Dewa Arak 25 Penghuni Lembah Malaikat Bagian 2
dia tidak ingin diketahui kalau tengah memperhatikan Arya Buana.
Tentu saja sikap kakek itu membuat Arya Buana
merasa curiga, dan seketika itu pula sikapnya berubah waspada. Pemuda berambut
putih keperakan itu yakin,
kakek berpakaian coklat itu memperhatikannya.
Perasaan curiga yang timbul membuat Arya Buana
diam-diam memperhatikan kakek itu pula.
Arya Buana terpaksa mengalihkan perhatian ketika
pemilik kedai itu telah kembali sambil membawa pesanannya.
Pemuda berpakaian ungu itu menunggu sampai kakek
berjenggot panjang itu meletakkan pesanan di mejanya.
"Apakah nama desa ini, Ki?" tanya Arya Buana sambil meraih salah satu guci arak,
dan menuangkan isinya ke dalam sebuah gelas bambu.
"Desa Jambul," jawab kakek kecil kurus itu.
"Hm...," sebuah gumaman tak jelas dari mulut Dewa Arak menyambut! jawaban
pemilik kedai. "Memangnya Aden hendak ke mana?" tanya kakek berjenggot panjang itu.
"Lembah Malaikat...," jawab Dewa Arak kalem. Tapi, tanggapan kakek berjenggot
panjang itu tidak sesederhana sahutan Arya Buana.
"Lembah Malaikat..."!" pemilik kedai itu bertanya dengan suara bergetar. Nada
suara, maupun raut wajahnya menunjukkan kegelisahan hebat
"Benar, Ki. Kenapa?" Pemuda berpakaian ungu itu balas bertanya ketika melihat
keterkejutan kakek kecil kurus.
"Mau apa kau ke sana, Anak Muda?" Mendadak nada suara kakek berjenggot panjang
itu berubah. Tidak lagi sopan dan ramah seperti semula, tapi keras dan kasar.
Arya Buana bukan orang bodoh. Pemuda itu tentu
saja bisa merasakan perubahan sikap pemilik kedai itu. Dan ini terjadi, setelah
mengatakan hendak menuju Lembah Malaikat. Pasti ada apa-apanya di sana.
"Meskipun sudah tua, dan hanya memiliki sedikit ilmu bela diri, tapi tak akan
kubiarkan kau mengusik tempat suci itu!" sambung kakek kecil kurus mantap,
begitu melihat Dewa Arak tercenung.
"Tenanglah, Ki," Arya Buana yang sama sekali tidak mau terpancing dalam amarah,
buru-buru menenangkan
pemilik kedai itu. "Duduklah dulu, dan kita bicarakan masalah ini secara baikbaik." Kakek berjenggot panjang itu tercenung sejenak dan
tidak langsung menanggapi ajakan Dewa Arak. Ditatapnya sejenak wajah pemuda
berambut putih keperakan itu. Baru ketika dijumpai adanya kesungguhan pada wajah
itu, kakek itu duduk di kursi di hadapan Dewa Arak. Hanya meja
persegi yang membatasi tubuh-tubuh mereka.
"Bisa kau ceritakan padaku mengenai Lembah Malaikat itu, Ki?" tanya Dewa Arak memulai pembicaraan.
"Maaf, Anak Muda. Bukannya aku tidak ingin
memberitahukannya.
Tapi sebelum kau mengatakan tujuanmu ke sana, aku tidak bisa menceritakannya," tolak kakek kecil kurus itu.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas berat. Disadari kalau
tidak ada gunanya meminta keterangan dari kakek berjenggot panjang itu. Arya
Buana melihat adanya sorot pantang mundur pada sepasang mata pemilik kedai ini.
"Baiklah, K'!," ujar pemuda berpakaian ungu itu, mengalah. "Perlu kau ketahui.
Aku pun baru sekali ini mengetahui bahwa ada tempat yang bernama Lembah
Malaikat. Dan itu pun dari orang yang bersangkutan."
"Apa maksud ucapanmu itu, Anak Muda"!" tanya kakek berjenggot panjang, tak
mengerti. "Ceritanya cukup panjang, Ki. Kau bersedia mendengarkannya?" tanya Arya Buana. Dia memang berniat menerangkan semua, agar
kakek kecil kurus ini mengerti.
"Ceritakanlah," sambut pemilik kedai ini.
Arya Buana mengerling ke arah meja kakek bungkuk
berpakaian coklat longgar. Lirikan matanya mengandung arti, karena
khawatir pembicaraannya terdengar. Kakek berjenggot panjang itu pun rupanya mengerti.
"Tidak perlu khawatir. Dia bisu dan tuli," jelas kakek kecil kurus itu.
"Hm...,"
pemuda berpakaian ungu itu hanya menggumam pelan.
"Aku adalah seorang pengelana, Ki," Arya Buana memulai. "Masuk hutan dan desa
adalah kegemaranku. Tapi, kemarin
aku mendapat surat dari seseorang yang menitipkannya pada bocah lelaki"
Arya Buana menghentikan ceritanya sejenak untuk
melihat tanggapan pemilik kedai ini. Tapi, kakek kecil kurus itu ternyata diam
saja, tidak menanggapi sedikit pun.
"Isi surat itu, memintaku untuk datang ke Lembah Malaikat. Apabila aku tidak ke
sana, kawanku yang
diculiknya akan dibunuh!"
"Bohong! Kau mengada-ada, Anak Muda!" Kakek berjenggot panjang itu bangkit dari
duduknya. Seketika wajahnya merah padam. Kemarahan yang hebat tampak
memancar pada wajahnya.
"Aku tidak bohong, Ki," masih tetap tenang ucapan Dewa Arak. Bahkan masih tetap
duduk di kursi sambil
menenggak minumannya.
"Cabut ucapanmu, atau ingin kuusir keluar seperti anjing geladak"!"
Berkilat sepasang mata pemuda berambut putih
keperakan itu mendengarnya. Memang, Arya Buana merasa tersinggung juga atas
sikap yang ditunjukkan kakek itu.
Maka, perlahan-lahan dia bangkit dari duduknya.
"Aku tidak akan mencabut ucapanku! Malah, aku
akan mengobrak-abrik Lembah Malaikat. Akan kuhancurkan tempat itu kalau sampai
terjadi apa-apa dengan kekasihku!"
Keras sekali ucapan Dewa Arak karena disertai
amarah yang meluap-luap. Kekhawatiran akan nasib Melati-lah yang menyebabkannya
bersikap demikian. Saat hatinya benar-benar cemas memikirkan nasib kekasihnya,
eh malah dimaki-maki! Siapa yang tidak kesal" Padahal, dia telah berusaha keras
berbicara baik-baik.
Setelah mengeluarkan ancaman demikian, Arya Buana duduk kembali di kursinya. Kemudian guci arak perak di punggung
dijumputnya, dan diletakkan di atas meja. Baru setelah itu, arak pesanan
dituangkan ke guci peraknya yang hanya tinggal sedikit isinya. Dan kini guci
arak itu disampirkan kembali di punggungnya.
"Ini bayarannya, Ki," kata Arya Buana sambi! meletakkan uang pembayaran makanan
dan minuman itu di
atas meja, kemudian bangkit berdiri dan berjalan keluar.
"Anak Muda! Tunggu...!"
Terpaksa Dewa Arak menghentikan langkahnya begitu
mendengar panggilan kakek kecil kurus.
Belum juga kepalanya menoleh, kakek itu telah bergerak cepat menghampiri. "Benarkah semua yang kau katakan tadi" Sebenarnya, teman atau kekasihmu orang yang diculik itu?" tanya kakek pemilik kedai
ini. Kali ini suara kakek kecil kurus itu tidak keras seperti sebelumnya, tapi sudah
mulai melunak. Ucapan keras Dewa Arak tadi memang telah membuatnya bersikap
demikian. Tambahan lagi, dia melihat adanya nada kesungguhan dalam ucapan pemuda berambut
putih keperakan itu.
Amarah pemuda berpakaian ungu sedikit mereda
tatkala mendengar ucapan pemilik kedai yang mulai melunak. "Aku mengatakan apa adanya, Ki. Dan orang yang
diculik itu sebenarnya adalah kekasihku!" jelas Dewa Arak.
"Ada hal yang mencurigakan kalau begitu," kata kakek kecil kurus itu seraya
mengangguk-anggukkan kepala.
"Aku sama sekali tidak mengerti maksudmu, Ki?"
Sepasang alis pemuda berambut putih keperakan itu hampir bertautan. Raut
ketidakmengertian tampak jelas di wajahnya.
"Apa yang kau ketahui tentang Lembah Malaikat?"
kakek berjenggot panjang itu malah balas bertanya.
Arya Buana menggelengkan kepala. Pemuda berpakaian ungu itu sama sekali tidak tahu tentang Lembah Malaikat.
"Sudah kuduga," keluh kakek kecil kurus, mendesah.
"Kau mau kuceritakan?"
Pemuda berpakaian ungu itu mengangguk.
"Kalau begitu, dengarkan baik-baik," kakek pemilik kedai itu memulai ceritanya.
6 "Sekitar sepuluh tahun yang lalu, desa ini diserbu segerombolan perampok yang
ingin menjarah. Para penduduk tentu saja tidak membiarkan, sehingga harus angkat
senjata mengadakan perlawanan."
Kakek kecil kurus itu menghentikan ceritanya sejenak. Dahinya nampak berkernyit. Jelas kalau dia tengah berusaha mengingatingat rentetan kejadian yang pernah diketahuinya.
"Tapi usaha kami seperti membenturkan telur ke
batu. Para perampok itu terlalu kuat. Satu demi satu, penduduk berguguran.
Padahal jumlah kami lebih banyak.
Akhir dari pertarungan sudah bisa diterka. Penduduk akan tewas semua dan para
perampok akan berhasil menjarah isi desa ini."
Kembali kakek berjenggot panjang itu menghentikan
ceritanya sejenak. Tapi, kali ini untuk mengambil napas.
"Saat itulah muncul seorang kakek berpakaian putih yang membantu kami melawan
rombongan perampok itu. Dia ternyata sakti bukan kepalang. Hanya dengan kibasankibasan tangan saja, para perampok itu dibuat pontang-panting. Hanya sebagian
kecil saja yang dibiarkan hidup.
Begitu pula dengan pimpinannya."
Kakek pemilik kedai itu menghentikan ceritanya
kembali. Tenggorokannya terasa kering sehingga harus dibasahi. Dia memang
terlalu semangat bercerita.
"Kakek sakti itu kemudian tinggal di sebuah lembah di Bukit Jambul. Penduduk
desa ini menamakannya Lembah
Malaikat, karena kakek itu memang seperti malaikat saja.
Beliau selalu datang menolong kami tepat pada saat yang diperlukan. Berkali-kali
dia datang dan mengusir setiap orang jahat yang hendak datang kemari. Di samping
itu, dia pun sering pula mengobati penduduk desa ini yang sakit," tutur kakek
berjenggot panjang itu menutup ceritanya.
Arya Buana mengangguk-anggukkan kepala.
"Oleh karena itu, aku tidak senang ketika kau menyatakan ingin pergi ke Lembah
Malaikat, Anak Muda."
"Mengapa, Ki?" tanya Arya Buana. "Bukankah sekarang kau tahu maksud kedatanganku ke sana?"
"Hhh...!" Kakek kecil kurus itu menghela napas berat.
"Lembah Malaikat adalah sebuah tempat suci, Anak Muda.
Aku tidak ingin kau pergi ke sana. Karena, kau adalah seorang pemuda pemabukan!
Kami tidak ingin arakmu
mengotori tempat suci itu."
Merah wajah Arya Buana mendengar ucapan itu.
Meskipun begitu, Dewa Arak tidak marah. Dia tahu
kalau kakek berjenggot panjang itu tidak bermaksud
mengejek, tapi hanya mengatakan yang sebenarnya.
"Apalagi ketika mendengar ucapanmu selanjutnya.
Aku menjadi lebih marah lagi!" sambung kakek pemilik kedai itu berapi-api.
Arya Buana menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat.
"Aku tidak menuduh kalau pelaku penculik kekasihku adalah penghuni Lembah
Malaikat, Ki" pelan ucapan pemuda berpakaian ungu itu.
"Hm...," hanya gumam tak jelas kakek itu yang menyambuti ucapan Dewa Arak.
"Aku datang hanya untuk memenuhi pesan penculik itu. Dan kebetulan, tempat yang
diinginkannya adalah Lembah Malaikat"
"Hhh...!"
Kakek berjenggot panjang itu hanya mampu menghela
napas berat. Disadari kalau sikapnya tidak patut bila terus melarang
pemuda berambut putih keperakan itu menyelamatkan kekasihnya.
"Aku berjanji akan menjaga kesucian Lembah Ma
Dewa Arak 25 Penghuni Lembah Malaikat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
laikat semampuku, Ki," janji Arya Buana tulus.
Kakek kecil kurus itu hanya bisa tersenyum getir
mendengar ucapan Arya Buana. Kemudian, kedua bahunya diangkat. Pasrah.
"Terima kasih, Ki," ucap Arya Buana gembira. "O. ya.
Aku ingin beristirahat sebentar untuk melepaskan lelah.
Apakah ada kamar kosong?"
"Ada, Anak Muda. Mari...!"
Sambil berkata demikian, kakek berjenggot panjang
itu berjalan mendahului Arya Buana. Diantarkannya pemuda berambut putih
keperakan itu ke tempat yang akan
dipesannya. "Inilah kamar itu, Anak Muda," ujar kakek kecil kurus itu sambil membuka pintu
sebuah kamar. Arya Buana memperhatikan ruangan dalam kamar itu
sejenak. Memang sebuah kamar yang cukup rapi. Kemudian, kakinya melangkah masuk
ke dalam. Kakek pemilik kedai segera melangkah meninggalkan
tempat ini. Sementara, pemuda berambut putih keperakan itu lalu, membaringkan
tubuh di balai-balai bambu. Tak lama kemudian. Dewa Arak sudah tertidur pulas.
*** Matahari telah tergelincir dari titik tengahnya ketika
Arya Buana telah berada di atas puncak Bukit Jambul.
Pandangannya tertuju ke bawah, tempat yang ditunjukkan orang yang telah menculik
Melati. Lembah Malaikat.
?"Hih...!"
Pemuda berambut putih keperakan itu menggertakkan gjgi. Tubuhnya pun melayang ke bawah. Indah dan manis gerakannya.
Tukkk! Kedua kaki pemuda berambut putih keperakan itu
mendarat ringan di batu yang menonjol. Kemudian, tubuhnya melenting. Kembali
ditotoknya tonjolan batu lain. Dengan cara itu Arya Buana menuruni puncak dan
menuju ke Lembah Malaikat.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua kaki pemuda berpakaian
ungu itu mendarat di tanah, dan langsung mengedarkan pandangan berkeliling.
Sikap waspada Dewa Arak tidak percuma. Mendadak
terdengar suara mendesing nyaring, disusul berkelebatnya benda-benda berwarna
putih berkilat ke arahnya.
Dewa Arak tidak berani bertindak ceroboh. Dari suara mendesing yang mengiringi
tibanya serangan, sudah bisa diperkirakan kekuatan yang terkandung di dalamnya.
Buru-buru Dewa Arak membanting tubuh, kemudian
bergulingan di tanah. Sehingga, benda-benda berkilat yang ternyata adalah pisaupisau terbang itu menyambar tempat kosong.
"Ha ha ha...!"
Sebuah suara tawa keras bergelak terdengar ketika
Dewa Arak bangkit dari bergulingnya.
Arya Buana menatap sosok tubuh yang berdiri dalam
jarak lima tombak di hadapannya. Semua cocok dengan apa yang dikatakan Jumadi.
Seorang pemuda tampan, berkulit putih, dan berpakaian yang terbuat dari benangbenang emas. "Kaukah orang yang telah mengirimkan pesan untukku?" tanya Arya Buana. Sengaja hal itu ditanyakannya, untuk memastikan
kebenaran. "Tidak salah!" sahut pemuda berpakaian mewah yang tidak lain dari Palguna,
pongah. "Mengapa kau menawan Melati, Kisanak"!"
"Karena aku punya urusan denganmu, Dewa Arak!"
tandas Palguna tegas.
Sepasang alis Arya Buana hampir bertautan mendengar jawaban itu.
"Kalau kau mempunyai urusan denganku, mengapa
harus menawan orang yang tidak bersalah"!" desak pemuda berpakaian ungu itu. Ada
nada kegeraman dalam suaranya.
Sambil berkata demikian. Dewa Arak melangkah
maju. Dengan sendirinya, jarak mereka pun bertambah
dekat. "Hmh...!"
Palguna tidak langsung menjawab pertanyaan itu,
melainkan mendengus. Sikapnya terlihat begitu meremehkan Arya Buana.
"Semula aku tidak berniat membawanya dalam
persoalan kita, Dewa Arak! Tapi kupikir, dengan menahan dia, tidak terlalu sulit
memancing kedatanganmu untuk menyelesaikan urusan kita. Dan ternyata, cara itu
manjur. Kau datang begitu cepat. Bahkan melebihi perkiraanku semula."
Arya Buana menarik napas panjang-panjang dan
menghembuskannya kuat-kuat.
"Sebenarnya..., apa urusan itu, Kisanak"!" tanya Dewa Arak mencoba tenang. Dan
memang, setelah hal seperu itu dilakukan harinya jadi lebih tenang.
"Kau ingat dengan Gerda, Dewa Arak"!" tanya Palguna.
Kini tidak ada lagi tawa dan canda di wajahnya. Yang tampak hanyalah sorot
dendam yang membara. Bahkan nada suaranya pun mengandung kemarahan hebat.
Tanpa perlu mengingat-ingat lebih lama lagi, Dewa
Arak langsung mengerti orang yang dimaksud Palguna. Gerda alias Bomantara, si
Siluman Tengkorak Putih adalah lawan tangguh yang pertama sekali dihadapinya.
Saat itu, dia baru mendapat julukan Dewa Arak (Untuk jelasnya, silakan baca
serial Dewa Arak dalam episode perdananya "Pedang Bintang").
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Nah! Aku adalah adik kandung Gerda! Namaku
Palguna! Kini sudah jelas, mengapa aku mencari-carimu, bukan?"
Arya Buana tidak terlampau kaget mendengar jawaban pemuda berpakaian mewah itu. Begitu Palguna
menyebutkan nama Gerda, sudah bisa diperkirakan kalau pemuda berpakaian mewah
itu memiliki hubungan dengan tokoh sesat itu.
"Sungguh sama sekali tidak kusangka. Aku akan
mendapat dua keuntungan sekaligus dengan tertawannya Melati, kekasihmu itu,"
sambung Palguna lagi. Kali ini dengan sinar mata memancarkan kekejian.
Arya Buana diam saja. Sama sekali tidak diselak
semua ucapan pemuda berpakaian mewah itu.
"Aku tidak akan percaya kalau tidak mengalaminya sendiri, Dewa Arak. Kekasihmu
itu ternyata masih gadis! Ha ha ha...! Sampai sekarang tubuhnya masih terasa
nikmat. Luar biasa! Kau bodoh, Dewa Arak! Bunga sesegar itu tidak buru-buru dipetik.
Dan, akulah orang yang mendapat
keberuntungan mencicipi kemolekan tubuh kekasihmu itu.
Orang yang pertama, Dewa Arak!"
Terdengar suara bergemerutuk dari mulut Dewa Arak
ketika gigi-giginya beradu keras. Bukan hanya itu saja. Suara berkerotokan
nyaring pun terdengar ketika dalam kemarahan yang meluap, tenaga dalam Arya
Buana bergolak sendiri. Dari atas kepalanya seketika mengepul asap putih tipis.
Ini menandakan kalau 'Tenaga Sakti Inti Matahari', yang jarang digunakan telah
keluar sendiri tanpa disadari Dewa Arak.
"Iblis! Manusia jahanam...!"
Setelah beberapa saat lamanya, Arya Buana terdiam
dalam keterkejutan dan kemarahannya, akhirnya keluar juga ucapan itu.
Dalam kemarahannya, Arya Buana tampak berubah
begitu mengerikan! Sepasang matanya mencorong tajam
memancarkan hawa maut. Wajahnya pun membesi. Rambutnya yang berwarna putih keperakan membuat
wajahnya terlihat kian menyeramkan.
"Kau... akan kuhancurkan seluruh tulang-tulang
tubuhmu...!"
Terdengar bergetar dan tersendat-sendat ucapan yang
keluar dari mulut Dewa Arak. Hal ini karena perasaan amarah yang bergelora.
Sekujur tubuhnya tampak menggigil hebat.
Palguna terperanjat melihat keadaan Dewa Arak.
Tanpa dapat ditahan lagi, sekujur bulu-bulu di tubuhnya berdiri semua karena
perasaan ngeri yang mencekam. Dia memang sengaja membakar hati pemuda berambut
putih keperakan itu, namun tidak disangka kalau akibatnya akan seperti ini.
Tapi Palguna bukan seorang bocah yang mudah
untuk ditakut-takuti. Pemuda berpakaian mewah ini segera menekan perasaan
ngerinya, dan bersiap-siap menghadapi Dewa Arak.
"Haaat...!"
Sambil berteriak menggelegar sehingga membuat
seluruh lembah bergetar hebat, Arya Buana melompat
menenang Palguna. Dalam kemarahan amat sangat, Dewa
Arak sampai tidak sempat menyambar gucinya. Langsung dilancarkan serangan lewat
ilmu' Sepasang Tangan Penakluk Naga'.
Dengan kecepatan yang sukar diikuti mata, tangan
kanan Dewa Arak yang jari-jarinya membentuk cakar,
menyambar ke arah pelipis.
Hati Palguna tercekat menyaksikan kecepatan gerakan Dewa Arak. Apalagi ada sambaran angin berhawa panas luar biasa, sebelum
serangan itu sendiri tiba. Dalam jarak setengah tombak saja, angin serangan itu
sudah terasa menyengat kulit. Panas bukan kepalang!
Palguna tidak berani mencari penyakit. Buru-buru
senjata andalannya dikeluarkan. Sebuah ruyung berbatang tiga. Dan secepat
senjata itu dikeluarkan, secepat itu pula disabetkan ke arah tangan Dewa Arak.
Takkk...! Bagaikan dua batang logam keras berbenturan,
terdengar bunyi beradunya tangan Arya Buana dengan
ruyung Palguna.
"Ahhh...!"
Palguna menjerit keras ketika sekujur tangannya
terasa tergetar hebat hampir lumpuh! Sehingga, ruyungnya hampir-hampir terlepas
dari pegangan. Hawa panas merayap dari ujung ruyung ke telapak tangannya.
Meskipun demikian pemuda berpakaian mewah tidak
menjadi gentar karenanya. Sambil menggertakkan gigi, ruyung di tangannya di
ayunkan ke arah kepala Dewa Arak.
Arya Buana tidak berani bertindak main-main. Dia
tahu, sambaran ruyung itu mampu menghancurkan batu
yang paling keras sekalipun. Maka buru-buru direndahkan tubuhnya, sehingga
serangan Palguna menyambar di atas kepalanya.
Tidak hanya itu saja yang dilakukan Arya Buana. Kaki kanannya meluncur ke arah
lutut kanan Palguna. Tapi
dengan manis pemuda berpakaian mewah itu mengelakkannya. Lalu melancarkan serangan balasan.
Sesaat kemudian, kedua belah pihak sudah terlibat
dalam pertarungan sengit.
*** Arya Buana yang tengah dilanda kemarahan hebat,
tidak memberi kesempatan sedikit pun pada Palguna.
Pemuda berambut putih keperakan itu telah benar-benar lupa segala-galanya. Yang
ada di benaknya hanya satu.
Membunuh Palguna!
Dewa Arak sama sekali tidak menyadari kalau terjadi
sebuah keanehan. Ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga', dan ilmu 'Delapan Cara
Menaklukkan Harimau' ternyata mampu digabungkan dengan pemakaian 'Tenaga Sakti
Inti Matahari'! Padahal selama ini, hanya ilmu 'Belalang Sakti'
saja yang bisa digabungkan dengan 'Tenaga Sakti Inti Matahari'! Itu pun hanya
terkadang saja. Karena, 'Tenaga Sakti Inti Matahari' mempunyai ilmu sendiri yang
terdapat dalam jurus 'Membakar Matahari'! Rupanya, kemarahan
hebatlah yang membuat kedua ilmu itu bisa disatukan!
Yang menjadi tersiksa adalah Palguna. Dia terpontang-panting ke sana kemari untuk menyelamatkan selembar nyawanya. Dalam
beberapa jurus saja, dia telah terdesak hebat. Dewa Arak dalam kemarahannya,
benar-benar mampu menggilas habis semua pertahanan Palguna.
Kalau dibandingkan, tingkat kepandaian Palguna
memang masih di bawah Dewa Arak. Pemuda berpakaian
mewah itu kalah dalam segala-galanya. Apalagi, Arya Buana dalam kemarahannya
tidak bersikap setengah-setengah lagi.
Tak aneh kalau dalam beberapa gebrakan saja, Palguna terdesak hebat
Sekujur tubuh pemuda berpakaian mewah itu telah
basah oleh peluh yang keluar akibat hawa panas yang keluar dari setiap serangan
Dewa Arak. Wajah Palguna telah merah padam, karena hawa panas yang menyengat
Sudah dapat diperkirakan kalau tidak sampai lima
belas jurus, Palguna akan tewas di tangan Dewa Arak.
"Sungguh tidak bijaksana sekali. Mengandalkan kepandaian hanya untuk bertindak sewenang-wenang...."
Seiring lenyapnya gema ucapan itu, melesat sesosok
bayangan putih ke arah kancah pertarungan. Langsung
dipapaknya serangan Dewa Arak yang mengancam ke arah Palguna. Angin dingin
meresap ke tulang sumsum ketika tangan sosok bayangan itu bergerak memapak
tangan Arya Buana.
Cesss...! Cesss...!
Terdengar suara seperti besi panas dicelupkan dalam
air dingin ketika kedua tangan Dewa Arak berbenturan dengan tangan sosok
bayangan putih.
Baik Dewa Arak maupun sosok bayangan putih itu
sama-sama terhuyung dua langkah ke belakang. Dari sini saja sudah bisa diketahui
kalau tenaga dalam kedua orang itu berimbang.
Arya Buana menghentikan gerakannya. Dia tidak
ingin bertindak sembrono dengan langsung menyerang lagi.
Dari benturan tadi, sudah bisa diketahui kalau sosok bayangan putih itu memiliki
tenaga dalam tinggi yang mengandung hawa dingin. Jadi, berlawanan dengan tenaga
dalam yang dimilikinya.
Di hadapan Dewa Arak, tampak seorang kakek
berkepala botak mengenakan pakaian putih longgar.
Kumis, jenggot, dan cambangnya telah memutih semua. "Guru...!" sebut Palguna seraya memberi hormat
"Ada apa ini, Palguna?" tanya kakek berpakaian putih yang ternyata adalah guru
pemuda berpakaian mewah itu.
"Dia adalah orang yang telah membunuh kakak
kandungku, Guru," jelas Palguna
"Hm...! Jadi, dia Dewa Arak...?" tanya kakek berkumis putih itu.
Dewa Arak 25 Penghuni Lembah Malaikat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Benar, Guru."
Kakek berpakaian putih itu mengalihkan tatapan
pada Arya Buana yang sejak tadi juga tengah memperhatikannya. "Tidak kusangka kau akan sekejam itu, Anak Muda,"
kata kakek berjenggot putih itu sambil menggelengkan kepala. "Dulu, sewaktu kau
membunuh kakak kandungnya, aku tidak ingin ikut campur. Karena, aku tahu kalau
Gerda memang bukan orang baik-baik. Tapi sekarang di depan mataku, kau hendak
membunuh adiknya pula. Aku, Jasuri guru dari pemuda ini, ingin menjajal
kelihaianmu. Mari, Dewa Arak. Kita bermain-main sebentar. Ingin kulihat, sampai
di mana kelihaianmu sehingga sampai bertindak sesombong itu!"
"Muridnya setan. Gurunya pun pasti iblis!" desis Arya Buana dengan suara
bergetar. Kemarahan yang masih bergelora di dalam dada
karena kegagalannya membunuh Palguna, kini dilampiaskan pada Jasuri.
Setelah berkata demikian, Dewa Arak lalu menjumput
guci arak, dan menuangkan ke dalam mulutnya.
7 Gluk... Gluk... Gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak yang dituangkan
melewati kerongkongan Arya Buana. Sesaat kemudian, ada hawa hangat yang menyebar
dalam perut pemuda berambut putih keperakan itu. Lalu hawa hangat itu perlahan
merayap naik ke atas kepala. Sekejap kemudian, tubuh Dewa Arak mulai limbung.
"Inikah ilmu 'Belalang Sakti' yang membuat kau jadi manusia
sombong, Dewa Arak..."! Ingin kuketahui, mampukah ilmu 'Belut Salju' milikku menghadapi ilmumu!"
Setelah berkata demikian, Jasuri meletakkan kedua
tangan di sisi-sisi pinggangnya. Jari-jarinya terbuka lurus, dan telapak tangan
menghadap ke langit. Kemudian,
perlahan-lahan tapi penuh tenaga, tangannya dijulurkan ke depan, seraya
membalikkan telapak tangan jadi menghadap ke bumi.
Seketika itu pula ada hawa dingin berhembus dari
kedua tangan yang dijulurkan.
"Hihhh...!"
Kakek berpakaian putih itu menarik kembali kedua
tangannya yang terjulur. Berbeda dengan sewaktu menjulurkan, sewaktu menarik, Jasuri melakukannya secara cepat dan seketika.
Maka secepat kedua tangan itu ditarik, secepat itu pula dilancarkan serangan ke
arah Dewa Arak.
Kedua tangan itu melakukan totokan bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati.
Cit, cit, cit...!
Suara bercicitan nyaring, diiringi hawa dingin yang
membekukan tubuh mengiringi ribanya serangan totokan-totokan Jasuri.
Dewa Arak tidak berani main-main. Disadari kalau
lawan yang dihadapi amat tangguh. Dan itu bisa diketahui dari benturan yang
terjadi sebelumnya. Maka buru-buru kakinya melangkah ke kanan sambil
mendoyongkan tubuh.
Sehingga, serangan lawan lewat sejengkal di samping kiri pinggangnya.
Hawa dingin yang amat sangat berhembus. Untung
saja, Dewa Arak telah mengerahkan ilmu 'Tenaga Sakti Inti Matahari'. Kalau
tidak, mungkin sudah menggigil seluruh tubuh saking dinginnya udara yang
berhembus. Tidak hanya mengelak saja yang dilakukan Dewa
Arak. Nyatanya, dia langsung melancarkan serangan balasan.
Tangan kirinya meluncur cepat ke arah pelipis.
Tapi Jasuri bukan orang sembarangan. Meskipun
tidak dikenal dalam rimba persilatan, karena tidak pernah melakukan tindakan
yang menggemparkan, kepandaian yang dimilikinya benar-benar luar biasa.
Menghadapi serangan balasan Dewa Arak, tubuhnya
hanya direndahkan dengan cara menekuk kaki kanan dalam-dalam. Sedangkan kaki
kirinya dijulurkan merapat tanah.
Wuttt...! Serangan Arya Buana mengenai tempat kosong, lewat
beberapa jengkal di atas kepalanya. Melihat rambut Jasuri yang berkibar keras,
bisa di perkirakan kekuatan yang terkandung dalam serangan itu.
Pada saat yang bersamaan tangan kiri Jasuri menotok
ke arah ulu hati Dewa Arak. Maka tidak ada jalan lain bagi Arya Buana kecuali
menangkisnya. Dia tidak memilih
mengelak, karena hal itu akan membuatnya terus terdesak.
Dan Dewa Arak tidak ingin hal itu terjadi.
Plakkk...! Untuk kedua kalinya, terjadi benturan keras antara
kedua tangan tokoh sakti itu. Kembali tubuh kedua tokoh yang berbeda usia itu
terhuyung mundur satu langkah ke belakang.
Tapi, baik Dewa Arak maupun Jasuri sama sekali
tidak mempedulikan hal itu. Berkat kemampuan yang
dimiliki, bukan merupakan hal yang sulit untuk mematahkan kekuatan yang
mendorong tubuh mereka. Dan, kembali
mereka saling melancarkan serangan berikutnya.
Pertarungan yang berlangsung memang dahsyat bukan kepalang. Arya Buana dengan ilmu 'Belalang Sakti'nya, terlihat trengginas sekali. Gerakan dan kembangan ilmunya sulit
diterka lawan, karena memiliki perubahan yang begitu mendadak dan tiba-tiba.
Dari lemas dan meliuk-liuk seperti orang akan jatuh, menjadi keras dan kasar.
Kemudian, kembali lemas dan meliuk-liuk. Begitu seterusnya. Tapi bukan hanya ilmu Dewa Arak saja yang bersifat
demikian. Jasuri pun memiliki ilmu yang memiliki sifat serupa. Dengan ilmu
'Belut Salju'nya, gerakannya pun meliuk-liuk. Lalu secara tak terduga-duga,
meluncur cepat ke arah sasaran. Gerakannya mengingatkan orang pada ular!
Semua itu masih ditambah lagi dengan keistimewaan
ilmu masing-masing. Arya Buana dengan ilmu 'Belalang Sakti'nya mengeluarkan hawa
panas menyengat saat tangan atau kakinya bergerak. Sedangkan ilmu 'Belut Salju'
milik Jasuri mengeluarkan hawa dingin yang membekukan tubuh.
Akibatnya bisa diduga. Dalam jarak tak kurang
sepuluh tombak dari arena pertarungan, berhembus angin panas menyengat dan hawa
dingin yang membekukan kulit silih berganti.
Berkali-kali terdengar suara seperti ada besi panas
yang direndam dalam air dingin, setiap kali terjadi benturan antara tangantangan Dewa Arak dengan Jasuri.
Palguna yang telah bisa memperkirakan kedahsyatan
pertarungan yang terjadi, sudah sejak tadi menjauh dari arena pertarungan.
Diperhatikannya pertarungan itu dalam jarak dua belas tombak dari arena.
Pertarungan antara Dewa Arak dan Jasuri memang
menggiriskan hati. Daun-daun pohon yang terlanda angin pukulan Arya Buana kontan
layu. Sementara daun-daun
pohon yang terkena hawa serangan Jasuri, kontan berembun. Bukan hanya itu saja. Keadaan kancah pertarungan
sudah tidak karuan lagi. Seolah-olah, tempat itu telah dibajak oleh belasan ekor
kerbau. Tanah terbongkar, dan pohon-pohon bertumbangan. Itu pun masih ditambah
debu yang mengepul tinggi. Belum lagi suara mencicit dan
menderu yang mengiringi setiap serangan Arya Buana atau Jasuri.
Seratus jurus telah berlalu. Tapi sampai selama itu, tak
nampak tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang. Pertarungan masih berlangsung imbang. Karena baik dalam hal tenaga
dalam ataupun ilmu meringankan tubuh, keduanya berada dalam satu tingkat.
Meskipun tidak terdesak oleh lawannya, tapi Jasuri
tahu kalau lama-kelamaan akan dirobohkan Dewa Arak.
Usianya sudah tua, sedangkan Arya Buana masih sangat mudah. Lambat laun, jelas
dia akan kalah oleh kodrat alam.
Maka akan lebih dulu lelah ketimbang Dewa Arak.
Jika hal itu terjadi, Dewa Arak tidak akan terlalu sulit menggilasnya. Dan
Jasuri tidak ingin hal itu terjadi.
Keselamatannya memang tidak terlalu dipikirkan. Tapi, keselamatan Palguna-lah
yang menjadi beban.
Maka kakek berpakaian putih itu bertekad untuk
mengadu nyawa. Disadarinya kalau Dewa Arak tidak akan mungkin
bisa dikalahkan. Pemuda berambut putih keperakan itu memang memiliki kepandaian luar biasa!
Setelah mendapat keputusan itu, serangan-serangan
Jasuri pun semakin dahsyat. Sekarang serangan- serangannya selalu memojokkan Dewa Arak. Memang, kakek berpakaian putih itu
berniat mengadu nyawa!
Dewa Arak terkejut bukan kepalang begitu merasakan
perubahan mendadak
dalam serangan-serangan lawan.
Sebagai seorang tokoh tingkat tinggi, Arya Buana tentu saja menyadari maksud
tersembunyi lawan dengan perubahan
serangannya. Dan dia tidak ingin meladeninya.
Oleh karena itu, Dewa Arak selalu menghindar setiap
kali lawan melakukan serangan yang bersifat memojokkan dengan maksud mengadu
nyawa. Tapi berapa lawan Dewa Arak dapat bersikap seperti
itu, dengan bermain kucing-kucingan" Padahal orang yang menyerangnya adalah
tokoh yang berkepandaian setaraf dengannya dalam segala hal!
"Haaat..!"
Diiringi suara melengking nyaring, Jasuri melompat
menerjang Dewa Arak. Kedua tangannya yang membentuk
jari-jari terbuka lurus menghentak cepat ke arah dada Dewa Arak.
Wajah Arya Buana berubah seketika. Hal yang dikhawatirkannya ternyata terjadi juga. Apalagi, dia tidak memiliki kesempatan
mengelak. Memang, Jasuri telah
memojokkannya dalam keadaan sedemikian rupa. Dewa Arak tidak punya pilihan lain
lagi, kecuali menyambut serangan lawan dengan gerakan serupa.
"Hiyaaat..!"
Dengan teriakan tak kalah keras, Dewa Arak melompat menyambuti. Kedua tangannya lurus ke depan
membentuk jari-jari terkembang. Ada hawa panas menyambar di sekitar tempat itu, seiring terhentaknya kedua tangan itu.
Blaggg...! Baik Dewa Arak maupun Jasuri sama-sama terjengkang ke belakang dan terguling di tanah. Lalu....
"Huakh...!"
Dari mulut Dewa Arak dan Jasuri keluar darah
kental. Kedua tokoh mi sama-sama teriuka dalam, karena terkena serangan satu
sama lain. Arya Buana menggigil kedinginan, sementara Jasuri menggeliat-geliat
kepanasan. Jasuri yang sudah bertekad mengajak Dewa Arak mati
bersama, segera berusaha bangkit. Tapi ternyata tidak mampu, dan terguling di
tanah. Jelas, kalau luka yang dideritanya parah bukan main.
Berbeda dengan Jasuri, Dewa Arak langsung berusaha untuk bersila, kemudian bersemadi. Disadari kalau luka dalam yang
dideritanya amat parah. Maka, dia akan mengobatinya dengan penyaluran hawa
murni. Jasuri pun akhirnya menyadari hal itu pula. Betapapun kuat keinginannya untuk membalas dendam, tapi
kalau keadaan tidak memungkinkan bagaimana bisa melakukannya"
Maka, kakek berpakaian putih lalu bersemadi! Memang akibat benturan tenaga dalam secara langsung itu hebat sekali! Baik Dewa Arak maupun Jasuri sama-sama menderita luka
dalam karena kuatnya tenaga dalam satu sama lain.
Palguna terkekeh. Meskipun tidak memiliki tingkat
kepandaian seperti Dewa Arak atau Jasuri, tapi dia pun mengerti kejadian yang
Dewa Arak 25 Penghuni Lembah Malaikat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diderita Dewa Arak dan gurunya.
Maka dengan senyum keji menghias mulut, dihampirinya Dewa Arak yang tengah
bersemadi untuk memulihkan luka dalamnya.
"Ha ha ha...! Kini saat kematianmu telah tiba, Dewa Arak...!" kata pemuda
berpakaian mewah itu sambil tertawa bergelak.
Dewa Arak sama sekali tidak merasa terkejut, karena
sudah menduga kalau Palguna akan bertindak licik. Kalau menuruti perasaan hati,
ingin rasanya tubuh pemuda yang licik itu diterjangnya. Tapi apa dayanya" Dia
tengah menderita luka dalam! Jangankan menyerang, untuk bangkit berdiri pun
sulit! Maka yang dapat dilakukannya hanyalah memandang semua yang akan dilakukan
Palguna dengan sepasang mata terbelalak.
Berlainan dengan Dewa Arak yang tidak merasa kaget
dengan apa yang akan dilakukan Palguna, Jasuri justru kaget bukan kepalang.
"Palguna! Apa yang akan kau lakukan"!" tanya kakek berpakaian
putih itu setengah membentak. Terpaksa semadinya ditunda.
"Membalas dendam pada orang yang telah membunuh kakak kandungku. Guru," kalem
saja jawaban Palguna.
"Mumpung dia tidak berdaya."
"Tidak malukah kau, Palguna" Membunuh lawan yang tidak berdaya" Kelakuanmu
seperti seorang, pengecut"!"
tegas Jasuri dengan suara semakin tinggi, dan sepasang mata semakin membelalak.
Palguna hanya tersenyum saja. Sama sekali tidak
disambuti ucapan keheranan gurunya itu.
Dewa Arak yang juga jadi menunda semadinya,
mengernyitkan dahi begitu mendengar ucapan Jasuri. Sekali lihat saja, dia tahu
kalau kakek berpakaian putih itu benar-benar tidak menyukai tindakan yang akan
dilakukan Palguna! Serentetan perasaan tidak enak melanda hati pemuda berambut putih
keperakan ini. Jangan-jangan
Palguna telah mengadu domba antara dirinya dengan Jasuri untuk mengeruk
keuntungan" Perasaan penasaran ini
membuat Arya Buana berminat mengungkapnya.
"Mengapa musti malu, Ki," kata Dewa Arak pelan tapi terdengar jelas. "Jangankan
terhadapku. Pada seorang wanita saja, dia berlaku licik. Dengan cara curang, dia
telah menawan kekasihku dan menyuruhku datang ke tempat ini.
Kalau aku tidak mau datang, kekasihku akan dibunuh! Tapi apa yang kudengar dari
mulutnya, membuatku jadi marah besar, Ki. Kekasihku yang ditahan telah
diperkosanya...."
"Ahhh...!" Seruan keterkejutan terdengar dari mulut Jasuri. Wajahnya tampak
berubah-ubah. Sebentar pucat, dan sebentar merah. "Benarkah semua ucapan Dewa
Arak itu, Palguna?"
Palguna hanya tersenyum mengejek tersungging di
bibirnya untuk mengiyakan pertanyaan itu.
"Manusia terkutuk...!" maki Jasuri keras seraya berusaha bangkit dari duduk
bersilanya. Sudah bisa diduga maksudnya. Dia hendak menyerang Palguna.
Tapi baru juga kedua kakinya berdiri, tubuhnya
langsung terjungkal roboh. Darah segar memancur deras dari mulutnya. Rupanya,
kakek berpakaian putih ini terhitung orang yang keras hati. Dengan bertelekan
pada kedua tangan, dia berusaha bangkit dari telungkupnya. Beberapa saat lamanya, kedua
tangan itu mengejang dan bergetar.
Kemudian, akhirnya tubuh itu roboh di tanah. Jasuri tidak mampu untuk bangkit
lagi. "Ki...!" seru Dewa Arak terkejut. Ada nada kekhawatiran dalam suaranya.
"Ha ha ha...!"
Palguna tertawa bergelak.
"Palguna! Manusia iblis! Kau boleh membunuhku,
karena aku adalah pembunuh kakakmu. Tapi gurumu itu
harus kau tolong kalau tidak akan tewas!" teriak Dewa Arak.
"Apa peduliku dengan nasib tua bangka itu"!" sergah Palguna keras. "Dia pun sama
sekali tidak pernah peduli pada sakit hatiku karena kematian kakakku di
tanganmu, Dewa Arak! Di waktu aku menyatakan hasrat untuk
membalas dendam padamu, dia malah melarangku. Katanya, kakakku memang bersalah!
Huhhh! Guru macam apa itu"!
Jangankan untuk membantu, merestui kepergianku saja
tidak! Dia boleh mampus bersama-sama denganmu!"
"Benarkah semua yang kau
katakan itu, Den Palguna?" terdengar sebuah suara serak menyelak pembicaraan, ketika Palguna menghentikan ucapannya.
Palguna, Dewa Arak, dan Jasuri mengalihkan pandangan ke arah asal suara. Tampak seorang kakek bertubuh bungkuk, berpakaian
lusuh, dan berwajah buruk berdiri tak jauh dari mereka.
Arya Buana mengernyitkan dahi karena memang tidak
mengenal kakek berwajah buruk itu. Tapi alisnya mengernyit dalam memperhatikan
kakek bungkuk berwajah buruk.
Dirasakan dia pernah melihatnya di sebuah kedai yang akan menuju Lembah Malaikat
ini. Sebaliknya Palguna dan Jasuri rupanya mengenalnya. Terbukti, kakek bertubuh
bungkuk itu mengenal Palguna.
"Hm..., Ki Pancar...! Apa maksud ucapanmu, Ki?"
tanya Palguna dengan sikap waspada. Karena, Ki Pancar adalah salah seorang dari
dua pelayan tempat tinggal Jasuri.
"He he he...! Tenang, Den. Aku berada di pihakmu.
Percayalah. Kau boleh puaskan hatimu pada Dewa Arak. Dan aku akan mengurus
Jasuri. Hampir sepuluh tahun aku
menanti kesempatan untuk membalas sakit hati ini. Seperti juga kau, muridku pun
mati terbunuh. Tapi bukan oleh Dewa Arak, melainkan oleh Jasuri"
"Siapa muridmu itu, Ki?" tanya Palguna denga perasaan curiga yang masih
bergelora. Pemuda berpakaian mewah itu tidak begitu bodoh
dengan langsung percaya begitu saja pada semua keterangan yang diberikan kakek
bertubuh bungkuk itu.
"Kepala rampok yang akan menghancurkan Desa
Jambul." 8 "Apa"!" sepasang mata Palguna terbelalak lebar karena rasa tidak percaya yang
begitu besar. "Sudah lama aku menantikan saat-saat seperti ini, Den," kata Ki Pancar. "Dan
apabila mencoba menghalangiku, kau pun akan menerima akibat yang sama.
Menyingkirlah, Den. Kau urus saja Dewa Arak. Biar aku yang mengurus Jasuri."
Palguna melihat adanya kesungguhan dalam ucapan
dan sikap Ki Pancar. Maka, dia pun bergerak menyingkir memberi jalan pada kakek
bertubuh bungkuk itu untuk
mendekati Jasuri. Walaupun begitu, pemuda berpakaian mewah itu bukan orahg
bodoh. Dia tidak langsung percaya, walau telah melihat
semua kesungguhan itu. Sepasang matanya memperhatikan semua gerak-gerik kakek
berwajah buruk itu.
"Jasuri! Sekarang tiba saatnya bagiku untuk membalas dendam atas kematian
muridku...!"
Tapi sebelum kakek bertubuh bungkuk itu sempat
berbuat sesuatu, melesat sesosok bayangan abu-abu ke arahnya. Langsung
dilancarkannya serangan bertubi-tubi ke arah leher kakek itu.
Ki Pancar terperanjat melihat hal ini. Terpaksa
urusannya dengan Jasuri ditunda. Buru-buru tubuhnya
dilempar ke belakang dan bergulingan menjauh.
Ternyata bukan hanya kakek bertubuh bungkuk itu
saja yang melempar tubuh ke belakang dan bergulingan di tanah. Palguna pun
demikian pula. Rupanya, seperti juga Ki Pancar, pemuda berpakaian mewah itu juga
mendapat serangan mendadak. Hanya saja bukan sosok bayangan abu-abu, melainkan sosok
bayangan putih!
Begitu Ki Pancar dan Palguna bangkit berdiri, di
hadapan kedua calon korban mereka telah berdiri sosok penyerang itu. Baik
Palguna maupun Ki Pancar rupanya mengenal penyerang masing-masing.
Berdiri membelakangi Dewa Arak, tampak seorang
gadis cantik jelita berpakaian putih dan berambut panjang.
Siapa lagi kalau bukan Melati"
Sedangkan yang berdiri membelakangi Jasuri adalah
seorang perempuan tua bertubuh sedang. Dia mengenakan pakaian
abu-abu. Kulit wajahnya belum berkeriput, meskipun semua rambutnya yang panjang telah memutih.
Palguna menatap wajah Melati dan nenek berpakaian
abu-abu silih berganti. Raut keterkejutan tampak di wajahnya yang tampan, karena melihat kedatangan Melati yang bisa berbarengan
dengan nenek berwajah segar itu.
"Kau.."! Bagaimana bisa lolos?" tanya Palguna. Sorot rata pemuda itu memancarkan
kebingungan melihat Melati bisa berdiri di situ. Bukankah gadis berpakaian putih
itu telah ditotoknya, setelah disembunyikan di salah satu gua di Lembah
Malaikat" "Aku yang menyelamatkannya, Den," nenek berpakaian abu-abu yang menyahuti.
"Jadi,kau rupanya Nyi Pari"! Berani benar menentang tindakanku"! Kau tidak ingat
siapa dirimu" Kau hanya pelayan!
Dan aku adalah tuanmu!" tandas pemuda berpakaian mewah penuh rasa geram.
"Tapi sekarang kau bukan lagi tuanku, Palguna!"
tandas nenek berwajah segar yang ternyata bernama Nyi Pari.
"Kau menjadi tuanku, karena kau sebagai murid Ki Jasuri.
Dialah tuanku yang sebenarnya. Sekarang karena kau
hendak membunuh tuanku, aku terpaksa menentangmu"!"
Palguna menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Perasaan gelisahlah yang menyebabkannya bersikap
demikian. Dia tahu keadaan kini telah berbalik. Semula menguntungkan pihaknya,
tapi kini tak lagi. Melati adalah seorang lawan yang tangguh. Belum lagi Nyi
Pari! Mampukah Ki Pancar menandingi nenek yang telah
mewarisi hampir seluruh kepandaian Jasuri" Sementara, Ki Pancar baru datang belum sepuluh tahun.
Belajar ilmu silat dari Jasuri pun belum sampai lima tahun.
Itu pun tak penuh.
"Bagaimana kau bisa menemukan tempat persembunyian gadis itu,
Nyi Pari?" tanya Palguna setelah
kebingungan beberapa saat lamanya.
"Hi hi hi...!
Nyi Pari tertawa terkikih. Sama sekali tidak buru-buru disahutinya pertanyaan
pemuda berpakaian mewah itu. Dia terus saja tertawa geli sambil menutup mulut.
"Ternyata aku lebih cerdik darimu, Palguna. Kau tahu, akulah orang yang telah
membuatmu tidak bisa tidur
semalaman di dalam bangunan tempat kau menyimpan
kereta kuda," jelas nenek berpakaian abu-abu itu setelah rasa gelinya hilang.
"Jadi... jadi... kau..."!" terdengar ucapan gagap yang keluar dari mulut
Palguna. "Aku mengikuti perjalananmu sejak kau keluar dari Lembah Malaikat, Palguna.
Karena khawatir kau akan
membalas dendam pada Dewa Arak. Jadi, tidak perlu heran kalau aku tahu semua
sepak terjangmu di luar sana."
Kini Palguna pun mengerti semuanya, tapi tidak bisa
berpikir lebih lama lagi. Karena, Melati yang rupanya sangat mendendam padanya,
tidak akan tahan lagi menahan
kesabaran. "Hihhh...!"
Gadis berpakaian putih itu melompat menerjang
Palguna. Dan dalam sekali serang saja, tanpa ragu-ragu sudah dikeluarkan ilmu
andalannya. 'Cakar Naga Merah'!
Begitu tubuhnya telah berada di udara, dan dekat
dengan Palguna, mendadak gadis berpakaian putih itu
memutar tubuhnya sambil mengibaskan kaki. Inilah jurus
'Naga Merah Menyabetkan Ekor'.
Wuttt...! Angin keras menderu tatkala kaki Melati menyambar
cepat ke arah pelipis Palguna. Andaikata mengenai sasaran, kepala pemuda
berpakaian mewah itu pasti akan pecah.
Palguna tentu saja tahu kedahsyatan serangan itu.
Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuhnya segera direndahkan. Sehingga,
serangan itu lewat beberapa jengkal di atas kepalanya. Pada saat yang sama,
tangan kirinya menyodok cepat ke arah perut diiringi suara mencicit nyaring.
Tapi Melati memang sudah memperhitungkan hal itu.
Maka tangan kanannya yang berbentuk cakar disampokkan ke bawah.
Prattt...! Palguna meringis begitu jari-jari tangan Melati yang berbentuk cakar menghantam
punggung tangannya. Kulit tangannya langsung terkelupas. Bahkan darah segar pun
merembes keluar.
"Hup...!"
Tepat saat Palguna melompat mundur, Melati mendaratkan kedua kakinya di tanah. Secepat kedua kakinya hinggap, secepat itu
pula dilancarkan serangan susulan ke arah Palguna. Sesaat kemudian kedua anak
muda itu sudah terlibat dalam pertarungan seru dan menarik.
*** "Menyingkirlah dari situ, Nyi Pari. Sebelum perasaan sabarku hilang dan turun
Dewa Arak 25 Penghuni Lembah Malaikat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tangan membunuhmu."
Sambil berkata demikian, Ki Pancar melangkah
menghampiri Nyi Pari. Ada sorot ancaman dalam raut wajah dan suaranya.
"Kaulah yang akan kulenyapkan, Pancar. Sudah sejak dulu aku merasa curiga
padamu. Hanya karena Ki Jasuri terlalu baik hati, aku tidak mengutarakan
kecurigaanku. Tapi, diam-diam aku selalu memperhatikan semua gerak-gerikmu. Dan ternyata,
kecurigaanku benar."
' Ha ha ha...! Hebat permainan sandiwaraku, bukan?"
sambut Ki Pancar sambil tertawa lebar.
"Hmh...!" Nyi Pari mendengus. "Jangan terlalu yakin, Pancar. Aku tahu, sosok
bayangan hitam yang muncul dan menyerang Ki Jasuri adalah kau. Itu terjadi
setelah beberapa bulan kedatanganmu. Tidak salah bukan, dugaanku?"
Tawa kakek berwajah buruk lenyap mendengar
ucapan Nyi Pari.
"Tapi, kau pasti tidak tahu, mengapa aku menyerang dengan cara menyamar dan
menyembunyikan wajah!"
"Hi hi hi...! Kau kira aku sebodoh Palguna, Pancar"!"
Nyi Pari tertawa mengejek.
"Aku tahu alasanmu. Apa lagi kalau bukan karena takut kedokmu terbongkar"
Bukankah begitu, Pancar"!"
Kakek berwajah buruk tidak bisa berkata apa-apa
lagi. Semua yang dikatakan nenek berpakaian abu-abu itu memang benar!
"Aku pun tahu, siapa adanya dirimu. Pancar. Itu setelah kau mengatakan kalau
Turangga, kepala rampok yang tewas di Desa Jambul adalah muridmu," sambung Nyi
Pari lagi. Ki Pancar terdiam tak menyambuti. Tapi dari sikapnya terlihat jelas kalau dia
tengah menunggu kelanjutan ucapan nenek berpakaian abu-abu itu.
"Kau adalah Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa!" tandas nenek berpakaian abu-abu tegas.
Ki Pancar tertawa bergelak.
"Ha ha ha...! Akhirnya kau tahu juga. Pari. Tapi sayang, sudah terlambat. Tidak
ada lagi orang yang akan bisa menghalangi tindakanku."
Setelah berkata demikian, kakek berwajah buruk itu
kembali melangkah maju. Seketika, hal ini membuat Nyi Pari terkesiap. Sekujur
urat-urat syarafnya menegang penuh kewaspadaan, bersiap menghadapi segala
kemungkinan. Memang, setelah yakin kalau Ki Pancar adalah tokoh
yang berjuluk Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa, Nyi Pari jadi bersikap hati-hati. Dia
telah mendengar sepak terjang tokoh ini. Dia adalah tokoh yang amat ditakuti di
daerah Utara. Telah puluhan, bahkan ratusan kali bertarung tanpa
terkalahkan. Tak terhitung sudah banyaknya tokoh persilatan golongan putih yang tewas di tangannya. Karena wajahnya yang buruk
dan tubuhnya yang bungkuk, dia
dijuluki Hantu Bungkuk. Dan karena tidak pernah ada orang yang mampu
mengalahkannya, dia mendapat julukan Tanpa Nyawa.
Telah belasan, bahkan mungkin lebih dari dua puluh
tahun, Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa bercokol di daerah
Utara tanpa ada seorang pun yang mampu menandinginya.
Dari sini saja sudah bisa diperkirakan kelihaian kakek berwajah buruk ini. Namun
ketika mendengar banyak tokoh hitam yang di atas tingkatannya mati oleh Ki
Jasuri, maka dia mengatur siasat untuk melenyapkannya. Salah satunya, menyamar
jadi pembantu Ki Jasuri.
"Kuberikan kesempatan bagimu untuk pergi. Pari.
Cepat, sebelum keputusanku berubah!"
"Tidak! Sekali kubilang tidak, selamanya akan tetap tidak!" tegas nenek
berpakaian abu-abu itu.
"Kau mencari penyakit sendiri, Pari!" Setelah berkata demikian, Hantu Bungkuk
Tanpa Nyawa segera menyerang Nyi Pari dengan sebuah tendangan kaki kanan lurus
ke arah dada. Wuttt..! Didahului desiran angin kuat, kaki Ki Pancar meluncur deras. Nyi Pari tidak berani bersikap sembarangan. Buruburu dia melompat ke belakang, sehingga kaki Hantu
Bungkuk Tanpa Nyawa tidak mengenai dadanya, masih
berjarak sekitar dua jengkal dari sasaran semula.
Tapi serangan Ki Pancar tidak hanya sampai di situ
saja. Begitu serangan pertamanya berhasil dielakkan, segera dilancarkan serangan
susulan berupa tendangan miring ke arah leher dengan kaki yang sama. Dan untuk
itu, kaki kiri kakek berwajah buruk itu terpaksa harus bergeser di tanah.
Suara bergesekan keras terdengar ketika alas kaki Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa
bergesekan dengan tanah.
Nyi Pari terperanjat melihat serangan yang seperti itu dapat dilancarkan lawan
dalam waktu demikian cepat.
Khawatir kalau mengelak akan ada serangan susulan lain, ditangkisnya serangan
kaki itu dengan kedua tangannya.
Plak...! "Aih...!"
Nyi Pari memekik tertahan begitu sambungan pergelangan tangannya terasa seperti terlepas akibat berbenturan dengan kaki Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa.
Sekujur tangannya terasa sakit dan ngilu bukan kepalang.
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya terhuyung dua langkah ke belakang.
Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa benar-benar hendak
melenyapkan Nyi Pari. Tanpa memberi kesempatan sedikit pun, kembali
dilancarkannya serangan susulan pada nenek berpakaian abu-abu itu.
Kini Nyi Pari harus berjuang keras untuk menyelamatkan selembar nyawanya dari serangan ganas lawan.
Seluruh ilmu yang diwariskan Ki Jasuri padanya dikerahkan.
Sesaat kemudian, pertarungan sengit terjadi antara kedua orang itu.
9 Di arena lain, pertarungan yang berlangsung pun tak
kalah serunya. Palguna harus mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki untuk menghadapi setiap serbuan Melati.
Gadis berpakaian putih yang tengah dilanda kemarahan hebat itu menguras seluruh kemampuannya untuk
bisa merobohkan Palguna secepat mungkin. Apalagi mengingat semua yang dilakukan pemuda berpakaian mewah itu. Maka, ilmu 'Cakar
Naga Merah' dikerahkan sampai ke puncaknya. Serangannya susul-menyusul tak
henti-hentinya seperti gelombang laut
Tapi betapapun pemuda berpakaian mewah itu telah
mengerahkan seluruh kemampuan, tetap saja tidak mampu membendung gelombang
serangan Melati. Putri angkat Raja Bojong Gading itu memang lebih unggul dalam
segala hal. Baik dalam hal ilmu meringankan tubuh, maupun tenaga dalam. Tak aneh kalau
Palguna terdesak hebat.
Pertarungan baru berlangsung lima puluh jurus, tapi
Palguna sudah terpontang-panting ke sana kemari untuk menyelamatkan selembar
nyawanya. Akhir pertarungan ini sudah bisa ditebak. Pemuda berpakaian mewah ini
akan roboh di tangan lawan.
Palguna kini sudah tidak berdaya lagi mengadakan
perlawanan. Serangannya hampir tidak pernah dikirimkan, karena keadaannya memang
sudah terjepit sama sekali. Yang lebih banyak dilakukan adalah mengelak.
Menangkis pun jarang sekali dilakukan, kecuali kalau dalam keadaan yang sangat
memaksanya berbuat demikian.
"Hih...!"
Di jurus keenam puluh satu, Melati mengirimkan
sebuah tendangan lurus ke arah perut Palguna. Buru-buru pemuda berpakaian mewah
itu menjejakkan kaki, lalu
melompat ke atas. Hasilnya, tendangan Melati lewat di bawah kakinya.
Tapi saat inilah yang memang ditunggu-tunggu Melati.
Begitu tubuh lawan berada di atas, tangan kirinya diluncurkan ke arah dada Palguna.
Palguna mengernyitkan dahinya kebingungan. Sebuah
pertanyaan besar menggayuti kepalanya. Mengapa gadis berpakaian putih itu
melancarkan serangan. Padahal, jelas-jelas bagian yang menjadi sasarannya, tidak
akan terjangkau serangan itu.
Akhirnya Palguna mengambil keputusan untuk tidak
menangkis serangan. Hatinya yakin kalau serangan Melati tidak akan mencapai
sasaran. Tambahan lagi, keadaan tubuh Palguna tengah berada di udara. Dan ini
menyulitkan untuk mengelakkan
serangan itu. Dua alasan itulah yang menyebabkan pemuda berpakaian mewah itu tidak mengelakkan serangan lawannya.
Dan, inilah kesalahan Palguna! Dia tidak tahu kalau
Melati dengan keistimewaan ilmu 'Cakar Naga Merah'nya mampu membuat tangannya
menjadi satu setengah kali lebih panjang. Maka....
Bukkk...! "Akh...!"
Palguna menjerit memilukan ketika tangan Melati
menghantam sasaran secara telak dan keras. Seketika itu juga, tubuh pemuda
berpakaian mewah itu terjungkal ke atas. Darah segar sekehka menyembur deras
dari mulut. Brukkk...! Setelah terlempar setinggi empat tombak dari permukaan tanah, tubuh pemuda berpakaian mewah itu
jatuh di tanah menimbulkan suara keras. Hanya sesaat saja, tubuhnya
berkelojotan, kemudian diam tak bergerak lagi ketika nyawanya telah pergi
meninggalkan raga.
Melati menatap mayat Palguna dengan sinar mata
puas. Sementara, Jasuri menatapnya dengan berbagai
macam perasaan yang bercampur aduk. Ada rasa lega, sedih, dan terpukul. Karena
betapapun jahatnya, Palguna adalah muridnya dan sudah belasan tahun bersamanya.
Pemuda berpakaian mewah itu sudah dianggap sebagai anaknya
sendiri. Wajar jika kematian Palguna menimbulkan kesedihan mendalam di hari
kakek berpakaian putih itu.
"Kang Arya...!" seru Melati keras sambil berlari menghampiri Arya Buana.
"Hih...!" Melati mengirimkan sebuah tendangan lurus ke arah perut Palguna.
Pemuda berpakaian mewah itu segera menjejakkan
kakinya sambil melompat ke atas, sehingga tendangan Melati lewat di bawah
kakinya. Tetapi, saat inilah yang memang ditunggu-tunggu Melati!
Dewa Arak tersenyum lebar, walaupun ada rasa sakit
yang mendera hatinya. Benarkah gadis yang dicintainya itu telah dinodai Palguna"
Di samping rasa sakit itu, ada pula rasa kasihan yang amat sangat. Rasa kasihan
pada Melati! Itulah sebabnya, Arya Buana berusaha untuk tetap tersenyum. "Syukur kau selamat dari tangan pemuda terkutuk itu, Melati," kata Arya Buana.
Leher Dewa Arak terasa dicekik ketika Melati telah
duduk pula di hadapannya. Sepasang mata pemuda berambut putih keperakan itu menatap wajah putri angkat Raja Bojong Gading
dengan berbagai macam perasaan yang berkecamuk dalam hati.
"Nyi Pari yang menyelamatkanku. Kang. Kalau tidak ada wanita yang baik hati itu,
mungkin aku sudah jadi korban nafsu setan si keparat Palguna!"
"Jadi... jadi... dia belum memperkosamu...?" Dengan susah payah, kata-kata itu
berhasil keluar dari mulut Dewa Arak. Melati tersenyum.
"Untung saja, Nyi Pari selalu datang tepat pada waktunya. Di saat, pemuda
keparat itu mulai menampakkan tanda-tanda akan bersikap kurang ajar, Nyi Pari
datang dan menyerangnya."
Rupanya, Nyi Pari orangnya yang selalu menyelamatkan Melati secara diam-diam. Bahkan dia pula yang mengirimkan surat
peringatan, saat gadis itu tengah
berbaring di dalam sebuah kamar dalam bangunan tua milik Palguna.
Kemudian, Melati pun menceritakan pertemuannya
dengan Palguna.
"Lalu, aku dibawanya pergi dengan kereta, Kang,"
lanjut Melati setelah sedikit bercerita. "Di tengah perjalanan, dia yang rupanya
masih merasa penasaran, sehingga
mencoba mengulangi perbuatan terkutuknya. Untung Nyi Pari datang dan menyerang
Dewa Arak 25 Penghuni Lembah Malaikat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sehingga usahanya gagal."
Melati menghentikan ceritanya sejenak untuk mengambil napas dalam-dalam Sementara Dewa Arak
mendengarkan cerita kekasihnya penuh perhatian.
"Jadi, Nyi Pari berhasil mengalahkan Palguna?" tanya pemuda berpakaian ungu itu.
Melati menggeleng.
"Atau, Nyi Pari yang dikalahkan?" Dahi Arya Buana berkernyit
"Tidak juga, Kang. Mereka bertarung hanya beberapa gebrakan saja. Nyi Pari tidak
berani melawan Palguna, karena termasuk majikannya. Dia hanya menyerang di saat
Palguna hendak berbuat tak senonoh padaku. Beberapa gebrak
menyerang, kemudian kabur," jelas Melati.
Arya Buana mengangguk-anggukkan kepala. Entah
karena mengerti, atau karena alasan lain. Hanya dia sendiri yang tahu.
"Hm.... Jadi, Nyi Pari mengikuti perjalanan Palguna yang membawamu?" tanya Arya
Buana mulai mengerti.
"Ya. Baru ketika Palguna pergi, Nyi Pari membebaskanku. Lalu kami datang kemari," tutur Melati menutup ceritanya.
"Hm... tidak bisa kubayangkan kalau seandainya Nyi Pari tidak ada, Melati," kata
Dewa Arak lirih. Ditatapnya wajah gadis berpakaian putih itu penuh kasih sayang.
"Jangan berkata begitu, Kang," selak Melati. "Aku ngeri mendengarnya. "
"Hhh...!"
Arya Buana menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya
kuat-kuat. Sepasang matanya dilayangkan ke depan.
Sementara itu di arena pertarungan, Hantu Bungkuk
Tanpa Nyawa terlalu sakti untuk bisa ditandingi Nyi Pari.
Setelah pertarungan berlangsung empat puluh lima jurus, nenek berpakaian abu-abu
itu sudah terdesak hebat.
Yang dapat dilakukan Nyi Pari hanya mengelak saja.
Berbeda dengan di awal-awal pertarungan. Dia selalu
menyerang Ki Pancar. Semakin lama mereka bertarung,
semakin jarang serangan yang dilancarkan nenek berpakaian abu-abu
itu. Sampai akhirnya, Nyi Pari tidak bisa melancarkan serangan lagi, karena sibuk menyelamatkan diri. Dia hanya mengelak
dan menangkis serangan yang datang bertubi-tubi bagaikan hujan.
Padahal, Nyi Pari telah mengeluarkan senjata andalannya berupa sebuah kipas baja yang berujung
runcing. Senjata itu bisa digunakan untuk mengebut, di samping itu juga sebagai
pedang karena ujungnya runcing.
"Hih...!"
Tukkk...! "Akh...!"
Nyi Pari terpekik pelan ketika ujung kaki Hantu
Bungkuk Tanpa Nyawa menghantam sikunya. Seketika itu pula sekujur tangannya
lumpuh, dan kipas baja itu pun terjatuh pula dari cekalan.
Nenek berpakaian abu-abu itu terperanjat. Pada saat
itu, tangan Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa kembali meluncur ke arah dada kanannya.
Nyi Pari terkejut bukan kepalang. Disadari kalau
sampai terkena serangan itu, nyawanya akan melayang ke alam baka. Maka buru-buru
tubuhnya bergerak mengelak, dengan melangkah dan menggeser tubuh.
Plakkk...! Nyi Pari memekik kesakitan ketika tangan Ki Pancar
menghantam bahunya. Nenek berpakaian abu-abu ini kalah cepat. Maka meskipun
telah mengelak, tetap saja serangan lawan mengenai tubuhnya. Untung saja, tidak
mengenai sasaran yang diharapkan. Tapi meskipun begitu, tak urung tubuh Nyi Pari
terhuyung-huyung. Darah segar memercik keluar dari mulut nenek berpakaian abuabu itu. Dewa Arak yang saat itu memperhatikan pertarungan,
langsung tersentak. Di saat itulah, Arya Buana memberitahukan pada Melati agar membantu Nyi Pari. Maka gadis berpakaian putih
itu langsung menghentakkan kedua tangannya
ke depan jari-jari tangannya terkembang membentuk cakar. Inilah jurus 'Naga Merah Membuang
Mustika'. Wusss...! Serentetan angin pukulan menyambar ke arah Hantu
Bungkuk Tanpa Nyawa yang siap melancarkan serangan
susulan ke arah Nyi Pari.
Kakek berwajah buruk itu terperanjat begitu merasakan angin keras meluncur. Disadari kalau serangannya diteruskan, maka
pukulan jarak jauh itu akan menghantam tubuhnya, sebelum serangannya sendiri
bersarang di tubuh Nyi Pari.
Terpaksa Ki Pancar membatalkan serangan, dan
langsung melempar tubuhnya ke samping dan bergulingan di tanah menyelamatkan
diri. Ketika Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa ini bergerak
bangkit dari bergulingan, Melati telah berada di depan Nyi Pari.
"Menyingkirlah, Nyi," ujar gadis berpakaian putih itu bernada perintah.
Nyi Pari tidak berani membantah. Dia tahu, dirinya
bukan tandingan Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa yang lihai itu. Maka kakinya
melangkah, menjauhi pertarungan. Tak lupa, tubuh majikannya diangkat, dan dibawa
ke tempat aman.
Nenek berwajah segar itu akan mengobati luka dalam
majikannya. Tapi, tentu saja lukanya harus diobati terlebih dahulu.
Sementara Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa tahu, gadis
yang berdiri di hadapannya ini tidak bisa disamakan dengan Nyi Pari. Terbukti,
Melati telah berhasil membinasakan Palguna. Padahal, pemuda berpakaian mewah itu
memiliki tingkat kepandaian tidak di bawah Nyi Pari.
Maka tanpa ragu-ragu lagi, Ki Pancar segera menyerang Melati. Gadis berpakaian putih yang memang telah bersiap itu segera
menyambutnya. Tak pelak lagi, pertarungan antara kedua orang tokoh sakti ini pun
tidak bisa dihindari lagi.
Meskipun yakin akan kepandaian Melati, tapi mengingat kelihaian kakek berwajah buruk itu, Dewa Arak merasa khawatir juga.
Maka begitu melihat Melati mulai berhadapan dengan Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa,
dia pun bergegas kembali bersemadi. Arya Buana buru-buru ingin menyembuhkan luka
dalam yang diderita, agar bisa segera membantu apabila diperlukan.
Pertarungan antara Melati menghadapi Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa memang berlangsung seru bukan
kepalang. Kepandaian kedua orang itu ternyata berimbang.
Baik Melati maupun Ki Pancar memiliki tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh
yang setingkat.
Tak heran meskipun pertarungan telah berlangsung
lebih dari tujuh puluh jurus lamanya, tidak nampak ada tanda-tanda
yang akan keluar sebagai pemenang. Pertarungan masih terlihat seru dan seimbang.
"Keparat...!"
Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa menggertakkan gigi.
Hatinya merasa geram bukan kepalang melihat ketangguhan gadis berpakaian putih
itu. Perasaan geram yang timbul akibat dari rasa malu dan terhina, karena gadis
berpakaian putih itu sanggup mengimbanginya.
Mendadak tangan kakek berwajah buruk itu bergerak,
dan.... Srattt...! Sinar terang berkeredep ketika di tangan Hantu
Bungkuk Tanpa Nyawa telah tergenggam sebilah golok besar yang matanya bergerigi
mirip gergaji. Dan begitu golok itu terhunus, langsung saja diluncurkan cepat ke
arah dada Melati.
"Hih...!"
Melati menggigit bibirnya kuat-kuat. Dan sekali
menjejakkan kaki, tubuhnya telah terlempar ke belakang.
Sehingga, serangan golok Ki Pancar tidak mengenai sasaran.
Selagi tubuhnya berada di udara, tangan Melati
bergerak ke arah punggung. Dan begitu kedua kakinya
mendarat, di tangan gadis berpakaian putih itu telah tergenggam pedang.
Wunggg...! Suara menggerung dahsyat seperti seekor naga murka
terdengar ketika Melati menggerakkan pedangnya.
Kembali kedua belah pihak melanjutkan pertarungan.
Tapi, kali ini masing-masing telah menggenggam senjata.
Dengan sendirinya pertarungan jadi berlangsung lebih seru.
Suara menggerung, mencicit, dan mengaung menyemaraki pertarungan.
Di jurus-jurus awal sewaktu menggunakan senjata,
pertarungan antara kedua tokoh ini berlangsung seru. Baik Melati maupun Hantu
Bungkuk Tanpa Nyawa, saling serang dengan hebatnya. Berkali-kali bunga api
memercik ke udara setiap kali pedang dan golok itu berbenturan.
Tapi menginjak jurus ketujuh puluh tiga dalam
permainan senjata. Melati mulai terdesak. Dan hanya karena kehebatan ilmu
'Pedang Seribu Naga'nya, yang membuat Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa tidak mampu
merobohkan Melati. Memang ilmu 'Pedang Seribu Naga' mempunyai
pertahanan kuat.
Hampir Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa putus asa
menyadari kenyataan ini. Dia, datuk yang amat terkenal tidak mampu mengalahkan
seorang gadis belia yang sudah berhasil didesaknya!
Rasa malu dan penasaran membuat Hantu Bungkuk
Tanpa Nyawa menyerang semakin kalang kabut. Dia
menyerang tanpa mempedulikan pertahanan lagi. Yang ada di benaknya hanya satu
Melati harus bisa di tewaskan!
"Haaat...!"
Sambil berteriak melengking nyaring, kakek berwajah
buruk itu menusukkan goloknya ke arah perut Melati.
"Hih...!"
Dengan sebuah gerakan aneh, Melati menjejakkan
kakinya ke tanah. Mendadak bagian tubuhnya yang mulai dari pinggang ke bawah,
terangkat naik. Kini, dia seperti tertelungkup di udara, dengan bagian tubuh
bawah lebih tinggi daripada atas. Inilah jurus 'Naga Merah Mengangkat Ekor'.
Singgg...! Golok Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa menyambar
lewat di bawah dada Melati, hanya berjarak beberapa jari saja.
Tidak hanya sampai di situ saja yang dilakukan
Melati. Pada saat tubuhnya terangkat, pedang di tangannya dibabatkan ke arah
leher lawan. Ki Pancar kaget bukan kepalang melihat serangan ini.
Dicobanya untuk mengelak, tapi karena serangan itu
demikian cepat. Tambahan lagi, perasaan kalap yang
melanda membuat kewaspadaannya agak berkurang. Maka.... Cappp...! Kepala Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa kontan terlepas
dari tubuhnya ketika pedang Melati dengan telak menyambar sasaran. Darah
langsung menyembur deras dari bagian yang terluka.
Tanpa sempat bersambat lagi, tubuh kakek berwajah
buruk itu roboh ke tanah, dan diam tidak bergerak lagi untuk selamanya. Mati!
"Hup...!"
Melati mendaratkan kedua kakinya di tanah. Pada
saat yang sama. Dewa Arak pun telah selesai mengobati lukanya. Begitu pula Nyi
Pari dan Ki Jasuri.
Seperti diberi aba-aba ketiga orang itu berjalan
menghampiri Melati.
"Kau hebat, Melati," puji Nyi Pari kagum. Sepasang matanya menatap takjub wajah
gadis berpakaian putih itu.
"Terima kasih atas pujian dan juga atas pertolonganmu, Nyi," balas Melati.
"Benar, Nyi," sambung Dewa Arak. "Tanpa pertolonganmu, entah apa yang akan
terjadi pada kekasihku. "
"Lupakanlah," Ki Jasuri yang menyambuti. "Di antara sesama manusia, memang musti
tolong-menolong."
Dewa Arak 25 Penghuni Lembah Malaikat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau begitu, kami pamit dulu, Ki, Nyi," pamit Dewa Arak buru-buru. "Masih ada
urusan yang akan kami selesaikan."
"Oh! Silakan, Dewa Arak," sambut Ki Jasuri. "Tapi jangan lupa, singgahlah kemari
nanti." "Akan kuusahakan, Ki," sahut Arya Buana tak berani memastikan.
Setelah berkata demikian, Arya Buana dan Melati meninggalkan Lembah Malaikat, diiringi tatapan mata penuh kagum dari Ki Jasuri
dan Nyi Pari. Kini bayangan tubuh sepasang pendekar itu lenyap di kejauhan.
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor Fuji Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusianfo/ http://ebook-dewikz.com/
Kisah Tiga Kerajaan 9 Manusia Srigala Karya Can I D Pendekar Pedang Pelangi 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama