Ceritasilat Novel Online

Kutukan Patung Intan 2

Pendekar Naga Geni 11 Kutukan Patung Intan Bagian 2


bila sekonyong-konyong dalam waktu yang singkat Mahesa Wulung mengegoskan
kepalanya seraya berpaling ke arah Pandan Arum dengan tersenyum. Pedang mandau
Seguntur cuma menebas udara kosong belaka!
Si tua Tawau cepat berteriak lantang, "Seguntur,
apa maksudmu berlaku demikian?"
"Maaf, Tawau yang terhormat. Itu adalah sekadar
tanda perkenalan dari Seguntur untuk menyambut
pemberian gelar Pendekar Utama Lembah Sampit yang
ketiga. Dan sekarang, seperti kebiasaan di sini, aku akan meminta pendekar yang
baru ini untuk bermain-main denganku di gelanggang!" teriak Seguntur sambil
mengacung-acungkan pedang mandaunya ke arah Mahesa Wulung.
Si tua Tawau jadi terkejut kaget oleh kata-kata Seguntur, sebab ia pun lalu
sadar bahwa sebagai Pendekar Utama yang pertama, Seguntur berhak mencoba
keperwiraan Pendekar Utama yang kedua, ketiga dan
seterusnya. "Seguntur! Bukannya aku tak menyetujui maksudmu itu, tetapi aku rasa saat ini bukanlah saat yang tepat untuk mengukur
keperwiraan antara kalian berdua." "Ha, ha, ha, ha. Ketua Tawau yang terhormat. Keperwiraan seseorang tidaklah tergantung oleh sesuatu keadaan atau peristiwa yang
tengah berlangsung. Ma-ka janganlah Tawau yang terhormat menghalanghalangi maksudku."
Hampir-hampir Mahesa Wulung meledak amarahnya demi mendengar ucapan Seguntur. Tangannya
yang masih menggenggam sebilah pedang mandau
pemberian si tua Tawau tadi, seakan-akan telah gatal
untuk menyambut senjata itu untuk melayani tantangan Seguntur. Tapi untunglah bahwa ia cepat-cepat mengendalikan perasaannya
serta menarik nafas panjang hingga rasa amarah tadi seketika mereda.
"Ayo, Mahesa Wulung, apa yang kau tunggu lagi!"
teriak Seguntur keras-keras membuat setiap dada manusia yang berada di halaman
itu terguncang bagai di-hempas gempa bumi.
"Buktikan bahwa Anda patut memperoleh gelar Pendekar Utama Lembah Sampit yang ketiga!"
Berganti-ganti pandangan mata para penonton ke
arah Seguntur dan Mahesa Wulung seolah-olah tengah menantikan dua ekor jago yang
hendak bertarung!
Dalam pada itu Mahesa Wulung merasa bahwa lengannya dijentik oleh jari si tua Tawau sambil berkata perlahan, "Jangan kau
layani tantangan itu, Tuan Mahesa Wulung. Dia sangat berbahaya dan ganas, seganas tarian yang telah dilakukannya tadi!"
"Betul, Bapak," jawab Mahesa Wulung. "Tapi ini
adalah soal kehormatan. Ia telah menantang diriku
dan aku harus melayaninya. Sebab jika tidak, maka
kehormatan diriku dan juga kehormatan Bapak serta
nama kampung Lembah Sampit ini akan menjadi rusak karenanya!"
"Hmm, benar juga kata-kata Andika," sambung Tawau seraya mengangguk-angguk penuh pengertian.
"Tapi aku kuatir kalau menimbulkan korban, dan justru hal itulah yang tidak aku kehendaki!"
"Bapak tak perlu cemas akan hal itu. Biarlah aku
menuruti kehendak Seguntur untuk sekadar memuaskan hatinya. Namun aku berjanji tidak akan ada korban yang jatuh," ujar Mahesa
Wulung pelan. Sekali lagi si tua Tawau mengangguk penuh kepercayaan kepada Mahesa Wulung dan berkatalah kembali orang tua ini, "Baiklah kalau begitu. Aku menaruh kepercayaan kepada Andika
sepenuhnya dan pakailah
pula pedang mandau pemberianku tadi untuk menghadapi Seguntur!"
"Cepat, pendekar baru! Aku telah siap untuk mencobamu, dan jika engkau kalah, jangan harap nama
gelar Pendekar Utama Lembah Sampit akan tetap
menghias dadamu!"
Mahesa Wulung tidak terlalu lama untuk membiarkan Seguntur lebih banyak mengumbar suara. Maka
dengan sebatnya ia melenting dan mendarat di tengah arena dalam sikap yang penuh
siaga, dan sebilah pedang mandau tergenggam di tangan kiri.
"Weh, bagus! bagus! Satu pameran yang mengagumkan bagi anak-anak kecil! Sekarang terimalah ini!"
seru Seguntur seraya menebaskan pedang mandaunya
ke arah lambung lawannya.
Traaang! Seguntur kaget setengah mati, bagai melihat halilintar menyambar ke arahnya,
sebab tahu-tahu pedang
mandau Mahesa Wulung telah terhunus dan berhasil
menangkis sabetan senjatanya.
Dengan begitu tahulah ia, betapa Mahesa Wulung
telah begitu cepatnya melolos pedang mandaunya serta menangkis serangannya.
"Keparat! Setan apa yang membantu gerakannya,"
terdengar Seguntur mengumpat lirih.
Sebaliknya, Mahesa Wulung pun dibikin terkejut
oleh kenyataan yang ditemuinya. Ketika ia berhasil menangkis serangan pedang
mandau Seguntur, terasalah rasa pedih bercampur panas merayapi sekujur tangan
kanannya dan hampir-hampir saja ia melepaskan senjata yang tergenggam di tangan
kanannya. Kesadaran Mahesa Wulung terbuka oleh hal ini dan
ia tahu bila kekuatan Seguntur ternyata cukup hebat.
Maka tak kelirulah kalau ia terpilih sebagai Pendekar Utama Lembah Sampit yang
pertama. Tiba-tiba Mahesa Wulung mengangkat dahinya, sebab sebuah pikiran yang bagus telah timbul di dalam benaknya.
"Mmmm, biarlah aku akan berpura-pura kalah terlebih dulu kepada Pendekar Seguntur ini. Tetapi kemudian aku akan membalasnya.
Seguntur harus kuinsafkan terhadap kesesatan sikapnya!" Maka segera ia pun menyambut serangan
beruntun dari Pendekar Seguntur yang datangnya bagai angin puyuh, silih
berganti. Sebentar itu pula terjadilah pertempuran seru di gelanggang, di tengah-tengah
halaman kampung yang
penuh sesak oleh pagar manusia berjejal.
Ketika pertempuran itu semakin hebat, para penonton ikut merasa gentar, dan secara tidak sadar mereka mundur ke belakang hingga
lingkaran manusia itu
pun menjadi semakin meluas.
Mahesa Wulung terus menangkis serangan-serangan Pendekar Seguntur dengan baiknya, hingga lawannya ini menjadi semakin beringasan karena marahnya. Ketika pertempuran itu telah mencapai jurus yang
ketiga puluh lima, Mahesa Wulung merasa telah tiba waktunya untuk memberi hati
kepada Seguntur. Maka
ketika pedang mandau Seguntur menebas ke arah pedang mandau di tangannya, Mahesa Wulung purapura kesakitan dan membiarkan senjatanya terlontar dari tangannya.
Traaang! Dengan demikian seolah-olah yang tampak adalah
Pendekar Seguntur berhasil memukul lepas pedang
mandau Mahesa Wulung.
Pandan Arum yang dari tadi menyaksikan pertempuran itu serentak berteriak saking ngeri dan cemasnya. Apalagi Seguntur
seketika tertawa terkekeh-kekeh kesenangan.
"Hua, ha, ha, ha. Pendekar nomor tiga, tak kukira
bahwa tenagamu cuma sampai di situ. Tapi kali ini
aku tak akan memberi ampun lagi. Kau harus menghadapi pedang mandauku ini!" teriak Seguntur dengan ganasnya seraya mengobatabitkan senjatanya.
Tetapi Mahesa Wulung sekali lagi ingin menambahkan meriahnya pertarungan ini. Yah, bukankah ia masih memiliki sebilah pedang
yang tergantung di pinggang kirinya" Lalu ia secepat kilat menghunus senjata
tadi dan menyerang kembali ke arah Seguntur. Pertarungan kembali berlangsung
seru, tetapi hanyalah
mencapai beberapa jurus saja, sebab kembali Mahesa Wulung membiarkan pedangnya
tersampok lepas oleh
benturan pedang mandau Seguntur.
Keruan saja Pendekar Seguntur makin bertambah
senang oleh hal itu. Dikiranya bahwa pukulan pedangnya benar-benar berhasil
merontokkan senjata lawan.
"Hah, ha, ha, ha, ha. Mahesa Wulung! Nah, sekarang terbukti bahwa pilihan ketua Tawau adalah keli-ru. Kau ternyata tak mampu
melayani permainan pedangku ini!" seru pendekar Seguntur lantang. "Hayo, sekarang buktikanlah bahwa
kau lebih hebat dari Seguntur ini!"
"Hemm, sebenarnya aku tak suka mencari garagara dengan Anda!" sahut Mahesa Wulung. "Tapi agaknya kamu berkeras kepala untuk
mengukur tenaga
dengan aku!"
"Hah, rupanya kau terlalu takut dengan senjata
mandauku ini, Mahesa Wulung!" teriak pendekar Seguntur. "Tapi tak apalah. Kau boleh pilih semaumu.
Apakah kepalamu yang aku pisahkan, atau dadamu
yang terbelah menjadi dua"!"
"Terserahlah apa maumu. Tapi ingat, manusia tidak
harus saling membunuh untuk menyelesaikan persoalan ataupun urusannya!"
"Heh, ternyata kau pandai mengoceh pula, keparat!
Laki-laki harus pula berbicara dengan senjata andalannya. Dan kini kau tahu"
Kedua senjatamu telah
berhasil aku pukul rontok. Sekarang kau harus merasakan ketajaman pedang
mandauku ini! Hiyaaaat!"
Dengan satu loncatan yang sigap dan secepat elang
menyambar mangsanya, Seguntur seketika melesat ke
arah Mahesa Wulung dengan ujung senjatanya siap
melubangi dada lawannya.
Pekik ketakutan terdengar dari mulut para penonton. Tapi belum lagi selesai, mereka terpekik pula sekali lagi. Kali ini adalah
pekik kekaguman, sebab tanpa berkisar jauh dari tempatnya, Mahesa Wulung cuma
memutar separuh lingkaran kaki kirinya ke belakang sambil mencondongkan badannya
ke kanan. Dengan
begitu pedang mandau Seguntur meleset tanpa sasaran. Bersamaan itu pula, ketika tubuh Seguntur terdorong ke depan oleh gaya beratnya sendiri, tiba-tiba ka-ki kiri Mahesa Wulung
beraksi. Dengan sebuah gerakan yang manis tapi cepat, kaki Mahesa Wulung berhasil mengait kaki Seguntur dan seketika tanpa berke-sempatan apa-apa tubuh
Seguntur terjerembab jatuh ke tanah dan perisainya terlepas dari tangan kirinya.
"Kurang ajar. Kau bertingkah pula!" seru Seguntur
seraya bangkit, sedang mukanya yang penuh tanah itu membayangkan kemarahannya
yang meluap-luap.
Sekali lagi Pendekar Seguntur bersiap, dan kembali
pedang mandaunya menebas ke arah lambung lawannya disertai suara berdesing. Meskipun demikian, Mahesa Wulung menjejakkan kedua
kakinya ke tanah,
disusul tubuhnya melesat ke depan melewati kepala
Seguntur lalu mendarat di belakang tubuh lawannya.
Seguntur sama sekali tidak berputus asa oleh hal
itu, maka tanpa menunggu waktu lagi, secepatnya ia memutar tubuhnya ke belakang
bersamaan mandaunya menyambar ke perut lawan.
Untunglah Mahesa Wulung selalu waspada oleh serangan tak terduga tadi. Dengan tenang ia mengegoskan tubuhnya sedikit ke samping dan kemudian si-si telapak tangannya berayun
secepat angin bertiup serta mendarat dengan tepat ke punggung Seguntur.
Bluuuk! "Eaakh!"
Tubuh Seguntur terpelanting, dan roboh ke tanah
ketika pukulan sisi telapak tangan Mahesa Wulung terasa olehnya bagai runtuhan
gunung karang yang melanda punggungnya. Akan tetapi Mahesa Wulung ganti terkejut bila ternyata
Pendekar Seguntur berdiri kembali meskipun dengan sempoyongan. Mandaunya
kembali bersiap untuk menyerang.
Tahulah Mahesa Wulung bahwa Seguntur mempunyai kekuatan yang luar biasa. Maka ia lebih berwaspada, biarpun tampaknya tubuh
Seguntur bersempoyongan menuju ke arahnya.
Sedang sebaliknya, Seguntur pun merasa kagum
oleh keperwiraan lawannya. Beberapa serangan mautnya telah gagal menemui sasarannya. Tak heranlah bi-la marahnya semakin
bertambah meluap. Kendatipun
tubuhnya terasa sakit-sakit dan masih sempoyongan, Seguntur lalu mengatur
nafasnya sebelum ia melancarkan serangan berikutnya.
Melihat ini Mahesa Wulung berdebar hatinya. Ia lalu teringat oleh janji ataupun
permintaan si tua Tawau agar pertarungan ini tidak membawa korban, lebih-lebih
kematian. Itulah sebabnya Mahesa Wulung cepat bersiaga
memasang kuda-kudanya, sehingga berbareng Seguntur melancarkan tebasan pedang mandaunya, ia kembali berkelit ke sebelah dan kedua tangannya bertindak cepat!
Sisi telapak tangan kiri Mahesa Wulung menghajar
pergelangan tangan kanan Seguntur yang memegang
senjata, sedang tangan kanannya menotok sisi leher kiri Seguntur.
Apa yang terlihat kemudian sungguh mengejutkan
para penonton. Pertama-tama senjata Seguntur terpelanting lepas dan tercampak ke
tanah, kemudian tubuhnya bergetar seolah-olah tengah melawan sesuatu yang sedang mencengkam
tubuhnya. Meskipun kedua sorot matanya masih memancar
amarah dan dendam, tapi Seguntur tak mampu menggerakkan tubuhnya sama sekali. Rasanya tubuhnya
seperti tak bertulang sama sekali dan akhirnya rebahlah ia ke tanah laksana
selembar kain jatuh dari sam-piran dan teronggok di tanah.
Mahesa Wulung masih berdiri di tempatnya, ketika
Seguntur menyumpah-nyumpah dengan kata-kata tajam. "Keparat! Mengapa aku tak kau bunuh sekali, hah"!
Kau mau membikin malu kepadaku"!"
"Dari semula sudah aku katakan bahwa aku tak
menginginkan perselisihan disini!" ujar Mahesa Wulung dengan tenang dan berwibawa. "Tapi Anda memaksa juga."
Si tua Tawau segera masuk ke tengah arena tersebut disertai beberapa orang pemuda, lalu mendekati Mahesa Wulung.
"Ah, Tuan telah menepati janji dan berlaku bijaksana!" ujar Tawau kepada Mahesa Wulung. "Dan aku
mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada
Anda!"

Pendekar Naga Geni 11 Kutukan Patung Intan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahesa Wulung mengangguk hormat kepada Tawau
dan sejurus kemudian orang tua itupun memerintahkan para pemuda tadi untuk memapak tubuh Seguntur untuk dibawa ke rumahnya.
"Bapak," ujar Mahesa Wulung kepada Tawau, "aku
menyesal atas kejadian tadi."
"Hmm, tak apalah. Sebab kesalahan itu justru terletak di tangan Seguntur. Aku
lihat ia betul-betul ber-nafsu sekali untuk membunuh Anda," jawab si tua
Tawau. Sampai mereka kembali ke tempat duduk masingmasing di sebelah tepi bersama para penonton lainnya, pesta itu masih berjalan
beberapa saat, tapi tak lama kemudian selesailah sudah. Mereka kembali ke rumah
masing-masing dengan sebuah kenangan terhebat bagi dirinya, sebab mereka dapat
melihat satu pertarungan seru dan berakhir dengan kekalahan Seguntur. Hal inilah
yang membuat mereka terheran kagum. Setahu
mereka, Seguntur adalah Pendekar Utama Lembah
Sampit yang tak terkalahkan selama ini, tapi ternyata telah dirobohkan oleh
Mahesa Wulung tanpa menggunakan senjata apa pun, kecuali dengan jari-jari
tangannya belaka.
Malam pun semakin larut dan alam seolah-olah dipeluk oleh kebekuan serta kesunyian. Semuanya seperti tertidur lelap di bawah asuhan sang purnama
yang setia memancarkan sinar peraknya.
*** 4 SEJAK KEJADIAN dikalahkannya Seguntur oleh
Mahesa Wulung dengan tangan kosong, terasalah perubahan pada diri Seguntur. Telah beberapa hari ia tidak muncul di tengah-tengah
penduduk atau mengobrol bersama mereka. Ia lebih suka menyendiri ke
tempat-tempat terpencil untuk melatih permainan pedang mandaunya.
Dendam hatinya terhadap Mahesa Wulung masih
belum padam, meski tidak lagi sepanas yang dahulu.
Kalau saja ia mau mengakui secara jujur, sudah sepantasnya bila dirinya berterima kasih kepada Pendekar Utama yang ketiga itu.
Bukankah ia yang menyembuhkan kembali dari kelumpuhan akibat totokan jalan darah itu. Juga meskipun ia terkalahkan dan seharusnya mati di tangan Mahesa Wulung, tapi toh
pendekar itu tak mau mela-kukannya"
Tetapi sekali lagi manusia akan tetap manusia.
Dendam hati yang membuta sering menutupi kebeningan hatinya. Demikian pula dengan Seguntur tak
terkecuali dalam hal ini. Ia tak punya lagi pertimbangan-pertimbangan sehat
terhadap kejadian atau
keadaan yang tengah dialaminya. Baginya ia merasa
kalau orang-orang telah menyingkirinya.
Kalau semula setiap orang merasa takut kepadanya,
dan semua kehendaknya hampir selalu terpenuhi, tetapi kini tidaklah begitu lagi. Dan ini semua adalah akibat kekalahannya
terhadap Mahesa Wulung di gelanggang pertarungan. Maka tak terhitunglah dendam
dan kemarahannya yang tertimbun bertumpuk-tumpuk di dalam relung hatinya.
Terhadap itu semua Mahesa Wulung pun telah
maklum. Itulah sebabnya ia pun menjauhi terhadap
kemungkinan bertemu dengan Seguntur. Bukannya
karena ia takut, tetapi ia menjaga agar tidak menambah keparahan luka hati
Seguntur akibat kekalahannya. Begitulah kedua manusia ini selalu saling menghindari dan menjauhi tak ubahnya bagai minyak dan air yang sukar bersatu.
Sebenarnya Mahesa Wulung merasa senang tinggal
di kampung Lembah Sampit ini. Selain penduduknya
ramah juga alamnya sangat indah dan menarik. Di sebelah utara orang dapat
menikmati tanah pegunungan yang biru kehijauan membayangi bagai tembok-tembok
raksasa, sedang di sebelah barat, selatan, dan timur, hutan-hutan belantara
memagari dengan ra-patnya. Alam sungguh-sungguh tenang kelihatannya.
Namun pada suatu hari, ketenangan kampung Lembah Sampit terpecahkan oleh suatu peristiwa yang luar biasa. Siang itu ketika
Mahesa Wulung, Daeng Matoa dan Pandan Arum tengah duduk-duduk di halaman
dekat tangga rumahnya, tiba-tiba mereka melihat gadis Sandai berlari-lari dari
arah utara dan langsung menuju ke arah mereka.
"Tuan..., Tuan Mahesa Wulung!" berseru Sandai setengah tergagap-gagap. "Ketua Tawau memanggil Anda untuk datang ke utara
kampung... ada bencana...."
Tanpa bertanya lagi, ketiga orang itu segera bangkit oleh kata-kata Sandai tadi
dan mereka pun berloncatan mengikuti Sandai ke arah utara.
Disana terlihatlah beberapa orang mengerumuni sesosok tubuh yang tergeletak di tanah sedang kepalanya dipangku oleh si tua
Tawau. Keruan saja Mahesa Wulung terkejut melihat pemandangan itu, maka dipercepatlah larinya hingga ia lebih dulu tiba di tempat tersebut dan apa yang
dilihatnya kemudian membuat
Mahesa Wulung terhenyak. Di situ tergeletaklah tubuh Tagoh Hulu, yakni pendekar
Utama Lembah Sampit
kedua yang telah dikenalnya sebagai pemimpin para
penjaga goa harta di bukit sebelah utara.
"Oh, mengapa ia sampai terluka parah begitu, Bapak!" bertanya Mahesa Wulung kepada si tua Tawau.
"Kabar buruk, Tuan," ujar Tawau. "Tagoh Hulu beserta kesembilan anak buahnya telah diserbu segerombolan orang dan dihajar
habis-habisan. Hanya dialah yang sempat menyelamatkan diri dan lainnya entah
bagaimana. Mungkin mereka binasa."
"Diserbu"!" desis Mahesa Wulung kaget. "Lalu apa
yang mereka cari sampai menyerbu tempat itu"!"
"Patung Intan! Ia telah lenyap! Patung berharga itu telah digondol kabur oleh
orang-orang tersebut!" seru si tua Tawau dengan wajah yang membayangkan
kecemasan. "Celakalah kalau sampai tak dapat kita temukan kembali, sebab patung
itu adalah lambang kekayaan dan kemegahan kampung ini!"
"Jangan kuatir, Bapak. Kami akan turut membantu
mengembalikan patung itu," ujar Mahesa Wulung.
"Terima kasih. Terima kasih," berkata Tawau dengan lega. "Tapi lebih dulu kita harus membawa dan mengobati Tagoh Hulu ke
kampung!" "Sebentar, Bapak. Tunggulah!" Mahesa Wulung berkata seraya memandang ke arah Pandan Arum. "Aku
rasa Adi Pandan ada menyimpan sekantong obat-obatan pemberian Bibi Sumekar. Bukankah begitu, Adi?"
"Eh, yah, yah. Hampir saja aku terlupa," kata Pandan Arum seraya melolos kantong kain putih dari balik bajunya. Tak lama kemudian
diambilnyalah sebutir
benda bulat hijau kehitaman dari dalam kantong kain
putih tersebut serta diberikannya kepada Mahesa Wulung. "Berikanlah obat ini
kepada Tagoh Hulu, Kakang.
Kekuatannya akan pulih kembali serta mencegah agar darahnya tidak terlalu banyak
keluar." Mahesa Wulung segera menerima butiran obat tadi
lalu diberikannya kepada Tagoh Hulu sambil berkata,
"Telan obat ini, Tagoh Hulu, agar kekuatanmu pulih kembali."
Tagoh Hulu mengangguk penuh pengertian seraya
membuka mulutnya dan dengan senang diterimalah
butiran obat tersebut lalu ditelannya sekali.
Sementara itu beberapa orang kampung lainnya
yang rupanya telah mendengar hal itu, segera berdatangan pula ke tempat tersebut. Si tua Tawau lalu meminta beberapa orang untuk
menggotong tubuh Tagoh Hulu kembali ke kampung Lembah Sampit, guna
mendapatkan perawatan-perawatan selanjutnya.
"Tuan Mahesa Wulung," ujar Tawau berikutnya,
"marilah kita cepat-cepat pergi ke goa harta itu. Kami lekas-lekas ingin tahu
keadaan di sana."
"Baik, Bapak," kata Mahesa Wulung yang tengah
memberi petunjuk-petunjuk kepada beberapa orang
penjaga kampung.
Sebanyak lima orang telah bersiap untuk mengawal
perjalanan ke utara menuju ke goa harta. Sedang si-sanya disuruh oleh Tawau agar
kembali ke kampung,
menjaga keamanan di sana.
Sebentar kemudian terlihatlah iring-iringan manusia berjalan ke arah utara menuju ke bukit-bukit batu.
Mereka adalah si tua Tawau, Mahesa Wulung, Daeng
Matoa, Pandan Arum, Sandai dan kelima orang penjaga kampung. Sepanjang jalan kecil yang tengah mereka tempuh
itu, tampak oleh mereka titik-titik darah mengering di
tanah, batu-batu dan dedaunan. Agaknya titik-titik darah tadi keluar dari lukaluka di tubuh Tagoh Hulu ketika ia berjalan ke arah desa.
Tempat yang mereka tuju semakin dekat dan si tua
Tawau kelihatan tidak sabar. Ia ingin benar mengetahui nasib kesembilan pengawal
goa harta, anak buah dari Tagoh Hulu.
Sesungguhnya di dalam hati si tua Tawau ini penuh
keheranan kalau sampai Tagoh Hulu bersama kesembilan orang anak buahnya yang terbilang pendekar pilihan itu dapat terkalahkan
oleh orang-orang, para penyerbu yang merampas Patung Intan. Dengan begitu
dapatlah ia membayangkan bahwa mereka adalah
orang-orang jagoan pula. Tapi siapakah mereka itu"!
Akhirnya tibalah mereka di tempat bukit-bukit batu dimana goa harta itu
terdapat. Yang mula-mula membuat Tawau dan yang lain terkejut ialah adanya
tubuh-tubuh yang tergeletak disana-sini di depan goa harta.
Mahesa Wulung tak sabar lagi melihat pemandangan yang menyayat hati tadi. Dengan beberapa loncatan tibalah ia di depan goa serta cepat-cepat memeriksa tubuh-tubuh manusia
yang berkaparan. Tak salah lagi, bahwa mereka itu adalah kesembilan anak
buah Tagoh Hulu.
Alangkah terkejutnya Mahesa Wulung bila dari sebagian besar para korban itu kebanyakan terpatahpatah tulang punggung ataupun tulang anggota badan lainnya. Sedang sebagian
kecil terluka oleh bekas-bekas senjata tajam.
Dari kesembilan orang tadi, hanya seorang saja
yang masih menunjukkan tanda-tanda hidup, meskipun hanya mengerang-erang, sedang ke delapan lainnya telah benar-benar mati, tak berkutik sama sekali.
Tawau dan yang lainnya begitu tiba di depan goa
segera datang ke arah Mahesa Wulung yang tengah
berjongkok menunggui salah seorang korban yang masih mengerang-erang tadi.
"Ia tak dapat lebih lama hidup, Bapak Tawau," berkata Mahesa Wulung dalam nada terharu. "Sayang sekali." "Aakh, mengerikan sekali kematian orang-orang
ini," ujar si tua Tawau. "Siapakah kiranya para penyerbu ini?"
Sementara itu si korban yang masih mengerangerang itu rupanya dapat mendengar akan suara si tua Tawau.
"Ket... ketua... Ta.. wau! Mereka merampas Patung
Intan tadi malam," ujar si korban dengan ucapan terputus-putus. "Mereka...
orang... orang... utan....
heeeehhh... Ini...."
Orang tersebut mengacungkan genggaman tangan
kirinya dan ketika jari-jarinya membuka, mereka semua dapat melihat adanya
segumpal bulu-bulu coklat kehitaman.
"Oh, jadi kalian telah diserbu oleh gerombolan
orang-orang utan" Tapi mengapa teman-temanmu terluka pula oleh senjata-senjata tajam?" berkata Tawau dengan gugupnya.
"Orang-orang jahat... ada bersama mereka... Pemimpinnya... adalah orang bermata... sebelah!" Si korban berkata-kata lagi
dengan suara yang semakin lemah. "Aku... aku pergi sekarang... ketua Tawau...
hehhh...."
Matilah sudah si korban tadi dengan kepala terkulai lemah, bagai setangkai bunga
yang layu kehabisan
daya. Si tua Tawau tak dapat berkata-kata lagi kecuali keharuan yang menghimpit
hatinya, sedang sudut-sudut matanya telah menitikkan air mata. Begitu pula
Mahesa Wulung dan lain-lainnya ikut terharu karenanya. "Bapak Tawau. Aku yakin bahwa perbuatan kejam
ini dilakukan oleh Bengara dan gerombolan orang
utannya," ujar Mahesa Wulung. "Dan orang bermata
sebelah yang telah disebut tadi, tidak lain adalah Si Mata Siji."
"Si Mata Siji"! Yah, aku ingat sekarang! Bukankah
dia anak buah Monyong Iblis dari Kapal Hantu!" desis Daeng Matoa dengan gemas.
"Keparat, dia masih bisa selamat!"
"Hah" Masih ada pula bekas-bekas anak buah Kapal Hantu?" sahut si tua Tawau. "Dan mereka bersama Bengara telah merampas Patung
Intan." Sesaat suasana di situ menjadi senyap tetapi tibatiba Sandai berseru.
"Bapak Tawau! Tuan Mahesa Wulung! Lihatlah kemari. Ada sesuatu yang sangat menarik!"
Mendengar seruan itu, Mahesa Wulung dan Tawau
segera berloncatan ke arah gadis Sandai yang berdiri di dekat mulut goa. Di situ
mereka mendapati sebatang anak sumpitan yang pangkalnya berumbai bulu berwarna
merah menancap pada dinding goa.
Melihat itu, hati Mahesa Wulung terperanjat seketika. Tiba-tiba saja ia lantas teringat dengan anak sumpitan yang pernah
ditembakkan ke arahnya beberapa waktu yang lalu.
Namun satu hal yang lebih mengejutkan hati mereka adalah selembar sobekan kain yang tertancap oleh anak sumpitan tadi. Mahesa
Wulung segera mencabut
anak sumpitan tersebut serta memeriksa kain tadi.
"Sebuah surat!" desis Mahesa Wulung. "Hmm, apa
bunyinya"!"
Mahesa Wulung segera membaca surat tadi yang
berbunyi: Jika masih sayang akan Patung Intan, ambillah
kembali ke Mata Air Kembar Tiga dan harus diambil sendiri oleh Mahesa Wulung.
Kami memberi waktu selama tiga hari! Dari Mata Siji.
Sehabis membaca surat itu, Mahesa Wulung meng-geretakkan giginya sebagai
pertanda rasa jengkel yang mengisi dadanya. Rasanya jika saat ini ia berhadapan
muka dengan Si Mata Siji ataupun Bengara, ia sanggup menghajar mereka sampai
lumat. Sedang si tua Tawau yang menerima surat tadi dari
tangan Mahesa Wulung serta membacanya sekali, seketika menjadi terperanjat sekali.
"Kutukan Patung Intan!" gumam orang tua itu secara tak sadar. "Dan hanya pendekar dari seberanglah yang dapat menghilangkannya!"
Dalam pada itu Daeng Matoa beserta kelima orang
penjaga desa telah selesai membuat lubang-lubang di tanah untuk mengubur
kesembilan korban tadi, di
tempat itu juga.
"Mereka telah gugur di tempat ini dalam menunaikan tugasnya. Kini biarlah mereka istirahat di tempat ini pula," bergumam si tua
Tawau yang berdiri di
samping Mahesa Wulung, disusul oleh bunyi pujian


Pendekar Naga Geni 11 Kutukan Patung Intan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

atau mantera yang diucapkannya mengiringi upacara
penguburan tersebut.
Kembali tempat tersebut telah dicekam oleh kebisuan dan kesunyian. Masing-masing masih menekuni
para pengawal setia yang kini telah tiada lagi.
Akhirnya Mahesa Wulung membuka percakapan
dengan sebuah pertanyaan kepada si tua Tawau.
"Bapak Tawau, adakah tempat yang bernama Mata
Air Kembar Tiga, seperti tertulis dalam surat itu?"
"Hmmm, memang ada tempat yang bernama begitu.
Tapi sangat terpencil dan berbahaya. Kalau dari goa ini berjalan lurus ke arah
timur, maka kita akan menjumpai sebuah dataran yang cekung dan di sana
terdapatlah tiga buah mata air yang seolah-olah berukuran
sama, hingga orang-orang menyebutnya Mata Air
Kembar Tiga".
"Ke situlah tempat yang harus aku tuju untuk mengambil Patung Intan kembali," desah Mahesa Wulung.
"Jangan ke sana seorang diri, Tuan. Itu berbahaya.
Tempat tersebut sangat asing dan mungkin sebuah je-bakan yang dipasang untuk
Tuan!" si tua Tawau berkata memperingatkan Mahesa Wulung.
"Tapi Patung Intan itu harus kembali, bukan" Dan
jika benar apa yang dikatakan oleh Kutukan Patung
Intan itu, mungkinlah aku yang dapat menyelamatkan Patung Intan tersebut."
"Mungkin benar juga perkataan Anda. Tetapi lebih
baik kita kembali dulu ke kampung. Siapa tahu kita mendapat keteranganketerangan yang lebih jelas dari Tagoh Hulu!" Tawau berkata lirih. "Marilah,
kita pulang sekarang, Tuan."
Mahesa Wulung mengangguk kecil dan kemudian
berjalan di sebelah Tawau menuju ke arah selatan. Di belakang mereka menyusul
pula Daeng Matoa, Pandan
Arum, Sandai serta kelima penjaga kampung. Langkah-langkah mereka kelihatan berat, tak ubahnya
rombongan prajurit yang kalah perang.
Suasana alam pun seakan-akan ikut berkabung
atas kematian kesembilan anak buah Tagoh Hulu itu.
Awan mendung berarak-arak mengalir ke utara melalui sang matahari yang mulai
condong ke arah barat.
Dengan begitu, pemandangan yang terang dan kegelapan berselang-seling oleh awan-awan tersebut.
*** TAGOH HULU telah berangsur-angsur sembuh berkat rawatan yang seksama dari para dukun kampung
ahli obat-obatan.
Dengan pengobatan yang teliti, luka-luka parah
akibat goresan-goresan senjata tajam di tubuhnya telah mengering dan merapat
kembali. Pada suatu sore, Mahesa Wulung, si tua Tawau serta Daeng Matoa mengunjungi rumah Tagoh Hulu. Mereka mendapat pendekar ini tengah berbaring-baring di lantai rumah yang
beralaskan selembar kulit beruang hitam.
Ketika melihat ketiga orang tamu tersebut, Tagoh
Hulu bergegas bangun untuk menyambut kedatangan
mereka. "Tak usah bangun, Tagoh Hulu," ujar Tawau. "Kalau badanmu belum kuat, baiknya kau berbaring saja."
"Ah, tak apa, Bapak Ketua. Aku telah kuat berdiri, bahkan berjalan sedikitsedikit aku pun telah mampu,"
ujar Tagoh Hulu seraya duduk bersila di pembaringannya.
"Syukur, syukur jika kamu telah sembuh kembali,"
kata Tawau dengan gembira, "Untunglah, kau tidak
terbaring terlalu lama."
"Tetapi satu setengah hari, sudah cukup lama bagi
saya, Bapak," sambung Tagoh Hulu. "Rasanya aku telah tertidur satu setengah tahun!"
"Saudara Tagoh Hulu," sela Mahesa Wulung, "aku
belum jelas tentang peristiwa perampasan Patung Intan itu. Apakah Anda masih
ingat dengan jelas"!"
"Oh, tentang itu" Yah, aku masih ingat, Tuan. Bahkan selama hidupku aku tak akan melupakannya. Malam itu kami bersepuluh seperti biasanya tengah ber-jaga-jaga. Tetapi hatiku,
entah mengapa merasa tak
tenang rasanya. Menjelang tengah malam aku perintahkan agar mereka lebih waspada. Apalagi aku melihat gerakan yang mencurigakan
dari semak-semak di
sebelah timur. Beberapa sosok hitam bayangan aku lihat mengendap-endap menuju ke
arah kami. Maka
aku cepat-cepat memerintahkan agar kesembilan anak buahku tadi mempersiapkan
senjatanya. Tetapi sayang, tindakan kami agak terlambat. Sebab begitu ka-mi
selesai menyiapkan senjata, bayangan-bayangan hitam tadi telah berloncatan
menerjang kami dengan teriakan-teriakan yang memekakkan telinga.
"Dari suara teriakan-teriakan tersebut aku tahu
bahwa mereka adalah binatang orang utan. Tetapi manusia pun ada pula bersama
mereka, sebab aku melihat adanya kilatan-kilatan senjata tajam yang mereka pegang.
"Pertempuran seru segera berlangsung di depan goa
harta. Kami bersepuluh dengan gigih bertempur melawan para penyerang tadi, namun
toh jumlah mereka
jauh lebih banyak dari kami bersepuluh dan akhirnya terjadilah pengeroyokan dan
pengepungan terhadap
kami. "Kalau semula kami berusaha untuk mengusir mereka, tetapi keadaan tak memungkinkan. Selain mere-ka lebih banyak, juga lebih
tangkas serta berani. Apalagi dengan orang-orang utan yang bertempur melawan
kami itu. Binatang-binatang tersebut seolah-olah pandai bersilat seperti
manusia. Lalu tak lama kemudian, aku lihat beberapa orang anak buahku telah
diringkus oleh binatang-binatang tersebut dan dipatahkan tulang-belulangnya satu
demi satu. Sungguh mengerikan dan kejam! Sedang musuhku yang bersenjata golok
panjang dan bermata satu itu sungguh hebat gerakannya. Meskipun aku mengerahkan
segenap tenaga dan
ilmuku, namun tak banyak gunanya. Pada jurus yang
keempat puluh, senjata golok panjangnya itu berhasil menggores sobek dadaku dan
seketika aku rebah tak
sadarkan diri. Bersamaan waktu itu aku masih sempat mendengar sayup-sayup
teriakan dan jeritan dari mulut anak buahku yang agaknya tengah dihancurkan
oleh para penyerbu tadi. Setelah itu aku tak ingat apa-apalagi. Semuanya gelap.
"Menjelang dini hari, aku tersadar oleh hawa embun yang sejuk dan memedihkan
luka-luka tubuhku. Di
sekeliling aku lihat semua anak buahku berkaparan
disana-sini tanpa berkutik. Dengan sempoyongan, aku mula-mula menengok ke dalam
goa dan terkejutlah
aku, sebab Patung Intan serta barang-barang berharga lainnya telah lenyap.
"Karena itu aku jatuh terduduk lemas. Kehilangan
Patung itu berarti aku kehilangan muka. Begitulah, aku terbaring di lantai goa
itu sampai beberapa saat sampai tubuhku terasa kuat kembali.
Dengan berjalan sempoyongan dan kadang-kadang
terjatuh lalu merangkak, aku terus berjalan ke arah selatan, menuju ke kampung
Lembah Sampit ini guna
melaporkan seluruh peristiwa tersebut. Sungguh perjalanan yang sulit dan membuat
lukaku semakin parah
dan melebar. Darahku pun tertetes di sepanjang jalan.
Untunglah aku dapat sampai ke tepi utara kampung
dan kebetulan dapat ditemukan oleh para penduduk, di antaranya adalah bapak
Tawau sendiri. Nah, demi-kianlah ceriteraku yang selengkapnya." Demikian Tagoh
Hulu mengakhiri kisah penyerangan goa harta ser-ta hilangnya Patung intan.
"Hmm, jadi Bengara dan Si Mata Siji telah bersepakat melakukan penyerangan serta perampasan Patung
Intan itu," gumam Mahesa Wulung. "Tapi bagaimanakah mereka sampai dapat mengetahui tempat penyimpanan Patung Intan tadi?"
"Yah, itu mengherankan," sambung Tawau pula.
"Tak mungkin orang luar kampung kita dapat mengetahui tempat tersebut."
"Rahasia itu semua harus dapat kita pecahkan!"
berkata Mahesa Wulung. "Waktu tinggal satu setengah hari lagi, Bapak Tawau.
Apakah akan kita biarkan Patung Intan itu lenyap serta kejahatan makin merajalela?" "Tentu saja tidak, Tuan. Bengara dan Si Mata Siji
sumber dari kejahatan itu harus kita hancurkan. Tapi itu tidak mungkin anda
lakukan seorang diri, sebab mereka sangat kuat dan pula korban di pihak kita
telah cukup banyak. Aku tak ingin jika Tuan sampai
mendapat cedera seperti Saudara Tagoh Hulu ini." Si tua Tawau berhenti sejenak
serta menatap ke arah
Mahesa Wulung dan Tagoh Hulu, kemudian berkata
kembali, "Mereka harus kita hadapi bersama-sama,
karena hanya dibekali persatuan kokoh serta pemusatan kekuatan yang menyeluruh
kita dapat menghadapi mereka."
Mendengar kata-kata itu, baik Mahesa Wulung, Daeng Matoa, maupun Tagoh Hulu tak akan menyangkal.
Memang mereka telah melihat dan mendengar dimanamana, bahwa persatuan yang kuat dapat dipergunakan untuk mengatasi suatu kesulitan yang betapapun besarnya.
Mahesa Wulung telah maklum akan hal itu. Tetapi
rencana apakah yang terbaik untuk melawan mereka
bersama-sama serta merebut kembali Patung Intan
itu" Sedang waktu tinggal satu setengah hari lagi sampai dengan siang ini.
Hal ini membuat Mahesa Wulung bingung memikirkannya. Sampai ia pulang dari rumah Tagoh Hulu, persoalan tadi masih belum
terpecahkan oleh otaknya.
Sampai malam telah menjelang Mahesa Wulung belum dapat memejamkan mata. Sambil berbaring itu, ia terus berpikir keras.
Memang, besok masih ada satu hari dan cukup untuk mengumpulkan orang-orang
kampung terutama para pemudanya guna menghadapi
Bengara serta si Mata Siji itu. Tapi Mahesa Wulung pun masih ingat bahwa Patung
Intan itu harus ia sendiri yang mengambilnya. Maka jika ia sampai membawa orang-orang kampung itu, apakah hal ini tidak
akan merusak syarat-syarat seperti yang telah disebut oleh surat peringatan dari
si Mata biji itu"
Halangan yang betapapun sulitnya tak mungkin
dapat ditembus. Rawe-rawe rantas, malang-malang
putung! Demikianlah semboyan pembangkit semangat
yang selalu diingat oleh Mahesa Wulung dengan baik.
Begitu pula Mahesa Wulung terus berpikir dan berpikir sampai akhirnya ia tampak
tersenyum dan bersinar-sinar matanya.
Demikianlah, pendekar Mahesa Wulung kemudian
tampak menggores-gores dinding kamarnya dengan
ujung pedangnya. Akh, apakah kiranya yang tengah
diperbuat" Membuat ukir-ukiran atau hiasan yang indah barangkali. Yah, semuanya
penuh tanda tanya
memang. Sesaat kemudian, ia pun memejamkan mata serta
tertidur dengan pulasnya. Di sebelah lain, Daeng Matoa dan yang lain-lain pun
telah lebih dahulu memejamkan mata, tertidur dengan nyenyak. Segenap rumah-rumah kampung Lembah Sampit telah juga sunyi
senyap, kecuali derai nafas yang mengalir dengan tenang dari kamar-kamar rumah
tadi. Sekali lewatlah
beberapa orang penjaga kampung yang melakukan tugas jaga meronda berkeliling.
*** 5 KETIKA SISA-SISA malam masih bertahan beberapa
saat, sedang langit di sebelah timur mulai cemerlang sebagai pertanda datangnya
ujung sinar pagi, dari sebuah rumah kampung Lembah Sampit terlihatlah sesosok bayangan mengendap-endap dengan gesit dan
tiba-tiba ia melesat ke atap rumah bagai gerakan seekor tupai. Lincah dan
tangkas. Kemudian bayangan tadi berloncatan berpindahpindah dari atap rumah yang satu ke rumah yang lain dan juga dari satu puncak
pohon ke puncak pohon
yang berikutnya. Ia menuju ke arah utara, seperti
hendak menjangkau tanah pegunungan yang membentang di sebelah utara, laksana seorang raksasa yang membujur, tertidur dengan
nyenyaknya. Gerakan orang ini tidak menimbulkan suara sama
sekali, kecuali desiran angin yang timbul dari kecepatan geraknya. Dalam waktu
yang singkat bayangan ta-di telah melesat menjauh ke arah utara kampung dan
akhirnya lenyap ditelan kegelapan sisa-sisa malam.
Angin pagi mulai berdesir, seirama dengan desiran
tubuh orang ini yang dengan cepatnya berloncatan ke arah utara. Beberapa saat
kemudian bayangan orang
tadi telah tiba di depan goa harta.
Nah, orang tersebut tidak lain adalah Mahesa Wulung yang bergumam ketika tiba di depan pintu goa.
"Si tua Tawau berkata bahwa arah Mata Air Kembar
Tiga adalah ke timur lurus dari tempat ini. Aku harus
cepat-cepat ke sana selagi orang-orang kampung Lembah Sampit masih tertidur
pulas. Semoga Daeng Matoa dapat menemukan pesan tertulis ku pada dinding kamar
rumah itu."
Mahesa Wulung terus melesat ke sebelah timur, ke
arah sang matahari yang mulai menampakkan berkasberkas ujung sinarnya. Dalam loncatan-loncatan yang seringan tubuh belalang,
Mahesa Wulung tak perlu lagi bersusah-susah menempuh perjalanannya. Berkat
ajaran ilmu dari pendekar Bontang dan ditambah kesempurnaan ilmunya meringankan tubuh, maka ibarat tak ada tempat tinggi yang dapat
didaki dan tak ada jurang dalam yang tak dapat dituruni.
Begitulah Mahesa Wulung dengan pesatnya menuju
ke arah timur. Mahesa Wulung tak dapat menghitung jarak yang
telah ditempuhnya, sebab yang pertama-tama dicarinya adalah dataran cekung yang di tengahnya terdapat tiga buah mata air kembar.
Berkat ketajaman matanya yang setajam mata burung elang itu, Mahesa Wulung segera dapat melihat agak jauh di depannya, tiga
buah mata air yang airnya gemerlapan tersapu oleh ujung sinar fajar pagi.
"Nah, itulah tempatnya yang aku cari!"
Namun alangkah terkejutnya, begitu kakinya menginjak hutan pepohonan daerah Mata Air Kembar Tiga
ini, sebuah sinar kemerahan menyambar ke arah kepalanya. Mahesa Wulung tak kurang waspada. Secepat kilat tangan kanannya
berkelebat dan tahu-tahu sinar merah tadi telah berhasil ditangkapnya.
"Jarum sumpitan berbulu merah!" desis Mahesa
Wulung kaget setengah mati, ketika kedua jarinya telah menjepit senjata tadi.
Dalam saat yang sama, tiba-tiba muncullah sesosok
tubuh dari balik dedaunan. Maka berhadapanlah keduanya dengan berdiri pada ranting-ranting di puncak pepohonan dengan enaknya,
menimbulkan pemandangan yang menakjubkan seperti dalam impian saja.
"Bengara! Jadi kaulah yang selama ini selalu mengincar jiwaku"!" seru Mahesa Wulung seraya menatap
ke arah tangan Bengara yang menggenggam buluh
sumpitan. "Hua, ha, ha, ha. Kau masih dapat mengenal aku"


Pendekar Naga Geni 11 Kutukan Patung Intan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bagus, sobat! Itulah salam selamat datang buat kamu." "Kalau begitu, terimalah ini kembali, laknat. Hyaat."
Mahesa Wulung dengan gerakan tanpa terduga
mengibaskan tangannya yang masih menggenggam jarum sumpitan berbulu merah ke arah Bengara, dan
melesatlah jarum sumpitan tadi kembali ke pemiliknya dengan kecepatan yang luar
biasa cepatnya.
Bengara sendiri merasa terkejut karenanya. Untunglah ia cepat menjatuhkan diri ke bawah dan tubuhnya melayang kemudian
mendarat di tanah tak
jauh dari Tiga Mata Air Kembar itu. Akan tetapi Mahesa Wulung tak mau kehilangan
sasarannya kali ini. Ia pun melesat turun mengejar Bengara.
"Keparat! Kau tak akan lepas lagi dari tanganku,
Bengara!" seru Mahesa Wulung dan langsung menerjang kepala lawannya dengan tendangan kaki.
Bengara waspada. Ia mengendap dan ganti menerjang lambung Mahesa Wulung dengan sabetan buluh
sumpitannya. Plaaak! Tangan Bengara tergetar bila saat itu Mahesa Wulung menangkis serangannya tadi dengan pukulan sisi telapak tangan dan akibatnya
sungguh di luar dugaan!
Buluh sumpitannya yang terbuat dari logam ini telah
melengkung! Dengan gugupnya Bengara membuang
senjatanya yang sudah tak berguna lagi ke tanah, dibarengi mulutnya mengeluarkan
suitan keras, memenuhi udara di situ.
Bunyi suitan tadi disambut oleh teriakan-teriakan
panjang kemudian berloncatanlah lima bayangan
makhluk bertangan panjang, berbulu lebat dari balik dedaunan langsung menerkam
Mahesa Wulung dengan ganasnya.
"Hyaaat!"
Plaak! Mahesa Wulung berseru serta mengibaskan kedua
pukulan sisi telapak tangannya dan kelima orang utan pengawal Bengara tadi
terpental beberapa tombak ke belakang dibarengi jerit kesakitan dari mulut
binatang-binatang itu.
Bukan main marahnya Bengara melihat para pengawalnya kena terpukul rontok oleh Mahesa Wulung, maka ia segera menghunus
pedang mandau pendeknya serta menerjang ke arah Mahesa Wulung.
Serangan yang mendatang ini sungguh hebat, karena siapa yang tak bakal ngeri bila pedang mandau tadi mampu bergerak seperti
pasukan moncong ular berbi-sa yang kelaparan, bahkan ujung pedang tadi seperti
berubah menjadi ratusan, mengurung serta mengancam bagian tubuh Mahesa Wulung
yang penting seperti mata, ulu hati, lambung dan sebagainya.
"Hebat sekali!" Mahesa Wulung mendesis memuji
saking kagumnya dan selanjutnya ia pun terpaksa
menghunus pedangnya pula, sebab ia merasa bahwa
serangan-serangan Bengara tidak boleh dipandang
dengan sebelah mata.
Sebentar kemudian terjadilah perang tanding yang
lebih seru. Lebih-lebih setelah mereka saling menggunakan senjatanya. Keduanya saling bergantian menebas, membacok serta menusuk dengan hebat sedang
gerakan mereka saling melingkar, melibat seolah-olah dua ekor burung layanglayang yang tengah bertarung.
Makin lama Bengara melihat kelebihan pada Mahesa Wulung. Tubuh pendekar muda itu mampu berkelebatan bagai bayangan yang selalu berhasil lolos dari tebasan-tebasan pedang
mandaunya. Dan sebaliknya,
ujung pedang Mahesa Wulung itu menjadi semakin
gencar mengarah ke seluruh bagian tubuhnya. Kadang-kadang menyerang dari sebelah kiri dan kemudian beralih dari arah belakang untuk kemudian berganti arah pula dari sebelah
atas. Tentu saja Bengara makin marah dan ketika ia
kembali bersuit keras, sebelas orang utan segera muncul kembali dari balik
dedaunan lalu menyerang Mahesa Wulung. Kini pendekar muda itu dikeroyok oleh dua belas lawan yang
menyerang dengan berpasangan.
Serangan mereka jauh lebih ganas dari semula. Kalau orang pernah melihat ombak badai yang susulmenyusul menghempas ke pantai, maka sehebatnya
itulah serangan Bengara bersama kesebelas orang
utan bawahannya. Dengan berempat mereka menjadi
tiga kelompok yang menyerang secara bergelombang,
bergantian mencecar lawannya.
Namun Mahesa Wulung tidak lekas berkecil hati
atau cemas. Pedang yang ada di tangannya diputarnya dengan dilambari ilmunya
Sigar Maruta atau Membelah Angin yang berada dalam tataran lebih matang,
hingga menimbulkan bunyi berdesing dan mengaung
menyerikan telinga.
Dengan demikian pertahanan kelompok Bengara
dan orang-orang utannya menjadi buyar. Mata pedang Mahesa Wulung bersama tubuh
pendekar muda ini
berloncatan melesat kesana-kemari serta menyelinap di antara gerakan tubuh
lawan-lawannya.
Meskipun di antara binatang-binatang tadi ada
yang membawa batang-batang kayu sebagai alat pemukul atau penggada, namun sampai sejauh ini belum sebuah pun yang sempat
menyinggung tubuh Mahesa
Wulung. Hal ini membuat Bengara semakin kagum
dan tiba-tiba saja ia lebih terkejut bila mendengar sebuah jeritan parau dari
salah seekor orang utannya, bertepatan pedang Mahesa Wulung menebas sasarannya.
Binatang orang utan tersebut terpelanting ke tanah dengan dadanya terobek
menganga disertai darah merah menyembur keluar membasahi tanah di sekitarnya. Melihat seekor orang utannya mati, Bengara menggeram marah, sementara kesepuluh ekor orang utan
lainnya pun berteriak-teriak marah. Begitu binatang-binatang tadi melihat serta
membau darah dari temannya yang mati, seketika nafsu keliaran mereka seperti terangsang, hingga
sorot matanya merah memba-ra. Sedang mulutnya menyeringai-nyeringai sampai gi-gi
taring mereka yang runcing dan tajam terlihat dengan jelasnya.
"Mahesa Wulung! Menyerahlah lekas sebelum seluruh pengawalku ini mematah-matahkan batang lehermu!" teriak Bengara.
"Keparat kau Bengara! Mengocehlah sepuasmu selagi mulutmu masih utuh!" seru Mahesa Wulung menjawab. "Di mana Patung Intan itu kau sembunyikan"!"
"Hua, ha, ha, ha. Kau akan peroleh patung itu jika kepalaku sudah terpisah dari
leher ini," Bengara berkata lantang. "Atau kau memilih kepalamu saja yang
kupenggal dan Patung Intan itu tetap di tanganku!"
"Hmm, terserah apa maumu!" seru Mahesa Wulung.
"Mari kita coba lagi, siapa yang bakal memiliki Patung Intan itu!"
"Bagus! Sekarang bersiaplah!" teriak Bengara seraya membuka serangannya kembali,
ditandai oleh teriakan melengking. "Hyaaat!"
Serempak Bengara beserta kesepuluh orang utannya melesat ke arah Mahesa Wulung dan menyerang
pendekar muda itu dengan hebatnya. Pertempuran
yang kedua ini berlangsung lebih seru daripada yang pertama.
Bengara yang telah mengetahui kegigihan lawannya,
tidak mau lagi menganggap enteng terhadap Mahesa
Wulung. Itulah sebabnya ia memperlipat ganda serangannya. Kini ia bersama kesepuluh orang utan tersebut melingkar dan mengepung
Mahesa Wulung. Serangan-serangan mereka menjadi lebih gencar
datangnya. Mereka tidak lagi bergerak berpasangan
seperti semula, tetapi merubahnya dengan serangan
beruntun yang datang silih berganti. Senjata-senjata mereka tampak berkelebatan
di sekitar tubuh pendekar muda ini, dengan menimbulkan hawa panas yang
menampar kulit Mahesa Wulung.
Tentu saja pendekar muda ini menjadi agak kerepotan, atas serangan-serangan yang tak berketentuan
datangnya dari lawan-lawannya. Biarpun begitu ia tak mau terang-terangan
memperlihatkan kerepotannya,
sifat hal ini akan membuat Bengara menjadi bangga.
Sebenarnya Mahesa Wulung bisa menggunakan pukulan saktinya 'Angin Bisu', hanya saja ia merasa belum betul-betul tiba
saatnya. Juga Patung Intan yang dicarinya itu belumlah ia tahu tempatnya dan hal
ini pula membuat Mahesa Wulung belum berpikir tentang
pukulan sakti tadi.
Seekor orang utan di antara kesepuluh anak buah
si pendekar liar Bengara rupa-rupanya sudah tidak
sabar lagi untuk melahap calon korbannya. Maka dengan suatu loncatan nekad dari arah belakang tubuh Mahesa Wulung, is
menghantamkan kayu penggada-nya ke arah kepalanya si pendekar muda.
Mahesa Wulung cukup waspada. Kesiur angin pukulan dari belakang terasa, menyebabkan ia seperti digerakkan oleh tenaga
naluriah yang peka dan ia membalikkan tubuh ke belakang, sementara pedangnya
menebas miring dari atas ke bawah.
Siuuut.... desss! Penggada kayu yang dipegang oleh orang utan tiba-tiba menjadi
kutung, terpotong hampir ke pangkalnya, membuat binatang itu menjulingkan
mata keheranan. Ia menyeringai-nyeringai marah dan segera menerkam Mahesa Wulung
yang telah siaga lebih lanjut.
Dengan badan sedikit condong, Mahesa Wulung menyambut terkaman tadi. Pedangnya kembali beraksi
dan bergerak sangat cepatnya.
Wesss.... waaak!
Orang utan itu menjerit dan menebah lambungnya
yang terobek sepanjang tiga jengkal serta menyemprot-kan darah segar, dan
selanjutnya ia terguling rebah ke tanah. Mati!
Namun di saat itu mendadak sebuah penggada
kayu lainnya tepat menghajar pundak Mahesa Wulung
dari samping, dan tak ampun lagi pendekar berani ini terhuyung ke samping sambil
peringisan menahan sakit yang nyeri menyelusup ke segenap sendi tulangnya.
Bengara yang melihat keadaan itu, cepat-cepat
memberi aba-aba kepada para orang utannya untuk
meringkus Mahesa Wulung.
Akan tetapi belum lagi mereka bergerak, sekonyongkonyong terdengarlah satu teriakan menggeledek dari sebelah selatan menyebabkan
Bengara serta kesembilan orang utan itu terkejut bukan main.
Dua sosok tubuh melesat dari arah selatan, lewat
pepohonan dan kemudian terjun ke tengah lingkaran
pertempuran. "Bapak Bontang dan Goro!" seru Mahesa Wulung
setengah kaget bercampur kagum.
Dua nama tadi diucapkan dengan suara keras dan
Bengara yang mendengarnya menjadi terkejut karenanya. Ya, nama Bontang dan Goro memang membuatnya
kaget sebab kedua mahluk itu sering muncul dan memusuhi dirinya. Ia tak lupa bahwa mereka berdua pernah menjadi sahabatnya,
meskipun akhirnya mereka
berpisah, karena memilih jalan hidup sendiri-sendiri.
"Bengara! Kini kita bertemu lagi, muka berhadapan
muka. Dan hari ini kita akan membuat perhitungan
sampai akhir!" kata pendekar Bontang dengan lantangnya. "Bah! Aku tak takut akan gertakanmu itu. Majulah
kau kemari. Biar kupenggal lehermu!" Bengara berseru dan bersiaga, tepat di saat
Bontang melesat ke arahnya sambil menyambarkan kapak hitamnya. Kedua orang
itu pun bertempur dengan serunya.
Sedangkan Goro belum lekas-lekas ikut bertempur
sebab ia masih menunggu dan berdiri di dekat Mahesa Wulung yang tengah bersila
mengatur tenaga dalamnya guna mengusir rasa sakit yang masih menyengatnyengat pada pundaknya.
Tak antara lama selesailah usaha Mahesa Wulung
tadi dan segera ia berkata kepada Goro. "Goro, aku telah sehat kembali! Marilah
sekarang kita ikut mera-maikan suasana ini!"
Goro, si orang utan pengawal pendekar Bontang itu
menjawab ajakan Mahesa Wulung dengan menepuknepuk dadanya, dan segeralah ia meloncat ke arah
sembilan ekor orang utan pengikut Bengara.
Melihat ini, Mahesa Wulung cepat pula mengikuti
Goro. Maka terlihatlah dua lingkaran pertempuran
yang seru dan hebat di dalam Mata Air Kembar Tiga
ini. Satu lingkaran adalah Bontang melawan Bengara, sedang lingkaran kedua
adalah Mahesa Wulung bersama Goro melawan ke sembilan orang utan pengikut
Bengara. Kini dataran Mata Air Kembar Tiga seperti digetarkan oleh tiupan angin prahara akibat pertempuran ta-di. Beberapa ekor burung
rangkok terbang ke arah timur dengan berteriak-teriak parau karena merasa cemas
dan kagetnya. Dan di balik dedaunan yang rimbun, para kera kecil mencerecet bising dengan sesamanya, seakan-akan mereka
tengah membicarakan
pertempuran itu. Rupanya mereka keheranan bila di
antara peserta pertempuran tadi adalah binatang-binatang orang utan yang telah
mereka kenal sebagai golongan terkuat di antara bangsa kera di hutan belantara
itu. Yah, memang agak mengagumkan. Para orang utan yang sesungguhnya mudah
dididik oleh manusia, kini bertempur seru dengan gerak-gerak seperti manusia.
Namun orang akan segera dapat membedakan perbedaan gerak tadi. Kalau Goro pengawal dari Bontang itu bergerak dengan tenang
dan terinci, sebaliknya kesembilan orang utan pengikut Bengara bergerak liar dan
ganas, seganas gurunya yakni si pendekar liar
Bengara. Hal itu tidak perlu dibuat heran, karena Goro terdidik oleh si pendekar
Bontang yang berbudi luhur sedang kesembilan pengikut Bengara terbiasa oleh didikan liar dan jahat.
Goro merasa gemas agaknya melihat orang-orang
utan yang menjadi lawannya itu. Suatu ketika dengan sebat ia menangkis sebuah
serangan dari seekor lawannya dan di saat itu pula ia menyambar tangan lawan
tadi lalu membantingnya lewat kepalanya hingga akhirnya lawannya terhempas
dahsyat ke tanah dibarengi oleh suara berderak tulang-tulang patah serta jerit
melengking dari mulut si korban. Orang utan ini berkelojotan sesaat, kemudian
matilah ia. Melihat korbannya telah mati, Goro menepuk-nepuk
dada dan di waktu yang sama Mahesa Wulung telah
berhasil lagi menyabetkan pedangnya ke leher salah seekor orang utan yang
menjadi lawannya dan korban ini pun seketika terkapar roboh ke tanah tanpa
berkutik lagi. Dengan begitu binatang-binatang pengikut Bengara
tadi tinggal tujuh ekor orang utan lagi yang masih hidup serta bertempur lebih
seru. Hal itu pulalah membuat serangan-serangan mereka lebih nekad dan makin berani. Dua ekor orang utan yang ganas tiba-tiba berhasil menyambar kedua belah tangan
Goro, sekaligus menarik tangan tadi ke samping dengan arah yang berla-wanan agar
tubuh Goro itu sobek atau terpisah menjadi dua.

Pendekar Naga Geni 11 Kutukan Patung Intan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun orang utan yang bernama Goro itu ternyata
bukan lawan yang ringan. Sambil berteriak marah ia memutar kedua tangannya itu
beberapa kali dan entah bagaimana, tahu-tahu ganti kedua tangan Goro yang
mencengkeram kedua leher lawannya. Gerakan selanjutnya sungguh cepat dan membikin Mahesa Wulung
yang sempat melirik kejadian itu menjadi keheranan kagum.
Si Goro tiba-tiba menghentakkan kedua belah tangannya menuju arah yang sama ke depan dan...
Praaak! Kedua kepala binatang orang utan yang menjadi lawannya saling berbenturan dengan suara berderak keras sekali, lalu keduanya
terhempas ke tanah dan mati dengan kepala yang pecah.
Bengara yang juga melihat peristiwa ini ikut terkejut bukan main. Tak mengira
bahwa mereka menjumpai
lawan-lawan yang tangguh dan begitu kuatnya. Dan
sekarang, mereka menjadi terdesak olehnya.
Sesudah mengangguk kecil, Bengara bersuit keraskeras kembali dan beberapa bayangan tiba-tiba berdatangan melesat dari sebelah
timur bagai kuda-kuda
liar menyerbu ke arah medan pertempuran.
"Si Mata Siji dengan kawan-kawannya," desis Mahesa Wulung dengan suara bergetar, karena memang
orang inilah yang ditunggu-tunggunya pula.
"Mata Siji!" seru Bengara yang lagi bertempur melawan Bontang itu. "Mengapa
engkau keluar sekarang"!"
"Hia, ha, ha, ha," ujar Mata Siji kepada Bengara.
"Bapak jangan gusar. Sedari tadi kami hanya sebagai penonton saja dari balik
daun, dan sekarang biarlah kami membantu Bapak untuk sekadar melepaskan kejemuan serta kegatalan tanganku ini!"
"Kalau begitu bagus!" seru Bengara. "Sekarang mulailah segera!"
"Serbu!" seru Mata Siji sambil meloncat menyerbu
ke arah Mahesa Wulung dan Goro.
Kedatangan Mata Siji dengan keenam orang-orangnya menambah pertempuran tadi makin lebih hebat.
Tetapi hal ini membuat Goro lebih cepat geraknya.
Sewaktu ia berhasil menjepit kepala salah seekor orang utan lawannya segera ia
semakin memperkeras jepitannya dan lawannya tadi menjerit keras serta roboh ke tanah dengan leher yang
patah. Begitu pula Mahesa Wulung melesat mengambang
di udara ke arah lawan dan pedangnya menebas kembali. "Aaaargh"
Dua ekor orang utan yang menjadi lawannya tergeletak bermandi darah oleh tebasan pedang Mahesa
Wulung. Memang lawan yang harus dihadapi oleh Mahesa
Wulung dan Goro tinggal dua ekor orang utan saja. Tetapi, dengan kedatangan si
Mata Siji beserta keenam kawannya, berarti lawan mereka menjadi bertambah
lagi, yaitu sembilan! Dan inilah yang menyebabkan
Mahesa Wulung merasa cemas. Kini, lawan-lawan mereka berdua ada dua macam, yaitu dua ekor binatang orang utan dan tujuh orang
manusia! Goro agaknya
mengerti perasaan sahabatnya, ketika ia menatap sorot mata Mahesa Wulung yang
bernada kecemasan.
"Nguuk! Nguuk!" si Goro mengguncang lengan Mahesa Wulung dan sebelah tangannya menepuk-nepuk
dadanya sendiri.
"Hmm, terimakasih Goro! Memang jika kita menghadapi bahaya di depan mata, haruslah tabah dan
percaya pada kekuatan sendiri! Terimakasih, Goro!
Meskipun kau hanya seekor binatang, tapi dapat berpikir jauh lebih berbudi
daripada bergejil-bergejil itu!"
ujar Mahesa Wulung seraya menunjuk ke arah Mata
Siji yang telah mengepungnya.
Keruan saja Mata Siji dan kawan-kawannya menjadi
naik darah oleh kata-kata sindiran Mahesa Wulung.
Masa mereka dikatakan lebih rendah dari seekor binatang orang utan! Maka
serentak Mata Siji memberi pe-rintah kepada anak buahnya.
"Keparat! Ayo, lekas kita cincang keduanya!"
Sebentar saja berloncatanlah kembali Mata Siji beserta anak buahnya menyerang Mahesa Wulung serta
Goro. Pertempuran berlangsung dengan serunya.
Apa yang dicemaskan oleh Mahesa Wulung, ternyata mulai terbukti. Ia bersama Goro sedikit-sedikit terdesak oleh kesembilan
lawannya, lebih-lebih Goro hanya bertangan kosong belaka sedang lawan-lawan yang
harus dihadapi, semuanya menggunakan senjata.
"Goro! Pakailah pedangku ini!" seru Mahesa Wulung
seraya melontarkan pedang dari tangannya yang dengan sebat disambut oleh Goro. Sedang ia kemudian
melolos cambuk Naga Geni dari balik bajunya.
Dua kali cambuk itu diputar di udara dan begitu
melecut terdengarlah dua ledakan dahsyat.
Daar! Daaaaarrr!
Akibatnya hebat. Dua sosok tubuh yaitu kedua ekor
orang utan terakhir dari sisa pengikut Bengara terhempas ke tanah dengan badan
hangus dan tak bernyawa lagi. Tetapi itu bukan berarti bahaya telah berkurang bagi Mahesa Wulung
dan Goro, sebab Mata Siji serta keenam anak buahnya yang terbilang jagoan-jagoan
ini dengan cekatan selalu berhasil menghindar dari ujung cambuk Naga Geni yang
memburunya. Dalam pada itu, dari sebelah selatan tampaklah
bayangan-bayangan manusia mengendap-endap dengan hati-hati dan begitu mereka melihat pertempuran seru tadi, seorang agak tua
yang tidak lain adalah si tua Tawau segera berteriak.
"Hee, kawan-kawan! Lihat, Mahesa Wulung sedang
dikeroyok. Ayo, cepat kita membantunya!"
Habis berkata begitu, Tawau, Daeng Matoa dan Tagoh Hulu meloncat dan terjun ke medan pertempuran
itu, sedang Pandan Arum dan Sandai serta tiga orang
anak buah Tawau berdiri dari kejauhan dengan hati
yang berdegupan karena melihat pertempuran seru ta-di. Bukan main kagetnya Mata
Siji karena kedatangan Tawau beserta kedua pendekar itu. Dengan sendirinya
pengepungan terhadap Mahesa Wulung dan Goro terpaksa buyar, sebab jika tidak, besar kemungkinan mereka akan dirobohkan dari sebelah luar
oleh Tawau bertiga! Kini Mahesa Wulung berhadapan dengan Mata Siji serta dua orang anak
buahnya, sedang Daeng Matoa melawan Pisek Grana. Di sebelah lain, dengan
tangkasnya Tagoh Hulu menyerang Garangpati, dan si tua Tawau menghadapi Dangsa
serta seorang temannya lagi melawan Goro.
Dataran Mata Air Kembar Tiga bertambah tergetar
oleh pertempuran seru tersebut. Masing-masing pasangan berusaha mendesak dan
mengalahkan lawannya
dengan cepat. Namun ternyata lawan-lawan yang mereka hadapi adalah pendekar-pendekar tangguh hingga pertempuran mereka semakin
seru jalannya. Waktu
pun terus berjalan, seperti tak memperdulikan manusia-manusia yang tengah
bertempur itu dan di langit pun sang matahari merayap dengan malasnya. Hari
telah sangat siang.
Pisek Grana menjadi penasaran melihat seranganserangannya selalu kandas ditangkis oleh Daeng Matoa, dan karenanya Pisek Grana makin nekad. Golok di tangannya berputar dan
melanda ke arah Daeng Matoa yang selalu waspada. Sekali lagi ia berhasil
mengelak pedang yang membacoknya dan secepat itu pula senjata tongkat rotannya
berdesing menimpa punggung Pisek Grana. Plaaakkk! "Eaach!"
Orang yang berhidung pesek ini menjerit kesakitan
dan menggeliat-geliat meraba punggungnya dan sejurus kemudian Pisek Grana berbatuk-batuk darah, lalu terguling menggeletak di
tanah tanpa berkutik.
Di sebelah yang lain, Goro berhasil menyampok jatuh golok di tangan lawannya. Melihat itu, Goro pun lalu melempar pedangnya ke
tanah dan dengan begitu keduanya sama-sama tak bersenjata. Dengan teriak
ganas, lawan Goro melesat menerkam ke arahnya. Pada pikirnya pastilah badannya yang kekar ini dengan mudah akan dapat meringkus
tubuh si Goro. "Masa, manusia seperti aku ini tak dapat menundukkan seekor orang utan saja!" demikian pikir orang itu. Namun sayang, pikiran
tadi adalah keliru. Sebab begitu ia menerkam ke arah Goro, orang utan ini segera
menyambutnya. Kedua tangannya yang penuh bulu
coklat kehitaman tiba-tiba telah melingkar ke bahu dan pinggang orang itu.
Keruan saja anak buah Mata Siji ini menggeliat-geliat untuk melepaskan diri,
tapi sudah terlambat. Goro segera menghentakkan kedua
tangannya ke kiri disusul bunyi gemertak tulang patah serta jeritan dari mulut
lawannya. Orang tersebut terkulai seketika dan matilah ia.
Di saat yang sama pula, Tawau dengan sigapnya
memainkan pedang mandaunya. Sebuah tebasan mendatar mengarah ke lambung si Dangsa membuat anak
buah Mata Siji ini buru-buru menangkiskan goloknya ke bawah. Tetapi sesungguhnya
inilah jurus pancingan dari Tawau. Pedang mandaunya tiba-tiba berubah
arahnya di tengah jalan dengan membelok ke atas dan serong ke kanan.
"Haaaakk!"
Sebuah teriakan pendek terdengar dibarengi tubuh
anak buah Mata Siji itu terguling ke tanah dengan leher yang hampir putus.
Melihat tiga orang anak buahnya telah tewas, Mata
Siji menjadi lebih marah lagi. Dengan bersama dua
orang anak buahnya, ia terus mengurung Mahesa Wulung dengan libatan-libatan senjata. Ketiga ujung senjata pedang dan golok itu
seperti moncong tiga ekor ular yang menyerang korbannya. Tetapi ujung cambuk
Naga Geni di tangan Mahesa Wulung lebih hebat lagi geraknya. Laksana seekor naga
yang berwarna biru,
cambuk tadi melentur-lentur menyusup sambaran ketiga ujung senjata Mata Siji bertiga. Bahkan lebih hebat lagi bila sejurus
kemudian menyambar lawannya
dengan sebuah ledakan memekakkan telinga.
Duaaaarrr! Seorang di antara pengeroyoknya terjengkang jatuh
ke tanah bagai disambar oleh geledek. Tubuhnya hangus kehitaman sangat
mengerikan siapa yang memandangnya. Maka berkuranglah seorang anak buah Mata
Siji. Biarpun begitu, tokoh Kapal Hantu tadi tidak menjadi berputus asa.
Pertempuran antara Mahesa
Wulung melawan Mata Siji dan seorang anak buahnya, tetap berjalan dengan
serunya. Dalam pada itu, tiba-tiba dari balik dedaunan di sebelah timur, terpancarlah
sebuah cahaya gemerlapan yang memancar ke segenap arah. Kejadian ini membuat si
tua Tawau terperanjat, begitu pula halnya dengan Daeng Matoa dan Goro.
"Cahaya intan permata!" gumam Tawau pelan. Di
saat itu pula ia jadi teringat oleh Patung Intan yang tengah mereka cari-cari.
Orang tua ini lalu berkata kepada kedua sahabatnya, "Saudara Daeng Matoa dan
Goro. Kalian tunggu di sini sebentar, aku akan menengok cahaya di sebelah timur
itu!" Selesai berkata, si tua Tawau lalu meloncat ke arah timur. Akan tetapi rupanya
tidak hanya Tawau saja
yang tertarik oleh cahaya itu, sebab Sandai serta Pandan Arum telah pula
mendekati ke arah cahaya tersebut.
Garangpati yang tengah menghadapi Tagoh Hulu,
akhirnya merasa kewalahan. Ditambah lagi oleh teman-temannya yang telah tewas membuat hatinya merasa keder. Sedang badannya pun telah menderita lu-ka-luka kecil akibat
sambaran-sambaran ujung pedang mandau Tagoh Hulu. Maka akhirnya tanpa menunggu lebih lama, Garangpati membalikkan tubuh
dan melesat ke selatan meninggalkan tempat tersebut.
Gerakannya ini sungguh hebat sehingga Tagoh Hulu
seakan-akan terpukau dan membiarkan lawannya tadi
melarikan diri yang sebentar kemudian lenyap di balik kelebatan pohon-pohon.
Alangkah marahnya Mata Siji melihat Garangpati
melarikan diri. Namun ia tak dapat berbuat apa-apa, sebab ia masih harus
menghadapi Mahesa Wulung
yang bersenjatakan cambuk Naga Geni itu.
Daya tahan kekuatan Mata Siji jauh lebih kuat daripada seorang anak buahnya yang
tinggal seorang itu.
Itulah sebabnya ketika cambuk Naga Geni di tangan
Mahesa Wulung menyambar ke arah tubuh anak buah
Mata Siji tersebut, orang itu terlambat menghindar dan tak ampun lagi tubuhnya
terpental dan jatuh ke tanah dengan tubuh hangus.
"Mata Siji, kini kita berhadapan satu lawan satu.
Terimalah pembalasan Wangsa Ginuk yang kau bunuh
secara curang di geladak Kapal Hantu dahulu!" teriak Mahesa Wulung seraya
memutar cambuknya lebih
dahsyat hingga menimbulkan bunyi mengaung bagai
kawanan lebah yang tengah berdengung mencari madu. "Setan! Ayo kejarlah aku kalau dapat!" seru Mata Siji sambil melesat ke atas
puncak pohon, diiringi derai ketawa yang sombong memuakkan telinga. "Hua, ha,
ha, ha! Ayo Mahesa rembes, naiklah kemari. Aku tung-gu dengan senang hati! Hua,
ha, ha, ha!"
"Hmm, jangan kira aku tak mampu berbuat begitu!
Hyaaat!" Tubuh Mahesa Wulung menjejak tanah dan melesat
menyusul Mata Siji ke puncak pohon. Sungguh mengagumkan, ilmu meringankan tubuh kedua orang
pendekar ini. Keduanya lalu bertempur di atas puncak pohon tak ubahnya dua ekor
burung. Sayangnya, hal
ini tak berlangsung lama, sebab ketika suatu kali Mata Siji berjumpalitan di
udara, tiba-tiba ujung cambuk Naga Geni telah menerjang punggungnya.
Duuaaaarrr! Tubuhnya sesaat menggeliat dengan wajah yang tegang dan menyeringai, seakan tak percaya bahwa seluruh tubuhnya telah hangus,
lebih-lebih pada bagian punggungnya.
"Eaaargh!"
Mata Siji akhirnya melontakkan darah hitam kental
berbareng tubuhnya melayang ke bawah, jatuh ke bawah sana dari atas puncak pohon itu, dan matilah sudah si Mata Siji.
Rupanya kejahatan memang harus tumpas pada
akhirnya. Demikian hukum Tuhan Yang Maha Esa
berlaku. Di saat itu pula Bontang melihat pertahanan Bengara yang lowong dan
kesempatan ini diperguna-kannya dengan baik. Kapak hitamnya membuat satu
serangan memancing dengan tebasan mengarah ke
dada lawan dan tentu saja Bengara lekas-lekas menangkisnya ke samping. Maka pada saat itulah Bontang melenting ke atas lawan dan kembali kapak hitamnya meluncur deras ke bawah.
Praaaak! Terdengar sebuah benturan cukup keras, bila kapak si Bontang menghajar batok kepala si pendekar
liar Bengara, dan sejurus kemudian Bengara itupun jatuh bergulingan dengan
rintihan pendek, sedang kepalanya terluka mengerikan dan berlepotan darah. Tu

Pendekar Naga Geni 11 Kutukan Patung Intan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

buh Bengara kini tergeletak di tanah tak berkutik lagi.
Sementara itu, si tua Tawau telah tiba di rumpun
semak-semak di sebelah timur dimana cahaya putih
gemerlapan berasal dari tempat tersebut. Bagai orang terpukau si tua Tawau
menatap sumber cahaya tadi
yang tidak lain adalah Patung Intan yang kini tengah dibopong oleh Seguntur
dengan tangan kiri, sedang
tangan kanannya menggenggam pedang mandau terhunus. "Seguntur! Jadi Patung Intan itu ada di tanganmu!?" "Hua, ha, ha, ha. Sekarang ini akan menjadi milikku penuh, sebab kedua sekutuku telah mampus!" ujar Seguntur. "Maka menyingkirlah
orang tua, sebelum pedang mandauku meminum darahmu!"
"Keparat!" teriak Tawau seraya menerjang ke arah
Seguntur, dan timbullah pertarungan sengit meskipun tidak lebih dari enam jurus
gebrakan, sebab pada jurus ketujuh, pedang mandau Seguntur berhasil menyambar dada si tua Tawau!
"Aduuuuuh!" Tawau terpelanting ke tanah, sedang
dadanya yang tertowel tadi mengalirkan darah segar.
Dan bersamaan waktunya, dua sosok bayangan telah tiba di dekat Tawau, lalu menolong orang tua tersebut. Mereka itu adalah
Pandan Arum serta Sandai.
"Lukanya harus cepat-cepat diobati!" seru Sandai.
Dengan cekatan Pandan Arum mengambil kantong
obatnya sementara Sandai menatap tajam ke arah Seguntur yang tengah bergegas meninggalkan tempat itu.
Sambil meloncat memburu, Sandai berteriak lantang,
"Seguntur, keparat! Kau tinggalkan Patung Intan itu!"
Namun Seguntur cukup waspada. Begitu Sandai
memburu seraya melancarkan sebuah pukulan tangan, ia cepat mengelak dan lengan Seguntur yang kokoh itu dengan sigap
menyambar pinggang gadis Sandai. "Hua, ha, ha, ha. Sekarang dua-duanya jadi milikku! Patung Intan dan gadis yang cantik!" ujar Seguntur dengan tertawa memuakkan.
"Lepaskan aku, keparat! Aduh... toloooong!" seru
Sandai tanpa daya ketika tubuhnya terjuntai dikempit oleh lengan Seguntur.
"Ha, ha, ha. Kau akan segera menjadi isteriku!" ujar Seguntur seraya melesat ke
arah timur dengan sigap sambil kedua tangannya mengepit Patung Intan dan
tubuh Sandai yang padat berisi itu.
Akan tetapi, sebuah bayangan meluncur dan memburu di belakang Seguntur. Keduanya berkejaran sebentar, namun tiba-tiba sebuah tebasan telapak tangan si pengejar menyambar kepala Seguntur. Untungnya, Seguntur lebih cepat mengelak dan kemudian meloncat ke samping dengan
wajah pucat. "Daeng Matoa! Kau menggangguku, setan!" teriak
Seguntur dengan marahnya. "Hari ini kau harus mati di tanganku."
Si pengejar yang tidak lain adalah Daeng Matoa itu kini berhadapan dengan
Seguntur, tidak jauh dari tanah berawa-rawa.
Seguntur kemudian melepaskan Sandai yang kontan terduduk jatuh ke tanah dengan dada yang sesak
akibat tubuhnya dikempit dan dibawa lari oleh Seguntur beberapa saat lamanya.
Cepat Seguntur menghunus senjata.
"Hyaaat!" Daeng Matoa menerjang ke arah Seguntur
dan mereka pun bertempur dengan dahsyatnya.
Seguntur bergerak bagai seekor macan, sedang pedang mandaunya berkelebatan bagai bayangan maut.
Sebaliknya, Daeng Matoa tak ubahnya seekor garuda.
Ia bergerak lincah menyambar-nyambar dengan pedangnya, sementara kakinya sekali-kali melancarkan serangan berbahaya.
Pada suatu ketika Daeng Matoa melenting ke atas,
di saat Seguntur mengancam lambungnya dan mendadak kakinya melancarkan tendangan ampuh ke pundak Seguntur. Blaaaag! Tubuh Seguntur terpelanting mencelat dan tanpa
berdaya terceburlah ia ke tanah rawa-rawa di dekatnya disertai jeritan parau.
"Rawa Hidup! Aaaah... tolong!" teriak Seguntur sambil tubuhnya berkutat untuk
menepi! Namun celakalah ia, sebab rawa tadi adalah rawa
berlumpur hidup. Makin tubuhnya banyak bergerak
makin cepatlah lumpur tadi menyedot tubuhnya ke
bawah! Sungguh mengerikan! Patung Intan yang dikepit oleh lengan kiri Seguntur sudah tidak tampak sebab telah terbenam ke lumpur.
Kini hanya kepala sebatas leher serta tangan kanannya saja yang menggapai-gapai
minta tolong, berserabutan ke udara.
"Aduuh... Daeng Matoa! Aku akan bertobat... jangan biarkan aku mati di tempat
ini... tolong!" Seguntur berteriak sambat.
Daeng Matoa yang berhati welas asih itu tak sampai hati melihat lawannya mati
disedot rawa berlumpur
tadi, maka cepat-cepat ia mengulurkan tangan menolong Seguntur. Dengan sigap jari-jari Seguntur memegang pergelangan tangan Daeng
Matoa dan mengunci
dengan keras. "Hua, ha, ha, ha. Kita akan mati bersama-sama
Daeng Matoa!"
Bukan main Daeng Matoa terkejut, begitu pula
Sandai! Kini tubuh Daeng Matoa rebah ke tepi rawa
dan perlahan-lahan terseret oleh tangan Seguntur
yang semakin tenggelam ke dalam lumpur hidup tadi.
Melihat ini Sandai cepat-cepat menubruk tubuh Daeng Matoa seraya menjerit panik.
"Daeeeng! Ohh, jangan. Jangan kau ikut tenggelam
di sini! Daeng.... aku cinta padamu, Daeng! Ooh, aku ikut terseret pula! Aku tak
berdaya menahan tubuhmu Daeng. Baiklah, jika harus mati..., kita akan mati
bersama-sama, kekasihku Daeng...."
Kini Seguntur sudah tak bisa bersuara, sebab sebagian kepalanya telah tenggelam oleh lumpur kecuali hidung dan matanya saja yang
masih sempat memandang birunya langit dan hijaunya pupus-pupus dedaunan yang bergoyang-goyang terhembus angin pegunungan. Jari-jarinya yang masih menggenggam tangan Daeng Matoa itu ikut menyeret
tubuh Daeng Matoa
dan kekasihnya, Sandai. Sedikit demi sedikit tubuh mereka berdua hampir tertarik
dari tanah tanggul di tepi rawa!
Aah, akan matikah juga Daeng Matoa dan Sandai
ke dalam rawa lumpur hidup ini"!
Tunggulah jawabannya dalam seri Naga Geni "Bentrok di Kali Serang" yang tak kalah seru, tegang serta romantis. Maka sampai
disini, selesailah cerita "Kutukan Patung Intan."
TAMAT Scan/Edit: Clickers
E-Book: Abu Keisel
Document Outline
1 *** *** 2 *** 3 *** *** 4 *** *** 5 TAMAT Sumpah Palapa 15 Dewa Linglung 28 Selubung Awan Hitam Raja Naga 7 Bintang 6

Cari Blog Ini