Ceritasilat Novel Online

Badai Di Selat Karimata 2

Pendekar Naga Geni 3 Badai Di Selat Karimata Bagian 2


Di sebelah timur, tampaklah anggota-anggota bajak
laut yang tertawan hidup-hidup, sedang di antara
mereka yang terluka juga mendapat perawatan
seperlunya. Kalau bagi orang-orang bajak laut hal ini dianggap janggal, tetapi
bagi prajurit-prajurit Bintan sikap ini sudah biasa. Musuh pun kalau terluka
harus ditolong meskipun toh akhirnya mereka nanti
dihukum atas kejahatan-kejahatannya.
*** Matahari akhirnya pun menjadi semakin condong
ke barat dan sinarnya pun tidak begitu panas lagi.
Angin pantai berdesir lembut menggoyangkan ujung
daun-daun nyiur dan wajah-wajah mereka yang masih
pada berada di pantai. Di bandar itu kini telah
disiapkan sebuah perahu jung oleh para awak
kapalnya. Di dekat tangga naik ke perahu itu banyak sekali orang-orang
bergerombol. Para perwira, prajurit dan penduduk bandar
Tanjungpinang tampak berkumpul di situ yang akan
menyaksikan keberangkatan Mahesa Wulung
meninggalkan pulau itu.
"Tuan Pendekar Barong Makara," ujar Prahara
dengan tenangnya. "Sebagai wakil dari penduduk
bandar Tanjungpinang dan segenap prajurit Bintan,
kami mengucapkan rasa terima kasih yang sebesarbesarnya atas bantuan Tuan Barong Makara dalam
mengusir para bajak laut dari bandar ini."
Mendengar kata-kata itu diam-diam Mahesa
Wulung atau yang dipanggil pula sebagai Barong
Makara menjadi terharu, lebih-lebih semua itu
diucapkan oleh Pendekar Prahara dengan tulus ikhlas.
"Kami semua tidak dapat membalas jasa-jasa Tuan
yang begitu besar. Maka sekedar sebagai tanda mata dari kami, terimalah ini
sebilah pedang."
Mahesa Wulung melangkah ke depan dan dengan
tangan bergetar luapan rasa harunya, ia menerima
pedang itu dari Pendekar Prahara. Setelah itu iapun menjabat tangan pendekar tua
itu, yang mana segera pula menyambutnya dengan erat, seolah-olah mereka
segan untuk berpisah.
Keasyikan mereka terpecah oleh sebuah isak tangis
dan serentak keduanya menoleh ke arah suara itu.
Ternyata Pandan Arum dan Nurlela saling berpelukan diserta isak tangis
mengharukan siapa saja yang
menyaksikan. Betapa tidak, kalau dua dara yang telah bersahabat erat, bahkan
mereka sudah saling
menganggap sebagai saudara sekandung dan beberapa
kali mengalami suka duka bersama-sama bertempur
melawan bajak-bajak laut, menentang kejahatan, dan kini harus berpisah. Entah
untuk berapa lama,
mungkin juga untuk selamanya. Jarak Pulau Bintan
dengan Demak bukan jarak yang pendek yang cukup
sehari dua hari dicapainya.
Kemudian setelah Mahesa Wulung menerima
pedang itu dan menggantungkan pada ikat
pinggangnya, iapun segera menjabat tangan Hang
Sakti untuk meminta diri. Jogoyudo pun tak
ketinggalan untuk berpamit kepada mereka, dan
terakhir adalah Egrang.
Sebelum rombongan Mahesa Wulung naik ke
perahu, keluarlah dari kelompok prajurit-prajurit
Bintan seorang yang berperawakan kekar dan
berkumis lebat. Ia maju ke depan didampingi oleh
Pendekar Prahara ke arah Mahesa Wulung dan
rombongannya berdiri.
"Tuan Barong Makara, terimalah salah seorang
prajurit anak buahku ini dalam tugas Tuan untuk
mengejar Lanun Sertung. Ia akan berjuang di sisi tuan sebagai wakil dari
prajurit Bintan," Pendekar Prahara berkata sambil memperkenalkan orang tersebut.
Ia bernama Sibahar.
Sungguh tepat nama orang ini, sebab pada
pergelangan tangan kanannya ia mengenakan sebuah
gelang besar dari akar bahari. Dengan senang hati
Mahesa Wulung menerima prajurit ini sebagai anak
buahnya sendiri.
Sesaat kemudian, setelah matahari semakin
mendekati cakrawala barat dan sinarnya semakin
pudar bertolaklah perahu jung itu meninggalkan
bandar Tanjungpinang, diiringi oleh lambaian tangan serta sorak-sorai dari
orang-orang yang memagari
bandar itu sebagai ucapan selamat jalan.
Perahu itu semakin jauh dan berlayar ke arah
tenggara dengan lajunya mengarungi laut yang telah dicekam oleh kegelapan senja.
*** 3 KEPULAUAN Karimata dan Selat Karimata terletak
di sebelah barat daya Pulau Kalimantan yang besar
dan mahaluas. Dari sekian pulau-pulau yang
berserakan itu hanya dua buah pulau yang terbilang besar, yaitu Pulau Karimata
sendiri dan di sebelah barat dayanya lagi Pulau Serutu. Daerah inilah yang telah
diperkirakan menjadi sarang dari pusat
gerombolan bajak laut Iblis Merah oleh Mahesa
Wulung, sebab di daerah perairan inilah sering terjadi pencegatan perahu niaga
oleh perompak-perompak
laut. Juga belasan tahun yang silam, iring-iringan
perahu armada Demak sehabis menyerang Portugis di
Malaka telah diganggu oleh mereka di selat ini.
Di suatu senja, di sebuah bandar kecil di Pulau
Karimata berlabuhlah sebuah jung bendera dengan
gambar lingkaran cakra kuning emas dan berwarna
dasar biru hitam.
Lingkaran cakra menunjukkan ke delapan arah
mata angin itu menandakan bahwa perahu jung itu
berani menjelajah ke segenap penjuru angin dan
sekaligus orang akan tahu bahwa perahu itu adalah
perahu seorang petualang samudra. Tetapi di balik
rahasia arti sesungguhnya dari gambar lingkaran
cakra itu, sebenarnya adalah sebagai lambang dari seorang perwira laut armada
Demak. Di sebuah warung di bandar itu tampaklah
beberapa gerombol orang yang tengah minum-minum
dan ada juga yang berjudi. Di tengah kesibukan
mereka itu, masuklah ke dalam warung seorang yang
berperawakan tegap kekar berkumis kecil di bawah
hidungnya yang membuat wajah orang itu lebih keren.
Ia berjalan seenaknya dan duduk di sebuah bangku
panjang. Dari tingkah lakunya tampaklah jika ia orang baru di pulau ini dan
melihat tamu itu, seorang laki-laki tua pelayan warung ini segera mendekatinya.
"Minumannya, Tuan?" sapa pelayan tua itu ramah.
"Eeh, kasih kopi saja, Pak. Dan juga beberapa iris jadah ketan," ujar orang baru
yang berkumis kecil itu sambil matanya menyusuri segenap ruangan warung.
Kemudian secara tiba-tiba pandangan mata orang
baru itu tertambat ke pojok warung, di mana
segerombolan orang lagi ramai-ramainya berjudi.
Rupanya ia mengenal seorang di antaranya, terutama kepada seorang yang bertubuh
pendek tapi kokoh.
"Hmm, itu si Dungkul anak buahku. Ia masih juga
senang berjudi,"
Orang baru itu bergumam sendiri dan matanya
tajam menatap si Dungkul, penjudi yang bertubuh
pendek itu. Orang ini seperti terkena tenaga gaib, tiba-tiba iapun melayangkan
pandangan matanya ke arah
orang baru tadi dan ia terbelalak ketakutan.
Tetapi agaknya orang ini pandai menguasai
perasaannya sebab iapun cepat-cepat berpura-pura
tidak melihatnya.
Beberapa saat kemudian iapun kembali tenggelam
dalam bantingan-bantingan kartu judinya, sambil
sebentar-sebentar ia mengisi mulutnya dengan
minuman tuak yang harum.
"Persetan dengan kedatangannya. Rupanya ia
membawa sial bagiku. Hmm, berkali-kali kartuku mati semenjak ia datang di warung
ini. Ia telah berulang-ulang melarangku untuk berjudi, tapi toh aku orang yang
merdeka dan orang yang merdeka harus bebas
memenuhi kegemarannya!"
Begitulah kepala orang ini dipenuhi oleh pikiranpikiran yang saling bergelut sendiri dan membuatnya semakin bertambah pusing.
Tambahan lagi ia terus-terusan kalah dalam permainan judinya. Juga
pengaruh tuak yang telah sekian banyak diminumnya
itu rupanya telah bekerja. Sambil setengah mabuk ia menggoncang bahu teman
sebelahnya. "Hehhh, sini aku pinjam uangnya. Nanti aku ganti
kalau aku menang."
Teman sebelahnya yang berwajah bengis itu
menyeringai. "Husss, ngomong seenaknya! Kalau kau
kalah lagi apa yang akan kau bayarkan sebagai
gantinya"!"
"Aku tak punya apa-apa lagi, kawan, kecuali
sebuah keterangan yang tak ternilai harganya.
Mungkin ini berguna buatmu, kawan."
Si wajah bengis itu agaknya mulai tertarik oleh
omongan si Dungkul, sebab ia menyodorkan setumpuk
mata uang logam ke muka Dungkul.
"Nah ini cukup banyak, bukan" Sekarang cepat
katakan padaku keterangan yang kau bilang menarik
itu!" Si Dungkul mendekatkan mulutnya ke telinga orang
ini dan berbisik pelan.
"Sttt, kau lihat orang yang duduk sendirian di tepi sana?"
"Ya, aku lihat sejak tadi. Tapi mengapa dengan dia?"
si wajah bengis keheranan.
"Kau belum tahu" Dialah Pendekar Barong Makara
dari Demak yang menyamarkan diri sebagai petualang samudra. Ia sedang mencari
Lanun Sertung untuk
menangkapnya!"
"Gila kau!" hampir setengah berteriak si wajah
bengis mendengar penuturan Dungkul itu. "Awas,
jangan mencoba menipuku, kawan. Nyawamu bisa
hilang nanti."
"Sungguh mati aku berkata yang sebenarnya!"
Dungkul agak takut juga mendengar ancaman itu.
"Kalau memang betul, kau nanti dapat tambahan
uang lagi. Tapi aku ingin dulu mencoba orang itu."
Si wajah bengis pergi ke pemilik warung untuk
meminta tambahan minuman tuak dan secara cepat
matanya mengerdip ke pemilik warung mengisyaratkan sesuatu.
Pemilik warung sambil menyiapkan semangkuk
tuak harum cepat ia menuangkan sebungkus tepung
putih ke dalam mangkuk minuman itu. Kemudian
disertai senyuman penuh arti ia menyodorkan
mangkuk itu. Si wajah bengis sekali lagi meringis dan melirik ke arah orang baru itu. Sambil
menimang-nimang dua
mata logam bulat itu ia membelakangi meja kayu
pemilik warung dan sejenak ia berdiri menghadap ke arah orang baru itu, seolaholah sedang menaksir
jarak antara mereka.
Tiba-tiba ia mengibaskan tangan kanannya dan
seleret sinar putih menyambar ke arah orang baru itu yang tengah asyik menikmati
kopi panasnya! Orang-orang di dalam warung serentak terpekik menyaksikan
peristiwa itu, sebab mereka mengenal siapa Garang
Segara, pendekar tanpa tandingan kaki tangan
gerombolan bajak laut Iblis Merah.
Sinar yang menyambar itu seolah-olah sudah
hampir mengenai kepala orang baru tadi, tapi dengan tenangnya ia memiringkan
kepala ke kanan dan sinar tadi menabrak tiang kayu.
Traak! Serempak orang-orang melongo melihat pada tiang
kayu itu. Sebuah mata uang logam telah menancap
hampir separo lebih ke dalam kayu! Orang baru yang tidak menyangka hal ini juga
merasa kagum dengan
ilmu kepandaian si wajah bengis.
"Sungguh hebat tenaga dalam orang ini, untungnya
aku masih sempat menghindari permainan mata
uangnya." Orang baru berkumis kecil ini, bersukur
dalam hatinya dan sebutir keringat menetes dari
dahinya. "Ha, ha, ha. Hebat! kau memang hebat orang baru!
Kalau mata uangku yang pertama dapat kau elakkan,
sekarang cobalah dengan yang kedua ini!" seru Garang Segara sambil menimangnimang mata uang logam
yang kedua. "Jangan, Kisanak. Jangan kau ulangi permainanmu
itu. Aku kuatir yang kedua ini akan benar-benar
mengenaiku!"
Si orang baru ini tidak lain adalah Mahesa Wulung
berkata sambil memperlihatkan wajah yang
tampaknya takut setengah ketololan itu, sehingga
membikin Garang Segara semakin kesenangan.
"Ha, ha, ha, ha, kau takut, orang baru" Kalau kau
berani menghindarkan lemparan mata uangku itu
berarti kau sudah langsung menantangku!"
"Tidak, Kisanak. Itu tadi adalah secara kebetulan
sekali aku terhindar dari lemparan mata uangmu dan aku tak bermaksud sama sekali
menantangmu!"
"Persetan! Aku tak perduli dengan ocehanmu itu.
Kalau mata uangku yang pertama sudah meleset
mengenaimu, maka setidak-tidaknya kau pasti
mempunyai sedikit ilmu ketangkasan juga. Nah,
sekarang bersiap-siaplah untuk menyambut mata
uangku yang ke dua ini."
Selesai dengan kata-katanya itu, sekali lagi Garang
Segara mengibaskan tangannya dan seleret sinar putih sekali lagi melayang ke
arah Mahesa Wulung.
Tetapi untuk yang kedua ini tampaknya Mahesa
Wulung tidak menunjukkan tanda-tanda mengelakkan
sinar yang menyambar ke arahnya. Ia hanya
menggerakkan tangannya ke arah pinggang dan hanya
terdengar suara benda dicabut, "sraat!", kemudian
disusul bunyi benda beradu berbareng dengan


Pendekar Naga Geni 3 Badai Di Selat Karimata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terpotongnya sinar yang menyambar itu oleh sebuah
sinar yang lain.
Semuanya itu terjadi dalam waktu yang pendek
sehingga orang-orang di dalam warung itu termasuk
Garang Segara sendiri tercengang heran melihat sinar berputar dari tangan Mahesa
Wulung. Bersamaan bunyi berdenting, semua orang melihat
ke arah lantai dan terlihatlah di atas lantai itu, uang logam milik Garang
Segara, tetapi kini terbelah
menjadi dua bagian seolah-olah dipotong oleh benda yang tajam! Dari arah lantai
itu, semua pandangan
mata kemudian beralih ke arah Mahesa Wulung yang
dengan cepat tetapi tenang memasukkan kembali
pedang di tangannya ke dalam sarungnya kembali.
"Huh, untunglah aku tidak membawa cambuk
pusakaku si Naga Geni dalam penyamaranku ini. Jika tidak aku tinggal di perahu,
pastilah setiap orang akan segera mengenalku sebagai Barong Makara!"
Mata Garang Segara hampir-hampir tak percaya
melihat mata uang logamnya terbelah menjadi dua
oleh sabetan pedang Mahesa Wulung.
"Harap dimaafkan, Kisanak. Itu tadi salah satu
permainan pedangku yang terburuk. Mudah-mudahan
ia tidak mengejutkanmu!" Mahesa Wulung berkata
pelan sambil menyeruput air kopinya kemudian
disusul tangannya mencomot juadah untuk
dimakannya. Garang Segara menyembunyikan kekagetannya dan
ia segera mendekati Mahesa Wulung sambil membawa
semangkuk tuak yang tadi telah dipesannya dari
pemilik warung itu.
"Maaf, Tuan. Semuanya tadi adalah permainan
untuk sekedar menghibur orang-orang pengunjung
warung ini. Aku tak pernah benar-benar bermaksud
mencelakaimu. Nah, izinkanlah aku duduk bersama
Tuan!" "Boleh, silahkan. Aku tak keberatan Kisanak duduk
di sini," jawab Mahesa Wulung ramah.
"Perkenalkan aku Garang Segara dari Karimata."
"Saya Wulung, petualang samudra tak bertempat
tinggal," ujar Mahesa Wulung.
"Adakah kepentingan Tuan untuk berlabuh dan
mengunjungi pulau ini?" Garang mulai menyelidik.
"Ah, saya hanya dagang kecil-kecilan dan tidak ada maksud-maksud lain. Apa
salahnya seperti aku ini
orang petualang samudra yang gemar melihat
keindahan pulau-pulau yang tersebar di nusantara ini, untuk berlabuh disini?"
"Syukurlah kalau demikian. Dan untuk
ketangkasan Tuan Wulung yang hebat tadi izinkanlah aku menyuguhkan untuk Anda
semangkuk tuak harum yang tiada tandingannya!" Garang Segara
menyodorkan semangkuk tuak untuk Mahesa Wulung
sementara ia sendiri menikmati semangkuk tuak pula.
Mahesa Wulung yang tidak menyangka sama sekali
kelicikan Garang Segara yang berkedok keramahan
itu, dengan tanpa curiga sedikitpun mulai mengangkat semangkuk tuak itu, dan ia
mulai meminumnya.
Sesaat kemudian tampaklah perubahan pada wajah
Mahesa Wulung setelah ia meminum tuak itu. Kelopak
matanya meredup dan tampak seperti orang
mengantuk, sedang mulutnya beberapa kali menguap.
"Heh, heh, apakah Tuan merasa mengantuk?"
Garang Segara bertanya disertai mulutnya yang
menyeringai kepuasan.
"Ya..., aku mengantuk... aku ingin tidur rasanya...."
Mahesa Wulung berkata terputus-putus, sebab ia
sudah tak kuat lagi menahan kantuknya, maka sesaat kemudian ia merebahkan
kepalanya ke atas meja dan
mulai tidur kepulasan.
"Bagus, obat tidur itu sudah mulai bekerja dengan
sempurna. Nah, sebentar lagi ia akan mampus di
tangan Lanun Sertung!" Garang Segara berpikir cepat.
"Hee, kawan-kawan. Tolonglah sahabatku ini. Bawalah ia ke kamar tidur
kepunyaanku!"
Dua orang dari keempat kawan Garang Segara yang
tadi berjudi bersama Dungkul bangkit dari duduknya dan cepat mereka menggotong
tubuh Mahesa Wulung
untuk dibawanya ke dalam sebuah kamar.
Pelayan tua yang mengikuti semua kejadian tadi
sambil memegang tongkatnya, cepat menyelinap keluar dari warung. Pemilik warung
itu sendiri agak heran mula-mula, tapi akhirnya iapun maklum bahwa
pelayannya yang tua itu sering berkelakuan yang aneh, yang kadang-kadang sukar
dimengerti olehnya.
Sementara itu kedua orangtua menggotong tubuh
Mahesa Wulung masuk ke dalam sebuah kamar diikuti
oleh Garang Segara di belakangnya. Kamar itu agak
luas dalamnya. Sebuah meja kayu dan dua buah kursi terletak menghadap pintu dan
di sebelahnya, merapat pada dinding terdapat sebuah balai-balai beralasan tikar
anyaman berwarna-warni. Kalau orang masuk ke dalam kamar ini, pastilah
perhatiannya akan tertarik pada balai-balai dari kayu yang mempunyai kaki
besar-besar yang jarang sekali tandingannya. Sedang seluruh lantai itu terdiri
dari batu-batu padas yang dipotong lebar-lebar tipis empat persegi panjang.
"Sekarang cepat geser ke samping balai-balai ini!"
terdengar Garang Segara memerintah kedua anak
buahnya. Setelah mereka menggeletakkan tubuh Mahesa
Wulung di lantai, kedua orang ini lalu menggeser balai-balai kayu dan kemudian
keduanya membungkuk ke
lantai serta menggeser sebuah di antara lantai-lantai batu padas ini. Akhirnya
dengan sedikit payah berhasil pulalah mereka menggesernya. Ternyata dasar lantai
yang digeser tadi merupakan sebuah lubang yang
masuk ke dalam tanah.
"Nah, kini bawalah dia turun ke dalam gua."
Sekali lagi Garang Segara menyuruh kedua anak
buahnya menggotong tubuh Mahesa Wulung turun ke
dalam gua di bawah tanah itu. Dan ia sendiri sebelum turun ke lubang itu,
kembali memanggil seorang anak buahnya yang masih duduk-duduk di warung untuk
menggeser kembali balai-balai tadi.
Ketiga orang yang kini berada di dalam ruangan gua di bawah tanah itu cepatcepat memasang obor, dan
ruangan itu sekejap menjadi terang-benderang.
Ruangan itu tidak begitu luas dan cahaya obor itu
menerangi sebuah jalan terowongan yang memanjang.
Sebuah lubang di langit-langit terowongan yang dibuat dengan ruas-ruas bambu
rupa-rupanya menembus
sampai ke permukaan tanah sehingga udara segar
mengalir ke dalam terowongan di bawah tanah itu.
"Dia harus kita bawa ke sarang kita di Lembah
Maut," kata Garang Segara kepada kedua orang anak
buahnya yang sedang bersiap-siap menggotong
kembali tubuh Mahesa Wulung.
"Mengapa tidak kita bereskan di sini saja, dia?"
bertanya salah seorang anak buah Garang Segara
"Tidak! Ia harus kita tangkap hidup-hidup.
Begitulah perintah Lanun Sertung kepada kita. Nanti dia sendirilah yang akan
menghabisi nyawa si Barong Makara ini. Dan jangan lupa, untuk ini kita bakal
menerima upah yang cukup besar dari pemimpin kita!"
Garang Segara meringis dan kemudian ketiganya
tertawa cekakakan. Tetapi ketawa mereka terhenti
sebab tiba-tiba dari mulut Mahesa Wulung terdengar suara keluhan dan tubuhnya
mulai bergerak-gerak.
"Celaka, ia mulai sadar!" seru salah seorang anak
buah Garang Segara.
"Tidak, tak mungkin ia sadar. Obat itu bekerja
sampai besok pagi. Kalian tak perlu khawatir dan biar aku yang akan membuatnya
pulas kembali!" Garang
Segara tampak mengepal-ngepalkan jari-jarinya sambil menatap tajam ke arah
Mahesa Wulung. "Dan
sekarang tegakkan dia baik-baik!"
Kedua orang itu segera memapah tubuh Mahesa
Wulung sampai setengah tegak berdiri di atas lantai terowongan.
"Awas, peganglah tubuhnya erat-erat!" teriak
Garang Segara. Berbareng dengan itu ia melayangkan kepalan tangan kanannya.
"Praak!" Dagu Mahesa
Wulung kesambar jotosan Garang Segara sampai
kepala pendekar ini terhempas ke belakang. "Buk!"
Disusul tangan kiri Garang Segara bersarang ke perut Mahesa Wulung sehingga
tubuhnya kembali meliuk ke
depan seperti cacing kepanasan. Kemudian sekali lagi
"Prak" mulut Pendekar Mahesa Wulung menjadi
sasaran. Darah merah mengalir dari bibirnya yang
tersobek. Setelah itu disusul lagi beberapa jotosan yang membuat tubuh Mahesa
Wulung merosot ke
bawah dan tidur pulas kembali tapi pada wajahnya
kini dihiasi oleh bengkak-bengkak kecil kebiruan serta goresan-goresan merah.
"Dia tidur kembali sekarang."
Ketiga orang ini sekali lagi tertawa riuh sampai
mengumandang di segenap ruang terowongan, persis
ketawa setan yang mendapat korban.
"Nah, sekarang cepat kita bawa ia ke sarang kita!"
Maka ketiganya membawa seolah-olah tak ada
akhirnya. *** Sementara itu suasana di dalam warung masih
tetap ramai dan si pemilik warung sibuk menghitung uang dagangannya. Ia memakai
baju berlengan panjang dan berkumis serta jenggotnya tampak kaku.
Meski wajahnya kelihatan ramah, namun sinar
matanya tajam seperti serigala dan membayangkan
kebengisan. Saking keasyikan ia menghitung duitnya itu, tak
sadar bahwa seseorang telah datang dan berdiri di
muka mejanya. "Maaf Tuan, izinkanlah aku mengganggu sebentar."
Pemilik warung terperajat, tapi ia cepat tersenyum lebar.
"Ooo, kau Lodan. Stt, bagaimana dengan obat
tidurku tadi" Apakah ia cukup baik kerjanya?"
"Luar biasa, Tuan. Ia bekerja dengan sempurna.
Dan kini si petualang samudra Barong Makara di
tengah perjalanan ke Lembah Maut dalam keadaan
tertidur pulas."
"Ha, ha, ha, aku turut merasa senang dengan
tertangkapnya si Barong Makara. Oleh sebab itu, nih terimalah uang ini sekedar
sebagai rasa gembiraku."
Tangan si pemilik warung menyodorkan beberapa
mata uang logam di atas meja dan oleh Lodan cepatcepat dipungutnya serta pindah ke dalam ikat
pinggangnya. "Terima kasih Tuan, terima kasih."
Tiba-tiba mereka dikejutkan sesosok bayangan yang
meleset ke dalam warung itu sampai menimbulkan
kegaduhan sejenak. Sedang si pemilik warung sendiri begitu menatap orang yang
baru datang itu seketika membelalak saking heran bercampur kaget melebihi
sebuah halilintar yang menyambar di sampingnya.
Berkali-kali matanya dikedip-kedipkan seakan-akan ia tak mau percaya dengan apa
yang dilihatnya! Seorang laki-laki berkedok biru dengan gambar Makara Kuning
emas dan pada tangannya tergenggam sebatang
cambuk menyala biru kehijauan!
"Barong Makara!" cetus si pemilik warung.
Yang lebih kaget lagi ialah si Dungkul tadi, sebab jelas ia telah melihat dengan
mata kepala sendiri
bahwa si petualang samudra yang tidak lain adalah
Barong Makara telah mereka tangkap. Tapi kini Barong Makara muncul kembali
bahkan lengkap dengan ciri-ciri khusus Pendekar Barong Makara sendiri, terutama
dengan cambuk Naga Geni yang menyala biru
kehijauan. Itu lebih meyakinkan bahwa yang baru
datang ini adalah Barong Makara yang asli. Kalau
begitu siapakah orangnya yang telah mereka tangkap tadi"
Belum lagi mereka selesai dengan hatinya yang
bergelut dan penuh pertanyaan terhadap pendekar
yang baru muncul ini, tiba-tiba tamunya telah
bertanya lebih dulu.
"Hee, kau Dungkul! Aku tahu sahabatku si
petualang samudra telah datang ke warung ini, tapi
sekarang tak kulihat batang hidungnya lagi. Di mana dia sekarang"! Kau sebagai
anak buahnya pasti tahu!"
Mendengar pertanyaan si pendekar berkedok ini,
Dungkul yang telah merasa berbuat curang kepada si petualang samudra yang tidak
lain adalah Mahesa
Wulung, dengan sendirinya menjadi pucat ketakutan.
Peluh dingin mulai menitik dari dahinya.
"Tidak! Aku tidak tahu kalau dia di sini!" teriak
Dungkul semakin ketakutan ketika tangan pendekar
itu dilihatnya mulai menggerak-gerakkan cambuknya.
Sedang dua orang teman berjudinya yang duduk di
samping Dungkul saling berpandangan seolah-olah
saling bertanya apa yang bakal dilakukannya. Seorang di antaranya menurunkan
tangannya di bawah meja
dengan gerak lamban yang tidak mencurigakan. Tetapi sekejap kemudian tangan itu
telah menggenggam
sebatang pisau belati panjang siap dilemparkan ke
arah pendekar berkedok.
Hanya sayang, orang ini belum tahu siapa dia
pendekar berkedok itu. Karena dengan gerakan yang
sukar dimengerti kecepatannya, tangan pendekar
berkedok telah menggerakkan cambuknya yang
meluncur ke arah tubuhnya seperti seekor naga dan
tahu-tahu "Taarr!", pisau belatinya terbetot lepas dari genggamannya dan
kemudian terpelanting menancap
di dinding kayu warung itu.
"Awas, jangan mencoba bermain-main dengan
saya!" bentak pendekar berkedok keras-keras.
Si pemilik warung segera berbisik kepada Lodan
yang masih berdiri di sampingnya, "Stt, Lodan,
cepatlah kau usir orang berkedok itu. Aku akan keluar dari warung ini. Hadapilah
dia bersama-sama sekuat tenaga. Tunjukkan bahwa kau anak buah Lanun
Sertung yang baik!"
"Baik, Tuan. Kami akan menghadapinya, jangan
kuatir," ujar Lodan meyakinkan dan si pemilik warung mengangguk puas, kemudian
pergi menyelinap
meninggalkan warung itu.


Pendekar Naga Geni 3 Badai Di Selat Karimata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"He, pengecut berkedok! Kau jangan membuat
keonaran di sini, tahu! Sebaiknya cepat-cepat kau
tinggalkan tempat ini sebelum kami semua terpaksa
melemparkan kamu keluar dari warung ini!" Lodan
berseru dengan garangnya sambil memberi isyarat
kepada Dungkul serta kedua orang temannya.
"Ha, ha, ha, aku bukan anak kecil yang harus kau
takuti dengan ancaman itu!" ujar pendekar berkedok setengah mengejek kepada
Lodan dengan kawan-kawannya.
"Baik! Kau memang jantan dengan ucapanucapanmu itu, tapi belum tentu kau mampu
menghadapi permainan pedangku dari perguruan Mata
Iblis! Nah, bersiaplah menyambut ajalmu!" Lodan
dengan kecepatan luar biasa menghunus pedangnya
dan mulai melancarkan serangannya yang pertama.
Pedangnya menebas miring ke arah dada pendekar
berkedok. "Jurus angin menyapu ombak!" desis pendekar
berkedok melihat pedang lawannya menebas ke arah
dadanya dengan sambaran angin yang hebat. Namun
ia pun tak kalah cepatnya untuk melompat mundur
satu langkah, sampai pedang lawan mengenai tempat
kosong. Terdengar Lodan mengumpat melihat
serangan pertamanya gagal.
Pendekar berkedok dengan lincah dan cepat melesat
keluar dari warung itu.
"Haai, pengecut berkedok, mau lari ke mana, kau"!"
berteriak Lodan sambil mengejarnya keluar dari
warung itu, diikuti oleh Dungkul dan kedua orang
temannya yang lain.
"Ha, ha, ha, aku tak pernah melarikan diri dari
musuh-musuhku. Aku cuma ingin tempat yang lebih
luas agar permainan cambukku ini bisa leluasa!"
pendekar berkedok tertawa menjengkelkan keempat
musuhnya! Pengunjung-pengunjung warung lainnya
berlompatan ke luar warung.
Kini terjadilah di halaman warung itu pertempuran
hebat dengan disaksikan oleh para pengunjung
warung serta beberapa penduduk di situ. Pendekar
berkedok memutar cambuknya seperti kitiran
berpusaran dan sebentar-sebentar menyerang
lawannya. Lodan dalam beberapa jurus saja sudah mulai
mengeluh menghadapi pendekar berkedok itu. Namun
iapun sudah bertekad untuk bertempur sekuat
tenaganya. Sekonyong-konyong sebuah sabetan
cambuk Naga Geni meluncur ke arah kepalanya.
Lodan cepat menangkis dengan putaran pedangnya,
meskipun ia sadar bahwa itu tidak akan banyak
menolongnya. Ternyata benar dugaannya, pedangnya
kena terbentur oleh ujung cambuk Naga Geni dan
Lodan terpental seperti disambar petir dan pedangnya terlepas dari tangan.
Sekali lagi Lodan cepat bangun sambil melemparkan sesuatu yang baru diambilnya
dari ikat pinggangnya.
Pendekar berkedok cukup waspada, begitu puluhan
jarum berbisa melayang ke arah tubuhnya, ia cepat
mengerahkan ilmu meringankan tubuh dan tubuhnya
melesat ke atas berjumpalitan di udara. Maka puluhan jarum berbisa itu lewat di
bawah tubuhnya laksana
hujan deras. Dan sejurus, terdengarlah satu jeritan lagi. Ternyata dua orang
anggota bajak lain yang
menjadi lawan pendekar berkedok itu, berebahan ke
tanah. Tubuhnya berubah menjadi hijau kepucatan
dan matilah mereka.
Begitulah, senjata rahasia kawannya telah
merenggut nyawa mereka sendiri. Jarum-jarum
berbisa meminta nyawa! Melihat hal ini, Dungkul
sudah tak sabar lagi. Ia benar-benar kehilangan
pengamatannya sambil mengerahkan segenap tenaga
simpanan, pedangnya diputar mematuk-matuk ke
arah pendekar berkedok yang telah siap berdiri tegak dan memegang cambuk Naga
Geninya. Pendekar
berkedok ini masih berdiri tegak mengawasi tajam
semua tingkah Dungkul yang memamerkan ilmu
pedangnya. Berbareng Dungkul menyerbu ke arah
pendekar berkedok, lawannya ini telah pula memutar cambuknya ke arah Dungkul
untuk menyambut
serangannya. Maka sejurus kemudian terjadilah dua
benturan senjata beradu yang masing-masing telah
digerakkan oleh dua tenaga berkekuatan tinggi.
Sebetulnya putaran pedang di tangan Dungkul
berhasil membabat cambuk Naga Geni, tetapi anehnya cambuk ini seolah-olah
terbuat oleh anyaman baja,
sehingga ia tidak putus tetapi hanya bergetar saja.
Kemudian Dungkul tak dapat mengelak lagi ketika
ujung cambuk itu menjegat kepalanya. Satu jeritan
ngeri kesakitan menggetarkan halaman warung.
Orang-orang di situ terpekik pula dan melongo ketika mereka melihat tubuh
Dungkul terbanting ke tanah
dengan kepala yang hangus seperti disambar petir dan mulutnya melelehkan darah
kematian, hitam kental.
Pendekar berkedok cepat memutar tubuhnya untuk
menghadapi Lodan si pelempar jarum berbisa. Tetapi Lodan sendiri bukanlah orang
yang bodoh jika ia
masih berdiri di situ. Sebab ketika tubuh Dungkul
terbanting ke tanah dengan kepala hangus, ia telah
lebih dulu mengambil langkah seribu, menerobos
pagar-pagar manusia yang menonton pertempuran
tersebut. Beberapa orang penonton yang tidak
menduga hal ini terpaksa terdesak, terhempas jatuh menimpa teman-temannya di
sebelah, sehingga
mereka pun jatuh terjengkang ke tanah. Terdengar
makian bercampur merintih berbareng, namun hal itu sudah tak terdengar oleh
Lodan yang telah lari dan di sebuah belokan jalan, tubuhnya sudah lenyap di
sebuah semak-semak ilalang. Betapa marahnya si
pendekar berkedok melihat lawannya telah lari dari tangannya, terbayang pada
sorotan matanya yang
tajam. Dan ketika pandangannya terpaku pada orangorang yang masih berkelesetan di tanah akibat
tubrukan dari tubuh Lodan tadi, pendekar berkedok cepat mendatangi mereka.
"Hmm, memang licik musuhku tadi. Ternyata ia
tidak lari begitu saja, tapi masih sempat menotok jalan darah orang-orang ini!"
terdengar ia menggeram.
Pendekar ini cepat-cepat menolong mereka dan
ketiga orang yang terbaring di tanah separo lumpuh itu segera diurut-urut jalan
darahnya, agar beredar
kembali dengan lancar. Sebentar kemudian tampaklah mereka ditolong oleh kawankawannya untuk berdiri
dan berhasil! Mereka sempat mengucapkan rasa
terima kasihnya, pendekar berkedok telah meleset
masuk ke dalam warung. Orang-orang tadi tak ada
yang berani bergerak, sebab mereka di samping kagum bercampur takut, mereka
memang tak ingin mencoba
mengganggu maksud-maksud si pendekar berkedok.
Mereka yakin bahwa orang ini bukanlah orang jahat.
Setelah beberapa saat mereka berdiri di luar warung itu, tampaklah pendekar
berkedok melangkah keluar
dari dalam warung. Sekali lagi mereka dibuat terkejut
oleh melesatnya tubuh si pendekar meninggalkan
tempat itu sambil berseru dengan nyaring!
"Maaf para Kisanak, aku tak sempat berkenalan
dengan kalian. Lain kali kita ketemu lagi. Selamat tinggal."
Terdengar suara itu mengumandang dan kemudian
semakin lemah lalu lenyap bersama tubuh si pendekar berkedok yang menerabas
semak ilalang. Semuanya seakan-akan terpaku dengan kejadian
yang baru saja berlalu di hadapan mata mereka.
Selama ini tak seorang pun berani menentang orangorang dari kawanan Iblis Merah, tetapi hari ini mereka menyaksikan seorang
pendekar berkedok telah
menewaskan dan menentang mereka. Ah, mereka
bersukur kepada Tuhan bahwa seseorang telah berani merintis, melawan kejahatan.
Tetapi siapakah
pendekar berkedok tadi" Tak seorang pun yang
mampu menerkanya, sebab pendekar aneh tadi
memang baru kali ini muncul di tempat tersebut.
*** 4 DI PAGI buta itu embun masih mengembang di
udara dengan pekat. Di sebuah jalan kecil yang
menuju ke sebuah bukit, seorang laki-laki tampak
berjalan tergesa-gesa dan sebentar-sebentar ia
menoleh ke belakang seperti takut diketahui orang atau memang ia takut akan
sesuatu yang mengejarnya. Jalan yang dilaluinya itu terlindung di bawah semak-semak bambu dan
ilalang sehingga ia
sedikit merasa aman.
Ketika ia baru saja melewati rumpun pohon pisang,
tiba-tiba terasa jari-jari tangan kokoh yang
mencengkam tengkuknya.
"Berhenti kau, Lodan!"
Sebuah teriakan nyaring terdengar membuat
hatinya serasa terbang. Orang tadi memejamkan mata ketika tangan yang kokoh
mencengkam tengkuknya.
Dan ia sudah membayangkan bahwa pendekar
berkedok telah berada di belakangnya siap mengambil nyawa.
"Di mana kawan-kawan yang lain"!" terdengar
sekali lagi suara nyaring di belakangnya.
Mendengar suara ini Lodan menarik napas lega.
hatinya tenang kembali seperti disiram oleh seember air sendang. Ya, ia sudah
mengenal suara di
belakangnya ini dan telah bertahun-tahun ia
menghadapinya. Oleh sebab itu ia serentak menoleh ke belakang.
"Oooh, Bapak"!"
Di belakangnya ternyata adalah pemilik warung
yang pada tangan kirinya menggenggam sekantung
uang penuh padat.
"Lekas jawab, di mana kawan-kawan yang lain"!"
"Ampun, Pak. Mereka bertiga tewas dalam melawan
pendekar berkedok di halaman warung...," ujar Lodan setengah merengek. Hatinya
berdebar-debar sebab ia sadar, bahwa dua orang kawannya telah tewas akibat
senjata jarum bisanya.
"Bagus. Kali ini kau masih kuampuni, setan! Ayo
kita cepat meninggalkan tempat ini. Pasti kawankawan kita telah menunggu di Lembah maut!"
Lodan tak berani berkata-kata lagi kecuali
mengikuti langkah-langkah si pemilik warung yang
menanjak ke arena bukit yang dipenuhi oleh batu-batu besar bertonjolan setengah
terpendam di dalam tanah.
Begitu banyaknya, bagaikan setan-setan penjaga
bukit, ditambah lagi beberapa batang pohon mati yang cabangnya bergerak-gerak
tertiup angin menambah
seramnya tempat itu.
Maka pantaslah bila tempat tersebut disebut
Lembah Maut dan orang-orang di pulau ini tak seorang pun yang berani mencoba
menginjaknya. Setelah
kedua orang ini melewati kira-kira dua kali setinggi manusia, mereka mulai
mengikuti jalan menurun ke
Lembah Maut itu. Segera tampaklah beberapa gubuk
kecil beratap ilalang di bawah sebuah batang pohon kering yang berdiri megah
merajai Lembah Maut.
Kedua orang ini disambut oleh seorang laki-laki
berwajah garang.
"Selamat datang di Lembah Maut, Bapak."
"Terima kasih, Garang Segara," ujar si pemilik
warung minum sambil mengelus-elus kumis ijuknya.
"Di mana tamu kita, si petualang samudra, sekarang ini?"
"Dia baru beristirahat di sana, Bapak," kata Garang Segara sambil menunjuk ke
arah sebuah batu hitam
besar yang permukaannya datar dan licin sedang di
sekelilingnya terdapat pula beberapa batu serupa yang lebih kecil. Sepintas lalu
orang akan membayangkan seperti meja besar yang dikelilingi oleh kursi-kursi
batu. Si pemilik warung segera mendekati batu meja yang
besar itu, karena di atasnya terbaringlah sesosok
tubuh. Ternyata itulah Mahesa Wulung terbaring
dengan tangan dan kakinya, terikat oleh tali-tali. Meski sinar matanya tajam
mengawasi orang yang mendekat
itu, namun ia tak dapat menggerakkan tubuhnya sama sekali. Memang hebat pengaruh
obat tidur yang
terminum olehnya. Tubuhnya terasa lemah lunglai
seperti tak bertulang tak berotot. Mendadak mata
Mahesa Wulung menatap tajam ke arah si pemilik
warung dan di sampingnya berdiri Marangsang.
"Keparat! Rupanya kau berkomplot dengan orangorang jahat ini!" desis Mahesa Wulung sambil giginya gemeretakan menahan marah.
"Ha, ha, ha, lihatlah, Kisanak. Siapa yang kau ajak bicara ini," si pemilik
warung berkata sambil
menanggalkan baju panjangnya dan kemudian
mengusap mukanya yang penuh garis keriput ketuaan.
"Lanun Sertung!" seru Mahesa Wulung kaget
setelah ia melihat, bahwa si pemilik warung yang
berdiri di hadapannya itu tidak lain adalah Lanun
Sertung sendiri. Orang yang harus dicari dan
ditangkapnya. "Ha, ha, ha, mengagumkan bukan?" ejek si Lanun
Sertung kepada musuhnya yang tak berdaya lagi.
"Ternyata penyamaranku ini cukup sempurna,
sehingga kau masuk perangkapku! Ha, ha, ha, ha.
Maaf jika sambutanku kurang menyenangkan dalam
kunjunganmu ke Pulau Karimata ini. Tapi itu salahmu sendiri, jika orang-orang
macam kamu berani
mengejar-ngejar Lanun Sertung dengan
gerombolannya. Nah, tunggulah sebagai hadiah
keberanianmu. Siang nanti akan segera habis
riwayatmu!"
"Huh, jangan kau kira anak buahku akan tinggal
diam dengan perbuatanmu ini. Sebaiknya (kau)
membebaskan aku dan menyerah saja!" kata Mahesa


Pendekar Naga Geni 3 Badai Di Selat Karimata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wulung dengan tenang. "Akan kuampuni dosamu
(yang) telah kelewat banyak!"
"Gila! Kawanan Iblis Merah tak kenal arti kata
menyerah. Mereka hanya kenal semboyan, bertempur
sampai mati. Kau lihat, biarpun anak buahku habis
binasa di Tanjungpinang, dan kini tinggal lima belas orang saja, tetapi mereka
cukup berani kalau hanya menghadapi anak buahmu!" Lanun Sertung berhenti
sejenak dengan kata-katanya, namun matanya terus
menatap tajam ke arah Mahesa Wulung. "Aku punya
usul, Kisanak. Bagaimana jika Anda bekerja saja
untukku?" "Kurang ajar! Kalau kau menghendakinya, aku pun
bersedia untuk membinasakanmu!" Mahesa Wulung
merasa puas dengan kata-katanya yang tajam. "Kau
harus menebus kematian ayahku yang telah kau
tewaskan di Selat Karimata, pada belasan tahun yang lalu."
"Ya, ya, aku sudah tahu hal ini. Justru itulah kami sudah bersiap-siap
menyambutnya. Nah, kalau Anda
memang benar-benar putera Sorengyudo yang telah
terkubur di bawah laut sana, maka kematianmu tidak perlu ditunda-tunda lagi.
Sekarang juga kau harus
mampus!" Lanun Sertung berseru sambil menghunus
pedangnya siap dibacokkan ke tubuh musuhnya yang
tergeletak di batu.
Melihat hal ini, Mahesa Wulung benar-benar
kehilangan akal, apa yang harus diperbuatnya" Tiba-tiba tanpa diduga oleh siapa
saja, sebuah pondok telah termakan api, berderak-derak bunyinya.
"Hee, cepat siram dengan air!" perintah Lanun
Sertung keras-keras. "Ayo, padamkan!"
Serentak orang-orang Iblis Merah sibuk mencari air untuk memadamkan pondok
ilalang yang terbakar itu.
Langkah-langkah kaki simpang siur membuat suasana
makin membingungkan pandangan mata. Belum lagi
api terpadamkan, mendadak satu pondok yang lainnya terbakar pula. Kalau tadi
Lanun Sertung hanya
memberi aba-aba saja, kini ia sendiri turut sibuk
memadamkan api yang berkobar-kobar.
Dengan begitu untuk sementara mereka
membiarkan Mahesa Wulung yang terikat tubuhnya
itu, sendirian menggeletak di atas batu, tanpa ada yang menjaganya. Mereka
seperti lupa bahwa
tawanannya adalah Mahesa Wulung, seorang pendekar
dari armada Demak yang terpilih dalam tugas-tugas
yang berbahaya. Dan lagi, (bagi) setiap gerombolan hitam, nyawa Mahesa Wulung
berharga ratusan mata
uang emas. Di saat nyala api makin berkobar, dari sela-sela
batang-batang pohon tua yang kering meloncatlah satu bayangan ke arah tempat
Mahesa Wulung terikat.
Gerakannya lincah bagaikan hantu, lebih-lebih sosok tubuh ini berpakaian putihputih. Mata Mahesa
Wulung terbeliak ketika orang ini tiba di dekatnya.
"Bapak pe... la...," kata-katanya terputus.
Namun orang ini cepat menyambungnya, "Ya, ya
akulah pelayan warung seperti yang pernah Tuan
jumpai di warung itu," kata orang yang tua ini dengan ramahnya. Ia mengenakan
sebuah caping pada
kepalanya dan tangan kanannya menggenggam sebuah
tongkat lurus sepanjang satu depa.
"Maaf, Angger. Sekarang bukan saatnya kita
berceritera panjang lebar. Aku harus menyelamatkan Angger dari tangan-tangan
jahat mereka," ujar orang tua ini sambil menarik pangkal tongkatnya.
Luar biasa, ternyata tongkat itu adalah sebilah mata pedang yang tajam pada
kedua belah sisinya. Tanpa
memakan waktu yang lebih lama, ujung pedang orang
tua itu telah memutus tali-tali pengikat tubuh Mahesa Wulung.
"Maaf, Bapak, aku tak dapat berlari cepat karena
pengaruh obat yang meracuni tubuhku belum punah
sama sekali!" berkata Mahesa Wulung pelan sambil
menggerak-gerakan tubuhnya yang telah bebas dari
ikatan tali-tali.
"Jangan kuatir, Angger," orang tua tadi berkata
penuh hormat. "Kalau Angger tak mampu berjalan
jauh, biar bapak yang akan menggendongmu!"
"Ah, tidak, Bapak. Terima kasih. Itu tak mungkin
kulakukan, sebab Bapak lebih tua dan aku senantiasa menghormati orang tua."
"Janganlah segan-segan, Angger. Aku menghormati
sikapmu itu. Tapi dalam keadaan yang segenting ini dan juga mengingat keadaan
tubuhmu, maka tak ada
salahnya jika aku menggendongmu lari dari tempat
ini." Belum lagi mereka beranjak dari tempat itu,
sekonyong-konyong dari gumpalan asap api muncullah satu bayangan menuju ke
tempat mereka. "Nah, Angger, apa kataku tadi" Kita harus cepatcepat pergi dari tempat ini. Lihatlah, bahaya yang lain sedang mengancam kita."
Orang tua ini cepat-cepat
bersiaga menanti bayangan yang mendatang.
"Garang Segara!" desis Mahesa Wulung sambil
menatap bayangan orang yang baru muncul dan kini
berdiri di hadapan mereka.
Si wajah bengis ini pada ikat pinggangnya
menyelipkan dua buah pedang dan mata Mahesa
Wulung yang tajam segera dapat mengenal, bahwa
salah satu di antara kedua pedang itu adalah
pedangnya sendiri, hadiah pemberian Pendekar
Prahara dari Tanjungpinang!
"Hmm, mereka merampas pedangku ketika aku
jatuh tak sadar di warung, namun bagaimanapun juga ia harus kembali ke
tanganku!"
Betapa kagetnya hati Garang Segara ketika ia
melihat seorang tua telah melepaskan ikatan tali-tali pada tubuh Mahesa Wulung,
maka secepat kilat ia
menghunus pedangnya dan menyerbu ke arah mereka.
"Hee, kau tua bangka bercaping," bentak Garang
Segara sambil mengacung-acungkan pedangnya ke
arah muka si orang tua. "Kau rupanya ingin mampus
bersama Barong Makara ini! Nah, bersiaplah untuk
menerima kematianmu!"
Dengan tebasan pedang yang hebat mengagumkan,
Garang Segara menyerang si orang tua, namun
lawannya ini hanya menggerakkan pedangnya sedikit
dan saking cepatnya seolah-olah tampak sebagai
kilatan sinar yang menyambar perut Garang Segara.
"Waak!" satu suara benda terobek disusul jerit ngeri terlontar dari mulut Garang
Segara yang tubuhnya
sesaat tampak kejang tetapi kemudian jatuh berguling ke tanah dengan darah merah
menyemprot dari
perutnya. Mahesa Wulung ternganga heran melihat kehebatan
ilmu pedang orang tua bercaping ini. Benar-benar lebih hebat dari ilmu pedang
Pendekar Prahara yang pernah dipelajarinya selama ia tinggal di Tanjungpinang.
"Bapak, tolong ambilkan pedangku yang terselip di
ikat pinggang Garang Segara itu. Ia dirampas dari
tanganku ketika aku jauh tak sadar di warung."
Pendekar tua itu segera memenuhi permintaan
Mahesa Wulung, dan ia melolos pedang yang dimaksud dari ikat pinggang Garang
Segara yang berlumuran
darah. Bersamaan keduanya beranjak meninggalkan
tempat itu. Dari arah utara muncullah beberapa sosok tubuh.
Melihat hal ini, si pendekar tua yang menggendong
Mahesa Wulung tak mau lebih lama terlibat di tempat
ini, maka ia cepat-cepat meloncat meninggalkan
tempat itu. Orang-orang yang baru datang tadi, demi dilihatnya tubuh Garang Segara
tergeletak tak bernyawa dan
kemudian mereka melihat orang yang bergendongan
lari dari tempat itu, mereka serempak berloncatan
menyerbu. Tetapi sayang, mereka terpaksa melongo
keheranan sebab orang yang menggendong itu dengan
lincahnya melompat-lompat dari batu ke batu seperti hantu, sementara mulutnya
mengeluarkan ketawa
yang meringkik menyerikan telinga, sehingga membuat bulu tengkuk mereka pada
meremang ketakutan.
"Hee, goblok kalian! Ayo, kejar mereka!" teriak
Lanun Sertung yang baru tiba di tempat itu.
Demikian pula Marangsang tak menunggu perintah
berikutnya, ia segera mengejar tawanannya yang
dilarikan orang, disusul oleh orang-orang lainnya anak buah Lanun Sertung.
Kejar-mengejar terjadi di jalan yang menanjak berbatu-batu. Para pengejar itu
tak habis heran menyaksikan sasaran yang dikejarnya.
Keduanya seperti katak bergendongan yang melompatlompat ringan tak bersuara. Setiap orang yang
mengejarnya merasakan desakan-desakan bergelut
dalam dada mereka, seakan-akan mau pecah menahan
napas dalam berlari-lari mengikuti jalan yang mendaki cukup tinggi.
Sesaat kemudian tampaklah oleh mereka sasaran
yang dikejarnya telah melewati pintu gerbang dari batu besar dan tubuh mereka
lenyap di dalam semak-semak ilalang. Marangsang, Lodan, Lanun Sertung dan anak
buahnya tak berani lagi mengejar mereka, kesemuanya berhenti di tempat itu.
"Biarkan mereka lari. Hari hampir pagi. Besok kita cari sampai ketemu, meskipun
seluruh pelosok pulau
ini harus kita bongkar!" berkata Lanun Sertung kepada anak buahnya. "Mari, kita
kembali ke sarang."
*** Dalam hati Mahesa Wulung merasa geli bahwa
sebesar ini ia masih digendong seperti anak kecil. Tak pernah ia membayangkan
bahwa selama hidupnya,
sekali ini ia mengalami hal-hal yang aneh. Seperti pertemuannya dengan pendekar
tua bercaping ini dan cara larinya yang mengagumkan dapatlah ia segera
mengukur betapa hebatnya tenaga dalam orang tua
yang menggendongnya.
Mereka berdua keluar dari rumpun semak ilalang
kemudian melewati sebuah mata air yang jernih
airnya. Setelah menyusuri sebuah sungai kecil
sampailah mereka pada sebuah dataran yang subur.
Pohon nyiur tumbuh di sana-sini dengan buahnya
bergantungan bulat-bulat besar. Pada sebidang tanah kecil yang ditanami pohonpohon jagung, mereka
berdua berhenti. Dari kejauhan terdengar deru ombak yang memecah di pantai yang
letaknya tidak jauh dari ladang jagung itu.
"Nah, Angger kita telah sampai. Itulah tempat
tinggalku sebuah pondok bambu yang tidak terlalu
buruk." Mahesa Wulung turun dari punggung orang tua itu
dan duduklah ia di atas sebuah batu besar di depan pondok bambu.
"Beristirahatlah Angger sejenak. Bapak akan
mencoba meramu obat untuk menghilangkan racun di
tubuhmu." "Terimakasih, Bapak," ujar Mahesa Wulung
berbesar hati. Mendadak sebuah bayangan melesat dari semak
pohon jagung dan tepat berdiri mencegat di hadapan pendekar tua bercaping. Orang
ini berkata dengan
lantang, "Bedebah, rupanya kaulah yang menculik
sahabatku ini. Sekarang ia akan kuminta kembali."
Mahesa Wulung ataupun si pendekar tua bercaping
terkejut bukan main, sebab yang berdiri di hadapan mereka adalah seorang yang
berkedok biru laut
dengan gambar makara kuning emas, sedang pada
tangannya tergenggam sebatang cambuk menyala biru
kehijauan. Yang paling heran adalah Mahesa Wulung
sendiri. Ia melihat pusaka cambuknya Naga Geni
dipegang oleh orang ini. Juga kedoknya pun dipakai pula. Kalau demikian siapakah
dia yang telah berani memakai semua ciri-ciri khusus yang biasa dipakainya
sebagai Pendekar Barong Makara"
"Nanti dulu, Kisanak yang berkedok," ujar orang tua itu dengan ramahnya. "Kau
janganlah keliru
pengertian terhadapku. Aku bukan penculik
sahabatmu seperti yang telah kau katakan tadi.
Bahkan akulah yang telah menolong nyawa dan
hidupnya dari keganasan kawan-kawan Iblis Merah
dari Lembah Maut. Untuk meyakinkan kebenaran
kata-kataku ini, Kisanak sendiri boleh menanyakan
kepada sahabatmu itu."
Pendekar berkedok ini segera berpaling kepada
Mahesa Wulung yang masih duduk di atas batu,
seolah-olah ingin bertanya tentang kebenaran katakata orang tua yang berdiri di hadapannya.
"Kisanak," ujar Mahesa Wulung memecah
kesunyian. "Memang benarlah semua tutur kata Bapak ini. Dialah yang menolong
diriku dari cengkeraman
orang-orang Iblis Merah."
"Hmm, jika hal itu benar, aku pun sudah
sepantasnya mengucapkan terima kasih kepada
Bapak. Akan tetapi ia akan tetap kuminta dari tangan Bapak."
Ucapan pendekar berkedok ini cukup
membingungkan Mahesa Wulung sendiri. Tak mengira
bahwa dirinya dijadikan bahan rebutan antara dua
orang yang belum dikenalnya. Orang tua bercaping
cuma tersenyum-senyum mendengar ucapan pendekar
berkedok. "Sabar, Kisanak. Aku tak punya maksud jahat
terhadap sahabatmu ini. Biarlah ia akan kutahan di sini buat beberapa waktu."
"Heh, apa kepentinganmu dengan menahan
sahabatku ini di tempat sepi terpencil seperti ini?"
"Aku ingin mengambilnya sebagai muridku,
Kisanak. Dan mewariskan segala ilmuku. Telah lama
aku menginginkan seorang murid dan secara
kebetulan aku menemukan sahabatmu yang teraniaya
ini!" "Hah, kau berkata ingin mengambilnya sebagai
muridmu" Akan kau ajari apa dia di sini" Oh,
barangkali Bapak ingin mengajari bertanam jagung
atau memanjat kelapa kepadanya" Tak kulihat tandatanda keperkasaan atau keperwiraan pada diri Bapak!"
Sekali lagi pendekar berkedok berkata dengan


Pendekar Naga Geni 3 Badai Di Selat Karimata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tajamnya! "Memang bapak sudah tua dan hanya seorang
petani saja. Tapi bapak sedikit-sedikit dapat bermain ini!" Orang tua ini
berkata seraya mencabut tongkat pedangnya dan satu gerakan yang secepat topan ia
menggerakkan tangannya. Seleret sinar putih
menyambar sebatang pohon pisang dan "slaak",
tongkat pedang itu kembali ke sarungnya.
Pendekar berkedok dan juga Mahesa Wulung tak
berkedip melihat gerakan kilat dari orang tua
bercaping yang hampir-hampir sukar diikuti mata.
Mereka berdua melihat ke arah pohon pisang yang
kena sambar sinar pedang si orang tua, tetapi pohon pisang ini masih berdiri
tegak! "Ha, ha, ha, Bapak Tua, lihatlah pohon pisang itu
masih utuh. Apakah menebas udara kosong itu yang
akan kau ajarkan kepadanya?" pendekar berkedok
kembali memperolokkan si orang tua bercaping.
"Maaf kalau permainanku telah mengecewakan
Kisanak. Aku pun sangsi apakah pohon pisang itu
masih utuh atau tidak. Maka kiranya tak berlebihan jika aku meminta tolong
kepada Kisanak untuk
memeriksanya!" Meski orang tua itu telah diperolokkan oleh si pendekar berkedok
namun ia sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda kemarahan, bahkan ia
tetap senyum-senyum lucu.
Pendekar berkedok tak sabar tampaknya. Dengan
segera ia memeriksa dan memegang batang pohon
pisang tersebut. Tiba-tiba matanya terbeliak kaget sebab batang pohon pisang ini
mulai terasa bergerak, kemudian oleng dan akhirnya berguling rebah bersama daundaunnya. Ternyata batang pohon pisang itu
terpotong oleh bekas tebasan senjata tajam yang tidak lain adalah tongkat pedang
si orang tua bercaping.
Sungguh-sungguh mengagumkan, tetapi juga
mengerikan! "Lah, itulah Kisanak, sedikit permainanku yang
buruk. Sekarang, apakah Kisanak masih keberatan
jika aku mengambilnya sebagai muridku?"
"Hmm, cukup
hebat, Bapak! Kau boleh
mengambilnya sebagai murid, jika kau dapat
mengalahkan permainanku dalam lima jurus
gebrakan!" pendekar berkedok berkata, dan sekaligus menyiapkan cambuknya!
Melihat ini, pendekar tua itu
pun cepat bersiaga.
Mahesa Wulung bingung menghadapi hal ini.
Kepada siapakah ia seharusnya berpihak" Tanpa
menunggu lebih lama pendekar berkedok melayangkan
pukulan cambuknya ke arah tubuh pendekar tua itu.
Pendekar tua bercaping tak tinggal diam diserang oleh pukulan cambuk lawannya,
cepat ia menggenjotkan
kakinya ke tanah dan tubuhnya berjumpalitan di
udara. "Daar!", suara ledakan terdengar berbareng ujung
cambuk Naga Geni menggempur batu tempat pendekar
tua berdiri. Untunglah ia keburu meloncat, kalau tidak apakah jadinya. Batu
tersebut pecah dengan
mengeluarkan asap panas berkepul ke udara.
Sambil melayang turun dari udara si orang tua
menyabetkan tongkat pedangnya ke arah kepala
pendekar berkedok, namun orang inipun betul-betul
waspada. Dengan loncatan ke samping dan
merendahkan kepalanya, ia terbebas dari maut!
Walaupun meleset mata pedang si orang tua masih
dapat menyambar seekor lalat yang terbang di tempat itu. "Persetan! Kau
mengganggu permainanku!"
Tubuh lalat itu jatuh di atas tanah terbelah menjadi dua!
Keduanya bertempur hebat sampai mencapai jurus
ke lima, dan tepat pada jurus terakhir ini, pendekar berkedok melayangkan
pukulan cambuknya miring ke
arah si orang tua bercaping. Pada saat yang
bersamaan pendekar tua tadi menyilangkan mata
pedangnya mendatar.
Srrttt! Cambuk Naga Geni melibat pedang si orang
tua dengan eratnya dan segera terjadilah tarik-menarik antara mereka berdua
untuk mengadu tenaga dalam.
Peluh dingin bercucuran dari wajah mereka.
Tiba-tiba saja tanpa dinyana, tangan kiri si orang tua menyambar ke wajah
pendekar bertopeng, sambil
berseru nyaring, "Kau memang hebat, Kisanak. Tapi
kau harus memperlihatkan wajahmu yang asli. Biar
aku tahu dengan siapa aku berhadapan!"
Sambaran tangan kiri si orang tua sungguh di luar
dugaan bagi pendekar berkedok. Maka tanpa sempat
mengelak, kedok yang dipakainya terjambret lepas dari wajahnya.
"Pandan Arum" Dimas Pandan Arum?" terdengar
teriakan kagum bercampur gembira dari mulut Mahesa Wulung ketika dilihatnya
wajah asli dari pendekar
berkedok itu yang tidak lain adalah Pandan Arum
sendiri. "Maaf, Kakang Mahesa Wulung. Itu semua aku
lakukan guna menyelamatkanmu dari orang-orang
Iblis Merah."
"Ooh, tobat. Jadi kalian berdua sudah saling
mengenal!" terdengar si orang tua berseru heran. "Dan Angger yang berkedok ini
ternyata pula seorang gadis"
Weh, tobat, tobat. Baru kali ini aku melihat seorang gadis yang masih remaja
sudah memiliki kemampuan
bertempur yang hebat! Kalau demikian harap bapak
yang sudah tua ini dimaafkan dan terimalah kembali kedokmu ini."
Pandan Arum menerima kembali kedok yang
dipakainya seraya mengangguk hormat kepada si
orang tua bercaping. "Aku pun meminta maaf atas
semua sikapku, Bapak."
"Weh, weh, lupakanlah hal-hal yang telah lewat.
Biarkan berlalu sekedar sebagai pengasah budi pekerti kita. Jika kita berbuat
salah, itu sudah lumrah dalam kehidupan manusia. Tetapi hendaknya kesalahan itu
sendiri akan menjadi peringatan bagi kita agar
manusia tidak mengulangnya kembali perbuatan itu."
Orang tua itu berhenti sejenak dengan kata-katanya, seolah-olah sedang
merenungkan apa-apa yang sudah
diucapkannya. "Terima kasih, Bapak. Dan jika diijinkan oleh
Bapak, aku ingin sementara menemani Kakang
Mahesa Wulung di sini. Aku punya obat-obatan yang
mungkin berguna bagi sakitnya." Pandan Arum
berkata sambil mengambil sebuah kantung putih dari ikat pinggangnya, kemudian
mengulurkannya kepada
si orang tua. "Hah" Hebat sekali isinya!" Orang tua itu berseru
setengah heran melihat isi kantung obat-obatan milik Pandan Arum. "Hmm, ini
isinya cukup lengkap. Ini
jamu untuk menghilangkan pengaruh racun di tubuh.
Ini obat menenangkan pikiran, obat penyembuh luka
dan, wah, ini lebih dari cukup. Pantas kalau Angger Pandan Arum ini seorang
bakul jamu dan yang diobati Angger Mahesa Wulung, hi, hi, hi, hi." Orang itu
ketawa dengan lucunya hingga kedua orang mudamudi itu terpaksa mesem kemalu-maluan.
"Eh..., tapi nanti dulu, Angger Pandan Arum.
Apakah semua obat-obatan ini kau sendiri yang
membuatnya?" bertanya orang tua itu sambil tak
henti-hentinya meneliti obat-obatan di dalam kantung putih tadi.
"Mengapa, Bapak" Adakah sesuatu yang menarik
bagi Bapak?" Pandan Arum sekarang ganti bertanya.
"Ya, aku heran dengan macam obat-obatanmu itu.
Nanti dulu, aku akan menunjukkan sesuatu kepada
Angger berdua!"
Orang tua tadi melepaskan capingnya dan cepat
masuk ke dalam pondok bambu. Sesaat kemudian
iapun keluar dengan membawa sebuah kantung dan
ditunjukkan isinya kepada Pandan Arum. Betapa
kagetnya Pandan Arum melihat isi kantung ini.
"Ah, bukankah isinya ini sama dengan yang aku
bawa tadi?"
"Benar, Angger. Isinya memang sama jenisnya!"
orang tua itu membenarkan pendapat Pandan Arum.
"Itulah yang membuatku heran!"
"Ini saya buat bersama Bibi Nyi Sumekar waktu
saja tinggal di rumahnya di lereng Gunung Muria."
"Ooo, jadi Angger Pandan Arum ini adalah
kemenakan Nyi Sumekar dari Gunung Muria"!" orang
tua itu tampak tercengang tapi kemudian ia
menengadah ke atas menatap langit biru, seperti ingin mengumpulkan segala
ingatannya kembali.
Maka suasana sesaat tampak menjadi hening.
Mahesa Wulung sibuk berpikir, siapakah gerangan
orang tua ini. Mengapa ia tinggal di tempat terpencil sesepi ini" Sementara itu
Pandan Arum pun berpikir, bagaimana mungkin orang tua ini mempunyai obat-obatan
yang sama jenisnya dengan kepunyaannya
sendiri" Melihat kedua tamunya itu, rupa-rupanya orang tua
itu mengetahui apa yang tengah berkecamuk di dalam pikiran mereka, lalu iapun
mulai memecah keheningan yang mencengkam.
"Angger Kisanak berdua, baiklah aku mencoba
menyusun kembali segala lelakon saya dan sekaligus memperkenalkan diri kepada
Angger berdua. Aku akan berceritera tentang jalan hidup saya sehingga
terdampar di tempat ini. Dahulu, bapak pernah tinggal di kota Jepara. Masa muda
yang gemilang dan
menggembirakan itu aku isi dengan bekerja keras serta rajin menuntut ilmu
keperwiraan. Di sebuah tempat, di
lereng Gunung Muria, aku berguru kepada Eyang
Muria, seorang tua yang bijaksana dan mempunyai
ilmu yang tinggi di masa itu.
Sungguh banyak murid-murid Eyang Muria ini.
Kami mendapat bermacam-macam ilmu yang berguna
bagi kehidupan kita. Ilmu bermasyarakat berbudi
luhur, ilmu tentang olah senjata, cara membuat obat-obatan dan masih banyak lagi
macamnya. Di antara murid-murid padepokan Gunung Muria
itu ada seorang gadis yang bernama Rara Sumekar,
dan dialah murid puteri yang paling cerdas di antara teman-temannya yang lain.
Ketrampilannya menggunakan selendang sebagai senjata dan
ketekunannya meracik obat-obatan sungguh
mengagumkan. Di saat inilah, sebagai seorang pemuda aku merasa
sayang kepadanya dan perasaan itu terpupuk subur
menjadi benih cinta.
Namun sayang sekali, belum lagi aku mencurahkan
isi hatiku kepadanya, tiba-tiba tugas negara
memanggilku. Di waktu itu armada Demak berusaha
menggempur kekuasaan Portugis di Malaka.
Sekembalinya dari serangan itu, kapal kami yang
berada di belakang telah dicegat oleh kapal-kapal
Portugis dan perahu-perahu bajak laut Iblis Merah
yang membantunya.
Begitulah, sesudah kami bertempur mati-matian,
kapal kami hancur dan tenggelam di Selat Karimata.
Pendekar Binal 9 Keris Pusaka Nogopasung Karya Kho Ping Hoo Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan 8

Cari Blog Ini