Ceritasilat Novel Online

Buronan Cinta Sekarat 1

Pendekar Mabuk 086 Buronan Cinta Sekarat Bagian 1


Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
1 SUNGAI di tengah hutan itu mempunyai air yang
jernih. Kejernihannya membuat hati orang yang
memandang merasa segar, lalu tertarik untuk merasakan kesegaran air tersebut.
Lebih-lebih bagi orang yang selama dua puluh hari tak mandi, pasti ingin nyebur
ke sungai itu. Perkara itu bisa berenang atau tidak, itu urusan nanti. Yang
penting rasa tertarik ingin mandi di air jernih lebih dulu hadir menggoda
hatinya. Perasaan seperti itu dialami oleh seorang perempuan muda yang berusia dua puluh
lima tahun. Perempuan
cantik berwajah oval dengan tahi lalat di sudut kiri dari bibir atasnya itu
hentikan langkah ketika ingin seberangi sungai tersebut.
"Menyegarkan sekali air sungai ini. Pasti badanku
akan terasa nyaman jika habis mandi di sini. Oooh... ada air terjunnya segala di
sebelah sana! Sebaiknya kucoba memeriksa keadaan di sekitar air terjun itu,"
ujar si perempuan muda yang berpakaian hijau tua itu.
Guyuran air terjun yang tak seberapa tinggi itu
semakin memikat hatinya untuk merasakan kesejukan air tersebut. Mata sedikit
lebar berkesan galak dan
mempunyai lilitan warna hitam di tepian kelopaknya itu memandang sekeliling
tempat tersebut dengan teliti.
Tiap pohon diperhatikan, ternyata tak ada orang di
pohon-pohon tersebut. Tiap semak diincar dengan
ketajaman matanya, ternyata juga tidak ada sepasang mata yang mengintai dari
balik kerimbunan semak itu.
"Aman-aman saja kelihatannya," pikir si perempuan muda berikat kepala merah
bintik-bintik putih itu.
"Tempat ini sepi sekali, seperti hutan yang masih perawan, belum terjamah tangan
manusia. Kurasa aku
bisa mandi dengan bebas tanpa takut ada yang
mengintipnya."
Perempuan berperawakan tinggi dengan badan sekal
dan kencang itu tidak tahu kalau di balik bebatuan
seberang ada sepasang mata yang memperhatikan.
Celakanya, sepasang mata itu milik seorang pemuda
tanggung. Pemuda itu pada mulanya tidak sengaja ingin mengintip orang mandi, ia
hanya sekadar menunaikan
tugas pribadi, yaitu buang hajat.
Pada waktu pemuda itu telah selesai dengan hajatnya yang dibuang-buang dan ingin
menaikkan celananya,
tiba-tiba ia melihat kedatangan perempuan berbaju hijau
tua itu. Ia buru-buru jongkok kembali karena malu jika perempuan itu melihatnya
sedang merapikan celana.
Mau tak mau pemuda berambut pendek itu merapikan
celana sambil jongkok di balik batu tersebut.
"Sialan! Mau apa perempuan itu datang kemari"
Bikin repot orang pakai celana saja!" gerutu pemuda tersebut sambil sibuk
menempatkan celana pada posisi sebenarnya.
"Aduh! Pakai kejepit segala, lagi"!" Ia meringis sebentar, setelah sesuatu yang
terjepit dan agak
terpelintir itu dalam posisi yang tepat, ia pun segera mengencangkan ikat
pinggangnya yang terbuat dari kain warna merah.
"Oh, rupanya perempuan itu mau mandi"!" mata si pemuda mulai menegang, hati pun
kegirangan. "Wah, wah, wah... kebetulan sekali kalau begitu.
Sebaiknya aku tak perlu berdiri dulu. Dengan tetap
jongkok begini, tubuhku terlindung oleh kedua batu
besar ini, tapi pandangan mataku bisa menyelinap di celah-celah bebatuan."
Mulailah si pemuda berbaju kuning dan bercelana
hitam itu sibuk mengatur posisi agar pas untuk
menyaksikan keindahan tubuh yang sudah mulai
membuat hatinya berdebar-debar itu. Sepasang matanya tampak berbinar-binar penuh
semangat pengintaian.
Setelah meletakkan pedangnya, si perempuan dengan
cueknya melepaskan pakaian hijaunya di atas batu lebar di tepian sungai.
Ploos...! Kini perempuan itu telah polos. Pemuda yang mengintainya nyaris
berteriak kegirangan. Untung ia cepat-cepat membungkam
mulutnya sendiri dengan tangan, sehingga suara
kegirangannya tak sampai terdengar di telinga
perempuan yang berkulit putih mulus itu. Si perempuan melompat ke atas batu yang
berada tepat di bawah
curahan air terjun. Teeeb... ! Dan air bening yang sejuk itu pun mengguyur
sekujur tubuhnya, hingga rambut
yang disanggul sederhana itu terlepas dan menjadi
terurai. "Edan! Mulusnya seperti labu siam!" gumam si pemuda dengan kagum dan berdebardebar. Sebentar-sebentar ia memegangi sesuatu untuk menenangkan
lututnya yang gemetar. Sesuatu yang dipegang itu tak lain adalah tepian batu di
depannya. Tetapi beberapa saat kemudian pemuda itu menjadi
terkejut. Matanya terbelalak kian lebar dan tetap
mengarah kepada perempuan mandi itu. Sesuatu yang
janggal telah dilihatnya sangat di luar dugaan.
"Edan dua kali! Ternyata dia mempunyai dada yang sangat montok, kencang, dan...
woww! Bisa merobekkan celanaku kalau begini caranya! Aduh, bagaimana, ya"
Ditinggal pergi saja, ah! Aku tidak kuat menahan detak jantungku yang keras dan
cepat ini."
Pemuda itu tampak bingung sendiri, memandang
sekeliling dengan napas mulai memburu.
"Tapi kalau aku pergi, pasti dia melihatku dan tentu aku disangkanya sengaja
mengintipnya. Wah, repot juga kalau begitu. Sebaiknya... sebaiknya... ah, lebih
dekat lagi saja. Biar lebih jelas. Hi, hi, hi...!"
Pemuda itu melangkahkan kakinya pelan-pelan
sambil tetap merunduk. Kaki berhasil pindah ke batu yang lainnya. Hal itu
dilakukan beberapa kali, sehingga pemuda itu sekarang berada lebih dekat lagi
dengan tempat perempuan itu mengguyur tubuhnya. Maka apa
yang dipandangnya pun secara otomatis akan lebih jelas dari sebelumnya.
"Edan! Edan tiga kali!" sentak hati si pemuda.
"Ternyata bukan hanya dadanya saja yang mempunyai sepasang bukit montok, tapi...
oh, di pinggang kanan-kiri juga ada tempat mimik bayi. Wah..."!"
Pemuda itu makin lebarkan matanya lagi.
"Ternyata di dekat perutnya juga ada satu tempat mimik, dan... dan... ya,
ampun"! Di pangkal paha kanan-kiri juga ada tempat minum bayi walau tak sebesar
yang di dada"!"
Perempuan itu tetap mandi dengan cuek, menggosok
tubuhnya sebersih mungkin, menikmati kesejukan air
sepuas mungkin. Bahkan ia tak segan-segan membuka
diri untuk membersihkan bagian-bagian yang
tersembunyi. Tentu saja si pemuda makin sesak napas, seperti menelan sepotong
bantal. Pemuda itu lebih terbelalak lagi, seolah-olah matanya ingin disentakkan keluar
dari kelopaknya ketika
perempuan itu memunggunginya secara tak sengaja.
"Hualah, hualah... ternyata di punggungnya juga ada sepasang tempat mimik bayi.
Tidak terlalu montok tapi tampak kencang dan ujungnya tampak menantang. Ya,
ampuuun... perempuan kok punya sembilan tempat
minum bayi. Apa sekali beranak kembar sembilan"!"
Pemuda itu makin gemetar, bukan saja kagum dan
heran, namun juga gairahnya telah terbakar oleh
kepolosan dan kesekalan tubuh si perempuan yang
penuh tantangan itu. Napas yang terasa semakin sesak membuat si pemuda sering
buka mulut, menghirup udara banyak-banyak untuk melegakan dadanya.
Pemandangan tabu yang berhasil dimanfaatkan oleh
sepasang matanya secara jelas itu membuat persendian tulangnya gemeretuk.
Akibatnya, pijakan kaki pun
bergetar dan ia terpeleset jatuh ke air.
Jebuuur...! "Oooh..."!" perempuan itu terpekik, lalu melompat ke daratan, menyambar pakaian
serta pedangnya. Wuuut...!
Tentu saja si pemuda menjadi kecewa bercampur
ketakutan, ia juga cepat-cepat tinggalkan sungai tanpa peduli sekujur tubuhnya
basah kuyup, ia akan malu
sekali jika kepergok perempuan tersebut. Sambil
bersembunyi di balik pohon besar, pemuda itu
menghabiskan sisa gemetarnya. Tubuh itu bukan saja
gemetar namun juga menggigil karena basah kuyup.
"Sial! Pakai acara kepeleset segala!" gerutu si pemuda. "Coba kalau tidak ada
acara terpeleset, pasti saat ini aku masih menikmati keindahan yang ganjil itu.
Iiih... payudara kok sampai sembilan biji"! Mau dijual ke mana sisanya itu, ya"
Jangan-jangan ia sengaja buka usaha penitipan payudara"! Uuh... merinding juga
tubuhku kalau membayangkan dipeluk perempuan
macam dia!"
Rupanya perempuan itu merasa dirugikan oleh
tingkah seseorang yang memanfaatkan pemandangan
tubuhnya tanpa permisi. Menurutnya, tindakan itu adalah tindakan pelecehan yang
harus diberi hukuman sebagai pelajaran. Maka perempuan itu pun segera mencari si
pengintai dengan wajah berang. Tentunya ia mencari si pengintai setelah
mengenakan pakaiannya.
Merasa sudah cukup lama bersembunyi di balik
pohon, pemuda itu menduga si perempuan sudah pergi
jauh dan tak akan mandi lagi. Maka ia pun segera keluar dari persembunyiannya.
Namun baru saja ia keluar dari balik pohon, tiba-tiba sesosok tubuh sekal
menerjangnya dari samping. Wuuut...! Bruuus...!
"Aaaoww...!" pemuda itu memekik kesakitan, tubuhnya terlempar jauh, bergulingguling dan berbantal-bantal. Orang yang menerjangnya itu segera berkelebat menghampiri,
kemudian mencengkeram baju
si pemuda dengan kedua tangannya.
"Dasar mata tak pernah dicolok! Rasakan upah
kekurangajaranmu tadi! Hiiah...!"
Wuuus...! Pemuda itu dilemparkan bagai membuang
karung isi bangkai anjing.
"Aaa...!" pemuda itu menjerit sambil melayang di udara. Tubuhnya membentur pohon
dengan keras hingga pekikannya meninggi. Brruk...! Ia pun jatuh terpuruk sambil
menyeringai kesakitan.
"Bangun kau, jahanam!" bentak perempuan yang tadi diintipnya.
"Aaduuuh...!"
"Cepat bangun!" bentaknya lagi dengan mata melebar galak.
"Mana bisa bangun! Kakiku patah!" sentak pemuda itu sambil menyeringai bagai
ingin menangis.
Perempuan itu segera menjambak rambut si pemuda,
menariknya ke atas hingga si pemuda terpaksa berdiri dan ketahuan kakinya tidak
patah. Lalu dengan gerakan cepat perempuan itu menampar wajah si pemuda berkalikali. Plak, plak, plak, plak, plak, plak, plak...!
Si pemuda hanya bisa geleng-geleng dengan cepat
karena sentakan tangan yang menamparnya berturutturut itu. Begitu tamparan berhenti, wajah si pemuda seperti habis direbus.
Merah matang, ia tak bisa berteriak lagi. Tangan perempuan yang mencengkeram
rambutnya tadi dilepaskan, langsung tubuh si pemuda jatuh terkulai seperti sarung
kehilangan burung. Brrruk...!
"Lain kali tak akan kuberi kesempatan bernapas lagi kalau kau berani
mengintipku, Tikus got!" geram si perempuan sambil menuding penuh ancaman.
Perempuan itu segera meninggalkan si pemuda
dengan wajah membendung kejengkelan. Tetapi si
pemuda juga merasa jengkel, sempat merasa sakit hati juga, sehingga ia kumpulkan
sisa tenaganya untuk
bangkit dan lakukan pembalasan, ia berlari dari arah belakang si perempuan dan
melompat melepaskan
tendangannya. "Ciaaat...!"
Perempuan itu berbalik cepat dengan tangan
menyentak pendek. Wuuut...! Buuurk...!
"Huuaahhk...!"
Si pemuda terlempar kembali karena pukulan tenaga
dalam dari perempuan tersebut. Tubuh yang tak seberapa kurus itu terbanting
tanpa ampun lagi, membuat tulang pundaknya terasa mau patah, ia mengerang sambil
berusaha untuk bangkit, setidaknya bisa duduk bersandar pada pohon. Si perempuan
terpaksa hentikan langkah dan ingin menghajar pemuda itu lebih babak belur lagi.
Tapi emosinya ditahan sesaat begitu melihat ada darah keluar dari hidung pemuda
itu. "Agaknya ia tak punya tenaga dalam pelindung
tubuh. Untung saja kepalanya tak sampai remuk
kuhantam dengan tenaga dalamku tadi. Untung saja aku tadi tidak menggunakan
jurus berbahaya. Hm... percuma saja melayani pemuda yang tak berilmu, untuk apa
aku harus buang-buang waktu dan tenaga. Lebih baik waktu dan tenaga kugunakan
untuk mencari Pendekar Mabuk
yang sudah lama belum kutemukan juga itu!"
Perempuan yang membatin kata-kata tersebut segera
teruskan langkahnya. Tapi baru saja ia mau melangkah, pemuda yang sudah bonyok
itu segera berseru sambil bangkit berdiri berpegangan pohon.
"Tunggu...!"
Perempuan itu berpaling kembali menatapnya dengan
tajam. "Kau pikir dapat pergi begitu saja"! Wajahku sudah menjadi bonyok begini, kau
harus menerima balasannya!"
"Apakah kau ingin lebih bonyok lagi"!" geram perempuan itu.
"Kau yang harus dibuat bonyok juga!" bentak si pemuda. "Siapa dirimu sebenarnya,
sehingga seenaknya memperlakukan seorang lelaki tanpa hormat sedikit pun begini,
hah"!"
Pemuda yang masih berlagak galak itu didekati oleh si perempuan. Mau tak mau si
pemuda mundur dua
langkah, siap-siap berlindung di balik pohon.
"Aku adalah perempuan yang benci kepada lelaki tukang ngintip sepertimu!" ujar
si perempuan dengan pandangan mata menggigilkan nyali si pemuda.
Sambungnya lagi, "Kalau kau ingin tahu diriku, akulah yang bernama Puting
Selaksa, murid Resi
Parangkara! Jika kau ingin melawanku, sebutkan dulu namamu, supaya aku bisa
mencatat namamu dalam
deretan orang-orang yang sudah kukirim ke neraka!"
"Sombong!" sentak si pemuda dengan bersungut-sungut, ia sedikit menjauh dari
pohon. Berdiri dengan tegak dan menepuk dada dengan bangga.
"Perkenalkan, akulah yang bernama Mahesa Gibas!
Atau lebih lengkapnya lagi: Mahesa Gibas Wingit!"
sambil matanya dilebarkan dan wajah ditegangkan agar nama itu berkesan
menyeramkan. Tetapi si perempuan yang ternyata adalah Puting


Pendekar Mabuk 086 Buronan Cinta Sekarat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Selaksa itu tidak merasakan ada pengaruh yang
menyeramkan dari nama tersebut, ia justru tersenyum sinis berkesan meremehkan
nama itu. Ia melangkah
lebih mendekat, tapi Mahesa Glbas mundur sedikit
dengan wajah tampak waswas.
"Ketahuilah, Tikus got... kau sama sekali bukan tandinganku jika maksudmu ingin
menantang pertarungan denganku!"
"Memang bukan aku yang akan melawanmu! Ilmuku
terlalu tinggi untuk melawan perempuan berilmu paspasan sepertimu. Tapi kalau memang kau seorang
perempuan pemberani, lawanlah saudaraku!"
"Siapa saudaramu itu"! Suruh dia datang kemari!"
"Betul, ya"!" tuding si Mahesa Gibas bernada mengancam. "Jangan kabur ke manamana kau! Tunggu di
sini, akan kupanggllkan saudaraku untuk
menghajarmu!"
"Aku bukan perempuan pengecut! Akan kutunggu
kalian di sini sampai batas matahari bergeser ke barat!"
"Baik! Akan kupanggil saudaraku itu sekarang juga!
Awas, jangan lari! Kalau lari kuteriaki maling, biar dikejar-kejar orang
sekampung!" sambil Mahesa Gibas melangkah pergi, kemudian berlari memanggil
saudaranya. Puting Selaksa hanya tersenyum sinis,
sangat meremehkan ancaman tersebut.
Puting Selaksa adalah perempuan yang beberapa
waktu yang lalu mendapat kekuatan gaib dari dewata yang dinamakan kekuatan 'Rona
Dewaji'. Ia termasuk
perempuan beruntung dari seluruh perempuan yang ada di dunia. Karena kekuatan
'Rona Dewaji' itu akan
membawa keberuntungan besar dalam sepanjang sejarah hidupnya. Seluruh
keturunannya akan menjadi raja, dan perkawinannya nanti akan berlimpah
kebahagiaan, kekayaan, dan kehormatan.
Kekuatan gaib 'Rona Dewaji' itu mulai akan bekerja
setelah ia menikah secara sah dan mendapatkan darah kemesraan dari suaminya.
Tetapi jika sebelum
melakukan pernikahan sah tubuhnya telah dicemari oleh darah kemesraan seorang
lelaki, maka kekuatan 'Rona Dewaji' itu akan sirna dan keberuntungan tidak akan
ada padanya. Karenanya, banyak kaum lelaki baik yang sudah
beristri maupun yang belum, berhasrat sekali ingin menjadi suami Puting Selaksa.
Mereka yang bernafsu
ingin menjadi suami Puting Selaksa adalah mereka yang mengetahui bahwa perempuan
itu memiliki kekuatan
gaib 'Rona Dewaji'.
Tetapi Puting Selaksa tidak mau menikah
sembarangan. Sekalipun ia dilamar oleh seorang adipati, ia menolaknya dan lebih
baik mati daripada bersuamikan sang adipati itu. Puting Selaksa hanya mau
menikah dan bersuami dengan seorang lelaki yang mampu membuka
pintu hatinya dan menghancurkan karang besi yang
selama ini melapisi hatinya. Satu-satunya orang yang dapat membuka dan
menghancurkan pintu hati itu
adalah Pendekar Mabuk; Suto Sinting, ia sangat terkesan dengan kepribadian
muridnya si Gila Tuak itu.
Sekalipun ia tahu, Pendekar Mabuk; Suto Sinting
sudah punya calon istri yang bernama Dyah
Sariningrum, ratu di negeri Puri Gerbang Surgawi alam nyata, tetapi Puting
Selaksa bersikeras untuk dapat menggeser hati Suto Sinting agar berpindah
kepadanya. "Selain ia gagah, tampan, dan berilmu tinggi, ia juga seorang lelaki yang
tangguh dan panas di ranjang!"
Begitulah penilaian Puting Selaksa terhadap Suto
Sinting, ia merasa, hanya Pendekar Mabuklah yang
mampu melayani hasrat cintanya. Hanya Suto Sintinglah yang mampu mengimbangi
gairah cumbunya yang
cukup besar itu.
Meskipun Puting Selaksa belum pernah menerima
semburan darah kehangatan Suto Sinting, namun ia
pernah dilambungkan oleh Pendekar Mabuk hingga
mencapai puncak keindahan cintanya berkali-kali. (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode : "Wanita
Keramat"). Dalam penilaian Puting Selaksa, pemuda itu adalah pria yang pandai
membangkitkan selera wanita dan pandai memandu gairah wanita mencapai
puncaknya. "Belum menggunakan 'jimat lelaki'-nya saja dia sudah bisa melambungkan gairahku
mencapai puncak
keindahan berkali-kali; cukup bermodal tangan, bibir, dan lidahnya. Apalagi
kalau sampai ia menggunakan
'senjata pamungkas'-nya, wooow...! Tak terbilang lagi indahnya, tak terukur lagi
bahagianya hatiku!" pikir Puting Selaksa dalam setiap mengkhayalkan cumbuan
Suto Sinting. Tetapi sudah beberapa waktu lamanya Puting Selaksa
gagal menemukan Pendekar Mabuk. Hatinya sering
diguncang rindu dan kesepian. Perasaan tersebut
membuatnya mudah tersinggung dan jengkel sendiri.
Kadang ia meratap dalam hatinya, "Di manakah kau
sebenarnya, Pendekar Mabuk?"
* * * 2 TIDAK seberapa jauh dari sungai berair bening dan
dingin itu, tampak sesosok tubuh kekar dan gagah
sedang berhadapan dengan seorang gadis berusia sekitar dua puluh tiga tahun.
Pemilik tubuh kekar dan gagah itu tak lain adalah murid si Gila Tuak yang
kondang dengan nama Pendekar Mabuk atau Suto Sinting. Dengan
bumbung tuak menggantung di pundak, Pendekar
Mabuk hadapi gadis yang sedang berang padanya
dengan sikap tenang.
"Seharusnya kau tak perlu mengejarku sampai di sini, Lembah Wuyung!" ujar Suto
Sinting kepada gadis berpakaian biru satin Itu.
Lembah Wuyung mempunyai wajah cantik mungil.
Rambutnya dikepang ekor kuda. Tubuhnya sintal,
dibungkus kain ketat dan lentur, sehingga lekak-lekuk tubuhnya kelihatan jelas,
ia tampak sebagai gadis yang lincah dan gesit dari caranya melangkah yang tampak
ringan itu. Ketatnya pakaian membuat pinggulnya
kelihatan meliuk sekal, dadanya juga kelihatan padat berisi walau tak semontok
Puting Selaksa.
Tapi dalam kecantikannya yang berbibir ranum
menggemaskan itu, Lembah Wuyung tak kelihatan ceria, bahkan pandangan matanya
yang tertuju pada Suto
tampak bermusuhan sekali. Hal itu disebabkan oleh ia ingin membalas dendam
kepada Pendekar Mabuk.
"Tindakanmu harus dibalas dengan lebih kejam lagi, Pendekar Mabuk! Jangan
mentang-mentang kau berilmu
tinggi, lalu kau pikir tak ada orang yang bisa
mengalahkan dirimu!"
"Kau salah duga Lembah Wuyung," potong Pendekar Mabuk tetap dengan tenang.
"Kalau aku menghancurkan Istana Tengkorak dan menewaskan Pangeran Cabul, itu
lantaran pihakmu berada di tempat yang salah. Tapi
sebenarnya aku tidak memusuhimu, Lembah Wuyung!"
"Kau memusuhi kakak angkatku; Pangeran Cabul!
Kau juga memusuhi kakak angkatku; Ratu Lembah
Girang. Itu sama saja kau bermusuhan denganku
Pendekar Mabuk!"
"Keliru! Anggapanmu keliru, Lembah Wuyung.
Bukan aku yang memusuhi kedua kakakmu, tapi
merekalah yang memusuhiku. Aku hanya bertahan, lebih baik membunuh daripada
dibunuh. Itu sudah hukum
kejiwaan di mana pun manusia berada! Kalau aku tidak dimusuhi, tentunya aku juga
tidak memusuhi orang
tersebut."
Pendekar Mabuk memang dicari-cari oleh Ratu
Lembah Girang untuk dibunuh. Karena pada waktu itu, Ratu aliran hitam dari Pulau
Swaladipa menggunakan
kekuatan iblis untuk memalsu kehadiran si Bocah Emas.
Iblis yang menitis dalam sosok bocah yang sudah mati itu menewaskan korban cukup
banyak. Pendekar Mabuk
sendiri nyaris menjadi korban. Untung si Bocah Emas
asli datang dan hancurkan bocah titisan iblis itu,
sehingga ia menjadi buronan sang Ratu Lembah Girang, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode : "Bocah Titisan Iblis").
Ratu Lembah Girang segera meminta bantuan
saudara kandungnya: Pangeran Cabul yang berkuasa di wilayah tenggara dalam
sebuah istana yang bernama
Istana Tengkorak, ia ditugaskan oleh sang kakak
perempuan untuk membunuh Pendekar Mabuk yang
telah membawa lari Bocah Emas yang asli. Pendekar
Cabul bekerja sama dengan manusia muka badak alias
Rogana. Rogana mati di tangan Suto Sinting, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Perawan Sinting").
Suto pun menyerang Istana Tengkorak bersama
Perawan Sinting. Selain Istana itu dibuat porak poranda oleh Pendekar Mabuk dan
Perawan Sinting, sahabat
barunya, juga Pangeran Cabul berhasil dibunuh oleh
Perawan Sinting.
Lembah Wuyung, sebagai adik angkat Ratu Lembah
Girang, diutus sampaikan perintah penangkapan kepada Pangeran Cabul. Pada saat
terjadi pertempuran di Istana Tengkorak, gadis itu ada di sana dan sempat ikut
memperkuat pertahanan Istana Tengkorak. Tapi ia
terpaksa tak mampu lanjutkan pembelaannya terhadap
Pangeran Cabul, karena Suto Sinting berhasil menotok jalan darahnya sehingga
Lembah Wuyung tak bisa
bergerak selama pertarungan berlangsung. Kini setelah salah seorang pengikut
Pangeran Cabul membebaskan
totokan tersebut, maka Lembah Wuyung pun mengejar
Pendekar Mabuk. Padahal waktu itu Pendekar Mabuk
sedang mencari Perawan Sinting yang memburu sisa
anak buah Pangeran Cabul lainnya. Suto ingin hentikan pengejaran si Perawan
Sinting dan menganggap urusan itu sudah selesai. Hanya saja, langkah Suto segera
terhenti oleh kemunculan Lembah Wuyung yang
menghadang penuh tantangan itu.
"Sekali lagi kuingatkan padamu, Lembah Wuyung,"
kata Suto. "Jangan teruskan niatmu membela kejahatan kakak-kakak angkatmu itu.
Tinggalkan aliran hitam
mereka, jadilah tokoh beraliran putih. Soal kehilangan kakak angkat, itu soal
mudah. Aku bersedia
mengangkatmu sebagai adik. Karena soal angkatmengangkat itu sudah hal biasa bagiku. Terus terang, aku sudah sering angkatangkat batu atau barang orang yang mau pindah rumah!" sambil senyum si pendekar
tampan itu mekar menawan.
Lembah Wuyung memandang dengan tak berkedip.
Diam-diam hatinya berdesir mengagumi senyum musuh
tampannya itu. Namun agaknya ia tetap bertahan dalam sikap bermusuhan, sehingga
ia tak mau membalas
senyuman seulas pun.
"Aku tak butuh seorang kakak angkat lagi! Yang kubutuhkan adalah pembalasan!
Hiaaat...!"
Lembah Wuyung sentakkan tangannya bagai
melempar pisau. Beet...! Tapi yang keluar selarik sinar biru berbentuk mirip
kepala tombak. Zaaap...!
Pendekar Mabuk segera lakukan lompatan miring,
sehingga bambu tempat tuak seakan sengaja dipakai
sebagai penangkis sinar biru tersebut. Traab...! Sinar biru menghantam bumbung
tuak, tapi tidak timbulkan
ledakan yang memecah bumbung tuak itu, melainkan
justru memantul balik. Zuuub...!
Lembah Wuyung kaget. Sinarnya meluncur cepat
sekali ke arahnya dalam keadaan lebih besar dan lebih cepat dari gerakan semula.
Hampir saja Lembah
Wuyung tak punya kesempatan untuk menghindar, ia
hanya bisa melompat ke samping bagai seekor harimau menerkam mangsa. Wees...!
Dan sinar biru itu, akhirnya menghantam gugusan batu hitam jauh di belakangnya.
Blegaaarrr...! Bumi bergetar, pohon-pohon pun ikut gemetar.
Dedaunan rontok dan bertaburan di sana-sini akibat
gelombang ledakan tersebut. Sementara batu yang
dihantam sinar biru itu tiba-tiba lenyap dan berubah menjadi seonggok bubuk
hitam lebih lembut dari pasir.
Lembah Wuyung tercengang, ia masih dalam
keadaan setengah bangkit dengan menopang salah satu sikunya.
"Luar biasa"! Kenapa bisa jadi sedahsyat itu"!
Biasanya hanya bisa bikin batu pecah menjadi beberapa bagian, tapi sekarang
jurus 'Bajing Biru'-ku bisa bikin batu sebesar itu menjadi lembut"! Getaran dari
ledakannya tadi juga terasa kuat, tanah di sekitar sini bagai dilanda gempa yang
menyeramkan. Biasanya tak begitu!"
Lembah Wuyung bangkit dengan tetap tertegun
penuh keheranan. Ketika ia berbalik untuk hadapi Suto lagi, ternyata pemuda itu
sudah tidak ada di tempat.
Pendekar Mabuk teruskan mencari Perawan Sinting
untuk lakukan pencegahan agar si Perawan Sinting tak perlu hancurkan sisa
pengikut Pangeran Cabul.
Mencegah keganasan Perawan Sinting lebih penting
daripada menghadapi dendam Lembah Wuyung. Secara
jujur hati Suto tak tega jika harus melukai gadis cantik seperti Lembah Wuyung,
apalagi jika harus
membunuhnya, Suto benar-benar tak sampai hati.
Karena itu ia segera meninggalkannya.
"Keparat! Ke mana larinya si tampan memuakkan
itu"!" geram Lembah Wuyung, kemudian ia berkelebat tinggalkan tempat mencari
Pendekar Mabuk menuruti
instingnya. Ledakan tadi menggema ke mana-mana, membuat
seorang gadis berompi ungu dengan pakaian bawahnya
model cawat berwarna ungu juga segera hentikan
langkah. Gadis berusia sekitar dua puluh lima tahun itu mempunyai badan tinggi,
kekar, padat, dan montok.
Rompinya yang merawis-rawis tepiannya itu sangat
pendek, hingga bagian perutnya tidak sampai tertutup rompi tersebut. Namun kedua
ujung rompi saling
diikatkan di perut, sementara belahan depan rompi
terbuka lebar, hingga kemulusan sebagian dadanya
tampak jelas di mata siapa pun, kecuali di mata orang buta.
Gadis cantik berhidung mancung dan mempunyai
mata agak lebar tapi indah itu mengenakan kalung tali
hitam berbatu ungu sebesar mata kucing. Kalung itulah yang menjadi ciri khas
bagi murid mendiang Nyai Gagar Mayang yang bernama Perawan Sinting.
Dengan wajah memendam kemarahan, Perawan
Sinting memandang ke arah kepulan asap dari ledakan tadi. Batinnya pun menggeram
dengan dongkol.
"Jangan-jangan ketiga orang yang melarikan diri dari Istana Tengkorak itu bikin


Pendekar Mabuk 086 Buronan Cinta Sekarat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ulah di sebelah sana! Hmm...!
Sebaiknya aku menuju ke sana untuk mengetahui siapa yang bertarung itu!"
Namun sebelum Perawan Sinting bergegas pergi,
tiba-tiba muncul seorang pemuda berpakaian kuning dan celana hitam. Mahesa Gibas
sengaja melompat dari balik semak dan menghadang langkah Perawan Sinting
dengan hati membatin.
"Nah, perempuan ini tadi kulihat mampu berlari dalam gerakan seperti kilat.
Pasti berilmu tinggi.
Potongan tubuhnya pun tinggi, kekar, setanding dengan perempuan yang tadi
menghajarku'"
Begitu melihat kemunculan Mahesa Gibas yang
masih asing baginya, Perawan Sinting segera lepaskan tendangan bertenaga dalam
dari jarak tujuh langkah.
Wuuuk...! Tendangan kaki miring itu mengeluarkan
gelombang tenaga dalam yang meluncur cepat tak
bersinar apa pun. Tahu-tahu Mahesa Gibas seperti
diterjang seekor kerbau yang sedang mengamuk.
Brrruuussk...! "Aaakh...!" Mahesa Gibas terlempar ke belakang dan jatuh di sela-sela kerimbunan
pohon bambu, ia
mengerang kesakitan, baik sakit karena hentakan tenaga dalam maupun sakit karena
punggungnya menghantam
tonggak bambu. Untung tonggak bambu itu tak runcing, seandainya runcing pasti
Mahesa Gibas mengalami
cedera berat. Perawan Sinting yang sedang menggeram-geram
membendung kemarahan itu cepat-cepat hampiri Mahesa Gibas dan mencengkeram baju
pemuda itu, lalu
menariknya keluar dari sela-sela pohon bambu. Weeet...!
"Kau juga begundal dari Istana Tengkorak, bukan"!
Kau harus mati sekarang juga menyusul atasanmu, si
Pangeran Cabul itu! Hiaaaah...!"
"Eh, eh, tunggu...! Tunggu...!" Mahesa Gibas mengangkat kedua tangannya,
menghalangi tangan
Perawan Sinting yang ingin menghantam wajahnya
dengan kepalan tinjunya yang telah mengeras dan berisi tenaga dalam itu.
"Aku... aku bukan orang Istana Tengkorak! Bukan!"
"Jangan bohong kaul"
"Tidak! Aku tidak bohong, Nona! Aku memang
bukan anak buah Pangeran Cabul, seperti katamu tadi!
Berani sumpah apa saja! Sumpah palapa pun berani,
bahwa aku bukan orang Istana Tengkorak!" ujar Mahesa Gibas dengan suara
memberondong. Perawan Sinting
kendurkan cengkeramannya namun belum melepas
secara keseluruhan.
"Orang mana kau"!" suara Perawan Sinting
membentak mengagetkan jantung Mahesa Gibas.
"Aku orang barat!"
"Bohong! Orang barat tidak ada yang dekil sepertimu begini!"
"Maksudku, aku orang dari daerah barat, tepatnya dari Desa Cipuser. Aku anak
yatim piatu, Nona!"
"Aku tak tanyakan yatim piatumu!" sentak Perawan Sinting.
"Tapi... tapi demi Dewa Penguasa Alam, aku bukan orang istana Tengkorak.
Sumprrah... sekali!"
"Apa itu sumprah"!"
"Sumpah yang paling tinggi adalah sumprah...!"
Maka cengkeraman baju itu dilepaskan oleh Perawan
Sinting dalam sentakan rasa kesal karena ternyata yang ditangkap bukan orang
Istana Tengkorak. Mahesa Gibas menyeringai dengan wajah masih merah akibat
tamparan beruntun si Puting Selaksa tadi. Ia merapikan
pakaiannya sebentar sambil sesekali melirik ngeri
kepada Perawan Sinting.
"Yang ini malah lebih galak lagi"! Datang-datang langsung hajar begitu saja!"
gerutu Mahesa Gibas dalam hatinya.
Melihat pemuda itu tak bersenjata dan wajahnya
polos bagai orang tak berilmu tinggi, Perawan Sinting akhirnya menurunkan
emosinya sendiri. Hanya saja,
sikapnya masih tampak kaku dan keras, berkesan galak.
Tak ada senyum, tak ada keramahan. Semuanya serba
tegas. "Siapa namamu"!" pertanyaan ini juga terlontar dengan nada tegas dan keras.
"Mahesa Gibas!" jawab si pemuda. "Nama lengkapku
Mahesa Gibat Wingit! Tapi akrab dipanggil oleh para penggemarku dengan nama
Mahesa Gibas saja!"
"Penggemar"! Kau punya penggemar"! Apa
kehebatanmu, hah"!"
"Berjudi!" jawab Mahesa Gibas seenaknya saja.
"Apakah kau belum kenal diriku" Siapa kau sebenarnya, Nona" Setahuku, para
perempuan di sekitar tempat ini sudah mengenali sosok penampilanku sebagai
Mahesa Gibas. Sepertinya kau orang asing, ya?"
"Justru kau yang orang asing hingga tak mengenali penampilanku sebagai Perawan
Sinting!" "Ooo... namamu Perawan Sinting"!" gumam Mahesa Gibas manggut-manggut sambil di
wajahnya masih mengandung sisa kesakitan. Nama itu digumamkan
beberapa kali dalam batinnya dengan maksud tertentu.
"Lalu, apa maksudmu melompat dari semak tadi dan menghadangku"!" sentak Perawan
Sinting yang membuat pemuda itu terkejut dan menggeragap sesaat, pertanda ia tidak mempunyai
kesiapan mental sebagai orang berilmu tinggi.
"Aku habis dihajar oleh orang Istana Tengkorak, anak buah Pangeran Cabul!" kata
Mahesa Gibas mulai
membual. Padahal ia mendengar nama Istana Tengkorak dan Pangeran Cabul baru
sekarang, yang didengarnya
dari mulut Perawan Sinting tadi.
Mendengar hal itu, Perawan Sinting terkesip dan
menjadi percaya setelah melihat bekas pukulan di wajah Mahesa Gibas.
"Mengapa kau dihajar oleh orang istana Tengkorak?"
"Karena aku disuruh menyebutkan letak
persembunyian Perawan Sinting. Padahal aku tidak tahu namamu dan belum pernah
bertemu. Dia menyangka aku
berbohong, lalu menghajarku. Akhirnya kuturuti
kemauannya, walau aku tidak tahu harus ke mana
mencari Perawan Sinting."
"Siapa orang itu"!"
Mahesa Gibas diam sejenak dan membatin, "Kalau kusebutkan namanya, dia tak akan
percaya. Sebaiknya aku berpura-pura tidak tahu nama perempuan mandi
tadi, biar dia yakin kalau aku benar-benar merasa asing terhadap perempuan mandi
tadi." Setelah berlagak mengingat-ingat sebuah nama,
Mahesa Gibas akhirnya berkata, "Wah, aku tak sempat tanyakan namanya. Tapi aku
sempat mendengar
temannya memanggil dia, hanya saja aku lupa siapa
panggilannya itu."
"Apa maksudnya mendesakmu untuk mencariku"!"
"Kau disangka takut dan berlari sembunyikan diri.
Dia ingin menantangmu bertarung sampai mati.
Karenanya, aku disuruh mencarimu dan membawamu ke
suatu tempat, ia telah menunggumu di sana dan siap
bertarung denganmu!"
"Kurang ajar!" geram Perawan Sinting dengan kedua tangan mengeraskan
genggamannya. Melihat si gadis
mulai terbakar oleh bualannya, Mahesa Gibas
menambahkan bumbu agar hati Perawan Sinting lebih
panas lagi. "Bahkan ia berkata kepadaku akan membeset-beset
kulit tubuhmu dan kulitmu akan dijadikan kerupuk kulit olehnya!"
"Biadab!" gigi Perawan Sinting menggeletuk.
"Kubilang, dia akan kalah jika melawan Suto Sinting, sebaiknya urungkan saja
niat tersebut. Eeeh... dia bahkan berkata dengan sesumbar di depanku!"
"Apa yang ia katakan dalam sesumbarnya"!"
"Kau dijuluki Perawan Edan Birahi. Dia akan
meremasmu menjadi satu genggaman dan diremas-remas
lalu akan dipakai campuran makanan babi!"
"Bangsat! Kubelah kepala orang itu. Hiaaah...!"
"Eh, eh, eh...! Dia menunggu di selatan! Kenapa kau mau lari ke timur"!"
"Tunjukkan di mana tempatnya menungguku!"
bentak Perawan Sinting.
Tentu saja Mahesa Gibas bersemangat sekali. Hatinya girang dapat mencarikan
lawan setanding bagi Puting Selaksa, ia bersorak membayangkan Puting Selaksa
babak belur melawan Perawan Sinting.
"Itu dia orangnya!" bisik Mahesa Gibas ketika mereka tiba di tanggul sungai.
"Hmmm... rupanya seorang perempuan juga"!" geram Perawan Sinting.
"Memang perempuan. Tapi gerakan dan tenaganya
seperti lelaki. Aku tak berani mendekatinya, nanti kena kepret lagi, tambah
bengkak wajahku!"
"Diamlah di sini dan tonton saja, siapa yang unggul dalam pertarungan ini!
Hmmmmm...! Kebetulan aku
sudah tak tahan ingin habisi semua anak buah si
Pangeran Cabul itu!"
Wees...! Perawan Sinting melesat turun dari tanggul sungai. Puting Selaksa
sedang pandangi curahan air
terjun yang tadi dipakainya mandi itu. Tiba-tiba la seperti disambar kelelawar
dari belakang. Brress...!
Brrruk...! Puting Selaksa terjungkal ke depan dan
berguling-guling. Terjangan Perawan Sinting yang
datang dari belakang itu membuat Puting Selaksa bagai mengalami patah tulang
punggungnya. Rasa sakit
menghujam sampai ulu hati. Pernapasan menjadi sesak, sekujur tubuhnya bagai
memar, ia buru-buru menarik
napas dan salurkan hawa murni penahan rasa sakitnya.
Mahesa Gibas tertawa cekikikan. Hatinya girang
melihat Puting Selaksa jungkir balik diterjang Perawan Sinting.
"Mampus kau! Inilah saat pembalasanku tiba!" geram Mahesa Gibas dalam
kegirangannya. Puting Selaksa bangkit, agaknya Perawan Sinting
memang sengaja biarkan lawannya berdiri dulu dan
lakukan pertarungan secara ksatria.
"Bangun kau, Kecoa Busuk!" sentak Perawan Sinting dengan keras, sengaja
menjatuhkan mental lawannya
lebih dulu. Tapi Puting Selaksa bukan orang yang lemah mental
dan miskin keberanian. Puting Selaksa yang juga berjiwa keras dan tegas itu
segera bangkit. Matanya terkesip sejenak memandang orang yang belum dikenalnya.
"Siapa kau"!" suara Puting Selaksa terdengar datar dan dingin.
"Kau tak perlu banyak tanya lagi! Akulah orang yang kau tunggu di sini!"
"Hmmm...! Mahesa Gibas"!"
"Ya, aku si Perawan Sinting yang datang bersama Mahesa Gibas!"
"Jadi ini saudaranya si Mahesa Gibas"!" ujar Puting Selaksa dalam hatinya, ia
menjadi sangat bernafsu untuk menghajar Perawan Sinting yang dianggap saudara
Mahesa Gibas. "Berdoalah dulu sebelum nyawamu kukirim ke
neraka! Itu pun kalau sampai di neraka. Kalau nyasar di sarang iblis, bukan
tanggung jawabku!" ujar Perawan Sinting dengan kekonyolannya.
Puting Selaksa tak mau banyak bicara. Memang
begitulah wataknya. Tahu-tahu ia melompat dan
melepaskan tendangan kaki kanannya dengan cepat dan beruntun. Wees...!
Bet, bet, bet, bet, bet, bet...!
Perawan Sinting menghindar ke kiri-kanan beberapa
kali. Tak satu pun tendangan Puting Selaksa yang kenai sasaran. Sampai akhirnya,
tangan Perawan Sinting
berhasil menangkap kaki itu dan tulang kaki
dihantamnya kuat-kuat.
Praaak...! "Auh...!" Puting Selaksa langsung jatuh berlutut sambil menahan tulang kaki yang
terasa remuk itu.
Bettt...! Perawan Sinting menendang wajah Puting
Seiaksa. Yang ditendang terjungkal ke belakang dan berguling-guling. Perawan
Sinting belum puas, ia segera
melompat untuk lepaskan tendangan mautnya yang akan mematahkan leher lawan.
"Heeaaat...!"
Tapi tiba-tiba Puting Selaksa sentakkan tangan ke
atas bersama terlepasnya gelombang tenaga dalam yang cukup besar. Wuuut...!
"Heeeekh...!" Perawan Sinting mendelik. Perutnya bagai diterjang batu separuh
gunung, ia terlempar jauh dan berguling-guling di sana. Begitu bangkit dengan
kaki berlutut, mulutnya melelehkan darah kental.
Matanya memandang bengis, penuh nafsu membunuh.
Mahesa Gibas yang tadinya kegirangan melihat
Puting Selaksa dihajar, kini jadi cemas melihat Perawan Sinting melelehkan darah
dari mulut. "Wah, sepertinya Perawan Sinting akan kalah! Aku harus cepat-cepat lari, supaya
tidak menjadi sasaran kemarahan si Puting Selaksa!"
Weees...! Mahesa Gibas segera larikan diri.
* * * 3 BELUM jauh dari tanggul sungai, Mahesa Gibas
yang berlari sambil sebentar-sebentar menengok ke
belakang itu akhirnya menabrak perut Suto. Brruk...!
"Oouh...!" Mahesa Gibas jatuh terduduk. Wajahnya terasa panas menabrak perut
Pendekar Mabuk. Untung
kepalanya tak kenai bumbung tuak. Jika sampai kenai
bumbung tuak, maka kepala itu akan langsung retak,
karena bambu tempat tuak itu adalah bambu yang
mempunyai kekuatan sakti, sehingga menjadi senjata
andalan Pendekar Mabuk.
"Setan kau!" maki Mahesa Gibas. "Ada orang lari bukannya menyingkir malah diam
saja di depannya!"
"Aku hanya ingin beri pelajaran padamu, Kawan...
agar lain kali kalau jalan atau lari harus lihat arah depan, biar tak menabrak
pohon," kata Suto dengan senyum tipis sebagai penghias ketampanannya.
Mahesa Gibas bangkit berdiri dan bertolak pinggang dengan petentang-petenteng.
"Kau memang manusia tak pakai otak!" tuding Mahesa Gibas sok galak. "Mana ada
orang lari ketakutan melihat ke depan terus" Kalau tahu-tahu musuhnya
sudah dekat di belakangnya, bagaimana dia bisa
menghindar"!"
Pendekar Mabuk tertawa pendek. Kalem-kalem saja.
"Apakah kau dikejar seorang musuh, Kawan?"
"Belum!" jawabnya tegas tapi menggelikan hati Suto.
"Tapi dalam rencananya pasti aku akan dikejar, karena itu sebelum dia mengejar
aku sudah lari. Bukankah
pepatah mengatakan: sedia payung sebelum hujan?"
"Artinya kau takut dengan musuhmu itu?"
"Siapa bilang aku takut"!" Mahesa Gibas makin nyolot. "Aku tidak takut dengan
siapa pun. Cuma terhadap perempuan itu, aku agak sungkan! Wajahnya
mirip ibuku, sehingga hatiku tak tega untuk membalas pukulannya."
"Ooo... jadi kau dikejar oleh seorang perempuan"!"
Suto tertawa pelan.
"Hei, kau orang mana, hah" Siapa kau sebenarnya sehingga berani menertawakan


Pendekar Mabuk 086 Buronan Cinta Sekarat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahesa Gibas!" pemuda itu melotot sok galak.
"O, namamu Mahesa Gibas"!"
"Mahesa Gibas Wingit, lengkapnya! Angker kan"!"
"Ya, ya... cukup angker, mirip nama juru kunci kuburan," goda Suto.
"Eh, jaga bicaramu!" Mahesa Gibas mendekat dan menuding wajah Suto dengan kaki
berjingkat karena ia lebih pendek dari Suto.
"Sekali lagi kau berkata begitu, kurobek mulutmu, kujadikan dompet tembakau.
Ngerti"!"
"Ya, ya... maafkan aku. Aku hanya bercanda," ujar Suto mengalah.
"Siapa namamu, hah"!"
"Namaku Suto Sinting, Kawan."
"Oh, kalau begitu kau saudaranya Perawan Sinting"!"
Mahesa Gibas terperanjat.
"Hmmm... bukan, eh... Iya, tapi... begini
sebenarnya...."
"Kebetulan sekali aku bertemu denganmu!
Saudaramu; si Perawan Sinting, sekarang sedang dihajar habis-habisan oleh...
oleh orang Istana Tengkorak!"
"Hahh..."!" Pendekar Mabuk terperanjat tegang.
"Orang dari Istana Tengkorak itu menginjak-injak Perawan Sinting," tambah Mahesa
Gibas. "Bahkan ia menyuruh Perawan Sinting memanggilmu. Kalian
berdua akan dicacah-cacah dan akan dipakai campuran sayur buncis!"
"Kau jangan membakar kemarahanku, Mahesa
Gibas!" Blaaar...! Tiba-tiba terdengar ledakan menggelegar
dari pertarungan Puting Selaksa dengan Perawan
Sinting. Suara ledakan itu semakin membuat tegang
Pendekar Mabuk.
"Nah, itu pasti suara kepala Perawan Sinting yang pecah akibat pukulan orang
Istana Tengkorak!"
Makin gemetar tangan Suto membayangkan
sahabatnya dihancurkan orang Istana Tengkorak. Maka serta-merta Pendekar Mabuk
menenteng lengan Mahesa
Gibas sambil membawanya pergi.
"Tunjukkan di mana mereka bertarung!"
"Iya, iya... tapi jangan main tenteng begini! Kau pikir aku sandal yang penuh
lumpur"! Lepaskan, jangan
tenteng aku!"
Brrruk...! Pemuda berpakaian kuning-hitam itu
tersungkur jatuh.
"Kurang ajar! Mengapa kau membantingku"!"
"Katamu minta dilepaskan"!"
"Iya, tapi pelan-pelan! Jangan main taruh begitu saja!
Memangnya aku keranjang sampah"!" Mahesa Gibas bersungut-sungut sambil
membersihkan pakaiannya
yang kotor oleh tanah kering, ia pun segera membawa Pendekar Mabuk ke
pertarungan di tepi sungai itu.
"Lihat, perempuan berpakaian hijau tua itulah yang tadi kubilang sebagai orang
Istana Tengkorak!" sambil
Mahesa Gibas menuding ke arah Puting Selaksa dari atas tanggul.
Suto Sinting terkejut begitu melihat Puting Selaksa bertarung dengan Perawan
Sinting, ia diam sejenak
karena rasa kagetnya dan bingung mengambil sikap.
"Perempuan berpakaian hijau itulah yang tadi
kudengar berteriak menyuruh Perawan Sinting
memanggil saudaranya; Suto Sinting. Dia bilang,
mulutmu akan dijadikan tempat jamban bagi orangorang Istana Tengkorak!"
"Kurang ajar!" geram Suto Sinting.
Mahesa Gibas menimpali, "Wah, memang kurang
ajar sekali omongan si perempuan itu!"
"Kau yang kurang ajar!" bentak Suto dalam nada menggeram marah.
"Lho, kok aku..."!"
"Kau membohongiku! Aku tahu, perempuan itu
adalah Puting Selaksa!"
"Naaah... benar! Memang dia bernama Puting
Selaksa!" ujar Mahesa Gibas dengan penuh semangat.
"Tadi pun kudengar dia...."
Creeep, wuuut...! Suto Sinting mencengkeram baju
Mahesa Gibas bagian tengkuk. Pemuda itu ditentengnya dan Suto Sinting melesat
turun ke bawah tanggul seakan seperti seekor elang menenteng anak ayam.
Wuuut...! Puting Selaksa sedang memainkan pedangnya dengan
kaki terpincang-pincang. Ia akan lakukan serangan
dengan pedang itu. Sementara di pihak lain, Perawan Sinting masih tampak segar
walau di sudut mulutnya ada
bekas darah yang tak bersih waktu menghapusnya.
Perawan Sinting belum mau mencabut pedangnya, dan
masih menggunakan tangan kosong untuk melawan
Puting Selaksa.
Wuuut, bruuuk...! Pendekar Mabuk muncul dan
menyentakkan tentengannya. Mahesa Gibas tersungkur
di pertengahan jarak pertarungan dua perempuan itu.
"Lho, eh, eh... apa-apaan ini"!" Mahesa Gibas mulai menggeragap ketakutan.
"Hentikan pertarungan ini!" sentak Pendekar Mabuk.
"Suto..."!" sapa Puting Selaksa dengan terperanjat kecil, ia sembunyikan
kegirangannya. "Mengapa kau hentikan, Suto"!" sentak Perawan Sinting bernada protes. Tetapi ia
segera memandang
Puting Selaksa dan Puting Selaksa pun segera menatap Perawan Sinting.
"Oh, rupanya dia mengenal Suto"!" hati kedua perempuan itu sama-sama berkata
demikian. "Aku tak ingin kalian bermusuhan!" kata Suto Sinting sambil tangannya segera
menyambar lengan Mahesa
Gibas dan menarik pemuda itu untuk berdiri.
"E, e, eh...! Pelan-pelan, nanti tanganku copot kalau ditarik sembarangan,
Suto!" "Seharusnya kepalamu yang copot!" ujar Suto dengan pandangan menciutkan nyali
Mahesa Gibas. "Perawan Sinting, mengapa kau bermusuhan dengan Puting Selaksa"!"
"Hahhh..."! Puting Selaksa"!" Perawan Sinting terkejut mendengar nama itu.
Karena ia pernah
mendengar nama Puting Selaksa sebagal murid Resi
Parangkara, dan Resi Parangkara adalah sahabat si
Tulang Geledek. Tulang Geledek adalah sahabat
gurunya yang sudah dianggap sebagai kakek sendiri,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode "Perawan Sinting").
"Bukankah... bukankah dia orang Istana
Tengkorak"!" Perawan Sinting menuding lawannya.
"Siapa bilang aku orang Istana Tengkorak"!" sergah Puting Selaksa. "Jaga mulut
bangkaimu itu!"
"Mahesa Gibas yang mengatakan padaku, bahwa kau orang Istana Tengkorak dan
menantang pertarungan
sampai mati di sini!"
Mahesa Gibas salah tingkah dipandangi Pendekar
Mabuk, ia ingin pergi sambil berkata, "Maaf, aku ada pertemuan penting dengan
para tokoh silat tingkat tinggi.
Lain waktu kita bertemu lagi, Suto!"
"Eh, tidak bisa...!" Pendekar Mabuk menyambar baju kuning itu. Berrrt...!
Puting Selaksa berkata kepada Perawan Sinting.
"Tadi aku menghajarnya, karena ia melakukan tindak tak senonoh padaku. Lalu dia
bilang ingin memanggilkan
saudaranya yang ilmunya setanding denganku. Tahutahu kau datang, dan aku langsung menganggapmu
sebagai saudara si Mahesa Gibas itu!"
" "Puih...! Kalau aku punya saudara seperti dia sudah kurebus dari dulu!" ujar
Perawan Sinting, lalu dekati Mahesa Gibas yang masih ditenteng Suto.
"Manis betul mulutnya, ya"!" geram Perawan Sinting.
"Hmm, eehh... yah, termasuk manis juga, soalnya banyak gadis yang sering
mencicipinya. Heh, heh,
heh...!" "Kalau begitu aku ingin mencicipinya juga."
Ploook...! "Huadoow...!" teriak Mahesa Gibas begitu mulutnya ditampar keras-keras oleh
Perawan Sinting. Pemuda itu menangis kesakitan, mau melarikan diri tak bisa
karena masih dalam genggaman Suto.
"Aku semakin ketagihan dengan bibirmu, Manusia keparat! Kucicipi sekali lagi,
hiaaah...!"
Teeeb...! "Huadooooww...!"
Padahal tangan Perawan Sinting yang ingin
menampar itu sudah dicekal Pendekar Mabuk lebih dulu, tapi Mahesa Gibas memekik
lebih keras karena
membayangkan tamparan kedua pasti akan lebih sakit.
"Cukup, Perawan Sinting," ujar Suto pelan. "Bibirnya sudah pecah. Kurasa sudah
layak sebagai hukuman bagi orang yang gemar mengadu domba!"
"Aku tidak suka adu domba!" sentak Mahesa Gibas sambil menangis. "Aku hanya
sering adu ayam! Kau jangan menyebar fitnah di depan kedua perempuan ini, Suto!"
Creeep...! Tangan Perawan Sinting menjambak
rambut Mahesa Gibas dengan menggeram.
"Hei, jangan sekali lagi membentak Pendekar Mabuk di depanku!
Kau akan kehilangan gusi jika
membentaknya lagi!"
"Jangan, jangan... ampun! Aku tak akan membentaknya lagi. Aku tak ingin kehilangan gusi.
Kehilangan gigi saja sudah cukup menderita apalagi
sampai kehilangan gusi, oooh... tak bisa kubayangkan seperti apa menderitanya,"
ujar Mahesa Gibas sambil mengangkat tangan dengan rasa takut.
Pendekar Mabuk bukan saja meluruskan perkara itu,
juga mengobati mereka yang terluka dengan tuaknya.
Bumbung tuak itu sempat diisi lebih dulu sebelum ia dan Perawan Sinting
mendatangi Istana Tengkorak. Mereka melewati sebuah desa kecil dan kebetulan di
situ ada kedai penjual tuak. Sekalipun tuak itu sudah berkurang banyak untuk
pertarungan dengan Pangeran Cabul, tapi sisanya masih cukup untuk sembuhkan luka
mereka dan sebagai persediaan sampai petang nanti. Sebelum petang tiba, Suto
harus bisa dapatkan kedai penjual tuak dan mengisi bumbungnya lagi.
"Rupanya diam-diam kau mempunyai seorang
saudara yang cantik jelita seperti dia, Suto," ujar Puting Selaksa sambil
melirik ke arah Perawan Sinting.
"Hmmm...," Suto berpikir sebentar, ia harus hati-hati bicara dengan Puting
Selaksa, sebab ia tahu Puting
Selaksa menaruh hati padanya.
"Hmmm... ya, aku sendiri baru tahu kalau aku punya saudara bernama Perawan
Sinting. Dia memang
saudaraku, tapi saudara jauh."
"Mengapa tidak kau ajak singgah ke Teluk Sendu sekarang juga" Aku butuh bicara
denganmu di depan
guruku, Suto."
"Tentang apa itu?" Suto berlagak tak mengetahuinya.
"Perkawinan kita!"
"Kau bercanda," gumam Suto Sinting dengan pelan sekali takut didengar Perawan
Sinting, sebab Suto tahu Perawan Sinting juga menaruh hati padanya.
"Aku bersungguh-sungguh, Suto. Tidakkah kau
melihat kesungguhan dalam sikapku ini?"
Pendekar Mabuk jadi serba salah. Senyumnya serba
kaku. Pandangan matanya dilemparkan ke arah Perawan Sinting yang sedang
mendengarkan penjelasan Mahesa
Gibas dengan acuh tak acuh sebagaimana sikapnya
terhadap seorang laki-laki. Entah apa yang dibicarakan Mahesa Gibas dengan
Perawan Sinting di sebelah sana, yang jelas kesempatan itu digunakan oleh Suto
untuk mengatasi tawaran Puting Selaksa.
"Ada saatnya sendiri aku bicara tentang rencanamu itu, Puting Selaksa. Tapi
kurasa bukan sekarang. Aku baru saja memporakporandakan Istana Tengkorak.
Beberapa orang Istana Tengkorak masih banyak yang
ingin membalas dendam padaku. Kurasa aku harus
selesaikan dulu masalah ini sampai tuntas. Sebab aku yakin, Ratu Lembah Girang
akan mengirimkan orang-orang andalannya untuk menyerangku."
"Aku akan berada di paling depan!" ujar Puting Selaksa.
"Aku tidak izinkan kau ikut campur dalam perkara ini."
"Kenapa"!" sergah Puting Selaksa.
"Kau tak boleh menempuh bahaya apa pun sebelum
resmi menjadi seorang istri. Ingat, kekuatan 'Rona
Dewaji' harus kau nikmati, sehingga kau tak boleh mati sebelum menikah."
"Bagaimana dengan rasa sepiku jika sedang
sendirian" Bagaimana jika batinku tersiksa manakala kemesraanmu hadir dalam
bayanganku?"
"Kurasa kau cukup mampu untuk menguasai perasaan seperti itu," kata Pendekar
Mabuk memberi semangat kepada Puting Selaksa.
"Tunggulah aku di Teluk Sendu. Selesai urusan ini aku akan ke sana!"
"Kau janji..."!"
"Ya, aku janji akan datang ke Teluk Sendu
menemuimu, menemui Resi Parangkara dan menemui
adik perguruanmu; si Manggar Jingga itu."
"Kalau sampai...."
Ucapan itu belum selesai, tapi terpaksa harus diputus, karena Perawan Sinting
dekati mereka bersama Mahesa Gibas. Langkah mereka terburu-buru dan wajah
Perawan Sinting tampak tegang sedikit.
"Suto...!" sapa Perawan Sinting berkesan tegang.
Setelah berada di dekat Suto Sinting, gadis itu lanjutkan sapaannya lagi.
"Ada berita penting yang perlu kau dengar!"
"Berita tentang apa"!" Suto masih tetap tenang.
"Seorang adipati akan digantung di depan rakyatnya!"
Berkerutlah dahi Pendekar Mabuk mendengar kabar
aneh itu. "Adipati digantung"!" ulang Suto bagai tak yakin
dengan pendengarannya sendiri. "Adipati mana itu'!"
"Adipati Jayengrana dari Kadipaten Madusari!"
"Hahh..."!" hidung Suto bagai disengat kalajengking, ia tersentak kaget
mendengar nama sang adipati itu.
"Siapa yang akan menggantungnya jika ia seorang adipati; pimpinan tertinggi di
suatu wilayah"!" tanya Puting Selaksa.
"Si Bayangan Setan!" jawab Mahesa Gibas dengan cepat.
Pendekar Mabuk menarik napas panjang. Tersenyum
getir kepada Perawan Sinting, melirik sinis kepada
Mahesa Gibas, lalu menatap Puting Selaksa.
"Sejak kapan pendusta menjadi orang jujur"!"
Puting Selaksa mengerti maksud Pendekar Mabuk.
Kabar dari Mahesa Gibas itu dianggap suatu tipuan yang tak perlu dibahas lagi.
Puting Selaksa sendiri akhirnya ikut tersenyum sinis dan tipis, ia menepuk
pundak Suto dan sambil ucapkan kata pelan.
"Jangan ingkari janjimu. Kurasa Eyang Resi
Parangkara sangat menunggu kehadiranmu di Teluk
Sendu!" Pendekar Mabuk anggukkan kepala, Puting Selaksa
pandangi Perawan Sinting.
"Lakukan yang terbaik untuk saudaramu ini!"
"Hei, apa maksudmu berkata begitu?"
Puting Selaksa tak menjawab, justru bergegas pergi
tinggalkan mereka.
"Hei, Puting Selaksa...! Apa maksud ucapanmu itu"


Pendekar Mabuk 086 Buronan Cinta Sekarat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tunggu...!"
Teeeb...! Lengan Perawan Sinting disambar Suto.
"Biarkan dia pergi!"
"Tapi aku merasakan ada nada sumbang di balik kata-katanya tadi!"
"Jangan berlebihan dalam menafsirkan ucapan
seseorang," ujar Suto dengan kalem.
Mahesa Gibas menyela kata, "Kurasa ia tak mau terlibat urusan dengan Bayangan
Setan, ia memang
perempuan pengecut. Dari tadi sudah kunilai, ia...."
"Hentikan mulutmu, atau kusumbat pakai bumbung tuak ini"!" hardik Pendekar
Mabuk. Mahesa Gibas sendiri segera diam, karena ia melihat pandangan mata Suto Sinting
tampak serius dalam
ancamannya. Hati pemuda berbaju kuning itu hanya
menggerutu tanpa didengar siapa pun.
"Enak saja, mulut mau disumbat pakai bambu sebesar itu. Apa dikiranya mulutku
ini lubang ular"!"
Perawan Sinting segera berkata setelah hempaskan
napas mencari kelegaan hati. Rupanya ia punya
kegelisahan yang bisa membuatnya marah jika
kegelisahan itu disepelekan oleh Suto.
"Adipati Jayengrana adalah kenalan mendiang
guruku, Suto. Agaknya aku harus lakukan sesuatu agar sang Adipati tak jadi
digantung di alun-alun!"
"Lupakan kata-kata si pendusta itu! Tukang tipu kau ikuti kata-katanya, bisabisa kau mati karena menderita tekanan batin!" ujar Suto Sinting lalu membuka
bumbung tuaknya untuk menenggak tuak beberapa
teguk. "Kali ini aku tidak bohong, Suto," kata Mahesa Gibas. "Aku berani sumpah
disambar petir bertiga, jika keteranganku tadi sekadar tipuan belaka! Aku
sendiri orang sana, Suto."
Suto tetap cuek. Setelah menenggak tuak tiga
tegukan, ia menyodorkan bumbung tuak kepada
Perawan Sinting, "Minum..."!"
Perawan Sinting tak pedulikan tawaran itu, ia bahkan bicara lagi tentang sang
adipati. "Suto, kurasa apa kata Mahesa Gibas ada benarnya, sebab ia termasuk salah satu
rakyat Kadipaten Madusari yang melarikan diri, karena takut pada Bayangan
Setan." "Dia penipu, Perawan Sinting! Jangan mudah percaya dengan ucapannya!" tegas
Pendekar Mabuk.
"Kali ini aku jadi orang jujur, Sutol" sergah Mahesa Gibas. "Aku orang Desa
Cipuser yang masuk wilayah kekuasaan Kadipaten Madusari. Beberapa warga desaku
sudah banyak yang menjadi korban keganasan si
Bayangan Setan! Aku terpaksa melarikan diri, karena kakekku sendiri sudah tewas
di tangan si Bayangan
Setan." "Mungkin kakekmu berlagak jadi anak muda, maka dibunuh oleh si Bayangan Setan!"
ujar Suto tetap meremehkan pengakuan Mahesa Gibas. Pemuda
bercelana hitam itu cemberut dan bersungut-sungut.
"Giliran aku berkata jujur kau tak mau percaya, nanti kalau aku berkata bohong,
kau percaya sekali! Dasar sinting!"
Serrrt...! Baju pemuda itu segera diremas gadis
berompi ungu. "Jangan menyinggungku, Mahesa!"
"Eh, hmm... maksudku, dia yang sinting, bukan kau!"
"Tapi aku juga Perawan Sinting, dan bukan hanya dia yang punya nama Sinting!"
bentak gadis itu dengan galak.
"Iy, iya... Iya aku tahu. Kau juga sinting. Eh, maksudku... maksudku kau juga
punya nama Sinting.
Tapi...." "Dengar, Mahesa!" gertak Perawan Sinting. "Jika kali ini kau menipuku, tak akan
kubiarkan lehermu utuh
menyangga kepala! Kupenggal habis saat itu juga!"
"Boleh! Aku berani bertaruh kepala; penggal leherku kalau apa yang kukatakan
tadi hanya tipuan belaka.
Istana kadipaten sekarang sudah dikuasai oleh si
Bayangan Setan. Sang Adipati akan digantung setelah malam purnama lewat."
Perawan Sinting pandangi Suto dengan tajam.
"Dia telah menjadikan kepalanya sebagai jaminan kejujurannya, Suto. Masihkah kau
tidak mempercayainya"!"
"Tentu saja, sebab dia merasa kepalanya sudah tidak berarti!"
"Kalau begitu aku akan berangkat ke Kadipaten
Madusari sendiri. Aku harus tiba di sana sebelum malam bulan purnama!"
"Pergilah! Aku tak ikut, karena aku tak mau tertipu oleh pemuda berbakat sesat
ini!" kata Suto tegas-tegas.
"Sudahlah, Perawan Sinting," ujar Mahesa Gibas.
"Kalau dia tak mau ikut ke sana, biarlah aku yang menemanimu sepanjang
perjalanan."
"Aku tak butuh teman!" sentak Perawan Sinting.
"Tapi kalau sampai malam tiba, bagaimana" Kalau kau kedinginan dan tak ada
selimut, lantas siapa yang menghangatkanmu" Pikirkanlah hal itu, Perawan
Sinting," kata Mahesa Gibas.
"Kau pikir aku akan minta dipeluk oleh pemuda
tengil macam kau"!" geram Perawan Sinting.
"Kalau tidak ya tak apa-apa. Tapi tak perlu marah-marah begitu," sambil Mahesa
Gibas garuk-garuk kepala dan bersungut-sungut. Sementara itu, Pendekar Mabuk
masih tetap diam walau dalam hatinya masih diliputi keragu-raguan.
"Benarkah kali ini Mahesa Gibas berkata yang sebenarnya"! Jika ternyata ia
memperalat diriku dan Perawan Sinting, maka aku akan menjadi orang yang
lebih bodoh dari dirinya! Hmmm, tak mau aku
dibodohinya! Tapi jika kubiarkan, jangan-jangan sang Adipati benar-benar mau
digantung"!"
* * * 4 JIKA memang Adipati Jayengrana terancam
keselamatannya, Pendekar Mabuk tak segan-segan akan turun tangan. Sebab ia kenal
baik dengan sang Adipati,
ia pernah selamatkan rakyat Kadipaten Madusari dari ancaman maut Penguasa Teluk
Neraka. Apalagi Suto
Sinting kenal baik dengan putri sang Adipati yang
bernama Telaga Sunyi alias Muria Wardani yang kini
telah menikah dengan Rama Jiwana, tentu saja Suto
tidak akan tinggal diam saja jika kabar tersebut memang benar, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode:
"Asmara Berdarah Biru" dan "Penguasa Teluk Neraka").
Tapi Suto belum bisa mempercayai Mahesa Gibas
sejak ia hampir tertipu mentah-mentah tadi. Bahkan Suto meragukan asal usul
Mahesa Gibas. Ia sempat berkata pelan kepada Perawan Sinting sambil menarik
gadis itu jauhi Mahesa Gibas.
"Apa benar ia orang Kadipaten Madusari" Bahkan apa benar ia berasal dari Desa
Cipuser"! Apa buktinya kalau dia orang Desa Cipuser yang masuk dalam
wilayah Kadipaten Madusari"!"
"Raut mukanya kulihat penuh kejujuran," bisik Perawan Sinting.
"Pada saat ia menipumu, mengatakan kau ditantang oleh orang Istana Tengkorak,
bukankah saat itu kau juga melihat kejujuran di wajahnya?"
"Aku... aku terpengaruh oleh kemarahanku kepada orang-orang Istana Tengkorak,
sehingga tak sempat
kuperiksa wajahnya!"
Pendekar Mabuk tarik napas panjang lagi. Ia tak tega jika Perawan Sinting pergi
sendiri hadapi si Bayangan Setan, kalau ternyata berita itu memang benar. Tapi
ia juga tak ingin Perawan Sinting kecewa berat jika
ternyata kabar itu tak benar. Untuk menguji kejujuran Mahesa Gibas, Pendekar
Mabuk akhirnya memanggil
pemuda itu agar mendekatinya.
"Jika kau memang orang Desa Cipuser, pernahkah kau mendengar peristiwa penting
yang amat berbahaya dan pernah dialami oleh seluruh wilayah kadipaten itu"!"
Mahesa Gibas diam sejenak merenungkan pertanyaan
tersebut. Sesaat kemudian ia bicara dengan nada agak ragu.
"Apakah yang kau maksud peristiwa penting itu
adalah saat sang Adipati menderita sakit itu?"
Pendekar Mabuk diam sebentar, lalu berbisik kepada
Perawan Sinting.
"Ada benarnya juga. Adipati Jayengrana memang
pernah menderita sakit berbahaya."
Tapi agaknya Suto belum yakin, sehingga ajukan
tanya lagi kepada Mahesa Gibas.
"Kalau kau memang rakyatnya Kanjeng Adipati
Jayengrana, tentunya kau tahu mengapa sang Adipati
kala itu menderita sakit parah?"
"Yang jelas bukan karena menelan biji durian!"
Jawab Mahesa Gibas mendongkolkan hati Perawan
Sinting. Tapi Mahesa Gibas menambahkan jawabannya
dengan serius. "Dulu kabarnya sang Adipati pernah terancam maut, berupa penyakit kiriman,
semacam teluh, yang
dikirimkan dari jarak jauh oleh Penguasa Teluk Neraka."
"Hmmm...," Suto manggut-manggut membenarkan jawaban itu. "Mengapa Penguasa Teluk
Neraka menyerang sang Adipati?"
"Karena ia ingin mengawini putri sang Adipati."
"Siapa nama putri sang Adipati?"
"Raden Ayu Muria Wardani."
"Siapa nama istri sang Adipati?"
"Gusti Ayu Windurini!"
"Siapa nama menantu sang Adipati?"
"Raden Rama Jiwana."
"Siapa nama pelayannya yang paling cantik?"
"Senduk!"
"Dari mana kau tahu namanya Senduk?"
"Karena aku pernah naksir dia tapi ditolak. Aku pernah mengintip dia masak di
dapur, tapi disiram air panas. Dan... aku pernah mimpi mau dicium Senduk,
tapi segera terbangun. Begitu aku tidur lagi, Senduk telah pergi dari mimpiku."
Perawan Sinting berkata kepada Suto, "Apakah kau juga kenal dengan pelayannya
yang bernama Senduk
itu?" "Tidak. Baru sekarang kutahu kalau Adipati punya pelayan cantik bernama Senduk."
"Mengapa tadi kau tanyakan pada Mahesa Gibas?"
"Sekadar ingin tahu saja."
"Maksudmu, nanti kau akan menemui pelayan cantik itu secara diam-diam"!"
"Ah, mana sempat"!" Suto bersungut-sungut.
"Kalau ternyata ada kesempatan?" pancing Perawan Sinting bernada cemburu.
"Yaaah... itu lain persoalan," jawab Suto.
"Dasar mata keranjang!"
Plaak...! Suto ditampar, Perawan Sinting cemberut,
Mahesa Gibas segera berkata kepada Pendekar Mabuk.
"Jangan coba-coba berani mengganggu Senduk kalau tak ingin melihatku murka di
depanmu, Suto."
"Apakah kau kekasihnya Senduk?"
"Ya!" jawab Mahesa Gibas tegas.
"Kau mencintai Senduk?"
"Cinta sekali!"
"Senduk juga cinta?"
"Tidak sama sekali!"
"Mengapa tak kau culik saja si Senduk itu"!"
"Terlambat!"
"Terlambat bagaimana?"
"Dia sudah meninggal empat puluh hari yang lalu!"
"Ooo...," Suto dan Perawan Sinting saling pandang, sembunyikan senyum.
"Mengapa dia tidak mengajakmu meninggal juga?"
tanya Perawan Sinting dengan kesal.
"Itulah tandanya kalau dia tidak cinta padaku!" jawab Mahesa Gibas serius
sekali, seakan tak merasa bicara konyol sedikit pun.
Akhirnya Suto Sinting percayai berita tersebut, ia
putuskan akan bebaskan Adipati Jayengrana bersamasama Perawan Sinting. Tetapi kala itu, senja mulai
menua, sebentar lagi petang akan datang.
"Kita berangkat esok pagi saja," usul Perawan Sinting. "Malam bulan purnama
masih tiga hari lagi"
Mahesa Gibas berkata, "Aku tadi melihat tempat yang
nyaman untuk bermalam. Sebuah bangunan bekas Istana yang sudah porak poranda."
"Baik. Kita akan bermalam di sana saja, esok pagi teruskan perjalanan ke
kadipaten," ujar Suto. "Di sebelah mana bangunan yang kau lihat itu?"
"Di balik bukit itu! Di depannya ada kuil pemujaan yang sepertinya sudah tidak
dipakai lagi."
"Goblok!" sentak Perawan Sinting. "Bangunan itu adalah Istana Tengkorak!"
"Ooh..."!" Mahesa Gibas terkejut, lalu wajahnya mulai ngotot. "Tapi tak kulihat
ada tengkorak sepotong tulang pun di sana!"
"Kalau toh ada kau pasti tak akan bertemu dengan kami!" ujar Suto Sinting. "Mati
digerogoti tengkorak!"
Perawan Sinting akhirnya memandu mereka menuju
ke sebuah bangunan tua bekas biara kecil yang sudah hancur. Biara itu mempunyai
ruangan-ruangan tak
seberapa lebar tanpa pintu. Ruangan itu dulu digunakan sebagai ruang semadi para
biksu yang menempati biara tersebut. Sebagian ruangan masih ada, sisanya sudah
rata dengan tanah atau hancur separuh bagian.
"Menurut cerita guruku," kata Perawan Sinting.
"Biara ini dulu dipakai untuk menggembleng murid-murid Perguruan Bunga Seroja.
Aliran silat mereka
berasal dari Pegunungan Tibet. Namun perguruan itu
hancur setelah dipimpin oleh ketua baru yang berjuluk Peri Kahyangan. Aliran
silat mereka menjadi sesat walau ilmu mereka tinggi-tinggi. Karena mereka
akhirnya beraliran hitam, maka banyak dimusuhi oleh para tokoh
aliran putih. Sampai pada suatu saat, biara ini diserang oleh orang-orang yang
mengaku dari dasar bumi. Maka habislah riwayat Perguruan Bunga Seroja, hancur
pula biara ini! Sedangkan Peri Kahyangan lenyap tanpa
bekas. Diduga melarikan diri ke alam gaib!"
"Tunggu," sergah Pendekar Mabuk. "Tadi kau menyebut-nyebut orang dasar bumi.
Apakah itu nama
perguruan atau benar-benar orang dari dalam tanah"!"
"Dalam cerita guruku, orang-orang itu memang
datang dari perut bumi, dipimpin oleh seorang gadis sakti bernama... hmmm... o,
ya, bernama Nirwana
Tria...." "Siapa..."! Nirwana Tria"!" Suto terkejut, karena nama Nirwana Tria bukan nama
asing lagi baginya, ia pernah bertemu gadis cantik itu pada saat berada di
perbatasan alam gaib dan alam nyata, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Ratu Maksiat").
"Jangan sok kenal!" cibir Perawan Sinting. "Nirwana Tria itu tokoh sakti dari
dasar bumi, bukan dari Desa Cipuser atau tempat lainnya di permukaan bumi ini.
Berlagak kaget kau! Hmmm...!"
Pendekar Mabuk membiarkan cibiran Perawan
Sinting. Tapi wajah cantik yang sempat membekas di
hatinya itu kini muncul lebih nyata lagi dalam ingatan.
Hanya saja, Pendekar Mabuk memang tak ingin
tonjolkan dirinya bahwa ia kenal dan pernah bertemu dengan Nirwana Tria, cucu
dari Dewa Tanah, yang


Pendekar Mabuk 086 Buronan Cinta Sekarat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi penguasa tertinggi di alam mereka itu.
Sementara mereka berdua asyik berbincang-bincang
di depan ruang semadi beranak tangga empat baris itu, Mahesa Gibas tidur di
dalam ruangan itu, mendengkur dan tampak nyenyak sekali. Cahaya rembulan yang
belum sepenuhnya menyinari permukaan bumi telah
membuat suasana lebih hangat dan lebih romantis lagi.
Mereka sengaja tidak menyalakan api unggun, karena
cahaya rembulan dianggap sudah cukup menjadi
penerang alam sekitar mereka itu.
Perawan Sinting yang semula berdiri dengan kedua
tangan bersedekap itu, kini ikut-ikutan duduk di tangga seperti yang dilakukan
Suto. Salah satu kaki Suto
melonjor lurus, satunya lagi ditekuk hingga lututnya bisa untuk menaruh tangan,
sedangkan bumbung tuak ada di samping kaki yang lututnya tegak itu. Perawan
Sinting duduk di tangga bawahnya, dekat dengan kaki Suto yang melonjor lurus, ia
meminta tuak, lalu meneguknya
beberapa kali, setelah itu bumbung dikembalikan pada tempatnya.
"Sejak kapan biara ini runtuh?" tanya Suto setelah berhasil menghilangan
bayangan Nirwana Tria sejenak.
"Menurut mendiang Guru, biara ini runtuh sekitar lima puluh tahun yang lalu."
"Ooh..." !" Suto sedikit terperanjat, ia pun membatin,
"Kalau begitu Nirwana Tria itu sebenarnya sudah tua sekali" Tapi tampaknya masih
muda." "Kata Guru, beliau pernah bentrok dengan Peri
Kahyangan, dan sama-sama terluka. Guru nyaris
terdesak kalau tidak segera menggunakan akal untuk
memancing kelengahan Peri Kahyangan," tutur Perawan
Sinting melanjutkan kisahnya.
"Bagaimana cara memancing kelengahan Peri
Kahyangan itu?"
"Guru tak sebutkan. Tapi secara jujur Guru akui, Peri Kahyangan berilmu tinggi
dan cukup tangguh."
"Sayang sekali cerita itu tak lengkap."
"Memang. Tapi aku mendapat cerita lain dari Eyang Tulang Geledek tentang si Peri
Pangeran Anggadipati 4 Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo Memanah Burung Rajawali 28

Cari Blog Ini