Pendekar Gila 1 Seruling Naga Sakti Bagian 3
empat penyerangnya.
"Koh Lie, cepat selamatkan diri!
Bawa Nona Mei Lie pergi...!"
8 Koh Lie dan putrinya kebingungan.
Mereka tidak tahu harus berbuat apa.
Membantu kesepuluh pendekar untuk menghadapi pengeroyok itu, rasanya tidak
mungkin. Untuk lari juga sulit, sebab di sana-sini terjadi pertempuran sengit
yang mengerikan.
Melihat ayah dan anak itu masih
berdiri mematung kebingungan, pendekar muda yang tengah menghadapi keroyokan
empat lawan yang rata-rata berilmu setingkat dengannya mau tak mau harus membagi
perhatian. Diputarnya pedang dengan cepat
membuat suatu lingkaran untuk melindungi dirinya dari serangan yang dilancarkan
oleh keempat lawannya.
"Cepat lari! Tak ada waktu
lagi...!" seru Han Jin lagi.
Setelah melihat tuan dan anaknya pergi, dengan cepat perhatiannya kembali
dicurahkan pada pertempuran yang tengah dihadapi. Jurus-jurus pedangnya semakin
dipercepat, menjadikan keempat lawannya meski berilmu setingkat harus berhatihati kalau tidak ingin bernasib seperti Kapak iblis dan Raja Setan Muka Ular.
Dengan cepat keempat orang itu berpencar mengelakkan serangan lawan, lalu mereka
serentak menyerang dari empat penjuru.
"Heaaa...!"
Serangan lawan yang datang dari
empat penjuru angin tidak membuat pendekar muda itu gentar. Cepat-cepat
kepalanya dirundukkan manakala senjata milik Kelangit Anom yang berbentuk rantai
dengan ujung bola besi berduri sebesar buah kelapa melesat ke arahnya. Pedangnya
digerakkan ke atas, menangkis serangan senjata lawan. Sedangkan tangan kirinya
menyerang ke arah lawan yang berada di depan.
Tring! Terdengar suara beradu dua benda
yang terbuat dari logam keras disertai percikan bunga api dan pekikan kaget
Kelangit Anom ketika mendapatkan Ujung senjatanya yang terbuat dari baja telah
putus. "Akh...!" mata Kelangit Anom membeliak, bagai tak percaya melihat kenyataan yang
kini diterimanya.
Senjatanya yang belum pernah terkalahkan oleh senjata lain, kini terputus oleh
hantaman pedang di tangan pendekar muda dari Cina itu.
Kalau Kelangit Anom kaget melihat senjatanya putus, tidak kalah kagetnya
Kelangit Sepuh yang tidak menduga kalau dalam keadaan terjepit seperti itu, Han
Jin masih mampu melontarkan pukulan tenaga dalam yang mengeluarkan serangkum
angin keras ke arahnya.
"Oh...!" keluh Kelangit Sepuh melihat selarik angin melesat ke arahnya.
Kalau saja dia kurang waspada dan tidak cepat berkelit dengan menggeser kaki ke
samping, sudah barang tentu tubuhnya terhantam satu pukulan dahsyat. Pukulan itu
luput beberapa rambut di sampingnya.
Tak urung pakaiannya koyak akibat terserempet angin pukulan lawan.
Darrr! Pukulan 'Naga Menyibak Samudera'
yang dilontarkan Han Jin menghantam sisi kapal yang seketika hancur berantakan,
membuat beberapa penyerang yang berada di dekatnya terpental. Mereka adalah
penyerang yang umumnya berilmu rendah.
Tubuh mereka langsung tertindih serpihan kayu-kayu kapal. Sedangkan penyerang
yang berilmu lumayan melompat cepat untuk menyelamatkan diri agar terhindar dari
bencana itu. Ketika kapal itu sudah benar-benar merapat di satu dermaga kecil, maka
pertarungan dilanjutkan di darat. Dengan begitu, tampak gerakan mereka semakin
leluasa. Han Jin segera saja mencari tempat yang luas untuk menghadapi empat
pengeroyoknya yang mengejar tanpa mau membiarkan pendekar muda itu lepas.
"Mau lari ke mana, heh"!" bentak Pedang Akhirat
"Aku bukanlah pengecut seperti kalian yang main keroyok! Aku hanya mencari
tempat yang agak lapang agar dapat leluasa membantai kalian!" tantang Han Jin
lantang. Dengan segera
disiapkannya jurus-jurus andalan.
Pedangnya dihunus di depan muka,
sementara matanya mengawasi gerakan keempat orang yang mengurungnya.
"Heaaa...!"
"Hiaaat...!"
Empat orang itu menyerbu kalap
dengan senjata di tangan masing-masing, diikuti pekikan membahana. Tubuh mereka
bergerak laksana terbang dengan senjata mengarah ke satu sasaran yang nampaknya
masih tenang dan hanya menggeser-geser kakinya. Baru ketika keempat penyerang
itu semakin dekat Han Jin bergerak cepat Tubuhnya diputar sedemikian rupa,
sementara pedang di tangan kanannya bergerak membabat ke segala penjuru,
sedangkan tangan kirinya memukul dengan pukulan dahsyat yang terbukti mampu
menghancurkan kapal.
"Heaaa...!"
Melihat gerakan lawan yang begitu cepat seketika keempat penyerang
tersentak. Mereka segera melompat mundur, kemudian dengan
cepat mengubah serangannya dan kembali melompat
menyerang. "Hiaaat..!"
Kembali senjata di tangan keempat begundal Segoro Wedi bergerak ke satu titik di
mana lawan berada. Kini mereka benar-benar tak akan merubah lagi jurus
serangannya. Mereka telah
memperhitungkannya masak-masak serangan itu. Tenaga dalam mereka telah
disalurkan ke tangan kanan yang menggenggam senjata masing-masing. Hingga laju
senjata di tangan mereka mampu mengeluarkan angin dahsyat
Han Jin merasakan angin serangan
yang menerpanya begitu dahsyat. Namun sebagai pendekar yang telah menjalani
gemblengan keras, wajahnya sama sekali tidak menunjukkan rasa kaget apalagi
gentar. Pedangnya digerakkan dengan
membentuk putaran di atas kepala.
Sementara tangan kirinya yang tidak bersenjata, turut menghempas pukulan dahsyat
ke depan, sedangkan kaki kanannya dengan gerakan tak kalah gesit, menyepak ke
belakang. Sungguh sebuah gerakan yang sangat hebat. Jarang orang bisa melakukan
gerakan-gerakan seperti itu. Hampir semua anggota tubuhnya merupakan senjata
ampuh. "Heaaa...."
Keempat penyerang kembali harus
membuka mata menyaksikan gerakan yang aneh dan dahsyat itu. Akan tetapi, tak ada
kesempatan lagi bagi mereka untuk menarik serangan karena jarak antara mereka
dengan Han Jin telah demikian dekat.
Trang! Benturan senjata mereka dengan
pedang Han Jin terjadi, menciptakan percikan api dan keterkejutan keempat
penyerangnya. Tangan mereka seperti kesemutan.
Sementara itu, Han Jin rupanya
mengalami luka dalam yang cukup parah akibat benturan tadi. Hingga dari sudut
bibirnya meleleh darah kehitaman. Han Jin menggeleng-gelengkan kepala, berusaha
menghilangkan rasa pening yang berdenyut.
Matanya sedikit berkunang-kunang membuat pandangannya agak meremang.
Di lain pihak, ternyata salah
seorang dari penyerang, yaitu Kelangit Anom, nampak tergeletak tanpa nyawa. Di
dadanya tergurat tanda hitam berbentuk cakar naga. Ternyata ketika mereka
menyerang, 'Pukulan Cakar Naga' yang dilontarkan Han Jin tak mampu dielakkan
Kelangit Anom. Tanpa ampun lagi, pukulan dahsyat itu harus diterimanya.
Di sisi lain, Nyi Bangil nampak
memegangi dadanya yang terasa sesak. Dia berusaha menahan rasa sakit akibat
tendangan yang dilancarkan Han Jin.
Gerakan tendangan tadi yang begitu cepat, hingga sulit baginya untuk mengelak.
Sedangkan Kelangit Sepuh dan Pedang Akhirat masih tertegun merasakan tangan
mereka yang berdenyut keras, sehingga mereka tak segera bertindak menghabisi Han
Jin yang kini terluka dalam. Mereka sama sekali tidak menyangka, kalau tenaga
dalam Han Jin masih mampu mengimbangi tenaga dalam mereka. Padahal mereka
terdiri dari empat tokoh yang rata-rata berilmu tinggi dan disegani di rimba
persilatan. Sementara itu, sembilan pendekar
muda dari Cina lainnya tampak masih sibuk menghadapi keroyokan yang dilakukan
oleh Tuak Iblis dan anak buahnya yang
berjumlah cukup banyak. Ada sekitar dua puluh orang yang terus berusaha menekan
mereka yang pantang menyerah. Sedangkan Tuak Iblis dengan senjata tuaknya tak
mau ketinggalan untuk menggempur sembilan pendekar muda itu.
"Serang -terus! Habisi mereka...!"
seru Tuak Iblis sambil menenggak tuaknya.
Kemudian, dengan gerakan mulut yang aneh, disemburkannya tuak itu....
Wusss! Tuak yang menyembur dari mulut Tuak Iblis melesat cepat ke arah seorang dari
Pendekar Naga Hijau yang bernama Can Kok Han yang tengah dikeroyok oleh anak
buahnya. Can Kok Han yang perhatiannya tidak tertuju pada Tuak Iblis, tak dapat
lagi mengelakkan serangan tersebut
"Cuhhh...!"
"Akh...!"
*** Can Kok Han menjerit. Sesaat
tubuhnya menggelepar-gelepar kejang dengan tangan
menutupi mukanya yang
terasa sangat panas bagaikan terbakar.
Bahkan dari mukanya mengepul asap. Lalu, tak begitu lama kemudian tubuhnya
meregang dan mati.
Pertarungan semakin bertambah seru dengan matinya salah seorang dari sembilan
Pendekar Naga Hijau dari Cina.
Semangat anak buah Tuak Iblis yang semula
surut kembali berkobar. Mereka dengan berani kembali merangsek ke arah lawan
yang tinggal delapan orang.
Kenekatan mereka tak dilandasi
perhitungan, sehingga dengan cepat serangan mereka dapat dipatahkan oleh delapan
adik seperguruan Han Jin yang memiliki kepandaian di atas lawan-lawannya. Hingga
pedang di tangan mereka laksana malaikat maut yang dengan enteng mencabut nyawa.
"Bangsat! Ini tidak bisa
didiamkan!" dengus Tuak Iblis yang kemudian melesat untuk
membantu anak buahnya yang semakin bertambah kacau.
Tuak Iblis meneguk araknya dari
guci. Kemudian dengan penuh amarah yang meledak-ledak dl dada, Tuak Iblis
menyerang ke arah orang ketiga dari para pendekar dari Cina yang bernama Lie
Sauw Liang. Guci tuaknya bergerak cepat, menyerang ke arah pendekar itu.
"Pecah kepalamu!" bentak Tuak Iblis.
Lie Sauw Liang tersentak, tak
menyangka akan diserang begitu cepat dan tiba-tiba. Padahal saat itu dia tengah
menghadapi gempuran anak buah Tuak Iblis.
Untuk melindungi diri dari serangan Tuak Iblis, Lie Sauw Liang membabatkan
pedang untuk memapak luncuran guci. Secepat itu pula Tuak Iblis menyemburkan
tuaknya ke muka lawan, hingga lawan yang tidak menduga akan diserang oleh semburannya tak
mampu lagi mengelak.
"Cuhhh...!"
"Aaa...!" Lie Sauw Liang menjerit merasakan wajahnya terasa sangat panas.
Tangannya segera mendekap ke arah wajah.
Tubuhnya tak lama kemudian meregang dan mats seperti yang dialami oleh temannya
yang menjadi korban pertama.
Melihat dua orang temannya mat], ketujuh orang pendekar muda dari Cina itu
menjadi kalap. Terlebih-lebih ketika melihat kakak seperguruan mereka tengah
mengalami luka dalam dan nampaknya sulit untuk bebas dari kepungan lawan.
Ketujuh pendekar muda dari Cina itu kini menjadi nekat. Mereka menyerang membabi
buta, mencurahkan serangan yang cukup berbahaya bagi para pengeroyok.
Tuak Iblis yang telah berhasil
membinasakan dua dari sembilan pendekar muda itu terbahak-bahak. Dia semakin
bersemangat. Serangan dengan guci tuaknya kian gencar. Sesekali Tuak Iblis
menenggak tuak mautnya disertai serangan ke arah lawan.
Pedang di tangan Tan Bing It
bergerak cepat, membabat dan menusuk ke arah tubuh Tuak Iblis. Kaki dan tangan
kirinya pun turut bergerak menangkis dan menyerang.
"Cuhhh...!"
Tuak Iblis menyemburkan lagi tuak mautnya. Dengan cepat pendekar muda yang
diserangnya melenting dengan tubuh bersalto untuk mengelakkan serangan itu
hingga luput dan tuak maut. Namun belum juga kakinya sempat menginjak tanah,
serangan dari Tuak Iblis menyusul. Guci tuak yang juga merupakan senjata yang
tidak boleh dipandang ringan, mendesing ke arah tubuhnya.
Tan Bing It berusaha berkelit
dengan membuang tubuhnya ke samping. Tapi sebuah tendangan kaki kiri yang
dilancarkan oleh Tuak Iblis mengha-dangnya. Pendekar
muda itu hendak
melakukan gerakan menghindar, namun tendangan Tuak Iblis lebih cepat
Buggg! "Huk....!"
Tubuh Tan Bing It terhuyung ke
belakang dengan mata melotot berusaha menahan rasa sakit akibat tendangan pada
lambungnya itu. Tangannya mendekap bagian tubuh yang terasa sakit hingga
tubuhnya membungkuk. Pada saat itu, sebatang tombak tanpa dapat dielakkan
menghunjam dari belakang, tembus hingga ke ulu hati.
"Aaa...!"
Pendekar malang itu memekik dengan mata melotot. Tangannya berusaha mencabut
tombak yang menancap di punggungnya,
namun maut telah mendahului. Tubuhnya limbung, kemudian jatuh terkulai tanpa
nyawa. Kepanikan datang mendera keenam
pendekar muda dari Cina yang masih hidup, terlebih ketika mereka mendengar
jeritan yang menyayat. Ketika mata mereka melirik ke arah kakak seperguruan
mereka yang tengah menderita luka dalam, mata mereka membelalak khawatir.
Han Jin terlihat memegangi
kepalanya yang melelehkan darah, tersabet pedang di tangan Pedang Akhirat. Han
Jin masih berusaha mempertahankan diri, akan tetapi darah yang banyak keluar
menjadikannya tak mampu. Tubuhnya ambruk dan mati.
Tuak Iblis yang melihat gelagat itu dengan segera memberi semangat pada sisasisa anak buahnya yang masih berjumlah dua puluh lima orang.
"Habiskan mereka!"
Pertarungan jelas semakin tidak
seimbang dengan hilangnya rasa percaya diri pada keenam pendekar muda dari Cina
itu. Hal itu cukup menguntungkan bagi Tuak Iblis dan anak buahnya. Mereka terus
merangsek, berusaha secepat mungkin menghabisi keenam pendekar dari Cina itu.
Hal itu menjadikan serangan yang
dilakukan tidak lagi terarah, hingga mereka harus menerima kenyataan pahit
Ternyata dalam keadaan putus asa, keenam pendekar dari Perguruan Naga Hijau itu
melakukan pertarungan dengan nekat dan untung-untungan. Tanpa ampun lagi, korban
kembali berjatuhan, baik dari anak buah Tuak iblis maupun dari pendekar-pendekar
Cina itu sendiri
Kini tinggal seorang lagi dari
sepuluh pendekar muda Cina yang masih hidup. Sedangkan di pihak Tuak Iblis,
tinggal Tuak iblis seorang diri. Mereka kini saling berhadapan, siap melakukan
pertarungan penentuan. Tak begitu lama kemudian, dengan diikuti pekikan dahsyat
Pendekar Gila 1 Seruling Naga Sakti di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keduanya sama-sama melesat ke udara untuk melakukan serangan.
"Heaaa...!"
Tuak Iblis menghantamkan gucinya ke arah lawan yang dengan cepat berkelit
memiringkan tubuhnya dengan menggeser kaki agak melebar. Kemudian dengan cepat
tangan kanannya yang memegang pedang bergerak menusuk ke arah ulu hati Tuak
Iblis. Tusukan pedang yang cepat itu hampir saja melubangi ulu hati Tuak Iblis
kalau dia tidak segera merundukkan tubuh ke bawah dengan cepat lalu menggeser kaki kanannya untuk melakukan tendangan dengan kaki kanan.
Melihat serangan datang, dengan
cepat Sun Peng menarik serangannya, lalu pedangnya dikibaskan ke kaki Tuak Iblis
yang mengarah ke selangkangannya.
Tuak Iblis tersentak. Serangannya berusaha ditahan, namun terlambat.
Tebasan pedang lawan telah sulit untuk dielakkan.
"Celaka...!"
Tuak Iblis menjatuhkan diri ke
tanah, tangan kirinya cepat mencengkeram selangkangan lawan. Gerakan itu
bersamaan dengan tebasan pedang Sun Peng ke arah leher Tuak Iblis. Seketika
keduanya menjerit
Sun Peng matanya melotot karena
kemaluannya hancur teremas tangan Tuak Iblis, kemudian tubuhnya limbung dan
jatuh ke tanah tanpa nyawa. Keadaan Tuak Iblis juga tak kalah mengerikan.
Lehernya terpenggal. Kepalanya tergulir lepas dari tubuh dengan mata melotot.
Pedang Akhirat, Kelangit Sepuh, dan Nyi Bangil yang telah sembuh dari rasa sakit
akibat tendangan lawan tak mampu berbuat apa-apa. Mereka hanya mampu melihat
bagaimana dua orang itu mati.
"Hai, sejak tadi kita tidak ingat pada gadis itu! Bagaimana kalau gadis itu
mati" Bisa celaka kita. Ayo, kita cari di kapal!" ajak Pedang Akhirat pada kedua
rekannya yang segera ikut berlari.
Ketiga tangan kanan Segoro Wedi
yang masih hidup segera mencari gadis Cina itu, namun mereka tidak
menemukannya. "Celaka! Rupanya mereka pergi ketika kita sedang bertarung. Mari kita kejar,
jangan pulang sebelum kita dapat menemukan gadis itu...," seru Pedang Akhirat
dengan wajah tegang.
Mereka tahu apa yang akan
didapatkan jika gadis Cina itu tidak ditemukan. Tanpa membuang-buang waktu,
ketiga begundal Segoro Wedi itu lari meninggalkan tempat yang kini terhias oleh
puluhan mayat. 9 Pemuda tampan berompi kulit ular
yang tidak lain Sena Manggala tengah meneruskan langkah kakinya, setelah duduk
istirahat di sebuah dahan pohon. Baru saja hendak meneruskan langkahnya, tibatiba pendengarannya yang tajam mendengar jeritan kematian. Disusul oleh suara
teriakan seorang wanita.
Pemuda bertingkah laku seperti
orang gila itu kembali menghentikan langkahnya. Tangannya menggaruk-garuk
kepala, sedangkan keningnya berkerut.
"Oh, sungguh tiada hentinya
pembunuhan dan perkosaan di dunia ini.
Baru saja kulihat mayat-mayat
bergelimpangan di pantai utara. Kini, kudengar suara kematian dan jeritan
seorang wanita. Hm, hidup...," gumam Sena. Nalurinya seketika menyeret kakinya
untuk melihat apa yang telah terjadi.
Baru beberapa langkah dia ke utara, matanya melihat seorang gadis cantik
berkulit kuning, langsat dengan mata agak sipit tengah berlari sambil berusaha
memapah seorang lelaki yang telah lemah.
Di punggung lelaki setengah baya itu, menancap sebuah senjata rahasia yang
beracun. Hal itu terlihat dari wajahnya yang kebiru-biruan.
"Mei Lie, cepatlah pergi.
Selamatkan dirimu...," ujar lelaki setengah baya itu dengan suara lirih,
mengharap anaknya yang bernama Mei Lie pergi untuk menyelamatkan diri.
"Tidak, Ayah.... Ayah tak boleh mati...."
Gadis itu menangis sambil terus
berusaha mendukung tubuh sang Ayah yang semakin lama bertambah lemah, hingga
pada akhirnya ambruk.
"Ayah...!" pekik gadis Cina itu, menangisi kematian ayahnya.
Hati Sena terenyuh melihat
kesedihan yang dialami oleh gadis Cina itu. Perlahan kakinya melangkah mendekati
gadis itu, kemudian dengan pelan
dipegangnya pundak si gadis.
"Nona..., sudahlah. Jangan kau tangisi. Ayahmu telah meninggal. Semua
sudah menjadi suratan."
Mei Lie dengan terisak memandang
Sena. Kakinya tiba-tiba menyurut mundur dengan pandangan takut. Melihat hal itu,
Sena segera memperkenalkan dirinya.
Dengan harapan, gadis itu tidak takut lagi. Tapi usahanya itu tidak mengubah
keadaan. "Nona, aku tidak bermaksud jahat padamu," ucap Sena, mencoba meyakinkan.
Tangannya menggaruk-garuk kepala, sedangkan mulutnya nyengir. "Aku tak tahu
harus berkata apa. Tapi percayalah, aku bukan orang jahat seperti yang Nona
duga." Mei Lie tak lagi melangkah mundur.
Matanya yang agak sipit namun lentik dan indah, memandangi sosok di hadapannya
dari ujung kaki hingga ujung rambut
"Maafkan atas prasangka burukku tadi...."
"Tidak apa... Kau orang asing di sini dan nampaknya baru mengalami suatu
kejadian yang menyedihkan. Kalau boleh kutahu, bagaimana ceritanya hingga Nona
sampai tersesat ke tanah Jawa Dwipa ini"
Lalu siapakah lelaki ini?" tanya Sena hati-hati.
Mei Lie kembali terisak, kemudian menceritakan semua yang terjadi atas dirinya
juga ayah serta para pengawalnya.
"Entah mengapa, mereka sepertinya
tidak bermaksud membunuhku," tutur Mei Lie setelah menceritakan semua kejadian
yang menimpa mereka.
"Jadi, mayat-mayat yang kemarin kutemui, adalah mayat para pengawal kapal ayah
Nona?" tanya Sena berusaha memastikan.
"Tidak semuanya. Pengawal kami hanya sepuluh orang. Selebihnya adalah begundal
orang yang kudengar bernama Segoro Wedi," jawab Mei Lie menegaskan, membuat mata
pemuda itu membelalak mendengar nama Segoro Wedi kembali diucapkan oleh
seseorang sebagai simbol kejahatan dan kekejaman.
Ingatan pemuda tampan yang tingkah lakunya seperti orang gila itu seketika
kembali ke masa sepuluh tahun silam. Saat ayah dan ibunya dikeroyok oleh Segoro
Wedi dan begundalnya. Dia sudah
mendatangi desa di tempat dia dilahirkan.
Di sana telah didapatnya berita kalau ayah dan ibunya mati di tangan Segoro
Wedi. "Jahanam! Orang itu benar-benar jahanam!" dengus Sena seraya mengepalkan
tinjunya. Tapi secepat itu pula, pemuda itu tersenyum-senyum seraya menggelenggelengkan kepala. "Ah, sayang guru melarangku untuk mendendam. Kalau saja
tidak...."
Sena tidak meneruskan kata-katanya,
tapi kembali mulutnya bertanya pada Mei Lie.
"Nona, kulihat tadi kau dan ayahmu berlari-lari. Kenapa?"
Setelah menyeka air matanya, Mei
Lie kembali bercerita sewaktu dia dan ayahnya berlari meninggalkan kapal.
Setelah seharian berlari, akhirnya mereka berhenti untuk istirahat. Tetapi
rupanya Segoro Wedi dan ketiga temannya yang masih hidup terus berusaha memburu.
Hingga akhirnya Segoro Wedi dan
begundalnya menemukan mereka. Kejar-mengejar kembali terjadi.
"Seorang di antara mereka
melemparkan pisau beracun ke arah ayahku, hingga Ayah mengalami kematian," isak
gadis itu tak terbendung, setelah menceritakan semua kejadian yang menimpa
dirinya dan ayahnya.
"He he he.... Jadi Segoro Wedi ikut mengejar?" tanya Sena sambil menggaruk-garuk
kepalanya. Mei Lie mengangguk perlahan. Isak tangisnya masih saja bersambung. Gadis itu
benar-benar hancur hatinya, karena ayahnya telah mati di tangan Segoro Wedi
*** "Mau lari ke mana, Manis" Bukankah lebih baik kau menuruti keinginanku untuk
menjadi istriku.... Ha ha ha...!"
Tiba-tiba terdengar suara keras
dari arah hutan yang membuat Mei Lie tersentak. Seketika tubuhnya menggigil
ketakutan setelah mengenali suara itu.
Gadis Cina itu hendak pergi meninggalkan Sena, tapi dengan cepat pemuda itu
mencegahnya. "Tak usah lari, Nona...."
"Kenapa" Apakah kau teman mereka?"
tanya Mei Lie semakin ketakutan. Matanya memandang tajam ke wajah pemuda yang
masih tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala itu.
"Bukan, aku bukan teman mereka,"
sahut Sena. "Lalu, kenapa kau melarangku lari?"
tanya Mei Lie kembali dengan kecemasan terlintas di wajahnya. Apalagi ketika
matanya melihat empat orang keluar dari dalam hutan. Seorang di antaranya adalah
lelaki setengah baya dengan harpa bertengger di punggungnya. Bibirnya
menyeringai, membuat gadis Cina itu semakin ketakutan. Seluruh badannya makin
gemetaran. Mei Lie berusaha melepaskan tangan Sena yang masih menahannya agar tidak pergi.
"Lepaskan tanganku. Tolonglah...!"
pinta gadis itu semakin bertambah ketakutan, sebab orang-orang yang
mengejarnya kini semakin mendekat. Tetapi pemuda itu malah cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala seperti orang gila.
"Tenanglah, Nona. Ketenangan akan membuat semua masalah beres. He he he...!"
usai berkata begitu, Sena kembali cengengesan.
Mei Lie akhirnya mau menuruti
nasihat Sena. Sementara pemuda itu memandang keempat orang yang menatap mereka
dengan angkuh dan tajam. Detak jantung Sena terhenti sesaat dan matanya
terbelelak lebar manakala melihat lelaki angkuh berjubah merah dengan harpa di
punggungnya. Ingatan pemuda tampan berompi kulit ular itu kembali melayang ke masa sepuluh
tahun silam, bagaimana lelaki yang kini melangkah ke arahnya berusaha memerkosa
ibunya. Inikah Segoro Wedi" Tanya Sena dalam hati seraya memandang tajam lelaki
yang masih terlihat tampan itu.
Satu persatu, ditatapnya keempat
orang itu. Tiga orang telah dikenalnya.
Merekalah yang dulu telah menghancurkan keluarganya. Tapi wanita muda dan cantik
itu, tidak dikenalinya.
"Anak muda, berikan gadis itu padaku! Lalu cepatlah minggat dari hadapanku!"
bentak Segoro Wedi, menyentakkan pemuda yang masih
memandangnya. Sena tertawa nyaring. Kemudian
tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Ah, kurasa aku tidak bisa
mengabulkan permintaanmu, sebelum aku tahu apakah gadis ini mau atau tidak jika
kau ajak. Bagaimana, Nona" Apakah kau mau ikut dengannya?"
Tidak! Aku tak sudi menjadi istri pembunuh ayahku!" sentak Mei Lie dengan mata
terbakar dendam, memandang liar ke arah Segoro Wedi.
Sena kembali tertawa riuh,
tangannya menggaruk-garuk kepala. Tingkah laku pemuda itu seketika menyentakkan
keempat orang di depannya. Mereka
bertanya-tanya dalam hati, inikah pemuda gila yang dimaksudkan Wangsana"
"Anak muda, jangan berlaku kurang ajar di hadapanku! Cepat serahkan gadis itu
padaku, atau terpaksa kami
menghajarmu!"
"Ha ha ha...! Lucu sekali kau, Orang Tua! Tak ada angin, tak ada hujan.
Mengapa kau mau menghajarku" Ah, aneh....
Aneh sekali," ejek pemuda itu diiringi tawa terbahak. "Mengapa orang masih saja
suka memaksakan kehendak?"
Tanpa menghiraukan semua orang yang ada di situ, Sena berdendang menyanyikan
sebuah syair lagi. Syair itu menceritakan tentang sebuah kejadian sepuluh tahun
yang silam, di mana sepasang pendekar suami istri dan keluarganya menjadi korban
dari sifat tamak dan keji orang yang selalu berusaha memaksakan kehen-daknya.
"Bocah edan! Apa maksud syair yang kau nyanyikan itu, hah"!" bentak Segoro Wedi
yang terkejut mendengar syair itu.
Sena menghentikan nyanyiannya.
Wajahnya ditengadahkan memandang ke langit yang biru, kemudian dia tertawa
sambil menggaruk-garuk kepala. Tingkah lakunya itu membuat Segoro Wedi
mengerutkan kening. Dia teringat akan seorang pendekar sakti yang selama hidup
belum ada yang mampu menandingi ilmu-ilmu yang dimilikinya. Tapi pendekar itu
hilang puluhan tahun yang silam. Kemudian muncul seorang yang mirip dengan
pendekar itu, bernama Singo Edan.
Tidak mungkin! Singo Edan pun telah hilang dari dunia persilatan. Lalu, ada
hubungan apakah pemuda ini dengan kedua orang itu" Tanya hati Segoro Wedi,
mencoba menerka-nerka siapa sesungguhnya pemuda gila di hadapannya.
"Orang tua, bukannya aku tak tahu apa maksud syair yang baru saja
kudendangkan tadi, tapi tentunya kau dan kedua temanmu sudah mengerti," jawab
Sena dengan tenang. Bibirnya masih
cengengesan. Jawaban itu membuat Segoro
Wedi dan kedua temannya semakin terkejut.
Mereka telah menduga, kalau syair itu memang ditujukan kepada mereka.
"Bocah edan! Cepat katakan, siapa kau sebenarnya"!" bentak Segoro Wedi gusar,
merasa dipermainkan oleh pemuda sinting yang dianggapnya masih bau kencur dan
tidak memiliki apa-apa.
Sena yang mendapat julukan Pendekar Gila sesaat memandang Mei Lie, lalu beralih
menatap Segoro Wedi dengan tatapan tajam.
"Orang tua, sesungguhnya kau yang telah banyak makan asam garam kehidupan, sudah
tahu siapa aku. Tapi baiklah, kuberi tahu siapa aku sebenarnya. Pasang telinga
kalian baik-baik. Aku bocah kecil yang kedua orangtuanya kalian bantai.
Ayahku bernama Citra Yuda, kakak
seperguruanmu...."
Sesaat Sena menghentikan ucapannya, memandang lekat wajah Segoro Wedi yang
berubah terkejut. Pemuda itu terkekeh, seakan perubahan wajah Segoro Wedi
merupakan hal lucu yang tak mampu menahan tawanya.
"Ibuku bernama Dewi Rukmini.
Seorang wanita yang setia pada suaminya.
Dan karena cinta butamu, kau berusaha memperkosa ibuku. Nah! Cukup jelas,
bukan?" Merah padam wajah Segoro Wedi
dilanda amarah. Kini tak ada waktu lagi untuk membiarkan pemuda gila itu hidup.
Pemuda itu akan senantiasa menjadi duri dalam setiap sepak terjangnya. Dengan
mendengus sengit Segoro Wedi berseru memerintahkan pada ketiga rekannya untuk
menyerang. "Bunuh pemuda sinting itu...!"
Tanpa diperintah dua kali, ketiga pengikutnya segera menyerang pemuda gila yang
masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala menyaksikan tiga orang menerjang
ke arahnya. "Bocah edan! Terimalah kematianmu!
Heaaa...!"
Pedang Akhirat yang sudah tahu
siapa pemuda yang menjadi lawannya, kini tidak tanggung-tanggung menyerang.
Niatnya untuk menghabisi nyawa pemuda itu menggebu. Bagaimanapun juga, dia
adalah seorang yang turut terlibat pembantaian kedua orang tua pemuda itu.
Pedang di tangannya bergerak cepat, menusuk ke ulu hati lawan.
Sena Manggala yang diberi julukan Pendekar Gila tersentak kaget mendapatkan
serangan yang cepat dan tiba-tiba. Hampir saja pedang itu menghunjam di ulu
hatinya, kalau saja pemuda itu tidak segera sadar dan menggeser kakinya ke
belakang. Kemudian tubuhnya disorongkan ke kiri, mengelakkan hantaman senjata di
tangan Kelangit Sepuh.
Pendekar Gila 1 Seruling Naga Sakti di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Serangan mereka dapat dielakkan
Pendekar Gila yang dengan cepat bergerak ke arah semula. Disusul satu gerakan
aneh yang kelihatannya sangat lemah gemulai, mirip gerakan orang gila yang
sedang menari sambil sesekali menepukkan tangan.
Itulah jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat', salah satu dari jurus 'Ilmu Silat
Si Gila'. Ketiga orang lawannya terkejut
menyaksikan jurus aneh yang dilakukan pemuda itu. Mereka menyangka jurus
tersebut sangat lemah, terbukti dari gerakan-gerakannya yang terlihat sangat
lamban dan lowong.
Pedang Akhirat kembali merangsek
dengan tusukan pedang dan pukulan tangan kiri ke arah lawan. Tapi kali ini dia
harus membuka mata lebar-lebar, serta menarik kedua serangannya dengan cepat
kalau tidak ingin celaka. Ketika pedang di tangan kanan Pedang Akhirat menusuk
yang disusul oleh pukulan tangan kirinya tadi, rupanya pemuda itu membabatkan
kedua tangannya pada dada Pedang Akhirat Gemulai sekali gerakan kedua kaki dan
tangan pemuda itu, membuat Pedang Akhirat berusaha kembali merangseknya.
Tapi gerakan yang nampaknya lamban itu justru mengandung kekuatan yang kuat.
Dari angin pukulannya saja, sudah dapat
diketahui bagaimana dahsyatnya gerakan itu. Itu pun belum seberapa, ada yang
lebih mengejutkan Pedang Akhirat ketika telapak tangan pemuda itu menepuk.
"Celaka...! Jurus gila...!" pekik Pedang Akhirat kaget, Dia segera melompat ke
belakang untuk menarik tangannya. Tapi justru dengan menarik serangan itu,
dirinya kini balik diserang.
Sena masih menggerakkan kedua
tangannya seperti menari dengan lemah gemulai. Sesekali tangannya menepuk
bagaikan memburu lalat. Kedua kakinya pun turut bergerak, melangkah dengan
teratur. Pedang Akhirat benar-benar terkejut dibuatnya. Segenap tenaganya telah
dikerahkan untuk mengelitkan serangan itu. Tapi entah bagaimana caranya, tibatiba tangan pemuda itu telah berada persis di depannya. Hampir saja dadanya
terhajar kibasan punggung tangan itu.
"Uts...! Keparat! Pemuda gila ini benar-benar bukan pemuda sembarangan,"
maki Pedang Akhirat sambil terus bergerak mengelakkan serangan lawan yang datang
secara aneh dan susul-menyusul bagaikan tiada henti. Dia makin tidak mengerti,
bagaimana mungkin gerakan yang terlihat lamban itu bisa mengejar tubuhnya yang
telah mengerahkan seluruh ilmu peringan tubuh untuk menghindar"
Kedua orang temannya pun seperti
terpaku dengan jurus-jurus yang
dilancarkan pemuda itu. Keduanya terpana dan hanya menjadi penonton. Sedangkan
Segoro Wedi telah hilang entah ke mana bersama gadis Cina yang telah ditotoknya.
Sambil menyerang dengan jurus-jurus
'Si Gila Menari Menepuk Lalat', Sena melirik ke tempat Mei Lie berada. Dia
terkejut ketika tak melihat gadis itu, begitu juga Segoro Wedi. Pikirannya
buyar, hingga dia menjadi lengah.
Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Pedang Akhirat yang segera menendang ke
arah dagu lawan.
Deggg! "Akh...!" Sena mengeluh tertahan.
Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang, dan dari sela bibirnya mengalir darah
segar. Pendekar Gila meringis, kemudian menyeka darah di sela bibirnya dan
diludahkan ke tanah.
Merasa telah dapat menyarangkan
sebuah tendangan ke dagu lawan, Pedang Akhirat kembali berkelebat menyerang
sebelum pemuda itu sempat menguasai
keseimbangannya. Sebuah tendangan, pukulan, serta tusukan pedang mengancam jiwa
Pendekar Gila. "Mampuslah kau, Bocah Edan!
Heaaa...!" Sena tersentak kaget ketika ujung pedang semakin dekat ke ulu
hatinya. Cepat-cepat kakinya digeser ke
samping untuk mengelitkan tusukan itu sambil melancarkan tepukan ke arah kening
lawan. Tusukan Pedang Akhirat dapat
dielakkan, tapi pukulan dan tendangan itu telak menghantam dada dan perutnya,
bersamaan dengan tepukan tangannya yang mendarat di kening Pedang Akhirat
"Ukh...!"
Tubuh Sena kembali terhuyung-huyung ke belakang. Darah segar makin banyak keluar
dari mulutnya. Kedua tangannya memegangi dada dan perutnya yang agak sakit.
Sedangkan mulutnya yang basah oleh darah, meringis-ringis dengan napas terasa
agak sesak. Sementara apa yang dialami oleh
Pedang Akhirat jauh lebih parah. Akibat tepukan tangan Pendekar Gila, kening
Pedang Akhirat hancur dengan memuncratkan darah. Matanya melotot mengerikan.
Melihat temannya mati, Kelangit
Sepuh yang juga terlibat pembunuhan kedua orang tua pemuda itu berusaha
menyerang, selagi pemuda itu masih dalam keadaan luka dalam.
Benda bulat berduri kini mendesing di atas kepala Sena. Dan sambil menahan rasa
sakit, kakinya digeser agak
mendatar, kemudian mendoyongkan tubuhnya ke samping kanan.
Benda bulat berduri itu lalu
menghantam ruang kosong. Pemuda tampan itu dengan masih menahan rasa sakit,
kembali bergerak mengelitkan serangan susulan benda bulat berduri yang berada di
tangan Kelangit Sepuh. Benda itu terus mencecarnya, seperti tidak memberi
kesempatan padanya untuk mengatur napas.
"Pecah batok kepalamu, Bocah Gila...!" bentak Kelangit Sepuh sambil menyerang
kembali dengan senjata mautnya.
Bola baja berduri itu sekali lagi mengancam kepala Sena. Dan, kalau tidak dapat
dielakkan, pasti kepalanya akan hancur. Meski pemuda itu merasakan rasa sakit
yang tak terkira di dada dan perutnya, dia tetap berusaha bertahan dari serangan
lawan. Singgg...! Senjata lawan menderu ke arah
Pendekar Gila. Sesaat lagi, pasti batok kepalanya akan remuk dihantam rantai
berduri milik lawan. Dalam keadaan kritis, pemuda itu mencabut Suling Naga Sakti
dari ikat pinggangnya. Kemudian ditebaskannya suling itu ke atas dengan
mengerahkan sisa tenaga dalamnya yang dilapisi Racun Kabut Ungu.
"Heaaa...!"
Trang! Percikan bunga api keluar ketika
dua senjata itu beradu.
Pendekar Gila terpental, jatuh
terduduk dengan darah meleleh dari sela-sela bibirnya. Sedangkan mata Kelangit
Sepuh melotot tegang ke arahnya. Dari mulutnya keluar kata terputus-putus.
"Kau.... Kau Pendekar Gila.... Kau pemilik Racun..., Ka...."
Belum usai ucapannya, tubuh
Kelangit Sepuh telah terjungkal setelah mengeluarkan darah kehitaman. Sesaat dia
mengerang, kemudian mati dengan tubuh biru!
Nyi Bangil terlonjak ke belakang dengan mata melotot tegang. Tatapannya ngeri,
menyaksikan betapa dahsyatnya tenaga dalam pemuda gila itu. Tanpa sadar,
mulutnya mendesiskan julukan pemuda itu.
"Pendekar Gila..."! Pendekar Gila dari Gua Setan...!"
10 Nyi Bangil menghampiri pemuda
tampan berbaju rompi kulit ular yang tengah duduk bersila. Kelihatannya pemuda
itu tengah berusaha menyembuhkan luka dalamnya akibat tendangan dan pukulan
Pedang Akhirat. Dari tubuhnya mengepul asap berwarna ungu, menjadikan Nyi Bangil
terkejut dan melompat mundur. Matanya membelalak, dan dari mulutnya keluar
desisan. "Racun Kabut Ungu...! Hei, dari mana pemuda gila ini mendapatkan racun langka
itu?" Nyi Bangil masih tertegun, setelah melangkah untuk menjauh. Dia tahu, apa-apa
yang baru saja keluar dari tubuh pemuda itu. Kalau orang biasa, sudah barang
tentu akan lumpuh dan mati. Tapi pemuda itu justru mampu mengatur racun ganas
itu di dalam tubuhnya, sehingga bisa digunakan untuk menyembuhkan luka dalam.
Pendekar Gila membuka matanya
perlahan setelah tubuhnya dirasakan pulih kembali. Matanya memandang tajam pada
Nyi Bangil yang mendadak ketakutan.
"Aku telah siap melayanimu
bertarung, Nyi..." tantangnya dingin.
Semakin menjadikan Nyi Bangil menggigil ketakutan. Bagaimanapun juga, dia telah
melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kehebatan ilmu pemuda gila yang
diyakininya sebagai pewaris tunggal Ilmu Singo Edan.
"Ti..., tidak. Ampunilah aku.
Sungguh bukan maksudku untuk ikut komplotan Segoro Wedi. Aku sangat mengharap
pertolongan darimu, Tuan Pendekar...," desis Nyi Bangil lirih.
Nyi Bangil terdiam sesat, matanya memandang wajah pemuda yang tampan itu tanpa
berkedip, menyebabkan hati wanita
itu tiba-tiba bergetar. Kemudian, napasnya dihela dengan tarikan berat
"Dugaanku tentang dirimu pasti benar!"
"Hm, dugaan apa?" gumam Sena. "Apa yang kau lihat?"
"Dilihat dari jurus-jurus yang kau lakukan, serta asap ungu yang keluar dari
tubuhmu, aku tak sangsi lagi kalau kaulah pewaris ilmu si Gila. Sungguh
beruntung kau menjadi pewaris ilmu langka itu.
Untuk itulah, kumohon pertolonganmu.
Bukan hanya untukku, tapi juga untuk seluruh rakyat yang sangat mengharapkan
pertolonganmu."
"Aku masih tidak mengerti, Nyi,"
sahut Sena seraya berdiri dari silanya.
"Kau harus mengerti. Sebagai seorang pendekar, apalagi sebagai pewaris ilmu si
Gila, kau harus mengerti
penderitaan orang yang selama ini dalam cengkeraman Segoro Wedi," tutur Nyi
Bangil menegaskan.
"Hm, itukah yang kau inginkan?"
"Bukan hanya aku, tapi banyak orang," tegas Nyi Bangil.
Sena mengerutkan kening, kemudian muncul lagi tingkah gilanya. Tangannya
menggaruk-garuk kepalanya, lalu terdengar gelak tawanya yang membahana.
"Ah, benar juga apa yang kau katakan, Nyi. Memang selama Segoro Wedi masih
hidup, wilayah kadipaten ini tak
akan aman. Hm, baiklah. Aku akan
membantumu."
"Kalau begitu, cepat kita
menyusulnya!" ajak Nyi Bangil yang kemudian lari menuju ke arah utara, diikuti
oleh Sena. *** Segoro Wedi baru saja hendak
melepaskan pakaiannya untuk menggeluti Mei Lie yang masih tak berdaya dalam
pengaruh totokan, ketika terdengar suara gelak tawa menggelegar disusul oleh
teriakan keras.
"Segoro Wedi, aku datang untuk menagih hutang padamu!"
Segoro Wedi yang merasa hasratnya terganggu, seketika menjadi marah.
Pakaiannya kembali dikenakan. Kemudian dengan membawa harpa di pundaknya, Segoro
Wedi keluar untuk melihat siapa yang berani berkoar di tempatnya.
Kening Segoro Wedi mengerut ketika tahu siapa yang datang. Dilihatnya seorang
pemuda berompi kulit ular yang tingkah lakunya seperti orang gila.
Tetapi bukan pemuda gila itu yang membuat keningnya berkerut melainkan wanita
cantik yang datang bersamanya.
"Kau..."! Rupanya kau telah
berkhianat, Bangil! Jangan salahkan aku
kalau tubuhmu akan kuhancurkan!?" dengus Segoro Wedi marah melihat Nyi Bangil
berkomplot dengan pemuda gila itu.
"Segoro Wedi, dari dulu aku memang menunggu saat-saat seperti ini! Aku memang
mencintaimu, meski kutahu kaulah pembunuh kedua orangtuaku," tutur Nyi Bangil.
"Tapi kau benar-benar iblis berbentuk manusia! Cintaku yang tulus, malah kau
permainkan. Kau jadikan aku budak nafsumu. Kini, terimalah
kematianmu!"
Segoro Wedi tergelak-gelak mendengar ancaman Nyi Bangil. Dia masih menganggap enteng pemuda berkelakuan gila
yang bersama Nyi Bangil.
"Rupanya kalian datang untuk mengantar nyawa. Baiklah, jika itu yang kalian
minta. Tapi sebelum itu, aku ingin tanya pada pemuda gila di sampingmu itu...,"
ujar Segoro Wedi seraya menunjuk Sena. "Anak muda, tingkah lakumu mengingatkan
aku pada Pendekar Gila dan muridnya yang bernama Singo Edan. Ada hubungan apa
kau dengan mereka?"
Sena Manggala tertawa riuh sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Dengar, Segoro Wedi! Aku adalah murid tunggal Singo Edan, yang berarti cucu
murid Si Gila dari Gua Setan!"
Segoro Wedi terkejut mendengar
penuturan pemuda gila yang mengatakan
pewaris tunggal ilmu silat Gila dari Gua Setan. Tapi hatinya yang sudah diliputi
kepongahan tak mau peduli dengan
semuanya. "Anak muda, aku tak peduli kau cucu murid Si Gila dari Gua Setan! Aku Segoro
Wedi, penguasa rimba persilatan tak akan takut menghadapimu! Bersiaplah kalian
untuk mampus. Heaaa...!"
Tubuh Segoro Wedi melesat menyerang dengan harpanya ke arah Pendekar Gila dan
Nyi Bangil. Harpa di tangannya seketika menjadi sebuah senjata yang sangat
dahsyat dan membahayakan. Sehingga memaksa keduanya melompat untuk
mengelakkan serangan itu.
Nyi Bangil yang sudah tak sabar
lagi untuk menghabisi manusia keji itu segera mencabut pedangnya. Kemudian
dengan cepat menyerang ke arah Segoro Wedi.
"Hiaaat..!"
Melihat serangan pedang Nyi Bangil menuju ke arahnya, cepat Segoro Wedi
menggeser kakinya ke samping. Kemudian dengan memiringkan tubuh, tangannya yang
memegang harpa menderu ke arah lawan.
Serangan Nyi Bangil dapat
dielakkan, malah harpa di tangannya menghantam punggung wanita cantik yang
selama ini menjadi pelampiasan nafsunya.
Wanita itu memekik, dan tubuhnya
terpelanting ke depan, kemudian jatuh dengan muka mencium tanah.
Melihat Nyi Bangil jatuh, Pendekar Gila dengan geram melenting untuk menyerang.
Jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' dikeluarkannya, membuat tubuhnya meliukliuk laksana menari dengan tangan sesekali menepuk ke arah lawan.
Gerakannya kelihatan lamban dan lemah gemulai, membuat Segoro Wedi menganggap
enteng. Segoro Wedi segera menyabetkan
harpa di tangannya ke arah lawan. Dia menyangka gerakan Pendekar Gila yang
lamban dan lemah itu tak akan mampu mengelakkan sabetan harpanya. Tapi betapa
terkejut hatinya ketika menyaksikan apa yang terjadi
Pemuda berkelakuan seperti orang
gila yang mengaku sebagai pewaris ilmu Si Gila dari Gua Setan dan menurut
dugaannya tak akan mampu mengelakkan serangannya, ternyata justru sebaliknya.
Meski gerakan pemuda itu kelihatan lamban dan lemah, namun justru dengan
mudahnya mengelak.
Hanya dengan menggeser kaki ke samping dan melenturkan tubuh dengan membungkuk
dan mendongak, semua serangan lawan dapat dielakkannya. Bahkan kini tepukan
pemuda itu mengejutkan Segoro Wedi.
Plak! Hampir saja Segoro Wedi dapat
ditepuk oleh tangan pemuda itu, kalau tubuhnya tidak segera melompat ke
belakang. Tidak alang kepalang kagetnya Segoro Wedi ketika tiba-tiba tangan
pemuda yang seperti menari itu telah dekat ke arahnya. Padahal dia telah
menguras ilmu meringankan tubuh, namun tetap saja pemuda itu mampu mengejarnya.
"Jurus gila...!" pekik Segoro Wedi, kecut menyaksikan jurus aneh yang
dikeluarkan pemuda itu. Tapi sebagai orang yang telah banyak pengalaman, Segoro
Wedi tidak mau mengalah begitu saja. Segera tubuhnya melenting untuk mengelakkan
serangan Sena, kemudian dengan cepat dibukanya jurus andalan yang dinamakan
'Cakar Seribu Iblis'
Pendekar Gila 1 Seruling Naga Sakti di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tangan Segoro Wedi seketika berubah menjadi banyak karena cepatnya. Tangan
dengan jemari membentuk cakar itu, kini mencabik ke arah Pendekar Gila. Ke mana
pemuda itu bergerak, tangan Segoro Wedi terus mencecarnya dengan cakaran-cakaran
maut "Hiaaat..!"
Tangan itu terus bergerak dengan cepat, mencakar atau mencengkeram ke arah
Pendekar Gila yang hanya mengelak dan melompat. Belum juga pemuda itu bisa
melepaskan diri dari serangan gencar
'Cakar Seribu Iblis', Segoro Wedi telah menambah serangannya dengan pukulan maut
yang dinamakan 'Pukulan Pasir Baja'.
Pukulan itu semakin merepotkan Pendekar Gila yang belum berpengalaman dalam
rimba persilatan.
Beberapa kali Pendekar Gila harus berjumpalitan untuk mengelakkan seranganserangan maut yang dilancarkan Segoro Wedi. Nampaknya Segoro Wedi tidak mau
memberikan waktu barang sekejap untuk bernapas. Dia terus mencecar pemuda itu
dengan pukulan dan jurus mautnya.
"Gawat..! Kalau terus begini, bisa-bisa aku mampus!" gumam Sena perlahan.
Tubuhnya terus bersalto mengelakkan serangan gencar lawan. Sekali saja dia
lengah, berarti kematian baginya.
"Mampuslah kau, Pemuda Gila!
Tamatlah riwayatmu.... Ha ha ha...!"
Segoro Wedi kian bertambah congkak dan pongah menyaksikan lawannya hanya mampu
bersalto mengelitkan serangan-serangannya. Dia semakin gencar
menyerang, menguras tenaganya.
Pendekar Gila terus berpikir sambil menggaruk-garuk kepalanya. Ah, kenapa aku
tidak mencoba menggunakan jurus 'Si Gila Membelah Awan'" Pikir Pendekar Gila.
Kemudian setelah melakukan salto
mengelakkan serangan lawan, pemuda itu mengeluarkan jurus 'Si Gila Membelah
Awan'. Tangan dan kakinya dipentang lebar-lebar. Kemudian napasnya ditarik
dalam-dalam. Dan setelah itu, secara bersamaan kedua tangannya bergerak seperti
membelah dan kakinya menendang-nendang sesuatu.
"Hiaaat..!"
Wesss...! Segoro Wedi tersentak kaget,
melihat serangannya dapat dikandaskan oleh jurus yang dilakukan oleh lawannya.
Kini giliran pemuda itu mencecarnya dengan jurus 'Si Gila Membelah Awan', sebuah
jurus yang dahsyat. Setiap sabetan tangan-tangan yang bergerak membelah,
menimbulkan desingan angin yang dahsyat
"Edan! Rupanya dia benar-benar Pendekar Gila dari Gua Setan! Semua jurus yang
dilakukannya adalah jurus-jurus dari
'Ilmu Silat Si Gila'!" pekik Segoro Wedi kaget sambil terus mengelakkan
serangan-serangan Pendekar Gila yang dahsyat namun terlihat lamban.
Segoro Wedi berkelit, mencoba
mengelakkan sabetan tangan dan jejakan kaki Pendekar Gila. Tapi malang ternyata
gerakan yang dilakukan Pendekar Gila tadi hanya sebuah jebakan. Selanjutnya
serangan-serangannya tak dapat dielakkan lagi.
Deggg! Kaki Pendekar Gila mendepak
punggung Segoro Wedi sangat keras, sampai-sampai tubuhnya terhuyung ke depan
hingga tersuruk mencium tanah.
Pendekar Gila tergelak-gelak sambil menggaruk-garuk kepalanya. Dibiarkannya
Segoro Wedi merutuk dan mencaci maki sambil berusaha bangun. Dia terus tertawa,
berjingkrak-jingkrak seperti monyet gila.
"Bangsat! Jangan kira aku akan kalah olehmu, Pendekar Gila! Meski ilmu gilamu
memang hebat, tapi aku tak akan kalah. Terimalah ini...!"
Segoro Wedi segera menggerakkan
jemarinya untuk memetik senar harpa.
Seketika alunan harpa terdengar. Suara itu melengking tinggi, membuat gendang
telinga bagaikan hendak pecah.
Pendekar Gila tersentak, segera
tenaga dalamnya dikerahkan untuk
membendung suara dentingan senar harpa yang memekakkan. Tapi, ternyata suara itu
jauh lebih kuat menyerang telinganya.
"Ohhhh...," keluh Sena.
Seketika lututnya teras lemas dan perlahan-lahan tubuhnya semakin merendah dan
kian rendah. Dan kini dia berlutut dengan kedua tangan masih menutup telinganya
yang semakin terasa sakit
"Ha ha ha...!"
Mendadak Sena melepas tawa keras
menggeledek. Suara tawanya amat dahsyat, hingga mampu merontokkan daun pohon
sekitar arena pertarungan. Tapi tetap
saja desakan suara harpa masih
dirasakannya. Tubuh Sena menggigil, menahan rasa sakit yang tiada terkira. Semakin dia mencoba
mengerahkan hawa murni dan tenaga dalam, kian terasa sengatan suara itu.
Saat tubuhnya masih terduduk, dicobanya untuk memusatkan pikiran. Dicobanya
terus untuk bertahan dari serangan suara harpa.
Dalam keadaan seperti itu, tibatiba Pendekar Gila teringat pada Suling Naga Sakti pemberian Eyang Singo Edan
yang ada di pinggangnya. Seketika suling itu dicabut dari pinggangnya, kemudian
ditiupnya. Suara Suling Naga Sakti yang ditiup oleh Pendekar Gila mengalun lembut.
Semakin lama semakin bertambah kencang melengking. Suara suling itu terus
mendesak suara harpa yang tak juga mau kalah.
Glarrr! Terdengar ledakan menggelegar,
ketika dua kekuatan saling beradu.
Sedangkan kedua orang yang tengah bertarung itu sama-sama terpental. Segoro Wedi
terpental tiga tombak ke belakang dengan darah meleleh di sela bibirnya.
Sedangkan Pendekar Gila tersurut dua tindak dalam keadaan tetap bersila.
"Uhk..., uhk.... Kau hebat,
Pendekar Gila! Tapi aku belum mau kalah.
Terimalah seranganku. Heaaat..!"
Tubuh Segoro Wedi melesat bagaikan terbang. Harpa di tangannya kini siap
menghantam lawan.
Pendekar Gila tak mau tinggal diam.
Dia pun melesat dengan Suling Naga Saktinya.
"Heaaa...!"
Dua orang berilmu tinggi, kini
sama-sama melesat laksana terbang. Dua senjata di tangan mereka siap untuk
menentukan siapa yang lebih hebat.
Sedangkan tangan kiri mereka yang kosong, telah siap melakukan serangan pukulan
sakti masing-masing. Pendekar Gila dengan
'Pukulan Inti Bayu'nya. Sedangkan Segoro Wedi kembali mengeluarkan 'Pukulan
Pasir Baja'nya. Serangkum angin menderu keluar dari tangan Pendekar Gila.
Sedangkan selarik sinar seperti jutaan pasir keluar dari tangan Segoro Wedi.
"Heaaa...!"
Dua senjata di tangan mereka, dan pukulan sakti di tangan kiri masing-masing
siap beradu. Dan....
Trak! Desss! "Hiaaat..!"
Trak! Desss! 'Pukulan Pasir Baja' yang
dilontarkan Segoro Wedi tersapu oleh
'Pukulan Inti Bayu' yang dilontarkan
Pendekar Gila. Tubuh Segoro Wedi bahkan turut terpental dan melayang bagai tanpa
bobot, diikuti pekikan menyayat.
Sementara harpa yang menjadi senjata andalannya nampak hancur berantakan, tak
mampu menandingi Suling Naga Sakti.
Saat tubuh Segoro Wedi melayang,
dengan cepat Nyi Bangil segera berlari menyongsongnya. Pedang di tangan wanita
cantik itu berkelebat cepat
"Hiyaaa...!"
Desss! "Aaa...!"
Lengkingan kematian terdengar,
bersamaan dengan ambruknya tubuh Segoro Wedi tanpa nyawa. Tubuhnya hancur
terbabat pedang Nyi Bangil yang kini justru menangisi kematiannya. Kematian
orang yang dicintai, sekaligus
dibencinya. Pendekar Gila tertegun sesaat
menyaksikan kejadian itu. Kemudian dia melesat ke kediaman Segoro Wedi untuk
mencari Mei Lie.
"Nona Mei Lie.... Di manakah kau...?"
"Koko.... Aku di sini," terdengar jawaban dari kamar yang tertutup.
Pendekar Gila segera menuju kamar itu. Alangkah terkejutnya dia ketika membuka
pintu kamar tersebut Matanya membelalak, memandang tubuh Mei Lie yang
terkulai polos tanpa sehelai benang pun.
"Koko...," desis Mei Lie agak tersipu-sipu.
Sena segera bergerak cepat.
Dibukanya totokan pada tubuh gadis cantik itu.
"Koko.... Oh! Terima kasih,
Koko...," desah Mei Lie seraya memeluk tubuh Sena dalam keadaan masih polos. Hal
itu membuat Sena salah tingkah.
"Kenapa, Koko. Kau tak suka jika aku senang?" tanya Mei Lie yang melihat Sena
kebingungan. "Bukan begitu, Nona Mei
Lie. Tapi...." "Tapi apa" Katakanlah, Koko...?"
desak Mei Lie dengan tatapan mata penuh harap. Ada detak aneh yang berdentang
dalam dadanya kalau matanya beradu pandang dengan pemuda tampan itu.
"Aku senang jika kau senang, Nona...."
"Jangan panggil aku nona. Panggil saja namaku..."
"Baiklah, Mei.,.. Kenakan lah pakaianmu dulu," kata Sena sambil cengengesan dan
menggaruk-garuk
kepalanya. Mendengar ucapan itu, Mei Lie
langsung menyadari keadaannya yang tidak berpakaian. Kemudian, tubuhnya
membungkuk untuk mengambil pakaiannya yang
tergeletak di bawah ranjang. Dan dengan tergesa-gesa, setelah membalikkan tubuh,
dia mengenakan kembali pakaiannya. Tapi ketika telah selesai dan membalikkan
tubuh kembali, Sena telah tiada.
"Koko...!"
Mei Lie lari ke luar. Namun tetap saja dia tidak menemukan pemuda tampan yang
tingkah lakunya seperti orang gila itu. Dia hanya menemukan sebaris tulisan Aku
tak bisa membawamu, Mei Lie.
Pengembaraanku tak menentu.
Si Gila. "Koko.... Tak tahukah kau akan isi hatiku?" tangis Mei Lie setelah membaca
tulisan itu, "Terus terang, meski kau gila, aku mencintaimu. Kau telah banyak
menolongku.... Mengapa kau tinggalkan aku?"
Gadis itu masih menangis, ketika
sebuah belaian lembut menyentuh
rambutnya. Mei Lie menengok, dan melihat seulas senyum di bibir seorang wanita
cantik yang matanya masih sembab karena habis menangis.
"Sudahlah, Nona.... Jangan kau tangisi kepergiannya. Kalau memang jodohmu, kelak
kalian akan bertemu,"
hibur Nyi Bangil.
"Kuharap begitu, Cici...," desah
Mei Lie hampir tak terdengar.
Kemudian Nyi Bangil membimbing Mei Lie meninggalkan tempat itu yang kembali sepi
bagaikan mati. Nah, bagaimanakah kisah petualangan Pendekar Gila selanjutnya" Dan, bagaimana
pula kisah perjalanan Mei lie yang sangat mengharapkan cinta Pendekar Gila"
Apakah kelak mereka akan bertemu" Untuk
mengetahui semua ini, silakan para pembaca mengikuti serial Pendekar Gila pada
episode-episode selanjutnya.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Harpa Iblis Jari Sakti 31 Raja Naga 7 Bintang Karya Khu Lung Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama