Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sadis 2

Dewa Arak 46 Pendekar Sadis Bagian 2


ratusan kali Raja Monyet Tangan Delapan bertarung menghadapi tokoh-tokoh sakti
dunia persilatan baik dari aliran putih maupun hitam. Dan hebatnya, manusia yang
seluruh tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu halus seperti monyet itu selalu dapat
mengalahkan lawan-lawannya. Tak satu pun lawannya yang dapat mengatasi keganasan
manusia gorila itu.
Bagi lawan Raja Monyet Tangan Delapan yang merupakan tokoh persilatan aliran
putih, kekalahan terhadap tokoh mirip gorila ini merupakan kekalahan terakhir.
Karena setiap lawannya harus mati di tangannya.
Kejadian seperti itu tidak dialami mereka yang berasal dari golongan hitam. Raja
Monyet Tangan Delapan tak membunuh lawannya yang berasal dari aliran hitam,
melainkan hanya menaklukkannya yang kemudian menjadi pengikutnya. Hal seperti
itu tentu saja tak berlaku bagi mereka yang tidak mau tunduk menjadi pengikut.
Tokoh yang membangkang kehendaknya pasti akan menemui ajalnya. Tak heran kalau
korban yang tewas di tangan tokoh sesat mirip kera ini tak terhitung jumlahnya.
Kemenangan demi kemenangan yang diraihnya. Itulah yang menyebabkan Raja Monyet
Tangan Delapan memiliki sifat sombong. Dan kesombongan itu kini semakin
bertambah setelah berhasil menghabisi nyawa Malaikat Ruyung.
Sementara itu, begitu mendengar ucapan sombong itu semua tokoh hitam yang berada
di situ terangguk-angguk. Mereka membenarkan ucapan tokoh sesat mirip kera itu.
Dan hal ini bukan karena mereka sebagai penjilat melainkan sewajarnya. Apalah
yang bisa diperbuat oleh keturunan Malaikat Ruyung kelak terhadap Raja Monyet
Tangan Delapan. Karena sesungguhnya pentolan-pentolan golongan putih seperti
Malaikat Ruyung sendiri sama sekali tak mampu menandingi kesaktian Raja Monyet
Tangan Delapan.
Raja Monyet Tangan Delapan mengangguk-anggukkan kepala merasa puas. Kemudian
tanpa berkata-kata lagi, diayunkan langkahnya meninggalkan tempat itu.
Meskipun nampaknya biasa saja, gerakan yang dilakukan Raja Monyet Tangan
Delapan sangat menakjubkan. Dalam sekali hentak saja, tubuhnya yang tinggi besar
itu telah melesat dengan cepat sekali. Sehingga dalam sekejap mata saja,
tubuhnya telah melesat sejauh belasan tombak. Nampak jelas bahwa gerakan
langkahnya itu disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat
sempurna. Belasan tokoh golongan hitam yang menjadi pengikut Raja Monyet Tangan Delapan
sama sekali tidak merasa heran melihat gerakan pimpinan mereka. Mereka telah
mengetahui kalau pimpinan mereka memiliki kepandaian tinggi. Maka begitu melihat
pimpinannya telah meninggalkan tempat itu, mereka pun melakukan hal yang sama.
Tubuh-tubuh kekar dan beringas itu melesat cepat meninggalkan tempat
pertempuran, dan tubuh hancur Malaikat Ruyung.
Kini kesunyian menyelimuti hutan itu. Tidak ada lagi suara-suara gaduh dan
hiruk-pikuk yang mengerikan itu. Suasana kembali seperti semula, hening.
Sekarang yang terdengar tinggal kerik jangkrik dan binatang malam lain serta
angin yang bertiup menebarkan bau amis darah dan kematian.
Namun, ternyata suasana hening yang menyelimuti tempat itu berlangsung tidak
lama. Baru saja tubuh Raja Monyet Tangan Delapan lenyap di kejauhan, dari atas
sebatang pohon besar berdaun rimbun melompat turun sesosok bayangan.
"Hup!"
Sosok bayangan itu dengan ringan mendaratkan kaki di tanah. Kecepatan dan
ringannya gerakan yang dilakukan itu memperlihatkan kalau sosok ini memiliki
ilmu meringankan tubuh yang telah sempurna.
*** Sosok itu ternyata seorang kakek yang sangat mengerikan. Tubuhnya yang kurus dan
hitam terbalut pakaian lusuh dan compang-camping. Namun yang paling menyeramkan,
sekujur badan kakek itu mulai dari wajah sampai kaki dipenuhi bisul-bisul
bernanah. Kemudian di atas punggungnya tumbuh sebuah punuk besar. Tubuhnya bongkok
terbalut pakaian coklat
Kakek berpakaian compang-camping ini ternyata tidak sendirian. Di bahu kanannya
terpanggul sesosok tubuh kecil terbungkus pakaian biru. Bocah lelaki kecil itu
tidak lain putra Malaikat Ruyung yang tadi terlempar dan jatuh di dalam semaksemak. Begitu mendarat dengan kedua kakinya, kakek berpunuk besar di punggungnya itu
segera menurunkan bocah berpakaian biru dari bahunya. Kemudian jari tangannya
menepuk pelan tubuh bocah berpakaian biru itu. Meskipun tepukan itu hanya pelan
sekali, menyebabkan tubuh bocah berpakaian biru yang sejak tadi diam saja, tibatiba bergerak. Nampaknya bocah itu tadi telah ditotok aliran darahnya. Dan tepukan barusan
membebaskan totokan itu.
Setelah tubuhnya mampu bergerak, bocah kecil berpakaian biru itu meluruk ke
mayat Malaikat Ruyung, ayahnya, yang telah menjadi daging cacahan itu.
"Ayaaah...!" terpekik keras mulut anak itu sambil berlutut dekat mayat Malaikat
Ruyung, ayahnya.
Jeritan melengking nyaring yang keluar dari mulut bocah berpakaian biru itu
memecahkan keheningan malam.
"Ayaaah...!" seru bocah berpakaian biru itu lagi dengan suara melengking tinggi
bercampur isak tangis yang tertahan.
Kini bocah berpakaian biru berjongkok di depan onggokan daging mayat ayahnya.
Beberapa saat lamanya bocah itu menangisi kematian ayahnya. Bahu dan dadanya
terguncang-guncang karena menahan tangis yang terisak-isak
Mendadak bocah berpakaian biru itu menolehkan kepala ke kakek berwajah seram
yang sejak tadi hanya berdiri sambil memandang dari belakangnya. Kakek itu
memperhatikan saja semua tindakan bocah berpakaian biru. Wajahnya yang dingin
membeku tidak menampakkan gambaran perasaan apa pun. Sehingga sulit untuk
mengetahui perasaan yang tengah berkecamuk di hatinya.
"Mengapa kau menolongku, Kek! Mengapa tak kau biarkan agar aku dapat menolong
ayahku!" keras dan lantang ucapan bocah berpakaian biru itu.
"Kalau tadi kulepaskan, kau hanya akan mengantarkan nyawa sia-sia, Bocah Dungu!"
datar sambutan kakek berpakaian compang-camping itu.
"Aku tidak takut! Aku bukan orang yang takut mati!" sahut putra Malaikat Ruyung
cepat, nampak hatinya marah dan merasa penasaran.
"Tindakan yang akan kau lakukan bukan tindakan orang pemberani, tapi kelakukan
orang dungu! Hanya orang dungu yang mengadu kepalanya dengan batu, walaupun tahu
batu itu lebih keras dari kepalanya!" ujar kakek berpakaian compang-camping itu
lebih panjang, tapi masih tetap dalam nada datar.
Bocah berpakaian biru hanya terdiam. Rupanya pikirannya berusaha memahami
maksud yang terkandung dalam ucapan kakek berpakaian compang-camping itu.
"Asal kau tahu saja, andaikata aku tidak mencegahmu bertindak seperti itu,
orangtuamu akan mati penasaran. Dia tidak akan mati meram!"
"Aku tidak percaya!" bantah bocah berpakaian biru. "Justru karena aku tidak
muncul, ayah pasti mati penasaran. Beliau selalu mengajarkanku agar tidak
bersikap pengecut. Dan kini kau malah membuat ayah akan menyangka demikian
padaku!" Kakek berpakaian compang-camping itu pun terdiam. Bukan karena mengetahui
kebenaran ucapan putra Malaikat Ruyung itu. Tapi karena kalah bicara. Dirinya
bukan orang pandai berdebat. Tak aneh, menghadapi putra Malaikat Ruyung yang
demikian pandai bersilat lidah dirinya kewalahan. Kakek berpakaian compangcamping itu pun sibuk memutar pikirannya mencari kata-kata yang dapat meredakan
semua ucapan bocah berpakaian biru itu.
"O ya..., siapa namamu?" tanya kakek berpakaian compang-camping dengan benak
yang masih berputar mencari kata-kata yang dapat digunakan untuk me-nundukkan
bocah berpakaian biru. Tanpa disadari ka lau sikapnya yang dulu kaku dan dingin,
tiba-tiba berubah. Dan itu karena putra Malaikat Ruyung itu.
"Mahendra," jawab bocah berpakaian biru pelan. "Lalu namamu siapa, Kek?"
Kakek berpakaian compang-camping tidak langsung menjawab pertanyaan itu.
Dikernyitkan keningnya beberapa saat
"Sebenarnya aku malas menyebutkan namaku pada orang lain. Tapi bagimu ini
kekecualian. Namaku Songka Lawung. Nah, sekarang coba ceritakan padaku! Apakah
sebelum tewasnya, terutama sekali akhir-akhir ini, apakah ayahmu pernah
bercerita padamu?" kakek berpakaian compang-camping yang ternyata bemama Songka
Lawung mulai menyelidik.
Mahendra tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Dia terdiam beberapa saat
lamanya. Hal itu dilakukannya untuk mencoba mengingat-ingat apakah ayahnya
pernah mengajaknya berbicara.
"Benar, Ki. Belum lama ini ayah pernah padaku. Dan itu dilakukannya waktu kami
berada dalam kereta kuda...,"
"Kau ingat ucapannya?" tanya Songka Lawung tidak sabar.
Lagi-lagi Mahendra menganggukkan kepala.
"Aku ingat betul, Ki. Masalahnya saat itu aku tahu kalau ayah tengah merasa
malu. Ayah terpaksa melarikan diri dari lawannya karena ingin menyelamatkanku."
"Nah!" sentak Songka Lawung penuh perasaan menang. "Kau tahu, Mahendra.
Tindakan yang dilakukannya itu dapat membuat nama besarnya hancur. Orang tak
akan mau peduli alasannya melarikan diri. Orang-orang pasti menganggap bahwa
Malaikat Ruyung kabur dari lawannya. Dia pun tahu akibatnya! Tapi, mengapa tetap
saja dilakukannya"
Karena ayahmu ingin kau selamat. Kau dengar, Mahendra" Itu dilakukannya karena
keinginannya yang besar untuk menyelamatkanmu. Nah, bisa kau bayangkan betapa
kecewanya hati ayahmu apabila niatmu tidak kucegah."
Panjang lebar dan berapi-api ucapan yang keluar dari mulut Songka Lawung. Dan
hal itu nampaknya tidak disadari Songka Lawung sendiri. Kakek berpakaian
compang-camping itu sama sekali tidak sadar kalau karena keinginan yang amat
kuat untuk menyadarkan Mahendra dari kekeliruan sikapnya, sikap dinginnya selama
ini tiba-tiba berubah.
Mendengar penjelasan dari kakek tua yang menyeramkan itu Mahendra hanya
membisu. Kini dirinya mulai menyadari kebenaran pendapat Songka Lawung. Mengapa
dirinya begitu teriena oleh perasaannya. Mengapa dirinya begitu bodoh" Ah,
hampir saja dirinya membuat ayahnya mati penasaran. Pikiran seperti itu yang
sekarang berkecamuk dalam kepalanya. Kini mulai disadarinya kebenaran kakek itu.
Teringat akan hal itu, membuat Mahendra terkenang kembali akan kejadian yang
belum lama dialami-nya. Dimulai dari saat tubuhnya melayang jatuh ke semaksemak. Betapapun empuknya semak-semak itu, tetap saja kepalanya merasa pusing, yang
membuat Mahendra beberapa saat lamanya harus berdiam diri.
Baru ketika rasa pusingnya lenyap, Mahendra menguak kerimbunan semak-semak
untuk keluar. Tapi belum sempat tubuhnya keluar dari semak-semak, sesosok tubuh
yang tidak lain Songka Lawung telah lebih dulu menotok urat dagunya sehingga tak
mampu bersuara. Baru kemudian menotoknya hingga tak mampu bergerak lagi
Namun, dalam keadaan tak mampu bergerak dan bersuara, Mahendra tetap dapat
menyaksikan semua kejadian yang dialami ayahnya menghadapi kega-nasan Raja
Monyet Tangan Delapan dan anak buahnya. Hingga akhirnya Mahendra dibawa oleh
Songka Lawung ke sebuah pohon besar yang rimbun untuk menyelamatkan dirinya dari
kejaran Raja Monyet Tangan Delapan.
"Sekarang bagaimana, Mahendra" Apakah kau masih menyalahkan tindakanku?"
tanya Songka Lawung tiba-tiba.
Ucapan Songka Lawung membuat semua lamunan Mahendra buyar. Tangannya segera
mengusap matanya yang sejak tadi menahan air matanya yang tertumpah.
"Tidak, Kek. Kau benar," kata Mahendra terbata-bata. "Maafkan aku, Kek! Aku
terlalu menuruti perasaanku," lanjutnya.
"He he he...! Lupakanlah, Mahendra! Jangankan orang seusiamu, orang seusiaku
saja terkadang susah diatur!" ujar Songka Lawung lembut, mencoba menghibur hari
anak lelaki yang masih duduk termangu di dekat mayat ayahnya yang hancur-lebur
itu. Kakek berpakaian compang-camping merasa suka sekali pada Mahendra. Bocah
berpakaian biru itu sama sekali tak kelihatan merasa jijik padanya. Padahal,
sejak tadi mereka berdekatan. Hal seperti ini hampir tak pernah dialami kakek
berpakaian compang-camping. Apalagi da ri anak seusia Mahendra.
"Kau tahu, mengapa ayahmu berkeinginan untuk menyelamatkanmu, Mahendra?"
tanya Songka Lawung bernada menguji.
Mahendra menggelengkan kepala.
"Karena ayahmu ingin kau dapat mencegah tindak angkara murka Raja Monyet Tangan
Delapan kelak apabila dewasa!" mantap dan tegas kata-kata yang keluar dari mulut
Songka Lawung. "Aku, Kek?" Mahendra melengak "Mana mungkin! Sedangkan ayahku saja tak mampu
menghadapi keganasan Raja Monyet Tangan Delapan, apalagi aku! Aku sendiri baru
belajar beberapa macam ilmu dari ayahku!"
"Ho ho, tentu saja kau harus mempelajari iimu-ilmu kadigdayaan agar dapat
mengalahkan Raja Monyet Tangan Delapan!"
'Tapi..., di mana harus kucari guru yang memiliki kepandaian melebihi Raja
Monyet Tangan Delapan" Sedangkan ayahku saja yang memiliki kepandaian demikian
tinggi, tak mampu menghadapi manusia monyet itu!" sahut Mahendra setengah
mengeluh. "Kau pintar tapi bodoh, Mahendra!" Songka Lawung menggeleng-gelengkan kepala.
"Memangnya di dunia ini hanya ayahmu dan Raja Monyet Tangan Delapan yang sakti"
Ho ho, walaupun ayahmu dan Raja Monyet Tangan Delapan pentolan-pentolan dunia
persilatan, tapi masih banyak tokoh yang memiliki kepandaian tinggi," jawab
Songka Lawung. "Ah! Ucapanmu seperti ayahku saja, Kek. Beliau sering berkata begitu. Di dunia
persilatan banyak orang sakti, kau harus berlatih keras agar tidak menjadi
bulan-bulanan orang lain, demikian katanya," sahut putra Malaikat Ruyung lagi,
"Tapi sayangnya, ayah tidak pernah memberitahukan padaku siapa orang sakti yang
dimaksudkannya."
"Mengapa kau ingin ayahmu memberitahukan padamu mengenai orang-orang sakti itu?"
pancing Songka Lawung sambil menatap wajah Mahendra penuh selidik.
"Aku ingin menjadi muridnya!" lantang ucapan Mahendra. "Dan setelah kepandaianku
mencukupi akan kulenyapkan Raja Monyet Tangan Delapan dari muka bumi!"
"Mengapa kau harus repot-repot mencari orang sakti, Mahendra"! Aku pun dapat
mengajarmu," ucap Songka Lawung menawarkan diri.
Mahendra tersentak sebentar.
"Tapi..., apakah kau termasuk orang sakti yang diceritakan ayahku, Kek"!" tanya
Mahendra ragu, sambil menatap tajam Songka Lawung penuh selidik
"Ha ha ha...!"
Tawa kakek berpakaian compang-camping itu lepas, begitu mendengar pertanyaan
yang demikian polos bocah berpakaian biru itu. "Walaupun mungkin aku bukan
termasuk orang sakti yang dimaksud ayahmu, tapi aku yakin akan dapat
mengalahkannya!"
"Aku tidak percaya!" bantah Mahendra.
"Mengapa kau berpendapat demikian, Bocah Bagus" Apa karena kau sudah melihat
keadaan tubuhku" Ho ho ho, kau keliru besar kalau berpendapat demikian!
Ataukah... aku perlu membuktikannya?" tantang Songka Lawung.
"Bagaimana kau dapat membuktikan kesaktianmu, Kek"! Tidak ada orang yang dapat
kau jadikan sebagai lawan!" ujar Mahendra, bingung.
"Mengapa mesti repot-repot mencari lawan"!" sergah Songka Lawung cepat "Bisa
kita gunakan yang lain untuk uji coba kepandaianku! Sekarang, perhatikan baikbaik! Kau lihat pohon besar itu!"
Kakek berpakaian compang-camping itu menudingkan jari telunjuk kanan pada
sebatang pohon besar yang terletak sekitar enam tombak dari tempat mereka
berdiri. Sebuah pohon yang amat besar. Untuk melingkari batangnya memerlukan dua
tangan orang dewasa.
"Nah, menurutmu sanggupkah ayahmu menghancurkan pohon itu dari sini"!"
Mahendra menggelengkan kepala.
"Aku tidak tahu, Kek. Tapi..., apakah kau sendiri mampu melakukannya?"
"Tentu saja!" jawab Songka Lawung yakin. "Nah, sekarang kau lihat baik-baik!"
Usai berkata demikian, Songka Lawung menarik kedua tangannya ke sisi pinggang.
Lalu.... "Hih!" Songka Lawung menghentakkan tangan dengan keras.
Wusss! Deru angin keras terdengar ketika kakek itu menghentakkan kedua tangannya sampai
ke depan dada. Sesaat kemudian....
Glaaar...! Brakkk! Diiringi suara menggelegar dan berderak keras batang pohon besar itu hancur
berantakan. Pohon pun ambruk seketika.
"Haaah, hebat..! Rupanya kau memiliki kepandaian hebat, Kek!" puji Mahendra
penuh perasaan kagum menyaksikan kepandaian yang diperlihatkan kakek berwajah
buruk itu kepadanya.
"Bagaimana?" senyum lebar tersungging di Songka Lawung. "Apakah aku bisa
diterima menjadi gurumu, Mahendra?"
"Guru...!" sahut Mahendra sambil melangkah mendekat
Mahendra yang cerdik langsung memberi hormat pada Songka Lawung. Kakek itu


Dewa Arak 46 Pendekar Sadis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tertawa terkekeh melihat keberhasilannya membujuk Mahendra menjadi muridnya.
"He he he... bagus! Sekarang kau jadi muridku, Mahendra. Nah, mari kita
tinggalkan tempat ini. Aku akan membawamu ke sebuah tempat yang dapat membuat
kau cepat menguasai ilmu-ilmu tinggi. Tapi sebelum itu, mari kita kubur dulu
mayat ayahmu!"
Mahendra menganggukkan kepala. Kemudian diikutinya Songka Lawung yang
menghampiri onggokan mayat ayahnya.
Untuk yang kedua kalinya, Mahendra terkagum-kagum melihat kepandaian Songka
Lawung. Dengan mata kepala sendiri dilihatnya, Songka Lawung menggali tanah yang
keras dengan ranting kayu se besar ibu jari. Hebatnya, meskipun hanya
mempergunakan sebatang ranting, pekerjaan itu hanya diselesaikannya dalam waktu
yang sebentar saja. Mahendra terlongong bengong menyaksikan pekerjaan kakek tua
itu. Hanya dalam sekejapan saja, sebuah lubang telah tergali. Dan di tempat itulah
onggokan mayat Malaikat Ruyung disemayamkan diiringi tatapan wajah sedih
Mahendra. "Mari kita berangkat, Mahendra!" ajak Songka Lawung setelah memberikan waktu
cukup lama pada Mahendra untuk berpamitan dengan ayahnya.
Digandengnya tangan Mahendra yang masih memandangi kuburan ayahnya itu. Tak ada
pilihan lagi bagi Mahendra. Dengan hati berat, diayunkan langkahnya meninggalkan
kuburan ayahnya untuk mengikuti Songka Lawung. Seorang tokoh aneh yang menjadi
juru penolongnya tanpa diketahui dari mana asalnya dan kapan dia datang.
5 "Jadi..., rupanya kau bocah sialan putra Malaikat Ruyung itu"!" tanya lelaki
berompi merah agak terbata-bata. Dirinya mulai merasakan adanya bahaya besar
mengancam jiwanya.
Kesadaran akan adanya ancaman bahaya itu menyebabkan lelaki berompi merah
segera melompat dari punggung kudanya.
"Hup!"
Jliggg! Lompatan itu begitu cepat dan ringan, seolah-olah tak ingin didahului. Segera
dikeluarkan senjata andalannya. Sebuah bola sebesar kepala yang dipenuhi duri
baja. Bola itu terikat rantai baja yang cukup panjang.
Krekek...! Krekeeek!
Melihat lelaki berompi merah turun dari punggung kudanya, lelaki kecil kurus pun
melakukan hal yang sama. Dirinya bermaksud membantu lelaki berompi merah apabila
diperlukan. "Ha ha ha...!"
Pemuda berpakaian biru itu tertawa bergelak. Sebuah tawa yang mengerikan dan
mengandung hawa maut. Keseraman tawa itu semakin terlihat jelas ketika pemuda
itu menutup tawanya dengan dengusan bengis yang terlontar dari mulutnya.
"Syukur kau masih ingat, Monyet Botak! Dan kini telah tiba saatnya pembalasan
dendamku! Kau akan menjadi korban perdanaku! Ha ha ha...!"
"Sombong! Kaulah yang akan kujadikan cacahan daging seperti ayahmu, Bocah Gila!
Hiyaaat..!" lelaki berompi merah berteriak dan memburu ke lelaki berpakaian biru.
Wukkk! Wukkk! Siuuut...! Krekek..., krekek!
Lelaki berompi merah memutar-mutarkan bola berdurinya itu di atas kepala
beberapa kali, lalu dilontarkannya. Seketika bola berduri itu meluncur deras ke
bagian tubuh pemuda berpakaian biru. Serangan itu nampaknya tak menginginkan
kematian mendadak lawannya secara mudah. Serangan itu terarah ke bagian dada,
perut, atau kaki lelaki berpakaian biru.
Mahendra menggertakkan gigi menahan geram, ketika mendengar ucapan lelaki
berompi merah. Seketika darah di kepalanya membludak, ucapan itu telah
mengingatkan kembali pada kematian ayahnya yang mengerikan.
Meskipun demikian Mahendra bersikap tenang. Dirinya tak ingin terburu-buru dan
gegabah melakukan tindakan, baik untuk mengelak maupun menangkis serangan itu.
Dengan sabar ditunggunya hingga bola berduri yang berputar-putar kencang itu
mendekat ke tubuhnya.
"Hiaaat..!"
"Wuuuk! Wuuuk...!"
Dan ketika bola berduri itu hampir saja menerjang, tubuhnya segera didoyongkan
ke samping kanan. Dan itu dilakukannya tanpa menggeser kaki. Bola berduri lelaki
berompi merah lewat di sisi kiri tubuhnya.
Setelah gerakan menghindar Mahendra segera bersiap dengan serangannya. Begitu
serangan bola berduri itu berhasil dielakkan, tangan kirinya menjulur cepat
menangkap rantai baja yang berkelebat cepat di samping kirinya.
Tappp! Creeek...!
Gerakan secepat kilat tangan kiri Mahendra berhasil menangkap rantai baja itu.
Padahal, lelaki berompi merah itu nampak telah berusaha menarik senjata
andalannya dari cekalan tangan Mahendra. Tetapi gerakan Mahendra lebih cepat
mencekal rantai baja itu.
Karuan saja gerakan cepat tangan Mahendra membuat lelaki berompi merah gugup!
Lelaki berompi merah itu memang bukan tergolong pentolan bagi golongan hitam.
Namun, julukannya telah cukup dikenal orang, sebagai 'Penjagal Nyawa'. Di
samping seringnya terlibat dalam berbagai pertarungan maut
Sebagai tokoh persilatan yang telah begitu sering terlibat pertarungan, lelaki
berompi merah itu segera mengetahui kalau lawan yang dihadapi kini memiliki
kepandaian tinggi. Hal itu bisa diketahuinya dari keberanian dan keberhasilan
pemuda itu menangkap rantainya.
Maka tanpa mernbuang-buang waktu lagi, segera dikerahkan seluruh tenaga dalamnya
untuk membetot kembali bola berdurinya.
"Ngmmmh...! Hmmmh...!
Terdengar suara lenguhan-lenguhan berat dari mulutnya. Tetapi rantai bajanya
sama sekali tak bergeming dari cekalan tangan pemuda gagah berpakaian biru itu.
Rantai baja itu hanya dicekal dengan sebelah tangan. Itu pun nampaknya tanpa
pengerahan tenaga, karena wajah lelaki gagah berpakaian biru itu nampak tenang.
Berbeda sekali dengan si penjagal nyawa. Wajah lelaki berompi merah itu merah
padam ketika berusaha keras menarik senjatanya. Wajahnya tegang. Kenngat
mengalir di kening dan lehernya. Dan tangannya bergemetar hebat.
Penjagal Nyawa seharusnya sudah bisa menduga kalau tenaga dalam lawannya berada
jauh di atas tingkatannya. Dan tindakan paling aman yang harus dilakukannya,
melepaskan saja senjata itu. Tapi, karena perasaan sayang, ditambah lagi dengan
kekerasan hatinya, sehingga lelaki berompi merah itu memaksakan diri. Tangannya
terus membetot senjatanya dari tangan Mahendra.
Sementara lelaki kecil kurus kawan si penjagal nyawa hanya mampu menyaksikan
kejadian itu. Seperti juga Penjagal Nyawa, dirinya pun terkejut bukan kepalang
melihat betapa mudahnya senjata andalan kawannya itu disambar tangan kiri pemuda
berpakaian biru itu.
Disadarinya kalau keadaan gawat tengah di hadapi oleh kawannya. Maka tanpa
membuang-buang waktu lagi, lelaki kecil kurus segera bertindak.
Lelaki kecil kurus langsung menyelusupkan kedua tangannya ke balik baju. Dan
begitu dikeluarkan, langsung saja dikibaskan.
Sing! Sing! Sing!
Bunyi berdesing nyaring yang memekakkan telinga terdengar seiring dengan
melesatnya empat buah benda berkilat yang tidak lain pisau-pisau terbang.
Senjata andaian itu melesat deras ke tubuh Mahendra.
Mahendra melihat ancaman bahaya itu. Namun dirinya tetap bersikap tenang. Tanpa
mengendurkan cekalannya pada rantai baja itu, diperhatikan arah yang dituju
pisau-pisau terbang itu. Hanya sekilas saja, langsung diketahuinya. Dahi, leher,
dan ulu hati menjadi sasaran senjata yang melesat cepat itu.
Dan ketika pisau terbang itu hampir mencapai sasaran dengan cepat Mahendra baru
bertindak. Takkk! Takkk! Prattt! Dua pisau terbang yang menuju ke ulu hati dan perutnya sengaja dibiarkan, hingga
tepat mengenai sasarannya. Namun, pisau-pisau itu terpental jatuh ke tanah tak
mampu menembus. Jangankan menancap, melukai pun, tidak. Sedangkan dua lagi dapat
dimusnahkan dengan cara luar biasa.
Yang menuju ke leher dipatahkan dengan sampokan tangan kanan. Satu lagi dapat
diatasi dengan mulutnya. Tentu gerakan yang terakhir ini membutuhkan perhitungan
dan kemahiran, karena jika meleset sedikit saja dapat melukai mulutnya. Namun
ternyata, Mahendra mampu melakukannya. Pisau terbang itu berhasil ditangkap
dengan giginya. Lalu, dilemparkan kembali ke tubuh pemiliknya dengan egosan
kepala. Singgg! Pisau itu meluncur kembali ke tubuh lelaki kecil kurus menyusul luncuran pisau
lain akibat sampokan tangan Mahendra.
Lelaki kecil kurus terkejut bukan kepalang melihat kejadian yang sama sekali
tidak disangkanya itu. Apalagi ketika menyadari kecepatan luncuran pisau-pisau
terbang itu berlipat kali kecepatan semula.
Meskipun demikian, lelaki kecil kurus ini masih
sempat mempertunjukkan
kebolehannya dalam melempar pisau. Dalam keadaan gawat seperti itu, dirinya
mampu melakukan tindakan penyelamatan. Dilemparkannya pisau lain guna menangkis
serangan balik pisau terbang itu.
Trang! Trang! Bunga api mencelat ketika empat batang pisau berbenturan dengan keras di udara.
Namun, karena luncuran pisau-pisau terbang lelaki kecil kurus lebih lambat,
pisau-pisau itu terpental. Sedangkan pisau-pisau dari Mahendra masih sempat
meluncur beberapa jauh. Dan sisa tenaga luncuran itu mengarah ke tubuh lelaki
kurus pemilik senjata terbang. Dan....
"Uuuh...!"
Mata lelaki kecil kurus terpekik. Hampir saja nyawanya melayang terterjang
senjatanya sendiri. Tangannya nampak mengusap keringat dingin yang membasahi
keningnya. *** Rupanya Mahendra merasa sudah cukup memberikan kesempatan pada Penjagal
Nyawa. "Hih!"
Mahendra menghentakkan tangannya, dengan pengerahan tenaga dalamnya. Gerakan itu
dilakukan dengan begitu cepat dan tiba-tiba.... Akibatnya, tubuh Penjagal Nyawa
terhentak keras ke tubuh Mahendra.
"Aaah...!"
Tanpa sadar lelaki berompi merah terpekik keras. Jerit yang keluar karena
perasaan ngeri dan kaget ketika tubuhnya melayang tertarik ke tubuh Mahendra.
Dalam keadaan yang demikian gawat, Penjagal Nyawa masih berusaha keras
menyelamatkan nyawanya. Ketika tubuhnya melayang di udara itu, segera pikirannya
mencari cara untuk menyelamatkan diri. Untungnya, berhasil pula didapatkan
sebuah siasat Diikuti arah luncuran tubuhnya yang sudah pasti ke arah Mahendra.
Dan begitu telah berada dekat, rantai baja yang berada di genggamannya akan
dilecutkan ke ubun-ubun Mahendra.
Namun perasaan lega hanya berlangsung sesaat. Karena sebelum tubuhnya berada
dalam jarak yang diancang-ancangkan, Mahendra lebih dulu melakukan tindakan yang
mengejutkan hati Penjagal Nyawa.
Betapa tidak" Pemuda berpakaian biru itu melemparkan bola berduri di tangannya
untuk menyambut datangnya tubuh Penjagal Nyawa. Kontan lelaki berompi merah ini
kelabakan. Keadaannya yang tengah melayang di udara menimbulkan kesulitan untuk
mengelakkan serangan itu.
Jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri hanyalah menangkis serangan itu.
Siuuut! Trakkk! Bukkk!
"Akh...!"
Lelaki berompi merah yang berjuluk Penjagal Nyawa terpekik. Bola berduri yang
berhasil dipapak dengan sabetan rantai, ternyata hanya mampu membuat arah bola
berduri itu menyeleweng tidak meluncur ke arah dada. Tetapi bola baja berduri
itu meleset dan mengenai pahanya.
"Aaah...!"
Seketika itu pula tulang paha Penjagal Nyawa hancur berantakan. Darah mengalir
dari pahanya yang hancur. Jerit kesakitan pun keluar dari mulut Penjagal Nyawa
itu. Jliggg! Lelaki berompi merah cukup tangguh, dalam keadaan terluka, ternyata masih mampu
mendarat di tanah dengan kedua kaki. Meskipun agak sempoyongan ke sana kemari
karena luka di pahanya terlalu parah.
"Ha ha ha...! Itu baru babak awal da ri kematian yang akan kau terima, Iblis
Busuk!" ejek Mahendra sambil mengayunkan langkah mendekati.
"Cuhhh!"
Penjagal Nyawa membuang ludah dengan kasar. Lalu ditotoknya jalan darah di
sekitar paha untuk mencegah derasnya darah yang mengalir. Baru kemudian
dilayangkan pandangannya ke arah Mahendra. Lalu....
Wuk! Wuk! Wukkk!
Senjata andalannya kembali berputar-putar di atas kepab. Penjagal Nyawa telah
bersiap kembali melanjutkan pertarungannya.
Lelaki kecil kurus yang menyadari kalau Penjagal Nyawa bukan tandingan Mahendra
langsung mencabut senjata andaian berupa sebatang ganco, lalu menyabet-nyabetkan
di depan dada dengan begitu cepat
Wut! Wuuut..! Tahu kalau Penjagal Nyawa dan lelaki kecil kurus telah bersatu untuk
menghadapinya, Mahendra sama sekali tidak gentar. Wajahnya tetap tenang sekali.
Nampaknya Mahendra menyadari kalau kepandaian kedua lawannya jauh di bawahnya.
Sehingga jangankan hanya berdua, sekalipun ditambah lima kali lipat, Mahendra
menganggap remeh lawan macam begini.
"Hih!"
Diawali gertakan
gigi, Mahendra mulai melancarkan
serangan. Karena yang
mempunyai urusan sebenarnya diri Penjagal Nyawa, lelaki itulah yang diserangnya.
Penjagal Nyawa tentu saja tidak mau menyerahkan nyawanya percuma. Begitu
dilihatnya pemuda berpakaian biru itu melancarkan serangan terhadapnya, buruburu dipapaknya kembali dengan bola baja berduri yang masih terayun-ayun di
tangannya. Lelaki kecil kurus pun tak tinggal diam. Rupanya dia memiliki kesetiakawanan
yang besar. Maka melihat adanya ancaman bahaya terhadap Penjagal Nyawa, dia pun
mengayunkan ganconya ke arah Mahendra.
Serangan beruntun ini memaksa Mahendra membatalkan serangannya. Dan keadaan ini
dipergunakan Penjagal Nyawa dan lelaki kecil kurus untuk melancarkan desakan.
Sementara itu pula luka parah di paha Penjagal Nyawa semakin mendera. Beberapa
kali giginya bergemeretak menahan rasa sakit yang hebat. Kali ini Mahendra tidak
bisa menundukkan lawan-lawannya secara mudah seperti sebelumnya. Karena
nampaknya kedua orang lawannya itu telah mengetahui secara pasti kelihaian
Mahendra. Sehingga mereka bertindak lebih berhati-hati. Tambahan lagi, kali ini
penyerangan dilakukan secara bersama-sama, sehingga cukup merepotkan gerakan
Mahendra untuk menghadapi mereka.
Pertarungan itu kian lama bertambah seru. Sambaran bola berduri dan ganco
beberapa kali berkelebat tetapi belum juga berhasil mengenai sasarannya. Gerakan
cepat dan ringan tubuh Mahendra mampu menghindarkan setiap serangan.
Pada jurus kesebelas, Mahendra sudah mulai menguasai keadaan. Perlahan-lahan
berhasil mendesak kedua lawannya. Bahkan beberapa jurus kemudian, Mahendra
berhasil merampas ganco dari tangan lelaki kecil kurus. Lalu secepat kilat
menyabetkannya ke perut pemiliknya.
Jraaabbb...! "Aaakh...!"
Lelaki kecil kurus menjerit ngeri ketika ujung ganco itu merobek perutnya.
Seketika itu pula darah menyembur keluar dari perutnya yang terkoyak lebar.
Lelaki yang ahli melemparkan pisau ini nampak terbungkuk mendekap perut dengan
kedua tangannya.
"Haaah...! Keparat!"
Penjagal Nyawa terpekik dan mengumpat keras melihat kejadian yang menimpa
kawannya. Dengan kemarahan yang meluap-luap dilontarkan bola berdurinya ke
kepala Mahendra.
Wukkk! Tranggg! Rrrttt! Suara gemerincing nyaring terdengar ketika ganco di tangan Mahendra berhasil
menangkis serangan bola berduri yang meluncur deras ke kepalanya. Ganco itu
terlilit rantai baja. Penjagal Nyawa pun tak dapat menggunakan senjata
andalannya lagi.
Saat itulah Mahendra menghentakkan tangan kirinya ke tubuh Penjagal Nyawa.
Wusss! Dukkk...!


Dewa Arak 46 Pendekar Sadis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hekh!"
Mulut Penjagal Nyawa terpekik, tubuhnya terjengkang dan terguling-guling di
tanah. Pukulan jarak jauh Mahendra menghantam telak bahu kanannya. Dan sebelum tubuhnya
berhasil bangkit, pemuda berpakaian biru itu telah berdiri tepat di depannya.
"Sekarang saatnya pembalasan untukmu, Monyet Botak!" ujar Mahendra sambil
menginjakkan kaki di paha Penjagal Nyawa. Lalu dihentakkan kakinya dengan keras
sekali. Krrrkkkhhh! "Aaakh...! Huaaahhh...!"
Bunyi gemeretak terdengar ketika tulang-tulang paha Penjagal Nyawa hancur
berantakan. Jeritan menyayat hati pun keluar dari mulut lelaki berompi merah itu
mengiringi hancurnya tulang paha itu.
"Ha ha ha...! Nikmat bukan?" ejek Mahendra sambil menatap wajah Penjagal Nyawa.
Sementara itu mulut Penjagal Nyawa masih mengerang keras karena rasa sakit yang
mendera kedua tulang pahanya. Sekujur badannya basah oleh keringat bercampur
debu. Kakinya basah dialiri darah segar da ri lukanya yang parah.
Penjagal Nyawa sama sekali tidak memberikan jawaban. Sorot matanya memancarkan
kengerian. Disadari akan adanya siksaan mengerikan lainnya. Raut wajah Mahendra
yang memancarkan dendam kesumat membuktikan kalau pemuda berpakaian biru itu
akan membunuh lawannya secara perlahan-lahan.
Penjagal Nyawa bukan orang yang takut mati. Tetapi, mati secara perlahan-lahan
dengan siksaan demi siksaan, tetap membuat hatinya bergetar ketakutan. Dan dalam
cekaman rasa ngeri yang memuncak, tokoh yang berkepala botak ini terpaksa harus
bertindak nekat. Ketika Mahendra tengah hanyut dalam perasaan gembiranya, tibatiba digigitnya lidah sendiri keras-keras hingga putus.
"Hmmmhhh...!"
Krrrttt! "Hey...!"
Mahendra menjerit kaget ketika melihat mulut Penjagal Nyawa berlumuran darah.
Sesaat kemudian, baru mengetahui hal yang telah terjadi. Maka buru-buru
diperiksanya tubuh tokoh berkepala botak itu. Sayang, terlambat. Penjagal Nyawa
telah tewas dengan potongan lidahnya masih di dalam mulut
"Keparat!" maki Mahendra geram. Rasa penasaran yang amat sangat membayang jelas
pada wajahnya. "Betapa bodohnya aku! Tapi, kecerobohan seperti ini tak akan
terulang lagi!"
Setelah berkata demikian, Mahendra segera mengalihkan pandangan pada lelaki
kecil kurus. Tapi, lagi-lagi kecele. Lelaki kecil kurus telah terbujur tak
bernyawa di tanah. Nampak lelaki kurus itu pun telah melakukan bunuh diri karena
merasa ketakutan menghadapi kebengisan pemuda berpakaian biru itu.
"Hmh...! Bedebah!"
Dengan cepat Mahendra melesat meninggalkan tempat itu. Hanya dalam beberapa kali
hentakan saja, tubuhnya telah melesat dan tak nampak lagi.
Kini suasana kembali hening. Tidak ada lagi denting senjata beradu maupun jerit
kesakitan dan kematian. Keadaan telah kembali seperti semula sebelum terjadinya
peristiwa mengerikan itu. Hening dan sepi, yang terdengar hanyalah bunyi
hembusan angin. Pelan, seperti ikut merasa sedih atas kejadian yang baru saja
terjadi. Dua tubuh lelaki terkulai berlumur darah di atas tanah berdebu.
Tapi kesunyian itu tidak berlangsung lama. Karena sesaat kemudian, dari kejauhan
nampak dua sosok berpakaian ungu dan putih bergerak menuju tempat itu. Kedua
sosok ungu dan putih itu melesat begitu cepat. Hanya dalam sekejap mata keduanya
telah mencapai tempat kedua tubuh lelaki itu terkulai.
"Kang, lihat!" seru sosok berpakaian putih yang tak lain Melati, sambil menuding
ke tubuh dua lelaki yang terkulai berlumuran darah itu.
Dewa Arak, sosok yang satunya lagi, hanya menganggukkan kepala mengerti maksud
kekasihnya. Karena tanpa diberitahukan pun matanya telah melihat. Jarak antara
mereka dengan kedua mayat itu tinggal beberapa tombak.
"Hup!"
Sesaat kemudian Dewa Arak dan Melati telah berada di dekat mayat Penjagal Nyawa
dan laki-laki kecil kurus. Keduanya langsung memeriksa kedua tubuh yang berlumur
da rah itu. "Baru saja tewas, Kang," kata Melati setelah memeriksa tubuh Penjagal Nyawa.
"Berarti kejadiannya belum lama, Melati," sambut Dewa Arak sambil menganggukkan
kepala."Dia mati bunuh diri, Kang. Lidahnya putus...," ujar Melati lagi.
Dewa Arak tercenung sebentar. Wajahnya kemudian memandangi tempat sekelilingnya. "Hanya ada satu kemungkinan yang menjadi penyebab lelaki ini melakukan bunuh
diri, Melati. Dia tidak kuat menahan siksaan. Begitu menurut dugaanku," ujar
Dewa Arak mencoba menerka kejadian yang dialami lelaki naas ini.
"Aku pun menduga begitu, Kang. Tapi yang menjadi pertanyaan, apakah persoalan
yang menyebabkan lawan orang ini melakukan penyiksaan yang demikian keji ini.
Tulang-belulangnya dihancurleburkan! Sungguh sebuah siksaan yang kejam!" tandas
Melati. Dewa Arak hanya mengangguk-anggukkan kepala. Tiba-tiba terdengar suara.
"Hmmmhhh...!"
Rintihan pelan membuat Dewa Arak dan Melati menolehkan kepala ke asal suara.
Seketika itu pula mereka ingat kembali akan sosok tubuh yang satu lagi. Dewa
Arak dan Melati melesat ke tubuh lelaki kurus kecil yang tergolek lemas tak jauh
di belakang mereka.
Suara rintihan itu ternyata berasal dari mulut lelaki kecil kurus yang tengah
berusaha untuk duduk. Nampak jelas betapa lelaki kecil kurus ini mengalami
kesulitan. Perut lelaki kecil kurus itu robek. Tubuhnya dibasahi darah bercampur
debu dan tanah.
Dan sebelum lelaki kecil kurus berhasil dengan usahanya, Dewa Arak dan Melati
telah sampai di dekatnya. Dewa Arak dan Melati segera berjongkok.
Tanpa memeriksa lagi, hanya dengan sekali pandang Dewa Arak langsung mengetahui
kalau nyawa lelaki kecil kurus tidak bisa diselamatkan lagi. Luka-luka yang
diderita terlalu parah. Darah yang keluar telah terlalu banyak, menyebabkan
tubuh lelaki kecil kurus itu lemas dan tak berdaya.
"Apa yang telah terjadi, Kisanak?" tanya Dewa Arak buru-buru, karena mengetahui
bahwa lelaki kecil kurus itu tak mungkin bertahan lebih lama lagi.
"Pemuda berpakaian biru... mengamuk. Pemuda itu punya dendam terhadap Penjagal
Nyawa..., ka rena orangtuanya telah dibasmi secara kejam. Dan... akh!" ucapannya
terputus. Kepala lelaki kecil kurus telah terkulai sebelum ucapannya berhasil
diselesaikan. Saat itu nyawa lelaki kecil kurus telah melayang, dan sampailah
ajalnya. Dewa Arak dan Melati sating pandang. Meskipun erangan lelaki kecil kurus
terputus, nampaknya mereka telah tahu orang yang dimaksudkan lelaki kecil kurus
itu. Karena baru saja mereka telah bertemu dengan pemuda berpakaian biru. Bahkan
sempat bentrok dengan Melati
"Rupanya dia, Kang...," desah Melati pelan.
"Hhh...! Pemuda berpakaian biru itu rupanya telah mulai menyebar maut. Dugaanku
benar. Pemuda itu bukan orang jahat. Hanya karena menyimpan dendam terhadap
tokoh-tokoh golongan hitam. Tetapi tindak pembasalan yang dilakukannya terlalu
keji. Sayang sekali...!" keluh Dewa Arak sambil mengarahkan pandangan matanya ke
sekitar tempat itu.
"Pembalasan dendamnya terlalu sadis, Kang. Pantas kalau lelaki berompi merah itu
bunuh diri. Pasti merasa ngeri dengan siksaan yang akan diterimanya."
"Kurasa julukan yang cocok baginya adalah Pendekar Sadis!" ujar Dewa Arak
setengah berseloroh.
"Tepat, Kang!" Melati langsung mendukungnya.
"Lupakanlah, Melati! Yang penurig sekarang, bagaimana caranya agar kita bisa
menyadarkan pemuda itu dari kekeliruannya. Kita harus bertindak cepat sebelum
dia merajalela secara mengerikan!"
Melati hanya mengangkat alis. Tak bisa ditafsirkan maksudnya. Namun yang jelas,
sesaat kemudian sepasang pendekar muda itu telah kembali melesat meninggalkan
tempat itu. Mereka bermaksud mengejar pemuda berpakaian biru yang telah
melakukan tindakan begitu sadis dan mengerikan terhadap lawan-lawannya.
6 "Hait..! Hiaaat...! Hih!"
Teriakan-teriakan keras melengking terdengar penuh semangat memecah kesunyian
pagi. Saat itu keadaan masih sepi. Sang Surya pun baru saja muncul di ufuk timur
berwarna kuning kemerahan. Namun teriakan-teriakan melengking itu seolah-olah
tak mempedulikan suasana pagi itu.
Suara-suara itu ternyata berasal dari halaman belakang sebuah bangunan besar dan
megah yang terkurung pagar tembok tebal, kokoh, dan tinggi. Suara-suara itu
keluar dari mulut mungil sosok tubuh ramping terbungkus pakaian jingga.
Sosok ramping ini ternyata seorang gadis berusia sekitar dua puluh tahun.
Wajahnya yang cantik itu jadi semakin terlihat cantik karena rambutnya yang
panjang dikepang satu.
Gadis berpakaian jingga itu tengah berlatih silat. Nampak di tangannya sepasang
sumpit terbuat dari baja putih. Kedua batang sumpit itu berujung runcing.
Suit! Siiit! Bunyi menderit nyaring selalu terdengar setiap kali gadis berpakaian jingga itu
menusukkan sepasang sumpitnya ke depan. Hal ini karena gadis itu memiliki tenaga
dalam kuat yang dialirkan dalam gerakan-gerakan menusuk itu. Nampaknya karena
kekuatan tenaga dalamnya itu yang menyebabkan bunyi berderit dari tusukantusukan sepasang sumpit itu.
"Hih!"
Mendadak gadis berpakaian jingga itu menjejakkan kedua kakinya. Sesaat kemudian
tubuhnya telah terlontar ke belakang, dan berputar beberapa kali di udara. Dan
ketika tubuhnya meluncur turun, kedua tangannya bergerak mengibas.
Sing! Sing! Desingan nyaring terdengar disusul meluncurnya benda-benda putih berkilat
Dan.... Crabs! Crabs! Benda-benda berkilat yang ternyata hiasan berbentuk bunga mawar sebesar ibu jari
kaki dan terbuat dari baja putih itu menancap pada batang sebuah pohon. Dan
hebatnya lagi, tancapan bunga-bunga itu, berjajar membentuk segi tiga. Sungguh
sebuah gerakan yang mengagumkan. Karena tanpa kemahiran dan kepandaian tak
mungkin tindakan itu dapat dilakukan. Gadis itu mampu melakukannya.
Plok, plok, plok...!
Rangkaian tepuk tangan nyaring mengiringi mendaratnya sepasang kaki gadis itu di
tanah. Gadis berpakaian jingga menoieh ke asal suara tepukan tangan yang
mengandung pujian itu.
"Ah! Kiranya kau, Ayah," ujar gadis berpakaian jingga sambil tersenyum, ketika
melihat sesosok tubuh hitam yang memiliki ciri-ciri aneh.
Betapa tidak" Sosok berpakaian hitam itu menyerupai kera besar. Sulit dikatakan
manusia jenis manakah sosok serba hitam ini" Manusia yang mirip kera, atau
sebaliknya"
Dan pertanyaan seperti itu tidak berlebihan. Raut wajah lelaki bertubuh besar
itu ditumbuhi bulu-bulu halus yang hitam. Potongan tubuhnya pun agak mem-ungkuk
sehingga kedua tangannya yang memang melebihi ukuran manusia biasa, tergantung
sampai di bawah lutut Sekujur tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu halus hitam.
"Kau kira siapa, Winarti?" sapa tokoh yang mirip kera besar sambil tersenyum.
Terdengar lemah lembut suaranya mengandung perasaan kasih sayang yang dalam.
"Kukira ada orang usil yang masuk kemari...."
"Dan bermaksud mengganggumu, begitu"! Ho ho ho..., apakah orang itu mempunyai
nyawa cadangan sehingga berani mengganggumu"!" tukas tokoh yang mirip kera besar
penuh bernada kebanggaan.
Gadis berpakaian jingga yang ternyata bernama Winarti itu tersenyum malu. Namun,
sorot kebanggaan tampak jelas pada sinar matanya. Winarti menyadari kebenaran
ucapan ayahnya. Siapa orangnya yang berani mati mendatangi tempat itu" Hampir
semua orang tahu siapa ayahnya. Raja Monyet Tangan Delapan! Seorang datuk sesat
yang belum pernah terkalahkan sejak puluhan tahun lalu. Jangankan untuk
mengganggu, mendengar julukannya saja sudah cukup membuat merinding bulu kuduk
tokoh persilatan mana pun.
"Nah, sekarang tenangkanlah hatimu! Percayalah! Tak seorang pun yang berani
memasuki tempat tinggal kita. Berlatihlah lebih keras, Winarti! Aku ingin semua
ilmu yang kuberikan padamu dapat kau kuasai dengan sempurna sebelum aku
meninggal dunia!"
"Jangan khawatir, Ayah! Aku berjanji akan memperhatikan semua nasihat yang Ayah
berikan," ujar Winarti mantap.
"O, ya. Tak lama lagi akan ada orang yang mengajarkanmu cara-cara mempergunakan
pisau terbang sebagai senjata rahasia."
"Ah! Mengapa harus orang lain, Ayah. Mengapa tidak Ayah sendiri"!" sahut gadis
berpakaian jingga itu dengan wajah agak bersungut-sungut
"He he he...!" Raja Monyet Tangan Delapan tertawa terkekeh. "Memang, aku mampu
mengajarkanmu, Winarti. Tapi, aku bukan ahlinya. Tokoh yang akan datang nanti,
seorang yang amat mahir dalam penggunaan pisau terbang. Kudengar dia mampu
melakukan penyerangan dengan pisau-pisau terbang hanya dengan pemusatan pikiran.
Nah, apakah kau masih tidak tertarik" Terus terang, aku tidak mampu melakukan
hal seperti itu."
"Benarkah ucapan yang kau katakan itu, Ayah"!" tanya Winarti setengah tak
percaya. "Aku sendiri belum membuktikan kebenarannya. Tapi berita yang tersebar di dunia
persilatan, mengatakan demikian. Nanti, kalau tokoh itu datang kita buktikan
saja kebenarannya! Bagaimana?" tanya Raja Monyet Tangan Delapan sambil menepuknepuk bahu Winarti."Baik, Ayah!" sahut Winarti gembira membayangkan betapa
dirinya mampu melancarkan serangan dengan pisau terbang menggunakan pikiran
seperti layaknya menggunakan tangan. "Tapi, apa julukan orang itu?"
"Setan Pisau! Sekarang, berlatihlah lagi!" jawab Raja Monyet Tangan Delapan.
Setelah berkata demikian, tokoh yang mirip kera besar itu mengayunkan langkah
meninggalkan tempat itu. Winarti mernandangi hingga punggung ayahnya lenyap di
balik bangunan. Baru setelah itu dara cantik itu meneruskan kembali latihannya.
Sementara itu, Raja Monyet Tangan Delapan terus melangkah menuju ke depan.
"Naga!" panggil Raja Monyet Tangan Delapan keras.
"Ya, Ketua!" sahut seorang lelaki bertubuh kekar yang dipanggil Naga. Dadanya
yang telanjang tampak bergambar seekor naga. Lelaki bertubuh besar dan kekar itu
berjuluk Naga Berekor Sembilan. Seorang kepala bajak sungai yang memiliki
kepandaian cukup tinggi, namun telah takluk dan mengabdi pada Raja Monyet Tangan
Delapan. "Apakah Penjagal Nyawa telah tiba"!" tanya Raja Monyet Tangan Delapan ketika
Naga Berekor Sembilan telah berdiri di depannya.
"Belum, Ketua. Aku pun sejak tadi tertgah menunggunya," jawab Naga Berekor
Sembilan penuh hormat
"Aneh!" desis Raja Monyet Tangan Delapan sambil mengernyitkan kening. "Menurut
perhitungan, dia harus sudah sampai semalam. Tapi, mengapa sampai saat ini belum
muncul?" "Barangkali si Setan Pisau berani main gila, Ketua," Naga Berekor Sembilan
menyampaikan dugaannya.
"Mustahil!" sergah Raja Monyet Tangan Delapan dengan suara keras. "Aku tidak
percaya si Setan Pisau berani bertindak demikian. Tapi, apabila dugaanmu
benar..., dia akan merasakan hukumannya!"
"Perlukah aku menyusulnya, Ketua?" ujar Naga Berekor Sembilan menawarkan diri.
"Tidak perlu!"
"Tapi, Ketua...."
"Apa lagi, Naga"!" sentak Raja Monyet Tangan Delapan kesal.
"Anu..., Ketua. Aku telah bertindak lancang. Tanpa seijinmu telah kukirim
beberapa orang untuk menyusul, barangkali saja mereka mendapat halangan di
jalan...," terbata-bata karena cekaman rasa takut melanda Naga Berekor Sembilan
mengeluarkan ucapan yang sejak tadi ingin dikatakannya.
"Hhh...! Kalau begitu tidak mengapa, Naga. Sekarang kita tinggal menunggu
kedatangan mereka."
Seketika merasa lega hati Naga Berekor Sembilan. Hatinya merasa khawatir kalau
tindakari yang dilakukannya telah menyinggung hati Raja Monyet Tangan Delapan
dan mengakibatkan dirinya mendapat hukuman. Tapi ternyata tidak. Datuk sesat
yang mirip kera itu sama sekali tidak menghukumnya.
Sesaat suasana menjadi hening. Masing-masing tenggelam dalam alun pikirannya.
Namun baru saja hal itu berlangsung sebentar, tiba-tiba salah seorang penjaga
pintu gerbang berlari tergopoh-gopoh menuju Raja Monyet Tangan Delapan.


Dewa Arak 46 Pendekar Sadis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lapor, Ketua. Orang-orang yang bertugas menyusul Penjagal Nyawa telah tiba!"
ujar penjaga pintu gerbang yang bermata juling itu.
"Apakah mereka datang bersama Penjagal Nyawa dan Setan Pisau"!" tanya Raja
Monyet Tangan Delapan, cepat
"Tidak, Ketua!" jawab lelaki bermata juling itu cepat
"Jadi...," Raja Monyet Tangan Delapan tidak melanjutkan ucapannya.
"Mereka datang tanpa disertai Penjagal Nyawa dan Setan Pisau!" jelas lelaki
bermata juling.
"Keparat! Mengapa mereka berani kembali tanpa Penjagal Nyawa dan Setan Pisau"!
Apakah mereka ingin mendapatkan hukuman dariku"!" terdengar penuh ancaman ucapan
Raja Monyet Tangan Delapan.
Karuan saja Naga Berekor Sembilan dan penjaga pintu gerbang itu menundukkan
kepala penuh rasa gentar, mengetahui pimpinan mereka murka. Belum lenyap
suaranya, Raja Monyet Tangan Delapan melangkah tergesa-gesa menuju pintu
gerbang. Melihat hal ini, tanpa diperintah Naga Berekor Sembilan dan penjaga yang bermata
juling segera melangkah, mengikuti di belakang Raja Monyet Tangan Delapan.
Seperti juga sang Ketua, mereka pun ingin mengetahui mengapa utusan yang
dikirimkan untuk menjemput Penjagal Nyawa telah kembali demikian cepat
Hanya dalam beberapa langkah saja ketiga orang ini telah sampai di pintu
gerbang. Ternyata laporan penjaga bermata juling itu tidak salah. Dari kejauhan tampak
dua ekor kuda tengah berpacu cepat. Di atas punggung kuda itu duduk dua orang
yang diutus Naga Berekor Sembilan untuk menyusul Penjagal Nyawa.
Seperti halnya orang-orang yang berada di pintu gerbang yang melihat mereka, dua
orang utusan Naga Berekor Sembilan pun demikian pula. Mereka segera menggebah
kudanya. "Hiya! Hiyaaa...!"
Debu mengepul tinggi ke angkasa, ketika kuda-kuda itu berpacu cepat menuju
bangunan tempat tinggal Raja Monyet Tangan Delapan.
"Hooop...!"
Masih berada dalam jarak lima tombak, dua orang utusan Naga Berekor Sembilan
yang sama-sama bertubuh pendek kekar itu melompat dari atas punggung kuda dan
mendarat ringan di tanah. Kemudian tanpa mempedulikan kuda mereka, keduanya
berlari menuju Raja Monyet Tangan Delapan.
"Mengapa kalian berani kembali tanpa Penjagal Nyawa dan Setan Pisau"!" tegur
Raja Monyet Tangan Delapan tak sabar dan penuh ancaman.
"Penjagal Nyawa dan Setan Pisau telah tewas, Ketua," jawab salah satu di antara
mereka yang berbibir tebal.
"Apa kau bilang"! Coba katakan sekali lagi!" perintah Raja Monyet Tangan
Delapan, penuh perasaan tak percaya.
"Penjagal Nyawa dan Setan Pisau tewas, Ketua," ulang lelaki berbibir tebal lagi
sambil menelan ludah karena perasaan gentar melihat kemarahan pemimpinnya.
"Siapa yang telah membunuh mereka"!" desis Raja Monyet Tangan Delapan sambil
menggemeretakkan gigi-giginya.
"Kami tak tahu, Ketua. Yang kami temukan hanya mayat mereka. Tapi, menurut
berita yang kami dengar dari penduduk desa yang letaknya tak jauh dari situ, ada
seorang pemuda berpakaian biru yang mengejar-ngejar mereka," jelas lelaki lain
yang berkumis jarang.
"Pemuda berpakaian biru..."!" ulang Raja Monyet Tangan Delapan dengan alis
berkernyit seolah-olah tengah berusaha mengingat-ingat. Tapi sampai lelah dia
menggali ingatannya tetap saja tidak dikenalnya tokoh yang berpakaian seperti
itu. "Kau yakin kalau yang mengejar-ngejar Penjagal Nyawa dan Setan Pisau seorang
pemuda?" tanya Raja Monyet Tangan Delapan lagi penasaran.
"Kami yakin betul, Ketua. Karena kami telah menanyakannya pada beberapa orang.
Dan jawaban yang mereka berikan ternyata sama," jawab lelaki berbibir tebal
mantap. Raja Monyet Tangan Delapan tercenung. Sementara benaknya sibuk memikirkan tokoh
muda yang mengenakan pakaian biru.
"Kau yakin warna pakaiannya biru" Bukannya ungu?" ulang Raja Monyet Tangan
Delapan lagi meminta kejelasan.
Tokoh yang mirip kera besar itu sengaja mengajukan pertanyaan demikian. Karena
dirinya telah mendengar keberadaan seorang tokoh muda yang berjuluk Dewa Arak.
Menurut kabar yang tersiar, tokoh itu juga seorang pemuda dan mengenakan pakaian
ungu. Barangkali orang yang dimaksudkan dua anak buahnya ini Dewa Arak.
"Bukan, Ketua! Pengejar Penjagal Nyawa seorang pemuda berpakaian biru. Sedangkan
pemuda berpakaian ungu teman dari seorang gadis yang telah bertarung menghadapi
pemuda berpakaian biru," jelas lelaki berkumis jarang.
"Jadi..., pemuda berpakaian ungu pun ada pula?" tanya Raja Monyet Tangan Delapan
setengah tak percaya karena sama sekali tidak menduganya. "Coba kau ceritakan
secara lengkap!"
Lelaki berbibir tebal tidak langsung memenuhi perintah pimpinannya. Wajahnya
tercenung sejenak, memikirkan dari mana cerita itu harus dimulai sesuai dengan
berita yang didengarnya.
"Menurut cerita yang kami dapatkan, ada tiga orang kasar hendak mencuri kuda
pemuda berpakaian biru. Tapi, sebelum mereka berhasil, pemuda berpakaian biru
telah mengetahuinya. Sehingga pertarungan antara mereka pun terjadi."
Lelaki berbibir tebal menghentikan ceritanya sejenak untuk mengambil napas dan
kembali menelan ludah yang mengumpul di mulutnya.
"Ternyata pemuda berpakaian biru itu sangat tangguh. Hanya segebrakan mereka
telah dirobohkan. Kemudian ketiga orang kasar itu disiksanya secara kejam.
Namun, sebelum ketiga orang itu tewas, karena menderita siksaan demi siksaan,
muncul seorang berpakaian ungu dan seorang gadis berpakaian putih. Kedua orang
ini rupanya tidak tega melihat penyiksaan itu. Sehingga pertarungan pun terjadi
lagi." "Jadi..., pemuda berpakaian biru itu bertarung dengan pemuda berpakaian ungu?"
potong Raja Monyet Tangan Delapan tidak sabar.
"Tidak, Ketua," lelaki berkumis jarang memberikan jawaban. "Pemuda berpakaian
biru itu bertarung melawan gadis berpakaian putih, teman pemuda berpakaian
ungu," lanjutnya.
"Dengan gadis berpakaian putih itu?" tanya Raja Monyet Tangan Delapan dengan
suara kurang bersemangat. Dan helaan napas kecewa pun terhempas dari mulutnya
ketika lelaki berkumis jarang itu menganggukkan kepala.
"Pemuda berpakaian biru itu ternyata sangat tangguh dan lihai. Ilmu yang
dipergunakan juga sangat aneh dan dahsyat sekali. Hanya dalam beberapa gebrakan
gadis berpakaian putih itu hampir dibuatnya tak berdaya. Tapi, ketika
pertarungan tengah berlangsung seru, pemuda berpakaian biru tiba-tiba
menghentikannya. Semula orang-orang merasa heran. Tapi sesaat kemudian mereka
tahu. Pemuda berpakaian biru ternyata memburu dua orang penunggang kuda. Jelas,
urusannya dengan dua orang penunggang kuda itu lebih penting daripada menghadapi
si gadis berpakaian putih."
"Dan..., dua orang penunggang kuda itu Penjagal Nyawa dan Setan Pisau! Iya?"
lagi-lagi Raja Monyet Tangan Delapan menyelak karena perasaan tidak sabar.
"Benar, Ketua," kini ganti lelaki berbibir tebal yang memberikan jawaban.
"Dia benar-benar sadis, Ketua. Penjagal Nyawa akhirnya mati bunuh diri! Mungkin
karena merasa tak tahan dengan siksaan yang diberikan pemuda berpakaian biru,"
tutur lelaki berbibir tebal mengakhiri ceritanya.
Suasana berubah hening ketika lelaki berbibir tebal dan lelaki berkumis jarang
telah menghentikan ceritanya. Mereka semua tenggelam dalam alun pikirannya
masing-masing. Hati mereka bertanya-tanya siapakah sebenarnya pemuda berpakaian biru itu"
"Apakah kau tidak mendapat berita siapa sebenarnya pemuda berpakaian biru itu?"
tanya Raja Monyet Tangan Delapan ketika teringat
Karma Manusia Sesat 3 Rajawali Hitam Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pendekar Negeri Tayli 1

Cari Blog Ini