Ceritasilat Novel Online

Tembang Maut Alam Kematian 1

Pendekar Mata Keranjang 18 Tembang Maut Alam Kematian Bagian 1


TEMBANG MAUT ALAM KEMATIAN Darma Patria Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Darma Patria Pendekar Mata Keranjang 108
dalam episode: Tembang Maut Alam Kematian
128 hal. https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel SATU HARI itu cuaca cerah sekali. Sang mentari
menunjukkan diri tanpa diiringi sebongkah awan
pun. Angin berhembus semilir, sementara marga
satwa mengalunkan kidungnya masing-masing.
Dalam cuaca yang demikian, seorang anak
laki-laki berusia muda belia terlihat melangkah
melintasi sebuah hutan yang sunyi. Dia mengenakan pakaian yang sudah dekil dan robek di sana-sini. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai dan tampak tidak dirawat, hingga rambut itu
kaku dan kempal. Namun demikian wajah anak
ini masih menampakkan ketampanan. Hidungnya
mancung dengan sepasang mata tajam. Alis matanya tebal dan hitam. Dagunya kokoh meski sosoknya tidak begitu besar.
Melihat sikapnya yang beberapa kali
menghela napas dalam-dalam serta mengedarkan
pandangannya ke tempat-tempat yang dilewati,
berat dugaan jika anak ini mencari sesuatu dan
tak dapat menemukan yang dicari. Hingga meski
dari mulutnya tak terdengar suara keluhan, namun wajahnya jelas tak dapat menyembunyikan
perasaan kecewa. Dan melihat pakaiannya yang
telah basah oleh keringat serta langkahnya yang
tertatih-tatih, dapat diduga jika dia telah melakukan perjalanan panjang. Namun
demikian, anak yang kira-kira masih berusia dua belas tahun ini termasuk anak yang tabah dan
tegar. Karena meski tubuhnya telah tampak letih bahkan kakinya mengembung dan di sana-sini terlihat barutan merah akibat goresan ranting dan sdtnak belukar yang terinjak, dia tetap melangkah. Dia ba-ru hentikan langkahnya tatkala
hutan sunyi itu
telah terlewati dan kini di hadapannya tampak
sebuah bukit yang terjal dan berbatu-batu.
Untuk beberapa lama si anak ini memperhatikan bukit di hadapannya. Tangan kanannya
diangkat dan ditudungkan di kening untuk menangkis silaunya matahari. Setelah agak lama
memperhatikan, kepalanya lantas bergerak berpaling ke samping kanan kiri. Sepasang matanya
menyapu berkeliling.
"Ini mungkin tempat yang dinamakan Bukit Tumpang Gede. Hmm.... Benar apa kata
orang, Bukit Tumpang Gede adalah sebuah bukit
yang hanya merupakan batu-batuan tanpa ada
semak belukar serta pohon. Mungkinkah daerah
seperti ini dihuni seseorang...?" si anak tercenung seraya berpikir. Tiba-tiba
parasnya berubah merah padam. Dagunya yang kokoh mengembang
dengan mata sedikit membeliak. Tangan kirinya
mengepal dengan geraham saling beradu, pertanda dia menahan gejolak amarah di dadanya. Entah karena kesal atau sebagai pelampiasan rasa
marah, kedua kakinya lantas dibanting-banting di atas tanah.
"Bagaimanapun juga, aku harus dapat menemukan orang yang bernama Iblis Gelang Kematian! Seorang tokoh sakti yang kata mendiang
Paman berdiam di bukit ini! Aku harus menemuinya dan berguru padanya! Aku tak bisa hidup
terus-terusan dalam caci-maki dan hinaan orang!
Aku tak boleh pasrah terus-menerus tidur dengan
atap langit dan selimut dingin! Semua ini menyakitkan! Aku harus dapat merubah semua ini. Dan
jalan satu-satunya, aku harus berilmu tinggi!"
Mungkin karena pegal berpikir sambil berdiri di bawah terik matahari, maka tak lama kemudian, dia tampak melangkah mendekati sebuah batu agak besar lalu duduk bersandar seraya terus mengawasi ke arah bukit.
"Ayahanda-Ibunda, saudara-saudaraku telah mati terbunuh. Demikian juga Paman. Kini
aku hidup sebatangkara. Hmm.... Tanpa bekal ilmu tinggi, aku akan diremehkan orang, bahkan
dengan semena-mena akan dibantai orang, seperti apa yang dialami keluargaku. Tidak! Aku harus jadi seorang berilmu tinggi!
Selain bisa hidup
enak, juga dapat membalas atas orang-orang yang
membantai keluargaku!"
Berpikir sampai di situ, tiba-tiba dia bangkit. Rasa letih serta perih di kakinya seakan lenyap tak terasa, tertindih
semangat yang berkobar. "Aku harus segera bertemu dengan Iblis Gelang Kematian! Aku ingin menjadi
orang berilmu tinggi! Aku ingin membalas atas kematian sanak-saudaraku!"
Tanpa mempedulikan sengatan terik matahari, anak laki-laki ini mulai melangkah menaiki
bukit yang memang tak ditumbuhi semak belukar
atau rindang jajaran pohon. Yang terlihat hanyalah terjalan batu-batu yang tak teratur serta me-nanjak membentuk sebuah bukit.
Namun begitu anak ini mulai menapak terjalan batu-batu, tiba-tiba awan hitam berarakarakan menutupi angkasa. Angin berhembus
kencang. Dan tak lama kemudian gelegar guntur
terdengar bersahutan. Kilat menyambar tiada putusnya. Bumi mendadak gelap gulita. Dan ketika
kilat menyambar untuk kesekian kalinya yang
kemudian disusul dengan gelegar guntur, hujan
deras menghujam bumi!
"Sialan! Kenapa mendadak saja cuaca berubah" Adakah ini kenyataan dari apa yang dikatakan orang, juga mendiang Paman, bahwa Bukit
Tumpang Gede mempunyai keanehan-keanehan
yang menyeramkan?" sepasang mata pemuda belia ini liar menyapu ke sekeliling. Tubuhnya telah terlihat mulai menggigil
kedinginan. Namun dia
tetap melangkah menapaki terjalan batu-batu.
Dan mungkin karena matanya tak dapat lagi menyiasati keadaan di depannya, dia melangkah seraya merambat perlahan-lahan dari terjalan batu
ke terjalan batu lainnya. Hal ini dia lakukan karena selain cuaca gelap,
ternyata ter-jalan-terjalan batu itu sangat licin akibat percikan-percikan tanah
yang muncrat terkena hujan.
Tiba-tiba si anak hentikan langkahnya. Seraya kedua tangan memegangi terjalan batu dan
kaki kiri bersitekan pada lamping batu agak besar
agar supaya dapat menopang tubuh, sepasang
matanya yang tajam memandang lurus ke depan
dengan tak berkesiap. Samar-samar dari puncak
bukit ia menangkap sebuah cahaya yang bergerak-gerak. Cahaya itu kadang-kadang tampak jelas dan sesekali lenyap.
Si anak tidak meneruskan langkah. Dia
seakan menunggu cahaya itu, karena cahaya itu
bergerak ke arahnya. Namun mendadak saja anak
itu terperangah kaget. Bahkan jika saja pegangan kedua tangannya tidak kukuh,
niscaya ia akan
terpeleset jatuh.
Cahaya yang tadi bergerak-gerak ternyata
telah ada lima langkah di depannya! Dan cahaya
itu adalah sebuah nyala obor. Namun bukan nyala obor itu saja yang membuat si anak terperangah kaget. Ternyata obor itu dibawa oleh seorang perempuan tua renta.
Ada keanehan yang membuat si anak segera membeliakkan sepasang matanya. Meski saat
itu hujan turun dengan derasnya, namun sekujur
tubuh si nenek tidak basah! Dan ternyata obor itu tidak digenggam tangannya,
melainkan ditancapkan masuk ke bahu sebelah kanannya, hingga
pakaiannya terlihat berlobang.
Nenek ini mengenakan pakaian mewah.
Pakaian atasnya merupakan sebuah baju panjang
berwarna hitam terbuat dari sutera. Pakaian bawahnya berwarna hitam kembang-kembang putih
juga dari bahan sutera. Rambutnya telah memutih seluruhnya dan panjang hingga hampir betis.
Raut wajahnya sedikit lonjong dengan sepasang
mata besar dan tajam berkilat. Hidungnya mancung dengan bibir merah tanpa polesan. Pada kedua tangannya terlihat melingkar beberapa gelang yang berwarna kuning keemasan.
Meski si anak terperangah kaget, namun ia
segera buka mulut berteriak. Pertanda bahwa ia
adalah seorang anak pemberani, karena siapa
pun juga akan merasa kecut jika melihat tampang
angker si nenek.
"Nenek tua! Siapa kau..." Jangan menghalangi langkahku jika tak ingin kulempar dengan
batu-batu bukit ini!"
Perempuan tua itu keluarkan dengusan
dan menyeringai buruk. Sepasang matanya liar
memperhatikan ke arah si anak. Dalam hati, diam-diam dia berucap.
"Menurut isyarat yang kuperoleh, rupanya
anak ini yang bakal meneruskan langkahku!
Hmmm.... Aku gembira sekali. Dia ternyata anak
pemberani dan melihat paras wajahnya, dia juga
seorang anak cerdik. Pandangan matanya tajam
dan dingin, pertanda menyembunyikan kekejaman serta kelicikan! Memang, anak demikianlah
yang kuharapkan!" si nenek segera dongakkan kepala menatap curahan air hujan
yang sejengkal menyibak di atas kepalanya.
"Orang tua! Lekas minggirlah! Aku mau lewat!" teriak si anak seraya mengencangkan pegangannya pada terjalan batu dan
hendak me- rambat ke atas.
Meski tampang si nenek berubah tatkala
diusir, namun bibirnya yang merah terlihat sedikit sunggingkan senyum. Dia lalu berucap.
"Bocah kecil! Cuaca begini gelap dan menakutkan, ke mana kau hendak pergi..."!"
Si anak urungkan niat merambat. Dengan
mata memandang tajam, ia berkata. "Aku tak
mau mengatakan pada orang yang belum kukenai! Katakan dahulu siapa kau adanya!"
Perempuan tua tertawa pendek. Pandangan
matanya beralih pada anak laki-laki di depannya.
"Anak kecil kurang ajar! Kau tak berhak
menanyaiku! Justru akulah yang akan tanya padamu. Jika kau tak menjawab, kau akan ku tendang biar tubuhmu jatuh ke bawah sana! Kau
dengar"!"
Walau sedikit keder mendengar ancaman
orang, karena sadar jika sampai jatuh ke bawah
bukan hanya tubuhnya saja yang mengalami luka, namun lebih dari itu segala rencananya ingin menuntut ilmu akan hilang. Tapi
anak ini rupanya pandai menyembunyikan perasaan. Dengan tanpa alihkan pandangan bahkan tersenyum
sinis, dia berkata.
"Orang tua! Aku tak mau diancam. Kalau
kau memang ingin menendangku, lakukanlah!
Tapi jangan menyesal jika kau akan benjol-benjol kulempar dengan batu-batu ini!"
"Begitu?" si nenek tertawa panjang hingga obor di bahunya berguncang-guncang
mengikuti gerakan bahunya.
"Kita buktikan siapa nanti yang benjolbenjol. Sekarang katakan siapa namamu dan kau
dari mana hendak ke mana?"
Si anak wajahnya sedikit merah mengelam.
Dengan setengah berteriak dia berkata.
"Sudah kukatakan, aku tak mengatakannya pada orang yang belum kukenai! Apa kau tidak dengar"!"
Perempuan tua gelengkan kepala perlahan.
Tiba-tiba tangan kirinya bergerak pelan.
Wuttt! Serangkum angin deras menghantam ke
depan. Si anak merasakan tubuhnya bergetar,
dan tak lama kemudian pegangan tangannya pada terjalan batu goyah, demikian juga tekanan
kakinya. Kejap kemudian pegangannya lepas dan
tubuhnya perlahan melorot ke bawah. Karena terjalan batu-batu itu sangat licin hingga tanpa ampun lagi tubuhnya melorot dengan
deras, bahkan terlihat berguling-guling menghantam terjalan ba-tu-batu bukit. Ketika gulingan
tubuhnya terhenti karena tertahan terjalan batu besar, dia merasakan perih di
hampir sekujur tubuhnya. Dan ketika dia bergerak bangkit dan melirik, dia terperanjat. Tangan dan kakinya tampak
lecet-lecet. Bahkan ketika tangannya meraba keningnya, terasa
tiga benjolan ada di situ!
"Keparat!" maki si anak seraya tertatih-tatih bangkit. Kedua tangannya langsung
meraup

Pendekar Mata Keranjang 18 Tembang Maut Alam Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

batu batu kecil yang berserakan. Dan serta-merta tubuhnya diputar, kedua
tangannya mengayun
melemparkan batu-batu di tangannya.
Namun si anak terkejut. Nyala obor ternyata telah tiada. Namun dia tetap saja lemparkan
batu-batu di tangannya. Dia lantas menunggu.
Dia berharap ada suara seruan tertahan pertanda
salah satu lemparan batunya mengenai sasaran.
Tapi harapan si anak tidak terwujud, malah kejap itu juga terdengar desingan dari kegelapan. Dia membeliakkan sepasang
matanya ingin tahu apa yang mendesing dan menuju ke arahnya. Betapa terlengaknya dia, karena suara desingan itu ternyata lesatan batu-batu yang tadi
dilemparkannya. Namun kesadarannya terlambat.
Sebelum dia sempat menghindar, batu-batu itu
telah menghujam tubuhnya. Anehnya, tak satu
pun batu yang meleset dari menghajar tubuhnya!
Si anak keluarkan jeritan tertahan. Karena
meski batu-batu itu tidak begitu besar, namun
begitu menghujam, rasanya seakan batu besar!
Hingga tak lama kemudian, tubuhnya limbung
dan jatuh bersandar pada batu besar. Kepalanya
serta bibirnya terlihat mengeluarkan darah. Untung batu yang menghajar wajahnya tidak begitu
besar, jika tidak, bukan mustahil wajahnya akan
hancur! Selagi si anak terhenyak dalam kesakitan,
terdengar suara tawa mengekeh di sampingnya.
Berpaling, dia terkesiap. Si nenek telah berdiri empat langkah di sampingnya
dengan kacak pinggang. Obor di bahunya terlihat bergoyanggoyang. "Bagaimana" Apakah benjolan itu minta ditambah?" berkata si nenek tanpa memandang.
Si anak geser tubuhnya menjauh. Tubuhnya terlihat menggigil, selain karena kehujanan, juga karena hatinya sedikit
takut. Dia sadar, ucapan orang tua di sampingnya tidak main-main.
"Nenek berhati kejam! Ancamannya tidak
main-main. Terpaksa aku harus menjawab pertanyaannya, agar aku segera sampai tujuan!" membatin si anak.
"He! Kalau kau tetap membisu tak mau jawab pertanyaan orang, tubuhmu akan kuseret ke
atas dan kugelindingkan dari sana!" bentak si nenek. Meski dalam hati memakimaki, akhirnya si anak buka mulut.
"Aku adalah Manding Jayalodra! Anak
bungsu dari Panglima Perang Kerajaan Dhaha!"
Perempuan tua itu sedikit terkejut mendengar ucapan si anak.
"Anak seusia dia tidak mungkin bicara
mengada-ada. Dan ini cocok dengan isyarat yang
kuperoleh, bahwa manusia yang kelak bakal meneruskan cita-citaku adalah seorang anak pembesar kerajaan!" Namun demikian, si nenek tak begitu saja percaya. Dia lantas
menanyakan siapa
ayah serta ibu juga saudara-saudaranya. Ketika
anak yang menyebutkan namanya Manding Jayalodra mengatakan siapa nama ayah, ibu serta
saudara-saudaranya, si nenek manggut-manggut
seraya tersenyum.
"Lantas kau hendak ke mana" Sebagai
anak seorang panglima tidak mungkin kau keluyuran sendirian! Apalagi jarak antara Dhaha
dan Bukit Tumpang Gede tidak dekat!"
Manding Jayalodra luruskan pandangan.
Wajahnya tampak mengeras.
"Orang tua! Apa kau tak tahu" Panglima
Perang Kerajaan Dhaha telah tewas terbunuh.
Bahkan juga kerabat-kerabatnya!"
"Kau sendiri...?" si nenek ajukan pertanyaan. Sejenak Manding Jayalodra terdiam
dengan kepala mendongak, hingga wajahnya tercurahi air
hujan. Setelah napasnya sesak menahan cucuran
air hujan dia kembali luruskan kepalanya memandang si nenek yang tegak menunggu jawaban. "Waktu terjadi pembantaian atas keluargaku, aku berhasil diselamatkan oleh
salah seorang pamanku. Lantas aku hidup bersama Paman.
Namun karena aku masih menjadi orang buruan,
Paman menyuruhku untuk hidup dengan menyamar. Sejak saat itulah, aku hidup sebagai
orang biasa. Dan hidupku makin sengsara ketika
Paman akhirnya juga tewas. Aku lantas hidup
luntang-lantung, seperti seorang pengemis! Hidup dengan tidur beralaskan tanah
dan berselimut angin!" "Hmm.... Mengenaskan. Lalu ke mana kau hendak pergi"!"
"Mendiang Paman pernah mengatakan padaku, bahwa di Bukit Tumpang Gede, berdiam
seorang sakti. Aku ingin menemuinya sekaligus
berguru padanya! Setelah aku menjadi orang berilmu tinggi dan sakti, akan kuhancurkan orangorang yang membantai keluargaku! Mereka tak
akan kusisakan satu pun!" tangan Manding Jayalodra mengepal. Wajahnya merah
padam. Da- gunya yang kokoh membatu.
"Kau juga seorang pendendam! Bagus, segala sifat itu yang kubutuhkan! Meski semua
orang tahu, Panglima Perang Kerajaan Dhaha dibantai karena telah menyusun kekuatan hendak
berbuat makar pada kerajaan!" si nenek membatin. Untuk beberapa saat lamanya,
kedua orang ini saling diam. Namun tak lama kemudian Manding Jayalodra berkata.
"Aku telah mengatakan siapa diriku. Sekarang jangan halangi lagi perjalananku! Aku harus segera bertemu dengan orang
sakti itu!"
Si nenek angguk-anggukkan kepala. Melihat hal ini, Manding Jayalodra hendak mulai melangkah naik kembali. Namun gerakannya tertahan tatkala didengarnya si nenek berkata.
"Tunggu! Sebelum kau meneruskan mendaki, katakan padaku, siapa nama pamanmu itu!"
Meski dengan paras jengkel, namun Manding Jayalodra buka suara.
"Candrik Raturandang!"
Si nenek anggukkan kepala. "Hmm.... Candrik Raturandang. Tokoh silat golongan hitam
yang pernah merajalela yang bergelar 'Si Penyebar Maut'. Aku tidak heran jika
anak ini pemberani
dan pendendam, ini buah didikan pamannya!
Dengan demikian, aku hanya tinggal memupuknya...," lalu dia berpaling pada Manding Jayalodra dan berkata.
"Kalau mau kunasihati, urungkan niatmu
ke puncak bukit untuk menemui orang yang kau
sebut sakti itu! Keadaan terlalu gelap dan jalanan licin! Belum lagi sambaran
kilat dan gelegar guntur yang siap menggemuruh. Lebih baik kau
kembali dan terimalah apa adanya hidup!"
Secepat kilat Manding Jayalodra palingkan
wajahnya pada si nenek.
"Orang tua! Jangankan hanya petir dan
guntur serta jalan licin, lautan api pun akan kua-rungi! Aku tak mau hidup
sebagai pengemis! Dihina serta dicaci maki! Lebih dari itu, aku ingin membalas atas kematian saudara
kerabatku!"
Si nenek tertawa panjang.
"Kalau itu kehendakmu, silakan teruskan!
Aku hanya mengingatkan!" habis berkata begitu dia melirik pada Manding Jayalodra
yang tak perdengarkan ucapannya dan mulai melangkah
mendaki dengan tertatih-tatih.
"Semangatnya besar dan tak kenal menyerah! Hmm.... Anak yang kuinginkan!"
"Perempuan tua bangka cerewet! Banyak
omong tak karuan! Tanya segala macam! Jika tidak berjumpa dengannya mungkin aku telah
sampai puncak bukit! Tapi.... Dari mana dia"
Apakah dia juga baru saja menemui orang sakti
yang di katakan Paman itu" Tololnya aku, kenapa
aku tidak tanya?" Manding Jayalodra menoleh ke belakang.
Manding Jayalodra tersirap darahnya seketika. Perempuan tua pembawa obor tak ada di
tempatnya semula, padahal dia baru melangkah
dua tindak! Seakan tak percaya, Manding Jayalodra menyapukan pandangan berkeliling dengan
menunggu kilatan petir. Dan saat kilat menyambar, dia baru yakin jika perempuan itu tidak ada di tempat itu!
"Sialan! Ke mana minggatnya orang tua
itu" Jangan-jangan dia hantu penunggu bukit
ini!" tengkuknya merinding. Namun dia segera balikkan tubuh dan meneruskan
langkah meski tak
jarang sepasang matanya melirik ke samping kanan dan kiri. "Keparat! Kalau saja tidak demi untuk
membalas dendam, aku ingin rasanya turun
kembali!" omel Manding Jayalodra seraya terus melangkah dengan merambat pelanpelan. Setelah melakukan perjalanan yang cukup
berat, bahkan tak jarang harus berputar untuk
menghindari lereng yang tinggi, Manding Jayalodra akhirnya tiba juga di puncak bukit.
Begitu tubuhnya mencapai puncak bukit
yang ternyata merupakan daratan berbatu, Manding Jayalodra segera hempaskan tubuhnya. Melepaskan kepenatan dan keperihan di sekujur tubuhnya. Namun ada keanehan terjadi saat bersamaan sampainya Manding Jayalodra tiba di puncak bukit. Hujan tiba-tiba hentikan curahannya,
guntur tidak lagi terdengar menggelegar. Kilat tak menyambarkan sinarnya dan
arak-arakan awan
hitam bergerak memudar hingga tak lama kemudian cuaca berubah terang.
"Edan! Cuaca membaik lagi begitu perjalanan telah sampai!" rutuk Manding Jayalodra seraya arahkan pandangan ke sebelah
barat. Ter- nyata matahari telah hampir tenggelam, namun
pancaran sinar merahnya masih mampu menerangi ke angkasa.
Manding Jayalodra lalu arahkan pandangannya mengelilingi puncak bukit. Dia terkejut.
Di situ hanya tampak batu-batu tanpa sebuah
bangunan pun! "Apa mendiang Paman tidak berkata dusta" Di sini tak kulihat tempat yang pantas dihuni oleh manusia!"
Selagi Manding Jayalodra merenung, tibatiba terdengar suara tawa mengekeh panjang. Melirik ke samping, dari mana suara tawa bersumber, dia terlengak. Bahkan tubuhnya yang masih
menggelosoh digeser ke belakang dengan mata
mendelik lebar.
"Dia...!" seru Manding Jayalodra begitu mengenali siapa adanya orang yang
mengeluarkan tawa dan kini berdiri di atas sebuah batu
agak besar tanpa memandang ke arahnya.
"Gila! Bagaimana dia tahu-tahu telah sampai di sini" Jangan-jangan dia memang hantu
bukit yang sengaja menggodaku!" kembali tengkuk Manding Jayalodra dingin.
Selagi Manding Jayalodra bengong tak tahu
apa yang harus diperbuat atau diucapkan, sosok
yang mengeluarkan tawa yang ternyata perempuan tua yang ditemui saat mendaki bukit buka
suara. "Manding Jayalodra! Semangatmu besar!
Aku suka itu!"
Manding Jayalodra bergerak bangkit meski
tubuhnya masih dirasa seakan remuk. Sepasang
matanya memandang lekat-lekat ke arah orang
tua. "Nenek tak dikenal! Siapa sebenarnya, dan apa maksudmu mengikuti
perjalananku?"
Yang ditegur kembali keluarkan tawa panjang. "Siapa bilang aku mengikuti perjalanan-mu" Pasang telingamu baik-baik! Ini
adalah tem- pat tinggalku!"
Manding Jayalodra surutkan langkah dua
tindak. Sepasang matanya makin melotot besar.
Tiba-tiba dia melangkah maju.
"Jadi, apakah kau yang bergelar Iblis Gelang Kematian" Penghuni Bukit Tumpang Gede
ini"!" "Aku telah sebutkan bahwa ini adalah tempat tinggalku. Jadi tidak usah
kukatakan siapa
diriku!" Manding Jayalodra tercenung sejenak. Dalam hati diam-diam dia berucap.
"Hmm.... Jadi dialah manusia yang bergelar Iblis Gelang Kematian. Orang yang kucari!' dia lantas melangkah mendekat.
Sejenak ditatapnya
orang tua di hadapannya yang ternyata bukan
lain adalah Iblis Gelang Kematian penghuni Bukit Tumpang Gede. Seorang tokoh
sakti yang namanya tak asing lagi bagi rimba persilatan. Kare-na semasa malang
melintangnya di arena rimba
persilatan banyak tokoh-tokoh sakti berilmu ting-gi baik dari golongan hitam
maupun putih yang
berhasil dibuatnya tewas!
"Jika begitu, aku tengah berhadapan dengan tokoh sakti bergelar Iblis Gelang Kematian?"
kata Manding Jayalodra dengan hanya sedikit
anggukan kepalanya.
Melihat sikap Manding Jayalodra yang
hanya menganggukkan sedikit kepalanya meski
terhadap orang yang hendak diharapkan menjadi
gurunya, Iblis Gelang Kematian sedikit geram dan jengkel. Namun hal itu menambah
kesukaan tokoh tua ini pada Manding Jayalodra.
"Hmm.... Sikapnya yang terlalu meman

Pendekar Mata Keranjang 18 Tembang Maut Alam Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dang sebelah mata pada orang, menambah keyakinanku bahwa memang anak inilah yang diisyaratkan itu!"
"Guru Iblis Gelang Kematian! Kuharap kau
sudi menerimaku sebagai murid!" Manding Jayalodra berkata dengan memanggil Guru,
membuat Iblis Gelang Kematian tertawa mengekeh.
"Anak lancang! Siapa yang telah mengangkatmu sebagai murid hingga kau berani memanggilku Guru?"
Manding Jayalodra terdiam. Setelah menarik napas dalam-dalam, dia berkata.
"Kau memang belum menerimaku sebagai
murid. Namun aku telah mengangkatmu sebagai
guru!" Tawa Iblis Gelang Kematian semakin keras dan panjang.
"Kalau aku tak menginginkanmu menjadi
murid..."!" Iblis Gelang Kematian ajukan pertanyaan di sela suara tawanya.
"Kau harus mau! Jika tidak, aku akan
mencari guru yang lebih sakti daripadamu. Dan
kau termasuk deretan nama yang kelak akan kubasmi!" "Hi... hi... hi...! Ternyata kau juga pandai mengancam! Terus terang segala
sikapmu itu kusuka. Dan aku memang membutuhkan seorang
murid! Namun bukan berarti tanpa syarat jika
kau ingin menjadi muridku!"
Mungkin karena gembira mendengar ucapan Iblis Gelang Kematian, serta-merta Manding
Jayalodra jatuhkan diri dan berkata.
"Katakan segala syaratmu! Semua akan
kujalani!"
Iblis Gelang Kematian gerakkan kepalanya
menggeleng perlahan.
"Aku akan mengatakan syarat itu jika kau
telah mempelajari segala ilmu yang akan kuberikan padamu! Jika nantinya kau menolak syaratku, kau akan kubunuh dengan tanganku sendiri! Kau mengerti..."!"
Meski dalam hati masih penuh dengan rasa
heran atas ucapan Iblis Gelang Kematian, akhirnya Manding Jayalodra anggukkan kepala.
"Bagus! Sekarang ikuti aku!" Iblis Gelang Kematian tekankan kaki kirinya pada
batu di ba-wahnya. Terdengar suara berderit bergeseknya
dua batu. Manding Jayalodra melangkah mendekat.
Ternyata di samping batu tempat Iblis Gelang
Kematian berdiri tampak sebuah lobang menganga. Tanpa berpaling lagi, Iblis Gelang Kematian
melesat masuk. Manding Jayalodra sejenak mengawasi lobang. Karena cuaca sudah mulai gelap,
maka matanya hanya menangkap lobang yang hitam pekat. Sejurus anak laki-laki ini terlihat bimbang. Namun mengingat katakata perintah Iblis
Gelang Kematian yang menyuruhnya ikut, akhirnya dia terjunkan diri ke dalam lobang meski
dengan tubuh gemetar dan kuduk merinding serta kedua mata dipejamkan rapat-rapat!
DUA SANG mentari telah jauh menggelincir dari
titik tengahnya, dan kini tengah siap hendak masuk ke tempat peraduannya. Cahayanya yang panas menyengat telah berubah ditindih dingin udara senja yang merambat datang. Dan bersamaan
dengan tenggelamnya sang penerang bumi, di
ufuk timur terlihat sang rembulan keluar dari lin-tasan awan putih. Hingga meski
malam telah menjelang, namun dataran bumi tampak terang,
apalagi saat ini bulan menginjak hari kelima belas. Di arah selatan, diterangi cahaya rembulan purnama, Bukit Tumpang Gede
tampak menju-lang. Terjalan-terjalan batu-batunya terlihat berwarna kuning
kemerahan. Di puncak bukit inilah
pada sembilan tahun yang silam Manding Jayalodra, seorang anak Panglima Perang Kerajaan
Dhaha melakukan perjalanan dan akhirnya bertemu dengan Iblis Gelang Kematian yang kemudian diangkatnya menjadi guru.
Di tengah dataran puncak bukit, tampak
sebuah batu besar yang di sebelahnya terdapat
lobang menganga. Jika dilihat sepintas, orang tidak akan menduga jika di dalam
lobang itu terdapat penghuninya, karena selain lobang itu
hanya sebesar tubuh manusia biasa, lobang itu
juga terlihat gelap.
Lain apa yang terlihat dari atas, lain pula
apa yang ada di dalam. Ternyata lobang itu
menghubungkan dengan sebuah ruangan besar
yang dinding serta langit-langitnya terbuat dari batu-batu bukit berwarna putih.
Di pojok ruangan tampak sebuah nyala obor yang ditancapkan
begitu saja pada dinding batu, hingga ruangan itu terang-benderang.
Di tengah ruangan, dua orang terlihat duduk saling berhadapan. Yang satu adalah seorang
perempuan yang usianya telah lanjut. Rambutnya
putih dan panjang hingga tatkala dia duduk,
rambut itu bergeraian di lantai ruangan. Sepasang matanya besar dengan bibir merah. Pada
kedua tangannya melingkar beberapa gelang berwarna kuning keemasan. Sedangkan satunya lagi
adalah seorang pemuda berusia kira-kira dua puluh satu tahun. Parasnya tampan dengan dada
bidang menandakan jika tubuhnya tegap. Sepasang matanya tajam bersinar, dagu kencang kokoh, serta rambut panjang sebahu dengan otototot tangan tampak bertonjolan.
Meski duduk berhadap-hadapan, namun
dari keduanya tak terdengar salah seorang di antaranya membuka suara. Bahkan sepasang mata
perempuan tua di hadapan sang pemuda terpejam setengah membuka. Sementara si pemuda
tak kesiap memandangi orang tua di hadapannya.
"Sialan! Sampai kapan aku harus menunggu dia terjaga?" sang pemuda membatin seraya lepaskan napasnya panjang-panjang
seakan melampiaskan rasa kecewa. Namun demikian, ia tak
hendak beranjak dari hadapan si orang tua.
Namun setelah ditunggu agak lama, si
orang tua tetap pada sikapnya semula, sang pemuda tak dapat menahan sabar. Dagunya mulai
tampak terangkat dengan mata makin berkilat
mendelik. "Keparat! Dia menyuruhku ke sini. Setelah
sampai, matanya terpejam dan mulutnya mengatup. Apa maksudnya" Jika saja tidak memandangnya sebagai guru sudah tentu akan kurobek
mulutnya!" membatin sang pemuda dengan paras merah padam.
Sesaat kemudian si pemuda yang bukan
lain adalah Manding Jayalodra buka sedikit mulutnya hendak mengucapkan sesuatu. Namun tak
ada suara yang terdengar dari mulutnya hendak
mengucapkan sesuatu. Namun tak ada suara
yang terdengar dari mulutnya. Dia tampak bimbang. Akhirnya dia gerakkan kepala memandang
ke samping. Dahinya mengernyit seakan sedang
memikirkan sesuatu. Lantas tak berselang lama,
dia kembali pandangi orang tua di hadapannya
yang bukan lain adalah Iblis Gelang Kematian.
Mulutnya kembali bergerak membuka. Namun lagi-lagi suara tak terdengar. Setelah menarik napas dalam-dalam, dia membatin.
"Peduli setan! Aku harus bertanya, apa
maksudnya dia memanggilku!" Manding Jayalodra ambil keputusan. Lalu dia buka mulutnya
berkata. "Guru! Tentunya ada sesuatu yang sangat
penting hingga kau memanggilku dari tempat latihan. Harap kau segera mengatakan kepentinganmu!" Manding Jayalodra menunggu. Namun
orang yang ditegur tetap diam seperti semula.
Bahkan membuka matanya untuk memandang
pun tidak, membuat Manding Jayalodra parasnya
makin mengeras, dan matanya makin melotot
angker. "Guru! Kurasa kau dengar ucapanku. Harap kau suka menjawab! Atau kalau memang tak
ada perlu, aku akan meneruskan latihan!" kembali Manding Jayalodra berkata,
malah kali ini suaranya sedikit dikeraskan.
Iblis Gelang Kematian perlahan-lahan buka
kelopak matanya. Bibirnya bergerak komat-kamit.
Sejenak ditatapnya Manding Jayalodra, setelah
menarik napas dalam-dalam dia berkata.
"Manding Jayalodra! Malam ini adalah bertepatan dengan seratus delapan purnama kau berada di puncak Bukit Tumpang Gede. Seratus delapan purnama kau telah belajar ilmu padaku.
Dan rasa-rasanya, seluruh ilmuku telah kuturunkan padamu! Dan dirimu kini bukan lagi
Manding Jayalodra pada sembilan tahun silam.
Kau telah menjadi seorang pemuda dengan ilmu
tinggi! Tapi ingat, kau harus jalankan apa yang
kita ikrarkan bersama! Kau harus musnahkan
manusia-manusia yang tidak sealiran dengan kita! Tidak peduli dari golongan mana manusia itu
adanya! Kau ingat itu"!"
Manding Jayalodra anggukkan kepala.
"Aku ingat, Guru! Dan segala petunjukmu
akan kulakukan!"
Iblis Gelang Kematian tersenyum puas. Kepalanya manggut-manggut. Namun sesaat kemudian kepalanya bergerak ke atas. Dari mulutnya
terdengar ucapan.
"Manding! Aku memang ada perlu menyuruhmu datang...," sejenak Iblis Gelang Kematian hentikan ucapannya, sementara
Manding Jayalodra diam menunggu dengan mata tak kesiap.
"Malam ini, adalah terakhir kau berada di
sini. Bekalmu untuk malang melintang di rimba
persilatan kuyakin telah lebih dari cukup! Namun demikian, setelah turun dari
Bukit Tumpang Gede
ini kau harus berhati-hati pada beberapa orang
yang kemungkinan besar akan menjadi penghalang besar bagi rentangan sayapmu. Kau harus
waspada jika bertemu dengan mereka!"
"Guru! Sebutkan siapa saja mereka itu!"
sahut Manding Jayalodra seakan tak sabar,
membuat Iblis Gelang Kematian tersenyum.
"Dengar baik-baik! Orang pertama yang harus kau waspadai dan kalau perlu segera kau
musnahkan adalah seorang pemuda bergelar
Pendekar Mata Keranjang 108. Dialah pemuda
yang saat ini menjadi momok bagi orang golongan
hitam. Dia adalah murid tunggal seorang sakti
dari Karang Langit yang berjuluk Wong Agung.
Selain berkepandaian tinggi, Pendekar Mata Keranjang mempunyai senjata mustika ciptaan Empu Jaladara yaitu sebuah kipas berwarna ungu.
Lain daripada itu, kabarnya dia telah pula berhasil mendapatkan sebuah arca yang
beratus tahun menjadi incaran tokoh-tokoh rimba persilatan.
Jadi dapat kau bayangkan bagaimana hebatnya
pemuda itu! Tapi kau tak usah berkecil hati,
kuyakin kau mampu menghadapinya. Hanya saja
dibutuhkan beberapa muslihat untuk menundukkan orang seperti dia! Hal itu kurasa kau bisa mengaturnya sendiri!"
"Bagaimana aku dapat menemukan manusia bergelar Pendekar Mata Keranjang 108 itu?"
Manding Jayalodra ajukan pertanyaan. Wajahnya
tampak makin merah padam, apalagi tatkala didengarnya bahwa si pemuda berilmu tinggi dan
memiliki senjata mustika.
"Hmm.... Orang seperti dia gampanggampang susah menemukannya. Hanya satu hal
yang harus kau lakukan jika kau ingin segera
bertemu dengannya!"
"Katakan apa yang harus kulakukan!" ujar Manding Jayalodra.
Sejenak Iblis Gelang Kematian menghela
napas dalam-dalam. Perasaan lega menyelimuti
perasaannya. Dia diam-diam bersyukur memilih
orang yang tepat.
"Hmm.... Anak ini sepertinya tak sabar. Sifatnya yang tidak ingin diungguli tampak jelas...,"
lalu dia berkata.
"Muridku! Kalau kau bisa membuat kegegeran, apalagi berhasil membunuh tokoh atas,
baik golongan hitam lebih-lebih golongan putih,
maka tanpa kau cari, Pendekar 108 akan gentayangan mencarimu!"
Manding Jayalodra anggukkan kepala, lalu
berkata kembali.
"Selain Pendekar Mata Keranjang siapa lagi
orang yang menurut Guru akan menjadi penghalang ku?" "Kedua guru Pendekar 108. Mereka adalah
Wong Agung dari Karang Langit serta kakak seperguruannya Selaksa. Namun berat dugaan kedua orang ini telah tidak mau melibatkan diri dalam rimba persilatan. Mereka
telah memikulkan
tugas pada muridnya Pendekar 108. Namun demikian kau masih harus waspada. Tidak mustahil
orang seperti mereka mendadak muncul!" Iblis Gelang Kematian hentikan
keterangannya sejenak. Setelah mendehem beberapa kali dia melanjutkan. "Orang yang harus kau waspadai selanjutnya adalah seorang pemuda
bergelar Malaikat


Pendekar Mata Keranjang 18 Tembang Maut Alam Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berdarah Biru. Kabarnya pemuda ini dahulu pernah mendapatkan kipas hitam pasangan kipas
milik Pendekar Mata Keranjang. Namun kabar selanjutnya, pemuda ini berhasil dikalahkan Pendekar 108 dan kipasnya dirampas! Pemuda itu
hingga sekarang tak jelas lagi kabar beritanya.
Entah masih hidup atau sudah tewas. Namun jika kenyataannya nanti dia masih hidup, dekati
pemuda itu! Orang yang harus kau waspadai selanjutnya adalah seorang pemuda seusiamu. Dia
bergelar Gembong Raja Muda. Seorang bekas murid Ageng Panangkaran, seorang tokoh golongan
putih yang pernah masyhur pada zamannya. Namun sekarang ini kudengar Gembong Raja Muda
berguru pada orang kerdil bernama Bawuk Raga
Ginting. Seperti halnya Malaikat Berdarah Biru,
pemuda ini kabarnya juga pernah dibuat babak
belur oleh Pendekar 108. Kalau bisa orang-orang
seperti ini harus segera kau rangkul. Orang yang pernah sakit hati seperti
mereka mudah untuk
diperalat. Nah, kau harus dapat gunakan kelemahannya!"
Untuk kesekian kalinya kepala Manding
Jayalodra bergerak mengangguk.
"Muridku!" kata Iblis Gelang Kematian melanjutkan keterangannya.
"Selain tokoh yang kusebutkan di atas tentunya masih banyak tokoh lain yang perlu kau
waspadai. Di antaranya adalah Putri Tunjung
Kuning. Ratu Pulau Merah, Dayang Naga Puspa
juga tokoh-tokoh tua yang kabarnya kini muncul
kembali dan terlalu banyak jika disebut satu persatu. Hanya saja, jika kau
melakukan semua petunjuk yang kuberikan selama ini, kurasa kau tak akan kesulitan menghadapi
mereka! Perlu kuingatkan sekali lagi, ilmu tinggi tidak ada gunanya tanpa
disertai kecerdikan yang dibaur dengan kelicikan! Kau mengerti?"
Manding Jayalodra anggukkan kepalanya.
"Bagus! Malam ini tiba saatnya bagimu
menghirup udara luar bukit! Pergilah dan lakukan apa yang telah kukatakan!
Habis berkata begitu, Iblis Gelang Kematian melepas beberapa gelang di tangannya dan
diberikan pada Manding Jayalodra. Tangannya
kemudian menelikung ke belakang. Dan ketika ditarik kembali, di genggamannya terlihat buntalan besar.
"Di luar nanti, kenakan apa yang ada di dalam buntalan ini. Dan sejak malam ini namamu
harus diganti dengan 'Penyair Berdarah'! Ini sesuai dengan tembang-tembang yang kuajarkan
padamu!" "Nama bagus!" sahut Manding Jayalodra
seraya busungkan dada dan tersenyum lebar.
"Nama itu memang layak kau sandang. Karena suara tembang-tembang akan selalu kau
ucapkan begitu bertemu lawan dan lancarkan serangan! Nah, waktumu untuk menghirup udara
luar telah tiba!"
Manding Jayalodra yang kini telah digelari
gurunya dengan Penyair Berdarah anggukkan kepala, lalu tanpa tunggu lebih lama lagi dia bergerak bangkit dan melangkah ke
arah pojok ruangan di mana terdapat lobang yang menghubungkan dengan dunia luar. Sejenak dia tengadah
memperhatikan lobang di atasnya. Lalu berpaling
ke samping. Murid Iblis Gelang Kematian ini terperangah dengan mata liar berkeliling.
"Ke mana dia..."!" gumam Penyair Berdarah seraya gerakkan kepala berputar.
Ternyata Iblis Gelang Kematian sudah tidak ada di tempatnya
semula, malah meski dia telah menyapukan pandangannya ke seluruh ruangan, sang guru tidak
terlihat batang hidungnya!
"Ah, kenapa aku pusing memikirkan dia"
Bukankah malam ini adalah saat-saat yang kunantikan selama sembilan tahun" Bisa menghirup udara luar serta melihat pemandangan lain!"
kata Penyair Berdarah seraya jejakkan sepasang
kakinya. Tubuhnya melesat melewati lobang dan
mendarat di dataran batu puncak Bukit Tumpang
Gede. Sejenak Penyair Berdarah lepaskan pandangannya berkeliling. Napasnya terlihat berhembus panjang-panjang seakan ingin menikmati
udara luar yang baru saja dirasakan.
Setelah agak puas menghirup udara luar,
Penyair Berdarah buka buntalan di tangannya.
Ternyata buntalan itu berisi tiga pakaian, terdiri atas satu baju berwarna merah
dan celana berwarna kuning, serta sebuah jubah panjang berwarna hitam bergaris-garis putih.
Tanpa pikir panjang lagi, Penyair Berdarah
mengenakan pakaian itu.
"Hmm.... Pakaian ini tampaknya terbuat
dari bahan bagus. Dari mana Guru mendapatkannya" Pakaiannya yang dikenakan Guru
pun terlihat mewah. Siapa dia sebenarnya" Sembilan tahun hidup bersama, dia selalu mungkir ji-ka ditanya soal asal-usulnya.
Tak jadi apa, yang penting aku telah mendapatkan ilmu darinya!
Dan aku akan jadi manusia yang ditakuti!" gu-mamnya seraya memandang ke bawah.
Lantas tengadah ke atas dan berteriak.
"Wahai para penghuni bumi, sambutlah
kedatangan Penyair Berdarah! Seorang manusia
baru yang akan mengalirkan darah orang-orang
yang tidak sejalan! Seorang manusia yang akan
mengalirkan darah dengan tembang-tembang
maut!" Habis berteriak, Penyair Berdarah jejakkan kakinya. Tubuhnya melesat dan
lenyap dari puncak Bukit Tumpang Gede.
Pada sebuah batu, tiba-tiba muncul sesosok tubuh. Dia adalah seorang perempuan tua
dan bukan lain adalah Iblis Gelang Kematian.
"Hmm.... Pilihanku ternyata tidak meleset!"
gumam Iblis Gelang Kematian seraya mengawasi
kelebatan muridnya, meski hanya samar-samar
karena cepatnya lesatan Penyair Berdarah.
TIGA PEMUDA berparas tampan berpakaian
warna hijau itu hentikan larinya di bibir jurang di ujung lembah. Sepasang
matanya yang tajam
menyapu ke bawah. Yang terlihat hanyalah rindang dedaunan pohon-pohon benalu serta gelap
pekat curamnya jurang. Kepalanya lantas bergerak ke kanan kiri. Tak lama kemudian dia menarik napas panjang dan dalam-dalam seakan melepas rasa gundah dan kecewa yang melanda dadanya. Setelah mengusap keringat yang membasahi dahi dan lehernya, dia balikkan tubuh dan
melangkah gontai ke tengah lembah. Pada sebuah
batu agak besar dia hempaskan pantatnya lalu
duduk bersandar dengan mata memandang lurus
ke depan. Tatapannya terlihat kosong.
"Heran. Ke mana perginya dia" Padahal
aku meninggalkannya tidak lama. Aku yakin pasti
ada orang yang menculiknya. Tak mungkin dia
melarikan diri. Tubuhnya masih dalam keadaan
terluka dalam. Apakah telah diambil oleh gurunya...?" sang pemuda membatin. Kembali dia menarik napas dalam-dalam.
"Kalau memang diambil kembali oleh gurunya, sungguh kasihan dia. Pasti dia akan menerima hukuman berat! Karena telah menolong
menyelamatkan jiwaku. Tapi... benarkah dia menolongku" Atau semua itu dia lakukan karena tidak rela jika aku tewas di tangan orang lain meski orang itu adalah gurunya" Ah,
Sakawuni.... Kenapa semua ini harus terjadi" Kenapa kau termakan oleh fitnah" Hmm.... Begitu cepatnya semua
berubah!" sang pemuda meneruskan kata hatinya. Sebentar kemudian dia tampak mengambil
sesuatu dari balik pakaiannya. Ternyata yang diambil adalah sebuah kipas lipat. Dengan sekali
sentak kipas di tangannya mengembang dan
langsung digerakkan pulang balik di depan dagunya. Setelah berkipas-kipas beberapa lama, pemuda ini yang bukan lain adalah Aji alias Pendekar Mata Keranjang 108 akhirnya bangkit.
"Untuk sementara aku harus menemui
Dewi Kayangan. Masalah Sakawuni bisa dicari
sambil jalan...," putus Aji seraya melangkah hendak meninggalkan lembah. Namun
baru saja me- langkah tiga tindak, mendadak terdengar suara
deruan angin menyambar dari tiga jurusan. Bersamaan dengan itu berkelebat tiga sosok bayangan dan langsung berdiri berjajar dengan jarak
lima tombak antara satu sama lain.
Pendekar 108 serentak hentikan langkah
dan cepat berpaling. Sepasang matanya lantas
mengedar memandangi satu persatu tiga sosok
yang kini ada di hadapannya.
Orang yang berada paling kanan adalah
seorang laki-laki setengah baya. Mengenakan pakaian mewah warna putih bersih berenda-renda
kuning dari benang emas. Di dadanya terlihat kepingan-kepingan logam emas yang ditata rapi berjejer ke bawah. Rambutnya panjang dan kelimis.
Kumis dan jenggotnya terawat rapi. Namun demikian, wajahnya tampak tak mengguratkan keramahan. Sepasang matanya menyengat tajam. Bibirnya tak mengulas senyum bahkan terlihat saling menggegat. Pendekar 108 sejenak memperhatikan lakilaki setengah baya ini dan berkata dalam hati.
"Hm.... Aku rasa-rasanya tidak mengenal laki-laki ini! Tapi melihat tampang
serta pakaian yang dikenakan, mungkin dia dari golongan bangsawan.
Siapa dia...?" sepasang matanya lantas beralih pada orang yang di tengah. Dia
adalah seorang perempuan tua. Tubuhnya telah bungkuk. Mengenakan pakaian warna gelap berupa baju panjang dan celana komprang. Paras wajahnya telah
mengeriput. Sepasang matanya besar dan melotot
seakan-akan hendak meloncat keluar. Bibirnya
amat tipis hingga seperti hanya sebuah sayatan
daging. Rambutnya keriting dan di-sanggul ke
atas dan telah berwarna putih. Nenek ini agak
aneh, karena meski tiada angin kencang yang
berhembus, tubuhnya selalu bergerak-gerak
doyong ke samping kanan dan kiri seakan terkena
hempasan angin dahsyat.
Sementara orang di sebelah kiri adalah
seorang kakek bertubuh kurus kering. Sepasang
matanya sayu merah dan masuk ke dalam rongga
yang amat cekung. Pakaian yang dikenakannya
telah robek di sana-sini. Namun ada sedikit keanehan pada kakek ini, hingga siapa pun yang bertemu pasti akan membelalakkan mata. Pada pundak kakek ini tampak menyelempang ikat pinggang besar yang memutar hingga punggung. Dan
pada ikat pinggang terdapat beberapa tali yang
mengikat beberapa bumbung bambu agak besar.
Dari bumbung bambu itu menebar bau arak menyengat. Kepala kakek ini terus tengadah seraya
tak henti-hentinya menenggak bumbung bambu
yang berisi arak. Begitu arak pada satu bumbung
habis dia hanya geser ikat pinggangnya ke belakang. Lalu ambil bumbung lagi dan ditenggaknya.
Namun demikian, kakek ini tidak terlihat goyah
karena mabuk arak, hanya sepasang matanya
yang makin merah sayu.
"Kakek ini benar-benar gila! Dia tampak
tak goyah meski terus-terusan menenggak arak.
Siapa pula dia..." Dan apa perlu mereka datang
ramai-ramai seakan menghadang jalanku?" Aji terus menduga-duga seraya tak
melepaskan pandangannya pada ketiga orang di hadapannya.
Selagi Aji menduga-duga, sang nenek angkat tangan kirinya dan berkata.
"Pemuda tampan! Kau tak usah terkejut.
Meski kami datang bersama-sama, namun kami
punya tujuan lain. Untuk singkatnya, baiklah kukatakan dulu siapa diriku dan apa tujuanku.
Dengar dan pasang telingamu baik-baik!" sang nenek sejenak hentikan ucapannya,
kepalanya berpaling sebentar ke kanan dan ke kiri.
Namun sebelum nenek ini lanjutkan ucapannya, Pendekar 108 telah angkat bicara.
"Nenek tua! Aku tak punya waktu banyak.
Cepat katakan apa tujuanmu dan dua temanmu
itu!" Si nenek tertawa panjang. Tubuhnya makin doyong ke kanan dan kiri. Setelah
puas terta-wa dia tengadahkan kepala dan berkata.
"Tentang namaku biarlah kusimpan sendiri. Untukmu akan kuberitahu julukanku saja. Sekali lagi harap pasang telinga baik-baik. Orang
rimba persilatan menjulukiku Ratu Alam Bumi!"
Pendekar Mata Keranjang terkejut mendengar si nenek sebutkan gelarnya. Dalam rimba
persilatan, manusia yang bergelar Ratu Alam
Bumi memang sudah tidak asing lagi. Sesuai
dengan gelaran yang disandang, orang ini memang tidak segan-segan jatuhkan tangan untuk
mengirimkan orang ke alam baka! Biarpun hanya
kecil kesalahan yang diperbuat. Hingga selain dikenal berilmu tinggi, nenek ini
juga dikenal sangat kejam beringas!
Meski sedikit terkejut, namun murid Wong
Agung tak hendak menunjukkan paras takut. Se

Pendekar Mata Keranjang 18 Tembang Maut Alam Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baliknya dia lantas tersenyum dan berkata.
"Hari ini sungguh suatu hari yang berarti.
Aku dapat berjumpa dengan tokoh persilatan
yang kesohor namanya! Tapi ada tujuan apa
hingga Ratu Alam Bumi datang menghadang
orang gelandangan sepertiku"!"
"Masalah tujuanku, itu kita bicarakan nanti! Sekarang mungkin dia akan memperkenalkan
diri.'" kata Ratu Alam Bumi seraya arahkan pandangannya pada laki-laki setengah
baya yang berpakaian mewah yang berada di sebelah kirinya. Yang dipandang sejenak membalas pandangan Ratu Alam Bumi. Tampaknya ia tak senang dengan sikap Ratu Alam Bumi yang menunjuknya dengan pandangan mata. Namun entah
karena keperluan dengan Pendekar MataKeranjang dianggap lebih penting, maka sebentar
kemudian, laki-laki berpakaian mewah ini luruskan pandangannya ke arah Pendekar 108 dan
berkata. "Hari sudah siang. Aku tak perlu bicara
panjang lebar seperti nenek peot ini! Aku adalah Begal Tanah Hitam! Kepala
rampok yang bermar-kas di Lembah Hitam!"
"Hmm.... Jadi ini manusianya kepala rampok yang paling ditakuti! Logam-logam kepingan
emas yang berjajar di dadanya tentu didapat dari
merampok!" batin Aji sambil memperhatikan Begal Tanah Hitam lebih seksama.
Sebentar kemu- dian pandangannya beralih pada kakek yang tak
henti-hentinya menenggak arak, karena tinggal
dia yang belum memperkenalkan diri.
"Setan Arak! Waktu kita cuma sedikit, lekas bicara!" bentak Ratu Alam Bumi ketika ditunggu agak lama laki-laki tua di
sebelah kirinya tak segera buka mulut untuk bicara. Malah mulutnya dibuat
mengembung dan mengempis
mempermainkan arak di dalamnya.
Setelah menenggak arak di mulutnya, lakilaki kurus ini segera palingkan wajah pada Ratu
Alam Bumi. Tertawa mengekeh pendek lalu berkata. "Kau telah sebutkan siapa aku. Untuk apa lagi memperkenalkan diri" Buangbuang waktu saja! Lebih baik aku meneruskan minum arak!"
tangan kanannya menggeser ikat pinggangnya,
hingga bumbung yang telah habis bergeser ke belakang melewati pundaknya. Di hadapannya kini
telah terpegang bumbung bambu yang masih penuh arak. Tanpa acuhkan pandangan orangorang di sekitarnya, dia segera asyik dengan
bumbung araknya.
"Setan Arak.... Hm.... Aku memang pernah
mendengar gelar itu. Kabarnya ia adalah seorang
yang berkepandaian tinggi. Dan menurut kabar
yang selama ini tersiar, orang ini tingkah lakunya sukar ditebak. Kadang-kadang
condong pada orang-orang golongan hitam dan tak jarang pula
berteman dengan orang-orang golongan putih.
Hm.... Menghadapi orang demikian diperlukan
siasat tersendiri! Tapi Ratu Alam Bumi tadi mengatakan mereka punya tujuan sendiri-sendiri, berarti mereka tidak bersekongkol. Apa tujuan mereka sebenarnya...?" membatin Pendekar 108 Lalu arahkan pandangannya pada Ratu
Alam Bumi dan berkata. "Ratu Alam Bumi! Seperti katamu, waktu
kita cuma sedikit. Lekas katakan apa tujuanmu
menghalang-halangi langkahku!"
Ratu Alam Bumi tertawa pendek. Dengan
tengadahkan kepala dia berkata.
"Pemuda bergelar Pendekar Mata Keranjang 108! Waktu kita memang sedikit. Dan agar
cepat selesai, aku hanya berharap kau memberikan Arca Dewi Bumi padaku!"
Mendengar ucapan Ratu Alam Bumi, Begal
Tanah Hitam terlihat kerutkan dahi. Kepalanya
bergerak pelan berpaling pada Ratu Alam Bumi.
Diam-diam dia berkata dalam hati.
"Jahanam! Ternyata dia mempunyai tujuan
sama denganku. Sebelum terlambat aku juga harus mengatakan tujuanku!" Begal Tanah Hitam lantas luruskan tubuh menghadap Ratu
Alam Bumi dan berkata.
"Ratu Alam Bumi! Ternyata tujuan kita tidak beda! Seperti dirimu, aku pun menginginkan
Arca Dewi Bumi dari tangannya! Jadi jangan coba-coba mendahuluiku jika kau ingin selamat keluar dari lembah ini!"
Ratu Alam Bumi bukannya terkejut mendengar ucapan Begal Tanah Hitam. Malah tanpa
memandang ke arah Begal Tanah Hitam, dia berkata. "Begal Tanah Hitam! Aku sejak semula memang telah menduga apa tujuanmu
sebenarnya! Sekarang katakan apa maumu! Kau berhadapan denganku dahulu atau kita rampas arca
itu lalu kita tentukan siapa di antara kita yang berhak memilikinya!"
Begal Tanah Hitam sejenak terdiam. Namun tak lama kemudian tawanya terdengar bergerai-gerai. "Ratu Alam Bumi! Aku hanya menge-nalmu dari nama gelarmu yang
begitu kesohor.
Tapi aku belum pernah tahu bagaimana kenyataannya. Kuberi kesempatan padamu untuk menjajal pemuda itu. Aku khawatir kau hanya bernama besar namun ompong isinya! Sia-sia tanganku jika harus bergerak melawan manusia tidak berisi! Ha ha ha...! Lawanlah dulu pemuda
itu, setelah itu bisa kuputuskan apakah kau pantas menghadapiku!"
Sebenarnya Begal Tanah Hitam mengatakan hal demikian karena diam-diam dia merasa
keder menghadapi Ratu Alam Bumi. Dia sengaja
menggertak dengan ejekan agar Ratu Alam Bumi
segera bertarung dengan Pendekar 108. Dan jika
itu terjadi, maka dia akan mencari kesempatan
baik untuk melancarkan serangan.
Di samping, paras Ratu Alam Bumi terlihat
berubah. Pelipisnya bergerak-gerak dengan mulut
komat-kamit. Sepasang matanya tambah mendelik. "Begal Jahanam! Aku tahu, kau takut
menghadapiku! Tapi tak apalah. Tunggulah hingga aku menyelesaikan pemuda ini! Setelah itu baru giliranmu kukirim ke alam baka!"
"Hmm... bagaimana ini bisa terjadi" Antara
teman sendiri saling adu mulut malah berencana
hendak saling bunuh. Heran.... Tadinya kalian bilang padaku hendak mengajak
bersenang-senang
minum arak tiga hari tiga malam. Mendadak berubah jalan hendak merebut arca butut! Waduh,
ternyata kalian manusia-manusia yang tidak bisa
dipegang mulutnya! Lebih baik aku pergi, aku tak senang bertemu dengan orang
yang mencla-mencle! Gluk... gluk... gluk...!" mendadak Setan Arak menyela
pembicaraan. Setelah menenggak
arak dari bumbung bambu dia balikkan tubuh
hendak meninggalkan tempat itu.
Namun baru saja hendak melangkah, Ratu
Alam Bumi membentak garang.
"Setan Arak! Maju selangkah lagi kuhancurkan batok kepalamu! Tunggu di situ hingga
urusanku selesai!"
Mendengar bentakan, Setan Arak hentikan
langkah. Tiba-tiba suara tawanya meledak tinggi
bergerai. Dan 'blukkk!' Setan Arak hempaskan
tubuh kurusnya ke atas tanah dan duduk menggelosoh. Tangan kanannya menarik bumbung
bambu lalu menenggak isinya.
"Baiklah kalau itu maumu! Aku akan tetap
di sini melihat urusanmu! Asal kau tidak mencegahku untuk menenggak minuman kesayanganku
ini!" habis berkata begitu, Setan Arak telah tenggelam dalam keasyikannya
tersendiri. "Hmm.... Berarti manusia arak ini tidak
punya tujuan tertentu!" bisik Pendekar 108 dalam hati seraya gelengkan kepala
melihat sikap Setan Arak. "Pendekar 108! Kau telah dengar kata-kataku, lekas
serahkan arca itu padaku!" tiba-tiba Ratu Alam Bumi keluarkan bentakan setelah
ditunggu agak lama Pendekar 108 hanya memandang Setan Arak dengan senyum-senyum.
Pendekar 108 usap-usap hidungnya. Kepalanya digelengkan ke kanan kiri, mengikuti
doyongan tubuh Ratu Alam Bumi, membuat perempuan tua ini membelalakkan matanya. Mulutnya yang sangat tipis bergerak membuka. Namun sebelum suaranya terdengar, Pendekar 108
telah angkat bicara.
"Ratu Alam Bumi! Dan juga kau, Begal Tanah Hitam! Dengar baik-baik. Aku tidak tahumenahu soal arca! Jadi kalian salah besar jika
meminta benda itu padaku! Yang kalian dengar
selama ini hanyalah berita. Kenyataannya aku tidak tahu apalagi menyimpan arca itu!"
"Jangan coba-coba menipuku! Cepat serahkan arca itu! Jika tidak, kau akan segera kukirim ke alam baka!" sentak Ratu Alam Bumi
dengan gerakkan tangan kanan kiri sedikit ditarik ke belakang. Sementara kedua
kakinya sedikit dipentangkan. Pendekar 108 masih tampak senyumsenyum. Malah tangan kanannya tarik-tarik kuncir rambutnya. "Ah, kebetulan sekali. Memang telah lama
aku ingin melihat alam baka. Kalau kau berkenan, sungguh senang sekali, apalagi jika kau
yang mengantar. Apakah kita akan berangkat sekarang...?"
"Ha... ha... ha...! Jangan kira kau saja yang ingin melihat pemandangan alam
baka. Aku pun ingin melihatnya. Bagaimana kalau kita berangkat bersama-sama" Tapi... kita belum tahu jalannya. Jangan-jangan kita nanti kesasar. Hm... sebentar...," yang berkata kali ini adalah Setan Arak. Dia lalu tercenung seakan
memikirkan sesuatu. Tiba-tiba dia tertawa panjang dan telunjuk jarinya
diluruskan pada Ratu Alam Bumi.
"Bukankah kau ratu di sana" Hmm.... Jika
begitu kau bisa sebagai penunjuk jalan. Sebagai
penunjuk jalan tentunya kau harus berjalan paling depan. Baiklah, kita berangkat sekarang. Dia sebagai penunjuk jalan, dan
harus duluan!"
"Betul! Kau harus terlebih dahulu jalan!'
sahut Pendekar Mata Keranjang menimpali ucapan Setan Arak.
"Keparat! Kaulah yang harus duluan. Dan
akan kutunjukkan jalannya tanpa harus ada
aku!" "Mana bisa begitu. Menurut aturan biasa, penunjuk jalan harus lebih
dahulu. Bukankah
begitu?" kata Setan Arak sambil palingkan wajah pada Pendekar 108.
"Benar! Harus jalan dahulu!" ulang Pendekar 108 seraya angguk-anggukkan kepala.
"Jahanam!" maki Ratu Alam Bumi dengan
suara tinggi. Serta-merta kedua tangannya dihantamkan ke samping, ke arah Setan Arak yang duduk menggelosoh.
Serangan angin dahsyat menggebrak ke
samping, dan bersamaan dengan itu larikan beberapa sinar hitam menyusul dari belakang! Melihat hal ini jelas sekali bahwa Ratu
Alam Bumi tak main-main dengan ucapannya yang ingin mengirim ke alam baka.
Mendapat serangan ganas yang mematikan
itu, Setan Arak tetap tenang-tenang saja, membuat Pendekar 108 belalakkan sepasang matanya.
Pendekar 108 menduga jika Setan Arak tak bisa
selamatkan dirinya dari hantaman pukulan Ratu
Alam Bumi, karena jaraknya sudah demikian dekat. "Setan Arak! Awas serangan!" teriak Aji begitu hantaman Ratu Alam Bumi
telah setengah depa lagi menghajar tubuhnya dan dia tetap tak
membuat gerakan.
"Mampus kau!" desis Ratu Alam Bumi dengan bibir senyum. Namun senyum nenek ini
mendadak terpenggal. Sepasang matanya mendelik hampir tak percaya. Sementara Pendekar 108
gelengkan kepala sambil usap dadanya. Di sebelah samping, Begal Tanah Hitam melotot tak berkesip. Apa yang terjadi di depan mereka sungguh
luar biasa. Begitu hantaman Ratu Alam Bumi sejengkal lagi menghajar tubuh Setan Arak, laki-laki tua kurus ini keluarkan
lengkingan tinggi. Tiba-tiba tubuhnya lenyap. Hingga serangan Ratu
Alam Bumi hanya menerabas udara kosong! Dan
terus menghajar sebuah batu besar. Batu itu
langsung hancur berkeping-keping dan sebagian
jadi abu! "Setan alas! Siapa sebenarnya laki-laki tua ini" Aku hanya mengenalnya beberapa
hari yang lalu. Ternyata dia berilmu tidak cetek. Dia berhasil menghindar dari seranganku,
padahal jarak- nya sudah demikian dekat! Keparat! Janganjangan aku salah memilih teman!" bisik Ratu Alam Bumi sambil menebar pandangan
mencari Setan Arak yang masih tidak tampak batang hidungnya. "Ke mana lenyapnya manusia arak itu?"
gumam Pendekar 103 dengan kepala berpaling ke
kanan kiri. Sementara Begal Tanah Hitam surutkan langkah satu tindak dan diam-diam berkata dalam hati.

Pendekar Mata Keranjang 18 Tembang Maut Alam Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tak kuduga jika manusia itu berkepandaian tinggi. Jika demikian halnya aku harus
pandai-pandai atur siasat dan cari kesempatan
yang baik. Bila tidak...," Begal Tanah Hitam hentikan kata hatinya karena saat
itu terdengar sua-ra orang mengumbar tawa. Tiga kepala langsung
berpaling ke arah sumber suara tawa.
EMPAT DI bawah sebuah pohon besar, Setan Arak
terlihat tidur-tiduran dengan posisi miring. Salah satu bumbung araknya dibuat
bantalan kepala,
sementara tangan kanannya bergerak pulang balik ke mulutnya untuk mengisikan arak! Hebatnya, arak yang ada di bumbung bambu dan kini
tampak bergeletakan di atas tanah itu tidak tumpah! Padahal bumbung bambu itu tidak tertutup!
Dan sebagian tampak tergeletak dengan posisi
miring! "Luar biasa! Dia mampu menahan aliran araknya hingga tidak tumpah! Lagi
pula gerakannya demikian cepat! Aku hampir tak percaya jika
dia bisa menghindar!" batin Pendekar 108 seraya geleng-geleng kepala.
"Keparat! Dia rupanya sengaja mempermainkan aku. Tunggulah!" kata Ratu Alam Bumi dalam hati. Lalu berpaling pada
Pendekar 108. Dan serta-merta kedua tangannya dihantamkan!
Wuttt! Angin dahsyat yang mengeluarkan suara
menggemuruh melesat keluar dari kedua tangan
Ratu Alam Bumi. Sekejap kemudian dari kedua
tangannya juga melesat beberapa larikan sinar
yang menyusul! Bukan hanya sampai di situ, begitu kedua tangannya bergerak menghantam, tubuhnya pun melesat ke arah samping dan dari sini, nenek ini pun kembali hantamkan kedua tangannya! Hingga saat itu juga Pendekar 108 laksana dihujani serangan dari dua penjuru!
Pendekar 108 cepat berpaling. Dan melihat
ganasnya serangan murid Wong Agung ini segera
berteriak nyaring. Tubuhnya mendadak melesat
setengah tombak ke udara. Dan bersamaan dengan itu, kedua tangannya menghantam ke depan
lalu ditarik dan dihantamkan kembali ke arah
samping. Bumm! Bummm! Terdengar dua kali ledakan keras ketika
dua serangan bentrok di udara. Tempat itu sejenak laksana ditimpa gempa dahsyat hingga tanahnya bergetar! Bukan hanya itu saja, asap hitam terlihat membumbung begitu serangan bertemu! Ratu Alam Bumi tampak terhuyunghuyung ke belakang. Karena tubuh nenek ini selalu goyang ke samping kanan dan kiri, maka
tatkala tubuhnya terhuyung-huyung, gerakan tubuhnya tampak lucu! Hal ini rupanya tak lepas
dari pandangan Setan Arak. Hingga saat itu juga
meledaklah tawanya.
"Asyik juga melihat akrobat sambil tiduran
dan minum arak! Hanya sayang, pemain akrobatnya sudah nenek-nenek! Seandainya seorang gadis cantik dan mengenakan pakaian tipis serta
minim, mungkin akan tambah asyik!" kata Setan Arak seraya gelak-gelak.
Sementara itu di depan, Pendekar 108 terlihat terseret hingga lima tombak ke belakang. Hal
ini terjadi karena saat menangkis serangan, murid Wong Agung ini berada di atas udara, hingga
tubuhnya sejenak tampak melayang ke belakang,
namun dia segera bisa kuasai diri. Namun demikian, tak urung parasnya tampak berubah meringis menahan rasa sakit pada pangkal tangannya
serta dadanya. Di lain pihak, Ratu Alam Bumi pun tampak
mengusap-usap dadanya. Pertanda dia juga merasakan sakit pada bagian dada. Namun setelah
nenek ini salurkan tenaga dalam, dia tampak segar kembali. Sepasang matanya lantas memandang tajam ke arah Pendekar 108. Mulutnya yang
tipis bergerak komat-kamit. Sepasang matanya lalu memejam, kedua tangannya disatukan dan
disejajarkan dada. Sang nenek tampaknya sedang
kerahkan tenaga dalam untuk lancarkan serangan andalan. Mendapati hal ini, Pendekar 108 tak tinggal
diam. Kipas ungunya segera dicabut dari balik
pakaiannya. Dan merasa lawan tidak bisa dianggap remeh serta benar-benar menginginkan nyawanya, maka Pendekar 108 pun siapkan pukulan
'Mutiara Biru'!
Selagi kedua orang ini sedang bersiap-siap,
tiba-tiba terdengar alunan syair.
Siapa yang yakin pada kekuatan, maka ia
akan dikalahkan!
Siapa yang percaya pada kelicikan, dialah
yang akan keluar menang!
Darah adalah lambang kebebasan yang
akan mengantar ke alam baka!
Karena alunan syair itu bukan alunan biasa, melainkan telah dialiri dengan tenaga dalam kuat, maka konsentrasi Ratu
Alam Bumi tampak
buyar. Hingga dengan paras berubah dia segera
membuka kelopak matanya. Kepalanya cepat menoleh ke arah sumber alunan suara syair. Demikian pula Pendekar Mata Keranjang 108. Sementara Begal Tanah Hitam tersurut selangkah sambil luruskan tubuh ke arah datangnya suara alunan syair. Hanya Setan Arak yang terlihat tenang-tenang saja. Bahkan berpaling
pun tidak! Malah
sambil acung-acungkan bumbung araknya dia
ikut-ikutan bersyair.
Kekuatan adalah pangkal malapetaka. Keli Suling Naga 10 Dewa Linglung 18 Iblis Pulau Hantu Kait Perpisahan 3

Cari Blog Ini