Ceritasilat Novel Online

Bukit Kepala Singa 1

Pendekar Naga Geni 18 Bukit Kepala Singa Bagian 1


1 PERAHU YANG MEMBAWA Mahesa Wulung, Pandan Arum, Gagak Cemani dan Palumpang serta rombongannya telah tiba kembali di bandar Muara Demak.
Sejak tiba di tempat ini, Palumpang tak habis herannya melihat keramaian yang ada. Nampaknya, semenjak ia mengasingkan diri dengan rakitnya di lautan, Palumpang hampir tidak
pernah menginjakkan
kaki ke bandar pelabuhan, apalagi ke kota-kota besar.
Memang keramaian-keramaian manusia itulah yang
dihindarinya selama ini. Tak tahunya, sekarang ia telah menyaksikan kembali.
Tambahan lagi, banyak terjadi perubahan-perubahan baru yang sangat berbeda
dengan keadaan waktu ia masih pemuda beberapa belas tahun yang lalu.
"Aku harap Anda tidak berkeberatan untuk menjadi
tamuku beberapa waktu di Demak nanti," ujar Mahesa Wulung kepada Palumpang.
"Dengan senang hati aku menerima tawaran Andika," sahut Palumpang seraya tersenyum. "Asal saja tidak untuk selamanya."
"Ehh, jadi Anda akan kembali lagi ke laut?" Mahesa Wulung bertanya serta menatap
ke arah Palumpang
dengan keheranan.
Palumpang tersenyum kepada sahabatnya. "Andika
tak perlu heran, Mahesa Wulung! Lautan telah menjadi darah dagingku. Dalam uraturat tubuhku, seolah-olah telah mengalir air laut yang setiap kali memberikan
panggilan untuk turun ke sana."
Sesaat Mahesa Wulung mengangguk-angguk, memahami akan segala tutur kata sahabatnya yang ber-kulit hitam coklat ini.
Sebagai perwira laut, iapun banyak mengetahui seluk-beluk para pelaut dan
nelayan, yang hampir setiap harinya berkecimpung di lautan dan betapa besar kecintaan
mereka kepada laut.
Tak antara lama mereka telah mendapatkan beberapa ekor kuda yang telah dipinjamkan oleh petugas-petugas bandar Muara Demak.
Dan segeralah mereka
berpacu ke arah selatan, menyusuri Sungai Tuntang.
Mahesa Wulung seperti tak sabar lagi untuk menginjakkan kakinya ke kota Demak. Banyak hal-hal yang harus diselesaikannya.
Laporan-laporan tentang masa cutinya yang sedikit melebihi waktu dan kejadiankejadian lain yang dialaminya selama ini. Lebih-lebih pengalamannya yang
terakhir sekali, di mana ia hampir saja diseret di depan Ki Rikma Rembyak di
Pulau Mondoliko.
Kini Mahesa Wulung telah tahu dengan pasti bahwa
Pulau Mondoliko menjadi pusat dari kekuatan lawan yang bermaksud mengacau
negara. Sudah barang tentu hal itu tidak boleh dibiarkan
berlarut-larut. Namun sekali lagi Mahesa Wulung harus berpikir dua kali, begitu
ia memikir-mikir untuk menggempur pulau tersebut dengan kapal-kapal armada
Demak. "Hmm, pekerjaan itu tidak begitu mudah," gumam
Mahesa Wulung sambil menggeprak kudanya. "Jika
perang terbuka tersebut dilancarkan, maka pastilah akan menimbulkan korban yang
tidak sedikit di pihak armada Demak. Apalagi dengan kekuatan mereka yang
tersembunyi di sana, menjadikan Pulau Mondoliko seperti benteng setan yang sukar
ditembus."
Demikianlah Mahesa Wulung berpikir-pikir dalam
perjalanan itu, sementara kawan-kawannya sibuk pula memacu kudanya, kabur ke
arah selatan. Seperti mencoba membalik-balik sebuah buku, Mahesa Wulung terus berpikir dan mengenang segala kejadian yang telah dialaminya
beberapa waktu yang akhir ini. Ketika kenangannya sampai pada pertarungan melawan Surokolo dan betapa senjata jala dari lawannya itu masih mampu melumpuhkan
tubuhnya, tiba-tiba
saja Mahesa Wulung terlonjak kaget, seperti disengat oleh sesuatu.
Yah, memang patutlah jika Mahesa Wulung lalu
menjadi kaget, karena sesungguhnya ia hampir-hampir tak dapat mempercayainya
akan hal itu! Bukankah ia telah memakai sebuah cincin yang bernama Galuh Punar
yang katanya sanggup menolak dan melindungi dirinya dari serangan-serangan racun
berbisa" Tetapi toh kenyataannya ia tak mampu menanggulangi senjata jala berbisa dari Surokolo! Percikan pikiran tadi sungguh di luar
dugaan, sehingga untuk beberapa saat ia membiarkan kudanya berhenti memacu dan
beberapa lompatan ia tertinggal di sebelah belakang.
Keruan saja Pandan Arum menjadi tercengang-cengang dan buru-buru ia menjaga kekasihnya itu.
"Kakang Wulung, mengapa engkau...?"
"Ooh, tidak apa-apa, Adi. Maaf aku agak 'melawan'
tadi," sambung Mahesa Wulung menutupi dirinya.
( Editor: 'melawan' apa, ya" )
Pandan Arum merasa tidak puas dengan jawaban
kekasihnya, tapi sebagaimana ia telah sekian lama mengenal sikap-sikap dan
pribadi Mahesa Wulung,
maka ia membiarkan saja sikap kekasihnya itu. Sesungguhnya ia tahu pula, bahwa
Mahesa Wulung tengah memikirkan sesuatu yang penting, sesuatu yang mungkin akan membawa mereka
ke arah pengalaman-pengalaman yang baru dan mendebarkan!
Mereka masih terus berpacu, sebagaimana pikiran
Mahesa Wulung yang juga berpacu untuk menekuni
tentang cincin pusakanya si Galuh Punar tadi.
Sambil lalu, ia berkali-kali melirik ke arah jari ma-nisnya yang sebelah kiri
untuk menatap cincin bermata kuning yang melekat dengan indahnya.
Dengan beragu sejenak, Mahesa Wulung melihat
cincinnya tersebut dan terdengarlah gumamnya yang lembut, yang cuma terdengar
oleh telinganya sendiri.
"Hmm, ia tidak lagi bekerja sebagaimana mestinya.
Seolah-olah ia telah kehilangan kekuatan dan sinarnya!"
Pikiran Mahesa Wulung berputar kembali dan ia
menebak-nebak sendiri. "Memang batu Galuh Punar
ini telah berkali-kali memberikan keajaibannya. Tapi sekarang..." Akh, memang
batu ini diciptakan oleh Tuhan dan semua menurut kehendakNya. Jika cincin ini
telah kehilangan saktinya, maka ia tidak lebih merupakan batu biasa saja!"
Mereka terus berpacu.
"Tetapi... ada kemungkinan lain yang bisa terjadi, sehingga cincin Galuh Punar
ini tidak mampu bekerja!
Yakni... jika cincin ini ditukar dengan cincin lain yang serupa!" begitu pikir
Mahesa Wulung diam-diam. "Namun di mana hal ini bisa terjadi dan seandainyapun
benar, mengapa hal itu perlu dilakukan" Dan apa
maksudnya?"
Sampai sebegitu jauh Mahesa Wulung tak mampu
menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi yang bermunculan dari rongga dadanya. Seperti orang yang meminum jamu pahit, Mahesa Wulung
terpaksa menelan
mentah-mentah segala pertanyaan itu.
"Heh, baiklah. Hal ini akan kupikirkan lebih lanjut di Demak nanti. Mungkin
dengan ketenangan yang
ada, aku dapat memecahkan teka-teki dan mengenal
seluk-beluk tentang cincin Galuh Punar ini."
Mahesa Wulung akhirnya menghentikan pemikiran
ke arah cincinnya tadi, akan tetapi, belum lagi ia selesai seluruhnya, mendadak saja seluruh rombongannya telah dikejutkan oleh sebuah
lolong tangis yang panjang dan menyayat-nyayat hati.
Suara tangis tadi jelas suara orang perempuan dan berasal dari sebelah timur.
Dan seperti digerakkan bersama, mereka serentak menoleh ke arah sana.
Beberapa orang penduduk tampak pula berlari-lari
ke arah itu memasuki sebuah halaman rumah pedesaan. "Hee, apa yang terjadi di sana?" gumam Gagak Cemani. "Rupanya sebuah bencana, Kakang!" ujar Mahesa
Wulung menyahut.
"Aku harus memeriksa ke sana!" sahut Tungkoro
pula. "Marilah kita melihat ke sana sebentar. Siapa ta-hu ada hal-hal penting
yang berguna bagi kita!"
Sambil berkata Tungkoro memutar kudanya ke arah
timur dan menderap ke arah sana, disusul oleh Mahe-sa Wulung, Gagak Cemani,
Pandan Arum dan Palumpang. Jarak rumah tersebut dengan jalan yang dilalui oleh rombongan Mahesa Wulung
kurang lebih sejauh lima
puluhan tombak. Satu jarak yang cukup jauh untuk
orang yang berjalan kaki. Namun bagi mereka yang
berkuda ini, tidak ada kesulitan apapun. Dengan sekali geprakan saja kuda-kuda
mereka telah melesat ke arah timur, menuju ke rumah pedesaan tersebut.
Suara lolongan tangis makin jelas terdengar ketika Mahesa Wulung serombongan
telah sampai di sebuah
tikungan jalan yang menuju ke rumah ini.
"Huuu... huuuu... Oooo, alah Simbah. Mengapa
engkau meninggalkan kami... huuuu," begitulah terdengar ratapan tangis yang
cukup memilukan.
Mahesa Wulung dan kawan-kawannya serentak meloncat turun dari punggung kuda dan segera berlarian
memasuki halaman rumah itu.
Sementara itu beberapa orang yang melihat kedatangan rombongan Mahesa Wulung segera menyibak
dan memberi jalan pada mereka.
Terlebih lagi ketika mereka melihat bahwa Tungkoro mengenakan ikat pinggang
merah dan pedang lebar
keprajuritan Demak, orang-orang segera menyambutnya. "Pembunuhan, Tuan!" seru seorang penduduk yang
beruban dan tua. "Pembunuhan yang kejam dan aneh!"
"Haah, pembunuhan"!" seru Tungkoro kaget, seperti pula Mahesa Wulung dan kawankawan lainnya tak
habis kagetnya. "Mari kita periksa, Kakang Mahesa Wulung!"
"Baik. Ayolah, Adi."
"Hee, minggir, Kisanak dan para sanak kadang. Biar tuan-tuan ini memeriksa
kejadian ini," seru orang tua tadi yang rupa-rupanya adalah salah seorang
jagabaya di situ.
Mahesa Wulung dan Tungkoro segera mendekat ke
arah korban. Tampaklah oleh mereka, seorang gadis dengan meratap memeluk seorang
kakek tua yang tersandar di bawah sebatang pohon sawo.
Kakek tua yang tersandar itu telah memejamkan
mata dan pucat sekali. Pada sudut mulutnya terlihat bercak darah hitam yang
membeku. Dan yang membuat Mahesa Wulung kaget ialah terlihatnya sebuah bekas
telapak tangan pada dada si kakek yang tak
berbaju tadi. Bekas telapak tangan tadi berwarna merah kebiruan.
"Alangkah dahsyatnya!" desis Tungkoro begitu pandangan matanya menatapi bekas telapak tangan yang mengecap pada dada si kakek
tua. Mahesa Wulungpun terbelalak melihatnya, dan gumamnya kemudian, "Mmm, belum pernah aku menjumpai kejadian yang seperti ini. Tahukah Kakang Cemani tentang telapak tangan
tersebut?"
"Memang luar biasa. Tetapi aku yakin bahwa si
pembunuh adalah orang yang liar atau mungkin pula dari golongan hitam," ujar
Gagak Cemani. "Eeh" Kakang Cemani dapat memastikan?" sahut
Mahesa Wulung pula.
"Jika tidak begitu, mengapa ilmu yang sedahsyat itu hanya digunakan untuk
membunuh kakek tua ini?"
berkata Gagak Cemani seraya memaling ke arah gadis yang masih terisak-isak di
dekat tubuh kakek itu. "Bukankah begitu, Nona?"
Gadis itu mengangguk lemah dan berkata dengan
pelannya, "Benar, Tuan. Kakekku adalah orang yang baik-baik. Dia cuma seorang
pemahat saja yang ker-janya membuat pahatan-pahatan dan ukir-ukiran.
Oleh sebab itu kami menjadi heran bahwa ada orang yang telah membunuhnya...,"
kata-kata gadis itu terhenti sejenak sebab isak-isakan tertahan terdengar
memenuhi mulutnya.
"Jadi tidak sepatutnya bukan, bila kakek Nona
mempunyai lawan?" sela Mahesa Wulung.
"Itu... itu kami tidak tahu, Tuan," sambung si gadis malang tadi. "Sebab memang
beberapa tahun ia pernah meninggalkan keluarga kami."
"Hah, jadi dia pernah pergi juga"!" ujar Mahesa Wulung dengan kagetnya. "Agaknya
pada saat-saat itulah ada sesuatu kejadian penting yang Nona tidak mengetahuinya
dan ada sangkut pautnya pula dengan peristiwa ini."
Gadis itu mengangguk ragu, tapi dari tatapan dan
sorot matanya, agaknya ia bisa memahami akan segala kata-kata Mahesa Wulung.
"Haai, Adi Wulung. Coba perhatikan ini dulu!" sahut Gagak Cemani menyela sambil
menunjuk ke arah dada
kakek tersebut dan kemudian iapun menempelkan telinganya ke dada si korban. "Dengarlah. Masih ada detak-detak lemah sekali yang
berasal dari jantungnya!
Rupa-rupanya pukulan telapak tangan ini tidak dilancarkan dengan sepenuhnya."
Kata-kata Gagak Cemani tadi ternyata membuat
orang-orang di situ pada terlonjak kaget.
Maka seperti orang yang tidak percaya dan tanpa
sadar si gadis menggoncang-goncang lengan Gagak
Cemani seraya berkata, "Aah, benar... benarkah kata-kata Tuan itu" Atau Tuan
sekedar bermaksud menghibur kesedihanku saja?"
"Hee, itu benar, Nona. Tapi sabar dahulu. Biar sahabatku ini mencocokkan
perkataanku tadi," begitu kata Gagak Cemani seraya berpaling dan bertanya kepada
Mahesa Wulung yang sedang memeriksa tubuh
kakek tua itu, "Bagaimana, Adi Mahesa Wulung" Apakah ia bisa
kita tolong?"
"Kata-katamu benar, Kakang Cemani," berkata Mahesa Wulung. "Ada sedikit kemungkinan bahwa ia
akan dapat tertolong."
"Ya, tolonglah kakekku ini, Tuan," sela gadis di
samping gagak Cemani dengan nada yang penuh harapan. "Baiklah. Akan kami usahakan untuk menolong jiwanya," ujar Gagak Cemani. "Tapi terlebih dahulu harus kami bawa ke dalam rumah
dan tubuhnya harus
terbaring dengan baik. Setelah itu barulah kami bisa merawatnya."
Akhirnya dengan dibantu oleh beberapa orang penduduk di situ, tubuh kakek tua itu telah digotong ke dalam rumahnya dan kini
dirawat oleh Gagak Cemani serta Palumpang.
Sedangkan Mahesa Wulung masih sibuk bercakapcakap dengan orang-orang di luar rumah. Agaknya ia tengah bertanya-tanya dengan
mereka tentang kakek tua yang malang itu.
Selain itu, Mahesa Wulung tak henti-hentinya memperhatikan halaman rumah si gadis yang dihiasi dengan beberapa buah patung
pahatan dari batu sungai yang berwarna hitam.
Bentuk-bentuk patung binatang seperti lembu dan
harimau dalam keadaan duduk. Manusia dan patungpatung berpakaian raja seperti yang pernah dilihatnya dalam relief-relief candi
di daerah Tambak Baya dan Mentaok.
Mahesa Wulung lalu menjadi kagum akan karya

Pendekar Naga Geni 18 Bukit Kepala Singa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karya pahatan si kakek tua ini. Betapa besar bakat dan rasa seninya dapat
terukur dan terlihat pada
karya pahatan itu semua.
Jika seandainya kakek tadi hidup di jaman Rakai
Panangkaran di saat-saat pembangunan candi-candi
Borobudur dan sekitarnya, pastilah kakek tadi akan dapat mengembangkan bakatnya
seluas mungkin.
Tapi di jaman sekarang, di mana patung tidak lagi menjadi bagian penting dari
setiap bangunan, sejak saat itulah seni pahatan dan mematung menjadi mundur.
Kecuali di Pulau Bali yang pernah didengarnya.
Mereka masih terus melangsungkan seni pahat dan
mematung. Yang sekarang masih dapat dilihatnya hanyalah di
daerah Jepara. Seni ukir kayu masih terpelihara baik di sana sebagai seni
kerajinan rakyat.
Sesaat kemudian, Mahesa Wulung melangkah ke
dalam pintu masuk rumah si kakek tua. Di balai-balai yang beralaskan tikar
anyaman, kakek itu dibaringkan dengan baik.
Agaknya Palumpang dan Gagak Cemani telah merawat dan mengobatinya. Di sebelah yang lain tampak si
gadis yang tadi menangis, kini telah tenang dan menunggu kakeknya. Di
sebelahnya, tampaklah Pandan
Arum duduk dengan tekun, memperhatikan pengobatan tersebut. Mahesa Wulung melangkah dengan pelannya mendekati balai-balai si kakek. Namun perhatian tiba-tiba terpaku pada sebuah meja
kecil yang terletak di sebuah sudut rumah.
Entah mengapa hatinya tiba-tiba seperti terguncang. Bahkan Mahesa Wulung menjadi heran, mengapa nalurinya tergerak untuk melihat ke arah meja kecil tadi, sekaligus tertarik
ke arah benda yang tergeletak di atasnya.
Dengan penuh perhatian Mahesa Wulung mengamatinya. Ternyata di atas meja kecil tadi terdapat sebuah pahatan patung yang
terbuat dari batu putih dan mempunyai bentuk yang aneh. Pahatan patung yang
menarik perhatian Mahesa Wulung itu berbentuk kepala dari seekor singa yang menganga ke atas, seolah-olah mulut singa tadi
sedang meraung.
Mahesa Wulung dengan mudahnya dapat mengenal
bentuk kepala singa itu karena pada kepala dan sebelah belakang telinga,
terdapat pahatan dengan goresan menjurai dan ujungnya melengkung merupakan
ikalan rambut yang panjang.
Dan kemudian saja si pendekar Demak yang berotak tajam itu teringat akan patung-patung singa di daerah Candi Borobudur.
Yang membuat ia sangat heran ialah bentuk pahatan kepala singa tadi. Mengapa tidak dibuat seluruhnya, lengkap dengan badannya"
Sekali lagi Mahesa Wulung mengamatinya dan lamakelamaan patung kepala singa itu seolah-olah merupakan bentuk sebuah puncak
gunung yang menjulang
dan menganga ke atas!
"Aku tak habis mengerti," demikian ujar Mahesa
Wulung di dalam hatinya. "Pahatan kepala singa itu dapat menarik perhatianku.
Mungkin karena penem-patannya yang sangat khusus dan beralaskan kain sutera
merah itulah sebabnya. Hal ini hanya bisa dije-laskan oleh si kakek atau cucu
gadisnya itu. Hmm, mudah-mudahan kakek tua ini dapat tertolong ji-wanya!"
Pendekar Demak ini mendekati Gagak Cemani dan
duduk di dekatnya. Mereka kini telah mengerumuni
balai-balai si kakek tua.
"Bagaimana, Kakang Cemani" Ada harapan baginya?" tanya Mahesa Wulung kepada sahabatnya.
"Aku harap demikian, Adi Wulung," jawab Gagak
Cemani seraya mengelus kumisnya. "Telah kami usahakan sebaik-baiknya dan mudah-mudahan ia tertolong." "Badannya telah hangat kembali," ujar Palumpang
sambil menghapus beberapa butir air keringat yang muncul di dahi si kakek tua.
"Dan jantungnya mulai berdetak lebih keras."
Kini pusat perhatian tertumpah kepada si kakek tua yang terbaring di tengahtengah mereka. Dadanya yang terluka telah dibalut dengan secarik kain bersih dan
dibubuhi ramuan obat yang dibawa oleh Palumpang.
Tubuh si kakek mulai tampak lebih segar, tidak se-pucat ketika Mahesa Wulung dan
rombongannya menjumpainya. Juga urat-urat darahnya mulai tampak
menggembung kembali. Agaknya darahnya telah mulai mengalir lancar, setelah
beberapa waktu lamanya berdetak jantungnya lebih keras.
"Mmm... hehh... aduuuh...," demikian keluh yang
keluar dari mulut si kakek.
"Ooh, Kakek! Kakek!" seru si gadis kegirangan bercampur haru dan memelukkan
tangannya ke arah tubuh si kakek. "Tahan dulu!" seru Palumpang sambil mencegah gerakan si gadis. Secepat itu pula Pandan Arum menahan si gadis untuk tidak
melanjutkan maksudnya.
"Ooh, mengapa Tuan menahanku?"
"Maaf, itu demi keselamatan kakek Anda sendiri!"
berkata Palumpang. "Jika Anda memeluknya dan disertai isakan atau rasa haru yang meluap-luap, maka akan terloncat dan
teralirlah getaran-getaran diri Anda ke tubuh si kakek. Dan karena tubuhnya
masih belum kuat, maka tidak mustahil bahwa getaran-getaran tubuh Anda akan
menghancurkan isi rongga dadanya.
Dan akibatnya, kakek Anda akan mati dengan segera."
Mendengar ini, si gadis tadi terlonjak kaget serta menjadi ketakutan dan
secepatnya ia menarik kembali kedua belah tangannya ke belakang disertai desisan
menyesal. "Ooh, maaf, Tuan."
"Tak apa, Nona," ujar Palumpang seraya tersenyum.
"Aku dapat memahami perasaan Anda."
"Sekarang, dapatkah Anda menyalurkan hawa sakti
ke dalam tubuhnya?" bertanya Gagak Cemani kepada
Palumpang. "Ya. Sekaranglah saatnya," kata Palumpang seraya
mengulurkan kedua belah tangannya untuk masingmasing menggenggam sebelah tangan kiri dan tangan kanan si kakek.
Palumpang kemudian memejamkan mata dan mulutnya berkomat-kamit mengucapkan sesuatu yang
sukar didengar.
Sebenarnya memang Palumpang tengah bekerja menyalurkan hawa sakti untuk memulihkan tenaga dan
kekuatan si kakek yang telah hilang. Pada wajah Palumpang, terbitlah bintikbintik keringat kecil-kecil yang semakin lama makin bertambah besar dan kemudian
menetes jatuh. Jelaslah bahwa pekerjaan tadi
cukup berat baginya, seperti yang terlihat pada wajah Palumpang dengan
mengucurkan keringat serta mem-bara merah.
Hampir tak seorangpun melepaskan pandangan
mata dari adegan yang cukup menegangkan ini. Terutama bagi si gadis sendiri.
Larangan si Palumpang untuk tidak memeluk si kakek tua ini, telah cukup mengguncangkan perasaan si gadis. Namun atas tutur kata
Palumpang dan penjelasan-penjelasan Pandan Arum, telah membuat pengertian dan rasa terima kasih kepadanya.
Suasana yang tegang tadi makin memuncak dan
meledak, merupakan jeritan kaget dari mulut orang-orang di situ berbareng si
kakek tua tiba-tiba bangkit dengan mata yang nyalang membelalak sambil
berteriak-teriak ketakutan.
"Ooh, tidak! Tidak! Aku tak mau ikut bersamamu
lagi. Pergi! Pergi, kau Tangan iblis jahanam!"
Sambil berteriak demikian, si kakek tua tersebut
meronta-ronta seperti hendak melesat kabur dari balai-balai tempat tidurnya.
Akan tetapi Palumpang cukup cekatan. Dengan dibantu pula oleh Gagak Cemani serta Mahesa Wulung, ia akhirnya dapat menahan
gerakan si kakek.
"Tenang, Bapak! Sabarlah! Sebutlah nama Tuhan
Yang Maha Besar agar kekuatan Bapak pulih kembali,"
demikian kata Palumpang dalam nada yang tenang
dan penuh wibawa, sehingga si kakek tua itu berangsur-angsur mengendorkan dan
kemudian menghentikan gerakannya.
"Ooh, di mana aku sekarang! Masih hidupkan aku
ini"!" keluh si kakek tua dengan mengernyit-ngernyit-kan matanya, seakan-akan ia
tak mau percaya dengan pandangan yang ada di depannya. Namun ketika ia
melihat wajah si gadis yang ada di sampingnya, berserulah ia dengan tiba-tiba, "Cucuku, Sekarwengi! Oohh!"
Si gadis yang bernama Sekarwengi ini lalu memeluk kakeknya disertai cucuran air
mata, dan kali ini memang tak perlu dicegah lagi karena tenaga si kakek telah
pulih. Sambil menatap ke arah para penolongnya berkatalah dia, "Tuan-tuan, kami
bersyukur atas bantuan dan pertolongan yang telah Andika berikan. Perkenalkanlah, ini kakekku, Selakriya."
Suasana kini berganti meriah. Penuh dengan suasana gembira dan wajah-wajah cerah. Kakek Selakriya segera memperkenalkan diri
kepada Mahesa Wulung,
Palumpang, Gagak Cemani, Pandan Arum dan Tungkoro. Sekarwengi kemudian menyiapkan minuman untuk
para tamu. Sementara itu, di luar, para tetangga si Kakek Selakriya ikut
menengok ke dalam untuk ikut me-nyatakan ucapan selamat dan kemudian mereka satu
demi satu pulang ke rumahnya masing-masing.
"Aku tak menyangka bahwa hidupku masih panjang," ujar Selakriya kepada para tamunya. "Pukulan maut si Tangan Iblis itu
sungguh dahsyat, dan ketika terkena olehnya, pandanganku seketika gelap dan napasku seperti putus. Ketika aku roboh ke tanah, aku masih sempat mendengar derai
ketawanya yang me-mekakkan telinga."
"Hmm, jadi orang tersebut bernama Tangan Iblis"!"
desah Mahesa Wulung. "Untunglah bahwa ia tidak
memukul Bapak dengan tenaga yang penuh. Agaknya
ia mengandalkan bahwa dengan tenaga pukulan yang
ringan, ia akan sanggup merobohkan sampai mati seorang tua yang seperti Andika
ini." Kakek tua itu manggut-manggut dengan ucapan
Mahesa Wulung dan membenarkannya.
"Tetapi apakah sebabnya si Tangan Iblis itu sampai memusuhi Andika?" bertanya
kembali Mahesa Wulung
kepada Kakek Selakriya. "Apakah Andika telah berbuat kesalahan kepadanya"!"
"Sebab aku telah menolak ajakannya untuk mengikuti sampai ke Pulau Mondoliko," kata Kakek Selakriya. "Aku tak ingin pergi ke
sana untuk kedua kalinya.
Sekali saja sudah cukup dan aku merasa hidup di tengah-tengah para iblis."
"Jadi Andika pernah datang ke sana?" seru Mahesa
Wulung saking kagetnya.
"Apakah yang Andika kerjakan di sana?" bertanya
Gagak Cemani menyela.
Kakek Selakriya termenung sejenak sambil mengusap-usap jenggotnya yang kelabu, lalu berkata kembali, "Sebenarnya aku tak
ingin untuk mengungkitungkit ataupun mengenang kembali peristiwa itu. Tetapi karena inipun agaknya
penting untuk saya cerite-rakan kepada Tuan-tuan, maka tak ada salahnya, jika
aku tuturkan kembali."
"Kami tidak keberatan dan dengan senang hati akan mendengarkan penuturan
Andika," Gagak Cemani berkata, sedang hatinya telah tidak sabar untuk mengetahui
riwayat si Kakek Selakriya yang pernah tinggal di Pulau Mondoliko itu.
*** 2 KAKEK SELAKRIYA menarik napas panjang seolaholah ia ingin mengumpulkan semua pikirannya guna ditumpahkan dalam ceritera yang
akan dituturkannya.
"Ceriteranya cukup panjang," begitu kata Kakek Selakriya memulai ceriteranya.
"Beberapa tahun yang la-lu aku sering mengembara kemana-mana bersamasama dengan anakku yang laki-laki. Kami berkelana
untuk mencari pengalaman dan memperdalam bakat
yang kami punyai, yakni memahat dan mengukir batu untuk kami jadikan patung dan
hiasan-hiasan lainnya.
Bangunan-bangunan candi seperti Borobudur, Mendut, Kalasan, Prambanan sering kami kunjungi. Bahkan kami pernah juga sampai ke
Candi Penataran di Jawa Timur. Kami mempelajari patung-patung dinding yang ada
di candi-candi tersebut. Ternyata banyak corak tadi makin berubah ke corak
wayang kulit seperti yang terdapat di Candi Penataran, Jago dan lain-lainnya.
"Ternyata hal ini banyak gunanya bagi kami sehing-ga selain pengalaman bakat
kamipun bisa lebih ber-kembang.
"Selama mengembara itu, bila kami mendapat pesanan untuk menghias bangunan rumah yang baru, tentu kami kerjakan dengan senang hati dan penuh semangat. "Demikianlah, maka nama kami mulai dikenal di
beberapa tempat di mana kami membuat karya-karya
kami. "Perjalanan kami teruskan ke daerah timur menjelajahi wilayah Pulau Jawa di
sebelah sana. Ternyata di daerah timur itu jauh lebih banyak bangunan-bangunan
kuna yang bertebar di beberapa tempat.
"Peninggalan bangunan-bangunan dari kerajaan
Majapahit, Singasari masih dapat terlihat dengan baik dan megahnya.
"Pada suatu hari, sampailah kami di kota Banyuwangi dan kami akan tinggal di sana beberapa lama, untuk mencari pengalaman yang
baru. "Di suatu sore, ketika kami tengah membuat sebuah ukir-ukiran patung kayu, datanglah seorang setengah tua yang gagah,
berpakaian bagus dan memakai dastar cara Bali."
*** "Selamat sore, sobat!" sapa si pendatang tadi kepada Selakriya dan anaknya. "Bolehkah aku mengganggu sebentar?"
"Ehh, mm, tentu Kisanak... tentu kami tak keberatan untuk itu," ujar Selakriya kepada tamunya.
"Adakah yang Anda perlukan dari kami?"
Tamu tadi tersenyum ramah sambil duduk ke atas
sebuah balok kayu di dekat Selakriya, lalu berkata memperkenalkan diri. "Aku
bernama Wayan Arsana,
datang dari Pulau Bali."
Selakriya menjabat tangan Wayan Arsana seraya
menyebut namanya. "Nama saya Selakriya, dan ini
anakku, Sunutama namanya."
Ketiga orang itu kemudian saling berkenalan dan
bercakap-cakap dengan ramahnya. Tampaklah Wayan
Arsana mengagumi karya pahatan patung kayu Selakriya yang menggambarkan sang Bima Sena bertarung dan dililit oleh seekor ular
naga. Karya tersebut sungguh mengagumkan bagi Wayan Arsana yang baru datang itu. "Sungguh mengagumkan karya pahatan Andika
ini," kata Wayan Arsana. "Belum pernah aku melihat karya yang sehebat itu."
"Ahh, Anda terlalu memuji berlebih-lebihan, dan itu membuat kami merasa malu,"
ujar Selakriya merendahkan diri. "Bukankah Pulau Bali penuh dengan pemahatpemahat dan pengukir terkenal?"
"Betul kata Andika, Ki Selakriya," sambung Wayan
Arsana. "Namun toh aku dapat mengagumi hasil karya Andika. Meskipun corak
pahatan Andika berlainan dengan corak daerahku, namun keindahan tetap ter

Pendekar Naga Geni 18 Bukit Kepala Singa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bayang dalam karya ini."
"Ehh, apakah itu benar, Ki Wayan?" berkata Selakriya sedikit segan, karena sanjungan tadi.
"Oo, itu aku katakan dengan sebenarnya, Ki Selakriya," sahut Wayan Arsana. "Keindahan akan tetap mempunyai nilai-nilai
keindahan walaupun coraknya berlainan. Seperti tarian dari Pulau Jawa dan di
Bali ataupun dari pulau-pulau lainnya, akan tetap mempunyai keindahan sendirisendiri." "Hmm, agaknya Anda seorang pengagum kesenian,
Ki Wayan."
"Itu memang benar, sobat. Dan kedatanganku kemari inipun karena hal tersebut," ujar Wayan Arsana.
"Aku telah mendengar nama Andika beberapa waktu
yang lalu, ketika seorang sahabatku yang datang dari Banyuwangi membawa serta
sebuah karya pahatan
patung kayu yang menggambarkan seekor garuda menyambar seekor ular. Kata sahabatku, patung tersebut adalah hasil karya seorang
pemahat yang bernama Selakriya yang saat ini tinggal menetap beberapa waktu di
kota Banyuwangi. Aku sangat mengagumi karya tersebut. Karenanya aku memutuskan
untuk datang kemari serta menemui Andika."
"Ooh, terima kasih, Ki Wayan," gumam Selakriya.
"Telah jauh-jauh Anda datang dari seberang, untuk menjumpaiku di kota Banyuwangi
ini. Oleh sebab itu, sudah sepantasnya bila kami menghargai kedatangan Anda
ini." "Ketahuilah Ki Selakriya, bahwa kedatanganku kemari ini ingin menawarkan suatu pekerjaan untuk An-da."
"Pekerjaan?" desis Selakriya seperti tak mau percaya akan pendengarannya. "Apakah itu, Ki Wayan Arsana?"
"Kami sedang membangun sebuah rumah tinggal
yang baru. Dan saya ingin agar di dalamnya dihias dengan patung-patung hasil
karya dari Andika. Selain
itu, gapura pintu gerbang rumah belum dimulai. Maksud saya, semuanya itu kami
tawarkan kepada Andika." "Senang sekali kami dengan tawaran Anda, Ki Wayan Arsana," ujar Selakriya. "Tapi apakah itu tidak akan berbeda dengan corakcorak yang telah ada di sana?"
"Justru itulah, Ki Selakriya. Saya mengharap agar Andika memadukan corak dan
gaya dari Jawa dengan
corak-corak dari Bali," ujar Wayan Arsana dengan ramahnya. "Dengan begitu, maka
pintu gerbang rumahku akan mempunyai gaya yang sedikit lain tapi
akan tetap indah."
Selakriya manggut-manggut mendengar usul Wayan
Arsana tadi. Ia tak menyangka bahwa ada orang lain yang begitu besar menaruh
minat kepada dirinya.
"Baiklah, Ki Wayan. Aku tak keberatan dengan
permintaan Anda tadi. Tapi aku belum tahu apakah
anakku akan menyetujuinya pula."
"Aku akan ikut, Ayah! Aku akan membantu Ayah
menyelesaikan pintu gerbang itu," sahut Sunutama
sambil menggoncang-goncang lengan ayahnya.
"Naah, itu bagus! Bagus!" seru Wayan Arsana gembira. "Kapankah kalian berdua dapat berangkat?"
"Mungkin sehari, dua hari lagi, setelah patung sang Bima ini selesai," ujar
Selakriya. "Dan tentu Anda tidak terlalu tergesa-gesa, bukan?"
"Baiklah, Ki Selakriya," berkata Wayan Arsana dise-lingi wajah yang cerah. "Aku
akan kembali ke tempat penginapanku di sebelah timur kota. Dua hari lagi aku
akan kemari untuk menjemput kalian."
"Terima kasih," sahut Selakriya seraya mengantar
tamunya ke luar dari halaman rumah.
Tapi untuk sesaat Wayan Arsana berpaling kembali
untuk menatapkan pandang ke arah patung sang Bima dan tiba-tiba berkatalah ia, "Ki Selakriya, bagaimana jika patung itu aku
beli sekalian, untuk menghias rumahku?"
"Eh, jadi Anda berminat pula terhadap patungku
ini?" ujar Selakriya pula.
"Begitulah jika Anda tak keberatan," Wayan Arsana berkata. "Berapapun akan saya
bayar untuk patung
itu." "Syukurlah jika Anda menyukainya. Dua hari lagi
akan melihat keseluruhannya."
Wayan Arsana sebentar kemudian berpamit lagi dan
melangkah ke arah timur, sementara sang rembulan
telah mulai muncul di langit timur.
Ki Selakriya berdua terus mengikuti langkah-langkah tamunya dengan pandangan cerah, sampai akhirnya Wayan Arsana lenyap di sebuah tikungan jalan.
"Ooh, kita bakal mendapat pekerjaan yang lebih besar, Ayah! Dan lagi kita akan
mengunjungi Pulau Bali,"
seru Sunutama kegirangan. "Seolah-olah aku telah dapat melihat lemah-gemulai
dari tarian penari-penari di sana...."
"Jangan lekas-lekas bergembira, Sunutama!" desah
Selakriya kepada anaknya yang masih hijau itu. "Kalau pekerjaan atau tugas kita
bertambah besar, itu berarti bahwa tanggung jawab kitapun makin bertambah lebih
berat lagi!"
"Eeh, maksud Ayah?"
"Ketahuilah, Nak. Bahwa tanggung jawab seseorang
itu akan selalu lebih berat daripada yang sudahsudah. Apalagi jika orang tersebut mendapat pekerjaan atau tugas yang lebih
besar. Sebagai misal, seorang anak kecil akan selalu dibimbing oleh orang
tuanya. Disuap, dimandikan, digendong dan sebagainya. Tapi jika ia makin meningkat
dewasa, maka tanggung ja-wabnya akan lebih besar pula. Ia tidak lagi dimandikan, tapi akan mandi sendiri. Begitu pula ia akan me-nyuapkan makanan sendiri ke
mulutnya. Kemudian,
jika ia makin tua, maka akan dicarinya sendiri sandang pangan dan pekerjaan yang
diingininya untuk
menjamin kesejahteraan keluarganya. Nah, itulah yang aku maksudkan, Nak."
Si pemuda Sunutama menundukkan kepala dengan
perhatian yang tercurah kepada tutur kata ayahnya itu. Terasa benar, betapa ia
masih terlalu hijau untuk memahami hal-hal yang baru.
"Sekarang aku lebih mengerti, Ayah. Terima kasih
untuk nasehat Ayah," kata Sunutama.
"Ya, itu bagus, Ngger," ujar Selakriya dengan rasa gembira. "Marilah kita
menyudahi dulu pekerjaan kita.
Ringkaslah alat-alat pemahat kita dan segala sesua-tunya. Besok kita akan
melanjutkannya kembali."
Selakriya dan anaknya kemudian memberesi perabotnya ke dalam rumah, dan halaman itu kini telah sepi kembali. Beberapa ekor
kunang-kunang beterbangan di sela-sela dedaunan, kesana-kemari seperti akan
mencari, ke manakah gerangan manusia-manusia yang tadi duduk-duduk di halaman
ini" Akan tetapi agaknya kunang-kunang tadi tidak mengerti bahwa di sela-sela semak di seberang halaman rumah tersebut, terlihatlah
sepasang mata yang mengawasi ke arah rumah Selakriya dengan tajamnya, seolaholah sepasang mata burung hantu yang mengintai mangsanya.
Tatapan mata yang tajam itu seperti akan menembus dinding rumah dan menghunjam kepada para
penghuninya, yakni Selakriya dan anaknya.
Hmm, siapakah sebenarnya si pengintai ini dan apa pula maksudnya dengan
mengamat-amati Selakriya
berdua" Ternyata kemudian bahwa si pengintai tadi terenengan menggerundal, "Keparat! Jadi si Wayan Arsana akan mengambil kedua orang itu
untuk menjadi pembantunya! Baiklah. Akan kutunggu kelak, sampai di mana ia tahan
melaksanakan tugasnya dan untuk itu aku akan membuat perhitungan kepada mereka!"
Habis berkata demikian maka bayangan tadi lalu
memutar tubuh dan meloncat meninggalkan tempat
itu, laksana bayangan hantu, menembus malam yang
semakin larut. *** 3 PADA SIANG yang cerah di hari itu, Selakriya bersama Sunutama kelihatan tersenyum-senyum puas
menikmati hasil karyanya yang baru saja selesai. Sebentar-sebentar mereka
menghapus keringat yang
mengalir di dahinya. Betapapun kepanasan, namun
mereka tak merasakannya, karena perhatian mereka
lagi tercurah kepada patung pahatan sang Bima yang lagi bertarung melawan seekor
naga. Memang sungguh mengagumkan. Kedahsyatan dan
keperwiraan tercermin di dalam karya tersebut, menimbulkan semangat bagi siapa
yang melihatnya. Ke-gagahan sang Bima Sena bergelut menghadapi rintangan yang tidak kecil. Meskipun tubuhnya telah dibelit oleh sang naga, toh Sang
Bima tidak menjadi ketakutan dan tetap berjuang melawan lawannya, sehingga
akhirnya ia ke luar sebagai pemenang.
Ketika itu matahari bergeser lebih ke barat. Dari arah timur muncullah si Wayan
Arsana berjalan menuju ke arah rumah pondokan Selakriya, si pemahat yang
terkenal itu. "Selamat siang, Ki Selakriya," sapa Wayan Arsana
memberi salam kepada si pemahat.
"Eeh, kedatangan Anda bertepatan dengan selesainya patung ini," ujar Selakriya mempersilahkan tamunya masuk ke halaman.
"Apakah Anda telah menyiapkan diri untuk keberangkatan itu?" Wayan Arsana bertanya.
"Untuk itu, kami telah bersiap."
"Bagus, sobat. Sore nanti, kita akan menuju ke
bandar dan kita menyeberang dengan perahu layar."
Sunutama tersenyum dan bersinar-sinar matanya
mendengar tentang perahu layar itu, dan karenanya iapun bertanya, "Paman Wayan,
apakah itu perahu
yang besar?"
"Oo, memang itu perahu layar yang besar," kata
Wayan Arsana. "Apakah Angger pernah pula naik perahu?" "Pernah pula, tapi itu hanya perahu kecil saja di sebuah sungai."
"Heh, heh, heh itu sama saja, Nak. Cuma bedanya,
kalau kita berperahu di sungai, airnya hanya tenang saja alirannya. Sedang di
laut nanti, ombaknya jauh lebih besar daripada aliran air di sungai tadi. Nah
apakah Angger juga berani berlayar menempuh ombakombak laut itu nanti?"
"Jika Paman berani... aku pun berani," ujar Sunutama sambil tersenyum lebar.
"Ha, ha, ha. Engkau bocah yang bersemangat, Angger Sunutama. Cocok sekali jika engkau putra Ki Selakriya," kata Wayan Arsana
memuji. Ketika matahari makin condong ke barat, Selakriya dan puteranya telah berkemaskemas dengan barang-nya. Bersama Wayan Arsana, mereka bergegas melangkah ke arah
timur. Mereka singgah pula sebentar ke pondokan Wayan Arsana untuk mengambil
barang-ba-rangnya, setelah itu mereka langsung menuju ke bandar. Beberapa perahu tampak berjejer di sana dan sebuah di antaranya telah siap untuk menyeberang.
Memang jarak antara Banyuwangi dan Pulau Bali tidak terlalu jauh. Dan satu kota
pelabuhan di Pulau Dewata itu yang paling dekat ialah Gilimanuk, sehingga di
setiap harinya berhilir-mudiklah perahu-perahu layar yang menghubungkan kedua
kota tersebut. "Hooi! Kami telah menunggu!" terdengar seruan dari tukang perahu kepada Wayan
Arsana bertiga.
"Ah, rupanya Anda telah memesan tempat," kata
Selakriya seraya menoleh ke arah Wayan Arsana.
Sambil mengangguk, Wayan Arsana melambai ke
arah perahu tadi. "Benar, Ki Selakriya. Sebab aku ku-watir kalau-kalau kita
tidak kebagian tempat. Dan lagi Andikapun belum tahu agaknya, bahwa perahu itu
sudah menjadi langgananku untuk menyeberang kemari." "Senang juga, ya. Rupanya Anda sering melakukan perjalanan keliling."
"Sebagai seorang saudagar memang aku sering berkeliling. Seluruh Pulau Bali dan pesisir-pesisir Jawa Timur telah aku jelajahi."
"Akh, untung sekali kami berdua dapat bertemu dengan Anda," kata Selakriya. "Jika tidak, belum tentu kami mampu mengadakan
perjalanan semahal ini."
"Heh, heh, heh. Itulah namanya nasib. Agaknya para dewa telah mempertemukan kita, Ki Selakriya."
Sebentar kemudian mereka bertiga telah turun ke
perahu dan penyeberangan itupun dimulailah. Dengan lajunya haluan perahu
membelah permukaan air dan
angin sore yang kencang mengembangkan layar-layar bagai sayap-sayap raksasa.
Beberapa penumpang tampak pula duduk bersamasama Wayan Arsana, Selakriya dan Sunutama.
Di antara deretan penumpang tadi, tampaklah seorang berpakaian bagus, berbaju sutera merah dan berwajah angker dengan kumisnya
yang kaku. Orang inilah yang lebih dulu memperkenalkan diri
kepada Wayan Arsana bertiga. Dengan senyum ramahnya pula ia menawarkan makanan yang dibawanya
kepada Wayan Arsana.
"Jimbaran," si kumis kaku menyebutkan namanya,
kemudian ia menyampaikan secawan tuak kepada Wayan Arsana. "Minumlah ini, sobat. Cocok sekali untuk hawa sore yang sejuk ini."
Mendengar orang ini menyebutkan nama Jimbaran,
Ki Wayan Arsana terperanjat sesaat. Sebab ia seperti pernah mendengar nama
tersebut, tapi entah di mana, iapun sudah lupa.
Namun dasar Wayan Arsana tidak mempunyai prasangka apapun, maka ia buru-buru menerima cawan
tembikar berisi tuak yang diberikan oleh Jimbaran kepadanya.
Sesudah menyampaikan tuak tadi, si kumis kaku
Jimbaran memperlihatkan senyumnya yang tajam, senyum yang bernada merendahkan.
Wayan Arsana menjadi kaget luar biasa begitu jari-jemari tangannya memegang
cawan berisi tuak tadi.
Ternyata cawan tadi belum seluruhnya dilepaskan oleh genggaman jari-jari
Jimbaran. Dengan begitu, maka Wayan Arsana mengira telah terdapat perbedaan
waktu, antara saat penyerahan cawan dari tangan Jimbaran dan penerimaan pada
tangannya. Sehingga wajarlah bila hal itu menimbulkan kecanggungan seperti di
atas. Akan tetapi kemudian Wayan Arsana benar-benar
sangat terkejut bila perkiraannya semula adalah mele-set. Kecanggungan tersebut
bukan disebabkan oleh se-lisih waktu, tetapi memang disengaja oleh Jimbaran
untuk menguji kekuatan Wayan Arsana.
"Satu permainan yang berbahaya!" kata Wayan Arsana di dalam hati. "Agaknya ia mempunyai kebiasaan demikian!"
Kini terlihatlah adegan yang menarik dan mendebarkan hati. Masing-masing tangan kanan Jimbaran
dan Wayan Arsana melekat dan memegang cawan berisi tuak itu. Tarik-menarik terjadi antara kedua orang itu untuk memperoleh
tuak yang cuma secawan. Meskipun mereka tetap duduk pada masing-masing tempatnya, namun kedua tangan mereka saling bergetar mengadu tenaga dalam.
Wajah Wayan Arsana mulai nampak berkeringat.


Pendekar Naga Geni 18 Bukit Kepala Singa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rupanya iapun bukan orang sembarangan dan sedikit banyak mempunyai ilmu pula.
Melihat hal ini, Sunutama menyenggol-nyenggol lengan ayahnya sebagai maksud memberi tahu akan adu tenaga dalam antara Wayan
Arsana melawan Jimbaran.
"Sttt," desis Ki Selakriya kepada anaknya agar berdiam diri menghadapi keadaan
ini. Ia sendiri belum tahu, apakah yang akan diperbuatnya dalam menghadapi
peristiwa yang demikian menggetarkan hati itu.
Butir-butir peluh menitik juga pada wajah Jimbaran, satu pertanda bahwa iapun telah mengerahkan
tenaga dalamnya. Tetapi dibanding dengan Wayan Arsana, hal itu kelihatan besar
bedanya. Kalau wajah Wayan Arsana tampak tegang dan basah oleh keringat serta sebentar-sebentar meringis menahan rasa sakit yang mulai
merayap pada tangannya, sebaliknya Jimbaran masih tampak segar! Bahkan mulut Jimbaran sebentar memperlihatkan senyum bangga, sehingga Selakriya dan
Sunutama makin berdebar-debar dadanya. Mereka merasa kuatir akan keselamatan
Wayan Arsana yang telah menjadi sahabatnya ini. Jika Wayan Arsana ternyata akan kalah dan ketumpahan tuak ini tidaklah begitu menimbulkan kecemasan. Tapi jika tenaga dalam itu
sampai meruntuhkan atau paling sedikit mencederai dada sahabatnya, inilah bakal
membuat kegaduhan!
Keadaan makin gawat ketika tangan-tangan Wayan
Arsana dan Jimbaran pada bergetar dengan hebatnya.
Beberapa saat kemudian dapatlah dibayangkan bila
Wayan Arsana akan menderita kalah.
Tiba-tiba saja, satu kejadian yang tidak disangka telah terjadi begitu cepat!
Salah seorang penumpang yang duduk di pojok, berkerudung kain batik dan
bercaping bambu serta berdiam diri saja dari tadi, tahu-tahu telah bersin dengan
kerasnya. "Haaa... haaa... haa, sin!"
Jimbaran terkejut bukan kepalang. Kalau suara
bersin saja ia tidak bakal terkejut ataupun heran setengah mati. Tapi kali ini
bersin yang ia jumpai terasa aneh dan luar biasa. Bersama bersin tadi
terpancarlah satu semburan angin panas yang langsung membentur lengan kanan
Jimbaran. Satu rasa pedih yang menye-ngat tulang telah menyerangnya dan keruan
saja Jimbaran menjerit kesakitan.
"Aaaghh!"
Dan seketika itu pula Jimbaran melepaskan pegangannya pada cawan berisi tuak yang telah menjadi bahan perebutan.
Wayan Arsana dengan tenangnya kemudian menuangkan tuak itu ke dalam mulutnya, sementara Jimbaran mengutuk-ngutuk, seraya
mengurut lengan kanannya yang terasa bagai terbakar oleh kobaran api.
Mata Jimbaran melirik tajam ke arah si caping bam-bu, dan seketika itu
meletuplah marahnya.
"Keparat! Kau mengganggu permainanku, heei"! Kowe
akan memperlihatkan kesaktianmu?"
"Ohh, tidak, Tuan. Tidak! Aku tak bermaksud begitu," ujar pria bercaping bambu itu seraya membungkuk-bungkuk setengah ketakutan.
"Aku tidak sengaja berlaku demikian."
"Kurang ajar. Ternyata engkau pandai memutar lidah!" bentak Jimbaran dengan wajah kemerah-merahan. "Aku ingin tahu apakah engkau mampu pula memutar tenagamu!"
Begitu berkata, Jimbaran seketika menerjang ke
depan dibarengi satu pukulan tinju yang langsung
menghajar wajah pria bercaping.
Melihat hal ini, Wayan Arsana, Selakriya, Sunutama dan segenap penumpang lainnya
berseru kaget. Mereka percaya bahwa pukulan yang dilancarkan oleh
Jimbaran ini bukan sekedar gertakan untuk menakut-nakuti saja, tapi adalah
pukulan yang sepenuh tenaga.
Malahan pula dilambari oleh kemarahan yang meluap.
Weesstt! Suara mendesau terdengar menggetarkan telinga,
namun si pria bercaping cukup memindahkan duduknya dan akibatnya pukulan Jimbaran cuma memperoleh udara kosong.
Sudah barang tentu si kumis kaku Jimbaran itu
memaki-maki dan selanjutnya ia memutar tubuh serta kembali melancarkan
serangannya. Pukulan yang kedua segera melanda ke arah kepala
lawan, tepat di saat itu pula kedua tangan lawannya telah didorong ke depan
menyambutnya. Blaaakk! Terdengar sebuah benturan keras disusul oleh
raung kesakitan dan tubuh Jimbaran yang terpental jatuh di geladak perahu.
"Heiii! Ohh... celaka! Berhenti, Tuan-tuan. Jangan berkelahi di atas perahuku
ini!" teriak para tukang perahu yang ketakutan dan kalang kabut, karena badan perahu ini telah tergoyanggoyang. Melihat itu pula, merekapun sadar bahwa kedua
orang yang sedang berkelahi itu pasti memiliki tenaga dalam serta ilmu yang
cukup tinggi. Menjadi semakin penasaran si Jimbaran ketika dua
serangannya tadi telah kandas begitu saja tanpa mampu menyinggung tubuh si
caping bambu. "Setan iblis! Kau menyepelekan aku, hah!" seru
Jimbaran seraya menyingkap bajunya sekaligus melolos sebilah keris yang terselip di pinggang. "Coba kau hadapi pusakaku ini
kalau mampu!"
"Bagus! Sekarang jelaslah bahwa kau tidak mempunyai watak ksatria. Selagi lawanmu bertangan kosong, kau telah mencabut
senjata!" Jimbaran mengutuk. "Persetan! Tak perlu banyak
mulut!" Sambil berkata itu, Jimbaran memamerkan ketrampilannya memainkan keris. Dengan hanya menggunakan telunjuk tangan kanannya, ia memutar keris tadi seperti gasing. Kemudian
disertai seruan pendek, keris tadi tahu-tahu telah berpindah ke tangan kiri, dan
selanjutnya pula keris tersebut berpindah-pindah antara tangan kanan dan kiri,
sehingga membingungkan siapa saja yang melihatnya!
Diam-diam si caping bambu mengakui kepandaian
Jimbaran dalam berolah senjata, dan karenanya tak mengherankan bila Jimbaran
berani malang-melintang serta membuat perkara di muka umum!
Dalam pada itu, disebabkan saking sibuknya perhatian segenap penumpang perahu kepada pertarungan
tadi, mereka tidak merasa bahwa sebuah perahu lain telah mendekat dan merapatkan
badan perahunya kepada perahu yang ditumpangi oleh Wayan Arsana, Selakriya dan
orang lainnya. Sambil berteriak nyaring, Jimbaran tahu-tahu telah menikam ke dada si caping
bambu, tetapi lawannya ini dengan sigapnya mengelak dan berbareng itu pula sisi
tangannya telah menampar pergelangan tangan Jimbaran, sehingga dengan teriakan
mengaduh, keris tersebut telah terlepas.
Hal ini membikin si laki-laki bercaping bambu itu bersenang sesaat. Hanya
sayang, bahwa kegembiraan itu cuma sesaat, sebab dalam gerakan yang gesit,
Jimbaran menggerakkan tangan kiri dan... hup! Kerisnya yang terlepas tadi
tertangkap lagi dan berpindah ke tangan kiri!
"Hua, ha, ha, ha," terdengar ketawa Jimbaran sambil menimang-nimang kerisnya. "Bukalah matamu lebar-lebar. Kau berhadapan dengan Jimbaran, pendekar pilih tanding dari Gunung Batur! Apakah kamu
punya nama, sampai berani melawanku"!" Sesaat itu pula Jimbaran bersuit dan
beberapa orang meloncat turun dari perahu asing yang telah merapat tadi.
Melihat ini semua, penumpang dari perahu pertama
serempak terkejut, kecuali Jimbaran sendiri.
Beberapa orang di antara mereka ada yang berteriak, "Perompak!"
Dan keruan saja keadaan di situ menjadi panik seketika. Sunutama dengan ketakutan berlindung di belakang Ki Selakriya yang telah siap dengan sebilah kapak kecil bertangkai agak
panjang. Sedang Wayan Arsana, diam-diam pula telah bersiap dengan sebilah keris yang dihunusnya dari punggung. Meskipun ia jarang dan
boleh dikatakan tidak pernah berkelahi, tetapi melihat pengacauan ini, ia tidak
segan-segan untuk turun tangan.
Tiba-tiba terdengarlah ketawa yang menggelegar da-ri salah seorang perompak yang
baru saja turun dari
perahu asing yang telah merapat itu. Di tangannya tergenggam sepucuk pedang
mengkilat yang ujungnya
agak melengkung ke depan.
"Hii, ha, ha, ha, ha. Bukankah kedatanganku ini tepat, Adi Jimbaran"!" seru si
perompak yang berpedang serta berwajah bengis itu. Giginya tampak kehitamhitaman. Dengan dua lobang pula yang menghias kedua ujung telinga, menambah keangkeran dari wajahnya.
Jimbaranpun lalu ketawa girang.
"Bagus, Kakang Jembrana! Hari ini kita akan memperoleh uang banyak-banyak!"
"Keparat! Jadi kau adalah komplotan dari perompak-perompak busuk ini, hah?" seru Wayan Arsana seraya mengacungkan kerisnya ke
arah Jimbaran. "Heh, heh. Lihatlah, Kakang Jembrana," ujar Jimbaran serta menoleh ke arah samping. "Dialah si saudagar kaya yang sombong.
Duitnya banyak dan sebentar lagi akan kita kuras habis!"
Mata Jembrana bersinar-sinar mendengar tutur kata adik seperguruannya ini, lalu katanya kemudian,
"Ha ha, ha. Tapi kau pernah bilang pula bahwa si Wayan kaya ini mempunyai harta
yang lebih menarik"!"
"Itu benar, Kakang Jembrana! Istri dan anak gadisnya sangat cantik!" sahut
Jimbaran disusul oleh ketawanya yang merentet memuakkan. Begitu pula Jembrana ikut tertawa.
Sebaliknya, Wayan Arsana terperanjat dengan Jimbaran yang serba tahu itu. Maka tak habis-habisnya ia menatap tajam mengawasi
wajah Jimbaran.
Dan sesaat kemudian, Wayan Arsana berseru kaget.
"Heii, bukankah aku telah mengenal wajah dan
tampangmu itu"! Engkaulah bekas pelayanku yang
dulu minggat dengan membawa barang-barang berharga kepunyaanku!"
"Akh, ternyata otakmu masih dapat berpikir baik.
Kuakui, memang akulah orang itu! Tahukah kamu,
bahwa aku sengaja menyamar dan menyelidiki tempatmu"!"
Tiba-tiba saja sebelum percakapan mereka dilanjutkan, terdengarlah seseorang berkata dengan lantangnya, "Bagus, Jimbaran!
Sekarang aku tahu siapakah engkau sebenarnya!"
Baik Jimbaran sendiri, ataupun Jembrana serta rekan-rekannya yang lain pada terkejut kaget! Mereka serentak memandang ke arah
laki-laki bercaping yang baru saja berkata dengan lantangnya itu.
Sebentar kemudian, mereka melihat betapa dengan
tenangnya laki-laki bercaping itu membuka caping serta meletakkannya di sudut
geladak perahu. Sedang kerudung kain batiknyapun ditanggalkannya.
Maka terlihatlah dengan jelas, siapa sesungguhnya laki-laki itu.
Wajahnya masih tampan, meski telah kelihatan berumur sekitar tiga puluhan. Sebilah keris terselip di punggungnya. Ia mengenakan
kain berbunga-bunga
berwarna emas sampai ke pangkal dada. Begitu pula ikat kepalanya berwarna merah
dengan bunga-bunga
berwarna emas. Wajah Jimbaran dan I Jembrana sesaat menjadi
kaget, begitu pula Wayan Arsana dan orang-orang
lainnya. "Kamu tak usah heran!" seru laki-laki tadi yang ba-ru saja menanggalkan
capingnya itu kepada Jimbaran bersama rekan-rekannya. "Akulah Ngurah Jelantik
yang telah sekian lamanya mencari-carimu!"
Mendengar nama itu, hampir semuanya berseru kagum. Sebab siapakah belum mengenal akan nama
Ngurah Jelantik, si pendekar kerajaan dari Singaraja"
Apalagi nama Jelantik adalah nama-nama yang angker, yang hanya dimiliki oleh pendekar-pendekar sakti dan gagah berani!
Merasa tanpa ada jalan keluar secara gampang,
Jimbaran serta I Jembrana, diikuti oleh rekan-rekannya serentak menyerang ke
arah Ngurah Jelantik dan penumpang-penumpang lainnya.
Seketika itu pula terjadilah pertarungan seru di atas geladak perahu tersebut.
Untungnya di antara penumpang tadi tidak terdapat seorang wanitapun.
Ngurah Jelantik cepat bertindak. Sebelum para perompak itu merangsak para penumpang yang tidak ta-hu apa-apa, ia telah melolos
keris di punggungnya yang panjangnya hampir satu lengan. Dan selanjutnya ia
menerjang ke depan, menyambut serangan Jembrana yang datangnya bagai kilat.
Sementara itu pula, serangan Jimbaran telah disambut oleh Wayan Arsana. Keduanya menggunakan
senjata keris sehingga pertarungan mereka seimbang tampaknya.
Di sebelah lain, Ki Selakriya bertempur dengan kapaknya melawan beberapa
perompak anak buah Jembrana. Gerakan Ki Selakriya cukup tangkas dan ia selalu berusaha melindungi
Sunutama serta beberapa
penumpang lain.
Dalam pada itu, tiga orang awak perahu pertama,
berusaha sebisa-bisanya untuk ikut membantu Ngurah Jelantik, Wayan Arsana serta rekan-rekannya dalam menghadapi serangan
perompak-perompak tadi.
Bunyi gemerincing senjata beradu, teriak-teriak pe-perangan serta bersimpangsiurnya gerakan manusia yang lagi berperang itu benar-benar mengerikan. Tapi
memang begitulah seharusnya jika mereka tidak ingin mati.
Bahkan bagi mereka yang tidak pernah berkelahipun terpaksa mempertahankan diri dengan cara yang
sebisa-bisanya. Dorongan naluri untuk mempertahankan diri memaksa mereka untuk
bertempur melawan
para perompak tadi.
Angin sore yang bertiup kencang terasa menamparnampar kulit dan cahaya merah sang matahari mewar-nai segenap permukaan air,
dinding-dinding perahu dan segenap penumpangnya lagi gigih dan sibuk bertempur.
*** Pertarungan di geladak perahu semakin bertambah
dahsyat. Ngurah Jelantik yang harus menghadapi terjangan I Jembrana tidak pernah
sedikitpun merasa
gentar. Pedang lengkung I Jembrana berputar-putar laksana badai mengamuk,
mengurung setiap bagian
tubuh pendekar Ngurah Jelantik.
Memang hebat ilmu pedang dari Jembrana tadi. Dalam hati, Ngurah Jelantikpun memuji akan kehebatan ilmu pedang lawannya yang
jarang ada duanya.
Hanya saja lawan yang dihajar oleh ilmu pedang
I Jembrana ini, bukankah orang sembarangan. Nama
Ngurah Jelantik telah banyak dikenal hampir di segenap daerah Pulau Dewata ini.
Banyak sudah para pen-jahat atau gerombolan-gerombolan perusuh yang dibasmi olehnya sampai ludes.
Maka di saat ia harus menghadapi serangan-serangan I Jembrana sekarang ini, Ngurah Jelantik telah mengetrapkan ilmunya


Pendekar Naga Geni 18 Bukit Kepala Singa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Layang-layang Menempuh Hujan", sehingga dalam sekejap mata saja, tubuh Ngurah
Jelantik telah meloncat kesana-kemari, menyelinap di antara tebasan-tebasan
pedang I Jembrana yang datangnya bertubi-tubi bagai curahan air hujan.
Sampai sejauh ini, Ngurah Jelantik belum membalas dengan serangan. Ia cuma menyelinap dan meloncat kesana-kemari menghindari pedang Jembrana.
Hanya sekali-sekali saja ia menangkis dengan keris panjangnya.
Memang sebenarnya, Ngurah Jelantik sedang memancing kemarahan Jembrana, sebab ia sudah melihat bahwa Jembrana mempunyai tampang orang yang
lekas naik darah. Dengan kemarahan seseorang, lebih-lebih kemarahan yang meluapluap, akan menyebabkan perhatian dan pemusatan pikiran menjadi buyar serta hilang berantakan.
Begitu pula I Jembrana. Ketika ia merasa dipermainkan oleh lawannya, gerakan pedangnya ditumpahkannya semakin hebat, sehingga ujung pedang tidak lagi tampak, tetapi yang
kelihatan kemudian cuma ber-kelebatannya sinar putih.
Ngurah Jelantik sekali lagi bermaksud menguji lawan. Entah bagaimana cepat dan caranya, sebab tahu-tahu terjadilah adegan yang
mengejutkan. "Hiaatt!" teriak Jembrana dibarengi sebuah tikaman maut ke arah dada lawannya
dan kemudian dadanya
menjadi mongkok bangga begitu ia merasakan bahwa ujung pedangnya telah menembus
sasaran yang empuk.
Blesss! "Mampus kowe, Jelantik!"
I Jembrana yakin bahwa Ngurah Jelantik akan segera roboh terjengkang ketika pedangnya ini dicabut kembali dari dada lawannya.
Oleh sebab itu Jembrana cepat-cepat mencabut kembali pedangnya. Namun
hampir saja ia berteriak ketika dirasanya bahwa pedangnya sama sekali tak
bergeming dan sukar ditarik kembali.
Dan yang membuat lebih kaget lagi ialah ketika kedua matanya menatap dengan
jelas bahwa ujung mata pedangnya bukannya menancap di dada Ngurah Jelantik,
tetapi cuma menelusup di antara ketiak lawannya
sebelah kiri. Sesungguhnya hal ini memang disengaja oleh Ngurah Jelantik untuk merontokkan semangat lawan.
Sambil tersenyum, pendekar dari Singaraja ini membiarkan lawannya berkutat
mencabut pedangnya kembali. Ketika keringat dingin mulai mengalir di leher
I Jembrana, Ngurah Jelantikpun merasa bahwa permainan ini sudah cukup. Maka dengan gerakan tibatiba, ia melepaskan pedang I Jembrana seraya kaki kanannya mengait ke depan
Weet! Brukkk! I Jembrana terjengkang jatuh ke belakang terdorong oleh daya tariknya kembali,
diiringi oleh jerit mengaduh.
Namun dasar dirinya telah memiliki daya tahan luar biasa, maka secepat kilat
iapun melenting berdiri kembali dalam gerakan gesit, segesit belalang.
Sementara itu, Wayan Arsana tampak bertarung
sengit melawan Jimbaran dalam tataran yang seimbang. Keris mereka berseliweran saling mencari sasaran tubuh lawannya.
Hingga sejauh itu masih belum ada tanda-tanda
bahwa Jimbaran akan sanggup menundukkan lawannya. Wayan Arsana ini ternyata mampu bergerak lincah seperti burung sikatan,
melesat kesana kemari setiap senjata Jimbaran mengancam dan kemudian mematukkan kerisnya bila ia melihat pertahanan yang lowong dari Jimbaran.
Pada gebrakan kedua puluh, Jimbaran berhasil
menjegal Wayan Arsana, ketika musuhnya ini menangkis serangannya.
Wayan Arsana jatuh terjerembab ke geladak, sementara itu Jimbaran tidak membuang kesempatan
dan memburunya dengan tikaman mematikan.
Wuuusssttt... Craaak.
Jimbaran melotot matanya bila kenyataannya keris
tadi tidak menancap di dada Wayan Arsana, tapi menancap pada geladak perahu.
Sedang tubuh Wayan
Arsana telah berguling ke samping dua putaran sekaligus mengirim tendangan kaki
dengan jitu. Plaaakk! "Aaaaugh!" Jimbaran terpelanting sambil menjerit, begitu tendangan kaki Wayan
Arsana menerjang peli-pisnya.
Dengan terhuyung-huyung, Jimbaran bangun kembali, tapi ia menjadi kaget sebab kerisnya masih menancap dan tertinggal pada
geladak perahu. Sedangkan Wayan Arsana telah berdiri mengancam dengan
kerisnya, membuat semangat Jimbaran seperti terbang rasanya.
"Hmm, bangunlah dan cabut kerismu kembali. Aku
tak ingin melawan seorang yang tak bersenjata!" seru Wayan Arsana.
Jimbaran menggeram marah seraya mencabut kerisnya kembali. "Terlalu sombong kau, keparat! Kini gi-liranku! Haaiit!"
Seperti harimau luka, Jimbaran menubruk Wayan
Arsana dengan nekad, dan keduanya jatuh bergulingan di atas geladak perahu.
Mereka saling mengancam dengan keris-kerisnya
sambil bergulingan dan tindih-menindih silih berganti.
Tiba-tiba Jimbaran menjerit parau seraya bangkit berdiri sambil menebahkan
tangan kirinya ke atas dadanya yang mengucurkan darah segar.
Rupanya jerit Jimbaran tadi terdengar oleh I Jembrana, dan ia menjadi kaget seketika. Harapannya untuk dapat menguasai perahu
menjadi buyar. Ia tak mengira sama sekali bahwa iapun menjumpai
tokoh tangguh Ngurah Jelantik ini.
Tiba-tiba I Jembrana mengibaskan tangan kirinya
dan belasan uang kepeng beterbangan ke arah Ngurah Jelantik dengan suara
bersiutan mendesing.
Tetapi secepat itu pula pendekar Singaraja tersebut menggerakkan tangan kirinya
membuat beberapa gerakan memutar di udara dan sesaat kemudian lenyaplah belasan uang kepeng tadi dari udara.
I Jembrana seperti tak percaya melihat itu semua.
Kedua matanya makin membeliak begitu menatap tangan kiri Ngurah Jelantik yang dikembangkan. Belasan uang kepeng nya yang
dilempar tadi semuanya terselip di antara celah jari-jari tangan kirinya.
"I Jembrana! Semua uangmu masih lengkap. Sekarang, terimalah kembali! Haah!" seru Ngurah Jelantik sekaligus mengibaskan
tangan kirinya ke depan sehingga uang-uang logam tadi menyambar kembali ke
arah pemiliknya semula, yakni I Jembrana. Keruan sa-ja jagoan dari Gunung Batur
ini kalang kabut berusaha menghindari bahaya yang mengancamnya. Ia berusaha meloncat ke atas, tapi kurang cepat dan dua
buah keping uang logam masih sempat mengenainya.
Satu menyambar ikat kepalanya sampai lepas, sebuah lagi menancap ke lengan
kanannya sehingga pedangnya terlepas seketika sambil menjerit.
"Aaarghh!"
Kekagetannya tidak sampai di situ saja. Ketika ia mendaratkan kakinya ke atas
geladak perahu, mendadak saja keris Ngurah Jelantik menyambar di mukanya, dan alangkah kaget serta malunya sewaktu ia mendapatkan kumisnya telah
terkupas separo.
I Jembrana makin sadar dan makin ngeri hatinya.
Sekarang tahulah ia, bahwa musuh yang dihadapinya ini mempunyai banyak kelebihan
daripada dirinya.
Merasa bahwa ia tidak lagi mempunyai harapan untuk menang ataupun bertahan lebih lama lagi, maka
I Jembrana tiba-tiba bersuit keras memberi isyarat kepada rekan-rekannya untuk
lari meninggalkan tempat itu. Rasanya memang itulah jalan yang paling tepat!
Melihat ini Ngurah Jelantik kaget dan cepat-cepat ia berusaha mencegat lawannya,
begitu juga Wayan Arsana, Ki Selakriya dan beberapa tukang perahu, bersama-sama
ikut mengejar para perompak yang berlari ke arah perahunya.
Namun sekonyong-konyong mereka melihat I Jembrana menggerakkan tangan kirinya dan membanting sesuatu ke geladak perahu,
disusul satu ledakan me-mekakkan telinga berbareng tersebarnya asap mengepul ke
udara yang berwarna hitam.
"Munduuurrr! Asap beracun!" teriak Ngurah Jelantik kepada rekan-rekannya seraya menutup mulut ser-ta hidungnya.
Dalam sekejap mata, asap beracun telah memekat,
mengaburkan pandangan dan menghalangi para pengejar. Karena mereka tidak mau mati konyol, seketika pengejaran tadi
dihentikan. Dari arah kabut terdengarlah teriakan I Jembrana,
"Kalian unggul hari ini. Tapi jangan keburu bangga.
Tunggulah lain saat nanti!"
Ngurah Jelantik hanya dapat menggeretukkan giginya mendengar ancaman musuhnya
tadi. Kalau hanya
menurutkan nafsu amarah saja, mungkin ia sudah
akan lari sendirian mengejar mereka.
Akan tetapi kemudian iapun insaf, bahwa musuh
dapat berbuat lebih leluasa dari balik kabut itu tanpa dapat diketahui lebih
lanjut oleh pihaknya. Dengan demikian, tidak mustahil bila pengejaran itu dilanjutkan, musuh sudah siap memberondongkan senjatasenjatanya sehingga akan menimbulkan banyak korban. Untunglah Ngurah Jelantik sebagai pendekar yang
telah matang dan mengendap pribadinya mampu mengekang amarahnya. Maka ia cuma berdiam diri, membiarkan musuhnya itu lolos.
Namun tak urung giginya gemeretak menahan diri sedang matanya berkilat-kilat
seperti hendak menembus kabut hitam di depannya.
Beberapa saat kemudian, kabut tadi makin menipis
dan menghilang, tersaput oleh angin sore yang bertiup kencang. Di saat itu juga
tampaklah oleh Ngurah Jelantik dan rekan-rekannya, bahwa perahu perompak
yang semula merapatkan diri, kini telah berlayar menjauh, melarikan diri seperti
anjing bercawat ekor karena ketakutan.
Para penumpang perahu penyeberang itu masih
termangu-mangu di atas geladak sambil mengawasi
perahu perompak yang kabur, sedang senjata-senjata mereka masih tergenggam di
tangan. Ki Selakriya masih menggenggam kapaknya dengan
noda-noda darah yang menempel pada mata kapak itu.
Begitu pula ujung keris Wayan Arsana masih ada bekas oleh darah.
Ternyata di atas geladak perahu, masih tergeletak seorang anak buah I Jembrana
dengan menderita luka parah, sedang di sampingnya tergolek mayat seorang
perompak lainnya. Agaknya mereka tidak sempat dis-elamatkan oleh kawan-kawan
perompaknya yang kabur tadi. Di pihak Ngurah Jelantik, tiga orang penumpang
mendapat cedera kecil. Berbeda sekali dengan pihak perompak. Menilik dari
banyaknya ceceran-ceceran darah yang banyak mengotori geladak perahu, bolehlah
dipastikan bahwa di pihak perompak banyak yang
menderita luka.
"Mereka telah kabur!" desah Ngurah Jelantik. "Kita aman sekarang."
"Untunglah Andika bersama kami," ujar Wayan Arsana seraya menyarungkan kerisnya yang telah diber-sihkan. "Jika tidak, mungkin
kami telah bergelimpangan menjadi mayat."
"Ah, janganlah Anda terlalu merendahkan diri," ujar Ngurah Jelantik. "Akupun
kagum akan ketrampilan
Anda bermain keris. Kesemuanya itu adalah berkat
kerja sama kita dan juga berkat pertolongan para Dewata."
Wayan Arsana, Ki Selakriya serta penumpang-penumpang lainnya mengangguk-angguk oleh kata-kata itu. Dalam batin, mereka tidak
menyangkal akan kebenaran ujar si pendekar Ngurah Jelantik dari Singaraja tadi.
"Saudara-saudara tidak perlu heran," kembali Ngurah Jelantik melanjutkan kata-katanya. "Aku telah membuntuti Jimbaran sejak ia
mulai menyeberang da-ri Gilimanuk menuju ke Banyuwangi."
"Aah, sungguh menarik tutur Andika ini," ujar Wayan Arsana kagum. "Aku tak menyangka bahwa Jimbaran yang berwajah baik itu menjadi anggota dari kawanan perompak."
"Hmm, itu patut menjadi bahan renungan bagi kita.
Bahwa tidak semua yang buruk itu memiliki isi yang buruk. Dapat pula bahwa
sesuatu yang kelihatan baik mempunyai isi yang buruk! Eeh, maaf jika kata-kataku
ini lebih mirip dengan pidato," berkata Ngurah Jelantik disertai batuk-batuk
kecil bernada segan.
"E, e, e. Tak mengapa, Tuan," sela Ki Selakriya ikut berkata. "Sesuatu yang baik
tidak perlu disembunyikan, dan aku kagum dengan tutur kata Andika tersebut."
"Terima kasih," balas Ngurah Jelantik seraya memandang Selakriya dan mengamati kapak bertangkai
yang dipegangnya. "Eeh, Kisanak bersenjata kapak"
Dan Anda akan mengunjungi Pulau Dewata?"
"Dia sahabatku, Tuan," sambung Wayan Arsana.
"Namanya Ki Selakriya, seorang pemahat yang cukup terkenal. Aku bermaksud
mengajaknya ke Pulau Bali dan mengundangnya untuk mengerjakan pahatan-pahatan di
rumahku." "Mmm, saya pernah juga mendengar nama Kisanak,
dan beruntung bahwa sekarang saya dapat berjumpa
dan berkenalan dengan Anda," berkata Ngurah Jelantik seraya memperkenalkan diri
kepada Ki Selakriya.
"Saya bernama Ngurah Jelantik dari Singaraja."
Suramnya Bayang Bayang 13 Kisah Si Bangau Putih Bu Kek Sian Su 14 Karya Kho Ping Hoo Pendekar Buta 14

Cari Blog Ini