Ceritasilat Novel Online

Bencana Patung Keramat 2

Dewa Arak 47 Bencana Patung Keramat Bagian 2


bersama kami?" tanya Ki Sagotra ketika urusan penguburan mayat telah selesai.
"Karena sudah telanjur terlibat, tambahan lagi karena tertarik, kami putuskan
untuk ikut bersamamu, Ki. Meskipun mungkin tidak banyak berarti, akan kami coba
untuk membantu menyelesaikan kemelut ini," ujar Arya panjang lebar.
"Terima kasih, Anak Muda. Memang itulah yang kami harapkan," sambut Ki Sagotra
gembira. Ki Sagotra merasa gembira mendengar kesanggupan Dewa Arak membantu
penyelesaian ini. Karena telah dilihatnya tadi, kedua pendekar muda itu
memperlihatkan, kelihaian ketika memberi pertolongan kepada penduduknya yang
menginjak paku beracun.
Maka sesaat kemudian, rombongan penduduk Desa Ginang itu pun kembali bergerak.
Ada rasa duka dan ngeri yang menyelimuti hati, ketika teringat bencana yang
bakal mengancam mereka.
5 Keesokan harinya seluruh Desa Ginang gempar ketika mendengar berita yang dibawa
rombongan Ki Sagotra. Kesan kengerian tampak jelas baik pada wajah maupun sorot
mata mereka. Sebagian besar penduduk masih bersedih karena kematian suami, ayah,
anak, ataupun saudara.
Ki Sagotra sengaja mengumpulkan semua penduduknya di balai desa guna
memberitahukan peristiwa yang dialami rombongan tadi malam.
"Kuharapkan, dengan adanya pemberitahuan ini, kita semua semakin meningkatkan
kewaspadaan! Hindarilah bepergian jauh. Dan kalau terpaksa, usahakan untuk tidak
sendiri. Paling sedikit bertiga! Ini untuk sekadar pencegahan terhadap terjadinya hal-hal
yang tak kita inginkan!" jelas Ki Sagotra panjang lebar.
Tidak ada tanggapan sama sekali dari para penduduk. Mereka semua tenggelam dalam
alun pikiran masing-masing. Pikiran-pikiran yang diselimuti kengerian dan
ketakutan. Karena itulah, meskipun kelihatannya mendengarkan, mereka tidak
mendengar jelas semua ucapan Kepala Desa Ginang itu.
"Nah! Kalau kalian semua telah merasa jelas, kupersilakan meninggalkan tempat
ini! Tapi ingat baik-baik pesanku, usahakan untuk tidak berada sendirian! Kalian
mengerti"!"
"Mengerti...!" sahut para penduduk meskipun dengan pengertian setengah-setengah.
"Bagus! Sekarang kalian boleh pergi! Tenangkanlah hati kalian, karena aku tidak
akan berdiam diri begitu saja. Akan kukirim orang untuk meminta bantuan pada
perguruan-perguruan silat aliran putih. O ya, hampir lupa. Di sini pun telah
hadir dua orang pendekar sakti! Yang lelaki bernama Arya Buana, tapi lebih
dikenal dengan julukan Dewa Arak," lanjut Ki Sagotra sambil menolehkan wajah ke
Dewa Arak. "Sedangkan yang di sebelahnya adalah rekan seperjalanannya. Melati
namanya. Dirinya pun memiliki kepandaian yang tidak kalah hebat dibanding Dewa
Arak! Merekalah yang akan membantu kita menumpas sisa-sisa kaum iblis itu!"
jelas kepala desa dengan lantang.
Memang antara Arya, Melati, dan Ki Sagotra telah saling mengenal lebih jauh. Hal
itu dilakukan selama perjalanan menuju Desa Ginang. Tak aneh kalau kini Ki
Sagotra telah bisa memperkenalkan sepasang pendekar itu pada warganya.
Seketika itu pula puluhan pasang mata tertuju ke Dewa Arak dan Melati yang duduk
di sebelah Ki Sagotra. Ada sorot ketidakyakinan dalam pancaran sinar mata dan
raut wajah para penduduk, ketika melihat kedua tokoh yang akan membantu mereka
menghadapi penyembah patung keramat itu adalah dua orang muda belia. Sebagai
petani, mereka tidak pernah mencampuri urusan dunia persilatan. Tak aneh kalau
mereka sama sekali tidak mengenal julukan Dewa Arak yang telah sangat kesohor
dalam dunia persilatan.
Sementara itu, Dewa Arak dan Melati langsung menganggukkan kepala sambil
melemparkan senyum ramah pada para penduduk Desa Ginang, begitu Ki Sagotra
memperkenalkan jati diri mereka.
"Nah! Sekarang kalian boleh kembali ke tempat masing-masing. Kecuali... kau!
Kau, dan kau!" tuding Ki Sagotra pada tiga orang di antara mereka. "Aku
memerlukan kalian untuk menyampaikan surat permintaan tolongku kepada perguruanperguruan silat aliran putih."
Seketika itu pula wajah ketiga orang yang terpilih itu pias. Terlihat jelas
kalau mereka dilanda rasa takut yang amat sangat. Tapi, apa daya" Ini sudah
pilihan kepala desa, dan mereka tidak bisa membantah lagi. Dengan perasaan iri,
mereka menatap kawan-kawan mereka yang tidak terpilih, dan kini tengah beranjak
meninggalkan tempat pertemuan itu.
Dewa Arak dan Melati hanya bisa mengeluh dalam hati melihat ketakutan yang
melanda hati tiga penduduk yang terpilih itu. Mereka berdua sama sekali tidak
bisa menyalahkan. Karena sepasang pendekar muda ini telah mendengar berita kalau
dulu, puluhan tahun lalu, setiap urusan yang dikirimkan guru silat desa ini
tidak pernah sampai di tempat tujuan! Mereka tewas di tengah jalan dalam keadaan
mengerikan! "Nah! Ini surat yang harus kalian sampaikan!" kata Ki Sagotra lagi, berusaha
untuk tidak mempedulikan perasaan yang berkecamuk di hati ketiga orang urusan
itu. Dengan hati berat, ketiga penduduk yang terpilih jadi utusan itu bangkit dan
menerima gulungan surat yang diulurkan kepala desa. Ada dua buah gulungan.
"Serahkan surat ini ke Perguruan Belibis Putih dan Perguaian Tangan Geledek,"
perintah Ki Sagotra. "Kalian tak perlu menceritakan peristiwa yang telah
terjadi, di dalam surat itu telah kuceritakan semuanya. Jelas"!" pesan Ki
Sagotra lagi. "Jelas, Ki," jawab tiga orang itu hampir berbareng.
"Bagus! Nah, sekarang berangkatlah!"
Tanpa menunggu perintah dua kali, ketiga utusan yang bertubuh kekar dan berotot
karena terbiasa bekerja keras itu mengayunkan kaki meninggalkan tempat itu.
Langkah mereka nampak gontai. Lesu, selesu hati dan wajah mereka yang terus
diliputi rasa takut dan cemas.
Sekarang di tempat itu tinggal Ki Sagotra, Arya, dan Melati, serta lima orang
kepercayaan Ki Sagotra. Mereka termasuk di antara penduduk yang selamat dalam
peristiwa paku beracun karena tak ikut meluruk ke kuburan Warsini.
Setelah ketiga orang utusan tak terlihat lagi, Ki Sagotra mengalihkan perhatian
ke Dewa Arak dan Melati. Kedua pendekar itu sejak tadi diam saja menyaksikan
semua kejadian di dalam pertemuan warga Desa Ginang.
"Bagaimana dengan nasib Barada, Ki"! Apakah sudah ada berita mengenai dirinya"!"
tanya Arya tiba-tiba.
"Hhh...! Aku belum sempat melakukan tindakan apa pun untuk mengusut beritanya,
Arya. Mungkin nanti siang baru kuutus serombongan orang untuk mencari jejaknya.
Hhh...! Kali ini kelompok penyembah setan terkutuk itu memang harus dilenyapkan untuk
selama-lamanya. Bahkan patung itu pun harus dihancurkan! Kalau tidak, bencana
ini akan terus datang," desis Ki Sagotra dengan suara ditekan berat
"Kami berada di belakangmu, Ki," sambut Dewa Arak, cepat "Percayalah, kami tak
akan meninggalkan Desa Ginang sebelum masalah ini tuntas!"
"Benar, Ki!" Melati pun menyahut "Dan jangan khawatir masalah ini tidak akan
selesai! Kau tahu, Ki. Tidak ada satu pun persoalan yang tidak selesai, setiap kali
kawanku ini turun tangan!"
"Melati...," tegur Arya, pelan mendengar ucapan Melati yang sepintas lalu
menunjukkan kesombongan.
"Ah...! Begitukah"! Kalau benar demikian, seluruh penduduk desa ini, tentu saja
termasuk aku akan berterima kasih sekali pada kalian berdua. Walaupun, untuk
kesediaan kalian membantu kami saja, sudah cukup untuk membuat kami mengucapkan
terima kasih yang tak terhingga," ujar Ki Sagotra dengan sepasang mata berbinar.
"Lupakanlah semua basa-basi itu, Ki! Bukankah hal paling penting yang harus kita
lakukan adalah melenyapkan pelaku penyebar maut itu"!" Arya berusaha mengalihkan
pembicaraan. Ki Sagotra mengangguk-anggukkan kepala membenarkan ucapan pemuda berambut
putih keperakan di sampingnya.
Mendadak Dewa Arak menolehkan kepala ke kiri. Pendengarannya yang tajam
menangkap adanya suara langkah kaki mendekati tempat itu. Namun, belum sempat
pemuda berambut putih keperakan itu berpaling secara penuh, angin telah lebih
dulu berkesiut. Dan...
Jliggg! Di tempat itu telah berdiri seorang kakek bertubuh tinggi kurus dan berpakaian
kuning. Menilik dari kumis, jenggot, dan rambutnya yang telah memutih, kakek itu telah
berusia lanjut.
Mungkin tak kurang dari delapan puluh tahun.
"Eyang Sawunggaling...!" seru Ki Sagotra agak terkejut.
Kepala Desa Ginang itu langsung memberi hormat, diikuti lima orang
kepercayaannya.
Maka, Dewa Arak dan Melati pun buru-buru memberi hormat pula.
Kakek berpakaian kuning yang ternyata bernama Eyang Sawunggaling segera
membalas penghormatan mereka.
"Aku mendengar keributan di desa ini, Sagotra"! Apa yang telah terjadi"!
Kudengar kelompok penyembah patung keramat itu muncul lagi dan meminta korban!
Apakah hal itu benar"!" tanya Eyang Sawunggaling.
Anehnya, kedua bibir kakek berpakaian kuning sama sekali tidak bergerak! Padahal
suara tanya itu jelas terdengar di telinga mereka.
Dewa Arak dan Melati terkejut bukan kepalang melihat kenyataan ini, Jelas, kalau
kakek itu memiliki kepandaian tinggi, sehingga mampu berbicara tanpa
menggerakkan bibir.
Eyang Sawunggaling mampu berbicara melalui perut!
Sepasang pendekar muda itu melirik Ki Sagotra dan orang-orang kepercayaannya.
Ternyata raut wajah mereka tidak menampakkan perasaan kaget. Hanya ada dua
dugaan. Mereka tidak menganggap hal itu sebagai hal yang aneh, atau mungkin mereka
memang sudah mengetahui, kakek berpakaian kuning itu orang yang memiliki
kepandaian tinggi.
"Benar, Eyang. Semua yang Eyang dengar itu benar. Korban telah berjatuhan dengan
ciri-ciri kematian yang sama dengan kejadian puluhan tahun lalu. Aku, lima orang
kepercayaanku, dan para penduduk yang selamat telah menyaksikan sendiri kematian
beberapa penduduk desa."
Kemudian secara singkat Ki Sagotra menceritakan semua peristiwa yang telah
terjadi. "Hm..., benarkah patung keramat itu telah muncul lagi"!" tanya Eyang
Sawunggaling setengah tak percaya.
"Benar, Eyang. Memang, kami tidak sempat menyaksikan kebenarannya, begitu juga
dengan korban yang berada di patung itu. Tapi dua orang sahabat ini
menyaksikannya," sahut Ki Sagotra sambil menunjuk Dewa Arak dan Melati sebagai
saksinya. Eyang Sawunggaling menolehkan kepala ke Dewa Arak dan Melati. Dengan penuh
selidik ditatapnya sepasang pendekar muda itu.
"Hm..., kalian berdua bukan orang sembarangan rupanya," ujar Eyang Sawunggaling
tanpa menggerakkan bibir, setelah memperhatikan sejenak. "Coba kalian ceritakan
semua yang kalian lihat."
Dewa Arak dan Melati segera menceritakan semuanya secara bergantian.
"Hm...," Eyang Sawunggaling mengangguk-anggukkan kepala setelah sepasang
pendekar berwajah elok itu menyelesaikan ceritanya.
"O ya, hampir aku lupa. Arya, Melati, beliau ini Eyang Sawunggaling. Orang yang
telah berhasil menumpas kepala kelompok penyembah patung keramat itu," Ki
Sagotra memperkenalkan Eyang Sawunggaling pada Melati dan Dewa Arak.
Dewa Arak dan Melati mengangguk-anggukkan kepala.
Rupanya ini dia tokoh yang luar biasa itu" Pantas Ki Sagotra dan lima orang
kepercayaannya begitu menghormatinya, pikir kedua pendekar itu.
"Aku juga semula tidak percaya, Eyang. Bukankah dahulu kita dibantu tokoh-tokoh
persilatan aliran putih telah berhasil menumpas habis gerombolan itu. Bahkan
sarang mereka pun telah kita hancurkan hingga rata dengan tanah! Rasanya
mustahil kalau ada dari antara mereka yang selamat. Bukankah begitu, Eyang"!"
ucap Ki Sagotra lagi.
Eyang Sawunggaling tak langsung menjawab pertanyaan itu. Kakek berpakaian kuning
itu terdiam dengan dahi berkernyit dalam seperti tengah memikirkan sesuatu.
Lalu.. , "Hhh...!" Eyang Sawunggaling menghela napas berat seolah-olah tengah mengusir
suatu ganjalan di hati. "Sebenarnya tidak semua anggota gerombolan itu
tertumpas. Masih ada di antara mereka yang selamat," lanjutnya.
"Mana mungkin, Eyang"!" bantah Ki Sagotra, heran. "Aku tahu pasti tak seorang
pun di antara mereka yang selamat. Sekeliling tempat itu telah kita kurung.
Demikian pula dengan jalan rahasia yang menghubungkan sarang mereka dengan
tempat lain, telah kita hadang!
Bagaimana bisa ada yang lolos"! Apa kau tidak salah, Eyang"!"
"Tidak, Sagotra. Aku tidak salah. Memang masih ada yang tidak tertumpas," ujar
kakek berpakaian kuning itu dengan yakin.
"Kau mengetahuinya secara pasti, Eyang?" tany Ki Sagotra meminta ketegasan.
"Benar," Eyang Sawunggaling menganggu kepala. Terlihat jelas di mata Dewa Arak
betapa kakek berpakaian kuning itu menanggung beban berat. Itu bisa diketahui
dari caranya menjawab pertanyaan Sagotra. Tentu saja hal ini menimbulkan tanda
tanya besar di hati pemuda berambut putih keperakan itu.
"Dan kau membiarkannya, Eyang"!" kejar Ki Sagotra setengah tak percaya bercampur
kaget. Bahkan saking tidak menyangkanya, pertanyaan itu dikeluarkan dengan
setengah menjerit
Kali ini Eyang Sawunggaling tak menjawab, hanya menganggukkan kepala. Tapi hal
itu sudah cukup untuk menjelaskan semuanya.
"Hhh...!" Ki Sagotra menghela napas berat "Kalau tidak mendengar dari Eyang, aku
tak akan percaya, Eyang. Tapi, mengapa kau melakukan hal itu, Eyang" Bukankah
kau sendiri telah mengetahui betapa besar ancaman bahaya kelompok terkutuk itu.
Jangan-jangan kekuatan kelompok setan itu sekarang jauh lebih kuat dari yang
dulu." "Tidak mungkin!" tandas Eyang Sawunggalin mantap.
"Mengapa kau begitu yakin, Eyang"! O ya, kalau boleh, aku ingin tahu mengapa
Eyang membiarkannya lolos dari kematian" Dan bagaimana caranya dia bisa lolos
dari maut"!"
"Sayang sekali, Sagotra. Aku belum bisa menjawabnya sekarang. Tapi, percayalah!
Aku yang akan menangkapnya dan membawanya kepadamu untuk dihukum sesuai dengan
tindakan kejahatannya!"
Usai berkata demikian, kakek berpakaian kuning itu menghentakkan kaki. Hanya
dengan sekali lesatan saja, tubuhnya telah berada tiga belas tombak di depan.
Hal ini menjadi pertanda kalau ilmu meringankan tubuhnya telah mencapai tingkat
kesempurnaan. Dewa Arak, Melati, dan Ki Sagotra menatap hingga bayangan tubuh Eyang
Sawunggaling lenyap di kejauhan.
"Hhh...! Sama sekali tak kusangka kalau Eyang Sawunggaling melakukan tindakan
yang demikian berbahaya. Membiarkan anggota kelompok penyembah setan itu lolos.
Hhh...! Benar-benar tak bisa kumengerti," desah Ki Sagotra setengah tidak percaya.
"Tapi kalau mendengar ceritanya, bisa kusimpulkan kalau yang dibiarkan lolos
oleh Eyang Sawungga ling hanya satu orang," ujar Arya.
"Meskipun hanya satu orang, tetap saja berbahaya, Arya. Keberanian tindakannya
telah menjadi bukti bahwa dirinya telah memiliki kekuatan! Dan jika hal itu
benar, dengan mudah kami akan dibinasakannya. Masalahnya, saat ini kami belum
mempunyai persiapan sedikit pun untuk menghadapinya," jelas Kepala Desa Ginang
setengah mengeluh.
"Lalu..., sekarang apa yang hendak kau lakukan, Ki?" tanya Arya ingin tahu.
Ki Sagotra mengangkat bahu.
"Aku belum memikirkan tindakan apa pun, Arya. Paling-paling mencari tahu di mana
kelompok jahanam itu bersarang. Baru setelah itu, dengan bantuan tokoh-tokoh
persilatan yang kami hubungi, dan juga kalian berdua, serta mungkin Eyang
Sawunggaling, tindakan penyerbuan akan dilakukan."
"Kalau demikian, bagaimana jika kami mencoba mencari tahu sarang mereka, Ki"
Daripada hanya berdiam diri di sini. Barangkali ada yang kami dapatkan. Kalau
tidak sarang penjahat itu, yahhh..., siapa tahu mayat Barada," usul Dewa Arak.
"Itu pun bagus, Arya," jawab Ki Sagotra setelah memikirkannya sejenak.
"Kalau demikian, kami pergi dulu, Ki. Ayo, Melati!"
Setelah berkata demikian, Arya segera melesat meninggalkan tempat itu bersama
Melati. Hanya dalam beberapa lesatan, tubuh mereka sudah lenyap dari pandangan
Ki Sagotra dan anak buahnya.
6 Bunyi derap kaki-kaki kuda menghantam jalan tanah berdebu mengiringi perjalanan
tiga sosok tubuh kekar berotot. Menilik pakaian yang dikenakan, mereka adalah
para petani. Tidak salah, ketiga orang ini ternyata penduduk Desa Ginang yang diutus untuk


Dewa Arak 47 Bencana Patung Keramat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengirimkan surat Ki Sagotra kepada Perguruan Belibis Putih dan Perguaian Tangan
Geledek. Ctar! Ctar! Ctar!
"Hiya! Hiyaaa...!"
Tak henti-hentinya tiga orang warga Desa Ginang itu melecutkan cambuknya ke
bagian belakang tubuh kuda tunggangannya. Itu pun masih disertai teriakanteriakan keras. Semua dimaksudkan agar kuda-kuda itu berlari lebih cepat.
Dalam cekaman rasa takut yang luar biasa, tiga orang bertubuh kekar itu
kehilangan akal jernihnya. Tak terpikir oleh mereka rasa sakit yang diderita
kuda-kuda itu. Yang ada di benak mereka hanyalah tiba di tempat tujuan secepat
mungkin. Dan hal itu hanya bisa tercapai kalau kuda-kuda mereka berlari dengan cepat.
Sehingga mereka melecutnya terus-menerus. Ketiga orang itu tidak berpikir kalau
kekuatan binatang-binatang yang mereka tunggangi ada batasnya. Demikian pula
kecepatannya. Debu tebal yang mengepul tinggi di belakang jadi pertanda betapa cepatnya lari
kuda-kuda itu. Tak aneh kalau sebentar saja mereka telah melewati mulut desa.
Dan tak lama lagi mereka akan melewati Hutan Jati.
Dan seiring dengan semakin dekatnya dengan mulut Hutan Jati, ketegangan yang
melanda hati ketiga orang itu pun semakin memuncak. Mereka tahu kalau beberapa
penduduk Desa Ginang telah tewas secara mengerikan di dalam hutan itu.
Seiring dengan meningkatnya rasa takut yang mencekam, semakin sering pula pecutpecut mereka mendarat di tubuh kuda-kuda itu.
Dan kekhawatiran tiga orang penduduk Desa Ginang itu terbukti. Ketika mereka
baru saja melewati mulut Hutan Jati, berkelebat sesosok bayangan coklat memotong
jalan. Dan..., "Hup!"
Tepat di hadapan mereka, sosok bayangan coklat itu mendaratkan kaki. Karuan saja
ketiga utusan Ki Sagotra terkejut bukan kepalang. Tanpa sadar, tali kekang kuda
ditarik. "Hiiieeeh...!"
Diiringi suara ringkikan nyaring, kuda-kuda itu berhenti, dengan kaki depan
terangkat tinggi-tinggi ke udara.
"Aaah..., kiranya kau, Den! Hampir saja kami mati kaget...?" seru salah seorang
di antara tiga utusan Ki Sagotra. Suaranya menyiratkan perasaan lega.
Sosok berpakaian coklat itu menyeringai.
"Hendak ke mana kalian sampai tergesa-gesa begitu?" tanya sosok yang dipanggil
den itu, tidak ramah suaranya.
"Kami diutus ayahmu untuk menyampaikan surat kepada Perguruan Belibis Putih dan
Perguruan Tangan Geledek," jawab lelaki itu sambil mengacungkan dua gulungan
surat. Lelaki itu menjawab pertanyaan sambil tersenyum. Dirinya masih menunjukkan sikap
ramah, kendati sosok berpakaian coklat itu memperlihatkan tindak-tanduk
sebaliknya. Dan begitu lelaki itu tersenyum tampak gigi depannya yang patah.
"Kau sendiri mengapa berada di sini, Den?" tanya lelaki bergigi patah itu.
"Aku"! Kau menanyakan keberadaanku di sini"! Tidakkah kalian bisa menduganya"!"
sambut sosok berpakaian coklat dengan sikap dan suara yang semakin membuat tiga
utusan itu merasa tidak enak.
"Benar, Den. Kalau kau tidak keberatan, kita bisa pergi bersama mengantarkan
surat ini. Kau tahu, Den. Sekarang bencana besar tengah mengancam desa kita...,"
jelas lelaki bergigi patah dengan suara pelan.
"Benar, Den!" sambung kawannya mulai bicara.
"Hup!"
Tepat di hadapan mereka, berkelebat sesosok bayangan coklat yang menghadang.
Karuan saja ketiga penunggang kuda itu terkejut setengah mati.
"Hieeeh...!" Disertai ringkikan kuda-kudanya, mereka menghentikan laju kudanya.
"Ah! Kiranya kau, Den!" seru salah seorang penunggang kuda paling depan.
"Hmh...! Tak perlu kalian memberitahukannya padaku!" tandas sosok berpakaian
coklat ketus. "Bukankah bencana yang diakibatkan munculnya patung keramat itu
lagi"!"
"Benar. Jadi, kau telah mengetahuinya pula, Den" Apakah ayahmu yang
menceritakannya" Tapi, kami yakin jika Eyang Sawunggaling, gurumu, bersedia
turun tangan dan surat-surat ini bisa sampai di tujuan, kelompok keji itu bisa
kita tumpas seperti puluhan tahun lalu," lelaki bergigi patah terus mengumbar
pembicaraan. "Tutup mulutmu! Jangan sembarangan membacot! Aku sudah tahu bencana yang akan
menimpa Desa Ginang, karena akulah pelakunya! Kalian dengar"! Aku pelakunya! Dan
kalian enak saja mengatakan kalau aku bakal tertumpas"! Kalian harus mampus!
Cabut senjata kalian! Atau ingin mati tanpa melakukan perlawanan"!"
"Biadab! Jadi, kau pelaku semua kekejian itu, Bangsat! Kau tahu tindakanmu akan
membuat ayah dan gurumu tak akan bisa mati meram! Kau harus menerima balasannya,
Manusia Keji!"
Usai berkata demikian, lelaki bergigi patah itu melompat turun dari kuda. Dan
dengan cukup mantap, kedua kakinya berhasil mendarat
Tindakan yang sama pun dilakukan kedua teman-nya. Mereka melompat dari punggung
kuda. Dan... Srat! Srat! Srat!
Sinar terang berkeredep ketika golok-golok yang tergantung di pinggang, mereka
cabut "Kau harus menerima balasannya, Iblis Keji!
Hiyaaat..!"
Tanpa menunggu lebih lama lagi tiga urusan Ki Sagotra langsung melakukan
penyerangan terhadap sosok berpakaian coklat. Golok-golok mereka menyambar deras
ke bagian tubuh putra Ki Sagotra itu.
Tapi sosok berpakaian coklat hanya tersenyum mengejek melihat serangan lawanlawannya. Jelas, dirinya menganggap ringan serangan-serangan itu. Tak nampak
adanya gelagat kalau putra Ki Sagotra akai melakukan tindakan, baik menangkis
maupun mengelak.
Dia tetap berdiam diri dengan senyum penuh ejekan menghias wajahnya.
Tak! Tak! Tak! Bertubi-tubi tiga batang golok itu mendarat di dada dan perut sosok berpakaian
coklat. Namun bukan tubuh putra Kepala Desa Ginang yang terbelah, melainkan tubuh tiga
utusan itu. yang terhuyung-huyung! beberapa langkah ke belakang.
Mata golok mereka gompal-gompal. Ketiganya merasakan tangannya begitu sakit.
Seolah-olah bukan tubuh manusia yang mereka bacok melainkan gumpalan baja!
Benturan mata golok dengan tubuh putra Ki Sagotra pun terdengar seperti
beradunya dua buah logam keras.
"Ha ha ha...!"
Sosok berpakaian coklat itu tertawa bergelak. Tawa gembira bernada penuh
kemenangan. "Kalian boleh pilih bagian yang paling empuk! Ha ha ha...! Kuberi kalian
kesempatan untuk melancarkan serangan sepuas hati kalian, sebelum aku turun
tangan membunuh kalian!
Ha ha ha. .!"
Tiga orang utusan Ki Sagotra saling menatap dengan sorot mata ngeri. Sejak
semula pun mereka telah menyadari kalau sosok berpakaian coklat itu terlalu kuat
bagi mereka. Namun, perasaan geram dan dendam, membuat mereka tak menghiraukannya. Ditambah
karena adanya perasaan nekat karena tahu kalau sosok berpakaian coklat tak akan
mau mengampuni mereka.
Tapi sekarang ketiganya sadar kalau tindakan perlawanan mereka akan sia-sia.
Itulah sebabnya meskipun dalam adu pandang itu tidak terlihat isyarat apa pun.
Namun mereka sama-sama mengerti kalau masing-masing diri membuat keputusan sama.
Kabur! Kebetulan kuda-kuda mereka masih berada di situ.
Maka bagai diberi perintah, ketiga orang ini membalikkan tubuh dan berlari
menuju kuda-kuda mereka.
"Hup!"
Hampir bersamaan waktunya, ketiga penduduk desa itu telah berhasil duduk di
punggung kuda. *** "Hmh! Mau ke mana kalian" Jangan harap bisa lolos dari tanganku!" desis sosok
berpakaian coklat, masih dengan sikap tenang. Tidak terlihat sedikit pun tandatanda kalau dirinya merasa kaget melihat tindakan yang diambil tiga orang
lawannya. Dan seiring keluarnya ucapan itu, tangan kanannya dikibaskan setelah terlebih
dulu dimasukkan ke balik baju.
Sing! Sing! Sing!
Bunyi berdesing nyaring terdengar dari bendar benda yang dikibaskan sosok
berpakaian coklat, dan ternyata paku itu, meluncur.
Cap! Cap! Cap! "Hieeeh...!"
Baru saja ketiga kuda itu bcriari beberapa langkah, paku paku yang dilepaskan
sosok berpakaian coklat telah menancap di tubuh bagian belakangnya.
Dan seperti juga paku-paku yang membantai penduduk Desa Ginang, paku-paku yang
dilepaskan sosok berpakaian coklat kali ini pun mengandung racun. Bahkan mungkin
jauh lebih ganas. Terbukti, daya kerjanya demikian cepat Baru saja berlari
beberapa tindak setelah terhujam paku, ketiga kuda langsung ambruk ke tanah.
Tentu saja hal itu membuat para penunggangnyaj terkejut bukan kepalang. Tapi
karena sama sekali tidak menyangka terjadinya hal seperti itu, mereka tidak
sempat melompat Akibatnya, tiga utusan Ki Sagotra pun ambruk di tanah bersama
kuda-kuda tunggangannya.
Brukkk! Untungnya di saat terakhir, mereka masih sempat melakukan tindakan penyelamatan
diri, sehingga tidak tertindih kuda. Jadi, meskipun ikut terbawa jatuh, mereka
tetap berada di atas tubuh kuda.
Tapi keberuntungan mereka hanya sampai di situ saja. Karena sebelum mereka
sempat berbuat sesuatu, tangan sosok berpakaian coklat kembali dikibaskan.
Sing! Sing! Cap, cap! "Akh! Akh!"
Jeritan-jeritan tertahan keluar dari mulut tiga penduduk yang malang itu, ketika
paku-paku yang dilepaskan sosok berpakaian coklat menancap di tubuh mereka.
Sesaat kemudian, akibatnya mulai tampak. Tubuh ketiga orang itu berkelojotan
seperti ayam disembelih! Dan yang lebih mengerikan lagi, dari mulut mereka
keluar cairan putih dan kental.
"Ha ha ha...!"
Sosok berpakaian coklat tertawa bergelak melihat ketiga lawannya menggelepargelepar menjelang ajal. Masih dengan tawa yang tidak putus, ditunggunya hingga
tubuh ketiga orang itu diam, tidak berkutik lagi.
Setelah itu, putra Ki Sagotra melesat cepat meninggalkan mayat ketiga lawannya.
Dan hanya dalam beberapa kali lesatan tubuhnya telah lenyap ditelan kelebatan
Hutan Jati. Kini di tempat itu tinggal ketiga mayat utusan Ki Sagotra. Tidak ada lagi suara
ribut-ribut yang berasal dari teriakan-teriakan dan sabetan senjata tajam.
Suasana kembaii hening seperti semula. Yang terdengar hanyalah hembusan angin.
Pelan, seperti tengah bersedih.
Bahkan awan pun berarak menutupi sang Surya yang telah hampir berada di atas
kepala. Alam seperti ikut bersedih dengan terjadinya peristiwa itu.
Cukup lama keheningan berlangsung, sebelum akhirnya dari arah Desa Ginang
melesat cepat dua sok bayangan! Mula-mula tak jelas karena jaraknya yang masih
terlalu jauh sehingga yang terlihat hanya benda hitam sebesar ibu jari kaki.
Namun ternyata benda-benda hitam itu memiliki kecepatan luar biasa. Terbukti
hanya dalam bebera saat saja, bentuknya telah terlihat jelas. Dua benda itu
ternyata dua orang manusia yang mengenakan pakaian ungu dan putih. Siapa lagi
kalau bukan Dewa Arak dan Melati.
"Kau lihat itu, Melati?" sambil tetap berlari, Arya bertanya. Telunjuk kanannya
ditudingkan ke depan.
"Lihat, Kang," sahut Melati sambil menganggukkan kepala.
Gadis berpakaian putih telah melihat jelas pemandangan di hadapannya. Tiga sosok
tubuh manusia tiga ekor kuda bergeletakan di atas tanah.
Seperti juga Arya, gadis berpakaian putih itu menjawab pertanyaan tanpa
menghentikan lari. Yang menakjubkan, mereka sama sekali tidak merasa kesulitan
melakukan hal itu. Nada bicaranya biasa saja, tidak terengah-engah seperti
biasanya orang yang berbicara dalam keadaan berlari.
"Sepertinya..., korban-korban itu para penduduk yang diutus Ki Sagotra untuk
menyampaikan surat ke Perguman Belibis Putih dan Perguman Tangan Geledek, Kang?"
duga Melati. "Kurasa kau benar, Melati."
"Hih!"
Hampir berbarengan, sepasang pendekar muda sampai di dekat tubuh-tubuh yang
bergelimpangan itu.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak dan Melati langsung jongkok
memeriksa ketiga mayat itu. Hariya sebentar mereka melakukan pemeriksaan.
"Benar. Mereka utusan-utusan yang dikirim Ki Sa gotra, Melati," ucap Arya dengan
suara berdesah.
"Ya.... Dan kematian mereka sama persis dengan kematian para penduduk yang
mencoba mendekati makam Warsini," sahut Melati. "Berarti mereka dibunuh orang
yang sama."
"Lebih tepatnya lagi kelompok yang sama andaikata pelakunya lebih dari seorang,"
sambung Arya setengah memperbaiki ucapan kekasihnya.
"Kalau menurut dugaanmu..., apakah pelakunya lebih dari seorang, Kang?" tanya
Melati, ingin tahu pendapat kekasihnya.
Arya tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Diedarkan pandangannya sebentar.
Lalu..., "Meskipun memang belum tentu benar, tapi kemungkinannya besar, Melati. Misalnya,
pelaku pencegatan ini seperti telah tahu kalau ada orang yang akan melalui
tempat ini untuk meminta bantuan. Kau lihat buktlnya" Surat-surat yang
dititipkan Ki Sagotra tidak ada di sini.
Berarti pelaku pencegatan ini telah mengambilnya," jelas Arya panjang lebar.
"Jadi, kalau menurutmu kelompok penyembah setan itu mempunyai mata-mata, Kang"
Dan mata-mata itu hadir ketika Ki Sagotra memberikan tugas pada ketiga orang
ini" Menurutku, sulit, Kang. Kau tahu sendiri, kalau waktu Ki Sagotra menyerahkan
surat-surat itu hanya ada kita, Ki Sagotra, dan lima orang pengawalnya. Dan
sampai kita pergi, tak ada satu pun di antara mereka yang beranjak dari
tempatnya. Kapan mereka memberitahukan kepada kelompoknya di sini untuk bersiapsiap mencegat"!" berondong gadis berpakaian putih itu, menyatakan
ketidaksetujuannya.
Arya mengangguk-anggukkan kepala. Bisa diterimanya alasan yang diajukan
kekasihnya. Alasan itu demikian masuk akal.
"Aku lebih condong menduga kalau tindakan yang akan dilakukan Ki Sagotra, sudah
ditebak oleh kelompok keji itu. Tentu, terkaan itu berdasarkan pengalaman yang
mereka dapatkan puluhan tahun ialu. Bagaimana menurutmu, Kang?" tanya Melati
penuh semangat "Dugaanmu masuk akal, Melati. Dan mungkin pula benar. Meskipun demikian, aku
tetap yakin kalau pelaku keonaran ini tidak sendirian!" Arya tetap berkeras
dengan keyakinannya.
"Aku pun menduga demikian, Kang," dukung Melati.
Arya tak menanggapinya lagi. Dan rupanya Melati memang telah selesai pula
mengeluarkan dugaan yang berkecamuk di hatinya. Dan sekarang, keduanya mulai
sibuk memperhatikan keadaan di sekitar tempat itu.
"Apakah kau telah menemukan titik terang yang dapat dijadikan batu loncatan
untuk mengungkap rahasia ini, Kang?" tanya Melati, lagi.
Arya menganggukkan kepala pertanda membenarkan.
"Apakah titik terang itu, Kang?" lanjut Melati ingin tahu.
"Eyang Sawunggaling," jawab Arya singkat.
"Eyang Sawunggaling," dahi Melati berkernyit "Apakah kau bermaksud mencari
keterangan darinya mengenai kelompok penyembah setan itu, Kang"! Apakah
penjelasan Ki Sagotra kurang jelas"!"
"Bukan hal itu yang menjadi alasanku, menjadikan Eyang Sawunggaling sebagai
titik terang yang dapat membantu kita mengungkapkan rahasia ini," jawab Arya
setengah memperbaiki ucapan Melati.
"Lalu...,"
"Kau tidak mendengar percakapan Eyang Sawunggaling dengan Ki Sagotra, Melati?"
Dewa Arak malah balas bertanya.
Kontan Melati termenung. Benaknya berputar untuk mengingat-ingat pembicaran yang
berlangsung antara Eyang Sawunggaling dan Ki Sagotra di balai desa tadi
"Aku ingat, Kang!" celetuk Melati setelah beberapa saat lamanya memutar otak.
"Bukankah Eyang Sawunggaling telah membiarkan salah seorang kelompok keji itu


Dewa Arak 47 Bencana Patung Keramat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lolos dari maut"!"
'Tepat, Melati! Dan kau dengar sendiri kan" Eyang Sawunggaling tidak mau
memberitahukan pada Ki Sagotra siapa orang yang ditolongnya dan di mana adanya
sekarang!"
"Benar, Kang. Malah Eyang Sawunggaling seperti berada di pihak pelaku pembunuhan
keji itu. Ini berarti Eyang Sawunggaling punya hubungan erat dengan kelompok
keji itu!"
dengan penuh semangat Melati mengutarakan dugaannya.
"Tapi ingat, Melato. Kakek itulah yang telah menumpas kelompok itu. Mustahil
kalau dirinya kini malah bersekutu," bantah Arya.
"Barangkali dia diancam, Kang?" kembali Melati mengajukan dugaan.
"Untuk jelasnya lebih baik kita selidiki nanti. Sekarang yang penting kita harus
masuk Hutan Jati lagi. Barangkali ada sesuatu yang kita temukan di sana."
Kemudian setelah mengubur mayat utusan Ki Sagotra dan bangkai tiga ekor kuda
itu, Dewa Arak dan Melati melesat memasuki hutan.
7 "Kang...," sapa Melati.
Saat itu sepasang pendekar muda telah berada di dalam Hutan Jati. Mereka
berjalan saling bersisian.
"Ada apa, Melati?" tanya Arya seraya menolehkan kepala pada kekasihnya.
"Apakah kau bermaksud terus mengadakan pencarian"! Ingat, Kang. Kita sudah sejak
siang tadi mengaduk-aduk seluruh hutan ini, tapi mana hasilnya" Tidak! Kini kau
masih saja terus memutari seisi hutan ini! Apakah kau tidak bosan?"
Arya menghentikan langkah. Kemudian ditatap wajah kekasihnya lekat-lekat. Mau
tak mau hal itu membuat Melati menghentikan langkah kakinya pula. Bahkan, gadis
berpakaian putih itu balas menatap. Dewa Arak tersenyum untuk meredakan
ketegangan yang melanda hati kekasihnya.
"Aku akan terus melakukan pencarian, Melati. Dan bahkan aku bertekad untuk
tinggal di tempat ini sampai berhasil kudapatkan sebuah titik terang. Entah
mengapa, aku yakin sekali kalau pemecahan semua masalah ada di Hutan Jati ini.
Sekarang, kita cari tempat untuk beristirahat!" begitu keputusan yang diambil
pemuda berambut putih keperakan itu.
Dan seiring selesai ucapannya, pemuda berambut putih keperakan itu mengedarkan
pandang ke sekelilingnya. Hanya sebentar saja. Dalam waktu sesingkat itu telah
berhasil ditemukan tempat istirahat yang tengah dicarinya. Memang, sinar bulan
sepotong di langit cukup jelas untuk menampakkan keadaan di sekitar tempat itu.
"Mari, Melati," ajak Dewa Arak seraya mengayunkan langkah lebih dulu menghampiri
sebatang pohon besar berdaun rimbun yang tumbuh di dekat situ.
"Apa yang hendak kau lakukan, Kang?" tanya Melati. Rupanya gadis itu masih belum
mengerti tindakan yang akan dilakukan Dewa Arak.
"Istirahat di tempat yang aman, Melati," jawab Arya. Kemudian....
"Hih!"
Hanya dengan sekali genjotan kaki, tubuhnya telah melayang ke atas dan hinggap
pada salah satu cabang pohon itu. Terpaksa Melati pun melakukan tindakan yang
sama. "Mengapa kau jadi berubah pikiran demikian cepat, Kang"! Bukankah kau bermaksud
menyelidiki Eyang Sawunggaling"!" meskipun telah berada di atas pohon, Melati
yang tengah dilanda rasa penasaran, langsung mengajukan pertanyaan.
"Aku tidak berubah pikiran, Melati. Justru malah sebaliknya. Aku tengah menunggu
Eyang Sawungga ling di sini. Aku yakin dirinya menuju kemari. Hanya saja aku
masih belum yakin, apakah sudah berada di dalam hutan ini atau belum. Tapi,
tidak ada salahnya kita menunggunya di sini."
Sekarang Melati tidak mengajukan pertanyaan lagi. Walaupun merasa heran,
disembunyikan saja perasaan itu, karena dirinya tahu tindakan yang diambil
kekasihnya, biasanya benar. Maka, gadis itu pun duduk bersandar pada batang
pohon dan menunggu.
Belum berapa lama gadis berpakaian putih itu berada dalam keadaan seperti itu,
Arya telah memberikan isyarat padanya. Dengan raut wajah dipenuhi pertanyaan,
dijauhkan punggungnya dari batang pohon. Tapi sebelum dirinya sempat
mengeluarkan pertanyaan, Dewa Arak telah mendahuluinya. Pemuda berambut putih
keperakan itu membisikkan peringatan padanya melalui ilmu mengirim suara dari
jauh. "Jangan berisik, Melati! Aku mendengar ada langkah kaki orang yang mendekati
tempat kita...,"
Mendengar pemberitahuan Dewa Arak, Melati langsung memusatkan perhatian pada
kedua telinganya, karena ingin mendengar bunyi langkah yang didengar kekasihnya.
Tanpa bersusah-payah dan berlama-lama, Melati telah berhasil mendengarnya. Hal
itu bukan karena sosok yang tengah bergerak mendekat memiliki ilmu meringankan
tubuh belum sempurna, melainkan karena langkah kakinya yang menerobos hamparan
rumput dan semak-semak kering. Jelas, sosok yang bergerak mendekati, tidak
memilih-milih jalan.
Menilik dari semakin kerasnya bunyi yang terdengar, dapat diketahui kalau si
pemilik langkah memang tengah menuju tempat Dewa Arak dan Melati berada. Karuan
saja hal itu membuat sepasang muda-mudi berwajah elok ini menjadi tegang. Di
tempat persembunyian, keduanya tak berani bergerak karena khawatir terdengar
oleh sosok yang akan melewati tempat mereka itu.
Dan memang, sesaat kemudian sosok yang ditunggu-tunggu lewat di dekat tempat
persembunyian Dewa Arak dan Melati. Sepasang pendekar muda itu pun melihatnya.
Seketika itu pula, jantung mereka berdebar tegang. Betapa tidak" Sosok itu
ternyata Eyang Sawunggaling! Pucuk dicinta ulam tiba! Demikian pikir Arya dan
Melati. Berbeda dengan Dewa Arak dan Melati yang melihat Eyang Sawunggaling, kakek
berpakaian kuning itu sama sekali tidak mengetahui adanya sepasang pendekar
berwajah elok itu di dekatnya. Dia terus saja mengayunkan langkahnya semakin
memasuki perut hutan.
"Apa yang harus kita lakukan, Kang?" tanya Melati dengan menggunakan ilmu
mengirim suara dari jauh
"Jangan melakukan rindakan apa pun! Tunggu saja sampai saat yang tepat. Aku
ingin tahu ke mana dia akan pergi. Barangkali dirinya tengah menuju ke tempat
pelaku pembunuhan keji itu. Mudah-mudahan saja hal itu benar, sehingga kita tak
perlu repot-repot lagi untuk mencari sarangnya," jawab Dewa Arak.
Seperti juga Melati, pemuda berambut putih keperakan itu memberikan jawaban
dengan menggunakan ilmu mengirim suara dari jauh.
Sementara itu, Eyang Sawunggaling terus mengayunkan kakinya. Terlihat agak
tergesa-gesa, tapi tidak berlari. Langkah yang digunakannya lebar-lebar.
Dengan pandangan mata, Dewa Arak dan Melati memperhatikan Eyang Sawunggaling
yang mulai menjauh. Baru setelah dirasakan keadaan aman, Arya merayap turun.
Pemuda berambut putin keperakan itu tidak berani melompat turun karena khawatir
bunyi yang terdengar akan sampai di telinga Eyang Sawunggaling. Telah disaksikan
sendiri kelihaian Eyang Sawunggaling, ketika berada di balai desa. Hal itulah
yang menyebabkan Arya bertindak hati-hati.
Hal yang sama pun dilakukan Melati. Dan kini dengan langkah hati-hati, serta
sesekali berlindung di balik kerimbunan pepohonan dan semak-semak, sepasang
pendekar muda mengikuti Eyang Sawunggaling dari belakang.
Sementara itu Eyang Sawunggaling terus mengayunkan langkah tanpa memperhatikan
suasana di sekelilingnya. Sama sekaii tidak ditoleh-tolehkan kepalanya ke
belakang. Kakek berpakaian kuning terus melangkah dengan pasti. Seolah-olah
dirinya tak merasa khawatir sekali kalau ada orang yang menguntit perjalanannya.
Setelah melalui perjalanan yang berliku-liku, dan terkadang menguak kerimbunan
semak-semak, tak lama kemudian di kejauhan tampak sebuah bangunan.
Dewa Arak dan Melati saling berpandangan. Mereka sama sekali tak menyangka, di
dalam hutan ini terdapat sebuah bangunan. Mereka telah mengaduk-aduk seluruh
penjuru hutan, tapi tak pernah menemukan adanya bangunan itu.
Meskipun demikian, Dewa Arak dan Melati langsung bisa menduga kalau bangunan itu
sarang kelompok penjahat keji di waktu puluhan tahun lalu. Benarkah Eyang
Sawunggaling tersangkut-paut dengan peristiwa pembunuhan beruntun belakangan
ini" Batin sepasang muda-mudi ini menduga-duga.
Masih dengan pandangan tertuju ke depan, Eyang Sawunggaling mengayunkan langkah
memasuki bangunan yang sudah tidak pantas disebut bangunan itu. Keadaannya amat
menyedihkan. Di samping sudah tua, juga terlihat porak-poranda.
Yang lebih parah lagi, tidak nampak sedikit pun bentuk bangunannya. Hanya pagar
tembok melingkari bekas sebuah bangunan yang terlihat. Pagar itu pun tidak
memiliki daun pintu gerbang. Dan di dalam pagar tembok itu pun hanya hamparan
lantai semen dengan sedikit puing-puing di sana-sini.
Begitu melihat Eyang Sawunggaling telah berada di dalam lingkungan pagar tembok
tinggi itu, Dewa Arak dan Melati pun melesat cepat ke balik tembok. Merapatkan
punggung di sana. Kemudian dengan langkah hati-hati, menuju ke pagar tembok yang
berada di samping kanan. Di sana, tumbuh sebatang pohon besar berdaun rimbun.
Mereka telah sepakat untuk melakukan pengintaian dari sana.
Tanpa menemui kesulitan sedikit pun, Dewa Arak dan Melati telah berhasil duduk
di salah satu cabang pohon yang terlindung dedaunan rimbun. Dari sini sepasang
pendekar muda melayangkan pandang ke bawah.
Dugaan mereka ternyata tidak meleset. Di tengah hamparan lantai semen, di antara
puing-puing yang berserakan, tampak benda yang selama ini dicari-cari Arya,
patung keramat!
Patung itu berdiri kokoh seperti menunjukkan kelebihannya atas semua reruntuhan
puing-puing di sekitar situ.
Hampir saja Dewa Arak dan Melati berseru gembira saking senangnya melihat
pemandangan di bawah mereka. Apalagi ketika melihat adanya pemuda berpakaian
coklat yang duduk bersimpuh di depan patung itu. Inikah pelaku serangkaian
pembunuhan keji itu"! Batin kedua pendekar itu.
Bukan hanya itu yang dapat mereka saksikan. Nampak Eyang Sawunggaling tengah
mengayunkan langkah mendekati pemuda berpakaian coklat.
Pemuda berpakaian coklat rupanya mengetahui kedatangan Eyang Sawunggaling,
buktinya langsung bangkit berdiri sambil membalikkan tubuh. Sikapnya terlihat
demikian waspada. Jelas, pemuda berpakaian coklat itu telah bersiap untuk
menghadapi segala kemungkinan.
Tapi, begitu melihat orang yang menghampirinya, pemuda berpakaian coklat
langsung merubah sikap.
"Guru...," sambut pemuda berpakaian coklat itu sambil memberi hormat.
"Hm...," sambutan yang keluar hanya dengus pendek bernada dingin.
Ketidaksenangan tampak jelas di wajah Eyang Sawunggaling.
"Bagus benar kelakuanmu, Jantara," terdengar dingin ucapan dari mulut Eyang
Sawunggaling. Sama dinginnya dengan tarikan wajah dan sorot sepasang matanya.
"Aku... aku tidak mengerti maksud ucapanmu, Guru," ujar pemuda berpakaian coklat
yang ternyata bernama Jantara, terbata-bata.
"Rupanya kau masih mau berpura-pura bodoh, hehhh"! Kau tahu semua perbuatanmu
sudah kuketahui! Kau tidak usah mungkir lagi! Sekarang juga saatnya kau harus
menerima kematian, Manusia Tidak Tahu Diri!" hardik Eyang Sawunggaling, keras.
"Dari mana kau dapatkan patung itu, hehhh"!"
"Aku mengambilnya dari dalam Danau Songket, Guru," jawab Jantara, bernada salah.
"Itulah tempat aku membuang patung itu, tahu"! Dari mana kau bisa mengetahui
tentang patung itu, hehhh"!" desak Eyang Sawunggaling masih dengan rasa murka
yang tidak tertahan.
"Maaf, Guru! Aku tidak bisa memberitahukannya padamu."
"Keparat! Menyesal aku menyelamatkanmu dulu, Manusia Tidak Tahu Di Untung! Kau
tahu siapa dirimu"! Kau keturunan iblis-iblis berwajah manusia penyembah patung
sialan itu! Karena tak sampai hati, kuselamatkan dirimu dari ancaman maut ketika kelompok
jahat orangtuamu hampir menemui kehancuran!"
Eyang Sawunggaling menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas. Rasa
kecewa terhadap kelakuan muridnya telah menyebabkan dirinya mengeluarkan katakata yang kasar.
"Tanpa sepengetahuan tokoh-tokoh persilatan lain kau telah kuselamatkan.
Harapanku, mudah-mudahan kau tidak mempunyai kelakuan seperti orangtuamu! Saat
itu kau masih bayi.
Umurmu belum ada satu tahun. Dengan harapan agar menjadi orang baik, kuangkat
kau sebagai murid. Bahkan kuminta Ki Sagotra agar bersedia menjadi ayahmu.
Karena memandang diriku, dia bersedia. Sama sekali tidak kusangka kalau kau
mempunyai kelakuan tak beda dengan orangtuamu! Aku lupa kalau buah apel tidak
akan jatuh jauh dari pohonnya.
Orangtuanya jahat, mana mungkin keturunannya akan baik!"
"Aku mohon hentikan, Guru," pinta Jantara memelas. "Kau boleh menghukumku atas
kesalahan yang telah kuperbuat. Tapi, jangan menghina orangtuaku terus-menerus!
Betapapun jahatnya mereka masih tetap orangtuaku, orang yang telah membuatku
lahir ke atas dunia ini.
Dan aku tak rela mereka dijelek-jelek-kan!"
"Kau tidak usah mengajariku, Murid Murtad!" dalam cekaman rasa kecewa yang
menggelegak, Eyang Sawunggaling tidak kuasa mengontrol ucapannya. Kata-kata itu
meluncur begitu saja dari mulutnya.
Sebenarnya, bisa dimaklumi kekecewaan Eyang Sawunggaling, karena semula berharap
banyak pada muridnya itu. Murid yang membuatnya merasa bangga kalau dalam usia
dua puluh tahun telah berhasil mewarisi seluruh ilmunya.
"Bersiaplah untuk menerima hukumannya, Murid Murtad! Hih!"
Wuttt! Deru angin keras terdengar ketika Eyang Sawunggaling melancarkan serangan ke
arah dada Jantara. Tapi pemuda berpakaian coklat itu sama sekali tak bergeming
dari tempatnya.
Dia berdiri tanpa persiapan sama sekali. Bahkan sepasang matanya pun dipejamkan.
Jelas, Jantara telah pasrah menerirna hukuman gurunya.
Semua kejadian itu tidak luput dari pandangan Melati dan Dewa Arak. Kedua
pendekar muda terkejut bukan kepalang. Mereka tak menyangka kalau masalahnya
berkembang seperti itu. Dan keterkejutan keduanya semakin memuncak ketika
melihat sikap pasrah yang ditunjukkan Jantara!
Perasaan kaget ini membuat Melati terjingkat. Bunyi gemerisik dedaunan pun
timbul. Suara itu ternyata berpengaruh terhadap Jantara dan Eyang Sawungga ling! Murid
dan guru yang sama sekali tak menyangka ada orang lain di sekitar tempat itu,
juga menjadi kaget karenanya. Dan hal itu kembali menyebabkan perubahan yang tak
terduga. Pukulan yang dilancarkan Eyang Sawunggaling ja di meleset arahnya. Tidak
menghantam ulu hati, melainkan dada kiri.
Bukkk! "Huakh...!"
Darah segar muncrat dari mulut Jantara ketika pukulan Eyang Sawunggaling
menghantam telak dadanya. Seketika tubuh pemuda berpakaian coklat itu terlempar
deras ke belakang, dan melayang sejauh beberapa tombak sebelum akhirnya
terbanting di tanah.
Tanpa mempedulikan keadaan Jantara lagi, Eyang Sawunggaling mengalihkan
perhatian ke asal suara yang mengejutkannya bamsan. Tapi belum lagi, dia berbuat
sesuatu, telah berkelebat dua sosok bayangan.
Jliggg! Begitu ringan kedua sosok tubuh itu mendarat di dekat Eyang Sawunggaling. Hal
ini membuat kakek berpakaian kuning itu mengalihkan perhatian.
"Ah...! Kiranya kau, Sagotra, Liwung," ujar Eyang Sawunggaling dengan suara
berdesah. Dua sosok yang baru datang itu memang Ki Sa gotra bersama seorang pemuda
berpakaian coklat. Tubuhnya kekar. Namun wajah pemuda gagah itu tidak mempunyai
kulit yang baik. Kulit wajahnya rusak, penuh bopeng!
"Guru...!" sebut pemuda berpakaian coklat yang bernama Liwung itu pada Eyang
Sawunggaling. "Apa yang terjadi, Guru"!"
"Iya. Apa yang telah terjadi" Mengapa Jantara terkapar di sana" Siapa yang telah
melakukannya" Dan.., bukankah itu patung keramat milik kelompok penyembah setan
itu, Eyang?" Ki Sagotra menudingkan telunjuknya ke patung yang berada tak jauh
dari mereka. "Hhh...!" Eyang Sawunggaling menghela napas berat "Ceritanya cukup panjang. Tapi
akan kucoba untuk menjelaskannya pada kalian."
Kakek berpakaian kuning ini menghentikan ucapannya untuk mencari kata-kata yang
tepat guna memulai ceritanya,
"Begitu kudapat berita darimu, aku langsung kemari, Sagotra. Mengapa" Karena aku
tahu, anggota kelompok pembunuh keji yang masih tersisa itu akan berada di sini,
di tempat leluhurnya. Dan dugaanku tidak salah. Kujumpai orang itu di sini.
Jantara lah, orang yang kubiarkan lolos waktu itu, Sagotra. Jantara, saudara
seperguruanmu, sekaligus adikmu adalah keturunan kelompok penyembah setan,
Liwung! Maka aku terpaksa melenyapkannya selama-lamanya!" tutur Eyang
Sawunggaling menutup ceritanya.
"Aaah...! Sama sekaii tidak kusangka!" desis Liwung setengah tak percaya.
"Untunglah, kau telah bertindak cepat, Eyang. Sehingga malapetaka selanjutnya
tidak akan terjadi lagi," sambung Ki Sagotra penuh perasaan gembira.
"Semua itu karena tindakan cepatmu, Sagotra. Kalau tidak ada kau, mungkin


Dewa Arak 47 Bencana Patung Keramat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

peristiwa puluhan tahun lalu akan terulang kembali. Maafkan aku, Sagotra!
Kecerobohanku membuat petaka ini telah terulang lagi. Bahkan mungkin akan
membuatmu malu, bagaimanapun orang-orang desa hanya tahu kalau Jantara adalah
anakmu. Mereka tak tahu kalau Jantara anak angkatmu!" ujar Eyang Sawunggaling
penuh penyesalan.
"Lupakanlah, Eyang! Semua itu telah terjadi. Tidak ada gunanya lagi disesali,"
sahut Ki Sagotra bi-jaksana.
"Kau benar, Sagotra," ujar Eyang Sawunggaling menganggukkan kepala. "Tapi...,
ada satu masalah yang masih membuatku bingung."
"Apa itu, Eyang?" tanya Ki Sagotra ingin tahu.
"Dari mana Jantara tahu kalau dirinya keturunan kelompok penyembah setan itu"
Patung keramat itu, dan bahkan tempat di mana patung itu kubuang! Aku yakin,
kalau tidak ada yang memberitahukannya, dia tak akan pernah tahu. Karena aku
tidak pernah membicarakannya. Bahkan aku selalu mengatakan kalau dia putramu!
Aku yakin, ada yang telah memberitahukannya. Apakah kau tahu dengan siapa dia
sering berbincang-bincang, Sagotra?"
Ki Sagotra tercenung sejenak.
"Aku juga tidak tahu, Eyang," jawab Ki Sagotra, singkat.
Eyang Sawunggaling mengangguk-anggukkan kepala dengan dahi berkernyit dalam.
Jelas, kakek berpakaian kuning ini tengah berpikir keras.
"Guru...,"
Mendengar sapaan Liwung itu, membuat Eyang Sawunggaling menolehkan kepala ke
belakang. Entah kapan, Liwung berada di belakangnya, Eyang Sawunggaling sama
sekali tidak mengetahuinya. Dan begitu, kepala Eyang Sawunggaling ditolehkan,
Brrr! "Uhp!"
Secepat kilat Eyang Sawunggaling melindungi wajah dan terutama sekali sepasang
matanya ketika Liwung menyebarkan serbuk ke wajahnya. Kejadian itu berlangsung
begitu cepat. Dan Eyang Sawunggaling tak menyangkanya. Akibatnya, dia sama
sekali tak sempat mengelak selain hanya melindungi wajahnya.
Dan memang Eyang Sawunggaling berhasil melindungi sepasang matanya dari serbukserbuk itu, tapi gagal untuk menghalangi hidungnya. Begitu terisap, Eyang
Sawunggaling merasa kepalanya mendadak pening.
Saat itulah Ki Sagotra membokongnya dengan babatan pedang!
Wuttt! Crattt! "Akh...!"
Eyang Sawunggaling memekik kesakitan ketika pedang Ki Sagotra menyerempet
perutnya. Lalu dengan cepat Ki Sagotra melompat ke belakang, menjauhkan diri
dari serangan balasan yang akan dilancarkan Eyang Sawunggaling. Tindakan yang
sama telah dilakukan Liwung setelah berhasil melaksanakan maksudnya.
"Uh...! Uh...!"
Dengan tubuh terhuyung-huyung Eyang Sawunggaling mendekap perutnya yang
mengeluarkan darah.
"Kalian..., apa yang telah kalian lakukan...?" tanya Eyang Sawunggaling terbatabata. Raut wajahnya menyiratkan keheranan yang amat sangat.
"Sederhana saja, Eyang. Kami ingin membunuhmu," datar ucapan Ki Sagotra.
"Uh... uh...! Tapi, mengapa?" kejar Eyang Sawunggaling lagi, masih dengan raut
wajah yang menyiratkan ketidakmengertian.
"Tentu saja untuk membuang ancaman dikemudian hari," enteng jawaban Ki Sagotra.
"Ancaman"! Aku merupakan ancaman bagi kalian"! Aku... aku jadi semakin tidak
mengerti...!"
"Ha ha ha...!"
Hampir berbareng Liwung dan Ki Sagotra tertawa bergelak.
"Sebenarnya kau tak perlu mengerti, Eyang Sa wunggaling! Tapi, karena kau
memaksa, akan kami beritahukan. Tapi, akibatnya kau tahu" Kau tak akan bisa mati
meram! Kau akan mati dengan penuh perasaan menyesal! Mengapa" Karena kau telah
membunuh orang yang sama sekali tak bersalah!" tandas Ki Sagotra.
"Aku membunuh orang yang tak bersalah"! Aku... aku jadi semakin tak mengerti!"
raut keheranan semakin tampak jelas di wajah Eyang Sawunggaling.
"Hehhh"! Kau tak mengerti" Bukankah kau baru saja membunuh orang yang tak
bersalah, Eyang" Orang yang sama sekali tidak tahu malapetaka yang tengah
menimpa Desa Ginang karena sibuk dengan patung peninggalan orangtuanya"!"
"Hahhh..." Jadi.. , jadi... Jantara bukan pelaku pembunuhan beruntun terhadap
penduduk Desa Ginang"!" tanya Eyang Sawunggaling dengan perasaan terkejut yang
tak terkira. Sorot penyesalan pun mulai nampak pada wajahnya.
8 "Siapa yang mengatakan kalau Jantara pembunuh yang cerdik itu"! Tidak ada bukan"
Kau saja yang terlalu terburu nafsu! Kau!" tuding Ki Sagotra pada Eyang
Sawunggaling. "Oooh..,!"
Masih dengan kedua tangan memegangi perutnya, Eyang Sawunggaling menundukkan
kepala sambil mengeluarkan keluhan penyesalan.
"Lalu..., siapa sebenarnya pelaku pembunuhan itu, Sagotra" Pasti kau, bukan"!
Kau bersama Liwung, bukan"!" tebak Eyang Sawunggaling tanpa gairah.
Rasa menyesal yang amat sangat memenuhi seluruh rongga dada kakek berpakaian
kuning itu. Betapa tidak" Dirinya telah menghukum Jantara yang sama sekali tidak
bersalah. "Dugaanmu tepat, Eyang. Aku bersama anakkulah pelaku semua pembantaian ini! Aku
yang merencanakannya, dan Liwung yang melaksanakannya. Rapi, bukan"!" jelas Ki
Sagotra panjang lebar.
"Aku masih tidak mengerti mengapa kau lakukan semua kekejian ini, Sagotra"
Padahal, apa yang kau dapatkan dari semua tindakanmu?" tanya Eyang Sawunggaling
tidak mengerti.
Kepala Desa Ginang tak langsung menjawab pertanyaan itu. Diperhatikannya Eyang
Sawunggaling penuh selidik. Aliran darah dari perut sudah terhenti karena kakek
itu telah menotok jalan darah di sekitar luka. Dilihatnya pula sikap berdiri
Eyang Sawunggaling yang mulai limbung. Ki Sagotra tahu apa penyebabnya. Apalagi
kalau bukan bubuk yang ditaburkan Liwung. Bubuk itu mengandung racun yang dapat
membuat orang kehilangan tenaga dalamnya sekalipun hanya mengisap baunya. Untung
dirinya dan Liwung telah lebih dulu meminum obat penangkalnya sehingga tidak
terpengaruh. Karena tahu kalau kakek berpakaian kuning yang sakti ini sudah tidak berdaya, Ki
Sagotra berani membuka semua rahasia yang selama ini disimpannya.
"Tentu saja kepuasan batin, Eyang. Kau tahu kan, puluhan tahun lalu seluruh
anggota keluargaku habis dibantai kelompok penyembah setan itu! Bahkan istriku
pun demikian pula.
Adik-adik perempuanku malah mengalami nasib yang lebih mengerikan! Sejak itulah
aku bersumpah untuk membasmi habis kelompok jahanam itu! Akan kuhancurkan semua
orang yang termasuk dalam kelompok itu berikut keturunannya!" terdengar berapiapi dan penuh dendam ucapan yang keluar dari mulut Ki Sagotra. Rupanya dirinya
teringat kembali sakit hatinya.
"Dapat kau bayangkan betapa sakitnya hatiku, ketika kutahu kau malah
menyelamatkan keturunan pimpinan kelompok penjahat itu!" sambung Ki Sagotra lagi
dengan nada pahit. Ingatan-ingatan tentang masa lalu, membuat kegembiraannya
tertutupi. "Jadi. ., kau tahu kalau aku menyelamatkan keturunan Sepasang Iblis Kembar itu?"
tanya Eyang Sawunggaling setengah tak percaya.
Memang, kelompok penyembah setan itu dipimpin suami istri tokoh sesat yang
berjuluk Sepasang Iblis Kembar. Suami istri ini sebenarnya saudara kembar. Namun
mereka sakti, di samping sangat kejam. Telah banyak tokoh persilatan yang tewas
di tangan mereka. Baik dikalahkan oleh ilmu silat, maupun ilmu hitam yang mereka
miliki. "Kau kira aku buta, Eyang Sawunggaling"! Hanya saja aku berpura-pura tidak tahu!
Kulayani permainan sandiwaramu, sambil diam-diam merancang siasat yang baik
untuk menghancurkannya!" tukas Ki Sagotra cepat.
"Oooh..., kalau demikian akulah yang bodoh!" keluh Eyang Sawunggaling lemas.
"Dendamku semakin berkobar ketika kau malah menyuruhku mengangkatnya sebagai
anakku. Apalagi ketika kau menjadikannya murid!" sambung Ki Sagotra dengan suara
tinggi. "Aku pun membencinya pula!" sahut Liwung. "Karena di samping dia punya bakat
yang lebih baik dariku. Aku iri padanya. Dan perasaan iri itu berkembang menjadi
kebencian dan dendam ketika dia memikat hati Warsini bermodal ketampanannya.
Maka kuputuskan untuk melenyapkannya agar aku bisa mendapatkan Warsini!"
"Aku tahu perasaan yang berkobar di hati Liwung. Itulah sebabnya kuajak dia
merencanakan suatu jalan untuk melenyapkan Jantara. Untuk melakukannya secara
berterus terang, kami tidak berani karena Jantar memiliki kepandaian tidak
rendah. Belum lagi kau yang berada di belakangnya. Maka kuputuskan untuk mencari
siasat yang dapat
menyingkirkannya
sekaligus menghancurkanmu!
Tindakan-tindakanmu
yang selalu menyakitikulah yang membuatku mengambil keputusan untuk membawamu serta dalam
pembalasan dendam ini, Eyang," urai Ki Sagotra panjang lebar.
"Dan rencana yang kami susun ternyata luar biasa. Mula-mula kuceritakan pada
Jantara siapa sebenarnya dirinya. Tentu saja setelah lebih dulu kubuat janji
dengannya, agar dia tidak membicarakan hal itu denganmu."
"Terkutuk! Iblis! Rupanya kau yang telah memberitahukannya!" maki Eyang
Sawunggaling geram. Kini dia duduk di tanah karena tidak kuat lagi berdiri.
Tubuhnya terasa lemas bukan kepalang.
"Setelah dia berhasil mengambil patung keramat milik orangtuanya dari danau,
pelaksanaan rencana yang kami susun pun, kami mulai. Keberuntungan tengah
berpihak pada kami, Warsini dan Barada melakukan perjalanan ke Desa Dadap. Maka
rencana pertama pun kulaksanakan. Barada kubunuh dan mayatnya kubuang ke tempat
yang tidak mungkin kalian temui. Sedangkan Warsini.. , tentu saja kunikmati dulu
sebelum kubunuh. Aku sama sekali tidak mimpi akan bisa mendapatkan dara molek
itu," ujar Liwung dengan nada kurang ajar.
"Dan kejadian selanjutnya berlangsung sesuai rencana kami," sambung Ki Sagotra
lagi. "Oooh...!"
Kembali Eyang Sawunggaling mengeluarkan keluhan penyesalan. Dilayangkan lagi
pandangannya ke sosok tubuh Jantara yang terkapar. Sorot penyesalan tampak jelas
baik pada tarikan wajah maupun sorot matanya.
"Untuk melaksanakan pembalasan dendam, kau tega membunuhi penduduk yang sama
sekali tidak berdosa, Sagotra"!"
"Apa boleh buat" Untuk mencapai sebuah tujuan selalu diperlukan pengorbanan.
Lagi pula, bukan aku yang melakukan pembunuhan, jadi aku sama sekaii tidak
menyesal," kelit Ki Sagotra.
"Aku pun tidak menyesal. Bahkan aku merasa gembira melakukannya, orang-orang itu
sering mengejekku karena cacat yang kumiliki. Memang, tidak secara langsung tapi
aku tahu. Mengapa aku harus menyesal membunuh orang seperti itu?" bantah Liwung pula.
"Lalu..., tindakanmu terhadapku"!" kejar Eyang Sawunggaling lagi
"Apa boleh buat, Eyang," jawab Ki Sagotra. "Hal itu kami lakukan sebagai
pembelaan diri saja. Kau dapat menjadi ancaman di kemudian hari, apabila tidak
dilenyapkan. Karena kami tahu, serapat-rapatnya rahasia disimpan, pasti akan
terbongkar pula. Dan kami tidak ingin itu terjadi! Itulah sebabnya hal ini kami
lakukan!" "Mereka sama sekali tidak salah, Liwung. Kaulah yang salah. Watak yang buruk
membuat mereka tak suka padamu. Bukan karena wajahmu. Kenyataannya, semua
penduduk menyukai Jantara. Hhh...! Hanya aku saja yang terburu nafsu, sehingga
tak bisa membedakan mana yang benar dan yang salah!"
"Tutup mulutmu, Tua Bangka! Dan mampuslah! Hih!"
Diawali sebuah teriakan keras yang membuat suasana di sekitar tempat itu
bergetar, Liwung melompat menerjang gurunya. Golok besar di tangannya disabetkan
ke leher Eyang Sawunggaling secara mendatar.
Wukkk! Bunyi mengiuk nyaring dari udara yang terbabat golok mengiringi meluncurnya
serangan itu menuju sasaran. Sudah dapat dipastikan kalau sebentar lagi kepala
kakek berpakaian kuning itu akan terpisah dari lehernya karena sudah tidak
berdaya lagi. Patut dipuji kebesaran hati Eyang Sawunggaling.
Meskipun maut tengah menghampirinya, tetap tidak merasa gentar. Bahkan matanya menatap terus senjata
Liwung yang tengah meluruk ke tubuhnya.
Tapi sebelum mata golok itu mendarat di sasaran, tiba-tiba sesosok bayangan
putih berkelebat memapak!
Trangngng! Bunga api berpijar ketika batang golok Liwung berbenturan dengan pedang sosok
bayangan putih. Begitu keras benturan yang terjadi, sehingga mengakibatkan tubuh
kedua belah pihak sama-sama kembali ke tempat semula. Liwung terhuyung-huyung ke
belakang, sedangkan sosok bayangan putih kembali terlempar ke udara.
Namun dengan sebuah gerakan manis, baik Liwung maupun sosok bayangan putih
berhasil mematahkan kekuatan yang membuat tubuh mereka terlon-tar ke belakang.
"Keparat! Kiranya kau, Wanita Jalang! Kau akan menerima ganjaran atas
kelancanganmu ini! Kau akan kutelanjangi lalu kuperkosa sampai mati!" seru
Liwung keras. Wajah sosok bayangan putih yang tak lain adalah Melati ini kontan merah padam,
mendengar ucapan Liwung. Maka sambil mengeluarkan jeritan melengking nyaring,
diteriangnya pemuda berpakaian coklat itu.
Wungngng! Bunyi mendengung keras laksana naga murka terdengar ketika Melati menusukkan
pedangnya ke leher Liwung. Dalam kemarahannya gadis berpakaian putih itu
mengeluarkan 'Ilmu Pedang Seribu Naga' andalannya.
Liwung terkejut bukan kepalang melihat kedahsyatan serangan Melati. Namun hal
itu tidak membuatnya menjadi gugup. Buru-buru dilempar tubuhnya ke belakang dan
bersalto beberapa kali di udara untuk menyelamatkan diri.
Usaha yang dilakukan Liwung tidak sia-sia. Serangan Melati hanya mengenai tempat
kosong. Tapi, tentu saja gadis berpakaian putih itu tidak tinggal diam. Serangan
yang dilancarkannya tidak berhenti sampai di situ. Begitu, serangan pertamanya
berhasil dielakkan, segera dilancarkan serangan susulan. Maka Liwung pun
kewalahan menyelamatkan diri.
*** Wajah Ki Sagotra langsung berubah ketika mengetahui orang yang telah menyerang
putranya. Dirinya tahu kalau Melati ada, Dewa Arak pasti ada pula. Dan ternyata
benar dugaan Kepala Desa Ginang. Karena sesaat kemudian, berkelebat sosok
bayangan biru. Dan tahu-tahu didekat Eyang Sawunggaling telah berdiri Dewa Arak.
Dewa Arak menatap Ki Sagotra sekilas. Kemudian menatap pertarungan yang
berlangsung antara Melati dan Liwung sejenak. Baru ketika diyakini kalau Melati
akan sanggup menghadapi lawannya, dialihkan perhatian pada Eyang Sawunggaling.
"Terima kasih atas pertolongan yang kau berikan, Anak Muda," ucap Eyang
Sawunggaling. "Tapi kumohon, kau periksa dulu keadaan muridku! Barangkali dia
belum tewas."
"Jangan khawatir, Eyang! Aku akan melaksanakan permintaanmu. Tapi, terlebih dulu
aku akan membawa Eyang ke sana agar bisa lebih leluasa memberikan pertolongan."
Usai berkata demikian, Dewa Arak membopong tubuh Eyang Sawunggaling. Kemudian
membawanya ke tempat tubuh Jantara tergeletak.
Karuan saja tindakan Dewa Arak membuat Ki Sagotra khawatir bukan kepalang. Dia
tahu kalau Eyang Sawunggaling tertolong, bahaya besar akan mengancam dirinya dan
Liwung. Maka begitu dilihatnya, pemuda berambut putih keperakan itu tengah menuju ke
arah Jantara, dan tidak mempedulikannya lagi. Langsung saja goloknya dicabut!
Srattt! Singngng!
Ki Sagotra langsung melemparkan goloknya ke punggung Dewa Arak
Tapi serangan itu tak berarti banyak untuk tokoh yang memiliki kepandaian
seperti Dewa Arak. Tanpa membalikkan tubuh, dipapaknya luncuran golok itu dengan
sebuah tendangan kaki kanan ke belakang.
Takkk! Singngng!
Dengan tendangan seperti itu, Dewa Arak telah berhasil membuat golok yang
ditemparkan Ki Sagotra meluncur kembali ke arah dirinya. Dan yang lebih
mengerikan lagi, golok itu meluncur dengan kecepatan yang berlipat ganda.
Tentu saja kejadian itu sama sekali tidak disangkanya. Ki Sagotra menjadi gugup.
Buru-buru dilempar tubuhnya ke samping dan dengan menggunakan tangan sebagai
tumpuan, digulingkan tubuhnya. Ki Sagotra melakukan lompatan harimau untuk


Dewa Arak 47 Bencana Patung Keramat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyelamatkan diri.
"Uuuh...!"
Ki Sagotra menghembuskan napas lega begitu berhasil menyelamatkan diri dari maut
Dihapusnya keringat yang membasahi kening dengan punggung tangan.
Sementara itu Dewa Arak terus saja mengayunkan langkahnya. Dirinya sama sekali
tak mempedulikan akibat papakan yang dilakukannya tadi.
Langkah pemuda berambut putih keperakan itu terhenti ketika telah berada di
dekat tubuh Jantara yang tergolek. Dibungkukkan tubuhnya, lalu diletakkannya
tubuh Eyang Sawunggaling di tanah, di sebelah tubuh Jantara. Setelah itu Dewa
Arak baru memeriksa tubuh Jantara.
Dengan tindakan seorang yang telah memiliki pengalaman luas, Dewa Arak memeriksa
detak jantung dan denyut nadi Jantara. Hasil pemeriksaan yang didapat membuat
wajah Arya berseri.
"Bagaimana keadaannya, Anak Muda" Ada harapan?" tanya Eyang Sawunggaling tak
sabar ingin segera mengetahui hasilnya. Meskipun dari raut wajah Dewa Arak bisa
diperkirakan hasilnya, tapi kakek ini ingin mendengar jawaban dari Dewa Arak.
"Ada, Eyang," jawab Dewa Arak sambil menggelengkan kepala.
"Syukurlah," ucap Eyang Sawunggaling dengan bibir menyunggingkan senyuman. "Yang
jelas, membutuhkan waktu cukup lama untuk memulihkannya kembali seperti
sediakala."
"Hal itu tidak menjadi masalah, Anak Muda. Asal dirinya selamat aku sudah sangat
bersyukur. Kalau tidak, aku akan mari penasaran. Hhh...! Sudah dua kali kau
menolong kami, Anak Muda."
"Dua kali?" Dewa Arak mengernyitkan alis. "Bukankah hanya baru kali ini aku
menolongmu, Eyang."
"Bukankah kau dan kawanmu yang berada di atas pohon itu?" tanya Eyang
Sawunggaling. "Benar, Eyang," Arya menganggukkan kepala. "Tapi apa hubungannya?"
"Keberadaan kalian ketika aku tengah melancarkan serangan terhadap Jantaralah
yang telah menyelamatkan nyawanya. Aku kaget karena tidak menyangka ada orang
yang mengintai kami. Sehingga serangan yang kulakukan meleset. Jantara pun
dilanda perasaan yang sama.
Dan tanpa dapat dicegah lagi, tenaga dalamnya bergolak sehingga tubuhnya
terlindung tenaga dalam sewaktu seranganku menghantamnya. Padahal, aku tahu
kalau semula dirinya tak mengerahkan tenaga dalam sama sekali. Bukankah itu
berarti kau telah menyelamatkan kami pula?" jelas Eyang Sawunggaling panjang
lebar. "Kalau begitu kau keliru dua kali, Eyang. Yang menyelamatkan kalian berdua
adalah kawanku. Kedua-duanya dia yang melakukannya. Pertama dia kaget melihat
sikap pasrah Jantara, sehingga tanpa sadar dia melakukan gerakan yang membuat
kau dan muridmu mengetahuinya. Dan yang kedua, dia pula yang menyelamatkan
nyawamu dari tangan Liwung!"
bantah Arya bermaksud meluruskan keadaan yang sebenarnya.
"Kau atau dia sama saja, Anak Muda. Yang jelas, kami berdua berhutang nyawa
padamu. Mudah-mudahan kami berhasil membalasnya kelak," ucap Eyang Sawunggaling
berharap. "Lupakanlah, Eyang! Orang hidup di dunia ini memang untuk saling tolongmenolong. Kau pun bertindak demikian, Eyang. Bukankah kau yang telah membasmi kelompok
pemuda setan itu"!"
Usai berkata demikian, Arya mengalihkan perhatian ke arah Melati. Ternyata
keadaan di kancah pertarungan sudah mulai berubah. Melati mulai kerepotan
menghadapi lawannya.
Karena kini yang dihadapinya bukan hanya Liwung tapi juga Ki Sagotra. Mereka
berdua tak segan-segan mempergunakan racun dalam serangannya. Baik dengan
mempergunakan serbuk-serbuk beracun, maupun serangan berupa senjata rahasia
berbentuk paku.
Dewa Arak tak berani mengambil risiko. Dirinya tidak ingin Melati menjadi
korban. Telah disaksikannya sendiri kedahsyatan racun yang terkandung dalam paku.
"Menyingkirlah, Melati! Biar aku yang mengha dapi mereka. Kau jaga Eyang
Sawunggaling dan Jantara saja!" ujar Dewa Arak dengan penggunaan ilmu mengirim
suara dari jauh.
Lalu tanpa menunggu lebih lama lagi, Dewa Arak melesat menuju kancah
pertarungan. Dan ketika tubuhnya tengah berada di udara, diambil guci yang tergantung di
punggung, kemudian dituangkan ke mulutnya.
Gluk...! Gluk.. ! Gluk.. !
Bunyi tegukan terdengar, ketika arak itu melewati tenggorokan Arya dalam
perjalanannya menuju ke perut. Seketika itu pula ada hawa hangat yang berputar
di perut Dewa Arak. Perlahan-lahan hawa itu naik ke atas.
Jliggg! Dewa Arak mendaratkan kedua kakinya dekat kancah pertarungan dengan kedudukan
kaki tidak tetap. Tubuhnya terhuyung-huyung ke sana kemari seperti hendak jatuh.
Hal ini menjadi pertanda kalau Dewa Arak telah siap mempergunakan ilmu 'Belalang
Sakti' andalannya. Melihat kekasihnya telah siap untuk bertarung, Melati pun melempar tubuh ke
belakang untuk menjauhkan diri. Tubuhnya bersalto beberapa kali di udara,
kemudian mendarat tepat di dekat tubuh Jantara dan Eyang Sawunggaling tergolek.
Liwung dan Ki Sagotra sama sekali tidak bisa mengejar Melati untuk melancarkan
serangan-serangan susulan. Karena Dewa Arak telah menghadang langkah mereka. Mau
tak mau ayah dan anak yang merupakan orang-orang terpandang Desa Ginang ini
menyerbu Dewa Arak.
Tahu kalau Dewa Arak merupakan lawan yang amat tangguh dan sudah pasti memiliki
kepandaian di atas Melati, Liwung, dan Ki Sagotra tak ragu-ragu mengeluarkan
seluruh kemampuan yang dimiliki. Golok di tangan Liwung dan Ki Sagotra
berkelebat cepat mencari-cari sasaran. Rupanya Ki Sagotra telah mengambil
kembali golok miliknya yang tadi hampir memanggang tubuh Arya.
Tidak hanya itu saja serangan-serangan yang di kirimkan Liwung dan Ki Sagotra.
Sesekali Liwung melemparkan paku-paku beracunnya.
Sing! Sing! Sing!
Tapi semua serangan ayah dan anak ini selalu kandas. Serangan-serangan yang
dikirimkan selalu saja mengenai tempat kosong. Memang, dengan jurus 'Delapan
Langkah Belalang' tidak merupakan hal yang sulit bagi Dewa Arak mengelakkan
setiap serangan yang mengancamnya. Bahkan Dewa Arak membalas dengan seranganserangan yang membuat Liwung dan Ki Sagotra kelabakan dan pontang panting
berusaha menghindarinya.
Dewa Arak tahu di antara lawannya, Ki Sagotra yang lebih lemah. Itulah sebabnya
desakan-desakan yang dilancarkan sebagian besar ditujukan pada Ki Sagotra.
Karuan saja hal itu membuat Ki Sagotra kelabakan. Untung berkali-kali Liwung
berhasil menyelamatkannya.
Brrr! Pada jurus ketiga puluh dua, mendadak Liwung melemparkan serbuk beracunnya.
Menurut perkiraan pemuda berpakaian coklat ini, Dewa Arak pasti akan
mengelakkannya seperti yang dilakukan Melati. Namun dia kecele! Dewa Arak malah
meniup serbuk itu. Terlihat jelas pemuda berambut putih keperakan itu tidak
merasa khawatir kalau hawa beracun itu akan terisap olehnya.
Melihat hal ini Liwung dan Ki Sagotra merasa girang bukan kepalang. Menurut
dugaan mereka, Dewa Arak pasti akan lemas. Dapat dibayangkan betapa kagetnya
hati mereka ketika melihat pemuda berambut putih keperakan itu sama sekali tidak
terpengaruh. Memang, di dalam penggunaan ilmu 'Belalang Sakti', Dewa Arak
seperti kebal akan segala jenis racun (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode perdananya: "Pedang
Bintang").
Liwung dan Ki Sagotra merasa takjub bercampur geram melihat kenyataan ini. Sama
sekaii tak disangka, kalau racun mereka sama sekaii tidak berpengaruh terhadap
Dewa Arak yang bertarung bagai orang mabuk itu. Beberapa kali pemuda berambut
putih keperakan itu seperti akan jatuh. Baik dalam mengelak atau melakukan
penyerangan. Dan yang lebih hebat lagi, saat mendapat serangan pemuda berambut
putih keperakan itu malah enak-enakan menenggak araknya. Begitu juga ketika
melakukan serangan
Kini pertarungan telah menginjak jurus ke sembilan puluh sembilan. Keadaan
Liwung dan Ki Sagotra semakin terdesak. Sudah dapat dipastikan kalau mereka akan
roboh di tangan Arya. Lamanya pertarungan itu pun sebagian karena seranganserangan racun mereka yang cukup menghambat serangan balasan Dewa Arak.
Penyebab lain yang membuat pertarungan itu berlangsung lama, kemampuan ayah dan
anak ini untuk bekerja sama. Hal ini tidak aneh karena Liwung dan Ki Sagotra
memiliki ilmu yang sama, ilmu-ilmu milik Eyang Sawunggaling. Liwung menimbanya
dari Eyang Sawunggaling, sedangkan Ki Sagotra mempelajarinya dari putranya.
"Haaat. .!"
"Hiyaaat..!"
Pada jurus ke seratus tiga belas, Liwung dan Ki Sagotra melancarkan serangan
berbareng dari dua arah. Liwung mengirimkan serangan dari depan dengan sebuah
babatan ke pinggang Dewa Arak. Sedangkan Ki Sagotra melancarkan serangan berupa
tusukan ke arah punggung pemuda berambut putih keperakan itu.
"Hih!"
Dewa Arak menghentakkan kaki hingga tubuhnya melayang ke atas. Hasilnya
serangan-serangan lawannya mengenai tempat kosong. Pada saat yang bersamaan
dengan lompatannya, dilancarkan serangan ke arah lawan-lawannya dengan kakinya.
Kaki kanan ke tubuh Liwung sedang kaki kiri pada Ki Sagotra. Masing-masing kaki
menjulur ke arah yang berlawanan.
Bukkk! Bukkk! Bunyi berderak keras tulang-tulang yang patah terdengar ketika sepasang kaki
Dewa Arak mendarat di tenggorokan kedua lawannya,. Telak dan keras bukan
kepalang. Sehingga tubuh Liwung dan Ki Sagotra terpental ke belakang dan jatuh
bergulingan di tanah. Darah segar menyembur deras dari mulut, hidung, dan
telinga. Saat itu juga nyawa ayah dan anak itu melayang ke alam baka.
Jiiggg! Begitu mendaratkan kedua kakinya di tanah, Dewa Arak memperhatikan tubuh Liwung
dan Ki Sagotra tergolek diam di tanah. Kemudian dilangkahkan kakinya menuju
tempat Melati, Jantara, dan Eyang Sawunggaling berada.
Seiring dengan selesainya pertarungan itu, suasana hening pun kembali menyergap.
Malam semakin terus bergulir menuju dini hari, dan tak lama lagi fajar akan
muncul mengusir kegelapan yang menerangi persada.
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
Pedang Pelangi 12 Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong Hina Kelana 4

Cari Blog Ini