Pendekar Mabuk 040 Asmara Berdarah Biru Bagian 2
bawah. Ternyata dugaannya memang benar. Dua orang
penunggang kuda datang bersama kuda mereka masingmasing. Kedua orang itu mengenakan pakaian seragam
yang warna dan potongannya sama. Hanya senjata
mereka yang berbeda.
"Sepertinya mereka prajurit sebuah negeri"!' pikir Suto Sinting dari atas pohon.
Kedua orang itu terkejut melihat keadaan Kertapaksi
kejang-kejang dengan asap kuning tipis masih mengepul dari lubang mulut, hidung,
dan telinganya. Salah satu ada yang berseru sambil melompat turun dari punggung
kuda, "Gusti Pangeran..."!"
Yang satunya ikut turun dengan tegang dan berkata,
"'Racun Gempur Tulang'"! Ya, aku tahu persis asap kuning itu pasti kekuatan
'Racun Gempur Tulang'!"
"Bukankah yang mempunyai racun itu Gusti
Kertapaksi sendiri"!"
"Memang. Tapi... kok bisa mengenai diri sendiri, ya?"
"Sudahlah dibicarakan nanti saja. Sekarang angkut
Gusti Kertapaksi ini dan bawa pulang. Jangan sampai
terlambat, nanti racun itu terlanjur mencapai jantung, habislah riwayatnya!"
"Wah, wah, wah... dikasih tahu jangan berburu di daerah hutan sini kok masih
nekat! Gusti Kertapaksi
tidak mau percaya omonganku, bahwa hutan sini itu
angker! Tak baik untuk berburu. Tapi, ah... dasar
bandel!" "Sudah, angkat dan naikkan ke kudamu!" sentak temannya yang bersenjata trisula
kembar di pinggangnya. Pendekar Mabuk menggumam sendiri, "Kurang apa
aku mengalah padanya" Tapi dasar orang bodoh, sudah
diakui kehebatannya masih saja mau lukai diriku! Yah, akibatnya tanggung
sendirilah! Bukan salahku, kan"!"
Suto Sinting lompat turun dari atas pohon tanpa
timbulkan suara. Ia memandang ke arah kepergian
lawannya yang sudah tidak kelihatan itu. Ia membatin kata,
"Ternyata pecahan dari jurus 'Surya Dewata'-ku tadi cukup lumayan jika digunakan
sewaktu-waktu. Dapat
kalahkan kekuatan tenaga dalam lawan. Padahal itu
hanya pecahan jurus 'Surya Dewata', apalagi kalau jurus itu kugunakan secara
utuh, wah... kasihan si Kertapaksi, bisa tak bernyawa seketika tadi. Eh, tapi...
ngomong-ngomong si Telaga Sunyi tadi ke mana"!"
Suto Sinting celangak-celinguk mencarinya. Tiba-tiba
yang dicari sudah muncul di belakangnya dan langsung
menyapa mengagetkan Suto,
"Apakah kau mencariku, Pendekar Tampan?"
"Ah, kau...! Kukira kau diculik setan hutan sini!"
"Setannya takut sama kamu!" jawab Telaga Sunyi sambil tersenyum. Kejap berikut
senyuman itu hilang.
Telaga Sunyi mengajak teruskan langkah menuju ke
rumahnya. Sambil meneruskan langkah, Telaga Sunyi
bicara tentang kejadian tadi.
"Kertapaksi memang seorang pangeran. Aku kenal
dengannya. Dia anak Raja Digdayuda Kerajaan
Bumiloka. Kegemarannya berburu, ia seorang jago
panah. Kabarnya jika berburu ia selalu menggunakan
panah berujung emas untuk menghargai kematian hewan
buruannya. Negeri Bumiloka memang kaya akan hasil
tambang emas dan perak."
"Tapi aku baru kali ini jumpa dengannya," ujar Suto.
"Bahkan aku tidak menyangka sama sekali kalau ia benar-benar bernafsu untuk
mencelakaiku."
"Aku sendiri tidak menduga kalau dia akhirnya
tumbang oleh kekuatannya sendiri. Padahal 'Racun
Gempur Tulang' itu merupakan ilmu tinggi yang menjadi salah satu ilmu
andalannya. Orang yang terkena 'Racun Gempur Tulang' akan mengalami kelumpuhan
sekujur tubuh selamanya. Obatnya hanya dimiliki oleh gurunya
sendiri." "Siapa gurunya Kertapaksi itu?"
"Hmmm .," gadis cantik itu berkerut dahi mengingat sebentar. "Kalau tak salah
gurunya berjuluk Resi Pakar Pantun."
"Hei..."!" Suto hentikan langkah karena kaget
mendengar nama itu. Ia segera berkata penuh semangat,
"Aku kenal dengan Resi Pakar Pantun. Tapi setahuku, Resi Pakar Pantun hanya
mempunyai murid Tuanku
Nanpongoh."
"Siapa bilang" Resi Pakar Pantun punya murid lebih dari lima. Kalau tak salah
ada tujuh murid. Tapi mereka tidak bersatu. Artinya tidak berkumpul dalam satu
perguruan. Resi Pakar Pantun itu menurunkan ilmunya
kepada orang-orang tertentu, terutama orang-orang
keturunan bangsawan."
Pendekar Mabuk teruskan langkah setelah
menggumam dan manggut-manggut. Bayangannya
segera tertuju pada seraut wajah tua berambut uban tipis, nyaris botak. Tokoh
tua berjenggot putih yang gemar
bermain pantun dalam bicaranya itu pernah diselamatkan oleh Suto Sinting ketika
melakukan pertarungan
melawan Maling Sakti beberapa waktu yang lalu, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Pisau Tanduk Hantu"). Dan Suto sama
sekali tidak menduga kalau Kertapaksi adalah murid si tua Pakar Pantun itu.
Namun hal yang paling mengganjal hati Pendekar
Mabuk bukan nama sang Resi, melainkan nama seorang
gadis yang dianggap sebagai kekasihnya. Kedua
lawannya sama-sama menyebutkan nama itu sedangkan
Suto merasa asing sekali dengan nama Murla Wardani.
"Sebetulnya aku tidak punya persoalan dengan
Pangeran Kertapaksi itu," katanya kepada Telaga Sunyi bersifat meluruskan
anggapan sang gadis. Karena Suto
yakin sang gadis mengikuti percakapan dan
pertarungannya dengan Kertapaksi. Sambungnya lagi,
"Sebenarnya aku tidak ingin melawan dia. Pertama, karena aku belum tahu siapa
dia sebenarnya, kalau
kutahu dia murid Resi Pakar Pantun aku tambah
sungkan. Karena hubunganku dengan Resi Pakar Pantun
sangat baik. Kedua, karena aku tidak merasa menjadi
kekasihnya gadis bernama Muria Wardani."
"Betulkah" Jangan-jangan kau dusta?" Telaga Sunyi tersenyum menggoda.
"Sungguh. Aku tidak dusta. Aku belum pernah
bertemu dengan yang bernama Muria Wardani. Malahan
mendengar namanya saja baru hari ini melalui Karto
Dupak dan Kertapaksi itu."
Telaga Sunyi senyum-senyum saja walau kepalanya
manggut-manggut. Ada kesan tidak percaya, tapi juga
ada kesan geli mendengar masalah yang dihadapi
Pendekar Mabuk itu.
"Apakah kau kenal dengan gadis yang dimaksud
Kertapaksi tadi?"
"Setahuku Kertapaksi memang naksir berat pada
Muria Wardani. Dia pernah melamar Muria Wardani
tapi ditolak. Aku tak tahu apa sebabnya, yang jelas sejak itu Kertapaksi tak mau
keluar dari Istananya. Hidupnya murung terus, sampai akhirnya sang ayah sendiri,
yaitu Prabu Digdayuda menemui orangtua Muria Wardani dan
melamarnya untuk yang kedua kali. Tapi... tapi juga
ditolak atau, entah bagaimana aku tak jelas soal lamaran yang kedua itu."
"Apakah kau tahu siapa Muria Wardani itu?"
Telaga Sunyi diam sejenak walau masih tetap
melangkah. Sesaat kemudian ia berkata tanpa
memandang Suto Sinting,
"Aku memang kenal dengan Muria Wardani."
Baru sampai di situ, ucapan Telaga Sunyi terputus
karena tiba-tiba sebuah sinar melesat ke arahnya, dan Suto Sinting berkelebat
menghadang sinar itu. Wuuut...!
Sinar yang datang dari arah belakang itu berwarna
hijau muda seperti bintang berekor. Saat Pendekar
Mabuk mengetahui kelebatan sinar tersebut, ia buruburu berbalik arah dan bergeser menutupi punggung
Telaga Sunyi. Maksudnya ingin menghantam sinar itu
dengan jurus 'Surya Dewata' juga, tetapi gerakannya
terlambat. Sinar hijau itu justru mengenai dadanya
dengan telak. Dees...!
"Aaahg...!" Pendekar Mabuk tersentak dan
mengejang, kemudian limbung ke kiri dan jatuh.
Bruuk...! "Sutooo..."!" pekik Telaga Sunyi yang terlambat menyambar tubuh Pendekar Mabuk.
Gadis itu menjadi
tegang melihat Pendekar Mabuk mengerang dengan
wajah mulai membiru. Napas ditahan kuat-kuat untuk
imbangi rasa panas yang membakar bagian dalam
tubuhnya, ia tak bisa berbuat apa-apa ketika diseret ke bawah pohon oleh Telaga
Sunyi. "Sutooo..."! Ada apa" Kenapa kau"!"
Tentu saja Telaga Sunyi bertanya demikian karena ia
tidak melihat datangnya sinar hijau. Tahu-tahu ia
dikejutkan dengan gerakan Suto yang berkelebat ke arah
belakangnya dan sebelum rasa kaget itu lenyap ia sudah temukan Suto Sinting
jatuh terhempas ke tanah.
"Ad... ada orang yang... yang ingin menyerangmu!"
ucap Suto Sinting dengan suara berat dan susah karena tenggorokannya mulai
terasa panas, terlalu sakit untuk keluarkan suara.
Telaga Sunyi makin membelalakkan mata ketika
melihat kulit tubuh Suto kian membiru. Bintik-bintik
merah mulai keluar dari pori-pori tubuh si pendekar
tampan. Telaga Sunyi segera berucap dengan nada
tegang, "Pukulan 'Inti Bara'..."! Oh, celaka! Kulitmu akan terkelupas dalam waktu
beberapa saat lagi, Suto! Kau tak boleh terkena sinar matahari! Sinar itu akan
membakar bagian dalam tubuhmu, dan...."
Sebuah suara menyahut dari arah belakang Telaga
Sunyi, "Dan dia akan mati dalam keadaan tanpa kulit, lalu bagian dalam tubuhnya akan
mengering hangus secara
perlahan-lahan!"
Telaga Sunyi cepat palingkan wajah dan menggeram
marah melihat orang yang bicara itu. Sudah pasti orang itulah yang mempunyai
jurus 'Inti Bara' yang dikenali oleh Telaga Sunyi itu. Dengan gigi menggeletuk
Telaga Sunyi bangkit berdiri dan menggeram penuh kebencian,
"Kaaauu...! Sudah kuduga kaulah orangnya!"
Orang itu hanya tersenyum sinis bersikap menantang.
* * * 5 PEMILIK pukulan 'Inti Bara' itu adalah seorang
perempuan berusia sekitar tiga puluh tahun yang
mengenakan jubah tanpa lengan warna ungu. Pinjung
penutup dadanya berwarna merah menyala, sangat ketat
hingga tampak tersumbul belahan dadanya yang
membengkak kencang berkulit kuning langsat itu.
Perempuan tersebut mempunyai senjata cakra,
bentuknya seperti anak panah dengan ujung bergerigi.
Senjata itu lebih menyerupai bentuk kilatan petir yang terbuat dari besi putih
anti karat. Dengan rambut
disanggul seluruhnya, jatuh ke tengkuk bagaikan ekor
kuda gemulai ia tampil dalam kecantikan yang matang.
Matanya bening dengan tepian mata berwarna hitam,
mengesankan kejalangannya. Hidungnya mancung kecil,
sesuai dengan bibirnya yang sedikit tebal namun
berbentuk indah menggairahkan.
Perempuan bertahi lalat kecil di dagu kiri itu dikenal oleh Telaga Sunyi sebagai
kakak seperguruannya yang
berhati sirik. Perempuan itu berjuluk Dewi Gapit Mesra.
Perempuan berkalung batuan hijau giok sama seperti
Telaga Sunyi itu dikenal pula sebagai murid yang liar, bahkan ia dianggap
sebagai murid murtad oleh sang
Guru, sehingga tak diizinkan masuk ke wilayah
perguruannya lagi.
"Apa maksudmu mencelakai pemuda ini dengan
pukulan 'Inti Bara', Aryani"!" sentak Telaga Sunyi dengan menyebut nama asli
Dewi Gapit Mesra.
"Seharusnya kau yang terkena pukulan itu. Sayang
sekali di tampan bodoh berlagak menjadi pelindungmu,
akhirnya ia sendiri kena batunya!"
Pendekar Mabuk saat itu dalam keadaan sadar, tapi
tak bisa berbuat apa-apa karena merasakan sekujur
tubuhnya bagaikan sedang dibeset-beset untuk dikuliti.
Namun pikiran dan pendengarannya masih tertuju pada
percakapan tersebut. Matanya sempat memandang
samar-samar wajah cantik yang penuh gairah untuk
bercinta itu. "Rupanya kau masih ingin lanjutkan persoalan masa lalu kita, Dewi Gapit Mesra"!"
"Itu persoalan usang yang sudah kulupakan.
Persoalan baru adalah lebih penting daripada persoalan lama."
"Persoalan baru apa maksudmu?"
"Kau telah membunuh Ranu Palwa. Padahal kau tahu bahwa Ranu Palwa adalah
kekasihku!"
"Ranu Palwa ingin memperkosaku dan selalu
mengejarku ke mana saja aku pergi. Mau tak mau aku
membereskannya setelah ia berhasil menodai adikku
yang membuat adikku akhirnya bunuh diri karena
merasa malu telah ternoda!"
"Omong kosong! Ranu Palwa tidak akan serakus itu, karena ia telah mendapatkan
kemesraan dariku lebih dari cukup!"
"Anggapanmu selama ini tentang Ranu Palwa adalah keliru! Dia bukan lelaki yang
setia kepada kekasihnya.
Dia adalah lelaki buaya, yang tak pernah puas
mempermainkan cinta satu wanita saja."
"Persetan dengan alasanmu!
Aku menuntut kematiannya, dan kau harus menebusnya dengan nyawa,
Telaga Sunyi!"
"Kalau itu maumu, aku siap melayanimu, Dewi Gapit Mesra! Tapi perlu kau ketahui,
bahwa kau dan Ranu
Palwa sebenarnya sama-sama makhluk yang rakus cinta.
Tak pernah ada puasnya walau selalu berganti-ganti
pasangan!"
"Tutup mulutmu!" bentak Dewi Gapit Mesra.
"Terima saja ajalmu sekarang juga! Hiaaat...!"
Dewi Gapit Mesra langsung cabut senjata cakranya
dan ia melompat menerjang Telaga Sunyi. Wuuus...!
Sedangkan Telaga Sunyi tak kalah sigap menghadapi
Pendekar Mabuk 040 Asmara Berdarah Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
serangan kakak seperguruannya. Kakinya menyentak ke
tanah dan tubuhnya melenting di udara sambil mencabut pedangnya. Sreeet...!
Trang, trang, blaaar...!
Kedua senjata beradu di udara, yang akhirnya saling
lepaskan sinar sama-sama berwarna merah. Kedua sinar
dari senjata masing-masing itu saling membentur dan
menimbulkan ledakan yang lumayan kuatnya. Kedua
perempuan itu saling terpental mundur. Tapi Telaga
Sunyi terpental lebih jauh hingga jatuh ke semak-semak.
Gusraak...! Ia buru-buru bangkit karena mendengar
seruan Dewi Gapit Mesra yang bergegas menyerangnya
kembali. "Hiaaat...!" Lompatannya kali ini menyerupai seekor singa betina yang buas dan
sangat bernafsu terhadap
mangsanya. Senjata cakra bergerigi itu dikibaskan ke
arah dada Telaga Sunyi yang baru saja berdiri. Namun
pedang Telaga Sunyi menangkisnya dengan cepat.
Trang... duaaar...! Tubuh Telaga Sunyi terpelanting
hingga memutar. Kesempatan itu dimanfaatkan untuk
melayangkan tendangannya hingga kepala Dewi Gapit
Mesra tersabet kaki Telaga Sunyi dengan keras. Plook...!
Wuuut...! Tubuh Dewi Gapit Mesra terlempar ke
samping. Jatuh dengan pundak membentur pohon cukup
keras. Duurr...! Pohon pun bergetar sebagai tanda bahwa benturan itu mempunyai
tenaga dalam cukup tinggi.
Tab, tab, tab, tab...!
Telaga Sunyi berjungkir balik di tanah dengan lincah
dan cepat, tahu-tahu tubuhnya melayang dan mendarat di tanah datar tak jauh dari
samping Suto Sinting. Jaraknya dengan Dewi Gapit Mesra sekitar tujuh langkah.
Mata gadis itu melirik Suto Sinting, ia menjadi cemas melihat keadaan Suto
semakin parah. Sebagian kulitnya sudah mulai tersayat dan ingin mengelupas.
Telaga Sunyi segera berpikir,
"Aku harus segera menyelamatkan dia, membawanya
ke tempat yang tidak terkena sinar matahari!"
Dewi Gapit Mesra mengibaskan
kepalanya membuang kunang-kunang di mata akibat tendangan
Telaga Sunyi tadi. Kini ia berdiri dengan kaki merentang dan senjata cakranya
disentakkan ke depan. Craang...!
Gerigi di ujung senjata itu berputar cepat memercikkan bunga api. Lalu dengan
gerakan cepat senjata itu
dikibaskan dari kanan ke kiri.
Craaang...! Slaaap...!
Sinar merah keluar dari putaran gerigi tersebut. Sinar itu berbentuk biasan
cahaya yang mengarah kepada
lawan. Telaga Sunyi tahu bahwa bias sinar merah itu tak
boleh ditangkis karena tak ada kekuatan yang bisa untuk menangkis biasan sinar
merah lebar itu. Maka Telaga
Sunyi sentakkan kakinya lagi dan melambung di udara
dengan cepat. Wuuut...! Dalam sekejap ia sudah berada di atas dahan sebuah
pohon. Dari sana ia lepaskan
pukulan bersinar biru yang melesat melalui telapak
tangan kirinya. Claaap...!
Blaaar...! Sinar merahnya Aryani tadi menghantam
sebongkah batu, dan batu itu langsung hancur tak tahu menyebar ke mana
serpihannya. Sedangkan sinar
birunya Telaga Sunyi segera ditangkis dengan gerakan
lurus senjata cakra tersebut. Gerakan lurus itu
menghasilkan sinar merah sama besar dan sama lurusnya dengan sinar biru. Lalu
keduanya saling bertabrakan
dalam jarak lebih dekat ke arah Dewi Gapit Mesra.
Blegaaar...! Dahsyat sekali bunyi ledakan yang timbul dari
bentrokan dua sinar tersebut. Dewi Gapit Mesra
terjungkal ke belakang bagaikan terbang, dan jatuh
dalam keadaan telungkup dengan keras, seakan
terbanting dari sebuah ketinggian. Bruuus...!
"Aaahg...!" Dewi Gapit Mesra memekik. Sebatang tonggak kayu runcing berukuran
satu jengkal, menancap di bagian tepi pinggang kanannya. Jruuus...!
Tonggak kayu kering itu memang tidak sampai
merobek lambung, namun cukup parah melukai kulit
pinggang. Dewi Gapit Mesra menyeringai sambil
menyentakkan tubuh untuk bangit. Srrub...! Ia pun lolos dari tonggak kayu
runcing itu. Pada saat itu ia menjadi kebingungan melihat Telaga
Sunyi sudah tak ada di tempat. Pemuda yang tadi
dilihatnya terkapar terkena pukulan 'Inti Bara' itu juga hilang dari tempatnya.
Padahal Dewi Gapit Mesra akan melepaskan pukulan berbahaya itu lagi untuk
menumbangkan Telaga Sunyi. Sayangnya sang lawan
sudah lebih dulu menghilang entah ke mana arah
perginya. "Setan licik! Ke mana kau, Telaga Sunyiii...!"
teriaknya dengan murka. Tangannya masih
menggenggam luka berdarah yang membasahi jubah
ungunya itu. Dengan kegeraman yang meluap, Dewi
Gapit Mesra akhirnya melesat pergi mencari Telaga
Sunyi yang diduga belum jauh dari tempat itu.
Telaga Sunyi sendiri merasa sedang dikejar oleh
Dewi Gapit Mesra. Maka ia segera mencari tempat
bersembunyi yang aman dari lawannya dan aman dari
sinar matahari. Sebab tubuh yang dipanggul di pundak
kirinya dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam itu
membutuhkan tempat yang tak boleh kena sinar
matahari. Dan satu-satunya tempat yang layak untuk
menyelamatkan Suto Sinting dari ancaman maut pukulan
'Inti Bara' itu adalah sebuah gua. Maka dengan
memanggul tubuh Suto Sinting dan menenteng bumbung
tuak sang pendekar tampan, Telaga Sunyi menuju ke
lereng perbukitan untuk mencari sebuah gua.
Sebuah gua ditemukan oleh Telaga Sunyi di lereng
sebuah bukit. Gua itu bermulut kecil. Untuk masuk ke
dalam gua itu dalam keadaan tidak membawa beban saja
harus dengan merundukkan kepala agak rendah, apalagi
sambil memanggul beban tubuh Pendekar Mabuk.
Mau tak mau Telaga Sunyi harus meletakkan tubuh
Suto dulu ke tanah, lalu menariknya pelan-pelan agar
masuk ke dalam gua. Sesampai di dalam gua, ternyata
atap gua tidak serendah bagian mulutnya. Di situ Suto Sinting dibaringkan dalam
keremangan cahaya.
Telaga Sunyi berusaha sembuhkan Suto Sinting
dengan hawa murninya yang disalurkan berulang kali.
Tetapi keadaan luka Suto belum juga membaik.
Kesadaran Suto masih tersisa sedikit walau ia sudah tak mampu menggerakkan
anggota badannya sekalipun
untuk menggerakkan jari.
"Jurus pukulan keparat! Memang benar apa kata
Guru, jurus pukulan 'Inti Bara' sulit dijinakkan, sulit disembuhkan, dan
karenanya Guru berpesan agar aku
pun tidak sembarangan dalam menggunakan jurus
pukulan 'Inti Bara'. Tetapi si keparat Aryani itu
mengumbar jurus ini seenaknya saja! Pantas kalau dia
dinyatakan sebagai murid murtad yang tak pernah mau
ikuti peraturan perguruan," ucap Telaga Sunyi sebagai ungkapan rasa kesalnya, ia
tampak kebingungan
menghadapi luka-luka Pendekar Mabuk. Duduknya di
atas batu samping Suto yang tingginya hanya sebetis
kurangiItu tampak loyo. Suaranya sering bercampur
dengan desah penyesalan dan kesedihan.
"Sayang sekali Guru belum turunkan Ilmu 'Penyerap Luka' seperti yang sudah
diajarkan kepada Dewi Gapit
Mesra itu. Kalau saja Ilmu 'Penyerap Luka' sudah
kumiliki, maka menghadapi keadaan Suto seperti ini
bukan hal yang sulit lagi bagiku."
Ucapan lirih itu masih sempat didengar oleh
Pendekar Mabuk secara samar-samar. Dengan susah
payah Pendekar Mabuk akhirnya berusaha bicara kepada
Telaga Sunyi. "Tu... tuak...! Tuuak...!"
"Kau dalam keadaan terluka separah ini, jangan
pikirkan tuak dulu!"
Suto Sinting mengeluh lirih dan tipis sekali. Telaga
Sunyi tak tahu khasiat tuak dari dalam bumbung itu.
Gadis itu malahan memarahi Suto yang dianggap lebih
mementingkan tuak daripada lukanya. Sebenarnya
Pendekar Mabuk ingin jelaskan khasiat tuaknya itu, tapi ia tidak mempunyai
tenaga untuk bicara panjang lebar, ia hanya mengucap kata terpatah-patah lagi,
"Tu... tuak...! Tooo... tolong, tuuak...!"
"Pikirkan dulu bagaimana cara menyembuhkan
dirimu, setelah itu mau minum tuak sampai mabuk
nungging terserah situ!" omel Telaga Sunyi, seperti seorang istri mengomel
kepada suaminya. Suto makin
jengkel. Kalau saja ia punya kekuatan untuk membentak, ia akan membentak. Karena
dalam keadaan terluka
seperti itu justru tuaklah yang dibutuhkannya.
Sekali lagi Suto mencoba bicara, "Toloong... tuuak...
tuakku!" "Aaah, dasar bandel kau ini!" gerutu Telaga Sunyi, kemudian ia mengambil bumbung
tuak itu dan menuangkan pelan-pelan ke mulut Suto yang ternganga
kecil itu. Cuuurr...! Gleek, glek, glek...!
"Sudah. Cukup begitu saja. Jangan banyak-banyak!"
kata Telaga Sunyi. Sekalipun masih belum puas, namun
hati Suto sudah agak lega.
Telaga Sunyi memeriksa keadaan dalam gua yang
agaknya mempunyai lorong gelap menjauh ke dalam.
Gua itu mempunyai bebatuan jenis batu pualam. Warna
hitam dan ada yang sebesar anak sapi. Lantai bagian
dalam lembab. Demikian pula dindingnya. Tapi di dalam lorong yang gelap itu,
yang arahnya membelok ke kiri
dari tempatnya menaruh Suto Sinting, Telaga Sunyi
seperti melihat titik putih di kejauhan sana. Titik putih itu mirip cahaya
matahari yang ada di sebuah mulut gua.
"Barangkali gua ini punya jalan tembus menuju ke suatu tempat?" pikir Telaga
Sunyi. Kemudian ia segera berbalik menemui Suto Sinting untuk memberitahukan
adanya kemungkinan tersebut.
Tapi ketika ia mendekati Suto, ia sangat terkejut melihat kulit tubuh Suto yang
tadi retak tersayat telah banyak yang merapat kembali. Wajah Suto sendiri tidak
kelihatan sebiru tadi. Semakin penasaran lagi gadis itu setelah melihat bagian
kulit lengan yang tadi sudah
terkoyak hampir terkelupas, kini menempel lekat
kembali. Bahkan ada bagian luka yang memar-memar
pulih seperti sediakala. Napas Suto Sinting tidak terlalu berat dihelanya.
Suaranya mulai terdengar sedikit lebih keras dari yang tadi.
"Tolong... tuakku! Aku harus meminumnya agak
banyak." "Apakah... apakah tak akan tambah memperburuk
keadaan kesehatanmu?"
"Tidak. Tuak itulah... obat yang akan kuberikan
kepada ayahmu juga. Buktikan keampuhannya dengan
meminumkannya padaku."
Sayang sekali Pendekar Mabuk belum punya tenaga
untuk mengangkat bumbung tuak sendiri, ia masih
berbaring tak peduli tempat itu agak lembab.
Telaga Sunyi menuangkan tuak pelan-pelan ke mulut
Suto Sinting. Tangannya sedikit gemetar karena ingin
membuktikan kata-kata Suto yang sempat menegangkan
hati itu. Getaran tangan membuat tuak tertuang kadang di mulut, kadang di
hidung. Telaga Sunyi tertawa
tertahan melihat Suto gelagapan tersiram tuak wajahnya.
Cukup banyak tuak yang diminum oleh Suto Sinting.
Telaga Sunyi duduk di batu yang tadi sambil
memperhatikan perubahan pada luka-luka tersebut.
Beberapa saat kemudian, ia melihat sendiri bukti kata-kata Suto Sinting tadi.
Luka sayat dan bagian yang
koyak mulai bergerak-gerak merapat secara ajaib.
Semakin lama semakin jelas gerakannya. Warna biru
legam pun kian menyusut dan sekarang tinggal menipis.
Telaga Sunyi tersenyum girang bercampur kagum.
"Luar biasa. Ternyata tuakmu itu benar-benar tuak sakti.
Rupanya tuak itulah yang membuatmu dapat julukan
dari beberapa orang sebagai Tabib Darah Tuak."
"Mungkin," jawab Suto pendek. Kini pendekar tampan itu sudah mulai bisa
tersenyum. Telaga Sunyi
benar-benar merasa lega melihat perubahan yang begitu pesat itu.
Ketika Suto Sinting merasakan tubuhnya mulai segar,
ia pun berusaha bangkit. Tapi ia berlagak tak kuat mengangkat kepala. Telaga
Sunyi buru-buru menopang
kepala Suto Sinting dengan lengannya. Hal itu membuat tubuh Suto bagai terpeluk
oleh si gadis beraroma wangi cendana itu. Jarak mata dengan dada si gadis cukup
dekat, sehingga mata Suto sempat melirik nakal dan geli dalam hatinya.
"Terima kasih atas bantuanmu," kata Suto setelah berhasil didudukkan. Padahal
dia bisa bangkit duduk
sendiri. Bahkan kalau mau melonjak-lonjak pun sudah
bisa. Tapi dasar murid sintingnya si Gila Tuak, keadaan seperti itu dimanfaatkan
untuk memperoleh beberapa
sentuhan dari Telaga Sunyi. Si gadis sendiri tidak
menduga kalau kelemahan Suto yang kali ini adalah
kepura-puraan. Bahkan dengan penuh kelembutan ia
memeriksa bekas luka di kening Suto. Mengusapnya
pelan-pelan sambil berkata,
"Masih sakit?"
"Hmmm... sedikit," jawab Suto tetap membiarkan keningnya diusap oleh jari-jari
lentik itu. Telaga Sunyi memeriksa lebih teliti lagi dengan cara memandang lebih
dekat karena cahaya kurang terang. Keadaan itu
membuat Suto Sinting dapat memperhatikan kehalusan
kulit wajah dan kecantikan yang alami lebih jelas lagi.
"Cepat sekali pulihnya?" ucap Telaga Sunyi lirih, saat berkata begitu wajahnya
tepat di depan Suto Sinting.
"Berkat pertolonganmu, luka separah apa pun dapat sembuh dengan cepat."
"Aku tak banyak membantu dalam hal ini," kata Telaga Sunyi sambil matanya
menatap Suto Sinting.
Jari-jari tangannya masih merayapi pipi pemuda tampan itu, tapi bukan untuk
memeriksa luka yang pulih
kembali. Jari-jari itu bergerak pelan merayap ke bibir Suto, kemudian mulut Suto
pun menangkap jari itu.
Menggigitnya pelan, dan sang gadis gemetar sekujur
tubuhnya. "Jangan. Jangan, Suto...," ucapnya lirih sekali ketika jari itu tak mau
Pendekar Mabuk 040 Asmara Berdarah Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dilepaskan oleh mulut Suto Sinting.
Wajah cantik pun berubah menjadi bentangan
kegelisahan yang menggundah di dada. Suto Sinting
dapat rasakan getaran tangan si gadis saat bibir si gadis digigitnya sendiri.
Suto tahu apa yang timbul di hati gadis itu. Siksaan
batin. Itulah yang dirasakan si gadis. Karenanya,
Pendekar Mabuk tak mau menyiksa terlalu lama.
Gigitannya segera dilepaskan pelan-pelan, Telaga Sunyi menariknya dengan
perlahan sekali. Seakan setiap
sentuhan jari yang bergerak keluar itu dirasakan betul desirannya.
Ada rasa malu dan girang di dalam dada Telaga
Sunyi. Kedua rasa yang mendebarkan hati itu segera
dibuang dengan cara menjauhi Suto dan menuju mulut
gua. Pada saat itu Suto Sinting pun segera merubah
suasana mesra menjadi suasana lebih serius. Ia
perdengarkan suaranya sambil bangkit berdiri.
"Siapa Dewi Gapit Mesra tadi, Telaga Sunyi?"
"Kakak seperguruanku," jawab Telaga Sunyi,
kemudian baru bergerak mendekati Suto Sinting, ia
melanjutkan penjelasannya di depan Suto dalam jarak
satu langkah. Persoalan yang sebenarnya dibeberkan
kepada Suto, sehingga sang pendekar tampan itu
manggut-manggut memahami persoalan tersebut.
"Apakah dia ada hubungannya dengan Muria
Wardani?" tanya Suto setelah ingat pertanyaannya soal Muria Wardani tadi belum
terjawab tuntas. Padahal Suto yakin, Telaga Sunyi pasti bisa menjelaskan siapa
Muria Wardani itu, karena tadi Telaga Sunyi menyatakan diri mengenal Muria
Wardani. Maka, gadis berdada indah itu pun menjawab ulang
pertanyaan Pendekar Mabuk, "Aku memang kenal
dengannya. Tapi... kurasa Dewi Gapit Mesra tak ada
hubungannya dengan masalahmu itu."
"Maksudmu, Muria Wardani bukan Dewi Gapit
Mesra?" "O, bukan! Aku berani pastikan, dia bukan Muria
Wardani. Gadis yang bernama Muria Wardani ada
sendiri. Dia putri seorang adipati di Kadipaten Madusuri.
Ayahnya bernama Adipati Jayengrana. Kalau tak salah
dia putri tunggal dari sang Adipati Jayengrana."
"Apakah dia cantik?"
"Kalau cantik kau mau apa?" Telaga Sunyi ganti bertanya tanpa senyum. Justru
Suto Sinting yang
tersenyum geli.
"Aku hanya bertanya. Tak punya maksud apa-apa."
Barulah Telaga Sunyi tersenyum sambil
menghembuskan napas panjang. Setelah itu ia berkata lagi dengan mengambil sikap
duduk di batu setinggi
pahanya itu. Ia biarkan mata si tampan Suto Sinting mengikutinya terus,
sementara ia sendiri tak mau terlalu lama memandang mata yang penuh daya pesona
itu. "Menurut penilaian para lelaki, Muria Wardani itu cantik sekali. Makanya banyak
lelaki yang ingin
mempersunting dirinya."
"Cantik mana sama kamu?" potong Suto nakal.
Telaga Sunyi melirik ketus, kemudian bersikap biasa
lagi dan melanjutkan kata-katanya tanpa menjawab
pertanyaan Suto yang dianggap iseng itu.
"Salah satu pria yang tergila-gila dengan kecantikan Muria Wardani adalah
Pangeran Kertapaksi. Menurut
kabar yang kuterima, Muria Wardani sudah dilamar
lebih dari sepuluh lelaki, tapi tak satu pun ada yang diterima, termasuk Karto
Dupak. Tapi lelaki yang paling penasaran ingin memperistri Muria Wardani adalah
Penguasa Teluk Neraka."
"Apakah dia tokoh sesat?"
"Benar! Tapi kesaktiannya luar biasa. Dia mampu
masuk ke istana kadipaten tanpa melewati pintu
gerbang." "Lalu lewat mana" Lewat genteng?"
"Menembus dinding benteng istana."
"Aih, Gila! Yang begini yang seru. Teruskan,
teruskan...!" Suto Sinting bersemangat sekali.
"Setahuku hanya itu. Tak ada yang bisa kuteruskan.
Yang jelas, ancaman terberat bagi Muria Wardani adalah si Penguasa Teluk Neraka.
Kabarnya ayah Muria
Wardani pernah diancam akan dibuat sengsara seumur
hidup apabila lamaran Penguasa Teluk Neraka ditolak.
Sedangkan sang Ayah tak bisa berbuat banyak karena
memang putri tunggalnya tak mau menikah dengan
Penguasa Teluk Neraka. Kudengar juga, Penguasa Teluk
Neraka mengancam siapa saja yang mendekati Muria
Wardani akan dibunuhnya. Terbukti sudah ada dua
pemuda yang mati di tangan Penguasa Teluk Neraka."
"Kenapa Kertapaksi dan Karto Dupak tidak mati di tangan Penguasa Teluk Neraka?"
"Mereka belum bertemu Penguasa Teluk Neraka.
Coba kalau Kertapaksi bertemu dengan Penguasa Teluk
Neraka, pasti dihajar habis oleh Penguasa Teluk Neraka itu."
"Lalu, apa hubungannya denganku" Mengapa
Kertapaksi dan Karto Dupak menyangka aku adalah
kekasihnya Muria Wardani?"
"Mungkin kau memang kekasihnya" Mana kutahu"!"
"Sumpah setan tujuh warna, aku bukan kekasihnya!
Aku tidak kenal sama Muria Wardani."
"Betul?"
"Yaah... masa' kau belum percaya juga. Aku toh
sudah bersumpah! Mau sumpah apa lagi" Sumpah biar
mati disambar lalat" Boleh!"
Telaga Sunyi tertawa kecil. "Lelaki mana saja
memang paling berani kalau disuruh bersumpah. Buat
lelaki, sumpah adalah bunga bibir."
"Terserah apa katamu, yang jelas aku tidak kenal dengan Muria Wardani."
"Bagaimana kalau kutemukan dengan Muria
Wardani" Berani?"
"Berani!" jawab Suto bersemangat.
"Berani tidak ikut-ikutan tertarik padanya?"
"Berani... maksudnya berani tidak tertarik untuk ikut-ikutan jadi perempuan,
begitu kan?"
"Hmmm...!" Telaga Sunyi mencibir menahan geli.
"Pertemukan aku dengan Muria Wardani. Akan
kutanyakan pula mengapa mereka menuduhku punya
hubungan cinta dengannya" Ini merepotkan diriku!"
"Akan kupertemukan setelah kau sembuhkan sakit
ayahku!" "Baik! Kalau begitu...."
Tiba-tiba terdengar suara menggema yang
mengagetkan. Blaaam...!
Gelap seketika datang. Mereka menjadi tegang.
Telaga Sunyi berseru, "Pintu gua ada yang menutup dengan batu!"
Mereka mulai mendekati pintu gua. Dirabanya benda
yang menghalangi pintu gua itu. Ternyata sebongkah
batu besar memancarkan hawa panas yang makin lama
makin menyengat. Tapi batu itu sendiri tidak
mempunyai sinar apa-apa. Bau sesuatu yang hangus
mulai tercium oleh mereka. Pasti hawa panas dari batu besar itu.
"Celaka! Ada orang yang usil dan ingin mengurung kita dalam gua ini, Telaga
Sunyi!" ucap Pendekar Mabuk.
"Kurasa memang begitu. Tapi siapa orangnya?"
"Mungkin kakak seperguruanmu itu; Dewi Gapit
Mesra." "Tidak mungkin. Dia tidak punya ilmu yang bisa
membuat batu sebesar itu memancarkan panas yang,
aduuuh... makin menyengat kulit saja rasanya," Telaga Sunyi melangkah mundur.
"Akan kucoba untuk menghancurkan batu itu!"
Pendekar Mabuk mulai meneguk tuaknya. Sebagian
ditelan, sebagian disisakan di muiut untuk disemburkan.
* * * 6 JURUS 'Sembur Siluman' tak bisa membuat batu itu
lenyap seperti benda-benda lain yang terkena semburan tuak Suto itu. Ini
menandakan bahwa batu penutup pintu gua itu dilapisi tenaga gaib yang cukup
tinggi. Bahkan ketika Suto ingin mencoba menggunakan jurus 'Sembur
Siluman' untuk yang kedua kalinya, tahu-tahu ia
terpental ke belakang dengan kuat hingga membentur
sebongkah batu yang ada di belakangnya. Suto terbatuk-batuk karena tersedak tuak
dalam mulutnya sendiri.
"Sutooo..."!" seru Telaga Sunyi dalam kegelapan itu.
"Suto kau di mana?"
"Di sini!" seru Suto dengan suara berat.
"Kau jatuh?"
"Ya. Sepertinya batu itu mengeluarkan tenaga dalam cukup besar. Aku terlempar
keras sekali. Dadaku terasa panas!"
"Kita keluar lewat jalan lain saja, Suto! Aku seperti melihat titik terang di
arah kiri kita. Tapi kita harus masuk lebih dalam sedikit. Suto, di mana kamu?"
"Aku di sini," jawab Suto segera menyentuh pundak Telaga Sunyi tanpa disengaja.
Telaga Sunyi pun segera memegangi lengan Suto.
"Jangan jauh dariku, Suto. Aku takut!"
"Aku juga," jawab Suto seenaknya sambil
menghempaskan napas, memperlega jalannya
pernapasan. "Aku akan mencoba menghancurkan batu itu dengan jurus lain!"
"Tapi...,"
Telaga Sunyi ingin menyatakan
kecemasannya, ingin melarang rencana itu, namun ia
sangsi tak jadi melakukannya.
"Mundurlah ke arah belakangku, biar aku bisa
mencarimu sewaktu-waktu. Agak jauh sedikit, ya?"
Hawa di dalam gua semakin panas, mengucurkan
keringat. Tapi Pendekar Mabuk tak mau menyerah, ia
mulai bersiap-siap pergunakan jurus penggempurnya
yang dinamakan jurus 'Pecah Raga', yang biasanya
membuat raga lawan pecah menjadi serpihan kecil.
Tapi sebelum tangan Suto bergerak, tiba-tiba
hempasan tenaga kuat datang menerjangnya kembali.
Wuuut...! Blaaam...!
Kali ini tubuh Suto memancarkan cahaya merah
dalam sekejap. Tubuh itu tampak terbang terpelanting tak tentu arah. Telaga
Sunyi sempat melihat sendiri saat sinar merah berkerliap dalam sekejap. Maka
gadis itu pun kemblii serukan kecemasannya.
"Suto..."! Sutooo..."!" ia mulai melangkah meraba dalam gelap. Kakinya terantuk
batu. Dug, brruk...!
"Auh...!" Telaga Sunyi memekik kesakitan karena jatuh tersungkur, ia segera
bangkit ketika mendengar suara
erangan memberat dari mulut Suto Sinting, ia meraba
semakin hati-hati menuju suara erangan itu.
"Suto, kau terluka..."!"
"Iiiya...! Dadaku... sakit sekali!"
"Bumbung tuakmu di mana"!"
"Jat... jatuh dii... dii...."
"Oh, ini kutemukan!" seru Telaga Sunyi dengan girang. Kemudian dengan hati-hati
sekali ia mendekati Suto dan menyerahkan bumbung tuak itu. Pendekar
Mabuk segera menenggaknya, dan lambat laun rasa sakit di dada mulai mereda.
"Kurang ajar! Batu apa itu sebenarnya"! Belum
diserang sudah menyerang lebih dulu!"
"Sepertinya kekuatan itu datang dari tokoh sakti yang ada di sekitar gua ini.
Mungkin dia ada di luar gua sana!"
Pendekar Mabuk diam berpikir. Beberapa saat
kemudian ia berkata pelan, seperti bicara pada diri
sendiri. "Baru niat mau menyerang saja dia sudah tahu.
Gawat! Pasti ilmunya lebih tinggi dariku!"
"Kita lewat jalan lain saja. Jangan memaksakan diri menghancurkan batu itu,
nanti malah kepalamu sendiri
yang hancur. Kalau kepalamu hancur mau diganti pakai
apa?" "Pakai kepala ayam juga bisa!" jawab Suto Sinting membuat suasana agar tak
terlalu dicekam ketegangan.
Tak ada cara lain kecuali mengikuti saran Telaga
Sunyi. Titik putih yang tadi dilihat Telaga Sunyi saat Suto masih terkapar itu
sekarang masih ada. Titik putih itu bagaikan ada di ujung lorong. Dan mereka pun
bergerak menyusuri lorong tersebut dengan saling
bergandengan, karena suasana gelap membuat mereka
sulit saling berhubungan jika terjadi bahaya secara
mendadak. Tetapi anehnya titik putih itu semakin lama bukan
semakin dekat, namun semakin terasa menjauh.
Pendekar Mabuk segera hentikan langkah dan berkata
kepada Telaga Sunyi,
"Kita terjebak. Itu bukan titik sinar mulut gua!
Perhatikan saja, sejak tadi jaraknya masih tetap jauh dan bahkan lebih jauh dari
yang pertama kita lihat, bukan?"
"Benar juga. Jadi, kita tersesat di mana ini, Suto?"
"Akan kucoba untuk melihat alam lain. Mungkin ada yang mengganggu kita, sehingga
kita terkurung di sini tanpa jalan keluar."
Pendekar Mabuk segera mengusap keningnya dengan
tangan kiri. Kening Suto mempunyai titik merah, suatu tanda gaib pemberian dari
Ratu Kartika Wangi, Ibu dari Dyah Sariningrum yang menjadi ratu di alam gaib
itu. Jika titik merah yang hanya bisa dilihat oleh orang berilmu tinggi itu diusap
dengan tangan kiri, maka Suto dapat melihat kehidupan di alam gaib. Makhluk yang
tak tampak menjadi tampak bagi matanya.
Dan ketika Suto mengusap titik merah itu dengan
tangan kirinya, maka pandangan matanya segera melihat di dalam kegelapan yang
bercahaya merah samar-samar.
Seolah-olah lorong itu memancarkan cahaya merah
sehingga dapat melihat bentuk batu dan keadaan
sekeliling. "Apa yang kau lihat, Suto?" tanya Telaga Sunyi setelah sebelumnya mendapat
penjelasan tentang
kekuatan titik merah di kening Suto.
"Aku tidak melihat apa-apa kecuali lorong bercahaya merah," jawab Suto Sinting
sambil memandang ke sana-sini. "Tak ada bentuk aneh yang bisa kulihat. Mungkin
karena memang tak ada apa-apa. Tapi... tapi
kelihatannya di depan sana keadaan lorong ini menjadi melebar. Coba kita ke arah
sana, Telaga Sunyi!"
Apa yang dikatakan Pendekar Mabuk memang benar.
Lorong itu makin jauh makin melebar sampai
membentuk suatu ruangan besar dengan tiga lorong di
tiga arah. Dengan menggunakan kekuatan gaib dari
pandangan matanya itu, Pendekar Mabuk masih bisa
melihat seluruh ruangan besar itu sampai pada lekuklekuk bebatuan pada dindingnya.
Pendekar Mabuk 040 Asmara Berdarah Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Di sini tidak ada apa-apa juga, Telaga Sunyi. Tapi aku melihat ada tiga pintu
lorong, depan, kiri, dan kanan.
Dan... oh, tunggu!"
"Ada apa"!" Telaga Sunyi ikut tegang, karena nada suara Suto pun terdengar
menegang. Telaga Sunyi
menggunakan firasatnya, ia merasa ada bahaya datang yang dilihat oleh Suto
Sinting. "Suto, ada apa?" bisiknya dengan tetap berpegangan baju Suto.
"Seseorang muncul dari lorong depan. Mundurlah."
"Mundur ke mana" Aku tak bisa melihat apa-apa,
Suto!" "Oh, dia mendekati kita, Telaga!"
"Jin atau raksasa?"
"Manusia biasa," jawab Suto Sinting, "Ikuti perintahku supaya kau tidak
tersandung batu. Mundur
dua langkah. Ya, terus... terus...." Suto jadi seperti tukang parkir memberi
aba-aba Telaga Sunyi agar
langkahnya tidak tersandung batu. Telaga Sunyi
mengikuti saja apa kata Suto karena dalam keadaan
seperti itu tak ada yang bisa dilakukan kecuali menuruti Suto.
"Ke kiri sedikit. Awas ada batu di kananmu. Geser, geser lagi, ya cukup! Mundur
terus, terus, terus... ya, cukup. Di situ saja, ya" Aku akan temui orang yang
baru muncul dari lorong depan itu."
"Bicaralah terus supaya aku tahu di mana kau berada.
Jangan diam kalau kupanggil, Suto!"
Kata-kata itu tak ditanggapi oleh Pendekar Mabuk,
karena murid si Gila Tuak itu semakin tertarik dengan orang yang ada dalam
penglihatannya itu. Orang tersebut adalah perempuan berbusana pinjung ungu
dengan kain bawah longgar berwarna ungu berbunga-bunga emas.
Rambutnya terurai panjang mencapai bagian pantatnya
yang menonjol sekal itu. Perempuan tersebut berhenti melangkah, matanya yang
memancarkan keindahan itu
memandangi Suto Sinting dengan sedikit sayu dan
bersifat menantang. Semakin Suto mendekat, semakin
jelas bibirnya menyunggingkan senyum nakal. Pendekar
Mabuk melangkah terus hingga akhirnya berdiri dalam
jarak tiga langkah di depan si cantik berdada besar itu.
"Oh, gila betul! Matanya memandang penuh pancaran gairah. Hatiku guncang dan
napasku menjadi sesak.
Haruskah aku mendekat lebih rapat lagi?"
Tangan perempuan itu terulur. Gelang kerincingnya
berdenting-denting. Jarinya yang lentik dengan kuku
runcing rapi bercat ungu muda itu bergerak-gerak
memberi isyarat agar Suto lebih mendekat lagi. Napas Pendekar Mabuk ditahan
beberapa saat untuk meredakan
gejolak yang akan menggelora jika berada lebih dekat lagi dari perempuan itu.
Hanya satu langkah Suto bergerak maju, lalu ia
menyapa lebih dulu dengan suara lembutnya, "Siapakah kau sebenarnya?"
"Aku orang yang kau cari pada mula perjalananmu menuju ke timur."
Suto Sinting kerutkan dahi karena tak jelas maksud
jawaban tersebut. Lalu dengan suara makin pelan ia
bertanya, "Maukah kau sebutkan namamu?"
"Nyai Kucir Setan!"
"Ooh..."!" Pendekar Mabuk terperanjat, suaranya tak
sadar menjadi keras, membuat Telaga Sunyi cemas di
tempatnya. "Sutooo..."! Ada apa di sana, Suto"!"
"Hmm... eh... tak ada apa-apa. Aku baik-baik saja!"
jawab Suto Sinting dengan menggeragap kikuk.
Perempuan yang mengaku bernama Nyai Kucir Setan
itu tersenyum sinis dan berkata, "Gadismu sangat mengkhawatirkan kau, Suto. Tapi
jangan hiraukan dia!
Ikutlah aku masuk ke lorong itu!"
"Tidak. Aku... aku mau keluar dari gua ini, Nyai."
"Bukankah kau ingin menemuiku?"
"Ya, tapi bukan untuk hal-hal lain. Aku hanya ingin meminta maaf atas... atas
peristiwa yang menimpa
muridmu, si Karto Dupak itu! Aku tak sengaja
membunuhnya. Dia sendiri yang menantangku dan
melepaskan jurus mautnya itu. Aku hanya menangkis
dan... dan...."
"Dan dia sekarang mati. Aku sudah memakamkannya
begitu kau melangkah meninggalkan desa itu!"
"Oh...?" Suto bernada heran.
"Itu memang kesalahan muridku sendiri. Sekalipun begitu, seharusnya kau tetap
harus menebusnya dengan
nyawa. Tapi jika kau mau melayaniku, kau akan
kuangkat sebagai murid baru, Suto!"
"Hmmm... maksudmu... maksudmu melayani
bagaimana, Nyai?"
"Ah, kau berlagak bodoh. Aku tahu kau punya gairah begitu memandangku. Sekarang
pun gairahmu meluap-luap! Ayolah, ikut aku ke lorong itu!"
"Hmmm... eeh... anu... tidak. Aku hanya ingin
meminta maaf padamu, Nyai. Terserah kau mau
memaafkan atau tidak, yang penting aku sudah meminta
maaf padamu."
"Peluklah aku, maka segala kesalahanmu akan
kumaafkan, Suto!"
"Tid... tidak...," Suto geleng-geleng kepala. "Aku...
aku sudah punya istri, walaupun belum resmi menjadi
pengantin. Tapi... tapi aku sudah berjanji akan
mengawininya dan aku tak mau menodai cinta kami.
Aku tak mau berkhianat padanya!"
"Dyah Sariningrum itu maksudmu" Oh, kau bodoh
sekali, Suto. Dyah Sariningrum di sana juga berbuat
serong dengan pria lain. Hanya saja karena dia ratu,
maka segala tingkah lakunya tak ada yang berani
membicarakannya. Dyah Sariningrum saat ini sedang
bercumbu dengan seorang ksatria dari sebuah negeri!"
"Ooh..."! Ben... benarkah"!"
"Apakah kau tak bisa merasakan getaran
cemburumu" Manakala hatimu dan pikiranmu dilintasi
oleh kecemburuan walau hanya sekejap, maka pada saat
itulah Dyah Sariningrum sedang bercumbu dengan pria
lain." Darah Suto terasa mendidih. Panas di bagian dada
terasa naik sampai ke kepala. Pendekar Mabuk mulai
dibakar oleh kecemburuan yang amat menyiksa batin.
Tubuhnya sempat gemetar dan hasratnya untuk segera
pergi justru menjadi kuat. Dengan tegas ia berkata,
"Kau yang membuat pintu gua ini tertutup! Sekarang
kuminta buka pintu gua ini, aku akan keluar dan pergi menemui dia!"
"Kau harus melayaniku dulu, Suto. Kau harus
menebus kematian muridku itu, dan menebus kunci
pembuka gua!"
"Iblis betina kau!" geram Pendekar Mabuk yang telah dibakar kecemburuan begitu
besar, sehingga murkanya
mencari tempat untuk pelampiasan.
"Kalau kau tak mau melayaniku, maka kau harus
menebus kematian muridku dengan nyawamu, Suto!"
"Lakukanlah kalau memang kau mampu!"
Suto membentak keras karena luapan amarahnya, ia
lupa bahwa napasnya mengandung Napas Tuak Setan.
Jika sedang marah, hembusan napasnya bisa keluarkan
angin badai yang mengerikan. Dan pada saat ia
membentak tadi, angin badai pun keluar dari mulutnya.
Wuusss...! Gua itu berguncang. Telaga Sunyi ketakutan.
"Sutooo...! Suto ada gempa bumi, Suto! Cepat kita keluar dari sini!"
Rambut Nyai Kucir Setan meriap ke belakang
bersama jubahnya. Tapi tubuhnya tetap di tempat dan
tak bergerak. Sementara itu gelombang badai
menghantam dinding gua dan membuat salah satu lorong
menjadi runtuh tertimbun atapnya. Glegeer...!
Buuurrk...! "Sutooo...! Ada yang roboh di sana!" seru Telaga Sunyi dicekam rasa takut karena
tak bisa melihat apa-apa tapi mendengar suara yang menyeramkan.
Suto tidak peduli seruan itu. Matanya memandang
tajam penuh kemarahan kepada Nyai Kucir Setan yang
tidak berkuncir sedikit pun itu.
"Kau berani menyerangku dengan napas badaimu.
Sekarang giliranku menyerangmu dengan napas apiku!
Hiaaah...!"
Wuuusss...! Api menyembur besar dari mulut perempuan cantik
itu. Pendekar Mabuk tak punya waktu untuk
menghindar. Terpaksa ia pun gunakan Napas Tuak
Setan-nya lagi.
"Haahhh...!"
Wuuutt...! Badai menerjang kuat, membalikkan
kobaran api dari mulut Nyai Kucir Setan. Kobaran api itu justru membungkus tubuh
Nyai Kucir Setan,
sedangkan tubuh sang Nyai sendiri kali ini terhempas kuat membentur dinding
berbatu runcing. Jraab...!
Tubuh itu menancap dalam keadaan terbungkus api. Dari ulu hatinya muncul batu
runcing yang menembus
punggung. Nyai Kucir Setan menggeliat-geliat dengan
gerakan liarnya. Tapi yang terlihat hanya kobaran api dan sesekali tangan atau
kakinya keluar dari kobaran api tersebut.
Akibat sentakan Napas Tuak Setan Suto, dinding gua
itu bergetar hebat. Batu-batu berjatuhan, langit gua
nyaris roboh menimpa Telaga Sunyi dan Suto sendiri.
Sedangkan dinding gua yang lainnya mulai retak,
bahkan sisi kanan tumbang dalam keadaan hancur bagai
diterjang seribu banteng.
Keadaan di dalam gua nyaris seperti mau kiamat.
Hanya Suto Sinting yang melihat kejadian yang
mengerikan itu. Ia segera sadar dari cekaman
amarahnya. Melihat Telaga Sunyi menjerit-jerit sambil menghindari reruntuhan
atap gua, Suto segera berkelebat menyambarnya. Wuuut...! Gadis itu segera dibawa
lari ke lorong semula.
Gemuruh suara atap gua runtuh semakin mengerikan.
Di sana-sini bagaikan hujan batu paling kecil seukuran kepala Suto. Dan keadaan
itu dapat membuat mereka
berdua mati tertimbun reruntuhan gua jika tak segera
keluar. Suto masih gunakan pandangan gaibnya. Jika tidak
begitu ia tak bisa berlari cepat sambil memanggul Telaga Sunyi yang menjeritjerit dalam kengerian.
Ketika mereka tiba di tempat semula, mulut gua
masih tertutup batu besar. Suto Sinting menggunakan
napas tuaknya karena dadanya masih diliputi oleh
gemuruh kecemburuan atas kata-kata Nyai Kucir Setan
itu. Dalam sekali sentakan napas, batu besar itu pun terbang dan terbelah
menjadi tiga bagian.
Blaar...! Wuuus...! Cahaya matahari pagi masuk ke dalam gua,
sementara dinding gua semakin bergetar. Langit-langit gua pun bertambah hancur
karena badai dari mulut
Pendekar Mabuk itu. Dengan gerakan cepat Pendekar
Mabuk melesat keluar dari mulut gua yang menjadi lebar akibat sebagian
dindingnya jebol oleh badai Napas Tuak Setan itu.
Sampai di luar gua, ternyata hari sudah pagi. Embun
masih ada di daun-daun yang hancur akibat terhempas
badai. Beberapa pohon tumbang saling silang, bahkan
ada yang pecah menjadi beberapa bagian. Badai dari
Napas Tuak Setan kembali menelan korban kehidupan
alam sekeliling gua itu, sementara gua itu sendiri segera bergemuruh
menggelegar. Runtuh dan menimbulkan
getaran hebat, seakan bukit tersebut ingin amblas ke
bumi. Suto Sinting tak mau berhenti terlalu lama.
Dengan masih memanggul tubuh Telaga Sunyi, ia
melesat menggunakan jurus 'Gerak Siluman' yang
kecepatannya melebihi kecepatan anak panah, bahkan
nyaris melebihi kecepatan hembusan angin badai dari
mulutnya sendiri itu. Zlaaap...!
Ketika tiba di tempat yang aman, jauh dari bukit itu, Suto Sinting segera
menurunkan tubuh Telaga Sunyi, ia mengendalikan napasnya, menahan gejolak
kecemburuannya. Dan akhirnya ia terkejut melihat
kepala Telaga Sunyi berlumur darah.
"Oh, kenapa kau, Telaga Sunyi" Hei... Telaga
Sunyi..."! Telaga!"
Gadis yang kepalanya tertimpa bongkahan batu itu
diam saja. Suto Sinting menjadi tegang. Buru-buru
memeriksa denyut nadi dan jantungnya.
"Celaka! Jangan-jangan dia mati kena batu
kepalanya"!" pikir Suto Sinting saat ingin memeriksa denyut nadinya.
* * * 7 BERUNTUNG sekali bumbung tuak Suto tidak
tertinggal. Dengan tuak dalam bumbung itu, akhirnya
Telaga Sunyi dapat disembuhkan dari lukanya. Gadis itu diam termenung mengenang
kiamat di dalam gua yang
mengerikan. Seakan bayangan mengerikan itu masih
belum bisa terhapus dari ingatannya.
Pagi kembali cerah. Telaga Sunyi memandang alam
sekeliling. Gua tersebut sudah tidak kelihatan karena jauhnya jarak pandang.
Tetapi ada keheranan yang
masih menyertai Telaga Sunyi.
"Mengapa hari sudah pagi" Berapa lama kita ada di dalam gua itu sebenarnya?"
"Perbedaan waktu antara di dalam gua dan di luar gua ternyata sangat menyolok.
Di dalam gua mungkin waktu
bergerak dengan lambat. Tetapi di luar gua waktu
bergerak cepat seperti biasanya. Jadi mungkin kita
berada di dalam gua sehari semalan, walau rasanya
hanya beberapa saat saja."
"Sebuah pengalaman yang baru pertama kali
kujalani," gumam Telaga Sunyi. "Apa yang sebenarnya terjadi, Suto?"
"Aku bertemu dengan Nyai Kucir Setan dalam
keadaan cantik jelita."
"Apakah dia memang tokoh sesat yang cantik?"
"Aslinya barangkali tidak secantik itu. Tapi mungkin dia pergunakan semacam ilmu
siluman yang mampu
membuatnya tampak cantik, padahal tua, kempot, peot,
dan rambutnya berkuncir, itu bayanganku saja. Yang
jelas, aku bertarung melawannya. Untung aku punya
penglihatan gaib, jika tidak mungkin aku tak tahu apa yang bakai kita alami di
Pendekar Mabuk 040 Asmara Berdarah Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dalam gua itu."
"Apakah sekarang kau masih menggunakan
penglihatan gaib?"
Pendekar Mabuk tersenyum. "Tidak. Tapi aku tetap melihat sesuatu yang gaib."
"Apa yang kau lihat gaib itu?"
"Kecantikanmu!" jawab Suto Sinting dengan senyum kian melebar. Telaga Sunyi
melengos, bukan benci,
bukan muak, tapi tak berani menanggung akibatnya jika terlalu lama menikmati
senyuman itu. Ia hanya berkata,
"Sebaiknya kita teruskan perjalanan kita. Aku yakin Ayah sudah mencemaskan
keadaanku."
"Baik. Kita menemui ayahmu dulu, tapi jangan lupa janjimu. Setelah itu kau harus
antarkan aku untuk
bertemu dengan Muria Wardani!"
"Janjiku tak akan kuingkari! Asal janjimu pun tak akan kau ingkari."
"Janji apa?"
"Tidak akan tertarik kepada Muria Wardani."
Suto Sinting tertawa sambil meneruskan langkah.
"Memangnya kenapa kalau aku tertarik kepada Muria Wardani?" pancing Suto.
"Tidak apa-apa. Itu hakmu. Tapi aku akan kecewa."
"Oleh sebab apa kecewa?"
"Kau tak perlu tahu!" jawabnya bernada ketus, tapi lucu bagi Pendekar Mabuk.
Perjalanan menuju rumah Telaga Sunyi melewati tiga
desa. Sepanjang perjalanan desa, mata para penduduk
tertuju kepada Suto dan Telaga Sunyi. Mereka
memandang dengan kagum dan senang. Bahkan ada
yang berkasak-kusuk sampai di telinga Suto dan Telaga Sunyi.
"Cocok sekali pasangan itu, ya" Yang pria ganteng, yang wanita cantik. Hmmm...
anak-anak mereka seperti
apa nantinya, ya?"
"Kau dengar bisikan mereka?" tanya Suto Sinting kepada Telaga Sunyi.
"Itu bukan bisikan tapi igauan!"
"Aneh. Orang-orang di sini belum tidur banyak yang sudah mengigau, ya?" canda
Suto menghadirkan tawa kecil Telaga Sunyi. Gadis itu mencubit lengan Suto
sambil tetap teruskan langkah.
Setelah mereka melintasi desa ketiga, perjalanan
terhenti kembali karena munculnya seorang lelaki
berusia sekitar tiga puluh tahun yang menghadang
langkah mereka. Lelaki itu bertubuh sedikit gemuk,
mempunyai kumis lebat. Tampak gagah namun
berwajah culas, ia mengenakan pakaian merah berlengan tanggung sampai lewat
siku. Senjata yang dibawanya
adalah golok lebar bergelang-gelang tiga buah pada
bagian sisinya. Rambutnya yang panjang dijepit dengan ikat kepala warna merah
juga. "O, ini orangnya"!" kata lelaki berkumis. "Ha, ha, ha, ha... rupanya hanya
seorang bocah kemarin sore yang
belum bisa buang ingus!"
"Apa maksudmu" Siapa kau sebenarnya?" tanya Suto
dengan heran. "Apakah si manis itu belum sebutkan namaku?"
sambil orang itu menuding Telaga Sunyi. "Sayang, ayo perkenalkan diriku kepada
bocah ingusan itu!"
"Siapa dia, Telaga?" bisik Suto Sinting kepada Telaga Sunyi. Gadis itu agak
gugup, tapi akhirnya menjawab
pertanyaan tadi.
"Dia yang bernama Sulang Dongo, bekas
pengawalnya sang Adipati yang juga jatuh cinta pada
Putri Muria Wardani."
Suara bisikan pelan dari mulut Telaga Sunyi itu
membuat Suto manggut-manggut dan mulai bisa meraba
apa alasan Sulang Dongo menghadangnya. Maka
Pendekar Mabuk pun langsung berkata kepada Sulang
Dongo, "Kau pasti menyangka aku menjadi penghalang
cintamu kepada Putri Muria Wardani!"
"Tepat sekali! Karena memang demikianlah
keadaannya!"
"Kujelaskan satu kali saja, aku sudah bosan
mendengar alasan seperti itu! Ketahuilah, aku tidak
kenal dengan Muria Wardani Rui Aku bukan
kekasihnya!"
"Huah, hah, hah, hah...!" Sulang Dongo tertawa keras. Perutnya terguncangguncang. Suto Sinting
berkerut dahi sambil memendam rasa dongkol, ia
berbisik kepada Telaga Sunyi yang ada di sampingnya.
"Kenapa dia tak percaya?"
"Karena dia orang dungu!" jawab Telaga Sunyi.
Sulang Dongo berseru, "Bocah ingusan, kau pikir
mataku buta dan telingaku tuli" Kau pikir aku bayi yang baru lahir sehingga
mudah kau kelabui?"
"Kalau kau bayi baru lahir, siapa yang mau menjadi dukun beranaknya" Ngeri
melihat gigimu yang sebesar
kapak itu!" kata Suto dengan hati kesal. "Minggirlah, jangan halangi langkahku.
Aku tak punya hubungan
dengan Muria Wardani!"
"Tak mudah berlalu begitu saja! Aku sakit hati atas penolakan lamaranku, dan aku
akan buktikan bahwa aku
bisa memenggal kepalamu, Pendekar Mabuk!"
Suto sedikit heran mendengar namanya disebutkan,
tapi segera ingat bahwa ciri-cirinya sebagai Pendekar Mabuk tentunya sudah
dikenal orang banyak. Terutama
orang-orang yang punya minat melamar Muria Wardani
pasti sudah memegang ciri-ciri sosok Pendekar Mabuk.
Hanya saja, mengapa mereka bisa memburu Suto dan
dianggap sebagai kekasih Muria Wardani" Ini yang
masih menjengkelkan hati Pendekar Mabuk.
"Sulang Dongo, aku tak ingin terlibat apa pun
denganmu. Tapi kalau kau bermaksud tak baik padaku,
aku akan melayanimu dengan sangat terpaksa!"
"Tak perlu banyak mulut! Terima saja penggalan
golokku ini, heeaaah...!"
Wuuut...! Wuuung...!
Golok besar itu lewat di atas kepala Suto Sinting pada saat Suto Sinting
merendahkan badan, menghindari
tebasan ke arah lehernya. Rupanya Suto Sinting tak mau buang-buang waktu, ia
segera menghantamkan bumbung
tuaknya ke kaki lawannya. Wuuut...! Prrrok...! Tepat mengenai tempurung lutut.
"Aaow...!" Sulang Dongo menjerit sekuat tenaga.
Tempurung lututnya remuk bagaikan dihantam gada
besi. Ia tak tahu kalau bumbung tuak itu mempunyai
kekuatan tenaga dalam yang mampu untuk menebang
pohon, tergantung penyaluran tenaga dari Suto saat itu.
Melihat lawannya terbungkuk-bungkuk sambil
memegangi tempurung lututnya, Pendekar Mabuk segera
kasih peringatan lagi,
"Sekali lagi kau menggangguku, kuremukkan kakimu yang satunya lagi!"
"Bangsat kau, heaaat...!"
Sinar kuning melesat dari tangan Sulang Dongo.
Claaap...! Arahnya ke punggung Suto Sinting. Tetapi
kelebatan sinar itu diketahui oleh Telaga Sunyi. Dengan cepat Telaga Sunyi
bergerak lepaskan pukulan bersinar merah yang menghantam sinar kuning tersebut.
Slaap...! Blaarr...! Ledakan cukup keras terjadi di depan wajah Sulang
Dongo yang sedang merunduk memegangi lutut dengan
satu tangan itu.
Cahaya ledakan itu menghantam wajah Sulang
Dongo dan membuat orang berkumis itu terpental
berjungkir balik sambil meraungkan suara kesakitan
dengan keras. "Aaaaa...!" ia berguling-guling kelojotan, wajahnya hitam hangus, karena ledakan
yang terjadi tadi
mempunyai kekuatan menyamai kilatan cahaya petir.
Rambut Sulang Dongo menjadi keriting karena terbakar
hawa panas. Matanya menjadi merah, bibirnya pun
pecah, ia menggelepar dalam keadaan sekarat. Namun
agaknya semangat cintanya kepada Muria Wardani
masih menyala-nyala sehingga ia merintih memanggilmanggil nama putri adipati itu sambil berusaha
merangkak. "Muria...! Muria, tolong aku...! Muriaaa...!" sambil tangannya terulur ke arah
Telaga Sunyi. Gadis itu
tercekam dalam kebingungan. Pendekar Mabuk segera
mendekati Sulang Dongo dan berkata, "Aku akan obati kau, tapi jangan memusuhiku
lagi. Setuju?"
"Aku... aku tidak butuh kau, Bang... sat! Aku butuh dia... Muria Wardani!"
sambil menuding Telaga Sunyi.
Dan hal itu membuat Suto menjadi bingung sesaat.
Dipandangi wajah cantik Telaga Sunyi itu. Tapi tak bisa lama-lama karena kejap
berikutnya Suto harus berpaling memandang keadaan Sulang Dongo yang mengerang
panjang, kemudian menghembuskan napas terakhir
dalam keadaan telungkup.
"Muri... ooohh...!"
Habis sudah napas Sulang Dongo. Ia tak bernyawa
lagi. Suto Sinting menyesalkan kekerasan hati Sulang
Dongo yang tak mau ditolong itu. Seandainya ia mau
ditolong dan menyetujui perjanjiannya dengan Pendekar Mabuk, setidaknya sampai
saat ini pun Sulang Dongo
masih bisa menyebutkan nama Muria Wardani.
Suto Sinting segera mendekati Telaga Sunyi yang
tundukkan kepala di bawah pohon. Dengan mata
memandang tak berkedip suara Pendekar Mabuk pun
terdengar jelas di telinga gadis itu.
"Mengapa dia mengulurkan tangan padamu, Telaga
Sunyi" Mengapa dia memanggilmu Muria...?"
Telaga Sunyi pun akhirnya tarik napas panjangpanjang dan berkata, "Memang akulah Muria Wardani!"
Kini Pendekar Mabuk yang terperangah dengan
pandangan mata tak berkedip sedikit pun. Mulut berbibir basah oleh tuak itu tak
bergerak juga. Seakan ada
sesuatu yang menyumbat tenggorokan Pendekar Mabuk.
"Akulah Muria Wardani, dan akulah putri sang
Adipati itu!"
"Ajaib sekali!" gumam Suto Sinting. "Ajaib sekali, mengapa otakku bisa menjadi
sebodoh ini selama
bersamamu"!"
"Itulah sebabnya aku banyak tahu tentang Kertapaksi dan kehidupan Muria Wardani,
karena sebenarnya
akulah orangnya. Tapi di kalangan perguruan aku
memang dikenal sebagai Telaga Sunyi. Guruku sendiri
juga memanggilku Telaga Sunyi."
Pendekar Mabuk tarik napas dalam-dalam. Bahkan
sempatkan diri menenggak tuaknya beberapa teguk
sebagai penenang jiwa. Apa yang dirasakan Suto adalah campuran dari rasa malu,
kecewa, senang, marah, dan
geli. Ternyata sejak kemarin ia bersama putri adipati, sementara sang Putri
Adipati sendiri tidak mau
menyebutkan siapa dirinya sehingga Suto sempat
berkata agak kasar, menyatakan tidak kenal dengan
Muria Wardani, tidak cinta, dan menyuruh Kertapaksi
mengambil Muria Wardani.
"Pantas kalau Sulang Dongo merasa tertawa
terbahak-bahak ketika kukatakan bahwa aku tidak kenal dengan Muria Wardani.
Tentu saja pernyataanku ini
dianggap suatu lelucon yang paling konyol, sebab pada saat itu aku bersama Muria
Wardani." "Maafkan aku, Suto. Aku sendiri tak bermaksud
memasukkan dirimu dalam lingkaran dendam dan
kebencian. Kupikir dengan mengaku sebagai kekasihmu
dan sebentar lagi akan menikah denganmu, orang-orang
itu tak ada yang berani melamarku lagi"
"Jadi... jadi kau mengaku kekasihnya Pendekar
Mabuk dan akan menikah dengan Suto Sinting, begitu?"
Muria Wardani alias Telaga Sunyi menganggukkan
kepala. "Aku hanya menakut-nakuti mereka. Tapi
ternyata mereka bukannya takut, melainkan justru
memburumu karena dianggap penghalang niat."
"Kenapa tak kau katakan sejak tadi?"
"Aku malu. Malu sekali!"
Sekali lagi napas Suto ditarik dalam-dalam.
Kemudian ia berkata sambil meraih tangan Muria
Wardani, "Kau benar-benar tak mau menikah dengan mereka?"
"Benar!"
"Agaknya kau pun takut berhadapan dengan
Penguasa Teluk Neraka?"
"Ya, memang aku takut. Ilmuku kalah tinggi
dengannya."
"Baiklah! Akan kuhadapi mereka. Tapi, jujurlah
padaku... apakah ayahmu memang sakit?"
"Memang. Dia memang terkena ilmu 'Teluh Cakar
Buntung'. Aku tak bohong untuk yang satu ini!"
"Kalau begitu, cepat kita temui ayahmu dan ada
beberapa hal yang ingin kubicarakan dengan beliau."
Pendekar Mabuk menganggap peristiwa itu suatu
keusilan seorang gadis cantik putri seorang adipati.
Tentu saja gadis tidak memikirkan akibatnya akan parah bagi Suto Sinting. Tetapi
sang pendekar tampan itu tidak terlalu sakit hati. Justru kadang merasa geli
membayangkan gagasan konyol si gadis putri adipati itu.
"Banyak dari mereka yang kutolak, akhirnya
meninggalkan ancaman. Maka siasatku dengan mengaku
sebagai kekasihmu, membuat mereka tidak akan
sembarangan meninggalkan ancaman pada keluargaku.
Setidaknya mereka berpikir seratus kali jika ingin
mencelakai keluargaku, karena calon menantunya adalah pendekar kondang yang
terkenal kesaktiannya itu," tutur Telaga Sunyi dalam perjalanan, dan Suto
Sinting hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
Mereka disambut dengan hormat oleh para punggawa
kadipaten. Wajah-wajah berseri tampak menyebar di
lingkungan istana kadipaten. Mereka merasa gembira
dan bangga setelah melihat sosok pendekar kondang
datang bersama sang putri. Bahkan seorang inang
pengasuh sempat berkata kepada Telaga Sunyi,
"Mudah-mudahan memang inilah jodoh Tuan Putri!
Pegang erat-erat, jangan sampai terbang ke mana-mana.
Nanti hinggap di sembarang tempat, Tuan Putri sendiri
yang akan sakit hatinya."
"Kamu ini ngomong apa, Mbok! Sudah ke belakang
Pendekar Mabuk 040 Asmara Berdarah Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sana!" ujar Telaga Sunyi yang merasa malu kepada Pendekar Mabuk. Sang pendekar
hanya senyum-senyum
saja. Suto Sinting dipertemukan dengan Adipati
Jayengrana. Sang Adipati memang sakit. Bagian kedua
kakinya menderita luka semacam cakar berbisa. Baunya
busuk dan memualkan perut. Luka membusuk seperti
bekas cakaran itu terdapat sampai batas lutut. Padahal, sebelum itu luka
tersebut hanya di bagian kedua jempol kakinya, tapi makin lama semakin merayap
sebanyak itu. Tidak menutup kemungkinan suatu saat akan
mencapai bagian leher dan kepala, akhirnya mati tanpa bisa dimandikan
jenazahnya. "Penyakit ini datang setelah aku mencoba menolak lamaran si Penguasa Teluk
Neraka, ia mengancam akan
membuatku menderita kalau tak mau menikahkan Muria
dengannya. Ternyata inilah ancaman itu," ujar sang Adipati.
"Kanjeng Adipati mau minum tuak?"
"Jika memang itu syarat untuk sembuh, akan
kulakukan!"
"Kita coba saja. Barangkali tuak saya ini dapat
mengusir kekuatan jahat dari Ilmu 'Teluh Cakar
Buntung' itu," kata Suto dengan hormat, penuh
kelembutan dalam bicaranya.
Sang Adipati pun menenggak tuak dari bumbung.
Hanya beberapa teguk saja tuak itu ditelannya, lalu ia
berkata, "Cukup sajalah. Aku tak berani banyak-banyak
karena takut mabuk!"
Luka memborok yang akan membuntungkan kedua
kaki sang Adipati itu ternyata tidak langsung sembuh.
Pendekar Mabuk sedikit cemas. Sampai beberapa waktu
lamanya mereka menunggu ternyata luka itu belum
tampak tanda-tanda akan mengering. Terpaksa Suto
membujuk sang Adipati agar mau minum tuak lebih
banyak lagi. "Demi kesembuhan, tak apalah ayahmu minum tuak
terlalu banyak. Yang penting kedua kakinya tidak
menjadi buntung karena penyakit teluh itu," ujar sang Ibu kepada Telaga Sunyi.
"Baru sekarang ada adipati disuruh minum tuak dari bumbung," ujar seorang
pelayan kepada sesama pelayan.
Mereka menertawakan kejadian aneh itu.
"Barangkali tabib ganteng ini punya cara
penyembuhan tersendiri. Siapa tahu ampuh!" kata
pelayan satunya lagi.
Terlalu banyak minum tuak sang Adipati akhirnya
menderita pusing kepala. Puyeng. Namun sejauh ini luka memborok itu masih belum
kelihatan akan sembuh.
Sampai akhirnya sang Adipati pun tertidur karena
puyengnya. Pendekar Mabuk dan Telaga Sunyi cemas. Mereka
ada di taman belakang sambil membicarakan tentang
kemungkinan-kemungkinan lain. Menurut Suto, hanya
Penguasa Teluk Neraka yang bisa sembuhkan luka
seperti itu, karena ia yakin 'Teluh Cakar Buntung' adalah kiriman dari Penguasa
Teluk Neraka. "Kalau ia diminta menyembuhkan, pasti bersedia asal upahnya dikawinkan
denganmu."
"Upah itulah yang berat bagiku!" kata Telaga Sunyi.
"Jika begitu, aku harus memaksanya agar sembuhkan ayahmu dengan cara keras!
Barangkali aku harus
bertarung dengannya!"
"Jangan. Aku takut kau celaka. Dia berilmu tinggi, Suto!"
"Kita coba saja dulu. Kalau ternyata aku kalah, aku akan mengakui kekalahanku
sebelum ia membunuhku!"
Telaga Sunyi diam mempertimbangkan langkah itu.
Ketika itu, sore mulai datang, senja mulai menjelang.
Sebentar lagi petang akan tiba. Dan seorang pelayan
berlari-lari menghampiri mereka di taman sambil
berkata, "Tuan Putri... Tuan Putri..., Kanjeng Adipati sudah bangun!"
"Biar saja! Memangnya kenapa kalau sudah bangun"
Apakah aku dipanggil beliau?"
"Anu... maksud saya... begitu bangun tidur ternyata lukanya itu sudah hilang.
Lenyap tak berbekas!"
"Hahh..."!" Telaga Sunyi terbelalak girang. Maka mereka segera menghambur ke
kamar sang Adipati, dan
ternyata memang benar. Luka itu hilang, tanpa bekas apa pun. Bahkan bau busuk
yang mestinya menempel di
selimut pun tak ada. Kedaan itu amat menggembirakan
keluarga sang Adipati.
"Terima kasih, Suto! Terima kasih!" Telaga Sunyi girang sekali sampai memeluk
Suto Sinting. Yang
dipeluk hanya cengar-cengir dengan hati berdebar-debar.
Keceriaan mereka menjadi surut ketika seorang
penjaga gerbang menyerahkan sepucuk surat yang
dibawa oleh utusan dari Penguasa Teluk Neraka. Surat dari Penguasa Teluk Neraka
itu mengatakan:
Ada yang ikut campur urusanku. Bagaimanapun juga
aku harus dapatkan putrimu, Kanjeng Adipati. Muria Wardani harus kawin denganku. Nyawa keluargamu
sebagai penggantinya jika sampai perkawinan ini gagal.
"Suto, bagaimana ini"!" Telaga Sunyi cemas membaca surat itu. Suto Sinting diam
sesaat lalu berkata,
"Akan kuselesaikan besok siang!"
Mereka yang mendengar ketegasan itu menjadi
tertegun diam, antara lega dan sangsi. Benarkah besok siang masalah Penguasa
Teluk Neraka dapat
diselesaikan Suto dengan secepat itu"
Sang pendekar tampan berkata, "Maukah kau purapura jadi pengantin denganku, Telaga Sunyi"!"
"Hahhh..."!" Telaga Sunyi atau Muria Wardani justru semakin terbengong mendengar
pertanyaan itu. Sang
Ayah pun terbengong, sedangkan sang Ibu hanya
menggumam, "Mengapa hanya pura-pura?"
SELESAI Pendekar mabuk Segera terbit!!!
PENGUASA TELUK NERAKA
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 8 Candika Dewi Penyebar Maut I X Maling Romantis 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama