Ceritasilat Novel Online

Harta Tanjung Bugel 2

Pendekar Naga Geni Harta Tanjung Bugel Bagian 2


lawannya serta menyelidiki akan kemungkinan kemungkinan kelemahan lawan yang
dapat ditembusnya. Maka sejurus kemudian keduanya melesat saling
menyongsong dengan cepatnya hingga sepintas lalu
tampak seperti dua bayangan yang bersambaran di udara.
Kali ini Lawunggana betul-betul menyiapkan pemusatan tenaga dalamnya ke arah
kaki dan tangannya. Setiap
pukulan yang ditimbulkan akan berarti maut bagi
lawannya. Sedang Pendekar Bayanganpun lebih waspada. Begitu
jarak mereka bertambah dekat, segera pendekar bertopeng bertindak.
"Hyaaat!" Lawunggana mulai menyeringai! Kedua
tangannya menerkam, masing-masing ke arah kepala dan dada Pendekai Bayangan,
sedang kedua kakinya siap pula melancarkan tendangan rahasia, bila serangannya
gagal. Akan tetapi Pendekar Bayangan yang berilmu tinggi se-tingkat dengan panembahan
Tanah Putih dari Asemarang ini, tidak terkejut dengan serangan maut Lawunggana
yang sehebat itu.
Bahkan ia menyongsong dengan tenangnya dan sejurus
kemudian terjadilah adegan yang sukar dipercaya oleh mata. Tangan kiri Pendekar
Bayangan menyelusup di
bawah ketiak Lawunggana serta sekaligus mencengkeram bajunya sementara tangan
kanannya bergerak siap
menotok tengkuk Lawunggana.
"Haaackk!" terdengar jeritan pendek dari mulut
Lawunggana begitu ujung jari tangan kanan Pendekar
Bayangan menerjang tengkuknya, disusul rasa kesemutan yang menggerayang seluruh
tubuhnya dan akhirnya semua-semua pandangan matanya menggelap. Ia mengantuk dan
sejurus kemudian tubuhnya lemah lunglai bagaikan
seorang bayi tertidur pulas dalam pelukan ibunya.
"Heh, heh, heh, tidurlah dengan pulas, anak bandel!!"
ujar Pendekar Bayangan seraya mengempit tubuh
Lawunggana yang dibawanya ke arah selatan berloncatan dari batu ke batu dan
langsung menuju ke Desa Mijen!
Pada saat yang sama pula tiba-tiba pintu pondok Ki
Bango Wadas menjeplak dan si pendekar botak itu
meloncat keluar. Pandangan matanya liar menatap ke arah sungai dan cepat-cepat
ia melesat ke selatan.
"Aku mendengar teriakan-teriakan!" gerundal Ki Bango Wadas. "Memang si
Lawunggana tengah berlatih di sungai, tapi..... sekarang tidak kelihatan lagi
loncatan-loncatan tubuhnya!"
Si botak inipun segera berloncatan ke batu-batu di
tengah sungai untuk mencari murid tunggalnya ke sana ke mari sampai beberapa
saat lamanya. Bagaimanapun ia kejamnya terhadap murid tunggalnya
ini, namun ketika Lawunggana tidak ketemu maupun
dijumpai batang hidungnya, Ki Bango Wadas menjadi
cemas pula hatinya.
"Ooh, mungkinkah dia minggat"! Tak mungkin begitu!"
desah Ki Bango Wadas sendirian. "Ia masih berada di bawah pengaruhku! Ia
mendapat celaka!" Sekali lagi si botak itu berloncatan ke sana ke mari mencari
Lawunggana kalau-kalau tubuh muridnya hanyut atau
tersangkut di batu-batu.
"Tidak ada! Heh, lalu ke mana bocah, ini" Ataukah ...
ataukah dia ditangkap oleh seseorang"!" ujar Ki Bango Wadas. "Dan ke mana aku
harus mencarinya?"
Beberapa saat Ki Bango Wadas termangu-mangu
seorang diri di atas sebuah batu di tengah sungai, karena memikirkan muridnya.
Tiba-tiba, sejurus kemudian pendekar botak inipun
tertawa terbahak-bahak, terkekeh sendirian sambil berkata, "Lawunggana minggat"
Lawunggana hilang" Hah, ha, ha, ha, ha, ha, ha, ha, ha, ha. Itupun ada baiknya
bagi diriku sebab bagian emasnya akan segera menjadi milikku!
Kini sekutuku tinggal empat orang lagi! Ha, ha, ha, ha...."
Habis berkata begitu, Ki Bango Wadas berbalik dan
melesat ke arah utara, kembali ke pondoknya di daerah muara Kali Serang.
Lima hari kemudian Matahari makin bertambah tinggi
menyoroti segenap permukaan bumi Daerah muara Kali
Serang yang semula masih suram oleh kabut pagi, kini menjadi terang benderang.
Suara deburan ombak laut
utara sayup-sayup terbawa oleh angin laut ke selatan, bagaikan nyanyian merdu
yang menggapit hati.
Ki Bango Wadas duduk di atas sebuah batu hitam di
depan pondoknya, sambil menggosok duri-duri logam pada senjata penggadanya.
Ketika dari arah timur ia melihat empat sosok tubuh berjalan ke arahnya, Ki
Bango Wadas segera menghentikan pekerjaannya seraya menengok ke arah timur.
"Nah itulah mereka telah datang!"
Keempat orang yang datang itu adalah Bido Teles,
Sigayam, Bujel dan Blending. Mereka berjalan dengan tegapnya ke arah Ki Bango
Wadas. "Selamat datang kawan kawan!" ujar Bango Wadas
menyambut tamunya dengan senyum lebar. "Saudarasaudara datang pada waktunya!"
"Tentu saja Ki Bango, sebab kami sudah tidak sabar
dengan harta Tanjung Bugel itu!" ujar Sigayam. "Dan inilah ketua kami, Bido
Teles dari Tanjung Jati!"
Ki Bango Wadas segera memperkenalkan diri kepada
ketua rombongan yang bernama Bido Teles tadi. Orangnya berperawakan tinggi
berwajah angker dengan hidung
melengkung dan mata yang tajam dan cekung ke dalam.
Mata itu seolah-olah mengingatkan pada seekor burung yang juga bernama bido dan
bermata tajam! Dengan senangnya Ki Bango Wadas cepat-cepat
mempersilakan tamunya masuk ke dalam pondok. Mereka duduk di sebuah balai-balai.
"Eh, aku tak melihat muridmu, si Lawunggana itu. Ki Bango Wadas." ujar Sigayam.
"Heh, heh, heh, dia lagi kuberi sebuah tugas untuk
beberapa hari." ujar Ki Bango Wadas mengelabui tamunya.
"Dan mungkin aku pula yang merangkap tugasnya nanti!"
"Itu tak menjadi soal Ki Bango!" Sambung Bido Teles.
"Yang penting adalah andika sendiri!"
"Heh, heh, heh, memang begitu, saudara Bido Teles!
Apa rencana kita kemudian"!" bertanya Ki Bango Wadas kepada si pendekar bermata
cekung ini. "Kita harus mendapatkan kalung permata itu dari
tangan Ki Lurah Mijen." kata Bido Teles. "Dengan kalung permata hijau tadi, kita
dapat segera mengetahui letak harta terpendam dari Tanjung Bugel!"
"Itu tidak mudah Bido Teles." ujar Ki Bango Wadas.
"Ketahuilah bahwa di desa Mijen, saat ini berdiam si Mahesa Wulung dan Pendekar
Bayangan!"
"Tak menjadi soal! Dengan berlima ini, masakan kita tak dapat menandingi mereka.
Kalau perlu nanti akan
kupanggil jagoan-jagoan dari tempat lain."
"Hehh, jika demikian baiklah saudara Bido Teles. Aku tak perlu cemas lagi
karenanya." ujar Ki Bango Wadas.
Rencana itu harus kita bicarakan masak-masak dan
sekarang tentunya kawan-kawan berempat cukup lelah.
Marilah beristirahat lebih dulu secukupnya di pondok buruk ini!"
"Terima kasih, Ki Bango Wadas." jawab Bido Teles
dengan gembira seraya meletakkan beberapa bungkusan bekal dan pakaian mereka.
Demikian pula mereka
menanggalkan senjata-senjatanya. Mereka memang
kelelahan dan harus beristirahat banyak-banyak karena tugas yang lebih berat
telah menanti mereka.
*** 5 EBERAPA orang bercakap-cakap di pendapa
kelurahan desa Mijen. Wajah-wajah mereka tampak
B cerah, sebagaimana cerahnya bulan purnama yang
bersinar di langit biru. Beberapa potong awan tipis menerawang seperti kain
sutera berlalu rnelewati sang rembulan dan kemudian tertiup ke arah selatan.
Ki Lurah, Pendekar Bayangan, Mahesa Wulung,
Sorogenen, Kertipana dan juga Lawunggana duduk
bersama-sama di balai- balai besar.
"Bagaimana rasa badanmu sekarang ini, angger
Lawunggana"!" Pendekar Bayangan bertanya kepada si
pemuda berkumis tebal yang telah ditolongnya.
"Benar-benar merasa sehat, bapak." jawab Lawunggana. "Kalau semula aku selalu merasa berada di alam mimpi, dengan perasaan
tertekan dan tidak sadar,
sekarang semua itu telah hilang. Karenanya aku mengucapkan terima kasih yang
sebesar besarnya kepada
bapak." "Heh, heh, heh, sudah selayaknya aku menolongmu
angger Lawunggana. Aku tahu bahwa semua sikap keras dan kejammu selama ini tidak
wajar!" ujar Pendekar Bayangan. "Semua itu adalah perbuatan Ki Bango Wadas!"
"Ya, baru sekarang aku menginsyafi kesesatanku
selama ini. Selama itu kadang-kadang aku sadar dan
kadang-kadang pula aku seperti orang mimpi menuruti segala perintah Ki Bango
Wadas." "Semua itu sudah berlalu, angger." ujar Ki Lurah Mijen.
"Hadapilah masa depanmu dengan tabah!"
"Terima kasih, bapak." kata Lawunggana.
"Nah, Ki Lurah." Sela Pendekar Bayangan. "Apakah
segala sesuatunya telah siap besok malam?"
"Tentu beres, Ki Pendekar Bayangan. Upacara pertunangan Endang Seruni dengan Lawunggana akan kita
langsungkan sesudah saat magrib."
Mendengar ini, Lawunggana menjadi tertunduk dengan
dada gemuruh saking gembiranya. Saat yang telah diimpi-impikannya selama ini
akan segera tiba, besok malam. Ya, dia akan segera menjadi tunangan Endang
Seruni, sebagai calon suaminya.
Bukankah ini menggembirakan! Tetapi di balik kegembiraannya itu terselip pula rasa cemas akan
kemarahan serta tindakan balasan dari Ki Bango Wadas.
"Bapak Lurah, bagaimanakah jika Ki Bango Wadas
datang ke desa ini serta membuat kekacauan karena aku telah meninggalkannya?"
"Jangan takut! Jika dia berani berbuat demikian, pasti akan segera kita tangkap
dan kita hadapi bersama-sama!"
ujar Ki Lurah Mijen. "Bukankah demikian Ki Pendekar Bayangan?"
"Ya, dia boleh mencoba, Lawunggana." berkata pula
Pendekar Bayangan. "Tapi perlawanan hebat pasti akan dia dapatkan! Dan lagi di
sinipun ada angger Mahesa Wulung, yang tidak boleh disepelekan olehnya!"
"Hmm, memang demikian yang akan kita perbuat,
hanya saja aku belum yakin apakah dia tidak mempunyai sekutu?" berkata Mahesa
Wulung. "Jika demikian, memang kita akan sulit." sahut Ki Lurah Mijen. "Namun Kertipana
serta Sorogenen akan segera mengerahkan para jagabaya bilamana perlu."
Dalam pada itu, ketika mereka lagi sibuk bercakapcakap di pendapa kelurahan, beberapa sosok bayangan manusia mengendap-endap di
celah-celah semak belukar mendekati halaman pendapa tersebut.
Dengan hati-hati sekali dan tanpa suara mereka
berjalan memutar dan sebentar kemudian berhentilah
mereka di samping halaman. Mereka berbisik-bisik seraya menunjuk-nunjuk ke arah
pendapa kelurahan.
"Nah, Ki Bango Wadas, pekerjaan kita akan lancar dan lebih ringan. Aku telah
menggaji lima jagoan yang
membantu rencana ini." ujar Bido Teles kepada sekutunya.
"Ke mana mereka sekarang?" Ki Bango Wadas bertanya
"Ooo, mereka tengah mendekati lumbung desa di
sebelah selatan sana!"
"Heh, heh, heh, mereka punya bagian di sebelah sana?"
Ki Bango Wadas bertanya seraya tertawa meringis.
"Yaa, mereka akan membakar lumbung desa itu untuk
memancing perhatian orang-orang desa ini, sementara kita berusaha merebut kalung
permata hijau dari Ki Lurah!"
"Hmm, bagus! Rencana yang cemerlang. Tapi apakah
orang-orang di pendapa itu tidak akan mengacaukan
rencana kita?"
"Nah, itulah yang menyulitkan kita Ki Bango!" ujar Bido Teles. Meskipun kita
langsung menyerbu dari rumah
belakang, tapi tak urung merekapun akan mengetahuinya."
"Janqan bingung Bido Teles! Sekarang, soal itu menjadi bagianku. Biarlah mereka
aku sirep, supaya tertidur pulas!!"
"Ha-ha-ha-ha, kau sungguh cerdik Ki Bango. Nah,
laksanakanlah, supaya kita dengan leluasa mencari kalung permata hijau itu!"
"Baik dan perintahkanlah Sigayam beserta temantemannya untuk berjaga-jaga!"
Bido Teles cepat cepat memberi isyarat kepada
Sigayam, Bujel dan Blending untuk bersiaga, sedang Ki Bango Wadas segera
memungut sejumput tanah
dilemparkannya ke arah udara diikuti mulutnya komat-kamit mengucapkan sesuatu
yang tidak jelas terdengar oleh Bido Teles yang bermata cekung itu.
Biarpun begitu, pendekar tersebut menaruh
kepercayaan sepenuhnya kepada rekannya yang tengah
menyebar sirep. Ia melihat Ki Bango Wadas berdiam seraya melipat tangan ke dada.
Tak lama kemudian tampaklah kedua tangan Ki Bango
Wadas merentang ke depan ke arah rumah pendapa
kelurahan dan karenanya Bido Teles menjadi tertarik sekali oleh sikap rekannya
ini. Jika mula-mula ia meragukan kehebatan Ki Bango
Wadas. Saat ini terpaksalah ia dibuat kaget oleh kejadian berikutnya.
Dalam pancaran sinar purnama yang terang benderang
beberapa ekor kelelawar beterbangan dengan riangnya.
Hal itu belum mengagetkan Bido Teles, tetapi ketika dua ekor kelelawar terbang
melintas ke arah halaman
pendapa, tepat di depan Ki Bango Wadas yang juga
merentangkan tangannya ke arah yang sama, tiba-tiba saja dua ekor kelelawar tadi
terhenti terbangnya, seolah-olah menabrak satu dinding yang tidak nampak untuk
kemudian tercampak rebah di atas tanah dengan menggelepar-gelepar seperti
kehilangan kekuatan.
"Luar biasa!" desis Bido Teles setengah terhenyak
kaget. "Kau benar-henar mengagumkan Ki Bango Wadas!"
"Heh, heh, he, he, he," tertawa Ki Bango Wadas sambil kedua tangannya terus
merentang ke arah rumah pendapa kelurahan. "Lihat saja nanti, saudara Bido
Teles. Mereka pasti akan tertidur pulas setengah mati!"
Perkataan Ki Bango Wadas ini memang mengerikan
bagi telinga yang mendengar. Bayangkan saja akibatnya, jika lawan-lawan yang
harus dihadapi itu telah tertidur pulas pasti Ki Bango Wadas beserta kawankawannya juga, akan mudah berbuat semaunya. Mungkin mereka akan
mencincang tubuh-tubuh lawannya yang telah tertidur pulas atau memenggal kepala
mereka untuk dibuat
tontonan. Pendek kata mereka bisa berbuat leluasa terhadap
lawan-lawannya yang telah tak berdaya akibat sirep tadi.
Kalau benar benar terjadi hal yang demikian itu, pastilah mengerikan sekali
akibatnya! Akan tetapi kenyataannya berkata lain. Mereka yang
tengah bercakap-cakap di ruang pendapa kelurahan


Pendekar Naga Geni Harta Tanjung Bugel di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memang merasakan adanya keganjilan suasana. Kertipana serta Sorogenen yang
biasanya betah berjaga atau
membaca kidung sampai jauh malam itu, tiba-tiba saja terlihat menguap beberapa
kali, bersamaan hawa dingin dan memukau mengalir ke ruang pendapa kelurahan!
Demikian pula Ki Lurah Mijen dapat merasakan adanya hawa yang memperlena
perasaan, masuk ke dalam
ruangan itu. Oleh karenanya, Ki Lurah segera mengerahkan segenap tenaganya guna
menolak rasa ngantuk yang mulai menyerang dirinya.
Lawunggana juga tak ketinggalan berusaha dengan
susah payah untuk menguasai dirinya. Hati kecilnya
mendadak saja teringat oleh Ki Bango Wadas yang
mempunyai kepandaian khusus dalam ilmu sirep. Hanya saja ia tak segera
mengatakan rasa kuatirnya tadi kepada orang-orang untuk menjaga agar mereka
tidak menjadi cemas atau panik!
Berbeda dengan Pendekar Bayangan dan Mahesa
Wulung yang masih enak-enak duduk tanpa menunjukkan tanda-tanda mengantuk atau
terpengaruh oleh hawa aneh tadi.
Walaupun begitu mereka akhirnya terkejut pula. sebab tampaklah bahwa Kertipana
dan Sorogenen yang semula mengantuk sedikit-sedikit serta menguap-nguap itu
sekarang telah merebahkan tubuhnya, masing-masing ke samping dan ke depan.
Tambah-tambah lagi Ki Lurah dan Lawunggana tampak berwajah tegang dengan
mengucur-kan keringat untuk menguasai dirinya.
"Ada sesuatu yang tidak beres!" desis Pendekar
Bayangan setengah berbisik kepada Mahesa Wulung.
"Bersiagalah angger!"
"Rupanya seperti sirep, bapak!" bisik Mahesa Wulung pula. "Dan berkekuatan cukup
besar!" "Nah itu mernang benar!" kata Pendekar Bayangan.
"Pertahankanlah kusadaranmu, angger Wulung! Aku akan berusaha mengusir hawa
jahat ini!"
Selesai berkata, mereka berdua segera memusatkan
tenaga dalamnya. Dengan sikap tangan melipat, masing-masing telapak tangannya
mendekap bahu kiri dan kanan.
Pendekar Mahesa Wulung mulai mengerahkan segala
kekuatan lahir bathinnya guna mengatasi pengaruh sirep yang tengah melanda
mereka. Begitu pula dengan Pendekar Bayangan tak ketinggalan pula memusatkan tenaga
dalamnya, sikapnya agak berbeda dengan Mahesa Wulung.
Orang tua ini bersikap seperti patung-patung Budha di candi Borobudur, dengan
meletakkan telapak kiri tangannya di atas pangkuan menghadap ke atas, sedang
tangan kanannya menekuk kedepan dengan telapak tangan
menentang ke depan pula, seperti orang menolak akan sesuatu. Nah, inilah yang
bernama sikap "abaya mudra", atau sikap "menolak bahaya" yang kelewat ampuh.
Maka secara diam-diam berlangsunglah suatu
peperangan tenaga dalam yang tak nampak oleh mata.
Mereka berdua menghadap ke arah halaman pendapa,
tepat di mana Ki Bango Wadas tengah pula melancarkan serangan sirep dan tenaga
dalamnya dari celah-celah dedaunan semak-belukar.
Biarpun mereka tidak saling melihat lawan yang mereka hadapi, tetapi kekuatan
mereka langsung berhadapan
saling menerjang, sementara waktu berjalan terus.
Di pendapa itu, Ki Lurah serta Lawunggana masih mati-matian mempertahankan diri
dari rasa ngantuk yang luar biasa itu. Mata mereka sudah separo terpejam, dan
sebentar lagi pastilah mereka akan tergeletak tidur kepulasan seumpama tidak
keburu oleh pertolongan
Pendekar Bayangan dan Mahesa Wulung.
Beberapa saat kemudian Pendekar Bayangan tiba-tiba
saja menghentakkan telapak tangan kanannya lurus-lurus ke depan seraya membentak
keras-keras. "Duuaahh."
Gerakan tiba-tiba dan seperti sepele saja ini ternyata berakibat luar biasa! Ki
Lurah Mijen serta Lawunggana rnenjadi geragapan tersadar dari rasa kantuk yang
telah menyerangnya. Demikian pula Kertipana dan Sorogenen seperti terhentak oleh
sesuatu kekuatan dan mereka
berdua segera terbangun dari tidurnya!
Namun bahaya lain telah terjadi pula, ketika pengaruh sirep dapat diatasi. Dari
arah lumbung desa, tempat menyimpan padi terlihatlah nyala api berkobar-kobar
disertai asap bergumpal bergulung-gulung kehitaman naik ke udara.
Pemandangan ini sungguh menggetarkan hati. Asap
hitam dan nyala api tadi terlihat jelas dalam cahaya terang bulan.
Dan lebih menyeramkan lagi kiranya karena terdengar jeritan orang-orang desa
yang ketakutan dan kaget
setengah mati melihat lumbung desanya terbakar.
Ah, akan habiskah lima bangunan lumbung padi itu"
Dan lenyap pulakah persediaan pangan bagi desa ini"
Beberapa orang desa segera berlarian mencoba
memadamkan api yang untungnya baru saja menyala di
sebuah lumbung yang paling tepi. Begitu pula beberapa orang jagabaya turun
tangan membantu memadamkan api.
Akan tetapi alangkah kagetnya mereka ketika lima orang bertutup mulut dan hidung
dengan bersenjata golok serta senjata tajam lainnya menghalang-halangi usaha
mereka. Sejurus kemudian terjadilah pertempuran ramai.
Sementara itu, di dalam pendapa kelurahan, Ki Lurah Mijen, Pendekar Bayangan,
Mahesa Wulung dan yang
lainnya segera pula dapat melihat api berkobar dari arah lumbung desa itu.
"Kebakaran! Lumbung desa dalam bahaya!" seru Ki
Lurah dengan kecemasan. "Aku harus menyelamatkannya sekarang juga."
"Tunggu dulu Ki Lurah!" ujar Pendekar Bayangan yang segera menahan Ki Lurah.
"Jangan terburu-buru pergi ke sana. Mungkin ini hanya pancingan, untuk
mengalihkan perhatian kita saja. Sedang bahaya itu aku rasa langsung mengancam
ke tempat kita ini! Apakah Ki Lurah tidak merasakan adanya serangan sirep tadi?"
Ki Lurah seketika manggut-manggut mendengar
penuturan Pendekar Bayangan itu. "Tapi, sebagai seorang kepala desa apakah aku
akan membiarkan lumbung desa itu habis terbakar seluruhnya" Dan di manakah letak
tanggung jawabku nanti"
"Maaf, Ki Lurah. Aku sangat setuju dan menghargai
maksud Ki Lurah tadi, namun saya harap janganlah andika pergi ke sana. Lebih
baik angger Sorogenen, Kertipana dan Lawunggana ini saja! Sedang saya, andika
sendiri dan angger Mahesa Wulung akan berjaga-jaga di sini!"
"Baiklah, kalau begitu!" ujar Ki Lurah. "Dan sebelum kalian bertiga berangkat ke
sana, terlebih dulu pukullah kentongan tanda bahaya dan kebakaran bersambungan!"
"juga ingat!" sela Pendekar Bayangan pula. "Janganlah kalian bertiga lewat di
halaman depan ini, tapi lewatlah dari pintu pendapa samping sebelah sana!"
Mereka bertiga segera bertindak tanpa menunda waktu lagi. Setelah Sorogenen
memukul kentongan, Kertipana dan Lawunggana segera berlari keluar lewat pintu
samping kemudian disusul oleh Sorogenen setelah ia selesai
memukul kentongan kayu, sebagai pemberitahuan adanya bahaya dan kebakaran!
Oleh suara kentongan tadi, Ki Bango Wadas dan Bido
Teles serta orang-orangnya seketika terperanjat kaget.
Mereka mengutuk-ngutuk sejadinya.
"Saudara Bido Teles! Mari kita langsung menyergap dari rumah belakang dan
biarkan Sigayam serta orang-orangnya menyerang dari halaman pendapa."
"Baik Ki Bango! Wah, rupanya ada yang mengacau
pekerjaan kita!" gerutu si Bido Teles.
"Tapi jangan takut! Belum tentu semua orang dapat
tersadar dari pengaruh sirepku tadi!" seru Ki Bango Wadas.
"Ayo, kita segera bertindak!"
Kedua orang itu secepat kilat melesat ke arah rumah belakang dengan sebatnya,
tak ubahnya laksana dua
bayangan hitam dari kelelawar raksasa yang menyeramkan.
Sementara itu Sigayam, Bujel dan Blending cepat-cepat meloncat ke halaman
pendapa kelurahan.
"Hee, Ki Lurah!" teriak Sigayam dengan suara lantang.
"Lekas keluar dan serahkan harta bendamu!"
Mendengar teriakan tersebut, cepat-cepat Ki Lurah
Mijen, Mahesa Wulung dan Pendekar Bayangan berloncatan ke luar halaman dan di situ telah menunggu Sigayam, Budjel dan
Blending. "Heei, rupanya kamulah yang menjadi biang keladi
kekacauan ini!" seru Mahesa Wulung seraya menunjuk ke arah Sigayam. "Menyerahlah
untuk kami rangket!"
"Haa, jangan besar mulut! Marilah kita buktikan lebih dulu, siapa yang lebih
unggul!" ujar Sigayam menyiapkan tombak pendeknya, seraya memberi syarat kepada
kedua rekannya, yakni si Bujel dan Blending. "Ayo kawan-kawan serang mereka!"
Maka berlangsunglah seketika pertarungan seru di
halaman pendapa kelurahan. Sigayam langsung
menyerang Mahesa Wulung, sedang Blending menyerbu ke arah Pendekar Bayangan.
Begitu pula Bujel dengan kaki setengah berjingkat karena bekas luka menyerang Ki
Lurah Mijen dengan golok panjangnya, serupa pedang yang lebar.
Pendekar Bayangan di dalam hatinya menaruh rasa
curiga yang disebabkan tidak munculnya Ki Bango Wadas!
Sebagai seorang pendekar yang banyak pengalaman itu, ia dapat menduga serta
merasakan bahwa tokoh-tokoh yang muncul di depan mereka sekarang ini, adalah
tokoh-tokoh kecil yang kurang mempunyai arti sama sekali.
Dengan begitu yakinlah ia bahwa benggolan-benggolan mereka sengaja mengumpankan
Sigayam beserta kedua
orang rekannya untuk mengalihkan perhatian dari tujuan pokok mereka!
Sigayam mengerahkan segala kekuatannya. Tombak
pendeknya bersambaran mengurung Mahesa Wulung.
Namun setiap kali pedang Mahesa Wulung selalu menggagalkan serangan Sigayam yang bertubi-tubi datangnya.
Pendekar Bayangan yang bersenjata tongkat bercabang serta telah mengenakan
topeng kain putihnya kembali, dengan enaknya menyambut serangan-serangan golok
si Blending yang datang bagaikan angin ribut.
Di saat yang sama pula, Ki Lurah Mijen dengan gigih menangkis serangan-serangan
Bujel yang garang. Orang tua ini mempergunakan kerisnya untuk menghadapi Bujel
dan gerakannya sungguh sangat lincah.
Ternyata Ki Lurah ini memiliki kepandaian yang cukup seimbang dengan Bujel
Bahkan beberapa saat kemudian permainan pedang Bujel tertindih oleh tikamantikaman keris Ki Lurah Mijen.
Selagi enak-enaknya mereka sibuk bertempur di
halaman pendapa kelurahan, tiba-tiba saja terdengar jeritan-jeritan dari arah
rumah sebelah belakang.
Sejurus kemudian tampak sesosok tubuh melesat ke
atas genting rumah dengan memondong sesosok tubuh
semampai langsing dan sebentar pula melesatlah sesosok tubuh lainnya menyertai
yang pertama. Pendekar Bayangan yang sangat waspada itu secepat
kilat menyabetkan tongkat cabangnya dengan dahsyat
sehingga Blending terpental ketika menangkis jatuh
bergulingan di tanah.
"Angger Mahesa Wulung!" seru Pendekar Bayangan
kepada muridnya. "Layanilah mereka dengan baik-baik!
Aku akan mengejar orang-orang yang berlarian di atas genting itu!"
Secepat selesai kata-katanya itu Pendekar Bayangan
melesat ke atas genting, mengejar ke arah dua sosok tubuh yang berlarian.
"Heei, berhenti!" teriak Pendekar Bayangan sekaligus menyerang mereka.
Keruan saja kedua orang tadi yang tidak lain adalah Ki Bango Wadas serta Bido
Teles terkejut setengah mati.
Menghadapi serangan tiba-tiba ini, Ki Bango Wadas yang memondong tubuh Endang
Seruni menjadi setengah
kerepotan. Untunglah Bido Teles cepat-cepat menadahi serangan
tersebut dengan pedangnya sehingga sesaat Ki Bango
Wadas lolos dari maut.
Kini pertempuran tersebut semakin sengit. Masingmasing berusaha untuk lebih dahulu melenyapkan
lawannya tersebut.
Bido Teles dengan tangguh menghadapi lawannya yang
bertopeng ini disertai pikiran yang penuh tanda tanya, siapakah gerangan orang
ini sebenarnya" Gerakan
Pendekar Bayangan sangat hebat. Sebentar saja Bido
Teles merasa terdesak meskipun pedangnya berkali-kali mengurung dan menyerang si
pendekar bertopeng ini.
Bido Teles segera memperbaiki serangan-serangannya
Jurus-jurus mautnya dengan tusukan dan tebasan yang berbahaya mulai tampak.
Orang biasa yang menghadapi serangan demikian itu
jangan diharap bisa bertahan lebih dari lima jurus. Akan tetapi lawan Bido Teles
adalah Pendekar Bayangan
pendekar yang mumpuni atau menguasai ilmu gerakan.
Maka tak heranlah bila Bido Teles berjingkrak kaget, serta terlongoh-longoh,
sebab setiap pedangnya
menyerang maka ujung tongkat bercabang lawannya selalu mengejar dan memapakinya.
Ketika Bido Teles makin terasa terdesak, mendadak
saja Ki Bango Wadas berteriak dengan suara lantang dari tempat yang tak jauh
dari lingkaran pertempuran antara Pendekar Bayangan dengan Bido Teles. "Heee,
Topeng Bobrok! Berhenti! Jangan kau teruskan mengganggu kami dan lepaskan sahabatku
Bido Teles itu!! Jika tidak, maka gadis yang ada ditanganku ini akan mati
sekarang juga! Dengar kau hee!?"
Tentu saja Pendekar Bayangan segera menghentikan
serangannya terhadap Bido Teles akibat ancaman yang gawat dari Ki Bango Wadas
tadi. Sebagai seorang yang bijaksana dan waspada ia memahami bahwa ancaman Ki
Bango Wadas ini tidaklah sekadar ancaman kosong
belaka, karena iapun tahu bahwa tidak mustahil kalau Ki Bango Wadas akan benarbenar membunuh gadis itu.
Peringai si botak yang kejam dan keras memungkinkan akan terwujudnya ancaman itu
terhadap Endang Seruni tadi.
Itulah sebabnya Pendekar Bayangan segera memutus
serangannya dan karenanya pula ia meloncat surut atau langkah serta bersiaga.
"Heh, heh, he, he, he." tertawa Ki Bango Wadas
kegirangan. "Nah, itulah, sikap anak yang manis, Topeng Bobrok! Heh, he, he, he,
kau menggeram jengkel"
Sekarang dengarlah kata-kataku berikutnya!"
"Ngocehlah sepuasmu botak!" seru Pendekar Bayangan
dengan marahnya.
"Heh, heh, heh. Aku tahu bahwa rahasia harta Tanjung Bugel itu terletak di dalam
kalung permata hijau yang kembar. Sekarang yang tergantung dileher gadis ini
cuma sebuah saja dan yang sebuah tidak berhasil kami
dapatkan. Nah, maka gadis ini terpaksa aku bawa. Jika kalian ingin mendapatkan
gadis ini kembali, datanglah ke Tanjung Jati serta membawa kalung yanh sebuah
lagi sebagai penukarnya!!"
Selesai berkata, Ki Bango Wadas memberi syarat
kepada Bido Teles untuk menyingkir dari tempat itu dan Sekali lagi ia berseru
mengancam. "Sekarang kami akan menyingkir dan jangan sekali mencoba-coba berbuat
sesuatu jika tidak menginginkan kematian gadis ini!!"
Pendekar Bayangan menggeram marah tapi ia tak dapat berbuat apa-apa karena
keselamatan jiwa Endang Seruni.
Akhirnya Ki Bango Wadas dan Bido Teles melesat turun dan atas genting pendapa
kelurahan ke arah timur dengan membawa Endang Seruni yang masih terlena tidur
akibat pengaruh sirep Ki Bango Wadas.
Sementara itu, api yang semula berkobar-kobar di
lunbung desa telah mulai surut dan berkurang. Karenanya Pendekar Bayangan
menarik nafas lega.
Bido Teles yang telah tiba di tanah itu bersuit nyaring sebagai isyarat untuk
mengundurkan diri. Maka Blending dan Bujel secepat kilat menarik diri dari
lingkaran pertempuran.
"Heeee. Topeng Bobrokl Berhenti! Jangan kau teruskan mengganggu kami dan


Pendekar Naga Geni Harta Tanjung Bugel di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lepaskan sahabatku Bido Teles
itu!!! Jika tidak, maka gadis yang ada di tanganku ini akan mati sekarang juga!
Dengar kau, he"!"
Mahesa Wulung dan Ki Lurah Mijen, hampir saja
mengejar mereka jika tidak buru-buru diperingatkan oleh Pendekar Bayangan dari
atas genting. "Biarkan mereka lari! Jangan kejar! Mereka akan membunuh Endang
Seruni jika kita menghentikan mereka!"
"Endang Seruni diculik"!" seru Ki Lurah kaget.
Pendekar Bayangan melesat turun dan segera mendapatkan Mahesa Wulung dan Ki Lurah Mijen. Iapun lalu menuturkan segala kejadian
dan ancaman Ki Bango
Wadas beberapa saat yang lalu.
Dari arah belakang rumah dua sosok bayangan berlari-lari kecil mendapatkan
mereka bertiga. Mereka adalah Pandan Arum dan Nyi Lurah.
"Kakang Wulung! Ooh adi Seruni telah diculik mereka."
ujar Pandan Arum setengah terisak sedih.
"Oooo, alah pakne Seruni, anakmu telah diculik
penjahat!" Nyi lurah meratap sedih seraya memeluk
suaminya dengan cemasnya. "Ooh, bagaimana nasibnya
nanti!" "Tenanglah, Nyi Lurah." bujuk Pendekar Bayangan.
"Mereka minta umuk menukar jiwa Endang Seruni dengan kalung yang sebuah lagi!
Dengan begitu maka jelaslah maksud mereka!'
"Yah, memang mereka tadi berusaha pula merebut
kalung yang aku pakai ini, tetapi tidak berhasil karena aku melawan mereka
dengan pedang ini..." ujar Pandan Arum.
"Kalau begitu pakne. Serahkan saja kalung yang sebuah lagi dan biarkan mereka
mengambil harta Tanjung Bugel itu asal Endang Seruni selamat dan kembali di
samping kita." berkata Nyi Lurah seraya mengusap air matanya dengan ujung baju.
Ki Lurah menjadi bingung oleh kejadian yang dihadapinya saat ini. Kalau umumnya
orang pasti mengharapkan untuk mendapatkan harta itu. Namun kini keadaan berkembang ke arah lain. Endang Seruni telah diculik! Dan Nyi Lurah sendiri telah
menganjurkan untuk menyerahkan saja harta itu kepada Ki Bango Wadas dan kawankawannya, asalkan Endang seruni segera dibebaskan.
Tetapi benarkah pendapat yang demikian itu" Nah itulah yang meruwetkan pikiran
Ki Lurah saat ini. Antara
keinginan untuk mendapatkan kembali harta itu, berlawanan dengan kepentingan untuk menyelamatkan jiwa Endang Seruni.
Seandamya ia menuruti ancaman Ki Bango Wadas itu,
sama saja artinya dengan membenarkan tindak kejahatan mereka. Nah, serba salah
lalu jadinya. Pandan Arum yang mengetahui perasaan Nyi Lurah tadi, tak bisa menyalahkan
pendapatnya. Bahkan sebagai kakak kandung dari Endang Seruni sendiri, ia tidak
akan membiarkan jiwa adiknya dalam bahaya.
"Ibu, akupun rela menyerahkan kalung ini, asal jiwa adi Seruni selamat!" Pandan
Arum berkata sambil melepaskan untaian kalung permata hijau tadi dari lehernya
lalu di-serahkan kepada Nyi Lurah.
Melihat ini, Nyi Lurah semakin terharu, lalu sambil menerima kalung itu iapun
merangkul Pandan Arum.
Apalagi wajah Pandan Arum yang mirip dengan Endang
Seruni membuat hatinya semakin pilu.
"Bagaimanakah pendapat andika, Ki Pendekar
Bayangan?" Ki Lurah Mijen bertanya. "Apakah akan kita serahkan saja kalung yang
sebuah itu?"
"Hmmm, memang tak ada jalan lain, kurasa!" berkata
Pendekar Bayangan dengan tenangnya. "Kalung itu
sebaiknya kita serahkan kepada mereka. Tapi itu sebagai siasat saja."
"Sebagai siasat?" desis Ki Lurah kaget. "Siasat yang bagaimana Ki Pendekar?"
"Begini Ki Lurah." Pendekar Bayangan berkata menjelaskan maksudnya. "Pertama,
kalung itu kita serahkan dan Endang Seruni akan selamat kembali kepada kita.
Nah, maka setelah itu kita segera menyerang mereka serta merebut kembali kedua
kalung permata hijau tersebut!"
Ki Lurah Mijen mengangguk-angguk sebagai pertanda
akan jelasnya penuturan siasat dari Pendekar Bayangan.
"Ooo, syukurlah andika mempunyai gagasan yang
demikian itu." ujar Nyi Lurah dengan dada lega.
"Akupun setuju dengan pikiran bapak." sahut Mahesa
Wulung pula. "Dan tentang rahasia kalung permata hijau itu tidak perlu kita
merasa cemas, meskipun keduanya akan jatuh ke tangan Ki Bango Wadas dan temantemannya. "Eeeh, tapi tentang peta yang tergambar pada kedua
permata kalung itu, bagaimana jadinya" Bukankah kunci rahasia harta Tanjung
Bugel berada pada peta tersebut!" Ki Lurah Mijen menumpangi perkataan Mahesa
Wulung tadi. "Hmm, maaf bapak." berkata kembali Mahesa Wulung.
"Sebenarnya sudah sejak lama saya merasakan adanya
bahaya yang langsung bertalian dengan kedua kalung
kembar tersebut. Maka untuk menghadapi setiap
kemungkinan yang mengancam kedua kalung itu, saya
telah secara diam-diam menyalin kedua peta yang berasal kedua permata kalung
hijau tadi ke atas secarik kain."
Mahesa Wulung segera mengeluarkan selembar kain
putih dari balik lipatan ikat pinggangnya serta
membeberkannya pula di hadapan orang-orang itu. "Nah, inilah dia, peta lengkap
dari rahasia harta Tanjung Bugel yang menjadi incaran mereka."
"Weh, tobat." seru Ki Lurah penuh kagum. "Angger
benar-benar seorang cerdas yang jarang bandingannya.
Dan memang benar. Dengan peta itu, maka kedua kalung permata hijau tadi tak
begitu lagi banyak artinya.
"Heh heh, heh, heh," tertawa Pendekar Bayangan saking senang dan kagumnya,
mengetahui akal Mahesa Wulung.
"Heh, heh, tak percuma aku mengangkat angger
sebagai muridku. Wulung! Jika demikian, sementara kalung itu berada di tangan Ki
Bango Wadas dan kawan-kawannya, maka kitapun dapat pula langsung menuju ke
Tanjung Bugel!"
"Jika tidak keberatan..." berkata pula Ki Lurah Mijen.
"Biarlah aku yang menjemput Endang Seruni ke Tanjung Jati."
"Itu cukup berbahaya, jika bapak pergi seorang diri.
Maka akupun bersedia menyertai bapak." ujar Mahesa
Wulung. "Hmm, sekarang begini baiknya." Pendekar bayangan
mengemukakan pendapatnya. "Ki Lurah dan angger
Mahesa Wulung, dan juga angger Pandan Arum menuju ke Tanjung Jati untuk
menjemput Endang Seruni serta
menyerahkan kalung permata hijau itu kepada Ki Bango Wadas, sedang aku sendiri
beserta Lawunggana,
Sorogenen dan Kertipana akan menuju ke Tanjung Bugel.
Kami akan menanti Ki Lurah dengan rombongan di sana untuk kemudian bersama-sama
menghadapi Ki Bango
Wadas dan sekutunya!"
Ki Lurah Mijen mengangguk senang oleh pendapat
Pendekar Bayangan tadi lalu iapun berkata, "Jika demikian, besok kita dapat
segera berangkat dan untuk perjalanan jauh itu, di sini cukup tersedia kuda-kuda
yang bagus."
Percakapan mereka terhenti ketika beberapa orang
tampak memasuki halaman pendapa kelurahan menggiring seorang berpakaian hitarn yang terikat tangannya di belakang.
"Nah, itu angger Lawunggana datang," ujar Ki Lurah
Mijen. "Heh, seorang pengacau berhasil mereka tangkap.
Lawunggana agak terkejut rnelihat wajah mereka begitu suram tampaknya, seperti
ada sesuatu yang menyusahkan.
"Ah, ketiwasan angger Lawunggana. Angger Endang
Seruni telah diculik oleh Ki Bango Wadas dan temantemannya." ujar Ki Lurah.
"Aakh, adi Seruni diculik!?" desah Lawunggana terkejut oleh penuturan yang tibatiba itu. Bukankah ini nasib yang benar-benar malang" Kalau besok adalah rencana
dan kepastian hari pertunangannya dengan Endang Seruni, tetapi tiba-tiba hari ini
telah terjadi malapetaka yang begitu hebat bagi dirinya. Maka tak mengherankan
bila mendadak saja timbul kegeramannya terhadap si tawanan tadi.
Lawunggana sekonyong-konyong melayangkan beberapa tamparannya ke wajah si tawanan tadi hingga
orang itu menjerit kesakitan dan hampir roboh. Untunglah ia cepat-cepat dipegang
oleh Kertipana dan Sorogenen.
"Sabar adi Lawunggana! Sabar!" ujar Manesa Wulung
seraya mendekap Lawunggana yang tengah terbakar
hatinya itu. Juga Ki Lurah Mijenpun segera menuturkan segala peristiwa yang baru
saja terjadi. "Hmm, Ki Bango Wadas keparat! Aku harus membalas
kekurang ajarannya." berkata Lawunggana.
"Siapakah orang ini, Lawunggana?" bertanya Ki Lurah seraya mengamat-amati wajah
orang yang terikat tangannya. "Aku belum pernah melihatnya."
"Dialah salah seorang pembakar lumbung desa kita. Ia berhasil kami tangkap
sedang teman-temannya berhasil melarikan diri ketika terdengar bunyi suitan yang
nyaring." Lawunggana berkata menuturkan lelakonnya. "Dalam
pertempuran singkat itu seorang di antara jagabaya kita, terluka. Sedang seorang
di antara mereka dapat kami tewaskan."
"Hee, mengaku saja kisanak, siapa kau sebenarnya."
terdengar Pendekar Bayangan berkata untuk menyelidiki tawanan tersebut.
"Mengakulah saja, supaya hukumanmu menjadi ringan!"
Takut menghadapi tamparan Lawunggana kembali dan
juga menghadapi Pendekar Bayangan yang bertopeng! Si tawanan akhirnya mengaku
dengan terus terang. "Kami adalah orang-orang sewaan Bido Teles dari Tanjung
Jati." "Dan jelaskan siapa sebenarnya Bido Teles itu" Lekas!"
terdengarlah Lawunggana membentak dengan kerasnya.
"Dia ... dia ... saya tak tahu banyak tentang mereka.
Cuma suatu kali saya pernah mendengar bahwa ketua Bido Teles pernah menyebutnyebut nama Ki Rikma Rembyak!"
"Rikma Rembyak"!" desis Mahesa Wulung kaget.
"Hmm, rupanya ada sangkut-pautnya pula antara Bido
Teles dengan Rikma Rembyak."
Dalam pada itu si tawanan yang tubuhnya sudah babak belur, agaknya sudah merasa
putus asa akan keselamatan dirinya. Apalagi ia melihat sorot mata Kertipana dan
Sorogenen menyala marah kepadanya, sedang di tangan mereka masih tergenggam
pedang-pedang terhunus.
Si tawanan menjadi nekad akibat keputusasaannya,
maka tiba-tiba saja ia melayangkan tendangan kakinya ke arah dada Lawunggana.
Tendangan yang berdasarkan ilmu silat tangan kosong ini benar-benar berbahaya
dan hampir saja mengenai dada pendekar muda berkumis tebal ini jika tidak keburu
Mahesa Wulung mendorong tubuh Lawunggana ke samping!
Gagal serangannya terhadap Lawunggana, si tawanan
buru-buru menggenjotkan kakinya ke tanah dan tubuhnya melesat ke arah pepohonan
di samping halaman untuk
melarikan diri.
Sayang, Pendekar Bayangan tak mau tinggal diam
melihat tawanan itu lari, maka selagi yang lainnya masih berdiam diri. ia dengan
sebatnya melancarkan "Pukulan Angin Bisu" ke arah si tawanan dan akibatnya
sungguh mengerikan.
Tubuh si tawanan mencelat, terpental ke arah
pepohonan akibat pukulan jarak jauh tadi.
"Proook! Aaaaurrgh!"
Bunyi benturan keras bercampur jerit melengking
mengiringi tubuh si tawanan melanggar batang pohon kayu dan kemudian tercampak
roboh di tanah dengan kepala yang pecah.
"Hmm dia telah mendapat hukuman yang setimpal!"
desis Lawunggana lega sambil berpaling kepada Mahesa Wulung. "Untunglah kakang
telah mendorongku. Kalau
tidak, pastilah dadaku akan melesak, akibat
tendangannya."
Beberapa orang penduduk yang melihat kejadian itu
segera berkerumun ke arah si tawanan yang telah tergeletak tak bernyawa. Ki
lurah Mijenpun segera menyuruh orang-orang untuk merawat mayat si tawanan tadi
untuk dikebumikan pada keesokan harinya. Di sebelah lain, api yang membakar
lumbung padi telah padam sama sekali.
Kertipana serta Sorogenen segera kembali bekerja.
Keduanya memberi petunjuk-petunjuk untuk menyisihkan timbunan-timbunan padi yang
belum terbakar serta me-robohkan serta mencopot bagian-bagian lumbung padi
yang telah menjadi arang.
Suasana menjadi tenang kembali. Kekacauan yang
semula timbul, kini telah reda kembali berkat kerja sama dan kegotong royongan
yang terjalin erat di antara
penduduk desa Mijen. Memang kegotong-royongan yang
telah dirintis oleh nenek moyang masih terpelihara hingga kini. Dengan kegotongroyongan mereka membangun dan menanggulangi setiap bahaya yang mengancam mereka.
Ki Lurah beserta istri, Pendekar Bayangan, Mahesa
Wulung, Pandang Arum dan Laeunggana bersama-sama
kembali ke dalam pendapa kelurahan. Mereka masih
mempunyai pekerjaan besar dan rencana-rencana untuk keesokan harinya.
Keselamatan diri Endang Seruni benar-benar mereka pikirkan dari untuk itu mereka
telah bertekad untuk menempuh segala rintangan dan bahaya.
*** 6 I TENGAH TERIKNYA sinar matahari yang lagi bersinggasana di siang hari, beberapa ekor kuda dan
D penunggangnya telah berpacu meninggalkan desa
Mijen. Mereka berpacu dengan tangkasnya menuju ke arah
utara melalui jalan kecil yang cukup baik. Beberapa bulak alang-alang dan hutanhutan kecil telah mereka lalui, sementara jalan itu membelok ke arah timur laut
dan menghubungkan desa Mijen dengan desa Mayong.
Berkuda paiing depan adalah Pendekar Bayangan bersama Ki Lurah Mijen dan di belakangnya adalah Mahesa Wulung bersama Pandan Arum,
kemungkinan menyusul
Lawunggana, Kertipana, Sorogenen dan tiga orang
jagabaya bersenjata tombak. Ketika matahari telah bergeser ke arah barat,
rombongan tersebut telah memasuki desa Mayong.
"Nah, di sinilah kita akan berpisah, Ki Pendekar
Bayangan. "Ki Lurah Mijen berkata serta menarik kekang kudanya, untuk
memperlambat pacuan mereka.
"Baiklah Ki Lurah." ujar Pendekar Bayangan. "Jarak yang kita empuh sama jauhnya.
Andika akan mengitarinya dari sebelah timur. Marilah kita berusaha dan semoga
bertemu di Tanjung Bugel dalam waktu yang sama!"
"Kami akan berusaha bapak." sambung Mahesa Wulung
kepada si Pendekar Bayangan. "Doakan, mudah-mudahan adi Endang Seruni kembali
kepada kita dengan selamat!"
"Yah, marilah kita berdoa semuanya." kata Pendekar
Bayangan. "Manusia berusaha dan Tuhan yang menentukan." Hati mereka menjadi lebih mantap oleh ucapan singkat dari Pendekar Bayanyan
tadi. Ucapan singkat memang, tetapi jauh lebih banyak dan lebih panjang akan
semangat dan artinya.
Rombongan tadi lalu berpisah.
Ki Lurah Mijen, Mahesa Wulung, Pandan Arum dan
soorang jagabaya langsung berpacu ke arah barat laut, bersamaan saatnya pula,
Pendekar Bayangan terus
berkuda ke arah timur bersama Lawunggana, Kertipana, Sorogenen dan dua orang


Pendekar Naga Geni Harta Tanjung Bugel di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jabagaya lainnya.
Jalan yang ditempuh Ki Lurah bersama rombongannya
sebentar-sebentar naik dan sebentar menurun. Mareka telah mulai mengitari kaki
barat daya gunung Muria, untuk selanjutnya menuju ke utara.
Kuda yang mereka pacu ini berlari kencang dan gembira seperti memahami akan
kepentingan tuannya. Dan mulut-mulut merek terdengar ringkikan segar seirama
derap kakinya yang menempuh jalan ke utara ini.
Mereka berlari berkejaran dengan sinar matahari yang marayap ke langit sebelah
barat, sehingga tubuh mereka berkilat-kilat basah oleh peluhnya.
Telah beberapa lama mereka berkuda, tak terasa lagi oleh mereka dan tahu-tahu
desa Pecangakan telah
dilewati. Kiri jalan yang mereka tempuh mulai berbelok ke arah barat laut, dan
sebentar lagi pastilah mereka akan tiba di kota Jepara menjelang asar.
Namun mereka sengaja tidak singgah di kota ini, maka diambillah jalan di luat
kota Jepara sebelah timur sebab mereka ingin cepat-cepat tiba di daerah Tanjung
Jati di pojok utara.
Untunglah keempat orang ini telah benar-benar terlatih dalam berkuda. Seperti
halnya Pandan Arum sendiri,
meskipun dia seorang wanita, tetapi telah memperoleh dasar-dasar latihan
keprajuritan dan keperwiraan,
sehingga untuk berkuda berlama lama ia tak mengalami kesulitan apapun. Dengan
demikian maka perjalanan
mereka menjadi lebih lancar.
Berbareng saat terbenamnya metahari di kaki langit
sebelah barat, suasana daerah Tanjung Jati bersaput warna merah senja. Namun
warna-warna tadi sedikit demi sedikit menjadi pudar dan lenyaplah kemudian.
Sedang di langit timur, sang purnama telah tinggi
menyinarkan cahaya peraknya. Bulan yang berwajah bulat penuh itu kini menjadi
penerus tugas sang matahari yang telah silam. Daerah Tanjung Jati telah bermandi
sinar perak sang rembulan. Di sebelah utara dan barat, ombak Laut Jawa memecah
di sepanjang pantai, berkejaran,
bergulung-gulung dengan riangnya untuk kemudian surut kembali ke tengah, dengan
meninggalkan busa-busa putih di pasir putih yang berkilatan tertimpa sinar
rembulan. Di sebuah tempat, tak jauh dari pantai, di mana
onggokan batu-batu karang dan batang batang pohon tua yang telah kering
berserakan, tampaklah beberapa obor terpasang menancap di celah-celah batu
ataupun batang-batang kering. Di situ pula terlihat sebuah api unggun yang
menyala terang benderang dengan api menjilat dan
berlenggok-lenggok ke udara.
Agaknya api-api tadi dipasang bukan semata-mata
dimaksud untuk menerangi tempat itu, sebab cahaya
rembulan sudah pasti cukup terang.
Maka yang jelas adalah sebagai penghangat, dan pula sebagai pertanda bahwa
ditempat itu telah ditunggu oleh segerombolan orang.
Memang agak luar biasa, bahwa di tempat yang
biasanya sepi dan terpencil ini sekarang ditunggui oleh segerombolan manusia.
Beberapa orang di antaranya
tampak duduk di dekat api unggun, tak jauh pula dari sebuah tonggak kayu kering
yang terpancang di situ.
Seorang di antara mereka berkali-kali menoleh ke arah tonggak kayu tadi dengan
mata berkilat-kilat penuh arti, di mana terikat tubuh seorang gadis bertubuh
padat tanpa daya. Wajahnya manis dan pipinya yang montok serta
hidungnya yang mancung berkilat tersinar oleh sinar bulan.
Sebentar-sebentar dadanya bergelombang tergoncang oleh isakan-isakan sedih yang
meratapi akan nasib dirinya.
Dan orang yang berkali-kali menatap gadis itu tiba-tiba bangkit berdiri serta
perlahan-lahan mendekatinya seraya gerenengan. "Heh, heh, Endang Seruni terikat
seorang diri. Sebaiknya aku temani dia." lalu orang yang berwajah angker dan bermata cekung
ini menghampiri Endang
Seruni. Endang Seruni, gadis yang terikat tadi, terkejut melihat seseorang
menghampirinya. Apalagi ia melihat sinar mata yang cekung menjijikkan itu
memandangi tubuhnya,
bagaikan ingin menelannya.
Dada Endang Seruni bergetar saking takutnya namun ia toh tak dapat berbuat apaapa. Hanya saja ia telah
bertekad, jika keadaan dirinya bakal mengalami nasib yang buruk, ia akan lebih
baik mati dengan membunuh diri. Ia pernah mendengar bahwa dengan menggigit putus
lidah-nya sendiri, seseorang dapat meninggal dan ini pulalah cara yang akan
dipilihnya. Akan tetapi iapun selalu berdoa, agar dirinya segera terhindar dari semua
bencana. Tiba-tiba simata cekung telah mengembangkan kedua
tangannya siap memeluk dirinya dan entah apa yang bakal terjadi kemudian, bila
saja dua buah tangan tidak cepat-cepat menarik leher baju si mata cekung!
"Kau mau berbuat apa saudara Bido Teles!" ujar
pendatang yang menarik leher baju si mata cekung.
"Tahanlah dirimu sobat!!"
Bido Teles terpaksa menggagalkan maksudnya seraya
menggeram jengkel. Ditelannya air ludahnya seraya
mengomel. "Kau lagi yang mengganggu maksudku Ki Bango Wadas!
apakah aku tak boleh menikmati cahaya sinar bulan yang terang benderang dan
indah ini!"
"Ingatlah akan penawaran kita kepada Ki Lurah Mijen itu! Kita akan mendapat
kalung yang sebuah lagi dengan menukarkan Endang Seruni ini kembali kepada orang
tuanya dalam keadaan selamat! Nah, kau ingat itu saudara Bido Teles!" ujar Ki
Bango Wadas. "Tapi sudah lama aku tak menjumpai wanita cantik dan aku menginginkan dia
sebagai istriku!"
"Aaakh, kau terlalu memikirkan kepentingan dirimu
sendiri, Bido Teles!" kata Ki Bango Wadas. "Yang lebih penting, kan harta emas
intan dari Tanjungy Bugel itu" Jika kita telah kaya, maka istri cantik yang
bagaimanapun serta berapa jumlahnya, pasti akan terpenuhi semuanya. Maka
sadarlah sobatku, Bido Teles!! "
"Hmm, jadi aku tak boleh mengarnbil gadis ini?"
" Soal itu mudah!" Sahut Ki Bongo Wadas. "Kita tunggu tiga hari! Cukup waktu
bagi mereka bukan" Nah, bila dalam jangka waktu tiga hari mereka tidak muncul
untuk menyerahkan kalung yang sebuah lagi, barulah kau boleh berbuat semaumu
terhadap Endang Seruni. Dan kita akan terpaksa lebih banyak mengerahkan orangorang kita, guna mengobrak-abrik desa Mijen untuk mendapatkan kalung yang sebuah
lagi!" "Heh, baiklah jika pendapatmu begitu!" Bido Teles
berkata. "Kita akan tinggal di sini selama tiga hari!"
Belum lagi habis mereka berkata-kata, terdengarlah
derap kaki kuda dari arah selatan dan kemudian mereka melihat empat orang
berkuda masuk ke dalam tempat
mereka. "Haaa, mereka menepati janjinya!" seru Ki Bango
Wadas gembira. "Lihatlah Bido Teles, sebentar lagi kita akan kaya!!"
Tak antara lama mereka yang berkuda tadi telah turun dari punggung kudanya dan
berjalan ke arah Ki Bango Wadas dan Bido Teles berdiri. Sedang pada waktu itu,
seorang anak buah Bido Teles tampak berbisik-bisik
melapor kepada Ki Bango Wadas dan Bido Teles.
Keduanya mengangguk-angguk mengerti.
"Hmm, jadi menggembirakan sekali! Pengintai ini
melaporkan bahwa mereka benar-benar cuma berempat
saja!" ujar Ki Bango Wadas seraya meringis kejam.
"Jadi setelah tukar menukar, mereka dapat kita sikat!"
bisik Bido Teles dengan mata cekungnya berkilatan tajam.
Keempat pendatang yang tidak lain adalah Ki Lurah
Mijen, Mahesa Wulung dan Pandan Arum serta seorang
jagabaya bersenjatakan tombak. Mereka kini berhadapan dengan kedua pemimpin
gerombolan tadi. Ki Bango Wadas menyambut dengan kata-katanya. "Heh, heh, heh,
aku telah menduga bahwa kau akan datang ke daerah Tanjung Jati ini, sebab kau tak
ingin bukan, bila Endang Seruni itu mati merana di tangan kita?"
"Sekarang aku minta agar kau secepatnya membebaskan anakku!" ujar Ki Lurah Mijen seraya menatap ke arah Endang Seruni
dengan cemas. "Heh, heh, heh, sabar dulu Ki Lurah. Kami belum tahu apakah Ki Lurah benar-benar
telah membawa kalung
permata hijau itu?" ujar Ki Bango Wadas dengan
menyeringai. "Ha, ha, ha, ha. Tunjukkan kalung hijau itu dan kami akan segera menukarnya
dengan Endang Seruni!!" Bido Teles berkata.
"Hah, lihatlah ini!" seru Ki Lurah seraya mengambil seuntai kalung dari balik
bajunya. "Apakah kalian masih sangsi juga?"
"Hmm, baiklah!" ujar K Bango Wadas bergirang seraya memberi isyarat kepada
Blending yang duduk di dekat unggun api. "Blending, lekaslah kau lepas tali-tali
pengikat Endang Seruni!"
Si perut buncit bernama Blending itu, lekas-lekas
melepas tali-temali pengikat tangan Endang Seruni.
Sedang Pandan Arum dengan perasaan dan hati berdebar-debar mengikuti semua
kejadian ini. "Ayaah!" teriak Endang Seruni ketika tubuhnya telah bebas dari tali-temali
pengikat, seraya bergegas untuk lari mendapatkan ayahnva.
"Berhenti!!" seru Bido Teles sambil menghalangkan
pedang panjangnya di depan tubuh Endang Suruni
sehingga gadis ini terpaksa mundur kembali ke tempatnya dengan wajah kepucatan
saking kagetnya. "Kau tak akan bebas, bocah ayu. Sebelum kalung hijau yang
sebuah lagi itu sampai di tangan kami!"
Mahesa Wulunq menggeram jengkel, tapi ia tak dapat berbuat apa-apa sebab saat
ini adalah saat yang amat berbahaya, sedikit saja ia berbuat kekeliruan,
pastilah jiwa Endang Seruni terancam keselamatannya. Dengan
demikian maka Mahesa Wuiurg terpaksa menahan gejolak hatinya.
"Hmm kalian tak usah kuatir!" berkata Ki Lurah seraya maju ke depan. "Kalung
kedua ini akan sungguh-sungguh saya serahkan kepada kalian, sebab saya lebih
sayang kepada anakku dari pada Harta Tanjung Bugel itu. Nah, terimalah kalung
ini dan ambillah semua harta tadi!"
Sambil memberikan kalung tersebut kepada Ki Bango
Wadas iapun berkata. "Nah, sekarang aku harap kalian tidak mengganggu Endang
Seruni lagi!"
"Baiklah!" uiar Ki Bango Wadas. "Sobat Bido Teles,
biarkanlah gadis itu mendapatkan ayahnya!"
Bido Teles mengangguk setuju seraya menyarungkan
pedangnya kernbali dan dibiarkannya gadis tersebut berlari mendekap ayahnya.
"Ayaah..."
Setelah sesaat Endang Serunipun memeluk kakaknya,
Pandan Arum dengan mata yang masih berlinang-linang oleh air mata. Maka tempat
itu sejenak menjadi sunyi senyap.
Suasana yang mengharukan bercampur ketegangan itu
tak luput dari pengawasan sesosok tubuh bercaping dari balik sebuah batu karang.
Sepintas lalu memang aneh.
Tokoh tadi dalam malam hari masih mengenakan caping yang seharusnya dipakai pada
waktu siang. Mungkin ia berusaha menyembunyikan bentuk wajahnya yang pada
saat itu tertutup oleh bayangan capingnya.
Tokoh yang misterius ini tampak menganggukanggukkan kepalanya ketika tukar menukar tadi selesai.
"Kita telah selesai." ujar Ki Lurah kepada Mahesa
Wulung yang berdiri di sebelahnya. "Dan marilah kita cepat-cepat meninggalkan
tempat ini! Pandan Arum, bawalah adikmu itu!"
Mahesa Wulung mengangguk seraya meloncat ke atas
punggung kudanya, begitu pula dengan Ki Lurah Mijen dan si jagabaya. Sedang
Pandan Arum sendiri cepat-cepat menaikkan Endang Seruni ke atas punggung
kudanya, kemudian disusul oleh tubuhnya sendiri meloncat dengan sigapnya dan duduk ia di
belakang Endang Seruni.
Namun alangkah kagetnya ketika mereka akan menderapkan kudanya, tiba-tiba saja Bido Teles menghunus kembali pedangnya serta
meloncat menghalang di tengah jalan.
"Berhenti!" teriak Bido Teles garang. Pedangnya diacungkan ke arah rombongan Ki Lurah. "Tidak semudah itu kalian minggat dari
tempat ini!!"
"Keparat! Apa maksudmu" Kau mau berkhianat"
Bukankah kalung itu telah kami serahkan?" seru Mahesa Wulung dengan nada jengkel
dan marah. "Dan tukar
menukar itu toh telah selesai?"
"Memang benar! Tapi itu dengan Ki Bango Wadas!" kata Bido Teles. "Sedang urusan
kalian terhadap diriku belum selesai!"
"Hah! Urusan macam apa lagi"!" seru Ki Lurah.
"Kalian lihat pada gerombolan kami ini" Tak ada
seorang wanitapun yang tampak. Semua laki-laki melulu!
Nah, sekarang tinggalkanlah salah seorang di antara dua orang gadis itu pada
kami. Biar aku jadikan nanti sebagai istriku serta pemasak makanan dan nasi
kami!" "Kurang ajar!" desis Mahesa Wulung sehabis mencabut pedangnya. "Kalian memang
orang-orang licik. Seandainya kami akan mengabulkan permintaanmu toh tidak
demikian caranya melamar seorang gadis!"
"Hah, hah, hah, hah. Kami orang bebas, sebebas burung di angkasa. Tak sebuahpun
peraturan dan tata cara yang mengikat kami, apalagi melamar seorang gadis untuk
istri. Bagi kami, istri adalah manusia biasa seperti aku, dan kami akan selalu
mengambil apa yang kami suka."
demikian kata Bido Teles seraya menyeringai. "Maka
sebaiknya serahkan saja salah satu di antara gadis itu pada kami! Awas, kami
masih cukup bersabar! Jika kalian mempersukar, maka kami pun akan menggunakan
kekerasan. Dan mungkin malah keduanya akan kami ambil semuanya sedang kalian
bertiga akan kami cincang untuk makanan ikan di laut!"
Oleh kata kata Bido Teles yang menggeledek ini, Endang Seruni menjadi ketakutan
setengah mati dan dipegangnya lengan Pandan Arum arat-erat namun kakak
perempuan-nya ini berkata dengan tenang. "Tabahkan hatimu adi Seruni. Tenangtenanglah saja!"
Sebaliknya dengan Mahesa Wulung. Seketika ke
marahannya benar-benar meledak tak tertahan dan
berserulah ia dengan kerasnya. "Bido Teles! Pantas
ocehanmu sedemikian memukkan dan memang sepantasnya kata-kata itu keluar dari mulut bobrok orang tak beradab! Sedang istri yang
cocok untuk tampangmu adalah seekor kunyuk, seekor kera yang biadab pula!"
"Heh, setan alas kowe!" teriak Bido Teles sambil
memaki-maki setengah mati, kalang-kabut. "Hee kawan-kawan, lekas cegat mereka!
Kepung! Cincang yang laki-laki, dan biarkan yang perempuan hidup!"
Sementara itu kuda-kuda rombongan Ki Lurah telah bergerak, meringkik-ringkik
menderap-derapkan kakinya ke tanah dan kerikilpun berloncatan ke sana-ke mari.
Mahesa Wulung yang telah bersiaga sejak sernula tidak kaget oleh teriakan Bido
Teles tadi, maka pedangnya telah siap menyambar-nyambar, menebas dan menusuk
lawan-lawannya yang bermunculan dan balik batu-batu karang dan pohon-pohon
kering untuk kemudian mengepungnya!
Begitu pula Ki Lurah Mijenpun telah melolos kerisnya untuk menghadapi seranganserangan yang mendatang,
sementara Pandan Arum dan si jayabaya Cangkring
masing-masing telah menyiapkan pedang dan tombaknya.
Pertempuran seketika berkobar dengan seru.
Pandan Arum yang berkuda bersama Endang Seruni
menjadi kurang leluasa menggerakkan pedangnya ke kiri, terutama bila ada
serangan-serangan lawan yang datang dari sebelah kiri. Itulah sebahnya Manesa
Wulung yang selalu waspada, berusaha terus untuk selalu berada di dekat Pandan
Arum untuk rnelindunginnya.


Pendekar Naga Geni Harta Tanjung Bugel di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bagaikan burung rajawali mereka berempat bertempur
menghadapi lawannya. Walaupun dikepung, mereka tidak pernah merasa gentar
sedikitpun. Kuda-kuda yang mereka tunggangi meringkik-ringkik dahsyat membuat
arena pertempuran ini semakin kalut suasananya.
Beberapa orang yang bermaksud mendekati mereka
berempat terpaksa mundur kembali dengan mengumpatumpat sebab kaki-kaki kuda itu menerjang dan hampir saja menginjak-injak tubuh
mereka, seandainya tidak cepat-cepat menghindar dan mundur kembali.
Si Bujel bermaksud menyerang Pandan Arum dari
samping kiri sebab dia tahu akan letak kelemahan dari kedudukan Pandan Arum yang
berkuda bersama Endang
Seruni tadi. Namun iapun menjadi terperanjat ketika serangan pedangnya menjadi
kandas dan mental kembali begitu Pandan Arum mernutar kudanya ke kiri secepat
kilat sekaligus menyampok pedang si Bujel.
Tak jauh dari Pandan Arum, tampaklah Mahesa Wulung
menyambut setiap serangan yang dilancarkan oleh Ki
Bango Wadas. Mungkin pertempuran kedua orang inilah yang terdahsyat dari kancah
pertempuran tersebut.
Ki Bango Wadas mampu bergerak lincah, selincah
belalang yang melenting ke sana ke mari diikuti gada berduri di tangannya
menyambar dan menyapu ke arah
Mahesa Wulung. Bagaimanapun juga Ki Bango Wadas yang berdiri di atas tanah akan
jauh lebih lincah dan leluasa melakukan gerakannya.
Berbeda dengan Mahesa Wulung yang bertempur di
atas punggung kudanya hanyalah mampu melakukan
gerakan-gerakannya yang terbatas. Maka tak heranlah bila Ki Bango Wadas semakin
bernafsu melancarkan serangan-serangannya Soalnya, ia tanu bahwa dirinya lebih
banyak mempunyai ruang gerak yang sangat luas, dan itulah pula sebabnya orang
tak perlu heran bila sesekali, dengan gerakan yang menakjubkan Ki Banyo Wadas
tahu-tahu telah melintas dipunggung Mahesa Wulung seraya
menghajarkan penggadanya.
Ternyata Mahesa Wulung tidak membiarkan senjata Ki
Bango Wadas menyentuh kulit tubuhnya dan di saat Ki Banyo Wadas tadi melintas di
belakangnya, ia dengan cepatnya menebaskan pedangnya ke belakang sambil
menggeserkan kudanya ke samping beberapa langkah.
"Craaang!"
Ki Bango Wadas merasakan bahwa penggadanya sedikit
bergetar menyerikan buku-buku tulang jari tangannya setelah beradu dan berbentur
dengan pedang Mahesa
Wulung. Terpaksalah Ki Bango Wadas menggerundal disertai
desis kekaguman terhadap lawannya yang masih muda itu.
Disebabkan oleh api dendam yang telah bertumpuk dan membakar hati Ki Bango Wadas
ia tak memperdulikan lagi kehebatan Mahesa Wulung yang menjadi lawannya ini.
Setahap demi setahap serangan Ki Bango Wadas
semakin bertambah ketat, bertambah garang dan ganas.
Bagaikan air bah yang membanjir ke arah lautan serangan-serangan tadi siap
menyapu dan melanda setiap
sasarannya. Mahesa Wulung sadar akan hal ini. Ia tak mau lagi
melayani serangan-serangan Ki Bango Wadas dengan
setengah hati atau bermain-main menghindar dan
menangkis saja. Kini iapun mulai melancarkan serangan serangan mautnya.
Setiap kali, kuda Mahesa Wulung melingkar-lingkar
berlari dengan garangnya diselingi dengan kedua kaki depannya yang sekali
berjingkrak ke atas siap
menghancurkan tubuh lawan yang berani mendekatinya.
Melihat ini, keruan saja Ki Bango Wadas tambah marah.
Sambil menyerang lawan mudanya ini, ia berteriak kepada anak buah Bido Teles
supaya lebih memperhebat
pengepurgan mereka.
"Kawan-kawan! Hayo, jangan setengah-setengah
menumpahkan tenagamu! Lekas bereskan ketiga laki-laki itu. Cincang tubuh mereka
lumat-lumat!"
Laksana orang terbangun dari pesona mimpi para anak buah Bido Teles menjadi
lebih beringas setelah mendengar seruan Ki Bango Wadas tadi.
Mereka mengamuk dengan serangan-serangannya
sementara di dalam hati mereka timbul pula
keheranannya. "Masakan cuma menghadapi lawan empat
orang saja mereka tidak becus?" Begitulah pikiran mereka.
Tetapi memang kenyataannya demikian. Lawan yang
berjumlah empat orang tersebut benar-benar menjengkel-kan mereka. Hampir tiga
puluh jurus serangan sudah
berjalan, namun belum seorangpun di antara keempat
orang tadi kena dirobohkan.
Ki Lurah Mijen yang bersenjata keris dengan gigih
menyambut setiap serangan Bido Teles dan anak buahnya yang semakin garang
mencecar dirinya. Biar pun Ki Lurah ini sudah tidak muda lagi, tapi perkara olah
senjata dan perihal keperwiraan jangan kira ia mau kalah dengan anak-anak muda.
Itulah sebabnya pula mengapa Ki Lurah
mampu bertahan terhadap serangan-serangan lawan.
Di sebelah timur, si jagabaya yang berperawakan tegap dan bersenjata tombak
dengan gigih pula menanggulangi serangan-serangan yang dilancarkan oleh Sigayam
dan teman-temannya. Senjata tombak pendek Sigayam berputar mematuk-matuk
menyambar ke arah si jagabaya
yang berkuda itu, namun setiap kali pula tombak panjang si jagabaya selalu
menangkis dengan tepatnya.
Melihat ini Sigayam menjadi lebih jengkel dan serangan-serangannyapun menjadi
lebih dahsyat, menghempas
seperti badai mengamuk, membuat si jagabaya lama-lama agak kerepotan juga.
Rupanya tidak si jagabaya saja yang mulai kelihatan kerepotan, juga Pandan Arum pun mengalami hal yang
sama. Apalagi jika serangan-serangan yang datang itu berbareng dari sebelah
kanan dan kirinya. Benar-benar merepotkan dan untung saja, setiap kali pula
Mahesa Wulung senantiasa membantunya.
Ketika sang rembulan makin bertambah tinggi,
pertempuran di tanah Tanjung Jati itu kian menghebat.
Ringkikan kuda, jerit peperangan serta bunyi berdencing dari senjata-senjata
yang beradu berbareng percikan bunga-bunga apinya, membuat makin serunya
pertempuran. "Keparat! Jangan kira kau mampu bertahan lebih dari dua puluh jurus lagi. Mahesa
Wulung!" teriak Ki Bango Wadas. "Maka lebih baik menyerah saja sekarang,
sebelum senjataku ini betul-betul meremukkan batok
kepalamu yang cuma sebuah itu!"
"Gila!" desis Mahesa Wulung. "Marilah kita lihat, siapakah yang bakal mati lebih
dulu. Engkau ataukah aku!"
Dada Ki Bango Wadas menjadi lebih terbakar, bilamana Mahesa Wulung tiba-tiba
meloncat turun dari punggung kudanya dan langsung menyerang Ki Bango Wadas
dengan sabetan pedangnya ke arah leher si pendekar botak yang liar itu.
Bunyi berdesing dan sambaran angin dingin mengiringi mata pedang Mahesa Wulung
yang meluncur ke arah leher si botak dan hampir saja Ki Bango Wadas dari Muara
Kali Serang itu terpapas batang lehernya, bila ia terlambat menggulingkan
tubuhnya ke kiri beberapa langkah.
Sambil bergulingan itu Ki Bango Wadas mengutukngutuk kepada lawannya. Untunglah beberapa anak buah Bido Teles lekas-lekas
memberikan bantuannya kepada Ki Bango Wadas dengan mencegat serangan-serangan
Mahesa Wulung berikutnya.
Terpaksa Mahesa Wulung menarik serangannya terhadap Ki Bango Wadas sementara waktu ketika dari arah samping terlihat beberapa
sosok tubuh menghujani
serangan-serangan pedang dan golok ke arah dirinya.
"Heeit!" Mahesa Wulung berkelit ke samping dengan gerakan selincah belalang
bersamaan pedangnya menebas ke arah lawannya.
"Eeeeeeeakhhh!" Terdengar jeritan mengumandang dari mulut salah seorang
pengeroyok Mahesa Wulung yang
terkena oleh sabetan pedangnya tadi, disusul dengan tubuh yang tercampak di
tanah dan darah merah
menyembur dan dadanya yang tersayat sepanjang satu
jengkal lebih. Ki Bango Wadas terperanjat melihat seorang dari
sekutunya telah tewas di ujung pedang Mahesa Wulung.
Maka cepat-cepat ia bersiaga kembali dan dengan satu loncatan panjang Ki Bango
Wadas menyambarkan
penggada berduri di tangannya ke dada Mahesa Wulung.
Serangan tiba-tiba tersebut rnembikin Mahesa Wulung geragapan sesaat dan
syukurlah, ia masih sempat
mengegoskan tubuhnya ke kanan disertai pedangnya
menumpangi arah sambaran penggada!
"Craaaaaang!"
"Keparat!" desah Ki Bango Wadas yang hampir saja
terjongor, terjerumus ke dcpan akibat pukulan pedang Mahesa Wulung yang
menumpangi pukulan penggadanya.
Akan tetapi, Ki Bango Wadas tidak berhenti sampai di situ, iapun berputar ke
samping seraya menghajarkan senjatanya, bertubi-tubi ke arah Mahesa Wulung yang
selalu bersiaga. Begitu menghindar, maka batu karang dibawah Mahesa Wulung
menjadi ambrol berserakan ke
mana-mana. Dan setelah itupun, senjata penggada tadi terus susul-menyusul
mencecar ke arah Mahesa Wulung.
Di samping itu, para pengeroyok Mahesa Wulung yang
terdiri tidak kurang dan enam orang anak buah Bido Teles semakin memperketat
pengepungan dan serangan-serangannya. Untuk itu terpaksalah Mahesa Wulung
berloncatan ke sana ke mari sambil tak henti-hentinya menangkis seranganserangan lawannya.
Sambil bertempur ini. Mahesa Wulung masih memerlukan melirik ke arah Pandan Arum yang dengan gigih
menghadapi serangan serangan lawan. Beberapa kali ia sempat melihat, betapa
kekasihnya itu menangkis setiap ujung senjata yang menghampiri dirinya dan
sekali pedang Pandan Arum tadi berhasil pula menebas tubuh lawan!
Diam-diam Mahesa Wulung memuji ketrampilan Pandan
Arum kekasihnya, sebab sambil mernboncengkan Endang Seruni pada punggung
kudanya, ia masih lincah memain-kan pedangnya.
Akan tetapi tiba-tiba Mahesa Wulung terperanjat ketika dilihatnya Pandan Arum
sibuk melayani serangan-serangan dari sebelah kanan, mendadak saja Bujel
mengendap ke sebelah belakang Pandan Arum dan siap menancapkan
pedangnya ke arah punggung gadis itu.
Rupa-rupanya saja si Bujel ini sudah benar-benar terbakar kemarahannya dan ia
lupa akan perintah Bido Teles yang mengharuskan kedua gadis itu ditangkap hidup
hidup! Mahesa Wulung tak sempat berteriak memperingatkan
adanya bahaya kepada Pandan Arum. Dalam saat saat
yang tegang ini Mahesa Wulung secepat kilat melemparkan pedangnya ke arah Bujel
yang mencoba secara curang
menyerang Pandan Arum dari belakang. Bagaimanapun
kecurangan harus dihukum!
Pedang tadi yang dilempar oleh Mahesa Wulung,
melayang dengan pesat dan langsung menancap ke
punggung Bujel sampai menembus ke dada sebelah muka.
"Creeeep! Uuuaarrgh!"
Bujel sesaat terhuyung-huyung dengan sebilah pedang yang menancap tembus pada
punggung dan dadanya.
Seperti orang tak percaya akan keadaan dirinya, ia masih saja melihat ke arah
dadanya. Tampaklah ujung pedang yang tersembul dari dalam dadanya menculat
keluar diiringi oleh darah merah memercik mancur keluar mem-basahi pakaiannya.
Tiba-tiba Bujel melempar pedangnya sendiri dan seperti orang ketakutan ia
menggerakkan tangannya, meng-gerayangkan ke arah punggungnya untuk mencabut
pangkal tangkai pedang yang menancap di situ. Gerakan Bujel sungguh mengharukan
tapi juga mengerikan untuk dilihat.
Sambil menjerit panjang akhirnya robohlah tubuh Bujel ke tanah dan sesudah
berkelejotan sesaat akhirnya diam tak berkutik matilah sudah si Bujel.
Melihat Mahesa Wulung sudah tak bersenjata lagi, Ki Bango Wadas menjadi lebih
beringas. Pikirnya, ia segera dapat menghancur lumatkan tubuh Mahesa Wulung ini.
Tetapi ia menjadi kaget bila secepat kilat Mahesa
Wulung tahu-tahu telah menggenggam sebatang cambuk
yang terlolos dari ikat pinggangnya. Cambuk Naga Geni yang menyala berkeredapan
biru kehijauan disinari sang rembulan itu, membuat Ki Bango Wadas berdebar-debar
hatinya. Meskipun ia belum tahu apakah nama senjata yang tergenggam d tangan
Mahesa Wulung, ia yakin bahwa cambuk tersebut bukanlah senjata sembarangan bukan
sekadar cambuk penghalau ternak.
Ki Bango Wadas menerjang, tapi Mahesa Wulung cepat
melesat ke samping dan di saat itu pula beberapa orang anak buah Bido Teles
segera menyerang dirinya.
Melihat ini Mahesa Wulung tersenyum dan sekali ia
melecutkan cambuknya ke arah mereka, terdengarlah satu ledakan diiringi jeritan
parau. Seorang dari anak buah Bido Teles terjelapak ke tanah dengan tubuh hangus
berkepul, dan tak bernyawa! Keruan saja Ki Bango Wadas terkejut dan seketika ia
bersuit keras. Dari balik batu-batu karang munculah beberapa orang bersenjata
panah, siap ditembakkan secara diam-diam ke arah Mahesa Wulung, ke arah Pandan Arum, Ki
Lurah Mijen dan juga ke arah si jagabaya Cangkring!
Mereka berada didalam bahaya. Ya, keadaan ini
sungguh menegangkan dan mendebarkan hati siapa saja yang melihatnya! Benarkah
tubuh-tubuh mereka akan ditembusi oleh panah-panah yang telah siap ditembakkan
itu" Nah, itulah pertanyaan yang akan kita temui jawaban-nya dalam Seri Naga
Geni berikutnya. yakni "SENGKETA KALUNG PUSAKA" yang akan segera mengunjungi
anda. Dan dengan ini pula selesailah cerita Seri Naga Geni HARTA TANJUNG BUGEL - Salam buat para pembaca yang
budiman. TAMAT- Pedang Pusaka Dewi Kahyangan 20 Joko Sableng 25 Kutuk Sang Angkara Kisah Para Pendekar Pulau Es 6

Cari Blog Ini