Ceritasilat Novel Online

Lembaran Kulit Naga Pertala 3

Pendekar Mata Keranjang 26 Lembaran Kulit Naga Pertala Bagian 3


tegak di situ. "Kau setuju jika aku menolong anak itu mendapatkan lembaran kulit
gila itu"!"
"Kalau anak itu telah mendapatkan petunjuk dari Setan Pesolek, maka sudah dapat
dipastikan dialah yang berhak mewarisi Lembaran Kulit
Naga Pertala itu. Setan Pesolek tak mungkin memilih orang yang salah!" sambut
Putri Hitam. Putri
Hitam lantas melangkah ke mulut terowongan dan
duduk di sebelah kanan lobang terowongan.
Mata Malaikat kembali arahkan pandangannya pada hamparan tanah gersang. Dan
sekali berkelebat sosoknya telah tegak di atas tonjolan
batu berangka lima belas. Dan sekali berkelebat
lagi, tubuhnya telah berada di samping Pendekar
Mata Keranjang!
"Aku mendapat kesulitan, Kek...," kata Aji.
"Kesulitan macam apa"!"
"Aku tak dapat memecahkan petunjuk itu!
Yang pertama sudah benar, namun untuk yang selanjutnya, aku belum mengerti. Aku
jadi bimbang. Jangan-jangan lembaran kulit itu tidak ditentukan
untukku!" "Putus asa sebelum mencoba adalah sebuah
ketololan besar, Anak Muda!"
"Aku sudah mencobanya. Lihat! Tanganku
sampai lecet. Tapi pintu itu tak kutemukan!"
"Pintu"!" ulang Mata Malaikat.
"Ya, petunjuk itu mengatakan ada pintu
yang harus dibuka." Lalu Aji mengatakan petunjuk
yang pernah diberikan Peri Kupu-kupu dan Setan
Pesolek. Mata Malaikat berulangkali menggumamkan petunjuk itu. Kepalanya
tengadah dengan mata dibeliakkan lebar-lebar.
"Hem.... Kalau disebutkan paling tengah,
berarti pada hitungan yang ganjil!" desis Mata Malaikat. Tiba-tiba dia
mengedarkan pandangannya
pada beberapa lobang terowongan di depannya.
"Anak muda! Coba kau hitung, berapa lobang terowongan itu!"
"Sembilan!" Kata Aji setelah menghitung
banyaknya lobang terowongan.
"Hem.... Mudah-mudahan benar dugaan
otak tua bangka ini." lalu berpaling pada Aji. "Coba
Kau sekarang pilih yang tengah, lalu melangkah tiga tindak. Setelah itu turuti
petunjuk selanjutnya."
Aji menuruti perkataan Mata Malaikat. Pemuda ini memilih lobang terowongan
paling tengah lalu melangkah tiga tindak, setelah itu dia melesat
ke atas. Tangan kanannya dipukulkan ke lamping
batu rata di atas terowongan.
Bukkk! Tangan Aji mental balik. Bersamaan itu tubuhnya mencelat dan melayang deras ke
bawah. Aji meringis kesakitan dengan memegangi tangannya.
"Kau lihat sendiri bukan?"
"Mungkin tenagamu kurang terpusat! Coba
hantam sekali lagi dengan tenaga penuh!"
Aji kerahkan seluruh tenaga dalamnya pada
tangan kanan. Lalu melangkah lagi tiga tindak pada terowongan paling tengah.
Setelah tubuhnya
melesat ke atas, tangan kanannya dihantamkan
pada lamping batu.
Bukkk! Untuk kedua kalinya tangan kanan murid
Wong Agung mental dan tubuhnya terputar lalu jatuh dengan punggung terlebih
dahulu. "Kek...," ujar Aji. "Aku tak mampu menjebol
dinding batu itu. Mungkin ini syarat kalau lembaran kulit bukan ditentukan
untukku. Mungkin juga petunjuk itu yang salah!"
"Semuanya tidak ada yang salah. Kulihat
memang ada kekuatan yang membendung. Hem....
Api jangan dilawan dengan api!"
"Apa maksudmu, Kek..."!"
"Kau coba tanpa pengerahan tenaga dalam!"
Murid Wong Agung tertawa. "Kau ini aneh.
Dengan tenaga dalam saja tak bisa dibuka, apa
mungkin bisa terbuka tanpa tenaga"!"
"Anak muda. Api harus dilawan dengan air!
Kau paham ucapanku"!"
Meski masih tak dapat menerima ucapan
Mata Malaikat, Aji segera bangkit. Setelah ambil
posisi dia melesat kembali ke atas. Tangan kanannya perlahan didorongkan ke
dinding batu. Tiba-tiba terdengar suara gesekan dan perlahan-lahan dinding batu itu membuka
sebesar daun pintu! Aji membelalak hampir tak percaya, sementara Mata Malaikat pejamkan mata kemudian pentangkannya lebar-lebar.
"Kek.... Ucapanmu benar!" seru Aji begitu
melayang turun. Mata Malaikat tak menyahut. Dia
hanya pandangi dinding yang terbuka di atas sana.
"Hey! Kau tunggu apa lagi"!" tegur Mata Malaikat karena dilihatnya Aji tetap
berdiri di situ.
Seolah baru tersadar, Aji buru-buru mengangguk
lalu melesat kembali ke atas. Sebentar kemudian
tubuhnya lenyap masuk ke dalam pintu di dinding.
Begitu Aji tak kelihatan lagi, Mata Malaikat
gerakkan kakinya. Tubuhnya melenting ke atas lalu kejap kemudian masuk menyusul
Aji. Bersamaan dengan masuknya tubuh Mata Malaikat,
pintu di dinding menutup tanpa keluarkan suara!
Di balik dinding, kedua orang ini menemukan
tangga menurun dari batu. Perlahan-lahan keduanya menuruni anak tangga. Anak
tangga ini menghubungkan dengan sebuah terowongan agak
besar yang di tengahnya tampak sebuah cermin
besar yang diikat dan digantungkan di bawah sebuah lobang.
Sampai anak tangga paling bawah, Aji hentikan langkah. Berpaling sejenak pada
Mata Malaikat di belakangnya.
"Mudah-mudahan orang tua ini menolong
dengan tujuan baik!" batin Aji dalam hati. Selintas
hatinya dihantui rasa takut jika Mata Malaikat juga menginginkan lembaran kulit
itu. "Hey! Kenapa kau memandangku demikian
rupa" Ada yang salah denganku" Atau..." Ah,
mungkin kau curiga padaku!" ujar Mata Malaikat
lalu mendongak dan buka mulutnya.
"Sialan! Dia merasa jika kucurigai!" maki Aji
dalam hati. Lalu berkata pada Mata Malaikat.
"Kek. Lembaran kulit itu adalah benda yang katanya bertahun-tahun jadi rebutan
para tokoh rimba persilatan. Sampai saat ini tidak ada yang
tahu siapa kelak yang akan mewarisinya! Mungkin
aku, tapi bisa jadi juga kau!"
Mata Malaikat tertawa mengekeh. "Aku tak
menyalahkan kau jika mencurigai diriku. Tapi
dengar baik-baik, Anak Muda. Aku telah mendapatkan barang yang lebih berharga
dari pada benda yang kau buru! Hem.... Kalau kau tak berkenan, aku akan kembali
ke bawah..."
Mata Malaikat balikkan tubuh lalu melangkah kembali menaiki anak tangga dengan
tawa tetap mengekeh.
"Kek! Tunggu! Aku tak keberatan, justru
aku mungkin mengharap pertolonganmu!"
"Dasar anak sableng! Minta ditemani kalau
minta pertolongan!" gerutu Mata Malaikat lalu balikkan tubuh kembali dan turun
ke arah Aji. "Petunjuk itu tinggal satu, Kek.... Tapi kurasa tak memerlukan pemecahan!"
"Lalu kenapa masih diam"!"
Sambil memaki dalam hati, Pendekar Mata
Keranjang memandang berkeliling. Ketika matanya
melihat dinding batu ada yang ambrol di sebelah
samping kanan, Aji merasa khawatir, lalu mengutarakan kecemasannya pada Mata
Malaikat. lui...." "Jangan-jangan ada orang yang mendahu"Dalam situasi seperti sekarang ini, hal sepele mendatangkan kekhawatiran. Tapi
jika kau terpancing hal-hal semacam itu, kau tak akan segera sampai tujuan dan mendapat
jawaban pasti!"
"Tapi, Kek. Lihat!" kata Aji sambil arahkan
telunjuknya ke arah dinding yang ambrol dan berlobang. "Ini pasti akibat
hantaman tangan bertenaga dalam tinggi!"
"Tapi itu belum jadi jawaban pasti bukan"!
Teruskan langkah seperti yang ada pada petunjuk!"
Aji kembali arahkan pandangannya ke depan. Suasana di sekitar tempat itu agak
terang karena adanya cahaya rembulan yang dipantulkan
oleh cermin besar yang ada di tengah-tengah terowongan.
"Melangkah dua puluh satu...," gumam Aji
mengulangi petunjuk. Lalu dengan dada mulai
berdebar, murid Wong Agung ini melangkah ke depan. Begitu hitungan langkahnya
mencapai dua puluh satu, dia berhenti. Sementara Mata Malaikat
tetap tegak di tangga batu.
Murid Wong Agung putar tubuhnya setengah lingkaran, lalu tangannya mendorong
dinding batu. Dengan pengalaman yang telah dialami, kali
ini Aji mendorong juga tanpa kerahkan tenaga dalam. Dan begitu tangannya
mendorong, dinding itu
kembali keluarkan suara gesekan, lalu perlahanlahan dinding itu membuka
membentuk sebuah
lobang pintu! Tanpa pikir panjang lagi, Aji melangkah masuk. Melihat hal itu, Mata Malaikat tampak
manggut-manggut. Lalu melangkah ke arah mana
Aji masuk. Melihat lobang masih terbuka, kakek
ini segera juga menyusul Aji.
Blammm! Baru saja tubuh Mata Malaikat masuk,
dinding yang membuka menutup kembali dengan
keluarkan suara berdebam keras, membuat Aji
dan Mata Malaikat sama berpaling.
"Hem.... Tempat ini berbeda dengan di bawah tadi. Di sana tadi seperti ada
kekuatan yang dapat meredam suara!" kata Aji dalam hati, lalu
sapukan pandangannya ke tempat itu. Kedua
orang itu kini berada di sebuah ruangan agak besar. Ruangan itu kosong, hanya
ada sebuah batu
datar di sebelah dinding yang menghadap ke lobang pintu di mana tadi Aji dan
Mata Malaikat masuk. Anehnya meski tak ada penerangan, ruangan itu tampak agak terang. Hingga
Pendekar 108 dengan jelas dapat melihat ke seluruh ruangan.
"Hanya dinding dan lantai. Di mana lembaran kulit itu berada"!" gumam Aji.
"Tak ada gunanya bicara, Anak Muda! Gerakkan kaki dan menyelidiki! Petunjuk itu
sudah tak ada lagi bukan"!"
"Betul! Petunjuk itu hanya sampai di sini!"
"Berarti apa yang kau cari pasti berada di
sini! Lakukan sesuatu!"
Aji mulai melangkah mengitari ruangan
berdinding batu itu. Sementara Mata Malaikat duduk menggelosoh di lantai ruangan
dengan kaki diselonjorkan, dan mata mulai dipejamkan.
Untuk beberapa saat lamanya Aji mengitari
ruangan dengan mata nyalang kian kemari. Malah
pada putaran yang ketiga, tangan kanan murid
Wong Agung ini mulai mendorong-dorong dinding
ruangan. Namun, hingga tangannya ngilu tak
seinci pun ada dinding ruangan yang terbuka. Dia
lantas melangkah ke arah batu datar. Tapi, dia tak
menemukan apa-apa!
Dengan wajah kecewa, Aji melangkah ke
arah Mata Malaikat.
"Kek.... Dugaanku tepat. Seseorang telah
mendahului kita!"
Mata Malaikat tak menyahut, membuat Aji
berpaling. Murid Wong Agung ini memaki panjang
pendek dalam hati. Ternyata Mata Malaikat tertidur.
Merasa kesal, Aji lalu guncang tubuh Mata
Malaikat. "Kek! Kita tinggalkan tempat ini!"
Kelopak mata si Mata Malaikat membuka
lalu mengerjap beberapa kali.
"Kau telah menemukan lembaran kulit
itu"!"
"Seseorang telah mendahului menemukannya!"
"Eh, bagaimana kau bisa berkata begitu"!"
"Sudah lima kali kukelilingi ruangan ini.
Lembaran kulit itu tak ada! Pasti ada orang yang
mendahului, lalu keluar dengan cara menjebol
dinding yang ambrol itu! Kita tinggalkan saja tempat ini!"
Mata Malaikat menghela napas panjang.
"Kau telah memeriksa batu datar itu"!"
Aji anggukkan kepala. Namun tampak dipaksakan.
"Hem.... Hanya ada satu jalan. Coba kau
bongkar batu datar itu. Siapa tahu...."
Aji bergegas melangkah dengan wajah agak
cerah. Lalu berhenti di samping batu datar. Sejenak matanya meneliti. Yakin tak
ada celah, akhirnya Pendekar Mata Keranjang angkat kedua tangannya dan sertamerta dihantamkan ke arah batu
datar. Brakkk! Batu datar langsung pecah berantakan dan
pecahannya berhamburan. Belum surut pecahan
batu, Aji cepat menyeruak dengan mata memandang ke batu yang kini porak-poranda.
Tapi wajahnya kembali tampak kecewa tatkala dia tak
menemukan apa-apa di balik pecahan batu datar
itu. Sementara melihat perubahan pada wajah Aji,
Mata Malaikat telah dapat menebak.
"Tak ada harapan lagi!" sungut Aji lalu bergerak melangkah ke arah Mata
Malaikat. Kali ini
murid Wong Agung melangkah melewati bagian
tengah ruangan.


Pendekar Mata Keranjang 26 Lembaran Kulit Naga Pertala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mungkin karena kesal, langkahnya tampak
terburu-buru dengan mulut menggumam tak jelas.
Bukkk! Tiba-tiba tubuh Aji mental dan jatuh terjengkang! Murid Wong Agung mendelik
besar, sementara Mata Malaikat beliakkan mata lebarlebar!
SEPULUH MELIHAT apa yang terjadi, seraya menahan
rasa heran, Mata Malaikat cepat melangkah ke
arah Pendekar Mata Keranjang yang terduduk di
lantai ruangan. Kakek ini tanpa disadari juga melangkah melewati tengah ruangan.
Bukkk! Mata Malaikat beliakkan matanya lebarlebar. Tubuhnya terhuyung-huyung ke
belakang lalu roboh terduduk!
Sepasang mata Aji dan Mata Malaikat memandang terperangah ke arah tengah
ruangan, lalu saling pandang satu sama lain.
"Heran. Tak terlihat apa-apa. Tapi, rasanya
aku menghantam beton! Ada yang tak beres!" gumam Mata Malaikat lalu bangkit.
"Tak mungkin.... Tapi Mata Malaikat mengalami hal yang sama!" desis Aji lalu
bangkit. Serentak kedua orang ini melangkah ke
tengah ruangan di mana mereka tadi laksana
menghantam beton hingga tubuhnya terpental.
Seolah dikomando masing-masing tangan segera
menjulur ke udara, meraba-raba. Namun kedua
orang ini jadi terkesiap. Tangan mereka tak merasakan apa-apa! Hanya udara hampa
yang tertangkap tangan mereka.
"Apa sebenarnya semua ini"!" bisik Aji mendekat ke arah Mata Malaikat.
Si kakek gelengkan kepala...
"Mungkin kita dipermainkan orang...," ujar
Aji. Entah karena kesal ia tanpa sadar memukulkan tangannya ke depan, ke arah
tempat kosong di
mana tadi tubuhnya mental.
Bukkk! Aji berseru tertahan. Tangannya membalik
dan tubuhnya terhuyung! Sepasang mata murid
Wong Agung makin membelalak. Dahinya mengernyit. Sementara Mata Malaikat mundur
dua langkah. Matanya dipejamkan dengan mulut komatkamit.
Namun tak lama kemudian, orang tua ini
buka matanya dengan kepala menggeleng. "Ada
kekuatan penghalang yang tak dapat ditembus...,"
gumam Mata Malaikat.
Ucapan Mata Malaikat membuat Aji terlonjak. "Hai.... Aku ingat sekarang. Katakatamu persis dengan ucapan Setan Pesolek!"
"Apa yang dia ucapkan"!"
"Dia melihat tabir yang tak dapat ditembus
dengan mata biasa!"
"Hem.... Begitu" Apakah dia tak mengatakan sesuatu yang dapat membukanya"
Setidaknya petunjuk tentang itu"!"
Aji tak segera menjawab. Dia meraba pinggangnya di mana tersimpan kipas ungu
108. Kipas itu dikeluarkan dari balik pakaiannya. Ada semburat warna ungu terpancar begitu
kipas keluar dari
balik pakaian Aji.
"Setan Pesolek bilang, mungkin kipas ini bisa membuka tabir itu!"
"Petunjuk itu makin menjelaskan bahwa
kaulah sebenarnya yang ditentukan mewarisi kitab
itu, Pendekar Mata Keranjang! Bersiaplah!"
Pendekar Mata Keranjang melangkah mendekat. Kipas ungu 108 diangkat tinggi.
Tangan murid Wong Agung terlihat bergetar, dan peluh
membasahi tubuhnya. Sejenak dia memandang
pada Mata Malaikat. Wajahnya tampak ragu-ragu.
Entah karena hatinya bimbang atau kurang
yakin, hingga saat kipas bergerak mengayun, Aji
hanya kerahkan sedikit tenaga.
Bukkk! Tangan Aji terpental dan bergetar hingga kipas di tangannya jatuh. Tubuhnya pun
sempoyongan. "Aku melihat kebimbangan di wajahmu. Apa
yang kau pikirkan, Anak Muda" Ingat. Buanglah
perasaan ragu-ragu. Waktu kita tidak banyak! Lebih dari itu lembaran itu harus
segera diselamatkan! Aku hampir yakin, lembaran kulit itu berada di sini!"
Murid Wong Agung pungut kipasnya. Lalu
melangkah kembali ke depan. Tenaga dalamnya
dikerahkan penuh. Hingga tangan dan kipasnya
makin keluarkan cahaya berkilauan.
Beeettt! Sinar keputihan membentuk lengkungan,
membersit dengan keluarkan suara bergemuruh
dahsyat. Buuummm! Ledakan dahsyat mengguncang ruangan
itu. Tak ada pecahan yang terlihat dari tempat terdengarnya ledakan. Sebaliknya
bersamaan dengan
terdengarnya ledakan, asap tipis mengepul dari
tengah ruangan di mana tadi kipas Aji melabrak.
Aji buka matanya lebar-lebar dengan tengkuk mulai merinding. Sementara Mata
Malaikat pentangkan matanya dengan mulut menganga.
Saat perlahan-lahan asap putih lenyap, di
hadapan kedua orang ini kini tampaklah seorang
kakek mengenakan pakaian yang bagian atasnya
terbuka sedikit awut-awutan. Rambutnya panjang
putih menutupi sebagian punggung dan wajahnya.
Kumis, jenggot, dan jambangnya juga panjang
hingga membuat wajah kakek ini terlihat samarsamar. Sepasang matanya sayu dan
menjorok masuk ke dalam cekungan yang sangat dalam.
Wajah kakek ini tampak seperti orang dilanda beban berat.
"Akhirnya hari penantianku berakhir juga...," gumam si kakek. "Aku mengucapkan
terima kasih pada kalian...."
"Orang tua! Siapakah kau"!" tanya Aji tanpa
pedulikan ucapan terima kasih kakek berpakaian
putih itu. Si kakek angkat kepalanya lalu memandang
silih berganti pada murid Wong Agung dan Mata
Malaikat. Setelah mengangguk sebentar, dia duduk bersila lalu berucap.
"Sekali lagi kuucapkan terima kasih.... Aku
adalah Eyang Pandanaran."
Demi mendengar orang sebutkan diri, mendadak Mata Malaikat menjura hormat lalu
duduk. Aji jadi bingung. Buru-buru dia mengikuti sikap
Mata Malaikat lalu duduk di sampingnya.
"Kalian siapa?" Eyang Pandanaran balik
bertanya. "Aku Mata Malaikat, sedangkan anak
muda ini bernama Aji. Dalam rimba persilatan dia
bergelar Pendekar Mata Keranjang. Tak kusangka
jika hari ini aku dapat jumpa dengan seorang tokoh yang namanya sudah kukenal
sejak aku masih kecil...."
"Simpan dulu semua itu, sobatku Mata Malaikat. Pertolongan yang kalian berikan
padaku, lebih dari segalanya. Lebih dari itu dengan munculnya kalian maka tugas berat
yang ku emban selama ini akan selesai."
"Tugas berat" Tugas apa"!" tanya Mata Malaikat.
"Ketahuilah. Entah sudah berapa tahun aku
berada dalam kungkungan gaib. Aku tak tahu.
Namun satu hal yang pasti, seseorang yang dapat
membuka tabir penutup tak tembus pandangan
mata yang menutup diriku, dialah yang ditentukan
untuk mewarisi Lembaran Kulit Naga Pertala yang
selama ini kusimpan, kurawat, dan kujaga."
Aji dan Mata Malaikat terkejut lalu saling
pandang. Dada Aji berdebar keras tapi dia belum
keluarkan suara.
"Anak muda.... Aku tahu, kipasmulah yang
berhasil membuka tabir itu. Dengan demikian,
kaulah manusia yang ditentukan untuk mewarisi
lembaran kulit itu. Aku tak tahu apa isi lembaran
kulit itu, karena selama ini aku hanya mendapat
tugas untuk menyimpan, merawat, serta menjaga
dan menyerahkan pada orang yang ditentukan.
Hanya harapanku, kau harus segera mempelajarinya lalu mengamalkan isinya.
Tugasmu selanjutnya lebih berat, karena kau harus mengikis semua
jenis kejahatan yang seiring waktu pasti akan terus muncul tak habis-habisnya.
Ingat, Anak Muda.
Sekali kau bertindak ceroboh dengan lembaran
kulit itu, bencana besar akan menimpa dirimu. Hal
ini sudah kau lihat sendiri pada diriku! Aku harus
terkurung di ruangan ini selama puluhan tahun!
Kau mengerti, Pendekar Mata Keranjang"!"
"Mengerti, Eyang...."
Eyang Pandanaran batuk-batuk beberapa
kali. Kepalanya lantas berpaling ke sebelah kanan
menghadap dinding. Tiba-tiba dia mengangkat kedua tangannya. Perlahan saja kedua
tangannya didorong ke depan.
Seeettt! Seeettt!
Dari telapak tangan Eyang Pandanaran
membersit cahaya putih lurus menghantam dinding. Dinding di sebelah kanan
keluarkan suara
gemeretak. Di lain kejap dinding itu pecah berantakan. Lalu tampaklah sebuah
lubang tidak begitu
besar. "Lembaran kulit itu berada di sana, Anak
Muda! Ambillah...." Eyang Pandanaran berkata
sambil mengangguk dan tersenyum.
Pendekar Mata Keranjang bukannya segera
bergerak bangkit. Malah dia tampak ragu-ragu dan
memandang silih berganti pada Eyang Pandanaran
lalu pada Mata Malaikat. Murid Wong Agung ini
seakan masih tak percaya dengan apa yang baru
didengar. "Anak muda! Kau sudah dengar perintah.
Apa kau menginginkan aku yang akan mengambilnya"!" Mata Malaikat bergumam pelan lalu pentangkan sepasang matanya.
Mendengar teguran Mata Malaikat, Aji cepat
bangkit lalu melangkah ke arah dinding yang kini
berlobang. Begitu dekat, sepasang matanya terpentang besar. Dari tempatnya
berdiri, murid Wong
Agung ini melihat sebuah lembaran berwarna coklat kusam. Lembaran kulit itu
diletakkan tegak
pada sebuah batu bening mengkilap.
Saat berhadapan benar-benar dengan lembaran kulit yang dicari, tubuh murid Wong
Agung malah terlihat bergetar dan kedua tangannya gemetar hingga untuk berapa lama dia
hanya tegak diam, membuat Mata Malaikat bergumam tak jelas
sebelum akhirnya berkata.
"Anak muda! Waktu kita terbatas!" Bersamaan dengan terdengarnya ucapan Mata
Malaikat, kedua tangan Pendekar Mata Keranjang terulur
dengan gemetar. Ada hawa dingin menusuk yang
menjalari sekujur tubuhnya begitu jari-jari tangannya menyentuh lembaran kulit
itu. "Pendekar Mata Keranjang!" kata Eyang
Pandanaran. "Tugasku telah selesai. Kini tugas itu
ada di pundakmu. Dirimu kini menjadi tumpuan
untuk menyelamatkan dunia persilatan dan membuat kedamaian umat manusia. Kau
harus berhati-hati. Mempertahankan lebih berat bebannya dari
pada memburu! Kau akan berhadapan dengan banyak tokoh persilatan sakti yang
berniat merampas Lembaran Kulit Naga Pertala itu. Sayang, aku
tak bisa membantumu. Tapi, aku masih punya kesempatan untuk menyumbangkan
sedikit tena- ga.... " Baru saja selesai berbicara, Eyang Pandanaran telah berada di belakang Aji.
Padahal, semula kakek ini berada di depan Pendekar Mata Keranjang. Pendekar 108
dan bahkan Mata Malaikat tak
melihat Eyang Pandanaran bergerak. Kakek berpakaian putih ini seperti menghilang
saja! Tanpa meminta persetujuan Aji, Eyang
Pandanaran tempelkan kedua tangannya di punggung si pemuda. Di lain kejap, Aji
merasakan aliran hawa hangat mengalir dari telapak tangan
yang menempel. Aliran hawa itu berkumpul di pusar, dan berputaran.
Tak lama Eyang Pandanaran mengalirkan
tenaga dalam pada Aji. Di lain kejap, sepasang
tangannya telah dilepaskan dari punggung Pendekar 108. Kemudian kakek itu
berpaling pada Mata
Malaikat tanpa pedulikan ucapan terima kasih Aji.
"Sobatku, Mata Malaikat. Sebenarnya aku
masih ingin bicara banyak denganmu, tapi karena
masih ada hal yang harus kukerjakan, aku akan
pergi terlebih dulu. Harapanku, pertemuan ini semoga bukan pertemuan yang
terakhir bagi kita."
"Hendak ke manakah kau?" tanya Mata Malaikat.
"Aku telah membuat kesalahan besar. Pada
usiaku yang renta ini aku ingin menebusnya dengan mendekat pada Tuhan. Kuucapkan
selamat jalan pada kalian....."
Habis berkata begitu, Eyang Pandanaran
bangkit. Lalu melangkah ke arah lobang di mana
lembaran kulit tadi berada. Dia meneliti sebentar,
lalu melangkah ke arah samping.
Tangan kirinya mengetuk-ngetuk dinding
ruangan tiga kali. Tiba-tiba di dinding ruangan itu
tampak seberkas cahaya. Ternyata dinding itu telah terbuka dan cahaya membersit
dari dalamnya. Tanpa berpaling lagi, Eyang Pandanaran masuk.
Pada saat bersamaan cahaya lenyap dan sosok
Eyang Pandanaran juga tak tampak lagi!
Sepasang mata Pendekar Mata Keranjang
tak berkedip memperhatikan, sementara Mata Malaikat makin pentangkan sepasang
matanya. "Anak muda. Kau sangat beruntung!" ujar
Mata Malaikat Pada Pendekar 108. "Eyang Pandanaran telah berkenan menambah
tenaga dalammu. Aku yakin, tenaga dalammu jauh bertambah
kuat. Mungkin tambahan tenaga dalam darinya
tak kalah dengan bila kau berlatih semadi dan
pernapasan bertahun-tahun!"


Pendekar Mata Keranjang 26 Lembaran Kulit Naga Pertala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aji hanya cengar-cengir seraya usap-usap
ujung hidungnya. Tapi, tak sepatah kata pun yang
keluar dari mulutnya. Hanya di lubuk hatinya dia
merasa gembira, karena telah merasakan sendiri
pengaruhnya. Tubuhnya terasa jauh lebih ringan,
dan langkahnya jauh lebih mantap. Tak adanya
jawaban dari Pendekar Mata Keranjang membuat
suasana menjadi hening.
"Sudah waktunya kita tinggalkan tempat
ini!" gumam Mata Malaikat setelah agak lama sama-sama terdiam.
Mata Malaikat bangkit, lalu melangkah ke
arah dari mana tadi masuk. Aji segera masukkan
Lembaran Kulit Naga Pertala ke balik pakaiannya
lalu bangkit menyusul Mata Malaikat.
*** SEBELAS KITA kembali pada Utusan Iblis. Seperti dituturkan, pemuda ini mendadak lenyap
begitu saja di Sungai Siluman tatkala terjadi bentrok dengan
Pendekar Mata Keranjang. Sebenarnya pemuda ini
tak menduga jika murid Wong Agung mampu berlama-lama di dalam air hingga saat
terjadi adu pukulan, dan merasa dirinya cedera dalam, dia berusaha menghindar.
Dengan mengerahkan segenap
sisa tenaganya serta kerahkan ilmu yang didapat
dari Titisan Iblis yang menggemblengnya di bawah
air terjun, dia menyelam dan menjauhi Pendekar
Mata Keranjang.
Setelah agak lama dan merasa jauh dari
jangkauan Aji, murid Titisan Iblis ini menyembul
ke permukaan air! Samar-samar matanya menangkap sosok Pendekar Mata Keranjang di
kejauhan. "Keparat! Dia telah mencapai tempat itu.
Hem.... Masih ada kesempatan untuk membalas...," gumamnya. Pada saat bersamaan
sayupsayup telinganya mendengar suara ledakan dari
arah depan! Sayang, dia tak bisa melihat apa sebenarnya yang terjadi, karena
terhalang oleh uap
yang keluar dari permukaan sungai!
"Aku harus cepat sampai di Bukit Siluman.
Tentu di depan sana ada bangsat-bangsat yang juga sedang menuju ke bukit!"
Berpikir begitu, Utusan iblis menyelam kembali lalu berenang ke arah
bukit. Utusan Iblis tak mau ambil resiko sebab dia
sadar bahwa dirinya telah terluka dalam. Meski
cederanya tak terlalu parah, namun dia telah
memperhitungkan jika di Bukit Siluman nanti pasti akan terjadi bentrok.
Utusan Iblis memang seorang perenang
yang luar biasa. Kendati demikian, cedera yang diderita, menghambat maksudnya.
Untung, angin dan derasnya arus sungai membantunya. Tambahan lagi, pemuda itu cukup cerdik.
Dia berenang menyerong ke kanan, tapi dengan mengikuti arus
sungai! Sehingga tak terlalu memakan banyak tenaga.
Beberapa saat kemudian, samar-samar beberapa tombak di depannya terlihat sebuah
dataran. Beberapa tombak di depannya itu, lebar Sungai Siluman menyempit! Sekali
lihat saja, Utusan
Iblis dapat menduga kalau dataran itu adalah Bukit Siluman. Bukit yang berada di
atas sungai. Bukit yang tidak terlalu besar. Malah terhitung kecil.
Melihat hal ini, semangat Utusan Iblis bertambah. Kecepatan luncurannya pun
bertambah, hingga setelah agak lama, barulah Utusan Iblis
mencapai pinggir sungai. Dia sengaja merapat di
bagian pinggiran yang terlindung oleh gundukangundukan batu. Karena sebelum
merapat dia sudah melihat beberapa perahu di bagian pinggiran
lainnya. "Rupanya banyak keparat-keparat yang sudah sampai di sini...." Utusan Iblis
menyelinap di balik gundukan batu. Lalu duduk bersila dengan
mata terpejam. Tak lama berselang dia buka kelopak mata. Dengan mengusap wajah
dan leher lalu ia bangkit. Kepalanya berputar dengan mata nyalang memperhatikan keadaan
sekeliling. Kejap
kemudian dia berkelebat.
Pada suatu tempat Utusan Iblis berhenti.
Matanya melihat sebuah sampan terapung-apung.
Di sebelahnya tampak pecahan rakit, lalu agak ke
timur sedikit terlihat sebuah perahu yang bagian
depannya telah pecah berantakan.
Sepasang mata Utusan Iblis melebar sejenak tatkala dia melihat sebuah sampan
seseorang di atas perahu yang bagian depannya pecah.
"Hem.... Perahu-perahu ini harus kuhancurkan! Dengan begitu tak seorang pun akan
bisa kembali!" Berpikir begitu, Utusan Iblis kerahkan
tenaga di dalamnya. Kedua tangannya diangkat
dan dihantamkan ke dua arah. Tangan kanan diarahkan pada perahu yang bagian
depannya pecah, tangan kiri menghajar pecahan rakit dan
sampan. Wuuutt! Wuuutt!
Brakkk! Brakkk! Brakkk!
Terdengar tiga kali suara berderak. Di lain
kejap tampak berpencaran kepingan-kepingan
kayu di udara dan melayangnya sesosok tubuh.
Kepingan kayu dan sosok tubuh tersebut lalu melayang turun, belum sampai amblas
masuk ke dalam air dan lenyap!
Utusan Iblis menyeringai lalu usap-usap
dadanya. Memandang sejenak ke arah permukaan
lalu balikkan tubuh meninggalkan tempat itu.
Namun langkahnya tertahan saat telinganya
yang tajam mendengar suara kecipak di pinggiran
sungai. Tanpa pikir panjang dia balikkan tubuh
dengan kedua tangan menghantam ke arah suara
kecipak air. Wuttt! Wuttt! "Astaga! Anak gila. Raksa Pati! Kau hendak
membunuhku, hah"!" Mendadak terdengar suara
orang menegur. Lalu sesosok tubuh melesat dari
dalam air dan tahu-tahu telah tegak lima langkah
di samping Utusan Iblis.
Mendengar orang memanggil nama aslinya,
Utusan Iblis tersentak kaget. Begitu tahu siapa
adanya orang yang kini tegak di sampingnya buruburu Utusan Iblis mengernyit,
lalu berseru. "Guru...!"
"Hampir saja kau membunuhku!" sergah
orang yang baru datang yang ternyata adalah seorang kakek yang meski baru saja
melesat dari dalam air, namun pakaian dan tubuhnya tidak basah! Si kakek tidak
lain adalah guru Utusan Iblis
yakni Titisan Iblis!
"Mengapa kau luntang-lantung di sini" Apa
kerjamu telah selesai"!" Tiba-tiba Titisan Iblis
kembali keluarkan teguran.
Utusan Iblis hanya bungkukkan sedikit tubuhnya.
"Guru! Pekerjaan baru saja kumulai, karena
aku baru saja sampai!"
Titisan Iblis perhatikan muridnya. "Pakaian
dan tubuhmu basah. Bodohnya kau!"
"Ini gara-gara pemuda jahanam itu!"
"Hem.... Kau menyebut seorang pemuda.
Siapa"! Kau juga belum berhasil dengan tugasmu
melenyapkan Mata Malaikat. Kenapa bisa terjadi"!"
"Aku belum jelas benar siapa sebenarnya
pemuda itu. Tapi, seseorang mengatakan padaku
dialah sebenarnya manusia bergelar Mata Malaikat!"
Titisan Iblis tertawa mengekeh. "Kau masih
juga dapat dikelabui orang, Muridku. Tapi ini juga
kesalahanku! Aku tak mengatakan padamu ciriciri manusia keparat bergelar Mata
Malaikat itu. Namun hal yang pasti, pemuda itu bukanlah Mata
Malaikat!"
"Aku pun pada akhirnya menduga demikian, Guru! Namun kali ini siapa pun yang ada
di bukit ini tak akan bisa pulang dengan selamat!
Mereka semua akan kuhancurkan!"
"Bagus! Hari ini kita akan berpesta, Muridku. Karena Mata Malaikat pun telah
berada di tempat ini!" Titisan iblis memandang sejenak ke
sekeliling. "Kita menyelidik tempat ini! Tapi, kau
harus tetap waspada. Tempat tersimpannya benda
pusaka biasanya penuh dengan halangan mematikan!"
Utusan Iblis tak menyahut. Malah dia alihkan pandangannya pada jurusan lain.
Titisan Iblis segera berkelebat meninggalkan tempat itu, yang
kemudian disusul oleh Utusan Iblis.
Setelah puluhan tombak, menempuh medan yang menanjak, kedua orang ini hentikan larinya. Titisan Iblis angkat
tangannya. Telinganya
menajam. Sementara sepasang matanya melirik ke
jurusan depan, ke arah tonjolan batu besar.
"Kau dengar itu?" bisik Titisan Iblis.
"Suara perempuan menyumpah dan memaki!" sahut Utusan Iblis. Belum selesai dia
berucap, Titisan Iblis telah berkelebat ke arah terdengarnya
suara. Utusan Iblis mengikuti.
Dengan mengendap dari balik batu, kedua
orang ini melihat seorang perempuan berwajah
cantik berpakaian putih tipis sedang duduk bersandar dengan mulut tak hentihentinya keluarkan gumam makian.
"Guru! Kau mengenalinya"!' seru Utusan Iblis terdengar parau, karena matanya
melihat sembulan dada si perempuan yang bagian dadanya
agak rendah. "Aku heran. Perempuan itu tampak tidak
mengalami perubahan meski tahun terus bertambah, Muridku. Perempuan itulah yang
digelari orang dengan sebutan Bidadari Penyebar Cinta!"
Utusan Iblis perhatikan sekali lagi. "Cantik
dan bertubuh bagus..., " gumamnya, membuat Titisan Iblis tersenyum.
"Ucapanmu benar. Cantik dan bertubuh bagus, tepatnya sintal! Tapi kau harus
tidak mempercayainya! Sebaliknya kau harus dapat mempergunakannya! Ia punya
modal luar dan dalam. Kau
paham maksudku"!"
Utusan Iblis kali ini anggukkan kepalanya
meski matanya tak beranjak dari menjilati tubuh
si perempuan yang bukan lain memang Bidadari
Penyebar Cinta.
Seperti diketahui, setelah terjadi bentrok
dengan Putri Hitam alias Dayang Arung dan Mata
Malaikat, Bidadari Penyebar Cinta yang merasa
tak dapat mengatasi segera keluar dari terowongan. Namun perempuan ini tidak
segera kembali.
Dia berniat mencegat Putri Hitam, Mata Malaikat,
dan Pendekar Mata Keranjang. Meski sadar dirinya
tak bisa mengalahkan, namun karena dorongan
untuk memiliki kipas 108 yang sempat digenggam
serta mewarisi Lembaran Kulit Naga Pertala membuat semangatnya berkobar. Dia
bertekad merebut
walau apa pun yang akan terjadi. Dia lalu keluar
dan duduk bersandar di balik batu. Dia sengaja
memilih tonjolan batu yang menghadap ke lobang
masuk terowongan, hingga dia dapat mengawasi
orang yang keluar masuk terowongan tanpa dirinya terlihat.
Mungkin karena tak sabar, Utusan Iblis segera berkelebat dari balik batu di mana
Bidadari Penyebar Cinta berada.
Bidadari Penyebar Cinta segera hentikan
gumam makiannya lalu cepat bangkit dengan mata memandang tajam ke depan. Tapi
begitu melihat seorang pemuda bertubuh kekar dengan paras
keras mengenakan jubah panjang sebatas lutut,
perempuan ini merubah sikap. Bibirnya tersenyum
dan lidahnya dikeluarkan membasahi bibirnya
yang merah. Diam-diam dalam hati perempuan ini
berkata. "Kedatangannya tak bisa kuketahui. Sikapnya menandakan dia punya ilmu tinggi. Hem....
Aku harus dapat merangkulnya.... Siapa kau"!"
suara teguran Bidadari Penyebar Cinta terdengar
garang, meski setelah itu dia kembali tersenyum
dan mata mengerling nakal.
"Bidadari Penyebar Cinta! Kau bertanya,
aku akan jawab!" Utusan Iblis berucap dengan tersenyum, membuat Bidadari
Penyebar Cinta terkejut mengetahui si pemuda tahu siapa dirinya. "Aku
Utusan Iblis!"
Bidadari Penyebar Cinta tengadahkan sedikit kepalanya, memperlihatkan lehernya
yang jenjang putih. "Rasanya baru kali ini aku mendengar
gelar pemuda ini! Mungkin dia baru turun dalam
dunia persilatan. Itu lebih memudahkan untuk
menggaetnya meski belum kuketahui jelas ketinggian ilmunya!"
"Boleh tahu, kenapa berada di sini"!" Utusan Iblis ajukan pertanyaan.
"Tak perlu dikatakan tentunya kau telah tahu jawabnya!"
Meski sedikit dongkol mendengar ucapan
Bidadari Penyebar Cinta, namun Utusan Iblis tersenyum.
"Makianmu menunjukkan kau baru saja
bentrok dengan seseorang...."
Entah karena tak mau mengakui kekalahannya, Bidadari Penyebar Cinta tertawa
perlahan. "Kita bertemu di sini. Kau lihat aku bentrok dengan seseorang"!"
"Darah di bawah bibirmu tak bisa membohongi penglihatanku!" ujar Utusan Iblis.
Tanpa sadar, Bidadari Penyebar Cinta usapusap darah yang ternyata masih tersisa
di bawah bibirnya. Wajahnya berubah merah padam.
"Kalau orang berilmu tinggi sepertimu sampai terluka, pasti lawanmu adalah
seorang berilmu
tinggi pula!"
"Seandainya dia sendirian, mungkin aku tak
sampai terluka. Jahanam itu bertiga!"
"Hem.... Begitu" Siapa mereka"!"
Bidadari Penyebar Cinta lalu menyebutkan
satu persatu. Utusan Iblis menyeringai dengan dagu mengembang dan pelipis
bergerak-gerak. "Jadi
pemuda itu yang bergelar Pendekar Mata Keranjang. Dan setan tua yang selalu
bersamanya adalah Mata Malaikat. Jahanam betul!"


Pendekar Mata Keranjang 26 Lembaran Kulit Naga Pertala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau berubah. Kau punya sengketa dengan
mereka"!"
Utusan Iblis tak segera menjawab. Tapi diam-diam Bidadari Penyebar Cinta telah
mengetahui apa di balik perubahan wajah si pemuda. Bibir
perempuan ini kembali menyunggingkan senyum.
Lalu berkata. "Raut wajahmu telah menjawab pertanyaanku. Dan jika demikian berarti musuh kita
adalah orang yang sama! Apakah tidak sebaiknya
kita bersama-sama pula membuat mereka mampus"!"
"Itu urusan mudah. Masih ada urusan yang
lebih berat. Dan itu tak membutuhkan seorang
teman!" ucap Utusan Iblis sambil melirik ke arah
belakang batu, di mana tadi Titisan Iblis berada.
Namun si pemuda sudah tidak melihat sosok gurunya lagi. "Ke mana dia. Apa dia sengaja memberiku
kesempatan untuk bersenang-senang dengan perempuan ini"! Ah, itu bisa kulakukan
nanti. Urusan besar masih menghadang, aku harus selesaikan dulu!" pikir Utusan
Iblis. Sementara itu mendengar ucapan Utusan
Iblis, Bidadari Penyebar Cinta perdengarkan tawa
renyah. "Aku tahu. Yang kau maksud tentu urusan lembaran kulit itu. Betul"!
Dengar, Utusan Iblis. Sekarang lupakan urusan dengan lembaran
kulit itu. Yang perlu kau pikirkan sekarang adalah
menghadapi mereka!"
Utusan Iblis menyeringai. "Urusan dengan
mereka bukan hal yang perlu dipikirkan! Aku
sanggup melenyapkan mereka! Yang kupikirkan
adalah hal lembaran kulit itu! Karena terus terang
aku masih buta seluk-beluknya!"
"Kau tak usah pikirkan seluk-beluk lembaran kulit itu. Karena mereka kuyakin
telah mendapatkannya! Tinggal sekarang bagaimana merebut dari tangan mereka!"
"Dari mana kau tahu itu semua"!" tanya
Utusan Iblis. Saking kagetnya dia sampai melompat maju dan kini hanya sejarak
tiga langkah dari
Bidadari Penyebar Cinta.
"Tak usah kuterangkan. Kita tunggu saja di
sini!" "Kenapa harus di sini"!"
Bidadari Penyebar Cinta arahkan telunjuknya pada sebuah lobang. "Lobang itu
adalah satusatunya jalan keluar masuk ke tempat tersimpannya lembaran kulit itu. Dari tempat ini kita leluasa
melihat orang yang keluar masuk. Sementara
orang yang keluar masuk tak bisa melihat ke arah
tempat ini."
"Tapi kita harus yakinkan dulu bahwa mereka benar-benar telah mendapatkan
lembaran kulit itu!"
"Ketahuilah. Mereka telah mendapatkan petunjuk di mana lembaran kulit binatang
itu, juga persyaratan yang diperlukan untuk memperolehnya. Apakah itu masih kurang
meyakinkan jika
mereka akhirnya berhasil mendapatkannya"!"
Utusan Iblis manggut-manggut. "Tapi kau
juga harap mengerti. Dengan mampusnya mereka,
lembaran kulit itu menjadi milikku!"
"Hem.... Boleh kau bicara begitu, tapi lihat
saja nanti...," batin Bidadari Penyebar Cinta. Lalu
tersenyum dan berujar. "Silakan kau ambil lembaran kulit itu. Bagiku sekarang,
dengan terbalasnya
sakit hatiku, itu sudah cukup!"
Utusan Iblis pandangi lekat-lekat wajah Bidadari Penyebar Cinta. Terbayang
kebimbangan di wajah pemuda ini. Merasakan hal itu, Bidadari Penyebar Cinta melanjutkan
ucapannya dengan sedikit busungkan dada. "Kau tak usah menaruh curiga padaku.
Malah kalau tak keberatan, sejak sekarang kita akan selalu ke mana-mana bersama.
Kau setuju"!"
Sepasang mata Utusan Iblis beralih pada
dada sang bidadari. Melihat si pemuda mulai terangsang, Bidadari Penyebar Cinta
tersenyum. Lalu kembali berujar. "Kau boleh menikmati apa saja
dari tubuhku. Mau sekarang"!"
Tak sabar, begitu Bidadari Penyebar Cinta
selesai bicara, Utusan Iblis telah mencekal bahu si
perempuan. Bibirnya serentak menyergap bibir
sang perempuan. Seraya mendesah, Bidadari Penyebar Cinta mulai membalas, hingga
untuk beberapa lama kedua ini tenggelam dalam keasyikan.
Dari tempat tersembunyi, sepasang mata
memperhatikan keasyikan dua orang itu dengan
mulut komat-kamit menggumam.
"Dasar anak konyol! Ini bisa berbahaya jika
dia tak hati-hati! Aku akan terus mengawasi meski
aku jadi ikut-ikutan kepingin! Dasar...!" Orang ini
yang bukan lain adalah Titisan Iblis lantas beringsut mundur pada sebuah lekukan
batu hingga sosoknya tak terlihat, namun sepasang matanya
yang besar melotot terus terpentang memperhatikan ke arah Utusan Iblis dan
Bidadari Penyebar
Cinta yang kini mulai rebahan.
"Konyol! Konyol betul!" gumam Titisan Iblis
sambil pukulkan kepalan tangannya pada batu di
samping tubuhnya. Dadanya tampak bergetar. Tapi dia tak hendak lepaskan
pandangan matanya.
Tiba-tiba Bidadari Penyebar Cinta jauhkan
wajahnya dari Utusan Iblis, kedua tangannya pun
coba mengangkat tangan si pemuda dari balik pakaiannya meski tarikan tangannya
perlahan hingga tangan si pemuda malah terus bergerak-gerak
liar. "Hai.... Kita hentikan dulu. Lihat ada seseorang...," bisik Bidadari Penyebar
Cinta di antara
suara napas Utusan Iblis yang memburu.
Mungkin karena terlalu bernafsu, suara teguran Bidadari Penyebar Cinta tak
terdengar oleh telinga Utusan Iblis. Pemuda itu terus menciumi
tubuh si perempuan, membuat Bidadari Penyebar
Cinta tersenyum.
"Tak sulit menaklukkanmu.... Silakan lembaran kulit itu jadi milikmu namun hanya
sementara. Selanjutnya kau akan bertekuk lutut...," Bidadari Penyebar Cinta
berkata dalam hati. Matanya terus memperhatikan pada sosok tubuh
yang baru keluar dari lobang terowongan.
"Lihat! Mereka keluar!" bisik Bidadari Penyebar Cinta agak keras.
Utusan Iblis hentikan ciumannya. Lalu berpaling ke arah mana Bidadari Penyebar
Cinta memandang. Dari atas tubuh sang Ratu, Utusan Iblis
memang melihat sesosok tubuh keluar dan kini
mondar-mandir di depan lobang terowongan.
Saat sosok itu menghadap ke tempat mereka berada, Utusan Iblis serentak bangkit.
Sementara Bidadari Penyebar Cinta merapikan pakaiannya lalu ikut-ikutan bangkit
dan tegak di samping
si pemuda. "Manusia setan itu mungkin sedang melihat
keadaan...," desis Bidadari Penyebar Cinta. "Bagaimana kalau dia kita singkirkan
dahulu"!"
"Aku menurut apa maumu saja!" seru Utusan Iblis.
Sementara dari balik tempatnya bersembunyi, Titisan iblis yang melihat sikap
muridnya dan Bidadari Penyebar Cinta segera pula memandang ke arah mana kedua orang itu
memandang. Kakek ini mendelik.
"Bangsat hitam setengah gila itu! Apa mereka segera akan keluar semua" Aku akan
menunggu saja, kulihat perempuan cantik itu akan turun,"
gumamnya ketika melihat Bidadari Penyebar Cinta
dan Utusan Iblis melangkah turun dari tempatnya,
lalu sekejap kemudian tubuh mereka berkelebat.
Sosok yang baru keluar dan kini mondarmandir di sekitar mulut lobang terowongan
hentikan langkah kakinya. "Ada seseorang...," gumamnya seraya berpaling ke arah
samping. Baru saja
kepalanya bergerak, dua bayangan telah menyeruak dan tahu-tahu telah tegak
delapan langkah di
hadapannya. Sejurus sosok itu yang bukan lain adalah
Dayang Arung alias Putri Hitam memandang pada
dua orang di hadapannya. Bibirnya yang hitam
sunggingkan senyum. Sebaliknya Bidadari Penyebar Cinta tampak memandang dengan
mata laksana dikobari api, di sampingnya melihat dandanan orang, Utusan Iblis
tertawa bergelak-gelak.
"Monyet hitam berhias inikah yang kau bilang tadi"!" ucap Utusan Iblis dengan
palingkan wajahnya ke Bidadari Penyebar Cinta sementara
telunjuk jari tangan kirinya lurus ke arah Putri Hitam.
"Jangan pandang remeh dia!" bisik Bidadari
Penyebar Cinta tanpa berpaling, membuat Utusan
Iblis makin keraskan suara tawanya. Sementara
Putri Hitam hanya tersenyum.
Sebenarnya Putri Hitam tak berniat keluar
dari terowongan. Tapi, ketika Mata Malaikat dan
Pendekar Mata Keranjang belum juga muncul, akhirnya untuk menghilangkan rasa
jenuh berdiam diri di dekat hamparan tanah gersang di dalam terowongan, juga karena tak sabar
ingin segera bertemu dengan anaknya setelah mendengar keterangan Mata Malaikat,
akhirnya Putri Hitam melangkah keluar dari terowongan.
*** DUA BELAS AKU ingin buktikan kemampuan monyet hitam ini!" dengus Utusan Iblis. Tenaga
dalamnya dikerahkan pada kedua tangannya. Lalu melompat
ke depan. Kaki kanan diangkat tinggi menyambar
dari arah samping kanan. Kejap lain kedua tangannya berkelebat menyusup.
Wuttt! Wuttt! Wuttt!
Tiga pukulan langsung menggebrak. Sebelum pukulan sampai, angin deras menderu
mendahului. Putri Hitam membuat gerakan berputar di
udara setengah tombak di atas tanah batu. Pakaian gombrongnya berkelebat
menangkis deru angin yang mendahului serangan.
Seettt! Kaki kanan Utusan Iblis tahu-tahu tertahan
setengah jalan di udara. Ternyata kaki itu telah
tertangkap tangan Putri Hitam. Kini tubuh Putri
Hitam tegak dengan kepala di bawah dan kaki
menjulang ke atas dengan tangan bertumpu pada
kaki kanan Utusan Iblis. Hebatnya meski pakaian
yang dikenakan gombrong dan posisi tubuhnya
terbalik, pakaian itu sama sekali tidak menyingkap!
Utusan Iblis tarik pulang kedua tangannya
sebelum tangan itu melesat penuh. Dengan gerak
cepat kedua tangannya dihantamkan ke atas.
Tapi sebelum tangan itu menghajar lambung Putri Hitam, orang ini telah angkat
kaki kanan Utusan Iblis, pada saat yang sama kakinya
yang di atas melesat ke bawah.
Buuukkk! Utusan Iblis berseru tertahan. Sosoknya
terhuyung ke belakang dengan tangan memegangi
jidatnya yang terkena tonjolan tumit Putri Hitam.
"Monyet bangsat!" teriak Utusan Iblis. Wajah pemuda ini telah merah mengelam.
Kedua tangannya gemetar menahan marah. Di sampingnya
Bidadari Penyebar Cinta memandang lalu berbisik.
"Tahan emosimu. Hadapi dengan kepala
dingin!" "Diam kau!" sentak si pemuda, membuat
Bidadari Penyebar Cinta beringsut mundur dengan
dada panas. Namun perempuan ini coba menahan
perasaan, karena dia maklum tak mungkin menghadapi Putri Hitam sendirian.
Utusan Iblis angkat kedua tangannya tinggitinggi. Lalu dihantamkan, lepaskan
pukulan sakti 'Gemuruh Badai'.
Wuuuttt! Wuuuuttt!
Terlihat gulungan awan hitam pekat. Lalu
terdengar suara bergemuruh disertai kilatankilatan laksana sambaran petir.
Putri Hitam untuk kedua kalinya melesat ke
udara. Setengah tombak di atas gulungan awan hitam kedua tangannya menyentak ke
bawah. Seettt! Settt! Gulungan awan hitam laksana ditekan kekuatan dahsyat. Hingga kejap kemudian
melesat ke bawah dan langsung amblas ke dalam tanah
berbatu. Sementara sambaran kilat bertebaran ke
mana-mana! Pada saat bersamaan terdengar beberapa kali letupan saat kilatankilatan itu menghantam batu yang banyak bertebaran di tempat itu.
Namun bersamaan dengan menyentaknya
kedua tangan Putri Hitam ke bawah, seberkas sinar biru melesat cepat dari bawah.
Mungkin karena tak menyangka, meski Putri Hitam sempat
menghindar dengan membuat gerakan berputar
menjauh, tapi tak urung bahunya tersambar sinar
kuning yang ternyata dilepaskan oleh Bidadari Penyebar Cinta! Hingga terdengar
seruan dari udara,
lalu sosok Putri Hitam tampak melayang turun
dengan berputar-putar. Sementara di bawah sana
sosok Utusan Iblis terlihat terseret jauh ke belakang. Sesaat kemudian setelah
terhuyung beberapa kali pemuda ini jatuh terduduk.
Melihat keadaan Putri Hitam, Bidadari Penyebar Cinta tak buang-buang kesempatan,
dia segera melesat ke depan. Belum sampai Putri Hitam menginjak tanah berbatu,
Bidadari Penyebar
Cinta telah menerjang dengan kirimkan satu tendangan ke arah perut. Sementara
tangan kirinya melesat mengarah pada kepala!
"Licik!" teriak Putri Hitam sambil tebaskan
tangannya ke bawah.
Prakkk! Bukkk! Tendangan kaki Bidadari Penyebar Cinta
dapat ditahan dengan tangan, namun hantaman
yang mengarah pada kepala tak dapat dihindari.
Hingga saat itu juga tubuh Putri Hitam mencelat
dengan kepala tersentak tengadah! Lalu terjajar di
atas tanah dengan mulut pecah mengalirkan darah! Bidadari Penyebar Cinta sendiri
terlihat mundur beberapa langkah dengan kaki terpincangpincang.
Saat itulah sesosok bayangan berkelebat
dan tahu-tahu telah tegak tujuh langkah di hadapan Putri Hitam dengan kacak
pinggang dan tertawa bergelak.
"Titisan Iblis!" desis Bidadari Penyebar Cinta
mengenali siapa adanya orang yang kini tegak di
hadapan Putri Hitam yang masih bergerak bangkit.


Pendekar Mata Keranjang 26 Lembaran Kulit Naga Pertala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mengapa dia ikut-ikutan urusan ini"
Hem.... Kedatangannya akan merusak rencanaku!"
batin Bidadari Penyebar Cinta seraya berpaling
pada Utusan Iblis yang kini telah melangkah mendekat ke arahnya.
"Manusia tua ini harus disingkirkan juga!
Jika tidak...," Bidadari Penyebar Cinta tidak lanjutkan bisikannya pada Utusan
Iblis karena si pemuda telah angkat bahu seraya berujar.
"Kau tak usah khawatir dengannya. Dia guruku!"
Bidadari Penyebar Cinta jadi tergagu diam
dengan wajah merah padam. Cepat-cepat dia palingkan wajah untuk menyembunyikan
perubahan wajahnya. "Celaka! Alamat rencanaku harus tertunda. Jika guru dan murid ini maju
bersamasama. Tapi... Ah, itu urusan nanti. Keduanya sama
laki-laki. Kurasa aku bisa menaklukkan Keduanya...."
"Manusia jelek! Tidak mampus di sungai,
akhirnya kau harus tewas di tempat tak bertuan!"
Tiba-tiba terdengar Titisan Iblis membentak.
"Mati di mana pun bukan kau yang menentukan!" sahut Putri Hitam dengan suara
keras pula. Titisan Iblis tertawa. Kakek ini sekilas pandang telah tahu jika orang di
hadapannya cedera.
Dan kejelian Titisan Iblis memang benar, karena
diam-diam Putri Hitam sebenarnya khawatir dengan keadaan dirinya, dan kegundahan
makin nyata tatkala dia teringat akan Seruni. Dalam hati dia
mengeluh. "Akankah aku harus mati sebelum jumpa
dengan anakku" Dan kenapa Mata Malaikat dan
Pendekar Mata Keranjang tak segera muncul"
Apakah mereka tak berhasil"!"
Selagi Putri Hitam tercenung dengan kegundahan hatinya, tiba-tiba Titisan Iblis
kembali keluarkan bentakan garang.
"Manusia Hitam! Akan kuperlihatkan padamu jika akulah yang tentukan di mana kau
harus mampus!"
Habis berkata begitu, Titisan Iblis hantamkan kedua tangannya. Lepaskan pukulan
'Gemuruh Badai'.
Entah karena masih geram atau sakit hati,
Bidadari Penyebar Cinta tak tinggal diam. Begitu
Titisan Iblis lepaskan pukulan, perempuan cantik
ini pun ikut lepaskan pukulan. Sementara itu Utusan Iblis yang tegak di samping
Bidadari Penyebar
Cinta seakan tak mau ketinggalan. Saat itu juga
dia kirimkan pukulan! Hingga tak ampun lagi, suasana di sekitar lobang
terowongan berubah menjadi pekat dengan melesatnya beberapa gulungan
awan hitam. Lalu disusul dengan menyambarnya
sinar kuning. Pada saat yang sama terdengar gemuruh dahsyat.
Mendapat serangan ganas, mau tak mau
membuat Putri Hitam tercekat. Kalaupun dia
mampu menangkis namun pasti salah satu pukulan lawan akan tetap menghajarnya.
Bulu kuduknya meremang. Tapi serangan telah datang dan itu
tak bisa membuat Putri Hitam untuk berpikir lebih
panjang lagi. Hingga akhirnya seraya pejamkan
mata dia kerahkan segenap tenaga dalamnya. Kedua tangannya ditarik sedikit ke
belakang, lalu didorong dengan tenaga penuh!
Bersamaan dengan mendorongnya kedua
tangan Putri Hitam yang pasrah, tiba-tiba di antara kepekatan suasana tampak
berkelebat dua bayangan yang langsung tegak tiga langkah di
samping kanan kiri Putri Hitam. Seorang menghadap ke depan, sedangkan satunya
lagi tampak menghadap ke belakang. Begitu tegak, kedua
orang ini cepat sentakkan kedua tangan masingmasing. Yang satu langsung
mendorong ke depan,
satunya lagi mendorong tangannya ke belakang!
Di antara kepekatan serangan Titisan Iblis
dan Utusan Iblis menyeruak angin keras yang keluarkan bunyi gemuruh, lalu dari
arah samping tampak asap putih bergerak naik turun yang makin ke depan makin besar dengan
keluarkan suara
menggidikkan! Bummm! Bummm! Bummm!
Terdengar tiga kali dentuman keras mengguncang tempat itu. Bukit yang terdiri
dari hamparan tanah gersang itu bergetar hebat. Nyala bunga
api tampak membubung ke angkasa. Batu dan tanah mencelat berhamburan. Batu besar
di dekat lobang terowongan longsor dan langsung menutup
lobang terowongan. Suara dentuman belum lenyap
terdengar beberapa suara berseru tertahan dan
dua kali jeritan.
Agak lama kemudian keadaan normal kembali. Di sebelah kiri tampak Putri Hitam
duduk dengan tubuh berguncang keras hingga pakaian
gombrongnya berkibar-kibar. Tiga langkah di sebelah kirinya Pendekar Mata
Keranjang tegak dengan
tubuh bergetar dan kedua tangan mendekap dadanya, di mana tersimpan Lembaran
Kulit Naga Pertala. Meski baru saja terjadi bentrok pukulan.
Anehnya, murid Wong Agung tak merasakan sakit.
Malah, waktu lepaskan pukulan untuk menyelamatkan Putri Hitam tenaganya dirasa
berlipat ganda. "Hem.... Gerakan tubuhku ringan, tenaga
bertambah...," batin Aji. "Apa yang dikatakan Mata
Malaikat memang tak berlebihan. Tambahan tenaga dalam dari Eyang Pandanaran benar-benar luar
biasa!" Aji membatin seraya melirik pada Mata Malaikat yang berdiri di
sebelahnya! Jauh di seberang, terlihat Bidadari Penyebar Cinta terkapar
dengan mulut keluarkan darah. Di samping kirinya, Utusan Iblis duduk bersimpuh
dengan tubuh membungkuk hampir menyentuh lutut. Di
sebelahnya Titisan Iblis duduk bersila dengan kedua tangan menakup di depan
dada. Wajah orang
tua ini pias dan sesekali terdengar batuk-batuk lalu meludah ke tanah. Matanya
terpejam rapat. Mulutnya komat-kamit menggumam.
"Anakku! Kau baik-baik saja"!" Terdengar
Mata Malaikat buka suara seraya menoleh ke arah
Putri Hitam. "Untung kalian cepat datang.... Aku tak
apa-apa!" jawab Putri Hitam tanpa berpaling.
"Pendekar Mata Keranjang! Kau bagaimana"!" kembali Mata Malaikat bertanya.
Murid Wong Agung berpaling. Menggumam
sebentar melihat sikap Mata Malaikat sebelum akhirnya angkat bicara.
"Aku sehat-sehat saja, Kek." Seraya berkata
dia tetap dekap dadanya di mana tersimpan Lembaran Kulit Naga Pertala.
Ucapan Pendekar Mata Keranjang membuat
Mata Malaikat keluarkan suara tawa bergelak. Suara tawa itu mula-mula pelan,
namun makin lama
makin keras. Dan tak lama kemudian semua
orang di situ merasakan tanah di bawahnya bergetar! Bahkan kejap kemudian tanah
berbatu di bawah dan di sekitar orang mulai rengkah!
"Sialan! Apa yang dilakukan orang tua itu"!"
gumam Aji seraya kerahkan tenaga dalam untuk
menangkis suara tawa dan tubuhnya agar tidak
masuk ke dalam tanah berbatu yang mulai berlobang.
Di seberang, baik Titisan Iblis, Bidadari Penyebar Cinta, dan Utusan Iblis mau
tak mau harus kerahkan tenaga dalam masing-masing.
"Bandot Tua Jahanam!" Titisan Iblis keluarkan suara menggumam. Lalu berpaling
pada Bidadari Penyebar Cinta dan Utusan Iblis. "Siapkan
pukulan! Arahkan pada bandot tua itu!"
Namun sebelum dua orang itu lakukan
ucapan Titisan Iblis, di seberang sana Mata Malaikat putuskan tawanya. Kedua
tangannya yang dibuat tumpuan tubuhnya ditekankan ke bawah.
Lalu 'Wuuttt!'. Tubuhnya membal ke atas. Kedua
kakinya diluruskan sejajar pantat. Tiba-tiba kedua
tangannya mengayun ke belakang.
Wusss! Wuuusss!
Rupanya pukulannya sengaja diarahkan ke
tanah berbatu yang telah rengkah-rengkah. Hingga
saat itu juga tanah berbatu itu muncrat ke udara
menaburkan batu-batu kecil. Hebatnya taburan
batu itu langsung melesat ke depan, ke arah Titisan Iblis, Bidadari Penyebar
Cinta, dan Utusan Iblis!
Ketiga orang ini serentak bangkit. Lalu sama-sama hantamkan tangan masing-masing
untuk menghalau tebaran batu.
Di seberang, habis lakukan pukulan, Mata
Malaikat berkelebat turun di antara Pendekar Mata Keranjang dan Putri Hitam.
''Kita cari tempat yang leluasa. Dan kalian
pilih lawan masing-masing! Tapi yang perempuan
serahkan untukku!" bisik Mata Malaikat membuat
Putri Hitam melengos.
"Aduh! Aku lupa bahwa dia menantuku...,"
gumam Mata Malaikat sambil berkelebat dan buka
mulutnya lebar-lebar.
Pendekar Mata Keranjang dan Putri Hitam
segera bangkit dan berkelebat menyusul Mata Malaikat yang telah berkelebat lebih
dulu. "Anakku!" ucap Mata Malaikat pada Putri
Hitam saat orang ini telah berada di sampingnya.
"Ucapanku tadi jangan masukkan ke dada. Aku
hanya bergurau!"
"Sungguh-sungguh pun tak apa! Aku malah
gembira punya mertua cantik dan muda! Bekas
musuh lagi!"
"Eh, jadi kalian ini menantu dan mertua"!"
kata Pendekar Mata Keranjang dengan menatap silih berganti pada Putri Hitam dan
Mata Malaikat. "Berkat pakaian dan rambut temuan, juga
karena mengikuti langkahmu, akhirnya aku berjumpa dengan menantuku yang cantik
ini!" sahut
Mata Malaikat membuat Putri Hitam makin cemberut.
Putri Hitam tersenyum pahit, sementara
Pendekar Mata Keranjang tertawa bergelak. Di
sampingnya Mata Malaikat pejamkan mata!
Suara tawa Pendekar Mata Keranjang belum
reda, tiga bayangan telah berkelebat dan langsung
berdiri berjajar sepuluh langkah di hadapan mereka! Pendekar Mata Keranjang putuskan tawanya. Putri Hitam berpaling ke depan dengan
mata memandang tajam. Sedangkan Mata Malaikat cepat pentangkan sepasang matanya!
SELESAI Segera terbit!!!
WASIAT SANG PENDEKAR
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Scan/PDF: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Pendekar Laknat 4 Pendekar Bayangan Sukma 10 Gadis Dari Alam Kubur Sumpah Palapa 20

Cari Blog Ini