Dewa Arak 86 Penyair Cengeng Bagian 3
Lingga tak ingin menunggu lebih lama. Sambil
mengeluarkan dengusan, dia melompat menerjang lelaki tua ini. Dikirimkannya
tamparan ke arah pelipis.
"Susullah anakmu ke neraka!"
Malaikat Picak mendengar adanya ancaman maut dari
suara berdesing nyaring. Dia pun memapaki dengan gerakan serupa.Plakkk!
Tubuh Malaikat Picak terhuyung-huyung ke belakang.
Lingga sendiri terlempar. Meski demikian, kedua belah pihak sama-sama tahu kalau
dalam benturan itu Lingga lebih
unggul. Malaikat Picak tak ragu-ragu lagi mengeluarkan
senjata andalannya. Sebuah ruyung berbatang dua. Lingga pun tak mau membuang
waktu. Dengan tenaga dalamnya
yang luar biasa dan dalam keadaan tubuh masih di udara, diambilnya golok yang
terselip di bawah tumpukan pakaian.
Malaikat Picak yang masih memutar-mutarkan
ruyungnya membelalak kaget melihat Lingga ketika menjejak tanah telah menghunus
golok. Batang golok memancarkan
sinar berkilauan yang menyilaukan mata
"Golok Kilat..!"
Malaikat Picak yang kenyang pengalaman dan pernah
mendengar desas-desus tentang senjata mengerikan itu,
berseru kaget dan gentar
"Bagus! Kau mengenal senjata pusakaku, Kakek Tua!
Berbanggalah karena kau akan menjadi korban ku pertamanya...!"
Lingga menujukan ujung goloknya pada Malaikat
Picak. Seleret sinar menyilaukan mata pun meluncur ke arah ayah Gentala. Lelaki
ini tidak berani bertindak gegabah.
Cepat dia melompat ke samping untuk mengelak. Kekuatan sinar
itu belum diketahui sehingga Malaikat Picak memutuskan untuk mengelakkannya!
Malaikat Picak hampir terpekik kaget ketika melihat
sinar dari Golok Kilat mengikuti ke arah mana dia mengelak.
Kakek ini merasa penasaran dan mengelak lagi. Tapi, sinar itu tetap
mengikutinya. Kenyataan ini membuat Malaikat Picak sadar kalau ke
mana pun dia bergerak sinar itu akan mengikuti. Bila itu terjadi, dia akan
kehabisan tenaga! Maka, setelah mengelak beberapa kali Malaikat Picak memutuskan
untuk memapaki!
Ruyungnya pun diayunkan memapaki sinar yang meluncur
ke arahnya! 6 Darrr! Malaikat Picak tak kuasa menahan jeritan ketika sinar
menyilaukan itu berbenturan dengan salah satu batang
ruyungnya. Batang ruyung langsung lenyap! Hancur menjadi debu dan langsung
beterbangan tertiup angin! Tubuh
Malaikat Picak sendiri terbanting ke belakang saking kuatnya tenaga dorongan
sinar itu. Malaikat Picak segera bangkit berdiri. Sekilas dipandangnya potongan ruyung yang berada di tangannya.
Tinggal sebatang. Lelaki ini tidak akan percaya kalau tidak melihatnya sendiri.
Ruyungnya terbuat dari bahan yang a mat kuat. Campuran dari baja tulen dan
bahan-bahan lain. Tapi sekarang pusaka itu hancur berantakan.
"Ruyungmu yang hancur, Tua Bangka! Kali ini
tubuhmu yang akan luluh!"
Lingga menudingkan ujung Golok Kilatnya lagi. Sinar
menyilaukan kembali meluncur ke arah Malaikat Picak. Dan, belum
juga sinar itu mengenai sasaran Lingga menudingkannya lagi sehingga sinar kedua menyambar.
Kemudian, ketiga dan keempat!
Pucat wajah Malaikat Picak Satu sinar saja telah
membuatnya kelabakan, apalagi empat buah! Dalam waktu
yang demikian singkat benaknya diputar. Kemudian, Malaikat Picak membanting tubuhnya ke tanah dan bergulingan. Seperti yang diduga, sinar-sinar itu mengejarnya. Lelaki kekar ini menyambuti sinar itu dengan lemparan sekepal tanah
yang diambilnya saat bergulingan!
Empat kali berturut-turut Malaikat Picak melemparkan tanah. Dan, empat kali pula terdengar bunyi ledakan. Nyawa Malaikat
Picak pun terselamatkan!
Lingga menggertakkan gigi melihat lawannya masih
dapat selamat. Tidak disangkanya Malaikat Picak cukup alot untuk
dibunuh. Padahal, dia sudah ingin segera menuntaskan maksudnya terhadap Nuri. Masih terasa
kenikmatan tubuh gadis itu.
Kemarahan Lingga semakin menjadi-jadi ketika melihat di kejauhan, dari arah yang berlawanan dengan
kedatangan Malaikat Picak, melesat cepat dua sosok tubuh.
Memang tak secepat lari Malaikat Picak, tapi membuat Lingga sadar kalau keadaan
semakin tidak menguntungkan bagi
dirinya. Kemarahan Lingga pun memuncak! Dan, itu dilampiaskannya pada Malaikat Picak. Berkali-kali sinar-sinar
menyilaukan diluncurkan dari ujung goloknya. Berbarengan dengan itu dia melompat menerjang, mengirimkan serangan dengan senjata pusaka itu.
Malaikat Picak memang seorang tokoh besar! Serangan sinar-sinar kilat Lingga kembali dapat dilumpuhkannya. Demikian pula dengan serangan goloknya.
Lelaki itu kembali mengorbankan tanah. Sedangkan untuk serangan golok, ruyungnya
yang tinggal sebatang ikut
dikorbankan. Meski demikian, serangan susulan Lingga tidak dapat
dielakkan. Kaki pemuda itu dengan telak menghantam paha kanannya. Bunyi
gemeretak tulang ya patah mengiringi
terpentalnya tubuh Malaikat Ficak.
"Itu dia penjahat keji itu, Kek...!" Seruan itu keluar dari mulut salah satu
dari kedua sosok yang baru datang.
Dia adalah Priyani. Gadis yang sudah dinodai Lingga ini menunjuk pemuda itu.
Sosok yang satu lagi bukan lain Setan Kepala Besi. Ia
langsung menerkam ke arah Lingga! Tidak patut disebut
menerkam sebenarnya. Kakek itu mengirimkan serangan
dengan mempergunakan kepala! Tak ubahnya seekor kambing atau kerbau.
Lingga geram bukan main melihat gangguan ini. Saat
itu dia tengah hendak mengirimkan serangan susulan
terhadap Malaikat Picak, untuk mengirim nyawa ayah
Gentala ke neraka. Serangan Setan Kepala Besi membuatnya membatalkan maksudnya.
Pemuda itu terkejut bukan main ketika merasakan
hembusan angin yang luar biasa keras meluncur ke arahnya sebelum serangan kepala
itu sendiri tiba. Angin luar biasa dahsyat ini cukup untuk menghancurkan
sebatang pohon besar! Inilah keistimewaan Setan Kepala Besi. Kepalanya yang kuat mengandung
kedahsyatan luar biasa ketika
melancarkan serangan!
Lingga tidak berani bertindak sembarangan. Keterbatasan waktu membuat pemuda itu terpaksa mengelak, karena Lingga tidak sempat mempergunakan
goloknya. Setelah berhasil menghindari serangan itu, kembali Lingga
mempergunakan goloknya dan sinar menyilaukan
segera diluncurkan!
Pertarungan pun terjadi antara Setan Kepala Besi
bersama Malaikat Picak yang menghadap Lingga. Priyani
tidak ikut campur. Di samping kepandaiannya terlalu rendah, dia pun risih
melihat keadaan Lingga yang tanpa pakaian.
Priyani segera menghampiri Nuri. Dibantunya gadis
itu mengobati luka-luka Adipati Gili. Nuri telah mengenakan pakaiannya kembali.
Setelah berupaya meringankan derita Adipati Gili, dua
gadis cantik itu memperhatikan jalannya pertarungan. Tidak dapat mereka saksikan
secara jelas, tapi cukup untuk
mengetahui kalau Lingga tetap berada di pihak yang lebih menguntungkan. Dua jago
tua yang menjadi lawannya
tampak kelabakan.
Kenyataan ini membuat Nuri dan Priyani khawatir
bukan main. Dan, kecemasan mereka beralasan. Malaikat
Picak yang tidak leluasa bergerak karena luka pada kakinya menjerit memilukan
ketika sinar menyilaukan dari Golok Kilat menerpanya. Tubuh lelaki kekar itu
langsung lenyap menjadi debu kering yang segera diterbangkan angin!
Setan Kepala Besi melompat mundur saking kaget
dan ngerinya. Lingga menghentikan serangan dan tertawa bergelak. Sedangkan
Priyani mengisak lirih melihat kematian gurunya yang mengenaskan.
"Sekarang kau yang akan menerima kematian, Monyet Botak!" seru Lingga penuh
kesombongan pada Setan Kepala Besi.
Kakek itu merasakan debaran jantungnya bertambah
cepat. Di dalam hati ia mengakui kalau Lingga tedalu
tangguh untuk dilawan. Apalagi dengan adanya senjata maut di tangannya.
Setan Kepala Besi tidak berani bergerak ketika
melihat Lingga mengarahkan ujung golok kepadanya. Lelaki ini menunggu untuk bisa
memastikan ke mana harus
mengelak. Dia tidak berani menyerang atau bergerak
Tapi, sinar menyilaukan yang ditunggunya tidak
kunjung datang. Dilihatnya wajah Lingga menegang. Pemuda itu kelihatan mendapat
masalah! Kendati demikian, Setan Kepala Besi tidak berani mengambil tindakan apa
pun. Setan Kepala Besi khawatir kalau sikap Lingga hanya merupakan siasat.
Pemuda ini
Dewa Arak 86 Penyair Cengeng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ingin membuatnya lengah lalu mengirimkan serangan.
"Jahanam...!"
Teriakan Lingga yang penuh kegeraman membuat
Setan Kepala Besi mulai bimbang dengan kecurigaannya.
Dilihatnya tangan Lingga mengejang penuh kekuatan. Golok Kilat seperti ditarik
oleh tangan tak nampak! Tingkah Lingga menunjukkan
kalau pemuda itu tengah berusaha mempertahankan senjatanya dari sesuatu yang menariknya.
Setan Kepala Besi cepat mengambil keputusan.
Dikumpulkan seluruh tenaganya. Kemudian, kedua tangannya dihentakkan ke depan mengirimkan pukulan jarak jauh. Kakek ini yakin
Lingga tidak bersiasat dengan
tingkahnya yang aneh.
Lingga tidak mempedulikan serangan Setan Kepala
Besi. Dia lebih mementingkan kejadian yang menimpa
goloknya. Bresss! Telak dan keras sekali pukulan jarak jauh Setan
Kepala Besi menghantam Lingga. Tubuh
pemuda ini melayang ke belakang bagai diseruduk kerbau liar. Kendati demikian, goloknya
tidak terlepas dari tangan. Hanya saja cekalannya mengendur jauh.
Akibat dari mengendurnya cekalan, Lingga tidak
kuasa untuk mempertahankan goloknya. Senjata itu melayang ke depan dengan kecepatan tinggi, agak menyerong ke atas. Baru ketika
mencapai ketinggian tiga tombak dari tanah benda pusaka itu meluncur secara
mendatar ke depan dengan cepatnya.
Lingga meraung bak macan terluka. Begitu berhasil
mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terlempar,
pemuda ini segera melesat cepat memburu ke arah Golok
Kilatnya pergi. Tak lupa dijumputnya pakaiannya yang
berserakan di tanah.
Tindakan Lingga tidak berusaha dicegah oleh Setan
Kepala Besi. Kakek ini masih terkesima melihat Lingga tidak tewas atau terluka
berat akibat serangannya. Padahal,
serangan itu sudah cukup untuk membuat tokoh yang
bagaimanapun lihainya melayang ke alam baka. Tapi,
kenyataan Lingga tidak terpengaruh sama sekali.
Priyani menghambur ke arah Setan Kepala Besi.
"Mengapa kau biarkan bangsat keji itu pergi, Kek"
Kejar dan bunuh dia! Bukankah kau telah berjanji untuk membunuhnya demi aku?"
tagih Priyani. Setan Kepala Besi menghela napas berat. Ditatapnya
wajah Priyani sebentar lalu digelengkan kepalanya.
"Penjahat keji itu terialu tangguh untukku, Nona. Aku tidak akan mampu
mengalahkannya, apalagi membunuhnya.
Dia mempunyai ilmu luar biasa di senjata yang mengerikan.
Tapi percayalah, meski aku tidak bisa membunuhnya akan ada orang lain yang
melenyapkannya dari muka bumi ini,"
hibur Setan Kepala Besi.
Priyani menutup wajah dengan kedua tangannya
karena perasaan sedih. Kalau Setan Kepala Besi yang
demikian lihai saja tidak mampu menghadapi Lingga, siapa lagi yang akan dapat
membunuh pemuda berhati iblis itu"
Rintih Priyani dalam hati. Gurunya sendiri telah tewas.
Setan Kepala Besi merasa tidak ada gunanya lagi
mengucapkan kata-kata hiburan. Maka, dibiarkannya saja tingkah Priyani. Bahkan
ketika gadis itu menangis di tempat tadi Malaikat Picak berdiri. Kakek ini malah
melangkah menghampiri Nuri. Muridnya itu berlari menghambur ke
arahnya. Ia terisak di dada Setan Kepala Besi.
Setan Kepala Besi membiarkan saja Nuri menumpahkan seluruh perasaan yang sejak tadi ditahantahannya. Ia tahu pengalaman yang diterima Nuri terlalu dahsyat. Baru setelah
tangis Nuri mereda kakek itu
memeriksa luka Adipati Gili.
*** Dewa Arak merasakan debaran jantungnya berdetak
tak menentu. Itu terjadi ketika melihat titik yang kian lama kian membesar
dengan cepat. Terlihat jelas oleh mata Arya yang tajam kalau titik yang sekarang
terlihat seorang
manusia itu mengenakan pakaian serba merah. Lingga! Jerit hati Dewa Arak.
Berbagai macam perasaan berkecamuk di dada Arya.
Rasa gembira karena berhasil menemukan Lingga. Dan, rasa tegang mengingat pemuda
yang menjadi seterunya itu belum tentu berhasil dikalahkan.
Namun, perasaan itu sempat terusir ketika melihat
benda yang diketahui Dewa Arak sebagai golok melayang di udara dengan kecepatan
menakjubkan. Arya segera bisa
mengetahui Lingga tengah mengejar-ngejar golok itu. Inikah Golok Kilat" Tanya
Arya dalam hati.
Tidak berbeda dengan Dewa Arak, Lingga pun melihat
keberadaan pemuda berambut purih keperakan itu. Di dalam hatinya
pemuda berpakaian merah ini memaki-maki mengutuk keberuntungan Dewa Arak yang bertemu dengannya di saat Golok Kilat lepas dari tangannya.
Ketidakadaan Gdok Kilat membuat Lingga tidak yakin dapat membunuh Dewa Arak.
Setidak-tidaknya, dengan tidak
adanya Golok Kilat, Arya memiliki kemungkinan untuk lolos dari maut.
"Jangan pikirkan soal Lingga dulu, Dewa Arak,"
terdengar suara tanpa wujud di telinga Dewa Arak. Suara yang dikenali Arya
sebagai milik Penyair Cengeng. "Yang lebih penting, cegah jangan sampai senjata
mengerikan itu jatuh ke tangan penciptanya. Malapetaka yang lebih besar menanti.
Dunia persilatan akan bersimbah darah. Golok Kilat akan jauh lebih berbahaya dan
mengerikan bila jatuh ke tangan penciptanya, karena dia tahu lebih banyak
mengenai istimewaan golok itu."
Arya tersentak kaget. Teka-teki yang menggumpal di
benaknya sekarang terjawab. Pencipta Golok Kilat ternyata masih hidup. Rupanya,
sang pencipta senjata itu sekarang bermaksud mengambil miliknya kembali. Jelas
sudah mengapa Golok Kilat bisa terbang sendiri laksana burung.
Pasti itu tejadi karena ulah sang pencipta Golok Kilat.
Dewa Arak tidak berani meremehkan peringatan
Penyair Cengeng. Buru-buru diloloskan sabuknya. Kemudian, dilemparkannya ke arah
Golok Kilat yang masih berada
beberapa belas tombak di depannya. Sabuk ungu Dewa Arak meluncur bagai seekor
ular, bergulung-gulung siap untuk melibat Golok Kilat yang akan lewat.
Usaha Dewa Arak ternyata berhasil. Sabuknya dengan
tepat melilit batang golok. Arya bermaksud menariknya, tapi terpaksa diurungkan.
Lingga yang meluncur tiba telah
mengirimkan pukulan jarak jauh. Ia rupanya tidak membiarkan pusaka itu jatuh ke tangan seterunya. Arya
buru-buru memapaki serangan itu dengan pukulan jarak
jauh pula. Blarrr! Bumi berguncang ketika dua pukulan jarak jauh yang
memiliki kekuatan dahsyat tak terkira bertemu di tengah jalan. Baik Arya maupun
Lingga terhuyung ke belakang. Arya selangkah lebih jauh!
Dewa Arak terkejut bukan main. Bukan karena
benturan itu. Pemuda berambut putih keperakan ini telah tahu kehebatan kekuatan
tenaga Lingga. Yang membuatnya kaget adalah ketika melihat Golok Kilat
memancarkan sinar menyilaukan dan memercikkan api.
Api yang muncul demikian mengejutkan itu ternyata
memiliki kekuatan panas yang mengerikan. Di saat Dewa
Arak dan Lingga belum sempat mematahkan kekuatan yang
membuat tubuh mereka terhuyung, sabuk ungu yang melilit golok habis terbakar!
Dengan demikian Golok Kilat kembali bebas. Dan, sebelum Dewa Arak dan Lingga
sempat berbuat sesuatu, Golok Kilat kembali melesat dengan kecepatan
tinggi! Lingga lebih dulu bertindak. Kedua tangannya cepat
dijulurkan ke depan. Ia mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya untuk menarik golok itu. Setidak-tidaknya,
menahan luncurannya.
Tindakan Lingga tidak sia-sia. Luncuran Golok Kilat
tertahan. Memang tidak tertarik ke arah Lingga, tapi
luncurannya terhenti seakan-akan hulu golok dipegang oleh tangan.
Dewa Arak tidak mau ketinggalan. Pemuda berambut
putih keperakan ini melompat untuk menangkap golok yang terapung-apung di udara
itu. Karena kekhawatiran Golok Kilat jatuh ke tangan penciptanya, Dewa Arak
sampai tidak ingat kalau tindakannya bagai menangguk ikan di air keruh.
Lingga menggeram marah. Pemuda ini tahu kalau
Dewa Arak berhasil menangkap Golok Kilat sudah pasti akan mendapatkannya. Jarak
yang jauh akan membuat tenaga
dalamnya yang hanya lebih kuat sedikit dari Dewa Arak tidak berarti sama
sekali!. Dan, Lingga tidak menginginkan hal itu terjadi.
"Uhhh...!"
Arya mengeluarkan keluhan tertahan ketika tangkapannya mengenai tempat kosong. Golok Kilat telah melesat cepat dari tempat
semula. Lebih cepat daripada sebelumnya!
Dewa Arak tidak merasa heran melihat hal ini. Lingga
pasti telah menghentikan tarikannya. Itu membuat Golok Kilat yang sejak tadi
berkutat untuk membebaskan diri dari tarikan Lingga meluncur bagai anak panah
lepas dari busur.
Lingga sendiri begitu melepaskan tarikannya melesat cepat mengejar golok itu.
Tapi, pemuda ini tertinggal cukup jauh karena luncuran Golok Kilat yang demikian
pesat. Dewa Arak pun segera bertindak. Pemuda berambut
putih keperakan ini ikut melesat mengejar. Pemandangan yang unik pun terpampang.
Golok Kilat berada di depan, disusul Lingga dan kemudian Dewa Arak. Jarak antara
mereka masing-masing cukup jauh. Dan, semakin lama
semakin jauh. Dewa Arak mengeluh dalam hati. Sungguh tidak
disangkanya dalam ilmu lari cepat pun Lingga masih lebih unggul daripadanya.
Jarak antara dia dan Lingga semakin lebar. Tidak hanya Dewa Arak, Lingga pun
mengutuk di dalam hati melihat jaraknya yang semakin jauh dengan Golok Kilat. Medan tempuh
sang golok yang tidak mengenal
kesulitan membuat luncurannya tidak terhambat sedikit pun.
Sementara Lingga terkadang harus melewati medan yang
sulit. Lingga pucat pasi wajahnya ketika melihat sebuah
hutan berada puluhan tombak di depannya. Apabila masuk hutan, pupus sudah
harapannya untuk dapat memperoleh
senjata itu lagi. Kelebatan hutan akan menyembunyikan
Golok Kilat dari pandangan. Dedaunan
rindang yang menghalangi pandangan banyak menghampar. Maka, meskipun rasa lelah yang sangat mendera dan napasnya
sudah memburu, dikuatkan hatinya untuk terus mengejar.
Malah diusahakan untuk mengerahkan kekuatan lari yang
lebih dari sebelumnya.
Usaha Lingga sia-sia. Kemauannya tidak terdukung
oleh kemampuan yang cukup. Golok Kilat telah lebih dulu masuk ke dalam hutan.
Lingga tertinggal beberapa tombak di belakangnya. Hampir sepuluh tombak!
Meski demikian, Lingga tetap menyusul masuk ke
dalam hutan. Dia terus melanjurkan pengejaran. Dewa Arak menyusul beberapa saat
kemudian. Tapi, sesampainya di
dalam hutan pemuda berambut putih
keperakan ini menghela napas berat. Lingga sudah tidak kelihatan lagi.
Sementara itu, terpisah beberapa belas tombak di
depan, Lingga pun tengah kebingungan. Pandangan mata
pemuda ini liar merayapi sekitar tempatnya berada untuk melihat barangkali Golok
Kilat ada di sana.
Tapi harapannya sia-sia! Golok Kilat tidak terlihat.
Mungkin sudah meninggalkan tempat itu.
*** Setan Kepala Besi menoleh ke arah Nuri yang
melangkah lesu di sebelahnya. Kedua tangan gadis ini
ditaruh di belakang. Sementara Setan Kepala
Dewa Arak 86 Penyair Cengeng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Besi membopong tubuh Adipati Gili.
"Kita telah sampai, Nuri," ujar Setan Kepala Besi lembut sambil mengarahkan
pandangan ke sebuah pondok
sederhana beratapkan rumbia dan berdinding pagar bambu.
Nuri hanya tersenyum samar setelah lebih dulu
mengangkat wajah dan memandang gurunya. Kemudian,
tatapannya diturunkan kembali menekuri tanah.
Setan Kepala Besi tidak berkecil hati melihat tingkah
muridnya. Nuri masih terpukul dengan kejadian yang
menimpanya akibat ulah Lingga. Sejak kemarin gadis ini berdiam diri saja. Tidak
bicara kecuali ditanya. Itu pun jawaban yang diberikan singkat-singkat saja
Khawatir akan ancaman Lingga, Setan Kepala Besi
tidak mengajak Nuri dan Adipati Gili ke tempatnya yang dulu.
Dibawanya ayah dan anak itu ke tempat yang tersembunyi Setan Kepala Besi
mendorong daun pintu yang terbuat dari bambu. Daun pintu pun terkuak. Cahaya
sang surya menyorot menyinari bagian dalam rumah.
"Selamat bertemu lagi, Setan Kepala Besi."
Setan Kepala Besi sampai tanpa sadar terjingkat ke
belakang. Ia terkejut bukan
main. Suara itu pernah
didengarnya. Bahkan cukup akrab di telinganya. Tapi,
membutuhkan waktu yang cukup lama bagi Setan Kepala
Besi untuk mengingatnya.
Keberadaan pemilik suara yang langsung terlihat oleh
Setan Kepala Besi membuat kakek ini tidak perlu bersusah-payah mengingat-ingat.
Si pemilik suara duduk di balai-balai bambu yang ada di tengah ruangan.
"Kaget, Setan Kepala Besi"'
Pemilik suara menyapa dengan senyum terkembang
lebar. Tampak deretan giginya yang kuning dan beberapa di antaranya hitam.
Terlihat cukup menyolok deretan gigi itu karena kulit sosok ini hitam legam.
"Sejujurnya iya, Eyang," jawab Setan Kepala Besi setelah bisa menguasai
perasaannya. "Aku tidak menyangka Eyang sampai keluar dari pertapaan. Apalagi
bisa tiba di sini.
Dari mana Eyang tahu tempat ini?"
"Itu tidak penting, Setan Kepala Besi." jawab kakek hitam legam itu sambil
mengibaskan tangan. "Tapi, agar kau tidak penasaran kuberitahukan sekilas. Aku
keluar dari pertapaan karena memang sudah waktunya untuk keluar.
Dan, tahunya aku tempat ini karena kau juga, Setan Kepala Besi?" Setan Kepala
Besi tersenyum pahit. "Karena aku mencuri lembaran-Iembaran daun lontar yang kau
buat dari hasil semadimu, Eyang?"
Kakek hitam legam tersenyum dan menggelengkan
kepala. "Lalu, karena apa" Kakek Merah dan Putih pun keluar dari pertapaan karena hendak
meminta lembaran daun
lontar itu."
"Aku tahu mereka pergi. Tapi, itu mereka lakukan
karena bakti mereka padaku. Padahal aku tidak menginginkan mereka bertindak demikian. Bahkan aku tidak pernah bercerita kalau
lembaran daun lontar telah kau curi.
Bertahun-tahun kusimpan rapat-rapat rahasia itu sampai akhirnya mereka
mengetahuinya sendiri. Dan, begitulah
akibatnya. Meski kularang keras, tapi apa dayaku" Kau tahu sendirikan
keadaanku?"
Setan Kepala Besi mengangguk. Kakek hitam legam
yang dikenalnya dengan nama Eyang Keling ini telah
kehilangan seluruh tenaga dalamnya. Setan Kepala Besi tidak tahu mengapa. Yang
jelas, Eyang Ke ling diketahuinya
memiliki ilmu nujum yang hebat. Menyepi bertahun-tahun seorang diri sebelum
akhirnya sepasang kakek yang
memperkenalkan diri dengan nama Merah dan Putih datang menemani. Bertahun
kemudian Setan Kepala Besi datang
pula ke tempat itu. Sungguh sebuah hal yang kebetulan!
"Apakah kau telah bertemu dengan mereka, Setan
Kepala Besi?"
"Tidak, Eyang. Tapi, mereka telah menawan muridku agar aku datang menemuinya.
Ternyata sebelum kubebaskan muridku ini telah lebih dulu bebas," Setan Kepala
Besi menunjuk pada Nuri.
Eyang Keling menatap Nuri sebentar. Kemudian,
tersenyum ramah Nuri membalas senyum itu kendati sedang tidak ingin tersenyum.
Itu dilakukannya untuk menghormati Eyang Keling yang demikian dihormati gurunya.
"Apakah ada hal yang penting sehingga kau datang
menemuiku, Eyang?" tanya Setan Kepala Besi setelah selesai menceritakan kisah
Nuri hingga bisa selamat dari tawanan kakek Merah dan Putih.
"Tentu saja, Setan
Kepala Besi," Eyang Keling
menganggukkan kepala
7 "Biadab...!"
Dewa Arak tidak kuasa untuk menahan makiannya
ketika melihat pemandangan yang terpampang di hadapannya. Dua sosok terpantek di dua batang pohon
dalam keadaan mengenaskan. Sekujur tubuhnya penuh
guratan senjata tajam. Cukup dalam karena beberapa di
antaranya memperlihatkan tulang yang putih. Bercak-bercak darah yang mengering
menyebar di sekujur tubuh. Tapi
anehnya, tak ada setitik pun yang jatuh di tanah.
Arya bergegas menghampiri. Diperkirakannya kedua
sosok tubuh itu dengan hati panas terbakar amarah yang menggelegak melihat
penyiksaan yang demikian mendirikan bulu kuduk. Bercak-bercak da rah membuat
pakaian kedua sosok itu tidak terlihat lagi warnanya. Tapi, Arya tahu kalau
mereka adalah dua orang kakek yang menculik Nuri. Lalu, siapakah yang telah
melakukan kekejian itu"
Pertanyaan itu bergayut di benak Dewa Arak. Dua
dugaan mengenai si pelaku terbersit di benaknya. Dua orang yang mempunyai
kemungkinan besar bertindak seperti ini.
Setan Kepala Besi yang mungkin karena sakit hatinya
melakukan penyiksaan, dan Lingga!
Dua tokoh itu memang memiliki kemungkinan besar.
Setan Kepala Besi dulunya adalah seorang pentolan kaum sesat. Bukan tidak
mungkin karena saking marah dan sakit hatinya lelaki itu khilaf dan berlaku
seperti ini. Di lain pihak, Lingga pun demikian. Kakek Merah dan
Putih telah mencari urusan dengannya. Jangankan orang
yang berurusan, yang tidak pun bisa saja mendapat sial disiksa oleh Lingga yang
memang memiliki hati kejam luar biasa. Dewa Arak lebih condong pada Lingga.
Telah dua hari dia mengikuti jejak Lingga, sejak pemuda itu dan dirinya
mengejar-ngejar Golok Kilat. Dan, menurut perhitungannya arah yang diikutinya
ini adalah arah yang dituju Lingga. Jadi, kemungkinan besar kakek Merah
dan Putih dibunuh olehnya! Hal itu bukan tidak mungkin bagi Lingga. Di
samping berkepandaian amat tinggi, pemuda ini pun
memiliki ilmu yang membuat kulit tubuhnya tidak bisa
dilukai! "Dewa Arak..."
Sapaan itu membuat Dewa Arak bergegas membalikkan tubuh dan bersiap sedia menghadapi segala
kemungkinan yang terjadi. Pemuda ini sempat kaget karena tidak mendengar adanya
bunyi sedikit pun. Keterkejutan kedua adalah karena saat itu ia tengah tegang
melihat pemandangan yang menggiriskan.
Sekujur urat-urat saraf di tubuh Dewa Arak langsung
mengendur ketika mengetahui orang yang menegurnya.
Orang itu adalah Penyair Cengeng. Tokoh luar biasa.
Arya heran melihat wajah Penyair Cengeng demikian
tegang. Tidak biasanya kakek itu bersikap demikian.
"Malapetaka besar telah berada di ambang pintu,
Dewa Arak," ucap Penyair Cengeng dengan suara mengandung keprihatinan mendalam. "Satu tahun lagi Golok Kilat akan menjadi
pusaka maha ampuh! Jauh lebih dahsyat dan mengerikan daripada yang dulu. Aku
mengetahui hal ini setelah mengerahkan seluruh kemampuan batinku. Ada
kekuatan kasatmata yang menghalangi maksudku mencari
tahu mengenai Golok Kilat. Ini berarti pencipta Golok Kilat telah campur tangan.
Hanya itu yang bisa kuketahui, Dewa Arak! Aku tidak tahu tahap apa lagi yang
akan dilalui agar Golok Kilat menjadi pusaka yang sangat mengerikan. Bila tahap
itu selesai, tak akan ada seorang tokoh pun yang bisa tidur nyenyak, Dewa Arak.
Seriap tokoh yang bagaimanapun saktinya, kecuali mungkin gurumu yang luar biasa
itu, bisa mati setiap saat tanpa mereka tahu siapa yang membunuhnya."
"Apa yang harus kulakukan, Penyair Cengeng?" tanya Arya dengan cemas. Ia
khawatir sekali mendengar cerita Penyair Cengeng.
"Apa saja, Dewa Arak. Intinya, usahakan agar tahap terakhir dari usaha pencipta
Golok Kilat itu gagal. Bila sampai terjadi, meski Golok Kilat tetap merupakan
pusaka sangat mengerikan, tak terlalu mengancam keselamatan
tokoh-tokoh persilatan."
Arya sebenarnya hendak menanyakan banyak hal.
Terutama mengenai ancaman yang teramat berbahaya dan
yang tidak. Tapi, melihat sikap Penyair Cengeng yang tergesa-gesa diputuskan
untuk mengajukan masalah yang penting
saja. "Aku memutuskan untuk mencari pencipta Golok
Kilat itu, Penyair Cengeng. Bisa kau memberikan sedikit petunjuk?"
"Aku tidak bisa memberi banyak petunjuk, Dewa
Arak. Aku sendiri tengah berusaha menemukan di mana
adanya si pencipta itu. Tapi, hasilnya sia-sia. Ilmu batinku pun tidak mampu
membantuku. Jadi, yang bisa kubantu
hanya memberikan ciri-ciri pencipta Golok Kilat, agar kau lebih mudah
menemukannya. Dia memiliki kulit kuning.
Tubuhnya gemuk pendek. Itu yang bisa kuberitahukan, Dewa Arak. Dan...."
"Penyair Cengeng...! Awaaasss...!"
Seruan itu dikeluarkan Dewa Arak ketika melihat
seleret sinar menyilaukan mata bak kilat meluncur ke arah Penyair Cengeng.
Arahnya dari belakang kakek itu.
Sebenarnya, seruan Dewa Arak tidak perlu. Meski
bunyi lesatan sinar yang sebetulnya berasal dari Golok Kilat itu amat pelan,
tapi cukup untuk tertangkap telinga Penyair Cengeng.
Kakek itu segera membanting tubuh dan menggulingkan diri di tanah. Dewa Arak sendiri ikut
menjauh. Pemuda ini agak heran melihat Penyair Cengeng demikian repot-repot
mengelak. Sedikit menggeser kaki pun sudah cukup, pikir Dewa Arak.
Arya baru mengetahui alasan
Penyair Cengeng
melakukan elakan yang demikian merepotkan ketika melihat kilatan sinar yang
seharusnya mengenai tempat kosong
mengikuti arah ke mana Penyair Cengeng mengelak
Kali ini Penyair Cengeng melenting ke atas. Sinar itu
pun mengikutinya. Arya yang melihatnya jadi berdebar
tegang. Pemuda ini, yang telah bisa menduga kalau sinar menyilaukan itu berasal
dari Golok Kilat, baru menyadari mengapa Penyair Cengeng dan Ki Gering Langit
demikian khawatir. Dewa Arak melihat sendiri ke mana pun Penyair
Cengeng mengelak sinar kilat itu tetap memburu. Mengapa Penyair Cengeng tidak
menangkisnya saja" Tanya Dewa Arak dalam hati.
Arya memperhatikan pemandangan yang terpampang
dengan perasaan tertarik bercampur tegang. Ketika teringat akan sinar kilat yang
dulu pernah dialaminya, yang mungkin akan membuatnya tewas, kalau tidak ada guci
pusakanya, Dewa Arak menemukan sendiri jawaban mengapa Penyair
Cengeng tidak menangkisnya (Untuk jelasnya silakan baca serial Dewa Arak dalam
episode: "Batu Kematian").
Arya kaget ketika tiba-tiba Penyair Cengeng menubruk
tanah seperti orang terjun ke sungai. Apa yang hendak
dilakukan kakek ini"
Arya hampir tidak percaya akan apa yang dilihatnya.
Tubuh Penyair Cengeng amblas ke dalam tanah! Itu masih belum mengejutkan. Yang
membuat Arya kaget bukan main
adalah ketika melihat tidak adanya bekas sedikit pun pada tanah! Seakan-akan
Penyair Cengeng tidak pernah masuk ke dalamnya.
Blarrr! Debu mengepul tinggi ketika sinar kilat itu menghantam tanah di mana tubuh Penyair Cengeng lenyap.
Dan begitu debu tersapu angin, tampak lubang besar
menganga. Lubang yang mampu untuk menimbun mayat
seekor gajah besar.
Berbarengan dengan lenyapnya
Dewa Arak 86 Penyair Cengeng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
debu, Penyair Cengeng muncul kembali ke permukaan tanah. Tidak teriihat sedikit pun bagian
tubuhnya yang kotor. Ilmu apakah yang dipergunakan Penyair Cengeng" Tanya Arya
dalam hati. Pemuda ini merasa risih untuk menanyakannya. Yang
diketahui Arya, Penyair Cengeng memang banyak memiliki ilmu-ilmu gaib.
"Kau lihat sendiri kedahsyatan Golok Kilat itu, Dewa Arak?" ujar Penyair Cengeng
setengah memberi tahu.
"Padahal, tahap terakhir belum dilaksanakan oleh pencipta Golok Kilat. Bila
tahap itu sudah selesai, tindakan yang kulakukan tadi tidak akan ada artinya.
Sinar maut itu mampu menembus tanah tanpa bekas sedikit pun seperti
halnya aku. Jadi, tidak ada tempat untuk bersembunyi lagi.
Sinar itu akan terus mengejarku sampai aku berhasil
disambarnya."
Dewa Arak menelan ludah karena perasaan tegang.
Sungguh tidak disangkanya akan demikian dahsyat akibat yang ditimbulkan Golok
Kilat. "Kalau demikian, aku akan secepatnya mencari
pencipta gdok itu, Penyair Cengeng," jawab Arya segera mengambil sebuah
keputusan. "Tapi sebelum itu..., boleh kutahu
mengapa pencipta Golok Kilat kelihatannya memusuhimu?"
Penyair Cengeng tersenyum pahit.
"Semua itu karena salahku juga. Dulu aku sepertimu.
Tidak tahan untuk berdiam diri melihat tindak ketidakadilan terjadi di depan
mata. Pencipta Golok Kilat menyebar
malapetaka di dunia persilatan. Tapi waktu itu kedahsyatan Golok Kilat tidak
seperti sekarang. Sinar maut yang keluar dari ujung golok tidak mampu mencari
sasaran sendiri. Itu pun harus dilakukan dari jarak dekat, misalnya sewaktu
bertarung. Tidak seperti sekarang sangat mengerikan!
Pencipta Golok Kilat berhasil kukalahkan. Golok itu sendiri kutenggelamkan di
laut untuk membuang pengaruhnya.
Entah bagaimana bisa keluar dari sana. Mungkin ditemukan nelayan dan dijual pada
prajurit kerajaan. Hal itu aku tidak begitu tahu. Yang jelas, beban berat ada di
pundakmu, Dewa Arak." "Doakan aku, Penyair Cengeng. Semoga aku berhasil
menunaikan tugas ini seperti halnya kau dulu."
Penyair Cengeng mengangguk sambil tersenyum.
Meski demikian, sorot kekhawatiran belum lenyap dari
wajahnya. Penyair Cengeng melangkah
pelan dan lambat. Namun, tubuhnya dengan cepat telah berada puluhan
tombak di depan. Dan yang menarik perhatian Arya,
beberapa kali telapak kaki si kakek tidak menginjak tanah.
Luar biasa! *** Bunyi gaduh yang dikenal baik oleh Arya sebagai
akibat dari terjadinya pertarungan menarik perhatian pemuda berambut putih keperakan itu. Ia segera melesat pergi ke sana.
Jantung Arya berdebar tegang ketika akhirnya melihat
orang-orang yang terlibat dalam pertarungan di balik
gundukan batu besar di pinggir sungai. Salah satu di
antaranya adalah Lingga! Sedangkan sosok yang satu lagi tidak dikenal Arya.
Seorang kakek berkulit hitam legam.
Kakek ini bukan lain Eyang Keling.
Pertempuran ini hebat bukan main. Arya sendiri
sampai takjub melihatnya. Lingga diketahui Dewa Arak
memiliki kepandaian ringgi. Tapi, lawannya tidak kalah lihai.
Lingga yang memiliki ilmu 'Dewa Mabuk' tampak tidak
mampu mendesak lawan. Eyang Keling memiliki ilmu tangan kosong yang mengagumkan.
Kedua tangannya seperti
berjumlah belasan.
Beberapa kali Eyang Keling dan Lingga mengadu
tenaga. Akibatnya, tubuh keduanya terhuyung-huyung.
Tenaga dalam mereka ternyata berimbang.
Namun, lambat laun Eyang Keling mulai terdesak.
Kekebalan tubuh Lingga yang menjadi penyebabnya. Kakek ini terus dipaksa bermain
mundur. Bila hal itu terus
dibiarkan Eyang Keling akan tewas.
Eyang Keling pun rupanya menyadari hal itu. Begitu
mendapat kesempatan, dia melempar tubuhnya ke belakang.
Dan, ketika menjejak tanah di tangannya telah tergenggam sebatang pedang.
Lingga tersenyum mengejek. Tanpa mempedulikan
keselamatan diri dia melompat bagai seekor harimau
menerkam mangsa!
Eyang Keling berdiri tegak menanti datangnya serangan. Ketika telah dekat, batang pedangnya diludahi!
Baru setelah itu dibabatkan ke arah kedua tangan Lingga yang meluncur ke
arahnya. Lingga mengeluarkan pekikan tertahan! Pemuda keji
ini merasakan desir angin tajam yang membuat ngilu
tubuhnya. Dalam waktu yang demikian singkat dia segera menyadari adanya hal-hal
yang mencurigakan.
Lingga menarik kedua tangannya untuk membatalkan
serangan. Pertama kalinya sejak menerima warisan ilmu
hebat dari tokoh-tokoh sakti yang berasal dari Nepal, Lingga tidak berani
memapaki senjata dengan tangannya (Untuk
jelasnya mengenal tokoh-tokoh Nepal, silakan baca episode:
"Petualang-petualang dari Nepal").
Crattt! Darah mengucur ketika pergelangan tangan kiri
Lingga terserempet ujung pedang. Elakan yang dilakukan Lingga kurang cepat.
Untungnya, tidak mengenai urat nadi!
"Ha ha ha...!"
Eyang Keling tertawa terbahak-bahak. Kakek ini tidak
segera melanjutkan serangan. Sikapnya seperti orang yang yakin akan
keunggulannya. Arya terkejut melihat Lingga bisa dilukai. Na mun,
lebih terkejut lagi ketika melihat pemuda yang tangguh itu terhuyung-huyung
limbung bagaikan orang terluka parah.
Padahal, luka yang dideritanya hanya kecil saja. Itu pun sudah tidak mengalirkan
darah lagi. Lingga telah menotok jalan darah di sekitar luka untuk menghentikan
aliran darah. "Mungkinkah ujung pedang Eyang Keling beracun?"
Pertanyaan itu bergayut di benak Arya. Namun, segera
terbantah ketika pemuda itu melihat darah yang mengucur dari pergelangan tangan
Lingga berwarna merah segar. Tanda darah sehat
"Di depan orang lain kau boleh membanggakan
kekebalan tubuhmu, Pemuda Sombong! Tapi, tidak di
hadapan Eyang Keling. Kekebalanmu tidak ada artinya
bagiku. Aku telah membuat penangkalnya. Meski hanya
terluka sedikit, tapi akibatnya besar! Seluruh tenagamu akan lenyap meski cuma
sebentar. Rasa pusing pun akan
melandamu. Bukankah demikian?"
Dewa Arak baru mengerti mengapa Lingga kelihatan
seperti orang terluka parah Rupanya, Eyang Keling telah menemukan kelemahannya.
Lingga tidak memberikan tanggapan. Pemuda ini
memegangi kepalanya dan terhuyung-huyung seperti orang mabuk. Rupanya, apa yang
dikatakan Eyang Keling tidak
berlebihan. Eyang Keling menghampiri Lingga dengan pedang
terhunus di tangan. Sikapnya sembarangan saja, tidak
terlihat waspada sedikit pun.
"Arrrggghhh...!"
Laksana seekor harimau luka, Lingga menggeram.
Akibatnya, tanah dan sekitar tempat itu bergetar hebat. Dewa Arak yang memang
masih menaruh curiga terhadap Lingga
dan tidak yakin pemuda licik itu demikian mudah dilumpuhkan, tidak terpengaruh karena segera mengerahkan tenaga dalam untuk
menekan pengaruh teriakan.
Tidak demikian halnya dengan Eyang Keling. Kakek
ini tidak bersiap sama sekali. Tubuhnya mendadak lemas dan hampir ambruk di
tanah karena kedua kakinya menggigil.
Dadanya pun terguncang hebat!
Lingga yang sudah memperhitungkan hal itu segera
melompat sambil mengirimkan tamparan ke arah pelipis
Eyang Keling. Kakek hitam legam ini meski dalam keadaan tidak menguntungkan
masih mampu menunjukkan kalau
dirinya bukan orang sembarangan. Dia mengegoskan tubuhnya. Dan, ini cukup berarti. Serangan Lingga mendarat di bahu kanan.
Plakkk! Tubuh Eyang Keling terlempar ke samping. Lalu,
jatuh terguling-guling di tanah.
Lingga tidak tinggal diam. Pemuda ini melesat untuk
mengirimkan serangan mematikan. Tapi, Dewa Arak yang
merasa geram melihat kelicikan Lingga tidak dapat tinggal diam. Ia melompat
memotong lompatan Lingga seraya
mengirimkan tamparan ke arah bahu.
Kalau menuruti perasaan, Dewa Arak ingin mengirimkan serangan ke arah kepala agar bisa memukul mati
Lingga. Tapi karena serangan
yang dilakukan secara membokong, niat itu dibatalkan. Kalau tidak hendak
menyelamatkan Eyang Keling pun Dewa Arak tak mau
membokong seperti ini.
Dalam keadaan biasa Lingga akan membiarkan
serangan ini. Tapi karena luka yang terjadi membuat
kekebalan tubuhnya musnah, Lingga memapaki serangan itu kemudian mengirimkan
tendangan ke perut Arya! Pada saat yang bersamaan Dewa Arak mengirimkan gedoran
ke arah dada Lingga. Plak! Duk! Des!
Hampir berbarengan dengan terjadinya benturan dua
tangan, tendangan Lingga mendarat di paha kanan Dewa
Arak. Sebaliknya, gedoran Arya menghantam dada atas
Lingga. Masing-masing pihak serangannya meleset karena sempat berkelit.
Tubuh Dewa Arak dan Lingga sama-sama terjengkang
ke belakang. Lingga yang lebih parah lukanya terbanting keras di tanah.
Sedangkan Dewa Arak masih mampu
menjejak tanah meski dengan agak limbung.
Tapi, keberuntungan Dewa Arak hanya sampai di situ.
Begitu kakinya menjejak tanah Eyang Keling yang rupanya tidak terluka parah
mengirimkan pukulan jarak jauh.
Kejadian itu demikian cepat dan tidak terduga-duga. Padahal, Arya berada dalam
keadaan yang kurang menguntungkan.
Karena itu Dewa Arak tidak mampu mengelak.
Arya hanya sempat mengerahkan tenaga dalam untuk
membuat isi dadanya tidak hancur oleh pukulan jarak jauh yang dahsyat itu.
Sungguhpun demikian, ketika pukulan itu melandanya, tubuh Dewa Arak melayang ke
belakang laksana daun kering dihempas angin keras. Darah menyembur deras dari mulutnya!
Eyang Keling tidak mempedulikan Dewa Arak lagi.
Pemuda berambut putih keperakan itu memang tidak
pingsan. Tapi, tergolek tak berdaya di tanah. Luka dalam Arya memang parah!
Arya hanya dapat melihat Eyang Keling mendekati
Lingga. Benaknya dipenuhi berbagai pertanyaan. Mengapa Eyang Keling malah
menyerangnya" Bukankah dia telah
membantu kakek itu menghadapi Lingga" Malah, Dewa Arak yang menyelamatkannya! Di
pihak manakah kakek itu
berdiri" Kalau juga golongan hitam, mengapa bentrok dengan Lingga"
"Ha ha ha...!"
Eyang Keling tertawa bergelak. Tawa yang sarat
dengan kegembiraan. Dia berdiri di dekat Lingga. Wajahnya didongakkan ke langit
dengan penuh kesombongan.
"Penyair Cengeng...! Sebentar lagi kau akan menerima pembalasan dendamku yang
kutahan selama puluhan tahun.
Dengan berhasilnya kuambil darah pemuda sombong ini,
rampunglah sudah tahap terakhir dan aku akan menjadi jago tak terkalahkan di
kolong langit ini. Ha ha ha...!"
Dewa Arak yang masih sadar terasa bagai disambar
halilintar mendengar ucapan Eyang Keling! Ucapan kakek hitam legam ini
mengingatkannya akan cerita Penyair
Cengeng tentang seorang tokoh sesat yang menjadi pencipta Golok Kilat. Jadi,
Eyang Keling inilah pencipta golok yang mengerikan itu!
"Jadi...," ucap Arya pelan tapi cukup jelas terdengar.
"Kau orang yang menciptakan Golok Kilat itu?"
"Kalau bukan aku siapa lagi...?" jawab Eyang Keling.
"Menurut berita yang kudapat, pencipta Golok Kilat memiliki kulit kuning dan
bertubuh gemuk pendek," bantah Arya dengan suara lemah. Karena, ia menyadari
merubah kulit dan potongan tubuh bukan hal yang sulit bagi seorang tokoh besar
persilatan.
Dewa Arak 86 Penyair Cengeng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa susahnya mengubah semua itu, Dewa Arak" Kau
Dewa Arak bukan" Aku tahu, kau pasti mengetahui
tentangku dari Penyair Cengeng. Beberapa waktu yang lalu dia boleh selamat dari
maut. Tapi, setelah hari ini tidak akan mungkin terulang keberuntungannya."
"Boleh kutahu tahap terakhir itu?" tanya Arya, ingin tahu.
"Tentu saja, Dewa Arak! Tidak ada ruginya memberikan keterangan pada orang yang sudah dekat dengan
malaikat maut. Dengar baik-baik. Tahap pertama adalah
mengambil Golok Kilat yang telah mendapat keampuhannya lagi dengan mempergunakan
sarungnya yang memang
kusimpan. Kedua, mengambil darah
orang-orang yang
sebelumnya telah kuberikan ramuan yang membuat keampuhan Golok Kilat bertambah. Darah mereka akan
diserap habis oleh Golok Kilat. Karena darah itulah sinar yang keluar dari Golok
Kilat mampu mengikuti ke mana
orang yang dituju bergerak. Sedangkan tahap terakhir, Golok Kilat harus meminum
habis darah orang yang membuatnya
bangkit dari istirahat panjang. Setelah tahap ini, orang yang dituju oleh sinar
maut Golok Kilat tak akan mampu lolos lagi.
Apa pun yang menghalangi akan ditembus oleh sinar itu."
"Jadi.. , kau yang membunuh dua kakek berkulit
merah dan putih, lalu mengikatnya di pohon?" tanya Arya, teringat akan mayatmayat yang ditemuinya.
"Benar. Mereka dan Setan Kepala Besi. Ketiga orang itulah
yang meminum ramuan untuk menambah keistimewaan Golok Kilat. Ramuan itu hanya berkhasiat bila bercampur darah orang
yang memiliki tenaga dalam kuat.
Bertahun-tahun mereka kucekoki ramuan itu tanpa mereka tahu. Aku memang mencari
orang-orang seperti mereka.
Kebetulan mereka hendak mengasingkan diri. Dengan ilmu batinku kutarik mereka ke
tempatku. Bertahun-tahun
kemudian baru Setan Kepala Besi kuberikan catatan tentang Golok Kilat di
lembaran daun lontar. Seperti dugaanku, semuanya berjalan lancar. Dengan adanya
ramuan di tubuh mereka dan bekas bau Golok Kilat pada pemuda sial ini, mudah
saja kutemukan keberadaan mereka. Dan, mereka
pun kubunuh!"
"Tapi, menurut Setan Kepala Besi kau tidak memiiiki tenaga
dalam?" bantah Arya. Ia penasaran setelah mengetahui banyaknya rahasia di kehidupan Eyang Keling.
Nama yang sudah pasti sama ran.
"Tentu saja! Bukankah Golok Kilat pun baru mempunyai keistimewaan lagi belum lama ini?" sentak Eyang Keling. Dan ketika
melihat Dewa Arak kebi-ngungan, segera dilanjutkan penjelasannya. "Antara aku
dengan Golok Kilat seperti satu nyawa. Begitu Golok Kilat kehilangan daya, aku
pun demikian. Aku kembali segar setelah Golok Kilat
memiliki keistimewaannya lagi. Nah, kurasa sudah cukup basa-basi ini, Dewa Arak.
Kau satu-satunya orang yang tahu rahasia ini. Bahkan, kau pula orang pertama
sekaligus terakhir yang melihatku menyelesaikan tahap terakhir untuk membuat Golok Kilat
memiliki keistimewaan tidak terhingga!"
Setelah berkata demikian, tanpa peduli pada Dewa
Arak lagi Eyang Keling mengalihkan perhatian pada Lingga.
Golok Kilat dikeluarkan dari balik bajunya dan perlahan-lahan dihunus. Sinar
terang membersit keluar, menyilaukan mata dan menggiriskan hati.
Dewa Arak tahu keadaan yang amat mengkhawatirkan telah tercipta. Hanya dalam waktu sekejap lagi nyawa tokoh
persilatan di mana pun berada akan
terancam. Terutama Penyair Cengeng!
Dewa Arak tidak punya pilihan lagi kecuali memanggil
belalang raksasa di alam gaib. Ia pun segera memusatkan pikirannya. Seketika itu
juga tenaganya yang telah sirna pulih kembali. Luka dalamnya yang sejak tadi
terasa nyeri saat itu menguap entah ke mana.
Arya mengeluarkan bunyi menggeram keras dari
mulutnya. Tak patut suara yang keluar dari mulut manusia.
Begitu menyeramkan! Seiring dengan itu, pemuda berambut putih keperakan ini
melompat menerjang Eyang Keling.
Eyang Keling merasakan sekujur tubuhnya bagai
dirayapi ribuan semut. Dia gemetar! Kejadian yang tidak disangka-sangka
ini membuatnya membalikkan tubuh dengan perasaan kaget tak terkira. Itu pun setelah terlebih dulu mengerahkan
tenaga dalam untuk membuat pengaruh
teriakan Arya pupus.
Eyang Keling segera mengirimkan sinar-sinar mematikan dari ujung Golok Kilat nya ke arah Dewa Arak.
Perasaan gugup masih melanda kakek itu.
Dewa Arak dalam keadaan disusupi belalang raksasa
dari alam gaib. Sedikit pun tidak mempedulikan sinar maut Golok Kilat. Dengan
guci araknya sambaran sinar itu
dipakaki. Pada saat yang bersamaan, dikirimkan pukulan jarak jauh dengan
penggunaan jurus 'Pukulan Belalang'.
Eyang keling tidak mau kalah! Pukulan jarak jauh
Dewa Arak segera dipapakinya dengan sinar mautnya
Blang! Bumi bagai dilanda gempa ketika dua benturan keras
terjadi. Yang pertama ketika sinar maut berbenturan dengan guci. Ini membuat
tubuh Dewa Arak melayang jauh bagai
daun kering dihembus angin
keras. Benturan kedua menimbulkan bunyi yang tak kalah keras ketika pukulan
jarak jauh Arya bertemu sinar maut Golok Kilat yang
memapakinya. Cras! "Akh...!"
Eyang Keling menjerit menyayat hati, saat pengaruh
benturan belum sirna, sebuah benda tajam membabat kedua kakinya. Tak pelak lagi,
kedua kakinya pun buntung sebatas lutut. Darah segar memancur deras.
Eyang Keling meraung. Dia tidak mendengar angin
serangan senjata tajam itu karena Lingga yang cerdik
menunggu hingga terjadi benturan antara serangan Dewa
Arak dengan papakan Eyang Keling. Keberadaan Lingga di bawah semakin
menguntungkan pemuda itu.
Kejadian yang mengejutkan hati pun terjadi. Golok
Kilat memancarkan sinar menyilaukan mata. Dan, darah
yang mengucur keluar dari kedua kaki Eyang Keling tersedot ke batang golok,
menempel dan lenyap bagai masuk ke
dalam. Eyang Keling meraung-raung. Dia berusaha keras
mencegah kejadian itu. Tapi, usahanya sia-sia. Darah terus mengucur dengan deras
dari kedua kakinya ke arah batang golok.
Lingga memperhatikan dengan perasaan puas bercampur takjub. Demikian pula Dewa Arak. Kedua pemuda itu memperhatikan
bagaimana Eyang Keling sekarat sebelum akhirnya tubuh kakek itu meledak!
Bertepatan dengan itu terdengar letupan kedua. Golok
Kilat hancur berkeping-keping. Hanya berselisih waktu
sebentar dengan semua itu, Dewa Arak jatuh pingsan!
Benturan yang dialaminya terlalu hebat. Kendati belalang raksasa
ada di dalam tubuhnya, tetapi Arya tetap terpengaruh. Belalang raksasa menerima akibat pula dari sinar maut. Binatang itu
telah pergi. Tentu saja kekuatan yang dimiliki Dewa Arak lenyap kembali
Entah berapa lama Dewa Arak pingsan, ia tidak tahu.
Yang jelas, begitu sadar masih sempat dilihatnya Lingga berjalan tertatih-tatih
meninggalkan tempat itu.
"Kau berhasil, Dewa Arak. Bahkan, Golok Kilat telah musnah! Eyang Keling
termakan permainannya sendiri. Dia tidak tahu kalau yang menyebabkan Golok Kilat
hidup adalah sejenis jin yang ada di dalamnya. Makhluk itu tidak kerasan hidup di
dalam golok. Untuk menentang Eyang
Keling, ia tidak berani karena keadaannya yang jadi tahanan.
Maka begitu mendapat kesempatan untuk membunuh,
langsung dilakukannya. Kesempatan yang amat baik telah didapatkannya."
Arya tersenyum dalam cekaman rasa sakit. Di
depannya Penyair Cengeng bicara dengan nada gemetar dan lega. Dewa Arak pun
merasa lega. Eyang Keling sudah tidak bisa mengacau dunia persilatan lagi. Tapi,
Arya masih belum puas. Lingga masih hidup. Ditatapnya Lingga yang tengah
bergerak meninggalkan tempat itu. Arya bertekad dalam hati akan melenyapkan
pemuda itu di kemudian hari bila bersua lagi.
Satu hal yang merisaukan
Dewa Arak adalah
tewasnya Setan Kepala Besi. Bagaimana dengan Nuri, apakah ikut tewas" Nuri pun
meninggal dibunuh Eyang Keling yang takut rahasianya terbongkar.
Di kejauhan Lingga menatap Arya. Sorot matanya
terlihat penuh tantangan!
Arya membalas tatapan itu. Sorot matanya seperti
mewakili tekad dalam hatinya.
"Tunggu kau, Lingga. Suatu hari kita harus membuat perhitungan!"
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
Serial Dewa Arak
dalam episode-episodenya yang menarik:
1. PEDANG BINTANG
41. MACAN- MACAN BETINA 2. DEWI PENYEBAR MA UT
42. EMPAT DEDENGKOT PULAU KARA NG
3. CINTA SANG PENDEKAR
43. GARUDA MATA SATU 4. RAKSASA RIMBA NERAKA
44. TAWANAN DATUK SESAT 5. BANJIR DARAH DI BOJONG GADING
45. MISTERI RAJA RACUN 6. PRAHARA HUTAN BANDAN
46. PENDEKAR SADIS 7. RAHASIA SURAT BERDARAH
47. BENCANA PATUNG KERAMAT 8. PENGA NUT ILMU HITAM
48. TENAGA INTI
BUMI 9. PENDEKAR TANGAN BAJA
49. GEGER PULA U ES 10. TIGA MACAN LEMBAH NERAKA
50. PERTARUNGAN DI PULA U API
11. MEMBURU PUTRI DATUK
51. RAJA SIHIR BERHATI HITAM 12. JAMUR SISIK NAGA
52. MANUSIA KELELAWAR 13. PENINGGALAN IBLIS HITAM
53. PENJARAH PERAWAN 14. S EPASANG ALAP-ALAP BUKIT GANTAR 54.
KABUT
Dewa Arak 86 Penyair Cengeng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
DI BUKIT GONDANG 15. TINJU PENGGETAR BUMI
55. PERINTAH MAUT 16. PEWARIS ILMU TOKOH SESAT
56. SUMPAH SEPASANG HARIMA U
17. KERIS PEMINUM DARAH
57. PERGURUAN KERA EMAS 18. KELELAWAR BERACUN
58. MAYAT HIDUP 19. PERJALANA N MENANTANG MAUT
59. TITIPAN BERDARAH 20. PELARIAN ISTANA HANTU
60. PERAWAN2 PERSEMBAHAN 21. DENDAM TOKOH BUANGAN
61. RAJA IBLIS TANPA TANDING 22. MA UT DARI HUTAN RANGKONG
62. PEREMPUAN PEMBAWA MAUT 23. S ETAN MABUK
63. ANGKARA SI ANAK NAGA 24. PERTARUNGAN RAJA-RAJA ARAK
64. SATRIA SINTING 25. PENGHUNI LEMBAH MALAIKAT
65. SI LINGLUNG
SAKTI 26. RAJA TENGKORAK
66. PEMBUNUH GELAP 27. KEMBALINYA RAJA TENGKORAK
67. MAKHLUK JEJADIA N 28. TEROR MACAN PUTIH
68. BIANG-BIANG
IBLIS 29. ILMU HALIMUN
69. PETI BERTUAH 30. DALAM CENGKERAMA N BIANG IBLIS 70.
PULAU SETAN 31. PERKAWINAN BERDARAH
71. PETUALANG2 DARI NEPAL 32. ALGOJO-ALGOJO BUKIT LARANGAN
72. BATU KEMATIAN 33. MAKHLUK DARI DUNIA ASING
73. PEMBANTAI DARI MONGOL 34. RUNTUHNYA SEBUAH KERAJAAN
74. PANGGILAN KE ALAM ROH 35. KEMELUT RIMBA HIJA U
75. RACUN KELA BANG MERAH
36. TOKOH DARI MASA SILAM
76. PENJARA LANGIT 37. RAHASIA SYAIR LELUHUR
77. SENGKETA GUCI PUSAKA 38. NERAKA UNTUK SANG PENDEKAR
78. PEMBALASAN DARI LIANG LAHAT
39. MISTERI DEWA S ERIBU KEPALAN
79. IBLIS BUTA 40. GEROMBOLAN SINGA GURUN
80. MISTERI GADIS GILA 81. MUSTIKA ULAR EMAS
82. LORONG BATAS DUNIA 83. IRAMA MAUT 84. NYAWA KEDUA DARI LANGIT
85. GOLOK KILAT
86. PENYAIR CENGENG 87. S ETAN BONGKOK
88. PUTRI TERATAI MERAH Rajawali Emas 2 Jaka Sembung 15 Raja Sihir Dari Kolepom Bara Dendam Menuntut Balas 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama