Pendekar Mabuk 077 Asmara Janda Liar Bagian 1
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
https://www.facebook.com/Dunia
AbuKeisel Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
1 SEPASANG mata yang memperhatikan langkah
seorang pemuda tampan itu tetap tersembunyi di balik gugusan batu cadas. Celah
batu cadas yang hanya bisa dipakai untuk mengintai itu terletak di atas bukit
yang tak seberapa tinggi. Andai pemilik sepasang mata itu ingin melompat turun
dari atas bukit ke bawah, ia tidak akan mengalami cedera pada kakinya, kecuali
jika ia melompat dan jatuh kepala duluan, mungkin akan patah lehernya.
"Gagah sekali dia. Sudah gagah, tampan, kekar, tampak kalem lagi. Hmm... siapa
dia sebenarnya?"
Penilaian seperti itu jelas datang dari seorang
perempuan. Si pemilik sepasang mata itu ternyata
memang seorang perempuan. Masih muda, sekitar
berusia dua puluh lima tahun. Tapi agaknya sudah tidak perawan lagi. Bukan
karena dilihat dari jalangnya yang melebar, tapi karena wajahnya yang cantik itu
tampak sudah cukup matang dalam pergaulan asmara.
Perempuan itu berpakaian serba kuning gading.
Bajunya tanpa lengan, tapi bagian depannya rapat
sampai batas perut. Untuk belahan dadanya sedikit lebar, dan sepertinya sengaja
memamerkan gumpalan dua
bukit di dada itu. Tentu saja yang dipamerkan yang
sebagian, tidak seluruhnya. Justru karena gumpalan
bukit dadanya tampak sebagian, putih, mulus, sekal
sedikit mengkilap karena keringat. maka pemandangan
seperti itu jelas akan menarik perhatian setiap pria.
Perempuan itu mempunyai rambut panjang, tapi
digulung ke atas sebagian, sisanya berjuntai ke bawah seperti ekor kuda. Sisa
rambut yang berjuntai ke bawah itu panjangnya sampai pundak lewat sedikit. Di
samping cantik dan berhidung bangir, perempuan itu juga
mempunyai bibir yang segar, merekah, bawahnya sedikit tebal tapi indah dan
menimbulkan khayalan untuk
dikecup bagi lawan jenisnya.
Ia mengenakan ikat pinggang dari kain merah yang
dipakai untuk selipkan sebilah pedang bergagang besi putih antikarat. Sarung
pedangnya juga dari logam
antikarat tanpa ukiran apa pun. Tapi ujung gagang
pedang mempunyai ronce-ronce benang merah sebagai
penghias. "Hei, ke mana tadi perginya si tampan"! Kok tiba-tiba lenyap begitu saja" Wah,
rugi besar aku kalau begini caranya, sudah jongkok dari tadi, eeh... kehilangan
pemandangan indah. Hmmm.., ke mana dia, ya?"
Perempuan itu mulai keluar dari balik gugusan batu
cadas. Matanya memandang ke sana-sini mencari si
pemuda berbaju coklat tanpa lengan dengan celana putih lusuh. Perempuan itu tak
tahu bahwa pemuda yang
rambutnya panjang sepundak, lurus dan lembut, tanpa
ikat kepala dan menenteng bumbung tuak tadi adalah
Pendekar Mabuk alias Suto Sinting, murid si Gila Tuak dan Bidadari Jalang.
Perempuan itu tak tahu kalau
Pendekar Mabuk mempunyai jurus 'Gerak Siluman' yang
dapat bergerak secara tiba-tiba dengan kecepatan
menyamai kecepatan sinar.
"Kampret betul pemuda itu, dia membelok ke mana tadi kok tahu-tahu sulit dicari
batang hidungnya. Batang hidungnya saja sulit dicari, apalagi batang anunya.
Maksudku... batang lehernya. Hi, hi, hi, hi...!"
Perempuan berkulit putih mulus itu tertawa sendiri
dalam hatinya. Ia segera naik ke atas gugusan batu cadas karena rasa penasaran
untuk mencari pemuda tampan
yang dilihatnya tadi. Agaknya hati si perempuan merasa senang jika dapat melihat
pemuda itu lebih lama lagi.
"Brengsek! Jangan-jangan dia jin penunggu hutan ini?" gumam si perempuan dengan
suara pelan. "Tapi kalau dia jin penunggu hutan ini, kok gantengnya bukan main,
ya" Kurasa walau seandainya ia peranakan jin, aku tidak keberatan jika diambil
istri olehnya. Tapi... tapi
kalau dia jin, biasanya itunya besar, ya" Maksudku..., suaranya besar. Kalau
bicara bisa bikin telinga budek.
Apalagi kalau mengerang-ngerang saat bercumbu,
wow..., dadaku bisa kempes mendadak karena getaran
suaranya. Hi, hi, hi, hi...."
Perempuan itu tertawa sendiri bukan saja dalam hati, tapi lewat mulut pun ia
keluarkan suara tawa lirihnya.
Pikirannya selalu mengarah pada hal-hal yang bersifat
'ngeres', seakan menandakan bahwa dia amat menyukai
yang 'ngeres-ngeres', misalnya... pasir, debu, dan
sebagainya. "Ah, coba kucari ke arah selatan sana. Soalnya tadi kulihat di selatan ada
sungai. Jangan-jangan pemuda itu mandi di sungai. Kalau benar dia mandi di
sungai, woow..., mendebarkan sekalilah yaow...! Hi, hi, hi...."
Perempuan lincah dan berkesan genit itu segera
bergegas turun dari atas gugusan batu cadas. Wuut...!
Jleeg...! Ia lakukan satu lompatan kecil untuk mencapai tempatnya mengintai
tadi. Tapi baru saja ia ingin
bergegas menuruni bukit cadas tersebut, tiba-tiba ia harus terpekik kecil saat
membalikkan badan.
"Ooh...!" matanya mendelik, mulutnya ternganga kecil bagai memamerkan bibirnya
yang merekah ranum
itu. Mengapa ia terpekik kaget"
Karena ternyata pemuda yang diintainya dan dicaricari tadi sudah ada di belakangnya. Pendekar Mabuk
berdiri dengan tenang dan senyum kalem yang
mendebarkan hati. Perempuan itu jadi salah tingkah,
akhirnya pasang lagak cemberut dan sok galak.
"Mau apa kau, hah"! Mau memperkosaku, ya" Iya"!"
Pendekar Mabuk yang berhidung bangir dan bermata
indah untuk ukuran mata lelaki itu hanya semakin
memperlebar senyum. Si perempuan memaki dalam hati
begitu melihat senyum itu melebar.
"Kucing burik! Ditanya malah tersenyum, bikin
hatiku makin deg-degan saja. Ih... tapi rasanya darahku mengalir dengan indah
begitu melihat senyumannya
semakin lebar lho. Aduuh... enak sekali rasanya
mengalami desiran seperti ini."
Tapi wajah cantik itu masih berlagak ketus dan galak.
Matanya seakan memancarkan permusuhan dan
kebencian. Namun si murid sinting Gila Tuak itu bukan orang bodoh. Ia dapat
mengartikan pancaran pandangan mata yang berpura-pura itu. Maka dengan suara
lembut ia berkata kepada si perempuan.
"Mengapa kau menyangka aku ingin memperkosamu,
Nona?" "Karena kau tiba-tiba muncul di belakangku. Pasti kau mau menyergapku dari
belakang!"
"Kalau aku mau menyergapmu, mengapa harus dari belakang" Apa enaknya" Bukankah
lebih enak menyergap dari depan?"
"Iya juga sih...," ucap perempuan itu dalam hati. Ia
jadi malu sendiri, namun masih mampu tutupi rasa malu itu dengan lagak
angkuhnya. "Justru aku ingin bertanya padamu, Nona," kata Suto Sinting sambil sandarkan
punggungnya di batu cadas
yang menjulang tinggi itu.
"Mau tanya soal apa" Kau kira aku dukun yang bisa mengetahui nasibmu?"
"Aku bukan mau bertanya tentang nasib dan masa
depanku. Karena masa depanku adalah masa bodo
bagiku." "Lalu kau ingin bertanya tentang apa"!" sentaknya dengan dagu dinaikkan sedikit
biar tampak galak dan
judes. "Aku hanya ingin bertanya, mengapa kau sejak tadi mengintaiku dari celah
bebatuan itu" Apa maksudmu
berbuat begitu, Nona?"
Kontan wajah perempuan cantik itu menjadi merah,
seperti kulit bisul mau pecah. Ia gelagapan sesaat dan pandangan matanya menjadi
salah tingkah. "Sialan! Rupanya dia tahu kalau kuperhatikan dari tadi. Ih, malu sekali!" pikir
perempuan itu. "Katakan terus terang, apakah kau ingin
mencelakaiku" Kau ingin membunuhku dari belakang?"
tanya Suto Sinting membuat perempuan itu semakin tak bisa bicara.
"Jika memang begitu maksudmu, silakan
membunuhku dari depan saja. Kau boleh menikamkan
pedangmu di bagian dada, ulu hati, perut, bawah lagi, dan bawah lagi, silakan
pilih!" Semakin malu perempuan itu berhadapan dengan
Suto Sinting. Ia memalingkan wajah memandang arah lain. Hatinya bergumam dalam
nada gerutu. "Sial betul, kenapa aku jadi tak bisa bicara lagi"
Kenapa aku tak bisa berlagak galak lagi" Hmmm... dia tahu-tahu ada di
belakangku, di atas bukit ini, berarti dia mempunyai ilmu cukup tinggi. Yaah...
setidak-tidaknya dua tingkat di bawahkulah...."
Suto Sinting semakin mendesak perempuan itu.
"Mengapa kau diam saja" Mengapa galakmu hilang?"
"Namaku: Sunting Sari."
"Lho, aku tidak tanya namamu kok. Aku tanya,
kenapa kau diam saja" Mengapa tiba-tiba kau sebutkan namamu?"
"Celaka!" geram Sunting Sari dalam hatinya. "Iya, ya... kenapa aku jadi sebutkan
namaku" Aduh, benar-benar kacau otakku kalau begini! Pergi saja, ah!"
Namun belum sempat Sunting Sari pergi, tiba-tiba
datang seberkas sinar biru bundar sebesar kelereng yang melesat dari bawah bukit
menuju punggung Sunting
Sari. Dengan cepat tangan Suto menyambar baju Sunting Sari dan menariknya dalam
pelukan. Bet, wuuut...!
"Ouh...!" pekik Sunting Sari. "Kurang ajar kau...."
Sunting Sari mau menampar Suto, tapi gerakan
tangannya terhenti seketika karena mendengar suara
ledakan yang mematahkan dahan sebuah pohon di
seberang gugusan cadas itu.
Duaar...! Kraak...! Brruuk...!
"Oh, kenapa pohon itu patah"!" ucap Sunting Sari dengan mata terbelalak dan
punggungnya tetap
bersandar di dada Suto Sinting.
"Seseorang ingin membunuhmu dengan sinar biru.
Hampir saja punggungmu yang patah seperti dahan itu!"
"O, ya..."!" Sunting Sari segera tarik diri dan sengaja lepas dari pelukan Suto
Sinting. Ia memandang ke arah belakang, ternyata di bawah sana ada seorang gadis
yang memandangnya dengan kedua tangan bertolak pinggang.
"Setan burik! Rupanya dia yang mau membunuhku
tadi. Hiaaah...!"
Sunting Sari segera melompat dan tubuhnya
melayang turun bagaikan terbang. Tangannya
menyentak saat kakinya mendekati tanah dan dari
sentakan tangannya itu keluar sinar berasap warna
merah. Claaap...! Wweeess...!
Gadis berjubah biru tanpa lengan itu hanya menudingkan telunjuknya. Claaap...! Sinar biru lurus keluar dari telunjuk itu dan
menghantam sinar merahnya
Sunting Sari. Blaaarrr...! Kedua sinar meledak di pertengahan jarak. Sunting
Sari menapakkan kakinya ke tanah. Lalu ia segera
menerjang gadis berambut pendek itu.
"Heiaaat...!"
Gadis berusia sekitar dua puluh tiga tahun itu tak mau menghindar, namun justru
lakukan lompatan ke depan
menyongsong terjangan Sunting Sari. Maka kedua
perempuan itu saling beradu pukulan di udara dengan
gerakan cepat. Plak, plak, plak, blaaarrrr...!
Keduanya sama-sama terpental dan jatuh berdebam di
tanah. Suto Sinting hanya memandang dari atas
gundukan cadas yang membukit itu. Namun dahinya
berkerut tajam karena ia merasa mengenali gadis
berjubah biru dengan pakaian dalam biru tipis transparan itu.
"Kalau tak salah dia adalah si Tenda Biru"! Ooh...
celaka si Sunting Sari. Pasti dia akan babak belur
melawan Tenda Biru yang mendapat ilmu warisan dari
Eyang Tapak Lintang dari Gunung Rangkas itu!" kata Suto dalam hati sambil
mengenang peristiwa mencari
Bunga Kecubung Dadar demi menolong Tenda Biru,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Gadis Tanpa Raga").
Perhitungan Suto Sinting ternyata memang benar.
Tenda Biru berhasil bangkit secepatnya, kemudian
melayang cepat bagaikan terbang dan kakinya
menyambar kepala Sunting Sari. Plook...!
"Aauh...!" Sunting Sari terpental setelah tubuhnya melintir beberapa saat,
memutar cepat dan membentur
dinding cadas. Brruus...!
Tetapi hebatnya, Sunting Sari tak mengalami luka
sedikit pun. Pada bagian pelipisnya tak terdapat warna merah atau memar akibat
tendangan Tenda Biru tadi. Ia
justru melenting ke udara dengan menyentakkan
telunjuk ke tanah. Wuuut...! Di sana ia bersalto satu kali, kemudian hinggap di
atas sebatang dahan. Jleeg...! Dari atas pohon itu ia lepaskan pukulan bersinar
merah lurus bagaikan tombak. Slaaap...!
Tenda Biru berlutut satu kali, telapak tangannya
menghadang sinar merah itu dalam keadaan sudah
membara biru. Sinar merah lurus itu menghantam
telapak tangan yang membara biru dengan telak sekali.
Jlab...! Blegaaaarr...!
Ledakan dahsyat mengguncangkan alam sekitar
mereka, termasuk pepohonan bergetar dan batu-batu pun ikut bergetar. Bahkan
bukit cadas itu mengalami longsor sedikit di salah satu sisinya membuat Suto
Sinting terpaksa cepat-cepat berkelebat turun dari atas bukit tersebut.
Zlaaap...! Dalam sekejap Suto Sinting sudah tiba di pertengahan jarak kedua perempuan
tersebut. Ia memandang ke kiri, ternyata Sunting Sari jatuh terkapar dengan
mulut
Pendekar Mabuk 077 Asmara Janda Liar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berdarah akibat gelombang ledakan yang menghantam
dadanya tadi. Suto menengok ke kanan, tampak si Tenda Biru jatuh terduduk dengan
wajah pucat dan tangannya bengkak membiru. Namun kedua perempuan itu sama-sama
berusaha untuk lekas berdiri untuk tunjukkan
bahwa diri mereka masih tahan lakukan pertarungan
lagi. "Hentikan! Hentikan semua ini!" seru Suto Sinting sambil menengok ke kanan-kiri.
"Rupanya kau sudah terpikat oleh si perempuan lacur itu, Suto!" sentak Tenda
Biru sambil menuding Sunting Sari.
"Tenda Biru, dengarkan penjelasanku...."
"Aku tak perlu penjelasanmu! Aku tak suka melihat kau akrab dengannya!
Ketahuilah, dia adalah perempuan yang dari kemarin kukejar karena nyaris celakai
sahabatmu, si Panji Klobot!"
"Hahhh..."!" Suto Sinting terkejut. "Sekarang di mana Panji Klobot"!"
"Dirawat di pondok si Kusir Hantu! Tapi kurasa kau tak perlu datang menengoknya!
Erami saja perempuan
itu dan lupakan tentang kami!"
"Tenda Biru...," seruan Suto Sinting itu terhenti, langkah Suto pun diurungkan
karena tiba-tiba Tenda
Biru melesat naik ke atas bukit dalam keadaan terbang mundur. Dari atas sana
Tenda Biru berseru.
"Perempuan jalang..., jika kau masih tetap ingin membunuh Panji Klobot, kau akan
berhadapan denganku dan akan kehilangan nyawa! Ini peringatan
terakhir bagimu! Sekalipun kau merasa didukung oleh Suto Sinting, si Pendekar
Mabuk itu, tapi aku tak akan gentar melawannya!!"
"Biadab kau...!" bentak Sunting Sari sambil melepaskan pukulan bersinar hijau
seperti bintang.
Claap...! Suto Sinting berkelebat dan menangkis pukulan sinar
hijau itu dengan bumbung tuaknya. Teeb...! Wuuuss...!
Sinar hijau itu berbalik arah dalam keadaan lebih cepat dan lebih besar lagi
dari ukuran aslinya.
Blegeeerr...! Sebuah pohon besar terhantam sinar hijau itu. Hampir saja Sunting Sari mengalami
korban pukulannya sendiri yang berbalik arah itu. Untung ia segera melesat
tinggalkan tempat berdirinya itu, sehingga pohon besar itulah yang akhirnya
pecah menjadi berkeping. Sunting Sari terbelalak kaget dan terheran-heran, sebab
biasanya sinar hijaunya itu tak sampai sedahsyat itu.
"Tenda Bi...," Suto terbungkam seketika, karena Tenda Biru ternyata sudah tidak
ada di tempatnya. "Sial!
Dia telah pergi!"
"Rupanya kau bernama Suto Sinting, yang dikenal dengan julukan Pendekar Mabuk
itu?" ujar Sunting Sari.
"Benar. Apakah kau pernah mendengar namaku?"
"Banyak mulut perempuan binal membicarakan
tentang dirimu! Hmm... ternyata hanya seperti ini
orangnya!" sambil Sunting Sari mencibir, seakan meremehkan nama Pendekar Mabuk.
Perempuan itu mendekati Suto dengan wajah dibuat
sinis. "Aku hanya mempunyai nama yang...."
Brruuk...! Tiba-tiba Sunting Sari jatuh berlutut di depan Suto.
Pendekar Mabuk terkejut dan terlambat menyambar
tubuh itu. Napas Sunting Sari terengah-engah, mulutnya mengeluarkan darah kental
yang semakin mencemaskan
hati Suto. "Apa yang.terjadi pada dirimu, Sunting Sari"!"
"Ak... aku terluka dalam akibat pukulan gadis
jahanam itu!"
"Minumlah tuakku! Lekas minum sebelum lukamu
menjadi lebih parah lagi!"
Mulanya Sunting Sari menolak tawaran minum tuak,
sebab ia belum tahu bahwa tuak itu adalah tuak sakti berkhasiat tinggi untuk
menyembuhkan luka maupun
penyakit akibat racun. Tapi setelah dibujuk beberapa kali dan Sunting Sari
merasa semakin banyak memuntahkan
darah kental, maka ia pun mau meneguk tuak tersebut.
Ternyata beberapa saat setelah meneguk tuak, ia
merasakan ada perubahan pada luka dalamnya. Dadanya
tak terasa panas, pernapasannya pun menjadi longgar, bahkan tubuhnya menjadi
terasa segar, lebih segar dari sebelum bertemu dengan Suto Sinting.
"Luar biasa! Ternyata tuaknya mempunyai kekuatan gaib yang sangat menakjubkan,"
gumam Sunting Sari dalam hatinya.
"Sunting Sari, benarkah kau akan membunuh Panji Klobot?" tanya Suto setelah
ingat kata-kata Tenda Biru tadi.
Perempuan yang merasa sudah diselamatkan jiwanya
dari luka berbahaya itu akhirnya bersikap ramah dan
tidak berlagak angkuh lagi. Ia berkata dengan suara rendah.
"Aku disuruh menangkap Panji Klobot. Jika tak bisa ditangkap, harus dibunuh!
Begitulah perintah yang
kuterima."
"Siapa yang memberimu perintah begitu?"
"Ketuaku...."
"Ketua perguruan?" sergah Suto.
"Ketua Partaiku."
"O, kau tergabung dalam partai apa?"
"Partai Janda Liar!" jawabnya sedikit bernada tegas, seakan membanggakan
partainya. Pendekar Mabuk terkejut, karena ia tahu bahwa
Ketua Partai Janda Liar adalah si Selimut Senja. Ia
pernah berurusan dengan Selimut Senja gara-gara
mencuri panah emas untuk hancurkan kabut sinar ungu
yang menutupi matahari dan membuat wajah perempuan
berilmu awet muda itu menjadi tua. Untuk mencuri
panah tersebut, ia mengaku sebagai Panji Klobot, karena hal itu adalah siasat
yang digunakan Suto bersama Panji Klobot.
Selimut Senja yang bergairah kepada Suto itu
akhirnya beranggapan bahwa ia sedang bergairah kepada Panji Klobot dan memburu
si Panji Klobot. Padahal
Panji Klobot sendiri bukan tokoh sakti. Ia tidak mempunyai ilmu apa-apa dan
sekarang sedang dididik
oleh Tenda Biru. Tak heran jika Ketua Partai Janda Liar itu sekarang memburu
Panji Klobot, karena setahunya
Suto bernama Panji Klobot, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Bencana Selaput Iblis").
"Maukah kau menghentikan pengejaranmu terhadap
Panji Klobot?" tanya Suto kepada Sunting Sari.
Perempuan yang kini telah sehat itu menggelengkan
kepala tegas-tegas.
"Aku harus bisa menangkap atau membunuh Panji
Klobot!" Suto hanya membatin, "Celaka! Berarti kau harus berhadapan denganku, Sunting
Sari! Adakah jalan lain untuk menghindari pertikaianku dengan Sunting Sari"
Bingung juga aku jadinya kalau begini. Yang jelas, tak mungkin aku akan diam
saja jika nyawa Panji Klobot
terancam bahaya!"
Pendekar Mabuk tertegun beberapa saat.
* * * 2 SEBETULNYA Suto ingin meninggalkan Sunting
Sari karena ia tak ingin berhadapan dengan perempuan itu dalam perkara
pengejaran terhadap diri Panji Klobot.
Tetapi sebelum Suto melangkah pergi, perempuan itu
perdengarkan suaranya yang bernada lirih.
"Suto, dapatkah kau membantuku untuk satu hal yang amat rahasia?"
Pendekar Mabuk kerutkan dahinya ketika
memandang Sunting Sari.
"Membantumu dalam hal apa?"
"Menggulingkan kedudukan Ketua Janda Liar."
"Hah..."!" Suto terperanjat mendengarnya.
Sunting Sari ingin menjelaskan maksud ucapannya
itu, tetapi tiba-tiba mereka mendengar suara gemuruh dari arah barat. Pendekar
Mabuk lebih terperanjat lagi ketika melihat langit barat menjadi hitam dan hujan
turun dengan deras. Hujan itu berwarna merah dan
sedang bergerak menuju tempat mereka. Sunting Sari
juga memandang ke arah barat, tapi ia tidak setegang wajah Suto. Ia hanya merasa
heran melihat hujan berwarna merah.
"Cepat kita cari tempat berlindung, Sari!" sambil Suto menarik tangan perempuan
itu. "Hujan aneh apa itu, Suto?"
"Hujan berdarah! Cepat berteduh, jangan sampai kau terkena tetesan air hujan
itu!" Sunting Sari semakin heran melihat Suto tampak
panik. Bahkan pendekar tampan itu menyambar tubuh
Sunting Sari dan memanggulnya, kemudian bergerak
cepat menggunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya.
Zlaap, zlaaap, zlaaap...!
Dalam sekejap mereka sudah sampai di lereng sebuah
bukit. Hujan berdarah tak sempat mengejar mereka.
Namun hujan itu tetap bergerak seakan ingin menyapu
seluruh permukaan bumi.
"Mengapa kau panik sekali?" tanya Sunting Sari setelah mereka berada di sebuah
gua. "Hujan itu hujan berdarah yang mengandung racun dapat membusukkan tulang.
Kulitmu akan melepuh jika
terkena tetesan hujan berdarah itu, dan kau akan menjadi mayat yang membusuk
seperti bubur. Hujan itu adalah
hujan kiriman dari seseorang yang berilmu tinggi."
"Siapa orang itu?"
"Pangkar Soma, murid mendiang Tengkuk Cadas
yang mempunyai jurus 'Hujan Petaka'. Aku pernah
mengalami hal ini saat membantu membebaskan Tenda
Biru dari kekuatan sihir Nyai Ronggeng Iblis."
Suto segera menenggak tuaknya beberapa reguk.
Sunting Sari disarankan untuk minum tuak juga agar
sewaktu-waktu terkena percikan air hujan berdarah itu kulitnya tak akan melepuh.
Perempuan itu menurut
setelah ia tahu sendiri kesaktian tuak Suto yang dapat membuat seluruh lukanya
lenyap dalam sekejap tadi.
"Aku akan menghantam mendung itu agar hujan
berdarah tidak membawa korban tak bersalah terlalu
banyak. Aku yakin pasti di sebelah barat sudah ada
korban yang sebenarnya tak punya masalah apa-apa
dengan si Pangkar Soma."
"Apakah kau bisa menghentikan hujan itu?"
"Mudah-mudahan...," jawab Suto sambil bergegas keluar gua. Kala itu hujan sedang
bergerak ke arahnya.
Pendekar Mabuk cepat sentakkan tangannya ke langit
dan keluarkan sinar hijau yang melesat cepat
menghantam awan hitam itu. Slaaap...!
Jegaaarrr...! Slaaaap...! Jegaaarrrr...! Dua kali jurus 'Pukulan Guntur Perkasa' dilepaskan
oleh Pendekar Mabuk, ternyata sudah mampu
memecahkan gumpalan mendung hitam di langit. Hujan
berdarah pun berhenti seketika. Tetapi dari langit timur muncul lagi gumpalan
mendung yang bergerak ke barat.
Namun gumpalan mendung itu menurunkan hujan biasa
yang bagaimanapun lebih baik dihindari daripada masuk angin. Maka Suto Sinting
pun masuk ke dalam gua lagi.
"Hebat sekali!" gumam Sunting Sari saat Suto Sinting memasuki gua yang tak
seberapa lebar itu. Pendekar
Mabuk hanya sunggingkan senyum tipis yang
memancarkan daya pesona tinggi, menggetarkan hati
Sunting Sari. "Sekarang yang turun hujan biasa. Syukurlah...
setidaknya bisa menyingkirkan bercak-bercak merah
darah yang membasahi alam sebelah barat tadi."
"Dapatkah kau menghentikan hujan biasa ini?"
"Mudah-mudahan bisa. Tapi sengaja kubiarkan hujan turun, di samping untuk
membersihkan bekas hujan
darah juga untuk membasahi hutan dan persawahan.
Maklum, sudah cukup lama hujan tak turun, sehingga
sawah dan ladang para petani dilanda kekeringan."
Pendekar Mabuk memandang hujan sebentar dengan
senyum tipis masih mengembang di bibirnya yang
termasuk segar untuk ukuran bibir seorang lelaki.
Sunting Sari diam-diam memperhatikan penuh rasa
kagum dan bangga bisa berada dalam satu gua bersama
Pendekar Mabuk yang kondang itu.
"O, ya... tadi kau bilang akan menggulingkan
kedudukan Ketua Partai Janda Liar itu. Apa alasanmu
ingin bertindak begitu, Sunting Sari?"
"Dia membunuh nenekku, aku harus membalasnya,
tapi Selimut Senja mempunyai ilmu lebih tinggi dariku dan aku tak bisa kalahkan
dia." "Siapa nenekmu itu?"
"Nyai Watu Wadon."
"Ooh..."!" Suto Sinting terperanjat lagi.
Dalam benak Suto segera terbayang wajah Nyai Watu
Wadon yang sudah tua tapi masih lincah dan tegar itu.
Suto pernah berhadapan melawan Nyai Watu Wadon
ketika nenek berjubah abu-abu itu ingin membalas
dendam kepada Bidadari Jalang; Bibi Gurunya Suto.
Nyai Watu Wadon sempat terluka oleh pukulan Suto
dan ia segera melarikan diri. Tetapi di perjalanan Nyai
Watu Wadon dicegat oleh Selimut Senja dan terjadilah pertarungan yang membuat
Ketua Partai Janda Liar itu tewas, dan Selimut Senja dinobatkan sebagai Ketua
Partai Janda Liar yang baru, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Bencana Selaput Iblis").
Sunting Sari lanjutkan penjelasannya sambil duduk di atas sebuah batu
bersebelahan dengan tempat berdirinya Suto Sinting. Wajahnya sesekali memandang
ke arah Suto, sesekali sengaja menatap rintik hujan yang turun bersama kabut itu.
"Aku menjadi anggota Partai Janda Liar secara
kebetulan saja. Nenekku membentuk Partai Janda Liar
ketika aku pulang kembali kepadanya karena disiasiakan oleh suamiku. Setelah Nenek Watu Wadon
membunuh mantan suamiku itu, ia membentuk Partai
Janda Liar bersama beberapa perempuan yang
dikecewakan oleh kaum lelaki."
"Kalau begitu kau sudah pernah menikah?"
"Ya, aku menikah dengan seorang putra adipati
Johor. Usia pernikahanku hanya delapan bulan, dan
kami belum dikaruniai keturunan."
"Bagaimana dengan kedua orangtuamu dan sanak
saudaramu lainnya?"
Pendekar Mabuk 077 Asmara Janda Liar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kedua orangtuaku sudah tiada sebelum aku
menikah. Aku mempunyai seorang kakak dan seorang
adik, keduanya perempuan. Tapi entah di mana mereka
sekarang. Kami berpisah sejak kecil, ketika desa kami dilanda banjir besar."
Pendekar Mabuk menarik napas karena digelitik oleh
rasa iba kisah itu. Tetapi rasa iba itu tidak ditonjolkan, sehingga kesedihan di
hati Sunting Sari tidak semakin mendalam. Perempuan itu bahkan masih mampu
teruskan kisahnya dengan suara jelas.
"Aku bergabung dengan nenekku, dan mendapat ilmu darinya sebagai tambahan ilmu
yang sudah kudapatkan
dari mendiang guruku sendiri. Dalam hidupku, kala itu aku merasa hanya punya
satu saudara, yaitu seorang
nenek. Dan aku membantu nenekku dalam membentuk
Partai Janda Liar, juga membantu dalam setiap
pembalasan dendam kepada mereka yang lukai hati
kami." "Apakah Selimut Senja tak tahu kalau kau adalah cucu Nyai Watu Wadon?" sela
Suto. "Dia tahu, dan semua anggota tahu bahwa aku adalah cucu Nyai Watu Wadon. Tapi
Selimut Senja sangat
meremehkan diriku. Karena dia pikir jika aku berontak maka dengan mudahnya ia
dapat habisi nyawaku.
Sementara aku sendiri berpikir, jika nenekku saja
tumbang melawannya, apalagi aku" Selimut Senja
memang berilmu tinggi, apalagi setelah ia menguasai
ilmu 'Kulit Baja', seakan tak ada anggota kami yang
sanggup melawannya."
Pendekar Mabuk manggut-manggut. Ia terkenang saat pertemuannya dengan Begawan
Parang Giri, kakeknya
Selimut Senja. Pertemuan itu terjadi saat Suto Sinting mengembalikan panah emas
yang pernah dicuri oleh
Selimut Senja dari tangan kakeknya. Saat pertemuan itu, Begawan Parang Giri
tampak bersyukur sekali kepada
Suto atas kembalinya panah emas yang dinamakan
pusaka 'Jemparing Malaikat' itu.
"Aku sudah menduga, bahwa kau akan tampil dalam masalah 'Selaput Iblis' dan
kulihat sendiri hatimu saat mencuri panah ini dari tangan Selimut Senja. Hatimu
tulus tanpa niat untuk memiliki. Maka kutuntun hatimu untuk datang padaku
menyerahkan pusaka ini, Nak."
"Mohon maaf, Eyang Begawan, karena saya
menggunakan pusaka ini tanpa seizin Eyang Begawan
lebih dulu."
"Tak apa, Nak. Karena keadaan menuntutmu harus
berbuat begitu dan aku harus mengikhlaskannya. Kurasa aku lebih beruntung dalam
hal ini, karena pusaka ini telah kembali padaku. Tetapi kitab pusakaku belum
bisa kembali dan aku sengaja tidak mengejarnya."
"Haruskah saya merebut kitab pusaka itu dari tangan cucu Eyang itu?"
"Tidak perlu! Karena di dalam kitab pusaka itu ada jurus jebakan yang dapat
celakakan diri orang yang
mencurinya. Cepat atau lambat, Selimut Senja akan
menemui ajalnya karena jurus jebakan dalam kitab
tersebut."
"Tapi cucu Eyang dapat menyebarkan bencana jika sikapnya masih sesat seperti
itu. Mungkin sebagian dari ilmu yang didapat melalui kitab pusaka itu digunakan
untuk celakai orang lain. Apakah Eyang tidak merasa
bertanggung jawab atas segala keagungan jurus-jurus di dalam kitab tersebut?"
"Nak, Selimut Senja itu sudah bukan kuanggap
cucuku lagi. Kalau kau berkesempatan melenyapkan
dirinya, lakukan saja dan aku tidak akan menuntutmu.
Enam cucu lainnya, termasuk kakaknya Selimut Senja
juga sudah rela kehilangan Selimut Senja yang selama ini mencoreng moreng nama
keluarga. Hanya saja,
keenam saudara Selimut Senja berlagak tidak tahumenahu tentang sepak terjang Selimut Senja, karena
mereka tidak kuat menahan rasa malu di depan para
tokoh aliran putih."
Percakapan itu masih terngiang di telinga Suto walau sudah beberapa waktu
berselang. Renungan demi
renungan membuat Suto berkesimpulan bahwa Selimut
Senja sudah dianggap mati oleh kakeknya dan para
sanak saudaranya. Rupanya hanya Selimut Senja yang
masuk aliran hitam dari sekian sanak saudaranya yang beraliran putih.
Renungan itu buyar karena suara Sunting Sari
terdengar jelas, sebab perempuan cantik itu sengaja
dekati Suto dan bicara beradu muka dalam jarak kurang dari selangkah.
"Suto, jika kau bisa membantuku menggulingkan
kekuasaan Selimut Senja, yang sekarang menamakan
dirinya Janda Liar itu, maka apa pun yang kau inginkan dariku akan kuturuti."
Suto hanya tersenyum tipis dengan mata memandang
lembut kepada Sunting Sari. Perempuan itu berkedipkedip saat beradu pandang bagai menampakkan
kepasrahannya kepada Suto sambil bibirnya yang
sensual itu sedikit direkahkan hingga tampak
menantang. "Aku benar-benar ingin mendapat dukungan dari
orang berilmu tinggl sepertimu untuk menggulingkan
Janda Liar itu. Katakan, apa yang kau harap nanti dan sekarang dariku, semuanya
akan kupenuhi selama aku
mampu melakukannya, Suto."
Pendekar Mabuk mengulurkan tangan dan membelai
rambut kepala Sunting Sari yang tampak berwajah
penuh harap itu. Dengan kalem dan suara lembut Suto
berkata kepadanya,
"Akan kubantu kau, tapi bebaskan Panji Klobot dari pengejaranmu, karena
sesungguhnya kau salah kejar!"
Setelah diam sesaat, Sunting Sari menjawab,
"Baiklah. Aku tak akan mengejar Panji Klobot lagi. Tapi bagaimana dengan yang
lain?" "Maksudmu yang lain siapa?"
"Ada beberapa orang lagi yang ditugaskan untuk
menangkap atau membunuh Panji Klobot. Sebab bagi
yang berhasil menangkap Panji Klobot akan mendapat
hadiah istimewa dari Selimut Senja, yaitu diangkat
sebagai wakilnya dan diizinkan mempelajari ilmu 'Kulit Baja'."
"O, begitu?"
Sunting Sari anggukkan kepala. "Aku sangat bernafsu untuk pelajari ilmu 'Kulit
Baja' itu, karena jika aku sudah bisa kuasai ilmu tersebut, maka akan kugunakan
untuk melawannya, membalas dendam atas kematian
nenekku." Suto tertawa pelan seperti orang menggumam.
Tangannya semakin mengusap-usap tengkuk kepala
Sunting Sari dengan tanpa ragu lagi.
"Pembalasan itu tidak selalu datang dari tangan kita sendiri, Sari," ujar Suto
dengan tegas. "Pembalasan akan datang dengan sendirinya tanpa harus kita buru.
Percayalah, Selimut Senja akan menerima ganjarannya
sendiri jika waktunya telah tiba."
"Tapi aku ingin buru-buru dia disingkirkan dari Partai Janda Liar, Suto. Karena
di bawah kepemimpinannya
Partai Janda Liar telah mengalami penyimpangan yang
cukup jauh."
"Penyimpangan bagaimana maksudmu?"
Sunting Sari memandang hujan sebentar. Ternyata
hujan masih deras dan belum tampak ingin mereda.
Dalam pertimbangannya, akhirnya Sunting Sari
memutuskan untuk memperjelas keadaan di tubuh Partai Janda Liar itu.
"Pada mulanya Partai Janda Liar dibentuk untuk
melampiaskan dendam kepada kaum lelaki yang
menyakiti hati kami dengan semena-mena. Dalam kitab
ketentuan yang sudah disepakati bersama, anggota Janda Liar boleh melakukan
tindakan sekeji apa pun asal demi menegakkan harga diri kaum wanita, menjunjung
tinggi martabat kaum wanita, dan menunjukkan kepada kaum
pria di mana pun berada bahwa wanita pun mampu
setangguh kaum pria."
"Hmm..., sebuah tujuan yang mulia tapi mungkin langkahnya kurang tepat.
Lalu...?" "Lalu sekarang di bawah kepemimpinan Selimut
Senja, tujuan itu telah diubah secara tak langsung. Siapa pun yang menjadi
anggota Partai Janda Liar, harus
mampu memikat hati kaum pria, mempermainkan
cintanya, dan memperbudak kaum pria sebagai tenaga
pemuas gairah kami. Bahkan Selimut Senja memberi
perintah kepada kami agar jangan segan-segan
membunuh seorang lelaki yang telah memuaskan gairah
kami, bila perlu lelaki itu dibuat tergila-gila dulu, setelah itu baru dibunuh."
"Kejam sekali!" ucap Suto bernada geram karena merasa kaumnya direndahkan oleh
Partai Janda Liar.
"Begitulah menurut Selimut Senja cara membalas
dendam terhadap kaum pria," tambah Sunting Senja.
"Maka di pesanggrahan, sekarang ini banyak para anggota yang membawa kaum pria
untuk bercumbu di
kamar masing-masing. Kadang pria itu dipakai oleh dua-tiga orang sebagai budak
gairah mereka. Jika pria itu menolak, akan dipaksa, jika paksaan sudah berhasil,
pria itu akan dibunuh dan mayatnya dibuang ke Jurang
Celaka, tak jauh dari pesanggrahan kami di Lembah Liar itu."
Pendekar Mabuk termenung beberapa saat. Ia merasa mulai perlu bergerak untuk
hentikan kemaksiatan para anggota Partai Janda Liar itu. Tetapi dia ingin
bergerak bukan berdasarkan bujukan Sunting Sari, ia harus punya alasan lain
untuk lakukan hal itu, di antaranya
menyelamatkan nyawa Panji Klobot atau melindungi
kaum pria yang diperdaya oleh Partai Janda Liar.
"Ada satu hal yang ingin kutanyakan padamu, Suto."
"Tentang apa?"
Sunting Sari meraba dada Suto Sinting yang terbuka
dari bajunya itu. Dengan ujung-ujung jarinya ia
menyentuh dada itu, merayap pelan-pelan bagai sedang menikmati sentuhan dada
perkasa. "Kau sudah punya kekasih, Suto?"
"Calon istri!" jawab Suto mempertegas. "Aku sudah mempunyai calon istri, yaitu
Ratu di negeri Puri
Gerbang Surgawi yang ada di Pulau Serindu. Dyah
Sariningrum namanya, dan Gusti Mahkota Ratu
gelarnya."
"Oh, sayang sekali...," ucapan itu sangat pelan, hampir saja tak terdengar oleh
Suto. Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum tipis
melihat wajah memendam kekecewaan.
"Mengapa kau tanyakan hal itu, Sari?"
"Hmmm... ehh... tidak, tidak apa-apa," Sunting Sari gugup. "Aku... aku hanya
ingin tahu, apakah Panji Klobot itu saudaranya Dyah Sariningrum atau hanya
seorang sahabat biasa bagimu?"
Suto melebarkan senyum, karena ia tahu Sunting Sari
mengalihkan pembicaraan sebagai penutup rasa
kecewanya. Namun, Pendekar Mabuk tetap melayani
pertanyaan itu dengan kalem, walau jari-jemari Sunting Sari merayap di dada
terus dan sesekali turun hingga ke perut.
"Panji Klobot hanya seorang sahabat. Dia bahkan orang yang tidak mempunyai ilmu
apa-apa kecuali
'Tendangan Cuci Perut' pemberian pamannya itu. Dia
bocah lugu dan tidak mengerti apa-apa di dunia
persilatan ini, Sari."
"Mengapa si Selimut Senja sangat marah kepadanya dan kabarnya Panji Klobot telah
mencuri sebuah pusaka milik Selimut Senja berupa panah emas."
Suto tertawa pendek mirip gumam. "Apa lagi yang dikatakan oleh Selimut Senja?"
"Katanya, Panji Klobot itu pemuda yang tampan,
gagah, dan perkasa. Sebenarnya Selimut Senja sangat
bergairah pada Panji Klobot. Tetapi karena Panji Klobot berhasil memperdayanya
dan mencuri panah emas,
Selimut Senja menjadi benci kepada Panji Klobot. Jika kami bisa menangkap Panji
Klobot hidup-hidup, maka
Selimut Senja akan memanfaatkan dulu sebagai budak
pemuas gairahnya, setelah itu baru dibunuh. Tapi jika kami pulang membawa kepala
Panji Klobot, sang Ketua
juga merasa senang dan akan merebus kepala itu sebagai pelampiasan dendamnya."
Pendekar Mabuk tarik napas dalam satu senyum
menawan. Mata perempuan itu memperhatikan
senyuman tersebut tanpa berkedip, hatinya kian berdebar indah kala menikmati
senyuman yang begitu menawan
hati itu. "Sebenarnya yang diburu Selimut Senja adalah
diriku," ujar Suto Sinting membuat dahi Sunting Sari berkerut. Tanpa menunggu
pertanyaan Sunting Sari,
Suto lebih dulu berkata melanjutkan penjelasannya itu.
"Akulah orang yang masuk ke kamar Selimut Senja dan membuat gairah Selimut Senja
meluap-luap. Aku
mengaku bernama Panji Klobot, dia tidak tahu kalau aku adalah Suto Sinting, si
Pendekar Mabuk. Aku bicara
tentang 'Selaput Iblis' dan ia sempat keluarkan panah emasnya sebagai imbalan
akan menghancurkan 'Selaput
Iblis' jika aku mau melayani gairahnya...."
"Lalu kau melayaninya dengan hangat, bukan?"
Suto tertawa pendek dan pelan.
"Aku sengaja membakar gairahnya saja, dan tak mau melayaninya karena aku hanya
membutuhkan panah
emas itu. Aku berlagak lari keluar dari kamar dan
menjauhi pesanggrahan. Lalu dia mengejarku demi
dapatkan puncak cumbuan hangatku. Pada saat itulah,
aku berkelebat masuk kembali ke pesanggrahan dan ke
kamarnya tanpa ada yang mengetahui. Lalu kucuri panah emas itu dan kugunakan
untuk menghancurkan 'Selaput
Iblis'. Setelah itu, panah emas itu kukembalikan kepada pemilik sebenarnya,
yaitu Begawan Parang Giri,
kakeknya Selimut Senja."
"Kau sempat berciuman dengannya?"
"Ya," jawab Suto sambil menahan geli.
"Kau... kau menyukai cumbuan itu?"
"Hmmm... sebagai seorang lelaki, wajar saja kalau menyukai ciuman perempuan
secantik dia."
"Apakah kau tak ingin bercumbu dengan perempuan lain?"
Pertanyaan itu mulai mendebarkan hati Suto sebab ia
tahu arah pertanyaan tersebut. Tapi Suto mencoba untuk bertahan dan hanya
tertawa pelan ketika Sunting Sari menatapnya dengan tangan masih meraba di
sekitar dada sampai perut. "Kau tak ingin bercumbu dengan perempuan lain,
Suto?" ulangnya dengan lirih.
"Jika ya kenapa, dan jika tidak kenapa pula?"
"Jika ya... aku senang sekali."
"Mengapa senang sekali?"
"Karena aku... aku... aku...."
Pendekar Mabuk sengaja memandang dengan
Pendekar Mabuk 077 Asmara Janda Liar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
senyum menggoda. Perempuan itu salah tingkah karena
deburan keras mulai melanda dadanya, sebagai tanda
bahwa gairahnya mulai berkobar-kobar. Wajahnya
sedikit tengadah dan disodorkan kepada Suto Sinting.
Tanpa ragu-ragu lagi, Suto Sinting akhirnya mengecup bibir itu dengan kecupan
lembut sekali. Sunting Sari bagai diterbangkan tinggi-tinggi oleh kecupan itu
hingga lidahnya mulai menari-nari melawan kecupan tersebut.
Sunting Sari akhirnya melumat bibir Suto dengan
penuh gairah, tanpa rasa malu dan sungkan lagi. Bahkan kecupan itu merayap
sampai ke leher Suto dan
mencekam beberapa kali di sana. Sunting Sari semakin bergairah lagi. Kini dada
Suto Sinting disapu habis oleh kecupan bibirnya. Bahkan semakin lama semakin
turun ke bawah dan perempuan itu nekat memberikan
kenikmatan dengan mulutnya agar Suto lebih buas
melawan asmaranya.
Hujan di luar gua justru menjadi terang, dan suara
Suto yang mengerang panjang itu terdengar jelas karena tak ada gemuruh hujan
lagi. Suara itu membuat Sunting Sari semakin bersemangat menciptakan keindahan
di tubuh Suto dengan mulutnya.
Sayang sekali tiba-tiba terdengar suara ledakan
menggelegar yang merontokkan pasir-pasir di langitlangit gua tersebut. Kemesraan itu terputus seketika walau terasa mengganjal
sesak di ulu hati keduanya.
"Ada yang bertarung tak jauh dari gua ini!" ujar Suto Sinting menegang, cepat
melupakan kemesraan yang
baru saja diperolehnya dari kelincahan lidah Sunting Sari tadi.
"Biarkan mereka bertarung, Suto. Kita bertarung sendiri di sini...," rengek
Sunting Sari sambil menggenggam tangan Suto agar tak pergi.
"Mana mungkin kita bisa bertarung asmara di sini kalau nanti akan timbul ledakan
yang akan meruntuhkan atap gua ini" Kita bisa mati dalam keadaan gancet, kan
memalukan itu!"
"Oh, Suto... kau mau ke mana?"
"Mau melihat siapa yang bertarung di sekitar tempat ini!" ujar Suto sambil
segera bergegas pergi. Tapi baru sampai pintu gua ia terhenti lagi karena seruan
Sunting Sari. "Suto... tunggu! Celanamu ketinggalan...!"
"Wah, kacau!" sentak Suto sambil merapatkan kaki dan memandang ke bawah.
Terdengar suara Sunting Sari tertawa cekikikan
karena berhasil mengejutkan Suto dengan tipuannya.
"Sial kau! Kupikir celanaku benar-benar
ketinggalan!" gerutu Suto Sinting sambil merapikan ikat pinggangnya, karena
celana itu sebenarnya sudah
dikenakan hanya kurang rapi sedikit.
* * * 3 PERTARUNGAN itu terjadi di tanah datar berpohon
jarang. Pendekar Mabuk segera merapatkan diri di balik persembunyiannya di atas
pohon, karena ia mengenali
kedua tokoh yang bertarung itu. Sedangkan Sunting Sari yang segera menyusul naik
ke pohon dengan satu
lompatan, segera berbisik di samping Suto Sinting
bernada tegang.
"Bukankah itu si Janda Liar sendiri, alias Selimut Senja"!"
"Ya, aku tahu persis tentang dia," ujar Suto Sinting sambil memandang ke arah
seorang perempuan cantik,
montok, dan sexy yang mengenakan jubah kuning
bunga-bunga merah-hitam. Perempuan berkutang kuning
dari kain tipis dengan bawahan kain kuning tipis
berbelahan dua kanan-kiri itu tampak bergerak dengan gemulai bagai sedang menari
di depan lawannya.
"Lawannya itu siapa?" bisik Sunting Sari sambil berpegangan pundak Suto.
"Dia yang bernama Pangkar Soma, yang tadi
mendatangkan hujan darah sangat berbahaya bagi siapa saja kecuali dirinya itu."
"Ooo.... Siapa Pangkar Soma itu?"
Sambil memandang lelaki berusia sekitar enam puluh
lima tahun yang rambutnya telah putih, meriap tanpa
ikat kepala, badan agak gemuk ditutup jubah dan celana merah, Suto Sinting
jelaskan sedikit tentang Pangkar Soma.
"Pangkar Soma itu muridnya mendiang Tengkuk
Cadas. Ilmu yang diperolehnya dari Tengkuk Cadas itu jika digabungkan dengan
ilmunya tokoh penguasa Pulau Siluman yang bernama Nyai Ronggeng Iblis, akan
menjadi suatu kekuatan maha dahsyat. Pangkar Soma
seharusnya mendapat Ilmu dari Nyai Ronggeng Iblis,
tapi karena Nyai Ronggeng Iblis telah mati di tanganku, maka Pangkar Soma tak
berhasil memiliki ilmu maha
dahsyat itu."
"Dia tokoh aliran hitam?"
"Ya. Dan entah persoalan apa yang membuatnya
bermusuhan dengan Ketua Partai Janda Liar itu. Kita
lihat saja pertarungan ini."
"Barangkali hujan darah tadi dikarenakan Pangkar Soma ingin hancurkan si Janda
Liar dengan jurus
mautnya itu."
"Kurasa memang begitu. Tapi agaknya ilmu 'Kulit Baja' yang dimiliki Selimut
Senja itu membuatnya
selamat dari racun dalam hujan darah tadi."
"Kurasa...."
"Ssst...! Perhatikan, jurus apa yang dipakai oleh ketuamu itu"!"
Selimut Senja menari-nari di angkasa. Tubuhnya
terangkat naik tanpa menyentuh tanah. Gerakan
tangannya seperti orang menari cepat, dan tiba-tiba dari kelima kuku jari tangan
kanannya keluar lima larik sinar kuning yang berasap. Wuuusss...!
Pangkar Soma menghindari lima larik sinar itu
dengan satu lompatan ke arah samping. Kakinya
menjejak pohon, dan tubuhnya melesat ke pohon yang
satu. Lalu di sana menjejak pohon lagi, dan melesat lagi ke arah pohon yang
lain, sampai akhirnya bersalto dan tiba di samping Selimut Senja.
Blegeaaaarrrr...!
Lima larik sinar kuning menghantam pohon dan
pohon itu hancur menjadi serbuk lembut dari akar,
batang, sampai pada daunnya.
Pada saat itu, Pangkar Soma segera membalas dengan
melepaskan pukulan sinar merah berkelok-kelok seperti ular terbang. Claaap, lap,
lap, lap...! Sinar merah itu menghantam pinggang Selimut Senja.
Jgeeaaar...! Selimut Senja terpelanting dalam keadaan
melambung naik, namun segera bersalto dan berhasil
mendarat dengan kedua kaki menapak ke tanah secara
tegak. Jleeeg...! Lalu seulas senyum sinis mengembang di bibir Selimut Senja.
"Gila! Ledakan sebesar itu tidak membuat tubuhnya hancur! Bahkan jubahnya masih
tampak utuh, tidak
robek atau hangus sedikit pun"!" gumam Suto Sinting pelan, dan Sunting Sari
segera berbisik pula di dekat telinga Suto.
"Itulah kehebatan ilmu 'Kulit Baja'-nya. Sampai
barang apa pun yang menempel pada tubuhnya tak akan
bisa diputuskan atau dirobek."
"Kurasa, Pangkar Soma sulit menumbangkan si Janda Liar."
Dugaan Suto memang benar. Pangkar Soma segera
menggunakan senjatanya berupa cambuk warna merah
yang diberi nama 'Cambuk Iblis' itu. Ia melecutkan cambuk tersebut ke punggung
Selimut Senja ketika
Selimut Senja menari dengan bergerak memutar lamban.
Ctaaarr...! Cambuk itu mengeluarkan sinar merah kecil dari ujungnya dan mengenai
punggung Selimut Senja.
Tetapi perempuan cantik itu hanya tersentak sedikit ke depan, dan punggungnya
tetap dalam keadaan utuh
walau kilatan sinar merah tadi mengepulkan asap bagai membakar sesuatu. Bahkan
kain jubah yang dikenakan
Selimut Senja juga masih tampak utuh tanpa robek atau hangus sedikit pun.
"Biadab betul kau, Janda Liar!!" geram Pangkar Soma. "Rupanya kau sengaja pamer
ilmu di depanku, hah"!"
Selimut Senja masih menari-nari pelan dan berseru
dengan nada menghina lawan.
"Ilmu yang kau miliki adalah ilmu bayi kemarin sore, Pangkar Soma! Mana mungkin
bisa kau pakai untuk
melawanku. Sebaiknya kau urungkan niatmu untuk
membunuhku, Pangkar Soma!"
"Keparat busuk! Jangan bangga dulu kau dengan
ilmumu itu, Selimut Senja! Bagaimanapun tingginya
ilmumu, kau tetap akan kuhancurkan sebagai
pembalasanku terhadap kematian adikku yang kau
bunuh beberapa waktu yang lalu."
"Adikmu layak kubunuh, karena dia mempermainkan hatiku dan menganggapku sebagai
istri murahan! Jika
kau berpandangan seperti adikmu, maka kau pun layak
kukirim ke neraka menyusul adikmu, Pangkar Soma!"
"Jahanam tengik! Terimalah jurus 'Cambuk Iblis' ini, hiaaah...!"
Pangkar Soma lecutkan cambuk ke atas. Ctaaarrr...!
Dari ujung cambuk keluar sinar biru yang segera
melebar menyiram tubuh Selimut Senja. Zrrraaab...!
Selimut Senja terkurung sinar biru itu.
Tetapi dengan satu sentakan kedua tangan ke
samping bagai sebuah tarian sakral, tiba-tiba sinar biru itu pecah bersama bunyi
ledakan yang menggelegar.
Jegaaarrr...! Biasanya benda apa pun akan menjadi serbuk halus
jika terkena sinar biru jurus 'Cambuk Iblis' itu. Bahkan puncak sebuah bukit pun
pernah terkena lecutan jurus
'Cambuk Iblis' itu dan puncak bukit tersebut menjadi rata separo bagian, berubah
menjadi gundukan pasir halus.
Tapi kali ini agaknya Pangkar Soma mendapatkan lawan yang tangguh. Selimut Senja
masih tetap utuh tanpa luka sedikit pun walau telah ter-bungkus sinar biru
tersebut. Hal ini membuat Pangkar Soma terbelalak kaget dan
menjadi sangat tegang. Ia melangkah mundur dua tindak.
"Gila! Dia tidak terluka sedikit pun"! Ilmu apa yang dimiliki si perempuan
tengik itu"! Keparat betul dia!"
geram hati Pangkar Soma sambil berpikir mencari
kelemahan lawannya.
Tiba-tiba Pangkar Soma melenting ke atas dalam
gerakan bersalto di udara, kemudian cambuknya
menyabet dengan cepat di ubun-ubun Selimut Senja.
Ctaaarr...! Ujung cambuk itu keluarkan sinar ungu
berbentuk seperti anak panah. Claap...! Sinar ungu itu menghantam kepala Selimut
Senja dengan telak.
Blaaarrr...! Selimut Senja tersentak ke depan dan hampir jatuh. Ia
segera berlutut dengan kedua tangan mengeraskan dua
jarinya dan menyentak ke atas. Claaappp...! Sinar merah dari dua tangan itu
melesat dan menjadi satu lalu
menghantam tubuh Pangkar Soma.
Dalam keadaan gerakan turun ke bawah, Pangkar
Soma cepat-cepat melecutkan cambuknya. Ctaaar...!
Blegaaarrr...! Pangkar Soma justru terjungkal sendiri. Gelombang
ledakan itu menyebarkan hawa panas yang menyentak
kuat. Wajah Pangkar Soma selain kotor karena berlumur tanah basah, juga menjadi
merah bagaikan babi
panggang. Dari mulut dan hidungnya keluarkan darah
hitam yang mengerikan.
"Pangkar Soma terluka!" ucap Suto Sinting bernada tegang.
"Tentu saja, sebab tak ada orang yang bisa menahan jurus 'Lembayung Getih' yang
dilepaskan Selimut Senja tadi," ujar Sunting Sari dalam bisikan. "Seharusnya
jurus 'Lembayung Getih' jangan ditangkis, kalau ditangkis
kekuatannya menjadi lebih besar, karena menyatu
dengan kekuatan jurus penangkisnya tadi."
Suto tak jadi ucapkan kata, karena tiba-tiba mereka
mendengar suara Selimut Senja berseru kepada
lawannya. "Terimalah saat kematianmu, Pangkar Soma!"
Blaaas...! Pangkar Soma tahu-tahu sudah tidak ada di tempat. Ia menggunakan sisa
tenaganya untuk melarikan diri karena merasa keadaannya sangat berbahaya.
Lukanya cukup parah dan jika tetap lakukan pertarungan akan semakin membahayakan
jiwanya. Karena itulah
maka Pangkar Soma pergi tanpa pamit.
Kepergian itu sempat dilihat oleh Selimut Senja.
Kelebatan gerak yang cepat membuat Selimut Senja
mengimbanginya dengan satu jurus gerakan cepat yang
dimilikinya. "Jangan lari kau, Keparat!" seru Selimut Senja, kemudian berkelebat mengejar
lawannya. Blaasss...!
"Kita ikuti mereka! Aku ingin tahu siapa yang akhirnya unggul dalam pertarungan
ini!" kata Suto Sinting.
"Jangan! Nanti kalau si Janda Liar melihatmu, dia akan berubah arah ganti
mengejarmu. Karena kalau
benar kaulah yang mengaku bernama Panji Klobot,
maka ia akan mengutamakan dirimu daripada si Pangkar Soma!"
"Aku tak peduli! Kalau perlu kutumbangkan sekalian dia!" selesai berkata begitu,
Pendekar Mabuk segera melesat tinggalkan tempat persembunyiannya.
"Hei, tunggu...!" seru Sunting Sari yang gerakannya tak secepat Suto Sinting.
Suto Sinting tak peduli dengan seruan itu. Ia selalu penasaran dengan sebuah
pertarungan sebelum jelas
siapa yang kalah. Bahkan kali ini ia lebih penasaran lagi sebab setahunya
Pangkar Soma berilmu tinggi dan
Selimut Senja juga berilmu tinggi. Yang mana yang
akan tumbang dari kedua tokoh aliran hitam itu"
Pengejaran Suto mengalami salah arah ketika
menyeberangi sebuah sungai. Ia melihat sekelebat bayangan di seberang sungai.
Maka dikejarnya bayangan itu dengan jurus 'Gerak Siluman'. Sangkanya bayangan
itu adalah bayangan Selimut Senja. Ternyata setelah
Suto berhasil mengikuti dari jarak dekat. Orang yang dikejarnya bukan Selimut
Senja. Bahkan perempuan itu sendiri terhenti langkahnya karena dihadang oleh
seseorang di depannya.
"Wirayuda..."!" gumam Suto Sinting dalam hatinya sambil memperhatikan lelaki
berusia lima puluh tahun yang menghadang seorang perempuan berpakaian merah
bercorak bola-bola kuning.
Lelaki yang menghadang perempuan berusia sekitar
dua puluh delapan tahun itu pernah dijumpai Suto ketika orang tersebut melawan
Nyai Mata Binal. Suto masih
ingat, lelaki berpakaian serba hijau, berkumis melintang dan berbadan besar itu
tak lain adalah Wirayuda, yang kala itu menuntut Nyai Mata Binal, karena sang
Nyai telah melenyapkan ilmu adiknya Wirayuda, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Perempuan
Jahanam").
Pendekar Mabuk 077 Asmara Janda Liar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tetapi siapa perempuan berhidung mancung dan
bermata sayu itu?" pikir Suto Sinting dari
persembunyiannya. "Agaknya dia tadi dikejar-kejar oleh Wirayuda dan tampaknya
ketakutan sekali menghadapi
Wirayuda. Hmmm... sebaiknya kusimak saja keadaan
mereka berdua."
Perempuan berbaju merah bola-bola kuning itu sudah
pegangi gagang pedang di pinggangnya, siap
mencabutnya walau ia melangkah mundur pelan-pelan.
Sedangkan Wirayuda semakin menampakkan
keberangannya dengan memandang tajam dan
menyerukan suaranya yang besar.
"Mau lari ke mana saja tetap akan kutemukan kau, Rumbani!"
"Kejarlah aku dan kau akan kehilangan nyawamu,
Paman Wirayuda!" gertak perempuan yang ternyata bernama Rumbani itu.
"Hah, hah, hah, hah.... Masih saja berani
menggertakku kau, Rumbani"! Apakah kau tak tahu
kalau ayahmu saja mati di tanganku, apalagi hanya
seorang bocah sepertimu, Rumbani!"
"Tentu saja ayahku tewas karena kau menyerangnya dari belakang, Paman Wirayuda!
Kau memang licik!"
"Itu adalah siasat! Yang jelas, licik atau tidak licik, sekarang juga kuminta
kau mau serahkan kitab itu
padaku! Keluargamu tidak berhak menyimpan kitab
pusaka tersebut."
"Aku tidak tahu menahu tentang kitab itu! Sudah
kukatakan berulang kali, aku tidak peduli dengan kitab warisan Eyang Subokarti
itu!" "Omong kosong!" Wirayuda mencibir. "Rupanya kau masih belum jera menerima
hajaran tadi, hah"!"
"Paman... kalau Paman berani menggangguku lagi, kali ini aku benar-benar akan
membunuh Paman!"
"O, kau bisa membunuhku" Cobalah... coba terima dulu jurusku ini, Rumbani!
Hiaaah...!"
Wirayuda berkelebat sambil memutar tubuh dengan
cepat. Kakinya menyambar kepala Rumbani yang
sedang mencabut pedangnya. Ploook...!
Perempuan itu terlempar dan terbanting tanpa sempat
mengaduh. Pelipisnya menjadi biru dan darah mengalir dari telinganya. Namun ia
menahan rasa sakitnya itu
mati-matian dan cepat bangkit sambil menghunus
pedangnya. Sebelum pedang sempat digunakan, tiba-tiba
Wirayuda lepaskan pukulan jarak jauhnya berupa sinar hijau kecil ke arah dada
Rumbani. Claaap...!
Rumbani berkelit dengan satu lompatan ke samping.
Tapi gerakannya terlambat, dan sinar hijau kecil itu telah berhasil menghantam
lambungnya. Duuus...!
"Aaahk...!" Rumbani terpekik dan jatuh terpuruk tanpa bisa menahan dirinya lagi.
Perutnya mengeluarkan asap dan kain bajunya yang berbelahan dada cukup lebar itu
mengepulkan asap. Rumbani menyeringai dalam
keadaan telentang sambil mengeluarkan suara erangan
memberat. "Di mana kitab itu, Rumbani!"
Tak ada jawaban dari Rumbani kecuali rasa sakit
yang dideritanya. Bahkan sekarang Suto melihat mulut gadis itu keluarkan darah
kental akibat pukulan sinar hijau tadi.
"Kalau kau tak mau bicara tentang kitab itu,
kumusnahkan ragamu sekarang juga, Rumbani!" gertak Wirayuda dengan mata melebar.
Tangan kanannya
diangkat ke atas dalam keadaan menggenggam. Tangan
kanan itu sepertinya sedang dipersiapkan untuk
melepaskan pukulan berbahaya yang akan
menghancurkan raga Rumbani.
"Cepat, katakan di mana kau simpan kitab itu!"
"Ak... aku... benar-benar tidak... tid... tidak tahu.
Suummm... sumpah, Paman...."
"Kasihan. Orang benar-benar tidak tahu kok dipaksa harus tahu," gumam Suto dalam
hati. "Baiklah!" seru Wirayuda. "Agaknya sia-sia saja aku mengejarmu sampai di sini!
Terimalah jurus 'Retak
Seribu' ini...."
Suto Sinting lebih dulu melepaskan jurus 'Jari Guntur'
yang berupa sentilan-sentilan bertenaga dalam tinggi, kekuatannya seperti
tendangan seekor kuda jantan yang sedang murka.
Tes, tes, tes, tes...!
Wirayuda terpental ke belakang dan berguling-guling.
Ia merasa diterjang sepasukan kuda perang yang sukar ditahan kekuatannya.
Serangan itu bertubi-tubi dan
membuat Wirayuda terlempar-lempar hingga di
kejauhan sana. Zlaaap...! Wuuuut...!
Suto Sinting segera menyambar Rumbani dengan
'Gerak Siluman'. Perempuan yang masih memegangi
pedangnya itu tak tahu bahwa dirinya sedang dibawa
pergi dari tempat itu, karena pandangan matanya
menjadi buram, tak bisa mengenali siapa-siapa.
Sementara itu, Wirayuda yang terengah-engah dalam
keadaan luka memar di beberapa bagian tubuhnya masih berusaha mencari Rumbani.
Ia menyangka perempuan itu melarikan diri, sehingga ia pun segera mengejar
Rumbani ke arah yang berlawanan dengan kepergian
Suto Sinting. Ia tak tahu bahwa Rumbani dibawa lari oleh Suto
Sinting sampai di sebuah bangunan bekas kuil yang
sudah tidak terpakai lagi itu. Bangunan bekas kuil di dalam hutan itu mempunyai
ruang pemujaan yang
berlantai kering, terhindar dari hujan tadi. Di sanalah Suto baringkan Rumbani
dan segera memberinya minum
tuak. Dengan meminum tuak, maka rasa sakit Rumbani
segera lenyap dan luka-lukanya pun sembuh dengan
cepat. Rumbani menjadi segar dan bisa memandang
dengan jelas kembali.
Ia terkejut ketika mengetahui di depannya tampak
seraut wajah lelaki tampan berhidung mancung dan
berbibir ranum. Ia semakin tertegun ketika mengetahui bahwa orang yang
menyelamatkannya dari ancaman
maut Wirayuda itu ternyata seorang pemuda gagah,
berbadan kekar dan mempunyai senyum yang menawan.
Hatinya berdebar-debar ketika Suto Sinting melebarkan
senyumannya sambil mengajaknya bicara.
"Sudah segarkah tubuhmu, Rumbani?"
Rumbani masih terbengong dalam keadaan duduk.
"Kau sudah aman dari Wirayuda. Tenang, jangan
cemas lagi."
"Siapa kau, sehingga kau mau selamatkan aku dari ancaman maut Paman Wirayuda"!"
"Aku yang bernama Suto Sinting. Kebetulan saja aku salah kejar, sehingga
melihatmu nyaris mati di tangan Wirayuda. Apakah dia pamanmu asli?"
"Dia adik perguruan mendiang ayahku," jawab Rumbani. "Dari mana kau tahu
namaku?" "Aku mendengar Wirayuda menyebutmu: Rumbani."
"Kau juga kenal dengan Paman Wirayuda?"
"Aku pernah jumpa dengannya ketika ia berhadapan dengan seorang tokoh wanita
yang sedang kuincar untuk kupelajari kelemahan ilmunya itu."
Rumbani mencoba berdiri dan merasakan kesegaran
badannya yang sepertinya tak pernah terluka sedikit pun.
Dalam hati ia mengagumi tuak sakti ini, sehingga
semakin bertambahlah rasa simpatinya kepada pemuda
tampan yang menolongnya itu.
Saat itu alam mulai meremang, karena matahari telah
tenggelam ke ufuk barat. Tinggal bias cahayanya yang masih tersisa menyinari
langit di atas cakrawala.
"Aku harus segera pergi. Maukah kau
mendampingiku?" ujar Rumbani tanpa sungkan-sungkan lagi.
"Sebentar lagi hari akan gelap. Tidakkah kau ingin
bermalam di suatu tempat, misalnya di sini?"
Rumbani tersenyum berkesan nakal. "Tempatku tak jauh dari sini. Bagaimana jika
kau ikut bermalam di
tempatku saja?"
"Di mana tempatmu?"
"Di Lembah Liar."
Suto terperanjat dan mulai berkerut dahi. "Kau... kau anggota Partai Janda
Liar?" "Benar," jawab Rumbani dengan senyum melebar seakan bangga nama kelompoknya
dikenal oleh Suto
Sinting. "Kalau begitu kau anak buahnya Selimut Senja?"
"Ya, memang aku anak buahnya Selimut Senja yang lebih suka dipanggil Janda Liar
itu. Aku sedang
mendapat tugas darinya."
"Tugas apa?"
"Memburu seorang pemuda tampan bernama Panji
Klobot!" "Celaka!" gumam Suto Sinting dengan wajah sedikit tegang.
"Mengapa kau tampak gelisah, Suto?"
"Hmmm... eeh.... Panji Klobot itu berilmu tinggi. Jika kau tak bisa kalahkan
Wirayuda, apalagi mengalahkan
Panji Klobot, jelas tak mungkin bisa. Kusarankan,
urungkan saja niatmu. Jangan memburu Panji Klobot,
nanti kau kehilangan nyawa, sedikitnya terluka parah."
"Begitukah menurutmu?"
"Ya. Kukatakan hal ini demi menyelamatkan jiwamu, Rumbani."
Rumbani diam sebentar, lalu berkata sambil menatap
Suto. "Tetapi sang Ketua menjanjikan sebuah hadiah
istimewa untukku. Aku akan diizinkan mempelajari ilmu
'Kulit Baja' yang ada di sebuah kitab pusaka miliknya itu. Dan aku ingin sekali
pelajari ilmu itu, Suto."
"Untuk apa kau mengejar hadiah yang belum tentu benar-benar diberikan oleh si
Janda Liar itu jika
nyawamu menjadi taruhan sebelumnya?"
"Aku penasaran sekali! Aku harus mencoba
berhadapan dengan Panji Klobot!"
Suto menggeram jengkel dalam hatinya. Kemudian ia
menatap Rumbani dengan tajam dan berkata tegas.
"Panji Klobot itu adalah aku!"
"Hahh..."!"
"Orang yang diburu Selimut Senja, yang mencuri
panah emasnya dan membakar gairah asmaranya tanpa
mau melayaninya itu adalah aku!"
Rumbani tertegun tegang dengan mata menatap lurus
pada Suto. Mereka pun saling bungkam dan saling
beradu pandang beberapa saat lamanya, hingga alam
menjadi petang dan cahaya mentari pun sirna
sepenuhnya. * * * 4 UDARA dingin mulai menyelimuti bumi bersama
sang malam. Nyala api unggun yang dibuat Suto Sinting sedikit mengubah suasana
menjadi hangat. Namun jika
angin bertiup, udara dingin masih terasa meresap ke
pori-pori. "Susah payah aku memilih kayu yang kering, ternyata angin malam masih mampu
menyebarkan hawa dingin
begini," gerutu Suto seperti bicara pada diri sendiri.
Rumbani yang duduk bersandar dinding menyahut
dengan suaranya yang sedikit serak,
"Api unggun memang tidak bisa mengalahkan udara dingin. Tapi api asmara sangat
mampu mengalahkannya."
Pendekar Mabuk tidak berpaling memandang ke
belakang, tapi ia sunggingkan senyum karena tahu
maksud perempuan berdada sekal itu.
"Sayang sekali di sini tak ada api asmara, ya?" ucap Suto memancing reaksi
Rumbani. "Siapa bilang tak ada?" ujar Rumbani, lalu ia mendekati Suto dari belakang, ikut
duduk di lantai batu yang kering itu. Ia duduk dalam jarak hanya sejengkal dari
pendekar tampan itu.
"Sudah satu tahun aku tak disentuh oleh lelaki, sejak suamiku meninggalkan aku
dalam keadaan sakit."
"Ke mana perginya suamimu itu?"
"Tergiur perempuan lain dan sampai sekarang tak kuketahui nasibnya. Seandainya
kutahu di mana dia
berada, maka aku akan datang kepadanya dengan
mengerahkan kekuatan Partai Janda Liar. Kuhabisi dia bersama perempuan itu!"
"Dan sejak itu kau benar-benar tak pernah merasakan kehangatan seorang lelaki?"
"Tak pernah."
"Bukankah Ketua Janda Liar yang sekarang
mengizinkan anggotanya untuk membawa lelaki ke
pesanggrahan"!"
"Memang. Tapi aku selalu tak pernah mendapat
bagian," jawabnya sambil semakin merapatkan tubuh ke lengan Suto. Ia memandangi
Suto dari samping, sementara yang dipandang masih berlagak cuek, bermain api
dengan sebatang ranting kering.
"Bolehkah aku merasakan kehangatanmu, Suto?"
Pendekar Mabuk menjawab sambil tersenyum, "Tak
boleh." "Uuh... jahat kamu, ah!" Rumbani merajuk namun ia segera dekatkan wajahnya dan
mencium pipi Suto.
Pendekar tampan itu diam saja, tetap bermain api
dengan sebatang ranting.
"Kau lelaki yang memancarkan gairah bagi
perempuan seusiaku, Suto," bisik Rumbani.
"Aku tak merasa memancarkan apa-apa," kata Suto lirih sambil tetap bermain api.
"Tapi malam ini aku berdebar-debar terus seperti berada di pusaran arus cinta."
Rumbani mencium telinga Suto, pemuda itu masih
diam. Ciumannya semakin merayap ke tengkuk kepala.
Kegelian yang begitu nikmat menjalar ke seluruh tubuh Suto. Bahkan ketika
Rumbani menyapu tengkuk itu
dengan lidahnya sambil disertai gigitan kecil, jantung Suto seperti disentaksentak cukup kuat. Hatinya
berdebar-debar indah, tapi ia diam saja berlagak tidak merasakan keindahan itu.
Rumbani merasa diberi kesempatan, sehingga
tangannya pun segera memeluk Suto dan meraba-raba
dada bidang yang kekar itu.
Kepala Suto akhirnya tergolek, menggeliat dengan
suara desah kenikmatan mengikuti ke mana larinya
kecupan bibir Rumbani. Semakin Suto tak bereaksi,
semakin berkobar hasrat bercumbu Rumbani. Tangannya
semakin merayap tak karuan, sesekali meremas gemas,
Pendekar Mabuk 077 Asmara Janda Liar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sesekali mengelus lembut.
Akhirnya bibir Suto menjadi sasaran keganasan
gairahnya. Bibir itu dilumat habis-habisan, dan Suto tetap tidak memberikan
reaksi apa-apa. Ia berlagak seperti pemuda yang tak bisa bercinta dan menerima
pasrah diperlakukan apa saja. Kepasrahan Suto itulah yang membuat Rumbani
semakin penasaran, semakin
liar dan semakin menggebu-gebu hingga napasnya
terengah-engah sendiri.
"Sutoo...," ucapnya bersama desah. Ia berlutut di depan Suto dan menempelkan
kepala Suto ke dadanya
yang telah terbuka lebar-lebar itu.
"Sutooo... pagutlah aku... oh, pagutlah aku,
Sayang...."
Sesuatu yang dijejalkan ke mulut Suto itu akhirnya
disambar juga oleh bibir pemuda itu. Rumbani
mengerang panjang dengan kepala mendongak ke atas
dan tangan meremas rambut Suto ketika kenikmatan itu datang menghujam jiwanya.
Suara erangan yang
bercampur engahan napas itu menciptakan malam bagai
bertabur sejuta kenikmatan di antara mereka berdua.
Mereka semakin hanyut, tak peduli lagi dengan
malam, tak peduli lagi dengan dingin, bahkan tak peduli lagi dengan kabut yang
merambah masuk ke ruang
tersebut. Kabut itu bukan semata-mata kabut udara
dingin, melainkan kabut yang mempunyai racun
berbahaya. Ketika kabut itu terhirup oleh pernapasan mereka, tubuh mereka merasa
lemas. Mereka menyangka lemasnya tubuh akibat darah asmara yang
bergolak. Rumbani semakin menuntut kehangatan lebih dari
itu. Rumbani tak mampu berlutut lagi. Lututnya terasa lemas. Bahkan Suto Sinting
tak mampu menyangga
tubuh Rumbani yang terkulai lemas itu. Ia juga menyangka api gairah itulah yang
membuatnya lemas.
Akhirnya mereka berbaring sambil mulut Rumbani
masih melontarkan erangan dan desah kenikmatan.
"Terus, Suto... terus... oh, aku suka sekali dengan kenakalanmu, Sutoo....
Oooh... jangan berhenti,
Sayang.... Jangan berhenti...."
"Lama-lama suara 'jangan berhenti' itu mengecil, demikian juga suara erangan
Rumbani yang kian lirih, lirih, kemudian hilang tak tersisa. Sementara Suto
Sinting sendiri gerakannya semakin lamban, lamban,
lambaan... akhirnya ia terkulai di atas dada Rumbani.
Kemesraan belum mencapai puncak teratas, tapi
mengapa mereka sudah sama-sama terkulai lemas.
Bahkan ternyata mereka sama-sama tak sadarkan diri
dan tak mengerti lagi apa yang terjadi.
Kabut yang menelusup masuk di ruangan itulah yang
membuat mereka menjadi lemas serta tak sadarkan diri.
Kabut itu ternyata kiriman seorang perempuan yang
mendengar percakapan mereka dan mengintipnya dari
suatu tempat. Melihat kemesraan Suto dengan Rumbani
kian genjar, perempuan itu mengirimkan kabut beracun yang mampu melemaskan
seluruh urat dan saraf, bahkan jantung pun bisa berhenti berdetak bagi mereka
yang memang punya penyakit lemah jantung.
Perempuan itu muncul di pintu ruangan setelah Suto
dan Rumbani terkulai saling bertumpuk. Wajah
perempuan itu memancarkan kebencian terhadap
Rumbani, namun begitu menatap ke arah Suto,
kebencian itu berubah menjadi sinis-sinis bergairah.
"Kau memang menyakitkan hatiku, tapi untuk
sementara ini aku tak ingin memusnahkan dirimu. Kau
harus kumanfaatkan lebih dulu sebagai pelayan cintaku.
Setidaknya kau harus tahu seberapa tinggi kekuasaan
dan ilmuku, Panji Klobot!"
Kasih Diantara Remaja 11 Sumpah Palapa Karya S D. Djatilaksana Rahasia Dewa Asmara 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama