Pendekar Kembar 13 Tumbal Asmara Buta Bagian 1
1 AROMA daun kering menyatu dengan udara di
sekitar hutan tersebut. Daun-daun kering berwarna
coklat bagai bentangan permadani aneh yang menutupi seluruh tanah di hutan yang terdiri dari pohonpohon cemara liar. Siapa pun yang berjalan melintasi
hutan tersebut akan merasa seperti berjalan di atas
permadani yang empuk, karena daun-daun cemara
kering itu bukan saja banyak, namun Juga bertumpuk-tumpuk. Tidak ada orang yang mau menyapu hutan seluas itu.
Hutan yang sunyi tanpa suara satwa apa pun
kecuali hembusan angin, tiba-tiba digetarkan oleh suara Jeritan seorang lelaki. Suara jeritan seorang lelaki yang menggema itu bagai
merobek lapisan sunyi yang
ada di hutan cemara, mengejutkan sepasang pemuda
kembar yang sedang melintasi hutan tersebut menuju
Gunung Mercapada. Kedua pemuda itu tak lain adalah
Raka Pura dan adiknya: Soka Pura. Keduanya dikenal
sebagai Pendekar Kembar dari Gunung Merana.
Kedua pemuda tampan kembar wajah dan penampilannya yang juga serupa itu kini saling beradu
pandang. Gema suara jeritan itu masih merambah di
tiap batang pohon yang menimbulkan kesan sebagai
jeritan misterius.
"Dari mana arah jeritan itu?"
"Sepertinya dari selatan," jawab Soka sambil melirik ke arah selatan.
"Kurasa bukan dari selatan, tapi dari utara.
Pantulan gema membuat suara itu seperti dari utara."
Soka Pura sentakkan pundak, "Mungkin saja!
Coba periksalah ke utara sana!"
"Mengapa harus aku yang memeriksanya?"
Soka Pura mendekat dan berbisik kepada kakak kembarnya itu.
"Sebab aku melihat seseorang mengintai dari
balik pepohonan arah timur itu!"
Ketika Raka Pura ingin menengok ke timur,
sang adik segera mencegah dengan mencekal pundak
kakaknya. "Jangan menengok ke timur, nanti dia tahu kalau kita sedang bicarakan dirinya!"
"Berapa orang yang mengintai kita"!" bisik Raka Pura. "Tak Jelas. Yang ku tahu
baru satu orang. Tapi kepalanya kelihatan nongol sebentar, lalu masuk lagi
di persembunyian. Seperti seekor kura-kura!"
"Kalau begitu, kau saja yang menengok ke utara, cari tahu jeritan apa dan jeritan siapa yang kita
dengar tadi. Aku akan ke timur, memeriksa siapa yang
mengintai kita."
Soka Pura mendesah tanda tak mau ke utara.
Tapi kakaknya memaksa dengan bahasa isyarat. Mau
tak mau Soka Pura berkelebat ke utara sedangkan kakaknya ke timur. Soka Pura, si Pendekar Kembar
bungsu, bergerak cepat karena menggunakan Jurus
'Jalur Badai' yang mampu mempunyai kecepatan lebih
cepat dari hembusan badai ganas. Wuuuzz...! Dalam
sekejap pun ia sudah mencapai tempat yang jauh dari
tempatnya berhenti tadi.
Dalam hati pemuda tampan berbaju buntung
warna putih, seperti warna celananya itu, menggerutu
sambil bersungut-sungut.
"Sialan! Padahal tadi aku hanya membohongi
Raka, biar dia yang bergerak kemari memeriksa suara
jeritan tadi. Eh... Justru dia yang ingin memeriksa
arah timur. Konyol! Kalau tahu begitu tadi kugunakan
alasan lain biar aku tak disuruh kemari! Bisa saja kupakai alasan sakit perut, atau sedang sakit gigi. Tapi, ah... tak pantas
pendekar gagah kok sakit gigi" Raka
tak mungkin percaya! Tapi kalau...."
Gerutuan batin itu terhenti seketika karena
pandangan mata Soka tiba-tiba menemukan sesosok
tubuh yang tergeletak di seberang langkahnya. Ia buru-buru hampiri sosok tubuh tersebut.
"Ooh..."! Ternyata seorang pemuda sebaya
ku"!" gumam Soka Pura bernada kaget. Ia segera mengamati pemuda berbaju biru itu
dengan memutarinya.
"Astaga! Dia sudah tak bernyawa"! Oh, mengerikan sekali...!" Soka Pura segera mundur dan melen-gos ke arah lain, ia sengaja
berdiri dengan tangan kirinya bersandar pada sebuah pohon, sementara mayat
pemuda berbaju biru berada di sebelah kanannya.
Soka Pura tak tega melihat mayat itu karena
dada si mayat terbelah bagai habis disabet dengan pedang tajam. Darahnya membasah di sekitar dada dan
perut. Bahkan sebagian darah memercik ke wajah
mayat. Keadaannya memang sungguh mengerikan, bisa bikin orang muntah mendadak jika tak terbiasa melihat darah sebanyak itu.
Akhirnya Soka paksakan hati agar tetap tega
memandang mayat tersebut. Karena di tangan mayat
itu tampak sesuatu yang menarik perhatian. Sebilah
keris yang masih berada dalam sarungnya, tergenggam
oleh mayat pemuda berambut ikal itu. Agaknya si korban tak sempat mencabut kerisnya ketika diserang
oleh lawannya. Sesuatu yang menarik pada keris itu adalah
kemewahannya. Sarung keris tersebut terbuat dari
emas berukir yang dihiasi batu-batuan berkerilap. Batuan putih itu tak lain adalah berlian-berlian kecil
yang memantulkan lima sinar jika terkena pantulan
matahari. Gagang kerisnya yang terbuat dari kayu coklat tua itu juga dilapisi emas berukir kepala naga dan berhias berlian kecil,
terutama pada kedua mata kepala naga itu.
Keris tersebut sempat terkena percikan darah
pada bagian ujung bawahnya. Soka Pura segera mengambil keris itu dan darah yang memercik di ujung
bawahnya segera dihapus dengan daun-daun kering.
"Sayang sekali jika keris ini terbuang begitu saja," pikirnya. "Tak ada salahnya jika ku rawat, bukan untuk senjata, tapi
mungkin kelak bisa kuberikan kepada orang lain sebagai tanda mata. Hmmm...!
Entah apa kehebatan keris ini, yang jelas bentuknya sangat
bagus dan menawan sekali. Berlian-berlian ini cukup
mahal. Setidaknya jika aku terpaksa masuk warung
tanpa punya uang, keris ini pasti laku dijual, atau diti-tipkan kepada si
pemilik kedai sebagai jaminan yang
akan ku tebus di suatu hari nanti."
Selagi Soka mengamati keindahan keris tersebut, tiba-tiba ia mendengar hembusan angin aneh dari
arah belakangnya. Firasatnya segera mengatakan ada
yang tak beres di belakangnya. Maka secara naluriah
Pendekar Kembar bungsu itu melompat ke arah lain
sambil memutar tubuhnya. Wees...!
Slaap, jaab...!
Sebilah pisau yang panjangnya satu jengkal lebih melayang dan menancap di sebatang pohon yang
tadi berada di depan Soka. Jika Pendekar Kembar
bungsu tidak segera melompat ke samping, maka ia
akan menjadi sasaran pisau tersebut.
Pisau itu jelas mengandung racun berbahaya,
karena kulit pohon yang terkena pisau itu menjadi terkelupas dan berjatuhan ke tanah. Gerakan kulit pohon
yang terkelupas itu cukup cepat menjalar ke atas dan
bawah, hingga menimbulkan suara merentas gemerisik. Tetapi perhatian Pendekar Kembar bungsu itu
lebih tertarik pada kemunculan seraut wajah seorang
pemuda berusia sebayanya. Pemuda itu berkumis tipis, ganteng, badannya pun tegap dan gagah. Ia mengenakan baju lengan panjang warna hijau lumut dengan celananya yang warna hijau lumut juga. Ikat pinggangnya dari kain kuning tebal.
Di pinggang kiri terselip sebilah pedang beronce-ronce benang merah pada ujung gagangnya. Pedang itu cukup panjang sehingga lebih layak dikatakan
sebagai samurai. Di pinggang kanan terselip tiga pisau serupa dengan pisau yang
menancap di pohon. Pemuda berambut lurus sepunggung dan di ikat ke belakang
seperti perempuan itu, menatap Soka dengan tajam,
memancarkan permusuhan.
"Mengapa kau menyerangku, Kawan"!" tegur
Pendekar Kembar bungsu lebih dulu.
"Siapa kau sebenarnya"!" pemuda berpakaian
hijau lumut itu ganti bertanya.
"Aku Soka Pura dari Gunung Merana! Apakah
kau mengenalku" Atau kita ada persoalan sehingga
kau menyerangku dengan pisau maut mu itu?"
"Tak perlu berlagak bodoh, Soka Pura! Sekarang kau sudah berhadapan dengan Danu Paksi!"
sambil ia menunjuk dada sendiri. "Danu Paksi tak
pernah mundur berhadapan dengan siapa pun!"
"Apa maksudmu 'mundur'" Apakah kau pikir
aku akan melarangmu mundur walau di belakangmu
ada jurang" Oh, tidak! Kau mau mundur atau mau
maju itu urusanmu, bukan urusanku. Urusanku pun
bebas, mau maju mundur juga boleh, mau mundur
maju juga tak ada yang melarang."
"Ini bukan urusan maju-mundur!" bentak Danu
Paksi dengan jengkel.
Soka Pura tertawa pelan, masih memegangi keris milik si korban dengan tangan kanannya. Ia bersikap santai berhadapan dengan orang yang tampak marah padanya itu. Bahkan sikap berdirinya pun terlihat
santai, tangan kirinya mendekap lengan kanan yang
lurus ke bawah, punggungnya bersandar pada pohon
terdekat. "Jangan harap kau bisa lolos dari tanganku,
Soka Pura!" ancam Danu Paksi.
"Mengapa kau mengancamku begitu, Danu
Paksi"! Aku bukan anak kecil yang takut dengan ancaman apa pun, kecuali ancaman tidak diberi makan,
boleh jadi aku akan ketakutan!" ujar Soka dengan seenaknya saja.
"Hmm...!" Danu Paksi mendengus sinis. "Kau pikir bisa bersikap seenaknya jika
sudah memegang Keris Naga Sukma itu, hah"!"
"Keris..."!" Soka Pura sempat berkerut dahi, ia baru sadar kalau masih memegangi
keris milik pemuda yang tewas secara mengerikan itu. Maka keris tersebut pun dipandanginya. "Keris ini bukan milikku, Danu Paksi. Keris ini...."
"Tentu saja bukan milikmu, karena kau merampasnya dari saudara seperguruanku itu!" sambil Danu Paksi menuding mayat si
pemilik keris tersebut.
"Oh, dia saudara seperguruanmu"!"
"Hmm...! Kau boleh bangga bisa membunuh
Prayoga, tapi jangan harap bisa bernapas sampai esok
pagi jika berhadapan dengan Danu Paksi!"
Suuut...! Tiba-tiba tangan kanan Danu Paksi
berkelebat. Rupanya ia mencabut pisau beracunnya
dan sekaligus melemparkannya ke arah Soka Pura.
Wees...! Lemparan cepat yang hampir tak bisa dilihat
oleh mata Pendekar Kembar bungsu itu ternyata masih
mampu dihindari. Gerakan badan yang miring ke kiri
secara refleks membuat pisau itu akhirnya menancap
pada pohon di belakang Soka Pura. Jubb...!
"Edan! Hampir saja tepat kenai leher ku!" gumam Soka dalam hati. "Boleh juga
lemparan pisaunya!
Aku harus hati-hati berhadapan dengan anak ini!"
Soka Pura segera lompat ke samping dengan
lebih waspada lagi. Danu Paksi pun melompat ke
samping, sehingga mereka tetap berhadapan dalam jarak lima langkah.
"Kau mengawali perselisihan ini, Danu Paksi!"
"Aku menuntut kematian Prayoga! Harus kau
tebus dengan nyawamu juga, Soka Pura!"
"Aku tidak membunuh Prayoga! Aku datang ketika...." Wees...! Danu Paksi memotong kata-kata Soka Pura dengan lompatan cepat
menerjang dada Soka.
Kaki yang menyodok ke depan itu ditahan dengan tangan kiri Soka, namun Soka terpental karena tenaga
Danu Paksi cukup besar. Soka tak menyangka lawannya menggunakan tenaga dalam cukup besar yang
disalurkan melalui kakinya.
Bruuuk...! Soka Pura jatuh terjengkang ke belakang. Danu Paksi segera menyerangnya dengan sebuah tendangan. Tapi Soka Pura berhasil berguling ke
kiri, lalu kakinya menyampar kaki Danu Paksi yang
dipakai berdiri dalam tendangan kedua. Plaak...!
Bruuuk...! Danu Paksi pun jatuh terpelanting. Kakinya
kurang kokoh, sehingga tak mampu menahan sambaran kaki Soka Pura. Serta-merta Soka Pura menyerang
Danu Paksi dengan kedua kakinya dalam keadaan antara duduk dan terbaring. Danu Paksi menangkis tiap
kelebatan kaki lawannya dengan kaki pula. Mereka beradu kaki sesaat dengan gerakan sama cepatnya.
Plak, plak, buuhk, plak, plak, prook...!
"Aouff...!" Danu Paksi memekik dengan tubuh
terhempas ke belakang. Tendangan kakinya yang tadi
sempat kenai dada Soka itu telah dibalas berakibat wajahnya terkena jejakan kaki Soka Pura. Mulutnya terasa sakit, gusinya bagaikan mau remuk, karena jejakan
kaki Soka seperti sebongkah batu besar menyambar
wajah Danu Paksi.
Untuk sesaat Danu Paksi menggeragap, karena
pandangan matanya menjadi gelap. Tangannya meraba-raba untuk temukan sesuatu yang bisa dipakai
berdiri. Soka Pura sengaja tidak segera menyerangnya
lagi. Ia justru mundur dua langkah sambil berdiri tegak, mengusap-usap dadanya dengan tangan kiri,
sambil hati pun membatin dalam gerutu.
"Sialan! Sakit juga tendangannya"!"
Sebenarnya jika Soka Pura ingin mencelakai
Pendekar Kembar 13 Tumbal Asmara Buta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Danu Paksi, saat itu ia punya kesempatan emas untuk
segera lepaskan serangan lagi. Dalam keadaan mata
menjadi gelap sesaat, Danu Paksi pasti tak bisa menangkis serangan Soka. Tetapi Pendekar Kembar
bungsu itu ingin tunjukkan bahwa dirinya tidak bermaksud bermusuhan kepada Danu Paksi, sehingga ia
sengaja membiarkan Danu Paksi berdiri dan penglihatannya pulih kembali.
"Kalau aku mau, sekarang juga nyawamu sudah melayang ke jalan neraka gang empat, Danu Paksi!" ujar Soka Pura dengan gayanya yang konyol. "Tapi kurasa itu tak perlu
kulakukan, karena aku bukan
musuhmu dan kau bukan musuhku! Kau salah paham, Danu Paksi!"
"Tutup mulutmu, Bangsat!" teriak Danu Paksi
sambil mengerjap-ngerjapkan matanya. Penglihatannya mulai normal sedikit. Tapi ia segera mencabut samurainya yang mengkilap tampak tajam sekali itu.
"Danu Paksi...!" sergah Pendekar Kembar bungsu. "Sudah ku coba untuk mengalah padamu. Tapi jika kau inginkan kematian lebih
cepat, aku tak keberatan
untuk bertugas sebagai El Maut-mu!"
Soka Pura menggertak demikian karena berharap agar Danu Paksi hentikan permusuhannya. Tapi
agaknya Danu Paksi tak mempan dengan gertakan tersebut. Ia justru bergerak mengelilingi Soka Pura sambil menebaskan samurainya ke
kanan-kirinya. Soka tahu,
penglihatan Danu Paksi belum pulih total, sehingga
pemuda itu sengaja memutari lawannya sambil menunggu penglihatannya terang kembali. Soka Pura
sendiri sedang pertimbangkan langkahnya; menghadapi Danu Paksi atau meninggalkannya" Karena ia paling
benci melakukan tindakan yang ditimbulkan karena
kesalahpahaman.
"Majulah jika kau merasa mampu menembus
jurus 'Bajak Samurai'-ku ini!" seru Danu Paksi sambil masih menebaskan
samurainya ke kanan-kiri. Suara
desing samurai terdengar beruntun bagai mengiris hati
siapa pun yang mendengarnya.
Wiizz, wiiz, wwiz, wiiz, wiiz...!
"Gila! Cepat sekali gerakan samurainya itu"!
Pantas kalau ia andalkan! Tapi sebenarnya masih kalah dengan kekuatan Pedang Tangan Malaikat-ku!"
gumam Soka Pura dalam hati, sambil tangan kirinya
mulai memegangi gagang pedang kristal yang terselip
di pinggang kanannya. Tapi tangan itu segera melepaskan gagang pedang. Karena hati kecil Soka pun
melarang mencabut pedang pusaka itu jika hanya berhadapan dengan lawan seperti Danu Paksi.
"Heeeaaaat...!" Danu Paksi mulai berteriak
murka, penglihatannya telah pulih kembali. Ia hendak
maju menyerang Soka Pura dengan samurainya. Tapi
tiba-tiba gerakannya tertahan karena suara seseorang
yang berseru dari belakang Soka Pura.
"Hentikan!"
"Auuh...!" Soka Pura tersentak kaget dan sempat mengejang sesaat. Suara itu
bagai menusuk gendang telinganya dan timbulkan rasa sakit yang luar biasa. Soka sampai terbungkuk-bungkuk memegangi
kedua telinganya, satu dengan tangan kiri, satu dengan pergelangan tangan kanan, karena tangan kanannya masih menggenggam keris mewah itu.
"Gila! Siapa orang yang berseru di belakangku
dengan suara sebegini menyakitkannya"!" gerutu Soka Pura dalam hati. ia menengok
ke belakang sambil masih sedikit membungkuk.
"Oh, rupanya seorang kakek berjubah putih"!"
gumam Soka lagi dalam hatinya.
Danu Paksi segera undurkan diri tiga langkah.
Ia terengah-engah diburu kemarahannya, tapi tak berani melampiaskan karena memandang si jubah putih
berjenggot abu-abu itu.
Orang tersebut tidak segera hampiri Soka atau
Danu Paksi, melainkan segera dekati mayat Prayoga.
Matanya memandang penuh keharuan. Pada saat itu,
Danu Paksi segera berseru dari tempatnya.
"Pemuda inilah yang membunuh Prayoga,
Guru!" Soka Pura segera paham, ternyata kakek tua berjenggot abu-abu itu adalah
gurunya Danu Paksi.
"Pantas ilmunya tinggi. Dengan sentakkan suaranya saja gendang telingaku seperti
ditusuk linggis! Brengsek! Kurasa jika Danu Paksi tidak mempunyai ilmu
penahan suara seperti itu, pasti dia akan kesakitan
pula. Karena dia murid orang tua itu, maka dia mempunyai ilmu penahan suara geledeknya tadi!"
Soka Pura segera salurkan hawa murninya untuk atasi rasa sakit di kedua telinganya itu. Ia sudah mampu berdiri tegak,
walau sebenarnya rasa sakitnya
belum hilang sama sekali. Tapi ia masih bisa mendengar Danu Paksi berkata kepada gurunya.
"Aku datang terlambat, Guru! Pemuda yang
mengaku bernama Soka Pura itu telah lebih dulu
membunuh Prayoga untuk merampas Keris Naga
Sukma itu. Guru!"
Si jenggot abu-abu menatap Soka Pura, sementara Soka Pura terperanjat dan ingin segera membuang
keris tersebut. Karena gara-gara keris itu ada di tangannya, maka Danu Paksi seenaknya menuduhnya sebagai pembunuh Prayoga. Namun sebelum keris itu
dibuang, si tokoh tua berusia sekitar tujuh puluh tahun itu sudah menghampirinya dengan pandangan
mata tajam dan dingin, seakan ingin membekukan seluruh darah Soka.
"Mengapa kau seganas itu, Anak Muda"!"
"Ak... aku tidak membunuh muridmu itu,
Eyang!" bantah Soka dengan menyebut 'Eyang' kepada tokoh tua tersebut sebagai
tanda menghormati sang
tokoh tua. "Keris pusaka Naga Sukma ada di tanganmu.
Prayoga tewas dalam keadaan luka parah seperti
itu...." "Pasti dihabisi dengan pedangnya itu. Guru!"
sahut Danu Paksi.
"Aku tidak bicara padamu, Danu Paksi! Jangan
buka mulut sembarangan!" gertak sang Guru kepada
muridnya. Danu Paksi tundukkan kepala sebagai tanda patuh dan takut kepada sang Guru.
Kembali sang Guru bicara kepada Soka Pura.
"Di wajahmu tak kulihat kekejaman. Tapi ternyata perlakuanmu seperti binatang, Anak Muda! Kau
habisi nyawa muridku; Prayoga, hanya untuk dapatkan keris pusakanya yang bernama Keris Naga
Sukma itu. Kau harus menerima hukuman yang setimpal, Anak Muda!"
"Tapi... tapi aku tidak bermaksud ingin memiliki keris ini, Eyang! Aku datang saat Prayoga sudah tak bernyawa. Kulihat keris
ini begitu indah dan tentu saja harganya mahal, maka kuambil dari tangan mayat
Prayoga. Sayang sekali kalau...."
"Jika kau tak inginkan keris itu," potong sang Guru. "Serahkan kepadaku sekarang
juga!" "O, silakan!" kata Soka Pura sambil buru-buru menyerahkan keris tersebut kepada
si tokoh tua. Soka tersenyum kaku karena dipaksakan.
"Hmm... untuk apa aku merebut pusaka milik orang
yang belum tentu sedahsyat pedang pusakaku sendiri
ini"!" ia seakan bicara pada dirinya sendiri. Tapi sang tokoh tua segera
memandanginya setelah memeriksa
keris tersebut, lalu menyelipkan pada ikat pinggangnya yang terbuat dari kain
hitam. "Buktikan bahwa bukan kau pembunuh muridku!" "Bagaimana aku harus membuktikannya, karena tak ada saksi yang melihatku
datang pada saat
Prayoga sudah tak bernyawa"!" ujar Soka Pura.
"Jika kau tak bisa buktikan bahwa dirimu tidak
bersalah, maka kau tetap harus berhadapan denganku
sebagai hukumannya! Nyawa harus dibayar dengan
nyawa, Anak Muda!"
"Tapi...."
"Serahkan padaku saja, Guru! Aku lebih layak
membalas dendam atas kematian saudara perguruanku yang tercinta itu!" geram Danu Paksi.
Sang Guru memandang muridnya. Rupanya ia
sedang mempertimbangkan, apakah menyerahkan Soka Pura kepada muridnya, atau dihadapkan sendiri
sebagai sikap menegakkan kehormatan perguruannya"
*** 2 SEBENARNYA Raka Pura terkecoh oleh tipuan
adik kembarnya. Soka tak melihat ada orang mengintai
di sebelah timur. Raka sempat menggerutu dalam hatinya ketika ia ke timur, ternyata tak ada siapa-siapa di sana. "Kunyuk itu
pasti bermaksud mempermainkan diri ku," geram Raka Pura membayangkan wajah adik
kembarnya. "Tak ada apa-apa di sini, dikatakan ada orang mengintip! Dasar bulu
jelek!" Namun akibat 'dikerjain' Soka, ternyata Raka
Pura justru mendengar suara pekik pertarungan di balik sebuah bukit rendah. Suara teriakan seorang perempuan itu memancing rasa ingin tahunya Pendekar
Kembar sulung, sehingga pemuda tampan itu segera
berlari mendaki bukit dan diam di atas bukit rendah
itu. Pandangan matanya diarahkan ke lembah, ternyata di sana memang ada pertarungan cukup seru.
Pertarungan itu dilakukan oleh seorang gadis
berambut pendek sepundak dengan bagian depannya
mempunyai poni yang agak panjang, nyaris menutupi
kedua mata indahnya. Gadis itu mengenakan rompi
ketat dan ratap berwarna merah saga. Celananya pun
ketat dan membentuk tubuhnya yang berpinggul sekal,
juga berwarna merah saga. Di pinggangnya terdapat
cambuk yang masih tergulung, tampaknya ia belum
merasa perlu menggunakan cambuk tersebut.
Gadis berusia dua puluh tahun itu mempunyai
gerakan yang cepat dan lincah. Gerakannya itu sempat
membingungkan lawannya yang bertubuh tinggi, besar
dan berambut ikat sebahu. ia adalah seorang lelaki
berkumis lebat dengan mata lebar dan codet di pipi kirinya. Wajah itu adalah wajah angker, seperti kuburan
keramat. Lelaki berusia sekitar tiga puluh lima tahun itu
bersenjata rantai bola berduri yang kala itu sedang diputar-putarkan untuk
dihantamkan ke tubuh si gadis
yang berkulit kuning langsat itu. Rantai tersebut
mempunyai gagang sendiri, di mana rantainya bisa berubah menjadi panjang, bisa pula mengkerut pendek,
sehingga senjata itu bisa menyerupai gada bundar
berduri tajam. "Heeaaah...!!"
Wuuuss...! Lelaki berpakaian kotak-kotak warna hitam putih seperti papan catur itu melompat menerjang si gadis dengan bola berdurinya dihantamkan ke arah kepala gadis itu. Tetapi si gadis lincah justru melenting di udara dengan gerakan
bersalto memutar cepat.
Wuuut...! Wrrss...! Tahu-tahu kakinya berhasil menjejak ubun-ubun lawannya. Dees...!
"Aoow...!" lelaki angker itu menggeloyor mau jatuh. Satu tangannya pegangi
kepala sambil menyeringai menahan sakit. Kepalanya seperti kejatuhan
buah kelapa berair penuh.
Jieeg...! Si gadis turun ke bumi, sepasang kakinya yang berbetis indah itu menapak dengan mantap, tanpa limbung sedikit pun. Raka Pura tersenyum,
senang melihat kelincahan si gadis yang mampu menjaga keseimbangan tubuh dengan baik itu.
Si gadis segera mencabut cambuknya, lalu
cambuk pun dilecutkan di udara dengan suara menyentak. "Hiaah...!"
Ctaaarrr...! Suara lecutan cambuk menggema ke manamana, setidaknya dapat untuk menciutkan nyali lawan. Tapi lawannya yang tinggi besar itu agaknya tidak mudah berciut nyali. Ia justru menggeram dengan
mata mendelik lebar. Rambutnya yang ikal sepunggung meriap-riap ditiup angin, menambah keangkeran
wajahnya. Rantai bola berduri itu juga diputar-putar di atas kepala seakan
menunggu kelengahan lawan.
Dari tempatnya melangkah ke samping membentuk lingkaran, si lelaki berpakaian mirip papan catur itu segera serukan kata dengan nada menggeram.
"Keluarkan semua permintaanmu, Kirana! Hari
ini aku hanya punya satu tekad, yaitu menghancurkan
kepalamu sebagai penebus kematian adikku yang kau
bunuh itu!"
Si gadis menyahut dengan suara lantang,
"Adikmu memang layak di kirim ke neraka, Bomapati!
Sebab kalau tidak segera dikirim ke neraka, maka semua gadis akan dirusak kesuciannya! Jika kau merasa
kangen kepada adikmu itu, akan kutunjukkan padamu jalan menuju neraka!"
"Keparat...!!"
Raka Pura tersenyum lagi. "Keberaniannya patut dipuji. Rupanya gadis yang bernama Kirana itu telah membunuh adiknya si Bomapati yang gemar merusak kesucian para gadis. "Hmmm... kalau begitu, Bomapati itu pasti tokoh aliran
hitam yang tak perlu dibela." Pendekar Kembar sulung segera menuju ke
tempat persembunyian yang lebih dekat, agar ia bisa
melihat dengan jelas jurus-jurus yang digunakan dalam pertarungan itu. Pada saat Raka Pura pindah tempat, Bomapati lakukan lompatan cepat menerjang si
gadis. Rantai bola berduri kibaskan memutari tubuhnya dengan cepat hingga timbulkan suara dengung.
Pendekar Kembar 13 Tumbal Asmara Buta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi Kirana segera melesat naik dan bersalto
mundur, cambuknya dilecutkan ke arah Bomapati.
Ctaaar...! Ujung cambuk itu keluarkan sinar biru bagai
kilatan cahaya petir. Sinar biru tersebut menyambar
gerakan bola berduri yang sejak dari tadi sudah kepulkan asap, pertanda tenaga dalam si Bomapati disalurkan ke senjata tersebut.
Blaaar...! Ledakan cukup keras terjadi ketika sinar biru
itu menghantam bola berduri. Gelombang ledakannya
cukup kuat, terbukti tubuh besar si Bomapati sempat
tersentak ke belakang dan nyaris jatuh. Sedangkan Kirana berhasil mendaratkan kedua kakinya dengan sigap lagi. Jieeg...!
"Hhheeeaaaahh...!!"
Bomapati menggeram kembali, sambil mengibaskan rantai bola berdurinya itu. Ternyata rantai tersebut terulur panjang
secara mendadak, sangat di luar
dugaan Kirana. Zraaaak...! Weeers...!
Kirana segera melecutkan cambuknya. Tapi gerakannya sedikit terlambat, karena bola berduri itu
sudah menyambar lengannya lebih dulu. Cras...!
"Auh...!' Kirana terpekik, tangan kirinya langsung mendekap lengan kanan. Lengan di bawah pundak itu koyak dan mengeluarkan darah segar.
Kesempatan itu digunakan oleh Bomapati untuk lepaskan pukulan jarak Jauhnya dari tangan kiri.
Claap...! Sinar merah lurus melesat dari telapak tangan Bomapati, langsung mengarah ke dada Kirana.
Gadis itu segera sadar akan datangnya bahaya.
Ia segera sentakkan tangan kirinya yang basah oleh
darah luka itu dengan keadaan telapak tangan terbuka. Wuuut...! Dari tengah telapak tangan itu keluar sinar lurus berwarna biru
tua. Besarnya sinar biru itu
ternyata sama dengan besarnya sinar merah si Bomapati. Claaap...! Blegaaar...! Cahaya ungu dari perpaduan sinar merah dan
sinar biru itu berpendar menyebar dalam sekejap. Tubuh Kirana segera terlempar ke belakang, karena pertemuan dua sinar itu lebih dekat ke arahnya. Gelombang ledakan tadi menerjang Kirana, membuat si gadis
bagai disambar seekor gajah terbang. Wuuubbb...!
Brruuk...! "Aahhk...!" Kirana memekik dengan suara tertahan. Ia jatuh terbanting dengan sangat menyedihkan. Lukanya di lengan kanan membentur batu runcing yang membuat luka itu semakin bertambah lebar.
Kirana terkulai di tanah berumput. Ia mengerang kesakitan sambil pegangi lukanya. Cambuk telah terlepas
dari genggamannya.
Melihat lawan dalam keadaan seperti itu, Bomapati semakin ganas lagi. Semangatnya bertambah
meluap-luap, sehingga ia terpaksa berlari sambil memutar-mutar bola berdurinya.
"Heeeaaahhhh...!!"
Wuuuz...! Breeesss...!
"Aaaahkk...!"
Bomapati terpekik, karena tubuhnya tiba-tiba
seperti diterjang seekor banteng yang melayang dihempaskan badai kencang. Tubuh besar itu jatuh terbanting pula, bahkan sempat membentur pohon besar.
Pohon itu sempat bergetar dan beberapa daunnya berguguran akibat benturan keras dengan tubuh
besar itu. Seseorang telah menerjang Bomapati ketika
orang berwajah angker itu hendak habisi nyawa Kirana. kayangan yang berkelebat cepat menerjang Bomapati itu tak lain adalah Raka Pura, yang merasa terpaksa harus turun tangan untuk selamatkan nyawa si
gadis. Seandainya Kirana tidak dalam ancaman bahaya se-maut itu, mungkin Raka Pura memilih lebih
baik jadi penonton daripada ikut campur urusan mereka. "Uuhkk...!" Kirana menyeringai dan merintih menahan sakitnya. Wajahnya
menjadi biru memar
akibat gelombang ledakan yang menerjangnya tanpa
ampun lagi itu. Tapi ia masih sempat memperhatikan
seseorang yang muncul di depannya dan berhasil menyingkirkan Bomapati itu. Kirana merasa heran, karena ia belum pernah bertemu dengan pemuda tampan
berbaju putih itu. Dalam hatinya, Kirana bertanyatanya, "Siapa dia" Ada persoalan apa dengan Bomapa-ti"!"
Sebenarnya Raka Pura ingin segera obati luka
berbahaya di lengan Kirana. Sebab menurutnya, luka
itu mempunyai racun yang bisa mematikan korbannya
jika tak segera ditangani. Namun Raka harus berhadapan dulu dengan Bomapati yang telah bangkit kembali
dengan suara geramnya yang makin menyeramkan.
"Bangsat tengik! Rupanya kau juga ingin modar
bersama gadis liar itu, hah?"
Suara bentakannya sempat menggema memenuhi hutan cemara itu. Tetapi Pendekar Kembar sulung tak merasa gentar sedikit pun. Ia tetap berpenampilan tenang, kalem, dan suaranya tak sekeras
Bomapati. "Maaf, aku bukan sekadar ikut campur urusanmu, Bomapati! Aku hanya
menyelamatkan pihak
yang lemah, yang sudah tak berdaya dan memang
layak dibela. Kudengar dia membunuh adikmu karena
adikmu gemar merusak kesucian seorang gadis. Kurasa gadis itu benar. Kau harus menyadari Bomapati,
adikmu ada di pihak yang salah."
"Aku tak butuh wejangan mu, Jahanam! Kalau
kau tak mau menyingkir, kuremukkan sekalian batok
kepalamu dengan senjata maut ku ini! Heeeeaahh...!"
Bomapati maju beberapa langkah dalam gerakan melompat, kemudian rantai bola berduri itu disabetkan ke arah kepala Raka Pura. Wuuung...! Pendekar Kembar sulung hanya meliukkan badan ke depan
dengan gerakan membungkuk rendah. Bola berduri itu
melayang di atas kepalanya. Hampir saja menyambar
punggung Raka jika posisi membungkuknya tidak serendah mungkin.
Begitu Raka tegak kembali, bola berduri itu datang lagi menyambar dari sisi kirinya. Wuuung...! Raka Pura terkejut dan segera
berguling ke depan. Percuma
saja ia hanya membungkuk hindari bola berduri itu jika begitu tegak sang bola datang kembali.
Wuuut...! Gerakan berjungkir balik ke depan
membuat Pendekar Kembar sulung berjarak lebih dekat lagi dengan Bomapati. Ia mengulangi gerakan serupa, sampai akhirnya pada gerakan berguling yang
ketiga, kakinya menjejak ke atas depan dan Bomapati
memekik keras-keras. Jroob...! "Aaaaaa...!!"
Bomapati merapatkan kedua kakinya sambil
melompat-lompat mundur. Tangan kirinya digapit dengan kedua paha, tubuhnya sedikit membungkuk ke
depan. Mata orang berwajah angker itu mendelik lebarlebar dengan mulutnya yang bergigi besar itu ternganga lebar, serukan teriakan kesakitan.
"Wuuadow...! Wuadow...! Bangsat sekali kau,
Wuaaaah...! Sakiiit...!"
Keringat dingin si Bomapati sampai keluar semua, karena kaki Pendekar Kembar sulung tadi menjejak telak, tepat kenai 'perabot'-nya yang paling keramat dan selalu dilindungi
itu. Bomapati rasakan seperti
ada yang pecah pada bagian bawahnya. Rasa sakit tidak bisa ditahan lagi. Teriakannya bercampur dengan
makian kotor yang tak perlu ditirukan oleh siapa pun.
Raka Pura berdiri dengan tegak, dadanya sedikit membusung karena memang tubuhnya kekar dan
berotot, seperti adiknya. Pemuda itu tak ingin lepaskan serangan lagi, karena
lawannya sudah dalam keadaan
lemah. Namun sang lawan sendiri menjadi semakin
mendendam. Sesuatu yang terasa pecah itu membuat
murkanya bertambah besar, hasratnya untuk membunuh lawan kian berkobar-kobar. Maka dengan kerahkan sisa tenaga untuk menahan rasa sakit, walaupun
tubuhnya sedikit membungkuk, tapi tangan kanannya
masih bisa pegangi gagang rantai bola berduri. Maka
senjata itu pun disabetkan kembali ke arah dada Raka
Pura. "Biadab kau, heaaahh...!"
Raka Pura tak menyangka kalau akan diserang
lagi. Untung ia selalu sigap, sehingga ketika bola berduri sebesar kelapa tanpa
sabut itu menyambar dadanya, kaki Raka menyentak ke bumi dan tubuhnya
melesat ke atas. Wuuut...! Gerakannya justru melayang maju bagai seekor singa ingin menerkam lawannya. Dengan gerakan melayang ke depan, bola berduri itu tidak sempat lukai tubuhnya. Namun justru
kedua tangan Raka segera menghantam beruntun ke
wajah Bomapati. Prok, prok, prok, prok...!
Pukulan beruntun yang sangat cepat itu membuat Bomapati geragapan. Hidungnya segera mengucurkan darah. Tulang pipi dan rongga matanya terasa
dihantam dengan besi secara beruntun dan menjadi
bengkak, memar membiru.
Pukulan keras yang terakhir membuat Bomapati terjengkang ke belakang, tumbang bagaikan sebatang pohon tertiup badai. Bruuuk...!
"Aaaaahh...!" suara teriakannya memanjang
dan mulai serak. ia tak bisa langsung bangkit, karena
selain pandangan matanya menjadi gelap, seluruh tubuhnya pun merasakan sakit semua, sampai ke tulang-tulang kaki terasa seperti di patah-patahkan. Rupanya perpaduan rasa sakit di bagian sela-sela pahanya dengan rasa sakit di wajah membuat Bomapati
tak bisa berkutik lagi.
"Wuaaah...! Mati akuuu...! Modar akuuu...!
Uaaahhk...! Haahk, hahk, hahk, hahk...!" Napas si Bomapati tersentak-sentak
bagai orang sedang seka-rat.
Raka Pura segera menjauh. Pandangan matanya tertuju pada si gadis yang sudah bisa duduk
bersandar pohon dengan menahan rasa sakit pada lukanya. Gadis itu sejak tadi memperhatikan jurusjurusnya Pendekar Kembar sulung dengan hati menggumam kagum yang tak terucap pada saat itu. Ketika
Raka Pura mendekatinya, Kirana sempat grogi dan salah tingkah. Bibirnya digigit untuk menahan erangan
rasa sakitnya itu. Rupanya luka itu memang mengandung racun, sebab dalam waktu sebentar saja, luka
tersebut sudah memborok dan melebar hampir mencapai pangkal pundak.
Namun ketika Raka Pura sudah semakin dekat
dengannya, tiba-tiba Kirana terbelalak dan berteriak
secara reflek. "Awaass...!!"
Raka Pura segera berbalik arah. Tangannya
bergerak secara naluri begitu melihat seberkas sinar
me rah melesat ke arahnya. Gerakan tangan Raka ternyata adalah gerakan dari jurus 'Cakar Matahari' yang
melesatkan sinar putih berbentuk pisau runcing dari
telapak tangannya yang membentuk cakar tengkurap
itu. Claaap...! Blegaaarrr...!
Tanah terasa berguncang akibat ledakan dahsyat itu. Pohon bergetar, sehingga daun-daunnya berguguran sebagian.
Rupanya Bomapati bermaksud membokong
Raka Pura dengan melepaskan jurus bersinar merah
tadi. Tapi sayang, sinar merah tadi dihancurkan oleh
Jurus 'Cakar Matahari'-nya Pendekar Kembar sulung.
Akibatnya, sentakan gelombang dari ledakan tadi
menghempaskan tubuh Bomapati. Gelombang itu timbulkan angin panas yang membuat wajah Bomapati
menjadi seperti kepiting rebus.
Tentu saja Bomapati semakin hamburkan caci
maki yang jorok-jorok. ia makin kelabakan karena rasa
sakitnya bertambah.
Dengan sisa tenaganya yang penghabisan, Bomapati bangkit membungkuk dan limbung ke sanasini sambil masih pegangi senjatanya. Ia berusaha serukan kata dengan susah payah, seperti orang susah
buang air besar.
"Awas kalian! Suatu saat aku akan menuntut
balas pada kalian berdua! Ku tumbuk sampai lembut
tulang-tulang kalian! Keparaaat...!"
Setelah itu Bomapati sentakkan kaki dan berkelebat pergi. Tapi karena kekuatan dan tenaga telah
berkurang, ia pun jatuh tersungkur dalam dua langkah berikutnya. Wajahnya menabrak batang pohon
cemara. Ia meraung sesaat, kemudian teruskan pelariannya. Pendekar Kembar sulung hanya memandanginya dengan napas ditarik dalam-dalam. Ia sengaja
tak bermaksud mengejar Bomapati, karena menurutnya pelajaran yang sudah diterima Bomapati darinya
akan membuat Bomapati jera berhadapan lagi dengannya. Tapi mungkin Bomapati benar-benar ingin
membalas kekalahannya hari itu. Kecuali jika Bomapati punya jurus baru yang cukup handal dan dapat
mengungguli jurus-jurusnya pemuda tampan berpedang kristal itu.
Raka Pura segera dekati gadis berompi ketat
warna merah saga itu. Wajah tampannya sunggingkan
senyum sangat tipis, berkesan ramah dan bersahabat.
Ia langsung jongkok di samping kanan Kirana, memperhatikan luka yang kian memborok mengerikan itu.
"Gerakanmu sudah cukup bagus. Sayang kau
Pendekar Kembar 13 Tumbal Asmara Buta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tadi sedikit lengah, sehingga Bomapati berhasil melukai lenganmu separah ini," ujar Raka Pura tanpa memandang yang diajak bicara.
"Ap... apakah kau... kau punya masalah dengan
Bomapati?"
"Tidak. Bahkan aku mengenal namanya dari
ucapanmu tadi. Juga mengenai namamu dari suara
Bomapati tadi. Namamu Kirana, bukan?"
"Iyy... iya...! Tapi aku tak tahu namamu. Aku
tak punya sahabat sepertimu."
"Kini kau punya sahabat baru. Namaku.... Raka
Pura." Kirana pandangi wajah Raka Pura, tapi Raka sejak jongkok di samping
Kirana, tidak menatap wajah
si gadis. Yang Jadi pusat perhatian adalah luka parah
di lengan Kirana.
"Akan ku coba mengobati lukamu. Apakah kau
bersedia?"
"Aku berterima kasih kalau kau bisa singkirkan
racun ini dari dalam tubuhku!"
"Buka telapak tanganmu," ujar Raka Pura. Si
gadis sempat merasa heran, bahkan berkata dengan
nada ragu-ragu.
"Hmm, hmm... yang terluka lenganku, bukan
telapak tanganku."
"Akan ku sembuhkan melalui telapak tanganmu! Bukalah telapak tanganmu, Kirana!"
Akhirnya si gadis menuruti perintah tersebut.
Telapak tangan Raka Pura segera ditempelkan ke telapak tangan Kirana. Jurus 'Sambung Nyawa' mulai dipergunakan untuk obati luka beracun itu.
Jurus 'Sambung Nyawa' adalah jurus pengobatan yang terjadi dari penyaluran kekuatan inti gaib ke telapak tangan dan dipadu
dengan saluran hawa murni.
Telapak tangan Raka menjadi bercahaya ungu
pendar-pendar. Ketika telapak tangan itu ditempelkan
di telapak tangan Kirana, maka cahaya ungu yang
mengandung kekuatan campuran antara hawa murni
dan inti gaib merasuk dalam tubuh Kirana.
Beberapa kejap berikutnya lengan Kirana menjadi menyala ungu seperti fosfor. Makin lama cahaya
ungu itu semakin merayap ke pundak, leher, dan akhirnya sekujur tubuh Kirana memancarkan cahaya
ungu tipis. Walaupun telapak tangan Raka sudah diangkat dan cahaya ungunya sudah padam, tapi cahaya
ungu di tubuh Kirana masih tetap menyala.
Kirana tertegun heran dan sedikit tegang. Ada
rasa cemas pada dirinya begitu melihat tubuhnya memancarkan cahaya ungu. Namun rasa cemas dan tegang itu cepat sirna. Bahkan Kirana merasakan tak
mempunyai debar-debar kekhawatiran sedikit pun.
Ternyata cahaya ungu itu dapat menenteramkan hatinya, menenangkan kegusaran dan keresahannya, menciptakan hawa damai yang amat disukai oleh
Kirana. Cahaya ungu itu padam dengan sendirinya ketika tubuh Kirana sudah tidak mengalami rasa sakit
sedikit pun. Luka koyak yang mengerikan itu merapat
dengan sendirinya setelah berasap tipis. Makin lama
keadaan tubuh Kirana merasa semakin segar. Ketika
cahaya ungu itu padam dan hilang sama sekali, ternyata luka koyak itu pun hilang tanpa bekas sedikit
pun, kecuali bekas darah yang mengalir ke siku dan
beberapa tempat lainnya.
"Ajaib sekali!" gumam Kirana seperti bicara pa-da diri sendiri. Raka Pura sedang
berdiri bersandar
pohon dengan lengan kirinya. Ia memperhatikan proses penyembuhan luka di lengan si gadis. Sikapnya masih tetap tenang dan kalem. Walaupun si gadis menatapnya beberapa kali dengan mulut terbengong kagum,
namun Raka Pura tetap tak menunjukkan tingkah
yang membanggakan diri sendiri.
Dengan suara lembut ia berkata kepada Kirana,
"Kurasa racun itu telah lenyap dari tubuhmu. Cobalah bangkit dan rasakan
kesegaran tubuhmu sendiri."
Kirana pun berdiri, lalu ia merasakan tubuhnya
benar-benar enteng, segar, sepertinya tak pernah
menderita luka dan merasakan sakit sedikit pun. Bahkan ketika kakinya dipakai menendang ke samping
dengan tendangan cepat bagaikan kilat, tubuh itu tidak guncang sedikit pun. Tendangannya terasa lebih
cepat dari gerakan menendang sebelum itu.
"Rupanya kau seorang tabib muda, Raka"! ilmu
penyembuhan mu sungguh dahsyat!" ujar Kirana sambil sunggingkan senyum tipis.
Kala itu, pandangan mata Raka tertuju ke wajah cantik Kirana. Raka pura sedikit berdebar. Entah
mengapa tiba-tiba ia merasakan desiran halus yang
sekejap ketika melihat senyuman kecil dari Kirana.
Gadis itu memang tampak lebih cantik jika tersenyum, sebab salah satu giginya ada yang 'gingsul'
alias bertumpuk, ditambah lagi lesung pipitnya tampak
jelas jika sedang tersenyum. Lesung pipit dan gigi
'gingsul'-nya itulah yang membuat debaran halus di
hati Raka Pura. Sayangnya debaran itu segera disingkirkan dan Raka tak mau meresapinya.
"Jangan salah duga, Kirana. Aku bukan seorang tabib. Aku hanya bisa mengobati luka-luka ringan
atau penyakit yang sederhana saja. Tak ada sesuatu
yang dahsyat pada jurus 'Sambung Nyawa' tadi.
Mungkin juga kau sudah mempelajarinya, kau juga tidak akan merasa hebat mempunyai jurus 'Sambung
Nyawa' seperti itu," ujar Raka merendahkan diri.
"Mungkin memang begitu. Tapi yang jelas... aku
sangat berterima kasih atas pertolongan mu ini; baik
dalam mengobati ku ataupun menyingkirkan si gajah
bengkak tadi."
"Gajah bengkak..."! Mana ada gajah di sini"!"
"Maksudku si Bomapati yang bertubuh besar
seperti gajah bengkak itu!"
"Ooo...," Raka Pura tersenyum geli sambil alihkan pandang.
"Sebenarnya, ia tadi bisa saja membunuhku.
Tapi karena kau muncul menerjangnya, maka akhirnya ia gagal melampiaskan dendamnya padaku."
"Dia memang berbahaya," suara Pendekar
Kembar sulung seperti orang menggumam pada diri
sendiri. Tapi si gadis menyahutnya juga.
"Lebih berbahaya adiknya; Bomagati." "Yang kau bunuh itu?"
"Ya. Kulakukan hal itu karena dua orang teman
wanita ku dinodai olehnya. Tapi pada dasarnya, perguruannya Bomapati memang sudah lama bermusuhan
dengan perguruanku. Hanya saja, sejak gurunya Bomapati meninggal, permusuhan itu sudah berkurang.
Mereka tak berani menyerang perguruanku, setelah
guru mereka tewas di tangan lawan lainnya."
Raka Pura menggumam dan manggut-manggut.
"Gurumu sendiri masih sehat?" tanya Raka sebelum si gadis bicara lagi.
"Masih. Kalau kau mau, akan ku perkenalkan
kepada guruku; Eyang Wirata, alias Mulut Guntur.
mungkin kau sudah pernah mendengar nama Mulut
Guntur." "Belum," jawab Raka cepat. "Justru aku merasa asing dengan nama Mulut Guntur
itu." "Kalau begitu, sebaiknya ku perkenalkan kepada beliau. Beliau suka sekali kepada pemuda yang berjiwa ksatria sepertimu."
Raka Pura tersipu dan buang pandangan lagi.
"Aku belum pantas kau jadikan kebanggaan di
depan gurumu, Kirana."
"Setidaknya beliau harus tahu, siapa orang
yang telah menyelamatkan diriku dari ancaman maut
si Bomapati itu!"
"Itu tak perlu! Sebaiknya... sebaiknya lain kali
saja aku singgah ke perguruanmu. O, ya... apa nama
perguruanmu, Kirana"!"
"Tapak Syiwa," jawab Kirana. "Padepokan kami dekat dari sini. Mampirlah
sebentar, Raka Pura."
"Lain kali saja, Kirana. Karena... karena aku
harus segera lanjutkan perjalananku. Ada urusan yang
harus kuselesaikan secepatnya."
"Kalau boleh ku tahu, mau ke mana kau, Raka?" "Mencari 'Bambu Gading Mandul' di lereng Gunung Mercapada."
"Oh..."!" Kirana terkejut, wajahnya sedikit tegang dan membuat Raka
memperhatikan dengan heran. "Kenapa kau tampak tegang?"
"Hmm, hmm...," Kirana buru-buru kendurkan
ketegangannya dan tersenyum manis. Ia menggulung
cambuknya dan menyelipkan di pinggang.
"Apakah kau belum tahu, Raka... bahwa sekarang kau sudah berada di kaki Gunung Mercapada"!"
Raka Pura berkerut dahi. "Benarkah aku sudah
berada di kaki Gunung Mercapada" Bukankah... bukankah gunung itu ada di sebelah gunung ini"!"
Kirana menggeleng. "Orang banyak salah duga.
Di sini memang ada tiga gunung bersebelahan. Kebanyakan orang menyangka Gunung Mercapada adalah
gunung yang ada di tengah kedua gunung yang bersebelah itu. Tapi sebenarnya Gunung Mercapada adalah
gunung yang sebelah barat ini. Sedangkan yang tengah
adalah Gunung Mayapada, dan yang sebelah timur
bernama Gunung Sumbada."
"Ooo...," Raka Pura manggut-manggut.
"Aku tak menipumu. Kau bisa tanyakan kepada
orang-orang yang hidup di sekitar hutan cemara ini.
Dan tentang 'Bambu Gading Mandul' itu..."
"Apakah kau tahu tempat di mana bambu itu
tumbuh, Kirana?" potong Raka Pura.
"Tentu saja tahu. Tapi... tapi Guru akan melarangku ke sana. Sebab...."
Kirana diam sesaat, sepertinya ragu-ragu untuk
mengatakannya. "Sebab apa, Kirana"!" desak Raka yang menjadi penasaran.
"Sebab tanah di sekitar tempat bambu itu tumbuh adalah tanah keramat. Orang-orang menamakan
tanah itu adalah Kubangan Berdarah."
"Mengapa dikatakan Kubangan Berdarah?"
"Karena setiap orang yang mendekati tempat itu
akan mati secara mengerikan. Raganya pecah dan darahnya memercik ke mana-mana."
"Siapa yang membunuhnya?"
"Tentu saja si penjaga bambu keramat itu!"
Raka Pura tertegun sesaat. ia tak menyangka
kalau bambu itu ada yang menjaga.
Kirana berkata lagi, "Sebaiknya urungkan
niatmu datang ke Kubangan Berdarah itu."
"Kurasa... itu tidak mungkin. Aku harus bisa
dapatkan 'Bambu Gading Mandul' secepatnya, Kirana!"
"Kalau begitu kau harus minta petunjuk kepada guruku. Guru sangat tahu rahasia tanah keramat
itu. Sebab... jika kau nekat ke sana, kau tak akan bisa kalahkan penjaga tempat
tersebut."
"Dari mana kau yakin kalau aku tak akan bisa
kalahkan penjaga tanah keramat itu?"
"Karena tak seorang pun bisa melihat seperti
apa wujudnya dan di mana letak persembunyian si
penjaga itu."
"Ooo...," Raka manggut-manggut lagi dengan
mulut melongo dan suara mendesah lirih.
"Tapi guruku bisa menjelaskan tentang si Penjaga Kubangan Berdarah itu, sebab.... Ah, aku tak berani cerita banyak tentang Kubangan Berdarah itu. Jika kau ingin mengetahui rahasia Kubangan Berdarah,
datanglah pada guruku!"
"Apakah gurumu mau menjelaskannya padaku,
jika muridnya saja tidak diberi tahu rahasia itu?"
Kirana berpikir sejenak, kepalanya manggutmanggut kecil. Akhirnya setelah melewati masa bungkam selama tiga helaan napas, gadis itu pun mempunyai keputusan tersendiri.
"Sebaiknya kita coba. Aku akan membujuk
Guru agar mau jelaskan rahasia tersebut!"
"Bagaimana kalau usahamu gagal"!"
Kirana angkat tangan sentakkan kedua pundaknya, ia melangkah ke samping sambil tersenyum
kecil. "Itu berarti nasibmu sedang buruk!" ujarnya santai sekali, seakan tak
akan menyesal jika usahanya
gagal. Raka Pura jadi berpikir dengan gelisah.
* * * 3 RAKA Pura tak tahu kalau adiknya kena perkara di tempat lain. Soka sendiri berharap kakaknya segera muncul di tempat ia menemukan mayat Prayoga,
sebab si jubah putih yang menjadi gurunya Danu Paksi itu agaknya lebih mempercayai kata-kata muridnya
daripada pengakuan Soka Pura.
Orang berjenggot abu-abu dan berikat kepala
putih itu tetap membutuhkan bukti bahwa Soka Pura
tak bersalah. Soka sudah jelaskan bahwa ia pergi bersama kakaknya, lalu mendengar suara teriakan, dan ia
memeriksanya, sedang sang kakak menunggu di sebelah sana. Tapi penjelasan itu bagi si jubah putih belum cukup dijadikan bukti
yang menguatkan pengakuan
bahwa Soka bukan pembunuh Prayoga.
Rupanya si jubah putih sendiri bingung mencari cara untuk pembuktian tersebut. Sebab menurut
naluri si jubah putih, wajah Soka Pura bukan wajah
seorang pembunuh keji atau wajah seorang pengkhianat laknat. Tetapi adanya Keris Naga Sukma milik
Prayoga di tangan Soka Pura membuat si jubah putih
cenderung mempercayai tuduhan Danu Paksi.
"Di sini tak ada orang lain kecuali dia, Guru!"
Pendekar Kembar 13 Tumbal Asmara Buta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ujar Danu Paksi yang memberatkan tuduhan terhadap
Soka Pura itu. "Berani sumpah, berani disambar sebakul nasi
pecel kalau memang aku berdusta padamu, Eyang,"
ujar Soka berusaha meyakinkan pengakuannya, namun justru membuat si jubah putih bertambah curiga.
"Sumpahmu terlalu ringan dan tidak menunjukkan bahwa kau bukan orang bersalah, Soka Pura,"
kata sang Guru yang sudah mengetahui nama Soka
Pura dari Danu Paksi itu.
Danu Paksi mendesak gurunya, "Kejujurannya
dapat dibuktikan dari pertarungan ku dengannya.
Guru! Jika ia unggul melawanku, berarti ia berkata jujur, dan jika ia tewas di tanganku, berarti memang dialah pembunuhnya. Guru!"
"Bagaimana jika kau yang tewas di tangannya?"
"Aku rela demi kejujuran dan keadilan. Guru!"
jawab Danu Paksi dengan tegas.
"Aku tidak bijaksana jika membiarkan kalian
bertarung."
"Tapi ini demi martabat perguruan kita, Guru!
Lebih tidak bijaksana jika Guru biarkan pembunuh
muridnya hidup berkeliaran di rimba persilatan! Jika
ia buka mulut ke mana-mana, maka jatuhlah wibawa
perguruan kita!"
Soka Pura menyahut dengan sedikit tawa geli.
"Aku heran padamu. Danu Paksi.... Mengapa kau ber-nafsu sekali untuk bertarung
denganku"! Sepertinya
kau punya dendam pribadi padaku, sedangkan kita
baru kali ini bertemu!"
"Dendam pribadiku timbul setelah ku pergoki
kau membunuh saudara seperguruanku itu!" jawab
Danu Paksi. Sang Guru berkata dengan suara seperti orang
menggumam sendiri.
"Hati kecilku mengatakan lain. Sungguh lain."
"Apanya yang lain. Guru"! Tak biasanya Guru
dalam kebimbangan begini! Mungkin itu pengaruh kekuatan gaib dari mata si pembunuh ini. Guru!"
"Aku tak punya ilmu sihir, Danu Paksi!"
"Omong kosong! Kalau kau tidak punya kekuatan sihir, tak mungkin dua kali lemparan pisau terbangku meleset dari sasaran. Itu karena kau menggunakan kekuatan sihir, sehingga kedua pisauku bisa
bergeser dengan sendirinya dari sasaran!" sahut Danu Paksi yang tampak mendendam
sekali kepada Soka
Pura. Akhirnya dalam hati Soka membatin, "Kurasa sebaiknya aku lari saja! Untuk
apa terlibat urusan seperti ini! Mereka tak bisa mempercayai kata-kataku.
Jika sampai terjadi pertarungan, menang atau kalah
tetap saja saling menyandang kerugian, karena semua
ini adalah kesalahpahaman. Waktuku akan terbuang
habis untuk urusan seperti ini! Raka bisa mencakmencak jika aku terlalu lama di sini!"
Ketika sang Guru sedang berunding secara kasak-kusuk dengan Danu Paksi di dekat mayat Prayoga,
kesempatan itu digunakan oleh Soka Pura untuk hindari bentrokan tanpa arti itu. Soka Pura menggunakan
Jurus 'Jalur Badai'-nya melesat pergi tanpa pamit lagi.
Wuuuuzzz...! "Guru, dia melarikan diri!" teriak Danu Paksi.
Sang Guru tertegun memandangi gerakan Soka yang
begitu cepatnya. Dalam hati ia memuji kecepatan gerak Soka Pura. "Melihat gerakannya, kurasa dia bukan pemuda
sembarangan. Ilmunya pasti cukup tinggi. Danu Paksi
akan tumbang Jika melawannya."
"Guru, izinkan aku mengejarnya! Izinkan,
Guru!" desak Danu Paksi.
"Kuizinkan kau menangkapnya, tapi jangan
langsung menghakiminya sendiri! Kerjakan!"
"Baik, Guru!"
Blaaas...! Danu Paksi pun berkelebat mengejar
Soka Pura. Tapi dalam pandangan sang Guru, kecepatan Danu Paksi tak akan bisa mengungguli kecepatan
Soka Pura. Ia sendiri menjadi ragu untuk bertindak tegas di depan Soka Pura, karena hati kecilnya selalu
mengatakan bahwa bukan pemuda itu pembunuh sebenarnya. "Kudengar jeritan muridku dari tempatku berhening sukma," ujar sang Guru dalam hatinya. "Ku rasakan getar kematiannya,
sehingga aku segera datang
kemari. Tapi mengapa aku tak bisa merasakan getar
nadi pembunuh muridku itu"! ilmu 'Getar Nadi'-ku
memang sudah rapuh. Perlu diasah lagi."
Akhirnya mayat Prayoga dibawa pulang oleh
sang Guru. Di depan beberapa muridnya, sang Guru
keluarkan perintah untuk menangkap pemuda bernama Soka Pura. Tak lupa sang Guru sebutkan ciri-ciri
pemuda itu, sehingga beberapa murid perguruannya
segera berkelebat pergi mencari pemuda tersebut.
"Ingat, tangkap hidup-hidup dan jangan sampai
main hakim sendiri! Kita akan adili dia seadil-adilnya!"
pesan sang Guru sebelum para murid menyebar arah.
Soka Pura kehilangan jejak kakaknya. Rupanya
sang kakak tergiur bujukan Kirana, sehingga ikut pergi ke padepokan tempat guru
Kirana berada. "Sekarang ganti ku permainkan si anak konyol
itu! Biar dia menungguku beberapa saat di tempat itu
sampai dikerumuni semut pun tak apa!" ujar hati Raka Pura yang jengkel kepada
adiknya. Selain dianggap
'ngerjain' dirinya, Raka juga menganggap sang adik
berkebiasaan melantur dalam tugas, sehingga Raka
yakin sang adik akan jera jika sudah dihajar dengan
cara menunggu hingga berlama-lama.
"Lagi pula, rahasia tentang 'Bambu Gading
Mandul' itu lebih penting kuketahui daripada menunggu kedatangan Soka!" tambahnya dalam hati ketika ia melangkah bersama gadis
cantik bergigi 'gingsul' dan
berlesung pipit indah itu.
"Aneh...! Terhadap gadis yang satu ini, hatiku
sering menjadi berdebar-debar sendiri"! Ada apa dengan diriku sebenarnya?" tanya Raka dalam hati. "Biasanya aku tak pernah punya
debar-debar indah begini. Dan... dan aku tak tahu di mana letak keindahan
dari debar-debar hatiku ini"! Apa yang membuatku
merasa senang" Kurasa gadis ini sama saja dengan
gadis-gadis lainnya. Kurasa bukan dia penyebab debar-debar keindahan dalam hatiku ini! Mungkin karena kau merasa lega karena sudah sampai di kaki Gunung Mercapada. Tapi... mengapa harus merasa lega"
Bukankah aku akan berhadapan dengan bahaya yang
akan muncul dari si penjaga Kubangan Berdarah itu"!"
Kecamuk batin Raka itu berlangsung terus, sekalipun Kirana menanyakan, "Untuk apa kau mencari
'Bambu Gading Mandul' itu sebenarnya?" Dan Raka
terpaksa jelaskan maksudnya. Sambil menjelaskan
maksudnya itulah, hati Raka Pura berkecamuk terus,
menganalisis penyebab debar-debar indah di hatinya.
"Barangkali kau pernah dengar nama Darah
Kula." "Darah Kula..."!" Kirana berkerut dahi. "Aku baru mendengarnya sekarang.
Siapa itu Darah Kula?"
"Mungkin gurumu tahu nama itu," ujar Raka
sambil memandang ke arah depan dalam langkahnya.
"Darah Kula adalah anak iblis yang hidupnya
tergantung dari darah perawan. Setiap hari ia membutuhkan darah seorang perawan sebagai santapannya.
Tanpa darah perawan, ia akan menjadi lemah, kekuatannya berkurang. Sebab itu, banyak gadis yang dijual
atau diculik untuk dijadikan santapan si Darah Kula
itu." "Apakah tak ada orang yang bisa kalahkan si Darah Kula itu?"
"Bisa. Tapi anak iblis itu mempunyai ilmu
'Pancawarsa', yaitu sebuah ilmu yang dapat membuatnya hidup kembali dari kematiannya. Jadi, setiap dia
mati, maka dalam waktu lima tahun ia akan hidup
kembali dan mencari mangsa darah gadis yang masih
suci. Gadis-gadis itu akan dihirup darahnya hingga
habis, kemudian... tentu saja gadis itu mati, mayatnya entah dibuang ke mana.
Sekarang ini, Darah Kula ada
di dalam Istana Merah. Ia menjadi penguasa Bukit
Maut!" "Menyeramkan sekali kedengarannya," gumam Kirana, tapi wajahnya tak
menampakkan rasa takut
sedikit pun. "Darah Kula hanya bisa dibunuh dan mati selama-lamanya dengan 'Bambu Gading Mandul'," lanjut Raka. "Bambu itu harus
diruncingi, lalu dipakai untuk menusuk tubuh Darah Kula. Menurut seorang Resi
yang kukenal, dengan menggoreskan 'Bambu Gading
Mandul' ke tubuh Darah Kula, maka kekuatan Darah
Kula akan berkurang. Hanya tergores saja sudah bisa
membuatnya lumpuh. Maka aku dan adikku bertekad
untuk menguburkan Darah Kula selama-lamanya agar
tidak timbulkan korban lagi bagi para gadis yang masih suci. Untuk itu, aku harus mencari 'Bambu Gading
Mandul' yang menurut sang Resi hanya tumbuh satu
batang dan hanya satu 'Bambu Gading Mandul' yang
tumbuh di muka bumi ini!" sambil Raka terngiang ka-ta-kata Resi Bayakumba yang
pernah dua kali membuntuti Darah Kula itu, (Baca serial Pendekar Kembar
dalam episode: "Pemburu Mahkota Dara").
"Guru belum pernah ceritakan hal itu," ujar Kirana. "Maka aku tak tahu, apakah
Guru mengetahui
tentang si Darah Kula atau tidak. Sebab...."
Kata-kata gadis cantik itu tiba-tiba terhenti, karena mendadak ia melihat seberkas sinar hijau berbentuk seperti bintang berekor yang melesat ke arah kanan Raka Pura. Kirana terperanjat sekali. Secara refleks tangannya menyambar lengan Raka dan menariknya mundur. "Awas...!"
Brruuk...! Raka Pura jatuh terjengkang karena
sentakan tangan Kirana cukup kuat dan sangat di luar
dugaan. Begitu Raka jatuh ke belakang, Kirana segera
sentakkan tangannya dalam keadaan telapak tangan
terbuka ke depan. Telapak tangan itu keluarkan sinar
biru seperti saat melawan Bomapati tadi. Claap...! Sinar biru itu berbenturan dengan sinar hijau, dan terjadilah ledakan yang cukup besar.
Biaaaarrr...! Kirana terdorong mundur oleh gelombang ledakan tersebut. Punggungnya membentur sebongkah batu sebesar kerbau, sehingga ia tak jadi jatuh. Tapi nafasnya menjadi terengahengah karena amarahnya
mulai terbakar.
"Seseorang ingin mencelakaimu, Raka! Bersiaplah hadapi orang itu!"
"Siapa orangnya"!" tanya Raka Pura sambil
bergegas dekati Kirana dalam gerakan mundur. Matanya memandang ke arah datangnya sinar hijau tadi,
tapi tak ada gerakan yang patut dicurigainya.
Kirana kelihatan tegang sekali, sebab ia kenali
pukulan bersinar hijau itu, hanya saja, ia ingin tidak percaya pada hati
kecilnya, dan mencoba mengalihkan
anggapannya kepada orang lain.
"Di mana kau lihat orang itu?" bisik Raka Pura yang ada di samping kanan Kirana.
"Aku tak melihat orangnya, tapi aku melihat gerakan sinar hijau itu, sehingga...."
Belum selesai Kirana bicara, tiba-tiba gadis itu
melihat gerakan benda terbang yang sangat cepat.
Benda itu adalah sekeping logam yang memantulkan
cahaya matahari. Agaknya ada seseorang yang melepaskan senjata rahasia berbentuk bintang segi empat,
dan sasaran utamanya adalah Raka Pura. Sebab benda berkerilap itu melayang cepat ke arah dada Raka
Pura. "Raka...!" seruan Kirana membuat Raka Pura segera melihat gerakan benda
tersebut. Maka serta-merta tubuhnya melesat ke atas dengan senjata menghentakkan napas dan menahannya di dada. Suuut...!
Tubuh Raka yang meluncur ke atas bagaikan
roket itu membuat senjata rahasia berbentuk bintang
segi empat itu tak kenai sasaran. Tapi batu di belakang Raka tadi menjadi
sasaran keras bagi senjata rahasia
tersebut. Triiiaang...! Teeb...! Senjata rahasia itu memantul ke arah
Kirana setelah membentur batu. Tangan gadis itu berkelebat cepat dan berhasil menangkap benda tersebut
dengan jari-jari tangan kanannya.
Raka Pura yang sudah turun dari lompatannya
tadi, memandang tajam dan berkerut dahi saat Kirana
menunjukkan senjata rahasia yang terselip di antara
sela jemarinya.
"Aneh!" gumam Raka. "Siapa pemilik senjata rahasia seperti itu" Aku tak pernah
punya lawan yang
bersenjata rahasia bintang segi empat!"
"Aku mengenalnya!" ujar Kirana tegas-tegas.
Agaknya gadis itu tak sangsi lagi, bahwa ia memang
kenal dengan pemilik senjata rahasia dan sinar hijau
tadi. Kirana segera mengibaskan tangannya. Bintang
segi empat itu melesat ke arah datangnya tadi. Ziing...!
Zrraabs...! Rupanya senjata yang dilemparkan Kirana
itu menancap di sebuah pohon, di belakang semak ilalang setinggi dadanya itu. Tapi dari balik semak tak
ada sosok bayangan yang muncul. Kirana dan Raka
Pura sama-sama diam, tegang, menyusuri dengan
pandangannya pada tiap jengkal tanah yang sudah
bukan lagi berhutan cemara itu.
Karena lawan yang ditunggu tak kunjung muncul, maka Kirana tak sabar lagi, ia pun berteriak keras-keras. "Keluarlah dari persembunyianmu, Kunto Aji!
Aku tahu kau ada di sekitar sini!"
Pendekar Kembar 13 Tumbal Asmara Buta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suasana masih sepi dan menegangkan. Namun
sesaat kemudian, sekelebat bayangan tahu-tahu muncul dari balik batu besar tempat Kirana dan Raka rapatkan diri. Orang yang muncul dari balik batu besar
itu turun dari atas batu dan menjejak kepala Raka Pura. Wuuut...! Duuuhk...!
"Aauh...!" Raka Pura terpelanting jatuh. Kepalanya terasa mau pecah. Tentu saja
ia tak menduga bakal muncul seseorang dari atas batu tersebut. Ia
hanya persiapkan tenaga dalam pelapis tubuh, sehingga jejakan bertenaga dalam itu hanya dirasakan seperti sebatang kayu jati
menghantam kepalanya. Pusing ju-ga, dan Raka sempat limbung saat mencoba berdiri
la- gi. Orang yang baru muncul dan langsung menyerang Raka itu berpakaian serba coklat tanah. Ia seorang pemuda sebaya dengan Raka. Badannya tidak begitu kekar, namun tampaknya bertulang keras.
Melihat kemunculan pemuda berpakaian serba
coklat itu, Kirana menjadi berang. Kakinya segera berkelebat dalam gerakan lompat memutar cepat.
Wuuut...! Ploook...! Rahang pemuda itu menjadi sasaran tendangan putar Kirana. Si pemuda berbaju coklat
itu terlempar dan jatuh berguling-guling.
"Kurang ajar kau, Reksada! Apa maksudmu
menyerang sahabatku itu"!" bentak Kirana dengan marah sekali. Reksada segera bangkit sambil menyeringai kesakitan. Rahang kanannya diusap-usap sambil matanya melirik ke arah Raka Pura memancarkan permusuhan. Raka segera dekati Kirana dan berbisik pelan,
"Apakah dia orang seperguruan dengan Bomapati"!"
"Bukan! Dia seperguruan denganku. Reksada
namanya! Apakah kau pernah bentrok dengannya?"
"Aku baru jumpa dia sekarang ini!" ujar Raka Pura yang sudah bisa atasi rasa
sakit kepalanya.
Reksada menjauh sedikit demi sedikit Agaknya
ia tak berani melawan Kirana. Mungkin karena ilmu
Kirana lebih tinggi dan sebagai kakak seperguruannya,
maka Reksada tampak ragu untuk melepaskan serangan kepala Raka Pura.
"Reksada! Jelaskan apa maksudmu menyerang
teman kita ini"! Dia bukan orang Perguruan Cakar
Hantu, seperti Bomapati dan yang lainnya!"
"Ak... aku disuruh menangkapnya!" ujar Reksada sambil mengurut rahangnya.
"Siapa yang menyuruhmu menangkapnya"!"
sentak Kirana. "Aku...!" sebuah suara menyahut keras. Raka
Pura dan Kirana segera memandang ke arah berlawanan. Ternyata di sana telah muncul seorang pemuda
sebaya Raka juga yang mengenakan pakaian serba loreng macan. "Kunto Aji..."!"
"Ya, aku yang menyuruh Reksada menangkap
pembunuh itu! Karena aku pun diutus oleh Guru untuk menangkapnya!"
Wajah Raka tampak bingung, demikian pula Kirana. Mereka saling pandang sebentar, dan Kirana
berbisik kepada Raka.
"Apakah kau mengenai Kunto Aji?"
"Tidak. Siapa dia?"
"Juga saudara seperguruan denganku! Tapi...
aneh sekali! Mengapa mereka memusuhi mu"!"
Raka menarik napas, menenangkan gemuruh
dalam dadanya yang mulai didesak oleh kemarahan. Ia
mencoba untuk tetap tenang dan tidak menunjukkan
permusuhan apa-apa pada kedua pemuda itu.
Kunto Aji adalah murid setingkat dengan Kirana. Ia seorang pemuda yang gagah dan bertubuh kekar, seperti Raka Pura. Rambutnya bergelombang sepundak. mengenakan ikat kepala dari kulit macan loreng. Rompi dan celananya juga terbuat dari kulit macan loreng, demikian pula kedua gelang di tangannya.
Pemuda yang punya wajah termasuk tampan itu menyandang pedang di punggungnya. Sarung pedang itu
dibungkus dengan kulit macan loreng. Sebab itulah
maka ia berjuluk si Bocah Loreng. Dialah pemilik senjata rahasia berbentuk bintang segi empat dan tentunya juga sebagai orang yang melepaskan pukulan jarak jauhnya yang bersinar hijau tadi.
"Kirana! Sejak kapan kau bersekutu dengan
seorang pembunuh keji itu"!" suara si Bocah Loreng terdengar keras tapi bernada
dingin. "Jaga bicaramu, Kunto Aji! Dia telah menyelamatkan nyawaku dari ancaman maut si Bomapati!
Mengapa kau mengecam sekejam itu padanya"!"
"Dia telah membunuh Prayoga!" sahut Reksada
setelah berada tak jauh dari Kunto Aji.
Kirana terperanjat kaget. Matanya terbelalak
dengan pandangan tertuju pada Raka Pura. Yang dipandang tampak kebingungan.
Rupanya Kirana juga murid seperguruan dengan Prayoga dan Danu Paksi. Si jubah putih berjenggot
abu-abu yang menjadi Guru mereka itu adalah Eyang
Wirata alias si Mulut Guntur. Namun Raka Pura jelas
tidak tahu akan hal itu.
"Siapa Prayoga itu"!" tanyanya kepada Kirana dengan dahi berkerut.
"Jangan berlagak pikun, Keparat! Kau habis
membunuh Prayoga lalu melarikan diri! Kurasa kau
takut menghadapi kami!" seru Kunto Aji sambil berto-lak pinggang dengan satu
tangan. Sinis dan dingin sikapnya. "Aku tidak kenal dengan Prayoga! Aku baru sa-ja sampai di kaki Gunung
Mercapada Ini!" ujar Raka dengan gerak pandangan mata kebingungan; sesekali
ke arah Kunto Aji, sesekali ke arah Kirana.
Kirana sempat sedikit shock mendengar kematian Prayoga, namun ia cepat atasi guncangan jiwanya.
Karena bagaimanapun, Prayoga adalah teman seperguruan yang selama ini bersikap baik kepadanya dan sering menjadi tempat mengadu keluh kesahnya, termasuk menjadi partner bertimbang rasa, ia sangat akrab
dengan Prayoga, sehingga banyak murid Perguruan
Tapak Syiwa yang menduga Kirana adalah kekasih
Prayoga. Padahal Prayoga punya kekasih sendiri di
Lembah Gadai yang bernama Utami. Hanya Kirana
yang mengetahui hubungan kasih antara Prayoga dengan Utami, sebab Utami adalah sahabatnya Kirana.
"Bocah Loreng!" suara Kirana mulai bergetar
pertanda menahan berbagai rasa dalam hatinya: sedih,
marah, curiga, dan sebagainya.
"Kapan Prayoga dibunuh"!"
"Baru saja! Tepat matahari di tengah kepala kita!" Pendekar Kembar sulung memandang ke langit.
matahari mulai bergeser ke barat.
"Omong kosong!" sentak Kirana tiba-tiba, membuat Raka Pura tersentak kaget.
"Kalau begitu kau hanya melontarkan tuduhan
ngawur, Bocah Loreng!"
"Kau lebih percaya padanya, Kirana"!"
"Tentu saja! Sebab sebelum matahari tepat di
tengah kepala kita, dia sedang bertarung melawan
Bomapati demi selamatkan nyawaku! Dan sejak itu ia
bersamaku. Kami justru sedang menuju ke padepokan
karena dia ingin bertemu dengan Guru untuk suatu
keperluan."
Kirana mulai tampak bersemangat membela
Raka Pura. Gadis itu berani ngotot karena ia yakin
bahwa tuduhan itu tidak benar. Sikap ngototnya Kirana membuat Kunto Aji sempat bimbang. Akhirnya ia
berkata dengan pandangan lurus ke arah Kirana.
"Aku tak tahu pasti mana yang benar. Yang jelas, kami diutus Guru untuk menangkapnya! Dia harus di adili!"
"Aku keberatan jika dia ditangkap dengan tuduhan sebagai pembunuh Prayoga!" tegas Kirana.
"Jika kau memihaknya, aku terpaksa melawanmu, Kirana!"
"Aku pun tak keberatan melawanmu, Bocah Loreng! Aku berani membelanya, sebab aku tahu dia tidak bersalah!" sambil Kirana bergeser ke depan Raka, seakan menjadi perisai bagi
si Pendekar Kembar sulung itu.
"Jika begitu, bersiaplah menghadapiku, Kirana!" "Aku sudah siap, Bocah Loreng!" tegas Kirana dengan pandangan mata tak kalah
tajam dengan si
Bocah Loreng. Raka Pura segera berkata, "Biar kuhadapi sendiri teman kita ini, Kirana! Barangkali dia butuh pelajaran berharga bagi
hidupnya."
Kunto Aji berseru semakin panas hatinya, "Itu
gagasan yang bagus! Buktikan bahwa kau tidak lari
karena takut berhadapan denganku!"
Raka menyahut, "Aku tidak akan lari, hanya
saja, sayang kalian cuma berdua! Ada baiknya jika
yang baju coklat itu memanggil teman-temanmu dulu,
dan aku akan menunggu di sini! Ingat, aku tidak akan
lari!" Tantangan yang dilontarkan dengan kalem tapi tegas itu membuat Reksada
dan Kunto Aji semakin berang. Reksada mulai mencabut goloknya. Sreett...! Raka Pura maju dua langkah hingga menghalang di depan Kirana. Kunto Aji melebarkan jarak dan tangannya
mulai bersiap-siap lepaskan pukulan mautnya ke arah
Pendekar Kembar sulung itu.
"Kau akan berhutang nyawa padaku jika sampai melukainya, Kunto Aji!" ujar Kirana mengancam. Ia pun segera mencabut
cambuknya dan melompat mundur hingga berdiri di atas batu besar di belakangnya.
Wuuut...! Jleeg...!
Kunto Aji segera lepaskan pukulannya ke arah
wajah Raka dengan satu lompatan cepat. Wuuut...!
Plak, plak...! Pendekar Kembar sulung berhasil menangkis dua pukulan beruntun dari Kunto Aji. Tapi tiba-tiba tubuh Kunto Aji berputar dan kakinya berkele Pendekar Remaja 17 Si Rase Hitam Hek Sin Ho Karya Chin Yung Rajawali Sakti Dari Langit Selatan 11
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama