Ceritasilat Novel Online

Kelelawar Beracun 3

Dewa Arak 18 Kelelawar Beracun Bagian 3


Gading ini telah tercekal sebuah buntalan kain kecil berwarna hitam. Prabu
Nalanda lalu membuka ikatannya, kemudian mengeluarkan isinya. Ternyata sebuah
benda berwarna bening sebesar kelereng. Inilah Batu Kehidupan itu.
Secepat benda itu dipegangnya, secepat itu pula
diserahkannya pada Eyang Sagapati. Bergegas kakek berpakaian coklat itu menerima, kemudian mencelupkannya ke dalam sebuah cawan
berisi air putih.
Begitu Batu Kehidupan itu telah tenggelam, dari dasar cawan melayang naik
gelembung-gelembung udara. Mula-mula sedikit, tapi kian lama kian banyak.
Kemudian perlahan mulai berkurang, sampai akhirnya lenyap sama sekali.
Begitu gelembung-gelembung udara itu lenyap, Eyang
Sagapati segera meminumkan larutan itu pada Melati.
"Kini kita hanya tinggal menunggu hasilnya saja,"
jelas Eyang Sagapati perlahan setelah air itu lenyap ke dalam mulut Melati.
Tidak ada satu pun yang menyahuti ucapan kakek
berpakaian coklat itu. Semua yang berada di situ sama-sama dilanda perasaan
tegang dan cemas. Eyang Sagapati pun rupanya tidak terlalu mementingkan adanya
sambutan atas ucapannya tadi.
*** Waktu terasa merayap begitu lambat Prabu Nalanda,
Patih Rantaka, pasukan khusus, dan Eyang Sagapati
memperhatikan wajah Melati dengan perasaan cemas. Tapi sampai pagi menjelang,
warna merah pada wajah gadis itu tetap tidak lenyap. Hanya saja, warna merahnya
tidak lagi bertambah.
Eyang Sagapati kembali memeriksa Melati.
"Apa yang hamba khawatirkan terjadi juga, Gusti Prabu," bisik kakek berpakaian
coklat itu. "Maksud, Eyang?"
"Batu Kehidupan tidak mampu mengusir racun yang telah mengeram dalam tubuh Gusti
Ayu...." "Jadi.... Anakku akan tewas, Eyang?" ada nada keputusasaan dan rasa sedih yang
mendalam pada suara itu.
"Tidak, apabila obat penawar racun ini berhasil didapatkan," jelas Eyang
Sagapati lagi. "Tapi bukankah akan percuma saja, Eyang?" bantah Prabu Nalanda. "Mencari obat
itu membutuhkan waktu, sementara Melati sama sekali tidak bisa menunggu."
"Ampun, Gusti Prabu. Batu Kehidupan akan mempertahankan nyawa Gusti Ayu sampai obat penawarnya berhasil didapatkan."
"Maksud, Eyang?" tanya Raja Bojong Gading ini tidak mengerti.
"Meskipun Batu Kehidupan tidak mampu mengusir
racun itu karena kedatangannya sudah amat terlambat, tapi benda itu masih
menunjukkan kegunaannya," ujar Eyang Sagapati menjelaskan.
"Apa kegunaan benda itu, Eyang?" Prabu Nalanda ingin tahu.
"Menahan menjalarnya racun itu menuju ke jantung,"
Prabu Nalanda, Patih Rantaka, dan seluruh anggota
pasukan khusus mengangguk-anggukkan kepala. Ada sedikit rasa lega mendengar
nyawa Melati masih bisa diperpanjang.
"Apakah obatnya, Eyang?" tanya Prabu Nalanda penuh gairah. "Segera akan kuutus
para prajuritku untuk mendapatkannya."
Eyang Sagapati tercenung sejenak, tidak langsung
menjawab pertanyaan itu.
"Menurut sepengetahuan hamba, ada tiga macam
pusaka di dunia ini yang dapat menawarkan segala macam racun, Gusti Prabu,"
jawab kakek berpakaian coklat memberi keterangan. "Pertama, benda langit. Kedua,
macan putih. Dan ketiga, Batu Kehidupan."
Eyang Sagapati menghentikan ceritanya sejenak,
menatap wajah orang-orang yang berada di sekelilingnya.
Tampak, Patih Rantaka mengangguk-anggukkan kepala.
"Di antara ketiga benda pusaka itu, Batu Kehidupan menempati
urutan terbawah dalam hal kemanjuran. Meskipun begitu, telah kita lihat sendiri keampuhannya."
"Jadi..., benda langit dan macan putih itulah yanti harus ditemukan, Eyang?"
potong Prabu Nalanda tidak sabar.
"Kira-kira, di mana adanya benda itu, Eyang?"
"Hamba juga tidak mengetahuinya, Gusti Prabu,"
sahut Eyang Sagapati seraya menggelengkan kepala.
"Rasanya sulit untuk mendapatkan kedua benda itu, Eyang Sagapati," Patih Rantaka
kembali membuka suara.
"Beberapa waktu yang lalu, memang kudengar ada kabar mengenai adanya benda
langit dan macan putih di Hutan Bandan. Tapi..., kemudian lenyap begitu saja."
Prabu Nalanda menganggukkan kepala. Memang Raja
Bojong Gading ini juga mendengar berita itu.
"Apakah tidak ada obat lain yang dapat menawarkan racun itu. Eyang Sagapati?"
tanya Patih Rantaka ingin tahu.
"Memang masih ada lagi, Gusti Patih," sahut kakek berpakaian coklat cepat.
"Apa itu, Eyang?" Prabu Nalanda yang justru bertanya. "Obat penawar dari Kelelawar Beracun!" tandas Eyang Sagapati.
Sepasang mata Prabu Nalanda kembali berbinar.
Secercah harapan kini bersemi kembali di hatinya. Harapan agar Melati bisa
diselamatkan. "Patih...!" panggil Raja Bojong Gading itu pada Patih Rantaka.
"Hamba, Gusti Prabu," sahut Patih Rantaka seraya memberi sembah.
"Perintahkan prajurit untuk mencari benda-benda itu!" sabda Prabu Nalanda. "Dan
jangan lupa, cari pula Kelelawar Beracun! Dan beri tahu Dewa Arak serta Ki
Julaga mengenal hal ini. Mengerti"!"
"Hamba mengerti. Gusti Prabu!"
"Kalau begitu, cepat pergilah!"
Setelah memberi hormat Patih Rantaka pun bergegas
meninggalkan ruangan itu. Sementara anggota pasukan
khusus langsung berjaga-jaga di sekitar ruangan itu. Mereka memang pasukan
keselamatan raja.
*** Siang itu udara panas sekali. Matahari yang tepat
berada di atas kepala memancarkan sinarnya dengan garang, seakan-akan ingin
melelehkan bumi beserta isinya.
"Hhh...!"
Seorang pemuda berambut putih keperakan menghela
napas lega. Wajahnya, terutama sekali dahi dan bawah hidungnya nampak dipenuhi
butiran-butiran keringat.
Perlahan-lahan kepala pemuda berambut putih keperakan itu mendongak, menatap sejenak ke arah bola raksasa yang nampak
menyilaukan itu. Lalu tangannya
digerakkan untuk menghapus peluh yang membasahi dan
bawah hidungnya dengan punggung tangan.
Pemuda itu berpakaian ungu. Sebuah guci arak
terbuat dari perak tersampir di punggungnya. Sepertinya tidak ada yang aneh pada
pemuda ini, kecuali warna
rambutnya yang berwarna putih keperakan itu. Tapi jika orang melihat sepasang
matanya, baru terlihat keanehannya.
Sepasang mata pemuda berambut putih keperakan itu
terlihat begitu tajam, mencorong, dan berwarna kehijauan.
Mirip sepasang mata seekor harimau dalam gelap.
Wajah pemuda berambut putih keperakan itu berseri
ketika melihat sebatang pohon besar berdaun rindang, tak jauh
di hadapannya. Bergegas kakinya melangkah menghampiri, kemudian menghempaskan bokongnya. Dia
duduk sebentar, lalu perlahan merebahkan tubuh menelentang. "Hhh...!"
Sebuah hembusan kelegaan keluar dari mulutnya,
kemudian sepasang matanya dipejamkan periahan-lahan.
Belum berapa lama berbaring, pemuda berpakaian
ungu ini mengangkat kembali kepalanya. Telinganya yang menempel di tanah,
menangkap derap kaki kuda. Menilik dari bunyinya, dia tahu kalau kuda itu tidak
hanya seekor saja.
Tapi begitu kepalanya diangkat, derap langkah kuda
itu lenyap. Betapa pun pemuda berambut putih keperakan ini memusatkan
pendengarannya, tapi bunyi tadi tak juga tertangkap olehnya.
Kini pemuda berpakaian ungu ini sadar kalau kuda
yang tengah berlari itu masih terlalu jauh, sehingga pendengarannya yang telah
amat tajam itu tidak mampu menangkapnya. Kini dia bangkit dari berbaringnya,
lalu duduk bersandar pada batang pohon.
Perlahan namun pasti derap kaki kuda itu semakin
keras terdengar. Pertanda kalau kuda itu tengah berlari menuju ke arahnya. Tapi
pemuda berambut putih keperakan sama sekali tidak mempedulikan, dan tetap saja
duduk bersandar pada sebatang pohon.
Pemuda berpakaian ungu itu tetap saja tak bergeming
dari bersandarnya, meskipun para penunggang kuda sudah berada dalam jangkauan
pandang mata biasa.
Derap langkah kuda itu ternyata berasal dari lima
ekor kuda yang masing-masing ditunggangi seorang berpakaian prajurit.
Pemuda berambut putih keperakan itu hanya meliriknya sekejap, kemudian memejamkan matanya kembali.
Sama sekali tidak ambil peduli atas kehadiran lima orang penunggang kuda itu.
Meskipun begitu, pendengarannya dipasang
tajam-tajam, bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Seluruh otot-ototnya tampak menegang waspada.
Pemuda berpakaian ungu mulai merasa curiga begitu
langkah kaki kuda itu terdengar semakin mendekat ke
arahnya. Tak lama kemudian berhenti sesaat. Lalu, terdengar suara perlahan dan
beberapa pasang kaki yang mendarat di tanah.
"Raden...," tiba-tiba terdengar oleh telinga pemuda berambut putih keperakan
suara panggilan perlahan.
Karuan saja pemuda itu merasa heran. Dia tidak
mengetahui adanya orang lain di sekitar sini. Tapi mengapa ada orang yang
memanggil raden" Perasaan penasaran
mendorongnya membuka mata.
Seketika sepasang mata pemuda berambut putih
keperakan terbelalak. Betapa tidak" Sekitar tiga tombak di depannya, berdiri
lima orang prajurit yang tadi dilihatnya.
Mereka semua berdiri menghadap ke arahnya dengan kepala tertunduk. Dirinyalah
yang tadi dipanggil raden" Atau orang lain yang berada di sekitar tempat ini"
Mendapat dugaan demikian, pemuda berambut putih keperakan ini segera mengedarkan
pandangan ke sekeliling. Tapi, tidak ada seorang pun yang dilihatnya! Jadi,
apakah panggilan raden itu ditujukan padanya"
"Maaf, siapakah Kisanak semua?" tanya pemuda berambut pulih keperakan pelan.
"Kami adalah prajurit Kerajaan Bojong Gading,
Raden," sahut seorang prajurit yang beralis tebal.
Kini pemuda berambut putih keperakan itu mengerti,
mengapa kelima orang prajurit itu memanggilnya raden.
"Aku mohon, kalian semua jangan memanggilku
seperti itu," pinta pemuda berambut putih keperakan tegas.
"Dan kalau kalian tetap berkeras, aku akan pergi. Panggil saja aku Arya!"
Wajah kelima orang prajurit Kerajaan Bojong Gading
berubah. Mereka menangkap adanya nada kesungguhan
dalam suara pemuda berambut putih keperakan yang
memang adalah Arya alias Dewa Arak Maka, mereka tidak berani bersikap main-main.
"Baiklah, Rad.... Eh! Arya," ujar prajurit beralis tebal mengalah. Rupanya
dialah yang bertugas menjadi juru bicara dari keempat orang rekannya.
Arya menganggukkan kepala.
"Sekarang katakanlah, mengapa kalian bisa berada di sini?" tanya Arya.
"Kami memang ditugaskan untuk mencari Rad.. eh!
Mencarimu, Arya?" sahut prajurit beralis tebal, gugup.
"Heh..."!"
pemuda berambut putih keperakan terperanjat "Siapa yang menugaskan kalian?"
"Gusti Prabu."
"Gusti Prabu"!" ulang Arya setengah terpekik kaget.
Kelima orang prajurit Bojong Gading itu menganggukkan kepala, membenarkan.
"Kalau boleh kutahu, apakah keperluan yang mendorong Gusti Prabu menyuruh kalian mencariku?" tanya Arya.
Perasaan tidak enak mulai menjalari hati pemuda
berambut putih keperakan ini. Dia tahu, pasti ada suatu masalah yang penting.
Sebab, tidak mungkin Raja Bojong Gading itu mengirimkan prajurit untuk
memanggilnya, jika tidak ada masalah gawat seperti ini.
Kontan kelima orang prajurit Kerajaan Bojong Gading


Dewa Arak 18 Kelelawar Beracun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu terdiam. Hanya mata mereka saja yang saling pandang.
Tampak jelas kalau mereka merasa ragu-ragu untuk
menyampaikannya.
"Katakanlah cepat jangan berteka-teki lagi," desak Arya tak sabar.
"Hhh...!"
Prajurit beralis tebal menghela napas berat. "Gusti Ayu menderita keracunan
hebat..," jawab prajurit beralis tebal itu. Pelan sekali, mirip desahan.
"Hah..."!" Arya terjingkat bagai disengat kalajengking.
"Melati keracunan" Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi"
Bukankah gadis berpakaian putih itu memiliki pusaka yang dapat menawarkan segala
macam racun?"
"Bagaimana kalau kita membicarakannya dalam
perjalanan saja, Arya" Gusti Prabu menyuruh kami untuk cepat-cepat membawamu ke
istana," usul prajurit beralis tebal hati-hati.
Tanpa pikir panjang lagi, Arya menganggukkan
kepala. "Kalau begitu, mari cepat terangkat!"
sambung prajurit lain. Dia lalu melompat naik ke atas punggung kuda,
diikuti keempat orang kawannya. Sementara Arya lebih memilih berlari daripada
menaiki seekor kuda bersama-sama.
Betapapun kelima orang prajurit Kerajaan Bojong Gading itu mendesak, Arya tetap
menolak. Namun akhirnya mereka
mengalah. Prajurit beralis tebal mendecak pelan seraya menghela tali kekang kudanya.
Keempat orang rekannya pun berbuat yang sama. Seketika itu juga, binatangbinatang tunggangan itu melesat cepat meninggalkan tempat itu.
Prajurit Kerajaan Bojong Gading ini telah mengetahui kelihaian Arya. Maka, tanpa
ragu-ragu lagi mereka segera memacu lari kuda itu secepatnya. Mereka sebenarnya
juga ingin tahu, mampukah Dewa Arak mengimbangi lari kuda mereka" Sebab,
binatang itu adalah kuda-kuda pilihan yang kuat dan memiliki kemampuan lari
cepat. Prajurit Kerajaan Bojong Gading ini jadi kagum ketika mereka melihat sekelebatan
bayangan ungu. Dan sesaat kemudian, di sebelah mereka Arya tengah berlari
membarengi kuda. Wajah pemuda berambut putih keperakan itu tampak biasa-biasa
saja, tidak nampak kalau tengah mengerahkan tenaga.
Hebatnya, sambil terus beriari Arya menanyakan
sebab-sebab Melati bisa terluka. Dengan bergantian, kelima orang prajurit itu
menceritakan pada Arya.
Bahkan diceritakan pula kalau Prabu Nalanda telah
mengundang seluruh ahli pengobatan di dunia peralatan untuk mengobati Melati.
Imbalan besar menanti mereka bila berhasil menyembuhkan gadis berpakaian putih.
Tapi, satu persatu ahli-ahli pengobatan itu angkat tangan, tak mampu mengobati
Melati. Karuan saja mendengar cerita itu, Arya merasa
khawatir bukan kepalang. Tanpa mempedulikan kelima orang prajurit itu, Dewa Arak
lalu menambah kecepatan larinya sampai setinggi mungkin.
Perlahan namun pasti, Arya mulai meninggalkan
kelima orang prajurit Kerajaan Bojong Gading itu. Semakin lama semakin jauh,
hingga tak dihiraukannya lagi panggilan para prajurit itu. Yang ada di benaknya
hanya satu. Segera menemui Melati secepatnya.
8 Prajurit penjaga pintu gerbang terperanjat begitu
melihat kedatangan Dewa Arak. Bergegas dia berlari ke dalam menyampaikan berita
itu pada seorang anggota pasukan khusus, untuk diteruskan pada Prabu Nalanda.
"Ampun, Gusti Prabu," ucap seorang anggota pasukan khusus seraya memberi hormat.
"Ada apa?" tanya Prabu Nalanda seraya memalingkan kepala
dari tubuh Melati yang masih tergolek di pembaringan. Di sebuah kursi Indah berukir di dekat situ, duduk
seorang kakek bertubuh kecil kurus. Alis, kumis, dan jenggotnya telah memutih
semua. Jenggotnya panjang hingga mencapai
dada. Kelihatannya, kakek itu datang dari kalangan rimba persilatan.
"Prajurit penjaga pintu gerbang melaporkan. Dewa Arak telah berada di depan,"
jelas anggota pasukan khusus Itu.
"Bawa dia masuk!" sabda Prabu Nalanda penuh wibawa. Wajahnya tampak berseriseri. "Baik, Gusti Prabu," sahut anggota pasukan khusus seraya melangkah meninggalkan
tempat Itu. Tak lupa
dihaturkan hormat kepada junjungannya.
Kakek bertubuh kecil kurus itu berdiri dari bangkunya begitu mendengar kedatangan Dewa Arak.
"Orang yang kira tunggu-tunggu akhirnya datang
juga, Ki," kata Prabu Nalanda pelan. Nada suara maupun sorot matanya memancarkan
kegembiraan. Meskipun begitu, sorot kecemasan tidak juga lenyap dari wajahnya.
"Yahhh...!" kakek bertubuh kecil kurus mendesah pelan. "Memang dialah orang yang
harus lebih dulu tahu mengenai nasib Melati."
Prabu Nalanda hanya menganggukkan kepala.
"Bagaimana usaha pencarian terhadap benda langit dan macan putih, Gusti Prabu,"
tanya kakek bertubuh kecil kurus itu ingin tahu.
"Hhh...!" Raja Bojong Gading menghela napas berat
"Sampai sekarang mereka belum juga kembali."
"Hm...," kakek bertubuh kecil kurus menggumam pelan. "Lalu..., apakah tempat
tinggal Tuyul Tangan Seribu dan Kelelawar Beracun sudah ditemukan, Gusti Prabu?"
Raja Bojong Gading menggelengkan kepala.
"Kedua tokoh sesat itu telah meninggalkan sarangnya masing-masing.
Rupanya mereka khawatir juga kalau Kerajaan Bojong Gading akan mengadakan pembalasan. Ki Temula
sendiri yang mengajukan diri, agar aku mengizinkannya mencari kedua tokoh sesat itu."
"Ki Temula?" ulang kakek bertubuh kecil kurus sambil mengernyitkan dahi. "Siapa
dia, Gusti Prabu?"
"Ketua Perguruan Garuda Sakti, sekaligus guru
beberapa orang panglima Kerajaan Bojong Gading."
Kakek bertubuh kecil kurus mengangguk-anggukkan
kepala. Sementara itu, percakapan mereka terhenti ketika
Dewa Arak melangkah masuk diiringi seorang anggota
pasukan khusus.
Arya terperanjat ketika melihat kakek bertubuh kecil kurus berada di situ. Dia
kenal betul, siapa adanya kakek itu.
Siapa lagi kalau bukan Ki Julaga" Guru Melati!
Pemuda berambut putih keperakan itu segera memberi hormat kepada Prabu Nalanda.
"Bagaimana kau bisa berada di sini, Ki?" tanya Arya heran.
Kakek bertubuh kecil kurus itu tersenyum lebar.
"Pasukan Kerajaan Bojong Gading datang ke tempatku, Arya. Mereka mengabarkan kalau Melati keracunan," sahut Ki Julaga memberi tahu. "Maka buru-buru aku datang ke sini."
Arya mengangguk-anggukkan
kepala. Kini dia mengerti, mengapa kakek bertubuh kecil kurus itu bisa berada di dalam Istana
Kerajaan Bojong Gading.
"Bagaimana keadaan Melati, Gusti Prabu?" tanya Arya.
Sebenarnya sudah sejak tadi dia hendak menanyakannya. Tapi pemuda berambut putih keperakan ini tahu diri, dengan menahan
pertanyaan yang sejak tadi hendak keluar dari mulutnya.
"Kau lihat saja sendiri, Arya," sahut Raja Bojong Gading itu mempersilakan.
Dewa Arak segera melangkah menghampiri pembaringan. Sejak tadi pun gadis berpakaian pulih itu sudah terlihat. Tapi
tanpa perkenan Prabu Nalanda, mana berani dia bersikap lancang menghampiri
pembaringan itu.
Dan kini setelah Prabu Nalanda memperkenankan, tanpa membuang-buang waktu lagi,
pemuda berambut putih
keperakan ini melangkah menghampiri pembaringan.
Hampir saja air mata Dewa Arak tumpah melihat
pemandangan yang terpampang di hadapannya.
"Melati-kah Ini?" tanya Dewa Arak dalam hati, hampir tidak percaya.
Gadis berpakaian putih itu kini sungguh berubah
jauh. Meskipun Arya masih bisa mengenali kalau sosok tubuh yang terbaring lemah
di pembaringan itu adalah Melati, tapi keadaannya membuat kaget bukan main!
Melati kini sangat kurus. Pakaian putih yang membungkus tubuhnya kini telah longgar. Padahal dulu pakaian itu amat ketat
membungkus tubuhnya yang kini hanya
tinggal tulang terbungkus kulit. Wajah yang dulu cantik laksana bidadari dan
nampak selalu segar berseri itu, kini nampak cekung. Dan yang lebih mengerikan
lagi, sekujur kulit tubuh Melati nampak merah.
Beberapa saat lamanya pemuda berambut putih
keperakan itu terpaku. Sepasang matanya terbelalak lebar.
Rasa haru dan kasihan yang amat sangat melanda hatinya.
Ingin rasanya dia menjerit. Memeluk tubuh yang tergolek lemah dengan sepasang
mata terpejam rapat itu.
"Melati! Betapa menderitanya dirimu?" desah Arya dalam hati dengan perasaan
pilu. Kalau saja bisa, ingin rasanya Dewa Arak memindahkan penyakit yang menimpa
Melati padanya!
Prabu Nalanda, Ki Julaga, Patih Rantaka, dan Eyang
Sagapati sama sekali tidak mengganggu. Dibiarkan saja Arya dengan kesibukannya.
Tidak ada lagi yang berada dalam ruangan itu kecuali mereka. Prabu Nalanda telah
menyuruh semua anggota pasukan khusus untuk meninggalkan ruangan, dan berjaga-jaga di luar saja.
"Sudah berapa lama Melati seperti ini, Gusti Prabu?"
tanya Arya setelah sekian lamanya terdiam. Suara pemuda berambut putih keperakan
ini terdengar serak.
"Tujuh hari...," jawab Prabu Nalanda Kini suaranya terdengar biasa.
Memang, setelah beberapa hari sakitnya Melati, Raja
Bojong Gading ini sudah bisa mengendalikan diri. Tidak lagi hanyut terbawa
perasaan cemas.
"Dan selama itu..., apakah Melati pernah tersadar, Gusti Prabu?" kembali pemuda
berambut putih keperakan ini mengajukan pertanyaan. Masih dengan suara serak.
Prabu Nalanda menggelengkan kepala.
"Untuk menjaga daya tahan tubuhnya, terpaksa kami berikan buah-buahan yang
terlebih dahulu diperas. Hal itu dilakukan, agar dia tetap dapat bertahan
hidup." Arya menganggukkan kepala. Kini dia mengerti,
mengapa Melati bisa sekurus ini. Dan sekarang, perlahan tangan Arya bergerak,
membelai wajah dan rambut Melati penuh kasih sayang. Kalau saja tidak malu,
ingin rasanya Arya menangis sambil memanggil-manggil Melati. Tapi, dia tahu hal
itu tak mungkin dilakukannya. Yang dapat
dilakukan pemuda berambut putih keperakan ini hanyalah mengepalkan kedua tangan
sekeras mungkin. Terdengar
suara berkerotokan keras seperti ada tulang-tulang yang berpatahan, ketika Dewa
Arak mengepalkan tangannya.
Prabu Nalanda dan Patih Rantaka diam-diam terkejut
bukan main melihat hal ini. Mereka berdua memang telah mengetahui kelihaian
pemuda berambut putih keperakan itu.
"Kelelawar Beracun...!" desis Dewa Arak pelan tapi tajam. Sepertinya ada ancaman
maut tersirat dalam ucapan itu.
Ki Julaga bergegas menghampiri, langsung menepuknepuk bahu pemuda berambut putih keperakan untuk
menenangkan hatinya.
"Sabarlah, Arya," bujuk kakek bertubuh kecil kurus itu menasihati. 'Tidak baik
menuruti nafsu amarah."
"Tapi, Ki.... Perbuatan Iblis itu sudah sangat keterlaluan...!" sergah Dewa Arak "Apa pun yang terjadi, aku harus mencarinya
untuk menuntut balas atas kekejiannya terhadap Melati!"
"Hhh...!"
Hanya sebuah helaan napas panjang Ki Julaga yang
menyahuti ucapan Dewa Arak.
Mendadak Arya membalikkan

Dewa Arak 18 Kelelawar Beracun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tubuh. "Maafkan hamba, Gusti Prabu. Hamba tidak bisa berlama-lama di sini,"
ucap pemuda berambut putih keperakan sambil memberi
hormat. "Kau hendak ke mana, Arya?" pelan dan lembut suara Raja Bojong Gading itu. "Kau
baru saja tiba. Mengapa buru-buru pergi?"
"Hamba ingin mencari Kelelawar Beracun! Meminta obat bagi Melati!" ucap Dewa
Arak. Dia tahu kalau arak dan gucinya pun tak mampu mengobati Melati. Batu
Kehidupan saja tidak mampu! Apalagi guci araknya!
Melihat sikap pemuda berambut putih keperakan, Ki
Julaga dan Prabu Nalanda tidak berusaha menghalangi.
Mereka berdua tahu, Arya tidak mungkin bisa dihalangi lagi.
"Kalau itu sudah menjadi keputusanmu, pergilah, Arya," ujar Prabu Nalanda
bijaksana. "Kau tidak usah mengkhawatirkan Melati. Eyang Sagapati berani
menjamin, tunanganmu akan sanggup menanti sampai kau kembali
dengan membawa obat penawar racun itu."
Ki Julaga mengangguk-anggukkan kepala.
"Aku juga akan menjaganya sampai kau kembali,
Arya," Ki Julaga ikut membuka suara.
"Terima kasih, Ki"
Setelah pamit pada semua orang yang berada di
dalam ruangan itu, Dewa Arak bergegas melangkah ke luar.
Tujuannya sudah jelas. Mencari Kelelawar Beracun!
*** Begitu keluar dari pintu gerbang Istana Kerajaan
Bojong Gading, Arya kebingungan. Ke mana harus mencari Kelelawar Beracun" Sama
sekali tidak diketahui, di mana tempat tinggal tokoh sesat itu! Lagi pula,
Kelelawar Beracun tidak punya tempat tinggal tetap. Di samping itu Kelelawar
Beracun pun bukan orang bodoh! Dia pasti akan menjauhkan diri, sebab tahu kalau dirinya akan jadi buruan Kerajaan Bojong
Gading. Menghadapi hal ini, Arya kembali teringat pada
gurunya, Ki Gering Langit! Betapa mudahnya bagi kakek berpakaian putih bersih
itu untuk mengetahui adanya
seseorang. Tapi pemuda berambut putih keperakan ini
merasa malu untuk meminta bantuan Ki Gering Langit
Sudah terlalu sering gurunya dimintakan bantuan. Dan kali ini Dewa Arak akan
berusaha untuk mencarinya sendiri. Toh, Eyang Sagapati telah menjamin kalau
Melati akan sanggup bertahan sampai dia berhasil menemukan obat penawar
racun itu. Kedua hal itulah yang menyebabkan Dewa Arak
bertahan untuk tidak meminta bantuan gurunya. Dia terus saja melakukan
perjalanan, mencari jejak Kelelawar Beracun dan Tuyul Tangan Seribu. Dari para
prajurit Kerajaan Bojong Gading, sudah diketahuinya ciri-ciri kedua tokoh sesat
itu. Maka di sepanjang perjalanan, Arya tidak henti-hentinya mencari keterangan
tentang keberadaan kedua orang itu.
Tapi sampai lelah bertanya-tanya, tak juga didapatkannya jejak kedua orang itu. Entah sudah berapa desa disinggahi dan
ditanyakan hal itu pada penduduk. Tapi, tidak ada seorang pun yang bisa
memberikan jawaban yang
diharapkan. Telah lima hari Arya berusaha keras mencari jejak
Tuyul Tangan Seribu dan Kelelawar Beracun. Tapi hanya kegagalan saja yang
didapatkan. Gelengan kepala pertanda tidak tahu selalu menyambut setiap
pertanyaannya. Hari sudah agak siang ketika pemuda berambut putih
keperakan baru saja meninggalkan Desa Karang Sari. Kepala Dewa Arak tertunduk
lesu menekuri tanah. Hatinya terpukul karena kembali jawaban serupa yang
didapat. Tapi begitu memasuki Hutan Lawang, Dewa Arak
mengangkat kepalanya. Sepasang matanya beredar mengamati keadaan sekelilingnya. Pendengarannya dipasang tajam-tajam. Pemuda
berambut putih keperakan terus
berlaku seperti itu. Meskipun sampai sekian jauh masuk ke dalam hutan, tidak
juga ditemukan tanda-tanda apa pun.
Yang terdengar hanyalah suara binatang-binatang penghuni hutan.
Namun mendadak Arya menghentikan langkah. Pendengarannya yang tajam menangkap adanya rintihan
sayup-sayup. Walaupun hanya sayup-sayup, tapi bagi Arya hal itu sudah cukup.
Sesaat lamanya pemuda berambut
putih keperakan itu tercenung sejenak, memperkirakan arah suara itu.
Suara itu terlalu lemah. Lagi pula terlalu singkat
sehingga membuat Arya kurang bisa menangkap arahnya.
Kembali terdengar rintihan itu. Sama seperti sebelumnya, sayup-sayup dan hanya sebentar. Kali ini Dewa Arak berhasil
mengetahui dari mana asal suara itu. Maka tanpa ragu-ragu lagi, pemuda berambut
putih keperakan ini segera melesat ke arah yang dituju.
Arya bergerak cepat menerobos kerimbunan semaksemak dan pepohonan lebat Tak jarang dia berlari dan berlompatan di atas pohon
apabila semak-semak dan
pepohonan yang menghadang jalannya terlalu rapat.
"Uhhh...!"
Srakkk...! Dewa Arak menguak kerimbunan semak-semak tempat suara itu berasal. Dan begitu kerimbunan semak-semak itu terkuak, tampak
olehnya sesosok tubuh seorang laki-laki berwajah keras dan bertubuh kekar tengah
tergolek lemah. Menilik dari pakaian yang dikenakan, Arya bisa mengetahui kalau
orang ini adalah penduduk desa.
Laki-laki berwajah keras itu rupanya terkejut juga
melihat tahu-tahu ada seorang pemuda berambut putih
keperakan berada di hadapannya. Wajahnya nampak memancarkan rasa takut
yang amat sangat. Dengan beringsut-ingsut dia berusaha menjauhkan diri.
Tanpa memperhatikan lebih jauh lagi pun, Arya sudah
bisa memperkirakan apa yang terjadi pada laki laki berwajah keras itu. Pada
pahanya nampak tertancap sebuah logam berbentuk anak panah. Begitu pula pada
bahu kanannya. Kedua luka itu tampak masih mengucurkan darah.
"Jangan takut Kisanak," bujuk Dewa Arak menenangkan karena tahu kalau laki-laki
berwajah keras itu merasa takut terhadapnya. "Aku bukan orang jahat"
"B... be... benarkah...?" Dengan agak menggigil, laki-laki berwajah keras itu
membuka suara. Arya mengangguk. Tak lupa diberikan sebuah senyuman lebar untuk lebih menenangkan perasaan orang itu.
"Kau bukan teman orang jahat itu?" tanya laki-laki berwajah keras itu. Nada
suara dan raut wajahnya masih memancarkan perasaan tidak percaya.
"Percayalah, Kisanak. Aku kebetulan lewat di sekitar sini. Lalu, aku menuju ke
tempat ini karena mendengar tintihanmu," sahut Arya lagi.
"Hhh...!"
Laki-laki berwajah keras menghela napas lega. Tapi
sesaat kemudian mulutnya menyeringai. Rupanya rasa sakit karena senjata yang
tertancap di bahu dan pahanya kembali terasa.
"Boleh kuperiksa lukamu, Kisanak?" Arya menawarkan diri. "Barangkali saja aku
bisa memperingan rasa sakitmu."
Laki-laki berwajah keras menganggukkan kepala. Kini
sudah lenyap rasa takut di wajahnya. Sekarang dia yakin, pemuda
berambut putih keperakan yang berdiri di hadapannya adalah orang baik-baik.
Arya menghampiri, kemudian membungkukkan tubuh. Diperiksanya luka di paha dan bahu laki-laki
berwajah keras itu. Lega hati Dewa Arak ketika tidak melihat adanya tanda-tanda
keracunan pada kedua luka itu, dan hanya luka biasa. Tanpa mengalami kesulitan,
Dewa Arak mencabut kedua senjata itu. Dibersihkan luka itu, kemudian ditaburi
obat bubuk. Laki-laki berwajah keras mendesis begitu Arya menaburkan obat bubuk.
"Memang obat ini sedikit menimbulkan rasa nyeri,"
jelas Dewa Arak melihat laki-laki berwajah keras itu mendesis. "Tapi percayalah,
Kisanak. Obat ini sangat manjur."
"Ah..., tidak apa-apa," sahut laki-laki berwajah keras cepat. "O, ya. Terima
kasih atas pertolonganmu."
"Lupakanlah," sahut Dewa Arak cepat "Kalau boleh kutahu, siapa kau, Kisanak" Aku
Arya Buana."
Sambil berkata demikian, pemuda berambut putih
keperakan itu mengulurkan tangan. Laki-laki berwajah keras bergegas menyambut
dan menggenggamnya erat-erat.
"Aku Brata, penduduk Desa Karang Sari," jawab laki-laki berwajah keras seraya
melirik sekilas ke arah rambut Arya.
Memang sebenarnya dia merasa heran melihatnya.
Belum pernah dilihat dan didengarnya ada seorang pemuda yang mempunyai rambut
berwarna putih. Putih, namun
indah! Entah pengalaman apa yang membuat pemuda itu
sampai memiliki rambut demikian. Meskipun begitu, Brata tidak menampakkan
keheranannya. Bahkan bersikap biasa saja, karena khawatir pemuda berambut putih
keperakan di hadapannya ini akan tersinggung.
"Apakah Kang Brata tidak keberatan menceritakan mengapa hal ini terjadi?"
Brata menggelengkan kepala.
"Tidak, Arya. Bahkan dengan senang hati aku akan menceritakannya padamu."
Setelah berkata demikian, laki-laki berwajah keras itu tercenung sejenak, tidak
langsung menjawab. Rupanya dia tengah mengingat-ingat kejadian yang menimpanya.
"Aku dan dua orang kawanku sengaja datang ke
hutan ini untuk berburu. Hal ini terpaksa kulakukan untuk memenuhi permintaan
istriku...."
Brata menghentikan ceritanya sejenak. Sementara di
dalam hati, Arya merasa heran. Tapi, pemuda berambut putih keperakan ini diam
saja. Tidak menyelak cerita laki-laki berwajah keras itu.
"Maklum, Arya. Istriku sedang hamil..Dan dia ingin makan daging kelinci."
Kini Arya tidak heran lagi. Pantas saja! Rupanya istri Brata ini tengah
mengidam! "Nasib baik tengah berpihak padaku, Arya," sambung Brata lagi. "Aku berhasil
menemukan seekor kelinci. Tapi, sayang binatang itu keburu melarikan diri
sebelum aku sempat berbuat sesuatu."
Kembali Brata menghentikan ceritanya untuk mengambil napas sejenak dan mencari kata-kata untuk
melanjutkan ceritanya.
"Tentu saja aku tidak tinggal diam. Segera kuburu binatang itu. Kedua kawanku
pun ikut serta pula. Cukup lama juga kami mengejar-ngejar binatang itu, sebelum
akhirnya lenyap di balik kerimbunan semak-semak. Tanpa ragu-ragu aku segera
memburu. Ketika semak-semak itu kusibak, ternyata di baliknya terdapat gua."
Brata menghentikan ceritanya kembali. Wajahnya
nampak murung dan menyorotkan perasaan sedih. Sedangkan Arya segera mengetahui kalau cerita selanjutnya menyedihkan hati lakilaki berwajah keras itu. Dan melihat dari tidak adanya kedua orang kawannya.
Dewa Arak bisa memperkirakan nasib kedua orang kawan Brata.
"Aku dan kawanku segera memasukinya," sambung Brata kembali. "Tapi ternyata gua
itu berpenghuni. Namun, penghuninya berwatak kejam bukan main. Kedua kawanku
tewas dengan sekali sentuh. Sementara aku karena nasib baik, berhasil melarikan
diri. Tapi tak urung dia berhasil melukaiku dengan senjata rahasianya."
"Bagaimana ciri-ciri orang Itu?" tanya Arya Ingin tahu.
"Dia adalah seorang laki-laki bertubuh pendek.
Menilik dari perawakan dan wajahnya, dia seperti seorang anak-anak. Kepalanya
botak. Kulitnya putih. Dan hanya mengenakan sebuah celana pendek berwarna
putih." Arya terkejut bukan main mendengarnya. Kaget
bercampur gembira. Karena sudah bisa diduga, siapa orang yang telah membunuh dua
orang teman Brata.
"Tuyul Tangan Seribu...," desis Dewa Arak. Pelan tapi tajam. Sorot matanya
memancarkan cahaya berseri. Satu titik terang telah ditemukannya.
Sepasang mata Brata terbelalak. Wajahnya pun
menampakkan keheranan. Dan memang, sebenarnya lakilaki berwajah keras ini merasa heran bercampur geli ketika teringat orang yang
telah membunuh kedua orang kawannya.
"Mengapa bisa begitu tepat julukan yang dimiliki orang itu?" tanya hati Brata.
Menilik dari potongannya, memang tidak salah orang itu mendapat julukan tuyul.


Dewa Arak 18 Kelelawar Beracun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi Arya sama sekali tidak mempedulikan perasaan
yang bergolak di dalam dada Brata. Dia telah terlalu gembira ketika mengetahui
ada orang yang berhasil mengetahui Tuyul Tangan
Seribu, sehingga tidak lagi memperhatikan semuanya. "Kau masih ingat tempat tinggal pembunuh itu,
Kang?" tanya Arya penuh gairah.
Brata menganggukkan kepala.
"Bisa kau mengantarku ke sana, Kang?" kembali Dewa Arak bertanya.
Laki-laki berwajah keras terperanjat. Sepasang matanya memancarkan perasaan kaget yang tidak terkira.
Gilakah pemuda berambut putih keperakan ini, karena
meminta diantar ke tempat Tuyul Tangan Seribu yang
dianggapnya gila itu" Laki-laki bertubuh pendek yang tanpa masalah telah
membunuh kedua rekannya!
Dewa Arak tentu saja tahu mengapa Brata terkejut.
"Mengapa kau ingin ke sana, Arya?" tanya Brata terbata-bata.
"Orang yang telah membunuh kawanmu adalah orang yang selama ini kucari-cari,
Kang," sahut Arya kalem.
"Lebih baik kau urungkan niatmu, Arya. Kurasa orang itu gila. Masak, tanpa sebab
dia bermaksud membunuh
kami. Lagi pula, dia lihai sekali! Kau akan dibunuhnya, Arya!"
"Biar bagaimanapun juga, aku harus menemukannya, Kang," tegas Arya. "Orang itu
telah meracuni kawanku. Dan aku harus menemuinya untuk meminta obat penawar
racun darinya."
"Tapi... tapi...," Brata masih mencoba membantah.
"Aku jamin kau selamat, Kang," terpaksa Dewa Arak agak menyombongkan diri untuk
menenangkan hati Brata.
"Orang itu berjuluk Tuyul Tangan Seribu. Dan dia sengaja bersembunyi, karena
tahu kalau tengah dicari-cari. Itulah sebabnya, begitu kau dan dua orang kawanmu
melihatnya, dia bermaksud membunuh kalian bertiga. Untuk menutupi jejaknya!"
Brata tercenung sejenak. Alasan yang dikemukakan
Dewa Arak cukup kuat. Memang, Tuyul Tangan Seribu
sepertinya tengah bersembunyi. Tapi, benarkah orang seusia pemuda berambut putih
keperakan di hadapannya mampu
menghadapi seorang yang begitu sakti seperti Tuyul Tangan Seribu"
"Kalau masih takut, kau boleh memberitahukan
tempatnya dari jarak yang cukup jauh, Kang," desak Dewa Arak memberi pilihan
lain. Kini Brata tidak membantah lagi, karena merasa tidak enak. Arya telah terlalu
mengalah dalam meminta petunjuk.
Kalau dia masih juga bersikeras, rasanya keterlaluan sekali.
"Bagaimana, Kang?" tanya Dewa Arak lagi begitu melihat laki-laki berwajah keras
itu terdiam. "Atau..., bisakah kau memberikan petunjuk tempatnya dari sini...?"
Brata tersenyum.
"Aku akan mengantarkanmu, Arya."
Arya balas tersenyum.
"Terima kasih atas kesediaanmu mengantarku, Kang."
Brata tidak menyahuti. Laki-laki berwajah keras ini
hanya tersenyum lebar, kemudian bangkit berdiri. Obat bubuk yang diberikan Arya
temjata manjur sekali. Kaki dan bahunya sudah tidak terasa sakit lagi. Bahkan
terasa enak dan nyaman.
Dewa Arak pun bangkit berdiri, kemudian melangkah
mengikuti Brata yang melangkah lebih dulu Brata melangkah menerobos kerimbunan
semak-semak dan pepohonan lebat.
Tapi belum juga melangkah jauh, laki-laki berwajah keras ini menghentikan
langkah. Wajahnya seketika pucat. Tanpa sadar kakinya melangkah mundur beberapa
tindak. Tanpa bertanya pun, Dewa Arak sudah mengetahui
penyebab ketakutan Brata. Sekitar delapan tombak di
hadapan mereka, tampak sesosok tubuh yang mereka cari-cari. Tuyul Tangan Seribu!
Rupanya tokoh sesat itu mengejar Brata. Dan ketika kehilangan jejak dia
mencegatnya di mulut hutan.
*** "Itulah orang yang telah membunuh kedua orang
kawanku, Arya," jelas Brata.
Tanpa berkata apa-apa, Dewa Arak segera melangkah
maju. Lalu, dia berdiri membelakangi Brata dalam jarak dua tombak Matanya
menatap tajam sekujur wajah Tuyul Tangan Seribu yang terus melangkah mendekati.
"Inikah tokoh yang berjuluk Tuyul Tangan Seribu"
Tapi mana Kelelawar Beracun?" tanya Arya dalam hati.
Bukan hanya Arya saja yang mengamati. Tuyul
Tangan Seribu pun balas menatap tajam begitu melihat Brata melangkah
mundur, dan sebaliknya seorang pemuda berambut putih keperakan yang melangkah maju.
Semakin dekat, kedua orang itu semakin mengenal
sosok masing-masing.
"Kau yang berjuluk Tuyul Tangan Seribu?" tanya Arya ketika jarak mereka tinggal
tiga tombak lagi.
Laki-laki bertubuh pendek itu tersenyum mengejek.
"Dan..., kalau tidak salah..., bukankah kau yang berjuluk Dewa Arak?" Tuyul
Tangan Seribu balas menduga.
"Jangan membalas pertanyaanku dengan pertanyaan pula!" tegas Dewa Arak.
"Jangan coba-coba menggertakku, Dewa Arak!" bentak Tuyul Tangan Seribu tak mau
kalah keras. "Orang lain boleh takut dengan nama besarmu! Tapi, akan kubuktikan
pada dunia persilatan kalau Dewa Arak akan tewas di tangan Tuyul Tangan Seribu!"
"Tuyul Tangan Seribu!" sebut Dewa Arak dingin. "Kau tidak usah berlagak sok
gagah! Semua orang tahu, kau bersama Kelelawar Beracun telah mengeroyok seorang
wanita muda dan melukainya secara licik! Cepat beritahukan
padaku, di mana Kelelawar Beracun! Dan aku berjanji tidak akan mengusikmu lagi!"
"Dewa Arak! Manusia sombong! Jangan kira aku takut padamu!" ejek Tuyul Tangan
Seribu keras. Belum lagi gema ucapannya habis, laki-laki bertubuh
pendek itu telah melesat ke arah Dewa Arak. Kedua
tangannya berputaran cepat laksana baling-baling. Seketika bertiup angin kuat
dari kedua tangan yang berputaran itu.
"Menjauh, Kang...!" teriak Dewa Arak keras. Kemudian tanpa membuang-buang waktu
lagi, gucinya segera dijumput dan dituangkan ke mulutnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati
tenggorokannya. Seketika itu pula ada hawa hangat yang menyebar di dalam
perutnya, kemudian perlahan naik ke atas kepala.
Bersamaan dengan Arya mengambil guci araknya,
Brata segera berlari menjauh.
Wuuuttt...! Selagi tubuhnya berada di udara. Tuyul Tangan
Seribu segera melancarkan serangan ke arah Dewa Arak.
Kedua tangannya yang bergerak cepat dan seperti telah berubah menjadi puluhan
pasang, menyambar cepat ke arah pelipis dan ubun-ubun.
Dan dengan langkah terhuyung-huyung, Dewa Arak
berhasil mengelakkannya.
Kaki kanannya melangkah mundur ke belakang, dengan tubuh agak membungkuk
sedikit. Gerakannya begitu aneh, terhuyung-huyung seperti orang mabuk! Hebatnya,
serangan-serangan Tuyul Tangan Seribu hanya menyambar tempat kosong!
Dengan keras dan penuh kekuatan, kaki kanan Dewa
Arak menyambar cepat ke arah Tuyul Tangan Seribu.
Luar biasanya, laki-laki bertubuh pendek dan berkepala botak itu hanya memutar-mutarkan
kedua tangannya untuk mematahkan serangan itu!
Tidak hanya sampai di situ saja yang dilakukan Dewa
Arak. Mendadak kaki kanannya kembali dilangkahkan ke depan. Gerakannya pun tidak
lagi meliuk-liuk, lemas, dan sempoyongan seperti sebelumnya. Kemudian dengan
keras dan penuh kekuatan, kaki kanannya menyambar cepat ke arah dada lawan.
Luar biasa! Hanya dengan memutar-mutarkan kedua
tangannya ke bawah, dengan arah gerakan dari luar ke dalam, laki-laki bertubuh
pendek ini mampu mengelakkan serangan itu. Tubuhnya bersalto ke atas melewati
atas kepala Dewa Arak.
Bukan hanya itu saja! Begitu tubuhnya berada di atas kepala Dewa Arak, kedua
tangannya menyampok cepat ke arah belakang kepala Arya. Kalau kena, tak pelak lagi kepala pemuda berambut
putih keperakan itu akan hancur.
Lagi-lagi, Dewa Arak membuktikan kelihaian jurus
'Delapan Langkah Belalang'nya! Kaki kanannya kembali melangkah ke belakang.
Sementara kaki kirinya ditekuk dalam-dalam. Sedangkan tubuhnya dicondongkan ke
depan. Wusss...! Untuk yang kedua kalinya sampokan Tuyul Tangan
Seribu mengenal tempat kosong, lewat sekitar dua jengkal dari sasaran.
Kembali Arya tidak tinggal diam. Begitu serangan
lawan berhasil dielakkan, guci araknya diayunkan ke arah kepala Tuyul Tangan
Seribu. Kuat bukan kepalang tenaga yang terkandung dalam
ayunan guci itu. Jangankan kepala manusia, batu karang yang paling keras pun
akan hancur berkeping-keping bila terkena. Ada hembusan angin keras yang
membuktikan kalau kekuatan tenaga dalam yang terkandung di dalam ayunan guci itu begitu
kuat. Tuyul Tangan Seribu memang luar biasa! Ilmu
meringankan tubuh yang dimilikinya benar-benar mengagumkan! Gerakannya gesit dan lincah bukan main. Dia bisa melayang-layang di
udara tak ubahnya seperti seekor bengkarung.
Memang, laki-laki bertubuh pendek ini menciptakan ilmu itu dengan mengamati perilaku bengkarung. Menakjubkan dan indah dilihat pertarungan antara
kedua tokoh sakti itu. Keduanya sama-sama memiliki ilmu meringankan tubuh yang
amat tinggi. Sehingga, pertarungan antara kedua orang itu tak ubahnya
pertarungan dua
bayangan saja. Yang terlihat hanyalah sekelebatan bayangan putih dan ungu yang
saling sambar, kemudian saling pisah.
Hebat bukan main akibat pertarungan itu. Tanah
terbongkar di sana-sini. Debu pun mengepul tinggi ke udara.
Suara mendecit dan menderu mengiringi terjadinya pertarungan. Pada jurus-jurus awal pertarungan memang berlangsung imbang. Dewa Arak masih bersikap hati-hati, karena belum mengenal
keistimewaan ilmu lawannya. Tapi menginjak jurus kedua puluh lima, pemuda
berambut putih keperakan sudah mulai menguasai keadaan. Dewa Arak kini mampu
mendesak lawan.
Hal ini tidak aneh, karena Tuyul Tangan Seribu hanya mampu
mengimbangi Dewa Arak dalam hal ilmu meringankan tubuh. Sementara dalam hal mutu ilmu silat dan tenaga dalam, dia
kalah jauh. Berkali-kali sewaktu benturan tenaga di antara mereka sudah tidak
bisa dihindarkan lagi, Tuyul Tangan Seribu terhuyung-huyung ke belakang. Sekujur
tangannya terasa sakit-sakit, dan dadanya terasa sesak bukan main.
Sebuah keuntungan bagi Tuyul Tangan Seribu. Dewa
Arak ternyata tidak bersungguh-sungguh menghadapinya.
Tuyul Tangan Seribu bertarung seperti macan luka. Seluruh kemampuan yang
dimilikinya dikerahkan. Hanya ada dua pilihan baginya. Membunuh atau dibunuh!
Sementara Arya tidak bermaksud seperti itu. Pemuda
berambut putih keperakan ini tidak bermaksud membunuh lawannya. Dia masih
membutuhkan Tuyul Tangan Seribu
agar dapat menemukan tempat persembunyian Kelelawar
Beracun. Itulah sebabnya, Dewa Arak tidak bermaksud
membunuh atau melukainya tedalu berat Dengan demikian, dia harus selalu bersikap
hati-hati. Hal ini sedikit banyak mengurangi kelihaiannya.
Meskipun begitu, karena memang tingkat kemampuan
Dewa Arak berada cukup jauh di atas Tuyul Tangan Seribu, tetap saja pemuda
berambut putih keperakan mampu
mendesak lawannya.
"Haaat..!"
Sambil memekik nyaring, Tuyul Tangan Seribu
menyerang. Kedua tangannya menyerang bertubi-tubi ke arah dada, ulu hati, dan
pusar. Cepat bukan main
gerakannya. Tapi gerakan Dewa Arak masih lebih cepat lagi
Kakinya menjejak tanah, kemudian bersalto ke atas melewati kepala Tuyul Tangan
Seribu. Dan selagi berada di udara, kedua tangannya meluncur deras ke arah
punggung. Tuyul Tangan Seribu terperanjat Dengan sebisabisanya dia berusaha mengelak. Tapi....
Buk, bukkk...! Tubuh Tuyul Tangan Seribu terhuyung-huyung ke
depan. Darah segar melesat keluar dari mulutnya. Pukulan yang menghantam
tubuhnya memang telak dan keras bukan main. Laki-laki bertubuh pendek ini jelas


Dewa Arak 18 Kelelawar Beracun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terluka dalam. Sebelum Tuyul Tangan Seribu memperbaiki berdirinya, Dewa Arak telah hinggap di tanah. Langsung
dikirimkannya serangan susulan. Kaki kanannya bergerak menyapu.
Dukkk...! Seketika itu juga tubuh
Tuyul Tangan Seribu
terjerembab dan jatuh telentang. Baru saja laki-laki bertubuh pendek ini hendak
bangkit, kaki kanan Dewa Arak kembali bergerak dan menempel di lehernya. Mau tak
mau, Tuyul Tangan Seribu mengurungkan niatnya
"Katakan! Di mana Kelelawar Beracun"! Maka aku
akan mengampunimu," desak Dewa Arak penuh wibawa.
"Kau kira aku takut mati. Dewa Arak?" Tuyul Tangan Seribu tersenyum mengejek.
"Kau keliru kalau menyangka aku dapat digertak seperti itu!"
"Jangan paksa aku berbuat kejam. Tuyul Tangan
Seribu!" ancam Dewa Arak. "Kau kira aku akan membunuhmu begitu saja" Tidak! Aku akan menyiksamu
sampai kau mau memberi tahu, di mana Kelelawar Beracun!
Sebaliknya, aku akan membebaskanmu kalau kau mau
memberi petunjuk tempat persembunyian Kelelawar Beracun!" "Cuhhh...!"
Tuyul Tangan Seribu meludah ke tanah.
"Aku tidak yakin kalau kau masih mau bertahan
apabila aku menyiksamu!"
Setelah berkata demikian, Arya segera menggerakkan
tangannya ke arah bahu kanan Tuyul Tangan Seribu. Dia hendak menotok jalan darah
di bahu kanan itu.
Seketika wajah Tuyul Tangan Seribu memucat.
Sebagai seorang ahli silat kelas tinggi, dia tahu kalau jalan darah di bahu
kanan yang akan ditotok Dewa Arak akan menimbulkan rasa sakit yang amat sangat.
Betapapun beraninya laki-laki bertubuh pendek gemuk ini, tapi menghadapi siksaan seperti itu, tentu saja akan takut juga.
"Bukan hanya ini saja yang akan kulakukan, Tuyul Tangan Seribu! Aku akan
menghancurkan seluruh tulang-belulang di tubuhmu! Maka, kau akan mati setelah
mengalami siksaan yang mengerikan!"
Kian memucat wajah Tuyul Tangan Seribu. Dirasakan
adanya nada kesungguhan dalam ancaman Dewa Arak. Bulu tengkuknya meremang
seketika itu juga.
"Baik! Aku akan memulainya...!" ancam Arya.
Seiring dengan selesai ucapannya, Dewa Arak mengulurkan tangannya ke arah jalan darah di bahu kanan Tuyul Tangan Seribu.
"Tunggu, Dewa Arak...!" cegah Tuyul Tangan Seribu kalap.
"Hm..., mengapa?" tanya Arya.
"Aku mengaku kalah. Kelelawar Beracun tidak berada di sini lagi...."
"Lalu, di mana dia sekarang?"
"Di Pulau Ular...."
"Pulau Ular?" Dewa Arak mengerutkan alisnya.
"Ya!" sahut Tuyul Tangan Seribu membenarkan. "Dia memang tinggal di sana. Di
Rawa Neraka!"
Seketika Dewa Arak tercenung. Dia memang telah
mendengar berita mengenai Pulau Ular. Sebuah pulau
menyeramkan yang sepatutnya hanya dihuni iblis-iblis saja.
Pulau itu benar-benar menyeramkan, penuh dengan bahaya.
Letaknya pun jarang orang yang tahu. Jadi, di sanakah Kelelawar Beracun tinggal"
Melihat Dewa Arak tercenung, dan begitu merasakan
jejakan pada lehernya mengendur, Tuyul Tangan Seribu bertindak nekat. Tangannya
cepat bergerak mengibas.
Seketika itu juga sekelebatan benda hitam menyambar ke arah Dewa Arak. Benda itu
tak lain adalah logam berbentuk mata anak panah.
Arya terkejut dan cepat melompat mundur. Maka
serangan gelap itu mengenai tempat kosong.
Kesempatan yang hanya sedikit itu tidak disia-siakan Tuyul Tangan Seribu. Dia
cepat bergerak menerjang Arya dengan serangan maut ke arah ubun-ubun.
Melihat hal ini, Dewa Arak jadi geram. Kedua
tangannya dihentakkan ke depan. Melancarkan jurus 'Pukulan Belalang'.
Wusss...! Bresss...!
Tuyul Tangan Seribu menjerit memilukan ketika angin
keras berhawa panas menyengat telak menghantam dadanya.
Seketika itu juga laki-laki bertubuh pendek itu terlempar jauh. Sekujur tubuhnya
hangus. Tuyul Tangan Seribu tewas seketika!
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas berat. Ada sedikit rasa
penasaran di hatinya melihat kematian Tuyul Tangan Seribu.
Dia memang tidak bermaksud membunuhnya.
Setelah mengamati mayat Tuyul Tangan Seribu
sejenak, Dewa Arak melangkah meninggalkan tempat itu.
Masih ada tugas baginya, yakni mencari Kelelawar Beracun untuk menyelamatkan
nyawa Melati. Dewa Arak tak ingat lagi kalau masih ada Brata yang berdiri
terpaku melihat
kepergiannya. Berhasilkah Dewa Arak mencari obat untuk menyembuhkan Melati" Padahal, Kelelawar Beracun pemilik obat penawar itu berada di
Pulau Ular. Sebuah pulau yang penuh tabir rahasia yang letaknya jarang diketahui
orang. Banyak maut yang terbentang sepanjang perjalanan menuju ke sana. "Perjalanan
Menantang Maut" menceritakan tentang perjalanan Dewa Arak menuju ke sana!
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor Fuji Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusianfo/ http://ebook-dewikz.com/
Kaki Tiga Menjangan 9 Pendekar Bayangan Setan Karya Khu Lung Rahasia Mo-kau Kaucu 4

Cari Blog Ini