Ceritasilat Novel Online

Dalam Pelukan Musuh 2

Pendekar Mabuk 095 Dalam Pelukan Musuh Bagian 2


Guru, lalu kami para murid saling mendukung Guru masing-masing. Permusuhan ini
sudah lama berlangsung, tak satu pun dari mereka ada yang
mau saling mengalah. Maka jika orang perguruanku bertemu orang Perguruan Darah Biru, pasti saling beradu nyawa."
"Kau dari perguruan mana?"
"Aku dari Perguruan T elaga Murka. Saat ini kami tak mempunyai ketua, karena
ketua perguruan kami baru saja meninggal karena penyakit ketuaannya."
"Jadi kau sedang mencari seorang ketua untuk perguruanmu"!"
"Malam purnama yang akan datang akan dilakukan pemilihan calon ketua dengan cara
adu kekuatan di antara para murid. Siapa yang terkuat dan unggul melawan para
calon ketua, dialah yang akan dinobatkan sebagai ketua kami."
"Aneh. Kau bilang tadi, gurumu dan gurunya Raden Lontar selalu bermusuhan, tapi
sekarang kau bilang sedang mencari ketua perguruan yang...."
"Guru tidak mau menjadi ketua perguruan! Guru hanya sebagai pengawa s dan
penggembleng para murid.
Gur u juga tidak mau menunjuk salah satu dari kami untuk menjadi ketua. Maka
kami sepakat untuk adakan adu kekuatan tenaga luar. Dan aku ingin sekali menjadi
orang berjasa dalam perguruan yang nantinya akan kuhadapi musuh utama kami si
Beruang iblis, karenanya aku harus mencari tambahan ilmu dari pihak luar secara
diam-diam."
"Ooo... ceritanya kau ingin cari penghasilan saml-pingan di luar perguruan"!"
ujar Suto Sinting sambil tertawa
pelan dan manggut-manggut
kecil. "Kau memang termasuk murid bengal, T irai."
T irai Surga tak tersenyum sedikit pun. T api ia pandangi Suto Sinting dengan
mata beningnya yang tak berkedip sejak tadi itu. Sesaat kemudian, ia mulai
perdengarkan suaranya yang terdengar seperti ragu-ragu dalam pengucapannya itu.
"Maukah... maukah kau membekaliku sedikit ilmu untuk membuatku menjadi lebih
tinggi dari para murid lainnya"!"
Suto Sinting tertawa lagi. Seakan permohonan itu dianggap lucu dan tak perlu
ditanggapi secara serius.
"Kau belum mengenalku, belum tahu namaku, belum tahu seberapa tinggi ilmuku,
mengapa kau sudah berani meminta ilmu padaku" Siapa tahu ilmumu sendiri lebih
tinggi dari ilmuku"!"
T irai Surga gelengkan kepala pendek saja. Matanya tetap tertuju ke
arah wajah Suto Sinting. Sikap berdirinya mengesankan sebagai gadis pemberani yang tak pernah kenal kata
menyerah. "Kulihat kau tadi sudah bisa mengembalikan sinar birunya Raden Lontar dalam
keadaan lebih cepat dan lebih besar, itu sudah menandakan kau berilmu tinggi,
karena dari perguruanku maupun dari perguruan Raden Lontar tak ada yang punya
ilmu seperti itu," ujarnya dengan polos tanpa senyum.
"Begitukah?" sambil Suto tersenyum bangga, namun senyum itu justru memancarkan
daya pikat lebih tinggi lagi, sehingga debar-debar di hati T irai Surga menjadi
bertambah meresahkan jiwanya. Namun gadis itu pandai sembunyikan
perasaannya, sehingga tak mudah diketahui oleh pemuda yang ada di depannya itu.
"Namaku: T irai Surga! Kau boleh memanggilku T irai saja, atau Surga saja.
Kurasa kau tak akan rugi
menurunkan sedikit ilmumu kepadaku, karena akan
kukenang sepanjang masa dan...."
"Dan namaku Suto Sinting," potong Suto yang tak mau mendengar janji-janji
bercorak bualan belaka itu.
"Kau boleh memanggilku Suto, boleh memanggilku Sinting. T erserah seleramu
saja!" tambah Suto Sinting.
Gadis itu sudah hampir mau tersenyum. Tapi tiba-tiba mereka mendengar suara
ledakan yang menggelegar.
Suara ledakan itu sangat jelas, dan cukup dekat menurut perhitungan jarak lari
Pendekar Mabuk. T anah tempat mereka berpijak sempat terasa bergetar, menandakan
ledakan tadi terjadi karena perpaduan dua kekuatan berilmu tinggi.
"Maaf, aku harus pergi ke arah ledakan tadi, untuk melihat siapa yang bertarung
di sana!" "T unggu! Aku ikut denganmu!" sahut T irai Surga.
"Kau keberatan"!"
Pendekar Mabuk belum jadi melangkah pergi, ia
menatap T irai Surga yang ber wajah cantik mulus.
Kulitnya begitu lembut bagaikan kulit bayi.
"Biarkan aku ikut
denganmu. Aku tidak akan
mengganggu ruang gerakmu, Suto!" ujar T irai Surga setengah mendesak. Pendekar
Mabuk hanya sentakkan kedua pundaknya, kemudian segera melesat dengan
kecepatan tinggi, menyerupai gerakan seberkas sinar, karena ia menggunakan jurus
'Gerak Siluman'-nya.
T irai Surga terbengong melompong melihat kecepatan gerak itu. Ia terkesima di tempat hingga tertinggal cukup jauh oleh
Suto Sinting. "Aku harus mendekatinya terus. Siapa tahu kekuatan dan ilmunya biasa kugunakan
untuk melindungiku dari maut yang sedang kuburu ini"!" ujar gadis itu sambil
bergegas menyusul Suto.
* * * 5 MAT A pendekar tampan itu tidak berkedip pandangi pertarungan antara seorang
nenek berjubah abu-abu dengan seorang kakek berjubah biru muda. Hal yang amat
menarik bagi Suto Sinting adalah keduanya
bertarung di atas daun-daun ilalang. T entu saja mereka sama-sama pergunakan
Ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi, sehingga mampu berdiri di atas pucukpucuk ilalang. Seakan pucuk-pucuk ilalang adalah tanah padat atau hamparan batu
luas tanpa celah sedikit pun.
Si jubah biru tampak bergerak dengan lincah, lakukan lompatan ke sana-sini
sambil lepaskan pukulan bersinar putih. Pukulan itu ditangkis terus oleh si
nenek berjubah abu-abu dengan kibasan tangannya. Angin kibasan
tangan itu mewakili perisai hawa padat yang membuat sinar putih itu tak pernah
berhasil menyentuhnya.
Sekali si nenek lepaskan pukulan dengan tubuh
melayang bagai terbang, kedua tangan mereka beradu di
udara dan timbullah ledakan besar yang kedua kalinya.
Blegaarr...! Jubah biru yang belum dikenal Suto Sinting itu jatuh berlutut, tapi tetap di
atas ilalang tanpa terperosok sedikit pun. Itu menandakan kemampuan dalam
menjaga keseimbangan tubuh dalam ilmu peringannya nyaris mendekati sempurna.
Sayangnya si jubah biru tidak segera dongakkan wajah, sehingga ia tak tahu
ketika nenek berjubah abu-abu dan berkuku runcing itu
melepaskan sinar hijau kecil sebesar lidi dari ujung telunjuknya. Sinar hijau
itu melesat lurus bagaikan kawat dan menghantam leher si jubah biru. Claap...!
Dess...! "Uuhk...!" Jubah biru memekik dan jatuh terperosok ke dalam semak.
Pada saat itu, T irai Surga datang mendekati Suto Sinting dengan langkah pelan
agar tak timbulkan suara.
Namun bagi Suto, suara langkah kaki gadis itu masih bisa didengar karena
jaraknya semakin dekat. Suto Sinting menengok sesaat, kemudian ketika T irai
Surga ada di sampingnya, Suto pun berbisik dengan suara sangat pelan.
"Kau lihat si jubah biru tadi?"
"Ya. Dia yang berjuluk si Singa Bangka dari Pantai Bacin. Dia termasuk gurunya
Raden Lontar di luar Perguruan Darah Biru."
"Ooo..." Suto Sinting menggumam lirih dan manggut.
"Sebenarnya ia termasuk orang tangguh. T api sayang ia lebih dulu terkena jurus
'Mati Raga', sehingga ia tak
akan bisa berkutik lagi," tambah T irai Surga yang tadi sempat melihat sinar
hijau lurus menghantam leher Singa Bangka.
"O, sinar hijau tadi namanya jurus 'Mati Raga'"!"
gumam Suto merasa baru tahu nama jurus itu. "Lalu, yang berjubah...."
Kata-kata Pendekar Mabuk terhenti sampai di situ, karena
matanya segera terbelalak ketika melihat bayangan nenek berjubah abu-abu itu bergerak sendiri, bagai melompati tubuh
jubah bir u yang terperosok di dalam ilalang itu. Sedangkan si pemilik bayangan
segera melesat ke arah lain, memunggungi Suto Sinting.
Weess...! Blaass...!
Gerakan bayangan hitam yang berbeda dengan
gerakan si pemilik bayangan itu timbulkan letupan kecil dan nyaris tak
terdengar. Bluub...! Wuuurss..!
"Hahh..."!" Suto Sinting nyaris terpekik karena kagetnya. Sayang rasa kagetnya
terlalu besar sehingga yang
keluar dari mulutnya hanya desah napas menyentak. Matanya masih tak berkedip pandangi
bayangan hitam yang segera bergabung dengan tubuh si jubah abu-abu. Mereka bagai
dua nyawa yang se gera melesat pergi tinggalkan tempat tersebut.
T ubuh Singa Bangka segera kepulkan asap, lalu asap segera lenyap ditiup angin,
dan Singa Bangka ternyata sudah menjadi abu bercampur arang.
"Ger.... Ger.... Gerhana Senyawa..."!" ucap Suto Sinting lirih sekali sambil
menggeragap dan terpaku di tempat.
"Benar. Itu tadi jurus ' Gerhana Senyawa' yang sangat dahsyat dan mematikan
sekali!" ujar T irai Surga sambil matanya pandangi ke arah kepergian si jubah
abu-abu. Pendekar Mabuk belum bisa kedipkan mata. Jantungnya bagai menyentak-nyentak
setelah tahu bahwa Singa Bangka akhirnya tewas menjadi abu karena dilanda bayangan hitam dari
sosok tubuh si jubah abu-abu tadi.
Kini si jubah abu-abu sudah sangat
jauh dan menghilang dari pandangan Suto Sinting serta Tirai Surga. Namun keadaan Suto
masih tetap terpaku di tempat
bagaikan patung bernyawa
dengan mulut ternganga. T irai Surga memeriksa abu itu dengan menerabas
semak-semak ilalang. Sesaat kemudian ia kembali temui Suto. T api pemuda itu
masih terpaku di tempat dengan mata melebar dan mulut ternganga.
"Hei, kenapa kau"!" tegur T irai
Surga seraya menepuk punggung Pendekar Mabuk. T epukan dan
teguran itu berhasil membuat Suto Sinting sadar dan menggeragap.
Napasnya terengah-engah,
wajahnya menjadi pucat dan menegang. Hal itu menimbulkan
keheranan dan kecurigaan bagi T irai Surga.
"Ada apa kau"! Kenapa wajahmu menjadi sepucat mayat puasa"!"
Bisa dibayangkan, wajah mayat saja sudah pasti pucat pasi, dan orang puasa pun
berwajah pucat. Dapat
dibayangkan pula seperti apa kepucatan wajah Suto kala itu jika T irai Surga
sampai mengatakan 'seperti mayat
puasa'" Suto Sinting sangat shock begitu melihat kematian Singa Bangka dari Pantai Bacin
itu. Ia sampai tak bisa bicara sesaat, karena tenggorokannya sibuk menelan napas
beberapa kali. Bahkan ketika ia melangkah ke bawah pohon dan sandarkan tangan
kirinya di sana, ia masih belum bisa bicara dengan benar sewaktu T irai Surga
menegurnya lagi.
"Ada apa sebenarnya"! Kau aneh sekali, Suto Sinting"!"
"Itu... tadi... iya... hmm... jurus itu...."
"Jurus yang mana" Apakah maksudmu jurus ' Gerhana Senyawa' itu"!"
"Kau... kau kenal dengan si jubah abu-abu tadi"!"
"T entu. Dia adalah Nyai Dupa Mayat yang sedang memburu Pendekar Mabuk," jawab T
irai Surga dengan polos, karena ia tak tahu bahwa Suto Sinting itu adalah si
Pendekar Mabuk.
"Oohhhh...," Suto Sinting mengeluh dengan tubuh melemas.
"Untuk saat ini, memang baru Nyai Dupa Mayat yang menguasai ilmu 'Gerhana
Senyawa'. T api ia juga
mempunyai beberapa jurus maut yang membahayakan
lawan, di antaranya adalah jurus 'Mati Raga' itu tadi.
Seseorang yang terkena jurus 'Mati Raga' selamanya tak akan bisa bergerak, namun
nyawa dan napasnya masih ada."
T uak segera diteguk untuk menenangkan getaran
hatinya. Hal yang membuat Suto Sinting menjadi shock
adalah penglihatannya yang tak disangka-sangka.
Dengan jelas sekali ia melihat sosok Nyai Dupa
Mayat. Dengan jelas pula ia melihat bagaimana bayangan hitam itu berkelebat membakar tubuh Singa Bangka dalam sekejap.
Sedangkan saat itu nyawa Suto merasa terancam
oleh ilmu gila itu. T ak dapat dibayangkan olehnya jika nenek berjubah abu-abu itu tadi pergi dengan melintas
atas kepalanya, tentu saja saat ini ia sudah menjadi abu seperti nasib Singa


Pendekar Mabuk 095 Dalam Pelukan Musuh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bangka itu. Baru sekarang Suto Sinting melihat sosok orang yang akan menjadi calon lawannya
nanti. Rasa sesal itu mengejutkan hati Suto, karena sebenarnya tadi ia punya
kesempatan untuk menyerang Nyai Dupa Mayat dengan jurus 'Manggala' atau jurus
'Yudha'-nya. Sayang sekali ia tak tahu siapa nenek berjubah abu-abu itu,
sehingga yang dilakukan hanya terbengong melompong saksikan pertarungan
tersebut. "Bodoh! Bodoh sekali aku! Lawan sudah di depan mata dibiarkan pergi begitu
saja"! Ia tak mungkin bisa terkejar olehku, karena ia juga punya gerakan cepat,
menyamai dengan jurus 'Gerak Siluman'-ku!" geram Suto Sinting dalam hatinya.
T irai Surga pandangi Suto sejak tadi. Yang dipandang cuek saja, tak hiraukan si
gadis, karena pikirannya tertuju pada penyesalan besarnya itu. Wajah Nyai Dupa
Mayat yang sempat dilihatnya sepintas tadi masih membayang terus di pelupuk
matanya. Suto Sinting merasa
seperti melihat
sang malaikat yang akan mencabut nyawanya.
"Suto, katakan dengan jujur, mengapa kau tampak ketakutan sekali"! Apakah baru
sekarang kau melihat korban ilmu "Gerhana Senyawa'?" ujar T irai Surga.
"Hmmm. Eeh... iya, memang baru sekarang," jawab Suto menutupi kasus sebenarnya
yang sedang dihadapi.
"Kau tak perlu khawatir, Suto. Nyai Dupa Mayat tak akan mencelakaimu semasa kau
tidak mengganggunya.
Aku tahu betul tentang sifatnya yang pendendam itu, karena dia pernah tiga kali
datang ke perguruanku dan mengajak guruku bergabung. T api guruku menolaknya.
Aku tahu banyak tentang dia dari guruku."
"O, ya..."!" jawab Suto Sinting secara basa-basi, tapi sebenarnya ia tidak
begitu menghiraukan kata-kata tersebut. Hanya dalam hatinya ia berkata, "Kau
tidak tahu yang sebenarnya. T irai Surga. T entu saja kau bisa berkata begitu."
T irai Surga menyambung kata-katanya tadi, "Lupakan tentang apa yang kau lihat tadi. Percayalah, Nyai Dupa Mayat tidak akan
menyerangmu. Dia hanya membutuhkah nyawa si Pendekar Mabuk saja!"
Hati Suto Sinting bagai diiris dengan sembilu. Bukan saja perih namun juga
merasakan kecemasan yang amat besar, ia membayangkan saat
bayangan hitam itu
melintasi tubuhnya, dan akan terasa seperti apa panas yang menyengat sekujur
tubuh dan membuatnya menjadi abu.
"Kalau masih sempat bertarung saling berhadapan, masih ada kesempatan bagiku
untuk melawan dan
menghindarinya. T api kalau tiba-tiba
bayangannya melintasiku sementara aku sedang duduk beristirahat dengan santai, mau dibilang
apa" Matilah aku saat itu juga! Hmmm... memang mestinya aku harus segera
temui si Bocah Emas untuk mencari tahu penangkal ilmu
'Gerhana Senyawa' itu. Sebab kali ini lawanku bisa saja mencabut nyawaku pada
saat aku tidur. Tentu aku tak akan merasakan kehadiran bayangan hitam itu."
Pendekar Mabuk termenung panjang. Hatinya berceloteh sendiri, sementara T irai
Surga tampak pandangi keadaan sekeliling. Gadis itu tak mau pergi dari Suto, karena hatinya
punya niat untuk bisa selalu berada di dekat pemuda tampan itu.
Suto pun membatin kembali, "Semakin matahari condong ke barat, atau berada di
sisi timur, maka bayangan tubuh Nyai Dupa Mayat akan semakin
panjang. Sangat mudah baginya untuk menyerangku jika bayangan itu semakin
panjang. Dan jika bayangan itu tahu-tahu mendekatiku dari samping, sementara aku
berhadapan dengan Nyai Dupa Mayat, mana mungkin
aku bisa mengetahuinya jika mataku tak memandang waspada keadaan sekelilingnya"
Lalu, jika bayangan itu datang
dari belakang, mana mungkin kudengar kehadirannya" Mana mungkin kurasakan gerakannya"
Oh, gila betul ini! Sekarang aku benar-benar sedikit grogi berhadapan dengan
lawan yang punya ilmu edan-edanan itu! Untung bukan Siluman T ujuh Nyawa, musuh
utamaku, yang mempunyai ilmu edan seperti itu.
Seandainya dia yang mempunyai ilmu itu, akan semakin sulit
bagiku untuk mengalahkannya dalam setiap pertarungan"!"
Wajah yang tertunduk hanyut dalam renungan itu kini terangkat
ingin memandang T irai Surga. T iba-tiba
sekelebat benda tampak meluncur dari atas pohon
seberang ke arah gadis itu.
"T irai, awaas...!" seru Suto Sinting sambil bergegas menyambar tangan gadis itu
dan menariknya ke dalam pelukan.
Gadis itu sempat terpelanting hilang keseimbangan dan tubuhnya berputar balik dengan
punggung menyentuh dada Suto Sinting.
Namun pada saat itu pula, benda yang melesat cepat dari atas pohon seberang itu
menancap di dada kiri T irai Surga. Zaaap...! Jrrub...!
"Aaahk...!"
Se batang anak panah menancap di dada kiri gadis itu, tepatnya di bawah pundak.
Pendekar Mabuk tak sempat menangkap anak panah itu karena tangan kanannya
memegangi bumbung tuak dan tangan kirinya menarik tubuh T irai Surga. Ga dis itu
langsung mengejang dan mengerang pelan.
"Uuuhhh...!" suaranya merintih mengharukan. T ubuh si gadis menjadi lemas,
bahkan tak mampu berdiri dengan kedua kakinya.
"T irai..."! Tirai..."!" Suto Sinting mengguncang-guncang tubuh gadis itu. T
irai Surga semakin redupkan matanya dalam pelukan Suto. Hati si pemuda menjadi
berang, gemas, dan jengkel sendiri. Maka dicabutnya anak panah yang menancap di
dada gadis itu.
Sleeb...! Suto Sinting sempat terperanjat heran karena
tak ada darah yang mengalir dari luka berlubang itu.
Luka tersebut mengeluarkan darah hanya sedikit dan berwarna hitam, hanya di
sekitar lubang luka saja. Jelas hal itu dikarenakan ujung anak panah mempunyai
racun yang cukup membahayakan.
Pendekar Mabuk segera baringkan gadis itu ke tanah berumput. Mulutnya yang
ternganga keluarkan erangan merintih itu segera dituangi tuak. Sebagian tuak ada
yang terminum, sebagian ada yang berceceran di sekitar mulut dan leher.
Selesai itu, Suto tak pedulikan lagi keadaan T irai Surga, ia segera menatap ke
arah pohon tempat
keluarnya anak panah tersebut. T ernyata di sana masih ada si pemanah yang
tampaknya ingin memastikan
apakah T irai Surga benar-benar mati
atau tidak. Kesempatan itu segera digunakan Suto untuk melepaskan pukulan jarak jauhnya yang dinamakan
'Pukulan Guntur Perkasa' itu.
Sentakan tangan kiri Suto Sinting keluarkan sebaris sinar hijau. Claaap...!
Sinar itu segera menghantam dahan pohon besar berdaun rimbun itu.
Jegaaarrr...! Ledakan membahana terdengar bersamaan berpendarnya sinar hijau besar. Kejap berikut pohon itu telah hancur separo
bagian. Sekelebat bayangan tampak melesat dari pohon itu, terlempar akibat
gelombang ledakan. Walau sinar hijau itu tak kenai tubuh si pemanah, namun
gelombang ledakannya melemparkan
si pemanah sejauh delapan tombak dari pohon tersebut.
Pendekar Mabuk segera hampiri orang itu dengan
gerakan cepatnya. Zlaap...! T ahu-tahu ia sudah berada di samping si pemanah
yang sedang berusaha bangkit
sambil mengerang. Busur panahnya patah akibat tertimpa tubuhnya sendiri saat jatuh terbanting. Seba gian anak panahnya
berceceran ke mana-mana.
Si pemanah ternyata seorang lelaki yang berusia
sekitar empat puluh tahun dengan pakaian serba hitam dan ikat kepala merah tua.
Lelaki berperawakan sedang, berkumis lebat dan bermata besar itu sengaja
dibiarkan bangkit oleh Suto Sinting, sampai akhirnya lelaki itu memandang Suto
dengan tersentak kaget. Raut wajahnya tampak menyimpan kecemasan bercampur
kemarahan. Se bilah pisau sepanjang dua jengkal dicabut dari pinggangnya. Sreet...! Ia
sedikit membungkuk sambil mengarahkan pisau mengkilat itu kepada Suto Sinting.
"Majulah kalau kau ingin mati di tanganku, Bangsat!"
"Namaku; Suto, bukan Bangsat!" ujar Pendekar Mabuk dengan kalem, walau hatinya
geram sekali ingin menghantam congor orang itu.
"Persetan dengan siapa namamu! Tapi kau sudah mencampuri urusanku, maka kau pun
harus mati di ujung pisauku ini! Hiaaat...!"
Wut, wut, wut, wess, wuut, wees, wess...!
Serangan orang itu datang secara beruntun, menusuk dan menyabetkan pisaunya. T
api dengan gerakan cepat yang menggeloyor ke sana-sini seperti orang mabuk ingin
jatuh, Suto berhasil hindari tusukan dan sabetan pisau itu. Sampai suatu saat
akhirnya tangan orang itu
berhasil ditendang oleh Sulo dengan tendangan berputar cepat. Beet...! Wuut...!
T angan itu tersentak ke atas dengan kuat, pisaunya terpental dari genggaman.
"Hahh..."!" orang itu membelalak tegang setelah sadari tangannya tak memegang
pisau lagi. Pendekar Mabuk berputar sekali lagi dengan gerakan cepat.
Wuuus...! Kakinya bagai menampar wajah orang itu dengan telak sekali. Plook...!
"Aauw...!" Orang itu terjungkal ke samping karena kuatnya tendangan Suto. Ia
jatuh berguling-guling dengan wajah bagaikan ditampar dengan balok kayu yang
amat besar. Untuk sesaat orang itu menjadi buta, tak bisa melihat apa-apa. Ia
mencoba bangkit dengan meraba-raba
dan mengerang dengan
suara napas memburu ganas. Pendekar Mabuk sengaja biarkan orang itu geragapan mencari pegang. Pada saat itu
mata Suto sempat melirik ke arah Tirai Surga. Gadis itu telah berdiri dan
memandang heran ke arah dadanya yang terluka. Luka tersebut telah merapat dan
lenyap. Kulit dada menjadi mulus kembali tanpa luka seujung jarum pun. Hanya
saja, baju kuningnya yang tanpa lengan itu terpaksa bolong akibat ditembus anak
panah beracun tinggi itu.
Wut, wut, wut...!
Plook...! T irai Surga berplik-plak cepat, berjungkir balik dengan menggunakan kedua
tangannya di tanah menuju ke arah si lelaki berpakaian hitam itu. Begitu tiba di
depan lelaki tersebut, kaki T irai Sur ga menendang ke
atas dengan cepat dan kuat. Dagu si lelaki terkena tendangan tersebut, sehingga
orang itu terdongak dan sambil mengerang keras, lalu sempoyongan ke belakang.
"Hiaaah...!" T irai Surga menjejak dengan cepat, dada orang itu terkena telak
dan membuatnya semakin
terlempar, lalu jatuh terkapar setelah semburkan darah segar dari mulutnya.
Gadis itu mempunyai senjata gelang pipih bertepian tajam.
Sepasang gelang pipih
mirip piringan itu
mempunyai tempat tersendiri di pinggang kanan-kiri yang terbuat dari kulit.
Gelang pipih sebesar piring makan itu segera dicabut dari tempatnya. Matanya
memandang beringas kepada lelaki yang sedang berusaha bangkit dengan merangkak-rangkak itu.
"Habis sudah riwayatmu, Setan Ajak!" teriak T irai Surga
tampak murka sekali. Senjata itu akan dilemparkan ke arah si Setan Ajak untuk memenggal leher orang tersebut. T api
Suto Sinting yang saat itu ada di belakang T irai Surga segera mencekal tangan
yang sudah memegang senjata gelang putih dari besi baja itu.
"Jangan! Dia sudah cukup terluka oleh tendanganmu.
T erlambat menyembuhkan dia akan mati dengan sendirinya!"
"T api dia hampir saja membunuhku secara curang!
Dia harus menerima hukumannya; kehilangan kepala!"
"T irai, kau masih hidup dan tetap sehat, bukan"!
Kurasa tak perlu harus mencabut nyawanya. Jangan terlalu mudah mencabut nyawa
orang selama tidak
dalam keadaan sangat terpaksa, T irai!"
Gadis itu menatap Suto, dan Suto pun menatapnya
lekat-lekat. "T urunkan amarahmu, T irai."
T atapan mata lembut itu terasa menembus sampai ke dasar hati, menyiramkan
keteduhan yang damai bagi T irai Surga. T atapan mata itu menjinakkan hati yang
beringas terhadap

Pendekar Mabuk 095 Dalam Pelukan Musuh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

si Setan Ajak. Namun demi memperlihatkan ketangguhan dan harga dirinya, Tirai Surga berseru kepada Setan
Ajak yang bermaksud
melarikan diri itu.
"Katakan kepada Beruang Iblis; ketua perguruanmu itu, T irai Surga tak akan
gentar jika harus bertarung melawannya!
Jangan coba-coba lagi berusaha membunuhku jika tak ingin perguruanmu kuratakan
dengan tanah!"
Setan Ajak bagai tak pedulikan seruan itu. Ia
bergegas pergi tanpa menengok ke belakang lagi.
Sesekali arah langkahnya terhuyung ke kiri atau ke kanan karena ia masih harus
menahan luka di dalam dadanya.
"Siapa si Setan Ajak itu sebenarnya"!"
"Orang perguruan Pintu Neraka, anak buah si Beruang Iblis!" jawab T irai Surga
setelah hembuskan napas pengendur ketegangannya.
"Beruang iblis..."!" gumam Suto Sinting merasa asing dengan nama itu.
"Jika aku menjadi ketua perguruan nantinya, Beruang Iblis adalah la wan beratku
yang harus kuhadapi. Karena itu aku butuh tambahan ilmu yang dapat kupakai untuk
melumpuhkan si Beruang Iblis. Maukah kau ajarkan salah satu ilmu andalanmu
padaku?" Pendekar Mabuk kembali diliputi perasaan serba
salah, ia tak tahu harus bilang apa kepada gadis itu, sementara hati kecilnya
merasa ingin mengajarkan salah satu jurus mautnya, tapi ia terikat oleh satu
perintah dari sang Gur u Gila T uak dan Bidadari Jalang, bahwa ia masih tak
boleh ajarkan ilmu kepada siapa pun.
Sementara itu, T irai Surga semakin yakin bahwa Suto Sinting adalah pemuda
tampan yang berilmu tinggi, karena ketika ia dapatkan lukanya mengering dan rasa
sakitnya lenyap, hatinya melontarkan berbagai pujian dan rasa kagum yang amat
besar kepada pemuda tampan itu. Lenyapnya luka dalam waktu singkat hanya bisa
dilakukan oleh orang berilmu tinggi, menurutnya.
Karena itu, Tirai Surga semakin bernafsu untuk dapatkan satu atau dua ilmu
andalan dari Suto Sinting.
"T anpa ada tambahan ilmu dari aliran lain, kurasa aku tak akan bisa kalahkan si
Beruang Iblis. Padahal si Beruang Iblis itu lebih berbahaya daripada gurunya
Raden Lontar," tambah si gadis dengan harapan dapat meluluhkan hati Suto
Sinting. Yang diajak bicara hanya diam saja dengan senyum menghiasi bibirnya yang
menawan. Bahkan pemuda itu kini menenggak tuaknya beberapa teguk. Kala itu ia
melihat langit sore mulai memerah.
T iba-tiba mereka mendengar suara jeritan kematian di kejauhan.
"Aaaaa...!"
Pendekar Mabuk tersentak kaget. "Suara apa itu"!
Seseorang terbunuh"!" sambil matanya menatap Tirai Surga. Yang ditatap hanya
angkat pundak sambil
kembangkan kedua tangan.
"Itu sudah hukum yang berlaku bagi mereka."
"Bagi siapa"! Mereka siapa maksudmu"!"
"Kau mau lihat ke sana" Akan kutunjukkan jalannya!"
T irai Surga lebih dulu bergerak ke arah jeritan kematian itu. Pendekar Mabuk
segera mengikutinya, ia sangat penasaran dengan apa yang dikatakan T irai Surga
tadi. * * * 6 SET AN Ajak ditemukan tewas dengan luka lebar di dadanya. Pendekar Mabuk sempat
merasa heran dan
segera menatap T irai Surga. Gadis itu sunggingkan senyum tipis seraya berkata
dengan nada dingin.
"Dia gagal membunuhku, maka dia harus dibunuh!"
"Siapa yang membunuhnya"!"
"T emannya sendiri!" jawab T irai Surga kalem.
"Rupanya ia menjadi 'Utusan Maut' dari pihak perguruannya. Hukum yang berlaku di Perguruan Pintu Neraka, siapa pun yang
diangkat menjadi 'Utusan Maut'
akan dibunuh oleh teman sendiri jika gagal menjalankan tugasnya. Orang yang
diutus membunuh 'Utusan Maut'
dinamakan 'Utusan Ajal'. Dan bagi 'Utusan Maut' tak pernah tahu siapa teman
seperguruannya yang dijadikan
'Utusan Ajal', bahkan tidak tahu di mana sang 'Utusan Ajal' itu bersembunyi
menguntit tugasnya."
"Kejam sekali"!"
"Seperti itulah kekejaman hati si Beruang Iblis!"
"Mengapa bukan si 'Utusan Ajal' yang membunuhmu?"
"Sekalipun aku lewat di depannya, ia tak akan membunuhku, karena tugasnya hanya
lakukan hukuman mati bagi kegagalan si 'Utusan Maut'...."
Percakapan itu berlanjut sambil mereka sama-sama melangkah. Ketika senja mulai
menua dan sebentar lagi petang akan tiba, mereka menemukan sebuah gua di lereng
bukit. Gua itu tampaknya sering digunakan sebagai tempat beristirahat bagi para
pengembara atau pencari kayu. Sisa-sisa kayu bakar bekas api unggun masih ada di
dalam gua datar yang mempunyai langit-langit tinggi itu. Maka mereka pun tak
perlu mencari kayu bakar lagi, karena menurut Suto, sisa kayu bakar yang ada di
dalam gua jika dikumpulkan cukup untuk menghidupkan api unggun selama satu
malam. T ak jauh dari gua itu, ada telaga yang berukuran kecil yang bisa dipakai untuk
mandi. Airnya bening, dan berwarna kehijau-hijauan. Ketika Suto menyalakan api
unggun, T irai Surga sempatkan diri pergi ke telaga kecil itu.
"Haruskah aku membawa T irai Surga ke Pulau Sangon untuk temui si Bocah Emas?"
pikir Suto saat
gadis berjubah merah beludru itu belum kembali dari telaga kecil.
"Sepertinya gadis cantik itu akan mengikutiku terus sebelum mendapatkan satu-dua
ilmu dariku. Agaknya ia benar-benar
membutuhkan ilmu tersendiri untuk kalahkan si Beruang Iblis. Hmmm...! Tapi hal itu tak mungkin kulakukan, aku
takut melanggar peraturan dari Kakek Guru Gila T uak dan Bibi Guru Bidadari
Jalang," ucap batin Suto sambil tangannya menata kayu bakar agar nyala apinya tetap
stabil. "Kurasa aku harus berterus terang padanya tentang ketidaksanggupanku untuk
menurunkan satu ilmu pun padanya. Tentang dia mau ikut ke Pulau Sangon, itu tak
jadi masalah, selama ia sendiri tidak bikin masalah di perjalanan. Aku harus
cepat-cepat temui si Bocah Emas untuk dapatkan keterangan tentang kelemahan ilmu
'Gerhana Senyawa' itu."
T iba-tiba ucapan batin Suto terhenti, karena mendadak ia ingat sesuatu yang pernah dikatakan T irai Surga.
"Dia banyak mengetahui tentang Nyai Dupa Mayat"!
Apakah ia juga tahu kelemahan ilmu 'Gerhana Senyawa'
itu"! Hmmm... sebaiknya kutanyakan saja padanya.
Siapa tahu dia bisa jelaskan rahasia kelemahan ilmu gila itu"!"
Hati Suto Sinting agak cemas ketika T irai Sur ga sudah cukup lama belum kembali
ke gua. Ia se gera menyusul ke telaga kecil itu dengan penerangan sinar bulan
yang baru muncul seperempat bagian itu.
Setibanya di telaga, Suto tak temukan T irai Surga di sana. T api kemilau air
telaga yang terkena pantulan sinar bulan samar-samar itu menggoda hatinya,
sehingga ia pun sempatkan diri untuk mandi di telaga itu.
Selesai mandi, ia baru berpikir lagi tentang T irai Surga.
"Jangan-jangan aku tadi bersimpang jalan" Sebaiknya kutengok dulu keadaan di
dalam gua, mungkin ia sudah sampai di sana," pikir Suto, maka ia pun bergegas
kembali ke gua. T ernyata gadis itu sedang berdiri dengan cemas di depan pintu
gua, memandang ke sana-sini mencari Suto Sinting.
"Dari mana saja kau"! Bikin orang cemas saja!" omel T irai Surga sambil
mendahului masuk ke dalam gua tersebut. Suto hanya sunggingkan senyum kecil.
"Aku mencarimu. Kupikir kau hilang, karena terlalu lama berada di telaga."
"Aku mengejar ayam hutan!" sambil ia menuding ke atas api unggun, ternyata di
sana sudah ada ayam hutan yang sedang dibakar.
"Hmmm... pantas bau sedapnya tercium olehku dari bawah sana. Perutku jadi lapar
sekali, Tirai."
"Aku sengaja menangkapnya untuk santap malam kita, Guru."
"Guru..."!" Suto tertawa pelan. "Jangan mengigau memanggilku guru. Aku bukan
gurumu." "Walau hanya satu ilmu yang akan kau turunkan padaku, tapi kau tetap layak
kupanggil guru."
"T irai, tak akan satu pun ilmu yang kuturunkan
padamu, karena aku belum mendapat mandat dari
guruku sendiri. Aku takut melanggar larangan beliau."
Gadis itu diam saja, tapi wajahnya tampak menyimpan kekecewaan. Pendekar Mabuk berlagak tak hiraukan kekecewaan itu.
Sambil menggerai-geraikan rambut basahnya di dekat api unggun, Suto sempatkan
bicara kepada T irai Surga.
"Kalau kau memintaku membantu menundukkan si Beruang iblis atau siapa pun, aku
sanggup. T api kalau untuk menurunkan ilmu padamu, atau kepada siapa saja, aku
tak sanggup."
Gadis itu melepaskan jubah merahnya. Jubah itu
diletakkan di atas batu setinggi satu betis. Dari sana Tirai Surga terdengar
mengulang kata-kata Suto tadi.
"Jadi, kau bersedia membantuku tumbangkan si Beruang iblis?"
"Kenapa tidak, semasa Beruang Iblis tokoh aliran sesat yang perlu dimusnahkan"!"
Pendekar Mabuk bicara sambil membolak-balikkan
ayam bakar supaya tak sampai hangus, ia duduk di atas batu yang panjangnya
sedepa dan tingginya separo betis.
Batu itu menyerupai anak tangga, punya tempat lebih tinggi dan lebih rendah.
Suto duduk di tempat yang tinggi, sementara Tirai Surga datang mendekat, lalu
duduk di tempat yang agak rendah Itu.
"Kalau begitu, besok akan kubawa kau ke Lereng Curam, tempat Perguruan Pintu
Neraka berada!" ujar T irai Surga seraya membetulkan susunan kayu bakar paling
bawah. "Jangan besok!" potong Suto. "Besok aku harus pergi ke Pulau Sangon."
"Pulau Sangon..."! O, ya... aku pernah dengar nama Pulau Sangon yang di bawah
kekuasaan Ratu Remaslega itu."
"Pengetahuanmu cukup lumayan juga rupanya," puji Suto sambil memandang dan
sunggingkan senyum. Tirai Surga bagai tak hiraukan pujian itu.
"Mau apa kau ke sana?"
"T emui seorang sahabatku," jawab Suto, sengaja tak mau sebutkan nama si Bocah
Emas, karena takut
menjadi masalah tersendiri di rimba persilatan.
"Kekasihmu ada di sana?" pancing T irai Surga. Suto tertawa pendek.
"Aku tidak punya kekasih di Pulau Sangon."
"Lalu di pulau mana kekasihmu?"
"Di Pulau Serindu," jawab Suto terus terang, tapi justru membuat T irai Surga
mencibir tak percaya.
"Pulau Serindu adalah kekuasaan Ratu Gusti Mahkota Sejati yang bernama asli Dyah
Sariningrum. Orang-orang Pulau Serindu jarang yang punya kekasih dari tanah
Jawa. Kau tak perlu membual di depanku, Suto."
"Belum tahu dia," gumam hati Suto sambil bibirnya sunggingkan senyum lebar.
Mereka menikmati santap malam berupa ayam bakar
sambil T irai Surga bercerita tentang latar belakang kehidupannya. Bahwa ia
ternyata putri seorang panglima perang
dari sebuah kerajaan yang sudah tidak mempunyai sanak keluarga lagi. Sang ayah tewas dalam
peperangan ketika T irai Surga berusia delapan tahun.
Kemudian menyusul ibunya tewas ketika T irai Surga berusia sepuluh tahun.
Ia dan adiknya sempat melarikan diri ketika keturunan sang panglima perang itu dihabisi oleh seorang musuh dari Laut
Bangkai. Tapi sang adik
akhirnya meninggal juga setelah sama-sama berguru kepada Eyang Syakati dari
Gunung Waru. Sang adik tewas karena terkena jarum beracun dari lawannya.
T irai Surga mengaku bercita-cita ingin mengabdi kepada seorang raja, dan
berkeinginan keras menjadi panglima
perang dalam kerajaan itu. Ia ingin meneruskan profesi sang ayah dulu, namun selama ini ia masih merasa belum cukup
ilmu, sehingga tak berani melamar sebagai prajurit. Ia bersumpah tak akan
menikah sebelum menjadi seorang perwira di sebuah negeri.
"Apakah kau mampu menahan kehadiran cinta dalam usiamu sekarang ini?" tanya Suto
Sinting, saat itu mereka sudah menghabiskan ayam bakar tersebut.


Pendekar Mabuk 095 Dalam Pelukan Musuh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mengapa tidak" Buktinya sampai sekarang aku belum pernah jatuh cinta pada
seorang lelaki."
"Sulit dipercaya, gadis secantik kau tidak mengenal cinta seorang kekasih,
adalah suatu hal yang langka sekali."
"Secara manusiawi, kadang aku memang punya
keinginan bermesraan dengan seorang pemuda. Namun sampai sekarang, aku tak
pernah temukan pemuda yang sesuai dengan hatiku."
"Sampai sekarang belum ada pemuda, yang cocok dengan seleramu"!" Suto bernada
tak percaya. "Hmmm... hmmm...," T irai Surga sulit menjawab, karena ia sadar saat ini hatinya
selalu berdebar-debar penuh keindahan, karena merasa bangga dan bahagia bisa
berada dalam satu gua dan satu malam bersama Suto Sinting. Akhirnya gadis itu
diam membisu, hanya pandangi lidah api unggun yang menari-nari bagai seorang
penari telanjang.
"Mau minum lagi?" Suto menawarkan tuaknya setelah ia meneguknya beberapa kali. T
uak itu masih separo bumbung, Masih cukup untuk perjalanan ke
sebuah desa dan mengisinya kembali dari sebuah kedai.
T irai Surga menenggak tuak itu sedikit. Gerakan menengadah itu dipandangi oleh
Suto, sehingga gadis itu sempat grogi dan tuaknya tumpah di sekitar mulut dan
leher. "Ooh...!" Tirai Surga sempat tersenyum malu, dan hati Suto Sinting berdebaran
manakala melihat senyum itu begitu manis dan indahnya.
"Ini gara-gara kau pandangi aku terus!" gerutu si gadis sambil sembunyikan
senyum malunya.
"Kau cantik kalau sedang tersenyum begitu," ujar Suto Sinting dengan lembut. T
angannya menerima
bumbung tuak dan menutupnya kembali.
T irai Sur ga sengaja palingkan wajah. Dadanya
bergemuruh bagaikan ada tanah longsor di dalam dada itu. Pujian Suto terasa
semakin mendebarkan hati, membuat tangannya sempat gemetar halus.
"Sungguh cantik menurut pandanganku."
"Lupakan pujian itu," kata T irai Surga. "Aku bukan gadis yang gila pujian,"
"Apakah kau pikir aku sedang memujimu" Oh, tidak!
Kau salah duga, T irai. Aku bukan sedang memujimu, tapi sedang bicara dengan
hatiku sendiri. Kau tak perlu mendengarnya."
Si gadis menjadi salah tingkah. Namun ia cepat
kuasai getaran jiwanya itu dengan menelan napas
beberapa kali. Matanya tertuju ke arah api unggun, tak berani melirik Suto
Sinting yang ada di sebelah
kanannya. "Lehermu basah oleh tuak, T irai."
"Ya. Biar saja!"
"Boleh aku mengeringkannya?"
Se belum mendapat jawaban, Suto Sinting melepaskan bajunya, kemudian baju itu
dipakai untuk mengeringkan tuak yang membasahi leher T irai Surga. Ga dis itu
menjadi semakin gemetar dan serba salah. Keindahan yang ditimbulkan dari
sentuhan perbuatan Suto itu sangat menyentuh perasaannya, sehingga lidah pun
menjadi kelu. Hembusan napas dari hidung Suto terasa menghangat di pipinya,
karena jarak wajah mereka sangat dekat. Suara Suto yang membisik membuat Tirai
Surga semakin tak bisa bicara lagi.
"T irai, boleh aku mencium pipimu"!"
Pendekar Mabuk sengaja hadapkan wajah cantik itu pelan-pelan dengan menyentuh
dagu si gadis dan
menariknya ke samping. Mata indah itu ditatap lekatlekat oleh Suto Sinting. Si gadis tak bisa lari dari pandangannya,
ia pun merasakan kedamaian dan keteduhan di dalam hatinya manakala bola mata Suto itu dipandanginya tak
berkedip. "Bolehkah aku menciummu?" ulang Suto dalam bisikan. T irai Surga hanya bisa
membuat bibirnya merekah, dan bibir itu tampak gemetar jelas-jelas.
Akhirnya si gadis pejamkan mata pelan-pelan. Suto Sinting pun segera mencium
pipi si gadis yang berkulit halus dan lembut mirip kulit bayi itu.
Kehangatan yang menyiram wajah berhidung mancung itu bagai membakar sekujur tubuh. Si ga dis meremas tangan Suto, dan
Suto rasakan remasan itu punya getaran yang dapat dirasakan oleh tangan Suto.
"Suto...," gadis itu membisik ketika Suto ingin menarik wajahnya dari ciuman
pertama. Suara itu
terdengar parau dan lirih sekali. Napas yang terhembus dari hidung mancung itu
mengalir deras menghangat di wajah Suto Sinting.
Rupanya gadis itu tak ingin wajah Suto jauh dari wajahnya. Wajah itu pun
bergeser ke kiri, sehingga bibir mereka saling bersentuhan.
Maka bibir itu pun dikecup oleh Suto pelan-pelan.
Kecupan itu seperti mengambang, antara menyentuh dan tidak. Hati si gadis makin
berdesir bagai terbang. Bibir ranum itu dikecup-kecup oleh Suto Sinting, makin
lama semakin terasa jelas kecupannya. Akhirnya si gadis memeluk Suto kuat-kuat
setelah bibirnya terasa dilumat dengan lembut dan penuh kehangatan.
Si ga dis mencoba membalas kecupan Suto. Bibir Suto dipagutnya pelan-pelan. T
api Suto justru menyodorkan lidahnya. Si gadis pun memagut lidah Suto. Lalu ia
ingin rasakan jika lidahnya dipagut, maka ia pun ulurkan lidahnya dan Suto
Sinting memagut dengan lembut.
"Oooh... ternyata lebih nikmat dan indah sekali," ucap si gadis dalam hatinya,
ia memeluk Suto semakin kuat, karena merasakan ada sentakan dalam dada yang
menuntut keindahan itu berkepanjangan.
"Aku belum pernah rasakan keindahan seperti ini, Suto," bisiknya pelan ketika
Suto sengaja merebahkan kepala si gadis di dadanya. T angan kekar Pendekar Mabuk
itu memeluk hangat dan membuat hati si gadis bagai terlindung oleh perisai
kedamaian dan kemesraan.
"Betulkah selama ini kau belum pernah dicium seorang lelaki?"
"Aku berani sumpah mati sekarang juga kalau aku berbohong
padamu," jawab T irai Surga sambil meremaskan genggamannya ke tangan kiri Suto yang jatuh di pangkuannya. Sementara
tangan kanan Suto mengusap-usap rambut yang ada di kening si gadis.
Usapan itu membuat si gadis terasa kian terbuai oleh kemesraan yang baru pertama
kali dirasakan.
"Memang sudah lama aku ingin menikmatinya,
setidaknya merasakan seperti apa kemesraan seorang lelaki itu. T etapi... tak
pernah ada pemuda yang membuatku tertarik untuk melakukannya."
"Melakukan apa?" pancing Suto sengaja menggoda.
"Yaah, melakukannya seperti tadi," jawab T irai Surga
sambil tertawa kecil, malu-malu kelinci. Suto Sinting ikut tertawa seraya
mempererat pelukannya.
Gadis itu sedikit menengadah, wajahnya dihadapkan ke arah Suto. Lalu, ciuman
Suto Sinting mendarat lagi di pipinya. Ciuman itu bergeser ke bibir, dan si
gadis menyambarnya lebih dulu. Ia melumat bibir Suto Sinting dengan kelembutan
yang hangat. "Auh...!" Suto terpekik sambil menarik wajah ke belakang. Si gadis cekikikan,
sembunyikan wajah di dada Suto. Ia telah menggigit bibir pemuda itu karena
gemasnya. "Nakal kau ini!" sambil Suto Sinting menyentil ujung hidung T irai Surga. Si
gadis makin tertawa kegirangan, lalu tangannya merangkul Suto dan wajahnya
semakin dibenamkan di dada pemuda tampan itu. Sang pemuda memeluk dengan kedua
tangan. T api karena T irai Surga banyak
bergerak dalam tawanya, karena ia juga menggigit dada Suto dengan nakal, maka Suto pun jatuh terbaring dan si gadis
tiduran di dada pemuda itu.
"Suto, apakah kau benar-benar mau menolongku jika tak bisa turunkan ilmumu?"
"T entu saja, T irai Surga. Katakan, apa yang harus kulakukan untukmu?"
T irai Surga tak langsung menjawab, benaknya penuh pertimbangan, ia hanya
bermain anak rambut yang jatuh di samping leher Suto Sinting. Kepalanya
direbahkan di dada
bidang dalam posisi miring dengan wajah menghadap ke arah wajah Suto Sinting.
Agaknya si gadis ragu-ragu untuk katakan sesuatu,
sehingga ketika Suto mengulangi pertanyaannya, gadis itu hanya menjawab lirih.
"T idak. T idak ada yang perlu kau lakukan untukku selain berada di dekatku."
"T irai, mengapa kau berkata begitu?"
"Karena aku suka berada di dekatmu. Pada dirimulah kutemukan keindahan dan
kemesraan yang pertama
kalinya. Mungkin sulit bagiku untuk melupakan saat-saat indah seperti malam
ini." Pendekar Mabuk usapkan tangannya ke rambut gadis itu. Usapan yang pelan-pelan
membawa mereka dalam kebisuan. Si ga dis sengaja tak bicara untuk resapi usapan
lembut yang baru kali itu diperolehnya dari seorang pemuda.
"T irai...," Suto Sinting segera perdengarkan suara setelah mereka cukup lama
tenggelam dalam kebisuan.
"Benarkah kau tahu banyak tentang Nyai Dupa Mayat"!" Suto menyambung ucapannya.
"Mengapa kau bertanya begitu?"
"Aku ingin tahu kelemahan ilmu 'Gerhana Senyawa'
itu." T irai Surga bangkit pandangi wajah pendekar tampan yang masih berbaring tanpa
baju itu. "Mengapa kau ingin tahu kelemahan ilmu itu, Suto?"
"Jangan bertanya dulu. Ja wablah dulu pertanyaanku, T irai. Tahukah kau tentang
kelemahan ilmu 'Gerhana Senyawa' itu?"
T irai Surga diam sesaat bagai memikirkan sesuatu.
Kemudian suaranya terdengar dengan jelas sambil
gelengkan kepala. "Tidak, aku tidak tahu!"
Pendekar Mabuk pandangi wajah T irai Surga. Sorot mata gadis itu tampak
menyimpan kebohongan. Suto Sinting mengetahui ada sesuatu yang disembunyikan di
balik tatapan mata sayu gadis itu. T api ia ragu-ragu untuk mendesaknya.
"Aneh," ujar Suto dalam hati. "T iba-tiba hati kecilku merasa yakin kalau dia
tahu kelemahan ilmu itu"!
Mengapa naluriku mengatakan demikian"! Suatu saat aku pasti akan tahu rahasia
ilmu itu darinya. Mungkin sekarang ia masih ragu karena aku tak mau menurunkan
ilmu padanya, atau... atau dia sengaja ingin membuatku penasaran, sehingga aku
tetap bersamanya"! Oh, kalau begitu dia pandai membuat satu jeratan hati dengan
rahasia itu" Benar-benar aneh! T iba-tiba saja aku berpendapat seperti itu.
Padahal pendapatku itu belum tentu benar. Bisa saja salah!"
Suto Sinting sengaja berlagak melupakan pertanyaannya tadi. Ia mengalihkan dengan satu tanya yang segera dija wab dengan
anggukan kepala oleh si gadis. "Besok aku harus ke Pulau Sangon. Apakah kau mau
ikut ke sana juga?"
Suto Sinting hanya sunggingkan senyum tenang
ketika melihat kepala si gadis mengangguk. Lalu, si gadis ajukan tanya,
"Katakan dulu, untuk apa kau mau ke Pulau Sangon."
"Ada seorang sahabatku yang tahu tentang kelemahan ilmu 'Gerhana Senyawa' itu.
Aku ingin menanyakan padanya."
Wajah gadis itu tampak sedikit tegang karena
kecemasan mulai membersit lewat tatapan matanya. Suto Sinting sengaja
memperhatikan mata yang menyimpan keresahan kecil itu.
"Kurasa...," si gadis menelan ludah sendiri. "Kurasa tak perlu ke Pulau Sangon."
"Mengapa tak perlu"!"
"Hmmm... eehh...," setelah pandangannya serba
salah, T irai Surga akhirnya menatap Suto Sinting.
"Mengapa kau repot-repot ke sana, toh Nyai Dupa Mayat tidak mengincar nyawamu"!"
"Sebenarnya...."
"Ah, sudahlah! Kau tak perlu mencampuri urusan pribadi Nyai Dupa Mayat, salahsalah kau benar-benar menjadi korban berikutnya, Suto! Aku tak ingin kau
menderita nasib seperti Singa Bangka atau pemuda yang lainnya!"
Setelah bicara demikian, T irai Surga mulai tampakkan keresahan dan kecemasannya. Suto Sinting berkata dalam hatinya,
"O, rupanya ia resah dan gelisah karena takut kalau aku menjadi korban Nyai Dupa
Mayat"! Ia pasti akan merasa kehilangan sesuatu yang amat berharga kalau sampai
aku mati di tangan sang Nyai! T api ia belum tahu bahwa aku adalah si Pendekar
Mabuk itu. Haruskah kujelaskan padanya?"
* * * 7 BUKAN hanya Suto Sinting yang mengetahui ke
mana arah menuju Pulau Sangon. T etapi mantan prajurit istana Kematian yang
bermata biru itu juga mengetahui arah ke Pulau Sangon. Pandawi akhirnya
mengarahkan langkah kakinya ke sana setelah berputar-putar mencari Suto Sinting
tak ditemukannya.
Gadis berba dan tinggi sekal itu akhirnya menjalin hubungan kerja sama dengan
Dewi Kun, karena mereka sama-sama merasa kehilangan Pendekar Mabuk. Mereka juga
sama-sama merasa harus menemukan Suto. Perkara nanti jika sudah bertemu mereka
harus bertarung lagi karena rasa iri, itu tak masalah bagi mereka.
"Jika ingin kalahkan ilmu 'Gerhana Senyawa' harus tahu rahasianya. Dan si Bocah
Emas pasti tahu rahasia itu, karena ia kuasai seluruh rahasia kelemahan ilmu apa
pun!" ujar Dewi Kun yang membuat Pandawi merasa perlu juga datang ke Pulau
Sangon dan menanyakannya kepada si Bocah Emas.
Dugaan Pandawi memang benar, Suto Sinting tetap
ngotot dalam hatinya untuk temui si Bocah Emas. Ia membawa T irai Surga ke arah
Pulau Sangon dengan alasan hanya sekadar ingin tahu rahasia ilmu tersebut.
"Aku tidak akan melawan Nyai Dupa Mayat. Aku hanya ingin tahu saja rahasia
tersebut, sebagai bekal pengetahuanku di masa mendatang," tambah Suto dalam
ajukan alasan yang kira-kira bisa diterima oleh akai sehat Tirai Surga, dan
tidak timbulkan kecurigaan yang
mencemaskan gadis itu.
Namun langkah Pendekar Mabuk dan T irai Surga
terhenti karena suara orang bicara di balik kerimbunan pohon bambu hutan. Suarasuara itu sangat dikenali oleh Suto Sinting. Oleh sebab itu, Suto membawa T irai
Surga ke jalan setapak yang menuju balik pepohonan bambu itu.
"T ak ada gunanya kita saling berbaku hantam lagi, jika ternyata kita sama-sama
kehilangan dia!"
"Ini semua gara-gara ulahmu. Pakar Pantun!"
"Ulahmu juga, Jalu K uping! Lain kali kau tidak boleh lakukan cara seperti itu.
Kurasa bocah itu akan bersedia membantumu


Pendekar Mabuk 095 Dalam Pelukan Musuh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jika kau jelaskan perkara yang sebenarnya!"
Mereka adalah dua tokoh tua yang sudah tiga hari ini kebingungan mencari
Pendekar Mabuk. Resi Pakar
Pantun dan Jalu Kuping sempat dibuat jengkel oleh tingkah mereka sendiri.
Akhirnya saling menyadari bahwa perselisihan itu tak perlu terjadi.
Mereka memang sudah bertemu dengan si Kadal
Ginting, sehari setelah Kadal Ginting sendiri kebingungan mencari majikannya. Tapi ternyata menemukan Pendekar Mabuk tidak semudah menemukan Kadal Ginting. Namun mereka sudah
mendapat penjelasan arah kepergian Suto saat bersepakat dengannya mencari kedua tokoh tua itu.
Maka ketika Suto Sinting muncul dari satu arah,
Kadal Ginting lebih dulu berseru sambil menunjuk ke arah Suto.
"Itu dia orangnya!"
Resi Pakar Pantun dan Jalu Kuping sama-sama
menengok ke arah yang ditunjuk Kadal Ginting, lalu wajah mereka sama-sama tampak
lega melihat Suto
Sinting berjalan dengan gagahnya. Tetapi mereka sempat berkerut dahi ketika
melihat di samping Suto ada gadis cantik yang melangkah seiring, bahkan
tangannya digandeng mesra oleh Suto Sinting.
"Siapa lagi gadis itu"!" gumam Resi Pakar Pantun.
"Setiap kujumpa dia selalu saja ganti-ganti wajah gadis pendampingnya."
Jalu K uping menyahut lirih, "Kita dulu juga pernah muda, bukan"!"
Senyum keramahan Suto mengawali percakapan
mereka. Namun terlebih dulu sang Resi segera lepaskan pantunnya sambil sesekali
melirik ke arah Tirai Surga.
"Telur tokek beranak m enjangan,
jatuh ke lum pur langsung dimakan.
Jika tangan sudah bertemu tangan,
orang tua pun dianggap boneka pajangan."
Pendekar Mabuk tertawa pelan seperti orang menggumam, T irai Surga tersipu malu, karena sebelum muncul tadi Suto Sinting
sudah jelaskan siapa-siapa mereka bertiga itu. Maka gadis itu pun tampakkan
sikap bersahabat tanpa kecurigaan apa pun.
"Eyang Resi, Ki Jalu K uping... perkenalkan, ini T irai Surga, murid si
Perguruan T elaga Murka."
Jalu Kuping menyahut, "Ooo... jadi kau muridnya si Gampar Sewu"!"
"Benar, Ki! Aku murid Eyang Gampar Sewu!" jawa b T irai Surga dengan sopan.
Resi Pakar Pantun segera utarakan maksudnya, yaitu tugas memanggil Suto untuk
hadiri penyerahan Pedang Jagal Keramat kepada Karina Larasita, murid si Burung
Bengal. "Secepatnya kedatanganmu ditunggu di Lembah Sunyi, Suto!"
"T api sebaiknya ke pondokku dulu, Suto," sahut Ki Jalu Kuping yang segera
jelaskan perkara muridnya itu.
Suto Sinting dan T irai Surga saling pandang ketika mereka mendengar nama jurus
'Mati Raga' disebutkan.
"Setahuku, jurus itu dulu milik Bega wan Dawung Gada. T api beliau sudah lama
meninggal," ujar Ki Jalu Kuping. "Aku tak tahu siapa orang yang memiliki jurus
itu sekarang ini, Suto. Karenanya..,."
"Nyai Dupa Mayat!" sahut
Suto Sinting cepat
membuat Jalu Kuping hentikan ucapannya dan terkesiap pandangi Suto Sinting.
"Benar, Ki. Jurus 'Mati Raga' dikuasai oleh Nyai Dupa Mayat," timpal T irai
Surga. "Aku tahu persis dia memiliki ilmu itu."
"Dan juga ilmu 'Gerhana Senyawa'...," tambah Suto Sinting.
Resi Pakar Pantun dan Jalu Kuping tertegun tak
berucap satu kata pun.
"Dan sekarang dia sedang mencariku, Eyang Resi,"
ujar Suto membuat T irai Surga melirik heran. Suto tak pedulikan lirikan itu. Ia
tetap menyambung kata-katanya.
"Nyai Dupa Mayat mencariku untuk balas dendam, karena muridnya yang bernama Dewi
Ranjang tumbang di tanganku ketika kami berebut pusaka Pedang Jagal Keramat
itu." Resi Pakar Pantun manggut-manggut. "Sudah kuduga si Pratiwi akan turun tangan
juga demi membela
muridnya. T api aku tak tahu kalau Pratiwi alias Nyai Dupa Mayat itu menguasai
ilmu 'Gerhana Senyawa', itu ilmu paling berbahaya. Sebaiknya hindari pertarungan
dengannya, Suto."
"Rasa-rasanya sulit, Eyang. Sebab ia tak akan hentikan
pencariannya sebelum bertemu muka denganku!"
T irai Surga semakin kerutkan dahi. "Ini orang kalau ngomong sembarangan saja!"
gumamnya dalam hati.
"Apa maksudnya bicara begitu"!"
Di kaki bukit itu, ternyata mereka dikejutkan oleh kemunculan seorang pemuda
yang bersenjata toya
bambu kuning. "Santana..."!"
sapa Suto Sinting agak keras. Wajahnya sedikit tegang melihat Santana berlari-lari dengan kesan panik.
"Ooh... kebetulan kau ada di sini, Suto! Ooh. ooh...,"
Santana terengah-engah.
"Kalau tak salah lihat, ini kan muridnya Banyudana ailas si Dewa Bandot dari
Pulau Parang"!" ujar Resi Pakar Pantun.
"Benar, Kek... aku... aku muridnya Eyang Dewa Bandot!" jawab Santana sambil
berusaha menenangkan
napasnya. "Apa yang terjadi, Santana"!"
"Aku sendiri tak tahu mengapa harus terjadi. Padahal kami sudah berusaha untuk
tidak menemuinya. Tapi...."
"Yang kutanyakan; apa yang terjadi sampai kau ngos-ngosan dan tegang begitu"!"
tegas Suto dengan suara agak keras.
"Oohhh..."!!" Santana justru terbelalak kaget dan wajahnya memancarkan rasa
takut yang lebih besar lagi.
Pandangan matanya yang melebar itu tertuju ke arah T irai Surga.
"Sssu.... Suto, sebaiknya jangan berada dekat gadis itu! Cepat ke sini!"
"Apa-apaan kau ini, Santana"!" Suto agak menyentak karena keheranannya. Bukan
hanya Suto Sinting yang merasa heran melihat sikap Santana yang tampak takut
memandang T irai Surga, tapi juga Resi Pakar Pantun, Kadal Ginting, dan Ki Jalu
Kuping ikut heran terhadap tingkah Santana.
"Lekas, Suto...! Lekas kemari, jangan dekat-dekat dia! Kau akan mati, Suto!"
Suto Sinting memandang bingung ke arah Santana
dan T irai Surga secara bergantian. Pada mulanya Tirai Surga juga merasa heran
melihat tingkah Santana. Tapi lama-lama ia tersinggung juga ketika Santana
berseru dengan wajah tegang,
"Suto, dia bukan gadis yang pantas bersahabat denganmu! Dia adalah racun maut
yang akan merenggut nyawamu!"
"Bicara apa kau sebenarnya, Keparat!!" bentak T irai Surga mulai tampakkan
kemarahannya, ia ingin maju menyerang Santana, tapi segera dihalang-halangi oleh
Resi Pakar Pantun.
"T unggu! Sa barlah, T irai Surga...!"
"Dia menghinaku sedemikian rupa, Eyang Resi!"
"Biar Suto yang selesaikan! Serahkan masalah ini kepada si Pendekar Mabuk itu!"
"Pendekar Mabuk..."!" T irai Surga terkejut, wajahnya tersentak mundur bagai ada
petir yang menyambar
giginya, ia memandang Suto dan sang Resi secara
bergantian sambil melangkah mundur. T indakan itu membuat Suto Sinting menjadi
sangat heran terhadap T irai Surga.
"T irai... mengapa kau menjadi setegang itu"! Aku memang
Pendekar Mabuk. T api kau tak perlu menatapku dengan cara seperti itu, T irai...!"
"T idak...!" sentaknya sambil si ga dis ingin menangis.
Ketika Suto mendekatinya, ia justru melangkah mundur dengan cepat.
"T irai, aku tak bermaksud jahat padamu, mengapa kau takut"!"
"T idak! Jauhi aku! Jauhi aku, Suto.,..!" si gadis kini benar-benar menangis.
Air matanya membasah di pipi dan ia tetap melangkah mundur pelan.
"Santana! Apa yang terjadi sebenarnya dengan gadis itu"!" tegur Ki Jalu Kuping,
"Gadis itu memang cantik. Kuakui kecantikannya...."
"Yang kutanyakan, ada apa dengan gadis itu"!"
sentak Ki Jalu K uping jika ja waban Santana terasa akan tak sesuai dengan
pertanyaannya. "Oh, hmmm... gadis itu... gadis itu adalah utusan Nyai Dupa Mayat! Aku dan
guruku sendiri melihat ia menghadap Nyai Dupa Mayat bersama seorang gadis
yang bernama Wigati. T api Wigati tewas karena banyak menentang Nyai Dupa Mayat.
Satu-satunya orang yang menjadi utusan sang Nyai adalah dia!"
Pendekar Mabuk mulai gemetar. Dadanya bergemuruh karena jantungnya menyentak-nyentak. Ia sempat tak percayai kata-kata
Santana. "Jangan menyebar fitnah di depanku, Santana!"
"Aku berani bersumpah, Suto! Dia adalah utusan Nyai Dupa Mayat! T ugasnya
menangkapmu dengan
bujukan dan membawanya kepada Nyai Dupa Mayat, ia mendapat
upah cukup besar, yaitu ilmu 'Gerhana
Senyawa' yang akan diturunkan padanya jika ia berhasil menjebakmu!"
"T idaaaakkk...!!"
T irai Surga berteriak sekeras-kerasnya, kemudian ia melesat pergi sambil
membawa tangisnya yang bukan sekadar tangis kacangan. Blaas, blaas, blaas...!
Dalam waktu singkat ia sudah berada di tempat jauh. Tapi telinga Suto Sinting
seperti masih mendengar suara isak tangisnya yang mengharukan.
"Jangan kejar dia!" cegah Ki Jalu Kuping ketika Suto Sinting tampak ingin
bergerak mengejar T irai Surga.
Sang pendekar tampan hanya diam di tempat dengan napas memburu. Napasnya sudah
mulai berubah menjadi
napas badai. T anah yang berhadapan dengan arah
hidungnya menjadi berongga, rumputnya tercabut dengan sendirinya. Jurus 'Napas T uak Setan' sudah mulai bekerja dengan
sendirinya karena kemarahan Suto mulai menggumpal di dada.
Untung Resi Pakar Pantun dan Ki Jalu Kuping segera menghibur hingga kemarahan
yang tak mengerti harus dicurahkan kepada siapa itu mulai surut. Perhatian Suto
mulai terarah kembali kepada Santana.
"Santana, di mana gurumu sekarang"!" tanya Suto Sinting, masih ingin mendengar
sendiri pengakuan itu dari si Dewa Bandot.
"Guruku adalah Dewa Bandot, ia memang sudah tua tapi...."
"Di mana gurumu sekarang"!" bentak Suto Sinting, suaranya menggetarkan hati
jantung setiap orang yang ada di situ, termasuk si Kadal Ginting yang kedua
kakinya gemetar sekali bagai nyaris kehilangan kekuatan untuk berdiri.
"Guruku..."! Ooh, ya... hmmm... guruku ada di balik bukit itu! Beliau sedang
membantu Pandawi dan...."
"Ada apa dengan Pandawi"!" sentak Suto karena terkejut mendengar nama Pandawi.
"Yang kutanyakan, ada apa dengan Pandawi! Jawa b yang benar!" ulang Suto.
"Pandawi..."! Hmmm... o, ya.... Pandawi sedang berhadapan dengan Nyai Dupa
Mayat!" "Apaa..."!" suara Suto menyentak lagi, tampak semakin tegang.
"Guruku berusaha untuk selamatkan Pandawi",
karena kukatakan bahwa Pandawi adalah kekasihmu.
Benar dan tidaknya, dibetulkan nanti saja! Yang jelas...."
Zlaaap, zlaaap...! Pendekar Mabuk tahu-tahu sudah ada di lereng bukit tanpa
menunggu Santana selesai bicara. Resi Pakar Pantun segera berkata kepada Ki Jalu
Kuping. "Dia pasti menuju ke pertarungan itu!"
"Ikuti dia!" ujar Ki Jalu Kuping. Maka mereka pun bergegas mengikuti Suto
Sinting. T ernyata apa yang dikatakan Santana memang benar.
Di balik bukit itu ada pertarungan. Pertarungan itu terjadi antara Pandawi
dengan Nyai Dupa Mayat.
Pada mulanya Pandawi berdua bersama Dewi Kun
dalam perjalanan menuju pantai, karena mereka ingin menuju ke Pulau Sangon. T
etapi begitu melihat kelebatan Nyai Dupa Mayat, dendam Dewi K un
bergolak teringat kematian adik bungsunya dan beberapa orang Kuil Perawan Ganas.
Dewi Kun menyerang Nyai Dupa Mayat lebih dulu
dengan pukulan bersinar biru. T api pukulan itu bisa dipatahkan oleh sang Nyai.
Maka bertarunglah Dewi Kun dengan Nyai Dupa
Mayat. Sementara itu, Pandawi mengincar kelengahan Nyai Dupa Mayat secara diamdiam. T indakan itu
dilakukannya karena Pandawi takut kalau sang Nyai nantinya justru akan


Pendekar Mabuk 095 Dalam Pelukan Musuh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menewaskan Pendekar Mabuk.
T etapi dalam beberapa gebrakan saja Dewi Kun telah diterjang oleh bayangan sang
Nyai. Ketika perempuan
tua berkelebat ke kiri, bayangannya berkelebat ke kanan dan lakukan pukulan ke
arah Dewi Kun. Bluub...! Wuuurss...!
Maka hanguslah tubuh Dewi Kun seketika itu juga
tanpa sempat memekik, ia menjadi abu dan tumpukan arang yang mengerikan.
Kejadian itu bukan saja dilihat oleh Pandawi sendiri, namun Santana dan Dewa
Bandot melihatnya, sebab mereka memang sempat kehilangan arah ketika mengikuti
jejak sang Nyai. Secara kebetulan mereka
melewati tebing bukit, sehingga melihat pertarungan tersebut dari atas sana. Maka turunlah Santana dan gurunya.
"Lari dan bersembunyilah! Jangan sampai Dupa Mayat melihatmu, nanti kau disangka
Pendekar Mabuk, sebab katamu dia belum tahu seperti apa si Pendekar Mabuk itu.
Maka pergilah, jauhi tempat ini. Aku akan mencoba menenangkan murkanya!" ujar
Dewa Bandot kepada muridnya. Maka Santana pun berlari menjauh sampai akhirnya
bertemu dengan Suto Sinting.
Pada saat Suto tiba di tempat itu, Dewa Bandot telah terkapar terkena jurus
'Mati Raga' dari sang Nyai.
Pada kala itu Dewa Bandot baru berkata, "Pratiwi, kumohon jangan gunakan ilmu
'Gerhana Senyawa' itu!
Kau boleh membalas dendam kepada Pendekar Mabuk, tapi jangan gunakan ilmu
terkutuk itu. Kemenanganmu tak akan sempurna dan...."
"Jangan banyak bicara kau. Dewa Bandot!" bentak sang Nyai, lalu jurus 'Mati
Raga' pun dilepaskan. Dewa Bandot tak menduga, dan berusaha menghindar tapi
gagal. Akhirnya ia terkapar tanpa bisa bergerak sedikit pun.
Kepada Pandawi sang Nyai berseru, "Kau...! Mengapa kau tak jadi menangkap Pendekar Mabuk dan menyerahkannya padaku, hah"!
Kau ingin menjadi
pengkhianat bagiku, Pandawi"!"
"Kurasa lebih baik aku membunuhmu daripada
Pendekar Mabuk yang kau bunuh. Nyai!" ucap Pandawi dengan tegas. Srraang...! Ia
segera mencabut pedangnya tanpa tanggung-tanggung.
"Gadis busuk!" geram Nyai Dupa Mayat, kemudian ia menyerang dengan satu lompatan
cepat. Pandawi perhatikan bayangan sang Nyai. Ia berusaha hindari bayangan itu,
namun justru terkena tendang kaki Nyai Dupa Mayat dengan telak. Buuuhk...!"
"Heeehhk...!!" Pandawi terlempar ke belakang dan jatuh setelah membentur pohon
besar. T ubuhnya sampai terpental ke depan lagi karena kerasnya benturan itu.
Pedang pun terlepas dari tangannya, dan napas menjadi sesak, dada terasa jebol
akibat tendangan telak tadi.
Pandawi berlutut ingin bangkit, tapi bayangan hitam Nyai Dupa Mayat bergerak
melesat mendahului raga sang Nyai. Wuuus...!
Saat itu pula sekelebat bayangan menyambar tubuh Pandawi. Zlaap...! Wuuut...!
Bayangan sang Nyai tak kenai tubuh Pandawi, karena tubuh itu lenyap sebelum
bayangan mendekatinya.
Pandawi sudah berada di sisi lain dalam jarak delapan langkah dari Nyai Dupa
Mayat. Di samping Pandawi
berdiri seorang pemuda tampan yang tak lain adalah Pendekar Mabuk.
Sang Nyai pandangi pemuda tampan itu ketika
bayangan hitamnya menyatu kembali dengan kakinya yang menapak di tanah. Suto
Sinting menatap tanpa berkedip ke arah Nyai Dupa Mayat. Namun ia sempat berbisik
kepada Pandawi tanpa berpaling memandang gadis itu.
"Menjauhlah...! Sudah saatnya ia harus bertemu denganku! Lekas menjauh dan
hindari bayangannya!"
"T api, Suto...."
"Jangan banyak bicara! Pergi sana!" geram Suto Sinting sambil meraih bumbung
tuaknya dari pundak.
Pandawi pun segera menyingkir, namun tetap memasang kewaspadaan untuk sewaktuwaktu lepaskan pukulan guna membantu Suto Sinting.
"Akulah orang yang kau cari, Nyai! Aku si Pendekar Mabuk yang ingin kau bunuh
itu!" "Bagus! Rupanya pekerjaanku sudah akan selesai!
Bersiaplah mati demi menebus nyawa murid kesayanganku, Pendekar Mabuk! Heeaat...!"
T ubuh sang Nyai melayang hendak menerkam, tapi
Suto Sinting juga segera melayang menyambut serangan itu dengan bumbung tuak
diputar di atas kepala.
Wuuus...! Wuuung...!
Bumbung tuak disabetkan, namun kedua tangan Nyai Dupa
Mayat menangkis dengan
lengan. Duaar...! Benturan bumbung tuak dengan kedua tangan timbulkan ledakan, menandakan kedua
lengan Nyai Dupa Mayat
telah dilapisi tenaga dalam cukup tinggi.
Sang Nyai memang terpental dan jatuh terbanting, tapi kedua tangannya tetap utuh
dan tak merasakan sakit sedikit pun.
"Edan! Baru sekarang ada orang kuat menahan pukulan bumbung tuakku"!" gumam Suto
dalam hati sambil tapakkan kakinya kembali ke tanah.
Nyai Dupa Mayat kembali lakukan serangan dengan
satu lompatan menendang ke samping. Wees...! Pada saat itu bayangan hitamnya
mulai bergerak lebih cepat dari gerakan tubuh sang Nyai. Suto hampir saja
terpancing gerakan melompat lawannya. Semula Suto hanya akan bergeser ke samping
dengan menggeloyor seperti orang mabuk, lalu akan sodokkan bumbung
tuaknya. T api melihat bayangan hitam lawannya tampak
bergerak lebih cepat, konsentrasi Suto sempat dibuat kacau.
T iba-tiba terdengar suara berseru dari atas pohon terdekat, "Hancurkan dia,
Sutooo...!!"
Wuuurss...! Selembar Jubah merah beludru melayang, dilemparkan oleh seseorang yang ada di atas pohon. Jubah itu melebar
di udara dalam gerakan
memutar melayang-layang di atas kepala Nyai Dupa Mayat. Dengan begitu cahaya
matahari menutupi sang Nyai dan bayangan hitamnya hilang seketika. Pendekar
Mabuk pun segera sodokkan bumbung tuaknya ke arah kaki sang Nyai. Buuhk...! Lalu
meliukkan badan ke tanah dan menyodokkan kembali bumbung tuaknya ke
perut sang Nyai. Blaaarr...!
"Aaaaaaahh...!!"
Perut berlapis tenaga dalam itu robek seketika
bersama bunyi ledakan keras setelah terkena sodokkan bumbung tuak dari jurus
'Mabuk Lebur Gunung' dari Suto Sinting. Jeritan histeris pun terlontar dari
mulut nenek berjubah abu-abu itu.
Nyai Dupa Mayat akhirnya jatuh terpuruk tanpa
gerak lagi dalam keadaan tak berdaya. Jubah merah beludr u milik T irai Surga
itu jatuh menutupi tubuh sang Nyai. Bruuuk...!
"T irai..."!" seru Suto Sinting setelah lawannya tak bergerak-gerak lagi. Ia
memandang ke arah pohon di mana gadis cantik yang menjadi utusan Nyai Dupa
Mayat itu telah berubah pikiran dan berada di pihak Pendekar Mabuk.
Jubah merah itu telah menyelamatkan nyawa Suto
dari terjangan bayangan Nyai Dupa Mayat. Seandainya jubah T irai Surga tidak
menjadi payung penutup raga sang Nyai dari sinar matahari, mungkin Suto sudah
menjadi abu dan arang seperti nasib Dewi Kun.
T irai Surga segera dekati jubahnya dan mengambil jubah itu. Wuuuut...! T
ernyata Nyai Dupa Mayat sudah tak bernyawa, sekujur tubuhhya menjadi hitam dan
muiai membusuk akibat sodokan bambu saktinya Pendekar Mabuk tadi.
"Dia telah mati!" ujar T irai Surga dengan nada dingin. "Kematiannya sama dengan
kepergian bayangan iblis dari ilmu 'Gerhana Senyawa'! Kau tak perlu
khawatir lagi!"
"T irai... kau telah selamatkan nyawaku! Aku...."
"Karena aku masih ingin jumpa denganmu di lain waktu!" sahut T irai Surga,
kemudian melesat pergi tanpa pamit lagi. Kedua matanya masih digenangi air yang
ditahan agar tak menitik di depan siapa saja.
Pandawi segera dekati Suto Sinting dan bertanya
penuh curiga, "Siapa dia sebenarnya?"
"Seorang sahabat," jawab Suto Sinting dengan masih terbengong pandangi kepergian
T irai Surga, sang utusan maut
yang menjadi pengkhianat
majikannya demi
kenangan indah di saat ia dan Suto berada di dalam gua.
Pandawi mendengus kesal, Suto Sinting tak terlalu hiraukan sikap gadis bermata biru. Ia
segera dekati Resi Pakar Pantun yang berdiri bersama Ki Jalu K uping, Santana,
dan Kadal Ginting. Mereka berada di dekat si Dewa Bandot. Jurus 'Mati Rasa' itu
akhirnya berhasil dikalahkan oleh kesaktian tuak Suto yang diminumkan ke mulut
Dewa Bandot. Sang Guru dari Pulau Parang itu menjadi
sehat seperti sediakala. Demikian pula dilakukan Suto untuk Badra Sanjaya pada hari berikutnya. T api di pihak lain, Pandawi masih penasaran dan ingin mengetahui hubungan apa
yang terjadi antara Suto Sinting dengan T irai Surga itu.
SELESAI PENDEKAR MABUK Se gera menyusul!!!
T AWANAN BERMATA NAKAL
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Ke isel
Conve rt & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: De wi KZ
http://kangzusi.com
http://dewi-kz.info/
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
Bunga Ceplok Ungu 5 Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong Kelana Buana 25

Cari Blog Ini