketahui, Awang Taruna melarikan
diri karena rasa takutnya.
Ketika mendengar jeritan Ilmu
Pemenggal Roh. Buang Sengketa tidak berhasil memanggil pemuda sakit jiwa ini.
Akan tetapi setelah dia berhasil membunuh Datuk Dugal dan Datuk Senu
dan setelah pula menguburkan mayat Pujita Sari yang sudah membusuk itu Pendekar
dari Negeri Bunian ini segera mengejar ke arah larinya Awang Taruna.
Dia berpendapat walau bagaimanapun pemuda sakit ingatan itu jelas-jelas
memerlukan pertolongannya. Seperti yang dia ketahui, Awang Taruna telah terkena
bokongan jarum beracun milik Bidadari Tangan Maut, yang secara cepat atau lambat
sudah barang tentu akan mengancam keselamatan jiwanya.
Mengingat sampai ke situ,
pendekar penegak keadilan ini pun segera menyusul Awang Taruna yang telah merad
terlebih dahulu. Dengan menggunakan ajian Sapu Angin hanya dalam waktu sepeminum
teh, pemuda sakit ingatan inipun sudah tersusul.
Akan tetapi pemuda edan itu justru malah lari tunggang langgang begitu melihat
kehadiran Buang Sengketa.
Agaknya pengaruh racun yang sudah menjalar ke mana-mana. Tak lama
kemudian pemuda ini pun tersungkur dan tak sadarkan diri. Demi mengetahui
keadaan Awang Taruna yang sudah
teramat parah, cepat-cepat Pendekar Hina Kelana mengeluarkan jarum beracun yang
mengeram di tubuh pemuda itu.
Kemudian segera memberikan pertolongan seperlunya. Begitu keadaan gawat itu
berlalu, kiranya Awang Taruna masih belum sadar dari pingsannya, hingga akhirnya
dia memutuskan untuk mencari tempat kediaman Giri Sora. Si manusia durjana yang
menjadi penyebab
malapetaka. Demikianlah tanpa menghiraukan
rasa letih yang luar biasa, Pendekar Hina kelana terus berlari-lari kecil
menelusuri rimba yang sepi. Satu saat dia melihat kepulan asap bergulung-gulung
yang berasal dari dataran
rendah yang tidak begitu jauh lagi jaraknya dari tempat dia berdiri.
Pemuda ini menghentikan langkah,
beberapa saat lamanya dia memandang ke arah kepulan asap tersebut. Lalu dia
bergumam seorang diri: "Hemm! Kepulan asap, mungkin daerah inilah yang
disebut-sebut sebagai daerah Seribu Bangkai. Kalau begitu kepulan asap itu
berasal dari tempat kediaman Giri Sora dan kembrat-kembratnya! Bukan tak mungkin
Bidadari Tangan Maut telah sampai di sana pula." Berfikir sampai di situ,
Pendekar Hina Kelana sudah bermaksud untuk meneruskan
perjalanannya kembali ketika secara
tiba-tiba terdengar suara bentakan dia belakangnya:
"Berhenti...!" Mau tak mau Buang Sengketa mengurungkan niatnya, kemudian secara
sepontan menoleh ke belakang. Tahu-tahu seorang kakek bertongkat kayu cendana
telah berdiri di belakangnya. Maka sadarlah pendekar ini, bahwa siapapun adanya
kakek tua yang berdiri di belakangnya. Yang jelas dia merupakan tokoh yang
memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Beberapa saat lamanya Buang
Sengketa nampak meneliti si kakek renta ini, begitu juga sebaliknya.
Dari cara kakek itu memandang maka tahulah dia bahwa orang tua yang kini telah
berdiri di hadapannya,
sesungguhnya orang yang berasal dari golongan lurus, untuk itu dia berkata
sopan. "Ada keperluan apakah, hingga anda menghentikan langkahku, orang tua...?"
"Aku ingin bertanya sesuatu
padamu...!" ujar si kakek yang tak lain adalah Wiku Panulu.
"Apa yang ingin kau tanyakan"
Katakan saja, waktuku tidak
banyak...." kata Buang Sengketa tidak sabar.
"Baiklah... baiklah. Pernahkah engkau pergi ke desa Tongging...?"
tanya Wiku Panulu menyelidiki. Pemuda itu gelengkan kepala. Dalam hati dia mulai
curiga jangan-jangan kakek tua ini juga ingin memiliki Pedang Pusaka Penebus
Dendam. "Aku tak pernah ke sana...."
jawab Pendekar Hina Kelana mantap.
"Cobalah berkata jujur, orang muda...!" sela Wiku Panulu.
"Aku sudah mengatakan yang
sebenarnya...!" kata pemuda ini agak tersinggung dengan ucapan kakek ini.
Wiku Panulu menarik nafas pendek, dari sinar matanya yang meredup, tahulah
pendekar ini bahwa sesungguhnya kakek ini sedang dilanda kesedihan.
"Kalau begitu ke manakah perginya cucuku...." ucap Wiku Panulu seperti pada
dirinya sendiri. Sedikit
banyaknya Buang Sengketa pada akhirnya merasa lega, karena apa yang dia
takutkan sesungguhnya tidak beralasan.
"Apakah cucumu bernama Awang Taruna...?" tanya Pendekar Hina Kelana, tanpa raguragu lagi. Mata Wiku Panulu yang meredup itu, kini
agak membuka sedikit, dia agak
terkejut dengan pengakuan pemuda ini.
Lantas timbullah kecurigaannya tentang seseorang yang berada di bahu kiri pemuda
ini. Meskipun begitu dia tidak ingin bertindak gegabah. Dia menyadari bahwa
pemuda yang belum dikenalnya itu memiliki kepandaian yang sangat
tinggi. "Engkau kenal dengan cucuku
itu...?" "Aku kenal seseorang yang
memiliki nama itu. Akan tetapi orang itu mempunyai sakit ingatan. Aku
kurang yakin kalau pemuda sakit jiwa itu cucumu. Apakah cucumu seperti yang
kesebutkan tadi...?" Wiku Panulu gelengkan kepala. Dalam hati dia mulai percaya
dengan apa yang dikatakan oleh Datuk Sesat dari Pulau Putri. Cucunya sakit
ingatan! Teringat sampai di situ, tiba-tiba saja dia berkata
lirih, "Orang muda. Sungguhpun cucuku saat meninggalkanku tidak sakit
seperti yang kau katakan tadi, tetapi di dunia ini segalanya serba mungkin
terjadi bukan...?" ujar Wiku Panulu bagai minta pendapat. Tanpa menjawab, pemuda
ini hanya mengangguk pelan.
"Coba engkau katakan padaku, di mana adanya cucuku itu...!" kata Wiku Panulu
penuh harap. "Dia selalu dekat dariku...!"
ujar Pendekar Hina Kelana konyol. Wiku Panulu memandang berkeliling, matanya
mencari-cari, tak seorang pun berada di sekitar tempat itu.
"Bocah! engkau jangan coba-coba mempermainkan aku... dimana dia...?"
tanya Wiku Panulu gusar.
"Dia di sini. Di pundakku
ini...!" jawab Pendekar Hina Kelana sembari menunjuk bahu kirinya. Wiku Panulu
nampak terperangah, dalam hati dia bertanya-tanya. Apakah gerangan yang telah
terjadi, sehingga cucunya sampai dalam keadaan tidak sadar
sedemikian rupa"
"Bocah, engkau apakan dia...?"
tanya Wiku Panulu. Buang Sengketa, tanpa menghiraukan ucapan Wiku Panulu segera
menurunkan tubuh Awang Taruna yang masih belum juga sadarkan diri.
Kemudian tanpa diminta dia segera berucap.
"Dia terkena serangan jarum
beracun milik Bidadari Tangan Maut, tapi aku sudah mengeluarkannya...!"
ujar pemuda itu masih dalam keadaan
berjongkok di sisi Awang Taruna. Wiku Panulu langsung menghampiri Awang Taruna
yang masih tergeletak tanpa daya. Kemudian dia segera memeriksa di sana sini.
Denyut nadinya masih ada.
Sebagai orang yang berpengalaman dia tahu, bahwa kiranya pemuda di
hadapannya itu telah menyelamatkan jiwa cucunya.
"Dia memerlukan perawatan lebih lanjut kakek...!"
"Namaku Wiku Panulu, manusia tiada guna...!" ujar kakek penghuni Lembah Sampuran
Harimau itu merendah.
"Ah! Engkau terlalu merendah Wiku. Berbagai golongan persilatan semuanya
mengenalmu...." Tiba-tiba Wiku Panulu menoleh dan langsung
memandangi si pemuda. Dia tampak
meneliti dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Priuk besar, rambut
dikuncir. Tak salah lagi, dia pernah melihat pemuda super sakti ini di dalam
ramalannya. Tiba-tiba dia
tersentak, terkejut luar biasa.
"Ah... ah...! Sungguh mataku yang sudah lamur ini tak tahu adat. Tidak becus memandang betapa tingginya
gunung yang tegak di depan mata.
Keterlaluan... sungguh sangat
keterlaluan...! Bukankah engkau ini Pendekar Hina Kelana, tokoh muda dari Pantai
Karang Tanjung Api...!" ujar Wiku Panulu tertegun-tegun. Buang Sengketa
tersenyum ramah. Kemudian dia berucap:
"Mungkin Wiku salah lihat." Wiku Panulu mengekeh, kemudian langsung menjawab,
"Tidak! Hanya mataku yang lamur tapi batinku tidak. Engkaulah tokoh muda yang
memiliki kesaktian luar biasa! Sungguh aku yang sudah mau masuk liang kubur ini
sangat beruntung bahwa hari ini aku bertemu dengan seorang pendekar penegak
keadilan...!"
"Wah... engkau ngoco! Bertemu pun baru kali ini bagaimana mungkin engkau bisa
mengenalku...?" ujar Buang Sengketa mengelak. Lagi-lagi Wiku Panulu mengekeh!
"Engkau tak mungkin berbohong pada ku! Periuk itu, wajahmu, juga pakaianmu yang
dekil mirip manusia hina. He... he... he...! Siapa lagi yang punya tampang
sepertimu, kalau bukan si Hina Kelana...! Masihkah engkau hendak mungkir...?"
Kejut pendekar ini bukan alang kepalang. Kakek tua dengan tongkat kayu cendana,
bertemupun baru sekali ini, tetapi mengapa bisa tahu tentang dirinya sampai
sejauh itu" Batinnya. Dan
agaknya Wiku Panulu mengetahui apa yang sedang difikirkan oleh pemuda ini. Maka
diapun langsung menyela:
"Pendekar muda.,.."
"Wiku jangan menyebut-nyebutku pendekar! Panggil saja Kelana...!"
protes pemuda itu.
"Ah... ah... kiranya selain
memiliki ilmu kepandaian tinggi,
kiranya engkau orang yang
berkepribadian tinggi pula. Tentu gurumu orang yang sangat bijaksana.
Tapi baiklah Kelana... aku akan
berterus terang padamu, bahwa
sesungguhnya aku punya sedikit
kepandaian dalam meramal apa saja.
Untuk itu walaupun sesungguhnya engkau belum pernah bertemu denganku akan tetapi
jauh sebelumnya aku pernah melihat kehadiranmu." kata Wiku Panulu yang panjang
lebar. "Hmm! Kiranya engkau merupakan seorang tokoh yang punya banyak
keahlian!" gumam pendekar ini.
"Ya... tapi kepandaian picisan.
Ee... bagaimana engkau bisa bertemu
dengan cucuku ini...?" tanya Wiku Panulu mengalihkan pembicaraan.
Kemudian secara singkat Pendekar
Hina Kelana menceritakan kejadian yang sesungguhnya. Sampai kemudian dia bertemu
dengan Wiku Panulu. Mendengar penjelasan pendekar Hina Kelana, Wiku Panulu
nampak menarik nafas pendek, lalu dia mendesah.
"Lagi-lagi pedang inilah yang menjadi penyebab timbulnya malapetaka, ratusan
tahun yang lalu pun satu perguruan saling bunuh hanya karena Pusaka Penebus
Dendam ini, dan
sekarang malapetaka itu terjadi karena sebab yang sama...!" ujar Wiku Panulu
dengan wajah tertunduk sedih.
"Agaknya pedang ini diciptakan hanya untuk membalas dendam, Wiku...!"
"Mungkin juga! Tapi sudahlah, aku sudah punya rencana tersendiri untuk
memusnahkan pusaka malapetaka ini nantinya. Oh ya... jadi engkau benar-benar
hendak melanjutkan niatmu untuk mengobrak-abrik sarangnya Kumbang Kencana?"
"Ya! Aku harus menggantung Giri Sora, atau bahkan memenggal kepalanya atas
kematian sekian banyak orangorang desa Tongging...!" jawab pemuda ini mantap.
"Kalau begitu aku harus ikut.
Giri Sora harus bertanggung jawab atas kematian Pujita Sari mantuku...!"
"Kalau engkau sudah berniat
begitu, aku tidak bisa mencegah Wiku.
Mari kita berangkat." Usai berkata begitu, Pendekar Hina Kelana kembali
memanggul tubuh Awang Taruna kemudian dalam waktu sekejap saja kedua orang
inipun berkelebat pergi. Karena jarak yang mareka tempuh tidaklah begitu jauh
benar, maka dalam waktu sekejap mereka telah sampai di tempat kediaman Giri
Sora. Setelah menyembunyikan Awang Taruna di tempat yang aman, maka kedua orang


Pendekar Hina Kelana 6 Pusaka Penebus Dendam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini langsung mendekati tempat tinggalnya Giri Sora. Dari tempat yang agak
terlindung mereka dengan jelas dapat melihat kesibukan yang luar biasa.
"Agaknya Giri Sora sedang
mengadakan pesta besar-besaran,
Wiku...!" kata pendekar Hina kelana hampir-hampir tak terdengar.
"Satu pesta kematian yang
sebentar lagi akan kita mulai...!"
jawab Wiku Panulu begitu dingin.
"Lihat! Penjaga-penjaga itu, kita harus melumpuhkan mereka terlebih dulu."
"Menurut perkiraanku mereka tidak lebih dari empat puluh orang. Itupun seperti
yang aku dengar...!" kata Wiku Panulu menimpali.
"Sepuluh di antaranya sudah pada kojor di tanganku...!" menyela Buang Sengketa
tanpa suatu maksud. Wiku Panulu memandang pada pemuda ini untuk beberapa saat
lamanya. "Engkau benar-benar hebat...!"
kata Wiku Panulu memuji.
"Jangan menyanjungku setinggi langit. Bisa-bisa aku tersungkur ke dalam
parit...."
"Engkau ini memang manusia lucu.
Tapi aku senang pada sifat-sifat yang rendah hati...!" Tanpa menghiraukan ucapan Wiku Panulu, Pendekar Hina Kelana berseru,
"Wiku... cepat kita bereskan enam orang penjaga di luar itu. Setelah itu kita
langsung menyerbut ke dalam! Aku yakin Bidadari Tangan Maut juga ada di
sana...!" "Membereskan tikus dapur apa sulitnya!" Bersamaan dengan ucapannya itu, Wiku
Panulu merogoh kantong
jubahnya, kemudian laksana kilat, tangannya berkelebat.
"Wut!"
Enam larik benda berwarna putih
bersih meluruk cepat mengarah pada bagian yang sangat mematikan tubuh penjaga
itu. Agaknya mereka tidak menyadari adanya bahaya maut yang mengintai
keselamatan jiwa mereka.
Tanpa satu rintangan apapun, benda-benda ini melabrak tubuh penjagapenjaga itu. "Jeb!"
Secara bersamaan suara seperti
itu terdengar enam kali berturutturut. Tanpa mampu mengeluarkan
jeritan apapun, tubuh mereka
berjatuhan bagai sebatang pohon yang ditebang secara serampangan. Tubuh-tubuh
yang malang itu nampak
berkelojotan untuk beberapa saat
lamanya. Darah meleleh dari bagian leher yang terkena sambitan senjata rahasia
yang berupa tulang ular Cobra itu. Tak lama kemudian tubuh penjaga-penjaga
itupun diam tiada berkutik, nyawa melayang dengan tubuh membiru.
Kiranya semua kejadian itu sempat menimbulkan kecurigaan pada orang-orang yang
berada di dalam rumah yang
mirip sebuah istana itu. Terbukti hanya beberapa saat setelahnya, tampak
beberapa orang ke-luar dan sangat terperanjat melihat kenyataan yang terjadi.
* * * 12 Maka gegerlah orang-orang
perkumpulan Kumbang Kencana dibuatnya.
Kecut bercampur marah, semuanya
berbaur menjadi satu. Kemudian salah seorang di antara mereka berteriak lantang.
"Cepat beritahu ketua...!"
perintahnya. Tiga orang di antara mereka segera bergegas pergi, tak lama
kemudian telah kembali lagi bersama seorang laki-laki berbadan kurus
sedangkan di sisi kirinya menyertai seorang perempuan yang sudah sangat dikenal
oleh Pendekar Hina Kelana.
Siapa lagi kalau bukan Bidadari Tangan
Maut. Di tempat persembunyiannya, Buang Sengketa berbisik pada Wiku Panulu.
"Wiku! Perempuan itulah yang telah menciderai cucumu...!" jelasnya.
Wiku Panulu manggut-manggut kayak burung platuk.
"Aku pernah mengenalnya, dan kalau engkau ingin tahu bagaimana tampangnya kunyuk
Giri Sora, ya itu...
yang tinggi kurus itu...!" sela Wiku Panulu.
"Apakah kita perlu turun tangan sekarang juga?" tanya Pendekar Hina Kelana sudah
semakin tak sabaran.
"Sabar dulu! Aku ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh si Giri Sora dan betina
itu...!" jawab Wiku Panulu, tanpa mengalihkan perhatiannya pada orang-orang
Kumbang Kencana yang
sedang menggotong mayat-mayat
kawannya. Dalam pada itu, Giri Sora sangat
marah sekali demi melihat kematian anak buahnya yang sampai sebanyak itu.
Dalam hati, siapapun adanya orang yang telah menyambitkan senjata rahasianya.
Sudah dapat diduga setidak-tidaknya orang itu berkepandaian tinggi. Dalam
kemarahannya itu dia berteriak
lantang: "Bangsat pengecut! Kalian benar-benar mencari penyakit, bagitu berani
menyantroni sarang macan! Keluar dari tempat persembunyian atau aku harus memaksanya...!" Tiada reaksi. Di tempat persembunyiannya Pendekar Hina Kelana dan
Wiku Panulu saling pandang.
Kembali terdengar suara bentakan.
"Bangsat rendah. Agaknya kalian sebangsanya tikus pengecut...!" Untuk sesaat
lamanya kembali hening. Namun hal itu tidak berlangsung lama, sebab dengan
disertai lengkingan Ilmu
Pemenggal Roh yang terkenal sangat dahsyat itu pendekar Hina Kelana kini tertawa
ganda. "Huaa... ha... ha...! Giri Sora macan ompong, hari ini engkau kiranya telah
membuat pesta kematianmu
sendiri. Kematian banyak warga desa, memang sudah selayaknya engkau tebus.
Dosa-dosamu sudah
kelewat bertimbun...!" Bukan main
terperanjatnya Ketua Perkumpulan
Kumbang Kencana ini dibuatnya. Dia melihat beberapa anggotanya roboh seketika
itu juga, kuping mereka
mengalirkan darah. Bahkan dia sendiri
sampai-sampai tergetar hebat,
begitupun Bidadari Tangan Maut.
Meskipun dua orang ini telah menutup indra pendengaran mereka, akan tetapi suara
lengkingan tawa Pendekar Hina Kelana masih berpengaruh banyak,
bahkan terasa menggetarkan jantung dan membuat dada terasa sakit.
Dalam pada itu, dua sosok tubuh
melesat cepat ke arah Giri Sora dan Bidadari Tangan Maut. Tanpa timbulkan suara,
tahu-tahu Pendekar Hina Kelana telah menjejakkan kakinya persis di depan
Ketua Perkumpulan Kumbang
Kencana. Giri Sora semakin bertambah terkejut, karena di samping pemuda yang
belum dikenalnya itu, hadir pula Wiku Panulu. Yaitu majikan Lembah Sampuran
Harimau yang selama ini
merupakan orang yang sangat
dibencinya. Pucat wajah Bidadari
Tangan Maut begitu melihat kehadiran pendekar ini, nyalinya menjadi ciut.
Menghadapi Wiku Panulu saja, mereka beramai-ramai belum tentu bisa menang,
apalagi dengan hadirnya pendekar Hina Kelana yang sudah dia ketahui akan
kehebatannya. Tanpa sadar perempuan budak nafsu inipun mengeluh dalam hati.
Sementara itu dengan kemarahan
yang meluap-luap Giri Sora berseru lantang.
"Wiku Panulu! Kesalahan lama saja belum engkau tebus, kini engkau
membuat kesalahan baru pula...."
"Manusia setan. Jangan berdalih, engkau kira, kau dapat menyelamatkan diri
setelah membunuh Pujita Sari dan berusaha merampas Pusaka Penebus
Dendam?" sentak Wiku Panulu sangat geramnya. Sebaliknya Giri Sora
tergelak-gelak!
"Betina seperti Pujita Sari itu memang sudah selayaknya mampus! Tiada guna,
engkau perduli apa...!"
"Wiku! Mengapa harus berbantahan dengan macan ompong ini. Kita babat saja
lehernya hingga mampus...!" kata Pendekar Hina Kelana hilang
kesabarannya. "Tidak semudah itu manusia
sombong!" Berkata begitu dia menoleh pada orang-orang yang berada di
sekitarnya. Mereka ini jumlahnya hanya tinggal lima belas orang saja. Tak berapa
lama kemudian dia menyambung:
"Anak-anak, ringkus dua ekor kunyuk ini...!" perintah Giri Sora pada anak
buahnya. Mendapat perintah dari
atasan-nya, kelima belas orang inipun
serentak maju, dan langsung mengurung mereka. Melihat pemandangan seperti itu,
Buang Sengketa tersenyum sinis.
"Giri Sora manusia keparat!
Mengapa hanya lima belas orang saja, majulah engkau dan betina setan itu!
Memerintah orang-orangmu mereka hanya mati sia-sia...!" kata Pendekar Hina
Kelana rawan. "Puih! Manusia sombong. Engkau tak bakalan menang menghadapi mereka!"
bentak Giri Sora penuh percaya diri.
Tanpa diketahui oleh lawan-lawannya, kiranya Buang Sengketa telah bersiap-siap
dengan ilmu Pemenggal Roh tingkat kedua. Agaknya Wiku Panulu sudah tahu apa yang
akan dilakukan oleh kawannya ini, maka cepat-cepat dia tutup indra
pendengarannya.
Demikianlah begitu anak buah Giri Sora meluruk dan menyerang mereka dengan
senjata terhunus. Maka pada saat itu juga pendekar ini bertindak.
"Heeeiiiik! Ha... ha... ha...!"
Bumi bergetar hebat, seakan-akan
hendak runtuh, debu dan pasir
beterbangan, begitu juga dengan daun-daun yang masih hijau. Suara lengking dan
tawa itu sambung menyambung tiada henti. Seakan bagai rentetan suara
halilintar, bergemuruh dan
menghancurkan gendang-gendang telinga.
Anak buah Giri Sora berpelantingan roboh, bahkan di antara mereka yang masih
bertahan hidup, menjerit-jerit kesakitan. Mereka ini berlari ke
segala arah, tak ubahnya mirip orang-orang yang sedang mengalami gangguan jiwa.
Sementara itu pendekar Hina Kelana masih belum juga menghentikan tawanya, anak
buah Giri Sora yang hanya tinggal beberapa gelintir itupun tak mampu bertahan
hidup, tubuh mereka satu demi satu ambruk ke bumi, darah mengalir dari berbagai
tempat, pada bagian tubuh mereka. Giri Sora yang nampak berusaha memunahkan
pengaruh ilmu yang sangat mengerikan itu, sampai beberapa saat berikutnya masih
belum dapat memusatkan fikirannya.
Akan tetapi beberapa saat kemudian dengan mempergunakan ajian Iblis
Menghalau Setan. Diapun keluarkan jeritan yang sama. Tubuh pendekar Hina Kelana
dan Giri Sora saling bergetar hebat. Keringat dalam waktu sekejap saja sudah
mulai berlelehan di pipi masing-masing lawannya. Baik Wiku Panulu maupun
Bidadari Tangan Maut sama-sama tidak punya keberanian untuk
mengakhiri adu tenaga dalam tersebut.
Bidadari Tangan Maut hanya mampu
memandangi kawannya yang sedang adu jiwa itu dengan harap-harap cemas.
Sementara Wiku Panulu yang sudah
kenyang makan asam garam dunia
persilatan nampak tersenyum-senyum.
Dia cukup tahu, sesungguhnya dalam adu tenaga dalam ini, Giri Sora jauh
beberapa tingkat di bawah pendekar Hina Kelana. Terbukti hanya dalam waktu
beberapa saat kemudian kedua kaki Giri Sora mulai nampak amblas ke bumi.
Sementara Buang Sengketa masih tetap dalam posisinya.
Agaknya Pendekar Hina Kelana
sudah tak sabar lagi dengan keadaan seperti itu. Akhirnya dia memutuskan untuk
mempergunakan sepertiga dari sisa tenaganya untuk memukul Giri Sora yang nampak
semakin kewalahan saja.
Pukulan Empat Anasir Kehidupan,
pukulan inilah yang sekarang disiapkan oleh Pendekar Hina Kelana. Dalam pada
itu, demi mengetahui kembratnya sudah nampak kewalahan, Bidadari Tangan Maut,
dengan jarum-jarum beracunnya bermaksud membokong pendekar ini dari belakang.
Masih untung semua itu tidak terle-as dari perhatian Wiku Panulu
yang merasa sangat takjub melihat kepandaian yang dimiliki oleh Buang Sengketa.
Wiku Panulu secara cepat segera menghadang: "Mau ber-buat apa engkau perempuan
Sundal...?" bentak kakek dari Lembah Sampuran Harimau itu sangat marah sekali.
"Hi... Hi... Hi...! Bagus kalau kau sudah mengetahui maksudku, aki dungu...!"
"Engkau memang harus cepat-cepat mampus, betina penumpuk dosa...!"
Belum lagi Wiku Panulu selesai dengan kata-katanya, Bidadari Tangan Maut sudah
kirimkan pukulan berantai yang diberi nama, Bidadari Menyergap
Mangsa. Begitu cepat pukulan yang dilancarkan oleh perempuan itu. Laksana kilat
gelombang angin pukulan yang dilepas oleh Bidadri Tangan Maut, menerjang ke arah
Wiku Panulu. Kakek tua ini terkekeh-kekeh.
"Pukulan Bidadari Menyergap
Tikus" begini rupa, apa hebatnya...!"
cibir Wiku Panulu sambil kibaskan tongkatnya. Pukulan tadi selain
melenceng sebagian sebaliknya sebagian yang lain malah berbalik menggempur
pemiliknya sendiri. Bidadari Tangan Maut mengelak tunggang langgang. Dia
memaki panjang pendek, sebaliknya Wiku Panulu malah tergelak-gelak.
Sementara itu Pendekar Hina
Kelana yang sudah semakin tak sabaran dalam adu tenaga dalam itu, beberapa saat
kemudian kiblatkan tangannya.
Selarik sinar yang hampir-hampir tak terlihat oleh kasat mata, nampak
melesat begitu cepat. Giri Sora yang masih dalam keadaan tertekan akibat bentrok
tenaga dalam dengan lawannya.
Tiada pernah menyangka, kalau dalam keadaan seperti itu lawan masih bisa
kirimkan serangan lainnya. Ketua
perkumpulan Kumbang Kencana ini
menjadi gugup dan panik, tanpa kuasa menangkis atau mengelak, satu sapuan
gelombang panas yang tiada terperikan langsung menghajar tubuhnya yang
terbenam sebatas lutut.
"Braaak! Blaar!"
Tanpa ampun tubuh Giri Sora
terpelanting delapan tombak, tangan kanannya patah, sedangkan dari celah bibir
dan hidungnya mengalir darah kental kehitam-hitaman. Nyatalah bahwa Giri Sora
mengalam luka dalam yang cukup hebat. Beberapa saat lamanya dia mengatur jalan
darah, kemudian setelah menelan beberapa butir pil berwarna
kekuning-kuningan, wajah Ketua Perkumpulan Kumbang Kencana itupun
kembali berubah kemerah-merahan.
Anehnya seperti tidak pernah mengalami kejadian apa-apa orang ini bangkit
kembali, kemudian mencabut sebilah keris yang sangat tipis dan pendek.
Giri Sora mengeluarkan jerit histeris bagai banteng terluka. Serta merta lakilaki ini menyerang lawannya dengan serangan-serangan ganas.
Pada saat itu, pertarungan antara Wiku Panulu dan Bidadari Tangan Maut sudah
mencapai klimaknya. Bidadari Tangan Maut telah keluarkan segala kemampuannya
baik dalam ilmu pukulan ataupun sambitan-sambitan jarum
beracunnya. Sebaliknya Wiku Panulu yang memang sengaja memberi angin pada
Bidadari Tangan Maut, sampai saat itu masih saja terkekeh. Sampai akhirnya dia
membentak: "Perempuan sial! Cukup sudah kesempatan yang telah kuberikan untukmu.
Sekarang tibalah giliranku."
"Sringr Wiku Panulu kini telah melolos
pedangnya. Pucatlah muka Bidadari Tangan Maut demi melihat pedang yang
tergenggam di tangan Wiku Panulu,
Pedang Penebus Dendam, yang
menggemparkan itu.
"Bidadari Tangan Maut! Engkau merupakan korban terakhir, pedang pembawa celaka
ini. Sebab setelah itu, pedang ini segera akan kuhancurkan!
Sekarang bersiap-siaplah untuk
menerima kematian!" Wiku Panulu berseru lantang.


Pendekar Hina Kelana 6 Pusaka Penebus Dendam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ciaaat!"
Pedang di tangan Wiku Panulu
langsung memburu, maka celakalah bagi Bidadari Tangan Maut. Karena Wiku Panulu,
dalam bertidak sudah tidak kepalang tanggung. Kakek keriputan ini dalam
menyerang langsung mempergunakan jurus pedang yang dahsyat. Dan diberi nama
jurus Pedang Menipu Arah!
Bidadari Tangan Maut seketika itu juga menjadi kelabakan.
Beberapa saat kemudian tubuh Wiku Panulu berkelebat sedemikian cepatnya, hingga
beberapa gebrakan berikutnya, Bidadari Tangan Matu sudah terdesak hebat. Tanpa
banyak membuang waktu, pedang di tangan Wiku Panulu
berkelebat. "Cras!"
Terdengar jerit melolong setinggi langit, leher Bidadari Tangan Maut
hampir putus terbabat pedang di tangan Wiku Panulu. Darah menyembur ke manamana, tubuh perempuan itu nampak
limbung, untuk kemudian ambruk
bersimbah darah.
Semua itu sesungguhnya tak luput
dari pandangan Giri Sora, yang pada saat yang sama sudah mulai jatuh di bawah
angin. Keris pusaka di tangan ketua perkumpulan Kumbang Kencana tidak dapat
berbuat banyak, untuk menghadapi sambaran-sambaran Golok Buntung di tangan
lawannya. Bahkan tubuhnya kini sudah mulai menggigil akibat pengaruh senjata di
tangan lawan. Sementara itu sinar merah yang dipancarkan oleh golok di tangan
Buang Sengketa berkelebat-kelebat ke segala penjuru. Lalu saat golok dan keris
itu saling berbenturau
"Trang! Trang!"
Giri Sora kagetnya bukan alang
kepalang demi mengetahui keris di tangannya menjadi patah beberapa
bagian. Belum lagi hilang rasa
kejutnya. Golok Buntung di tangan pendekar ini berkelebat mengarah ke bagian
leher lawannya.
"Craaat!"
Tiada lolong maupun rintih yang
terdengar, kepala Giri Sora nyaris copot dari pangkal lehernya. Darah memuncrat
bahkan sebagian sempat
memercik ke wajah Pendekar Hina
Kelana. Lalu tubuh laki-laki itu
terhuyung-huyung, hingga pada akhirnya ambruk ke bumi tanpa mampu berkutik lagi.
Tewaslah Ketua Perkumpulan Kumbang Kencana saat itu. Tak lama
kemudian Pendekar Hina Pelana menoleh, tahu-tahu Wiku Panulu telah berdiri
disitu dengan memanggul tubuh Awang Taruna yang masih belum sadar dari
pingsannya. "Beberapa hari lagi dia akan siuman Wiku! Semoga engkau dapat
merawatnya dengan baik .!" kata Buang Sengketa menyarankan.
"Sudah tentu, karena dia murid sekaligus cucuku...!"
"Aku yakin dia akan segera
sembuh!" ujar pendekar ini penuh keyakinan.
"Tentu saja! Oh ya, terima kasih atas segala bantuanmu orang gagah...!"
Buang Scngketa hanya tersenyum saja demi mendengar ucapan Wiku Panulu.
"Engkau tak perlu berterima
kasih, tolong menolong itu sudah
selayaknya sebagai manusia...!"
"Hemm! Engkau pemuda yang berhati luhur! Akan tetapi sebelum berpisah, mau-kah
engkau menyebutkan siapa
gurumu...?" Tak ada jawaban, begitu kakek renta ini menoleh. Pendekar Hina
Kelana sudah tak berada di sisinya.
Kakek tua ini hanya geleng-gelengkan kepalanya, hingga akhirnya dia pun
berkelebat pergi.
TAMAT Scan/Convert/E-book: Abu Keisel Tukang Edit : beno
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Tiga Maha Besar 6 Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Istana Pulau Es 17

Cari Blog Ini