Ceritasilat Novel Online

Keruntuhan Netra Dahana 1

Pendekar Naga Geni 8 Keruntuhan Netra Dahana Bagian 1


1 RUANGAN RUMAH itu sejenak menjadi sunyi sesudah Rebab Pandan menyudahi ceriteranya, sementara
itu Mahesa Wulung dan Pendekar Bayangan bergelut
dengan pikirannya sendiri.
Bermula sekali, sejak mendengar awal ceritera Rebab Pandan itu, Mahesa Wulung sangat tertarik akan
kisah kepahlawanan Landean Tunggal yang tetap
mempertahankan Kitab Hijau agar tidak jatuh ke tangan orang-orang golongan hitam. Dan kini kitab itu telah disimpannya sebagai
pusaka yang amat berharga. Namun satu hal kecil yang tampaknya sepele telah
membuat Mahesa Wulung berdebar-debar dadanya.
Ya, ketika Rebab Pandan hampir menyelesaikan babak
terakhir dari ceriteranya itu, Mahesa Wulung merasakan suatu kejanggalan.
Sesuatu yang sangat sukar diterima oleh akal yang sehat.
Ia ingat betul-betul babak terakhir dari ceritera Rebab Pandan yang mengisahkan
pengejaran Ki Topeng
Reges dan Jobin Karang terhadap Landean Tunggal di
daerah Jepara. Inilah yang janggal. Sebab seharusnya Rebab Pandan tak mungkin dapat menceriterakan hal itu. Bukankah ia pada saat itu tetap tinggal di Padepokan
Gunung Merapi serta menemani Panembahan Jatiwana" Tambahan lagi ia dapat menceriterakan pertempuran Landean Tunggal melawan kedua musuhnya itu,
dan berkesudahan dengan kematiannya. Nah, mengapakah itu semua dapat diceriterakan oleh Rebab Pandan dengan gamblang dan terperinci" Seandainya saja ia pada waktu itu bersama
dengan Landean Tunggal,
tidakkah ia mau menolong kakak seperguruannya tadi" Ataukah kemungkinan pula ia membiarkan Landean Tunggal binasa di tangan kedua musuhnya itu!
Memperoleh pikiran begini Mahesa Wulung semakin
bercuriga terhadap Rebab Pandan yang kini masih duduk di hadapannya. Namun sebagai seorang perwira
yang telah banyak pengalaman, ia tidak terlalu terge-sa-gesa mengambil satu
keputusan dan ia pandai menyembunyikan perasaan curiganya tadi.
"Mengapakah kisanak termangu-mangu?" sapa Ki
Rebab Pandan dengan tiba-tiba, membikin Mahesa
Wulung geragapan kaget.
"Eh, tak apa-apa, Ki Rebab. Aku masih memikirkan
betapa kita harus mengalahkan Ki Topeng Reges yang
sakti itu?" Mahesa Wulung berkata setengah gugup.
Untunglah agaknya Ki Rebab Pandan kurang begitu
memperhatikan wajah Mahesa Wulung, sehingga ia tak
sempat menangkap perubahan wajah Mahesa Wulung
yang membayangkan kegugupannya tadi.
"Untuk itu kita harus mencuri kaca Sirna Praba serta lembaran-lembaran kitab Hijau dari Tangan Ki Topeng Reges!" sahut Pendekar Bayangan.
"Yah, itu cara yang harus kita tempuh. Serta lembaran-lembaran kertas tadi harus kita satukan kembali dengan kitab induknya, yakni
Kitab Hijau lambang
perguruan Padepokan Gunung Merapi. Hmm, kita pun
harus mencari kitab itu pula," ujar Ki Rebab Pandan.
"Dan ini tidak mudah!"
"Jangan kuatir, Ki Rebab Pandan. Kitab Hijau tadi
sekarang aku...." Mahesa Wulung tak jadi melanjutkan kata-katanya, sebab tibatiba Pendekar Bayangan me-nepuk bahunya sambil tertawa keras memenuhi ruangan itu. "Ha, ha, ha, ha. Yah. Kitab Hijau itu pun harus kita
cari bersama-sama pula!" kata Pendekar Bayangan.
"Bukankah begitu, Angger Mahesa Wulung?"
Mahesa Wulung bermaksud menjawab, namun betapa kagetnya, bila mulutnya mengucap tapi tak satu suarapun yang keluar.
Agaknya tepukan tangan Pendekar Bayangan tadi telah melumpuhkan urat-urat
untuk berbicara.
Maka sebagai gantinya Mahesa Wulung cuma menganggukkan kepala saja. Sedang dalam hati ia heran
mengapa Pendekar Bayangan berbuat ini" Lalu iapun
menatap ke arahnya, dan satu kerdipan mata dari
Pendekar Bayangan telah cukup memberikan jawaban
dari maksud perbuatannya tersebut. Kiranya bukan
Mahesa Wulung saja yang menaruh rasa curiga terhadap gelagat Ki Rebab Pandan ini, tetapi Pendekar Bayangan telah mencurigainya
pula. Itulah sebabnya ia mencegah perkataan Mahesa Wulung yang akan
menceriterakan perihal Kitab Hijau yang telah disimpannya.
"Ah, subuh telah menjelang! Baiknya kita sudahi
dulu percakapan kita ini. Marilah kita beristirahat sejenak. Besok masih banyak
waktu dan kami akan bersenang hati bila kisanak bersedia untuk berceritera la-gi," terdengar Pendekar
Bayangan berkata kepada Ki
Rebab Pandan, dan sahabat barunya ini tersenyum
meringis tanpa prasangka.
"Heh, heh, heh, terima kasih. Memang sebenarnya
aku pun telah mengantuk setelah berceritera sekian
panjang." Mereka bertiga kemudian beristirahat. Rumah bambu ini ternyata mempunyai beberapa kamar yang berisi balai-balai bambu
beralaskan tikar pandan. Dengan
begitu merekapun dapat memilih kamarnya masingmasing. Sampai sebegitu jauh Mahesa Wulung masih memikirkan Ki Rebab Pandan ini. Sayangnya ia belum begi-tu mengenal akan wajah Ki
Rebab Pandan sendiri, sehingga ia tak mengerti apakah orang ini Ki Rebab Pandan yang sesungguhnya
ataukah orang lain yang mengaku sebagai Ki Rebab Pandan.
Kalau menilik senjata yang dibawanya berupa rebab
itu, pastilah tidak keliru bila orang ini bernama Ki Rebab Pandan. Mahesa Wulung
terpaksa memutar otaknya menghadapi hal ini. Sangat sulit dan ia langsung terlibat di dalamnya.
Biarpun ia berbaring dan sudah berusaha memejamkan mata, namun belum juga ia tertidur. Di samping ia memikirkan Ki Rebab Pandan ini, iapun memikirkan Kitab Hijau yang kini telah disimpannya. Apakah kitab itu harus
ditunjukkan kepada Ki Rebab
Pandan, sebab mengingat bahwa ia adalah saudara seperguruan dengan mendiang Landean Tunggal. Memang tadi ia bermaksud begitu. Ia akan mengatakan
kepada Ki Rebab Pandan bahwa Kitab Hijau itu kini
berada di tangannya. Akan tetapi ternyata maksud tersebut gagal karena Pendekar
Bayangan telah mencegahnya. Entah bagaimanakah kesudahannya dengan persoalan ini, ia tak mengetahuinya. Apakah ia harus ber-terus terang kepada Ki
Rebab Pandan ini bahwa kedua pusaka Landean Tunggal itu telah disimpannya.
Akhirnya setelah beberapa saat berpikir, menimbangnimbang, maka iapun mengambil satu keputusan untuk minta nasehat dan pertimbangan kepada Pendekar
Bayangan yang kini telah menjadi gurunya pula. Pasti orang tua ini akan
memberikan nasehatnya yang baik.
*** Semenjak Mahesa Wulung, Pendekar Bayangan dan
Rebab Pandan tinggal di desa itu, segala kehidupan
dan ketenteraman yang telah sekian lama terganggu,
kini pulih kembali seperti sedia kala. Semuanya aman.
Segenap penduduk desa hampir-hampir saja lupa
bahwa masa-masa yang telah lalu penuh dengan kecemasan dan penderitaan. Lebih-lebih bagi yang mempunyai anak-anak gadis. Setiap saat mereka akan didatangi oleh anak buah Ki Topeng Reges untuk meminta gadis-gadis itu.
Tetapi kini mereka telah melupakan hal-hal begitu,
apalagi dengan kedatangan ketiga pendekar sakti tadi, keamanan desanya pasti
terjamin. Dan orang-orang
desa tadi benar-benar merasa berterima kasih sekali atas kesediaan mereka untuk
sementara menetap di
desanya untuk menjaga keamanan di sini.
Benarkah mereka itu semua bersikap begitu" Tidak!
Sebab Sela Ganden yang telah dikalahkan oleh Mahesa Wulung itu masih tetap
menaruh dendam kepada pendekar yang masih muda ini.
Sebagai kepala jagabaya desa itu ia telah dibikin
malu oleh Mahesa Wulung di depan mata orang-orang
desanya. Untuk itu ia benar-benar bermaksud membalas dendam serta melenyapkan pendekar muda itu dari desanya.
Akan tetapi nasib telah menentukan bahwa Mahesa
Wulung terhindar dari maksud jahat yang telah mengancam jiwanya secara diam-diam. Demikianlah, pada
suatu hari ketika Mahesa Wulung meronda di ujung
desa sebelah utara dengan tiba-tiba ia telah terkejut karena di balik semaksemak bambu berduri telinganya yang tajam telah menangkap adanya bisikanbisikan yang sangat mencurigakan.
Dengan gerak yang lincah Mahesa Wulung telah
mengendap ke tanah bagai seekor tupai yang melihat
adanya bahaya. "Mengapakah Kisanak memanggilku dan ingin
menghubungi ketua kami?" terdengar satu suara
sember bertanya, membuat Mahesa Wulung menjadi
tertarik perhatiannya.
"Aku ada perlu dengannya." Satu suara lain yang
bernada berat menjawab suara pertama, dan tiba-tiba saja Mahesa Wulung
terperanjat sebab ia lupa-lupa
ingat akan suara itu.
"Serasa aku pernah mendengar suara ini," berkata
Mahesa Wulung di dalam hatinya. "Tapi di mana tempatnya?" Sesaat pendekar muda ini terpekur memutar otaknya itu, maka terkejutlah mereka, sebab dilihatnya Ki Rebab Pandan tengah
memeriksa isi kamar Mahesa
Wulung. Hal ini sangat mengejutkan mereka.
Kedua orang itu sama-sama keheranan dan saling
berpandangan kemudian sama-sama mengangkat bahu, sebagai pertanda bahwa mereka tidak tahumenahu akan hal itu.
Sekali lagi Mahesa Wulung menatap wajah gurunya
dan orang tua ini mengangguk, dan berdehem keras
serta berkata kepada Mahesa Wulung. "Angger Wulung, ayolah kita masuk ke dalam. Ki Rebab Pandan
pasti telah menunggu-nunggu kita!"
"Ya, kasihan kalau ia terlalu lama menunggu kita,"
jawab Mahesa Wulung disertai senyum yang penuh arti. Barangkali Ki Rebab Pandan terperanjat dengan
mendengar suara mereka, ini terlihat di saat Mahesa Wulung dan Ki Jatilawang
menginjak ambang pintu
rumah itu. Ki Rebab Pandan sangat tergopoh-gopoh menyambutnya. "Ah, aku sudah lama menunggu Andika berdua. Lihatlah, nasi dan sayurnya telah dingin."
"Eh, tak apalah, Ki Pandan. Biarpun dingin kalau
kita sudah lapar, pasti kita serbu juga, bukan" Heh, heh, heh."
Mendengar gurunya berkelakar itu Mahesa Wulungpun ikut ketawa. Agaknya Pendekar Bayangan berusaha menghilangkan kegusaran Ki Rebab Pandan.
Dan oleh hal ini ia tak mengira bila kedua sahabatnya ini tengah mencurigainya.
Malam itu mereka bertiga makan dengan enaknya
meskipun di dalam dada Mahesa Wulung dan Pendekar Bayangan dipenuhi oleh berbagai rasa curiga
dan syak wasangka terhadap Ki Rebab Pandan.
*** 2 SELAMA tinggal di desa ini Mahesa Wulung dan gurunya kadang-kadang mengajarkan beberapa gerakan
silat kepada para pemuda desa yang mendapat tugas
ronda, agar mereka mempunyai bekal yang cukup dalam kesiagaan dirinya.
Hari-hari mendatang, silih berganti dan ketegangan
akan serbuan pembalasan dari para anak buah Topeng
Reges kini makin mereda, sebab sampai pada saat inipun tak satu kejadian yang terjadi pada mereka dan pada akhirnya sekali
merekapun melupakan akan bahaya itu.
Yang kemudian tampak adalah wajah-wajah cerah
dan senyuman yang tersungging di wajah para penduduk desa itu. Dan pada hari-hari berikutnya ada pula
satu dua orang yang mulai bermulut usil dengan nada-nada sumbang.
Sela Ganden mulai menyebarkan kasak-kusuk di
antara mereka. "Nah, kau lihat ketiga orang itu" Mereka apa kerjanya di desa kita ini, kecuali kelayar-keluyur melulu.
Sedang makan minum kita yang menjaminnya," ujar
Sela Ganden kepada beberapa orang teman minum di
warung desa. "Jangan lupa, kawan, bukankah dia telah bersusah
payah menjaga desa kita ini," kata seorang yang duduk di dekatnya.
"Menjaga desa kita" Huh, apanya yang perlu dijaga"
Bukankah kita telah aman tenteram?"
"Tapi kau tak bisa menyalahkan ketiga pendekar
itu, sobat," terdengar pula teman Sela Ganden berkata.
"Ki Lurah telah mengajak mereka untuk sementara
tinggal di desa kita."
"Bah, Ki Lurah terlalu memanjakan mereka dan para pendekar tetiron serta gadungan itu menjadi semakin keenakan mengendon
disini!" "Stt, jangan keras-keras kau berkata begitu. Lihat, Mahesa Wulung baru saja
lewat!" desah teman Sela
Ganden. Dan memang benarlah bahwa Mahesa Wulung tengah melewati jalan di depan warung itu. Telinganya yang tajam tak urung dapat
menangkap percakapan
mereka membuat darah dan telinganya serasa terbakar oleh bara api.
Tetapi bukanlah bernama Mahesa Wulung kalau ia
mudah menurunkan amarahnya, maka pendekar muda ini tetap berjalan dengan langkah seenaknya. Apa yang baru didengarnya tadi
segera dilupakannya. Bagai angin lalu yang bertiup di musim kemarau. Sudah
lumrah bila setiap perjuangan dan perbuatan baik selalu mendapat tantangan.
Bahkan kadang-kadang sesuatu yang tak diduga-duga bisa saja terjadi, seperti halnya Ki Rebab Pandan
yang dengan diam-diam telah


Pendekar Naga Geni 8 Keruntuhan Netra Dahana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggeledah kamar Mahesa Wulung.
Sesudah beberapa hari menimbang-nimbang akan
kecurigaannya terhadap sikap Rebab Pandan itu, Mahesa Wulungpun bisa menduga bahwa pendekar itu
agaknya mencari Kitab Hijau milik Landean Tunggal
yang kini telah disimpannya.
Begitulah pada suatu hari, Pendekar Bayangan bersama Mahesa Wulung pergi keluar desa menuju ke
arah utara, mencari tempat yang sunyi, sebab Pendekar Bayangan bermaksud memberikan nasehatnasehat penting berkenaan dengan Kitab Hijau milik
Landean Tunggal.
Keduanya menerobos dan memasuki hutan kecil di
sebelah utara desa dan setelah melalui jalan rintisan setapak, tibalah mereka di
padang ilalang yang cukup luas. Pendekar Bayangan serta Mahesa Wulung lalu
duduk di atas sebuah batang pohon yang telah roboh
di atas tanah. Suasana hening sejenak. Angin bertiup lembut dan
udara siang terasa sangat panas, sementara pucukpucuk daun muda pada tunduk terkulai lesu.
"Nah, kitab ini sekarang telah aku bawa, Guru. Dan
apakah nasehat Guru untuk hal ini?" ujar Mahesa Wulung sambil mengeluarkan Kitab Hijau yang terbungkus kain dari balik bajunya.
"Aku tahu, Angger. Kalau menurut hubungan keperguruan memang seharusnya Ki Rebab Pandanlah
yang lebih berhak menyimpan Kitab Hijau itu, sebab
dia adalah saudara muda seperguruan Si Landean
Tunggal. Akan tetapi jika berdasarkan surat wasiat dari Landean Tunggal itu, memang Anggerlah yang harus memiliki Kitab Hijau
tersebut," ujar Pendekar Bayangan.
"Itulah yang menyulitkan, Guru," sambung Mahesa
Wulung seraya merenung ke bawah.
"Sekarang begini saja, Angger. Aku akan mengajak
Ki Rebab Pandan berunding. Biarlah kalau seandainya ia berkeras untuk menyimpan
Kitab Hijau itu. Namun
sebelum itu kita harus membuat salinannya dari kitab tadi seperti halnya dengan
pusaka-pusaka ampuh sering dibuat salinannya."
"Oooh, baik juga pendapat Guru tadi. Aku sangat
menyetujuinya dan...." Kata-kata Mahesa Wulung tak
terlanjutkan sebab tiba-tiba saja dari balik semak ilalang dengan tanpa suara
melompatlah Ki Rebab Pandan sambil meringis, sambil menggenggam rebabnya.
"Kitab itu mutlak milikku! Dan sekarang juga serahkan kepadaku!" berkata Ki Rebab Pandan dengan suara mengguntur membikin Pendekar Bayangan serta
Mahesa Wulung terkejut bukan main.
"Tak mungkin! Angger Mahesa Wulung punya buktibukti bahwa Kitab Hijau ini diserahkan oleh mendiang Landean Tunggal kepada
siapa saja yang menemukannya!" sahut Pendekar Bayangan lantang, hingga Ki Rebab
Pandan mengangkat muka.
"Persetan dengan surat-surat bukti yang telah
usang. Aku tak butuh itu. Yang aku mau ialah Kitab
Hijau itu. Ayo cepat serahkan kepadaku, sebab aku
yang berhak menyimpannya!"
"Hmm, aku tak menyangka bahwa Kisanak bisa berubah adat sebegitu cepat," sela Mahesa Wulung.
"Apa perlumu, anak ingusan!" bentak Ki Rebab
Pandan sembari mengacung-acungkan senjata rebabnya ke arah kedua sahabatnya itu.
"Sekarang aku ingin tahu. Andika telah berceritera
bahwa Andika tetap tinggal bersama Panembahan Jatiwana ketika Landean Tunggal pindah ke Jepara! Tetapi mengapakah Andika bisa menceritakan kisah pertempuran Landean Tunggal melawan Topeng Reges
dan Jobin Karang di Jurang Mati?"
Oleh pertanyaan yang tak terduga itu, Ki Rebab
Pandan jadi terhenyak kaget dengan wajah yang sebentar merah dan sebentar kepucatan. Namun sesaat
kemudian, pendekar ini tertawa cekakakan terbahakbahak. "Hua, ha, ha, ha, ha. Setan alas kowe! Otakmu memang sangat tajam dan cemerlang. Tetapi biar bagaimanapun, kepala kalian berdua akan kuhancurkan
dengan senjata rebabku ini! Ha, ha, ha. Baiklah kalau kalian ingin tahu siapa
aku sebenarnya." Setelah berkata demikian Ki Rebab Pandan tadi melepas ikat kepalanya serta mengusap seluruh mukanya dengan lengan bajunya, sehingga Pendekar Bayangan serta Mahesa Wulung kini ganti terhenyak kaget bagai melihat
hantu kubur di depannya!
Yang berdiri di depannya kini adalah seorang yang
berwajah garang dengan kepala gundul sedang di kakinya berserakan alis dan kumis
palsunya. Kesan-kesan wajah Ki Rebab Pandan tidak terlihat sama sekali. Sa-tu
penyamaran yang luar biasa.
"Hua, ha, ha. Kau tahu sekarang, hee" Akulah yang
bernama Ki Jobin Karang bekas guru si Topeng Reges!"
"Kurang ajar! Jadi kau masih hidup dan mengarang
ceritera busuk itu di hadapanku!" geram Mahesa Wulung. "Hah, memang aku masih hidup ketika dipukul oleh
Landean Tunggal, sebab sempat berpegang pada dinding Jurang Mati. Dan sejak saat itu pula aku membayangi Landean Tunggal yang telah dikurung oleh Ki Topeng Reges dalam sebuah
goa. Setiap hari aku yakin bahwa pada suatu hari Landean Tunggal benar-benar
mampus kelaparan! Hua, ha, ha, ha! Puaskah sekarang" Kini cepatlah kau serahkan Kitab Hijau di tanganmu itu, Mahesa ingusan!"
"Tak semudah itu enaknya, setan gundul!" seru Mahesa Wulung. "Buku ini boleh kau jamah setelah melangkahi mayatku." Mahesa Wulung dengan cepat
memasukkan kembali Kitab Hijau ke dalam bajunya.
Pendekar Bayanganpun segera pula bersiaga memasang jurus silatnya. Sayangnya sebelum keduanya
sempat melakukan serangan terhadap si gundul Jobin
Karang, orang ini dengan cekatan telah menggesek
senjata rebabnya.
Bersamaan teralunnya nada gesekan rebab tersebut, udara di situ terasa bergetar hebat, sehingga Pendekar Bayangan serta
Mahesa Wulung cepat-cepat
memasang tenaga dalamnya untuk memagari tubuhnya dari pengaruh bunyi gesekan rebab itu.
Dengan begitu, kedua lawan Ki Jobin Karang ini
memusatkan perhatiannya dalam menanggulangi suara tadi, sementara mereka tak mengira sama sekali bila saja secara mendadak Ki
Jobin Karang melesat ke arah Mahesa Wulung dan sebuah tendangan kakinya telah
melanda pundak si pendekar muda.
Mahesa Wulung tidak keburu mengelak. Tubuhnya
terpental, terhempas ke tanah bergulingan. Bersamaan itu pula Kitab Hijau telah
terpelanting dari balik bajunya.
"Hua, ha, ha, ha. Kini jadi milikku Kitab Hijau ini!"
seru Ki Jobin Karang seraya memungut kitab itu cepat-cepat. Dan selanjutnya setelah ia memasukkan kitab tersebut ke balik
bajunya, Ki Jobin Karang menggesek kembali rebabnya, sehingga udara kembali bergetar hebat. Semenjak tadi Pendekar Bayangan telah berhasil
menguasai dirinya, namun tidak begitu dengan si Mahesa Wulung. Apalagi setelah ia terkena tendangan
kaki Jobin Karang. Maka sedikit demi sedikit suara ta-di menelusup ke dalam
telinganya, menyebabkan Mahesa Wulung yang masih terguling di tanah itu meringis dan menyeringai
kesakitan, sebab suara tadi seolah-olah jauh merembes ke dalam telinganya serta
menyentuh isi otaknya, menimbulkan rasa nyeri dan menyengat-nyengat yang kelewat dahsyat.
Karuan saja melihat lawannya yang satu telah berkelesatan di tanah seperti cacing kepanasan, Ki Jobin Karang serentak tertawa
terkekeh-kekeh.
Tetapi tiba-tiba sebelum hal itu berlangsung lebih lama, terjadilah suatu hal
yang tak terduga-duga. Dari semak-semak bambu di sebelah utara mengalirlah
udara aneh bersama tiupan angin menuju ke arah mereka. Bersamaan dengan merayapnya arus udara aneh
tersebut, terasalah bagi Pendekar Bayangan dan Mahe-sa Wulung sesuatu yang segar
dan sejuk meresap ke
dalam telinga dan dada mereka. Rasa nyeri dan pedih yang disebabkan oleh gesekan
rebab itu menjadi reda dan akhirnya hilang sama sekali.
Kini gesekan rebab itu tidak ada pengaruhnya sama
sekali bagi Pendekar Bayangan dan Mahesa Wulung,
sehingga perlahan-lahan Mahesa Wulung yang bergulingan di tanah bangkit berdiri dengan kukuhnya.
Tentu saja hal ini menyebabkan Ki Jobin Karang
terperanjat kaget. Apalagi setelah ia menatap ke arah sumber udara yang mengalir
dari arah semak-semak
bambu. Terlihatlah Bayangan seseorang berdiri dengan
melipat tangan di dadanya.
"Hah! Rebab ini tak berguna sama sekali!" gerundal
Ki Jobin Karang sambil mencampakkan rebab dan alat
penggeseknya itu ke atas tanah. "Bangsat, siapa kau ha"!"
Ki Jobin Karang berteriak marah, sementara itu Bayangan tadi yang berdiri di tempat kegelapan tiba-tiba meloncat dengan gaya yang
amat manis dan..., tap!
Orang ini tahu-tahu telah bersiaga di depan Ki Jobin Karang.
"Rebab Pandan, kau"!" desis Ki Jobin Karang disertai wajah yang penuh kerut lipatan marah, berkeringat. Dalam pada itu, Pendekar Bayangan serta Mahesa
Wulung tak kalah herannya menyaksikan orang yang
baru muncul ini, berwajah setengah tua penuh wibawa. "Ya, akulah Rebab Pandan yang sesungguhnya! Setelah kau berhasil menipu dan mencuri senjataku rebab ini, kau ternyata telah berani memalsukan wajahku pula!" ujar orang yang menyebut dirinya sebagai Rebab Pandan yang
sesungguhnya, dan dengan secepat kilat pula orang tersebut telah menyambar rebab
dan alat penggeseknya yang tergeletak di tanah.
"Ha, ha, ha, ha. Manusia-manusia goblok! Kalian
boleh mengutuk-ngutuk ataupun berkoak-koak sekehendak hatimu, tapi yang penting Kitab Hijau ini telah aku kuasai dan tidak akan
lepas dari tubuhku!"
"Hmm, bagus juga ocehanmu itu, sobat!" sahut Ki
Rebab Pandan. "Tetapi hari ini juga kau akan meneri-ma pembalasanku!"
"Ah, maaf Ki Rebab Pandan, aku mohon Andika sedia untuk memberikan Ki Jobin Karang itu untukku.
Biar akulah yang akan menghadapinya!" sela Mahesa
Wulung. "Lha, itulah jalan yang baik pula. Bagus, aku pun
tak berkeberatan, Kisanak!" jawab Ki Rebab Pandan
menyetujui. "Hee, kalian akan berusaha mengeroyokku" Bukan
sikap ksatria itu namanya"!" teriak Jobin Karang.
"Setan alas! Kau bicara tentang sikap ksatria tetapi kau telah mencuri senjataku
dan menyamar sebagai
diriku!" sahut Ki Rebab Pandan. "Jangan kau kira
bahwa kami berkelakuan serendah tampangmu. Kau
telah dengar tadi bahwa Kisanak Mahesa Wulung ini
telah memintaku agar dia diperbolehkan seorang diri menghadapimu. Nah, kau tak
usaha kuatir akan kami
keroyok. Kau boleh bertempur mati-matian melawannya." "Baik! Kau harus mati di tanganku, bocah ingusan!"
terdengar teriakan menggeledek Ki Jobin Karang seraya menunjuk ke arah Mahesa Wulung.
"Kematian seseorang tidak harus terletak di tangan
orang lain," berkata Mahesa Wulung dengan lantang.
"Tetapi terletak di tangan Tuhan Yang Maha Kuasa!
Marilah kita mulai!"
"Hee, kau pandai bicara, bocah! Tapi tenagamu belum tentu sebaik omonganmu!" teriak Ki Jobin Karang.
"Untuk kali ini aku tak mau bermain-main dengan tangan kosong karena akan memakan waktu lama. Aku
menghendaki kematianmu secepat mungkin. Nah, lihatlah ini!"
Ki Jobin Karang segera mencabut sesuatu dari balik
ikat pinggangnya dan kini tergenggamlah di tangan
kanannya sebuah rantai panjang yang bermata kecilkecil sedang pada ujungnya tergantung sebilah pisau kecil. Senjata ini tampak
berkeredapan terkena sinar.
Melihat senjata itu, baik Mahesa Wulung, Pendekar
Bayangan maupun Ki Rebab Pandan yang baru saja
muncul itu, berdebar-debar hatinya.
"Ayo! Cabutlah pedangmu itu! Aku tak ingin kau
mati konyol cuma-cuma di tanganku!" seru Ki Jobin
Karang sekaligus memutar senjatanya. Mula-mula pelan, kemudian makin kencang dan akhirnya sudah
merupakan sebuah lingkaran sinar putih dengan bunyi mendesing seperti siulan
setan. Sementara itu ujung senjata rantai yang berbentuk pisau kecil tersebut
berubah seperti ratusan jumlahnya yang sebentarsebentar menyambar ke arah Mahesa Wulung.
"Hyaaat! Mampus kowe, hah!" berbareng dengan teriakan ini Ki Jobin Karang melesat ke arah lawannya dan senjata rantainya
membabat ke arah dada Mahesa
Wulung. Mendapat serangan itu, pendekar muda ini serentak
menggenjotkan tubuhnya ke atas dan loloslah ia dari maut. Namun alangkah
kagetnya bila ia belum sempat
mendarat tahu-tahu senjata rantai Jobin Karang yang berujung pisau itu melenting
dan mematuk kembali.
Maka terpaksalah Mahesa Wulung memutar tubuhnya
di tengah udara untuk menghindari senjata lawan.
Dengan sebuah loncatan ke belakang sejauh satu
tombak, Mahesa Wulung telah tiba di luar jarak jangkauan rantai Ki Jobin Karang.
Untuk sesaat Mahesa
Wulung berdiri tegak sementara itu Ki Jobin Karang
pun berdiri sambil terus-menerus memutar rantainya.
"Hee, bocah ingusan! Masihkah kau mimpi untuk
mendapatkan Kitab Hijau ini kembali?"
"Ya, aku akan mengambilnya dari tanganmu sendiri, setan gundul!" jawab Mahesa Wulung sekalian mencabut pedangnya.
"Jempolan, kau bocah! Kalau saja kau kuat menanggulangi puncak permainan rantai Sapu Lesus ini,
kau boleh mengambil kitabmu ini!" kata Ki Jobin Ka

Pendekar Naga Geni 8 Keruntuhan Netra Dahana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rang dengan mempergencar putaran senjatanya.
Apa yang terlihat kemudian sangat menggetarkan
hati. Tubuh Ki Jobin Karang seolah-olah dilingkari oleh sinar putih yang
mengeluarkan desingan bunyi bernada tinggi. Sesaat kemudian keduanya saling
menyerbu. Maka bertempurlah kembali kedua orang tadi. Kali ini Mahesa Wulung kerepotan
juga tampaknya. Senjata
lawan tadi berkali-kali mengancam jiwanya, membuat
dirinya sibuk berloncatan kesana-kemari sambil seka-li-sekali membalas dengan
serangan pedangnya.
Memang hebat permainan rantai Sapu Lesus ini,
sebab beberapa dahan pohon dan rerumputan berhamburan rontok terbabat oleh ujung pisau kecil itu.
"Awas hati-hati, Angger Wulung!" Pendekar Bayangan berseru memperingatkan Mahesa Wulung. "Pergunakan ilmu pedangmu Sigar Maruta!"
Mahesa Wulung segera mengetrapkan seluruh tenaga dalamnya dan gerakannya semakin lincah. Sekalisekali ia berhasil menerobos pusaran rantai Ki Jobin Karang yang bergulunggulung laksana ombak Laut
Kidul. Sekali-kali Mahesa Wulung terpaksa bergulingan di tanah untuk kemudian menyerang pertahanan
lawan yang kosong.
Selama bertempur itu Mahesa Wulung telah berkalikali merasa kagum, sebab setiap kali pedangnya membabat senjata rantai Ki Jobin Karang yang nampaknya tipis dan mudah putus itu,
ternyata tidak demikian jadinya. Senjata rantai tadi selalu bergetar lemas,
sehingga dengan mudah lolos dari kemungkinan putus.
Maka akhirnya Mahesa Wulung mencoba siasat lain.
Demikianlah pada suatu saat, sambaran rantai Ki
Jobin Karang ini dengan deras menyambar ke arah wajah Mahesa Wulung. Untungnya pendekar muda ini
secepat kilat menarik kepalanya ke belakang, hingga rantai tersebut meleset dan
kini terjulur di depannya dalam keadaan tegang.
Nah, memang saat inilah yang ditunggu-tunggu.
Maka bersamaan itu pula ia menebaskan pedangnya
ke arah rantai tadi.
Tas! Criiing! Hampir semua mulut ternganga mengikuti kejadian
ini. Rantai berujung pisau kecil tadi terputus dan kemudian jatuh terpelanting,
tercampak ke tanah.
Belum habis keheranan mereka tadi, tiba-tiba Mahesa Wulung telah menebaskan sekali lagi pedangnya
ke arah leher Ki Jobin Karang. Tetapi pendekar gundul ini memang cekatan. Segera
ia berkelit ke samping serta tiga langkah ia melompat menghindar, namun tak
urung bahunya tersambar juga oleh ujung pedang Mahesa Wulung. "Aaaaakh!" Ki Jobin Karang menjerit dan secepat itu pula ia melesat ke arah
hutan-hutan kecil di sebelah utara.
Tetapi kali ini Pendekar Bayang tak tinggal diam.
Sebuah pukulan Angin Bisu yang terkenal hebat segera dilontarkan ke arah Ki Jobin Karang. Dan akibatnya, pendekar gundul ini terhempas bagai selembar
daun kering dan membentur sebuah batang pohon dengan suara berderak dibarengi jeritan hebat. Sesaat kemudian tubuhnya terkulai
ke tanah dengan kepala
yang berlumuran darah. Pecah mengerikan.
Mahesa Wulung, Pendekar Bayangan serta Ki Rebab
Pandan segera berlari mendapatkan Ki Jobin Karang.
Setelah itu Mahesa Wulung segera memungut Kitab
Hijau dari balik baju Ki Jobin Karang dan kemudian ia menatap ke arah Ki Rebab
Pandan. Demikian pula dengan Pendekar Bayangan.
Keduanya meneliti dengan pandangannya terhadap
Ki Rebab Pandan, mulai dari kepala sampai ke ujung
kaki. Mereka mencoba meyakini bahwa sekali ini orang yang begitu muncul dan
menyebut dirinya sebagai Ki
Rebab Pandan tidaklah orang tetiron seperti Ki Jobin Karang yang telah menyamar
sebagai Ki Rebab Pandan.
Agaknya Ki Rebab Pandan yang baru muncul itupun maklum akan pikiran mereka. Maka tiba-tiba saja ia tertawa terkekeh-kekeh.
"Heh, heh, heh. Tampaknya Andika berdua telah
menggolongkanku dengan Ki Jobin Karang tadi yang
telah menyamar sebagai diriku. Tetapi baiklah aku
akan membuktikan bahwa aku bukan Ki Rebab Pandan yang tiruan." Berkata demikian Ki Rebab Pandan
melepas ikat kepalanya sehingga tampaklah rambutnya yang sudah hitam keputihan itu dengan sanggul
kecil di belakang kepala. "Nah, lihatlah. Apakah aku tetiron atau yang asli."
Ki Rebab Pandan kemudian menarik-narik rambut
dan kumisnya, juga janggutnya pula sehingga adegan
ini tampak sangat menggelikan. Lebih-lebih sambil
berlaku demikian Ki Rebab Pandan mengiringinya dengan ketawa. Mahesa Wulung dan gurunya setelah melihat bukti
tadi akhirnya tak tahan lagi, lalu ikut tertawa pula.
Suasana yang menegangkan akhirnya menjadi cerah.
Tempat itu kemudian terpenuhi oleh derai ketawa mereka. Mahesa Wulung dan Pendekar Bayangan lalu memperkenalkan diri serta berjabatan tangan dengan Ki
Rebab Pandan. "Maaf, Kisanak. Kami akui kalau semula kami berdua meragukanmu. Sebab kami kuatir jangan-jangan
Andika juga tetiron seperti dia," ujar Pendekar Bayangan seraya menunjuk ke
tubuh Jobin Karang yang
telah tergeletak tak bernyawa itu.
*** 3 HARI BERTAMBAH siang, sementara kesuraman
senja telah mulai merayapi langit di sebelah timur. Ketiga orang pendekar itu
tengah beranjak untuk kembali ke Mijen di sebelah selatan arah mereka.
Mereka tengah melawati jalan setapak ketika dari
arah selatan tampak debu berkepulan naik ke atas
yang tampaknya bergerak menuju ke utara, ke arah
mereka. "Heei, Andika mendengar derap kaki kuda?" bertanya Ki Rebab Pandan kepada kedua rekan barunya.
"Ya, aku mendengar! Kira-kira mereka berempat,"
jawab Pendekar Bayangan membuat Ki Rebab Pandan
terperanjat. "Lho, Andika dapat mengetahui jumlah mereka?"
"Oh, tidak. Itu hanya kira-kira dari getaran derap
kaki-kaki kuda mereka."
"Hebat! Itu hebat! Memisah-misah dan membedakan suara hanya dimiliki oleh para darah bayu saja biasanya. Kalau begitu Andika
termasuk di antaranya."
"Eh, terima kasih. Andika berlebih-lebihan memujiku." Sementara itu pula kepulan debu tadi bertambah
dekat dan sebentar kemudian tampaklah empat orang
berkuda menuju mereka. Pendekar Bayangan dan Mahesa Wulung pertama-tama dapat mengenal mereka.
Yang paling depan adalah Ki Lurah Mijen sendiri.
Dengan ringkikan keras kuda-kuda tersebut berhenti tidak jauh dari ketiga pendekar itu. Ki Lurah Mijen dan ketiga penunggang
lainnya segera meloncat turun.
Tampak sekali wajah Ki Lurah yang kecemasan serta langkahnya yang tergesa-gesa menuju ke arah Pendekar Bayangan.
"Oh, adakah sesuatu yang penting, Ki Lurah" Aku
lihat Ki Lurah seperti kecemasan," tanya si Pendekar Bayangan.
"Benar... Benar katamu itu, Kisanak. Sesuatu telah
terjadi ketika Andika bertiga meninggalkan desaku.
Endang Seruni telah diculik oleh orang-orang anak
buah Ki Topeng Reges."
Bagai suara ledakan petir, berita itu menggetarkan
dada-dada mereka. Terutama dada Mahesa Wulung
yang dahulu pernah menolong keselamatan gadis ini
dari cengkeraman orang-orang golongan hitam yang
dipimpin oleh Jaramala.
"Kalau begitu, sekarang mereka belum jauh dari desa ini!" Pendekar Bayangan berkata.
"Betul! Kami berusaha mencegatnya, tetapi mereka
terlalu kuat, dan tiga orang kita terluka parah oleh senjata-senjata mereka.
Kini mereka tengah berkuda
ke arah timur!"
"Jangan kuatir, Ki Lurah. Kita akan mengejar mereka sekarang juga!" ujar Mahesa Wulung.
"Terima kasih! Pakailah kuda-kuda kami ini!" Ki Lurah Mijen mempersilakan ketiga pendekar itu untuk
memakai kuda mereka, dan kemudian ketiganya segera berloncatan ke punggung kuda masing-masing milik orang-orang Ki Lurah tadi.
Sebentar saja mereka telah berpacu ke arah timur
diikuti oleh pandangan Ki Lurah Mijen serta orangorangnya, dan sejurus kemudian lenyap di balik hutan kecil. Dalam pada itu baik
Mahesa Wulung, Pendekar
Bayangan maupun Ki Rebab Pandan, masing-masing
memacu kudanya secepat mungkin, sebab mereka tak
ingin ketinggalan jauh oleh orang-orang Ki Topeng
Reges. Sesudah mereka menerobos hutan kecil tadi, maka
tampaklah jauh di depan mereka orang berkuda yang
menuju ke arah timur laut, sedang di belakangnya de-bu berkepul-kepul naik ke
udara. Ketiga pendekar tadi mempercepat lari kudanya dan jarak dengan orangorang Ki Topeng Reges bertahan dekat!
"Oh, mereka menuju ke arah Watu Semplak!" desis
Mahesa Wulung. "Mereka langsung menuju ke sarang
mereka!" "Mereka harus kita serang sebelum mencapai daerah kekuasaannya!" seru Pendekar Bayangan.
Bila mereka semakin bertambah dekat, rupanya dari pihak gerombolan tersebut telah mengetahui adanya bahaya di sebelah belakang.
Maka merekapun cepat
bertindak. Dari rombongan orang-orang Ki Topeng Reges itu,
tiga orang berkuda keluar dari rombongan serta berbalik menyongsong ketiga
pengejarnya, sedang sisanya
tetap melarikan Endang Seruni ke arah timur laut.
Ketiga orang anak buah Ki Topeng Reges ini dengan
garangnya mempersiapkan senjatanya masing-masing.
Yang berada paling depan adalah si Pelang Telu, bersenjata sebilah tombak pendek
dan yang dua orang la-gi tampak menggenggam pedang di tangannya.
"Adi Sangkrah dan Caplak, kalian langsung menyerang kedua orang yang tua-tua itu. Yang termuda itu bagianku. Biar aku yang akan
membereskannya!" seru
Pelang Telu. "Baik, Kakang!" mereka berseru berbareng.
Jarak merekapun semakin bertambah dekat dan sejurus kemudian keenam orang itu telah bertempur hebat. Mereka saling terjang-menerjang dengan kekuatan cukup seimbang. Dengan
pertempuran berkuda ini, setiap orang tidak akan sama baiknya, sebab masingmasing dipengaruhi oleh kepandaiannya mengendalikan kuda. Biarpun seorang pendekar yang tangkas dan tangguh dalam ilmu tata kelahi, tapi tidak pandai dalam melayani kuda, maka
bertempur di atas kuda justru
merupakan gangguan juga. Sebab tentu saja perhatiannya akan terpecah menjadi dua. Sebagian terhadap musuhnya dan sebagian lagi
terhadap kudanya.
Dan dalam hal ini agaknya Pendekar Bayangan justru kurang terbiasa dengan perang berkuda. Maka ketika Sangkrah menyerangnya
dengan sabetan-sabetan
pedangnya, Pendekar Bayangan agak kerepotan menangkis dengan tongkat kayunya.
Di pihak lain, Caplak agak keheranan setengah mati
sebab dilihatnya bahwa Ki Rebab Pandan yang menjadi lawannya menggunakan rebab
sebagai senjatanya.
Senjata aneh ini berdesau menyambar-nyambar ke
arah tubuhnya. Sementara itu pula Mahesa Wulung dengan cekatan
memainkan pedangnya yang berputar bagai balingbaling untuk menghadapi tikaman-tikaman tombak si
Pelang Telu. Mahesa Wulung ternyata paling pandai bertempur
di atas kuda. Selain ia gencar melancarkan serangan-serangan terhadap Pelang
Telu, maka dengan gesit pu-la ia menghindari setiap serangan Pelang Telu. Setiap
kali tombak pendek Pelang Telu menikam, Mahesa Wulung cekatan menghindarinya
dengan mengendap rendah ke punggung kudanya. Bahkan tidak jarang ia
bergantung pada sisi lambung kudanya.
Pertempuran berlangsung tambah hebat. Kepulan
debu, ringkikan kuda serta bunyi benturan senjata
memenuhi tempat itu dengan ramainya.
Pendekar Bayangan akhirnya merasa bahwa dengan
bertempur di atas kuda ia tidak dapat banyak menyerang lawannya. Maka segera ia meloncat ke atas tanah.
Melihat lawannya turun dari kuda itu, Sangkrah secepat kilat memburunya turun dari atas kuda. Tubuhnya melesat bagai Bayangan dan Pendekar Bayangan
segera pula menyambutnya.
Kini Sangkrah betul-betul mengeluarkan ilmu pedangnya, sebab ia merasa bahwa lawannya ini bukan
orang yang sembarangan. Ia melihat bahwa ujung
tongkat lawannya ini bagai moncong seekor ular yang setiap kali mematuk-matuk ke
arah dirinya. Demikian pula sebaliknya dengan Pendekar Bayangan. Dalam hati ia memuji akan permainan pedang
lawan. Inilah agaknya mengapa lawannya tersebut berani mencegat pengejarannya. Sekali-sekali pedang
Sangkrah bergulung-gulung hebat melanda laksana air bah, tetapi kadang-kadang
pula menusuk menikam
tak ubahnya paruh burung garuda.
"Keparat! Sebut dulu namamu, tua lumutan!" seru
Sangkrah keras-keras. "Sangkrah tak sudi bertempur
dengan orang tanpa nama!"
"Heh, heh, heh, biar aku sudah lumutan tapi kau
bocah ingusan jangan bermulut kelewat sombong!
Akulah yang biasa disebut Pendekar Bayangan!"
"Pendekar Bayangan"!" jerit Sangkrah. "Kau yang
bernama Pendekar Bayangan"!"


Pendekar Naga Geni 8 Keruntuhan Netra Dahana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Heh, heh, heh. Mengapa kau berteriak-teriak"! Kau
takut mendengar namaku tadi?" seru Pendekar Bayangan. "Justru sebaliknya! Aku telah lama ingin mengukur
tenaga melawanmu, keparat! Maka pertemuan ini sangat menggembirakanku!"
"Bagus. Kalau demikian aku tak setengah-setengah
melayani bocah ingusan."
"Hyaat!" Sangkrah menebaskan pedangnya dengan
garang, sementara itu Pendekar Bayangan dengan sebat berkelit ke samping dan tubuhnya bergerak mirip Bayangan hingga pedang
Sangkrah cuma membelah
udara kosong! Melihat Pendekar Bayangan telah bertempur di bawah, Ki Rebab Pandan pun menyesuaikan diri. Sesudah sambaran pedang lawan berhasil ditangkisnya,
senjata rebab di tangannya secepat kilat melayang ke leher kuda Caplak dan
seketika kuda tadi merasa lumpuh, untuk kemudian rebah ke tanah.
Namun Caplak tak kurang cekatan. Sebelum ia konyol tertindih oleh kudanya ini, buru-buru ia melesat ke tanah sambil mengutukngutuk. "Kurang ajar! Kau licik!"
"Maaf sobat, aku lebih senang bermain-main di bawah!" jawab Ki Rebab Pandan seraya meloncat turun
dari punggung kudanya.
Mereka kemudian telah terlibat dalam pusaran pertempuran yang seru.
Kalau Pendekar Bayangan dan Ki Rebab Pandan telah bertempur di bawah, Mahesa Wulung masih saja
bertempur di atas kuda. Sebagai perwira dari Demak ia telah terbiasa bertempur
begini, maka sedikit pun tak merasa kerepotan.
Malah bagi Pelang Telu sekarang yang celaka. Segenap tulang belulangnya terasa berkereotan pegal kare-na tak jarang ia memutar
tubuh dan sebentar mengendap lalu miring ke kanan atau ke kiri menangkis
dan menyerang terhadap Mahesa Wulung.
Suatu ketika Pelang Telu menderap kudanya agak
menjauh untuk mengambil jarak. Kemudian dengan
serta-merta ia memacu kudanya ke arah Mahesa Wulung, siap menabrak kuda lawan.
Karuan saja Mahesa Wulung terperanjat, tapi terlambat! Kuda Pelang Telu dengan derasnya menabrak
ke arah lambung kanan kudanya. Namun dalam saatsaat yang begini tegang Mahesa Wulung tak mudah hilang akal. Tiba-tiba saja pedang di tangan Mahesa Wulung itu
berkelebat cepat dan.... tas! Tali kekang dari kuda Pelang Telu putus keduaduanya, dan akibatnya, berbareng dengan kedua kuda tadi berbenturan, tubuh Pelang Telu terpelanting dari punggung kudanya, bagai bola bergulingan di tanah.
Mahesa Wulung terpental pula jatuh ke tanah. Untungnya ia lekas mengetrapkan ilmu mengentengkan
tubuh, hingga tubuhnya dengan lincah mendarat di
tanah pada kedua belah kakinya tanpa cedera.
Sekarang ketiga pasang lawan tadi masing-masing
bertempur di atas tanah, hingga terasa lebih leluasa.
Sedang kuda-kuda tadi cuma meringkik-ringkik dan
berloncatan di sekitar tempat itu. Agaknya merekapun merasa kagum melihat keenam
tuannya bertempur dengan hebat.
Pendekar Bayangan kini merasa bahwa ia dapat melayani serangan-serangan lawannya dengan sepenuhnya. Tongkat kayunya tadi berputar dengan gencar
dan menangkis setiap tebasan pedang Sangkrah, seakan-akan mempunyai mata pada ujungnya. Ke manapun ujung pedang Sangkrah menerkam, ke situ pula ia memapaki.
Sangkrah yang merasakan serangan-serangan
tongkat kayu tersebut, terpaksa harus mengerahkan
segenap tenaganya. Tapi akhirnya pada jurus ke duapuluh tujuh, ia benar-benar kewalahan. Bahkan ketika tongkat kayu Pendekar
Bayangan melabrak lengannya,
ia sama sekali tak sempat menghindar.
"Aduuuuh!" Sangkrah berteriak kesakitan serta pedangnya terpental, bila terasa seakan-akan sebuah
tiang besi telah menghajar tulang lengannya. Entah
patah atau remuk tulang lengannya, si Sangkrah tidak tahu. Tapi yang terjadi
kemudian, ia jatuh terduduk lemas bagai selembar kain terjatuh dari penggantungan. Sungguh mengejutkan bagi Caplak melihat Sangkrah telah dirobohkan oleh Pendekar Bayangan. Maka
iapun memperhebat serangan pedangnya, sehingga
mata pedang tadi seolah-olah menjadi ratusan mengurung Ki Rebab Pandan dengan ganas.
Namun Ki Rebab Pandan ini tidak pernah gentar
menghadapi setiap bahaya, lebih-lebih bertempur melawan gerombolan hitam dari Ki Topeng Reges ini.
Baginya nama Ki Topeng Reges selalu mengingatkan
untuk membalaskan kematian Landean Tunggal, saudara tua seperguruannya. Dengan begitu, maka serangan-serangan Caplak selalu ditangkisnya dan setapak demi setapak ia berhasil
mendesak lawannya itu.
Demi dirasanya serangan-serangan pedangnya selalu gagal, Caplak merubah jurusnya. Ia mulai menyerang lawannya dengan loncatan-loncatan panjang
dibarengi tikaman serta tebasan pedangnya. Sungguh
mirip gerakan elang menyambar ayam.
Barangkali kalau orang biasa, akan menjadi kalang
kabut dengan perubahan serangan pedang itu. Sedang
bagi Ki Rebab Pandan, tidak banyak pengaruhnya. Kalau saja Caplak mampu bergerak laksana elang kelaparan, Ki Rebab Pandan pun
mampu menggerakkan tubuhnya seperti seekor bajing yang berloncatan amat
lincahnya. Sementara itu, setelah lawannya jatuh terduduk tak
berdaya, Pendekar Bayangan cuma berdiri saja mengawasi kedua lingkaran pertempuran di depannya. Dalam hati ia merasa kagum menyaksikan ketangkasan
silat kedua sahabatnya itu. Lebih-lebih dengan si Mahesa Wulung. Dalam gerakan
pendekar muda itu, ia
melihat unsur-unsur gerak campuran dari mendiang
saudara seperguruannya - Landean Tunggal. (Tambahan Editor: kadang cerita Naga Geni ini terasa ada
yang 'mengganjal'. Seperti dalam konteks ini, "Dalam hati Pendekar Bayangan
merasa kagum karena gerakan silat Mahesa Wulung terdapat unsur gerak dari
mendiang saudara seperguruannya, Landean Tunggal".
Saudara seperguruan Landean Tunggal kan seharusnya Rebab Pandan, bukan Pendekar Bayangan" Pengarang sesaat seperti 'lupa' pada jalan ceritanya sendiri, hingga bisa menulis
begitu. Tapi walau bagaimanapun, cerita ini tetap menarik. Jadi..., mari kita
lanjutkan sa-ja.) Tak antara lama terlihatlah bahwa Mahesa Wulung ini telah
berhasil menghimpit serangan tombak
pendek dari Pelang Telu. Dan agaknya lawan Mahesa Wulung itupun merasakan hal itu, sehingga dengan sebuah serangan nekad Pelang
Telu menerkam ke arah
Mahesa Wulung. Sementara tangan kanan menusukkan tombak pendeknya, tangan kirinya melancarkan
serangan pukulan maut.
Mahesa Wulung cukup waspada. Sebelum mata
tombak Pelang Telu menyentuh dadanya, ia menyabetkan pedangnya ke kiri dengan deras sampai membentur mata tombak lawan.
"Traaang!" Kedua senjata berbenturan dibarengi
loncatan bunga-bunga api ke udara.
Sesaat Mahesa Wulung tergetar tangannya, sedang
Pelang Telu lebih daripada itu. Tombak pendeknya tadi terlempar jatuh dari
pegangan tangannya!
Mahesa Wulung melihat kesempatan baik ini, dan ia
tak mau melewatkannya. Maka sebuah tebasan pedangnya secepat kilat menuju ke arah tubuh Pelang
Telu. Nyata sekali bahwa Pelang Telu bukan lawan sembarangan. Sebab begitu pedang Mahesa Wulung meluncur ke arah kepalanya, ia buru-buru mengendap
sambil menangkis dengan tangan kirinya. Untunglah
ia memakai sebuah gelang baja murni yang lebar di
pergelangan tangan kirinya, hingga dengan benda itu ia dapat menangkis tebasan
pedang Mahesa Wulung.
Dengan begitu, Pelang Telu dapat selamat dari pedang tersebut, walaupun
akibatnya ia terhempas serta bergulingan di tanah.
Sambil bergulingan tadi, Pelang Telu mengambil kesimpulan bahwa bila dilanjutkan tidak akan memberikan keuntungan baginya dan pertempuran tersebut
harus ditinggalkannya.
Itulah sebabnya setelah sesaat bergulingan di tanah, Pelang Telu secepat kilat menjauh dari titik pertempuran.
Dan di pojok lain tiba-tiba terdengar satu jeritan karena Caplak kena sambar
bahunya oleh senjata rebab
dari Ki Rebab Pandan hingga tubuhnya terpental ke
belakang beberapa langkah.
"Mundur!" Pelang Telu mendadak berseru memberi
tanda kepada kedua temannya agar lari meninggalkan
tempat itu. Sementara itu pula Sangkrah yang tadi terpukul
oleh tongkat Pendekar Bayangan, rupa-rupanya telah
dapat memperbaiki dirinya, maka cepat-cepat tangan
kirinya yang tidak lumpuh itu meraba sesuatu benda
dari balik bajunya.
"Awas, Guru! Pisau dari sebelah timur!" teriak Mahesa Wulung tiba-tiba, apabila ia dapat melihat gerakan Sangkrah yang
mengibaskan tangan kirinya ke
arah Pendekar Bayangan.
"Hyaat!" Pendekar Bayangan bertindak cepat menyabetkan tongkat kayunya selingkaran penuh dan selanjutnya terdengar sebuah benturan keras.
"Traak!"
Pisau yang melesat deras ke arah tubuh Pendekar
Bayangan telah kena tersampok oleh tongkat kayunya
hingga melesat ke arah lain.
"Bagus lemparanmu, sobat! Tapi terimalah pisaumu
kembali!" teriak Pendekar Bayangan ketika ia menyampok pisau Sangkrah tersebut.
Dan kemudian terjadilah sesuatu yang mengejutkan
kedua sahabatnya itu. Ki Rebab Pandan dan Mahesa
Wulung hampir tak percaya melihatnya, pisau tadi
kembali melesat berganti arah dan langsung menuju
ke arah Sangkrah berada.
"Aaaaakh!" sebuah jeritan panjang melengking keluar dari mulut Sangkrah, bersamaan pisau tersebut
menghujam ke dalam dadanya hampir ke tangkainya
penuh dan selanjutnya tubuh Sangkrah tergeletak mati. "Terima kasih, Angger Wulung. Kau telah menyelamatkan jiwaku!" ujar Pendekar
Bayangan seraya menepuk-nepuk bahu Mahesa Wulung. "Tapi sayang kedua orang itu telah melarikan diri. Apakah kita terus menyerbu ke sarang Ki
Topeng Reges?"
"Sebaiknya kita pulang dulu, Guru," ujar Mahesa
Wulung. "Mengapa, Angger?"
"Daerah sarang Ki Topeng Reges terlalu kuat dan kita bertiga tidak cukup untuk menerobos ke sana."
"Betul juga pendapat Andika," sela Ki Rebab Pandan. "Hmm, jika begitu marilah kita cepat-cepat kembali
ke desa!" Pendekar Bayangan berkata, namun tiba-tiba ia berseru pula, "Tunggu
dulu! Dengar, ada derap kuda dari arah barat! Ayo kita bersiaga! Jangan-jangan
itu anak buah Ki Topeng Reges!"
Maka ketiga pendekar itupun mempersiapkan diri.
Tetapi merekapun akhirnya menarik nafas lega, sebab orang-orang berkuda itu
tidak lain adalah Ki Lurah Mijen serta beberapa orang prajurit desa.
Sesudah dekat, Ki Lurah Mijen serta orangorangnya segera turun dan mendapatkan ketiga pendekar itu. "Oh, agaknya Andika bertiga telah berhasil mengalahkan mereka," kata Ki Lurah.
"Benar, Ki Lurah. Seorang dari mereka telah kami
tewaskan. Tetapi yang lainnya kabur bersama Endang
Seruni masuk ke dalam daerah mereka."
"Aduh, lalu bagaimana dengan anakku si Endang
Seruni?" desah Ki Lurah Mijen kecemasan.
"Jangan kuatir, Ki Lurah. Kita akan menyerbu kesana serta membebaskan puterimu itu," ujar Mahesa
Wulung. "Sekarang juga?" Ki Lurah bertanya pula.
"Tidak sekarang, Ki Lurah, tetapi besok! Kita menyelinap ke daerah itu secara diam-diam pada waktu
matahari mulai terbenam. Kemudian kita membebaskan Endang Seruni."
"Baiklah. Marilah kembali ke desa dulu. Untuk persiapan penyerbuan itu aku akan memilih orang-orang
desa yang kuat dan tangkas berkelahi." Ki Lurah Mijen akhirnya menjadi tenang
mendengar kesanggupan tiga
pendekar ini. Maka setelah mereka menyiapkan kudakudanya, rombongan itu kembali ke arah barat menuju Desa Mijen. Tak lama kemudian sesudah menerobos hutanhutan kecil, mereka telah melihat jalan ke arah desanya yang dikelilingi oleh daerah persawahan yang
subur. Ketika rombongan berkuda itu tiba di desa, seorang
penjaga keamanan desa tampak tergopoh-gopoh menyambut mereka.
"Eee, Kertipana, bagaimana keamanan desa kita?"
tanya Ki Lurah seraya melompat turun dari punggung
kudanya, demikian pula dengan ketiga pendekar serta lain-lainnya.
"Baik, Ki Lurah. Cuma sayangnya, Kepala Jagabaya
kita Kakang Sela Ganden lenyap bersama kaburnya
orang-orang Ki Topeng Reges!" ujar Kertipana. "Dan
sementara ini saya memimpin penjaga-penjaga keamanan desa ini."
"Hilang" Si Sela Ganden yang terkenal berani dan
unggul bertempur itu?" ulang Ki Lurah Mijen tak habis herannya.
"Benar, Ki Lurah. Entah ia diculik atau entah ke


Pendekar Naga Geni 8 Keruntuhan Netra Dahana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mana kami tidak tahu waktu itu, sebab pertempuran
tengah berlangsung hebat. Dan tahu-tahu ia telah lenyap. Beberapa orang berusaha
mencari di pelosok de-sa tetapi tak ada yang menemukannya." Demikian Kertipana berceritera.
Mendengar keterangan tersebut hati Mahesa Wulung menjadi berdebar-debar.
"Ah, agaknya Sela Ganden telah melaksanakan
maksudnya, bergabung dengan gerombolan Ki Topeng
Reges," Mahesa Wulung berkata dalam hatinya.
"Hmm, satu hal yang sangat mengejutkan," desah
Ki Lurah Mijen. "Di saat-saat kita membutuhkannya
dia telah lenyap. Tapi biarlah sementara hal itu kita diamkan, sebab yang lebih
penting telah menunggu ki-ta. Nah, Kertipana. Kau menyiapkan orang yang kuatkuat serta pandai bertempur. Besok siang kita berangkat dari desa dan menuju ke
daerah Watu Semplak
untuk menyerang gerombolan Ki Topeng Reges."
"Apakah semua penjaga keamanan desa akan ikut?"
tanya Kertipana pula.
"Jangan semuanya, Kertipana. Separuh biar tinggal
di desa ini untuk menghadapi setiap kemungkinan bahaya. Kau memimpinnya di sini."
"Baik, Ki Lurah. Kini izinkan aku memilih orangorangnya yang akan ikut."
"Ya, Siapkanlah olehmu, Kertipana."
Kertipana segera meninggalkan mereka untuk.
mengumpulkan para penjaga keamanan desa. Sedang
Ki Lurah Mijen serta ketiga pendekar itu bergegas
kembali ke arah pendapa kelurahan.
Begitu mereka tiba di halaman pendapa kelurahan,
terdengarlah isak tangis dari arah dalam rumah utama. "Oh, bukankah itu suara Nyi Lurah?" tanya Mahesa
Wulung seraya menatap wajah Ki Lurah.
"Benar, Angger. Sejak hilangnya Endang Seruni ia
masih saja menangis dengan pilunya," jawab Ki Lurah dengan berkaca-kaca matanya
oleh air mata. "Tapi percayalah, Ki Lurah, kita pasti akan dapat
menyelamatkan serta membawanya kembali ke tengah
keluarga Ki Lurah," ujar Mahesa Wulung dengan hati
ikut terharu, karena iapun dapat merasakannya bahwa kesedihan Ki Lurah sekeluarga tidak akan dapat
terukur oleh kata-kata yang bagaimanapun.
"Nah, silakan Andika bertiga beristirahat di gandok wetan," kata Ki Lurah
mempersilakan ketiga pendekar itu. Demikianlah ketika malam bertambah larut,
suasana desa itu diliputi oleh kesepian yang mencengkam.
*** 4 DALAM PADA ITU, di suatu pagi tampaklah Ki Topeng Reges bergegas keluar dari sebuah rumah tua di dekat reruntuhan candi dan
mendapatkan tiga orang
yang menanti di halaman.
"Jaramala! Kali ini kau bekerja dengan baik dan benar-benar memuaskan hatiku. Sekarang, bawalah aku
kepada gadis itu!"
"Baik, Guru!" ujar Jaramala. "Ia sekarang kami tahan di rumah gubuk sebelah selatan itu."
Segera Ki Topeng Reges diikuti oleh Jaramala, Pelang Telu dan Dadungrante bergegas menuju ke gubuk
itu, yang terletak di bawah semak bambu hitam.
"Jaramala, siapakah orang asing yang berdiri di dekat gubuk itu"!" bertanya Ki Topeng Reges karena
tampak olehnya seorang asing yang berperawakan kekar berdiri di situ.
"Oo, dia bernama Sela Ganden, Guru. Berkat bantuannya pula maka Endang Seruni dapat kita culik,"
ujar Jaramala. "Mengapa ia berbuat begitu dan apa kerjanya"!"
"Dia bekas pemimpin jagabaya dari Desa Mijen,
Guru. Sela Ganden telah berbuat begitu dan sebagai
imbalannya, ia mengharapkan agar kita menyingkirkan Mahesa Wulung, Pendekar Bayangan dan Ki Rebab Pandan dari desa itu," Jaramala berkata pula.
Demi telinganya mendengar nama Mahesa Wulung
dan Pendekar Bayangan, terdengar giginya gemertakan dari balik topengnya. Karena
kedua musuh lamanya
itu masih saja menghantui dirinya. Yang lebih mengejutkan lagi adalah nama Ki
Rebab Pandan tadi. Sebab ia masih mengingat bahwa bekas gurunya yakni Ki Jobin
Karang berhasil merampas senjata rebab milik Rebab Pandan serta menyamar sebagai
dirinya, dalam rangka tugas mencari Kitab Hijau milik Landean Tunggal. "Hai Pelang Telu,
bagaimana tugasmu menghubungi Ki Jobin Karang, apakah kau berhasil?" tanya Ki
Topeng Reges. "Ampun, Guru. Entahlah paham atau bagaimana,
tapi Ki Rebab Pandan yang kami jumpai betul-betul
melabrak kami. Malahan ia memukul roboh si Caplak."
Ki Topeng Reges mengangguk-angguk mendengar
penuturan Pelang Telu tadi, kemudian katanya, "Hmm, mudah-mudahan Ki Jobin
Karang berhasil dalam tugasnya."
"Begitulah harapan kita, Guru," ujar Jaramala.
Keempat orang itupun telah tiba di depan rumah
gubuk. Dan Sela Ganden yang berada di dekat tempat
itu hampir terpekik melihat wajah Ki Topeng Reges
yang mengenakan topeng berbentuk mengerikan.
"Sobat Sela Ganden," ujar Dadungrante seraya
mendekati Sela Ganden, "nah, kini silakan berkenalan dengan ketua kami, yakni Ki
Topeng Reges dari perguruan Watu Semplak."
"Terima kasih," kata Sela Ganden sambil mendekati
Ki Topeng Reges. "Perkenalkan, Tuan, aku bernama
Sela Ganden dari Desa Mijen."
"Aku Ki Topeng Reges," ujar kepala gerombolan
yang bertopeng hantu itu. "Dan aku telah mendengar
semua maksud-maksudmu. Jangan kuatir, sobat, aku
nanti yang akan menyingkirkan si Mahesa ingusan itu.
Beberapa hari lagi kita akan menyerbu ke desamu."
"Menyerbu desa kami"! Dan membinasakan semua
penghuninya?" seru Sela Ganden terperanjat.
"Ha, ha, ha, sobat tak perlu cemas! Aku menyerbu
desamu hanya untuk mengambil gadis-gadis desa serta menghancurkan Mahesa Wulung dan temantemannya. Sedang terhadap penduduk lainnya, kami
tak akan berbuat apa-apa, asal merekapun bersikap
manis terhadap kami."
"Terima kasih, Tuan. Terima kasih," ujar Sela Ganden. Ki Topeng Reges kemudian masuk ke dalam gubuk
dan di luar menunggu Jaramala, Pelang Telu dan Dadungrante. Sedang di dalam ruangan tadi seorang gadis yang berwajah manis menjadi berteriak ketakutan ketika pintu terbuka dan
muncul wajah Ki Topeng
Reges yang sangat mengerikan.
"Ooh, jangan dekati aku! Kalian semua pengecut,
penculik! Kembalikan aku ke desaku!"
"Hua, ha, ha, ha. Kok enak..., kok gampang melepaskanmu"! Maaf, telah sekian lama aku cita-citakan untuk memboyong kau pulang
kemari dan baru saat
inilah terlaksana."
Seraya berkata demikian Ki Topeng Reges makin
mendekati Endang Seruni dan karenanya gadis ini
tambah berteriak-teriak ketakutan.
Hampir saja jangkauan tangan Ki Topeng Reges dapat memeluk tubuh Endang Seruni jika saja tidak secara tiba-tiba gadis ini mencabut sebilah pisau kecil dari balik ikat
pinggangnya. "Selangkah kau maju, aku akan membunuh diri dengan ini!"
"Jangan! Jangan kau berbuat senekad itu!" teriak Ki Topeng Reges kecemasan.
"Baik. Aku tak akan meng-ganggumu sekarang, sebab toh akhirnya kau harus
bersedia menjadi isteriku!"
Ki Topeng Reges berbalik dan melangkah keluar dengan mata yang bersinar kemerahan. Jaramala melihat gurunya bersikap begitu
menjadi cemas. "Mengapa, Guru" Apakah kami keliru mengambil
gadis itu" Dialah yang bernama Endang Seruni, bunga tercantik dari Desa Mijen."
Jaramala berkata setengah gemetar.
"Memang bunga tercantik! Tapi juga berduri, huh!
Mengapa tidak kau geledah gadis itu sebelum kau tahan di rumah ini!"
"Tapi, tapi aku lihat ia tidak membawa apa-apa,
Guru," ujar Jaramala sambil mundur-mundur.
"He, mengapa mundur-mundur kau" Takut kalau
kumakan, ha"!" bentak Ki Topeng Reges. "Mari mendekat sedikit, bocah!"
Jaramala mendekat ke depan Ki Topeng Reges setengah takut, seperti seorang anak kecil kena marah orang tuanya.
"Nah, dengar dengan telingamu baik-baik, goblok! Ia membawa sebilah pisau kecil
di balik ikat pinggangnya. Itu menunjukkan bahwa kerjamu masih kurang
sempurna! Kurang teliti! Kau tahu, pisau tadi dapat mencelakakan diriku!"
Plak! Pelipis Jaramala tiba-tiba tersambar oleh telapak tangan Ki Topeng Reges dan
tubuhnya terhempas seketika ke tanah sambil mengerang kesakitan.
"Nah, itulah pelajaran buat murid yang kurang cermat bekerja!" Ki Topeng Reges berkata dengan menunjuk ke arah Jaramala.
"Ampun, Guru.... Aku berjanji tidak akan mengulangi kecerobohan itu," rintih Jaramala.
"Hmm, baiklah. Sekarang kau bersama Pelang Telu
mengikuti aku untuk melanjutkan latihan kemarin.
Dan kau Dadungrante, awasi keamanan di sini!"
Sesudah memberikan petunjuk-petunjuknya tadi,
Ki Topeng Reges diikuti oleh Jaramala dan Pelang Telu segera menuju ke sebelah
utara reruntuhan candi, di mana sebuah tanah yang cukup lebar ditumbuhi rumput.
"Jaramala, sebagai murid tertua kau telah aku ajari dasar-dasar ilmu Netra
Dahana. Dan sekarang terimalah topeng turunan dari yang asli kupakai ini."
Ki Topeng Reges mengambil sebuah bungkusan dari
balik bajunya dan segera diberikan kepada muridnya
yang segera pula diterima oleh Jaramala dengan tangan gemetar. Ketika Jaramala membuka bungkusan kain tadi,
wajahnya serentak tegang terangkat. Sebab di dalam
bungkusan itu ia seolah-olah melihat wajah topeng da-ri gurunya. Ia sungguh
mengagumi topeng salinan itu, sebab benar-benar mirip dengan topeng yang dipakai
oleh gurunya. "Nah, cobalah kau pakai topeng itu!" ujar Ki Topeng Reges pula. "Tapi lebih dulu
kau lepas ikat kepalamu itu."
"Baik, Guru," Jaramala menuruti perintah gurunya
dan membuka ikat kepalanya, maka terurailah rambutnya yang panjang sampai ke telinga. Setelah itu ia mengenakan topeng
tersebut. Dengan begitu Ki Topeng tertawa kesenangan lalu
katanya, "Nah, sekarang kau akan menjadi kembaranku." "Sekarang apalagi perintah Guru lainnya?"
"Kita melanjutkan latihan kemarin," ujar Ki Topeng
Reges dan segera pula ia membuka serangan dengan
satu pukulan secepat geledek ke arah dada Jaramala.
Ternyata Jaramala memang cekatan dan tangkas.
Sebelum pukulan tadi mendarat pada kepalanya ia telah memaparkan tubuhnya ke samping dan sambil
berbaring itu pula Jaramala menendangkan kakinya
ke arah lambung Ki Topeng Reges.
Dan demikian pula gerak Ki Topeng Reges. Ia melesat ke udara dan sesaat kemudian ia melayang turun
dengan kedua jari-jari tangannya siap menerkam Jaramala. Untuk kesekian kalinya Jaramala menjatuhkan dirinya ke tanah dan bergulingan menghindar.
"Bagus, Jaramala! Sekarang kita berlatih dengan
ilmu Netra Dahana, biar orang-orang desa itu akan
terkejut menyaksikan Ki Topeng Reges kembar!"
Sesudah berkata begitu Ki Topeng Reges mengetrapkan ilmunya dan begitu pula dengan Jaramala
hingga sesaat keduanya memancarkan jilatan-jilatan
api yang panas.
Biarpun jilatan api dari mata Jaramala hanya sepanjang satu lengan jauhnya dan jauh lebih pendek
daripada jilatan api Ki Topeng Reges, namun hal itu sudah cukup membuat ngeri
siapa yang melihatnya!
Pelang Telu yang melihat kedua Topeng Reges kembar itu berdesir hatinya. Dalam hati ia sangat kagum pada mereka. Kini latihan
itupun dilanjutkan dengan menggunakan ilmu Netra Dahana, ciri utama dari
perguruan Topeng Reges dari Watu Semplak. Maka yang
tampak kemudian adalah menyeramkan. Keduanya
seolah-olah hantu yang saling bergulat dengan pancaran-pancaran api dari
matanya. Demikianlah, latihan kedua Topeng Reges tadi berlangsung semakin seru dan daun rumput serta semak
di sekitar tempat itu pada hangus kering terkena oleh jilatan-jilatan api dari
kedua pendekar hitam itu.
Bahkan tidak hanya itu saja akibatnya. Udara di situ pun menjadi panas. Burung-burung serta serangga
berlarian menjauh dari tempat itu.
Latihan mereka berlangsung sampai lama, sejauh
matahari merendah di cakrawala barat, barulah selesai. "Cukup! Kita sudahi latihan ini. Kita lanjutkan besok lagi. Dan dua hari
lagi kita akan bersiap-siap menyerang Desa Mijen," kata Ki Topeng Reges.
"Terima kasih, Guru," Jaramala berkata seraya melepas topengnya.
"Kau simpan saja topeng itu untukmu, Jaramala."
"Baik, Guru, terima kasih."
"Pelang Telu, malam ini kita memperkuat penjagaan
daerah Watu Semplak. Seperti biasanya, jangan sampai lengah."
"Baik, Guru," ujar Pelang Telu.
"Dan kau Jaramala, siapkan senjata-senjata untuk
penyerangan itu."
"Siap, Guru. Senjata-senjata itu akan kami
siapkan," kata Jaramala.
"Marilah kita kembali ke rumah dan kerjakan tugastugas tadi dengan baik."
Sejurus kemudian ketiga orang itu berjalan kembali
menuju ke rumah Ki Topeng Reges, sedang beberapa


Pendekar Naga Geni 8 Keruntuhan Netra Dahana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang anak buah Ki Topeng Reges lainnya tampak sibuk mengadakan latihan-latihan dibantu oleh Dadungrante. Udara dan kegelapan senja perlahan-lahan turun
menyelubungi daerah kaki Gunung Muria sebelah timur. Bila daerah Watu Semplak telah dirambah oleh kegelapan senja seperti itu, maka daerah-daerah di sekitarnya pun menjadi sunyi
pula. Lebih-lebih semenjak daerah hutan lebat tersebut telah didiami oleh Ki
Topeng Reges dan anak buahnya, menjadi lebih seram
tampaknya, tak ubahnya sarang setan dan dedemit.
Rumah perguruan Topeng Regespun kelihatan sepi,
kecuali sebuah dian minyak yang tergoyang-goyang
tertiup angin kesana-kemari. Rupanya para penghuninya tengah digelut oleh mimpi dan kepulasan tidur.
Di halaman dan di jalan-jalan rintisan menuju ke
rumah itu tampak beberapa orang anak buah Ki Topeng Reges tengah meronda dengan senjata terhunus
di tangan. Hal itulah rupanya yang membuat para penduduk
di sekitarnya benar-benar menganggap daerah yang
hitam atau terlarang. Hanya buat orang-orang yang
mau mencari mati saja yang akan berani menempuh.
Tetapi benarkah bahwa tak seorang pun yang berani menginjakkan kakinya ke hutan ini" Sehingga daerah itu akan tetap disebut alas pengalapan yang berarti hutan penelan segala
makhluk" Ternyata tidak demikian selamanya. Sebab ketika
malam telah mulai menggeser sisa-sisa cahaya senja, dari arah selatan tampaklah
beberapa sosok Bayangan manusia mengendap-endap mendekati daerah perguruan Ki
Topeng Reges. Inikah kiranya orang-orang yang ingin mati itu" Ya, memang benar. Tapi mereka
ingin mati untuk mene-gakkan kebenaran dan keadilan. Mereka adalah Ki Lurah Mijen serta orang-orang disertai ketiga pendekarnya, yakni Pendekar Bayangan, Mahesa Wulung,
dan Ki Rebab Pandan.
Ki Lurah Mijen tampak memberikan petunjukpetunjuk kepada orang-orangnya.
"Pakisan dan Sorogenen, kalian berdua mengikuti
Anakmas Mahesa Wulung menerobos dan menyelinap
ke pusat perguruan Ki Topeng Reges, untuk membebaskan Endang Seruni."
"Baik, Ki Lurah," ujar Pakisan dan Sorogenen berbareng. "Hati-hatilah, Anakmas Mahesa Wulung!" ujar Ki
Lurah Mijen memperingatkan pendekar muda itu.
Pendekar muda itu mengangguk dan kemudian bersama-sama Pakisan serta Sorogenen ketiganya berlompatan masuk ke dalam semak-semak dan lenyaplah ditelan oleh kegelapan.
Sementara itu Pendekar Bayangan, Ki Rebab Pandan dan Ki Lurah Mijen mulai menyebar orangorangnya serta petunjuk-petunjuk yang perlu sebelum mereka mulai bertugas.
"Kisanak semua, jangan terlalu jauh masuk ke dalam daerah perguruan Ki Topeng Reges ini. Sebab tujuan utama kita ialah memancing mereka agar perhatiannya tercurah pada kita, sementara Anakmas Mahesa Wulung serta kedua orang jagabaya itu membebaskan Endang Seruni!" ujar Ki Lurah.
"Dan jangan lupa," Pendekar Bayangan menambahkan, "kalian jangan terlalu lama terlibat pertempuran dengan orang-orang Ki
Topeng Reges. Jika terdengar
aba-aba mundur, kalian segera menarik diri serta meninggalkan pertempuran."
"Tapi bagaimanakah, Tuan, jika seandainya ada
perkembangan lain?" bertanya salah seorang dari pasukan desa. "Maksudmu?" Pendekar Bayangan ganti bertanya
pula. "Seandainya gerombolan Ki Topeng Reges itu benarbenar dapat kita kalahkan dan kita berhasil mendesaknya?" "Nah, jika demikian keadaannya," ujar Pendekar Bayangan, "kita akan menghancurkan sama sekali perguruan Ki Topeng Reges! Maka kami harap kalian menunggu aba-aba dari Ki Lurah."
Demikianlah, setelah secara singkat mereka menyiapkan senjata dan Ki Lurah Mijen memberi isyarat untuk mulai menyebar, maka
berloncatanlah orang-orang itu ke dalam semak-semak dan menyelinap ke arah
utara. Begitu pula Pendekar Bayangan, Ki Rebab Pandan
serta Ki Lurah Mijen berbareng menerobos ke arah
utara bagai Bayangan-Bayangan hitam mengendapendap tanpa bersuara.
Suasana sesaat menjadi tegang, terutama bagi
orang-orang Ki Lurah Mijen yang tengah menyelinap ke arah utara. Namun
bagaimanapun hati mereka tak
merasa gentar, sebab keduapuluh orang-orang itu telah digembleng oleh Pendekar
Bayangan, Ki Rebab
Pandan serta Mahesa Wulung dalam tugas-tugas ini.
Sedang bagi anak buah Ki Topeng Reges yang tengah meronda itu, tak mengira sama sekali bahwa ada juga orang-orang yang berani
menginjakkan kakinya
ke hutan angker itu.
"Aaakh!"
Sebuah jerit pendek terdengar kemudian disusul
pula oleh jerit pendek yang lain. Ini berarti dua orang anak buah Ki Topeng
Reges telah kena sergap oleh pa-ra penyerbu itu.
Di sebelah lain, Mahesa Wulung serta kedua jagabaya itu makin mendekati rumah perguruan Ki Topeng
Reges. Perlahan-lahan dan mengendap-endap sangat
hati-hati, ketiga orang ini memilih jalan yang baik agar tidak menimbulkan suara
yang mencurigakan.
Dari semak-semak tempat mereka mengendap itu,
pandangan ke arah pusat perguruan Ki Topeng Reges
sangatlah jelas.
"Kisanak Pakisan dan Sorogenen, lihatlah ke sana!
Itulah pasti rumah utama perguruan Ki Topeng Reges.
Aku akan menuju ke sana nanti, dan kalian berdua
coba lihat rumah-rumah itu. Dari beberapa gubuk
hanya satu buah saja yang dijaga. Agaknya gubuk itu sangat penting bagi mereka,"
berkata Mahesa Wulung, sedang Pakisan dan Sorogenen masih mengawasi gubuk yang
dijaga oleh tiga orang bersenjata tombak dan pedang.
"Tuan Mahesa Wulung, salah satu dari penjaga gubuk itu agaknya dapat aku kenal. Menurut bentuk tubuhnya, kok seperti bentuk tubuh Kakang Sela Ganden. Mengapa perlunya ia berada disini?"
"Nah kalau begitu, sementara aku masuk ke dalam
rumah Ki Topeng Reges, kalian coba mendekati gubuk
itu. Tetapi untuk itu semua, kita harus menunggu aba-aba dari Ki Lurah!"
"Baik, Tuan!" kata Pakisan dan Sorogenen. Keduanya lalu menghunus pedangnya.
Sesaat mereka menunggu aba-aba dari Ki Lurah Mijen dengan perasaan tegang dan hati berdebar-debar.
Dan setelah sesaat mereka menunggu itu, tiba-tiba sa-ja terdengarlah dari arah
selatan sebuah teriakan yang menggema di segenap sudut hutan itu.
"Topeng Reges, ayo keluar kemari! Inilah Ki Lurah
Mijen datang kemari untuk menjemput putrinya! Tempat ini telah terkepung!"
Mahesa Wulung serta kedua jagabaya yang masih
mengendap itu tiba-tiba melihat pintu rumah Ki Topeng Reges terbuka dan dari arah dalam melesatlah
sesosok tubuh keluar ke halaman.
"Keparat! Siapa kamu, ha"! Membuka mulut semaunya sendiri! Kalau kau masih sayang akan nyawamu lebih baik minggat dari tempat ini!" teriak Ki Topeng Reges yang baru saja
melesat dari dalam rumah
dan kini bertolak pinggang dengan garangnya.
"Lekas menyerah sebelum tempat ini jadi lautan
api!" terdengar suara dari arah selatan pula.
"Ha, ha, ha, tikus-tikus gembel mau berteriak-teriak di kandang macan, ha"!"
teriak Ki Topeng Reges sambil memberi isyarat kepada para anak buahnya yang
telah berloncatan keluar dari rumah-rumah bambu. "Anak-anak, ayo, lekas menyerbu
ke selatan! Kita cincang
orang-orang yang bermulut besar itu!"
Serentak Ki Topeng Reges serta anak buahnya menyerbu ke arah selatan, sementara itu pula Mahesa
Wulung dengan sigap dan cepat melesat ke arah rumah Ki Topeng Reges.
Tiba di dekat rumah, Mahesa Wulung menyelinap
ke samping, menuju ke belakang rumah.
"Hmm, baiknya aku lewat dari belakang. Siapa tahu
di ruang depan masih ada orangnya."
Mahesa Wulung juga tak lupa untuk melolos pedangnya sebelum ia mendobrak pintu belakang. Kemudian dengan hati-hati ia masuk ke dalam.
Mahesa Wulung dengan pengawasan yang tajam
meneliti segenap ruangan rumah. Tampak olehnya
berbagai alat senjata, buku-buku tua dan perabotperabot lainnya, seperti peti-peti kayu besar.
Ketika Mahesa Wulung membuka sebuah guci, matanya serentak membelalak kagum, sebab di dalamnya
berisi perhiasan-perhiasan emas.
"Hebat simpanan Ki Topeng Reges ini. Tapi bukan
benda-benda yang aku cari. Kaca Sirna Praba dan
lembaran-lembaran Kitab Hijau itulah yang harus aku cari!"
Setelah memeriksa ruangan rumah tersebut, tibatiba Mahesa Wulung terpancang perhatiannya pada
sebuah ruangan kamar yang begitu indah, berukir
gaya Jepara. Mahesa Wulung segera mendekati kamar itu sambil
kewaspadaannya tak terlupa, dipasangnya luas-luas,
kemudian Mahesa Wulung memegang pegangan bulat
daun pintu sebelum ia membukanya. "Hmm, agaknya
kamar ini penuh dengan rahasia."
Tanpa menduga apa-apa Mahesa Wulung memutar
pegangan pintu yang bulat tadi untuk memasuki kamar tersebut. Mendadak sebuah sinar berkelebat dari atas, dan Mahesa Wulungpun
bertindak cepat, memutar pedangnya separuh lingkaran di atas kepala sebelum
sinar tadi menyambar kepalanya.
Traang! Terdengar benturan nyaring ketika pedang Mahesa
Kisah Sepasang Rajawali 23 Telapak Emas Beracun Jan Jin Que Yu Karya Gu Long Pendekar Pemabuk 5

Cari Blog Ini