Pendekar Mabuk 062 Misteri Malaikat Palsu Bagian 1
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
1 SEMILIR angin pegunungan di siang hari memang
mirip racun pengantar tidur. Pemuda tampan bercelana putih lusuh dengan baju
coklat tak berlengan semula hanya beristirahat dari perjalanannya, ia duduk di
rerumputan, bersandar pada pohon berbatang besar yang mempunyai akar pipih.
Dedaunan yang menaunginya
membuat suasana teduh menyegarkan. Pemuda tampan
berambut lurus sepanjang pundak itu sengaja duduk
melonjor sambil menyanding bumbung bambu tempat
tuak. Pemuda itu tak lain adalah Suto Sinting, si
Pendekar Mabuk, murid dari tokoh sakti tertinggi: Gila Tuak dan Bidadari Jalang.
Keteduhan yang nyaman bersama hembusan angin
semilir itulah yang membuat Suto Sinting tertidur tanpa
disengaja. Mungkin karena ia mimpi bertemu bidadari mandi, maka ia tidur dengan
nyenyak sekali. Suara
dengkurnya terdengar tipis samar-samar bagai gemerisik suara ilalang.
Kalau saja tak ada suara mengikik geli, mungkin Suto Sinting masih tertidur
dengan nyenyak. Tapi karena ia mendengar suara mengikik geli, maka kesadarannya
pun pulih kembali, ia terbangun dengan sedikit
menggeragap. Betapa terkejutnya Pandekar Mabuk begitu membuka
mata, ternyata di depannya sudah berdiri seorang gadis memegang pedang yang
diacungkan ke dadanya. Jika
pedang itu ditekan sedikit saja, maka akan menembus dada tepat di bagian
jantung. Tentu saja Suto Sinting tak ingin jantungnya menjadi bocor gara-gara
ditembus pedang runcing. Karenanya ia tak mau banyak bergerak dan tak mau lakukan
perlawanan apa pun. Tapi ia sadar bahwa dirinya telah terancam maut di ujung
pedang si gadis berjubah biru tua tanpa lengan.
"Hik, hik, hik, hik...!" Gadis itu tertawa lagi dengan wajah melengos dan mata
melirik ke arah Suto Sinting!
Yang dilirik hanya bengong saja, merasa heran
namun juga merasa kagum melihat kecantikan si gadis berjubah biru. Rambut gadis
itu meriap sepundak lewat sedikit, ia mengenakan ikat kepala kain merah yang
simpulnya membentuk bunga mawar. Pakaian dalamnya
hanya kutang kuning dan celana kuning dililit kain
merah. Dadanya kelihatan sekal walau tak begitu
montok, namun cukup menggetarkan hati seorang lelaki.
"Mmm... mengapa... mengapa kau tertawa, Nona?"
tanya Suto Sinting sedikit menggeragap karena
kebingungan, ia tidak memperhatikan ujung pedang
yang mengarah ke jantungnya, tapi memperhatikan
wajah gadis yang berdiri di depannya. Kepalanya sedikit mendongak, sehingga
mulutnya tampak melongo mirip
lubang belut. "Apakah kau tak menyadari keadaan dirimu saat
ini"!"
Mendengar ucapan gadis itu, Suto Sinting menjadi
tambah bingung. Dahinya berkerut dengan pandangan
mata semakin tajam.
"Apa maksudmu?" tanya Suto Sinting tetap
mendongak. Gadis itu menahan tawa, kemudian berkata dengan
nada dipaksakan untuk tegas dan dibuat agar berkesan galak.
"Kau yang bernama Suto Sinting, bukan"!"
"Benar. Kau sendiri bernama siapa?"
"Hmmm... namaku Payung Serambi. Kau tak perlu
banyak tahu tentang siapa diriku. Kau hanya perlu
menjawab; Ingin berumur panjang atau pendek?"
"Apakah kau dewa pemberi umur?"
"Jangan banyak tanya!" bentak Payung Serambi sambil menekan ujung pedang,
membuat Suto Sinting
berdesir hatinya, karena keruncingan ujung pedang itu terasa menekan kulit
dadanya. Mau tak mau ia segera menjawab dengan kikuk.
"Hmmm... anu... ya, tentu saja aku ingin umur
panjang, Nona Cantik!"
"Hari ini aku menjadi dewa bagi kelestarian hidupmu, Pendekar Mabuk. Mati dan
hidupmu ada di ujung
pedangku."
"Apakah aku sedang bermimpi?" gumam Suto
Sinting. "Anggap saja ini sebuah mimpi! Tetapi jika kau tak mau menjawab pertanyaanku
dengan benar, kau tidak
akan bisa lepas dari mimpi lagi. Kau akan tidur selama-lamanya alias mati!"
"Apa yang ingin kau tanyakan?" ujar Suto Sinting setelah hatinya berkata, "Gadis
ini tidak main-main, ia benar-benar mengancamku."
"Pendekar Mabuk, kau kenal dengan Nini Kalong?"
"Tentu saja aku kenal. Hubunganku dengan Nini
Kalong cukup baik."
"Jika begitu, kau tahu di mana tempat tinggal Nini Kalong?"
"O, tentu saja aku tahu. Nini Kalong tinggal di Hutan Rawa Kotek."
"Aku tahu soal itu!" bentak Payung Serambi dengan mata mendelik. "Tapi di mana
letak Hutan Rawa Kotek itu"!"
"Di sebelah selatan, di balik Bukit Kembar," jawab Suto Sinting polos-polos
saja. "Apakah kau sedang menguji pengetahuanku tentang Hutan Rawa Kotek?"
Gadis itu tak menghiraukan pertanyaan Pendekar
Mabuk, ia hanya menggumam lirih dan manggutmanggut tipis. Matanya memandang angkuh pada Suto
Sinting. Sebentar-sebentar mata itu melirik ke bagian bawah Suto, membuat murid
si Gila Tuak itu semakin
terheran heran.
"Kurasa kau telah menjawab pertanyaanku dengan benar, ilmu 'Tembus Batin'-ku
mengenali kejujuranmu.
Sayang kita harus berpisah sekarang, Pendekar Mabuk."
"Tunggu dulu, apakah maksudmu bertanya tentang Nini Kalong?"
"Sampai jumpa di lain kesempatan, Pendekar Cabul!"
Weees...! Gadis itu memutar tubuhnya dengan
pedang terangkat ke atas. Kecepatan putarannya
membuat pedangnya menjadi seperti payung. Dalam
sekejap saja gadis itu telah menghilang bagaikan terbang menembus langit siang.
Suto Sinting semakin
terperangah kaget dan heran melihat jurus yang
digunakan Payung Serambi.
Tetapi lebih kaget lagi setelah Suto Sinting
menyadari keadaan dirinya, ia sempat terpekik dan
menjadi sangat tegang setelah memperhatikan ke
bawah, ternyata saat itu ia dalam keadaan tanpa busana selembar benang pun.
Telanjang polos bagai bayi baru lahir.
"Celaka..."!!" wajah tampan itu menjadi sangat tegang, matanya membelalak lebar,
kulit wajahnya menjadi pucat pasi.
"Pantas gadis itu dari tadi menertawakan diriku.
Pantas dia sering melirik ke bawah. Pantas pula
kurasakan dingin ujung pedangnya di kulitku. Rupanya sejak tadi aku seperti bayi
baru lahir. Ooh.."! Perbuatan
siapa ini" Si Payung Serambi itukah yang
melakukannya" Lalu... lalu di mana pakaianku" Aduh, celaka tujuh belas turunan
kalau begini!"
Suto Sinting menggerutu tiada berkesudahan sambil
mencari-cari pakaiannya. Namun di sekitar tempat itu tak ada selembar pakaian
pun. Suto Sinting penasaran, segera memeriksa setiap semak-semak, siapa tahu
pakaiannya disembunyikan di semak-semak.
Gusrak, grusuk, zrrak, zrraak, gusrak...!
"Mati aku! Pakaianku tak ada di mana-mana. Aduh, tubuhku jadi gatal semua
terkena daun ilalang. Ya,
ampun... kalau sudah begini aku harus bagaimana"!"
Gerutuannya sering bernada sedih. Rasa dongkolnya
bercampur dengan rasa duka. Ia berjalan ke sana-sini sambil menutupi 'jimat
lelaki'-nya menggunakan
bumbung tuak. Akibatnya ia seperti berjalan
menunggang bambu tempat tuak, mirip anak kecil main kuda-kudaan.
Jantung Suto Sinting berdebar-debar, karena ia takut dilihat orang, terutama
seorang perempuan, ia akan malu sekali jika ada yang melihatnya dalam keadaan
polos begitu. Seandainya tadi ia sadar akan keadaan dirinya, tentu ia sangat
malu berhadapan dengan gadis cantik itu.
Bahkan mungkin ia tak akan bisa bicara karena sibuk menyembunyikan 'jimatnya.
Tiba-tiba pandangan mata Suto Sinting melihat
sekelebat bayangan berlari di sela-sela pepohonan
seberang. Kecepatan pandang mengikuti gerak bayangan itu membuat Suto Sinting
tahu siapa orang yang sedang
berlari cepat itu.
"Gawat! itu si Pakis Ratu..."! Oh, dia berlari membelok ke arah sini"! Celaka!
Aku harus segera
bersembunyi jika begini!"
Wuuut...! Guzraaak...!
Suto Sinting sentakkan kaki dan tubuhnya terlempar
masuk ke semak-semak. Dalam keadaan polos dan
bersembunyi di semak-semak, mata Suto Sinting
mengintip pelarian Pakis Ratu, murid Nyai Kidung Laras yang pernah diselamatkan
dari kekejaman Dewa
Tengkorak, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Setan Rawa Bangkai"). Tapi ternyata semak-semak itu tidak aman bagi tubuh yang
polos tanpa selembar
benang pun. "Wah, kacau sekali! Sial betul nasibku hari ini! Aduh, aduh... banyak semutnya!
Maling kurap betul keadaan ini!" maki Pendekar Mabuk dengan sibuk
menyingkirkan semut-semut yang merayap di kakinya.
Dalam keadaan jongkok sambil pegangi bumbung tuak, Suto Sinting sangat
kebingungan mengatasi semut-semut yang merayap dari telapak tangan naik ke betis
dan terus naik ke mana-mana. Hati sang Pendekar Mabuk merasa
sedih-sedih jengkel.
Sementara itu, di seberang sana ia sempat melihat
Pakis Ratu terhenti pelariannya, karena berhasil disusul oleh seorang lelaki
berkumis lebat. Lelaki berwajah menyeramkan itu tiba-tiba menghadang langkah
Pakis Ratu dengan memotong jalan.
"Kau tak mungkin lolos lagi, Tikus Cantik!
Heeeah...!"
Orang berwajah seram yang badannya besar itu
melayangkan pukulannya ke wajah Pakis Ratu.
Wuuut...! Pakis Ratu menghindar ke samping dengan
tangan berkelebat menangkis pukulan lawan. Tetapi
tanpa diduga-duga kaki lawan segera melayang cepat
dan tepat mengenai pinggang gadis yang memakai rompi serta celana hijau muda.
Beehg...! "Uuhg...!" Pakis Ratu terjungkal ke samping.
Tendangan itu bertenaga dalam cukup besar sehingga
Pakis Ratu bagai terlempar lima langkah jauhnya dari tempat semula. Brruuk...!
Lelaki berpakaian hitam dengan rambut sepanjang
pundak diikat kain biru itu menerjang Pakis Ratu lagi pada saat gadis itu
berusaha untuk bangkit. Wuuut...!
Brruss...! "Aauh...!" Pakis Ratu memekik sambil tubuhnya terpental empat langkah ke
belakang. Mulutnya sempat terlihat semburkan darah segar karena rupanya dada
Pakis Ratu terkena tendangan kuat dari si baju hitam itu.
Pendekar Mabuk salah tingkah sendiri di dalam
semak-semak itu. Bahkan ia hampir saja terpekik kaget sebelum Pakis Ratu terkena
terjangan lawannya.
"Aduh! Sialan!" tangannya segera menyambar 'jimat lelaki' dan memencet seekor
semut yang menggigit
tempat terlarang itu. Pendekar Mabuk tak sadar telah menginjak sarang semut,
sehingga semut-semut itu
marah. "Rupanya di sini banyak semut perempuan!"
gerutunya dengan dongkol sekali. "Kurang ajar betul!
Hih, huh, matilah kau! Aduuh...! Ada lagi yang
menggigit bagian belakangku. Brengsek!"
Akibat sibuk dengan semut-semut, akhirnya Suto
Sinting tak bisa memusatkan perhatiannya kepada Pakis Ratu. Ketika ia memandang
kembali ke arah pertarungan itu, Pakis Ratu telah terkapar bersandar ke batang
pohon dalam keadaan berlumur darah. Gadis itu tampak sedang sekarat karena
dihajar habis oleh orang berkumis lebat.
"Kau telah mengecewakan hatiku, Pakis Ratu!
Kecewa berat aku padamu, sehingga terpaksa aku harus membunuhmu demi menebus
kekecewaanku ini!"
Srrang...! Sebilah golok tajam berkilauan dicabut dari tempatnya. Golok itu
segera diangkat dan hendak
diayunkan untuk memenggal leher Pakis Ratu.
Suto Sinting menahan diri dari serangan semut-semut tersebut, ia lepaskan jurus
'Pukulan Gegana' melalui dua jari tangannya yang disentakkan ke depan. Wuuut...!
Dari kedua jari yang merapat itu melesatlah sinar patah-patah warna kuning.
Clap, clap, clap...!
Dess...! Sinar kuning patah-patah itu tepat kenai dada orang berkumis tebal.
Golok yang sudah terangkat
terlempar bersama tubuh orang tersebut. Kejap
berikutnya, orang itu terkapar tak berdaya. Tubuhnya kepulkan asap samar-samar,
dan menjadi kering karena terbakar kekuatan tenaga dalam dari jurus 'Pukulan
Gegana' tadi. Pakaiannya pun menjadi abu, rambutnya juga menjadi abu, tapi
nyawanya tidak menjadi abu,
melainkan pergi meninggalkan raga tanpa pamit.
"Oh, kelewatan! Seharusnya aku tak perlu
menggunakan 'Pukulan Gegana', sehingga tak sampai
menewaskan orang itu. Ah, tapi apa boleh buat,
semuanya sudah telanjur. Habis semut-semut ini bikin aku panik dan tak bisa
berpikir tenang."
Zlaaap...! Suto Sinting segera keluar dari semaksemak celaka itu. Kedua kakinya menghentak-hentak di tanah untuk merontokkan
semut-semut yang
bergelayutan di tempat terlarang. Tangannya mengibas-ngibas membersihkan badan
dari sarang semut.
Mulutnya keluarkan gerutuan yang mirip orang
menggumam. "Dasar semut-semut perempuan! Melihat makanan
empuk sedikit main sergap saja! Aduh, bentol semua badanku kalau begini dan,
oooh..." Kok iniku jadi besar sekali" Hiii... mengerikan sekali. Digigit semut
bisa jadi sebesar ini?" Suto Sinting segera menggaruk-garuk jempol kakinya yang
menjadi besar karena gigitan semut itu. Ia buru-buru meneguk tuaknya, dan dalam
sekejap saja rasa gatal serta nyeri karena gigitan semut itu hilang. Bentolbentol di badannya pun mengempis. Kini tubuh Suto Sinting menjadi mulus kembali.
Tapi karena perhatiannya tertuju pada Pakis Ratu
yang sedang sekarat dengan napas tersendat-sendat, ia jadi lupa pada keadaan
Pendekar Mabuk 062 Misteri Malaikat Palsu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dirinya yang polos tanpa pakaian.
"Celaka! Kalau tak segera kuberi tuak dia bisa mati menyedihkan!" pikir Suto
Sinting, kemudian ia segera dekati Pakis Ratu yang mulutnya ternganga karena
susah menarik napas.
Cuuur...! Tuak dituangkan ke mulut itu. Sebagian ada yang tertelan, sebagian
lagi ada yang tumpah ke kanan-kiri. Pakis Ratu tersedak, lalu terbatuk-batuk
sambil menggeliat miring, ia gelagapan seperti orang tenggelam karena menelan
tuak tanpa disadari.
Tapi akibatnya, luka-luka di tubuh Pakis Ratu segera mengering. Dalam kejap
berikutnya, seluruh luka dan rasa sakitnya hilang akibat menelan tuak saktinya
Pendekar Mabuk. Bahkan darah yang semula tampak
berlumuran di tubuhnya cepat mengering, lalu hilang bagaikan menguap karena
angin. Gadis itu menjadi segar dan sehat tanpa noda darah dan luka sedikit pun.
"Ah, syukurlah aku belum terlambat. Dia tertolong,"
pikir Suto Sinting dengan girang. Tapi tiba-tiba ia terkejut karena sadar
keadaan tubuhnya yang polos.
"Wah, bisa kacau kalau aku diam saja di sini" Dia akah melihat keadaanku tanpa
pakaian dan... dan... cari selamat dulu, ah!"
Weess...! Suto Sinting melompat ke balik semak yang lainnya sebelum Pakis Ratu
melihatnya. Brruss...! Suto Sinting menghilang di balik semak.
Tapi hatinya segera menggerutu sambil menutup hidung.
"Konyol! Siapa yang buang hajat di sini"! Uuh...
baunya!" Pakis Ratu sudah berdiri dan memandang ke sanasini. Terdengar suaranya yang bicara sendiri dalam
kebingungan. "Sepertinya aku tadi melihat wajah Suto Sinting"!
Tapi di mana dia sekarang"! Oh... itu si Kebo Wirang
sudah tak bernyawa" Pasti ada orang yang membantuku.
Seingatku, tadi aku dihajar oleh Kebo Wirang dan... dan entah bagaimana lagi.
Hanya saja...." Pakis Ratu memeriksa keadaan tubuhnya.
"Oh, sekarang aku dalam keadaan tanpa luka"
Hmmm... mulutku terasa agak getir, seperti ada aroma tuak yang... yang.... Ah,
kurasa aku memang menelan tuak saktinya Suto Sinting. Tapi di mana pemuda
tampan itu"!"
Lalu Pakis Ratu mencoba berseru memanggilnya,
"Sutoo...! Suto Sinting! Sutooo..."!"
Suto Sinting diam saja menutup mulut dan hidungnya
sambil bergeser sedikit demi sedikit menjauhi setumpuk kotoran manusia yang
tepat ada di depannya.
* * * 2 SEORANG perempuan berusia sekitar lima puluh
tahun muncul setelah Pakis Ratu kebingungan mencari Suto Sinting. Perempuan yang
baru saja muncul itu
masih tampak cantik dan badannya cukup sekal, ia
mengenakan jubah ungu, rambut disanggul, dan tampak berkharisma. Penampilannya
cukup kalem, tapi
berwibawa, ia adalah Nyai Kidung Laras, guru si Pakis Ratu.
"Guru...!" sapa Pakis Ratu begitu melihat kedatangan gurunya.
Nyai Pakis Ratu memandang sekeliling sebentar,
kemudian pandangannya tertuju pada mayat Kebo
Wirang yang telah hangus dan mengering itu. "Apakah itu mayat Kebo Wirang?"
"Benar, Guru! Senjata golok yang tak jauh darinya adalah senjata milik Kebo
Wirang. Tak salah lagi, itu pasti mayat si Kebo Wirang."
"Hmmm... siapa yang lakukan ini" Kau sendiri?"
"Bukan, Guru! Kurasa... kurasa Pendekar Mabuk yang lakukan pada saat aku tak
sadar karena terluka parah oleh serangan Kebo Wirang."
"Pendekar Mabuk..."! Hmmm... di mana dia
sekarang"!"
"Itu dia, Guru... aku sendiri dari tadi sedang mencari-carinya. Mulutku beraroma
tuak, pasti ia menuang tuak ke dalam mulutku pada saat itu terluka parah. Hanya
saja, dari tadi aku tidak menemukan batang hidungnya."
Diam-diam Suto Sinting berkata dalam hatinya
dengan cemas, "Wah, gurunya Pakis Ratu datang.
Gawat! Lebih malu lagi kalau sampai Nyai Kidung
Laras mengetahui keadaanku seperti ini. Tapi... tapi sebenarnya aku butuh
bantuan mereka. Hanya saja,
bagaimana caraku bisa menemui mereka dan meminta
bantuan tentang pakaian"!"
Nyai Kidung Laras terdengar bicara kepada
muridnya, "Pakis Ratu, apakah kau tetap mampu mempertahankan kesucianmu dari
kebuasan si Kebo
Wirang"!"
"Masih, Guru! Aku masih suci, belum ternoda sedikit
pun olehnya! "Syukurlah kalau begitu. Sebaiknya kita lekas pulang ke Lembah Hijau."
"Tapi bagaimana dengan kakak si Kebo Wirang yang ingin perkosa Guru itu?"
"Kebo Jamak sudah kuhabisi riwayatnya. Karenanya aku segera mengejarmu kemari,
karena kulihat kau
berlari dikejar Kebo Wirang. Ah, sudahlah! Kita lupakan saja sepak terjang
kakak-beradik yang memang doyan
memperkosa perempuan itu! Kita punya urusan yang
lebih penting dari masalah ini. Kita bicarakan di Lembah Hijau saja!"
"Baik, Guru!" jawab Pakis Ratu dengan patuh. Kedua perempuan itu segera pergi
meninggalkan mayat Kebo
Wirang. Kini tinggal Suto Sinting sendirian di balik semak memikirkan jalan
keluar bagi kesulitannya
sendiri. "Kurasa aku harus minta bantuan kepada Nyai
Kidung Laras atau Pakis Ratu! Seharusnya aku tadi
bicara tanpa menampakkan diri dan menceritakan
keadaanku yang terpaksa bersembunyi ini. Ah,
bodohnya aku ini! Tadi ada kesempatan kenapa tidak dimanfaatkan" Kalau begitu,
aku harus menghadang
langkah mereka dan bicara di balik persembunyian!"
Weess...! Suto Sinting pun melesat mengejar Nyai
Kidung Laras dan Pakis Ratu. Ia sengaja menerabas
tempat-tempat rimbun agar tidak semata-mata tampak
polos. Akibatnya, beberapa duri menggores kulit
tubuhnya dan membuatnya menggerutu tiada habisnya.
Tapi dengan sebentar-sebentar meneguk tuak, rasa sakit dan luka goresan itu
lenyap sendiri.
Dengan menggunakan jurus 'Gerak Siluman'
Pendekar Mabuk mampu bergerak cepat sekali, melebihi kecepatan anak panah yang
terlepas dari busurnya. Hal itu dilakukan agar ia bisa mendahului langkah Nyai
Kidung Laras dan Pakis Ratu. Tetapi di luar dugaan, kedua perempuan itu membelok
ke arah kiri saat hendak mencapai tanggul sungai, sedangkan Suto Sinting
bergerak lurus dan segera mencapai tepian sungai.
Melihat dua batu setinggi kuda berjajar merapat, Suto Sinting segera bersembunyi
di sana. Celah dua batu itu dapat digunakan untuk mengintai kedatangan Nyai
Kidung Laras dan Pakis Ratu, juga bisa dipakai sebagai lubang suaranya nanti, ia
tidak tahu kalau kedua
perempuan tersebut tidak akan melewati sungai itu.
Setelah menunggu beberapa saat lamanya, Pendekar
Mabuk baru menyadari bahwa ia salah hadang. Dalam
hatinya segera menggerutu dengan wajah bersungutsungut. "Sial! Rupanya mereka tidak lewat daerah ini! Kalau begitu aku harus segera
mengejar mereka lewat jalan yang ke kiri tadi."
Baru saja Suto Sinting ingin tinggalkan tempat itu, tiba-tiba ia melihat sesuatu
yang mengambang hanyut di perairan sungai. Matanya menatap tajam ke arah benda
yang hanyut itu.
"Oh, sesosok mayat..."! Mayat seorang perempuan"!"
Rasa ingin tahu membuat Pendekar Mabuk akhirnya
nekat keluar dari persembunyian dan segera menyambar sesosok mayat perempuan
berkebaya dan berkain batik coklat itu. Weess...! Mayat agak gemuk itu dibawanya
ke daratan, di balik gugusan batu setinggi pundaknya, ia memperhatikan mayat
tersebut beberapa saai lamanya.
"Aku tidak mengenali perempuan ini," katanya dalam hati. "Tapi sepertinya ia
korban pembunuhan. Lehernya terluka, tampak bekas sabetan senjata tajam. Hmmm...
kasihan perempuan ini. Siapa yang membunuhnya"
Padahal menurutku ia masih tergolong muda. Usianya
sekitar tiga puluh tahun, wajahnya manis, berkesan lugu.
Sepertinya ia seorang gadis desa yang polos. Tapi
mengapa ia mati dengan cara menyedihkan begini?"
Kebaya merah jambu yang dikenakan mayat itu
masih utuh. Juga kain batik yang membalut tubuh sekal mayat perempuan itu pun
masih utuh. Timbul gagasan di benak Suto Sinting untuk memanfaatkan pakaian si
mayat untuk menutupi tubuhnya sendiri.
"Bukan aku merampok barang milik orang lain, tapi ini semua kulakukan agar aku
bebas bergerak dan tidak dipandang jorok di mata orang. Yah... sayang dia pakai
kebaya. Tapi tak apalah. Biar kebaya yang penting aku tidak polos. Toh pakaian
ini sudah tidak dibutuhkan oleh raga pemiliknya."
Dengan sangat terpaksa sekali, Pendekar Mabuk
melepasi pakaian mayat perempuan itu. Kain batik
coklat muda dililitkan menutup bagian bawahnya,
sedangkan kebayanya dipakai tanpa dikancingkan.
Untung ukuran tubuh mayat itu pas dengan badan Suto
Sinting, sehingga kebaya itu tak terlalu sesak
dipakainya. "Wah... tak berani terlalu lama memandang mayat itu tanpa busana. Bisa merinding
sendiri bulu kudukku,"
ujarnya pelan sambil melengos, tak mau pandangi mayat perempuan yang polos itu.
Sebagai imbalan atas 'diberikannya' pakaian si mayat, Suto Sinting memakamkan
mayat itu di bawah tanggul
sungai. Selesai memakamkan ia mencuci tangan dan
kakinya di tepian sungai. Air sungai yang bening ini memantulkan bayangan
dirinya ba gai sedang berdiri di bawah sebuah cermin.
"Ha, ha, ha...!" Suto Sinting tertawa geli melihat bayangannya di permukaan air
sungai. "Ini benar-benar konyol! Pendekar Mabuk menjadi banci, pakaian kebaya
dan kain. Ha, ha, ha...! Mudah-mudahan aku tidak
bertemu Guru, supaya Guru tidak marah melihat aku
berpakaian perempuan begini. Tapi, aih... cantik juga aku kalau begini, ya"
Apalagi kalau ditambah sepasang giwang, hmmm... pasti aku akan jadi rebutan para
lelaki, dan iih... amit-amit!"
Baru sekarang Suto Sinting tertawa geli hingga
terpingkal-pingkal. Apalagi ia mencoba berlenggaklenggok seperti seorang perempuan, ia semakin
terpingkal-pingkal sendiri hingga perutnya terasa sakit.
"Ya, ampun... mimpi apa aku semalam kok sekarang berubah menjadi Banci Mabuk"!
Rasa-rasanya dengan
pakaian seperti ini aku tak pantas bergelar Pendekar Mabuk. Sangat lucu dan bisa
bikin orang tak percaya
bahwa aku adalah Pendekar Mabuk."
Sambil menghabiskan tawa ia geleng-geleng kepala
memandangi bayangannya di permukaan air sungai.
Bahkan ketika ia membasuh tangan dan kakinya, tawa
itu masih sesekali mengguncang badannya mirip
perempuan genit.
Rupanya di atas tanggul ada sepasang mata yang
memperhatikan keadaan Suto Sinting. Sepasang mata
yang bersembunyi itu memergoki Suto dalam keadaan
sedang bercermin di permukaan air sungai, ia tidak tahu bahwa pakaian basah itu
milik mayat yang sudah
dimakamkan oleh Suto Sinting.
"Ya, ampuuun .."! Mengapa dia sekarang menjadi begitu" Terkena racun apa dia,
hingga menjadi gila
begitu" Oh, kasihan sekali! Agaknya seorang lawan
telah berhasil melukainya dengan racun dan
membuatnya ingin tampil menjadi wanita!"
Sepasang mata itu milik seorang gadis berusia sekitar dua puluh tiga tahun,
mengenakan jubah kuning gading, pinjung, dan celananya yang warna hijau tua.
Rambut panjangnya disanggul sebagian, sisanya dilepas meriap sepanjang punggung,
ia menyelipkan pedang di
pinggangnya yang berhias rumbai-rumbai benang merah pada gagangnya.
Gadis itu tak lain adalah Kinanti, orang kepercayaan Ratu Jiwandani, Penguasa
Lembah Birawa. Ia mengenal Suto Sinting dalam perkara menghadapi ancaman maut
dari Demit Lanang, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Manusia Pelebur
Raga"). Hati Kinanti menjadi iba melihat Suto Sinting
berpakaian kebaya merah jambu, ia menyangka Suto
Sinting tidak waras lagi, sehingga ia bermaksud
menemui pemuda tampan yang kini mirip seorang banci itu.
"Sebaiknya ia kubawa ke Lembah Birawa biar
disembuhkan oleh Gusti Ratu Jiwandani, sebab jika
benar ia terkena racun yang mempengaruhi otak dan
jalan pikirannya, kurasa Gusti Ratu Jiwandani sanggup mengobatinya, karena
beliau mahir dalam pengobatan
racun yang berpengaruh pada jalan pikiran manusia,"
ujar Kinanti dalam hatinya.
Tetapi baru saja ia ingin bergerak keluar dari
persembunyian, tiba-tiba seberkas sinar merah berbentuk bintang melesat
menghantam punggungnya dengan
telak. Claap...! Deess...!
"Aaahg...!" Kinanti sempat memekik keras sambil tubuhnya terjungkal dan
menggelinding menuruni tebing tanggul.
Kejadian itu membuat Pendekar Mabuk terperanjat
dan cepat lemparkan pandangan mata ke arah Kinanti, ia pun melebarkan mata dan
terkejut sekali melihat Kinanti terkulai di bawah tanggul dalam keadaan
tengkurap. Punggungnya berlubang hitam sebesar tutup botol.
Lubang itu mengepulkan asap samar-samar yang
membuat Suto Sinting menjadi cemas.
Zlaaap...! Dalam sekejap saja Suto Sinting sudah
berada di samping Kinanti, ia mencoba membalikkan
tubuh Kinanti yang wajahnya telah memucat bagaikan
mayat, matanya terbeliak memutih dengan mulut
menganga kesulitan bernapas.
"Kinanti..."! Kinanti, apa yang terjadi pada dirimu"!
Katakan, Kinanti! Siapa yang melukaimu"!"
Tentu saja Kinanti tak bisa ucapkan sepatah kata pun.
Nyawanya sudah di ubun-ubun. Sebentar lagi ia akan
hembuskan napas yang terakhir.
Melihat keadaan Kinanti separah itu, Pendekar
Mabuk tidak mau banyak tanya lagi. Ia cepat-cepat
menuangkan tuaknya ke mulut Kinanti. Sebagian tuak
tertelan gadis itu, sebagian lagi tumpah meluber ke mana-mana. Pendekar Mabuk
tidak pedulikan tuak yang tumpah, yang penting ia cukup lega melihat Kinanti
tersedak dan menjadi terbatuk-batuk karena tuak itu tertelan bersama tarikan
napas pendeknya.
Claap...! Seberkas sinar merah berbentuk bintang
datang lagi. Kali ini yang menjadi sasaran adalah
punggung Suto Sinting. Namun pada waktu itu Suto
Sinting kebetulan sedang berpaling memandang ke atas tanggul, ingin mengetahui
siapa orang yang menyerang Kinanti. Tepat ia menengok ke belakang, sinar merah
itu datang ke arahnya.
Dengan cepat bumbung tuaknya berkelebat
Pendekar Mabuk 062 Misteri Malaikat Palsu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghadang sinar merah itu. Kakinya berlutut satu, dan salah satu tangannya
mengembang ke samping atas.
Deeeb...! Sinar merah itu menghantam bumbung
tuak, bukan meledak atau menghancurkan bambu
bumbung, tapi memantul balik ke arah pemiliknya yang bersembunyi dari balik
pohon kapuk randu liar. Sinar itu
menjadi lebih besar dari aslinya dan gerakannya lebih cepat lagi. Pemiliknya
terperanjat melihat sinar
merahnya kembali arah,
lalu menghilang dari
persembunyiannya.
Blegaaarr...! Pohon kapuk randu liar itu menjadi sasaran sinar
merah tersebut. Pohon itu hancur seketika pada bagian tengahnya. Sisa bagian
atasnya tumbang ke arah
berlawanan dengan Suto Sinting, sedangkan sisa bagian bawahnya tetap berdiri
dalam keadaan berserat-serat dan mengepulkan asap.
Pendekar Mabuk tidak pedulikan lagi keadaan
Kinanti, karena gadis itu sudah menelan tuak saktinya, ia segera mengejar orang
yang berkelebat dari balik pohon kapuk randu tadi. Zlaaap...!
Jleeg...! Wreeek...!
Suto Sinting berdiri di atas gundukan tanah setinggi lutut. Orang yang melarikan
diri itu tercekat seketika dan hentikan langkahnya melihat Suto Sinting ada di
depannya. Tapi hati Suto Sinting menjadi gelisah, karena kain yang membalut tubuhnya
sebatas lutut lewat sedikit itu telah robek akibat gerakan cepatnya tadi. Kain
itu robek sampai sebatas paha, membuat paha itu sering terbuka apabila robekan
kain menyingkap karena angin.
Orang yang terhadang langkahnya itu cepat-cepat
lemparkan senjata rahasia berbentuk piringan bergerigi mirip bunga mawar dari
logam putih mengkilat. Zing, zing...!
Dua senjata rahasia itu segera ditangkis oleh Suto
Sinting menggunakan kibasan bumbung tuaknya, sambil ia lakukan lompatan ke
samping dengan gesit. Wuut...!
Trang, traang...!
Kedua senjata rahasia itu terpental ke arah lain bagai ditangkis dengan besi
baja. Pendekar Mabuk cepat
lakukan serangan dengan menjejakkan kakinya pada
sebuah batu sebesar anak sapi. Deess...! Wuuut...!
Tubuhnya melayang cepat menerjang lawannya. Tapi
sang lawan pun tak kalah lincah, mampu menghindar
dengan gerakan bersalto plik-plak ke belakang dua kali.
Wut, wut...! Punggung Suto Sinting menjadi ada di depannya.
Maka orang itu pun menghantamkan telapak tangannya
dengan kuat ke punggung Suto Sinting. Wuuut...!
Beehg...! "Uuuhg...!" Suto Sinting terjungkal ke depan berguling dua kali sambil masih
tetap pegangi bumbung tuaknya. Begitu gerakan tergulingnya berhenti, secepat
kilat tubuhnya melenting di udara dan melepaskan
sentilan yang dinamakan jurus 'Jari Guntur' itu.
Des, des. .! Sentilan bertenaga dalam cukup besar mirip
tendangan kuda jantan itu tepat kenai dada lawan.
Beehg, beehg! Bruus...! Orang itu terpental dan jatuh di semak-semak pinggir tanggul. Hampir saja ia
tercebur ke sungai kalau tidak ada semak-semak berakar alot itu. Dengan menahan
rasa sakit, orang itu segera bangkit dan melompat ke depan sedikit terbungkuk. Sesaat
kemudian ia tegakkan badan sambil tarik napas dalam-dalam.
Pendekar Mabuk sengaja tidak lakukan serangan lagi, karena ia sibuk menenggak
tuak untuk obati luka dalam akibat pukulan berbahaya pada punggungnya tadi.
Ketika ia selesai menenggak tuaknya, sang lawan selesai menarik napas dan mereka
saling beradu pandang mata.
"Siapa dia sebenarnya?" pikir Suto Sinting karena lawannya kali ini terbungkus
kain hitam. Alas kakinya dari kulit hitam, dililit tali hitam sampai ke betis,
sehingga celana hitamnya ikut terikat rapi. Ia
mengenakan sabuk seperti angkin warna hitam. Bajunya lengan panjang warna hitam
tanpa belahan dada.
Tangannya mengenakan sarung tangan dari kain tebal
warna hitam. Kepalanya juga dibungkus kain hitam dan hanya terlihat bagian
matanya saja. Itu pun hanya
sedikit, sehingga wajah orang berselubung kain hitam itu tidak bisa dikenali.
Sebuah pedang samurai ada di punggungnya,
melintang panjang dan mempunyai gagang serta sarung pedang warna hitam pula.
Dari jarak tujuh langkah, Suto Sinting tak bisa mengenali apakah lawannya itu
seorang lelaki atau seorang perempuan. Tapi melihat kecepatan geraknya dan
pukulannya yang berat sekali tadi, Suto Sinting punya dugaan sementara bahwa
lawannya adalah seorang lelaki bertubuh kekar.
"Siapa kau sebenarnya, Sobat!" tanya Suto Sinting dengan mencoba sedikit ramah.
Orang berpakaian hitam itu tidak menjawab. Tapi
kakinya tiba-tiba menyentak hingga tubuhnya
melambung ke atas. Sebatang pohon dijejaknya, lalu
tubuh pun melesat ke arah lain. Pohon berikutnya dijejak kembali, dees...!
Wuuut...! Ia melayang bagaikan terbang dan mendaratkan kakinya di gundukan tanah
tempat Suto Sinting menghadangnya tadi.
Jleeg...! Tangannya berkelebat secara tiba-tiba seperti
membanting sesuatu. Buuusss...! Segumpal asap tebal muncul membungkus tubuhnya.
Suto Sinting segera
bergerak ingin menerjang orang itu. Tetapi ketika asap menipis, ternyata tak ada
bayangan apa-apa di dalam asap tersebut. Suto Sinting hentikan langkah, tak jadi
menerjang gumpalan asap tadi.
"Hilang..."!." gumamnya lirih dengan bingung.
Matanya pun segera memandang nanar ke sana-sini.
Tapi sang lawan tidak kelihatan bayangannya. Orang itu lenyap bagai ditelan bumi
bersama kepulan asap tebal tadi.
"Kurang ajar! Lari ke mana dia"!" geram Suto Sinting sambil masih mencoba
mencari ke sana-sini.
* * * 3 LUKA di punggung Kinanti telah merapat, bahkan
kain pakaiannya yang berlubang pun menjadi rapat
kembali seperti sediakala. Keadaan Kinanti sangat segar,
sehat, seperti tak pernah mengalami luka apa pun. Ia bertemu Suto Sinting pada
saat Suto Sinting mencari lawannya sampai ke tepian sungai.
Hal pertama yang dilakukan Kinanti adalah
memandangi Suto Sinting dengan kesan ragu-ragu.
Pendekar Mabuk paham arti pandangan mata itu, maka
ia pun segera jelaskan tentang pakaian kebaya dan kain yang dikenakannya itu.
"Terus terang, ini pakaian sesosok mayat yang
kutemukan hanyut di sungai. Entah mayat siapa, aku tak kenal dan memang kami
tidak punya kesempatan untuk
berkenalan."
Kinanti sunggingkan senyum kecil sekali. Lalu ia
ajukan tanya dengan mata masih memperhatikan Suto
Sinting dari atas ke bawah berulang-ulang.
"Jadi, siapa orang yang mencuri pakaianmu pada saat kau tidur?"
Pendekar Mabuk angkat bahu. "Mana aku tahu"
Kalau aku tahu sudah kukejar orang itu dan kupaksa
mengembalikan pakaianku."
"Tunggu dulu...," sergah Kinanti ketika Pendekar Mabuk Ingin bicara lagi. "Kau
bilang pakaian itu adalah pakaian mayat wanita?"
"Benar. Ada apa?" Suto berkerut dahi.
"Apakah mayat itu agak gemuk dan wajahnya
berkesan wanita yang polos?"
"Benar. Apakah kau kenal dengan perempuan itu?"
"Hmmm...," Kinanti manggut-manggut. "Kurasa ia pelayannya Ki Lurah Gontang dari
Desa Rejamukki.
Kebetulan tadi pagi aku melewati desa itu, dan desa itu sedang mengalami musibah
pada malam harinya.
Seluruh keluarga Ki Lurah Gontang dibantai habis oleh seorang pemuda yang tak
diketahui siapa pelakunya.
Tapi ada seorang penduduk desa yang melihat sekelebat orang berpakaian serba
hitam keluar dari dapur rumah Ki Lurah Gontang sambil memanggul sesosok tubuh.
Dan ternyata dari seluruh penghuni rumah itu hanya
mayat si pelayan yang tidak diketemukan penduduk
desa. Mungkin mayat itu dibuang ke sungai karena
alasan tertentu bagi si pelaku."
"Orang berpakaian hitam"! Berarti orang yang
bertarung denganku tadi?"
"Apakah kau tadi bertarung dengan...."
"Orang itu mengenakan pakaian serba hitam.
Kepalanya terbungkus kain hitam. Hanya bagian mata
saja yang kelihatan. Kurasa orang itulah yang
menyerangmu hingga kau jatuh dari atas tanggul."
Kinanti diam sejenak, dahinya berkerut dengan
pandangan mata tertuju ke rerumputan. Suto Sinting
sempatkan diri menenggak tuaknya dua tegukan.
Kejap berikut terdengar suara Kinanti bagai bicara
dengan diri sendiri,
"Kalau begitu, si Malaikat Malam itu juga yang membantai keluarga Ki Lurah
Gontang dan yang
menyerangku...?" ,
"Malaikat Malam..."! Siapa Malaikat Malam itu"!"
Suto Sinting mulai diusik oleh rasa ingin tahunya, ia mendekat selangkah lagi.
Wajah mereka saling
berhadapan sama tingginya, pandangan mata saling
beradu sama tajamnya. Jarak mereka hanya satu langkah kurang, dan Kinanti maupun
Suto Sinting dapat rasakan hembusan napas lawan jenisnya. Tapi tak ada kemesraan
dalam benak mereka. Yang terbayang di benak mereka
hanya sosok manusia terbungkus kain serba hitam.
"Malaikat Malam adalah orang yang membunuh
Eyang Poci Dewa...."
"Apa..."!" Suto Sinting terpekik kaget sebelum Kinanti selesaikan kata-katanya.
"Eyang Poci Dewa terbunuh"! Maksudmu.... Poci Dewa yang punya murid
bernama Rangga Pura itu"!"
"Benar! Justru aku baru saja pulang dari pemakaman jenazah Eyang Poci Dewa,
sebagai wakil dari Lembah Birawa!"
Pendekar Mabuk terbungkam tegang bagaikan patung
bernyawa, ia tak mendengar kabar tentang kematian
Eyang Poci Dewa yang dikenalnya dalam peristiwa
fitnah Ayunda, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Pertarungan Tanpa Ajal"). Karenanya ia sangat kaget ketika mendengar
Eyang Poci Dewa telah dibunuh oleh seseorang.
"Sebelum Eyang Poci Dewa hembuskan napas
terakhir," kata Kinanti,"... ia sempat bertemu dengan saudara seperguruannya,
yaitu Ki Buyut Gerang.
Sayangnya, Ki Buyut Gerang tak sempat menolongnya.
Tapi beliau sempat mendengar pesan terakhir dari Eyang Poci Dewa, agar Ki Buyut
Gerang lindungi dirinya
sendiri dari ancaman maut Malaikat Malam. Berarti
yang membunuh Eyang Poci Dewa adalah Malaikat
Malam." "Apakah... apakah Ki Buyut Gerang mengetahui
siapa si Malaikat Malam itu"!"
"Aku tak banyak tanya, sebab beliau sedang
berkabung. Tapi Ki Buyut Gerang sempat berkata
kepada muridnya sendiri: Cumbu Bayangan, bahwa
Malaikat Malam pasti orang berilmu tinggi."
"Kalau begitu aku harus menemui Ki Buyut Gerang untuk menanyakan siapa Maiaikat
Malam itu sebenarnya."
"Aku sempat bicara dengan sahabat tuamu yang
mengaku mengenalmu sangat akrab."
"Siapa orang itu?"
"Si Tua Bangka alias Ki Sanupati."
"O, ya...! Beliau memang sahabat tuaku yang cukup akrab. Lalu, apa kata beliau?"
"Malaikat Malam dulu memang pernah muncul dan
menggegerkan rimba persilatan, ia ksatria dari
Pegunungan Sojiyama, pembela kebenaran dan pembela
rakyat yang lemah, ia selalu tampil dengan pakaian
hitam yang membungkus dirinya sampai hanya tinggal
bagian mata saja. Tapi itu cerita masa lalu, beberapa puluh tahun yang silam.
Sekarang ksatria yang berjuluk Malaikat Malam sudah tiada. Gugur dalam
pertempuran di tengah samudera. Jika sekarang muncul lagi orang yang mengaku
Malaikat Malam, berarti orang itu adalah Malaikat Malam yang palsu."
"Pegunungan Sojiyama..."!" Suto Sinting
menggumam bagai teringat sesuatu. "Rasa-rasanya ada tokoh yang lebih tahu
tentang Pegunungan Sojiyama.
Dia memang berguru di Pegunungan Sojiyama. Kurasa
dia tahu banyak tentang ksatria Malaikat Malam itu."
Dalam benak Suto Sinting terbayang seraut wajah tua yang sering terbatuk-batuk.
Tokoh tua ini mempunyai kesaktian tersendiri. Suara batuknya bisa beraneka
ragam, dan tiap ragam suara batuknya dapat
menghadirkan kekuatan tenaga dalam yang mampu
melumpuhkan lawan. Tokoh tua yang pernah berguru di Pegunungan Sojiyama itu tak
lain adalah Batuk
Maragam, termasuk tokoh aliran putih yang menjadi
sahabat si Gila Tuak, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode : "Peri Sendang Keramat").
Kinanti segera berkata, "Kusarankan sebelum temui Ki Buyut Gerang, sebaiknya
carilah dulu pakaian yang layak untukmu! Jangan mengenakan pakaian perempuan
begini, nanti orang sangka kau sudah tak waras lagi, seperti dugaanku semula!"
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum sedikit
masam. Lalu ia terbayang wajah cantik si Payung
Serambi. "Gadis itu harus kutemukan! Pasti gadis itu yang telah menelanjangiku seenaknya
dan menyimpan pakaianku entah di mana."
"Gadis mana"! Kau habis bercinta dengan seorang pelacur?"
"Husy! Sembarangan saja kau bicara. Payung
Serambi bukan seorang pelacur dan aku tidak bercinta
dengannya...," lalu Suto Sinting menceritakan tentang Payung Serambi yang
menodongkan pedangnya ketika
Suto bangun tidur.
"Kalau begitu, ia pasti ada di Hutan Rawa Kotek!"
"Kurasa memang begitu," sambil Suto Sinting anggukkan kepala.
"Kejarlah dia ke sana sebelum pergi dan sulit kau temukan kembali!"
"Ya, aku memang harus ke Hutan Rawa Kotek untuk temui si Payung Serambi.
Tetapi... apakah kau tak ingin ikut denganku?"
Kinanti sunggingkan senyum tipis. "Aku malu
berjalan dengan seorang banci."
"Ah, kau...!" Pendekar Mabuk cemberut dan tampak kecewa dengan ucapan itu.
Wajahnya sedikit merah
karena menahan rasa malu. Tapi akhirnya ia tertawa juga setelah Kinanti melengos
sambil sembunyikan tawa
Pendekar Mabuk 062 Misteri Malaikat Palsu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
candanya. "Sayang sekali aku hanya diutus oleh sang Ratu untuk mewakili orang-orang Lembah
Birawa dalam menghadiri pemakaman Eyang Poci Dewa, sahabat baik
sang Ratu itu. Kalau aku terlalu lama meninggalkan
Lembah Birawa, pasti akan membuat sang Ratu cemas."
Pendekar Mabuk hembuskan napas panjang-panjang.
"Baiklah jika kau tak ingin ikut. Sampaikan salamku kepada Ratu Jiwandani. Tapi
jangan ceritakan
keadaanku yang memakai pakaian perempuan ini!"
Kinanti hanya tertawa kecil, nyaris tak terdengar.
Tapi dari sorot matanya yang memandang ke arah Suto
itu tampak sekali hatinya riang dan merasa iba juga terhadap nasib si tampan
Suto yang kehilangan pakaian itu. Suto Sinting pun akhirnya pergi lebih dulu,
sementara Kinanti masih memandangi dengan segumpal
kekaguman tetap tersimpan dalam lubuk hatinya.
Jurus 'Gerak Siluman' digunakan lagi dalam
perjalanan menuju Hutan Rawa Kotek. Sepanjang
perjalanan benak Suto Sinting berkecamuk terus
memikirkan siapa lawannya yang terbungkus kain hitam itu. Benarkah dia si
Malaikat Malam" Apa alasannya
menyerang Poci Dewa hingga menewaskan tokoh tua
itu" Setidaknya orang yang mengaku si Malaikat Malam itu mempunyai ilmu lebih
tinggi dari Poci Dewa. Kinanti adalah lawan yang bukan tandingannya. Pantas
Kinanti tadi hampir mati karena jurus yang digunakan si
Malaikat Malam itu adalah jurus berbahaya yang sukar dihindari dan ditangkis
oleh orang seperti Kinanti.
"Sialnya, mengapa dalam menghadapi masalah ini aku harus kehilangan pakaian,
sehingga aku bisa
terlambat mengetahui siapa si Malaikat Malam itu,"
katanya dengan suara pelan. "Sebenarnya siapa yang mencuri pakaianku" Apakah si
Payung Serambi yang
melakukannya" Dengan cara bagaimana ia melucuti
pakaianku sampai aku tak terbangun sedikit pun dari tidurku" Jika benar si
Payung Serambi yang lakukan, berarti ia termasuk orang berilmu tinggi juga! O,
ya... ada masalah apa ia mencari Nini Kalong sampai
mengancam nyawaku segala" Apakah ia bermusuhan
dengan Nini Kalong" Seandainya...."
Tiba-tiba ucapan Suto Sinting terhenti, demikian pula langkahnya yang cepat itu
terpaksa dihentikan secara mendadak. Karena tak jauh di depannya ia melihat
sebuah pertarungan yang menggunakan senjata pedang.
Hal yang mengejutkan Suto Sinting adalah sosok
manusia berpakaian serba hitam, sedang menebas
pedang samurainya ke arah seorang gadis berusia dua puluh tiga tahun berjubah
tanpa lengan warna hijau, pakaian dalam berwarna kuning tipis, rambut depan
diponi sedangkan rambut belakang meriap sebatas
punggung. Pendekar Mabuk kenal betul dengan gadis
yang menjadi Perwira Pulau Sangon itu. Dia tak lain adalah Dewi Cintani, murid
Pendeta Kembang Ayu,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Dendam Selir Malam").
Dewi Cintani yang dulu berbentuk manusia setengah
hewan karena kutukan Selir Dewani itu tampak beringas sekali menyerang lawannya.
Pedangnya menyala biru
membara dan ditebaskan dengan bertubi-tubi ke arah
orang berpakaian serba hitam itu. Tebasan itu
menghadirkan sinar biru yang mengikuti gerak pedang, dan sinar biru tersebut
ternyata memancarkan hawa
panas hingga beberapa daun yang berada di dekatnya
menjadi layu dan keriput.
Wung, wuung, wuung, wuung...!
Lawannya tampak tenang sekali, menghindar dengan
lincah tanpa kesan terdesak oleh serangan Dewi Cintani.
Samurai panjang tetap digenggam dengan dua tangan,
dan matanya yang tampak bagaikan sebaris itu
mengikuti tiap gerakan pedang lawan.
Trang, trang... tring...!
Pedang beradu dengan kuat, memercikkan cahaya
merah yang berasap putih kusam.
Tiba-tiba si Malaikat Malam bergerak cepat memutar
tubuhnya dan weess...! Lenyap sekejap, tahu-tahu
muncul di belakang Dewi Cintani. Samurai itu
disabetkan dari kiri ke kanan. Beet...! Crass...!
"Aaahh...!" Dewi Cintani terpekik sambil tubuhnya mengejang. Pinggangnya robek
besar karena tebasan
samurai yang agaknya sukar dipatahkan itu.
Clap, clap, clap, clap...!
Suto Sinting lepaskan jurus 'Pukulan Gegana' seperti saat ia menyelamatkan Pakis
Ratu dari ancaman maut Kebo Wirang. Sinar kuning patah-patah itu menghantam
pinggang si Malaikat Malam. Tetapi agaknya Malaikat Malam bukan lawan yang mudah
dilukai. Hawa panas
yang mendekatinya segera disadari, dan tanpa banyak perhitungan ia sentakkan
kaki ke tanah dan tubuhnya melambung tinggi. Samurainya diacungkan ke bawah,
dan dari ujung samurai itu keluar selarik sinar merah mirip baja membara.
Claaap...! Duar, duar, duaaar...!
Ledakan beruntun terjadi akibat benturan sinar
kuning patah-patah dengan sinar merah dari ujung
samurai. Tetapi ledakan itu membuat si Malaikat Malam jatuh terpelanting hingga
samurainya hampir terlepas dari tangannya.
Zlaaap...! Suto Sinting tiba di tempat pertarungan
dengan mata memandang penuh kegeraman, karena
teringat cerita Kinanti tentang kematlan si Poci Dewa.
Orang berpakaian serba hitam itu mundur dua tindak, tapi masih menggenggam
samurai dan pasang kuda-kuda untuk lakukan penyerangan.
Perhatian Suto Sinting sempat lengah karena
terpancing suara rintihan kecil dari Dewi Cintani yang terluka pinggang cukup
dalam. Pada saat Pendekar
Mabuk perhatikan Dewi Cintani itulah, sebuah benda
melayang ke arahnya. Ziing...!
Senjata rahasia berbentuk bunga mawar dilemparkan
oleh Malaikat Malam. Suto Sinting terkejut dan berusaha menangkisnya dengan
bumbung tuak. Tetapi
tangkisannya meleset, sehingga lempengan logam
bergerigi itu menancap di pangkal lengan kirinya.
Jrrub...! "Aaahg...!" Suto Sinting terpekik dan mundur selangkah dengan sedikit
membungkuk. Seketika itu si Malaikat Malam membanting sesuatu
ke tanah. Buuusss...! Asap tebal membungkus dirinya dan kejap berikutnya sosok
manusia berpakaian serba hitam itu lenyap dari pandangan mata. Asap putih itu
membubung tinggi dan hilang terhembus angin bersama hilangnya si Malaikat Malam.
Suto Sinting gemetar karena senjata rahasia lawan
yang mengenai pangkal lengannya itu ternyata beracun ganas. Sekujur tubuh Suto
menjadi panas dan lemas.
Pandangan matanya mulai berkunang-kunang sehingga
ia tak dapat melihat keadaan Dewi Cintani dengan jelas.
Dengan sisa tenaga yang ada, ia mencabut senjata
rahasia itu dari lengannya. Seet...! Cuuur...! Darah mengucur dari luka. Darah
itu bukan berwarna merah
segar, melainkan merah kehitam-hitaman penuh racun.
* * * 4 SEBUAH gua tak seberapa besar menjadi tempat
mereka beristirahat. Justru Dewi Cintani yang memapah Suto Sinting mencari
tempat aman dan menemukan gua
tersebut. Luka beracun yang diderita Suto Sinting sudah
dilawan dengan menenggak tuak beberapa teguk. Tapi
luka itu belum juga sembuh, hanya rasa sakitnya sedikit berkurang, pandangan
mata sedikit jelas, tenaganya agak lumayan walau masih tergolong lemah. Dalam
keadaan yang serba sedikit itu, Pendekar Mabuk paksakan diri dekati Dewi Cintani. Ia
berhasil menuang tuaknya ke mulut Dewi Cintani walau dengan berceceran ke manamana. Luka di pinggang Dewi Cintani menjadi kering dan
merapat, akhirnya hilang bersama lenyapnya ceceran
darah di sekitar luka. Dewi Cintani menjadi sehat, tetapi Suto Sinting masih
menderita sakit dan lemah. Karena itulah Dewi Cintani bisa memapah Suto Sinting
mencari tempat aman sampai akhirnya mereka temukan gua
tersebut ketika matahari hampir tenggelam.
Dewi Cintani pula yang membuat api unggun kecil
untuk penerangan di dalam gua tersebut. Sedangkan
Suto Sinting berbaring empat langkah dari gugusan api unggun itu. Lukanya memang
sudah tidak mengucurkan
darah, namun belum mengering dan masih tampak
terkuak mengerikan.
"Mulanya kupikir kau bukan Pendekar Mabuk,
karena kau mengenakan kebaya dan kain," ujar Dewi Cintani yang bersimpuh di
samping Suto Sinting. "Tapi setelah kesadaranku pulih betul, aku baru yakin
bahwa kau adalah Pendekar Mabuk yang pernah selamatkan
aku dari kutukan Selir Malam."
Gadis cantik berlesung pipit manis sekali itu
sunggingkan senyum kecil yang tak bisa ditahan lagi.
Suto Sinting menahan rasa malu dan membiarkan
kancing kebayanya terlepas hingga dada bidangnya
terlihat jelas. Gadis itu mengusap dada bidang tersebut dengan lembut,
membersihkan tanah yang mengotori
kulit dada kekar bercampur keringat.
"Lukaku bisa hilang dalam waktu yang tergolong cepat, aku pun menjadi sehat,
bahkan kurasakan badanku lebih segar dari sebelumnya. Tetapi mengapa lukamu
sendiri tak bisa sembuh, Suto" Padahal kau minum tuak lebih banyak ketimbang
diriku." Pendekar Mabuk mengeluh pelan, tangannya meraih
senjata rahasia lawan yang tadi menancap di pangkal lengan kirinya. Senjata itu
masih dibawanya, dan kini sedang diperhatikan sambil perdengarkan suaranya
dengan lirih. "Racun pada senjata rahasia ini adalah racun ganas
yang sukar ditangkal. Tuak saktiku bisa saja melawan racun yang mengenai
tubuhku, tetapi tak secepat
mengobati lukamu. Kurasakan makin lama rasa perihnya makin berkurang, itu
pertanda tuak saktiku mampu
melawan kekuatan racun ini."
"Syukurlah jika begitu, yang penting kau pun harus sembuh dan sehat kembali
seperti diriku, Suto. Aku
takut kau akan menderita terlalu lama. Itu berarti kau akan tersiksa dan aku tak
bisa melihat kau tersiksa begini terus-terusan."
Wajah cantik itu dipandanginya dengan lembut.
Tangan yang terluka bisa dipakai untuk bergerak.
Tangan itu terangkat pelan-pelan, kemudian mengusap pipi berkulit halus milik
sang Perwira Pulau Sangon itu.
"Cintani, percayalah... aku pasti akan sembuh. Hanya saja, butuh waktu beberapa
saat untuk menunggu
kesembuhanku. Kumohon, jangan cemaskan hatimu,
Cintani." Usapan lembut dan kata-kata merdu itu bagai
mengusik hati Dewi Cintani. Berdebar pula hati gadis itu bagai menyebar bungabunga indah yang sukar
dilukiskan lewat kata. Rasa kagum dan terpikatnya
semakin membara di dalam hati Dewi Cintani. Padahal rasa kagum dan terpikat itu
dulu telah disembunyikan rapat-rapat di dasar hati ketika ia pulang ke Pulau
Sangon bersama adik lelakinya; Elang Samudera.
Dewi Cintani tahu, bahwa Suto Sinting sudah
mempunyai kekasih sendiri, seorang calon istri yang menjadi penguasa negeri Puri
Gerbang Surgawi berjuluk
Gusti Mahkota Sejati alias Dyah Sariningrum.
Karenanya, Dewi Cintani bertekad untuk melupakan
kesan indah yang amat pribadi kepada Pendekar Mabuk.
Namun kesan indah yang amat pribadi itu kali ini
bagaikan tumbuh kembali dan kian merimbun,
menimbulkan kecemasan dan kegelisahan lain bagi si
Perwira Pulau Sangon itu.
"Cintani, apakah kau kenal dengan si Malaikat
Malam yang bertarung denganmu tadi?"
"Aku sengaja mengejarnya sampai ke pulaumu ini,"
jawab Dewi Cintani. Kesan sendunya berubah menjadi
bias-bias dendam, sehingga sorot pandangan matanya
tak selembut tadi.
"Apakah kau memang punya persoalan dengan orang berpakaian serba hitam itu?"
"Ya. Persoalannya sangat besar!" jawab Dewi Cintani bernada geram. "Dia telah
membunuh guruku; Pendeta Kembang Ayu, penasihat Ratu Remaslega."
"Ya, ampun..."!" Suto Sinting terkesiap dengan mata memandang tegang.
"Aku berjanji tak akan kembali menjadi Perwira Pulau Sangon sebelum dapat
membalas kematian Guru!"
geram Dewi Cintani dengan pandangan mata lurus dan
berkesan dingin sekali.
"Sebelum mendiang guruku menghembuskan napas
terakhir, beliau sempat berpesan padaku agar jangan coba-coba mendekati Malaikat
Malam. Tetapi pesan itu tak kuhiraukan, karena hatiku sangat terluka melihat
kematian Guru yang diawali dengan kematian beberapa
pengawal Ratu Remaslega, teman-temanku sendiri itu.
Bahkan sang Ratu pun terluka oleh pukulannya yang
sampai sekarang membuatnya lumpuh tak mampu
berjalan lagi."
Kelopak mata gadis cantik itu mulai mengecil penuh
pancaran dendam, ia menyambung kata-katanya dengan
gigi menggeletuk.
"Apa pun yang terjadi, aku sudah siap mati dalam pertarunganku dengan si
Malaikat Malam itu!"
Dalam hati Suto Sinting membatin, "Jika Pendeta Kembang Ayu pun tumbang di
tangan Malaikat Malam,
dan ia bisa menembus pertahanan istana Pulau Sangon, berarti Malaikat Malam
memang bukan orang
sembarangan. Ilmunya cukup tinggi dan sukar
ditandingi. Ah, tapi apakah benar aku tak bisa
menandinginya" Aku jadi penasaran ingin berhadapan
secara ksatria dengannya!"
Dewi Cintani hembuskan napas sebagai peredam
dendam kesumatnya kepada Malaikat Malam.
Pandangan matanya tertuju kembali kepada Suto Sinting walau masih terlihat
samar-samar bias-bias
kemarahannya. Pendekar Mabuk menenangkan
kegusaran hati gadis itu dengan ucapan-ucapan lembut yang meneduhkan jiwa.
"Kematian adalah bagian dari kehidupan kita. Jangan terlalu mengumbar murka jika
ingin membalas dendam
kepada lawan. Pada saatnya nanti kita pun akan
menyaksikan kematian lawan secara langsung maupun
tak langsung. Dalam hal ini, aku tidak akan tinggal diam,
Cintani. Aku tidak ingin kau terbunuh oleh Malaikat Malam. Kudampingi kau sampai
Pendekar Mabuk 062 Misteri Malaikat Palsu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kita lihat sendiri
kematian si Malaikat Malam yang agaknya telah menjadi biang bencana bagi
beberapa tokoh aliran putih di rimba persilatan ini. Sebab Eyang Poci Dewa,
sahabat guruku sendiri itu, juga mati di tangan Malaikat Malam."
Mata indah itu kini berkaca-kaca karena menahan air mata duka. Ucapan itu
mengharu biru di hati Dewi
Cintani. Tetapi agaknya gadis yang menjadi Perwira
Puiau Sangon itu tidak mau menangis di depan seorang lelaki. Jiwa keperwiraannya
mengalahkan naluri
kewanitaannya, sehingga ia bersikeras menahan air mata untuk tangis sebuah
kematian. "Jadi, kau tidak tahu siapa orang di balik pakaian hitamnya itu?"
Dewi Cintani gelengkan kepala. "Yang kutahu dia berjuluk Malaikat Malam, itu pun
aku tak tahu dari mana asalnya dan ada persoalan apa dengan guruku, sehingga ia
menyerang Pulau Sangon dan sasaran utama adalah
Eyang Pendeta Kembang Ayu. Guru tak sempat jelaskan perkara itu, napasnya telah
terhembus untuk terakhir kalinya."
"Misterius sekali Malaikat Malam itu. Siapa dia dan mengapa melakukan tindakan
seperti itu, sukar diduga-duga."
"Satu-satunya jalan dengan merobek dadanya kita bisa membuka kedoknya dan
mengetahui siapa dia
sebenarnya," geram Dewi Cintani diiringi pancaran dendam yang tak setajam tadi.
Ia memandangi Suto Sinting, mengusap keringat di
kening sang pemuda tampan itu. Lalu sebaris kata lirih diucapkan dalam
kelembutan tersendiri.
"Lekaslah sembuh, agar kita bisa bersama-sama
memburu biang bencana itu, Suto."
Pendekar Mabuk hanya anggukkan kepala dengan
sunggingkan senyum tipis. Dua helaan napas lamanya ia tak bicara kecuali
memandang Dewi Cintani dengan
penuh keindahan yang mendebarkan hati gadis itu.
Kejap berikutnya barulah suaranya terdengar dengan
lembut pula. "Aku pasti akan lekas sembuh jika kau menemaniku di sini."
"Akan kutemani sampai kapan pun, Suto," ucap Dewi Cintani bernada bisik. Gadis
itu menunduk, mendekatkan wajah ke wajah Suto Sinting. Tangan Suto yang kanan meraih kepala
gadis Iiu dengan lembut,
kemudian wajah cantik itu diciumnya. Bibirnya dikecup dengan sangat lembut
sekali, dan dilepaskan pelan-pelan bagai penuh penghayatan batin.
Hanya itu keindahan yang berani mereka lakukan.
Walau semalam suntuk mereka berdua di dalam gua,
walau sang gadis berbaring di samping Pendekar Mabuk, namun tak ada yang berani
mereka lakukan lebih dari itu, karena keduanya saling menjaga harga diri dan
kehormatan. Mereka tidur dengan tangan saling menggenggam.
Seakan kemesraan itu lebih agung ketimbang cumbuan
penuh nafsu birahi. Toh kehangatan tangan yang saling
menggenggam membuat tidur mereka nyenyak dan
mimpi mereka menjadi indah.
Ketika mereka sama-sama terbangun pada esok
paginya, luka-luka yang diderita Pendekar Mabuk telah lenyap tanpa bekas sedikit
pun. Murid sinting si Gila Tuak dan Bidadari Jalang itu telah sehat, seluruh
tenaganya telah pulih, badannya terasa lebih segar dari sebelumnya. Gadis yang
mendampinginya tampak ceria
dan lega melihat luka Suto Sinting telah lenyap tanpa bekas.
"Boleh aku menciummu sebagai hadiah
kesembuhanmu?" tanya Dewi Cintani, kali ini diiringi sikap genitnya sebagai
seorang gadis yang masih
menyukai kemanjaan. Suto Sinting hanya anggukkan
kepala sambil sunggingkan senyum yang amat
menawan. Maka, Dewi Cintani pun menempelkan
bibirnya di pipi Suto Sinting dengan cepat. Cup...!
Kemudian keduanya sama-sama mengikik geli.
Pendekar Mabuk mencubit pipi si gadis sambil
berkata, "Kau perwira yang nakal!"
"Begitukah menurutmu?"
"Ya. Tapi aku suka kenakalanmu. Jangan buang
kenakalan itu dan simpanlah hanya untukku."
"Tapi tak mungkin untukmu selamanya, bukan?"
Suto Sinting tak bisa menjawab karena menyadari
keberadaan hatinya yang telah terisi oleh kenakalan wanita lain yang anggun dan
bijaksana. Wanita itu tak lain adalah Dyah Sariningrum, calon istri yang amat
dicintainya itu. Karenanya, Suto Sinting pun segera
alihkan pembicaraan ke masalah pakaiannya yang hilang itu.
"Aku harus ke Hutan Rawa Kotek untuk temui Nini Kalong. Sebab gadis yang mencuri
pakaianku itu ada di sana."
"Gadis..." Gadis cantikkah dia?" nada cemburu bagai mulai tersirat dari nada
pertanyaan Dewi Cintani.
"Memang cantik, tapi tak secantik dirimu," ujar Suto Sinting mengeluarkan jurus
kunonya yang bernama
'rayuan gombal', dan jurus itu hanya mendapat cibiran dari Dewi Cintani.
"Siapa gadis itu sebenarnya?" tanya Dewi Cintani sambil melangkah meninggalkan
gua tersebut menuju
Hutan Rawa Kotek.
Pendekar Mabuk pun segera menceritakan peristiwa
hilangnya pakaian secara lengkap. Di akhir ceritanya, ia berkata,
"Dan gadis yang mengancam nyawaku itu mengaku
bernama Payung Serambi. Dia memang...."
"Siapa..."!" potong Dewi Cintani dengan wajah tegang karena terperanjat. Langkah
kakinya pun terhenti sambil tangannya mencekal lengan Pendekar Mabuk.
"Siapa nama gadis itu"! Payung Serambi"!"
"Ya, Payung Serambi. Kenapa..."!" Suto Sinting memandang penuh keheranan.
"Apakah kau
mengenalnya?"
"Payung Serambi atau Ratih Kumala itu orang Istana Laut Kidul."
Kini wajah Pendekar Mabuk tampak semakin
terheran-heran.
"Istana Laut Kidul..."! Aku baru mendengar nama itu sekarang. Apa yang kau
ketahui tentang Istana Laut
Kidul?" Sambil melangkah kembali Dewi Cintani
menjelaskan apa yang diketahuinya tentang orang-orang Istana Laut Kidul. Suto
Sinting menyimak baik-baik
dengan dahi sebentar-sebentar berkerut.
"Orang-orang Istana Laut Kidul adalah orang-orang berilmu tinggi. Nenek moyang
mereka adalah keturunan siluman. Jurus-jurus silatnya sukar ditandingi."
"Siapa Penguasa Istana Laut Kidul itu?"
"Nyai Kandita adalah Ratu Laut Kidul. Beliau
memang asli siluman yang bisa hidup di darat maupun di dasar laut."
Buat Suto Sinting sebenarnya kehidupan di dasar laut bukan hal aneh lagi, karena
calon mertuanya: Ratu
Kartika Wangi, juga penguasa negeri Putri Gerbang
Surgawi di alam gaib, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode : "Manusia Seribu Wajah"). Juga, Ratu Asmaradani, penguasa negeri
Ringgit Kencana yang ada di dasar laut utara, mempunyai hubungan akrab dengan
Suto Sinting. Negeri di dasar laut itu pernah didatangi Suto Sinting dua kali,
(Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode : "Bandar Hantu Malam" dan "Tabib Darah Tuak").
Tetapi sesuatu yang membuat Suto Sinting penasaran
adalah jati diri gadis cantik yang mengaku bernama
Payung Serambi itu. Untuk mengetahui siapa Payung
Serambi sebenarnya, Suto Sinting sengaja tidak mau banyak tanya agar Dewi
Cintani menceritakan segala apa yang diketahuinya tentang Istana Laut Kidul.
"Ratu Remaslega masih ada keturunan dari Istana Laut Kidul. Kakeknya dulu bekas
'abdi dalem' di Istana Laut Kidul. Karenanya pihakku menjalin hubungan baik
dengan orang-orang Istana Laut Kidul. Payung Serambi alias Ratih Kumala itu
adalah salah satu dari tiga duta Istana Laut Kidul. Kesaktiannya sangat tinggi,
karena sebagai duta ia dibekali berbagai ilmu gaib dari Nyai Kandita, sang Ratu
Laut Kidul."
"Ooo... dia seorang duta"!" gumam Pendekar Mabuk sambil manggut-manggut.
"Biasanya orang-orang Istana Laut Kidul tak mau campuri urusan orang lain.
Mereka hanya bertindak jika ada pihak luar yang ingin membuat onar suasana
Istana Laut Kidul."
"Lalu, untuk apa dia menemui Nini Kalong?"
"Tentunya Nini Kalong punya urusan dengan orang-orang Istana Laut Kidul. Dan...
perlu kuingatkan
padamu, agar berhati-hatilah menghadapi perempuan
dari Laut Kidul."
"Kenapa begitu?"
"Perempuan dari Istana Laut Kidul, jika jatuh cinta pada seorang pria, tak
mungkin gagal mendapatkan pria itu. Ia akan menundukkan pria itu sampai sang
pria menjadi budak cintanya. Kurasa jika Payung Serambi
terpikat padamu, maka kau akan dibuat berlutut di
hadapannya. Para wanita Istana Laut Kidul rata-rata
mempunyai kekuatan gaib pemikat sangat tinggi."
Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum tawar.
Kesan tidak percaya terlihat jelas di wajah pemuda
tampan yang memakai kain dan kebaya mirip banci
konyol. "Prajurit Istana Laut Kidul yang setingkat dengan tamtama saja ilmunya cukup
tinggi, sukar ditandingi.
Apalagi ia seorang utusan terhormat bagi sang Ratu, tentu saja kau tak mampu
melawannya. Mendiang
guruku sendiri selalu memberi hormat jika bertemu
dengan tiga utusan Nyai Kandita. Mungkin demikian
juga halnya dengan gurumu; si Gila Tuak dan Bidadari Jalang."
Suto hanya membatin, "Benarkah ilmuku di bawah mereka"!"
* * * 5 PADA pertengahan siang mereka baru sampai di
Bukit Kembar. Untuk menuruni Bukit Kembar dan
mencapai wilayah Hutan Rawa Kotek dibutuhkan waktu
tak sampai setengah hari, bahkan kurang dari seperempat hari. Jika ditempuh
dengan kecepatan 'Gerak Siluman'
mungkin hanya beberapa saat saja.
Tetapi ternyata perjalanan itu tak bisa semulus
dugaan Dewi Cintani. Di puncak Bukit Kembar mereka
melihat kepulan asap membubung tinggi. Kepulan asap
itu ada di puncak sebelah barat. Pendekar Mabuk ingin tahu apa yang terjadi di
puncak bukit sebelah barat itu.
"Sudahlah, tak perlu hiraukan kepulan asap itu. Kita langsung saja menuju
kediaman Nini Kalong," kata Dewi Cintani.
"Aku tak bisa tenang jika sudah diburu rasa penasaran begini. Aku harus melihat
apa yang terjadi di sebelah barat itu, Cintani. Kalau kau merasa lelah,
beristirahatlah di sini dan biarlah aku datang ke sana sebentar. Sekadar ingin
mengetahui apa yang terjadi saja, setelah itu aku akan cepat-cepat kembali
menemuimu di sini."
Tentu saja Dewi Cintani tak mau menjadi seorang
penunggu, ia lebih baik mengalah dan ikut menuju ke puncak bukit sebelah barat.
Kali ini mereka bergerak cepat, jurus 'Gerak Siluman' digunakan tidak sepenuhnya
agar Dewi Cintani tidak tertinggal jauh di belakang Suto Sinting. Karena gadis
cantik itu tidak mempunyai
kecepatan gerak yang menyamai jurus 'Gerak Siluman', dan memang jarang ada yang
bisa menyamai kecepatan
jurus 'Gerak Siluman', kecuali hanya beberapa orang tokoh tua sahabat si Gila
Tuak. Sampai di puncak sebelah barat, Pendekar Mabuk dan
Dewi Cintani sama-sama terperanjat. Ternyata kepulan asap yang membubung tinggi
itu adalah upacara
pembakaran mayat yang dihadiri oleh beberapa tokoh tua yang sudah dikenal Suto
Sinting. Di antara mereka yang hadir adalah Galak Gantung, Batuk Maragam, Resi
Pakar Pantun, Ki Madang Wengi, Nyai Mas Gandrung
Arum, dan yang lainnya. Tampak pula hadir di sekitar
tumpukan kayu pembakar jenazah Nyai Kidung Laras
dan muridnya; Pakis Ratu, juga tokoh gemuk berpakaian putih; si Jubah Kapur dan
muridnya; Inupaksi.
Pendekar Mabuk hentikan langkah dan berlindung di
balik sebatang pohon besar. Wajahnya sempat tegang
saat ia tahu di sana ada beberapa gadis yang dikenalnya, antara lain Puspa
Jingga; murid Nini Kalong, Gadis
Dungu dan gurunya; Nyai Serat Biru, tampak pula Rara Santika yang pernah
disangka sebagai si Gundik Sakti itu, dan beberapa gadis lainnya yang tentu akan
memandang aneh kepada Suto.
Keadaan Suto Sinting yang mengenakan pakaian dan
kebaya itulah yang membuatnya tak berani muncul
begitu saja. Tentu saja ia akan malu jika mereka
menertawakan dirinya yang mirip banci konyol itu.
Akibatnya, Suto Sinting menjadi salah tingkah dan
bingung sendiri.
"Jika begitu, lepaskan saja kain dan kebayamu itu, lalu datanglah menemui mereka
ke sana," ujar Dewi Cintani.
"Itu lebih gila lagi!" sergah Suto Sinting. "Kalau aku datang ke sana dalam
keadaan tanpa pakaian bisa-bisa semua orang yang sedang menghadiri jenazah itu
bubar semua, lari pontang-panting karena menganggapku telah glia."
Dewi Cintani tertawa tertahan. "Kurasa hanya yang lelaki yang lari pontangpanting. Tapi para gadis yang kau kenal itu akan lari berebut menubrukmu."
"Ah, kau...!" Pendekar Mabuk mendesah agak
jengkel mendengar canda tersebut, ia benar-benar
bingung mengatasi keadaannya. Jika mereka yang ada di sana mengetahui dirinya
berkebaya, tentu saja
wibawanya sebagai seorang pendekar akan turun dan
diperolok-olok. Suto Sinting tak mau hal itu terjadi.
"Sebaiknya kau saja yang datang ke sana, dan cari tahu jenazah siapa yang
dibakar itu?" katanya kepada Dewi Cintani. Sang gadis hanya angkat bahu,
pertanda menerima begitu saja gagasan tersebut. Kemudian ia
segera pergi mendekati upacara pembakaran jenazah.
Suto Sinting mengawasi dari balik pohon besar.
"Mengapa mereka datang semua ke pembakaran
jenazah itu?" ujarnya membatin. "Pasti orang yang meninggal adalah orang yang
dikenal di rimba
persilatan. Setidaknya tokoh tua yang pernah bersahabat dengan mereka-mereka
itu. Dan... oh, kelihatannya Resi Pakar Pantun mencucurkan air mata dan berwajah
duka. Hmm... tampaknya si Puspa Jingga pun menangis, dan
beberapa orang berwajah murung menahan duka. Siapa
sebenarnya yang meninggal itu" Ah, Cintani lama sekali.
Padahal maksudku ia tak perlu mengikuti upacara
pembakaran jenazah, ia hanya menanyakan siapa yang
mati, setelah itu kembali kemari. Tapi... tapi agaknya ia justru ikut hadir
dalam upacara itu sampai selesai nanti.
Uuh..! Bodoh sekali gadis itu!"
Beberapa saat lamanya Suto Sinting terpaksa
bersembunyi di balik pohon besar Itu. Tiba-tiba ia
melihat sesosok bayangan biru yang berlari menuruni kaki bukit. Kecepatan gerak
bayangan itu cukup tinggi,
tapi penglihatan Suto Sinting masih mampu mengikuti kecepatan gerak tersebut,
sehingga ia dapat mengetahui siapa orang yang berlari menuju kaki bukit Itu.
Pendekar Mabuk 062 Misteri Malaikat Palsu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Payung Serambi..."! Ya, itu dia si Payung Serambi!
Mengapa ia lari meninggalkan bukit ini" Apakah ia tak jadi menemui Nini Kalong
atau... atau karena apa" Ah, sebaiknya kukejar dia dan kudesak untuk
mengembalikan pakaianku!"
Sayang sekali ketika Suto Sinting ingin bergerak
mengejar Payung Serambi, dari arah pembakaran
jenazah tampak Dewi Cintani berlari menghampirinya.
Mau tak mau Suto Sinting menahan diri sebentar untuk menunggu kedatangan Dewi
Cintani, lalu akan diajak
mengejar Payung Serambi bersama-sama.
"Bagaimana, Cintani" Siapa yang meninggal dan
jenazahnya dibakar itu?"
Dewi Cintani menarik napas lalu menghembuskannya
panjang-panjang, ia menenangkan diri sebentar,
memandang ke arah pembakaran jenazah, di mana
orang-orang yang hadir di situ mulai bergegas
meninggalkan tempat.
"Cintani, lekas jawab siapa yang meninggal itu?"
desak Suto Sinting dengan tak sabar lagi, karena ia ingin buru-buru mengejar
Payung Serambi.
Dewi Cintani memandangnya dan menjawab pelan,
"Nini Kalong...."
"Siapa..."! Nini Kalong"! Dia yang meninggal"!"
Suto Sinting nyaris terpekik karena kagetnya.
Gadis bermata bening itu anggukkan kepala, lalu
berkata, "Aku sempat bicara dengan si Jubah Kapur. Menurut keterangannya, Nini Kalong
tewas karena serangan dari belakang yang dilakukan oleh orang berpakaian serba
hitam; Malaikat Malam. Kejadian itu dilihat sendiri oleh muridnya; Puspa Jingga.
Tapi sang murid waktu itu tak berdaya karena terkena totokan si Malaikat Malam."
"Ka... ka... kapan peristiwa itu terjadi?"
"Kemarin siang!"
"Kemarin siang..."! Oh, kurasa... kurasa bukan si Malaikat Malam yang menyerang Nini Kalong. Gadis
itulah yang menyerangnya; si Payung Serambi! Sebab
setahuku Payung Serambi kemarin siang bernafsu sekali ingin bertemu Nini Kalong
sampai ia mengancam
nyawaku dengan pedangnya."
"Atau...," Dewi Cintani perdengarkan suaranya setelah bungkam selama dua helaan
napas. "Atau... mungkin Malaikat Malam adalah orang
suruhan Payung Serambi untuk lakukan pembunuhan
terhadap...."
"Bukan begitu!" sergah Suto Sinting. "Payung Serambi itulah si Malaikat Malam!"
Dewi Cintani termenung sesaat. Dahinya berkerut
memikirkan kemungkinan tersebut. Suto Sinting tampak murung karena membayangkan
masa-masa pertemuannya dengan Nini Kalong, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Titisan Dewa Pelebur Teluh" dan "Kipas Dewi
Murka"). Sebelum Pendekar Mabuk bicara, Dewi Cintani lebih
dulu perdengarkan suaranya.
"Tapi menurut ceritamu tadi, Payung Serambi
mengenakan jubah tanpa lengan warna biru dan...."
"Apa sulitnya ia berganti pakaian atau mengubah diri menjadi Malaikat Malam"
Bukankah katamu tadi, orang Istana Laut Kidul mempunyai kesaktian tinggi,
termasuk kekuatan ilmu gaib pemberian sang Ratu Laut Kidul"!"
Perwira Pulau Sangon itu diam kembali dalam
kebimbangan hati. Pendekar Mabuk teringat bayangan
Payung Serambi yang berlari menuju kaki bukit. Maka ia pun segera mengajak Dewi
Cintani untuk mengejarnya. "Kulihat utusan sang Nyai berlari menuju ke kaki bukit, belum lama ini!
Sebaiknya kita kejar dia!"
"Tapi... hei, tunggu...! Dia belum tentu bersalah, Suto!"
"Setidaknya dia harus kembalikan pakaianku!" seru Suto Sinting yang sudah lebih
dulu berkelebat menuruni bukit itu. Dewi Cintani akhirnya menyusul juga karena
tak ingin biarkan Suto Sinting berhadapan dengan orang istana Laut Kidul itu. Ia
tahu jika Payung Serambi tersinggung perasaannya, maka ia akan mengamuk dan
Suto Sinting bisa kehilangan nyawa bila berhadapan
dengan murka orang-orang Istana Laut Kidul.
"Setidaknya kehadiranku dapat meredakan
kemarahan Payung Serambi, karena ia tahu pihakku
bersahabat dengan pihaknya," pikir Dewi Cintani sambil berusaha menyusul Suto
Sinting walau terasa semakin tertinggal jauh, karena Suto Sinting gunakan jurus
'Gerak Siluman'-nya yang punya kecepatan melebihi
anak panah terlepas dari busurnya. Zlaap, zlaap, zlaap, zlaap...! Rupanya Payung
Serambi sendiri punya
kecepatan gerak yang menyamai jurus 'Gerak Siluman', sehingga Suto Sinting
sempat kehilangan jejak dan
bingung mengambil arah. Suto Sinting tak tahu bahwa Payung Serambi mempunyai
jurus yang dinamakan
'Halimun Gaib', dapat menyatu dengan udara hingga tak mudah terlihat mata
manusia biasa. Gerakannya pun
seperti hembusan angin yang mampu menerabas
pepohonan atau benda apa pun.
Kecepatan Suto Sinting membuat Dewi Cintani pun
kehilangan jejak, akhirnya menempuh arah yang salah.
Akhirnya ia hentikan pengejarannya dengan sebaris
gerutu dan makian untuk Pendekar Mabuk. Hati gadis itu sangat dongkol karena tak
Naga Sakti Sungai Kuning 11 Misteri Rumah Berdarah Karya Tjan I D Kencan Di Ujung Maut 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama