Ceritasilat Novel Online

Malaikat Jubah Keramat 2

Pendekar Mabuk 024 Malaikat Jubah Keramat Bagian 2


pudar dan membuatnya kembali ke wujud manusia.
Padahal selama ini tak ada manusia yang bisa
memudarkan ilmu 'Siluman Macan'-nya. Nyai Cungkil
Nyawa belum tahu bahwa harimau itu jelmaan Ki
Sonokeling. Jika harimau loreng itu belum mengajaknya bicara dalam bahasa
manusia, nenek itu belum bisa
memastikan bahwa harimau itu jelmaan Ki Sonokeling.
"Aku heran padamu, Anak Muda! Kau bisa dengan
mudah mengetahui bahwa harimau itu jelmaanku, dari
mana kau menandainya?"
"Dalam penglihatanku, mata harimau itu merah. Jadi
aku tahu harimau itu hanya siluman seseorang."
"Dan kau bisa mengubah wujud manusia diriku yang sebenarnya dengan hanya
menyemburkan tuak, sungguh
itu suatu ilmu yang langka. Setahuku ilmu sembur tuak begitu hanya dimiliki oleh
tokoh tua yang dikenal
dengan nama si Gila Tuak!"
"Aku muridnya si Gila Tuak, Ki Sonokeling!"
"Oh..."!" orang kurus berkulit hitam itu terkejut, ia memandangi Pendekar Mabuk
dengan tatapan mata
terheran-heran dan merasa kagum, ia berkata,
"Jadi, kau... kau muridnya si Gila Tuak itu?"
"Benar, Ki!"
"Waaah... pantas!"
"Ki Sonokeling mengenal Guru?"
"Ya. Aku kenal dengan gurumu. Dia orang baik. Dia tahu aku punya ilmu 'Siluman
Macan', tapi ia tak pernah menggangguku. Hanya saja, aku pernah melihat dia
menyemburkan tuak kepada seekor buaya yang ternyata
adalah jelmaan si Gunomukti, teman seperguruanku
dulu. Dan dari situlah aku menjadi ciut nyali kalau
ketemu si Gila Tuak, dalam keadaan sedang menjelma
menjadi harimau! He he he...!" Ki Sonokeling tertawa sendiri membayangkan rasa
takutnya jika ia sedang
menjadi harimau dan berpapasan dengan si Gila Tuak.
Ilmu itu biasanya digunakan oleh Ki Sonokeling untuk
menakut-nakuti lawannya, biar tidak terjadi pertarungan antara dirinya dengan
lawan tersebut. Hanya jika
terpaksa sekali, karena diserang terus, maka sebagai
wujud siluman harimau, Ki Sonokeling terpaksa
memangsa lawannya hingga mati.
"Boleh aku tahu namamu, Murid Gila Tuak?"
"Namaku Suto Sinting, Ki."
"O, Suto Sinting..." Ya ya ya... aku pernah dengar namamu dibicarakan oleh para
tokoh di dunia persilatan ini. Kalau tidak salah kau yang berjuluk Pendekar
Mabuk?" "Benar, Ki."
"Berarti tak salah pula dugaanku, bahwa kaulah
orangnya yang bisa menyembuhkan seseorang dengan
tuakmu itu?"
"Aku hanya mencobanya, dan jika orang itu sembuh berarti Yang Maha
kuasa memakaiku untuk
menyembuhkannya. Aku hanya manusia biasa tanpa
kekuatan apa-apa jika bukan kekuatan datang dari-Nya, Ki."
"Luar biasa jiwamu! Rupanya kau menjadi pewaris jiwa gurumu juga!"
"Guru selalu mendidikku begitu, Ki!"
"Ya, ya... aku percaya itu. Dan sekarang bisakah aku minta tolong padamu, Suto?"
"Tentang apa, Ki?"
"Aku mempunyai keponakan, dan keponakan itu
punya anak, jadi anak itu termasuk cucuku, bukan?"
"Benar."
"Cucuku sedang sakit saat ini, Suto. Ia terkena racun pada waktu bertarung
melawan orang sesat dari
Perguruan Kobra Hitam, dan sampai sekarang racun itu
masih merusak raganya, tak dapat kusembuhkan dengan
berbagai cara."
"Siapa orang Kobra Hitam yang bertarung dengan
cucumu itu?"
"Rangka Cula! Dia memang orang jahat dan...."
"Dan sedang kukejar-kejar, Ki!"
"O, ya"!" Ki Sonokeling terperanjat. "Kalau begitu, kau bisa tanyakan kepada
cucuku itu ke mana larinya
Rangka Cula!"
"Baiklah. Kita pergi ke tempat cucumu, Ki!"
Dalam perjalanan menuju rumah kediaman Ki
Sonokeling, yang tinggal bersama cucu dan
keponakannya itu, Suto Sinting sempat menanyakan
tentang diri Nyai Cungkil Nyawa.
"Ki Sonokeling sudah lama mengenal Nyi Cungkil
Nyawa?" "Cukup lama. Sejak aku berusia sekitar tiga puluh tahun, aku jumpa dia dan
naksir dia. Tapi dia tidak
pernah mau membalas taksiranku, hanya sikapnya
kepadaku sangat bersahabat."
"Saya kaget tadi waktu dia tiba-tiba menghilang dari pandangan. Tak sangka dia
punya ilmu bisa menghilang
begitu." "Dia memang perempuan misterius. Kadang kelihatan cantik dan muda, kadang
kelihatan tua seperti itu.
Kadang mudah dicari dan ditemukan, kadang dia
menghilang entah pergi ke mana dan sukar ditemukan.
Tapi karena aku suka sama dia, aku bersedia dijadikan pengurus taman di
petilasan itu. Maka jadilah aku juru tamannya sejak berusia tiga puluh tahun,
sedangkan dia adalah juru kunci penjaga makam Prabu Indrabayu itu.
Kami saling kerja sama jika ada orang berilmu tinggi ingin merusak makam
tersebut. Tapi... Sendang Kedaton memang sakti dan...."
"Lho, namanya Sendang Kedaton atau Sendang
Katon"!" potong Suto Sinting.
"Sendang Kedaton, itu nama sebenarnya. Tapi dia
sering mengubahnya sendiri menjadi Sendang Katon.
Maksudnya Katon adalah kelihatan, sedangkan
maksudnya Kedaton adalah keraton atau istana. Sendang adalah air bening sejenis
dengan air telaga."
"Ooo... terus, terus bagaimana kisah percintaan Ki Sonokeling dengan Nyai
Cungkil Nyawa itu?"
"Ya tidak ada...!" jawabnya sambil melangkah dan garuk-garuk kepala. "Kisah
percintaanku hanya berat sebelah. Tapi aku cukup puas dan senang, walau ia tidak
membalas cintaku, tapi ia bersikap baik padaku! Padahal dulu dia seperti orang
gila." "Maksudnya?"
"Sering mencaci-maki aku dengan seribu kata makian tanpa sebab. Tapi karena aku
tetap tabah, akhirnya dia jadi bosan bersikap galak padaku, dan berubah menjadi
baik. Yaah... namanya saja perempuan, kalau kita tekun dan tabah, suatu saat
akan tunduk juga!"
Ki Sonokeling terkekeh di tengah kegelapan malam
yang remang itu, dan Pendekar Mabuk pun tertawa geli.
Mereka masih melangkah menyusuri jalan setapak
menuju tempat kediaman cucunya Ki Sonokeling.
Pendekar Mabuk kembali mengajukan pertanyaan untuk
mengisi waktu dalam perjalanan, biar tak sepi.
"Sebenarnya apa betul ada jubah keramat di dalam makam itu?"
"Betul! Banyak tokoh tua yang membicarakannya dan Nyai Cungkil Nyawa pun sering
bercerita tentang hal itu kepadaku. Tapi sejauh ini, aku tak pernah diberitahu
di mana letak pintu masuk menuju ruang bawah tanah. Aku
pun tak ingin mendesaknya karana takut disangka punya maksud jahat separti
mereka yang ingin memiliki jubah itu!"
"Apakah ia punya anak atau keluarga?"
"Tidak. Sejak pertama aku jumpa dia, dia tinggal di petilasan itu dan tak pernah
punya anak, juga tak pernah punya suami. Dia selalu menolak ajakan kawin siapa
pun, termasuk aku sendiri!"
"Barangkali itu sudah menjadi sumpahnya untuk
menjadi penjaga makam Prabu Indrabayu, tidak boleh
kawin dan tidak boleh punya anak! Mungkin juga tidak
boleh punya murid!"
"Mungkin. Mungkin memang begitu. Aku tak bisa
pastikan, sebab menurutku dia perempuan misterius
yang menggemaskan hati, ingin mencubitnya setiap
saat!" "Ha ha ha ha...!" Suto Sinting tertawa geli mendengar ucapan seperti itu
meluncur dari mulut orang setua Ki Sonokeling. Lalu, Suto sendiri segera
berkata, "Biar misterius, tapi kau tentu bahagia walau hanya merawat taman di sana, Ki!
Karena dengan begitu kau
bisa jumpa dia setiap hari!"
"Ya, tapi... tapi sekarang taman itu sudah tidak ada!
Hancur dirusak orang-orang serakah yang ingin
memiliki jubah itu, sehingga aku tidak punya kesibukan di sana. Tak ada yang
kuurus kecuali hanya mengurus
cintaku padanya."
"Ha ha ha ha...!" Pendekar Mabuk melepaskan tawa yang membuat Ki
Sonokeling tampak senang
ditertawakan soal cintanya.
Suto terpaksa bermalam di rumah cucunya Ki
Sonokeling. Ia telah berhasil menyembuhkan cucunya
Ki Sonokeling itu, dan racun yang membuat kakinya
busuk perlahan-lahan itu telah menjadi tawar.
Esoknya, pagi-pagi sekali, mereka telah berangkat
kembali menuju ke petilasan untuk menjumpai Nyai
Cungkil Nyawa. Ki Sonokeling bernafsu sekali ingin
segera menemui Nyai Cungkil Nyawa, sehingga pagipagi sekali ia sudah mengajak Suto berangkat, dan Suto yang sebenarnya masih
mengantuk itu pun terpaksa
menuruti ajakan tersebut, karena Ki Sonokeling berkata,
"Bumbung tuakmu sudah kupenuhi dengan tuak
Mojolangu!"
"Oh, terima kasih! Terima kasih sekali, Ki!" jawab Suto kegirangan. Dan itulah
penyebab mata Suto yang
masih mengantuk menjadi melek.
Mata Nyai Cungkil Nyawa pun menjadi melek, tapi
bukan karena mendengar tentang tuak, melainkan karena mendengar suara langkah
kaki orang yang menuju ke
Petilasan Teratai Dewa itu. Tapi nenek itu masih
berlagak tidur.
Orang yang mendekati petilasan itu sudah bisa diduga
oleh Nyai Cungkil Nyawa, karena ia sudah hafal bau
keringat orang itu. Tapi orang itu tidak tahu bahwa
kedatangannya sengaja ditunggu oleh Nyai Cungkil
Nyawa dalam lagak tidurnya.
Orang tersebut berpakaian merah-merah dengan
bajunya yang tanpa pernah dikancingkan bagian
depannya. Orang itu mempunyai badan tergolong besar
dengan perut sedikit buncit. Wajahnya kasar, berkesan bengis. Alisnya tebal,
kumisnya pun tebal. Matanya
lebar dan kulit matanya sedikit mengendur ke bawah.
Orang itu mempunyai rambut hitam, panjangnya
sepunggung tapi acak-acakan tak pernah diatur, sehingga penampilannya semakin
kelihatan angker,
menyeramkan. Di pinggangnya terselip kapak bermata
dua yang masing-masing mata kapak berukuran lebar
melengkung, ujungnya mempunyai mata tombak yang
berwarna merah membara, kalau kena kegelapan malam
mata tombak itu menjadi sangat terang bagai cahaya
lampu. Gagang kapaknya agak panjang. Kapak itu
kadang ditentengnya, jika capek diselipkan di sabuk
hitamnya itu. Melihat wajahnya yang angker dan berbibir tebal
karena memang mulutnya lebar, jelas kedatangannya ke
petilasan itu bukan untuk maksud yang baik. Terbukti
ketika ia melihat Nyai Cungkil Nyawa sedang tertidur di salah satu sudut dinding
reruntuhan, orang itu segera mengangkat batu sebesar perutnya dan dilemparkan ke
arah Nyai Cungkil Nyawa dengan mata mendelik
memancarkan nafsu membunuh.
Wusss...! Batu itu melayang di udara, menuju ke tubuh nenek
kurus itu. Tapi tiba-tiba batu itu berhenti di udara, maju tidak, mundur pun
tidak. Zepp...!
Orang bermata lebar itu semakin memperlebar
matanya lagi melihat batu bisa berhenti di udara, ia mundur dua tindak. Dan
tiba-tiba batu itu berkelebat
cepat, melesat ke arahnya sendiri. Orang itu
menggeragap bingung, kemudian melompat ke samping
dan batu pun lolos dari sasarannya, menghantam sisa
pilar. Durrr..! Bruss...! Sisa pilar itu hancur, padahal lebih besar dari batu
itu sendiri. Nyai Cungkil Nyawa menggeliat bangun pelan-pelan.
Mulutnya menguap lebar dengan kedua tangan
direntangkan. Pada waktu mulutnya menguap lebar,
orang berpakaian merah itu cepat mengambil sebatang
kayu yang agak runcing, lalu dilemparkan ke arah mulut itu. Wuttt!
Tab...! Kayu itu cepat ditangkap dengan tangan kiri
Nyai Cungkil Nyawa. Bersamaan dengan itu, Nyai
Cungkil Nyawa membuka mata dan bangkitlah ia
dengan sedikit limbung.
"O, kamu lagi yang datang, Gandarwo! Apa belum
jera melawanku?"
Orang yang ternyata bernama Gandarwo itu
menggeram gemas. Dua kali usahanya membunuh Nyai
Cungkil Nyawa tidak berhasil, ia segera mencabut kapak dua mata dari
pinggangnya. "Aku belum puas kalau belum membunuhmu, Nyai!"
geramnya. "Ya silakan bunuh, biar kamu puas!" kata Nyai Cungkil Nyawa dengan seenaknya
saja. Ia mulai melangkah dengan menggunakan tongkatnya yang tak
seberapa panjang itu. Ia mendekat, tapi Gandarwo
mundur dua tindak.
"Apa kau sudah punya ilmu baru, sehingga berani
datang kemari?" kata Nyai Cungkil Nyawa.
"Sudah!" jawabnya membentak. "Kali ini kau tak akan bisa menghindari ilmu
pukulanku yang terbaru!
Heaaah...!"
Gandarwo menyentakkan kapaknya ke depan. Tibatiba ujung kapak yang berupa logam merah membara
seperti mata tombak itu meluncur cepat, belakangnya
berantai panjang. Rantai itu kecil dan mengikuti gerakan ujung kapak tersebut.
Suttt...! Zerrrr...!
Wut wut wut wut wut...!
Benda kecil yang berwarna merah itu bergerak
terbang mengitari tubuh Nyai Cungkil Nyawa. Rantai


Pendekar Mabuk 024 Malaikat Jubah Keramat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tersebut akhirnya melilit-lilit di tubuh Nyai Cungkil Nyawa dan menjadikan sang
Nyai terikat dari lengan
sampai kaki. Ia tak dapat bergerak. Terjerat kuat sekujur tubuhnya. Sedangkan
mata tombak yang merah itu
melesat kembali ke pemiliknya dan ditangkap dengan
tangan kiri Gandarwo.
Serrrtt...! Mata tombak itu ditarik, membuat rantainya
mengencang dalam ikatan yang tak mudah dilepaskan
itu. Gandarwo tertawa terbahak-bahak melihat Nyai
Cungkil Nyawa terjerat begitu kuat.
"Ha ha ha ha...! Sekarang kau tak akan bisa berkutik, Nyai! Kau akan mati jika
rantai ini kutarik dengan
sentakan kuat, dan tubuhmu akan terpotong oleh rantai kecil ini! Ha ha ha
ha...!" "Husy! Berisik!" bentak Nyai Cungkil Nyawa yang membuat tawa itu lenyap
seketika. Kini Gandarwo
menggeram penuh nafsu membunuh, ia berkata dengan
mata angkernya yang memandang tajam,
"Semua ilmuku
sudah kulepaskan untuk membunuhmu tapi kau bisa mengimbanginya. Namun
sekarang, jurus 'Rantai Pemotong Baja' ini, tidak akan bisa kau hindari lagi,
Nyai. Tidak akan bisa kau lawan!
Hanya ada satu yang bisa menyelamatkan kamu, yaitu
sebutkan di mana letak pintu masuk ke ruang bawah
tanah tempat ini!"
Dengan tenang, seakan tak menghiraukan tubuhnya
yang terikat, Nyai Cungkil Nyawa berkata kepada
Gandarwo, "Kau benar-benar manusia paling bodoh dari yang
terbodoh, Gandarwo! Sejak kau masih muda, sampai
usiamu sekarang sudah lewat dari lima puluh tahun,
kerjamu hanya mengejar-ngejar jubah keramat saja! Apa tidak ada pekerjaan lain,
hah"! Daripada mengejar-ngejar jubah yang belum kau tahu di mana letak pintu
masuknya! Bodoh amat kau ini!"
"Persetan dengan omonganmu! Sekarang aku akan
dapatkan letak pintu itu dari mulutmu! Kalau kau tidak
sebutkan, kutarik rantai ini, dan terpotonglah tubuhmu menjadi beberapa potong!"
"Ilmu seperti ini kok mau diandalkan untuk
melawanku, Gandarwo" Carilah ilmu lain yang bisa
untuk membunuhku!"
"Nyatanya kau tak bisa meloloskan diri dari
jeratanku!"
"Siapa bilang"! Aku ada di belakangmu, Gandarwo!"
Terkejut bukan kepalang tanggung Gandarwo
mendengar suara berkata begitu di belakangnya. Ketika ia berpaling ke belakang,
ternyata Nyai Cungkil Nyawa sudah berdiri di belakangnya. Gandarwo semakin
membelalakkan matanya lebar-lebar, ia kembali
memandang ke arah rantai yang mengikat tubuh Nyai
Cungkil Nyawa. "Lho..."!" Gandarwo terpekik, karena rantai itu ternyata dalam keadaan
tergeletak menumpuk di lantai
tanpa ada orang yang dijeratnya. Rantai itu mudah
ditarik dan tak memiliki hambatan penjerat apa pun,
malah nyaris kusut sendiri.
Dalam satu sentakan, rantai itu bergerak sendiri
masuk ke lubang gagang kapak, sehingga kini ujung
rantai yang berupa logam merah seperti mata tombak itu telah kembali merapat di
ujung kapak. Belum sempat Gandarwo berbalik ke arah Nyai
Cungkil Nyawa, punggungnya telah dihantam memakai
telapak tangan kiri nenek bergusik itu. Dan seketika itu juga, tubuh besar
melayang ke depan bagaikan daun
pisang dilemparkan. Wuttt...! Bruskk...!
"Woaaow...!" teriak Gandarwo karena ia membentur dinding sisa reruntuhan.
Wajahnya beradu dengan kuat, membuat hidungnya berdarah dan tulang pipinya
menjadi memar membiru.
Ia membalik dengan terengah-engah, kemudian
menggeram, "Manusia setan! Tunggu saatnya aku
kembali lagi!" Dan setelah itu Gandarwo melesat pergi, melarikan diri. Nyai
Cungkil Nyawa hanya memandang
sambil geleng-geleng kepala dan menggerutu,
"Pagi-pagi cari penyakit saja anak itu..."!"
* * * 5 PANTAI berpasir putih mempunyai riak ombak yang
tenang. Deburannya di pagi itu terasa lebih pelan dan damai ketimbang semalam.
Tetapi pantai itu sekarang
sedang dijadikan ajang pertarungan konyol, yaitu
pertarungan yang bersambung dari semalam, berhenti
untuk istirahat sebentar, kemudian paginya dilanjutkan lagi.
Rupanya dua remaja yang dicari Nyai Cungkil
Nyawa itu sudah berada di pantai tersebut. Mereka
saling kejar dari Petilasan Teratai Dewa sampai ke
pantai itu. Mereka adalah Marta Kumba dan gadis yang
menyelamatkannya dari gigitan ular berbahaya itu.
Gadis tersebut menyerang dengan pedangnya, tapi
setiap kali serangan itu tak pernah dibalas oleh Marta
Kumba. Hanya dihindari dan kadang ditangkis jika
sempat. Sikap Marta Kumba yang tidak mau menyerang
membuat gadis itu penasaran, sehingga selalu
melancarkan pukulan dan serangan ke arah Marta
Kumba, ia ingin mengenai pemuda itu walau satu kali
saja, tapi tidak pernah berhasil.
"Sudah kukatakann kau tak akan berhasil melukaiku, Ratna! Karena itu,
berhentilah menyerangku dan biarkan aku mencari jubah keramat itu sendiri!
Jangan menyerangku lagi. Hematlah tenagamu, Ratna. Lebih
baik kau bantu aku mencari pintu masuk ke dalam ruang bawah tanah itu, supaya
aku bisa mendapatkan jubah
tersebut dan kau akan
kuberi hadiah sesuka permintaanmu!"
Gadis memakai pakaian merah jambu sebatas dada
dengan kain jubah tipis warna hijau muda tanpa lengan itu, memang menghentikan
serangannya, namun masih
tetap menggenggam pedangnya untuk sewaktu-waktu
dikibaskan ke arah Marta Kumba. Matanya masih tajam
memandang penuh rasa penasaran, tapi tak terlalu
banyak cahaya permusuhan.
"Sebelum aku berhasi! memukul atau melukaimu,
aku tak akan berhenti menyerangmu, Marta Kumba!"
geram gadis itu, yang ternyata bernama Ratna
Prawitasari. "Baiklah," kata Marta
Kumba. "Kau boleh
memukulku, tapi jangan melukaiku!"
"Aku ingin kau melawanku, Marta Kumba!"
"Aku tak tega, Ratna! Tak tega...!"
"Harus tega!" sentak Ratna Prawitasari. "Karena kau adalah lawanku dalam
memperebutkan jubah keramat
itu! Kita harus bertarung sampai mati bila perlu!"
"Kurasa tak perlu," kata Marta Kumba sambil mengangkat bahu sekejap. "Kurasa
kita lebih baik bersatu daripada bermusuhan!"
"Karena kau menginginkan jubah itu dan aku pun
menginginkannya, maka tak akan bisa kita bersatu!"
"Kalau begitu, kita cari jubah itu biar dipakai anak kita nanti"!"
"Hmm...!" Ratna Prawitasari mencibir. "Kau sangka aku mau menjadi istrimu"!"
"Kalau kau tidak mau, pasti kau sudah serang aku dengan jurus-jurus mautmu!
Bukan dengan jurus main-main!" Marta Kumba tersenyum.
"Untuk apa menggunakan jurus maut melawan orang
semacam kau! Kalau kau menyerangku, baru akan
kugunakan jurus mautku! Seranglah aku sekarang juga, Marta Kumba!"
"Tak mau, ah!" jawab Marta Kumba sambil duduk di sebuah batu.
Pemuda tampan itu sengaja melirik dalam tersenyum.
Ratna Prawitasari mendengus kesal, karena hatinya
selalu berdebar-debar jika melihat lirikan mata dan
senyuman bibir Marta Kumba, ia menjadi jengkel pada
hatinya sendiri yang sering berbunga kagum dan
terpesona menatap ketampanan Marta Kumba. Rasa
jengkel dan kesalnya itu dilampiaskan dalam setiap
serangan yang bertujuan menghajar Marta Kumba, agar
tidak memancing asmara dalam hatinya lagi.
"Seranglah aku, Marta Kumbaaa...!" teriak Ratna Prawitasari dengan keras.
Pedangnya masih siap
melintang di atas kepala. Marta Kumba hanya
memandang dengan sorot mata yang menakjubkan hati
Ratna Prawitasari.
"Jahanam kau!" geram Ratna Prawitasari. "Jangan tatap aku begitu!"
"Haruskah aku memejamkan mata melawanmu?"
"Tidak perlu! Tapi cara memandangmu aku tak
suka!" "Kenapa?"
"Kau menghadirkan asmara dalam hatiku dan aku
tidak mau punya asmara bersamamu!"
"Kalau begitu, tinggalkan aku di sini! Pergilah sana!"
"Tidak bisa! Kau sainganku untuk mendapatkan
jubah keramat dan kau harus kulenyapkan dulu!
Hiaaat...!"
Wutt....! Trangng.....!
Pedang yang ditebaskan Ratna Prawitasari mengenai
batu tempat duduk Marta Kumba, karena pemuda itu
tiba-tiba melesat sebelum pedang sampai melukai
tubuhnya. Tetapi tiba-tiba tubuh Marta Kumba tersentak dan
terpental jauh hingga berguling-guling di pasir pantai.
Seberkas cahaya hijau melesat dari bawah pohon kelapa di seberang sana, dan
cahaya hijau itu mengenai
punggung Marta Kumba.
Keadaan itu membuat Ratna Prawitasari terperanjat
kaget dan segera berlari menolong Marta Kumba yang
tergeletak di pasir pantai. Wajah gadis itu tampak cemas.
"Marta..."! Kenapa kau"!"
Mulut Marta Kumba berdarah. Matanya terbeliakbeliak. Ratna Prawitasari menjadi tegang dan mulai
panik. Ia segera membalikkan badan Marta Kumba,
ternyata punggung itu hangus sebagian. Kain kuning
pakaian Marta Kumba bagai habis terbakar.
Buru-buru Ratna Prawitasari merapatkan telapak
tangannya ke dada Marta Kumba. Telapak tangan itu
bercahaya pijar putih terang. Beberapa saat kemudian, Marta Kumba tersentak
batuk, dan keluarlah darah hitam yang kental. Tapi darah hitam itu justru
membuat wajah Ratna Prawitasari menjadi kelihatan sedikit tenang, ia pun
menghembuskan napas lega.
Seorang berpakaian merah dengan rambut panjang
acak-acakan itu muncul dari bawah pohon kelapa. Orang itu tak lain adalah
Gandarwo, yang melarikan diri dari serangan Nyai Cungkil Nyawa dan sampai di
pantai tersebut. Gandarwo berkerut dahi kuat-kuat seraya
melangkah mendekati Ratna Prawitasari.
"Gadis bodoh! Mengapa kau malah menolong
lawanmu, hah"! Aku sudah memukulnya, dia akan mati
dalam beberapa saat lagi! Tapi kau justru menolongnya membuang racun dalam tubuh
pemuda itu"! Apa maumu
sebenarnya, hah"!"
"Manusia lancang! Apa urusanmu ikut campur
pertarunganku dengan dia"! Kau tak punya urusan
dengan kami!"
"Grrr...! Dasar otak udang!" sentak Gandarwo dalam geramannya. "Kau kuselamatkan
dari dia! Aku tak tega melihat gadis secantik kamu menjadi sasaran keganasan
pemuda ingusan seperti dia! Kau tak pantas bertarung
dengan anak ingusan itu!"
"Aku tidak ingusan!" kata Marta Kumba tiba-tiba.
Badannya memang masih sedikit lemas, tapi rasa sakit
dan panasnya telah hilang dari dalam dada. Ia bisa bangkit dan siap melawan
Gandarwo. "Lihat!" kata Gandarwo kepada Ratna Prawitasari.
"Gara-gara kau salurkan hawa murni ke dalam tubuhnya, dia menjadi sehat dan
tidak jadi mati, tahu"!"
"Sebaiknya kau saja yang menggantikan untuk mati, Manusia bengis!" kata Ratna
Prawitasari dengan lantang.
"Ggrrr...! kumamah habis tubuhmu nanti, Perempuan Dungu!"
"Lakukanlah kalau kau berani! Lakukanlah!" Ratna Prawitasari maju setindak
seakan menyodorkan
tubuhnya agar dimakan.
"Grrr...!" Gandarwo mundur satu tindak dengan erangan gemas mau menerkam namun
tak berani. "Ayo, lakukanlah...!" Ratna Prawitasari maju lagi.
"Ggrr...! Nekat kau...!" Gandarwo mundur dengan makin gemas.
"Lakukanlah,..!
Bedd...! "Uuhg....!" Gandarwo menyeringai dengan
membungkuk dan memegangi 'jimat antik'-nya yang
tahu-tahu ditendang kuat oleh Ratna Prawitasari.
Tubuhnya merapat, meliuk ke kanan-kiri dengan mata
terpejam, mulutnya mengeluarkan erang kesakitan.
Sementara itu, Marta Kumba tersenyum-senyum
menahan tawa. Marta Kumba pun segera berkata,
"Baru sama perempuan saja sudah nyengir-nyengir
begitu, apalagi mau melawan aku"!"
Begitu mendengar suara Marta Kumba berkata
demikian, Gandarwo segera tegak dan menggeram, lalu
dengan cepat ia lepaskan pukulan jarak jauhnya ke arah Marta Kumba. Sinar hijau
tadi melesat lagi, dan kali ini Marta Kumba menyentakkan tangannya pula dan dari
tangan itu keluar sinar merah yang menghantam sinar
hijau. Blarrr...!
Wuuttt...! Brruskk...!
Tubuh Marta Kumba terpental lagi dan jatuh
terguling-guling akibat gelombang ledakan yang amat
besar dan kuat menyentak tubuhnya. Sedangkan
Gandarwo hanya terbahak-bahak dan tetap berdiri di
tempatnya dengan kokoh.
Wuttt... crasss...! Pedang Ratna Prawitasari menebas
dan melukai lengan Gandarwo. Lelaki besar itu tersentak kaget dan mendelik
melihat lengannya berdarah.


Pendekar Mabuk 024 Malaikat Jubah Keramat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wajahnya yang angker menjadi semakin menyeramkan.
Kemudian ia menggeram dan mencabut kapaknya.
"Gggrrrr...! Kau telah berani melukaiku, Gadis
Dungu!" "Karena kau melukai dia lagi!" kata Ratna Prawitasari sambil menuding Marta
Kumba yang berdarah lagi
mulutnya, tapi tidak separah tadi.
"Kalau begitu kalian berdua akan kulumatkan
menjadi satu!"
"Lakukanlah!" sentak Ratna Prawitasari dengan tak sabar.
"Heaaah...!"
Gandarwo segera menebaskan kapaknya ke samping
kiri untuk memenggal kepala Ratna Prawitasari. Tetapi Ratna Prawitasari segera
membungkuk dan menebaskan
pedangnya ke arah perut Gandarwo. Wuttt...! Wuttt...!
Serangan mereka sama-sama meleset ke sasaran.
Lalu, kaki Gandarwo menyentak maju menendang Ratna
Prawitasari dengan tendangan miring. Ratna Prawitasari menangkisnya dengan
tangan kiri. Debb...! Wuttt!
Ratna Prawitasari terpental jauh. Tenaga tendang itu
amat besar, bukan saja menyentakkan tubuh Ratna
Prawitasari, namun juga membuat tulang lengan yang
dipakai menangkis itu terasa mau patah.
Dalam keadaan duduk, Marta Kumba melepaskan
pukulan jarak jauhnya yang memancarkan seberkas sinar merah. Tapi sinar merah
itu dihantam dengan sinar biru yang keluar dari ujung kapak Gandarwo. Debb...!
Blarrr...! Zzrruttt...! Tubuh Marta Kumba terdorong cepat
dalam keadaan tetap duduk, membuat pasir-pasir pantai berserakan dan akhirnya
berhenti karena punggungnya
membentur batu. Deggh...!
"Aaauh...!" Marta Kumba mengerang kesakitan.
Tubuhnya menjadi satu dengan pasir pantai.
Melihat keadaan Marta
Kumba diperlakukan demikian, kemarahan Ratna Prawitasari semakin
bertambah. Dengan satu sentakan kaki, tubuhnya
melenting di udara dan bersalto satu kali. Tubuh itu melayang melewati kepala
Gandarwo, kemudian kaki
Ratna Prawitasari menendang ke belakang dan tepat
mengeni! bagian belakang kepala Gandarwo.
Duhgg...! Gubruugg...! Tubuh besar itu tumbang, terguling ke
depan karena tendangan yang amat kuat. Orang yang
berambut acak-acakan itu segera mengibaskan kepalanya satu kali, membuang pening
yang tiba-tiba menyerangnya itu.
Ia berdiri dan mencari sasarannya. Namun, Ratna
Prawitasari segera melepaskan pukulan jarak jauhnya
dengan sentakan pendek tangan kirinya. Wuttt...!
Zlaappp...! Warna merah seperti bola api menyala dan berukuran
satu genggaman tangan itu melesat menghantam dada
Gandarwo. Dasss...!
"Uhhgg...!" Gandarwo mendelik, mulutnya
ternganga, ia bagai mengalami kesulitan bernapas. Tapi dada yang terkena pukulan
merah itu menjadi berasap
putih. Hangus sebagian dada itu.
"Hiaaat...!" Ratna Prawitasari memekik sambil melompat, lalu ia menyerang
bersama kibasan
pedangnya. Trangng...! Kapak Gandarwo masih sempat
berkelebat menangkis, tapi kaki Ratna Prawitasari
dengan cepat menendang bawah ketiak lawan dengan
sentakan bertenaga dalam cukup tinggi. Duesss...!
"Haagh...!" Gandarwo semakin terpekik tertahan dalam keadaan tubuh besarnya
melesat terpental ke
belakang. Ia jatuh bergedebuk dan berguling-guling,
kemudian di sana ia memuntahkan darah dari mulutnya.
Pada waktu itu, Ratna Prawitasari sudah memekik lagi,
"Hiaaattt...!"
Melihat Ratna Prawitasari mau menyerang kembali,
Gandarwo segera berdiri dan melompat pergi dengan
cepat-cepat, ia melarikan diri dan Ratna Prawitasari yang penasaran dan marah
karena melihat Marta Kumba
diperlakukan seperti tadi, segera mengejarnya dengan
seruan keras, "Jangan lari kau, Manusia angker...! Kau telah
melukai dia dan harus kau tebus dengan nyawamu,
iblis...!!"
"Ratna, sudahlah!" seru Marta Kumba yang segera bergegas ikut berlari juga walau
tak bisa cepat karena pinggang dan punggungnya masih terasa sakit. Tapi
seruan itu tidak dihiraukan Ratna Prawitasari, dan gadis itu tetap memburu
lawannya dengan pedang siap di
tangan. Gandarwo menjadi ketakutan melihat gadis muda itu
mengamuk tak kenal kata ampun. Maka, dengan sekuat
tenaga Gandarwo pun menyelamatkan diri. Sebab ia
tahu, gadis itu bernafsu sekali untuk membunuhnya, dan ternyata ia punya ilmu
cukup tinggi juga.
Kejap berikutnya, Gandarwo menemukan celah
sempit di sebuah tebing karang bercadas putih. Dengan
agak susah payah ia masuk ke dalam celah sempit yang
menurut dugaannya sebuah gua kecil.
Slepp...! Gandarwo merapatkan tubuh ke balik celah
sempit itu dengan kapak siap menghadang. Jika
musuhnya mengetahui ia masuk ke situ dan musuhnya
ikut masuk, maka ia siap menyambutnya dengan tebasan
kapaknya yang sudah pasti akan mengenai sasaran tak
kenal ampun lagi.
Ratna Prawitasari tahu lawannya masuk di celah
sempit itu. Tapi ia tak segera mengejarnya masuk. Marta Kumba menyusul dari
belakang dan berkata,
"Sudahlah, biarkan ia lari!"
"Dia patut mendapat hajaran lebih banyak lagi supaya tidak berani berbuat
seenaknya lagi kepadamu!"
"Lukaku tak seberapa parah, Ratna!"
"Tapi aku belum puas jika dia belum bertekuk lutut d!
depanmu dan mengharapkan ampunan darimu!"
"Terserah kamulah...!" Marta Kumba pasrah.
"Kulihat dia masuk ke dalam gua itu!"
"Kau akan dihadangnya di sana!"
"Ya, aku tahu! Sebaiknya kututup saja pintu gua yang sempit itu!"
Ratna Prawitasari segera sentakkan tangan kirinya
lurus ke depan. Wuttt...! Dan sinar biru melesat ke atas, menggempur cadas
bercampur karang yang ada di atas
lubang gua itu. Blarrr...!
Wurrrr...! Grubuk grubuk grubuk...!
Reruntuhan cadas bercampur karang itu menimbun
celah sempit tersebut dan menutup rapat. Bahkan
sebongkah batu jatuh di depan mulut gua dan membuat
mulut gua semakin kuat tertutup batu besar. Tak
sembarang orang bisa mendorong batu tersebut, sebab
bagian yang runcing menancap masuk ke dalam celah,
menutup dan mengunci.
Marta Kumba berkata, "Kalau begitu caranya, dia tidak akan bisa keluar dari gua
itu, Ratna!"
"Biar! Biar dia mati di sana. Kurasa gua itu adalah sarang ular berbisa! Orang
ganas macam dia memang
layak mati dimakan ular, daripada kerjanya mengganggu perempuan-perempuan
lemah!" "Rupanya kau kena dia, Ratna"!"
"Ya. Dia yang bernama Gandarwo! Setiap dia masuk kampung, penduduk menjadi
ketakutan, masuk pasar,
pasar jadi bubar! Dialah biang keributan dan momok
bagi masyarakat di mana ia berada!"
Ratna Prawitasari menghembuskan napas kecapekan,
ia duduk di atas batang pohon yang telah tumbang
beberapa waktu lamanya. Marta Kumba pun duduk di
sampingnya, dan Ratna Prawitasari memandangi dari
arah samping. "Sakitkah tubuhmu?"
"Tak seberapa sakit. Hanya tulang punggungku yang terasa mau patah akibat
terbentur batu besar tadi."
"Coba lihat, membaliklah ke sana...!"
Marta Kumba membalikkan badan. Ratna Prawitasari
memijat bagian tulang punggung yang ada di belakang
leher. Rupanya tulang punggung itu dipegang ujungnya, dan dari jari tangan yang
menekan ujung tulang
punggung memancar tenaga inti hawa murni. Terasa
oleh Marta Kumba gerakan halus yang meresap dingin
sampai ke tulang ekornya di bagian dekat pantat.
Beberapa saat kemudian, rasa sakit itu pun hilang dan tubuh Marta Kumba menjadi
terasa segar, ia bergerak membungkuk maupun meliuk ke kanan-kiri, terasa
enteng tanpa rasa sakit.
"Hebat! Rupanya kau anak tabib, Ratna"!"
"Mungkin," jawab Ratna Prawitasari dengan ketus bersikap acuh tak acuh.
"Sekarang sudah enak?"
"Terasa lebih enak dari sebelumnya!"
"Kalau begitu, kita lanjutkan pertarungan kita!"
"Aku... aku... aku tak sanggup!"
Ratna Prawitasari berdiri. "Harus sanggup!" katanya tegas.
"Tidak, Ratna! Kalau kau mau pukul aku, pukullah!
Kalau kau mau bunuh aku, bunuhlah! Tapi jangan paksa
aku melawanmu!"
"Kita bertarung demi memperebutkan jubah keramat itu!"
"Tidak! Aku tidak ingin memperebutkan lagi! Kalau kau mau memiliki jubah itu,
aku akan bantu mencarikan tempat masuk ke dalam ruang bawah tanah itu!"
"Kenapa kau jadi tidak ingin memiliki jubah keramat itu"!"
"Lebih baik kau yang memilikinya daripada aku
harus bertarung dan harus melukaimu!"
"Kenapa"!" bentak Ratna Prawitasari keras.
"Karena... karena aku tak tahu mengapa aku jadi
begini. Aku... mungkin kata orang, aku sedang jatuh
cinta. Tapi menurutku, mungkin cuma hiasan saja. Ah, tak tahulah! Jangan desak
aku untuk menjawabnya!
Sebaiknya kita kembali ke sana dan kubantu kau
mendapatkan jubah keramat itu, daripada kita bertarung berdebat memperebutkan
jubah yang belum jelas ada di
mana pintu masuknya!"
Dengan suara rendah Ratna Prawitasari pun berkata,
"Kau punya perasaan aneh padaku, Marta?"
"Ya. Aneh sekali."
Ratna Prawitasari memandang, sambil manggutmanggut kecil, dan berkata pelan,
"Aku pun punya perasaan aneh padamu! Itu sebabnya aku marah melihat kau dilukai
oleh Gandarwo!"
"Itu namanya perasaan kasih sayang, Ratna!"
"Mungkin!" jawab Ratna Prawitasari masih berkesan tegas tanpa senyum. "Kita
kembali ke petilasan itu!
Lekas, jangan sampai orang lain mendahului kita
menemukan jalan masuknya!"
Dan mereka pun bergegas pergi, namun kali ini Ratna
Prawitasari membiarkan Marta Kumba menggandeng
tangannya. Makin berdesir indah hati Ratna Prawitasari.
* * * 6 LANGKAH Pendekar Mabuk dan Ki Sonokeling
masih tampak santai, tidak terlalu lamban, namun juga
tidak cepat. Suto bersemangat untuk datang ke Petilasan Teratai Dewa, karena ia
tahu Rangka Cula akan datang ke sana. Ia tak perlu susah-susah mencari Rangka
Cula, cukup dengan menghadangnya di sana saja. Percakapan
Rangka Cula dengan Nyai Cungkil Nyawa membuat
Suto berkesimpulan demikian. Dan ia harus
mempersiapkan diri melawan Rangka Cula yang jago
ilmu pedang, jago ilmu sihir, ilmu racun, dan ilmu toya itu.
Tapi satu hal yang dikhawatirkan Pendekar Mabuk
adalah perihal pedang emas yang harus direbutnya dari Rangka Cula itu. Jika
tokoh lain mengetahui bahwa
pedang emas itu adalah pusaka Pedang Wukir Kencana
milik Ki Padmanaba, yang mempunyai kedahsyatan
serta kesaktian tinggi itu, maka sudah pasti banyak
musuh yang harus dihadapi Suto untuk memperebutkan
pedang tersebut.
"Menurut cucuku, Rangka Cula menyandang pedang
emas di punggungnya," kata Ki Sonokeling. "Aku jadi curiga, jangan-jangan itu
pedang emas pusakanya Ki
Padmanaba!"
"Ki Sonokeling kenal dengan Ki Padmanaba?"
"Kenal. Semasa mudanya aku sering bertandang ke
tempat tinggalnya. Tapi sejak ia menikah, aku tak pernah lagi bertemu dia. Hanya
saja, aku tahu bahwa dia
mempunyai pedang pusaka yang sungguh ampuh. Orang
bodoh pun bisa memainkan pedang dengan jurus-jurus
mautnya jika memegang pedang itu!"
"Andai pedang itu benar milik pusaka Ki Padmanaba,
apakah Ki Sonokeling ingin memilikinya juga?"
"Buatku, hidup ini sudah tidak membutuhkan pedang-pedangan," jawab Ki
Sonokeling. "Orang setua aku, apalagi yang diharapkan" Tinggal menunggu ajal
menjemput saja!'
"Bagaimana dengan Nyai Cungkil Nyawa, apakah dia punya minat untuk memiliki
pedang pusaka itu?"
"Kurasa tidak! Nyai Cungkil Nyawa hanya
mempertahankan makam itu sampai ajalnya tiba. Tak
perlu pedang pusaka lagi, dia sudah sakti dan bisa
merahasiakan pintu masuk ke makam itu. Toh sampai
sekarang tetap tak ada yang tahu di mana pintu masuk itu."
"Apakah Adipati Lambungbumi tidak
mengetahuinya" Bukankah kakeknya dulu ikut
mengerjakan makam itu?"
"O, kakeknya Lambungbumi hanya sebagai
penggarap bagian atas makam saja. Dia penggarap
pesanggrahan, tapi tidak ikut menggarap makam Prabu
Indrabayu!"
"Ooo...!" Suto manggut-manggut.
"Kau tadi kelihatannya tertarik dengan pedang
pusakanya Ki Padmanaba, ya"!"
"Tugasku adalah merebut pedang itu dari Rangka


Pendekar Mabuk 024 Malaikat Jubah Keramat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cula!" "Ooo...," kini ganti Ki Sonokeling yang manggut-manggut.
"Aku sempat terkecoh oleh ilmu sihirnya yang bisa mengubah diri menjadi orang
yang kukenal. Kuserahkan
pedang itu, dan ternyata dia adalah Rangka Cula! Sangat berbahaya jika pedang
itu jatuh di tangan orang sesat seperti Rangka Cula!"
"Jadi...."
Tiba-tiba Suto mendorong tubuh Ki Sonokeling
hingga orang itu tersungkur jatuh ke samping, katakatanya terputus. Dan sebuah benda melesat cepat,
melintasi tubuh Ki Sonokeling. Wuttt...! Jrubbb...! Kalau Suto tak mendorong
tubuh Ki Sonokeiing, maka benda
itu akan menancap di dada Ki Sonokeling. Benda
tersebut adalah sebatang anak panah yang datangnya dari arah samping depan.
Zingngng...! Jrubb!
"Aaaah...!" tiba-tiba terdengar suara orang memekik.
Lalu sesosok tubuh jatuh dari atas pohon. Wuttt...!
Brukk! Sebentar kemudian, ketika Pendekar Mabuk dan Ki
Sonokeiing berdiri, terdengar lagi suara orang memekik dari atas pohon belakang
Suto. "Aaahg...!"
Brruk...! Ki Sonokeling memandangi dua orang yang jatuh
secara bergantian, ia menggumam heran,
"Kenapa orang itu?"
"Kita periksa salah satunya!"
Lalu, Suto Sinting dan Ki Sonokeling memeriksa
orang pertama yang jelas telah melepaskan anak
panahnya ke arah Ki Sonokeling. Melihat orang itu, Ki Sonokeling berkerut dahi,
kemudian menggumam,
"Ini muridnya Mandraloka..."!"
"Siapa Mandraloka itu, Ki?"
"Salah satu orang yang bernafsu untuk memiliki
jubah keramat itu hingga mengirimkan beberapa
muridnya untuk membongkar makam. Tapi aku dan
Nyai Cungkil Nyawa berhasil mengalahkan mereka.
Walau begitu, Mandraloka masih penasaran, sekali
tempo ia mengirimkan muridnya untuk mencari dan
membongkar makam, tapi aku atau Nyai Cungkil Nyawa
selalu berhasil membunuhnya. Sampai lama-lama
agaknya murid-murid Mandraloka habis binasa di
tanganku dan di tangan Nyai Cungkil Nyawa! Mungkin
sekarang tibalah dendam Mandraloka dan menyuruh
muridnya yang masih tersisa untuk membunuhku.
Kurasa ia juga mengirimkan muridnya untuk membunuh
Nyai Cungkil Nyawa!"
Pendekar Mabuk mendengarkan penjelasan itu sambil
memandangi dahi orang yang mati itu. Dahi tersebut
ditancap kuat oleh senjata rahasia logam putih tajam mempunyai bentuk bintang
segi enam. Pendekar Mabuk
mulai menaruh curiga. Waktu itu, Ki Sonokeling
bertanya, "Siapa yang membunuhnya" Kaukah, Suto?"
"Bukan!"
Suto dan KI Sonokeling memeriksa orang kedua yang
juga jatuh dari pohon. Ternyata orang itu mati dalam
keadaan lehernya tertancap senjata rahasia yang sama dengan yang ada di dahi
mayat pertama. Suto semakin
curiga. "Aaaahg...!"
Kembali terdengar suara orang memekik di arah
belakang Pendekar Mabuk dan Ki Sonokeling. Mereka
berdua sama-sama berpaling wajah ke belakang dan
melihat orang sedang berdiri, memegang panah yang
siap dilepaskan, tapi tak jadi dilepaskan karena tahu-tahu ia tumbang dengan
mata mendelik. Setelah diperiksa
oleh Suto dan Ki Sonokeling, orang itu mati karena
lehernya tertancap senjata bintang segi enam juga.
"Siapa yang melakukan ini semua?" gumam Ki
Sonokeling. Suto hanya tersenyum. Kemudian meneguk tuaknya
dengan tenang. Ki Sonokeling semakin bingung melihat
sikap Pendekar Mabuk yang tenang-tenang saja itu. Dan setelah beberapa saat Suto
selesai menenggak tuak, tiba-tiba matanya memandang sekeliling dan berseru,
"Kiranaaa...! Keluar kau!"
Maka sesosok tubuh berpakaian kuning gading
muncul dari balik semak belukar. Melompatlah gadis
berambut pendek berponi di dahinya, berwajah cantik
dengan hidungnya yang mancung dan matanya yang
bundar bening berbulu lentik itu. Wuttt...! Ia bersalto di tanah dua kali, lalu
mendaratkan kakinya di depan
Pendekar Mabuk dan Ki Sonokeling.
Kirana, gadis yang mendampingi Pendekar Mabuk
saat mencari pedang emas itu, tersenyum tipis dengan
pandangan mata yang masih memancarkan keberanian
dan ketegasan. Pendekar Mabuk hanya geleng-geleng
kepala sebentar
sambil memperhatikan Kirana,
kemudian berkata kepada Ki Sonokeling yang ada di
sampingnya, "Dialah yang membunuh Logayo, ketua Perguruan
Kobra Hitam, yang menjadi atasannya Rangka Cula!"
"Dia..."! Oh, hebat sekali dia kalau begitu"!" Ki Sonokeling manggut-manggut.
Suto segera berkata
kepada Kirana, "Kenapa kau menyusul juga akhirnya?"
"Karena aku mencemaskan dirimu, Suto! Takut ada
bahaya mengancam dan kau hanya sendirian!"
"Sudah kubilang, kau tak perlu ikut! Aku bisa jaga diri sendiri, Kirana!"
"Termasuk bisa membunuh pemanah gelapmu tadi?"
Suto melemaskan tangannya, mendesah kesal. "Itu
hanya satu orang dan belum sempat melukaiku!"
"Satu orang yang kau ketahui mau memanahmu, tapi yang belum kau ketahui, berapa
orang"! Apakah kau
pikir saat kau membawa lari nenek tua itu, kau tidak dibuntuti orang"'
"Maksudmu"!" Suto Sinting terperanjat dan berkerut dahi.
"Lebih dari lima orang kubunuh karena dia mau
mencelakaimu!"
"Lima orang"!"
"Lebih!" tegas Kirana dalam pengulangannya.
"Waktu kau berjalan bersama orang hitam ini, tiga orang sudah kubunuh tanpa
suara, dan kau tak tahu hal itu, Suto!"
"Maksudmu, yang tadi itu?" tanya Suto.
"Semalam!" jawab Kirana.
Ki Sonokeling menyahut, "Jadi, semalam kita
dibuntuti tiga orang?"
"Benar, Ki! Aku tak tahu siapa yang mau dibunuh, kau atau Suto, yang jelas
mereka telah mati lebih dulu sebelum melaksanakan niatnya!" jawab Kirana dengan
mata melirik ke sana-sini. Ki Sonokeling jadi tertawa geli dan berkata,
"Kita jadi seperti punya pengawal, Suto!"
"Suto," kata Kirana. "Aku harus ikut denganmu! Aku juga bertanggung jawab dalam
menyelamatkan dan
merebut pedang itu!"
Suto angkat bahu, 'Terserahlah! Tapi kuharap kau...!"
Tiba-tiba melesatlah benda mengkilap ke arah
punggung Kirana. Wuttt...! Suto segera menarik tangan Kirana,
memeluknya dan tangannya berkelebat
menangkap benda itu di belakang Kirana. Tabb...!
Sebilah pisau terselip di dua jari Pendekar Mabuk.
Pisau itu ditunjukkan kepada Kirana sambil berkata,
"Kuharap kau tidak merepotkan aku, seperti saat ini!"
Kirana tersenyum tipis. "Baru satu kali kau
menyelamatkan nyawaku, Suto!
Jangan banyak mengaturkulah...!"
"Apa katamu, hah"!" sentak Suto sambil mendorong tubuh Kirana ke samping. Tubuh
itu membentur Ki
Sonokeling, dan tubuh mereka rubuh saling tindih.
Sementara itu, bumbung tuak Pendekar Mabuk
berkelebat ke tempat Kirana tadi berdiri. Sinar merah yang melesat cepat dari
balik pohon itu membentur
bumbung tuak Pendekar Mabuk, dubb...! Sinar tersebut membalik arah dengan lebih
cepat dan lebih besar
bentuknya. Kemudian sinar merah itu menghantam
pohon besar di seberang sana.
Duarrr...! Wwrrr....! Brrrukk...! Grussakkk...!
Pohon itu tumbang setelah terjadi ledakan akibat
benturan sinar merah yang berbalik arah itu. Dari balik pohon besar tersebut
melesat sesosok tubuh berambut
putih dengan diikat kain merah.
Pendekar Mabuk berkata kepada Kirana, "Dua...!"
sambil memperlihatkan dua jarinya. Maksudnya Suto
mengingatkan Kirana, bahwa ia telah menyelamatkan
nyawa Kirana dua kali. Kalau tadi tidak didorong
Pendekar Mabuk, maka sinar merah itu jelas akan
menghancurkan tubuh Kirana.
Ki Sonokeling segera bangkit dan memandang orang
yang baru saja muncul dari balik pohon. Orang itulah
yang tadi melemparkan pisau dan melepaskan pukulan
jarak jauh dalam bentuk sinar merah. Ki Sonokeling
segera menggumam,
"Mandraloka..."!"
Suto pun cepat paham, rupanya orang berpakaian
abu-abu dan menyandang pedang di pinggangnya itulah
yang bernama Mandraloka. Sudah cukup tua, berusia
sekitar enam puluh tahunan, tapi masih kelihatan gagah dan sigap. Badannya tak
terlalu gemuk, namun berkesan masih kekar. Matanya tajam memandang dengan
alisnya yang telah berwarna putih campur hitam sedikit.
"Mandraloka!" seru Ki Sonokeling, "Apa maksudmu
menyerang kami dengan mengorbankan muridmuridmu, hah"!"
"Maksud apa lagi kalau bukan maksud membunuhmu
terutama, Ki Sonokeling, kedua membunuh gadis itu!
Karena sisa muridku dihabisi oleh gadis itu saat
membuntuti pemuda berbaju coklat itu, sejak dia
membawa kabur Nyai Cungkil Nyawa sampai berjalan
malam bersamamu! Gadis itu agaknya gadis yang
bodoh, karena melibatkan diri dalam urusan kita,
Sonokeling!"
Kirana menyahut dengan lantang, "Muridmu
membahayakan keselamatan orang jelek ini!" sambil menuding Suto, "Jadi aku
terpaksa bertindak
membunuhnya. Kurasa lebih baik muridmu yang mati
dari pada orang jelek ini!" Kembali ia menuding
Pendekar Mabuk, tapi tangannya segera ditampel oleh
Pendekar Mabuk yang sedikit cemberut.
Mandraloka berkata dengan suaranya yang berat,
"Kurasa kalian telah bersekongkol, dan terpaksa aku harus memusnahkan kalian
bertiga!" Suto Sinting segera maju dua tindak dan bertanya,
"Apakah aku juga ingin kau musnahkan?"
"Ya!"
"Kalau begitu, kau melawan aku saja, tak perlu
dengan kedua orang ini!"
Mandraloka tersenyum sinis "Aku ingin kalian
bertiga maju bersama! Jangan kau sendiri, Anak
ingusan! Kalau kau sendirian yang maju, nanti
memboroskan ilmuku saja!"
"Biar aku saja, Suto!" kata Kirana sambil maju ke depan Suto. Dengan cepat
lengannya ditarik Suto dan
disingkirkan ke belakang.
"Aku sanggup melawannya!" bentak Kirana pada Suto.
"Kau memang sanggup, tapi dia tidak sanggup!" Suto ganti membentak, sengaja
mengecilkan kemampuan
Mandraloka, supaya nafsu amarah Mandraloka semakin
terpancing dan akan membahayakan dirinya sendiri.
Ternyata pancingan Pendekar Mabuk mengenai
sasaran. Mandraloka menggeram, wajahnya makin
merah pertanda marahnya mulai memuncak, ia segera
bergerak maju dua tindak. Namun tiba-tiba kembali
tersentak mundur terhuyung-huyung.
Rupanya Ki Sonokeling telah melepaskan kekuatan
tenaga dalamnya dari jarak jauh dengan menggerakkan
tangannya dengan pelan seperti orang menari. Tangan
itu melambai ke sana kemari dengan gerakan kaki
melangkah dan terangkat pelan-pelan. Setiap gerakan Ki Sonokeling menghadirkan
kekuatan tenaga dalam yang
terpancar lebih cepat dari gerakannya sendiri.
Mandraloka dibuat terhempas ke sana kemari dan
sukar membalas serangan ke arah Ki Sonokeling.
Melihat jurus Ki Sonokeling seperti orang menari
dengan gemulai itu, Suto Sinting dan Kirana segera
mundur beberapa tindak, membiarkan Ki Sonokeling
melawan Mandraloka sendirian. Suto dan Kirana samasama memandang dengan mulut bengong, karena baru
sekarang mereka melihat orang bertarung mengadu
nyawa dengan gerakan selemah itu.
Tubuh Mandraloka mental ke samping kiri dan
berguling-guling. Ki Sonokeling membalikkan badan,
menghadap ke arah Mandraloka, kakinya terangkat maju
dengan gerakan pelan tangannya naik ke atas, yang satu lurus ke depan. Dan
Mandraloka terjengkang lagi ke
belakang bagai terkena pukulan yang begitu besarnya.
"Apa dia dulunya seorang penari?" bisik Kirana.
"Entahlah!" balas Suto membisik.
"Jurusnya aneh sekali! Aku jadi ingin
mempelajarinya!"
"Mana bisa" Dia lebih lemas, lebih gemulai dalam bergerak daripada gerakanmu
yang mirip gerakan
raksasa murka," bisik Suto dan segera dipukul lengannya oleh Kirana, tapi ia tak
mempedulikan. Mata Suto masih memandang ke arah Ki Sonokeling yang benar-benar
seperti penari istana. Kelenturan tubuhnya melebihi
lenturnya tubuh perempuan.
Dalam satu kesempatan, Mandraloka berhasil
melepaskan pukulan jarak jauh yang memancarkan sinar
warna kuning. Tetapi ketika sinar itu mendekati Ki
Sonokeling, tubuh Ki Sonokeling bergerak miring


Pendekar Mabuk 024 Malaikat Jubah Keramat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meliuk dengan tangan mengibas pendek, lalu tubuh
berputar cepat. Wuttt...! Kembali ia bergerak pelan dan sinar kuning itu
ternyata berhenti di udara, tidak
bergerak maju ataupun mundur.
"Menakjubkan sekali!" bisik Kirana dengan mata makin melebar.
Sinar kuning itu tetap diam, tangan Ki Sonokeling
terus berkelebat ke sana-sini dengan lemah lembut, dan tubuh Mandraloka bagai
dilemparkan ke sana sini.
Kadang mental ke belakang, kadang terjungkal ke depan, kadang seperti ada yang
menyedotnya hingga tertatih-tatih lari ke depan, lalu tiba-tiba tersentak ke
belakang dengan kuatnya dan terkapar jatuh.
Dalam keadaan jatuh pun kaki Mandraloka seperti
ada yang mengangkat dan menunggingkannya, lalu
terhempas ke arah lain dengan menyerupai orang diseret.
Sementara itu, Ki Sonokeling memutar tubuhnya satu
kali dengan kaki berjingkat, hingga ujung jari jempolnya yang menapak di tanah.
Wuttt...! Kemudian tangannya
bergerak bagai mengipas sinar kuning yang sejak tadi diam di udara. Kipasan itu
pelan, tapi membuat sinar
kuning melesat dengan cepat dan menghantam batu di
samping Mandraloka. Duarrr....!
Batu pecah. Bongkahannya menghantam kepala
Mandraloka. Plok!
"Aaaauh...!" Kepala Mandraloka dihantam keras oleh batu itu, tapi tak sampai
bocor. Memar, sudah jelas. Dan ketika ia ingin melepaskan serangannya lagi,
tiba-tiba Ki Sonokeling melompat dengan sentakan pelan. Di udara
ia berjungkir balik dua kali, dan begitu mendarat ke bumi, sudah menjadi seekor
harimau loreng. "Grrrrr...!"
"Hahh..."!" Kirana terpekik kaget dan ketakutan, ia segera membalikkan tubuh mau
lari, tapi terhadang
tubuh Suto, akhirnya ia melompat dalam gendongan
Pendekar Mabuk seperti seekor monyet melompat ke
dalam gendongan induknya. Clubb...!
"Hai, apa-apaan ini"!" Pendekar Mabuk sempat kaget menerima tubuh Kirana yang
tahu-tahu menemplok di
depannya. "Aku paling takut sama harimau!" ratap Kirana tampak ketakutan sekali.
"Turun!" Plak...! Pendekar Mabuk menepuk pantat Kirana, tapi Kirana masih belum
mau turun dan ia
gemetaran, wajahnya menjadi pucat ketakutan.
Sementara itu, Mandraloka segera melesat melarikan
diri setelah melihat Ki Sonokeling berubah menjadi
seekor harimau loreng. Harimau itu mengejarnya
sebentar, kemudian segera kembali menemui Pendekar
Mabuk setelah Mandraloka menghilang dan tak terkejar.
"Turunlah, Kirana! Harimaunya sudah tak ada!"
Kirana menoleh ke belakang. Harimau memang
sudah tak ada. Ia pun turun sambil berkata, "Lain kali aku tak mau ikut kamu
kalau harus menemui harimau!
Aku paling takut sama harimau, tahu"! Dan..."
Kirana berhenti bicara. Matanya terbelalak, karena
Harimau itu ternyata ada di belakang Suto sedang
mendekam duduk.
"Uaaa...!" Kirana berlari secepat-cepatnya hingga tak sadar tubuhnya menabrak
pohon. Bruss...!
Pendekar Mabuk hanya menertawakan hal itu hingga
terpingkal-pingkal.
* * * 7 AGAKNYA Marta Kumba memang sudah membulatkan hatinya untuk tidak memiliki jubah
keramat itu. Ia sudah berjanji kepada Ratna Prawitasari untuk tidak berbuat
curang, ia berkata,
"Milikilah jubah keramat itu nanti, tapi biarkan aku memiliki dirimu, Ratna."
Gadis cantik yang pemberani itu menjawab, "Rasarasanya sulit melarang keinginanmu yang satu ini!"
Tak sadar gadis itu bahwa sebenarnya kemenangan
berada di tangan Marta Kumba. Kalau memang nantinya
jubah keramat itu bisa menjadi milik Ratna Prawitasari, dan Ratna Prawitasari
menjadi milik Marta Kumba,
berarti Marta Kumba yang menang. Karena dengan
memiliki Ratna Prawitasari berarti ia juga memiliki
jubah keramat itu.
Yang menjadi masalah sekarang adalah, apakah benar
jubah keramat itu bisa menjadi milik Ratna Prawitasari"
Apakah benar mereka bisa berhasil mendapatkan benda
pusaka yang punya keampuhan aneh itu" Bukankah
untuk menemukan pintu ke ruang bawah tanah petilasan
itu, adalah hal yang paling sulit" Bukankah jika mereka ingin membongkar
petilasan itu, mereka harus
menghadapi Nyai Cungkil Nyawa" Apakah ilmu mereka
sudah cukup menandingi ilmunya Nyai Cungkil Nyawa"
Belum lagi jika Ki Sonokeling ikut memihak Nyai
Cungkil Nyawa, apakah mereka mampu mengimbangi
jurus tarian milik Ki Sonokeling"
Bisa ataupun tidak, toh nyatanya mereka berdua
sudah tiba kembali ke petilasan tersebut. Tetapi mereka terkejut manakala
seorang nenek rada bungkuk
menghadang di lantai depan petilasan itu.
"Hei, menyingkirlah sana! Kalau kalian mau pacaran, cari tempat yang lain! Ini
bukan tempat mesum!" kata Nyai Cungkil Nyawa sambil menggerak-gerakkan
tongkatnya. "Kami ke sini bukan untuk bermesum ria, Nek!" kata Marta Kumba sambil menahan
tangan Ratna Prawitasari
yang ingin maju menyerang nenek itu. Kemudian, nenek
itu bertanya ketus,
"Jadi mau apa"!"
"Mau apa saja itu bukan urusanmu!" sahut Ratna Prawitasari dengan garang.
Nyai Cungkil Nyawa memandang dengan rasa tak
suka, dan ia berkata kepada Marta Kumba,
"Gadismu ini mulutnya seperti cabe rawit! Kecil-kecil sudah pandai membuat
telinga pedas!"
Marta Kumba menyahut, "Makanya kalau makan
cabe rawit jangan salah masuk ke telinga, Nek! Ke
mulut!" "Wah, bodoh juga kau rupanya!" gumam Nyai
Cungkil Nyawa sambil bergerak dengan kesan mau
meninggalkan mereka, tak mau melayaninya. Tapi ia
meninggalkan kata,
"Kalau kalian nekat mau pacaran di sini, kalian
berdua akan mati!"
Ratna Prawitasari menyahut dengan galak, "Kau
mengancam kami"!"
Nenek itu berbalik memandang mereka lagi, "Ya...!"
setelah itu berjalan memunggungi mereka berdua.
Ratna Prawitasari menjadi jengkel dan marah.
Dengan cepat ia melompat dan melancarkan tendangan
kakinya ke punggung yang bongkok itu. Tetapi dengan
cepat tubuhnya itu tiba-tiba mental membalik ke
belakang dan menabrak Marta Kumba. Brrusss...!
"Auh...!" Marta Kumba terpekik karena dagunya tersodok kepala Ratna Prawitasari.
"Kurang ajar! Dia membalikkan serangankul" geram Ratna Prawitasari. Ketika ia
mau maju menyerang lagi, Nyai Cungkil Nyawa membalikkan badan. Langkah
Ratna Prawitasari tertahan.
"Sepertinya aku pernah mengenali jurus membokong orang dari belakang! Hmmm...
siapa" Siapa kamu, Cah
Ayu?" "Ratna! Ratna Prawitasari!" sebut Ratna Prawitasari dengan tegas.
"Hmmm...." Nenek itu berkerut dahi memikirkan sesuatu sebentar, setelah itu baru
berkata, "O, tidak, tidak...! Aku tidak kenal kamu. Aku lupa, bahwa semua orang
yang suka menyerangku dari belakang sudah
kubunuh semua!"
"Bicaranya pelan tapi memerahkan telinga orang ini!"
bisiknya kepada Marta Kumba. Pemuda berkumis tipis
itu hanya tersenyum dan berkata kepada nenek bergusik itu,
"Kau siapa, Nek" Mengapa ada di sini" Kau juga
menghendaki jubah keramat itu"!"
Nenek itu geleng-geleng kepala. "Sayang sekali
wajahmu tampan tapi bodoh! Aku adalah si Cungkil
Nyawa, penjaga makam ini!"
"Makam..."! Bukankah ini petilasan sebuah keraton?"
"Keraton nenekmu!" umpat Nyai Cungkil Nyawa dengan kesal. "Ini makam! Bukan
keraton! Kalau yang kalian cari reruntuhan bekas keraton, bukan di sini
tempatnya! Kalian salah alamat! Pulanglah!"
"Kami tidak salah alamat!" bentak Ratna Prawitasari.
"Di reruntuhan inilah kami mencari jubah keramat itu!
Karena kami tahu, di bawah reruntuhan ini ada ruangan penyimpan jubah keramat
itu!" "Dan kami harus menemukan jubah itu!" tambah Marta Kumba.
"Tak kuizinkan siapa pun menyentuh jubah itu!
Pendekar Muka Buruk 8 Gento Guyon 7 Topeng Pengejaran Ke Masa Silam 2

Cari Blog Ini