Ceritasilat Novel Online

Biang Biang Iblis 1

Dewa Arak 68 Biang-biang Iblis Bagian 1


BIANG-BIANG IBLIS
oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
Sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak
128 hal; 12 x 18 cm
Tukang Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
1 Hari sudah siang. Sang Surya yang sudah
tinggi memancarkan sinar ke persada. Sinar yang
tidak nikmat, bahkan terasa menyengat di kulit
Namun, ketidaknyamanan suasana itu tidak
dihiraukan oleh sosok bayangan merah. Padahal
dia berada di tengah hamparan tanah lapang yang
gersang, tanpa rumput dan pepohonan. Rupanya
sosok itu tengah berlatih silat. Gerakannya yang
cepat menyebabkan bentuk tubuhnya seakan lenyap. Yang terlihat hanya bayangan tak jelas berwarna merah berkelebatan ke sana kemari. Sesekali terdengar suara teriakan keras mengiringi pukulan atau tendangan sambil melompat melancarkan serangan terhadap lawan yang hanya ada dalam bayangannya.
Mendadak sosok merah itu menghentikan
gerakannya, lalu berdiri tegak. Sosok itu ternyata
seorang wanita cantik berusia paling banyak dua
puluh tahun. Rambutnya yang hitam berkilat, terurai, menambah kecantikannya. Bentuk tubuhnya yang sintal terbalut kulit mulus kuning langsat, semakin menambah daya tarik wanita muda
itu. Gadis berpakaian merah berdiri dengan kedua kaki agak terpentang beberapa saat untuk
meredakan nafasnya yang memburu. Peluh yang
membasahi wajah dan leher membuktikan kalau
dirinya telah banyak menguras tenaga dalam latihan itu. Tidak aneh, sebab sejak sang Surya belum muncul gadis berpakaian merah itu telah sibuk berlatih. "Bagus...! Bagus sekali, Lestari! Kau telah
mengalami kemajuan yang pesat!"
Pernyataan bernada pujian itu membuat gadis berpakaian merah menoleh kepala ke arah asal
suara. "Benarkah itu, Ayah"!" tanya gadis berpakaian merah yang dipanggil dengan
nama Lestari. Dia segera mengayunkan kaki menghampiri lelaki
setengah baya yang tengah memandanginya.
"Tentu saja, Lestari. Pernahkah Ayah berbohong padamu"!" ujar lelaki yang ternyata ayahnya Lestari. Dia seorang lelaki
tinggi besar bertubuh
gemuk tapi gagah dan tegap. Sambil memandangi
gadis itu mulutnya tersenyum lebar, menggambarkan kepuasan hatinya.
' Tapi... mengapa aku tetap belum dapat melakukan hal seperti yang Ayah lakukan"! Setiap
batu yang ku pukul selalu hancur berkepingkeping. Tidak pernah terjadi seperti yang Ayah lakukan. Kalau Ayah yang memukul, batu itu tak
hancur, gompal pun tidak. Tapi, begitu angin berhembus agak kencang, batu itu hancur lebur menjadi debu," ujar Lestari yang merasa tidak puas.
"Lestari... Lestari..." Lelaki tinggi besar berusia tak kurang dari lima puluh
tahun itu menggeleng-gelengkan kepala mendengar bantahan putrinya. "Kau kira mudah melakukan hal itu"! Kemampuan seperti itu hanya akan kau
dapatkan apabila dirimu telah memiliki tenaga dalam yang
sempurna. Sedangkan untuk mencapai tingkat kesempurnaan itu perlu berlatih semadi dan pernapasan yang sungguh-sungguh. Dan memang kini
kau tinggal melatih tenaga dalam serta mempertinggi ilmu meringankan tubuh karena semua ilmu yang kumiliki telah kuwariskan kepadamu!"
"Jadi..., tidak ada lagi yang akan Ayah ajarkan padaku"!" tanya Lestari setengah tidak percaya.
"Benar, Lestari," jawab lelaki tinggi besar seraya menganggukkan kepala. "Kau
hanya tinggal mematangkannya. Setahun lagi kau boleh terjun
ke dunia persilatan untuk mencari pengalaman
dan menggunakan kepandaian yang kau miliki untuk menegakkan kebenaran. Oleh karena itu, waktu yang hanya setahun ini, pergunakan sebaikbaiknya, Lestari. Giat-giatlah kau berlatih semadi
dan pernapasan serta ilmu meringankan tubuh
agar aku tenang melepas kau pergi ke dunia persilatan. Pesanku, jangan sekali-kali kau beritahukan kalau dirimu mempunyai hubungan dekat
denganku. Sedapat mungkin kau harus menyembunyikannya. Apabila hal itu kau langgar, atau
tanpa sengaja diketahui orang lain, akan besar
bahayanya buatmu. Asal kau tahu saja, Lestari,
aku banyak menanam permusuhan dengan tokohtokoh persilatan. Aku yakin, mereka akan melampiaskan dendamnya padamu apabila hal yang ku
khawatirkan itu terjadi. Dan..."
Lelaki tinggi besar itu menghentikan ucapannya di tengah jalan karena tiba-tiba terasa ada
getaran keras di tanah yang mereka pijak. Sepertinya, ada seekor gajah besar lewat di dekat tempat mereka. Lestari pun merasakannya. Maka dia
tidak merasa heran melihat ayahnya menghentikan ucapan di tengah jalan.
Dengan sendirinya percakapan terhenti. Lestari dan ayahnya memusatkan perhatian pada getaran-getaran keras di tanah yang mereka pijak.
Lestari terkejut ketika melihat sikap ayahnya menjadi gelisah. "Ada apa, Ayah"!" tanya Lestari tanpa menyembunyikan rasa heran dan penasaran dalam
nada suara dan tarikan wajahnya.
"Tidak usah banyak tanya! Cepat tinggalkan
tempat ini, Lestari! Tinggalkan sejauh-jauhnya,
dan ingat pesanku tadi!" ujar lelaki tinggi besar, penuh perasaan gelisah yang
tidak dapat disembunyikan. Dia tidak mempedulikan pertanyaan
anaknya sama sekali.
Namun Lestari bukan gadis yang bisa di gebah begitu saja, tanpa ada penjelasan yang meyakinkan. Sang Ayah sebenarnya tahu hal itu tapi
kegelisahan yang melanda membuatnya lupa.
Bahkan ketika melihat Lestari tidak mematuhi perintahnya, dia menjadi kalap.
"Cepat tinggalkan tempat ini, Lestari! Cepat,
kataku!" sentak sang Ayah dengan suara keras
dan mata membelalak. "Atau kau ingin mencobacoba menentang perintahku"!"
Lestari sampai terjingkat ke belakang mendengar nada keras bentakan ayahnya. Gadis itu
benar-benar kaget, karena selama ini belum pernah ayahnya bicara keras seperti ini Seketika dia
tahu akan gawatnya keadaan, tapi rasa penasaran
dan ingin tahu, membuatnya tidak segera melaksanakan perintah sang Ayah.
"Ha ha ha...!"
Tawa keras menggelegar yang membuat keadaan di sekitar tempat itu bergetar hebat mengiringi getaran yang semakin keras pada tanah. Dan
pada jarak dua puluh tombak dari tempat Lestari
dan ayahnya, tampak sesosok tubuh tinggi besar
berlari mendekati tempat mereka. Dan hanya dalam waktu sekejap, sosok itu telah berdiri di hadapan mereka. Lestari dan ayahnya membelalakkan mata
kaget, seolah mereka tak percaya melihatnya. Sosok itu mampu berlari dengan menimbulkan getaran hebat bagaikan seekor gajah. Selain itu suara
tawanya yang keras menyebabkan getaran hebat
di dada mereka.
Lestari, yang sejak sosok itu terlihat memperhatikannya dengan penuh selidik, merasa ngeri
ketika melihat adanya dua buah taring yang menyembul di mulut sosok yang baru tiba itu.
Sosok yang memiliki taring di mulutnya ini
memang memiliki ciri-ciri mengerikan. Tubuhnya
tinggi dan besar. Sehingga ayahnya Lestari yang
memiliki tubuh tinggi besar saja, tidak sampai sebahunya. Di samping tinggi besar, otot-ototnya
tampak bersembulan dan melingkar-lingkar di tubuh sosok berwajah mengiriskan. Lestari dapat
melihatnya dengan jelas, karena makhluk itu tak
mengenakan pakaian pun, kecuali sehelai celana
panjang hitam sebatas bawah lutut
"Raksasa Pemangsa Manusia...!" desis ayahnya Lestari dengan suara bergetar. "Mau
apa kau kemari?"
"Ha ha ha...!" Sosok tinggi besar berotot yang disapa dengan julukan Raksasa
Pemangsa Manusia, tertawa bergelak. "Rupanya kau mengenaliku, Malaikat Petir!
Kalau begitu tidak ada gunanya lagi
kau berpura-pura. Aku yakin kau pasti mengetahui maksud pertanyaanku. Asal kau tahu saja,
sudah lama aku mencari-cari mu, Malaikat Petir.
Ternyata mencarimu lebih sukar daripada mencari
jarum dalam tumpukan jerami. Kau lenyap begitu
saja dari dunia persilatan.
Ayahnya Lestari yang berjuluk Malaikat Petir, tersenyum getir. Senyum yang muncul di saat
dia tidak ingin tersenyum.
"Pasti karena masalah muridmu, kan"!" terka Malaikat Petir, datar.
"Tepat! Aku datang untuk menuntut balas
atas kematian muridku, Malaikat Petir. Bersiaplah
untuk menerima kematian!" sahut Raksasa Pemangsa Manusia penuh keyakinan akan keberhasilan usahanya itu.
"Menyingkirlah, Lestari, dan cepatlah pergi
dari sini! Tinggalkan tempat ini sejauh-jauhnya!"
Usai berkata demikian, tanpa memberikan
kesempatan pada Lestari untuk memberikan tanggapan, Malaikat Petir langsung menerjang Raksasa
Pemangsa Manusia. Dan sesuai julukannya, lelaki
berpakaian abu-abu ini memang memiliki gerakan
amat cepat. Bentuk tubuhnya langsung lenyap ketika melancarkan serangan, hingga yang terlihat
hanya sekelebatan bayangan abu-abu, meluruk ke
arah Raksasa Pemangsa Manusia.
Namun, Raksasa Pemangsa Manusia ternyata tidak hanya berbicara besar ketika mengucapkan perkataan hendak mengirim nyawa lawannya ke akherat. Meskipun gerakan Malaikat Petir
amat cepat, dan bahkan sampai tidak terlihat mata, dia dapat melihatnya secara jelas. Lelaki bertelanjang dada ini tahu kalau Malaikat Petir menubruk ke arahnya dan mengirimkan serangan gedoran telapak tangan kanan terbuka ke arah ulu hatinya. Plakkk! Benturan keras terdengar ketika Raksasa Pemangsa Manusia menangkis serangan Malaikat
Petir dengan gerakan dan sikap jari serupa. Akibatnya, tubuh Malaikat Petir terhuyung-huyung
ke belakang, sementara lawannya tidak bergeming
sama sekali. Benturan itu dilihat jelas oleh Lestari yang
masih berada di situ, menyaksikan jalannya pertarungan dari tempat yang aman. Sekarang, baru
gadis berpakaian merah ini mengerti mengapa
sang Ayah menyuruhnya meninggalkan tempat
itu. Lawan yang dihadapi Malaikat Petir amat
tangguh! "Lestari! Cepat pergi...!"
Malaikat Petir yang masih sempat melihat
kalau putrinya masih berada di tempat ini, menyerukan peringatan lagi, sebelum kembali menubruk
Raksasa Pemangsa Manusia dengan serangan lebih dahsyat "Ha ha ha...!" Raksasa Pemangsa Manusia
tertawa bergelak. "Inikah ilmu 'Telapak Tangan Petir'-mu, Malaikat Petir"
Ternyata tak sehebat berita yang kudengar!"
Lelaki bertelanjang dada mengeluarkan pernyataan menghina itu ketika mendengar bunyi
meledak-ledak nyaring di saat Malaikat Petir melancarkan serangan susulan. Asap tipis mengepul
dari kedua telapak tangan Malaikat Petir.
Pertarungan pun tidak bisa dielakkan lagi.
Malaikat Petir yang tahu kalau lawannya memiliki
kepandaian amat tinggi, tidak segan-segan mengeluarkan seluruh kemampuannya. Bunyi meledakledak diiringi asap tipis yang mengepul menyemaraki setiap serangan yang dilancarkan lelaki berpakaian abu-abu ini.
Namun, Raksasa Pemangsa Manusia memang amat tangguh. Meskipun tidak memiliki gerakan cepat sebagaimana lawannya, dia tidak
mengalami kerepotan untuk menghadapi setiap
serangan Malaikat Petir. Justru, ayahnya Lestari
yang mengalami kesulitan besar untuk menjatuh

Dewa Arak 68 Biang-biang Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kan serangan, karena seperti ada benteng tak
nampak yang menghalangi serangannya sehingga
selalu membalik sebelum mengenai sasaran. Selain itu kerasnya kulit tubuh Raksasa Pemangsa
Manusia, membuat tangan atau kaki Malaikat Petir malah membalik ketika bertemu dengan tubuh
lawannya. Lestari menggigit bibir dengan perasaan gelisah ketika melihat perkembangan pertarungan itu.
Memang, dia tidak dapat mengetahui secara jelas
karena cepatnya gerakan tubuh kedua orang itu,
terutama yang dilakukan Malaikat Petir. Namun,
gadis berpakaian merah ini dapat memperkirakan
dengan melihat ayahnya yang beberapa kali terhuyung, dan terus didesak mundur. Ayahnya terdesak hebat "Hiyaaattt...!"
Setelah beberapa saat lamanya mempertimbangkan, Lestari mencabut kipas baja yang terselip di pinggangnya, kemudian melompat ke dalam
kancah pertarungan. Dan begitu dekat, kipasnya
yang berujung runcing ditusukkan ke dada Raksasa Pemangsa Manusia yang tengah mendesak
ayahnya. Takkk! Gadis itu menjerit kaget ketika melihat ujung
kipasnya seperti mengenai karet keras yang kenyal
sehingga membalik. Bahkan tangannya terasa kesemutan. Ujung kipasnya yang terbuat dari baja,
tidak mampu menembus kulit tubuh Raksasa Pemangsa Manusia.
Sebelum Lestari sadar dari keterkejutannya
dan melakukan tindakan tangan, Raksasa Pemangsa Manusia bergerak cepat Lestari yang menyadari akan adanya ancaman ketika melihat berkelebatannya benda tak jelas dengan diiringi desiran angin kencang, berusaha keras untuk melakukan tindakan penyelamatan.
Tappp! Lestari terkejut bukan kepalang ketika melihat usahanya gagal. Pergelangan tangan kanannya
yang memegang kipas baja telah tercekal lawan
yang besarnya malah lebih dari paha Lestari. Kenyataan yang tidak disangka-sangka ini membuat
gadis berpakaian merah itu gugup dan kelabakan.
Dengan sebisa-bisanya dia meronta untuk melepaskan diri. Kedua kakinya pun ikut melakukan
tendangan ke tubuh lelaki bertaring yang bertelanjang dada itu. Namun kesudahannya malah membuat kedua kaki Lestari sakit-sakit karena tenaganya seperti membalik ketika seranganserangannya itu mendarat pada sasaran.
Lestari tidak berdaya ketika tubuhnya didekatkan ke mulut lelaki bertelanjang dada itu. Gigigigi yang sebagian terdiri dari taring itu, siap menelan bulat-bulat tubuh Lestari yang putih mulus.
"Lepaskan anakku!" teriak Malaikat Petir
yang menjadi kalap ketika melihat nasib putrinya.
Ketika Lestari melancarkan serangan, tubuh
Malaikat Petir tampak masih terhuyung-huyung
ke belakang sehabis menangkis serangan Raksasa
Pemangsa Manusia, sehingga dirinya tidak mampu
mencegah lelaki bertaring itu membuat Lestari tidak berdaya. Namun sesaat kemudian, Malaikat
Petir menerjang Raksasa Pemangsa Manusia. Kedua telapak tangannya yang terbuka dipukulkan
dengan pengerahan seluruh tenaga dalam. Kekhawatiran akan nasib putrinya membuat serangan
Malaikat Petir berkesan nekat, dan seperti tidak
mempedulikan keselamatan diri sendiri.
Raksasa Pemangsa Manusia rupanya tahu
kedahsyatan serangan lawan. Apalagi kali ini bagian yang diserang adalah ulu hati dan pusar, dua
bagian terlemah di tubuh manusia. Maka dia tidak
berani berlaku sembrono. Cekalan tangannya atas
Lestari segera dilepaskan, bahkan tubuh gadis
berpakaian merah itu dilemparkan. Lalu, kedua
tangannya dipukulkan ke depan dengan sikap jarijari yang sama untuk memapak serangan lawan.
Prattt! Benturan kali ini lebih keras dari sebelumnya. Tubuh Malaikat Petir melayang ke belakang
seperti daun kering yang diterbangkan angin. Raksasa Pemangsa Manusia pun tak luput dari serangan keras itu. Meski tidak sampai terlempar seperti lawannya, dia terhuyung-huyung beberapa
langkah ke belakang.
Sungguh sebuah pemandangan yang menggelikan hati, sebenarnya, kalau kebetulan ada
yang melihatnya. Dalam waktu yang hampir bersamaan, tubuh ke tiga sosok itu sama-sama terlempar ke belakang. Namun karena yang paling
sedikit menerima akibatnya adalah Raksasa Pemangsa Manusia, tokoh yang mengiriskan hati itu
lebih dulu dapat menguasai diri. Dan langsung
melompat menerjang memburu Malaikat Petir.
Bukkk! Tubuh Malaikat Petir terjungkal ke belakang
ketika tangan kanan Raksasa Pemangsa Manusia
menghantam bahu kanannya. Darah segar muncrat dari mulutnya.
"Ayah...!"
Lestari mengeluarkan jeritan kaget bercampur perasaan pilu ketika melihat kejadian yang
menimpa ayahnya. Dia melihat secara jelas karena
telah lebih dulu berhasil bangkit ketika Raksasa
Pemangsa Manusia menerjang dengan gedoran
tangan ke arah dada Malaikat Petir. Untung lelaki
gagah itu berhasil mengelakkannya sehingga serangan lawan hanya menghantam bahu kanan.
Meskipun demikian, karena kuatnya tenaga dalam
manusia yang memiliki taring itu, Malaikat Petir
sampai muntah darah.
"Lestari, cepat pergi dari sini...!"
Malaikat Petir masih sempat mengeluarkan
seruan terhadap putrinya ketika Raksasa Pemangsa Manusia meluruk ke arahnya.
Lestari menahan isak tangis yang naik ke
tenggorokannya. Sekilas sepasang bola matanya
yang bening itu menatap sang Ayah yang sedang
terlibat pertarungan dengan lawannya. Memang,
meskipun sudah terluka Malaikat Petir masih cukup tangguh untuk dapat dirobohkan dengan mudah. "Selamat tinggal, Ayah...!" seru Lestari dengan suara serak karena rasa
haru yang mencekik
tenggorokan. Firasatnya membisikkan kalau perpisahan dengan ayahnya ini adalah merupakan
perpisahan yang terakhir kali. Maka sambil menangis terisak-isak dia berlari cepat meninggalkan
tempat itu. Sebenarnya hatinya merasa berat untuk melakukan hal itu. Namun, dia tahu kalau pesan ini tidak dilaksanakan, sang Ayah, si Malaikat
Petir mati dengan perasaan penasaran. Lagi pula,
Lestari tidak ingin mati sebagai anak yang tidak
berbakti karena membangkang perintah orangtua.
Di samping itu, untuk melakukan perlawanan, jelas merupakan tindakan sia-sia. Ayahnya saja
tampak kewalahan dibuatnya, apalagi dirinya!
Meskipun tengah sibuk menghadapi desakan
lawannya yang bertubuh besar dan mengiriskan
itu, Malaikat Petir masih sempat melihat kepergian
Lestari. "Selamat tinggal, Lestari! Jagalah dirimu
baik-baik!" seru lelaki tinggi besar ini dengan mulut tersenyum.
Dan ketika bayangan tubuh Lestari lenyap di
kejauhan, perlawanan Malaikat Petir mulai menurun jauh. Lelaki berpakaian abu-abu ini memang
telah terluka parah, tenaganya pun telah berkurang jauh, tambahan lagi, kemampuan lawan berada di atasnya. Hanya karena terdorong perasaan
untuk menyelamatkan putrinya yang membuat dirinya seperti mendapat tenaga baru. Begitu dia
yakin kalau Lestari selamat, tenaga tambahan itu
pun lenyap. Degk! Malaikat Petir mengeluarkan jeritan menyayat hati ketika kaki kanan Raksasa Pemangsa
Manusia menghantam dadanya secara telak sehingga membuat tubuhnya terlontar jauh ke belakang. Seketika itu pula nyawa Malaikat Petir melayang ke alam baka karena seluruh isi dadanya
telah hancur berantakan akibat tendangan yang
keras itu. Tanpa mempedulikan nasib Malaikat Petir
lagi, Raksasa Pemangsa Manusia melesat meninggalkan tempat itu, menuju arah yang tadi ditempuh oleh Lestari.
*** Lestari bukan seorang gadis yang bodoh. Setelah berlari beberapa saat, pikiran jernihnya timbul kembali. Sekarang, dia dapat menerima kebenaran perintah yang diberikan ayahnya. Kalau tadi
dia memaksakan diri membantu ayahnya menghadapi Raksasa Pemangsa Manusia itu, mungkin
dia dan ayahnya akan tewas. Lalu, siapa yang
akan membalaskan dendam mereka" Kalau sekarang dia dapat menyelamatkan diri, kemungkinan
untuk mengadakan pembalasan, meskipun kecil
tapi ada harapannya.
Itulah sebabnya, ketika mendengar bunyi
berdebum yang semakin lama semakin keras, dan
mendekati tempatnya, Lestari dapat menduga kalau Raksasa Pemangsa Manusia tengah mengejarnya. Dan itu berarti Malaikat Petir, ayahnya, telah
tewas! Lestari menelan kesedihan yang menyesakkan dada. Dendam yang hebat terhadap Raksasa
Pemangsa Manusia pun seketika muncul di hatinya. Namun, dia tidak mau bertindak gegabah
dengan menyerang tokoh yang memiliki taring itu
secara membuta. Gadis berpakaian merah ini justru terus mempercepat larinya seraya mengedarkan pandangan ke sana kemari untuk mencari
tempat persembunyian yang baik.
Dan ketika akhirnya menemukannya, Lestari
segera menyelinap ke sana. Sebuah kerimbunan
semak belukar yang rapat ditumbuhi pepohonan.
Namun, baru saja masuk ke dalamnya, gadis berpakaian merah ini hampir menjerit kaget kalau tidak cepat-cepat menahannya. Di dalam semak belukar yang dimasukinya tengah bersembunyi seorang pemuda tampan berpakaian coklat. Pemuda
tampan bertubuh tegap itu meletakkan jari telunjuknya di bibir, memberi tanda agar Lestari tidak
membuat kegaduhan hingga membuat jeritan gadis berpakaian merah tertahan.
Dan sebelum Lestari sempat berbuat sesuatu, pemuda berpakaian coklat itu telah mengangsurkan sebuah kendi kecil padanya.
"Gosokkan isinya pada seluruh pakaian dan
kulit tubuhmu agar Raksasa Pemangsa Manusia
tidak dapat menemukanmu," ucapnya dengan suara berbisik. "Apa ini"!" tanya Lestari sambil menerima
kendi yang diangsurkan pemuda berpakaian coklat itu. Dia memperhatikan kendi itu sejenak, demikian pula dengan wajah pemuda yang memberikannya. Meski ucapannya itu pun dikeluarkan
dengan suara pelan tapi tidak menyembunyikan
adanya nada curiga di dalamnya.
"Cairan berisikan ramuan yang menyebarkan bau tanam-tanaman. Paman ku yang memberikannya, dan sengaja kuberikan padamu agar
kau terhindar dari tangan Raksasa Pemangsa Manusia. Kau tahu, tokoh yang mengerikan itu memiliki penciuman yang amat tajam. Sekali saja
bertemu denganmu, dia akan mengetahuinya
meski kau berada jauh dari tempatnya. Raksasa
Pemangsa Manusia memiliki hidung binatang
buas." "Jadi... ramuan ini untuk menghilangkan bau tubuhku dan menggantinya
dengan bau tanam-tanaman"!" tanya Lestari meminta kepastian.
"Benar, tapi tidak dapat bertahan lama. Cepatlah, aku khawatir kita terlambat dan Raksasa
Pemangsa Manusia lebih dulu tiba di sini...!"
Kali ini Lestari tidak ragu-ragu lagi untuk
membuka tutup kendi itu. Meskipun demikian,
perasaan hati-hati mendorongnya untuk mencium
baunya ketika sumbat kendi itu terbuka. Dan
memang, pemuda berpakaian coklat itu tidak berkata bohong, dia mencium bau khas tanaman dari
dalam kendi itu.
Baru saja pemuda berpakaian coklat menggosok-gosokkan isi kendi itu pada sekujur pakaian
dan tubuhnya, langkah-langkah yang menggetarkan bumi semakin keras terdengar. Sesaat kemudian, Raksasa Pemangsa Manusia berlari, lewat jalan tak jauh dari semak belukar tempat keduanya
bersembunyi. Raksasa Pemangsa Manusia menghentikan
lari. Kepalanya ditolehkan ke arah kerimbunan
semak-semak di kanan kiri jalan yang tengah dila

Dewa Arak 68 Biang-biang Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

luinya. Hidungnya yang besar bergerak-gerak seperti tengah mengendus-endus. Tingkah manusia
bertubuh besar dan tinggi ini mirip binatang buas
tengah mencari mangsanya yang lolos.
Lestari yang berada di dalam kerimbunan
semak-semak, sempat berdebar tegang hatinya ketika melihat Raksasa Pemangsa Manusia memperhatikan tempat persembunyiannya. Untung saja
semak-semak ini amat rapat sehingga dirinya tidak terlihat. Sementara Lestari sendiri dapat mengamatinya dengan jelas, bahkan ketika raksasa
bertaring panjang itu mengembang-kempiskan hidungnya yang besar. Kenyataan yang dilihatnya
ini semakin menambah kepercayaan di hati Lestari
terhadap pemuda berpakaian coklat
Ketegangan yang melanda hati Lestari membuyar ketika Raksasa Pemangsa Manusia tidak
mempedulikan tempat persembunyiannya lagi. Sosok bertubuh raksasa itu terus berlari dengan diiringi bunyi bergetar keras dan berirama pada tanah. *** 2 "Hhh...!"
Lestari mengeluarkan napas lega ketika melihat tubuh Raksasa Pemangsa Manusia lenyap ditelan di kejauhan. Yang tertinggal hanya getaran
langkahnya pada tanah.
' Terima kasih atas pertolonganmu..., Sobat.
Aku Lestari," gadis berpakaian merah ini mengulurkan tangan, memperkenalkan diri.
"Aku Prapanca, Lestari. Dan mengenai pertolonganku, lupakan saja! Hanya sebuah pertolongan kecil dan tidak berarti," jawab pemuda berpakaian coklat seraya menyambut
uluran tangan Lestari. "Bagaimanapun kau telah berjasa besar,
Prapanca" Tanpa sungkan-sungkan, Lestari yang
mempunyai watak lincah dan tidak pemalu, menyapa pemuda berpakaian coklat itu dengan nada
akrab seakan-akan mereka telah kenal lama. "Kalau tidak ada dirimu, mungkin aku sudah tertangkap oleh raksasa bermulut bau itu. Kau benar,
Prapanca. Raksasa bermulut kotor itu memiliki
hidung unik, seperti hidung macan! Eh, bagaimana kau bisa tahu kalau aku tengah dikejar-kejar
raksasa jelek yang menjemukan itu" Dari mana
pula kau mengetahui ketajaman... eh, hidungnya"
Mengapa kau berada di sini" Siapa pula pamanmu
itu?" Pemuda berpakaian coklat yang bernama
Prapanca sampai melongo menerima pertanyaan
memberondong seperti gelombang laut itu. Dia
merasa bingung memikirkan jawaban lebih dulu
yang harus diberikan. Tambahan lagi dia masih
merasa terkesima ketika merasakan halusnya tangan Lestari yang tadi berada di genggamannya.
"Hey...! Kau ini kenapa, sih?" sentak Lestari agak keras ketika melihat Prapanca
hanya terlon-gong bengong.
"Ah... oh.... Ti... tidak apa-apa, Lestari.
Hanya saja... maaf, maksudku... eh.... Aku harus
menjawab pertanyaanmu yang mana dulu" Pertanyaanmu terlalu banyak sih!"
"Sesukamulah!" sahut Lestari sambil mengangkat bahu. "Baiklah kalau begitu. Aku tahu kalau dirimu tengah dikejar-kejar karena melihatmu menyelinap kemari. Tahu orang yang mengejarmu Raksasa Pemangsa Manusia, penyebabnya karena
hanya tokoh sesat itulah yang memiliki ciri khas
begitu jika berlari. Sedangkan mengenai keistimewaan Raksasa Pemangsa Manusia... kudengar dari
paman ku. Jelas"!"
"Sangat jelas!" Lestari menganggukanggukkan kepala dan tersenyum.
"Sekarang giliranku mengajukan pertanyaan,
Lestari," ujar Prapanca bersikap seperti Lestari, sok akrab. "Mengapa kau bisa
berurusan dengan
Raksasa Pemangsa Manusia" Lalu bagaimana kau
bisa lolos dari tangannya?"
Wajah Lestari langsung berubah hebat mendengar pertanyaan ini. Semula gadis berpakaian
merah ini lupa nasib ayahnya, tapi kini teringat
kembali karena mendapat pertanyaan itu.
"Ayaaah...!" seru Lestari dengan hati pilu.
Dan sebelum gema teriakannya lenyap, dia telah
melesat cepat ke arah semula.
Mendapat jawaban seperti ini, karuan saja
Prapanca jadi kebingungan. Dia sama sekali tidak
menyangka, kalau pertanyaannya akan berakibat
seperti itu. Meskipun begitu, pemuda berpakaian
coklat ini mampu bersikap tanggap.
"Lestari...! Tunggu...!"
Namun seruan Prapanca sia-sia. Lestari tidak menggubris seruannya sama sekali, dan terus
berlari. Hingga Prapanca pun tidak tinggal diam.
Dia segera berlari mengejar. Dan ternyata ilmu lari
cepat pemuda berpakaian coklat ini tidak rendah.
Dia mampu membayangi Lestari, bahkan perlahan
namun pasti dapat memperdekat jarak.
Lestari tentu saja tahu kalau Prapanca mengikutinya. Namun tidak dipedulikannya sama sekali. Yang ada di benak gadis itu hanya ayahnya.
Dia khawatir sesuatu yang buruk menimpa ayahnya. Kalau tidak Raksasa Pemangsa Manusia tidak
akan bisa mengejarnya karena Malaikat Petir pasti
akan berusaha sekuat tenaga untuk menghalanginya. "Ayaaah...!"
Lestari menjerit keras penuh bernada kekhawatiran, kepiluan, dan keterkejutan ketika melihat sosok yang tergeletak di tanah di tempat pertarungan antara Raksasa Pemangsa Manusia dengan ayahnya. Meski jaraknya masih cukup jauh,
sepasang mata Lestari yang awas langsung bisa
mengenali kalau sosok yang terbaring itu tak lain
ayahnya. Prapanca hanya bisa berdiri diam, terpaku di
dekat Lestari yang duduk bersimpuh sambil menangisi kematian ayahnya. Pemuda berpakaian
coklat ini tidak berkata apa-apa. Dia tahu tidak
ada gunanya menghibur karena akan sia-sia. Hal
yang lebih penting sekarang adalah membiarkan
Lestari menumpahkan semua ganjalan perasaannya agar dadanya menjadi lega.
Cukup lama juga Prapanca harus menunggu
Lestari menghentikan tangisnya. Pemuda itu baru
ikut campur tangan dan membantu ketika Lestari,
dengan bahu yang masih terguncang-guncang karena isak tangis, membopong tubuh ayahnya.
Tanpa diminta Prapanca membuat lubang kuburan untuk ayahnya Lestari.
*** "Aku turut berdukacita atas kejadian ini,
Lestari," ucap Prapanca lirih setelah selesai men-guburkan mayat Malaikat Petir.
"Boleh ku tahu, apa yang akan kau lakukan sekarang?"
' Terima kasih, Prapanca. Aku banyak berhutang budi padamu. Kalau tidak ada kau, entah apa
yang akan terjadi dengan diriku," jawab Lestari dengan suara serak. "Hhh...! Aku
sendiri tidak ta-hu apa yang harus kulakukan sekarang. Mungkin
aku akan memenuhi permintaan ayahku jauhjauh hari sebelum beliau tewas...."
"Apa aku boleh mengetahuinya, Lestari"!"
tanya Prapanca hati-hati karena khawatir membuat Lestari tersinggung. Pemuda berpakaian coklat ini tahu orang yang tengah dilanda kesedihan
besar bisa mengalami perubahan watak yang tidak
terduga. "Yahhh...," jawab Lestari dengan suara men-desah. "Dulu... beberapa tahun yang
lalu, ayahku sering kali menyinggung tentang hal ini. Sepertinya beliau telah
mempunyai firasat akan adanya
maut yang mengancam. Itulah sebabnya beliau
sering memberi nasihat padaku apabila terjadi
hal-hal tidak diinginkan atas dirinya, aku diperintahkan untuk menemui kawan-kawan akrabnya.
Beliau mempunyai dua orang kawan karib, tapi
aku lebih dipesankan untuk menemui kawannya
yang satu lagi yang berjuluk Malaikat Salju."
"Malaikat Salju"!" Sepasang alis Prapanca
berkerut seakan merasa terkejut mendengar ucapan gadis itu. "Ya! Mengapa"!" Lestari balas mengajukan
pertanyaan seraya menatap wajah Prapanca penuh selidik. "Apakah kau mengenalnya" Atau...."
"Aku tidak mengenalnya, Lestari," selak Prapanca untuk mencegah gadis berpakaian
merah itu melanjutkan ucapannya. "Tapi terus terang,
kuakui kalau aku mengenalnya... maksudku mendengar julukannya. Bukankah Malaikat Salju merupakan salah seorang dari Tiga Malaikat Bayangan yang belasan tahun lalu menggemparkan dunia persilatan"! Kalau ayahmu merupakan sahabat karib Malaikat Salju berarti beliau salah seorang dari Tiga Malaikat Bayangan. Maaf, aku...
mungkin terlalu lancang, Lestari!"
"Dugaanmu tidak salah, Prapanca. Ayahku
memang salah satu dari tiga tokoh besar itu. Julukan beliau Malaikat Petir," ujar Lestari menjelaskan masih dengan suara serak
karena isak tangis yang tadi melanda.
Prapanca mengangguk-anggukkan kepala.
Karuan saja melihat sikap ini, Lestari merasa heran. "Ada apa, Prapanca"!"
"Tidak apa-apa," sahut pemuda berpakaian
coklat itu. "Hanya saja sekarang aku tahu menga-pa ayahmu dibunuh oleh Raksasa
Pemangsa Ma- nusia. Pasti ini ada hubungannya dengan kejadian
bertahun-tahun yang silam. Maksudku, ada hubungannya dengan kematian murid Raksasa Pemangsa Manusia oleh Malaikat Petir, ayahmu."
"Kau... kau..., dari mana kau mengetahuinya"!" tanya Lestari terbata-bata karena kaget mendengar dugaan Prapanca yang
demikian tepat.
Dari mana pemuda berpakaian coklat itu tahu,
padahal dia sendiri, yang ayahnya terlibat langsung karena yang menjadi korban adalah ayahnya, baru mengetahuinya dari ucapan Raksasa
Pemangsa Manusia sendiri.
Prapanca tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Dia malah menghela napas berat sambil
menundukkan kepala. Sejenak sepasang matanya
menekuri tanah, seakan-akan ada yang menarik
perhatiannya di sana.
"Bukannya aku tidak mau memberitahukannya, Lestari. Tapi, guruku berpesan demikian.
Dia tidak ingin ada seorang pun yang mengetahuinya. Aku hanya dapat memberikan gambaran
bahwa guruku mempunyai hubungan dengan sahabat-sahabat ayahmu, dan bahkan terhadap
ayahmu juga. Oleh karena itu, aku tahu penyebab
permusuhan ayahmu dengan Raksasa Pemangsa
Manusia. Cukup jelas"!"
"Hik hik hik...!"
Suara tawa berkikikan telah lebih dulu menyambuti ucapan Prapanca, sebelum Lestari
memberikan tanggapan. Suara tawa yang jelas berasal dari mulut seorang wanita. Hanya saja nadanya begitu menyeramkan, di samping getaran
kuat yang menggetarkan dada.
Prapanca dan Lestari hampir bersamaan
menolehkan kepala ke arah asal suara. Sepasang
muda-mudi ini langsung bersikap waspada karena
bisa mengetahui kalau pemilik tawa itu merupakan orang sakti. Tawa yang mampu menggetarkan
dada mereka, penyebab Prapanca dan Lestari dapat memperkirakan demikian.
"Dewi Cabul...!" desis Prapanca terkejut ketika melihat pemilik tawa.
"Hi hi hi...! Rupanya kau telah mengenaliku,
Bocah Bagus..."! Luar biasa! Ini menjadi pertanda
kalau kau bukan orang sembarangan. Bagus...!
Bagus...!"
Sosok yang disapa Prapanca dengan julukan
Dewi Cabul, tidak pantas menyandang julukan
demikian, karena paras dan keadaannya tidak mirip dengan dewi! Dia adalah seorang nenek, berambut panjang berwarna dua. Tubuhnya tinggi,
tapi agak membungkuk, bongkok udang. Hidungnya melengkung seperti paruh burung kakaktua.
Sepasang matanya yang mirip mata kucing itu
semakin menambah seram penampilannya. Selain
itu, rambutnya yang kusut masai dibiarkan tergerai dan dipermainkan angin.
"Seharusnya nenek bongkok ini tidak menyandang gelar dewi melainkan iblis atau nenek
sihir!" protes Lestari dalam hati.
"Hi hi hi...! Tidak salahkah kau, Prapanca"!"
selak Lestari setelah terlebih dulu mengumbar tawa. "Orang seperti ini kau sebut dewi" Lalu, bagaimana pula jelek atau buruknya
kuntilanak dan iblis"! Seharusnya dia berjuluk Nenek Burung
Bermata Anjing!"
Prapanca terkejut mendengar ucapan Lestari


Dewa Arak 68 Biang-biang Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang bernada menghina itu. Dia memang tahu kalau Lestari memiliki watak luar biasa, tidak mengenai takut, dan angin-anginan. Saat ini sedih, tapi lain saat lupa akan kesedihannya dan dapat
memperolok orang lain. Namun, tindakan Lestari
kali ini keterlaluan! Bukan hanya karena sembarangan mengeluarkan makian terhadap seseorang,
tapi juga karena Prapanca tahu siapa sebenarnya
orang yang dihina Lestari!
Prapanca sama sekali tidak tahu kalau kematian Malaikat Petir yang sangat mengenaskan,
telah mengguncangkan hati Lestari. Memang, gadis berpakaian merah ini memiliki sifat anginanginan, tidak bisa berlama-lama tenggelam dalam
alun kesedihan karena wataknya yang lincah dan
gembira. Namun, Malaikat Petir merupakan satu
satunya keluarga yang ada, dan Lestari sendiri
amat menyayangi ayahnya. Maka, Lestari amat
dendam tatkala mengetahui ayahnya mati secara
demikian mengenaskan di tangan Raksasa Pemangsa Manusia. Kalau saja mampu dan memiliki
kepandaian, Lestari tentu akan menuntut balas.
Tapi, karena tahu kalau terhadap Raksasa Pemangsa Manusia, tidak dapat bertindak apa-apa.
Dendamnya itu kini ditujukan pada tokoh-tokoh
persilatan sealiran dengan Raksasa Pemangsa
Manusia. Karena Raksasa Pemangsa Manusia merupakan tokoh sesat, Lestari jadi memendam kebencian besar terhadap tokoh-tokoh aliran hitam.
Itulah sebabnya, Lestari langsung mengeluarkan hinaan kasar terhadap nenek bongkok. Karena melihat ciri-ciri, julukan, dan sikapnya, Lestari dapat memperkirakan kalau
Dewi Cabul adalah
tokoh golongan hitam.
"Lestari, kau terlalu sembrono," bisik Prapanca pelan tapi bernada teguran.
''Tahukah kau siapa nenek itu"!"
"Aku tidak tahu, dan tidak mau tahu! Yang
jelas, dia tokoh golongan hitam, dan aku akan melenyapkannya!" tandas Lestari, mantap.
"Hikh... hik... hik...! Gagahnya...! Gagah dan
cantik jelita! Ingin kulihat apakah kau masih berani menghinaku apabila wajahmu kujadikan lebih
buruk dari wajahku...!"
Setelah berkata demikian, nenek berhidung
melengkung itu menjulurkan tangan kanannya secara sembarangan. Lestari tentu saja melihat ancaman dari tangan keriput yang memiliki kukukuku panjang, runcing, dan berwarna hitam itu.
Namun gadis berpakaian merah ini tidak menampakkan perasaan gentar atau takut. Dia tahu, serangan tangan itu tidak akan mengenai sasaran
yang dituju karena jarak antara mereka berdua tidak kurang dari satu setengah kali juluran tangan. Cengkeraman tangan ke arah wajahnya itu
tidak akan membuahkan hasil sama sekali.
Namun keyakinan Lestari jadi membuyar ketika melihat jari-jari tangan nenek itu terus saja
meluncur ke arah wajahnya. Padahal, Lestari tahu
pasti kalau nenek bongkok itu tidak melangkah
maju. Tapi, mengapa jari tangan itu terus meluncur ke arahnya"
Karena tak mempunyai kesempatan untuk
mengelak, Lestari terpaksa memapaknya sambil
mengerahkan seluruh tenaga. Sikap tanggapnya
yang membuat gadis itu langsung mengambil tindakan meskipun benaknya masih dipenuhi rasa
bingung melihat tangan lawan terus meluncur ke
arah sasaran. Lestari memekik tertahan karena perasaan
kaget dan kesakitan. Tubuh gadis berpakaian merah ini terjengkang ke belakang seperti diseruduk
kerbau liar. Sementara nenek Dewi Cabul hanya
tergetar saja tangannya.
"Uh...!" Nenek bongkok itu mengeluarkan seruan kaget ketika merasakan ada hawa
panas menjalar dari tangannya yang berbenturan dengan
tangan Lestari.
"Bukankah itu jurus 'Petir Menyambar
Awan'" Apa hubunganmu dengan Malaikat Petir,
Wanita Binal"!"
"Kau tidak perlu tahu, Kuntilanak Jelek!" jawab Lestari, kasar.
"Keparat! Rupanya kau sudah kepingin
mampus"!"
Dewi Cabul kembali melancarkan serangan
terhadap Lestari. Dia menubruk maju, memburu
Lestari yang telah berhasil memperbaiki kedudukan tubuhnya. Seperti juga sebelumnya, kedua
tangan nenek bongkok itu tertuju ke arah wajah
Lestari. Rupanya dia ingin benar merusak wajah
gadis berpakaian merah yang cantik itu.
"Tahan...!"
Seiring terdengarnya bentakan itu, sesosok
bayangan coklat melesat memapaki serangan Dewi
Cabul sehingga terjadi benturan antara mereka.
Dan seperti juga yang terjadi pada Lestari, sosok
bayangan coklat itu terhuyung-huyung ke belakang ketika berhasil menangkis serangan. Meskipun demikian, dia berhasil mematahkan serangan
terhadap Lestari.
Dewi Cabul mengeluarkan pekik melengking
nyaring melihat kegagalan serangannya untuk
yang kedua kali. Kali ini yang membuyarkannya
tak lain Prapanca. Kemudian dengan sikap gagah,
pemuda berpakaian coklat itu berdiri di hadapan
Dewi Cabul, membelakangi Lestari.
"Kau akan berhadapan denganku apabila
meneruskan maksudmu itu, Dewi Cabul!" tandas
Prapanca dengan sikap gagah.
' Terkutuk! Rupanya kau sudah tidak sabar
untuk bersenang-senang denganku, Bocah Bagus!
Baik, kau dulu yang akan kubereskan, baru wanita liar itu!"
Diawali teriakan nyaring laksana pekik seekor burung garuda, Dewi Cabul meluruk menerjang Prapanca. Namun, pemuda berpakaian coklat
itu memang telah siap semenjak tadi, maka terjangan lawan pun disambutnya dengan hangat.
Pertarungan pun tidak dapat dielakkan lagi.
Lestari tidak langsung ikut campur dalam
pertarungan itu. Dia berdiri, memperhatikan jalannya pertarungan, sambil merasakan sakit yang
mendera tangannya akibat berbenturan dengan
tangan Dewi Cabul. Tangan itu terasa sakit dan
ngilu bukan kepalang seperti berbenturan dengan
sebatang baja yang amat keras. Bahkan sekujur
tangan kanannya bagaikan lumpuh. Lestari tidak
yakin kalau Dewi Cabul memiliki tingkatan di bawah Raksasa Pemangsa Manusia. Setidaktidaknya nenek bongkok ini mempunyai kepandaian setingkat dengan tokoh sesat yang bertaring
itu. Dan dugaan ini membuat Lestari bergidik dalam hati. Sama sekali tidak disangkanya kalau dalam waktu sebentar saja bisa bertemu dengan tokoh-tokoh yang memiliki kepandaian demikian
dahsyat! Namun, Lestari tidak bisa terlalu lama tenggelam dalam alun pikirannya itu. Sesaat kemudian, dia telah sibuk memperhatikan jalannya pertarungan antara Prapanca dengan Dewi Cabul
dengan penuh minat! Lestari diam-diam terkejut
ketika menyadari kalau Prapanca pun bukan
orang sembarangan. Meskipun sebelumnya telah
menduga kalau pemuda berpakaian coklat itu
memiliki kepandaian, tapi Lestari tidak menyangka ternyata setinggi itu. Pemuda itu mampu
menghadapi amukan Dewi Cabul.
Namun, kemampuan Prapanca mempertahankan serangan Dewi Cabul hanya untuk beberapa gebrakan saja. Kemudian pemuda berpakaian
coklat itu terdesak hebat Dewi Cabul, meskipun
telah berusia tua, dan bertubuh bongkok, tidak bisa dipandang remeh. Dewi Cabul memiliki gerakan
cepat, dan tenaga dalam kuat. Beberapa kali ketika berbenturan, baik tangan atau kaki, Prapanca
selalu menyeringai kesakitan dengan tubuh terhuyung-huyung. Prapanca menggertakkan gigi dalam usahanya menambah semangat menghadapi setiap
serangan Dewi Cabul. Kendati demikian, usahanya
hampir tidak membuahkan hasil, Dewi Cabul terlalu tangguh untuk dapat dilawannya. Dia terus
didesak dan dipaksa untuk pontang-panting ke
sana kemari. "Tidak usah melawan lagi, Anak Bagus! Percuma... Lebih baik kau menyerah dan ikut aku.
Aku berjanji akan menurunkan ilmu-ilmu tinggi
padamu kalau kau bersedia ikut denganku," bujuk Dewi Cabul di sela-sela
desakannya. "Nenek-nenek tidak tahu malu...!" maki Prapanca sambil melompat ke belakang
untuk meng- hindarkan sapuan kaki lawannya. "Jangan harap
aku akan menuruti ajakan mu yang tidak bermoral!" "Rupanya kau ingin dipaksa, Bocah Bagus..."!" ujar Dewi Cabul, tanpa
mengundang ke- marahan. Nenek bongkok ini ternyata tidak main-main
dengan ucapannya. Belum juga ucapannya lenyap,
Prapanca merasakan terjangan-terjangan lawan
semakin menghebat. Pemuda berpakaian coklat ini
semakin terdesak hebat dan tampak kewalahan.
Lestari yang sejak tadi memperhatikan jalannya pertarungan, mengetahui kalau Prapanca
berada dalam keadaan gawat. Maka, tanpa banyak
cakap lagi, dicabut kipas bajanya yang terselip di
pinggang, dan langsung terjun ke kancah pertarungan. *** 3 Ikut campurnya Lestari ke dalam kancah
pertarungan benar-benar merubah keadaan. Prapanca tampak mulai terbebas dari desakan hebat.
Tenaga gadis berpakaian merah itu memang dapat
diandalkan. Sekarang, Dewi Cabul tidak bisa
mendesak lawannya secara mudah. Apalagi ketika,
Prapanca pun mengeluarkan senjatanya. Sepasang
sumpit berujung runcing terbuat dari gading gajah, Dewi Cabul terpaksa mengeluarkan senjata
andalannya, sehelai sapu tangan.
Lestari dan Prapanca semula merasa heran
melihat Dewi Cabul menggunakan selembar sapu
tangan lebar berwarna merah muda sebagai senjata. Namun ketika merasakan kehebatan benda itu
di tangan nenek bongkok, pandangan mereka
langsung berubah. Sapu tangan itu ternyata tidak
kalah ampuh dengan senjata-senjata lainnya. Selembar kain saja mungkin dapat digunakan untuk
menghancurkan batu karang yang paling keras
hanya dengan dikebutkan oleh Dewi Cabul. Sapu
tangan itu bisa pula berubah menegang kaku seperti batang tongkat baja, bahkan mungkin pedang yang tajam.
Untungnya, Lestari dan Prapanca mampu
bekerja-sama dengan baik. Sepasang muda-mudi
ini dengan cepat dapat saling menyesuaikan diri
menghadapi lawan mereka. Mereka mampu saling
memperkuat serangan dan pertahanan. Kerjasama
mereka mampu menambah daya tahan serangan
dan pertahanan. Keduanya mampu saling isi dan
melindungi. "Keparat!"
Dewi Cabul memaki-maki penuh kegeraman
karena sampai lima puluh jurus bertarung, belum
juga mampu mendesak pasangan muda-mudi itu.
Kegeramannya semakin menjadi-jadi karena rasa
penasaran yang memuncak. Dia telah menggunakan senjata andalan, tapi belum juga mampu merobohkan dua orang lawan yang masih sangat
muda. Kalau sampai terdengar tokoh-tokoh persilatan, mau ditaruh di mana mukanya"
Sejauh itu, Dewi Cabul yang telah mengeluarkan seluruh kemampuannya tetap tidak bisa berbuat banyak. Namun hal yang sama pun dialami
oleh pasangan muda-mudi yang menjadi lawannya. Sebagai tokoh yang telah kenyang pengalaman Dewi Cabul cepat tanggap dan tahu kalau
menghadapi keadaan seperti ini pertarungan akan
berlangsung cukup alot. Masih panjang waktu baginya untuk dapat mengalahkan Lestari dan Prapanca. Tampaknya nenek bongkok ini tidak mempunyai kesabaran yang cukup untuk menunggu
lebih lama. "Hih...!"
Dewi Cabul meraup segenggam debu dan
melemparkannya ketika Lestari dan Prapanca
memburunya. Nenek bongkok yang licik itu memang pura-pura terdesak dan menjatuhkan diri di
tanah. Mendapat serangan curang dan tidak tersangka-sangka, pasangan muda-mudi itu kelabakan. Namun mereka langsung menahan serangan


Dewa Arak 68 Biang-biang Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seraya memejamkan mata agar serangan abu itu
tidak mengenai mata.
Kesempatan seperti ini yang ditunggutunggu Dewi Cabul. Laksana seekor ikan, tubuhnya melenting ke arah lawan-lawannya yang tengah berada dalam keadaan kurang menguntungkan itu. Nenek bongkok ini mengirimkan serangan
dengan sebuah totokan sapu tangan yang telah
dibuatnya menegang, ke arah ulu hati Lestari.
Meski dengan sepasang mata terpejam, baik
Lestari maupun Prapanca, bisa mengetahui
adanya serangan maut itu. Pendengaran mereka
yang terlatih menangkap bunyi mencicit nyaring.
Maka keduanya bergegas menghindar.
Tukkk! Blukkk! Lestari dan Prapanca sama-sama menjerit
kesakitan ketika serangan licik Dewi Cabul mengenai sasaran, meskipun tidak terlalu cepat. Ujung
sapu tangan tidak mengenai ulu hati Lestari, melainkan paha kanannya. Sedangkan Prapanca terkena tendangan pada bahu kirinya. Tubuh sepasang muda-mudi itu terjengkang dan tergulingguling. Dewi Cabul yang membenci Lestari karena
telah campur tangan dan merepotkannya, segera,
menubruk untuk mengirimkan serangan maut.
Tentu Lestari yang tidak mau merelakan nyawanya begitu saja berusaha keras untuk menyelamatkan diri. Namun, tetap saja ujung kebutan
sapu tangan itu menyerempet pinggangnya hingga
dia terguling. Dewi Cabul segera menyusulinya
dengan serangan maut
"Lestari...!"
Prapanca yang kalah cepat oleh Dewi Cabul
hanya dapat menjerit ngeri melihat hal ini. Dengan
seluruh kemampuan yang ada, pemuda berpakaian coklat ini melesat untuk menyelamatkan
Lestari. Trakkk! Dewi Cabul mengeluh tertahan ketika ujung
sapu tangannya tidak menghantam leher Lestari,
melainkan berbenturan dengan sebatang pedang
yang dibabatkan oleh sesosok bayangan putih. Lagi-lagi serangan nenek bongkok itu gagal total.
Dan kesempatan itu segera dipergunakan oleh
Lestari untuk beringsut menjauh.
"Jahanam! Siapa kau, Monyet Betina Buduk"! Sebutkan namamu sebelum mati di tanganku!" maki Dewi Cabul geram sambil menatap sosok bayangan putih yang telah menggagalkan serangannya. Sosok berpakaian putih itu berdiri tegak di depan dengan pedang melintang di depan
dada. "Kaulah yang akan mati di tanganku, Monyet Betina Tua! Hhh... perempuan
tua bau tanah! Kenalkan, aku Melati!" tandas sosok bayangan putih yang ternyata
seorang gadis cantik dan berambut
panjang tergerai. Kecantikannya bercampur dengan keanggunan ketika dagunya agak mendongak
seiring dengan ditutup ucapannya yang lantang.
Melati, kekasih Dewa Arak ini, langsung menyambung ucapannya dengan tusukan pedang ke
leher Dewi Cabul. Bunyi mengaung keras langsung
terdengar ketika senjata tajam itu meluncur. Ternyata Melati langsung menggunakan ilmu pedangnya yang ganas, Ilmu 'Pedang Seribu Naga'.
Wajah Dewi Cabul berubah karena kaget melihat serangan Melati yang ganas itu. Walaupun
demikian, tidak berarti dia menjadi gugup atau
bingung. Tangan kanannya bergerak dengan cepat. Rrrttt! Dengan gerakan cepat, Dewi Cabul berhasil
melibat batang pedang Melati dengan sapu tangannya. Melati kaget. Namun, sebelum gadis berpakaian putih ini bertindak, Dewi Cabul telah lebih dulu menggoyangkan kepala.
Wrrr! Tiba-tiba rambut Dewi Cabul kusut masai
terayun deras ke arah kepala Melati. Dengan kelihaiannya, nenek bongkok ini telah membuat rambutnya menjadi kaku laksana segumpal balok.
Namun dengan menundukkan tubuh, Melati
berhasil mengelakkan serangan itu. Bahkan sambil melakukan tindakan demikian, dikerahkan tenaga dalam untuk menarik pedangnya dari lilitan
satu tangan lawan. Hasilnya, sia-sia! Batang pedang itu seperti telah berakar dan menyatu dengan sapu tangan Dewi Cabul. Tidak mampu terlepas. Dan celakanya lagi, tenaga dalam Melati tak
mampu menandingi sehingga ketika nenek bongkok itu balas menarik tubuh Melati tertarik ke depan. Dan terseretnya tubuh Melati itu langsung
dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Dewi Cabul.
Nenek bongkok ini menyambuti datangnya tubuh
Melati dengan sebuah pukulan telapak tangan terbuka ke arah dada.
Melati yang tidak mempunyai pilihan lain,
langsung memapaknya dengan sikap tangan serupa. Plakkk! Dua buah tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi berbenturan. Melati
langsung terpekik kaget ketika mengetahui tangannya tidak mampu ditarik pulang kembali. Tangan itu seperti telah melekat dengan tangan lawannya. Jantungnya dirasakan berdetak cepat secara mendadak ketika mengetahui tenaga dalamnya mengalir deras ke arah Dewi Cabul melalui
tangan yang saling melekat. Betapa pun Melati berusaha keras untuk mencegah, tetap sia-sia! Tenaga dalamnya terus menjalar ke tubuh Dewi Cabul tanpa dapat dicegah lagi.
Melati benar-benar kehabisan daya. Wanita
perkasa yang berjuluk Dewi Penyebar Maut akibat
keganasan tindakannya terhadap orang-orang
yang berada di pihak berlawanan dengannya. (Untuk jelasnya silakan baca serial Dewa Arak dalam
episode: "Dewi Penyebar Maut'"). Menyadari kalau nyawanya berada di ambang
kematian. Sing, sing! Di saat kritis bagi keselamatan Melati, dua
buah batu kecil sebesar ibu jari kaki meluncur ke
arah dahi dan leher Dewi Cabul. Si Nenek Bongkok tidak berani menganggap remeh serangan ini,
karena di samping mengancam jalan darah kematian, juga dilepas dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Ternyata Prapanca orang yang mengirimkan serangan itu.
Harapan Prapanca untuk menyelamatkan
nyawa Melati dari ancaman maut, tidak percuma.
Dewi Cabul yang melihat adanya bahaya besar itu,
buru-buru melepaskan kemampuannya menyedot
tenaga Melati, dan langsung melompat ke belakang. Kesempatan itu dipergunakan sebaikbaiknya oleh Prapanca untuk melancarkan serangan susulan dengan mempergunakan sepasang
sumpitnya. "Larilah, Nisanak! Tinggalkan tempat ini, biar aku yang menahannya dulu...!" teriak Prapanca pada Melati di sela-sela
sambaran sumpitnya yang
menusuk ke arah jalan-jalan darah kematian di
tubuh lawannya.
Melati tentu saja mendengar seruan itu. Dan
kalau saja dia mau menuruti, meski masih agak
lemas karena sebagian tenaganya terkuras, mudah
saja baginya untuk melarikan diri dari tempat itu.
Namun Melati bukan wanita yang gampang menyerah, dan Prapanca keliru kalau mengira gadis
itu akan cepat melarikan diri. Gadis berpakaian
putih ini malah berdiam diri di tempatnya, berusaha untuk memulihkan tenaga dalamnya yang
tersedot Tindakan Melati membuat Prapanca menjadi
cemas, karena merasa dirinya bukan tandingan
Dewi Cabul. Dan Prapanca memang tidak bermaksud untuk terus bertarung dengan nenek bongkok
itu. Penyerangannya atas Dewi Cabul semata-mata
untuk menyelamatkan Melati yang telah menyelamatkan Lestari. Paling tidak dapat memberi kesempatan pada gadis berpakaian putih agar melarikan diri, baru kemudian dia ikut kabur apabila
mendapat kesempatan. Sedangkan Lestari sudah
lebih dulu meninggalkan mereka. Dan itu pun atas
anjuran Prapanca.
Sebenarnya, kalau saja tidak ada perkembangan lain, Prapanca lebih suka untuk meneruskan pertarungan. Dengan adanya tenaga bantuan dari Melati, mereka bertiga akan mampu
mengalahkan Dewi Cabul. Namun di saat Melati
tengah bersitegang melawan pengaruh ilmu aneh
Dewi Cabul, mendadak terdengar getaran-getaran
di bumi. Prapanca tahu apa artinya ini. Apalagi
ketika menyadari kalau getaran itu semakin mengeras. Raksasa Pemangsa Manusia tengah berlari
mendekati tempat pertarungan mereka. Dan hal
itu berarti bahaya besar. Dewi Cabul saja sudah
merupakan lawan yang amat tangguh, apalagi ditambah dengan Raksasa Pemangsa Manusia yang
memiliki kemampuan mengiriskan, di samping
bentuk tubuhnya yang besar. Kedua tokoh itu
mungkin memiliki kemampuan dan kedigdayaan
yang setingkat karena merupakan tokoh-tokoh
nomor satu dunia persilatan untuk golongan hitam. Raksasa Pemangsa Manusia dan Dewi Cabul
merupakan dua di antara datuk-datuk kaum sesat
yang terkenal dengan julukan Biang-Biang Iblis!
*** Oleh karena itu dapat dibayangkan betapa
gelisahnya hati Prapanca ketika melihat Melati tidak mempedulikan seruannya. Gadis berpakaian
putih itu malah berdiam diri di tempatnya. Betapa
pun, Prapanca di tengah-tengah kesibukannya
menghadapi amukan Dewi Cabul, menyempatkan
diri memerintahkan Melati melarikan diri. Gadis
berpakaian putih itu sama sekali tidak mempergunakan kesempatan itu untuk kabur.
Tidak sampai sepuluh jurus Prapanca menahan Dewi Cabul, sudah beberapa kali nyawanya
hampir melayang. Pemuda berpakaian coklat ini
berhasil selamat hanya di saat-saat terakhir. Itu
pun dengan terpontang-panting. Prapanca tidak
yakin kalau dirinya mampu bertahan sepuluh jurus lagi menghadapi nenek bongkok ini.
Hal ini membuat Prapanca semakin gelisah.
Kalau saja Melati sudah menuruti anjurannya untuk kabur, dengan keadaan seperti ini dia dapat
memutar otak untuk menyelamatkan diri. Apalagi
ketika dipikir Lestari pasti akan gelisah menunggu
kedatangannya karena sewaktu disuruh melarikan
diri, gadis berpakaian merah ini mau setelah tahu
kalau Prapanca akan melarikan diri pula. Sama
sekali Prapanca tak menyangka akan terjadi hal
seperti itu. Akhirnya, setelah tiga jurus berlalu dan Melati tidak menampakkan tanda-tanda akan melarikan diri, Prapanca jadi kehilangan kesabaran karena rasa cemasnya yang hebat. Bunyi getaran
pada tanah telah semakin keras, pertanda kalau
Raksasa Pemangsa Manusia sudah tidak jauh lagi
dari tempat mereka. Itulah sebabnya, Prapanca
mengambil keputusan singkat. Prapanca yakin
bahwa Melati akan mengikutinya jika dia kabur
dari tempat itu. Sebab untuk melakukan perlawanan seorang diri tidak ada gunanya, hanya mencari mati. Namun, sebelum Prapanca melaksanakan
niatnya, gadis berpakaian putih itu melesat masuk
ke dalam kancah pertarungan.
"Tidak ada gunanya, Kisanak! Lebih baik kita
tinggalkan tempat ini!" seru Prapanca, keras.
"Aku akan pergi setelah mengirim Nenek Bau
ini ke akherat!" sahut Melati sambil mengirimkan serangkaian serangan dengan
pedangnya. Prapanca menggertakkan gigi. Dia tahu tidak
ada gunanya berdebat dengan Melati yang dianggapnya berwatak keras. Hanya dua pilihan baginya, mengikuti tekad Melati, membinasakan Dewi Cabul atau meninggalkan Melati sendirian. Suatu pilihan yang membingungkan, karena membayangkan betapa gelisahnya Lestari kalau dia tidak kunjung datang
Akhirnya, Prapanca memilih yang pertama.
Dengan keputusan itu, Prapanca mengerahkan seluruh kemampuannya untuk dapat segera merobohkan Dewi Cabul sebelum Raksasa Pemangsa
Manusia tiba di sini.
Namun, niat itu hanya mudah dalam bayangan, sulit dilaksanakannya. Betapa pun Prapanca
yang dibantu oleh Melati, berusaha sekuat tenaga
untuk merobohkan Dewi Cabul, tetap saja nenek
bongkok itu sukar dirobohkan. Kerjasama antara
Melati dan Prapanca tidak lebih baik daripada


Dewa Arak 68 Biang-biang Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan Lestari, karena dengan tenaga dalam yang
sebagian telah terkuras, kemampuan Melati telah
merosot jauh. Kenyataan ini membuat Prapanca
semakin gelisah. Namun sebaliknya Melati justru
terlihat tenang-tenang saja. Rupanya keinginan
untuk melenyapkan Dewi Cabul membuat Melati
tidak memikirkan hal-hal lain. Getaran-getaran
bumi yang semakin mengeras, dan diketahui tidak
sewajarnya, tidak menarik perhatiannya sama sekali. Dia hanya tertarik sebentar kemudian melupakannya ketika teringat kembali akan Dewi Cabul. "Ha ha ha...! Rupanya kau telah berada di sini, Dewi Cabul"!" Terdengar
sebuah suara serak dan parau disusul dengan munculnya Raksasa
Pemangsa Manusia. "Dan kau telah berpesta rupanya. Jangan serakah, Dewi Cabul! Aku tahu kau
tidak doyan makanan yang satu, biar aku yang
menyantapnya."
Tanpa menunggu tanggapan Dewi Cabul,
Raksasa Pemangsa Manusia telah melangkah lebar memasuki kancah pertarungan. Tangannya
yang besar dan penuh bulu meluncur ke arah kedua pinggang Melati seperti hendak memeluk.
Melati menjerit kaget dan langsung melompat mundur, sehingga terhindar dari renggutan
tangan Raksasa Pemangsa Manusia. Dan pada
saat yang bersamaan dengan tangan kirinya, gadis
berpakaian putih ini mengirimkan serangan jarak
jauhnya, lewat jurus 'Naga Merah Membuang Mustika'. Bresss! Serangan tidak terduga-duga yang datangnya demikian cepat itu, tidak dapat dielakkan oleh
Raksasa Pemangsa Manusia. Seketika tubuh tinggi
besar ini tergetar dan terhuyung selangkah ke belakang. Mendapatkan serangan balasan yang tak
terduga-duga itu membuat Raksasa Pemangsa
Manusia murka. Memang pukulan jarak jauh Melati tidak mampu melukai tubuhnya yang terlindung kulit kuat laksana kulit badak. Namun tubuhnya yang terhuyung-huyung dan sedikit rasa
panas pada dadanya yang terhantam serangan jarak jauh itu, menyulut amarahnya. Kemarahan
itulah yang membuatnya menerjang Melati dengan
pukulan kedua tangan dikepalkan keras.
Melati yang dibuat terpukau ketika melihat
Raksasa Pemangsa Manusia tidak terluka sama
sekali akibat serangan jarak jauhnya, sempat sadar melihat serangan bertubi-tubi ke arahnya. Gadis cantik ini langsung mengelak dan balas menyerang dengan mempergunakan pedangnya. Ilmu
'Pedang Seribu Naga' yang menjadi andalannya,
langsung dikeluarkan.
Untuk yang kedua kalinya, Melati harus menelan kenyataan pahit. Lawan yang dihadapinya
ini memiliki kemampuan jauh di atasnya. Itu pun
masih ditambah dengan kekebalannya yang luar
biasa. Beberapa kali, berkat kecepatan gerakan
serta kedahsyatan ilmu pedangnya, dan terutama
karena lawan tidak mempedulikan serangan, Melati berhasil menyarangkan serangan baik berupa
tusukan, bacokan, maupun tendangan. Namun
semuanya tidak berarti sama sekali. Kulit tubuh
Raksasa Pemangsa Manusia tidak terluka sama
sekali. Bahkan sebaliknya tangan Melati yang tergetar dan sakit-sakit setiap kali pedangnya berhasil mendarat pada sasaran.
Kekuatan tubuh lawannya ini mengingatkan
Sepasang Naga Penakluk Iblis 7 Dewa Linglung 21 Tangan Darah Han Bu Kong 5

Cari Blog Ini