Pendekar Mabuk 017 Minyak Darah Malaikat Bagian 1
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
1 CAHAYA rembulan jatuh ke bumi, menerpa seraut
wajah tampan yang sedang telanjang dada. Wajah
tampan itu tak lain adalah milik seorang tokoh muda
yang sudah dikenal kehebatan ilmunya, yaitu murid si
Gila Tuak yang bernama Suto Sinting; si Pendekar
Mabuk. Hembusan angin dingin tidak dihiraukan oleh
Pendekar Mabuk. Wajahnya pun tetap dingin berpejam
mata, ia duduk di atas sebuah batu datar, bersila dan bertegak dada. Kedua
tangannya yang ada di paha tiba-tiba mengencang, urat-uratnya tampak
bertonjolan, itu pertanda Suto Sinting sedang mengerahkan tenaganya
dengan tarikan napas panjang perlahan-lahan.
Tangan itu bergerak naik ke dada keduanya.
Gerakannya sangat pelan dan penuh getaran. Ketika
kedua tangan itu sampai di dada, telapak tangannya
saling merapat. Kedua telapak tangan itu seakan saling menekan kuat-kuat hingga
getarannya bertambah nyata.
Lalu tiba-tiba kedua telapak tangan itu disentakkan ke depan hingga kedua
lengannya menjadi lurus. Suttt...!
Maka dari ujung perpaduan telapak tangan itu melesatlah selarik sinar sebesar
lidi berwarna ungu. Zlappp...! Sinar itu menghantam sebatang pohon besar.
Jrrubb...! Sinar itu tembus ke batang pohon besar, bahkan pada pohon di
belakangnya juga tembus, jrubb...!
Dan hingga empat pohon dalam satu barisan
tertembus semua oleh sinar ungu sebesar lidi itu.
Clubb...! Sinar itu pun padam setelah Pendekar Mabuk hembuskan napas dan
kendorkan urat-uratnya.
"Jurus 'Surya Dewata' ternyata masih kukuasai!" pikir Pendekar Mabuk. "Berarti
tenagaku tidak berkurang selama ini! Mungkin kekuatan tuak saktiku inilah yang
menjaga keutuhan kekuatan tenaga dalamku! Jurus
'Surya Dewata' pemberian Bibi Bidadari Jalang tak akan kugunakan bila keadaan
tidak sangat memaksa! Sebab,
pesan Bibi Guru Bidadari Jalang memang aku harus
menggunakan jurus ini jika lawan sudah tak mempan
lagi dihantam dengan jurus-jurus lainnya! Hmm...
sebaiknya kucoba ilmu 'Ambang Bayu' pemberian
Kakek Guru Gila Tuak. Apakah masih ada pada diriku
atau sudah menipis karena jarang kulatih selama ini...!"
Suto gerakkan tangannya dari atas ke bawah sambil
menghirup napas. Kemudian tangan itu melemas di
samping, napas pun terlepas pelan-pelan. Kejap
berikutnya, tangan sudah berada di dada. Yang kanan
telapak tangannya berdiri tegak, yang kiri telapak
tangannya menyangga pergelangan tangan kanan.
Jika jurus yang dilatihnya tadi menggunakan
kekuatan otot dan menahan napas kuat-kuat, kali ini
keadaan Suto Sinting lebih kelihatan santai. Napasnya terhela dengan biasa,
uratnya tidak mengeras. Matanya memandang redup ke depan. Dan tiba-tiba tubuhnya
bergerak sendiri naik. Kakinya masih bersila, dan
tangannya tetap di posisi dada.
Dalam keadaan bersila itu, perlahan-lahan tubuh
Pendekar Mabuk bergerak naik, sedikit demi sedikit.
Dari jarak satu jari, dua jari, tiga jari... sampai akhirnya jarak antara batu
dengan pantatnya mencapai satu
jengkal. Pelan-pelan tubuh itu bergerak turun dan kembali
merapat di permukaan batu. Tapi Pendekar Mabuk
masih pejamkan mata. Ia akan lakukan jurus 'Ambang
Bayu' kedua yang dapat membawa dirinya melesat ke
depan walau dalam keadaan duduk. Tetapi, tiba-tiba di depannya berkelebat
sesosok bayangan yang melintas.
Bayangan itu berhenti di kerimbunan semak, lalu
kembali lagi dan berhenti di depan Suto.
Orang itu berpakaian biru tua, usianya sekitar empat puluh tahun, mengenakan
rompi rangkap warna kuning.
Orang itu berambut pendek dan mempunyai senjata,
cambuk yang melilit di pinggang. Cambuk itu ujungnya
tepat berada di pusar, berbentuk logam bintang segi
enam. Rupanya orang yang tadi berlari cepat itu tertarik
melihat Suto sedang berlatih sendirian di tengah siraman cahaya sinar bulan
purnama. Orang itu dekati Pendekar Mabuk, dengan bertolak pinggang satu tangan
ia berkata, "Apa yang kau lakukan di sini, Anak Muda"!"
"Saya sedang berlatih, Paman," jawab Suto Sinting dengan tetap duduk bersila,
tapi melepaskan tangannya yang di dada.
"Berlatih apa" Lebih baik kau pergi ke Gua Sekat Sembilan sana! Tontonlah
pertarungan hebat para tokoh sakti di sana!"
"Maaf, boleh saya tahu siapa Paman sebenarnya,
sehingga berani menyuruh saya pergi ke gua itu?"
"Aku si Cambuk Guntur! Kalau aku menyuruhmu
nonton pertarungan di sana, berarti aku ingin membagi pengalaman denganmu,
Bodoh! Jangan merasa
tersinggung!"
"Terima kasih atas niat Paman Cambuk Guntur untuk membagi pengalaman kepada
saya. Tapi saya lebih suka
duduk sendirian di sini menikmati malam terang bulan
yang bermandikan kehangatan tersendiri di hati saya!"
"Kalau mau jadi pendekar, harus punya banyak
pengalaman, melihat pertarungan para tokoh sakti!
Jangan hanya belajar ilmu tapi tidak tahu seberapa tinggi ilmu yang sudah
dimiliki para tokoh sakti itu! Kalau kau hanya perdalam ilmu sendiri, kau akan
menjadi manusia yang pongah dan hanya mengenal ilmu sendiri!"
"Terima kasih lagi atas saran Paman Cambuk Guntur!
Tetapi, bolehkah saya tahu, mengapa Paman
bersemangat memberi saran pada saya?" Pendekar
Mabuk tetap kalem dan tetap menghargai orang itu.
"Terus terang saja, aku tertarik dengan tubuh kekar dan gagah itu. Menurutku kau
bisa menjadi seorang
pendekar perkasa dan berilmu tinggi! Tapi, ah...
sudahlah, itu urusanmu sendiri! Mau jadi pendekar atau jadi tukang jualan telur
asin, itu bukan urusanku!
Kenapa aku jadi bodoh sendiri?" gerusnya sambil melangkah meninggalkan Pendekar
Mabuk. Dan tiba-tiba Cambuk Guntur berkelebat lari dengan cepat setelah ia
memandang ke arah belakang, dan seperti melihat
sesuatu yang menakutkan.
Pendekar Mabuk; Suto Sinting itu, hanya tersenyum
memandangi kepergian Cambuk Guntur, ia kembali
ingin berlatih jurus 'Ambang Bayu' kedua. Tetapi tak
berapa lama kemudian, kembali ia didatangi seorang
tokoh persilatan yang pernah dilihatnya dalam satu
perjalanan pengembaraannya. Tokoh itu berhenti di
depan Suto setelah menyadari bahwa ada orang duduk di atas batu dalam keadaan
mengambang. Suto pun buru-buru menurunkan badannya, tak jadi melakukan latihan
jurus ' Ambang Bayu' kedua.
Bau bangkai tercium, dan Suto Sinting menahannya,
ia pernah mencium bau busuk seperti saat itu dan yang ditemuinya juga tokoh
berpakaian kulit macan loreng.
Rambutnya yang panjang diikat kain merah. Matanya
lebar, alisnya tebal, kumisnya juga lebat. Orang
bersenjata tombak trisula dan berbau busuk karena
konon mandinya hanya setiap tanggal satu Suro itu,
dikenal oleh para tokoh lainnya dengan nama si Macan
Bangkai. Dia orang galak dan mudah tersinggung. Tapi Pendekar Mabuk belum pernah
berselisih dengan orang
bahkan baru sekarang Suto beradu muka untuk bicara.
"Hei, Bocah Hutan...!" sapanya kepada Suto dengan seenaknya. "Apakah kau melihat
orang berpakaian biru lewat sini?"
"Ya. Dia tadi lewat di depanku," jawab Suto seenaknya juga.
"Ke mana arah tujuannya, apakah kau tahu?"
"Tidak. Yang kutahu dia ke arah depan! Dia
menyuruhku ke gua! Nonton pertarungan orang sakti!"
"'Hmmm... pasti ke sana dia!" gumamnya. "Kalau begitu, kususul dia ke sana!" dan
Macan Bangkai pun pergi secepatnya.
Suto merasa heran, "Sedang apa mereka sebenarnya"
Saling kejar-kejaran atau saling dulu-duluan" Cambuk
Guntur menyebutkan sebuah gua! Hmmm... gua apa tadi
dia bilang" Aku, aku lupa! Tapi ada apa di gua itu"
Mengapa mereka sepertinya saling berebut mencapai
gua tersebut"! Ah, jadi tertarik juga aku! Sebaiknya aku segera ke sana juga
untuk melihat apa yang terjadi
sebenarnya! Tapi... ke mana arahnya?" Suto berkerut dahi, pertimbangkan langkah.
* * * Langit malam tebarkan bintang dan rembulan di
sudut mega. Warna cerahnya menggiurkan pasangan
muda-mudi untuk taburkan kasih kemesraannya. Bahkan
pasangan tua berhati muda pun tak segan-segan lepaskan rayu dan canda
menggelitik di sela-sela hati mereka.
Mendadak kabut berjingkat dari celah bongkahan
tanah perbukitan. Kabut tipis itu merayap makin
menebal, lalu membungkus setiap celah tanah berdaun
rumput. Bukit mulai diselimuti kabut. Langit sedikit
dipulas rona hitam awan.
Rupanya tadi telah melesat cahaya hijau berekor.
Cahaya hijau di langit itu bagaikan berudu terbang yang melintasi perbatasan
langit bermega hitam. Warna
hijaunya terang dan mencolok mata para penghuni bumi.
Wuuuttt...! Angin mulai menunjukkan keperkasaannya,
hembusannya tiba-tiba saja menjadi cepat dan berat.
Warna hijau cerah berekor panjang di langit bagai
semakin dilemparkan dari sisi satu ke sisi lainnya.
Gerakannya mengikuti lengkung langit hingga menuju
perbatasannya yang tak pasti.
Para tokoh tua saling berlompatan dari tempat
mereka. Muncul dari setiap sudut rimba persilatan. Mata mereka memandang tak
berkedip pada warna hijau di
langit. Sebagian dari para tokoh tua berilmu tinggi itu terkesiap tak bicara
saat mata mereka memandang warna hijau yang melesat panjang itu.
Seolah-olah para tokoh tua itu memberikan hormat
menyambut datangnya sang dewa hijau. Wajah-wajah
mereka terbagi dua antara tegang dan gembira.
Sekalipun dari tempat yang berbeda dan berjauhan,
namun hati mereka seakan serempak berkata,
"Saatnya telah tiba! Harus segera bertindak sebelum terlambat!"
Di sisi lain, pada lereng perbukitan bertebing curam, dua sosok tua saling
bertaruh nyawa dari pagi hingga
petang, bahkan malam yang melintas sepi itu
dibiarkannya. Seakan tiada waktu untuk menghentikan
pertarungan mereka. Seakan tiada saat yang mampu
menciptakan perdamaian, walau untuk dua-tiga helaan
napas. Dendam pribadi telah mengarang keras di hati dan
jiwa mereka. Yang ada dalam keputusan naluri mereka
hanya membunuh atau dibunuh. Tak peduli usia tua,
semangat untuk menjatuhkan lawan masih meluap-luap
dalam jiwa mereka.
Blaarrr...! Brukk!
Sosok tua berjubah abu-abu sunggingkan senyum
melihat lawannya jatuh akibat beradu telapak tangan
bertenaga tinggi. Sekejap saja cahaya merah membara
memercik dari adu telapak tangan tadi. Kejap berikut
lawannya yang berkain merah itu tumbang dua tindak ke belakang. Tetapi orang
yang tumbang itu cepat bangkit dari jatuhnya. Kini berdiri tegak dan tegar bagai
tak pernah alami sentakan kuat sedikit pun.
Lelaki berkain merah yang menutup dada kanan
dengan membiarkan sebagian dada dan pundak kiri
terbuka itu, mempunyai rambut panjang bergulung ke
atas, warnanya abu-abu. Ia berbadan kurus dan bermata cekung. Tangannya masih
menggenggam sebatang kayu
penumbuk padi yang lazim disebut alu. Warnanya hitam, tingginya sebatas ketiak.
Kayu itu sering pula dijadikan tongkat olehnya, tapi sebetulnya alu itu adalah
senjata andalannya. Itulah sebabnya orang bersenjata alu itu
mempunyai julukan si Alu Amah.
Sedangkan lawannya yang berjubah abu-abu itu
bercelana kuning. Rambutnya abu-abu panjang sebatas
punggung tak berikat kepala. Badannya agak gemuk,
brewok dan kumisnya warna putih kelabu. Senjata
kebanggaannya adalah tongkat berujung lengkung. Di
dunia persilatan orang itu cukup dikenal, karena pernah menumbangkan tokoh sakti
dari Mongolia. Orang itulah
yang dikenal dengan nama Ki Cagar Nyawa.
Perselisihannya dengan si Alu Amah merupakan
persoalan kuno yang sampai setua itu belum tuntas. Usia mereka seimbang, sekitar
enam puluh tahun, sementara
persoalan yang mereka sedang selesaikan dengan beradu nyawa itu adalah persoalan
semasa mereka berusia dua
puluh lima tahun.
Ki Cagar Nyawa pernah dituduh menghamili kekasih
si Alu Amah. Sementara itu Ki Cagar Nyawa sendiri
tidak merasa pernah berbuat tak senonoh dengan
perempuan bernama Nyai Sukmi Gading. Repotnya
perempuan itu tidak mau membuka rahasia tentang siapa lelaki yang telah
menanamkan benih dalam rahimnya
dan tak mau bertanggung jawab itu. Sampai akhirnya
Nyai Sukmi Gading bunuh diri dan mati dengan sangat
menyedihkan. Si Alu Amah tetap menuding Ki Cagar
Nyawa sebagai penyebab kematian Nyai Sukmi Gading.
Buat si Alu Amah, Nyai Sukmi Gading bukan hanya
sebagai perempuan yang dicintai, melainkan juga
sebagai perempuan yang dipuja dan dikagumi semenjak
mereka berada dalam satu naungan perguruan yang
sirna. Sebab itulah si Alu Amah sangat benci kepada Ki Cagar Nyawa. Kapan saja
dan di mana saja mereka
bertemu, pertarungan tak dapat dihindari lagi. Dan
agaknya kali ini pertarungan mereka adalah pertarungan terakhir, sebab keduanya
Pendekar Mabuk 017 Minyak Darah Malaikat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah sama-sama bosan hadapi hidup penuh bayangan dendam.
Ki Cagar Nyawa sendiri sudah tak mau lagi diburu
tuntutan berdarah. Kebenciannya kepada si Alu Amah
membuatnya tak pernah merasakan ketenangan dalam
hidup. Setiap mendengar nama si Alu, dada Ki Cagar
Nyawa selalu merasakan sakit yang amat dalam. Karena
pada saat ia mendengar nama si Alu Amah disebutkan
orang, pada saat itulah terbayang wajah adik
perempuannya yang dibunuh oleh si Alu Amah
berdasarkan dendam salah alamat itu.
Kali ini agaknya si Alu Aman benar-benar ingin
dihabisi nyawanya. Ki Cagar Nyawa melepaskan jurus
pukulan 'Bangau Neraka'-nya yang jarang dipakai itu.
Sebuah sentakan tangan yang menguncup mengeluarkan
cahaya biru yang menyala sekejap, lalu padam. Tapi
sebenarnya nyala biru itu tetap melesat cepat ke arah lawan dan tak terlihat
gerakannya. Jika si Alu Amah tidak menggunakan indera
keenamnya, maka ia tak dapat melihat adanya sinar biru yang melesat ke arahnya.
Cepat-cepat si Alu Amah
putarkan alunya yang bergerak cepat bagaikan balingbaling di depan dadanya. Suara gerakan alu berputar
cepat itu sempat bikin gendang telinga menjadi sakit.
Wungngngng...! Jika Ki Cagar Nyawa tidak tinggi ilmunya, maka
gendang telinga itu akan pecah mendengar suara gaung
yang keras dan berkekuatan tenaga dalam. Dan ternyata suara gaung yang keras itu
mampu menahan gerakan
sinar biru yang tak terlihat. Sinar dan suara bertemu, maka timbullah ledakan
dahsyat yang menggelegar.
Blarrrr...! Si Alu Amah bagai kapas yang dilemparkan ke
samping, ia terpental dan jatuh di bawah pohon berakar saling bertonjolan.
Sedangkah Ki Cagar Nyawa juga
terlempar bagaikan daun kering, lebih tinggi tubuhnya melayang dan jatuh tanpa
bisa menjaga keseimbangan
badannya. Brukk...! Lalu cepat berdiri lagi. Kejap
berikut Ki Cagar Nyawa sudah kembali siap hadapi
lawan seolah-olah tidak mengalami sentakan apa pun.
Sedangkan si Alu Amah sendiri sedikit lebih cepat
berdiri tegap ketimbang Ki Cagar Nyawa.
Keduanya saling berhadapan dalam jarak delapan
langkah. "Rupanya kau pamer ilmu barumu, Cagar Nyawa"!
Hm...! Belum ada sekuku hitamnya dibanding dengan
ilmuku!" si Alu Amah mencibir sinis dan dingin. Tetapi dalam hatinya, si Alu
Amah membatin, "Kurang ajar!
Rupanya dia telah kuasai jurus 'Bangau Neraka'!
Mestinya aku lebih dulu kuasai ilmu itu, tapi aku telat!"
Dari tempatnya berdiri memegang tongkat, si Cagar
Nyawa ucapkan kata kepada si Alu Amah, juga dengan
nada dingin dan sinis.
"Kalau kau punya ilmu lebih tinggi dariku, tentunya sudah sejak tadi siang kau
bisa bunuh aku, Alu Amah!
Tapi karena ilmumu masih di bawah telapak kakiku,
maka sampai malam begini kau masih belum bisa
tumbangkan aku!"
Padahal di dalam hati Ki Cagar Nyawa membatin,
"Sial betul! Dia makin tua makin tambah kekuatannya!
Jurus 'Bangau Neraka-ku bisa ditahannya dengan 'Alu
Kipas Naga'-nya! Agaknya cukup sulit tumbangkan dia,
tak seperti lawan-lawanku yang lainnya."
Kemudian terdengar suara si Alu Amah lebih lantang
lagi, "Cagar Nyawa! Jangan sangka hanya kau yang punya jurus andalan. Aku pun punya
jurus andalan yang sudah waktunya kulepaskan untuk menjemput kematianmu!
Terimalah jurus 'Siluman Kera Api' dariku! Heaaahh...!"
Pada saat itulah sesuatu yang telah membuat para
tokoh dunia persilatan tertegun sambil dongakkan kepala ke langit, dialami pula
oleh kedua tokoh sakti ini.
Cahaya hijau berekor panjang melesat di langit atas
kepala mereka. Ki Cagar Nyawa lebih dulu dongakkan
kepala ke atas, disusul si Alu Amah yang juga ikut
arahkan pandangan matanya ke langit. Mereka samasama diam, sama-sama bisu, sama-sama bagai terkesima
melihat cahaya hijau tersebut. Bahkan setelah cahaya
hijau lenyap dari pandang mata mereka, keduanya samasama saling pandang dengan curah perhatian mulai
sama-sama kabur.
Kejap berikutnya terdengar suara si Alu Amah yang
telah membatalkan memamerkan jurus baru andalannya,
"Cagar Nyawa! Malam ini kau patut bersyukur,
karena aku masih punya tenggang rasa untuk tidak
mencabut nyawamu secara terburu-buru! Kuberi kau
kebebasan beberapa saat untuk menikmati sisa hidupmu
yang sudah bau tanah ini! Karena aku harus segera pergi untuk selesaikan janji
pertarunganku dengan tokoh lain yang lebih tinggi ilmunya dari ilmumu!"
"Jangan tinggalkan tempatmu, Alu Amah!" sentak Cagar Nyawa, ia merasa kecewa
jika pertarungan itu
terhenti, tanpa tahu siapa yang mati. Namun agaknya
Alu Amah punya rencana tersendiri.
Tanpa ucapkan kata apa pun lagi kecuali janji, "Kita pasti bertemu di lain
kesempatan!," maka Alu Amah pun sentakkan kakinya dan melesat pergi tinggalkan
pertarungannya.
"Alu Amah! Selesaikah dulu urusan pribadi kita ini!"
sentak Ki Cagar Nyawa yang ingin melepaskan pukulan
jarak jauhnya. Tapi pukulan itu tak jadi dilepaskan
karena si Alu Amah cepat berkelebat pergi dan tak
terjangkau oleh pandangan mata lagi.
"Hiiiah!"
Ki Cagar Nyawa jengkel sendiri. Pukulannya
akhirnya dilepaskan kepada sebatang pohon. Pukulan itu membuat pohon tersebut
terpotong rapi menjadi lebih
dari tiga puluh potongan dalam sekali gebrak. Kalau saja
si Alu Amah melihat jurus yang terakhir ini, Ki Cagar Nyawa berani pastikan
diri, si Alu Amah akan gentar
dan takjub melihat kehebatan dan kedahsyatan jurus
'Belut Penebar Maut' itu.
"Kurang ajar! Dia lari begitu saja! Tapi aku yakin bukan karena takut padaku dia
melarikan diri, tapi
karena ada sesuatu yang dia ketahui dan harus
dikerjakan! Ke mana larinya, aku tahu! Pasti menuju
Gua Sekat Sembilan! Ya, pasti tikus busuk itu menuju ke sana, karena dia tahu
perlambang jatuhnya bintang hijau tadi! Hmm...! Rupanya bukan aku saja yang
mengetahui perlambang dari bintang hijau yang jatuh tadi! Ada
baiknya kalau kususul dia ke Gua Sekat Sembilan dan
bikin perhitungan baru di sana!"
* * * 2 HUTAN bertanah kabut adalah tempat terdekat
dengan Gua Sekat Sembilan. Sedekat-dekatnya tempat
itu, punya waktu perjalanan setengah hari untuk
mencapai Gua Sekat Sembilan. Tanah di hutan itu
memang sering dibungkus kabut karena rembesan asap
belerang sering muncul di sela-sela bongkahan tanahnya.
Jadi bukan karena tempatnya tinggi, melainkan karena keadaan alam dari lapisan
tanah tersebut.
Kabut belerang putih menurut beberapa tokoh tua
punya khasiat menyegarkan tubuh. Barangkali, karena
itulah, Ki Candak Sedo membangun persinggahannya di
hutan kaki bukit tersebut. Mungkin karena belerang
putih berbentuk kabut itu pula yang membuat Ki Candak Sedo tetap segar dan bagus
tubuhnya walau sudah
berusia delapan puluh lima tahun.
Ki Candak Sedo, pada masanya pernah merajai dunia
persilatan untuk separo tanah Jawa. Ia bukan orang
rakus, ia bukan tokoh sesat, ia sering mengadakan
pertemuan dengan si Gila Tuak, guru dari Pendekar
Mabuk, Suto Sinting, yang namanya terdaftar di urutan paling atas sebagai tokoh
tua yang sukar ditumbangkan.
Pada masanya dulu, Ki Candak Sedo sering bertukar
ilmu 'Kaweruh Urip', yaitu sebuah ilmu pengetahuan
tentang hidup dan kehidupan dengan si Gila Tuak.
Bagi Candak Sedo, si Gila Tuak dianggap seperti
kakaknya sendiri. Dan ia mendengar kabar bahwa si Gila Tuak sudah turunkan
ilmunya kepada seorang murid
sinting yang diangkat dari bocah tanpa pusar sejak si bocah berusia delapan
tahun. (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Bocah Tanpa Pusar"). Candak Sedo pun kini telah mengangkat
satu murid sejak berusia sepuluh tahun yang bernama Karang Wesi.
Di persinggahannya yang penuh damai tanpa pernah
terjadi kericuhan itu, Ki Candak Sedo menurunkan
ilmunya kepada Karang Wesi, sebagai sarana menuju
hidup sempurna dalam penyerahan diri kepada Hyang
Widi. Karena dulu, guru dari Ki Candak Sedo pernah
berpesan kepadanya, bahwa hidupnya tidak akan
menjadi damai sebelum semua ilmu diturunkan kepada
seorang murid pilihannya. Dan bahwa hidupnya tak akan menjadi bersih, sebelum ia
bermandikan Minyak Darah
Malaikat. Menurut keterangan dari gurunya Ki Candak Sedo,
hidup bersih dan menjadi pertapa suci bisa dicapai
melalui dua tahapan itu, setelah menurunkan ilmu
seluruhnya sebagai bekal bagi pewarisnya, lalu mandi
Minyak Darah Malaikat untuk melenyapkan ilmu-ilmu
yang mengarang keras dalam jiwa raganya. Konon
menurut sang Guru, setiap manusia mempunyai kotoran
batin yang tak pernah disadari telah menjadi keras
bagaikan batu karang. Dan kotoran batin itu tidak bisa dihilangkan sebelum mandi
Minyak Darah Malaikat,
untuk kemudian melakukan semadi menyepi sebagai
langkah menuju pusat hubungan dengan Yang Maha
Kuasa. Ki Candak Sedo kini telah turunkan semua ilmunya
kepada Karang Wesi. Segala kebaikan dan hal-hal yang
bersifat putih telah diberikan kepada sang murid tercinta.
Tak heran jika Karang Wesi pun tumbuh sebagai
pemuda yang dua tahun lebih tua dari Suto Sinting, si Pendekar Mabuk, dengan
bekal ilmu sakti setingkat
dengan gurunya. Barangkali hanya ilmu pelebur kotoran batin saja yang belum
diturunkan kepada Karang Wesi,
karena ilmu itu adalah akhir dari ilmu yang akan dimiliki Ki Candak Sedo.
Karang Wesi, seorang bocah yatim-piatu dalam
peristiwa bencana alam yang ditemukan oleh Ki Candak
Sedo. Ilmu-ilmu yang diturunkan kepada Karang Wesi
dalam usia tiga puluh tahunan ini, telah membuat
Karang Wesi merasa tak pernah gentar menghadapi
angkara murka dari mana saja. Bahkan sekalipun ia
sudah mempunyai ilmu cukup tinggi, namun ia adalah
pemuda yang tak pernah merasa puas dalam menuntut
ilmu. Ia selalu ingin mendapatkan ilmu apa pun dari
gurunya, sehingga satu saat sang Guru pun terpaksa
berkata, "Karang Wesi, kalau kau ingin mendapatkan ilmu
lagi dariku, itu tak mungkin bisa. Karena semua ilmuku telah kuturunkan padamu.
Tak ada ilmu yang kumiliki
lagi yang bisa kuturunkan kepadamu kecuali ilmu hidup sejati."
"Mengapa aku tidak mendapat ilmu hidup sejati,
Eyang Guru"!" tanya Karang Wesi seakan menuntut.
"Batas usiamu belum sampai untuk memiliki ilmu
hidup sejati, karena batas pemikiranmu tidak bisa sama denganku! Kelak jika kau
sudah punya banyak
pengalaman dalam hidup, sudah punya banyak
perjalanan dalam hidup, sudah pernah merasakan hitamputihnya suatu kehidupan, maka kau akan temukan
sendiri bagaimana menggali ilmu hidup sejati!" dengan sabar dan bijaksana Ki
Candak Sedo menuturkan
penjelasan itu kepada muridnya. Lalu terdengar Karang Wesi berkata,
"Apakah setelah aku bisa miliki ilmu hidup sejati, aku akan bisa hidup selamanya
dan tak akan pernah mati,
Guru?" Ki Candak Sedo sunggingkan senyum geli, kemudian
kembali paparkan maksud ucapannya tadi,
"Hidup sejati bukan berarti hidup selamanya. Hidup sejati adalah hidup yang
penuh pengabdian dan sujud
kepada Hyang Widi Wasa. Selama ini hidup kita adalah
hidup pengabdian, baik kepada diri sendiri, kepada
sesama dan kepada Yang Maha Kuasa. Tetapi
pengabdian kepada Yang Maha Kuasa adalah
pengabdian yang harus lebih banyak kita lakukan
daripada terhadap diri sendiri dan sesama manusia.
Untuk mencapai titik tertinggi dari pengabdian kepada Yang Maha Kuasa,
diperlukan ilmu hidup sejati,
menemukan apa makna hidup dan kehidupan. Untuk
menemukan makna itu sendiri dibutuhkan satu kesucian
yang lebih putih dari busa-busa salju, yang lebih peka dari lapisan bola mata
kita. Jadi tak bisa hal itu kau terima dalam usia mudamu yang masih butuh
kehidupan dan pengabdian kepada diri sendiri!"
"Tapi aku ingin menjadi orang paling sakti, Guru!
Apakah semua Ilmu yang Guru turunkan kepadaku ini
bisa menjadikan aku sebagai manusia sakti?"
"Karang Wesi muridku!" kata Ki Candak Sedo
dengan senyum kesabarannya, "Tidak ada orang paling sakti di dunia ini. Yang
paling, sakti hanya Yang Maha Kuasa, pencipta langit dan bumi, serta seisinya!
Kita hanya bisa menjadi orang berilmu, seberapa tinggi ilmu kita, tergantung
seberapa rendah ilmu lawan kita! Jangan kamu merasa paling sakti, karena di
atasnya yang paling sakti ada yang lebih paling sakti. Di atasnya yang lebih
paling sakti ada yang sangat lebih paling sakti. Begitu
dan begitu seterusnya! Merasa tidak puas dalam
menempuh kesaktian pribadi itu tidak baik, tapi merasa tidak puas untuk berbuat
baik terhadap sesama itu cukup terpuji di mata Hyang Widi Wasa!"
Karang Wesi diam-diam merasa heran melihat
gurunya bicara sambil mengenakan pakaian
kebesarannya, yaitu pakaian serba putih, dengan rambut putih digelung ke atas,
kumis dan alis serta jenggotnya pun berwarna putih rata. Karang Wesi tahu,
kebiasaan gurunya kenakan pakaian serba putih seperti itu pasti akan melakukan satu
Pendekar Mabuk 017 Minyak Darah Malaikat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perjalanan jauh yang punya urusan penting. Maka Karang Wesi pun ajukan tanya,
"Kelihatannya Eyang Guru mau mengadakan
perjalanan jauh?"
"Benar, Muridku!"
"Kalau boleh aku tahu, ke mana Guru mau pergi"
Aku ingin mendampingi Guru!"
Ki Candak Sedo menatap muridnya dan sunggingkan
senyum kasih sayang. Lalu dengan polos ia katakan,
"Sudah waktunya aku melakukan perjalanan
terakhirku sebelum aku melakukan hidup sejati yang
paling tinggi. Tentunya kau masih ingat peristiwa
semalam, saat kau berlatih pukulan 'Angin Lahar'?"
Karang Wesi kerutkan kening, ia ingat-ingat
peristiwa semalam saat ia melakukan latihan terakhir
dari jurus pukulan 'Angin Lahar'. Pukulan itu memang
dahsyat dan mengagumkan menurut Karang Wesi.
Mula-mula ia hanya diperintahkan untuk menyalurkan
pernapasannya melalui telapak tangan berulang kali. Ia
tidak tahu apa maksud gurunya itu.
Setelah tenaga dalam bisa memantul balik dengan
sendirinya dari ujung telapak tangan ke jantung, Karang Wesi diperintahkan untuk
menguasai hawa murninya di
dalam pertengahan dada. Getaran hawa murni itu
disuruh rasakan sampai ujung kakinya. Lalu, Ki Candak Sedo perintahkan agar
getaran tersebut dikuasai dan
disalurkan melalui urat-urat nadi yang ada di
pergelangan tangan hingga terasa pergelangan tangan
mau pecah. Karang Wesi melakukan semua itu dengan pemusatan
batin cukup tinggi. Sampai akhirnya sang Guru
perintahkan untuk melepaskan getaran hawa murni itu
hingga menguasai telapak tangannya tapi jangan sampai keluar. Dan Karang Wesi
telah melakukannya walau
agak susah, sebab getaran itu seakan mendesak ingin
keluar dari telapak tangannya.
"Tahan dan biarkan menguasai setiap urat nadi
telapak tangan!" ujar Ki Candak Sedo.
Setelah melalui upaya yang susah payah, yang
membuat telapak tangan bagaikan ingin terbakar pecah, Ki Candak Sedo perintahkan
Karang Wesi untuk meraba
sebatang pohon beringin.
"Usaplah pohon itu dengan lembut!" kata Ki Candak Sedo.
Karang Wesi melakukan apa yang diperintahkan
gurunya. Tangannya mengusap pelan batang pohon
beringin itu. Pertama-tama ditempelkan dengan pelan,
lalu mengusapnya ke bawah dengan lembut. Setelah itu
terjadi suatu keajaiban yang sungguh menakjubkan.
Terdengar suara aneh seperti bara api masuk ke
dalam air kolam secara pelan-pelan. Zzzrreessss...!
Kejap berikut mata Karang Wesi terkesiap, karena ia
melihat pohon beringin yang begitu besar dengan
akarnya bergelantungan bagai rambut-rambut raksasa
itu, kini menjadi hangus seketika dari akar sampai
daunnya. Karang Wesi cepat mundurkan langkah tiga tindak. Ia
pandangi pohon yang menghitam hangus seluruhnya,
tapi belum tumbang dari tempatnya. Daun-daunnya
hitam kaku bagaikan daun arang. Ketika tertiup angin
pelan, daun-daun itu tak lagi bisa bergoyang karena
kakunya. Tapi ketika kaki Ki Candak Sedo
menendangnya dengan pelan, pohon itu rubuh dan pecah
menjadi serpihan arang.
"Ajaib sekali!" gumam Karang Wesi dengan sangat kagumnya, ia pandangi telapak
tangannya sendiri yang
ternyata masih tetap bersih dan putih.
"Itu namanya pukulan 'Angin Lahar'," kata Ki Candak Sedo. "Jika kau sering
berlatih kendalikan getar hawa murni ke telapak tanganmu, maka dengan sekali
tahan napas saja, kau bisa usap lawanmu atau pegang
tangannya, maka dalam sekejap lawanmu akan menjadi
arang keropos, seperti pohon beringin besar itu!"
"Oh, alangkah hebatnya ilmu ini, Eyang Guru!"
Karang Wesi berseri-seri tanda amat gembira hatinya.
"Hanya dalam keadaan sangat terpaksa, gunakan ilmu itu! Tapi jika belum terpaksa
sekali, hindari penggunaan
ilmu itu! Sangat berbahaya dan keji menurut
pertimbanganku setelah setua ini!"
"Baik, Guru! Aku mengerti maksud Eyang Guru!"
"Itulah sebabnya aku dijuluki oleh beberapa tokoh tua di rimba persilatan ini
sebagai Candak Sedo. Candak
artinya pegang, Sedo artinya mati! Ketika aku masih
gemar berkelana, setiap lawan yang kupegang pasti mati.
Baru kupegang atau kuajak salaman, dia sudah menjadi
hangus dan keropos seperti pohon itu! Tapi...."
Pada malam itu, ucapan Ki Candak Sedo terhenti
dengan wajah segera mendongak ke atas. Ki Candak
Sedo memandang gerakan bintang jatuh berwarna hijau
pijar bening. Karang Wesi juga pandangi langit, bahkan sempat ucapkan kata,
"Bintang timur jatuh, Guru! Indah sekali warnanya!"
"Itu bukan bintang sembarang bintang," jawab Ki Candak Sedo. "Bagi para tokoh
tua, itu suatu pertanda akan terjadinya suatu peristiwa yang sekian lama
ditunggu-tunggu."
"Peristiwa apa Guru?"
Ki Candak Sedo sedikit ragu untuk menjelaskan
kepada muridnya. Lalu, cepat-cepat ia mengalihkan
pembicaraan ke jurus 'Angin Lahar' tadi.
"Jurus 'Angin Lahar', jangan sampai kau lepaskan kepada orang tak bersalah!
Karena jika kau lepaskan
kepada orang tak bersalah, maka perbuatanmu itu adalah perbuatan keji yang tak
patut menjadi murid Candak
Sedo. Pukulan 'Angin Lahar' kuciptakan sendiri untuk
menghadapi tokoh sesat yang sulit dibunuh!"
"Ya. Aku mengerti. Guru! Semua pesan dan nasihat Guru, akan kujalankan!"
"Bagus. Karena kulihat kau sudah terlalu letih,
sebaiknya segeralah beristirahat, Karang Wesi!"
"Baik, Guru!" Karang Wesi tunjukkan sikap penurut, sebagai murid patuh yang
sangat menggembirakan hati
gurunya. Itulah peristiwa yang dikenang Karang Wesi sebelum
sang Guru melakukan perjalanannya. Bungkamnya
mulut Karang Wesi membuat sang Guru memandang
dengan senyum kebanggaan, lalu ajukan tanya pelan,
"Sudah ingatkah kau dengan peristiwa tadi malam?"
"Sudah, Guru. Tadi malam saya mempelajari ilmu
pukulan 'Angin Lahar'!"
"Bukan itu maksudku, Wesi! Kuingin kau mengingat tentang bintang jatuh warna
hijau cerah berekor panjang itu."
"O, ya! Aku ingat, Guru! Lantas, apa hubungannya dengan rencana kepergian Guru
ini?" Ki Candak Sedo mendekati muridnya yang masih
duduk, bahkan kini Candak Sedo ikut duduk di bangku
sebelahnya, lalu ucapkan kata,
"Bintang jatuh seperti itu, ada sembilan warna. Saat aku mengangkatmu menjadi
murid yang pertama kali,
terjadi pula peristiwa bintang jatuh berwarna kuning
terang. Dan itu adalah bintang yang ke tujuh!
Karang Wesi segera menjawab saat gurunya diam
sejenak, "Seingatku, aku juga pernah melihat bintang jatuh tapi siang hari,
warnanya hitam, seperti gugusan
asap yang berkelebat cepat berekor panjang, Guru!"
"Ya. Waktu itu kau berusia dua puluh tahun. Dan
bintang hitam yang jatuh di siang hari itu adalah bintang yang kedelapan.
Sebelumnya ada bintang merah, biru,
putih, ungu, jingga, dan nila. Sedangkan bintang hijau semalam itu adalah
bintang jatuh yang kesembilan."
"Apa artinya, Guru?"
"Artinya, jika sudah ada sembilan bintang dengan sembilan warnanya masing-masing
jatuh ke bumi, walau
tak sampai menyentuh permukaan bumi, itu pertanda
Gua Sekat Sembilan mulai terbuka dengan sendirinya.
Pintu gua itu tidak akan bisa dibuka dan didobrak
dengan senjata apa pun, selain menunggu jatuhnya
kesembilan bintang."
Karang Wesi sangat memperhatikan tiap ucapan Guru
karena ia sangat tertarik dengan misteri Gua Sekat
Sembilan. Lalu, ia mendesak gurunya dengan
pertanyaan. "Apa yang terjadi jika pintu Gua Sekat Sembilan
telah terbuka, Guru" Apakah akan muncul seekor ular
naga?" "Tidak," jawab Ki Candak Sedo sambil sunggingkan senyum. "Saat ini, para tokoh
tua yang tahu rahasia sembilan bintang pasti akan saling berebut untuk
temukan Gua Sekat Sembilan. Karena di dalam gua itu
terdapat Minyak Darah Malaikat!"
"Minyak Darah Malaikat..."! Maksud Guru, minyak yang bisa meleburkan kotoran di
batin kita yang selama ini telah menjadi karang pengganjal kesejatian hidup?"
"Benar! Tapi para tokoh itu bermaksud memiliki
Minyak Darah Malaikat bukan untuk sekadar
membersihkan kotoran batin, namun untuk menambah
kesaktian dirinya. Karena barang siapa mandi minyak
keramat itu, maka tubuhnya akan menjadi kebal senjata apa pun dan tak bisa
dihantam dengan ilmu tenaga
dalam setinggi apa pun!"
Karang Wesi manggut-manggut. "Ooo... begitu"
Menurut dugaanmu, mereka pasti akan berebut minyak
tersebut, Guru!"
"Benar! Tapi mereka belum tentu bisa temukan Gua Sekat Sembilan. Mereka hanya
tahu arahnya, tapi tidak tahu di mana letak gua itu secara persis."
Ki Candak Sedo melangkahkan kaki sampai di depan
gubuk persinggahannya, kemudian dari sana dia berkata sambil palingkan wajah
kepada Karang Wesi,
"Hanya akulah yang tahu letak gua itu! Sebab dulu guruku pernah bertapa di depan
pintu gua itu, dan aku pernah diajaknya ke sana! Karena itu aku memilih
tempat persinggahan di hutan ini, supaya jika saatnya tiba, pintu gua terbuka,
jarakku dengan gua itu tidaklah jauh!"
Karang Wesi bangkit dengan wajah ceria, lalu
ucapkan kata, "Kalau begitu kita berangkat sekarang ke sana, Guru!
Saya akan dampingi Guru, sampai mendapatkan Minyak
Darah Malaikat itu, Guru!"
Ki Candak Sedo kembali sunggingkan senyum
bangga terhadap kesetiaan muridnya, kemudian ia
ucapkan kata sambil mendekati Karang Wesi,
"Kesetiaan dan kepatuhanmu selama ini adalah
sesuatu yang menghibur hati tuaku, Karang Wesi!
Ternyata aku tak salah pilih murid!" sambil pundak Karang Wesi ditepuk-tepuknya.
"Guru, jangan sanjung saya nanti bisa lupa diri!"
Tawa tua dari Candak Sedo terdengar pelan.
Kemudian ia melangkah lebih dulu tinggalkan
persinggahannya. Karang Wesi segera menyusul dan
mendampingi gurunya. Langkahnya penuh semangat,
bahkan berkesan tak sabar, ingin segera sampai di Gua Sekat Sembilan.
Sambil melangkah, Candak Sedo tuturkan kata
kepada Karang Wesi,
"Genap sudah Gua Sekat Sembilan tertutup rapat tak dijamah makhluk apa pun
selama sembilan puluh tahun.
Karena jatuhnya bintang warna-warni itu hanya setiap
sepuluh tahun sekali. Gua itu ada sebelum aku lahir,
Karang Wesi!"
"Siapa yang menaruh Minyak Darah Malaikat di
dalam gua itu, Guru"' tanya Karang Wesi.
"Goa Sekat Sembilan mempunyai kekuatan gaib yaitu dapat menyerap darah setiap
pendekar sakti dari
golongan putih. Walau hanya satu tetes darah, tapi pada saat tokoh sakti dari
golongan putih mati, maka
darahnya akan terserap ke dalam gua itu. Selama
sembilan puluh tahun, gua itu menyerap satu tetes darah dari setiap pendekar
golongan putih yang mati. Maka
terkumpullah menjadi banyak. Dan konon, menurut
cerita guruku sendiri darah itu sudah bukan merah lagi warnanya, sudah bukan
amis lagi baunya. Darah itu
berubah menjadi putih bening dan berbau harum. Darah
itu ibarat zat kesaktian dari tokoh putih."
"Berarti Minyak Darah Malaikat itu adalah kumpulan zat kesaktian dari sekian
banyak zat yang ada pada diri tokoh sakti, Guru"l"
"Benar! Sebab itulah Minyak Darah Malaikat bisa
menolak senjata setajam apa pun, dan bisa menolak
kekuatan tenaga dalam setinggi apa pun jika dipakai
mandi oleh seseorang. Dan pesan guruku adalah
menurunkan ilmuku kepada seorang murid hingga
tuntas, lalu bermandi minyak itu sekujur tubuhku,
setelah itu baru aku bisa menjadi pertapa yang hanya
mengabdi kepada Hyang Widi Wasa, jauh dari duniawi,
jauh dari keramaian, jauh dari nafsu angkara murka!"
"Saya akan dampingi Guru untuk mendapatkan
minyak itu, kalau memang minyak itu adalah syarat
yang dibutuhkan oleh Guru!"
"Terima kasih atas kesetiaanmu, Karang Wesi!
Kuharap kau menjaga mulut gua selama aku masuk ke
dalam dan mengambil Minyak Darah Malaikat itu!"
"Saya turut perintah, Guru!" jawab Karang Wesi dengan tegas dan penuh kepatuhan
yang mengagumkan
buat Ki Candak Sedo.
* * * 3 PENDEKAR Mabuk tidak bisa menemukan tempat
yang disebutkan oleh Cambuk Guntur. Melacak pelarian
Cambuk Guntur dengan si Macan Bangkai pun
mengalami salah arah. Dengan sedikit kecewa Suto
akhirnya tidak mau peduli lagi terhadap keanehan kedua tokoh yang ditemuinya
pada malam purnama itu.
Tetapi ketika pagi telah berlalu, Pendekar Mabuk
menangkap suara pekik seseorang dan ledakan yang
bergemuruh. Suara itu sepertinya datang dari balik bukit.
Rasa ingin tahunya membawa Pendekar Mabuk
mendekati tempat itu. Melalui celah pepohonan rapat
mata Suto mengintai apa yang terjadi di seberang sana.
Ternyata di sana sedang terjadi pertarungan yang
membuat jantung Suto Sinting berdebar-debar antara
Pendekar Mabuk 017 Minyak Darah Malaikat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tegang dan kegirangan. Seorang nenek bungkuk
berbadan kurus sedang menebaskan tongkat
lengkungnya dari akar rotan kuning ke arah lawannya.
Nenek itu berjubah biru dengan rambut abu-abu,
berwajah kempot, mata cekung dan giginya tinggal tiga.
Usianya diperkirakan sudah lebih dari enam puluh tahun.
Tapi gerakannya, masih gesit.,
Hal yang membuat Pendekar Mabuk menjadi
berdebar girang bukan nenek tersebut, melainkan lawan si nenek itu. Lawannya
orang berjubah hitam dari atas sampai bawah berkerudung kain hitam, wajahnya
putih berbibir biru, menggenggam senjata tongkat El Maut,
yang ujungnya seperti sabit panjang. Orang berwajah
dingin itulah yang diburu Pendekar Mabuk selama ini.
Dia adalah tokoh sesat yang tidak bisa tua walau usianya sudah dua ratus tahun
lebih. Dia adalah Durmala Sanca yang lebih dikenal dengan julukan Siluman Tujuh
Nyawa. Melihat musuh utamanya sedang bertarung dengan
nenek tua itu, Pendekar Mabuk tidak langsung
menyerangnya, ia justru memperhatikan pertarungan itu dari balik pepohonan. Di
dalam hatinya, Suto Sinting
berkata, "Mungkinkah Durmala Sanca sudah mempunyai
kemajuan baru dalam ilmunya" Aku harus mempelajari
dulu sebentar dari sini! Jika aku langsung masuk ke
pertarungan, barangkali hati nenek tua itu akan kecewa karena urusannya
kucampuri! Hmmm...! Sebaiknya
kutunggu saja bagaimana akhir pertarungan itu! Tapi
yang jelas, kali ini Siluman Tujuh Nyawa tidak akan
lolos dari incaranku!"
Nenek bungkuk berbadan kurus itu terpental saat ia
melepaskan pukulan tenaga dalamnya bersinar kuning,
karena oleh manusia berkerudung hitam itu pukulan
kuningnya dihantam dengan sinar putih yang keluar dari ujung sabit panjangnya
itu. Tapi agaknya si nenek masih bersemangat dan segera bangkit tanpa cedera apa
pun. Kejap berikutnya terdengar suara Durmala Sanca berkata kepada nenek itu,
"Jangan harap kau bisa menang melawanku, Nyai
Pungkur Maut! Sebaiknya urungkan saja niatmu
membalas dendam atas kematian suamimu beberapa
puluh tahun yang lalu!"
"Aku tidak akan biarkan kau lolos lagi, Manusia iblis!
Apa pun yang terjadi, aku harus bisa membunuhmu
sekarang juga. Karena baru sekarang kita bertemu lagi setelah sekian puluh tahun
yang lalu kau membunuh
suami dan anakku di depan mataku sendiri!" kala nenek yang ternyata bernama Nyai
Pungkur Maut itu.
"Tidakkah kau sayang dengan sisa hidupmu yang
tinggal beberapa hari ini" Sebaiknya jangan kau siasiakan sisa hidupmu untuk memburuku, tapi gunakanlah
untuk menyenangkan diri sebelum kau mati!"
"Tutup mulutmu, Iblis Keparat!" bentak Nyai Pungkur Maut. "Tak ada lagi
kesenangan dalam hidupku sebelum aku bisa membalas kematian suami dan
anakku! Tak ada lagi yang lebih berharga selain
memenggal kepalamu dengan tongkatku ini! Hiaaah...!"
Nyai Pungkur Maut tampak menyentakkan
tongkatnya ke depan dengan sentakan yang cukup kuat.
Tangannya sampai lurus ke depan dan dari ujung
tongkatnya itu keluar sekelebat sinar warna merah. Sinar itu menghantam dada
Siluman Tujuh Nyawa. Wuttt...!
Zlappp...! Tapi tangan kiri Durmala Sanca yang tidak
memegang tongkat El Maut itu menghadang di depan
dada. Sinar merah itu membentur telapak tangan yang
sudah membara kunipg kemerahan itu. Duarrr...!
Meledaklah benturan sinar merahnya Nyai Pungkur
Maut dengan telapak tangan Siluman Tujuh Nyawa.
Lalu dua jari tangan itu bergerak cepat menghentak
ke depan dan keluarlah sinar merah berkelok-kelok bagai
akar serabut dari percikan api yang membara.
Zrappp...! Kumpulan sinar merah berkelok-kelok itu
menghantam dada Nyai Pungkur Maut dan tak dapat
dihindari lagi karena kecepatan loncatnya luar biasa.
Jrass...! Sinar merah itu masuk ke dalam dada dan
membuat tubuh Nyai Pungkur Maut terpental hingga
empat tombak jauhnya.
Tubuh Nyai Pungkur Maut tersandar di bawah pohon
dalam keadaan berasap. Matanya yang cekung itu
mendelik dan lehernya bergerak-gerak dengan kepala
terdongak, sepertinya sukar bernapas. Siluman Tujuh
Nyawa segera berkelebat mengayunkan tongkat
bergagang panjang yang ujungnya mempunyai sabit
lengkung panjang itu. Sabit itulah yang akan
dihantamkan ke dada Nyai Pungkur Maut.
Tetapi ketika tubuh Durmala Sanca melompat,
Pendekar Mabuk segera melepaskan pukulan jarak
jauhnya dan tepat mengenai punggung Durmala Sanca
dengan telak sekali. Wuttt...! Buhgg...!
Tubuh yang terbungkus kain hitam dari kepala
sampai kaki itu terlempar ke samping dengan sangat
kerasnya. Andai tidak ada pohon besar, maka tubuh itu akan terlempar sangat jauh
dari tempat Nyai Pungkur
Maut terkapar. Dengan gerak siluman yang cepatnya
luar biasa itu, Pendekar Mabuk melesat ke arena
pertempuran tersebut. Zlappp...!
Pendekar Mabuk segera mengambil bumbung
tuaknya dari punggung. Melihat kepala Nyai Pungkur
Maut terdongak dengan mulut ternganga mencari napas,
Suto segera mengucurkan tuaknya ke dalam mulut nenek
itu. Tuak tertelan dan asap yang mengepul dari tubuh
Nyai Pungkur Maut pun menjadi reda. Kejap berikutnya, Nyai Pungkur Maut kembali
bisa bernapas dengan lega.
Tetapi pada saat itu, Siluman Tujuh Nyawa sudah
siap melepaskan serangannya ke arah Pendekar Mabuk.
Dengan cepat Pendekar Mabuk balikkan badan dan
menghadap ke arah Durmala Sanca. Matanya
memandang tajam ketika Durmala Sanca berkata dengan
nada datar dan dingin, sedingin wajahnya yang tak
pernah tersenyum ataupun menyeringai kesakitan itu,
"Apa urusanmu mencampuri urusanku, Pendekar
Mabuk!" "Kita punya urusan pribadi yang harus segera
dituntaskan!" kata Suto sambil melangkah ke samping dan memegangi tali bumbung
tuaknya. "Dan jangan
coba-coba melarikan diri lagi kau, Durmala Sanca!"
"Aku tak pernah lari dari jiwamu! Kalau aku lari itu lantaran aku harus menunda
pertarungan kita untuk
sesaat, karena banyaknya urusan yang harus kulakukan!"
"Baik. Kuterima alasan apa pun yang kau ucapkan, Durmala Sanca! Tetapi kali ini
kau tak akan bisa lari lagi dari hadapanku! Sudah waktunya kematianmu tiba, dan
orang sesat masuk neraka!"
"Tak keberatan aku melayanimu, Suto! Tapi
minggirlah dulu, biar kuselesaikan dulu urusanku
dengan Nyai Pungkur Maut itu! Aku tak ingin seseorang menjadi gila karena tak
bisa membunuhku!"
"Urusan nenek itu akan kuwakili!"
"O, baik kalau begitu!"
Wuttt...! Tiba-tiba Durmala Sanca sentakkan telapak
tangannya ke depan, dan Suto Sinting pun juga
sentakkan telapak tangannya ke depan. Mereka saling
adu kekuatan tenaga dalam dengan badan sedikit
merendah. Tratt tratt tarr... tarr...! Brarr... tam...!
Dua sinar berkelok-kelok bagaikan petir saling
sambar di pertengahan jarak. Dari tangan Durmala Sanca keluar sinar hijau, dari
tangan Pendekar Mabuk keluar sinar merahnya. Dua sinar yang berkelok-kelok itu
bagaikan sepasang naga yang beradu saling lilit di
pertengahan jarak mereka. Loncatan bunga api dan
ledakan kecil terjadi beberapa kali.
Agaknya keduanya sama kuat. Durmala Sanca
gemetar sekujur tubuhnya, dan keadaan berdirinya
semakin merendah. Sedangkan Pendekar Mabuk masih
tampak tegak dan tegar walau tangannya itu mulai
mengucurkan keringat dan gemetar. Sinar merahnya
masih berlompatan dari telapak tangannya, menghantam
sinar hijau dari telapak tangan lawan.
Nyai Pungkur Maut merasa heran melihat penampilan
anak muda yang menggenggam tali bumbung tuak itu. Ia
merasa belum pernah mengenal anak muda yang
berwajah tampan itu. Tetapi ia sudah merasakan
kehebatan ilmunya, terutama ilmu Tuak Sakti-nya itu
yang dapat membuat tubuh Nyai Pungkur Maut menjadi
segar. Padahal menurut perkiraannya, ia akan mati
karena terkena pukulan maut dari Durmala Sanca.
Melihat keadaan Siluman Tujuh Nyawa terdesak dan
sedikit kewalahan menahan serangan tenaga dalam
Pendekar Mabuk, Nyai Pungkur Maut menggunakan
kesempatan untuk menyerang Siluman Tujuh Nyawa, ia
segera melompat dengan tongkatnya ditebaskan ke leher Siluman Tujuh Nyawa dalam
gerakan cepat. "Heeeaaah...!"
Wuttt...! Trakk! Duarrr...!
Tongkat itu ditangkis dengan ujung tongkatnya
Siluman Tujuh Nyawa, sementara tangannya masih
menahan pukulan tenaga dalam Suto. Tongkat Nyai
Pungkur Maut terpental lepas dari tangannya, dan tiba-tiba tubuhnya tersodok
bagian bawah dari tongkat El
Maut itu. Duhggg...!
"Uuhg....!" Nyai Nyai Pungkur Maut tersentak dan terpekik, tubuhnya kembali
terlempar dalam jarak antara tiga tombak.
Pendekar Mabuk segera kibaskan bumbung tuaknya
ke arah Siluman Tujuh Nyawa. Bumbung tuak yang
berkelebat itu ditangkis dengan tongkat El Maut.
Blarrr...! Ledakan dahsyat terjadi akibat benturan dua benda
tersebut dan mereka berdua sama-sama terpental. Sinar dari telapak tangan padam.
Pendekar Mabuk tersentak mundur tiga langkah, sedangkan Siluman Tujuh Nyawa
terpental ke belakang kira-kira empat tombak jauhnya, ia hampir saja jatuh
terkapar. Untung masih bisa
menggunakan tongkatnya sebagai alat penahan tubuhnya
agar tak sampai jatuh.
"Nyai," kata Suto, "Jangan ikut menyerang dulu! Biar kuhabisi nyawa si keparat
itu!" "Baiklah! Aku pun punya urusan sendiri yang harus kukerjakan sebelum orang lain
mengerjakannya!
Kuserahkan dia, Anak Muda. Bunuh dia dan jangan
biarkan lolos darimu!"
Wusss...! Rupanya Nyai Pungkur Maut benar-benar
punya urusan penting tersendiri, sehingga ia rela
menyerahkan lawannya kepada Suto. Melihat kecepatan
geraknya yang tampak terburu-buru itu, Suto dapat
menduga bahwa Nyai Pungkur Maut merasa takut
ketinggalan waktu. Dan jika bukan sesuatu yang teramat penting, tidak mungkin ia
lepaskan musuhnya yang telah membunuh suami dan anaknya itu.
Kini, di situ tinggal Suto Sinting berhadapan dengan
Durmala Sanca. Dua tokoh sama kuat dan sama berilmu
tinggi saling mengadu kesaktian. Siluman Tujuh Nyawa
bergerak sangat cepat bagai anak panah dilepaskan, ia menebas kepala Pendekar
Mabuk dengan sabit
panjangnya. Tapi, Pendekar Mabuk juga mempunyai
jurus gerak siluman yang mampu membuatnya seperti
menghilang. Gerakan cepatnya yang melebihi hembusan
badai mengamuk itu membuat Siluman Tujuh Nyawa
selalu meleset menyabetkan senjatanya.
"Sudah kubilang, kau tak akan bisa mengalahkan aku, Pendekar Mabuk! Kau bukan
lawanku! Mestinya kau
melawan anak buahku, Suto!"
"Anak buahmu sudah kubabat habis semua! Tinggal
kamu yang belum kulenyapkan!" kata Suto masih
dengan penuh keberanian.
Dalam jarak empat tombak itu, Siluman Tujuh
Nyawa segera memutar-mutar tongkatnya di atas kepala.
Wukkk... wuukkk wukkk...! Lalu lompatan sinar biru
bagaikan petir itu menyambar tubuh Pendekar Mabuk.
Clappp...! Blarrr...!
Pendekar Mabuk bersalto ke atas dua kali. Wuttt...!
Dengan begitu sinar biru petir itu mengenai tempat
kosong. Dan kini Pendekar Mabuk pun ganti memutarmutarkan bumbung tuaknya di atas kepala. Wungngng...
wungng... wungngng...! Dua sinar ungu melesat dari
putaran bumbung tuak tersebut.
Clap... clapp...! Blarr...! Blarrr....!
Satu sinar ungu bisa dihindari Siluman Tujuh Nyawa,
tapi yang satu hanya sempat ditangkis dengan kilatan
sinar putih dari ujung tongkatnya. Akibat benturan sinar putih itu, tubuh
Siluman Tujuh Nyawa terpental terbang, bagaikan daun kering dihempaskan badai.
Cukup jauh ia terpental, sehingga Suto Sinting segera memburunya
dengan berlari cepat. Ilmu gerak siluman-nya digunakan.
Sehingga sebelum tubuh Siluman Tujuh Nyawa
mendarat, ia sudah berada di belakang orang
berkerudung hitam itu. Brukk...! Siluman Tujuh Nyawa
jatuh terduduk dan cepat berdiri. Tapi ternyata Suto
sudah ada di belakangnya dan cepat sodokkan bumbung
tuaknya ke punggung dengan kuat. Baahggg...!
"Eeehgg...!" Sodokan bumbung bertenaga dalam cukup hebat membuat tubuh Siluman
Tujuh Nyawa terhempas ke depan dengan darah menyembur dari
mulutnya. Keadaan tubuh yang terhempas itu hampir
sama cepatnya dengan yang tadi, sehingga Pendekar
Mabuk kembali gunakan gerak silumannya dengan
melesat cepat melebihi gerakan anak panah. Zlapp!
Tahu-tahu Pendekar Mabuk sudah ada di depan
Siluman Tujuh Nyawa yang jatuh berlutut. Kaki
Pendekar Mabuk bertenaga dalam tinggi itu
dihempaskan ke depan menendang wajah lawan.
Wuttt...! Blakkk...! Terdongak kepala Siluman Tujuh
Nyawa, terlempar kembali tubuh itu.
Darah kembali tersembur dari mulut Siluman Tujuh
Nyawa. Pendekar Mabuk mengejarnya. Tapi tiba-tiba
tubuh lawannya itu menghilang dengan menggerakkan
Pendekar Mabuk 017 Minyak Darah Malaikat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tangannya bagai membanting sesuatu di tanah dan
letupan kecil pun terjadi saat itu juga. Blupp...! Asap tebal membungkusnya.
Ketika asap itu hilang, tubuh
Siluman Tujuh Nyawa itu telah lenyap dari pandangan
mata Suto Sinting.
"Jahanam! Jangan lari kau! Hadapi aku!" teriak Pendekar Mabuk dengan mata
memandang ke sana-kemari. Dan tiba-tiba pandangan matanya tertuju pada
seraut wajah kurus, tulang-tulangnya bertonjolan, ia
seorang lelaki berpakaian hitam, mengenakah ikat kepala merah dengan rambutnya
yang putih rata. Kumisnya
juga berwarna-putih, serupa dengan jenggotnya yang
panjang, ia membawa tongkat pula sebagai pemandu,
langkahnya yang sudah terbungkuk-bungkuk dan
gemetaran jika berjalan. Usianya sekitar hampir seratus tahun. Matanya sipit,
seakan sudah tak mampu lagi
untuk dibuka kelopaknya.
Kakek tua yang kulitnya sudah keriting dan tinggal
tulang dibungkus kulit, itu berjalan mau melintasi
Pendekar Mabuk. Tentu saja mata Suto menjadi
memandang penuh keheranan. "Orang ini agaknya orang sakti!" katanya dalam hati,
sebab memang tahu-tahu dia muncul di situ dan memandangi Suto dalam langkahnya
yang terhuyung-huyung itu.
Bahkan ketika ia sudah berada dalam jarak dekat,
kakek tua itu segera menyapa Pendekar Mabuk dengan
suaranya yang gemetar,
"Mau cari burung ya, Nak?"
"Burung"!"
"Atau... mau cari madu hutan?"
"Tidak! Saya tidak cari burung atau madu hutan,
Kek!" "Kok bawa-bawa bumbung begitu?"
"Ini tempat tuak, Kek!"
"Ooo... kamu jualan tuak, ya?"
Pendekar Mabuk tersenyum setelah menghembuskan
napas panjang, ia terpaksa melayani orang tua renta itu, karena merasa iba
melihat keadaan serenta itu berjalan sendirian dengan susah payah.
"Saya bukan jualan tuak, Kek. Saya memang senang minum tuak! Jadi ke mana-mana
saya membawa bumbung tempat tuak ini!"
"Ooo...!" kakek itu manggut-manggut. "Maaf saja, ya" Maklum Kakek sudah tua,
sudah tidak bisa
membedakan mana penjual tuak, dan mana
peminumnya! He he he...!"
Suto Sinting pun ikut tertawa walau tidak terlalu
keras. Kemudian, Suto Sinting bertanya kepada kakek
itu, "Kakek mAu ke mana" Sudah jalannya susah kok
bepergian"'
"Aku mau cari kekasih!" jawabnya polos, seperti tidak merasa ganjil terhadap
perbandingan usianya. Itu yang membuat Pendekar Mabuk akhirnya terkikik geli
sendiri. "Sudah tua kok mau cari kekasih, Kek?"
"Habis semasa mudanya aku sibuk tarung ke sanasini!" "O, kakek bekas pendekar?"
"Ya. Dulu, sebelum usiaku dua ratus tahun lebih
seperti sekarang ini!"
"Hah..."! Jadi usia kakek sudah dua ratus tahun
lebih"' "Ya. Tapi semasa mudaku, aku menjadi pendekar
yang gagah seperti kamu, tapi lebih sakti dari kamu!"
"Sekarang apa masih sakti, Kek?" pancing Suto yang tertarik dengan percakapan
itu. "O, masih! Masih sakti! Benda apapun yang
kupegang bisa dipakai untuk membunuh lawan! Seperti
bumbung tuakmu itu, kalau aku yang memegangnya bisa
menjadi sebuah pedang pusaka yang amat hebat!"
"Begitukah?"
"Ya! Kalau tidak percaya, coba kupinjam sebentar bumbung tuakmu itu! Kau akan
melihat sendiri
hasilnya!"
Lalu, Pendekar mabuk menyerahkan bumbung
tuaknya kepada sang kakek. Setelah bumbung tuak
diterima oleh sang kakek, tiba-tiba kakek itu bergerak cepat. Berlari
meninggalkan Pendekar Mabuk dengan
langkah tak selemah tadi. Suto terkejut dan segera
mengejarnya. "Hei, Kek...! Mau dibawa ke mana bumbung tuakku
itu!" "Tanpa bumbung ini kau tidak mempunyai kekuatan, Suto!"
"Hah..."! Suaranya seperti suara Siluman Tujuh
Nyawa" Celaka! Berarti dia jelmaan Siluman Tujuh
Nyawa!" Zlappp...! Pendekar Mabuk kembali gunakan gerak
silumannya yang begitu cepatnya hingga tak bisa terlihat oleh mata orang biasa.
Tahu-tahu dia sudah menghadang di depan langkah sang kakek, dan pada saat itu
sang kakek sudah berubah menjadi Siluman Tujuh Nyawa.
"Hiaat...!"
Pendekar Mabuk hentakkan kedua tangannya dan
melesatlah dua sinar merah dan biru ke dada Siluman
Tujuh Nyawa. Blarrr...! Meledaklah sinar yang
menghantam dada itu. Bumbung tuak terpental jatuh di
tanah. Suto segera melompat dan meraihnya.
Blabb...! Kembali asap putih mengepul membungkus
tubuh Siluman Tujuh Nyawa. Pendekar Mabuk tidak
bisa memandang dengan jelas keadaan di dalam kepulan
asap tebal itu. Tapi secara untung-untungan saja ia
lepaskan kembali pukulan badai yang mampu
menghembuskan angin kencang dari telapak tangannya.
Wuttt...! Wosssss...!
Kabut berupa asap tebal itu lenyap seketika, Tapi
Siluman Tujuh Nyawa tidak ada di situ. Hanya saja,
mata Suto sempat melihat sosok bayangan hitam lari
mendaki bukit di seberang jauh sana.
"Setan kurap! Dia kabur ke bukit itu! Akan kukejar dia!"
Zlappp...! Pendekar Mabuk pun mengejar lawannya
kembali dengan geram kemarahan atas dirinya yang
hampir saja tertipu dan kehilangan bumbung tuaknya.
* * * 4 LETAK Gua Sekat Sembilan ada di balik kerimbunan
tanaman rambat yang melekat pada dinding tebing tak
seberapa tinggi. Di depan gua itu mempunyai tanah datar kira-kira dua puluh
langkah lebarnya dan tiga puluh
langkah panjang ke depannya, lewat dari itu adalah
jurang yang amat dalam. Mirip sebuah jurang tanpa
dasar. Di tanah datar bertanaman rumput pendek itu terdapat
banyak pohon menjulang tinggi, menyerupai tanaman
pohon pinus yang mempunyai cabang dan dahan besarbesar. Jarak dahan satu dengan yang lainnya jauh-jauh.
Ada juga pohon sejenis mahoni yang tumbuh di situ
dengan daunnya yang berwarna kuning rata itu.
Pohon jati merah adalah sebagai ciri atau tanda
adanya Gua Sekat Sembilan. Hanya ada satu pohon jati
berdaun merah menyala itu. Konon, guru dari Ki Candak Sedo yang menanam pohon
tersebut ketika pintu gua
belum tertutup, ketika baru satu bintang yang jatuh ke bumi, yaitu bintang yang
berwarna merah.
Ki Candak Sedo diam sebentar di bawah pohon jati
berdaun merah terang itu. Agaknya ia sempat
mengenang tanaman itu kala ia datang bersama gurunya
ke situ, di mana tanaman pohon jati merah masih belum setinggi dan sebesar
sekarang. Ia sempat berkata kepada muridnya,
"Di sini, banyak tanaman aneh yang langka terdapat di hutan lainnya. Seperti
pohon beringin biru yang ada di sebelah sana!"
Karang Wesi memandang ke arah yang ditunjuk
gurunya. Ternyata memang benar, di sebelah sana
terdapat pohon beringin biru dari daun sampai kulit
kayunya. Bahkan Karang Wesi juga melihat pohon
kenari kuning seluruh daun dan batangnya. Tak heran
jika hutan di situ disimpulkan sebagai hutan hias yang punya keindahan
tersendiri. "Sebenarnya pemandangan di sini menyenangkan,
Guru!" "Ya. Tapi lebih menyenangkan kalau kita berada di dalam Gua Sekat Sembilan itu."
Sambil berkata begitu, Ki Candak Sedo menunjuk ke
satu arah yang diikuti pandangan mata muridnya.
Karang Wesi melihat sebuah mulut gua yang tak
seberapa tinggi dan tak seberapa lebar. Tingginya hanya dua tombak lebih
sedikit, lebarnya tak sampai dua
tombak. Sebuah lempengan batu seperti cadas putih
melekat di samping mulut gua dalam keadaan berlumut.
Lempengan batu itulah yang menurut Ki Candak Sedo
adalah pintu penutup gua.
"Batu ini tadi malam bergeser membuka sendiri,"
tambah Ki Candak Sedo. "Tak seorang pun bisa melihat pergeseran batu ini saat
membuka pintu gua. Batu ini
akan bergeser menutup sendiri apabila telah satu
purnama dalam keadaan membuka begini."
Karang Wesi manggut-manggut. Ia segera pandangi
keadaan di dalam gua yang gelap itu. Sepertinya sebuah lorong yang sempit dan
Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 7 Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 Karya Marshall Sumpah Palapa 15
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama