Dewa Arak 58 Mayat Hidup Bagian 2
ataan ini. "Benar, Kakang. Sekarang aku tidak bisa berdiri," lanjut Melati, seperti
mengetahui apa yang dipikiran dan yang berk ecamuk di benak Dewa Arak.
Terdengar bunyi brekerotok an keras seperti tulang-tulang berpatah an, ketika dalam kemarah an yang menggeleg ak tenaga dal am Dewa Arak
berk eliaran sendiri.
"Sebenarny a... apakah yang tengah menimpaku, Kak ang" Aku
benar-benar tidak mengerti," ucap Melati sedih. "Kalau kau mengetahuiny a,
katakanlah, Kakang. Jangan biarkan aku dilanda ketidakmeng ertian seperti ini!"
"Hhh...!"
Dewa Arak menarik napas dalam-dal am, dan menghembuskannya
kuat-kuat. "Apakah kau ingat kejadian yang menimpa Ki Aswatama..."!"
"Maksudmu...,
kejadian yang menimpaku sama denganny a,
Kakang"!" tanya Melati meminta kepastian.
"Yahhh.... kira-kira begitu Melati." Dewa Arak mengangguk sambil menghela napas
berat. "Hanya itu jawaban yang paling mungkin, Melati.
Sebab, tidak mungkin kejadian kejadian yang menimpamu terjadi dengan sendirinya.
Andaikata pun nanti kenyataan ini tidak benar, setidak-tidaknya ada usaha yang
telah kita lakukan."
"Apa yang akan kau lakukan, Kakang?" tanya Melati ingin tahu.
Dewa Arak tercenung s ejenak. Dahinya b erk ernyit
dalam. Tampaknya pemuda itu tengah berpikir.
"Untuk sementara kita temui dulu Ki Aswatama. Barangkali dia
telah sembuh. Kita bisa minta pertolongan darinya," jawab Dewa Arak.
"Mengapa kau tidak mencoba mengobatiku, Kakang"!"
"Bagaimana aku dapat mengobatimu, Melati. Jenis penyakitmu saja tidak kutemukan.
Menurut pemeriksaanku, kau sehat-sehat saja."
"Jadi..."!" Melati menggantung ucapannya di tengah jalan.
"Seperti yang telah kukatakan tadi, kita akan menjumpai Ki
Aswatama!"
Kali ini tidak ada tanggapan dari Melati. Gadis berpakaian putih itu tahu
keputusan yang diambil kekasihnya biasanya tidak pemah keliru. Jadi, diputuskan
untuk menerimanya.
Dewa Arak pun tahu. Maka, tanpa membu ang-buang waktu segera
diangkatnya tubuh Melati. Kemudian dibawanya berlari cepat meninggalkan tempat
itu. Arya tidak berani bertindak lamban. Disadarinya nyawa Melati bagai telur di
ujung tanduk. Sewaktu-waktu bisa saja dia dibunuh!
*** Dari pembaritahu an seorang penduduk, Dewa Arak tahu tempat
kediaman Ki Aswatama. Ganta dan Kiwul ternyata tidak berdusta. Guru mereka amat
dikenal. Padahal, tempat tinggalnya jauh dari pemukiman penduduk. Itu didengar
Dewa Arak dari mulut para penduduk.
Kekhawatiran ak an keselam atan Melati membuat Dewa Arak tidak
peduli tindakannya membuat kegemparan di tempat-tempat yang dilalui.
Pemuda berambut putih keperak an itu melalui jalan-jalan utama desa dengan
menggunakan ilmu lari cepatnya.
Karuan s aja, banyak penduduk y ang merinding bulu kuduknya.
Melihat kelebatan bay angan ungu dalam bentuk yang tidak jelas. Kalau saja
kejadiannya malam hari mungkin mereka sudah lari tunggang langgang.
Semakin lama rumah-rumah penduduk yang semula berjajar di
kanan kiri jalan mulai jarang. Letak rumah yang satu dengan yang lain mulai
berjauhan. Sampai akhirnya yang tamp ak di kanan kiri h anya jajaran tanaman dan
pepohon an. Pemandangan itu dilihat Dewa Arak beb erapa saat lamanya sebelum di
kejauhan tampak sebuah bangunan sederhan a.
Tapi, pemuda itu kelihatan terkejut. Di depan bangunan itu terdapat banyak sosok
manusia. Sekali lihat saja Dewa Arak segera tahu sosok-sosok itu tengah terlibat
pertarungan. Pemandangan itu membuat Dewa Arak semakin mempercepat lariny a.
Arya khawatir akan terjadi hal buruk yang tidak diharapkan.
Kian dekat dengan pondok Ki Aswatama semakin jelas pemandang an yang terlihat. Kini pemuda itu bisa mengetahui sosok-sosok yang
bertarung. Ternyata Ganta dan Kiwul yang melawan serombongan
orang kekar. Jumlah mereka cukup banyak, tak kurang dari dua belas orang!
Meski masih berada dalam jarak belasan tombak dan hanya
memperhatikan sekilas, Dewa Arak bisa memperkirak an kekuatan masing-masing pihak. Secara pero rang an kepand aian Ganta d an Kiwul berad a di
atas lawan-lawanny a. Tapi, karena jumlah lawan jauh lebih banyak, murid-murid
Ki Aswatama itu terdesak hebat
Kalau dibiarkan, Ganta dan Kiwul akan tewas di tangan para
Pengroyoknya. Kead aan mereka sudah demikian mengkhawatirkan. Hampir tidak ada
serang an balasan yang mereka kirimkan. Kedua orang itu hanya mengelak dan men
angkis. Kini keduanya telah berada di pintu pondok. Tak lama lagi mereka akan
didesak masuk! Ketidakberadaan Ki Aswat ama untuk memban tu murid-muridnya
membuat Dewa Arak merasa heran. Apakah guru silat itu belum sembuh dari saitnya" Namun, Dewa Arak segera membuang pertanyaan itu. Jaraknya
telah demikian dekat. Dan, dengan sekali jejakan saja, kaki pemuda berambut
putih keperakan itu telah melesat ke dalam kancah pertarungan.
"Hih!"
Di saat tubuhnya masih berada di udara Dewa Arak mengibaskan
tangan kirinya. Serangkum angin besar meny eru ak membuat tubuh para pengeroyok
Ganta dan Kiwul terlempar ke belakang bagai dihempas angin badai! Senjata-s
enjata mereka berlep asan dari gengg aman.
Untung, Dewa Arak tidak bermaksud menjatuhkan tangan maut.
Kibasannya itu hanya untuk melontarkan tubuh lawan-lawannya, tanpa melukai. Hal
itu dilakukan Arya karena belum mengetahui permasalahan mereka. Siapa yang salah
dan yang benar belum jelas.
Ringan bagai daun kering, Dewa Arak mendaratkan kedu a kakinya
di antara murid-murid Ki Aswatama dan para pengeroyokny a yang
bergelimpangan di tanah.
"Arya....!"
Kiwul dan Ganta berseru hampir bersam aan ketika melihat sosok
yang berdiri membelakangi mereka. Sosok yang telah menyelamatkan nyawa mereka.
Meskipun hanya melihat bagi an belak ang tubuh Dewa Arak, kedua murid Ki
Aswatama bisa mengenali. Ciri-ciri Arya memang terlalu
menyolok! Dewa Arak membalikkan tubuh seraya menyunggingkan senyum.
"Terima kasih atas pertolonganmu. Kalau tidak, mungkin kami
sudah tewas di tangan mereka," ucap Kiwul dengan gembira.
"Lupakanlah, Kiwul. O, ya, siapa mereka" Mengap a kalian terlibat pertarung an denganny a"!" tanya Dewa Arak ingin tahu.
Kiwul dan Ganta menatap sosok-sosok kekar yang tengah berus aha
bangkit. Terlihat jelas kegeraman dalam pandang mata mereka.
"Merek a adalah orang -orang yang kuceritak an padamu, Arya."
"Ah!" seru Arya kaget. "Jadi..., mereka adal ah anak buah Juragan Trestajumena
Geni"!"
"Benar." Kali ini Ganta yang menjawab seray a menganggukkan kepala. "Rupanya,
mereka meras a penasaran dengan kek alahan yang mereka terima beberapa h ari
yang lalu. Sekarang mereka dat ang lagi. Anehnya, mereka sep erti mengetahui
kalau sekarang guru kami tidak dapat membantu.
Dan.... Awas, Arya!"
Dengan terp aksa Gant a menghentikan ceritanya di tengah jalan.
Saat itu dilihatnya rombongan tukang-tukang pukul Juragan Trestajumena Geni
meluruk ke arah Dewa Arak Golok dan pedang diayunkan deras ke arah berbag ai
bagian tubuh Dewa Arak.
Sebenarny a, peringatan Ganta hampir tidak bergun a. Tanpa
diberitahukan pun Dewa Arak telah mengetahui serangan itu. Memang, pemuda itu
tidak melihat. Tapi, telinganya yang tajam menangkap desir angin yang menyambar
deras ke arahny a.
Karen a itu, tanpa membuang-buang waktu lagi Dewa Arak segera
membalikkan tubuh. Dengan tangan kirinya, dihadapinya semu a serangan yang
mengancam. Tak, tak, takkkk!
Bunyi berdetak keras sep erti benda-b enda logam berb enturan
terdengar berkali-k ali. Tangan kiri Dewa Arak beradu dengan senjata-s enjata
lawan! Deng an mengerahkan tenag a dalamnya yang sudah mencapai tingkat
sempurna, Dewa Arak mampu membuat tangannya tak kal ah kuat dengan besi baja!
Melihat Ganta dan Kiwul terdesak, Dewa Arak segera melesat ke
dalam kancah pertarungan. .
"Hih!"
Dewa Arak langsung mengibaskan tangan kiri nya. Serangkum
angin besar menyemak membuat tubuh para pengeroyok Ganta dan Kiwul terlempar ke
belakang bagai dihempas angin badai!
Akibatnya tidak berh enti hanya sampai di situ. Jerit tertahan pun keluar dari
mulut para pengeroyok Arya. Mereka merasakan tangan yang menggenggam senjata
teras a sakit dan hampir lumpuh! Tubuh mereka pun terhuyung-huyung ke belakang.
Di saat itulah Dewa Arak mengibaskan tangan kirinya. Untuk kedua
kalinya berh embus angin yang sang at kuat. Bahkan, jauh lebih dahsyat dari
sebelumnya. Tubuh anak buah Juragan Trestajumena Geni melayang -layang ke
belakang seperti daun kering dipermainkan angin.
Semua kejadian itu dilihat jelas oleh Ganta dan Kiwul. Kalau tidak melihat
sendiri, mereka tidak akan percay a. Belasan tukang pukul Juragan Trestajumena
Geni dibuat tak berdaya oleh Dewa Arak hanya dalam
segebrakan! Begitu tinggikah kepandaian pemuda berambut putih keperakan ini"
Kenyataan yang mengejutkan hati itu membuat murtd murid Kl
Aswatama terkesima.
Sampai Dewa Arak membalikkan tubuh dan mengalihkan perhatian ke arah mereka, Ganta dan Kiwul tetap terpana.
*** "Ehm!"
Dewa Arak terpaksa berd ehem agak keras untuk menyadarkan
kedua murid Ki Aswat ama dari terkesimany a. Dan memang, usah a pemuda beram but
putih keperakan ini tidak sia-sia.
"Eh,... Oh...!"
Hanya itu yang keluar dari mulut Ganta dan Kiwul.
"Jadi.... Guru kalian belum sembuh?" Dewa Arak
segera mengajukan pertany aan. Tak peduli pada sikap salah tingkah Ganta dan Kiwul.
"Be... belum," jawab Kiwul agak terbata-b ata.
"Bahkan keadaannya semakin parah, Arya," tambah Ganta.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela nap as berat. Lenyap su dah harapanny a untuk
mendapatkan kesembuhan bagi Melati. Tapi, tidak seluruhnya. Disadarinya kalau Ki
Aswatama merupakan kunci untuk mengetahui siapa pelaku
kejahatan terh adap Melati. Bukankah guru silat itu menerima kiriman ilmu hitam"
Dewa Arak yakin kalau tindak kejahatan itu orang yang sama. Saat itulah Ganta
dan Kiwul melihat sosok yang berada di bahu kanan Dewa Arak.
"Apa yang terjadi denganny a, Arya" Bukankah dia k awan
seperjal ananmu?" tanya Kiwul seraya menudingkan jari telunjuknya.
"Panjang ceritanya, Kiwul," jawab Dewa Arak singkat. "Sayang sekali aku tidak
mempunyai waktu untuk menceritakannya. Aku minta maaf.
Sebab, keadaanny a sudah sangat mendesak."
"Kami bisa mengerti, Arya," jawab Ganta mencoba bijaksana.
"Terima kasih, Ganta." Arya gembira d engan tanggap an yang mereka berikan.
"Bisa aku melihat keadaan guru kalian?"
"Mengapa tidak?" jawab Ganta dan Kiwul bersamaan.
Dua murid Ki Aswatama itu segera mend ahului melangkah masuk.
Dewa Arak mengikuti di belakangnya. Sekilas pemuda berambut putih
keperak an itu sempat melempar pandang ke arah rombongan tukang pukul Juragan
Trestajumena Geni.
Setelah berhasil bangkit, mereka segera kabur meninggalkan tempat
itu. Agaknya, mereka menyad ari kalau Dewa Arak lawan yang tidak bisa dihadapi.
Sambil sesekali menoleh ke belakang, rombongan anak buah Juragan Trestajumena
Geni berlari tunggang langgang. Tapi, kekhawatiran mereka tidak terbukti. Dewa
Arak tidak mempedulikan mereka, dan masuk ke dalam pondok Kiwul.
"Beginilah keadaan guru kami, Arya."
Dewa Arak memandang sosok yang terbariring di balai-balai
bambu. Dia adalah seorang lelaki tua. Tubuhnya tinggi besar. Kumis tebal
melintang menghias wajahnya. Sayang, keangkeran sosok itu tertutup oleh sorot
matanya yang sayu. Jelas, kakek tinggi besar itu tengah menderita sakit.
"Aku turut prihatin atas peristiwa yang menimpamu. Ki Aswatama." Hanya itu yang dapat dikatakan Dewa Arak
Ki Aswatama mencob a membentuk senyuman di bibir. Tapi rasa
sakit yang melanda menggagalkanny a. Justru yang tampak adalah seringai
kesakitan. "Terima kasih, Anak Muda. Ganta dan telah banyak bercerita
mengenai dirimu. Keadaanmu mengingatkanku akan seorang pendek ar muda yang
namanya saat ini tengah menggetark an dunia persilatan. Apakah kau orangnya,
Anak Muda" Kudengar nama yang kau sebut pun memiliki
kemiripan. Arya?" Meski agak terputus-putus, Ki Aswatama berh asil menyelesaikan
ucapanny a. Dewa Arak menganggukk an kep ala. Pemuda itu tahu tokoh yang
dimaksud guru silat Desa Palung ini. Pasti Dewa Arak! Dan pemuda
berambut putih keperakan ini tidak tega membohongi orang yang tengah di ambang
kematian. "Dugaanmu tidak keliru, Ki Aswatama. Memang, orang-o rang
persilatan menjulukiku Dewa Arak."
Sekilas sepasang mata tua Ki Aswatama berbinar-bin ar. "Sungguh suatu kebahagian
Dewa Arak 58 Mayat Hidup di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang besar bertemu denganmu sebelum nyawaku pergi meninggalkan raga, Dewa Arak."
"Kau terlalu berlebih an, Ki Aswatama. Aku hanya seorang pemuda biasa yang
memiliki banyak keterbatas an. Kedatang anku kemari pun karena ingin meminta
pertolongan padamu." Dewa Arak langsung pada pokok persoalan, karena khawatir
kakek tinggi besar itu keburu tewas.
"Katakanl ah, Dewa Arak. Aku akan berbahagia sekali bila dapat membantumu. Ini
sungguh di luar dugaanku!"
Dewa Arak tidak buru-buru mengajukan permasalahanny a.
Benaknya diputar untuk mencari kata-k ata yang tepat. Sementara Ganta dan Kiwul
diam saja. Tidak sedikit pun mereka tampak kag et. Bahkan, ketika Dewa Arak
menyebutkan julukannya. Mereka belum pemah mendengar
julukan seperti itu. Letak desa ini memang agak terpen cil. Jauh terpisah dari
desa-d esa lainnya.
Dengan tidak adanya tanggapan dari Ganta dan Kiwul, Ki
Aswatama dan Dewa Arak jadi leluasa melanjutkan pembicaraan. Sekarang, pemuda
berambut putih keperakan itu sudah berhasil menemukan kata-kata yang tepat.
"Begini, Ki Aswatama. Kudengar kau menderita sakit yang aneh.
Apakah betul demikian?" tanya Dewa Arak hati-h ati.
"Benar," jawab Ki Aswatama singkat.
"Bisa kau jelaskan keanehanny a, Ki Aswatama?" desak Arya lebih jauh.
"Hhh...!" Ki Aswatama menghela napas. "Aku tidak pemah terkena serang an lawan.
Tapi, tahu-tahu saja beberapa hari yang lalu seperti ada benda tajam, tombak
atau sejenis itu, menembus kedua pahaku. Saat itu aku tengah berdiri. Tak pelak
lagi, aku jatuh tersungkur. Dan sejak saat itu aku lumpuh...!"
Wajah Dewa Arak langsung memucat. Kejadian yang menimpa Ki
Aswatama ternyata sama d engan Melati. Pemuda berambut putih keperakan itu
merasa khawatir kekasihnya akan mengalami nasib seperti kakek tinggi besar itu.
Meskipun demikian, ada harap an menyala di dal am dada Dewa Arak. Sebab, sudah
dapat diketahui kalau pelaku tindak keji itu adalah orang yang sama. Dengan
demikian, Arya bisa melacaknya dari Ki Aswatama!
6 Seiring dengan timbulnya semangat itu, keraguan Arya pun
menyeruak. Siapa orang yang s ampai hati berbuat seperti itu" Dan mengapa hal
itu dilakukannya"
"Semula kucoba mengobati penyakit ini sendiri," lanjutnya, membuat Dewa Arak
menghentikan lamunannya. "Tapi tidak berhasil. Lalu, kusuruh Ganta dan Kiwul
memanggil ahli obat ternam a di desa-des a sekitar sini"
Kakek tinggi besar itu menghentikan ucapannya sejenak untuk
mengatur napasny a yang terlihat terengah -eng ah. Meskipun hanya bercerita,
keadaannya yang buruk itu cukup menguras tenaganya.
"Tapi ahli obat itu ternyata tidak mampu menyembuhkan
penyakitku. Katanya, aku bukan terk ena p enyakit atau luka bias a. Tapi luka
akibat ilmu hitam. Ilmu teluh. Kebetulan dia mempunyai sedikit pengetahuan
tentang ilmu itu. Tapi, sayangnya dia tidak bisa mengobati penyakitku."
"Apa saja yang diceritak annya mengen ai ilmu teluh itu, Ki?" tanya Dewa Arak.
"Cukup banyak. Katanya, tokoh yang mengirimkan penyakit ini
bermaksud menyiksaku. Dia ingin melihatku mati secara pelahan-lah an.
Karen a kalau dia ingin membunuhku, dengan mudah hal itu dapat
dilakukannya," jeals Ki Aswatama.
Cerita Ki Aswatam a membuat Dewa Arak merasa ng eri bukan
main. Nyawa Melati bagai telur di ujung tanduk. Kalau orang itu
menginginkannya, dengan mudah nyawa Melati dibuat melayang!
"Apakah orang yang kau panggul itu juga mengalami nasib
sepertiku?" tanya Ki Aswatama seraya mengarahkan pandang an kepada tubuh Melati
yang berada di bahu kanan Dewa Arak
"Yahhh...," jawab Arya setengah mendesah. "Kedua kakinya dilumpuhkan..."
"Keji!" seru Ki Aswatama agak keras. "Orang semuda itu harus menerima kenyat aan
demikian. Hati-hatilah, Dewa Arak. Kekejian itu masih berlanjut. Tokoh itu
melakukannya secara bert ahap. Aku yakin dia akan melumpuhkan kedua tangannya
seperti yang dilakukannya terhad apku!"
"Jahanam!" Dewa Arak b erteriak hingga pondok itu tergetar heb at.
Bahkan, Ganta dan Kiwul sampai terjingkat kaget "Tidak akan kubiarkan hal ini
terjadi! Tak akan!"
Sepasang mata Dewa Arak m encorong t ajam, menyorotkan sinar
kehijauan bag ai mata harimau dalam gel ap! Meng erikan ! Ganta, Kiwul dan Ki
Aswatama tak terasa bergidik melihatnya. Mereka tahu pemuda berambut putih
keperakan itu tengah dilanda kemarah an hebat!
"Boleh aku mengajukan pertanyaan lagi, Ki"!" tanya Dewa Arak dengan suara
bergetar karen a amarah yang masih bergelora.
Ki Aswatama mengangguk. Wibawa yang memancar dari diri Dewa
Arak ketika pemuda beram but putih keperakan itu murka membuat lidah kakek
tinggi besar itu kelu.
"Apakah kau bisa memperkirakan orang yang telah melakukan
kekejian terhad apmu"!"
"Kalau kau tanyakan orang yang telah melakukan perbuatan ini, terus terang aku
tidak tahu. Tapi bila kau menanyakan orang yang berad a di balik semua ini, aku
dapat memberikan jawab annya. Sebab, banyak
bukti-bukti yang menguatkannya."
Dahi Dewa Arak berk ernyit sebentar. "Aku mengerti maksdumu,
Ki. Bukankah kau ingin mengatakan kalau pelaku perbuatan keji ini hanya orang
suruhan"!"
"Begitulah, Dewa Arak," jawab Ki Aswatama yakin.
"Kalau begitu siapa o rang yang b erdiri di belakang layar itu, Ki"!"
desak Arya pen asaran.
"Juragan Trestajumena Geni!" tag as kakek tinggi besar itu mantap.
Sepasang alis Dewa Arak berkerut dalam.
"Apakah kau mempuny ai alasan yang kuat sehingga melontarkan
tuduhan seperti itu terhadapnya?"
"Banyak alasanny a, Dewa Arak! Pertama, aku adalah hamb atannya dalam melakukan
tindak kekejian terhadap penduduk desa. Dan mungkin dianggapnya
b erbah aya. Terbukti dengan ketidak -berh asilannya
menumpasku sewaktu mengirim orang-orangny a kemari. Tapi alasan lebih kuat yang
membuat kecurigaanku terh adapny a semakin keras adal ah sikap anak buahny a
ketika tadi datang ke sini. Apakah Ganta d an Kiwul belum menceritak annya kep
adamu"!"
Dewa Arak mengalihkan pandanganny a ke arah dua murid Ki
Aswatama deng an sorot mata penuh pertanyaan.
"Sudah, Guru. Kami telah memberitahukannya," jawab Ganta mendahului rekanny a.
"Tapi tidak ada sal ahnya kal au kami ulangi lagi, biar jelas. Mungkin tadi Arya
tidak terlalu memperhatikannya."
"Kecu rigaan kami semakin menguat karena sewaktu datang tadi, rombongan anak
buah Juragan Trestajumena Geni langsung menantang
kami. Katanya, kami tidak akan seberuntung dulu lagi. Karena tidak ada orang
yang akan membela kami. Jumlah mereka pun menambah keanehan
itu. Dengan jumlah sedikit mereka ingin meringkus kami. Beberapa hari yang lalu,
di waktu dihajar tunggang-langg ang oleh kami bertiga, jumlah mereka jauh lebih
banyak. Paling tidak dua kali lipat dari sekarang," urai Kiwul panjang lebar.
"Mungkin benar jumlah mereka berkurang. Tapi, kemampuan
perorangannya jauh di atas penyerang-p enyerang yang dulu," timpal Dewa Arak
mengemukak an pendap atnya.
"Tidak, Arya," jawab Kiwul bersikeras. "Semua penyerbu yang tadi adalah orang-o
rang yang melakukan penyerangan beb erap a waktu yang lalu."
"Kalau begitu, aku akan pergi dulu, Ki," ucap Arya setelah termenung sesaat
"Mengapa terges a-g esa, Dewa Arak" Ke mana kau akan pergi?"
tanya Ki Aswatam a kaget melihat keputusan Dewa Arak yang b egitu
mendadak. "Mendatangi Juragan Trestajumena Geni, Ki. Aku akan mengorek
keterang an dari mulutnya. Benarkah dia yang berdiri di belakang semua ini"
Kalau benar demikian, mudah-mudahan masalah ini akan tuntas. Selamat tinggal,
Ki!" Dewa Arak segera melesat meninggalkan tempat itu.
"Selamat jalan, Dewa Arak! Semoga berhasil!" seru Ki Aswatama agak mengeraskan
suaranya ag ar terdeng ar.
*** Tidak sulit bagi Dewa Arak untuk mencari tempat kediaman
Juragan Trestajumena Geni. Karena tadi sewaktu menuju tempat tinggal Ki
Aswatama, Arya telah melewatinya. Orang terkaya di beberap a desa itu tinggal di
rumah yang mewah dan megah, terkurung pagar batu tinggi. Tak kurang dari satu
setengah tombak tingginya.
"Berhenti!"
Hardikan keras disertai todongan dua batang tombak membuat
Dewa Arak menghentikan ayunan kakiny a. Pemuda berambut putih
keperakan itu telah berada di depan pintu gerbang rumah Juragan
Trestajumena Geni. Dua orang lelaki menjaga pintu gerbang. Penjaga-penj aga itu bertubuh kekar dan berwajah kasar. Yang menghardik Dewa
Arak mempunyai tompel besar di pipi kanan.
"Siapa kau" Dan apa kep erluanmu k emari?" tanya penjag a satunya lagi, yang
berkepala botak. Suaranya tak kalah bengis dari rekannya.
Dua orang penj aga itu memang tidak termasuk orang-o rang yang
melakukan peny erbuan k e tempat tinggal Ki Aswatama. Karena itu, mereka tidak
mengenal Dewa Arak!
Dewa Arak teng ah mengej ar waktu. Karuan saja, Ary a jengkel
mendapat hambatan seperti itu. Tidak ada waktu lagi baginya untuk
bermain-main. Maka, tangan kirinya segera dikibaskan.
"Wuaaa!"
Dua orang tuk ang pukul Juragan Trestajumen a Geni itu menjerit
ngeri. Tubuh mereka tiba-tiba melayang. Padahal, keduanya yakin Dewa Arak tidak
meny entuh tubuh merek a. Penjaga-penj aga itu hanya meras akan angin dahsyat
berhembus kencang. Dan, itu terjadi ketika Dewa Arak mengibaskan tangannya.
Tapi Dewa Arak tidak mempedulikan n asib kedua penj aga itu.
Dengan sekali lesatan Arya berhasil melewati pintu gerbang. Kini, pemuda beram
but putih keperakan itu telah berada di halaman depan yang luas. Di kanan dan
kiri yang berdekatan dengan tembok tampak membentang
hamparan bunga-bunga indah.
Dewa Arak tertegun kebingungan. Di hadapannya terdapat
beberapa bangunan megah. Tapi yang paling mewah dan besar adalah
bangunan yang te-l etak di bagian tengah. "Rupanya, ini bangunan induk. Di
sinilah Juragan Trestajumena Geni tinggal," bisik Dewa Arak dalah hati.
Kedatang an Arya terny ata segera diketahui oleh tukang-tukang
pukul Juragan Trestajumena Geni. Itu terjadi karena hampir di setiap sudut
terdapat mereka.
"Penyelundup...! Ada penyelundup...!"
"Kepuuung...! Jangan biarkan lolos...!"
Teriakan-teri akan
keras terdeng ar saling bersahutan. Sesaat kemudian, derap kaki-k aki yang berlari menghant am bumi menyambuti.
Hanya dalam sekejap Dewa Arak telah dikurung. Sementara pemuda
berambut putih keperakan itu tetap berdiri di tempatnya.
Meskipun telah terkurung Dewa Arak tetap bersikap ten ang.
Sepasang matany a berk eliaran k e sana kemari memperhatikan para
pengepungnya. Tatapan pemuda itu berhenti di depan pintu bangunan
termegah. Di sana berdiri seorang lelaki berpak aian indah. Dua orang bertampang
angker berad a di kanan kirinya. Sementara dua orang lagi berjaga-jaga di anak
tangga terbawah yang menuju ke pintu bangunan megah itu.
Tanpa diberitahu Dewa Arak sudah bisa menduga siapa lelaki
berpak aian indah itu. Pasti Juragan Trestajumena Geni! Sayang, pemuda berambut
putih keperakan itu tidak bisa terlalu lama memperhatikannya.
Karen a.... "Siapa kau, Keparat! Sungguh berani menyatroni tempat tinggal Juragan
Trestajumena Geni!" tuding seorang lelaki pendek kek ar yang berad a tepat di
depan Dewa Arak. Melihat tindak-tanduknya, kedudukannya tentu tidak sama dengan
yang lainnya. "Dialah orang yang kami ceritakan itu, Pratala!" teriak salah seorang di antara
para pengepung.
"Benar!" sambung yang lainnya.
"Betul!" Satu suara lagi memberikan dukungan. "Dia lihai sekali!"
Lelaki pendek kekar yang ternyat a bernam a Pratala menggertakkan
gigi. Lelaki itu geram bukan main begitu mengetahui sosok yang berdiri di
hadapanny a orang yang telah menggagalkan rencana meleny apkan Ganta dan Kiwul.
Sebab, dirinya yang mendapat teguran dari Juragan Trestajumena Geni. Karen a
dialah yang menjadi pimpinan tukang-tukang pukul Juragan Trestajumena Geni.
"Kalau begitu, bunuh dia!" sem Pratala keras.
Tanpa diperintah dua kali, tukang-tukang pukul Juragan Trestajumena Geni yang telah mengepung Dewa Arak langsung melancarkan serang an.
Senjata yang sejak tadi terhunus di tangan diayunkan ke arah sasaran.
Sing, sing, wukkk!
Bunyi-bunyi tajam mengiris telinga mengawali tibanya hujan
berbag ai macam senjata.
Dewa Arak tetap tenang. Ditunggunya hingga semua serangan
menyambar dek at.
Setelah itu Arya baru bertindak. Dengan ilmu meringankan tu buhnya, pemuda berambut putih keperak an itu mengelakkan setiap
serangan. Tubuhnya berkelebat an di antara senjata lawan.
Pratala geram bukan main melihat Dewa Arak mampu meloloskan
diri. Lincah bagai kera Dewa Arak berk elebatan di sela-sel a hujan serangan !
Pertarungan pun tidak dapat dihindarkan. Namun, tidak berlangsung
seimbang. Terbukti, beberapa gebrakan kemudian ketika Dewa Arak mulai
melancarkan serangan. Jerit kesakitan mengiringi berp entalanny a tubuh tukang
pukul Juragan Trestajumena Geni satu demi satu!
"Haaat...!"
Pratala yang sangat murka melompat menerjang Dewa Arak. Golok
besar yang menj adi senjata and alanny a diayunkan ke k epala Arya. Bila
berhasil mengenai sasaran, lelaki pendek kekar itu yakin tubuh Arya akan
terbelah menjadi dua.
Dewa Arak 58 Mayat Hidup di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi, Dewa Arak tidak menjadi gugup. Padahal pada saat itu
tubuhnya tengah berada di udara. Dengan tenang tangan kirinya dipalangkan di
atas kepala. Pemuda itu memapaki bacokan golok Pratala dengan
pergelang an tangan!
Takkk! Bunyi keras terdengar. Golok Pratala berbenturan dengan tangan
Dewa Arak yang terlindungi tenaga dal am kuat. Seketika itu pula, golok itu
terpental balik. Pratala merasakan tanganny a panas dan sakit, sehingga hampirhampir senjatany a terlepas dari cekalan.
Sementara Dewa Arak sedikit pun tidak mengalami kejadian yang
merugikan. Tangannya tetap utuh. Jangankah putus, tergores pun tidak.
Malah, dengan kecepatan luar biasa tangan kirinya dihantamkan ke arah dada
Pratala. Pemimpin tukang pukul Juragan Trestajumena Geni itu terkejut
bukan main. Dia menyadari adanya bahaya yang mengancam. Tapi saat itu kedudukan
tubuhnya tidak menguntungkan. Dia masih berada di udara.
Meskipun demikian, diusahakan sebisanya untuk mengelak. Dan....
Plakkk! "Huakh...!"
Pratala melolong ketika telapak tangan kiri Dewa Arak dengan telak menghantam
sasaran. Bunyi berdetak keras tulang-tulang patah langsung terdengar. Darah
segar menyembur dari mulut pimpinan tukang-tukang pukul Juragan Trestajumena
Geni. Dan tubuhnya melay ang meninggalkan raga.
Kejadian ini tidak hanya mengejutkan tukang tukang pukul Juragan
Trestajumena Geni. Tapi juga Juragan Trestajumena Geni sendiri. Dan sebelum
keterkejutan merek a sima, dengan sekali lesatan Dewa Arak berhasil keluar d ari
kepungan. Tubuh pemuda berambut putih keperak an itu melesat cepat ke arah
Juragan Trestajumena Geni !
Tindakan Dewa Arak membu at semua mata yang ad a di situ
terbelalak l ebar. Tindakan pemuda itu benar-ben ar menggiriskan h ati. Anak
tangga yang berjumlah bel asan langsung dilewatinya. Sekejap kemudian Arya telah
berada di puncak! Satu tombak di hadapan Juragan Trestajumena Geni.
Kejadian tak disangka-sangk a ini membuat tukang-tukang pukul
Juragan Trestajumena Geni kelab akan. Berbondong-bondong merek a berlari
mengejar Dewa Arak. Demikian pula dua tukang pukul yang berjaga di anak tangga
terb awah. Mereka berlari-l ari
melewati anak tangg a untuk menyelamatkan nyawa majikannya.
Tapi, tindakan mereka kal ah cep at oleh dua orang berwajah angk er yang berad a
di kanan kiri Juragan Trestajumena Geni. Secepat kilat keduanya men cabut pedang
yang terg antung di punggung. Kemudian
menyerang Dewa Arak bagai harimau luka.
Sing, sing! Kedua ped ang itu meluncur ke arah leh er dan ulu hati Dewa Arak!
Arya tahu serangan kedua orang itu tidak bisa disamakan dengan
serang an-serangan seb elumnya. Tenaga dalam serangan itu jauh lebih kuat dari
Pratala, Ganta maupun Kiwul.
Tapi semua itu bukan berarti Dewa Arak men jadi gentar. Waktu
yang mendesak membuat Arya tak ragu-ragu lagi mengerahkan selumh
kemampuannya. Cepat kakinya dijejakkan. Hingga, tubuhnya melayang ke atas. Tak
pelak lagi, serangan kedu a pedang itu menyamb ar lewat di bawah kakinya.
Di saat tubuhnya berada di udara itulah Dewa Arak bertindak.
Tangan dan kakinya digerakkan dengan cepat ke arah kedua lawanny a.
7 Bukkk! Dukkk! "Akh, akh!"
Dua lelaki berwajah g arang itu menjerit tertahan k etika kaki dan tangan Dewa
Arak mendarat telak di dada dan tengkuk mereka.
Tulang dada itu hancur berantak an. Sedang leher kawannya
langsung patah. Saat itu juga nyawa kedua peng awal kep ercayaan Juragan
Trestajumena Geni melayang ke alam baka. Tubuh keduanya ambruk ke
tanah. Semua kejadian itu berlangsung di depan mata Juragan Trestajumena Geni. Karuan saj a, lelaki berpakai an mewah itu ketakutan bukan
main. Buru-buru tubuhnya dibalikkan dan berlari ke dalam. Tapi....
Langkah Juragan Trestajumena Geni langsung terhenti. Mendadak
Dewa Arak berdiri di hadapannya. Dengan sikap kalap juragan itu berbalik
kembali. Tapi, sebelum maksudnya teriaksana Dewa Arak telah mengulurkan tangan. Dan....
Kreppp! "Akh, ekh!"
Napas Jurag an Trestajumena Geni ters engal-sengg al saat tangan
Dewa Arak mencekal leher bajunya, dan mengangkatnya ke atas tanpa
kesulitan yang berarti.
"Kau tidak usah takut, Tuan Saudagar! Percay alah, aku tidak akan membunuhmu
asal kau mau menjawab pert anyaanku dengan jujur. Kau
bersedia"!" tanya Dewa Arak dengan garang.
Juragan Trestajumena Geni hanya dapat mengangguk-anggukan
kepala menyetujui tawaran yang diajukan Dewa Arak Rasa takut yang
mencek am membuat lidahnya terasa kelu, sehingga sukar untuk berbicara.
Dewa Arak lalu menurunkan tubuh lelaki berpakaian mewah itu dan
melepaskan cekalanny a.
"Awas! Jangan sekali-kali kau berbohong padaku. Bila hal itu kau lakukan, ke
mana pun kau bersembunyi akan kucari. Dan..., kau tidak akan mati dengan enak!"
ancam Dewa Arak sungguh-sungguh.
Kekhawatiran yang sangat akan keselamatan Melati membuat Dewa
Arak tidak main-main. Sengaja ditunjukkannya sikap keras agar lawan-lawanny a tidak berani bertindak sembarang an. Patut dimaklumi kecem asan
hati pemuda berambut putih keperakan itu. Sebab, luka yang diderita Melati
semakin bertambah parah. Tangan kananya kini lumpuh!
"Aku berjanji ak an berk ata sejujurnya.
Tapi, apakah kau benar-benar akan menep ati janjimu"!" Khawatir dengan keselamatan nyawany a.
Juragan Trestajumena Geni memberanikan diri mengeluarkan pertanyaan itu.
"Jangan samak an aku deng an kalian. Bagiku sebuah janji lebih berharga dari
nyawa!" tandas Dewa Arak teg as.
"Tapi, aku masih belum yakin kalau kau belum mengucapkannya,,"
desak Juragan Trestajumena Geni.
"Baik! Dengar baik -baik. Demi kehormatanku, aku bersumpah
tidak akan membunuh Juragan Trestajumena Geni bila dia bersedia
menjawab pert anyaanku deng an jujur!"
"Sekarang aku percaya," sambut Jurag an Trestajumena Geni. "Dan ingat, Anak Mua.
Orang-orang yang berada di belakangku menjadi saksi sumpahmu."
"Aku tahu," sahut Dewa Arak tak sabar, setelah mengerling sejenak ke arah
rombongan tukang pukul yang telah berada di belakang Juragan Tres tajumena Geni.
"Sekarang giliranku, Tuan Saudagar."
"Silakan," jawab Juragan Trestajumena Geni
"Benarkah kau yang menyuruh orang untuk membuat Ki Aswatama
sakit?" Juragan Trestajumena Geni tertegun. Terlihat jelas dia merasa ragu untuk
menjawabnya. Tentu saja, Dewa Arak mengetahuiny a.
"Tidak usah ragu-ragu, Tuan Saudagar. Ingat sumpah yang
kuucapkan !" sambung Dewa Arak cepat
"Hhh...!" Juragan Trestajumena Geni meng -hela n apas panj ang.
"Benar."
"Benarkah orang yang kau suruh itu menggunakan ilmu hitam?"
kejar Dewa Arak.
Juragan Trestajumena Geni mengangguk.
"Apakah sel ain terhad ap Ki Aswatama kau m emberikan p erintah untuk menyakiti
orang lain?" tanya Dewa Arak lagi, agak berget ar suaranya karen a peras aan
tegang yang meland a.
"Tidak!" jawab Juragan Trestajumena Geni mantap. "Aku hanya mendendam pada Ki
Aswatama. Hanya pada dialah kuberikan perintah untuk mengirimkan serangan gaib!"
"Kau yakin, Tuan Saudagar?" kejar Dewa Arak setengah tidak percaya. Seraya men
atap lelaki berp akaian mewah itu tepat pada kedua bola matanya. Ingin
diketahuinya kejujuran juragan itu lewat sinar matanya.
"Aku berkata dengan sejujurnya, Anak Muda!" tandas Juragan Trestajumena Geni
sedikit tidak senang.
Dewa Arak pun terdiam. Dirasakan kesungguhan dalam ucapan dan
sikap lelaki berpakaian mewah itu. Dan Arya percaya Juragan Trestajumena Geni
tidak berbohong.
"Pertanyaan terakhir, Tuan Saudagar. Siapakah orang yang telah mengirimkan
serangan gaib itu" Dan di mana tempat tinggalnya?"
Seketika itu pula selebar wajah Juragan Trestajumena Geni berubah.
Pucat pasi bagai tak berdarah. Tampaknya, pertanyaan itu mengejutkan hatinya.
Dewa Arak bukan orang bodoh. Pemuda itu tahu Juragan
Trestajumena Geni merasa cemas untuk menjawabnya.
"Waktuku tidak banyak, Tuan Saudagar. Cepat berikan jawaban.
Atau..., terpaksa aku turun tangan untuk mencabut nyawamu"!" ancam Dewa Arak
dengan sungguh-sungguh.
Pemuda berambut putih keperakan itu khawatir Juragan Trestajumena Geni tidak berani memberikan jawaban. Jika hal itu terjadi,
habislah harapanny a. Terpaksa dia mulai dari awal lagi. Dan mungkin Melati
telah keburu tewas.
Rupanya, gertakan Dewa Arak manjur juga. Meskipun dengan
takut-takut Juragan Trestajumena Geni mau juga membuka mulutnya.
"Aku sendiri tidak tahu pasti siapa dia, Anak Muda. Yang jelas, dia seorang ahli
ilmu hitam. Mungkin dukun. Salah seorang anak buahku yang memberitahuku mengenai
dia. Namanya Mbah Lulur Jagad. Tinggal di
puncak Bukit Rajang. Di sana ada sebuah gua. Itulah tempat tinggalnya," urai
Juragan Trestajumena Geni.
Dewa Arak menging at semua ket erang an Juragan Trestajumena
Geni. Kemudian, setelah yakin tidak ada yang ditanyakan lagi, Arya melesat
meninggalkan tempat itu.
Cepat bukan main gerakan pemuda berambut putih keperakan itu.
Sehingga meskipun Juragan Trestajumena Geni dan tukang-tukang pukulnya sejak
tadi mengawasi, hanya melihat kelebat an bayang an ungu yang tidak jelas.
Bayangan itu melesat ke arah pintu gerbang. Deng an sekej ap sosok tubuh itu
telah berada di luar dan terus melesat pergi.
"Hhh...!"
Juragan Trestajumena Geni menghela nap as lega melihat Dewa
Arak memenuhi janjinya. Dengan langkah l esu tubuhnya dibalikkan.
Kemudian kakinya mel angkah memasuki bangun an induk. Sementara
tukang-tukang pukulnya tanpa diperintah lagi mengurus rakan-rekan mereka yang
terluka maupun tewas.
*** "Keparat!"
Makian keras penuh kem arah an keluar dari mulut seorang n enek
berambut awut-awutan. Pakaian serba hitam membungkus tubuhnya yang tinggi kurus.
Kalung, gelang, anting, dan ikat pinggang yang terbuat dari ular yang
dikeringkan menghiasi anggota-anggota tubuhnya.
"Ada apa, Mbah"!"
Sebuah suara lembut dan halus menangg api makian nenek
berpak aian hitam. Sesaat kemudian, pemilik langkah itu menghampiri si nenek.
Ternyata dia seorang wanita berwajah cantik jelita. Tubuhnya montok menggiurkan
dan terbungkus p akaian merah menyal a, membuat kecantikanny a semakin menyolok.
"Si keparat Trestajumena Geni membuka rahasiaku p ada Dewa
Arak, Ayu," jawab nenek berpakai an hitam. Terasa jelas kegeraman di dalamnya.
"Rupanya dia sudah ingin mampus! Tapi, kematian terlalu enak baginya. Dia harus
menerima hukuman yang lebih berat. Akan kuteror dia.
Kubunuh semua anak bu ahnya dulu. Ayo, Ayu! Cepat buatlah bonek a yang banyak!"
Tanpa membantah wanita berpakaian merah yang dipanggil Ayu
melaksanak an perintah nen ek berpak aian hitam, yang tidak lain Mbah Lulur
Jagad! Diambilnya kain-kain berwarna hitam dari sudut ruangan. Kemudian,
dibentuknya menjadi sebuah boneka yang amat sederh ana.
"Mbah...," ucap Ayu seraya terus membuat boneka.
"Hm...!" Tanpa menoleh, Mbah Lulur Jagad menyambuti dengan menggumam pelan.
"Mengapa tidak lekas kau tusuk mati saja si Melati keparat itu! Jika dia tewas
tenanglah hatiku!"
"Hhh...!"
Sambil menghela napas, Mbah Lulur Jag ad menoleh. Sepasang
matanya yang kemerah an dan mengandung sinar aneh menatap wajah Ayu lekat-lekat.
"Sudah telanjur, Ayu. Sekarang, tidak mungkin lagi langsung
kuarahk an jarum-jarumku ke jantungnya. Aku mempunyai aliran ilmu hitam yang
agak berbed a. Dengan bonek a-bonek a yang kubuat, aku tidak hanya dapat
menyiksa atau membunuh seo rang dari jarak jauh. Tapi, juga dapat membuatnya
menjadi mayat hidup yang taat dengan segala perintahku!"
Mbah Lulur Jagad menghentikan uraianny a. Sebuah beneka
diacungkanny a dengan tangan kiri, dan jarum tergenggam di tangan kanan.
"Untuk hal yang pertama, tidak sulit. Begitu membuat boneka yang mewakili diri
seseorang, aku dapat mel akukan ap a saja y ang kuinginkan!
Setiap kali boneka ini kutusuk dengan jarum, orang yang diwakili boneka ini akan
kesakitan. Kucopot kakinya, maka kaki orang itu akan copot. Dan kalau kutusuk
jantungnya, dia akan mati!"
Kembali Mbah Lulur Jagad menghentikan ceritanya. Ditatapnya
wajah Ayu lekat-lek at. Nenek itu memberi kesempatan pad a Ayu untuk mengajukan
pertany aan. Tapi, Ayu tidak menggunakan kesempatan itu.
Mungkin dia telah paham dengan semua yang diceritakan Mbah Lulur Jagad.
"Cara yang kedua, berbeda dengan ilmu hitam umumnya. Cara ini sulit. Ada tahap
Dewa Arak 58 Mayat Hidup di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tahapnya. Dan caranya pun tidak sembarangan. Setiap tahap membutuhkan mantera
sendiri dan waktu yang agak lam a. Cara ini
kupergunak an untuk orang-o rang yang memiliki kepandai an tinggi. Ki Aswatama,
terutama Melati,
masuk golongan ini. Aku bermaksud menjadikan merek a mayat-may at hidup yang taat perintahku!"
"Kapan meraka akan menjadi seperti yang kau harapkan, Mbah?"
tanya Ayu ingin tahu.
"Untuk Ki Aswatama saat ini juga bisa kulakukan. Tinggal tusuk bagian jantung
boneka ini. Dia akan mati! Setelah itu, kuhidupkan lagi. Dan dia akan menjadi
mayat hidupku yang paling patuh akan segala perintah yang ku harapkan. Kau tahu,
Ayu. Apa yang kuinginkan langsung dilaksanakan oleh mayat hidup itu. Seakan-ak
an aku dan dia satu pikiran!"
"Tapi, Mbah. Bukankah kau katakan Trestajumena Geni telah
membuka rah asiamu terh adap Dewa Arak. Itu berarti dia b erad a dalam perjalan
an menuju ke sini. Apakah sebelum Dewa Arak tiba kau telah bisa menjadikan
Melati sebagai mayat hidup?"
"Belum." Mbah Lulur Jagad menggelengkan kepala. "Dia baru saja kulumpuhkan
lengan kananny a. Membutuhkan waktu dua hari untuk
melumpuhkan tangan yang lain. Kemudian, tiga hari untuk menusuk
jantungnya. Baru setelah itu dia akan menjadi mayat hidup!"
"Kalau demikian, Dewa Arak ak an keburu tiba di sini!" keluh Ayu.
"Tenanglah, Ayu. Memang, tindakan Trestajumena Geni membuat
aku harus bertindak cepat Tapi, jangan khawatir. Aku yakin Dewa Arak tidak akan
sampai di sini. Dia akan tewas di perjalan an. Sebenarny a, sayang juga orang
sehebat dia harus tewas. Tapi, bagaimana lagi" Dia tidak bisa kujadikan mayat
hidup! Ada kekuatan aneh yang tidak kumengerti,
menolakkan jarum yang kutusukkan ke tubuhnya!"
"Mbah!" seru Ayu mencoba membantah. "Jadi.., kau bermaksud menjadikannya seb
agai mayat hidup" Apakah kau tidak mendengar
permintaanku waktu itu?"
Mbah Lulur Jagad men atap wajah wanita b erpakaian merah
dalam-dalam. "Kau benar-benar gadis aneh, Ayu," ucap nenek berpakaian hitam seray a
menggeleng-g elengkan kep ala. "Cintamu kepadanya ternyata benar-b enar buta.
Bukankah menurutmu dia tidak membalas cintamu" Dan gadis berpakaian putih yang
bernama Melati itu adalah tunangannya"
Mengapa kau masih mengharapk annya?"
"Aku yakin, apabila Melati tidak ada Dewa Arak akan mencintaiku.
Bukankah aku memiliki wajah cantik dan tubuh yang bagus"! Karena itu, sejak awal
kuminta kau membunuh Melati, Mbah! Aku kecewa sekali begitu kutahu Melati tidak
kau bunuh!"
Kembali Mbah Lulur Jagad menggeleng-gel engkan kepal a.
"Apakah kau tidak sakit hati, Ayu" Bukankah Dewa Arak yang
menggagalkanmu di saat pedangmu hampir memenggal kep ala Melati.
Bahkan, dia pula yang telah meny ebabkanmu terluka berat" Dan kau
ditinggalkannya begitu saja di tengah jalan" Kalau tidak ada aku yang
menolongmu, bagaimana nasibmu" Tapi, apa balasanmu" Memperk enalkan nama aslimu
pun tidak!"
"Maafk an aku, Mbah," ucap wanita berpakaian merah. "Bukannya aku mau merahasiak
annya darimu. Tapi, aku telah berjanji tidak akan memperken alkan nama asliku
bila Melati belum mati di tanganku!"
Mbah Lulur Jagad hanya mengangkat bahu mendengar pernyataan
itu. Perhatiannya kembali dialihkan pad a benda b enda y ang tergolek di
depannya. Dua buah bonek sederhana. Yang satu didandani seperti wanita.
Sedangkan satunya lagi persis kakek-kak ek.
Yang menggiriskan hati, pada kedua boneka itu tertancap
jarum-jarum yang tajam berkilatan. Hanya pada bonek a yang berupa
kakek-k akek jarum itu lebih banyak. Dua menancap pada kedua paha. Dua lagi pada
kedu a bahu. Sedangkan p ada bonek a wanita p ada k edua pah a dan satu bahu.
Dengan pand ang mata berbinar-binar, nenek berpak aian hitam itu
mengambil boneka kakek-kakek. Kemudian, diambilnya pula sebuah jarum besar yang
putih mengkilat. Sambil menggumamkan kata-k ata yang tidak jelas, karena
diucapkan d engan pel an dan cepat, jarum itu dihujamkan ke dada sebelah kiri
boneka kak ek Jrebbb! Jarum besar dan panjang itu menembus hingga bagian belakang
tubuh boneka tua itu. Pemandangan seperti ini yang terlihat di gua tempat
tinggal Mbah Lulur Jagad. Tapi, di rumah Ki Aswatama sangat mengejutkan!
Ki Aswatama yang tengah terbaring lemah di balai-balai bambu dan
dijaga kedua muridnya, tiba-tiba mengeluarkan keluhan tertahan. Kedua tangannya
didekapkan ke dada kiri. Sepasang mata kakek itu membelalak lebar seperti orang
meregang nyawa. Lalu mendadak sontak tubuhnya lemas dan tidak bergerak lagi.
"Guru...!"
Jeritan kaget dan cemas itu keluar dari mulut Ganta. Dipanggil-panggilnya gurunya. Tapi, Ki Aswatama tidak memberikan
tanggapan sedikit pun.
"Guru...!" seru Kiwul pula tak kalah kerasnya.
Karen a dilihatnya kakek tinggi besar tidak memberikan tanggap an, diguncangguncangkanny a tubuh tua itu. Berharap ad a keajaiban d an Ki Aswatama bangun.
Tapi harapan kedu a orang itu sia-sia. Kakek tinggi besar itu tidak memberikan
tanggapan sama sekali. Melihat kenyataan itu, Ganta dan Kiwul pun yakin Ki
Aswatama telah tewas
"Guru...!"
Hampir bersam aan Ganta d an Kiwul merebahk an wajah di kanan
dan kiri dada Ki Aswatama. Kekh awatiran mereka terbukti. Kakek tinggi besar itu
akhirnya tewas.
8 "Hik hik hik...!"
Mbah Lulur Jagad tergelak m elihat tingkah laku Ganta d an Kiwul.
Ternyata, nenek berpakai an hitam itu melihat melalui sebuah bola kaca yang
besarny a hampir sekepala manusia dewasa.
Tapi tidak lama Mbah Lulur Jagad bersikap demikian. Boneka tua
itu lalu didekatkan ke atas sebuah pedup aan yang meng epulkan asap berbau
wangi. Bau kemenyan! Pendupaan,
bola kaca, boneka-boneka dan
jarum-jarum besar dan panjang tergeletak semua di depan nenek ahli sihir itu.
Mbah Lulur Jagad membiarkan bonek a tua itu terkena asap
pendupaan. Malah, bonek a itu digoyangkan-goy angkan
di atasny a. Sementara mulu-ny a menggumamkan k ata-k ata yang sukar ditangkap
artinya. Nenek itu tengah m engucapk an mantera-m antera. Cukup lama juga Mbah
Lulur Jagad berbuat seperti itu.
"Atas nama roh-roh penasaran dan setan-setan di neraka, bangkitlah kau, Ki
Aswatama. Dan mulai sek arang kau menjadi bud akku. Apa yang kuinginkan kau yang
laksanakan! Bangkit! Bangkit!"
Usai berkata begitu, Mbah Lulur Jagad mengambil kendi dan
menuangkanny a ke dalam mulut. Berkumur-kumur beberap a saat. Lalu....
"Pruhhhh!"
Mbah Lulur Jagad menyemburkan air kendi yang berasal dari tujuh
mata air dan telah direndam dalam tujuh macam kembang itu, pada boneka tua di
atas pendupaan! Baru setelah itu semua tindakannya dihentikan.
Sekarang, dengan sorot mata berbinar, nenek berpakaian hitam itu
mengarahk an tatapannya, pada bola kaca di depannya. Tampak di sana Gantar dan
Kiwul telah meng angkat kepal a. Kedua orang muda itu saling berpand angan.
"Hik hik hik...!" Mbah Lulur Jagad kembali tertawa terkikih ketika melihat mulut
Ki Aswatama bergerak -gerak. Maka, buru-buru dicabutinya jarum-jarum panjang
yang menyate tubuh boneka tua itu.
Kembali perhatiannya dialihkan. Dan ketika Ki Aswatama mulai
bergerak bangkit, Mbah Luhur Jagad pun mulai dengan percobaan
pertamany a. "Bunuh kedua orang muda itu!" bisik Mbah Lulur Jagad dalam hati.
Akibatnya sungguh luar bias a! Sambil mengeluarkan geraman
keras, Ki Aswatama mengayunkan kedua tangannya ke sisi kanan dan kiri.
Tindakan kakek tinggi besar itu membuat Gantar dan Kiwul, yang semula terpaku
melihat orang yang telah mati hidup kembali, terkejut bukan main.
Kedua orang muda itu segera meny adari bahaya y ang mengancam.
Maka, sebisanya mereka berusaha meyelam atkan selembar nyawa. Dan itu dilakukan
dengan membuang tubuh ke belakang. Tapi....
Crokkk, crokkk!
Terdengar bunyi keras seperti sesuatu yang hancur ketika kedua
tangan Ki Aswatama menghantam kepala Ganta dan Kiwul. Tanpa sempat mengeluark an
jeritan lagi, mereka ambruk ke lantai. Tewas!
"Hik hik hik...!"
Mbah Lulur Jagad gembira bukan main melihat keberhasilan
rencanany a. Sekarang, diperintahkanny a Ki Aswat ama keluar dan berdiri di
depan pintu, menghadang kedatang an Dewa Arak. Karena pemuda berambut putih
keperakan itu harus melewati tempat tinggal Ki Aswatama bila ingin menuju Bukit
Rajang. Jalan itu adalah satu-satunya jalan yang paling dekat.
Dan, memang dugaan Mbah Lulur Jagad tidak salah. Dewa Arak
memilih jalan yang melalui pondok Ki Aswatama untuk mencapai puncak Bukit
Kajang. Pemuda berambut putih keperakan yang tengah terburu-buru ini mengerahkan
seluruh ilmu meringankan tubuhnya, agar dapat segera tiba di tempat tujuan.
Karen a itu, hanya dalam waktu singkat pondok Ki Aswatama telah
terlihat. Kali ini Dewa Arak tidak berm aksud untuk singgah. Waktunya sudah
tidak memungkinkan lagi. Maka pemuda itu memutuskan untuk tidak mengendurkan
lariny a meskipun melalui depan pondok Ki Aswatama.
Tapi sebelum niat itu terlaksana, sepasang mata Dewa Arak
membelalak lebar ketika melihat pemandangan di depannya. Di sana tampak sesosok
tubuh berdiri di depan pondok Ki Aswatama.
Yang mengejutkan Dewa Arak adal ah saat melihat wajah sosok itu.
Wajah itu adalah Ki Aswatama! Bukankah kakek tinggi besar itu sedang terbaring
sakit" Mengapa sek arang terlihat begitu segar" Bahkan seperti menunggu
kedatanganny a.
*** "Ki Aswatama...!"
Begitu jarak antara mereka tingggal tujuh tombak lagi, dan telah
melihat jelas kalau sosok itu adalah Ki Aswatama, Dewa Arak berteriak gembira.
Tapi kegembiraan Dewa Arak pupus ketika merasakan hal aneh
merayapi dirinya. Dia meras akan ad a bahay a mengancam. Bahkan bahaya besar!
Dewa Arak tahu ini adalah nalurinya. Maka, pemuda itu pun bersikap waspada.
Meskipun terlihat biasa saja, seluruh urat saraf dan otot-otot tubuhnya
menegang. Siap menghadapi segala sesuatu yang tidak diharapkan!
Keheranan Dewa Arak semakin membesar ketika menyadari
kenyataan aneh. Kian dekat dengan Ki Aswatama rasa gelisahnya semakin menjadi.
Kenyataan itu mengherankan Dewa Arak. Buru-buru larinya
dihentikan. Sekarang Arya mel angkah biasa. Sepasang mat anya diarahkan pada
sosok Ki Aswatama.
Dewa Arak merasak an tengkuknya merinding. Padahal, tanda
seperti ini hanya akan muncul bila dia bertemu dengan makhluk aneh.
Apakah Ki Aswatama bukan manusia"
Pertanyaan itu membuat Dewa Arak menghen tikan langkah. Arya
mulai curiga pada Ki Aswatama. Pemuda itu berdiri berhadapan dengan kakek tinggi
besar itu dalam jarak tiga tombak.
"Arrrggghhh...!"
Tiba-tiba Ki Aswatama meng eluark an geraman an eh. Bunyinya
seperti raungan binatang buas yang terluka. Kemudian, kakek tinggi besar itu
menerkam Dewa Arak bagai seekor harimau menerkam mangsany a.
Untung Dewa Arak sudah bersiap-siap. Meskipun demikian,
pemuda berambut putih keperakan itu terkejut juga. Serangan Ki Aswatama demikian
cepat dan dahsyat! Keh ebat annya berpuluh kali lipat dari serangan harimau yang
paling buas sekalipun!
Wusss! Dewa Arak tercek at ketika meras akan angin sambaran serangan Ki
Aswatama. Angin keras itu sanggup melemparkan tubuhnya kalau tidak segera
mengerahkan t enaga d alam pad a kedu a kali. Padahal, serang an itu belum juga
tiba. Dewa Arak ad alah pend ekar y ang berwatak hati-h ati. Karena itu, Arya tidak
seg era m emapaki serang an itu. Cepat kakinya dijejakkan hingga tubuhnya
melesat ke atas melampaui kepala Ki Aswatama. Pemuda itu
bersalto beberapa kali sebelum mendarat di tanah.
Tapi sebelum Dewa Arak sempat berbuat sesuatu, Ki Aswatama
telah melancarkan s erangan susulan. Kak ek itu menggulingkan tubuhnya di tanah.
Kemudian ketika telah berada di dekat Dewa Arak, tubuhnya
dilentingkan. "Arrrggghhh...!"
Lagi-lagi dengan diiringi geraman keras yang tidak layak keluar dari mulut
manusia, tangan kanannya disampokkan ke pelipis Dewa Arak.
"Ah!"
Dewa Arak terpekik kaget. Bukan hanya karena kecepatan serangan
itu. Tapi juga karena sempat melihat tangan Ki Aswatama. Kuku-kuku runcing,
panjang, melengkung, dan berwarn a kehitaman
menghi asi ujung-ujung jarinya. Padahal, Dewa Arak tahu kakek tinggi besar itu tidak
memelihara kuku!
Hal ini membuat Dewa Arak yang cerdik segera dapat menarik
kesimpulan. Sesuatu telah menimpa diri Ki Aswatama. Dan siapa pun sosok yang
berdiri di hadapannya, yang jelas amat berbahay a bila dibiarkan hidup!
Mungkin sosok ini memang Ki Aswatama. Tapi berkat ilmu hitam telah berhasil
dijadikan makhluk mengerikan! Demikian kesimpulan Dewa Arak yang sadar akan
banyaknya ilmu-ilmu aneh yang terkadang tidak masuk akal.
Keputusan yang diambil membuat Arya memutuskan untuk
memapaki serangan itu. Ia ingin merasakan sendiri kekuatan tenaga Ki Aswatama!
Maka, Dewa Arak segera mengayunkan tangan kirinya dengan mengerahk an seluruh
tenaga dal amnya.
Plakkk! Benturan keras dua tang an yang dialiri ten aga d alam tidak dapat dielakkan
lagi. Akibatnya, tubuh Dewa Arak terhuyung-huyung beberapa langkah.
Sementara tangan y ang berbenturan teras a ngilu! Ini menandakan
tenaga dalamnya masih di bawah tenaga dal am Ki Aswatama.
Seketika itu pula Dewa Arak sadar kalau Ki Aswatama yang
dihadapinya ini adalah makhluk jadi-jadian. Sebab, tidak mungkin seorang guru
silat desa, betapapun tinggi ilmunya, memiliki tenaga dalam lebih kuat darinya!
Tapi, Dewa Arak tadak bisa memikirkan hal itu lebih jauh. Ki
Aswatama telah kembali melancarkan serangan yang tak kalah dahsyatnya.
Hingga, Dewa Arak harus mengerahkan s eluruh kemampuanny a. Ilmu
'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' dan Ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga'
Dewa Arak 58 Mayat Hidup di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
warisan ay ahnya dikeluark an. Pemuda itu kelihatannya tidak memiliki kesempatan
untuk mengambil guci araknya.
Semula pertarung an berl angsung seimbang; Tapi keadaan itu tidak
berlangsung sampai lima jurus. Menginjak jurus kelima, Dewa Arak mulai terdesak.
Banyak hal yang menyeb abkan pemud a berambut putih keperakan itu terdesak.
Keberad aan Melati di bahunya, dan tambahan lagi hanya menggunakan sebelah
tangan. Sehingga, kedahsyatan ilmu-ilmu wansan ayahnya berkurang.
Melati pun menyadari keadaan kekasihnya yang gawat.
"Lempark an aku, Kakang! Lemparkan!" seru Melati memohon.
Gadis berpakaian putih itu menyadari kalau keadaan seperti ini terus dibiarkan
dia dan kekasihnya akan tewas.
Ketika pertarung an memasuki jurus ketujuh dan keadaan Arya
semakin terjepit oleh serangan -serangan Ki Aswatama y ang menderu-d eru laksana
gelombang laut, Dewa Arak memutuskan untuk memenuhi
permintaan Melati.
"Bersiaplah, Melati!" Usai berkata, tubuhnya bergerak ke samning untuk
mengelakkan serang an lawan, Arya melempark an tubuh kekasihnya.
Wuttt! Begitu tubuhnya melayang, Melati segera memusatkan pikiran agar
dapat mendarat dengan baik, Saat itu dia hanya mempunyai sebelah tangan yang
masih berguna. Tangan kanannya lumpuh total!
Srattt! Melati mencabut pedangnya ketika melihat tubuhnya meluncur
deras menuju sebatang pohon besar. Kalau tidak berbuat sesuatu, sudah dapat
dipastikan tubuhnya akan membentur batang pohon. Dan kesudahannya akan tidak
menyenangkan. Kini dengan ped ang terhunus Melati siap menghadapi kejadian
selanjutnya. Cappp! Pedang itu menancap sampai hampir seteng ah nya ketika Melati
menggengam pedangnya tegak lurus. Gerakan itu dilakukan Melati untuk membuat
senjatanya yang lebih dulu membentur pohon, dan liukan
tubuhnya. Kemudian, tanpa menemui kesulitan yang berarti Melati berhasil duduk
dengan kedua kaki terjulur di tanah.
Ternyata bukan hanya Melati yang mendapatkan keberuntung an.
Arya pun demikian. Di saat tubuhnya melayang guci arak yang tergantung di
punggung diambil. Dan, segera dituangkan ke mulutnya.
Gluk... Gluk... Gluk...!
Bunyi tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan
Dewa Arak. Terasa ad a hawa hangat yang berputar di perut. Lalu,
pelahan-l ahan naik ke atas. Dan....
Jliggg! Dewa Arak berhasil mendarat dengan kedua kaki lebih dulu. Tapi
tak dengan mantap. Kedudukan tubuhnya sempoyongan seperti akan jatuh.
Karen a kedua kakiny a bdak menapak tanah deng an tetap. Tapi, justru dalam
keadaan seperti itu serangan-s erangan Ary a sang at membahay akan lawan.
Ilmu 'Belalang Sakti' andalannya telah siap dipergunakan!
*** Ki Aswatama sedikit pun tidak mempedulikan hal itu. Untuk
kesekian kalinya dia men erjang Dewa Arak d engan serangan -serangan dahsyat.
Tapi kali ini kakek tinggi besar itu kecewa. Dengan terhuyung-huyung seperti akan jatuh, gerakan khas jurus 'Delapan Langkah
Belalang', Dewa Arak mengelakkan setiap lawan. Hingga, setiap amukan kakek
tinggi besar itu selalu mengenai tempat kosong.
Tindakan Dewa Arak tidak berhenti sampai di situ. Dengan
menggunakan jurus 'Belalang Mabuk' dan 'Pukulan Belalang', dilancark annya des akan-d esak an terhad ap Ki Aswatam a yang telah menjadi
makhluk jadi-jadian.
Memang sungguh hebat ilmu 'Belalang Sakti'. Tangan, kaki, guci,
dan semburan arak merupak an satu kesatuan yang menggilas habis
pertahan an dan periawanan lawan.
Meskipun demikian, bukan berarti mayat hidup Ki Aswatama dapat
dengan mudah ditaklukkan. Dia dap at melakukan perlawanan sengit yang
mengakibatkan pert arungan berlangsung menarik dan menggiriskan.
Bunyi mendecit, menderu, dan mengaung menyemaraki jalannya
pertarung an. Ditambah dengan geraman-g eram an Ki Aswatama yang
menggiriskan hati. Dan bunyi tegukan ketika di tengah-tengah pertarungan Dewa
Arak menyempatkan diri meminum arak.
Pertarungan berlangsung dengan cep at. Tak terasa pertarung an telah menginjak
jurus keseratus. Dan selama itu belum nampak tanda-tanda pihak yang lebih
unggul. Padahal, tempat pertarungan telah kacau bag ai habis dilanda badai.
Pertarungan itu rupanya dimanfaatkan oleh Dewa Arak yang cerdik.
Tanpa disadari lawan, pemuda berambut putih keperakan itu menggiring lawannya ke
satu tempat. Tempat itu adalah puncak Bukit Rajang! Kini, pertarung an dua tokoh
itu berlangsung di lereng Bukit Rajang.
Bukan hanya Ki Aswatama y ang tidak menyad ari maksud Dewa
Arak. Mbah Lulur Jagad dan Ayu yang menyaksikan jalannya pertamngan melalui bola
kristal pun tidak menyadari hal itu. Memang, pemandangan yang tampak di dalam
kaca tidak terlalu luas. Tapi, latar belakang pertamngan yang terus berubahrubah seharusnya terlihat oleh Mbah Lulur Jagad!
Bahkan, Melati yang terus bergerak mengikuti pertarungan tidak
menyadariny a. Gadis itu bergerak dengan bantuan pedang. Tampaknya, Melati tidak
terlalu memperhatikan karen a selumh perhatiannya tertumpah pada kancah
pertamngan. "Hih!"
Pada suatu kesempatan, setelah berhasil membuat Ki Aswatama
melompat ke atas, Dewa Arak menghentakkan kedua tangannya. Pemuda
beram but putih keperakan itu melancarkan jurus 'Pukulan Belalang'.
Wusss! Deru angin keras berhawa panas menyeng at meluncur ke arah Ki
Aswatama. Mayat hidup itu terkejut bukan main melihat serangan yang datangnya
tidak di sangka-sangk a. Meskipun demikian, dicobanya untuk mengelak. Dan....
Bresss! Telak dan keras pukul an jarak j auh Dewa Arak mengh antam perut
Ki Aswatama. Seketika itu pula, tubuh kakek tinggi besar itu terlempar jauh ke
belakang dan melayang -layang beb erap a tombak.
Tapi, sebelum tubuh mayat hidup Ki Aswatama jatuh berdebuk
terjadi sebuah peristiwa yang mengejutkan. Mayat hidup itu bersalto beberapa
kali dan mendarat di tanah tanpa luka sedikit pun! Tidak tampak tanda-tand a dia
baru saja terken a jurus 'Pukulan Belalang' yang amat dahsyat!
Tentu saja kenyataan ini sangat mengejutkan Dewa Arak. Sambil
mengeluark an geraman mengerikan, mayat hidup Ki Aswatama kemb ali melancarkan
serangan. Mau tidak mau Dewa Arak menyambutnya kembali.
Sekarang alur pert arungan b erubah. May at hidup Ki Aswatama
rupanya telah m enyadari kalau dirinya tidak bisa dilukai. Maka, serang an-serangan yang dilancark annya tidak memikirkan pertah anan lagi.
Bahkan ketika Dewa Arak melan carkan serangan, dibiarkan saja. Kemudian mayat
hidup itu melancarkan serangan bal asan.
Akibatnya, Dewa Arak kerepot an bukan main. Beberapa kali
serang annya harus
ditarik pulang kal au dia masih ingin selamat. Diciptakannya kes empatan sampai kead aan menjadi aman. Baru kemudian dilancark
an serang an. Dan memang serangan itu tepat mengenai sasaran. Malah yang
mematikan! Tapi ternyata mayat hidup Ki Aswatama benar-ben ar alot! Dia tetap
tidak mengalami luka sedikit pun!
Tak terasa pertarung an sudah berlangsung dua ratus dua puluh lima jurus. Dewa
Arak tahu kalau keadaan tidak berubah, dia akan tewas di tangan lawannya yang
tangguh ini. Sebab, Ki Aswatama tidak bisa ditewaskan.
Dewa Arak seg era t eringat ak an peristiwa yang p emah dialaminya. Kalau ingin
makhluk jejadian ini tewas, penggeraknyal ah yang harus dibinasakan (Untuk
jelasnya menganai hal ini, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Penganut
Ilmu Hitam").
Yakin akan k esimpulan yang didap at, Dewa Arak memutuskan
untuk membunuh Mbah Lulur Jagad lebih dulu. Maka, tempat pertarungan pun terus
digeser s ehingga sampai di mulut gua tempat tinggal Mbah Lulur Jagad!
Begitu melihat gua itu, bergegas Dewa Arak meny elinap masuk.
Saat itulah Mbah Lulur Jagad baru sadar! Rasa cemas meland a hatinya.
Nenek itu pun bersiap -siap untuk kabur, bila kead aan tidak menguntungkan
pihaknya! Mbah Lulur Jagad merasa lega ketika melihat Ki Aswatama ikut melesat
masuk mengejar Dewa Arak.
Tapi hal ini sudah diperhitungkan pemuda berambut putih
keperakan itu. Cepat kedua tangannya dihentakkan ke depan. Mengirimkan serang an
jurus 'Pukulan Belalang'!
Wusss! Bresss! Tubuh Ki Aswatama melayang-lay ang ke belakang seperti daun
kering terhempas angin. Serang an Dewa Arak menghantam dadany a dengan telak!
Kesempatan itu dipergunakan sebaik-b aiknya oleh Dewa Arak.
Arya terus melesat masuk ke dalam gua. Untung gua itu tidak begitu panjang.
Dan lorongnya pun hanya satu. Hanya dalam sekejap pemuda berambut putih
keperakan itu telah berhasil mencapai bagian tengah gua yang cukup luas dan
terang. Di tempat ini Dewa Arak melihat Mbah Lulur J agad d an wanita
berpak aian merah tengah b ersiap-si ap untuk melarikan diri. Tanpa pikir
panjang lagi, Dewa Arak mengh entakkan kedu a tanganny a secara
bertubi-tubi. Suatu tindakan yang hampir tidak pemah dilakukan pemuda berambut
putih keperakan itu, melancarkan jurus 'Pukulan Belalang' secara berantai !
Hal ini dilakukannya karena Dewa Arak khawatir serang annya akan
berhasil dielakkan nen ek berp akaian hitam, yang diduganya Mbah Lulur Jagad!
Bila hal itu terjadi mayat hidup Ki Aswatama akan segera masuk dan pertarung an
pun kembali berlangsung.
Wusss, wusss, wusss!
Heru angin keras berhawa pan as meluncur susul-menyusul ke arah
Mbah Lulur Jagad. Karuan saja, nenek berpakaian hitam itu terkejut bukan main.
Datangnya serangan itu demikian mendadak. Apalagi dilancarkan dengan bertubitubi. Sebisanya nenek itu berusaha mengelak.
Memang, dua buah serangan Arya b erhasil dielakk an. Tapi tidak
demikian dengan serangan berikutnya. Telak dan keras mengh antam dada Mbah Lulur
Jagad ! Saat itu juga tubuhnya melayang d eras ke belak ang dan terhempas
menabrak dinding. Tanpa sempat merintih lagi, Mbah Lulur Jagad tewas dengan selu
ruh tubuh hangus! Samar-sam ar tercium bau daging terbakar.
Begitu melihat Mbah Lulur Jagad tewas, Dewa Arak segera melesat
keluar gua. Sempat dilihatnya wanita berpakaian merah kabur melalui lorong yang
lain. Tapi tidak dipedulikannya. Pemuda berambut putih keperakan itu tahu hal
pertama yang harus dilakukannya ad alah segera meninggalk an gua, sebelum gua
itu ambruk. Serangan jurus 'Pukulan Belalang' yang sebagian besar nyasar dan
mengenai dinding gua telah menyebabkan seisi gua bergetar hebat!
Meskipun demikian, Dewa Arak semp at melihat banyak boneka-bon eka yang terbuat dari kain hitam tertusuk jarum besar panjang pada
bagian dada kirinya. Arya tidak tahu kalau beneka-bonek a itu mewakili tukangtukang pukul Juragan Trestajumena Geni.
"Hahhh...!"
Dewa Arak menghel a napas leg a begitu telah berad a di hiar gua.
Tampak di depan gua tergeletak tubuh Ki Aswatama. Dugaannya ternyata benar.
Dengan tewasny a Mbah Lulur Jagad, mayat hidup itu pun tewas pula!
Diam-diam Dewa Arak bersyuku r Mbah Lulur Jagad memiliki
kepandai an silat yang tidak begitu tinggi. Sehingga, dapat ditewaskannya dalam
serangkai an serang an berturut-turut.
Hanya satu h al yang masih menggayuti ben ak Dewa Arak. Wanita
berpak aian merah. Meskipun hanya sekilas, Arya d apat mengen alinya.
Wanita itu adalah Ranti, murid Perguruan Pedang Perak y ang dulu
mengenak an pakaian biru. (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam
episode "Maut dari Hutan Rangkong" dan episode "Macan-Macan Betina").
Seketika itu pula Arya teringat, mengapa dia seperti mengenal suara wanita berp
akaian merah itu. Sungguh tidak disangkanya kalau Ranti belum juga menghentikan
tindak kejahatannya terh adap Melati
Tapi, Dewa Arak seg era mengusir s emua pikiran itu, Arya teringat akan Melati.
Gadis berpakaian putih itu telah terbebas dari maut. Arya yakin tidak lama lagi
Melati akan sembuh. Bukankah Mbah Lulur Jagad telah tewas" Dengan hati lega
kakinya diayunkan menuju tempat Melati.
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor Fuji Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusianfo/ http://ebook-dewikz.com/
Bukit Pemakan Manusia 23 Siluman Goa Tengkorak Karya Kho Ping Hoo Anak Harimau 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama