Ceritasilat Novel Online

Malaikat Jubah Keramat 3

Pendekar Mabuk 024 Malaikat Jubah Keramat Bagian 3


Dengar..."!"
"Nenek ini cerewet sekali dan bandel!" geram Ratna Prawitasari.
"Pokoknya sudah kuingatkan, jangan sentuh apa pun di sini kalau kau ingin punya
umur panjang dan ingin
punya keturunan!" Setelah itu ia melangkah
memunggungi Ratna Prawitasari dan Marta Kumba.
Terdengar suara dengus dari hidung Ratna
Prawitasari menandakan kekesalan hatinya. Kemudian,
Ratna Prawitasari memberikan isyarat dengan mata
kepada Marta Kumba agar menyerang nenek itu secara
bersamaan. Marta
Kumba mengangguk, maka
melompatlah mereka dari arah kanan belakang dan kiri
belakang. Wuttt... wuuttt...!
Tiba-tiba kaki Nyai Cungkil Nyawa menjejak tanah
di depannya, dan tubuhnya melayang mundur bersamaan
majunya kedua tubuh anak muda itu. Dengan meluncur
mundur, nenek itu melintas di pertengahan Marta
Kumba dan Ratna Prawitasari. Wusss...!
Lalu tongkatnya segera menyodok ke kanan-kiri
dengan pegangan pada bagian tengah tongkat. Dug
dug...! "Uuhg...!" Marta Kumba terpekik dengan suara tertahan, ia langsung membungkuk,
merasakan sakit
pada pinggang kirinya yang terkena sodokan tongkat,
dan Ratna Prawitasari pun membungkuk merasakan
sakit pada pinggang kanannya.
"Kurang ajar orang pikun itu!" geram Ratna
Prawitasari sambil menahan rasa sakit, karena pinggang kanannya terasa bagai
disodok dengan tongkat besi yang cukup keras dan kuat sodokannya.
"Sudah kubilang, jangan nekat kalau mau selamat!"
kata Nyai Cungkil Nyawa dengan tenang.
"Habisi saja dia!" ujar Ratna Prawitasari kepada Marta Kumba.
"Baik!" jawab Marta Kumba. Kemudian ia lebih dulu mencabut pedangnya dan Ratna
Prawitasari pun segera
mencabut pedang. Serta-merta mereka melompat dengan
gerakan pedang menebas dan menyabet. Wess wesss...!
Nenek itu mundur setindak, lalu dengan cepat
tongkatnya bergerak menghantam pergelangan tangan
kedua anak muda itu. Tak tak...!
Trang...! Pedang Marta Kumba jatuh dan ia
mengerang kesakitan. Tulang pergelangan tangannya
menjadi bengkak dan membiru. Demikian pula halnya
dengan Ratna Prawitasari yang cepat merunduk,
memegangi pergelangan tangannya dengan merintih
tertahan, tapi pedangnya masih mampu digenggam
walau tak sekuat tadi.
Pukulan itu ternyata punya pengaruh lain. Sekujur
tubuh mereka menjadi dingin sekali. Semakin lama
semakin dingin bagian dalam tubuh mereka. Tak sadar
mereka pun menggigil dengan persendian terasa menjadi kaku semua. Untuk bergerak
pun sulit rasanya. Mereka
akhirnya sama-sama mendekam jongkok dengan tubuh
berguncang kedinginan.
Pada saat itu, Nyai Cungkil Nyawa segera berkata,
"Sekarang, saatnya membunuh kalian berdua yang nekat minta dicabut nyawanya!"
Nyai Cungkil Nyawa menakut-nakuti dengan
mengangkat kedua tangan, ssakan benar-benar ingin
menghantam mereka dengan pukulan yang mematikan.
Tetapi tiba-tiba, tubuh Nyai Cungkil Nyawa tersentak ke depan dan tergulingguling jauh dari Marta Kumba dan Ratna Prawitasari. Bahkan tubuhnya yang kurus
itu membentur bekas dinding yang tinggal separo bagian.
Brusskk...! "Monyet edan...!" makinya sambil mengerang dan berusaha untuk berdiri lagi. Ia
memandang ke arah
datangnya serangan, ternyata di sana sudah berdiri
seorang lelaki berpakaian abu-abu, rambut panjang
warna putih diikat kain warna merah. Dialah
Mandraloka yang sudah bertampang lumayan bonyok
akibat dilemparkan ke sana-sini oleh Ki Sonokeling tadi.
"Oh, ternyata sekarang kau sendiri yang datang untuk mengurus jenazah kedua
muridmu ini, Mandraloka"!"
"Kedua anak ini bukan muridku!" ucap Mandraloka dengan geram.
"Lantas mengapa kau menyerangku?"
"Bukan menyerangmu, tapi membunuhmu! Tapi
rupanya kau punya pelapis tenaga dalam cukup tinggi
sehingga pukulanku tadi hanya membuatmu terpental!
Bersyukurlah bahwa kau masih bisa bicara padaku! Tapi sebentar lagi kau akan
mati, Nyai Cungkil Nyawa!"
"Mengapa kau membunuhku?"
"Baru mau membunuhmu!"
"Iya. Tapi mengapa kau punya rencana begitu?"
"Karena kau telah menghabisi murid-muridku!"
"O, karena itu" Bukankah jauh-jauh hari sudah
kubilang padamu agar jangan mengirimkan muridmu ke
sini, nanti muridmu bisa mati dan kau akan kehabisan
murid! Aku sudah mengingatkan padamu begitu, tapi
kau masih nekat mengirimkan muridmu untuk mencuri
jubah keramat itu! Maka tak salah tindakanku jika
muridmu kubunuh, sebab dengan mengirimkan muridmu
ke sini, berarti kau menunjukkan pada muridmu jalan
tercepat menuju neraka!"
"Iblis betina kau...!" geram Mandraloka.
Sementara itu, Ratna Prawitasari berhasil berdekatan
dengan Marta Kumba dan ia mulai berbisik,
"Nenek itu bukan lawan kita! Aku bisa merasakan
tingginya ilmu yang ada pada dirinya!"
"Tulangku lemas semua, seperti keropos seluruhnya!"
"Bertahanlah dan kita cepat tinggalkan tempat ini untuk sementara waktu! Biarkan
dulu nenek itu melawan kakek itu. Siapa tahu keduanya sama-sama mati! Kita
bisa bebas mengacak-acak tempat ini! Ayo, kita lari, Marta...! Mari kubantu...!"
Nyai Cungkil Nyawa sebenarnya mengetahui kedua
remaja itu melarikan diri secara diam-diam, tapi ia
memang membiarkannya, ia lebih penting berhadapan
dengan Mandraloka, seorang guru yang dianggap
banyak menyesatkan muridnya itu.
"Sekarang apa maumu kemari" Mau menuntut balas
kematian murid-muridmu atau mau mencuri jubah
keramat itu"!"
"Keduanya!" jawab Mandraloka.
"Sekali lagi kau tampakkan diri sebagai guru yang serakah, Mandraloka!"
"Persetan dengan apa katamu, Nenek gerumpung!
Hiaaah...!"
Mandraloka melompat dengan cepat dan bersalto di
udara satu kali. Nyai Cungkil Nyawa pun sentakkan kaki dan tubuhnya melenting di
udara tanpa membawa serta
tongkatnya. Kedua tangannya segera dihantamkan ke
depan saat Mandraloka mendekat, dan kedua tangan itu
kini beradu dengan kedua telapak tangan Mandraloka.
Plak, plakk! Duarrr...! Glarrr...!
Dentuman yang dahsyat terdengar menggema ke
mana-mana, membuat reruntuhan pesanggrahan itu
berguncang. Sebagian batunya yang kecil-kecil
berjatuhan dan bergerak-gerak seperti mengalami
gempa. Daun-daun di sekitar petilasan itu pun
berguncang, sebagian ada yang rontok, terutama yang
sudah kering dan layu.
Nyai Cungkil Nyawa terlempar dan jatuh di atas
reruntuhan bekas dinding dua sisi. Ia terkulai di sana bagaikan jemuran basah.
Tetapi kejap berikutnya ia
bangkit dan berdiri di atas reruntuhan dinding yang
masih tegak berdiri sebagian itu. Ia tampak segar dan tidak mengalami cedera
sedikit pun. Tetapi Mandraloka kelihatannya mengalami luka
yang cukup berbahaya. Kedua tangannya menjadi hitam,
sebagian dada hitam, dan separo wajahnya juga menjadi hitam. Tubuhnya pun
tergeletak di bawah pohon dalam
keadaan berbaring.
Pelan-pelan Mandraloka bangkit dengan berpegangan
pada pohon, ia memandangi kedua tangannya, dadanya,
sayang tak bisa melirik sebelah wajahnya, ia tidak
terkejut, tidak pula merasakan sakit yang sampai
merintih-rintih. Tapi ia melangkah dengan setapak demi setapak, gerakannya kaku
dan sebentar-sebentar mau
jatuh. Ia menarik napas dalam-dalam. Memejamkan mata
beberapa kejap. Setelah itu, membuka mata sambil
menghembuskan napas pelan tapi panjang. Pada waktu
itu, nenek bergusik melompat dari ketinggian tempatnya dan mendarat dengan
sigap, ia segera mengambil
tongkatnya lagi, lalu melangkah mendekati Mandraloka.
Cepat-cepat Mandraloka mengambil sikap kuda-kuda
dengan tangan siap menyerang. Tapi Nyai Cungkil
Nyawa menertawakan, dan berkata,
"Mau apa lagi kamu, hah"! Mau apa lagi..."! Mau hangus sekujur tubuhmu" Iya"!
Mau mati seketika" Atau mau mati dengan tersiksa" Pilih salah satu!"
Mandraloka seperti mengambil sesuatu dari
keningnya, lalu dilemparkan ke arah Nyai Cungkil
Nyawa. Wuttt...! Rupanya sinar biru bundar seperti bola bekel yang diambil dari
tengah dahinya itu. Sinar biru tersebut merupakan inti tenaga dalam yang
berpusat pada otaknya. Nenek bergusik itu sempat terkesiap, ia tahu itu ilmu berbahaya. Maka ia tak
berani menangkisnya, ia hanya
melompat dan berguling-guling cepat di tanah tak
berbatu itu. Sedangkan sinar bulat biru melesat lolos dari dirinya dan
menghantam sisa dinding reruntuhan.
Zrrrappp...! Dinding itu hilang lenyap tanpa bekas. Beberapa sisa
pilar yang terkena percikannya juga hilang lenyap.
Bahkan sebuah pohon yang terkena percikan sinar yang
memecah biru itu juga lenyap tak berbekas. Bekas
akarnya pun tak ada. Sepertinya pohon itu belum pernah tumbuh di tanah tempatnya
tadi berada. Alangkah berbahayanya jika sinar biru tadi mengenai
tubuh Nyai Cungkil Nyawa. Dan kejadian itu membuat
kedua tokoh tua itu tertegun bengong. Nyai Cungkil
Nyawa bengong karena melihat kedahsyatan serangan
lawannya tadi, Mandraloka bengong karena menyesali
kegagalan serangan mautnya, ia tak menyangka serangan secepat itu bisa dihindari
oleh Nyai Cungkil Nyawa.
Lebih menyesal lagi setelah tiba-tiba ia merasakan
tulang rusuknya menjadi sangat panas karena mendapat
sodokan dari tongkat Nyai Cungkil Nyawa yang
datangnya tak diduga-duga. Duggg...!
Mandraloka tersentak dan terpelanting seketika, ia
sadar akan bahaya yang bisa menggempur kepalanya
dalam keadaan ia mulai lemah begitu. Maka tanpa pamit lagi, Mandraloka cepat
angkat kaki dan pergi melarikan diri. Padahal Nyai Cungkil Nyawa kala itu sudah
siap melepaskan pukulan pamungkasnya yang jarang bisa
dihindari lawan.
"Monyet kusut betul si Mandraloka itu! Dia buat berantakan tempat ini, dia
lenyapkan beberapa petilasan yang ada! Tapi, biarlah... yang penting dia tidak
temukan pintu menuju makam!" gerutu Nyai Cungkil Nyawa
sambil bersungut-sungut dan mendekati bekas dinding
yang lenyap itu.
Baru tujuh tindak ia melangkah, tiba-tiba tubuhnya
berbalik dan tangannya melesat berkelebat. Wuttt...!
Sinar merah dilepaskan dari telapak tangannya, seperti ia membuang sesuatu dalam
keadaan tangan tetap sejajar
dengan dadanya.
Crass...! Sinar merah itu mengenai kaki orang, dan orang itu
memekik tertahan kuat.
"Uuhg...!"
Orang itu jatuh ke tanah dalam keadaan duduk.
Padahal ia tadi sudah berusaha melompat dan
menghindari sinar merah, tapi rupanya ia sedikit
terlambat, sehingga betisnya terkena sinar merah itu.
Betis tersebut menjadi bengkak membiru dan ada satu
titik pori-pori yang menggelembung kecil, lalu pecah.
"Aaauuhh...!" orang itu merintih kesakitan dengan menggeliat memegangi kaki
kirinya. Orang itu berkepala gundul, tak mengenakan baju,
celananya biru, ikat pinggangnya merah. Orang itu
berbadan besar, gemuk, matanya besar, hidungnya bulat, parutnya gendut, kulitnya
hitam. Di pinggangnya tersalip benda kecil bundar, namanya yoyo. Itulah senjata
orang gemuk bulat itu.
Nyai Cungkil Nyawa memandangnya penuh curiga,
ia merasa asing dengan wajah orang itu. Karenanya, ia segera hartanya,
"Siapa kamu?"
"Ya. Aku memang tamu! Tapi tamu tak sengaja!"
jawab orang gundul itu dengan menyeringai kesakitan.
Jawabannya itu membuet nenek bergusik berkerut dahi
dan merasa heran, ia mengulang pertanyaannya,
"Siapa kamu"!"
"Siapkan jamu! Oh, untuk apa aku menyiapkan jamu"
Aku bukan tukang jamu gendongan!"
"Budek! Kubilang, siapa kamu"l" teriak nenek bergusik.
"O, kau tanya padaku, siapa aku"!" Orang itu mengejang sebentar, melirik lukanya
di betis. Ternyata yang semula hanya setitik menjadi lebar dan tampak
membusuk. Namun ia segera memperkenalkan diri.
"Aku... Hantu Laut!"
"Jangan menakut-nakuti aku! Aku tidak takut sama hantu!"
Orang gundul itu berteriak, "Hantu Laut itu namaku!
Bukan aku menakut-nakuti kamu sama hantu!"
"Ooo...!" Nenek itu merendahkan suara dan manggut-manggut. Kemudian nenek
bergusik mengajukan
pertanyaan lagi,
"Mau apa kau kemari"!"
"Aku tidak membawa almari! Untuk apa aku bawabawa almari"!"
Nyai Cungkil Nyawa berteriak jengkel, "Kataku, mau apa kau kemari"!"
"Ooo... mau apa kemari?" Hantu Laut nyengir sambil menahan sakit. Nyai Cungkil
Nyawa tidak tahu bahwa
Hantu Laut adalah orang yang agak tuli, karena dulunya ketika ikut Kapal Neraka,


Pendekar Mabuk 024 Malaikat Jubah Keramat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan menjadi anak buah Tapak Baja, ia sering digampar dan dipukul bagian
telinganya, jadi sampai sekarang masih rada budek. (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Pusaka Tombak
Maut"). "Aku ke sini tidak sengaja, Nek. Tujuanku cuma mau cari orang yang bernama Suto
Sinting! Dia harus segera pergi mengikutiku, karena aku mendapat perintah untuk
menghubungi dia dari kekasihnya, bahwa...."
"Nanti dulu jangan cerita banyak-banyak dulu...!"
potong Nyai Cungkil Nyawa, "Apakah kau teman Suto Sinting?"
"Aku anak buahnya Suto Sinting! Aku diutus oleh
Gusti Mahkota Sejati untuk menyusul dia, sebab akan
diadakan peresmian istana yang sudah selesai dipugar di Pulau Serindu, dan Suto
harus menghadiri peresmian itu dan...."
"Aku kenal dengan Suto! Tapi ke mana aku harus
menunjukkan tempat dia kepadamu" Aku sendiri tak
tahu apakah dia masih di gubuk itu atau sudah pergi
dengan Ki Sonokeling! Tapi... aku kenal baik sama dia!
Aku adalah kawannya!"
"Kawan ya kawan, tapi bagaimana dengan lukaku
ini" Semakin lama semakin besar boroknya!"
"Itu yang sedang kupikirkan, sebab aku tak bisa menyembuhkan racun yang sudah
kulepaskan melalui
pukulanku tadi! Mungkin kau harus menunggu Pendekar
Mabuk sampai tiba di sini."
"Apa dia mau kemari?"
"Itu yang tidak kutahu. Apakah dia ke sini atau ke sana..."!" Nyai Cungkil Nyawa
menjadi bingung
bercampur rasa sesal.
* * * 8 GANDARWO merasa terjebak oleh umpannya
sendiri, ia tak bisa keluar dari dalam gua yang hanya mirip cadas berongga itu.
Kalau ia gunakan tenaga
dalamnya untuk menggempur batu penutup, maka
pantulannya pasti akan mengenai dirinya juga. Di situ
ruang sangat sempit, hanya muat untuk dua orang.
Dalam keadaan gelap itu, Gandarwo mempunyai sisi
keuntungan, ia mempunyai kapak yang ujungnya
menyala merah membara. Tapi di dalam gelap itu, ujung kapaknya menjadi terang
bagai lentera. Dan karena
mendapat penerangan dari ujung kapaknya itu,
Gandarwo dapat melihat relief gambar bunga pada
dinding gua sempit itu. Gandarwo memperhatikan
sambil bicara sendiri,
"Siapa yang memahat gambar bunga di gua ini"
Orang tersesat, atau orang yang menumpang berteduh
karena hujan" Tapi... rasa-rasanya ini gambar bunga
teratai?" tangan Gandarwo meraba-raba pahatan gambar bunga teratai itu.
Tanpa disadari, tangannya menekan sesuatu yang ada
di tengah gambar teratai. Sesuatu itu seperti sebuah batu cincin berukuran besar
berwarna ungu atau biru tak jelas, karena cahaya yang timbul dari ujung tongkat
kapak itu adalah cahaya merah, jadi warna batu cincin itu samar-samar
kelihatannya. Dan kalau tidak ada penerangan,
gambar dan warna batu cincin itu tidak akan kelihatan.
Ketika tangannya menekan batu cincin tersebut, tibatiba dinding gua bergeser ke arah kiri. Gandarwo kaget.
Ternyata dinding gua bergambar teratai itu adalah
sebuah pintu. Di balik dinding tersebut terdapat ruangan panjang yang layaknya
disebut lorong. Beratap tinggi
dan lebar. "Lorong..."!" mata Gandarwo mulai berbinar-binar.
"Jangan-jangan inilah jalan masuk menuju ruang bawah
tanah di patilasen itu" Lorong ini mempunyai lantai yang kelihatannya sengaja
dirapikan oleh orang untuk jalan keluar-masuk! Coba aku menyusuri lorong ini,
sampai di mana ujungnya?"
Ruangan itu lembab, tapi melalui penerangan cahaya
kapak, Gandarwo melihat ruangan itu bersih, seperti ada yang merawatnya. Dinding
kanan-kiri pun kelihatan
halus, rata. Tidak seperti dinding gua alami. Langkah Gandarwo semakin mantap
dan cepat Ternyata lorong itu cukup panjang dan sunyi. Hal
yang membuat Gandarwo berdebar-debar antara cemas
dan girang adalah bau wangi yang tercium olehnya di
sepanjang lorong tersebut. Bau wangi itu seperti bau
wangi bunga-bunga taman yang biasanya ada di keraton
atau Istana. Ditambah lagi, semakin ke dalam lorong itu semakin lebar,
dindingnya semakin licin dan halus.
Kapak digenggam, dibawa seperti membawa obor.
Langkah dipercepat, mata membelalak ke kanan-kiri dan depan. Gandarwo mulai
menemukan jalanan berlantai
marmer. Warna marmer itu putih kehijau-hijauan.
Semakin berdebar-debar hati Gandarwo, semakin
dipercepat langkahnya. Walaupun lorong itu berlikuliku, namun membuat Gandarwo merasa tidak capek
menyusurinya. Semakin jauh semakin ditemukan relief dinding
dengan gambar bunga teratai, yang kira-kira setiap
sepuluh langkah terdapat satu gambar relief bunga teratai itu. Lebih jauh lagi,
Gandarwo menemukan dinding
mulai bermarmer hitam keputih-putihan. Lorong itu pun
semakin membentuk ruangan yang lebar.
"Tak salah lagi, pasti ini jalan menuju ruang bawah tanah itu. Pasti gua kecil
tadi adalah pintu yang sulit ditemukan orang!" Gandarwo kegirangan, langkahnya
semakin tergesa-gesa. Ia merasakan jalanan menjadi
menurun sedikit demi sedikit, dan bau wangi semakin
tajam tercium olehnya.
Tiba-tiba terdengar suara, zrrrakk...! Gandarwo
berguling ke depan dengan cepatnya. Delapan tombak
membentuk pintu teralis turun dari atap lorong. Crakk...!
Ujung-ujung tombak itu mengenai lantai marmer, dan
sebagian lantai ada yang gompal. Tetapi tubuh
Gandarwo selamat dari hujaman tombak-tombak itu.
Kalau ia tak cepat bergerak dan berguling ke depan,
matilah ia saat itu juga.
"Jebakan!" ucap Gandarwo sambil matanya
membelalak tapi mulutnya menyunggingkan senyum
kegirangan. "Pasti ini jebakan buat orang yang tak hati-hati dalam perjalanannya
menuju makam itu! Ah, tak
salah dugaanku! Pasti ini jalan menuju makam Prabu
Indrabayu!"
Semakin beringas girang wajah Gandarwo yang
angker. Semakin banyak ia menghadapi jebakan-jebakan
di situ, dan masing-masing jebakan dapat dilaluinya,
sampai ia tiba di jalanan bertangga yang arahnya
menurun. Setiap langkah sekarang diperhitungkan betul oleh Gandarwo. Tangga yang
menurun berkelok-kelok
itu tidak menutup kemungkinan akan ada jebakannya
pula. Ternyata benar. Salah satu anak tangga yang diinjak
membuat dinding lorong menyemburkan asap hitam.
Gandarwo buru-buru menutup hidung dan mulutnya
serta menahan napas dan berlari menuruni tangga
tersebut. Asap itu menurutnya pasti asap beracun.
Terhirup sedikit sangat berbahaya.
Tangga berkelok-kelok membawa Gandarwo terus ke
arah kedalaman. Seolah-olah akan mencapai dasar bumi.
Sampai suatu saat, tibalah ia di ujung tangga, dan ia temukan ruangan besar
penuh dengan perhiasan, senjata, pakaian, dan barang-barang mewah yang layaknya
milik seorang raja. Ruangan itu berbentuk lingkaran yang dindingnya
mempunyai batu-batu putih memancarkan sinar fosfor.
Batu-batu putih yang jumlahnya lebih dari tiga puluh biji itulah yang membuat
ruangan itu menjadi terang-benderang, sehingga setiap barang bisa dilihat dengan
tanpa menggunakan bantuan sinar merah di ujung
kapaknya. Di ruangan itulah, Gandarwo menemukan jenazah
Prabu Indrabayu yang dilapisi kotak kaca. Jenazah itu masih utuh tanpa cacat
sedikit pun. Gandarwo berdebar-debar melihat jenazah berpakaian seorang raja
dalam keadaan dibaringkan di atas meja marmer berbentuk
bundar, seperti penampang bunga teratai. Dan di dalam peti kaca itulah terdapat
jubah berwarna hitam dari
bahan sejenis beludru berbulu halus dan lembut
kelihatannya. Jubah hitam itu bertepian hiasan bunga teratai kecilkecil berwana putih. Tengahnya berwarna merah.
Gandarwo membatin sambil berdebar-debar gemetar,
"Tak salah lagi, pasti itulah jubah keramat. Hmmm...!
Tapi bagaimana cara mengambilnya" Kotak kaca ini
kelihatannya tidak berpintu. Peti mati seperti ini,
memang susah dicari pintunya. Kadang memang tidak
diberi pintu supaya peti itu kosong udara dan mayat
tidak lekas busuk. Kurasa begitulah keadaan peti mati berkaca itu. Selain tidak
berudara, juga mayat tersebut dibalsam sebelumnya! Ah, persetan dengan jenazah
itu, yang kubutuhkan jubah tersebut! Kuhancurkan saja
petinya itu!"
Gandarwo mendekat, perutnya menyentuh tepian
meja marmer. Kapaknya sudah diangkat mau
dihantamkan ke kaca itu, tapi tiba-tiba lapisan kaca
bagian atas bergerak sendiri turun membuka. Srrrt...!
Gandarwo terbelalak bengong. Setelah itu ia memandang ke kanan-kiri mencari tahu
apa yang menjadi penyebab
peti kaca itu bisa membuka sendiri. Rupanya perutnya
tak sengaja telah menekan semacam tombol merah yang
merupakan kunci pembuka tutup peti. Tombol itu
hampir rata dengar tepian meja sehingga tak mudah
diketahui orang. Dan lagi-lagi Gandarwo menyentuhnya
dengan tidak sengaja.
Jubah segera diambil. Gandarwo pun mundur dari
tepian meja, kaca penutup peti bergerak sendiri, kembali menutup seperti semula.
Gandarwo tertawa terbahak-bahak kegirangan, ia telah menemukan apa yang dicaricari sejak ia berusia dua puluh tiga tahun itu. Ternyata
pencariannya dan ketekunannya itu tidak sia-sia. Itu sebabnya Gandarwo tertawa
sambil jejingkrakan seperti anak kecil mendapatkan baju baru yang diidam-idamkan
selama ini. Jubah itu segera dipakainya. Walau tadinya
Gandarwo sangsi, apakah jubah itu muat untuk tubuhnya yang besar, sedangkan
jubah itu kecil, tapi ketika
dipakai, jubah itu seperti mekar sendiri menyesuaikan bentuk ukuran tubuh orang
yang memakainya. Ketika
jubah itu dipakai, ada semacam sinar yang membungkus
tubuh Gandarwo dalam sekejap. Clap...! Gandarwo
menjadi bangga dan merasa dirinya gagah dengan
mengenakan jubah itu.
Pada bagian leher jubah terdapat krah yang lebar dan
kaku, membentuk seperti kelopak-kelopak bunga teratai.
Krah itu berdiri kaku bagai melapisi sekeliling leher.
Warnanya hitam bergaris-garis kuning emas. Jubah itu juga mempunyai tali
pengikat bagian depan sampai
dada, terbuat dari tali kuning emas. Jubah itu
menyebarkan bau wangi yang menyegarkan pernapasan.
"Dengan mengenakan jubah ini, apa yang
kubayangkan akan menjadi kenyataan! Jadi, aku tak
perlu mengambil emas atau barang apa pun di sini!
Kalau aku mau, dalam waktu singkat barang-barang di
sini bisa pindah ke pondokku dalam sekejap dengan cara membayangkannya saja!
Huah ha ha ha ha...! Eh, tapi...
tapi tunggu dulu! Di sebelah sini ada satu peti mati lagi yang juga berkaca"
Milik siapa" Kok kosong" Tidak ada penghuninya" Oh, masih tampak rapi dan
bersih, sepertinya belum pernah dipakai. Oh, ya... tahu aku!
Pasti ini peti mati untuk Istri Prabu Indrabayu yang sudah disediakan di sini,
tapi entah karena apa, jenazah Istri prabu itu tidak jadi dimakamkan di sini!
Ah, persetan dengan semua itulah!"
Ketika Gandarwo menginjakkan kakinya untuk
menaiki tangga yang dilewatinya, ia diam sebentar, ia bermaksud mencoba
kehebatan jubah keramat itu.
Dibayangkan dalam otaknya, tangga itu bergerak jalan
sendiri membawanya ke tempat masuknya tadi. Dan
ternyata dalam kejap berikutnya, tangga itu memang
berjalan sendiri. Tanpa susah-susah Gandarwo menaiki
anak tangga, ia sudah dibawa oleh anak tangga itu naik ke atas dan sampai di
lantai bermarmer putih itu.
"Ha ha ha ha ha...!" Gandarwo tertawa terbahak-bahak kegirangan. Bahkan ketika
ia melewati tempattempat yang ada jebakannya, ia membayangkan semua
jebakan itu lenyap dan tak berfungsi lagi. Ternyata jebakan-jebakan itu memang
lenyap, jalanan menjadi
mulus dan lancar.
Ketika tiba ia di mulut gua tempatnya masuk pertama
kali, ia memandangi mulut gua yang tertutup batu rapat itu. Dan tiba-tiba batu
itu lenyap karena Gandarwo
membayangkan pintu gua itu tidak ada penutup apa-apa.
Bahkan ia membayangkan lubang masuk pintu gua itu
menjadi lebar, dan ternyata terbukti menjadi lebar
sehingga ia bisa keluar dengan mudahnya.
"Ha ha ha ha...! Kalau sudah begini, siapa yang akan melawanku" Siapa yang akan
mengalahkan Gandarwo,
hah"! Huah ha ha...! O, ya... aku akan membuat nama
baru! Bukan Gandarwo lagi namaku! Biar wajahku
angker menurut orang-orang, tapi aku punya jubah
keramat begini, aku menjadi seperti malaikat! Hah...!
Tak salah kalau aku memakai nama Malaikat Jubah
Keramat! Ya... itu nama yang cocok untukku! Malaikat Jubah Keramat! Huah ha ha
ha...!" Clapp...! Seekor kuda muncul di depan Gandarwo.
Karena ia memang membayangkan seekor kuda yang
akan dipakainya mengelilingi dunia persilatan dan
mengalahkan jago-jago silat dari mana saja. Sesuai
dengan apa yang ada dalam bayangan pikirannya, kuda
itu adalah kuda jantan berbulu hitam yang kekar, dengan pelana indah berlapis
emas pada tepian pelananya.
Gandarwo naik di atas punggung kuda dengan
gagahnya. Tapi pada saat itu, dua pasang mata ternyata sedang memperhatikan dari
kejauhan. Dua pasang mata
itu adalah milik Ratna Prawitasari dan Marta Kumba.
Mereka sama-sama tertegun bengong di tempat


Pendekar Mabuk 024 Malaikat Jubah Keramat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengintaiannya melihat Gandarwo keluar dari gua sudah mengenakan jubah, dan
melihat seekor kuda muncul
dengan secara ajaib.
"Dia telah mendapatkan jubah itu, Ratna!"
"Kurasa gua itulah pintu masuk ke ruang bawah
tanah!" "Sepertinya begitu! Jadi dia sangat beruntung masuk ke goa itu dan pintunya kau
tutup. Mungkin dalam upaya mencari jalan keluar itulah, ia menemukan jalan
menuju ruang bawah tanah di petilasan teraebut. Dan dia
menemukan jubah itu!"
"Tapi apakah benar jubah itu adalah jubah keramat yang pernah menghebohkan dunia
persilatan dan diperebutkan oleh para tokoh persilatan" Jangan-jangan itu jubah biasa"!"
"Kurasa tidak! Kurasa jubah itu memang jubah
keramat. Aku pernah mendengar percakapan Paman
Julung Boyo dengan Tapak Getih, bahwa jubah itu
mempunyai kekuatan daya cipta yang tinggi."
"Maksudnya?"
"Orang yang memakai jubah itu, apa yang
dibayangkan atau dikhayalkan, akan menjadi kenyataan
dalam sekejap! Buktinya, tadi tahu-tahu di depan
Gandarwo sudah ada kuda yang muncul secara gaib.
Pasti tadi Gandarwo membayangkan seekor kuda
hitam!" "Oh, luar biasa kesaktian jubah itu! Kusangka hanya akan membuat orang yang
memakainya menjadi
bertambah banyak ilmunya dan kesaktiannya tak bisa
dikalahkan. Ternyata punya daya cipta yang tinggi! Oh, aku jadi ingin sekali
memiliki jubah itu, Marta Kumba!
Mengapa kita kalah dengan Gandarwo..."!"
Ratna Prawitasari menjadi murung. Badannya yang
tadi lemas dan sudah menjadi sehat kembali, sekarang menjadi lemas lagi. Ia
tampak sedih dan kecewa sekali.
Marta Kumba yang melihatnya, segera memeluknya dan
berkata, "Jangan sedih, Ratna! Aku akan merebut jubah itu untukmu! Aku akan merebutnya
untukmu! Jangan sedih,
Ratna...!"
"Dapatkah kau merebutnya?"
"Harus dapat! Aku harus berusaha sekuat tenaga
untuk mendapatkan jubah itu! Jubah itulah tanda cintaku padamu, Ratna!"
"Apakah kau cinta padaku?"
"Ya!" jawab Marta Kumba dengan berdebar-debar antara takut dan malu. Tapi
kemudian Ratna Prawitasari menyandarkan kepalanya di dada pemuda itu dengan
hangat dan penuh kemesraan yang Iidah, ia berucap kata lagi,
"Marta..., aku kepingin sekali punya jubah itu!" Ia mulai bernada manja, dan
keberanian Marta mulai
terbakar. "Aku akan berangkat sekarang juga untuk merebut
jubah itu dari tangan Gandarwo yang berwajah angker itu!"
Maka berangkatlah Marta
Kumba mengejar kepergian Gandarwo yang telah mengubah namanya
menjadi Malaikat Jubah Keramat. Khawatir terjadi
sasuatu pada diri Marta Kumba, Ratna Prawitasari
mengikutinya dari kejauhan, menjaga kemungkinan
datangnya bahaya yang menyerang Marta Kumba.
Kuda hitam itu masih menyusuri pantai. Marta
Kumba mengejarnya dengan susah payah, karena kuda
itu berlari dengan cepat. Tapi pemuda itu agaknya tidak putus asa untuk mengejar
kuda tersebut. Demi cintanya kepada Ratna Prawitasari, ia berlari terus memburu
manusia berwajah angker yang memakai Jubah Keramat
itu. Sementara itu di belakangnya, Ratna Prawitasari
mengikuti dan mengawasi keadaan di sekitar tempat
kekasihnya berada.
Sampai tiba di suatu tempat, Marta Kumba melihat
kuda itu berhenti. Tapi agaknya ia tak bisa mendekat, karena di sana ada satu
orang lagi yang pernah dilihat oleh Marta Kumba di patilasan. Orang itu adalah
Mandraloka, yang sengaja menghadang kuda hitam dan
membuat Gandarwo menghentikan langkah sang kuda.
"Gandarwo...! Kulihat kau mengenakan jubah
semegah itu! Apakah itu jubah keramat yang dihebohkan para tokoh persilatan
selama ini"!"
"Huah ha ha ha...! Mandraloka, mata tuamu ternyata belum rabun! Memang inilah
jubah keramat yang
dijadikan incaran para tokoh rimba persilatan selama ini!
Akulah pemeliknya! Dan perlu kau ingat, jangan kau
sebut lagi namaku Gandarwo! Tetapi sebut aku Malaikat Jubah Keramat! Huah ha ha
ha ha...!"
"Aku sangsi dengan bualanmu, Gandarwo!" kata Mandraloka sambil menahan rasa
sakit akibat serangan dari Nyai Cungkil Nyawa tadi. Kemudian ia berkata,
"Jika benar jubah itu adalah jubah keramat, tunjukkan padaku kehebatannya!"
Mandraloka sengaja memancingnya demikian, karena
ia punya niat untuk merebut jubah itu dengan bertarung melawan Gandarwo. Tetapi
terlebih dulu ia harus tahu
persis bahwa jubah itu memang jubah keramat.
Mandraloka tidak mau membuang tenaga secara sia-sia
dengan mengadakan pertarungan melawan Gandarwo,
jika ternyata jubah itu hanyalah jubah tipuan belaka.
Gandarwo berseru, "Kau ingin melihat kesaktian
jubahku ini" Baik. Apa yang kau inginkan" Apa yang
harus kulakukan?"
"Lenyapkan pohon besar itu dalam sekejap!" sambil Mandraloka menuding sebatang
pohon besar berdaun
rindang seperti beringin, yang tingginya melebihi pohon kelapa.
"Huah ha ha ha ha...! Buat Malaikat Jubah Keramat, itu pekerjaan yang amat
mudah, Mandraloka! Lihat,
pohon itu sudah hilang dengan sendirinya!"
Mandraloka memandang ke arah pohon yang tadi
ditudingnya, dan ia terbelalak kaget, ternyata pohon
besar itu sudah tidak ada. Lenyap tanpa bekas. Tapi
Mandraloka masih diliputi kebimbangan, dan segera ia
berkata, "Munculkan lagi dalam keadaan penuh dengan
buah!" "Apa yang kau katakan itu memang benar, pohon itu sudah berbuah lebat,
Mandraloka!" sambil berkata begitu, Gandarwo membayangkan pohon tadi muncul
dalam keadaan berbuah.
Maka, terbelalaklah mata Mandraloka melihat
kemunculan pohon tersebut yang kini sudah berbuah
lebat. Gemetar persendian tulang Mandraloka, berdebar hatinya, berdetak cepat
jantungnya. Dalam hati ia
mengakui kebenaran jubah tersebut. Maka dengan suara
lantang ia berseru dan mencabut pedangnya,
"Gandarwo! Sekarang giliran kau bertarung
melawanku secara jantan! Serahkan jubah itu atau
kulenyapkan nyawamu sekarang juga"!"
Gandarwo diam saja, tapi matanya memandang dan
mulutnya menyeringaikan senyum. Dan tiba-tiba kepala
Mandraloka jatuh sendiri dari lehernya bagai ada yang memenggalnya dalam gaib.
Gandarwo tertawa terbahak-bahak, karena ia membayangkan kepala Mandraloka
terpenggal, dan ternyata menjadi kenyataan.
Tiba-tiba tubuh Gandarwo tersentak jatuh dari kuda
karena punggungnya ada yang menendangnya dengan
kuat. Gandarwo terguling-guling di tanah, dan begitu
bangkit ternyata Marta Kumba sudah berdiri di
depannya, pedangnya pun dicabut dengan cepat.
Gandarwo menggeram dengan pancaran mata
kemarahannya, "Kau juga ingin memiliki jubah ini, Anak Dungu"!"
"Ya! Untuk kekasihku, aku harus bertarung
melawanmu!"
"Kasihan...!"
"Uhg...!" Marta Kumba tiba-tiba menghujamkan pedangnya sendiri ke perutnya
dengan sentakan kuat.
Gandarwo membayangkan Marta Kumba bunuh diri
dengan pedangnya, maka terjadilah hal itu dan membuat sepasang mata yang
mengintai kejadian itu menjadi
mencucurkan air mata. Tangis itu terpendam, lalu gadis berjubah hijau muda itu
pun cepat melarikan diri
ketakutan melihat kekasihnya mati bunuh diri. Ia tahu, itu perbuatan pikiran
jahat Gandarwo.
Dan tawa Gandarwo pun bergema ke mana-mana
sebagai tawa tokoh sakti yang bergelar Malaikat Jubah Keramat.
* * * 9 HANTU Laut memberitahukan tugasnya kepada
Pendekar Mabuk, setelah Suto Sinting memberinya
minum tuak sebagai pengobat kakinya yang luka. Kalau
Suto terlambat datang, maka borok itu akan mengganas
sampai pada bagian pahanya. Untung Suto cepat datang
bersama Kirana dan Ki Sonokeling, sehingga Hantu Laut tak sampai mengalami luka
ke bagian paha, kecuali
hanya sekitar betis dan mata kaki.
"Jadi, aku harus ke Pulau Serindu?"
"Betul, Suto! Sebelum selesai purnama, kau harus sudah sampai ke sana! Karena
Gusti Ratu Mahkota
Sejati tinggal menunggu kedatanganmu, maka peresmian
istana dari pemugarannya kembali itu akan
dilaksanakan!"
"Aku boleh ikut"!" tanya Nyai Cungkil Nyawa.
Hantu Laut salah dengar sehingga ia berkata,
"Kenapa kau harus takut, Nek"! Tidak ada yang perlu ditakuti!"
"Kataku, Ikut! Bukan takut!"
"O, kau mau ikut" Boleh saja ya, Suto"!"
Pendekar Mabuk hanya manggut-manggut sambil
tersenyum. Nyai Cungkil Nyawa bersungut-sungut
sambil menggerutu,
"Sejak tadi aku ngomong sama orang ini, kupingku jadi budek sendiri, Suto!"
Ki Sonokeling tertawa lebih terkekeh dari yang lain.
Ki Sonokeling menimpali dengan ucapan,
"Di tempat seperti ini mana ada yang jualan nasi gudeg, Nyai!"
"Budek! Kupingku jadi budek! Bukan aku kepingin nasi gudeg! Waaaah, kamu kenapa
jadi ketularan budek
begitu, Sonokeling"!"
"Lho, bukannya ngomong soal nasi gudeg sejak
tadi"!" ujar Ki Sonokeling sambil bengong. Yang lainnya pun segera tertawa.
Pendekar Mabuk segera mendekati Kirana yang sejak
tadi cemberut dan tak mau ikut tertawa. Suto berkata
pelan, "Kenapa kau cemberut terus?"
"Kau mau pergi!"
"Ada tugas lain, Kirana."
"Tapi kau belum selesaikan tugasmu merebut pedang emas!"
"Akan kulakukan sebelum aku pergi ke Pulau
Serindu!" "Betul?"
"Ya! Jangan khawatir, aku tak akan menggantungkan tugas yang belum selesai.
Sekarang mari kita cari
Rangka Cula!"
"Kau bilang dia akan kemari sendiri!"
"Kalau kita menunggu akan lama jadinyal"
"Rangka Cula biar aku yang hadapi!" celetuk Nyai
Cungkil Nyawa. "Kalau kau mau pergi, pergilah sana!
Soal pedang emas itu, akan kusimpan sampai kau datang mengambilnya!"
Tiba-tiba muncul Ratna Prawitasari yang berlari
dengan terangah-engah dan ketakutan, ia sendiri terkejut melihat di patilasan
itu banyak orang, bukan hanya Nyai Cungkil Nyawa sendiri, ia menjadi ragu untuk
mendekat, tapi wajah takutnya semakin jelas dan
mengundang keheranan bagi semua yang ada di situ.
Melihat kehadiran Ratna Prawitasari, Nyai Cungkil
Nyawa menjadi berang lagi dan berteriak menghardik,
"Belum kapok kamu, hah"! Masih saja mau
mengacak-acak tempat ini" Mau cari mampus kamu,
hah"!"
"Hmm... anu... tidak, Nek!" Ratna Prawitasari melelehkan air mata karena
terbayang saat ia menangkap ular di kaki Marta Kumba yang duduk di batu, dan
batu itu sekarang ada di samping kirinya. Ratna Prawitasari tertunduk menahan
tangis yang sukar dikendalikan. Nyai Cungkil Nyawa segera mendekati dengan dahi
berkerut pertanda heran melihat tangis gadis itu.
"Ada apa kau menangis?" tanya Nyai Cungkil
Nyawa. "Merengek-rengek supaya aku kasihan padamu dan memberitahukan letak pintu
itu?" Ratna Prawitasari menggeleng, kemudian dengan
berburai air mata, Ratna Prawitasari menatap nenek itu dan berkata pelan,
"Aku sudah tahu pintu itu ada di mana. Tapi sia-sia
kalau aku masuk ke gua itu!"
Terperanjat Nyai Cungkil Nyawa begitu Ratna
Prawitasari sebutkan kata gua. Ia segera membatin, "Dia benar-benar telah
temukan pintunya! Tapi mengapa dia menangis?"
Ratna Prawitasari melanjutkan bicaranya, "Jubah itu sudah dicuri orang!"
"Hahh..."!" suara kejutan ini hampir serempak diucapkan oleh Nyai Cungkil Nyawa
dan Ki Sonokeling.
Lalaki berkulit hitam itu pun segera mendekati Ratna
Prawitasari dan bertanya,
"Benarkah jubah itu sudah dicuri orang"!"
Ratna Prawitasari menganggukkan kepala.
"Gandarwo-lah orangnya!"
"Gandarwo..."!" kedua kakek-nenek itu sama-sama terpekik dan matanya saling
mendelik, lalu pelan-pelan wajah mereka berpaling saling memandang dengan mata
tetap mendelik.
"Dia telah membunuh Mandraloka dan... kekasihku; Marta Kumba!" tertunduk lagi
wajah Retna Prawitasari, ia sembunyikan tangis di sana. Haru hati mereka, namun
geram pula membayangkan Gandarwo berhasil
menemukan jubah keramat itu. Semua tak ada yang
bicara. Semua bagai terpaku bungkam oleh berita
tersebut. Pendekar Mabuk ikut mendekat pada waktu
Ratna Prawitasari berkata,
"Gandarwo menobatkan dirinya sebagai orang yang
bergelar Malaikat Jubah Keramat, ia menunggang kuda
hitam berpelana emas, yang muncul sendiri dari daya
cipta di dalam pikirannya!"
"Keparat si Gandarwo busuk itu!" geram Nyai Cungkil Nyawa. Wajah tuanya tampak
memerah menahan amarah. Matanya memancarkan murka yang


Pendekar Mabuk 024 Malaikat Jubah Keramat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tertahan. Lalu ia berkata kepada Ki Sonokeling,
"Tetaplah di sini bersama mereka, aku akan mencari Gandarwo!"
"Jangan!" kata Ki Sonokeling. "Kalau kau melawannya, aku harus ikut! Kalau kau
mati, aku pun ikut!" Ratna Prawitasari pun menambahkan kata, "Dia dapat memenggal kepala Mandraloka
tanpa menyentuh. Hanya
dilihatnya saja, Nek. Kau pun bisa dipenggal seperti itu!
Jangan ke sana! Sebaiknya menghindar saja!"
"Memenggal dengan hanya melihat..."!" gumam Nyai Cungkil Nyawa sambil merenung
dalam kebimbangan.
"Jubah itu... pasti jubah itu yang membuatnya dapat begitu!"
Pendekar Mabuk segera ikut bicara, "Apa kelemahan jubah itu, Nyai?"
"Kelemahannya..."!" Nyai Cungkil Nyawa berpikir beberapa saat, kemudian
menjawab, "Tidak ada
kelemahannya! Kecuali jika jubah itu dilepas, baru orang itu menjadi lemah!"
"Kalau begitu, biarlah aku yang menghadapinya,"
kata Pendekar Mabuk dengari tegas dan mantap. Semua
mata memandang ke arah Suto, termasuk Ratna
Prawitasari. Tiba-tiba terdengar suara menyahut, "Aku yang
menghadapi!"
Semua berpaling ke arah orang yang menyahut
pembicaraan itu. Ternyata Rangka Cula sudah berdiri
dalam jarak tujuh tombak dari tempat mereka. Nyai
Cungkil Nyawa menggeram benci, ia ingin bergerak
maju, tapi tangan Suto menahannya dan berkata,
"Mundurlah semua! Ini bagianku...!"
Semua menuruti kata Suto. Mereka mundur dengan
wajah tegang ketika Suto melangkah mendekati Rangga
Cula. Orang berwajah dingin itu diam saja. Suto berhenti dalam jarak lima
langkah di depan Rangka Cula. Ia
meneguk tuaknya sebentar, setelah itu berkata kepada
Rangka Cula. "Kita bertemu lagi, Rangka Cula!"
"Ya," Rangka Cula menjawab pendek.
"Aku akan merebut pedang itu lagi darimu!"
"Silakan!"
"Kau jago pedang, dan aku juga bisa memainkan
pedang! Kita bertarung secara jantan!"
"Baik!"
"Kirana, pinjam pedangmu!" seru Pendekar Mabuk dengan gagahnya.
Kirana cepat mencabut pedangnya, dan dilemparkan
ke arah Pendekar Mabuk. Tabb...! Pendekar Mabuk
menangkap pedang itu dengan cekatan. Bumbung tuak
diselempangkan ke punggung. Pedang dipegang dengan
dua tangan. "Kau sudah siap, Rangka Cula"!"
"Sudah!"
"Cabut pedangmu!"
"Nanti!"
Suto mulai melangkah maju dua tindak. Rangka Cula
mulai memegangi gagang pedang dari Cula badak itu.
Suto diam, dengan kedua kaki merapat dan siap
menebaskan pedangnya. Pedang itu sudah ada di sisi
kanan dalam genggaman dua tangan, mengarah ke atas
ujungnya. Rangka Cula sendiri memandang tak berkedip
dengan kedua kaki yang satu ditekuk ke depan, satunya lagi dia tarik ke
belakang, siap melakukan lompatan
maut. Mereka yang menyaksikan adegan itu menjadi
berdebar-debar tegang. Ratna Prawitasari sendiri tahu, siapa Rangka Cula. Ia
pernah melihat pertarungan
Rangka Cula dengan seseorang yang mahir main
pedang, tapi Rangka Cula unggul dan ternyata lebih
mahir dari orang tersebut. Sekarang Ratna Prawitasari merasa cemas dan hatinya
bertanya-tanya, "Mampukah pemuda tampan itu mengalahkan ilmu pedangnya
Rangka Cula"!"
Cukup lama mereka saling pandang dan saling
menunggu kesempatan lengah lawannya. Tak ada
gerakan apa pun pada diri mereka. Sungguh amat
menegangkan bagi penontonnya.
Tetapi, kejap berikut terdengar Rangka Cula berseru,
"Hiaaat...!"
Wuttt, wuttt...! Keduanya sama-sama berkelebat
maju. Rangka Cula melompat sambil mencabut
pedangnya, Pendekar Mabuk melompat
sambil kelebatkan pedangnya. Mereka tiba di tempat berbeda,
saling memunggungi. Sama-sama diam mematung
beberapa saat. Lalu, mulailah menetes darah dari lengan Suto, dekat
pundak. Kirana tersentak kaget melihat lengan Suto
berdarah. Tapi Kirana juga sedikit lega melihat
pergelangan tangan Rangka Cula juga berdarah.
Keduanya sama-sama luka. Keduanya sama-sama
tangguh. Tetapi Rangka Cula segera berbalik manakala
Pendekar Mabuk masih memunggunginya, lalu ia
menebaskan pedangnya ke punggung Pendekar Mabuk
dengan cepat. Wuttt...! Trangng...! Pendekar Mabuk menangkisnya
tanpa memandang gerakan pedang lawan. Hanya dengan
menengadahkan pedangnya ke atas kepala dan badannya
sedikit merendah, pedang lawan tertangkis. Dan dengan cepat Pendekar Mabuk
sedikit naikkan badan, lalu
tangannya berkelebat menebas ke atas dengan cepat.
Trangng...! Wuttt...! Pedang Rangka Cula terpilin pedang
Pendekar Mabuk. Zrrrakk...! Pendekar Mabuk
menyentakkan kuat, dan pedang itu lepas dari
genggaman Rangka Cula. Itu karena genggaman tangan
Rangka Cula sudah mulai melemah akibat terluka dalam
oleh pedang Pendekar Mabuk dalam jurus pertama tadi.
Rangka Cula segera melompat mundur ketika ia sadar
tangannya sudah tidak memegang pedang. Kini pelanpelan ia mulai mencabut pedang emas di punggungnya.
Kirana sudah mulai cemas, Ki Sonokeling pun menjadi
tegang tak berkedip.
"Heeaaah...!" Suto memekik sambil bersalto ke samping, tapi pedang di tangannya
dilemparkan cepat ke arah Rangka Cula. Wuttt...! Trangng...! Rangka Cula
mengibaskan pedang emas untuk menangkis pedang
yang melesat ke arah dadanya itu. Tapi di luar dugaan, Suto Sinting cepat
melepaskan jurus 'Yudha', yaitu
tangan disentakkan dalam keadaan miring dan dari
tangan itu melesatlah sinar perak berbentuk bintang yang menembus perut Rangka
Cula.Clappp...! Hanya Nyai
Cungkil Nyawa yang melihat sinar perak itu berbentuk bintang.
Zrrrubb...! Jurus 'Yudha' mengenai sasarannya.
Rangka Cula diam saja. Berdiri mematung dan tak
bergerak. Pendekar Mabuk menarik napas dan
menghembuskan dengan kelegaan tersendiri. Bahkan ia
sempat minum tuaknya dan membuat mereka yang
menyaksikan pertarungan itu menjadi heran.
Kejap berikutnya, mereka makin dibuat heran. Daun
telinga Rangka Cula jatuh. Plukk...! Ruas jari tangannya menyusul jatuh. Pluk!
Kini pergelangan tangan kirinya jatuh. Plukkk...! Dan tiap ruas tulang pada
tubuh Rangka Cula mulai berjatuhan, terpoteng tanpa darah. Pendekar Mabuk
sendiri segera mengambil pedang emas itu
dengan tenangnya. Dan tangan yang memegangi pedang
emas itu pun jatuh terpotong rapi.
Kini pedang emas sudah ada di tangan Suto Sinting.
Dan tubuh Rangka Cula yang terkena jurus 'Yudha' itu
menjadi terpotong-potong dengan sendirinya setiap
ruasnya, sampai terakhir kepalanya jatuh ke tanah dalam keadaan sudah tidak
sempurna lagi. Brukk...! Tubuh
Rangka Cula rubuh dalam keadaan paha dan lutut sudah
terpisah. Dan itulah kehebatan jurus 'Yudha', yang
menjadi satu dengan jurus 'Manggala', pemberian dari
seorang ratu di alam gaib, yaitu Ratu Kartika Wangi.
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Manusia Seribu Wajah").
"Suto...! Kau berhasil...!" teriak Kirana dengan girangnya, ia segera memeluk
Pendekar Mabuk yang
sudah memegangi pedang emas bersama sarungnya.
Yang lain pun tersenyum merasa lega bercampur kagum.
Terutama Ratna Prawitasari, tak henti-hentinya ia
tersenyum memandangi kehebatan Suto, tak hentihentinya ia terkesima memandangi ketampanan Suto,
hingga lupa berkedip sejak tadi.
Namun, kegembiraan itu segera susut setelah mereka
mendengar suara ringkik kuda. Mata mereka berpaling
ke belakang dan melihat seekor kuda hitam ditunggangi orang berwajah angker
dengan rambut panjang acak-acakan, mengenakan jubah yang mengejutkan wajah
Nyai Cungkil Nyawa. Orang itu adalah Manusia Jubah Keramat yang enggan dipanggil
dengan nama Gandarwo. "Sedang apa kalian berkumpul di sini"! Mencari jubah keramat"! O, lupakan jubah
itu! Lihat... jubah itu sudah kupakai! Dan akulah orang terkuat di seluruh
pelosok penjuru dunia dengan gelar Malaikat Jubah
Keramat! Huah ha ha ha ha...!"
Nyai Cungkil Nyawa mau bergerak, tapi mata
Pendekar Mabuk memberikan isyarat agar nenek itu
diam saja. Suto pun segera melangkah maju mendekati
Gandarwo, yang lain tinggal di tempat semula. Yang lain memandang dengan
berdebar-debar.
"Benarkah jubah itu jubah keramat, Malaikat Jubah Keramat?" tanya Suto dengan
kalem, tidak menampakkan sikap permusuhan, tapi pedang emas
sudah disiapkan di tangan kiri, masih dalam sarungnya.
"Kalau kau tak percaya, tanyakan saja pada nenek tua itu!" kata Gandarwo dengan
sedikit ngotot.
"Melihat warnanya dan bentuknya yang megah, aku
percaya kalau jubah itu jubah angker!"
"Jubah keramat! Bukan jubah angker!"
"O, ya...! Jubah keramat yang sakti!" Suto tersenyum.
"Betui!"
"Dan tentunya kau adalah orang sakti yang berilmu tinggi!"
"Tak salah lagi! Huah ha ha ha...!" Gandarwo kegirangan mendapat pujian dari
Suto. "Bagaimana kalau kutukar dengan pedang emas
ini"!" kata Suto.
"Pedang emas"! Oh, tidak...! Aku tidak...."
"Dengar dulu, Malaikat Jubah Keramat!" potong Suto. "Pedang ini sangat bagus,
lihat ukiran di
dalamnya...!" Pendekar Mabuk meloloskan pedang dari sarung pedang, lalu
menunjukkan ukiran naga di tengah mata pedang itu sambil berkata,
"Nah, lihat... ukiran ini merupakan ukiran keramat juga...."
Pada waktu Gandarwo ikut memperhatikan ukiran
pedang emas itu, tiba-tiba Suto menyentakkan pedang
tersebut dengan cepat. Jrubb...! Tepat menusuk jantung Gandarwo. Orang itu, yang
masih di atas punggung
kuda, segera mendelik dan ternganga mulutnya. Untuk
kemudian tumbang dari atas punggung kuda. Brukkk...!
Dan kejap berikutnya ia menghembuskan napasnya yang
terakhir. Pendekar Mabuk segera melepas jubah yang dipakai
Gandarwo. Sementara orang-orang yang menyaksikan
gerakan cepat Pendekar Mabuk dalam menusukkan
pedang tadi, masih tertegun bengong tak berkedip.
Karena mereka sama sekali tidak menyangka kalau Suto
akan melakukan gerakan secepat itu. Bahkan mereka tak menyangka Suto Sinting
mempunyai rencana seperti itu.
Kirana sendiri sempat cemas mendengar pedang emas
mau ditukar dengan jubah keramat.
Pendekar Mabuk melakukan rencana tersebut, karena
ia tahu bahwa lawannya sudah siap menyerang sewaktuwaktu, ia sama saja melawan pikiran seseorang yang
bisa menghadirkan bencana dan maut setiap kejapnya.
Untuk melawan pikiran berbahaya itu, Suto hanya
mengalihkan pikiran tersebut hingga lawan pun lengah.
Mereka yang menyaksikan tindakan Pendekar Mabuk
itu baru sadar dari rasa kagetnya setelah Pendekar
Mabuk melipat jubah itu dan menyerahkannya kepada
Nyai Cungkil Nyawa.
"Nyai, simpanlah kembali pada tempatnya, setelah itu tutup rapat-rapat pintu
menuju makam! Tak perlu ada
orang yang keluar masuk ke dalam makam Prabu
Indrabayu."
"Suto...!" nenek itu memandang dengan iba hati dan kagum terhadap ketulusan hati
Pendekar Mabuk, ia pun
segera berucap kata,
"Terima kasih banyak atas bantuanmu, Bocah
Sinting! Aku tak mengerti harus bagaimana membalas
budi baikmu ini!"
"Balaslah pada orang lain yang membutuhkan budi
baikmu, Nyai!" jawab Pendekar Mabuk yang membuat Ki Sonokeling geleng-geleng
kepala dan menggumam,
"Sebuah kalimat yang bagus...."
"Sekarang, tugasku telah selesai! Pedang emas sudah kembali ada di tanganku, dan
jubah keramat sudah
kembali di tanganmu, Nyai. Rasa-rasanya kita harus
berpisah untuk sementara waktu, karena aku punya tugas lain. Kalau ada orang
yang berani mencuri jubah ini lagi, katakan padanya, aku Suto Sinting, murid si
Gila Tuak, akan berhadapan dengan orang itu!"
Tiba-tiba ada yang menyahut, "Aku setuju!" semua berpaling ke arah orang yang
baru datang itu, dan Kirana segera sunggingkan senyum sambil menyapa,
"Nyai Guru Embun Salju..."!"
Orang sakti dari Perguruan Elang Putih itu datang.
Rupanya ia juga mencemaskan diri Suto, sehingga ia
pribadi menyempatkan pergi dari kuil Elang Putih untuk menjaga kemungkinan
bahaya yang bisa terjadi pada diri
Pendekar Mabuk.
"Aku telah mendapatkan pedang ini, Nyai Embun
Salju!" kata Suto sambil mendekat bersama Kirana.
Ratna Prawitasari pun ikut mendekat dan berkata,
"Sembah hamba, Nyai Guru...!" Ratna Prawitasari menundukkan kepala memberi
hormat kepada Embun
Saiju. Rupanya Ratna Prawitasari adalah murid
Perguruan Elang Putih yang dibuang dari Tanah Merah
karena harus menjalani hukuman buang untuk sebuah


Pendekar Mabuk 024 Malaikat Jubah Keramat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesalahan. Tapi Embun Salju dalam kesempatan itu
memberi ampunan pula kepada Ratna Prawitasari,
sehingga Ratna Prawitasari disarankan untuk ikut pulang ke kuil Elang Putih.
"Suto juga berhasil selamatkan jubah keramat milik Prabu Indrabayu, Guru!" kata
Ratna Prawitasari yang sudah mengetahui nama Suto.
"Prabu Indrabayu"!" Embun Salju menggumam. "Oh ya... benar! Aku baru ingat, ini
bekas Pesanggrahan
Teratai Dewa"!
Di sinilah Prabu Indrabayu
disemayamkan bersama istrinya yang tercinta, yang
bernama Sendang Kedaton...."
"He!, bukankah itu nama asli Nyai Cungkil Nyawa, penjaga makam di sini, Nyai
Embun Salju"!" kata Suto.
"Bukan! itu nama istri tercinta Prabu Indrabayu!"
"Itu nama penjaga makam di sini, Nyai!" Pendekar Mabuk ngotot. "Kalau tak
percaya kita tanya pada orangnya...," Pendekar Mabuk berpaling ke belakang
mencari Cungkil Nyawa. "Nyai..."! Nyai Cungkil Nyawa..."!"
Ki Sonokeling yang menjawab, "Dia lenyap... hilang dari sampingku!"
"Oh, kalau begitu dia adalah jelmaan istri Prabu Indrabayu..."!" gumam Pendekar
Mabuk sambil termenung terheran-heran. Dan sejak itu tak pernah ada yang menemui Nyai Cungkil
Nyawa, ia hilang selama-lamanya.
SELESAI PENDEKAR MABUK Segera menyusul:
NAGA PAMUNGKAS Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Si Rase Kumala 1 Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Tamu Dari Gurun Pasir 8

Cari Blog Ini