Pendekar Mabuk 083 Bocah Titisan Iblis Bagian 2
orang tersebut.
"Siapa kau sebenarnya, Pak Tua"!" Pendekar Mabuk menyapa dengan sopan.
"O, ternyata dugaanku benar. Kalian bukan orang Pulau Swaladipa sehingga tidak
mengenaliku."
"Kami memang bukan orang dari pulau ini," ujar Elang Samudera.
"Kalau begitu, perkenalkan diriku yang tua ini adalah orang terburuk di Pulau
Swaladipa. Kalian
bisa lihat sendiri keadaanku yang seperti kayu ini.
Maka tak heran jika orang-orang menjuluki diriku: si Manusia Kayu. Tetapi aku
punya nama asli sendiri
yang tidak lebih buruk dari julukanku itu. Nama
asliku adalah Sumparana.
"Julukan yang aneh, tapi sesuai dengan
keadaannya," gumam Elang Samudera sambil
melirik Suto Sinting. Murid si Gila Tuak itu tetap pandangi si Manusia Kayu yang
tampak bersikap
tenang dan tak terlihat rona permusuhannya. Tetapi biar bagaimanapun Pendekar
Mabuk tetap menjaga
kewaspadaan karena ia berada di tanah asing yang
belum dimengerti jelas karakter manusia dan
peradabannya. "Manusia Kayu, agaknya kau perlu mengetahui
bahwa kami memang bukan orang dari pulau ini dan
namaku adalah Suto Sinting, sedangkan sahabatku
ini bernama Elang Samudera."
"Sepertinya aku pernah mendengar nama Suto
Sinting," ujarnya membuat Elang Samudera
berpaling pandang ke arah Pendekar Mabuk lagi.
"Mengapa namamu selalu mudah dikenal orang
ketimbang namaku?"
"Entahlah, yang jelas aku tak pernah
menyebarkan nama dan ciri-ciriku lewat surat
selebaran!" jawab Suto seenaknya.
Manusia Kayu memandangi Pendekar Mabuk
beberapa saat, seperti sedang mengingat-ingat
sesuatu. Namun agaknya ia tak mampu mengingatnya,
sehingga membuang sesuatu yang mengganjal
pikirannya itu dan beralih ke masalah yang ada di
depannya. "Kalau boleh kutahu, apa yang membuat kalian
berdua berada di pulau ini, Kisanak?"
"Sebelum kujelaskan," kata Suto,". . terlebih dulu
aku ingin mengerti di pihak mana kau berada,
Manusia Kayu?"
Elang Samudera menimpali, "Apakah kau
orangnya Ratu Lembah Girang, atau orang Bukit
Sulang, atau..."
"Aku orang Tanah Renta!" sahut Manusia Kayu.
"Mungkin kalian terlalu memandang buruk wajahku, sehingga kalian sangka aku
orang seburuk Ratu
Lembah Girang itu."
"Maaf, Ki Sumparana," ujar Suto merendah.
"Kami yang bodoh ini memang harus selalu waspada aga tidak terkecoh oleh
anggapan buta kami sendiri.
Kami harus hati-hati jika berhadapan dengan
seseorang yang siapa tahu dia adalah mata-mata
dari Lembah Girang."
"Heh, heh, heh...!" si Manusia Kayu terkekeh pelan dan pendek. "Rupanya kalian
bermusuhan dengan pihak Lembah Girang, Kisanak."
"Secara langsung sebenarnya kami tidak
bermusuhan dengan siapa pun di sini, Ki
Sumparana," sahut Suto. "Tetapi agaknya ada beberapa hal yang membuat pihak Ratu
Lembah Girang memusuhi kami, terbukti dengan langkahnya
yang mengirimkan utusannya untuk membunuh
kami yang baru tiba di pulau ini beberapa hari yang lalu."
"Hmmm... siapa yang kau maksud utusan itu,
Suto?" "Seorang gadis yang bernama Paras Jenazah."
Ki Sumparana alias si Manusia Kayu terkesip
begitu mendengar nama Paras Jenazah. la
melangkah lebih dekat lagi dengan Pendekar Mabuk
sehingga jaraknya menjadi sekitar empat langkah.
"Apakah kau tak keliru ucap, Suto Sinting?"
Pertanyaan itu agak aneh bagi kedua pemuda
tampan tersebut, sehingga keduanya saling beradu
pandang sejenak.
Manusia Kayu lanjutkan ucapannya dengan nada
pelan tapi jelas didengar kedua pemuda dari tanah Jawa itu.
"Agaknya kau belum banyak tahu tentang si
Paras Jenazah, Nak."
"Sekiranya kau tidak berkeberatan, tolong
jelaskan siapa si Paras Jenazah itu, Ki Sumparana."
Manusia Kayu membuka mulut ingin ucapkan
sesuatu. Tetapi tiba-tiba la hentikan gerakan
mulutnya itu dan matanya bergerak ke samping
kanan-kiri penuh curiga. Mulanya Pendekar Mabuk
dan Elang Samudera juga merasa heran melihat
gelagat si Manusia Kayu yang menjadi sedikit tegang itu. Tetapi akhirnya kedua
pemuda tersebut menjadi lebih tegang dari si Manusia Kayu, karena tiba-tiba
hidung mereka mulai mencium bau wangi cendana
yang makin lama semakin tajam aromanya.
Manusia Kayu segera lebih mendekati kedua
pemuda itu. Kemudian tongkatnya berkelebat
memutar di atas kepala sambil tubuhnya bergerak
sangat cepat memutari kedua pemuda itu.
Wuuuuung, weeesssss. .!
Gerakan si Manusia Kayu yang memutari Suto
dan Elang Samudera itu menyebarkan kabut tipis
yang mengelilingi kedua pemuda tersebut. Kejap
berikutnya Manusia Kayu lemparkan tongkatnya,
sementara ia sendiri berada di samping Pendekar
Mabuk dalam jarak kurang dari satu langkah.
Wuuut...! Jeeeb...!
Tongkat itu menancap di tanah dalam jarak tujuh
langkah dari tempat mereka berdiri. Beberapa kejab kemudian tongkat itu kepulkan
asap tebal dalam
satu sentakan yang langsung lenyap. Buuuss. .! Dan lenyapnya asap tebal itu
membuat kedua pemuda
tampan tersebut terkejut, karena tongkat itu
ternyata berubah menjadi si Manusia Kayu sendiri.
Sedangkan di samping Suto Sinting tetap berdiri
sesosok tubuh tua sekitar usia tujuh puluh tahun
yang mempunyai kulit serta kerangka tubuh
menyerupai sebatang pohon cemara.
"Jangan keluar dari lingkaran kabut ini!" bisik Manusia Kayu yang kini berpindah
posisi menjadi berdiri di antara Suto dan Elang Samudera.
"Apa yang terjadi sebenarnya, Ki Sumparana"!
"Bocah titisan iblis itu akan datang kemari!
Kupancing dia dengan tongkatku, biar tongkat itu
yang diserangnya."
"Kami memang mencari Bocah Emas!" sahut
Elang Samudera.
Manusia Kayu memandang Elang Samudera
sekejap. Sebelum Elang Samudera jelaskan
maksudnya, Manusia Kayu sudah mengalihkan
pandangannya ke arah tongkatnya yang sudah
menjelma menjadi sosok manusia menyerupai
dirinya itu. Karena pada saat itu Bocah Emas
memang benar-benar muncul dalam bentuk cahaya
kuning emas berbinar-binar yang segera menyambar
jelmaan si Manusia Kayu.
Weesss...! Craaak...!
Sosok jelmaan Manusia Kayu tumbang dalam
keadaan punggungnya berlubang hingga tembus ke
dada. Bocah Emas hinggap di salah satu pohon yang
tumbang sudah lama itu. la memandangi korbannya
dengan mata dingin dan menyeramkan. Setelah
beberapa saat korban tak bergerak. Bocah Emas
segera pergi dalam bentuk cahaya kuning
keemasan. Slaab. .! Lalu menghilang ke arah barat.
"Apakah dia tidak melihat kita di sini?" tanya Elang Samudera kepada si Manusia
Kayu. "Kita dilapisi kabut 'Pembuta Gaib' yang tak bisa ditembus oleh penglihatan
manusia maupun jin
mana pun juga," jawab si Manusia Kayu.
Setelah berkata begitu, tangan si Manusia Kayu
menuding korban Bocah Emas tadi. Dari ujung
jarinya melesat sinar hijau bening yang kenai tubuh korban Claap...! Beeess...!
Asap mengepul tebal
seperti tadi dan dalam waktu sangat singkat
menghilang tertiup angin. Sosok korban si Bocah
Emas itu berubah menjadi tongkat kayu seperti
semula. Blaaab. .! Tangan si Manusia Kayu mengibas ke
samping, sinar putih berkerilap sekejap, lalu kabut yang mengelilingi mereka
bertiga itu lenyap.
Manusia Kayu segera melangkah untuk mengambil
tongkatnya kembali.
"Kalian telah bebas!" ujarnya dari tempat tongkatnya yang tadi tergeletak itu.
Pendekar Mabuk dan Elang Samudera masih tertegun bengong.
Namun beberapa helaan napas kemudian Suto
Sinting melangkah dekati Manusia Kayu, sementara
Elang Samudera memandang ke sana-sini dengan
penuh kecemasan.
"Tak perlu takut. Bocah Emas itu telah pergi jauh dari tempat ini," ujar si
Manusia Kayu. "la merasa telah membunuhku, pasti akan memberitahukan hal
ini kepada si Rastiwina!"
"Siapa itu Rastiwina"!"
"O, kalian belum tahu kalau Rastiwina adalah
nama asli Ratu Lembah Girang"!"
"Kami baru mendengarnya sekarang," jawab Pendekar Mabuk.
Elang Samudera segera hampiri Manusia Kayu.
"Agaknya kau banyak mengetahui tentang si Ratu Lembah Girang, Manusia Kayu."
"Yaah... begitulah kira-kira. Tapi sebelumnya aku ingin bertanya padamu, Elang
Samudera. Apa benar
tadi kau bilang bahwa kalian ingin menangkap si
Bocah Emas"!"
"Benar! Aku diutus oleh Ratu Remaslega untuk
membawa pulang si Bocah Emas."
"Apa yang kalian ketahui tentang si Bocah Emas itu"!" tanya Manusia Kayu bernada
menguji. "Menurut keterangan dari Ratu Remaslega, bocah itu adalah anak dari petapa
suami-istri, yaitu Eyang Winudaya dan Eyang Sutimuning di Gunung
Sambara. Pulau ini dulu adalah kekuasaan Nyi
Ageng Sangir. Antara Nyi Ageng Sangir dan suamiistri petapa itu masih ada hubungan darah
keturunan, sampai turunan terakhir mereka adalah
Ratu Remaslega. Jadi yang berhak merawat
kelangsungan hidup Bocah Emas adalah ratuku;
Ratu Remaslega."
Manusia Kayu angguk-anggukkan kepala sambil
menggumam lirih. Tapi sebelum ia berkata sesuatu,
Elang Samudera lebih dulu menyambung katakatanya tadi. "Hanya saja, setelah kutahu si Bocah Emas
ternyata seganas itu, aku menjadi sangsi dan tak
tahu harus berbuat apa saat ini. Sebab menurut dari Ratu Remasiega, Bocah Emas
bukan bocah yang
kejam dan ganas seperti itu."
"Setahuku memang begitu," ujar si Manusia Kaya.
"Aku tahu, Bocah Emas adalah anak dari pasangan petapa sakti: Ki Winudaya dan
Nyai Sutimuning.
Bocah itu adalah bocah sakti yang terlahir dari
perpaduan cinta yang sangat suci, di mana darah
sakti mereka bercampur dengan hawa suci
kedewaan, sehingga bocah itu lahir bersama
segenap kekuatan hawa sakti ayah-ibunya. Bocah itu tak tercemar oleh kejahatan
sedikit pun. Tetapi
mengapa sekarang ia menjadi seganas itu, aku
sendiri sempat dibuat bingung olehnya. Padahal
kakakku mengasuhnya penuh dengan kesucian dan
ketulusan sebagai tokoh aliran putih yang menjauhi segala tindak kemaksiatan
sekecil apa pun."
"Kakakmu. ."! Siapa kakakmu yang kau maksud
itu, Manusia Kayu"!" tanya Elang Samudera.
"Mendiang Jurumomong adalah kakakku."
"Ooo...," gumam Elang Samudera dan Suto secara bersamaan.
"Jika sekarang Bocah Emas dalam keadaan
seganas itu, berarti ada sesuatu yang tak beres pada dirinya. Kuanggap dia sudah
kemasukan roh iblis
yang menitis dan menguasai segenap jiwa, raga, dan sukmanya!" tambah si Manusia
Kayu dengan wajah tampak prihatin sekali.
"Sebetulnya aku pun...."
"Awas. .!" seru Suto Sinting sambil mendorong tubuh si Manusia Kayu yang membuat
ucapan Pak Tua itu terhenti.
Elang Samudera terkejut dan cepat lakukan
lompatan mundur ketika si Manusia Kayu didorong
keras oleh Pendekar Mabuk hingga terpelanting
nyaris jatuh. Sementara Pendekar Mabuk sendiri
segera melompat pendek dan berguling ke tanah
satu kali, lalu bangkit dalam keadaan berlutut satu
kaki. Di mulutnya telah tergigit sebilah pisau kecil yang runcing dan mempunyai
rumbai-rumbai benang
merah pada ujung gagangnya.
Traab...! Seeb...!
Ketangkasan Pendekar Mabujk dalam
menyambar lemparan pisau berbahaya dengan
mulut membuat Ki Sumparana tertegun bengong
dalam keheranan. Namun sebelum ia bertindak
sesuatu, Pendekar Mabuk telah lakukan lompatan
ke depan atas dan mengibaskan kepalanya ke
samping, ke arah datangnya pisau tersebut.
Wuuut...! Weees...!
Pisau itu terlempar cepat dari mulut Suto Sinting
dan menerjang dedaunan semak hingga akhirnya
Pendekar Mabuk 083 Bocah Titisan Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menancap di sebuah benda empuk. Jeeb...! Lalu
terdengar suara pekik yang pendek dari balik semak itu.
"Aaahk...!"
"Ada yang terkena lemparan pisau itu"!" gumam Elang Samudera dalam hati, ia
segera mencabut
pedang dari punggungnya. Sreet.. ! Matanya pun
memandangi sekeliling dengan penuh waspada.
Gerakannya lama-lama mendekati si Manusia Kayu
walau dengan cara memunggungi tokoh tua
berjubah dan bercelana abu-abu itu. Sedangkan
Pendekar Mabuk yang berjarak tujuh langkah dari
mereka berdua sudah siap dengan tali bumbung
tuaknya yang melilit di dalam genggaman tangan
kanannya. "Keluar kau, atau kupaksa dengan cara yang tak ramah, Sobat!" seru Pendekar
Mabuk. "Jahanam kaauuu.. !" teriak suara perempuan yang tiba-tiba muncul dari balik
semak dan menerjang Pendekar Mabuk dengan pedang siap
dihujamkan. Weeers. .! Trak, buuhk...!
"Uuhk. .!" Pendekar Mabuk terkena tendangan pada bagian rusuk kanannya, karena
waktu itu tangan kanannya menangkis datangnya pedang
dengan menggunakan bumbung tuak.
Brrruk. .! Pendekar Mabuk jatuh terjungkal ke
samping. Belum sempat bangkit sudah dicecar oleh
tusukan pedang secara beruntun.
Wut, wut, wut, wut.. !
Pendekar Mabuk terpaksa berguling-guling cepat
hindari tusukan pedang runcing itu. Tapi pada satu kesempatan, tangan Suto
berhasil menyentak ke
tanah. Dess...! Wuuut...! Tubuh pemuda tampan itu melenting ke atas dalam
gerakan salto yang amat
ringan. "Hiaaat. .!" lawannya juga melompat
menyongsong gerakan turun tubuh Pendekar Mabuk
sambil menyabetkan pedangnya. Wes, wes, wes...!
Craaas..! "Aaahk...!" Suto Sinting terpekik karena lambungnya tersabet pedang runcing dan
robek hingga menyemburkan darah. Brrruk. .! Tubuh kekar
itu akhirnya jatuh ke tanah dalam keadaan terluka
lebar. "Keparat!" geram Elang Samudera. Tapi ketika ia ingin maju menyerang, tangannya
tertahan oleh genggaman si Manusia Kayu.
"Sabar! Kita lihat saja dari sini!" ujar si Manusia Kayu.
Elang Samudera ingin meronta dan
mempersalahkan sikap Manusia Kayu. Tapi
mulutnya tak jadi lontarkan kata apa pun, karena ia segera melihat sekelebat
bayangan merah muda
yang berkelebat menerjang lawan Pendekar Mabuk
itu. Wees...! Traang...!
Pedang lawannya Suto tersentak ke atas dan
terpental naik, lepas dari genggaman si pemiliknya.
Tapi dengan satu sentakan kaki ke tanah, pemilik
pedang yang berjubah biru muda itu berhasil
melesat lurus ke atas dan segera menyambar
pedangnya kembali.
Jleeg. .! la mendaratkan kaki tepat di belakang
Pendekar Mabuk, kemudian pedang itu disabetkan
lagi bagai ingin membelah kepala Pendekar Mabuk
dari belakang. Bet, traaaang...!
Pedang itu tertahan pedang gadis berjubah merah
jambu. Lalu keduanya saling adu tendangan kaki.
Beet! plaak...!
Wees. .! Perempuan berjubah biru muda itu
terpental dan jatuh terduduk di tanah datar.
Wut, wut, wuut.. !
Gadis berjubah merah jambu itu memainkan
pedangnya tiga tebasan dan diam di tempat dengan
kuda-kuda kokoh yang siap menerima serangan
lawan sewaktu-waktu. Kini si jubah biru muda pun
segera bangkit dan memainkan jurus pedangnya
tiga tebasan, lalu diam di tempat dengan kuda-kuda siap hadapi serangan kapan
pun juga. Elang Samudera terbelalak bengong, demikian
pula Suto Sinting yang menyeringai kesakitan
mendekap lukanya. Suto merasa kaget dan nyaris
tak percaya dengan penglihatannya begitu
menyadari orang yang menangkis pedang si jubah
biru itu ternyata adalah gadis cantik berwajah pucat imut-imut yang tak lain
adalah si Paras Jenazah
sendiri. "Biadab kau, Paras Jenazah! Mengapa kau
membela pemuda itu, hah"!" bentak si jubah biru yang sebenarnya berwajah cantik
juga, namun lebih
kelihatan angkuh dan galak.
"Aku tahu maksud lemparan pisaumu tadi, Sekar Langit!" ucap si Paras Jenazah
dengan nada dingin.
"Kau arahkan lemparan pisaumu tadi kepada
kakekku; si Manusia Kayu itu! Pemuda ini telah
menyelamatkan kakekku, maka aku pun berhak
menyelamatkan nyawanya dari ancaman
pedangmu!"
"Persetan dengan penyelamatanmu!" bentak
perempuan berjubah biru yang ternyata bernama
Sekar Langit itu. "Yang perlu kau ketahui, aku dan Riang Turi diperintahkan oleh
Ratu Lembah Girang
untuk membunuh Manusia Kayu! Tak peduli bahwa
dia ternyata adalah kakekmu, yang penting aku
harus bisa membunuh Manusia Kayu yang banyak
mengetahui tentang sejarah si Bocah Emas.
Mulutnya harus dibungkam dengan pedangku agar
tak menyebarkan rahasia si Bocah Emas itu! Tetapi
pemuda ingusan ini ikut campur urusan kami,
sehingga ia menewaskan Riang Turi dengan
mengembalikan lemparan pisauku tadi! Maka dia
dan Manusia Kayu harus sama-sama dicabut
nyawanya!"
"Kalau begitu kau harus melangkahi mayatku
lebih dulu, Sekar Langit!"
"Kau ingin menjadi pengkhianat rupanya!"
"Sejak dulu aku sudah menjadi pengkhianat bagi ratumu!" jawab Paras Jenazah
dengan semakin bernada dingin.
"Laknat betul kau, Paras Jenazah! Kau pantas
dipancung dan kepalamu kupersembahkan kepada
Nyai Ratu! Heeeaat. .!"
Pendekar Mabuk buru-buru menyudahi minum
tuaknya, karena kedua perempuan itu saling
melayang cepat dalam ketinggian yang lumayan. Di
udara mereka beradu kecepatan pedang yang sulit
diperhatikan gerakan jurus-jurusnya.
Trang, trang, tri ng, trang, bret...!
Cras, cras...! "Aaahk. .!" Sekar Langit menjerit. Ketika kakinya mendarat ke tanah, ia jatuh
berlutut satu kaki.
Ternyata perutnya robek oleh tebasan pedang di
Paras Jenazah, demikian pula pundak dan
punggungnya tampak robek lebar.
"Riwayatmu telah usai, Sekar Langit!"
Begitu mendengar ucapan si Paras Jenazah,
perempuan berjubah biru itu segera mengerahkan
tenaga terakhir untuk lakukan lompatan dan
melesat pergi tinggalkan tempat itu. Tetapi dengan wajah cantik yang dingin,
Paras Jenazah menyentakkan pedangnya ke depan. Lalu pedang itu
bagai mempunyai bayangan yang lolos dari pedang
aslinya. Slaaap...! Weees...!
Elang Samudera dan Suto Sinting sama-sama
menduga pedang si Paras Jenazah terbang dan
menancap di tengkuk kepala Sekar Langit hingga
tembus ke leher. Jruuubs. .! Tapi ternyata pedang itu masih ada dalam genggaman
Paras Jenazah, sementara Sekar Langit akhirnya tumbang tak
bernyawa dalam keadaan tengkuk kepalanya bolong
sampai ke leher tanpa sebilah pedang pun yang
masih menancap di luka itu.
Elang Samudera dan Suto Sinting yang mulai
terobati lukanya oleh minuman tuak tadi sama-sama
tertegun bengong memandang jurus aneh milik
Paras Jenazah tadi. Kebengongan kedua pemuda
tersebut segera buyar setelah mereka mendengar
Manusia Kayu tertawa pelan mirip orang
menggumam. "Heh, heh, heh. .! Ternyata kau benar-benar
mewarisi jurus 'Pedang Bayangan Sutera' milik
gurumu; si Paderi Wetan itu, Cucuku"! Hebat, hebat, hebat...!"
Paras Jenazah tak punya senyum sedikit pun dan
tetap berwajah dingin. Sorot matanya yang
memandangi Suto dan Elang Samudera terasa
membekukan darah kedua pemuda tersebut. Kini
mata gadis imut-imut itu tertuju pada luka di
lambung Suto yang telah lenyap tanpa bekas sedikit pun sejak meminum tuak
saktinya itu. Meski
demikian, wajah cantik itu tak menampakkan rasa
heran dan kagumnya melihat cara penyembuhan
yang ajaib tersebut.
"Suto Sinting, Elang Samudera. . kurasa kalian sudah kenal bahwa dia adalah si
Paras Jenazah. Tapi ketahuilah, Paras Jenazah adalah cucuku sendiri.
Karenanya aku tadi kaget mendengar kalian akan
dibunuh oleh utusan dari Ratu Lembah Girang yang
bernama Paras Jenazah," tutur si Manusia Kayu sambil berdiri di samping gadis
berjubah merah jambu itu. "Tap... tapi.. kulihat sendiri dia tadi membunuh Bintang Semampai dan tunduk
kepada perintah si
Bocah Emas," kata Elang Samudera agak
menggeragap. "Bintang Semampai adalah ular dua kepala yang
layak dimusnahkan," ujar Paras Jenazah, "la akan membahayakan pihak mana pun,
bahkan mungkin suatu saat akan menjadi seteru dalam pelukanmu!"
tambahkan yang ditujukan kepada Elang Samudera.
Elang Samudera kikuk dan salah tingkah.
Senyumnya sangat kaku dan sama sekali tak enak
dipandang. Pendekar Mabuk tersenyum menyimpan
geli melihat kekakuan sikap Elang Samudera yang
diketahui ada main dengan Bintang Semampai.
"Tapi. . tapi kau menurut dengan perintah Bocah Emas itu, bukan"! Kau. . kau
tunduk kepada si bocah iblis itu!"
"Tanpa berlagak begitu nyawaku akan melayang
sejak tadi!" jawab Paras Jenazah.
Suto segera menyahut, "Hebat juga kepurapuraanmu. Rupanya kau bukan saja gadis yang
cantik, tapi juga berotak cerdas, ketimbang otak
sahabatku yang satu ini," sambil melirik Elang Samudera. Pemuda itu menyikut
Suto sambil menggerutu tak jelas. Manusia Kayu menertawakan
dalam nada gumam.
"Paras Jenazah memang kususupkan ke istana
Lembah Girang untuk mengetahui kelemahan dan
rencana-rencana si Rastiwina yang menamakan
dirinya Ratu Lembah Girang itu," ujar Manusia Kayu.
"Mengapa kau lakukan hal itu, Ki Sumparana?"
tanya Suto. "Mendiang kakakku; si Jurumomong, sebelum
tiada telah meninggalkan pesan padaku untuk
lanjutkan tugasnya menjaga si Bocah Emas agar
jangan sampai jatuh di tangan manusia-manusia
sesat. Jurumomong pernah berkata padaku, bahwa
pihak yang berhak merawat dan membesarkan
Bocah Emas itu adalah seorang penguasa dari Pulau
Sangon yang merupakan keturunan terakhir dari
leluhur si Bocah Emas itu."
"Penguasa Pulau Sangon itu adalah Ratu
Remaslega," sahut Suto.
"Ratuku...!" timpal Elang Samudera. "Aku dan kakakku; Dewi Cintani, mengabdi
kepada Ratu Remaslega!"
"Ooo.. aku baru tahu sekarang. Karena waktu itu, Jurumomong tidak menyebutkan
nama penguasa Pulau Sangon. Kau pun tadi tidak menyebutkan
Pulau Sangon, bukan"!"
"Hmm... hmm... kupikir... kupikir...."
"Jangan terlalu banyak berpikir!" sahut Paras Jenazah. "Sebaiknya kita cepat
bertindak sebelum Bocah Iblis itu memangsa korban lebih banyak lagi."
"Paras Jenazah... hati-hati bicaramu!" sergah si Manusia Kayu. "Bocah Emas
adalah Bocah Keramat.
Jika kau mengatakannya sebagai Bocah Iblis, maka
sekali ia keluarkan kutukan padamu, celakalah
hidupmu, Cucuku!"
"Bocah Emas yang berkeliaran dengan ganas itu sesungguhnya anak dari Ratu Lembah
Girang sendiri yang mati dalam kandungan."
"Ooh..."!"
"Begitukah..."!"
Manusia Kayu dan kedua pemuda tampan itu
terperanjat dan menatap Paras Jenazah dengan
tegang. Yang ditatap tetap berwajah dingin bagai tak pernah punya ekspresi apaapa. Sementara para
lelaki yang memandanginya itu tetap bungkam
menunggu penjelasan dari ucapannya tadi dengan
hati berdebar-debar.
Tapi pada saat itu, bau cendana tercium kembali
Pendekar Mabuk 083 Bocah Titisan Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
oleh mereka. Dari bau yang samar-samar menjadi
semakin jelas dan membuat Suto serta Elang
Samudera menjadi merinding dan tegang.
* * * 6 KETEGANGAN mereka membuat masing-masing
bersiap diri menghadapi bahaya yang sudah
terbayang akan menyerang mereka. Bau wewangian
cendana itu semakin kuat ketika angin berhembus
dari arah barat. Maka mata mereka pun tertuju ke
arah barat tempat kepergian si Bocah Emas setelah
menyangka telah membunuh Manusia Kayu tadi.
Terdengar suara gemerisik semak ilalang
diterabas benda yang bergerak cepat. Elang
Samudera segera mencabut pedangnya dari
punggung. Sreet...! Tapi Paras Jenazah segera
melarang dengan tangan merentang.
"Jangan cabut senjata! Ikuti saja gerakanku
begitu Bocah Emas itu muncul!"
Elang Samudera menjadi bimbang. la melirik Suto
Sinting. Murid si Gila Tuak itu memberi isyarat
kepada Elang Samudera supaya ikuti saran si Paras
Jenazah yang tetap berwajah dingin itu. Maka
pedang pun dimasukkan kembali ke sarungnya oleh
Elang Samudera.
Angin berhembus lebih kencang, aroma cendana
semakin kuat. "Ikuti gerakanku sekarang juga!" seru Paras Jenazah yang membuat Manusia Kayu
juga ikut bingung, tapi akhirnya mengikuti juga gerakan yang dilakukan cucunya.
Paras Jenazah berlutut satu kaki dengan kaki kiri
masih menapak di tanah. Tangan kanannya
menggenggam dan genggaman itu menempel di
tangan lekat-lekat. Kepala sedikit tertunduk namun mata masih melirik ke arah
barat, karena tubuh
mereka memang menghadap ke barat.
Rupanya sikap seperti itu dapat meredakan
keganasan si Bocah Emas tersebut. Karena mereka
sempat mendengar penjelasan dari si Paras Jenazah
yang bersuara pelan tapi dapat diterima oleh
pendengaran mereka.
"Dengan bersikap menghormat begini, maka
Bocah Iblis itu menganggap kita berada di pihaknya.
Dia tak akan menyerang siapa pun yang
menghormat dengan cara begini. Rahasia inilah
yang diberikan Ratu Lembah Girang kepadaku agar
selamat dari keganasan si Bocah Iblis itu!"
"Kalau begitu...."
"Ssst. .!" Suto Sinting berdesis menyuruh Elang Samudera diam, karena pada saat
itu suara gemerisik ilalang diterabas benda yang bergerak
cepat itu semakin mendekat. Kurang dari satu
helaan napas kemudian, kemunculan sesosok tubuh
berjubah hijau yang terhuyung-huyung kemudian
jatuh bagai pohon pisang roboh. Bruuk. .!
"Nyai Tabib. ."!" seru Suto Sinting dengan terkejut begitu melihat orang yang
roboh itu adalah Tabib
Sumpah Mada. Perempuan berkalung akar hitam lentur seperti
karet itu tumbang dalam keadaan miring. Sekujur
lengan kanannya tampak terluka parah bagai habis
dicabik-cabik oleh binatang buas. Lengan itu nyaris tak berbentuk lagi karena
seluruh kulitnya
terkelupas dan dagingnya tampak berserat-serat.
Luka yang terkuak lebar dari pangkal lengan sampai punggung telapak tangan
itulah yang menyebarkah
bau wewangian cendana.
Akhirnya mereka bangkit dan hampiri Tabib
Sumpah Mada. Wangi cendana semakin lebih jelas
dan lebih tajam setelah mereka dekati luka Tabib
Sumpah Mada. "Bibi..."!" ucap Paras Jenazah tanpa wajah tegang, tapi segera menopang tubuh
Tabib Sumpah Mada.
"Ap. . apakah Tabib ini bibinya"!" tanya Elang
Samudera kepada Manusia Kayu.
"Dia adik mendiang ayahnya Paras Jenazah.
Dengan lain perkataan, dia adik dari menantuku,"
jawab Manusia Kayu. "Dulu, dia adalah orangnya Ratu Lembah Girang yang telah
melarikan diri karena ingin dijatuhi hukuman mati disebabkan oleh satu kesalahan ringan.
Kudengar ia bergabung
dengan Orang-orang Kuil Perawan Ganas. Mungkin
maksudnya ingin menggunakan kekuatan orangorang kuil itu untuk membalas dendam kepada Ratu
Lembah Girang."
Sementara Elang Samudera sibuk dengarkan
penjelasan dari Manusia Kayu, Suto Sinting segera
menuangkan tuaknya ke mulut Tabib Sumpah Mada.
Keadaan kepala sang Tabib yang disangga oleh
tangan Paras Jenazah membuat mulut itu ternganga
dan mudah menelan tuak dari bumbung saktinya
Pendekar Mabuk.
"Tak salah lagi, pasti dia nyaris terbunuh oleh si Bocah Iblis itu," ujar Elang
Samudera menirukan suara Bocah Iblis yang dipakai Paras Jenazah tadi.
"Kurasa memang begitu," ujar Manusia Kayu.
"Tetapi mengapa ia keluar dari kuil setelah sekian lama bisa bersembunyi di sana
dengan aman"!"
Kalau saja Pendekar Mabuk terlambat memberi
minum tuak saktinya kepada Tabib Sumpah Mada,
mungkin perempuan itu akan kehilangan nyawa
seperti para korban yang lain. Dengan meneguk tuak sakti tersebut, maka luka
beracun ganas yang
diderita Tabib Sumpah Mada itu akhirnya mulai
mengering dan makin lama semakin merapat. Rasa
sakitnya pun hilang, sehingga sang Tabib mampu
jelaskan peristiwa yang mengerikan itu sambil
duduk bersandar pada sebatang pohon rindang.
"Aku ditugaskan oleh Dewi Kun untuk mengikuti kalian berdua," ujarnya sambil
memandang Suto dan Elang Samudera secara bergantian. "Tujuan sebenarnya adalah
disuruh memata-matai gerakan
kalian, menjaga agar kalian jangan sampai kabur
atau jatuh ke tangan perempuan lain. Tetapi yang
kulakukan adalah mengawasi kalian dari bahaya
maut yang akan menyerang kalian berdua."
"Mengapa sampai menderita luka separah ini,
Bibi?" "Aku melihat Bocah Emas itu menghancurkan
kakekmu, si Manusia Kayu ini. Tapi aku tahu, yang dihancurkan adalah jelmaan
wujud kakekmu dari
tongkatnya. Ketika Bocah Emas itu berlari ke arah
barat, aku mengikuti sebentar untuk mengetahui
apa yang akan dilakukannya. Tetapi ternyata Bocah
Emas itu mendengar suara pedang berdenting. la
kembali lagi ke tempat ini."
Tabib Sumpah Mada mengambil napas sebentar.
la melirik lukanya yang semakin kering dan mulai
mengecil. Sebentar lagi pasti akan lenyap dan
lengannya akan kembali mulus seperti sediakala.
"Aku tahu, jika Bocah Emas itu kembali lagi
kemari, pasti akan menyerang kalian semua. Kalian
tak akan mampu hadapi keganasan dan kesaktian
bocah itu. Maka kucoba untuk menahannya di balik
bukit cadas sana. Aku berhasil mengulur waktu dan
hindari serangannya yang sangat membahayakan
itu. Namun, akhirnya aku terluka oleh cakaran
tangannya yang nyaris menerjang dadaku."
"Jadi sekarang dia sedang mengejarmu kemari?"
sela si Manusia Kayu.
"Pertarunganku tadi dipergoki oleh si Gutamala; Penguasa Bukit Sulang. Melihat
kehadiran Gutamala
dan anak buahnya, yang mungkin mau menyerang
Kuil Perawan Ganas, maka si Bocah Emas
berkelebat tinggalkan diriku dan menyerang
Gutamala. Mereka lari setelah Gutamala mati
terbunuh dalam keadaan dadanya jebol sampai ke
punggung ditembus si bocah ganas itu. Selanjutnya, si Bocah Titisan Iblis itu
mengejar sisa-sisa anak buah Gutamala menuju ke utara. Maka aku
melarikan diri kemari dengan harapan bisa bertemu
kalian. Ternyata harapanku terkabul. ."
"Cepat atau lambat pasti Bocah Emas itu akan
menuju kemari lagi!" ujar Suto Sinting. "Lalu, apa yang harus kita lakukan
menurutmu, Nyai Tabib"!"
Paras Jenazah segera menyahut, "Aku melihat
ada sebuah gua di sebelah selatan sana. Kita bisa berlindung di sana sambil
mengatur siasat!"
"Aku setuju dengain usul si Paras Jenazah ini!"
ujar Tabib Sumpah Mada.
"Aku mendukung gagasan itu!" Elang Samudera
menimpali. Tanpa bantuan dari siapa pun, Tabib Sumpah
Mada sudah mampu berdiri dan berjalan sendiri.
Lukanya telah lenyap tanpa bekas dan badannya
terasa lebih segar dari sebelum meminum tuak Suto
itu. Mereka menuju ke selatan dengan langkah
cepat, lalu menemukan sebuah gua yang dimaksud
Paras Jenazah tadi.
Gua tersebut tidak mempunyai lorong tembus,
namun keadaannya cukup lega. Kedalamannya
diukur dari pintu masuk sampai ke dinding paling
dalam sekitar lima belas langkah. Tetapi langit-langit gua tersebut agak rendah.
Dengan berdiri dan
mengulurkan tangannya ke atas, Pendekar Mabuk
dapat menyentuh langit-langit gua yang
bergelombang itu.
Manusia Kayu mengibaskan tongkatnya saat
berada di mulut gua. Wuuut.. ! Maka mulut gua itu dilapisi oleh kabut tipis yang
berputar-putar mengelilingi tepian mulut gua.
Melihat kabut tipis itu mengelilingi mulut gua,
maka Pendekar Mabuk dan Elang Samudera samasama sependapat bahwa hal itu dilakukan oleh
Manusia Kayu untuk melindungi mereka dari
penglihatan siapa saja.
Tabib Sumpah Mada duduk termenung di atas
batu setinggi pinggulnya. Kedua tangannya
bersidekap, pandangan matanya tertuju ke arah
tanah dalam keadaan menerawang. Sementara itu,
Paras Jenazah memeriksa keadaan di dalam gua
sebentar, lalu segera dekati kakeknya yang berdiri tak jauh dari Tabib Sumpah
Mada. "Tak ada salahnya kalau kita hancurkan Bocah
Emas itu, Kek."
"Ya, hancurkan saja!" sahut Tabib Sumpah Mada yang membuat Pendekar Mabuk dan
Elang Samudera memperhatikan ke arahnya.
"Aku yakin bocah itu bukan Bocah Emas dari
Gunung Sambara," tambah sang Tabib.
"Memang benar," sahut Paras Jenazah. "Tapi dari mana kau tahu kalau bocah itu
bukan putra Eyang
Winudaya dan Eyang Sutimuning?"
"Seingatku, Ratu Lembah Girang mempunyai ilmu
'Pendaya Iblis', yaitu sebuah ilmu yang
menggunakan kekuatan iblis untuk menggerakkan
benda mati atau kehendak hati sang Ratu."
"Rastiwina atau Ratu Lembah Girang memang
mempunyai tujuh iblis peliharaan, karena ia
memang bersekutu dengan iblis," timpal si Manusia Kayu.
Sang Tabib menambahkan, "Tujuh iblis
peliharaannya itu sebenarnya adalah ketujuh
suaminya Nyai Ratu. Kapan saja salah satu dari iblis itu menghendaki kemesraan,
sang Ratu harus siap
melayaninya."
"Kalau begitu benar apa yang kudengar selama
menjadi orang istana Lembah Girang, bahwa sang
Ratu pernah melahirkan bayi dalam keadaan
miskram. Bayi itu mati tapi tidak dikubur. Bayi itu dimasukkan dalam tabung
beling dan direndam
dengan darah segar yang setiap sore diganti. Bayi itu dihidupkan dengan
menggunakan ilmu 'Pendaya
Iblis', yaitu memasukkan salah satu iblis ke dalam raga si bayi. Dalam keadaan
mengenakan roh iblis,
bayi itu bisa menjelma menjadi apa saja dan
berkekuatan tinggi," ujar Paras Jenazah.
Manusia Kayu sempat berkata dalam gumam
seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Kalau begitu benarlah apa yang pernah kuduga semula, bocah itu adalah bocah
titisan iblis. Tapi aku tak berani meyakini hal itu, karena takut dikutuk
oleh putra Ki Winudaya dan Nyai Sutimuning itu."
Sang Tabib menyahut, "Kecurigaanku sejak
semula tak kusangsikan lagi; bocah itu pasti bocah titisan blis. Karenanya aku
sangat mengkhawatirkan keselamatan Pendekar Mabuk dan Elang
Samudera!"
"Terima kasih atas kekhawatiranmu," ujar Elang Samudera sambil membuang napas.
Mereka diam sesaat tanpa disengaja. Tapi
Pendekar Mabuk buru-buru memecah keheningan di
antara mereka. "Dengan maksud apa Ratu menciptakan Bocah
Emas palsu"!"
"Ada beberapa tujuan dalam penciptaan Bocah
Emas palsu itu," jawab Paras Jenazah. "Pertama, Ratu Lembah Girang ingin
memancing orang-orang
yang bernafsu untuk memiliki Bocah Emas, dan
mereka akan segera dibinasakan oleh bocah titisan
iblis itu. Kedua, Ratu dapat melampiaskan
kebenciannya kepada siapapun orangnya yang tidak
disukai dengan menggunakan kekuatan iblis di
dalam bocah itu."
"Aku pun termasuk orang yang tidak disukai," ujar Manusia Kayu. "Karena dia tahu
bahwa Jurumomong adalah kakakku, dan tentunya banyak rahasia Bocah
Pendekar Mabuk 083 Bocah Titisan Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Emas asli yang kuketahui. Dengan lenyapnya diriku, maka tak ada orang yang
mencurigai bocah
utusannya itu adalah bocah titisan iblis, bukan Bocah Emas asli."
"Di samping itu," sambung Paras Jenazah. "Nyai Ratu juga ingin menciptakan kesan
bahwa Bocah Emas itu kejam, jahat, dan tak pantas dimiliki oleh siapapun. Aku yakin beberapa
orangnya ditugaskan menyebarkan berita kekejaman si Bocah Emas ke
beberapa tempat, bahkan tentunya sampai ke tanah
Jawa dan pulau-pulau lainnya."
"Apakah dia juga tahu siapa yang berhak
merawat Bocah Emas itu sebenarnya?" tanya Elang Samudera kepada Paras Jenazah.
"Yang jelas ia telah mendengar dari Bintang
Semampai bahwa Kuil Perawan Ganas telah
kedatangan tamu dua pemuda dari tanah Jawa."
"Tapi aku dari Pulau Sangon!" sanggah Elang Samudera.
"Pulau Sangon termasuk wilayah tanah Jawa,
Tolol!" kata Suto sambil menepuk punggung Elang Samudera. Yang ditepuk hanya
tertawa dalam senyum, lalu serius kembali setelah Tabib Sumpah
Mada berkata kepada Manusia Kayu.
"Kita harus segera bertindak sebelum bocah
titisan iblis itu merenggut nyawa orang-orang tak
berdosa." "Apakah kau tak setuju jika bocah itu membunuh tiga dewi kembar itu?" pancing
Elang Samudera.
"Aku tidak berkata demikian," jawab Tabib Sumpah Mada. "Aku hanya numpang
bersembunyi di kuil itu. Tentang arah dan tujuan orang-orang kuil aku tak banyak
ikut campur. Bagianku hanya dalam
obat-obatan saja."
"Tapi kau setuju jika kuil itu dihancurkan?" desak Elang Samudera.
"Pertanyaanmu bernada mencurigaiku, Elang
Samudera! Hancur atau tidak kuil itu bukan
tanggung jawabku. Yang kutahu, tiga dewi kembar
itu hanya mempertahankan tanah leluhurnya dan
mendambakan cinta kasih sejati hingga menjadi
perempuan ganas terhadap lelaki. Mereka terlalu
banyak memakan ikan Perundung, sehingga kadar
gairahnya sangat berlebihan."
"Kurasa itu tak perlu dibahas!" potong Paras Jenazah. "Yang perlu kita pikirkan
bagaimana cara menghancurkan bocah titisan iblis itu"!"
"Aku akan melawannya sendiri!" cetus Suto Sinting begitu suasana menjadi sepi
sejenak. Mereka
yang saling terbungkam itu cepat lemparkan
pandangan ke arah Pendekar Mabuk.
"Setelah kutahu bocah itu bukan Bocah Emas asli, aku bernafsu untuk
menghancurkannya!"
"Kau tak akan mampu jika sendirian," ujar Manusia Kayu. "Ingat, lawanmu adakah
iblis!" Sebenarnya Suto ingini katakan bahwa ia pernah
berhasil menumbangkan raja iblis dan sering
bertarung melawan siluman model apa pun, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Misteri Tuak Dewata" dan "Gerbang
Siluman"). Tetapi bagi Suto itu terlalu menyombongkan diri dan salah-salah akan
mendapat kecaman tak baik dari mereka. Maka
Suto hanya berkata dengan nada merendahkan diri.
"Aku ingin mencari pengalaman. Ilmuku masih
cetek, sehingga aku butuh pengalaman itu untuk
mempertambah pengetahuan dan ilmu."
"Kalau kau sampai mati, bagaimana?"
"Anggap saja itu pengalaman baru!" jawab Suto kepada Paras Jenazah.
"Mati kok pengalaman"!" gerutu Manusia Kayu sambil bersungut-sungut. Namun
sebelum ia berkata
lagi, Tabib Sumpah Mada sudah lebih dulu
perdengarkan suaranya.
"Ada yang lebih utama dari semua pembicaraan kita ini."
Ucapan itu membuat mereka segera lemparkan
pandang ke arah Tabib Sumpah Mada. Perempuan
berjubah hijau dengan dalaman putih tipis itu segera
melangkah agak menjauhi mereka, kemudian
berbalik menghadap keempat orang tersebut.
"Di mana Bocah Emas sebenarnya"!"
"Ada di tempatnya semula!" jawab Manusia Kayu.
"Mengapa tidak kita ungsikan dengan segera
bocah itu agar tidak jatuh ke tangan manusia sesat seperti si Ratu Lembah Girang
itu"!"
Mereka terdiam, saling pandang satu dengan
yang satunya. Seolah-olah gagasan itu baru
terpikirkan oleh mereka sekarang ini.
"Bocah itu harus kita selamatkan lebih dulu, sisa tenaga dan waktu kita baru
dipakai untuk hancurkan kekuatan bocah titisan iblis tersebut!"
"Menurut penjelasan Dewi Kun yang kudengar,"
kata Suto. "Tidak mudah untuk mencapai puncak Gunung Sambara dan mendapatkan
Bocah Emas itu,
karena Ratu Lembah Girang menempatkan para
penjaganya yang aneh-aneh dan berilmu tinggi di
sekeliling kaki Gunung Sambara."
Manusia Kayu menyela kata, "Aku tahu jalan
tembus mencapai pesanggrahan Ki Winudaya,
tempat si Bocah Emas itu tinggal sendirian!"
"Ya, kurasa kakekku tahu jalan tembus tercepat dan termudah untuk mencapai
tempat itu," sahut Paras Jenazah.
"Jalan itu melalui sebuah gua yang ada di Bukit Randu," kata Manusia Kayu. "Gua
itu sengaja dibangun oleh mendiang Ki Winudaya dan Nyai
Sutimuning untuk hadapi bahaya sewaktu-waktu."
"Di mana Bukit Randu berada?" tanya Elang Samudera yang tampak lebih bersemangat
lagi itu. "Bukit Randu adalah anak Gunung Sambara,
letaknya tak jauh dari gunung itu sendiri," sahut Manusia Kayu. "Aku sudah
sering melalui jalan tembus tersebut semasa mendiang kakakku;
Jurumomong sering mengajakku bertandang ke
puncak Gunung Sambara."
Suto Sinting segera berkata, "Kalau begitu, kita bagi tugas saja! Aku akan
mengejar bocah titisan
iblis dan menghancurkannya, yang lain ikut Ki
Sumparana mengungsikan Bocah Emas kepada
kakeknya. "Aku akan mendampingi pemuda bandel itu,
Kek!" "Ya, itu lebih baik. Kurasa untuk menjaga
pertahananku membawa Bocah Emas, aku cukup
didampingi oleh bibimu dan Elang Samudera!"
"Seharusnya kau tidak mengizinkan cucumu ikut denganku, Ki!" sergah Pendekar
Mabuk. "Cucuku punya naluri kuat tentang seorang
pemuda. Walaupun wajahnya tak pernah punya
senyum, tapi hatinya selalu ceria dan penuh
semangat jika diberi tugas berat berdampingan
dengan pemuda tampan!" kata Manusia Kayu
membuat Paras Jenazah melengos tak mau
memandang mereka.
Tabib Sumpah Mada tiba-tiba berkata dengan
senyum tipisnya.
"Aku tak keberatan jika Pendekar Mabuk
berdampingan selamanya dengan Paras Jenazah."
Kontan gadis itu berpaling memandang Suto
dengan cepat, dan Manusia Kayu tampak
terperangah menatap Suto juga.
"Jadi.. jadi kaulah orangnya yang dikenal dengan nama Pendekar Mabuk dari tanah
Jawa itu"!" ujar Manusia Kayu. "Ooh, baru sekarang kuingat nama Suto Sinting
yang sejak tadi mengganjal di hatiku.
Ternyata nama itu adalah nama asli Pendekar
Mabuk. Aku pernah mendengar dari seorang
sahabatku di tanah Jawa."
"Siapa nama sahabatmu, Ki?"
"Resi Pakar Pantun!"
Pendekar Mabuk tertawa geli, demikian pula
Eiang Samudera. Terbayang wajah tua Resi Pakar
Pantun yang sering membantu mereka dan
mempunyai kekonyolan sendiri di antara para tokoh
tua, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Telur Mata Setan").
Mata bundar bening yang kecil di wajah pucat itu
tak mau berkedip pandangi Suto Sinting. la bagaikan terpaku di tempat. Bukan
karena kaget mendengar
nama Pendekar Mabuk, karena ia sebelumnya
sudah mendengar dari ucapan bocah titisan iblis itu.
Hal yang mengagetkan Paras Jenazah adalah katakata bibinya yang seakan mengharapkan sang
keponakan berdampingan selamanya dengan
Pendekar Mabuk. Hati gadis itu sebenarnya bergetar
keras, tapi raut wajahnya tetap dingin seakan tak merasakan apa-apa.
Sementara itu, Pendekar Mabuk pun terkesiap
memandang Paras Jenazah yang punya kecantikan
senilai dengan Dyah Sariningrum, calon istrinya itu, walau mempunyai jenis dan
model kecantikan yang
berbeda. Rasa malu dan riang bercampur menjadi
satu membuat Suto salah tingkah, terlebih setelah ia memberikan senyuman
menawan, namun senyuman itu tak dibalas oleh Paras Jenazah.
Elang Samudera berbisik, "Apa enaknya kerja
sama dengan gadis yang tak bisa tersenyum?"
"Memang tak ada enaknya. Kurasa, aku lebih baik memburu bocah titisan iblis itu
bersamamu saja,
Elang! Usulkan hal itu kepada mereka!"
"Gadis itu akan tersinggung dan membencimu,"
bisik Elang Samudera lagi.
"Persetan dengan rasa tersinggungnya. Masalah yang kita hadapi lebih genting dan
lebih berbahaya daripada masalah rasa tersinggung."
Tiba-tiba Paras Jenazah berkata dengan tegas dan
tetap berwajah dingin.
"Kakek, singkirkan kabutmu, aku akan pergi
sendirian memburu bocah titisan iblis itu!"
"Lho, lho, lho.. jangan begitu, Cucuku! Mereka kasak-kusuk itu membicarakan
kira-kira berapa
usiamu sekarang," Manusia Kayu sengaja menghibur hati cucunya, karena ia tahu
sang cucu jengkel
terhadap kasak-kusuknya kedua pemuda tersebut.
Suto dan Elang Samudera hanya saling pandang
dengan sikap salah tingkah.
* * * 7 MEREKA keluar dari gua dengan tugas telah
terbagi; Pendekar Mabuk tetap didampingi Paras
Jenazah untuk mengejar bocah titisan iblis itu,
sedangkan yang lainnya menuju puncak Gunung
Sambara untuk mengambil Bocah Emas dan
mengungsikannya. Paras Jenazah melesat ke arah
barat lebih dulu, tak mau ikut basa-basinya Suto
yang banyak berpesan kepada Elang Samudera,
Tabib Sumpah Mada dan Manusia Kayu itu.
"Hei, tunggu. .!" seru Suto, kemudian mengejar Paras Jenazah dengan kecepatan
tinggi, karena ia
pergunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya. Zlaaap...!
Pada saat Suto pergi dari hadapan mereka
menyusul Paras Jenazah, mata tua si Manusia Kayu
segera menangkap gerakan cahaya kuning emas
yang datang dari arah utara. Slaap, claap...! Kilauan cahaya kuning emas itu
mengejutkan sekali hati si
Manusia Kayu. "Celaka!" gumamnya bernada tegang.
"Ada apa, Manusia Kayu"!" tanya Tabib Sumpah Mada.
"Lihat kilatan cahaya kuning emas di sebelah
utara itu!" tuding si Manusia Kayu.
Tabib Sumpah Mada memandang arah yang
dimaksud, demikian juga Elang Samudera. Bahkan
pemuda itu menjadi lebih tegang dari mereka
berdua, "Oh, cahaya emas"! Dia. . dia bergerak ke arah barat, Manusia Kayu! Pasti,,
pasti dia akan bertemu dengan Suto dan Paras Jenazah!"
"Benar," ujar Tabib Sumpah Mada masih agak tegang. "Repotnya kalau mereka berdua
tidak menyadari bahwa diri mereka sedang di kuti atau
dihadang secara tiba-tiba oleh cahaya emas itu!"
"Aku yakin cahaya itu adalah si bocah titisan iblis!
Kalau begitu, susul Suto dan Paras Jenazah!"
Wwes, wees, wuut...!
Elang Samudera bergerak lebih dulu sambil
berteriak tegang, "Sutooooo...!!"
Manusia Kayu menyusul kemudian, dan Tabib
Sumpah Mada mengikutinya. Namun kedua orang
tua itu merenggang jarak; Manusia Kayu lebih ke
kanannya Elang Samudera, dan Tabib Sumpah Mada
lebih ke kirinya Elang Samudera. Bras, bras, breet. .!
Ilalang dan semak diterjang oleh mereka tanpa
peduli goresan duri lagi.
Paras Jenazah tak menyangka kalau gerakannya
akan terkejar oleh Pendekar Mabuk. Bahkan murid
sinting si Gila Tuak itu ternyata lebih dulu tiba di jalanan depan langkah Paras
Jenazah dan menghadangnya di sana dengan senyum nakal yang
tetap tak membuat gadis itu bisa tersenyum. Hanya
saja dalam hati si Paras Jenazah mengakui
keunggulan gerak Suto walau tetap tak terucap
lewat bibirnya yang mungil menggemaskan itu.
"Kau mudah tersinggung rupanya," ujar Suto Sinting ketika Paras Jenazah hentikan
langkah di depannya. "Ini bukan waktunya bercanda," ucap Paras Jenazah dengan tegas dan dingin.
"Aku tidak bercanda. Tapi aku bersungguhsungguh. Jika kau bisa mengungguli kecepatan
gerakku, maka aku akan menuruti semua
perintahmu, Paras Jenazah."
"Kau meremehkan ilmuku," katanya dengan datar tanpa tekanan tertentu.
"Apakah kau suka diremehkan?" goda Pendekar Mabuk sambil tersenyum-senyum.
Sreet...! Tiba-tiba Paras Jenazah mencabut
pedangnya. Pendekar Mabuk sedikit terperanjat.
"Hei, aku hanya bercanda. Jangan diambil hati!
Masukkanlah pedangmu!"
"Waspadalah, Suto!"
Pendekar Mabuk 083 Bocah Titisan Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jangan begitu, Paras Jenazah. Sarungkan
pedangmu, nanti melukai tubuhku aku bisa mati
tanpa napas!" ujar Suto dengan mulai cemas.
"Pedang ini bukan untuk melukaimu."
"O, ya" Lalu untuk melukai siapa?"
"Tidakkah kau mencium bau wangi cendana"!"
Pendekar Mabuk mendenguskan hidungnya satu
kali. Kemudian menjadi tegang seketika.
"Gawat! Bau wangi cendana mulai tercium di
tempat ini"!" sambil ia segera menyentakkan
bumbung tuaknya dari pundak menjadi tergenggam
di tangan kanannya. Mata pemuda itu pun menjadi
lebar dan nanar.
"Dia ada di sekitar sini, maksudmu?" bisik Suto Sinting sambil sedikit
merapatkan diri pada Paras
Jenazah. "Itulah sebabnya kuperintahkan tadi:
waspadalah!"
"Kupikir karena kau ingin menyerangku," gumam Suto Sinting sambil memandang
tajam ke sekelilingnya. Angin berhembus menyebarkan aroma cendana
semakin tajam, pertanda bocah titisan iblis itu lebih dekat lagi dengan mereka.
Pendekar Mabuk merinding dan berdebar-debar. la bergerak memutar
dengan lamban, demikian pula halnya dengan Paras
Jenazah. Ziing, zi ing...!
"Awaaas.. !" seru Pendekar Mabuk sambil
mendorong tubuh Paras Jenazah dengan pundak
kirinya. Gadis itu tersentak jatuh dan Pendekar
Mabuk segera berkelebat mengayunkan bumbung
tuaknya ke kiri. Trang, jerrb,..!
Dua keping logam putih mengkilat berbentuk
kelopak bunga nyaris menancap di punggung Paras
Jenazah. Untung gadis itu tersentak jatuh oleh
dorongan tubuh Suto, sehingga dua senjata rahasia
yang muncul dari dalam sebatang pohon itu telah
tertangkis oleh bumbung tuak Pendekar Mabuk.
Satu terpental jatuh ke tanah, yang satunya lagi
menancap di bumbung tuak itu. Paras Jenazah
memandangnya dengan terkesip dan segera
bangkit. Seet. .! Pendekar Mabuk mencabut senjata
rahasia yang menancap di bumbung tuaknya. Benda
itu ditunjukkan kepada Paras Jenazah.
"Hampir saja dia merenggut nyawamu!"
"Dari mana datangnya"!"
"Dari dalam batang pohon bercabang tiga itu!"
sambil Suto Sinting menuding ke arah pohon
tersebut. Tapi di sekitar pohon itu tak terlihat si bocah titisan Iblis
bertengger di salah satu dahannya.
Bahkan di semak bawah pohon tersebut juga tidak
terlihat ada tanda-tanda kehidupan yang
mencurigakan. Wui zz...! Sebatang anak panah meluncur dengan cepat ke
punggung Suto Sinting. Secara kebetulan pada saat
itu mata Paras Jenazah melihat kemunculan anak
panah itu bukan dari sebuah busur, melainkan dari
dalam batang pohon yang keras, seakan ada
seseorang yang bersembunyi di dalam pohon itu dan
melepaskan anak panahnya.
Paras Jenazah melompat dan memutar dengan
cepat. Kakinya menendang lengan Suto Sinting
dengan tendangan putar yang keras. Beet.. ! Brruk. .!
Suto Sinting jatuh terpelanting, anak panah ini
mengarah ke tubuh Paras Jenazah. Namun dengan
cepat pedang Paras Jenazah berkelebat
mematahkan anak panah tersebut. Bet, bet, bet...!
Traaak. .! Anak panah itu terpotong menjadi empat
bagian. Pendekar Mabuk cepat sentakkan pinggulnya dan
tubuhnya bangkit dalam sekejap. Wuut.. ! la
pandangi anak panah itu dengan mata melebar
tegang. Paras Jenazah hanya memandang Suto
dengan dingin. "Impas, aku sudah tak punya hutang lagi
padamu!" ujar Paras Jenazah bernada ketus.
Pada saat itu, tiba-tiba sekelebat cahaya kuning
pendar-pendar melayang cepat menerjang mereka
berdua. Wuuus...!
"Awaaas...! Aaaahk...!" Pendekar Mabuk berseru dua kali, karena setelah
mengingatkan Paras
Jenazah, tangan kirinya tersambar oleh cahaya
kuning tersebut.
Craass...! Tangan itu pun koyak mengerikan, rusak sama
sekali, bagai kehilangan daging dan kulitnya.
Sementara itu, Paras Jenazah terkena angin kibasan cahaya itu hingga pipi kanan
dan leher sampai
pundaknya mengalami luka bakar bercampur
cabikan-cabikan kasar.
"Oouh...! Uuhk...!" Paras Jenazah mengerang kesakitan, tapi ia berusaha bangkit
dan menggunakan pedangnya untuk hadapi lawan.
Pendekar Mabuk pun segera bangkit dengan
menahan sakit. Bumbung tuaknya masih
tergenggam di tangan yang tidak terluka. Dan begitu melihat cahaya kuning bagai
bola matahari yang
memancarkan serat-serat sinarnya itu bergerak
menerjang Paras Jenazah,
dengan cepat pergelangan tangan berputar, tali bumbung tuak
dilepaskan. Bumbung itu jatuh di tanah tersangga
kakinya, sementara dua jari tangan dikeraskan dan
ditempelkan ke dahi, lalu disabetkan ke depan.
Claaap. .! Sinar ungu melesat dari kedua jari tangan itu. Jurus 'Turangga Laga'
digunakan oleh Pendekar Mabuk.
Tapi pada saat sinar ungu kecil itu mengarah ke
cahaya emas tersebut, Paras Jenazah pun
melepaskan jurus 'Pedang Bayangan Sutera'-nya ke
arah cahaya itu. Slaaap. .! Pedang tersebut bagaikan melesat cepat menembus
cahaya emas bersama-sama dengan cahaya ungunya Pendekar Mabuk.
Zuuurrb. .! Blegaaarr...! Ledakan dahsyat mengguncang bumi,
menerbangkan tubuh Pendekar Mabuk dan Paras
Jenazah. Sedangkan cahaya emas itu pun pecah
menyebar menjadi beberapa gumpalan. Namun
belum sampai gumpalan-gumpalan cahaya itu
padam ada semacam kekuatan gaib yang menyedot
gumpalan-gumpalan itu hingga melesat menjadi
satu kembali dan berbentuk tubuh seperti semula.
Zlaaabs...! Wweess...!
"Paras. .!!" teriak Pendekar Mabuk begitu melihat cahaya emas itu menerjang
Paras Jenazah yang baru
saja bangkit dari jatuhnya. Suto bukan saja hanya berteriak, namun segera
lakukan lompatan setinggi
gerakan cahaya emas itu dan tangannya menyentak
ke depan sambil menerjang cahaya itu. Dari telapak tangan Suto keluar sinar biru
besar yang dinamakan jurus 'Tangan Guntur'.
Wooos...! Jegaaaarrr...!!
Suto terpental kembali karena gelombang
ledakan yang menyentak sangat hebat ketika sinar
ungu itu menghantam sinar emas tersebut.
Sementara gumpalan sinar emas itu juga terpental
menjauh ke belakang dan membentur bagian atas
pohon. Buubhs...! Sinar itu bagaikan lengket di sana.
"Suto. .! Sutooo. .!" gadis itu kini tampak cemas melihat Suto memuntahkan darah
hitam dalam keadaan wajah membiru dan luka semakin parah.
Paras Jenazah hampiri Pendekar Mabuk sambil
menyambar bumbung tuak yang tergeletak di tanah.
"Suto, terima ini!" serunya seraya melemparkan bumbung tuak. la tak sampai
dekati Suto karena
sinar emas itu datang lagi dengan cepat bagaikan
sebuah meteor jatuh dari langit.
Wwweeeess. .! Paras Jenazah tak punya kesempatan
melepaskan serangan atau mengadu kekuatan.
Akhirnya ia hanya bisa menghindari sambaran sinar
tersebut dengan menjatuhkan badan telentang di
tanah. Suuuk...!
Craas...! "Aaaaahhk. .!!" teriak Paras Jenazah karena dadanya robek terkena angin sambaran
cahaya itu. Bagian yang seperti tercabik delapan mata pedang
itu memanjang dari dada sampai leher dan pipi
kanan. Wuuubs. .! Cahaya itu berubah bentuk menjadi
anak kecil tanpa baju dan berkepala gundul, kulitnya kuning emas, cawatnya juga
kain berlumur serpihan
kuning emas. Matanya yang bundar seperti kelereng
kecil memandang tajam ke arah Paras Jenazah.
Mulutnya yang kecil menyeringai menampakkan
giginyi yang runcing-runcing bagai ujung mata pisau.
Pendekar Mabuk sedang berusaha membuka
tutup bumbung tuaknya untuk atasi luka dan rasa
sakit. Namun begitu melihat bocah gundul berkulit
emas memandang ke arahnya, ia tak jadi membuka
bumbung tuak. Serta-merta tangan kanannya yang
masih utuh tanpa luka itu menyentak ke depan
sambil berlutut satu kaki. Claaap. .! Sinar hijau
melesat dari tangan Suto. Sinar dari Jurus 'Pukulan Guntur Perkasa' itu
menyambar tubuh si bocah
titisan iblis. Tapi ternyata sinar tersebut berhasil ditangkap oleh tangan kecil
seperti menangkap
sebatang lidi. Seebs...!
Sinar hijau itu menjadi memanjang kaku
bagaikan ombak kecil. Pendekar Mabuk terbelalak
tegang melihat sinar berbahayanya mampu
dijinakkan oleh bocah itu. Bahkan bocah itu
memainkan sinar hijau itu seperti memainkan
sebatang kayu panjang yang bisa diputar-putar di
atas kepala. "Edan. .!!" geram Suto Sinting sambil undurkan diri dua langkah, ia akan
pergunakan jurus 'Yudha'
yang menjadi Jurus pamungkasnya selama ini,
karena ia melihat bocah itu akan melemparkan sinar hijau yang menjadi keras itu
ke arahnya. Namun
sebelum semuanya terjadi, tiba-tiba sekelebat sinar kuning melesat dari arah
samping bocah itu.
Claaap...! "Sutooo.. !!" teriak Elang Samudera yang muncul bersama Manusia Kayu dan Tabib
Sumpah Mada. Sinar kuning itu dilepaskan oleh Manusia Kayu
dari ujung tongkatnya. Tetapi bocah gundul itu
melepaskan sinar hijaunya Suto tadi ke arah sinar
kuning hingga berbenturan dan menimbulkan
ledakan yang menyentak kuat.
Suuuuut...! Jlegaaaarrr...!
Cahaya merah menyebar dari ledakan tersebut
dan membuat mereka terpental ke berbagai arah.
Bahkan tubuh Paras Jenazah yang tak berdaya itu
terlempar oleh sentakan gelombang ledakan hingga
menindih tubuh Suto Sinting yang terkapar sambil
menggenggam tali bumbung tuaknya. Brrruus...!
"Aaaahkk...!"
"Oooouww..!"
Mereka berdua saling teriak kesakitan karena
luka-luka mereka saling berbenturan amat keras.
Sementara itu, Elang Samudera yang terpental
membentur pohon juga mengerang panjang dengan
tubuh mengeras sesaat. Beberapa tanaman
tumbang dan salah satunya sempat menimpa kaki
Tabib Sumpah Mada.
"Oouhh. .!!" sang Tabib mengerang kesakitan, kakinya tak bisa ditarik lepas dari
batang pohon. Mungkin saja tulang tempurung lututnya pecah
seketika itu juga.
Sinar kuning emas jelmaan bocah titisan iblis itu
lenyap, tak terlihat di mana-mana. Elang Samudera
yang sudah bisa berdiri segera mencari dengan
pandangan mata menjadi liar dan buas. Tapi tibatiba tanah yang dipijaknya terasa panas. Lalu secara tiba-tiba pula sinar kuning
emas seperti matahari itu muncul dari kedalaman tanah. Bruuull.. ! Elang
Samudera cepat-cepat lakukan lompatan bersalto
hindari sinar tersebut. Namun gerakannya kurang
cepat, sehingga angin kibasan sinar itu menyayat
betis kirinya. Craaass. .!
"Aaaahk...!" jerit Elang Samudera keras-keras.
Jleeg. .! Sinar emas itu berwujud bocah lagi.
Matanya memandang liar kepada Manusia Kayu
yang baru bangkit dari jatuhnya.
"Habislah riwayatmu, Sumparana!" seru bocah itu dengan suara kecil.
"Kiaaakk...!!"
Bocah itu memekik seperti suara burung gagak
tercekik. Tubuh kecilnya melayang menerjang
Manusia Kayu. Tapi pada saat itu Manusia Kayu
segera kerahkan ilmunya. Tongkatnya berubah
menjadi besi terpanggang api yang mengepulkan
asap dan berwarna merah membara. Tongkat itu
segera dihujamkan ke tubuh kecil yang
menerjangnya. Wuuut...! Jrraab...!
"Kiaaaakkk. .!!" teriak bocah itu sambil tubuhnya pecah menyebar ke berbagai
arah. Tapi kejap
kemudian pecahan tubuh itu menyatu kembali dan
Pendekar Mabuk 083 Bocah Titisan Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berbentuk bocah lagi. Zuuurb..! Jleeeg...!
Bluub. .! Manusia Kayu berubah menjadi asap,
dan asap pun hilang dihembus angin. Tahu-tahu
Manusia Kayu sudah muncul di seberang sana, tak
jauh dari Suto dan Paras Jenazah.
"Jangan lari kau, Sumparana!!"
Bocah itu segera terbang dengan matanya yang
kecil menjadi merah menyeramkan. Mulutnya
menyeringai dan dari giginya kanan-kiri itu keluar taring kecil yang meruncing.
Mulut itu kini menganga siap menerkam Manusia Kayu. Pada saat itu
Manusia Kayu sudah siap lepaskan pukulan mautnya
dari jari-jari tangannya yang membentuk cakar,
seperti ranting-ranting kayu.
Namun sebelum itu, seberkas sinar kuning emas
sebesar genggaman tangan dan berekor kecil
datang dari arah dedaunan pohon sebelah timur.
Sinar itu melesat dengan cepat dan menghantam
bocah titisan iblis yang sedang melayang mendekati Manusia Kayu. Wuuuuss. .!
Blaaaarr, blegaaarrr...!!
Seluruh alam sepertinya terbakar. Langit menjadi
merah seketika, udara terasa panas namun datang
angin badai yang segera menyingkirkan hawa panas
itu. Siapa pun yang ingin berdiri pasti tumbang
seketika itu bagai tak memiliki tulang lagi.
Sedangkan matahari di langit pun redupkan sinarnya dan warna matahari menjadi
merah tembaga. Manusia Kayu jatuh terduduk, namun masih
dalam keadaan sadar walau merasa bagai tidak
memiliki jantung lagi. Pendekar Mabuk yang tadi
baru saja mencoba bangkit untuk melepaskan
serangan kepada si bocah titisan iblis, juga jatuh terduduk dan matanya tak bisa
berkedip. Elang
Samudera tersimpul di tempat dengan mata dan
mulut melebar. Demikian pula halnya dengan Tabib
Sumpah Mada yang hanya bisa terbengong dalam
bagai melupakan rasa sakit di bagian kakinya yang
tertimpa pohon itu.
Bocah titisan iblis itu terpuruk tak bergerak dalam keadaan hitam menjadi arang.
Bentuk kepalanya
yang gundul masih kelihatan, namun sudah dalam
keadaan retak-retak bagai keropos. Kedua kakinya
terpisah dari lutut, dan tangan kirinya terpental
dalam dua langkah dari tempatnya.
Sementara di tempat itu juga berdiri seorang
bocah berkepala gundul tanpa baju dan hanya
mengenakan cawat. Baik kulit dan cawatnya
berwarna kuning dengan serbuk-serbuk emas
melapisinya. Bocah itu bermata kecil, teduh, dan
enak dipandang. Badannya sedikit gemuk, pipinya
agak besar mirip bakpau belum matang. Raut
wajahnya berkesan tenang, damai, dan lucu.
"Kuhancurkan kau sekarang juga!" geram Suto Sinting sambil berusaha melepaskan
pukulan ke arah Bocah Emas itu.
Manusia Kayu buru-buru melompat ke depan
Suto. Wuuut.. ! Brrus...!
"Jangan lakukan!" sentak Manusia Kayu sambil tersungkur di atas Suto yang
terkapar. "Mengapa kau memihak bocah titisan iblis itu!"
bentak Suto Sinting.
"Tenang! Dia bukan bocah titisan iblis. Dia adalah Bocah Emas yang sebenarnya!"
Suto segera hentikan gerakan, lalu berkata lirih,
"Kau yakin..."!"
"Aku mengenali keteduhan wajahnya," jawab Ki Sumparana pelan.
Bocah Emas itu berjalan lucu mendekati Suto dan
Manusia Kayu. la tersenyum ramah kepada Suto.
"Pendekar Mabuk!" ucapnya seperti ingin tertawa.
"Da. . dari mana kau mengenaliku?"
Manusia Kayu menyahut, "Dia tahu apa yang
tidak kau ketahui."
Bocah Emas berkata dengan senyum ramah lagi,
"Calon menantu Ratu Kartika Wangi!" sambil menuding Suto dengan jarinya yang
kecil dan menyenangkan. "Ihik, ihik, ihik. .!" Bocah Emas tertawa menggelikan si Pendekar
Mabuk. Elang Samudera berusaha mendekati dengan
susah payah karena lukanya di betis. Bocah Emas
menuding luka itu. Ci ing. .! Ujung jarinya keluarkan sinar biru bening sepintas
dan segera hilang.
Elang Samudera terkejut, matanya terbelalak
lebar, karena lukanya lenyap tanpa terasa terobati, tanpa terasa tersentuh apa
pun. Betis itu menjadi bersih seperti tak pernah terluka sedikit pun.
Hal yang sama dilakukan pula kepada Paras
Jenazah, Manusia Kayu, dan Suto Sinting sendiri.
Sementara pohon yang menimpa kaki Tabib
Sumpah Mada pun menjadi lenyap tanpa bekas
hanya dengan satu tudingan tangan berjari kecil itu.
"Gila! Tuakku kalah dengan jari telunjuknya"!"
gumam Suto Sinting yang membuat Manusia Kayu
tersenyum menertawakan keheranan sang Pendekar
Mabuk. Bocah Emas berkata kepada mereka. "Aku
sengaja keluar dari pertapaan. Iblis-iblis pengawal yang disuruh Ratu Lembah
Girang menjagaku itu
terpaksa kuhancurkan dengan kesaktian warisan
ayahku. Karena...." Bocah Emas itu cengar-cengir sebentar lalu lanjutkan kata,
"Aku tahu kalian ingin mengungsikan diriku dari ancaman Ratu Lembah
Girang. Aku tahu, saudaraku sedang menunggu di
Pulau Sangon. Tapi aku tak mau ke sana, Paman
Sumparana."
"Mengapa begitu, Nak Mas"!"
"Aku mau ke Pulau Sangon, tapi kalian semua
harus mengantarku sampai di sana dan aku akan
menari dalam pesta syukuran nanti. Ihik, ihik, ihik. .!"
Bocah Emas itu tertawa, lalu yang lainnya ikut
tertawa ceria, kecuali Paras Jenazah.
Akhirnya Bocah Emas itu dibawa ke Pulau Sangon
untuk dipertemukan dengan Ratu Remasiega, sisa
leluhurnya. Mereka mengantarkan sampai ke Pulau
Sangon dengan tanpa rintangan apa pun, walau
hanya menggunakan perahu kecil yang disewa Suto
dari seorang nelayan.
SELESAI Segera terbit!!!
WANITA KERAMAT E-book by: paulustjing
Email: paulustjing@yahoo.com
Pendekar Satu Jurus 12 Jaka Sembung 13 Pertarungan Terakhir Geger Pantai Rangsang 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama