Ceritasilat Novel Online

Pawang Jenazah 2

Pendekar Mabuk 015 Pawang Jenazah Bagian 2


karena menyangka mendengar suara tangis hantu dari Rumah Busuk ini! Dan
menurutku, sebuah tangis tanpa alasan adalah tangis orang gila. Tapi aku yakin
kau pasti punya alasan mengapa kau menangis sesedih itu, Nona Manis?"
Ucapan itu bagai tak dilayani oleh si nona manis Ketika Suto tampak makin
mendekat, nona manis itu berdiri dan menjauh. Terdengar Suto bicara bagaikan
bicara pada diri sendiri,
"Sungguh bukan maksudku membawamu ke tempat ini dan bermaksud jahat kepadamu!
Yang kutahu, kau terjebak dalam tandu dari serbuan pasukan mayat itu.
Kupikir kau perlu mendapat pertolongan karena semua pengawalmu mati dibantai
oleh pasukan mayat tersebut.
Maka aku pun bertindak menyelamatkan kamu dari
ancaman maut pasukan mayat kubur itu. Di perjalanan, aku kebingungan membawa
dirimu yang pingsan. Lalu datang Perwira Loyang dan segera menyerangku! Ia
menghendaki bayi, yang menurutnya ada pada diriku!"
Gadis itu cepat palingkan pandang kepada Pendekar
Mabuk, dan yang dipandang pun makin tertarik untuk teruskan penuturannya.
"Aku tidak tahu bayi apa yang dicarinya! Aku juga heran,
mengapa ia menanyakan bayi dan tidak menyelamatkan kamu jika memang ia adalah orangorangmu! Lebih heran lagi melihat Perwira Loyang cepat tinggalkan diriku setelah
melihat rombongan Pawang Jenazah menuju ke arah kita! Lalu, terpaksa pula aku
berhadapan dengan Pawang Jenazah karena ia sangka aku anak buah Laksamana Cho
Yung! Bahkan ia ingin agar aku menyerahkan dirimu untuk dibunuhnya, karena dia
tahu kau orangnya Laksamana Cho Yung.
Maka, demi keselamatan jiwamu, aku segera melarikan diri dari hadapan Pawang
Jenazah dan sembunyikan kamu di sini!"
Gadis itu berdiri dengan pundak bersandar dinding, ia tampak merenung karena
sejak tadi yang dipandangi adalah lantai. Tapi Suto yakin apa yang
dibicarakannya itu meresap dalam benak gadis itu.
Kini Pendekar Mabuk mencoba untuk lebih mendekat lagi sambil berkata, "Sampai di
sini amanlah keadaan, tapi bingunglah pikiran. Kau menyerangku, bahkan kau
memintaku membunuhmu! Kau menangis dan tak mau
tahu siapa diriku sebenarnya. Sungguh ini merupakan pengalaman pahit bagiku,
menolong orang, justru
diserang. Menghindari serangan, justru diminta untuk membunuh! Sementara itu aku
butuh keterangan darimu, siapa Laksamana Cho Yung itu sebenarnya" Siapa
dirimu sendiri sebenarnya" Siapa bayi yang dimaksud
Perwira Loyang itu" Ada masalah apa antara Laksamana Cho Yung dengan Pawang
Jenazah, sehingga kau pun ingin dibunuhnya"! Jika kau orangnya Cho Yung, lantas
mengapa Perwira Loyang tidak mempedulikan dirimu yang terkapar pingsan tak jauh
dariku" Dan... semua itu merupakan teka-teki yang menuntut jawaban di dalam hati
kecilku. Bahkan aku sendiri tidak tahu siapa namamu, Nona manis!"
Gadis itu menarik napas dan penuhi rongga dadanya dengan udara. Kejap berikut
itu lepaskan napas itu bagai ingin melegakan sesuatu yang mengganjal di dalam
dadanya, ia lemparkan pandang matanya kepada Suto beberapa saat lamanya, ia
biarkan Pendekar Mabuk pun menatapnya dalam jarak tiga langkah dari tempatnya
berdiri, kemudian ia merasa ada debaran kuat di dalam hatinya yang memaksa
pandang matanya harus dilempar jauh-jauh, tak berani terlalu lama menatap sorot
mata pemuda tampan yang menyandang bumbung tuak itu.
Kejap lanjutnya lagi, terdengar suaranya yang bening kecil dan berkesan manja
itu ucapkan kata,
"Namaku Bunga Bernyawa."
Sekalipun hanya pendek saja ucapan tersebut, namun cukup membuat Pendekar Mabuk
sunggingkan senyum
kelegaan. Bahkan Suto mengulang nama itu dengan
perasaan kagum.
"Bunga Bernyawa. Hmmm... indah sekali nama itu.
Tapi aku yakin itu nama julukan saja."
"Ya. Ayahku yang menjuluki aku dengan nama
Bunga Bernyawa!"
"Siapa ayahmu?"
"Kaisar Siauw-ong!"
Terkesiap mata Pendekar Mabuk mendengarnya.
Tertegun pula ia sejenak sambil pandangi gadis yang juga menatapnya itu.
"Jadi kau putri seorang kaisar?"
"Benar. Laksamana Cho Yung adalah panglima laut yang memberontak kepada
kaisarnya, yaitu ayahku
sendiri. Agar ia tidak dikejar-kejar oleh tentara ayahku, ia menyandera aku
sebagai jaminan keselamatannya, ia bawa
aku berkeliling tanah Jawa bertahun-tahun lamanya." Bunga Bernyawa bagai mengenang masa lalunya
sambil melangkahkan kaki menjauhi Suto. Ia sekarang berada di pintu, memandang
ke arah luar sebentar dengan penuh curiga. Tapi kejap berikutnya ia sudah
kembali pandangi Pendekar Mabuk dengan tangan
menopang pada dinding pintu.
"Laksamana Cho Yung bukan saja menjadikan aku sandera, namun juga sebagai
gundiknya! Kapan saja ia membutuhkan kehangatan tubuhku aku harus siap
melayaninya!"
"Mengapa kau tidak melawannya dengan ilmumu yang kurasa cukup tinggi itu?" tanya
Suto sambil tetap berdiri di tempatnya.
Bunga Bernyawa gelengkan kepala. "Tidak mudah mengalahkan Laksamana Cho Yung.
Dia berilmu tinggi, hampir setara dengan tingkat ilmu yang dimiliki
mendiang kakaknya, yaitu Dewa Maut, yang sudah lebih
dulu dan lebih lama berkelana di tanah Jawa ini! Dulu, bersama adiknya dan
kakaknya yang telah meninggal.
Laksamana Cho Yung dikenal sebagai Thian-San Sam-Sian di negeriku. Artinya, Tiga
Dewa dari Gunung Tian-San.
Sejak mereka berpisah, Cho Yung masuk keprajuritan di negeriku, dan diangkat sebagai laksamana yang bertugas menguasai lautan sebagai panglima tempur laut. Jika
ilmunya tidak tinggi, tentu saja ia tidak diangkat sebagai panglima laut oleh
kaisar." "Lalu, ia memberontak kepada pemerintahan kaisar?"
"Ya. Dia bersama beberapa anak buahnya melarikan diri dari negeriku. Dan akulah
perisai ampuh baginya agar tidak diburu oleh tentara kaisar lainnya, karena jika
itu dilakukan maka ia akan membunuh aku kapan saja.
Ayahku sangat kebingungan dan sampai saat ini tak pernah lagi kudengar bagaimana
nasib negeriku."
"Mengapa kau tak coba melarikan diri" Mengapa kau mau saja jadi gundik dan jadi
budak nafsu Laksamana Cho Yung terus-terusan?"
"Tiga kali aku melarikan diri tapi selalu berhasil ditangkap kembali. Laksamana
Cho Yung mengancam
akan membunuh aku jika sekali lagi aku melarikan diri!"
"Dan kau takut untuk melarikan diri lagi karena ancaman itu"'
"Bukan ancaman itu yang membuatku takut, tapi soal lain."
"Soal lain apa?" desak Suto semakin ingin tahu.
"Soal kakakku."
"Apakah kakakmu juga dijadikan sandera oleh
Laksamana Cho?"
"Memang tidak. Tapi jika aku tidak mati di
tangannya, maka ia mengancam akan kembali ke
negeriku dan menculik si Daun Bernyanyi, kakakku itu.
Sedangkan aku tak mau kakakku ikut jadi korban
kekejian Cho Yung. Biarlah aku sendiri yang korban, tapi saudaraku yang lain
jangan." Saat Bunga Bernyawa berkata begitu, tampak ada
genangan air yang mulai menggenang di matanya.
Genangan air itu membuat hati Pendekar Mabuk
tersentuh iba, lalu cepat memaklumi keadaan Bunga Bernyawa. Suto pun segera
mengalihkan percakapan itu,
"Bagaimana dengan bayi yang dicari oleh Perwira Loyang itu?"
Bunga Bernyawa tarik napas lagi dalam-dalam,
kemudian melangkah mendekati Suto dan bersikap tegap berdiri di depan Suto
dengan kaki sedikit renggang.
Seolah-olah begitu mendengar soal bayi, ia ingin tunjukkan diri di depan Suto
bahwa ia perempuan yang tegar dan tak mau menangis lagi.
"Aku mendapat tugas untuk mencuri bayi."
"Bayi siapa?"
"Bayi seorang perempuan bernama Mayang Suri!
Cho Yung tugaskan aku mencuri bayi itu dengan
berpura-pura menjadi tabib, karena bayi itu dalam keadaan sedang sakit saat ini.
Tapi setelah kulihat lucunya bayi itu, tampannya wajah bayi itu, aku tak tega
melakukan penipuan terhadap ibu si bayi. Aku tak sampai hati menculik bayi itu!"
Suto kerutkan dahi saat ajukan tanya, "Untuk apa Laksamana Cho Yung menyuruhmu
mencuri bayi?"
"Bayi itu adalah anak dari Dewa Maut. Dan menurut kepercayaan yang diterima Cho
Yung dari seorang
peramal sakti, Dewa Maut adalah lelaki mandul yang tak bisa punya keturunan.
Apabila suatu saat Dewa Maut bisa punya keturunan, maka ia akan mati dan semua
ilmunya pindah ke diri bayi itu. Laksamana Cho Yung ingin memiliki semua ilmu
mendiang kakaknya itu.
Menurut keterangan seorang sakti yang ditemuinya, ia dapat memiliki semua ilmu
milik mendiang kakaknya itu dengan cara memakan jantung dan hati bayi tersebut.
Karenanya ia perintahkan aku untuk mencuri bayi itu dengan mengaku sebagai
tabib. Dia akan memakan
jantung dan hati bayi itu untuk menambah kekuatan ilmu yang sudah dimilikinya!
Pada dasarnya, Laksamana Cho Yung tidak rela jika ilmu yang dimiliki mendiang
kakaknya jatuh ke tangan orang lain. Karena ia percaya betul, bocah bayi itu
bisa mengalahkan ilmu yang dimiliki Laksamana Cho Yung, jika usianya sudah
mencapai sekitar delapan tahun. Sekarang bayi itu baru berusia tiga bulan! Ia
tinggal bersama ibunya di lereng gunung."
Terdengar gumam kecil dari mulut Pendekar Mabuk
yang terkatup sejak mendengarkan penjelasan itu.
Kemudian Pendekar Mabuk mengangkat bumbung
tuaknya dan meneguk tuak beberapa kali. Saat itu terdengar Bunga Bernyawa
melanjutkah kata-kata,
"Aku tak tega untuk menculik bayi itu, karenanya aku
pulang bersama rombongan. Aku ingin ajukan alasan lain agar bukan aku yang
ditugaskan menculik bayi tersebut. Tapi di tengah jalan, rombonganku diserang
oleh orang-orang berkuda. Aku tertotok dari jarak jauh dan lumpuh sekujur
tubuhku. Namun orang-orang
berkuda itu bisa dibuat lari oleh anak buahku atau orang-orang yang ditugaskan
mengawalku itu. Tapi mereka tak bisa melepaskan totokan yang membuatku lumpuh di
dalam tandu. Sampai suatu saat kami melewati jalan dekat kuburan, dan mayatmayat itu bangkit menyerang kami dengan liar. Aku masih bisa melihat pengawalku
jatuh tunggang-langgang tak bernyawa lagi karena serangan
mayat-mayat ganas itu. Tetapi tiba-tiba kepalaku terasa membentur sebuah bambu atau benda keras, yang membuat aku tak
sadarkan diri dan tahu-tahu sudah ada di sini!"
Pendekar Mabuk manggut-manggut,
lalu sunggingkan senyum kecil. Ternyata Bunga Bernyawa pingsan akibat terbentur
gerakan cepat Suto saat menerabas masuk ke dalam tandu. Ujung bambu tuaknya
membentur kepala Bunga Bernyawa dan membuatnya
pingsan, namun membuat totokan itu terbebaskan.
Pantas jika Bunga Bernyawa pingsan begitu lama,
karena ia terkena benturan benda keramat yang punya kekuatan gaib dari bumbung
tuak itu. "Sekarang aku bingung, tak tahu harus berbuat apa,"
ujar Bunga Bernyawa seperti bicara pada dirinya sendiri, ia tundukkan kepala
dengan raut wajah sendu.
Katanya lagi, "Kalau aku harus pulang kepada
Laksamana Cho Yung, jelas dia akan marah besar
padaku. Apalagi kau telah melawan Perwira Loyang dan itu akan membuatnya makin
marah. Dia amat cemburu dan tak suka tubuhku disentuh oleh lelaki lain. Bisa
jadi aku pulang kepadanya hanya untuk dipancung leherku karena sudah dianggap
perempuan yang menjijikkan.
Jika aku harus pulang ke negeriku, aku tak punya kapal.
Jika aku harus menetap di tanah Jawa, aku tak punya sanak saudara di sini! Jadi,
menurutku ada baiknya jika aku mati saja! Dibunuh orang atau dimakan binatang
hutan yang ganas, itu lebih baik daripada aku harus membunuh diriku sendiri."
"Masih banyak jalan lain yang bisa kau tempuh," kata Suto menenangkan hati Bunga
Bernyawa. "Selain kamu, ada aku di sini!"
Bunga Bernyawa alihkan pandang menatap sorot
mata Pendekat Mabuk. Ada kebeningan di mata
Pendekar Mabuk itu yang terasa menyejukkan hati dan membuat debar-debar aneh
yang menggelisahkan. Sekali pun kegelisahan itu menggoda jiwa, namun punya
keindahan yang hanya bisa dirasakan oleh Bunga
Bernyawa sendiri. Sukar sekali Bunga Bernyawa hindari debaran indah itu, sampai
akhirnya ia berkata tanpa sadar,
"Aku perempuan yang sudah kotor. Tak pantas didampingi pria tampan berbudi baik
seperti dirimu."
"Aku mendampingi kamu hanya untuk selamatkan jiwamu!" jawab Pendekar Mabuk
sambil mendekati wajah Bunga Bernyawa. Pelan-pelan kepala Bunga
Bernyawa tertunduk, pelan-pelan juga tangan Suto menyentuh dagu Bunga Bernyawa
dan ditengadahkan.
Kini mata mereka kembali saling pandang dengan
lembut. "Aku tahu kau bukan penjahat," kata Suto pelan sekali. "Aku tahu kau putri
seorang kaisar yang tersesat di tanah Jawa ini. Kau terancam bahaya, baik dari
Laksamana Cho Yung maupun dari Pawang Jenazah.
Persoalannya dengan Laksamana Cho Yung sudah jelas kutahu, tapi persoalan dengan
Pawang Jenazah belum kutahu.
Mengapa dia bernafsu sekali untuk membunuhmu atau membunuh Laksamana Cho?"
"Laksamana Cho Yung telah membunuh istri Pawang Jenazah dan kedua anaknya!
Pawang Jenazah menuntut kematian istri dan anaknya dengan tekad membantai habis
semua orang-orangnya Laksamana Cho Yung.
Siapa yang berada di pihak Laksamana Cho Yung,


Pendekar Mabuk 015 Pawang Jenazah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berarti menjadi lawannya. Dia sangka aku adalah
orangnya Laksamana Cho, karena itu dia berkeras hati untuk bisa membunuh aku
juga. Apalagi kulitku putih, mataku
kecil, wajahku serumpun dengan wajah Laksamana Cho Yung. Ia makin benci melihat wajahku." "O, ya! Aku paham sekarang," kata Suto masih dengan lembut seperti orang bicara
soal cinta dari hati ke hati. Lanjutnya lagi, "Sekarang yang belum kupahami,
bagaimana kau bisa siuman dari pingsan lamamu"'
"Seseorang
telah menendangku,"
jawab Bunga Bernyawa. "Aku tidak menendangmu tadi."
"Tapi kurasakan pinggangku ditendang perlahan dan membuatku kaget, lalu melompat
bangun!" "Aneh," ucap Pendekar Mabuk dalam desah lembut.
"Kuperiksa sekeliling rumah ini tak ada manusia lain kecuali kita berdua!"
"Bagaimana dengan manusia berjubah putih tadi?"
Suto makin kerutkan dahi. "Si jubah putih yang mana?"
"Yang berkelebat keluar dari kamar ini sebelum kau masuk tadi!"
Terbungkam mulut Suto Sinting. Bingung ia menjawabnya. Lalu, cepat ia pergi memeriksa seluruh ruangan Rumah Busuk itu
sampai pada bagian luarnya.
Tapi tetap saja tak ia temukan manusia berjubah putih seperti yang dilihat Bunga
Bernyawa saat baru siuman tadi.
"Bunga, aku tak temukan siapa pun di sini! Tak ada manusia berjubah putih
seperti yang kau katakan tadi!"
kata Pendekar Mabuk setelah kembali ke kamar bersih itu.
Bunga Bernyawa sendiri jadi kerutkan dahi dan
merasa heran, ia mulai melirik penuh kecemasan dan ketegangan batin. "Kurasa
arwah tokoh sakti yang pernah menempati rumah ini bermaksud menolongku.
Dia pasti arwah tokoh beraliran putih!' kata Bunga Bernyawa dalam hatinya. Suto
buru-buru berkata
alihkan pikiran Bunga Bernyawa agar tak merasa takut.
"Kau masih ingat jalan menuju rumah bayi itu?"
"Masih. Apa maksudmu?"
"Kita ungsikan bayi itu bersama ibunya! Kita sembunyikan
mereka sebelum orang-orangnya Laksamana Cho Yung lebih dulu menculik sang bayi!"
"Itu berarti kau akan berurusan dengan Laksamana Cho Yung!"
"Lebih baik aku berurusan dengan Laksamana Cho Yung daripada membiarkan bayi itu
mati dibunuh pikiran sesat, dan daripada aku biarkan kau dipancung oleh manusia keji itu!"
kata Suto yang membuat hati Bunga Bernyawa menjadi kian berdebar indah. Tapi ia
pandai menutupi perasaannya itu.
"Jika kau punya tekad begitu, aku akan bawa kau kepada
Mayang Suri dan bayinya! kata Bunga Bernyawa. "Baiklah. Itu kita lakukan besok saja. Malam ini kau harus beristirahat.
Tidurlah dengan nyenyak dan aku akan menjagamu!"
Bunga Bernyawa sunggingkan senyum manisnya.
Jantung Suto menjadi berdetak kencang. Resah menjerat jiwa saat Bunga Bernyawa
ucapkan kata, "Sayang sekali tak selamanya kau mau menjaga hatiku. O, ya... siapa namamu,
Pendekar tampan?"
"Suto...!"
"Oh, nama sederhana yang mudah diingat namun juga mudah dilupakan. Aku tak tahu
harus pilih yang mana, mengingat atau melupakan?"
"Kusarankan untuk memilih melupakan saja! Biar hatimu tidak gelisah seperti
malam ini!"
Semburat merah wajah cantik itu. Seperti pencuri yang ketahuan sedang
sembunyikan barang curiannya di balik baju. Bunga Bernyawa malu karena Pendekar
Mabuk mengetahui kegelisahannya, tapi ia bersikap tetap sembunyi rasa.
Esoknya mereka terbangun kaget. Pertama-tama Suto yang terkejut, karena ia sadar
bahwa dirinya telah tertidur dalam keadaan duduk bersandar dinding. Kedua ia
terkejut karena melihat keadaan kamar seperti hutan belukar.
Kamar yang bersih dan terang tanpa benda apa pun kecuali tikar dan pelita,
ternyata pagi itu sudah berubah menjadi kamar yang dipenuhi oleh rumput liar.
Kotor dan lembab seperti halnya kamar-kamar lain di Rumah Busuk itu. Dan di
situ, bau busuk masih samar-samar menjadi satu dengan bau tanah lembab pada
lantainya. "Bunga, bangun!" sentak Suto sengaja keras dan membuat gadis yang tidur di
rerumputan itu terlonjak kaget, ia cepat bangkit dengan memainkan jurus sekejap.
Setelah mengetahui dirinya berada di tengah rimbun ilalang, Bunga Bernyawa mulai
kendurkan kuda- kudanya, ia menjadi kebingungan sendiri melihat kamar sudah berubah menjadi
hutan belukar. Hanya ada sinar kecil dari atap yang bocor. Sinar itu adalah
sinar matahari yang menerobos masuk ke dalam kamar
berdinding lumut.
"Suto, mengapa keadaan kamar menjadi seperti ini?"
"Entahlah! Aku sendiri sejak tadi sedang pikirkan jawabannya."
"Jika begitu, semalam kita sudah berada di dalam kamar misterius, Suto! Kamar
itu seakan disediakan untuk bermalam kita dan hanya satu malam, tak boleh lebih
dari satu malam."
"Siapa yang menyediakan kamar sebersih tadi malam untuk kita. Rumah Busuk ini
sudah tidak berpenghuni puluhan tahun lamanya. Keluarga Sanjaya Laga sudah
terbantai habis oleh musuhnya."
"Mungkinkah orang berjubah putih yang menyiapkan kamar bersih itu untuk kita?"
"Seandainya benar dia, lantas siapa dia dan di mana dia sekarang?"
Bunga Bernyawa angkat bahu tanda tak bisa
menjawab. Tapi ia katakan pula, "Roh penghuni rumah ini melihat ketulusan hatimu
dalam menolongku, maka ia membantu kamu dengan memberikan tumpangan di
kamar ini!"
"Aku tak yakin. Tapi... sudahlah, lupakan soal kamar ini! Ayo kita lekas
tinggalkan rumah ini dan pergi ke rumah Mayang Suri!"
* * * 5 ORANG berambut kepang satu panjang itu mengenakan topi persegi khas topi perwira pasukan Cina. Orang itu berkumis
hitam, melengkung ke bawah bagai ingin memagari bibirnya. Jenggotnya pendek dan
tipis. Usianya sekitar lima puluh tahun. Pakaiannya dari
bahan sejenis satin berkilap warna biru muda dengan celana putih. Baju birunya
itu berlengan panjang dengan lis merah mengkilap juga. Baju itu dirangkap dengan
jubah tanpa lengan warna merah darah berhias sulaman benang emas bergambar naga
bersayap. Siapa lagi orang berwajah keji dan berkesan galak itu jika bukan Laksamana Cho
Yung, raja di atas kapal bertiang
layar tiga itu. Matanya yang sipit itu memandang tajam kepada dua orang di hadapannya yang tundukan kepala dengan rasa
takut dan hormat. Kedua orang itu adalah Perwira Loyang dan Jowala, si baju
kuning yang saat bertemu dengan Suto tak mau turun dari punggung kuda.
"Memalukan sekali! Seorang perwira kapal semegah ini tak becus mengalahkan bocah
ingusan seperti itu!
Percuma kuangkat kau sebagai perwira di sini, tahu"!"
Plokk...! Wajah lonjong bermata cekung itu hampir terlempar jauh karena tamparan kuat dari
tangan Laksamana Cho Yung. Perwira Loyang kembali tundukkan kepala
dengan menahan rasa panas pada pipinya.
"Lalu bagaimana dengan Bunga Bernyawa"!" sentak Laksamana Cho Yung dalam nada
tanya. Perwira Loyang menjawab, "Bunga Bernyawa terkapar pingsan, Tuan Laksamana!"
"Mengapa tak kau bawa pulang perempuan itu?"
Agak menggeragap Perwira Loyang menjawab, "Hmm... eh... anu... saya pikir, tugas saya hanya membawa pulang bayi Mayang
Suri, bukan membawa
pulang Nona Bunga Bernyawa, Tuan Laksamana!"
"Bodoh amat kau ini, hah"!"
Plokk...! Kembali tamparan keras diterima Perwira Loyang
pada pipi yang sama. Wajah kempotnya terasa mau lepas dari kepala. Perwira
Loyang hanya kedip-kedipkan mata menahan rasa sakit di wajahnya. Jowala melirik
sebentar, lalu tak berani melirik lagi karena Perwira Loyang juga meliriknya
dengan rasa geram.
"Jadi Bunga Bernyawa bersama pemuda itu?"
"Betul, Tuan Laksamana!"
"Apa yang dilakukan pemuda itu terhadap Bunga?"
"Saya tidak tahu, Tuan Laksamana!"
Plokk...! "Bodoh kau! Seharusnya kau tahu, apakah pemuda itu menyentuh tubuh Bunga
Bernyawa, atau dipeluknya, atau diciuminya atau bahkan diajak tidur!"
"Disentuhnya, saya lihat, Tuan Laksamana!"
"Dan kau diam saja"!"
"Saya... saya... saya menanyakan bayi itu lalu..."
Plokk...! Pipi yang sama yang mendapat tamparan keras.
Perwira Loyang sampai merasakan sesak napas tua-nya.
Wajahnya terasa dibakar dengan nyala api yang sangat panas. Tapi lagi-lagi yang
bisa dilakukannya hanya tunduk kepala dan tak berani menatap mata Laksamana Cho
Yung yang berbadan agak gemuk itu.
"Dengar, Perwira Loyang...!" kata Laksamana Cho Yung menahan rasa panas di
dadanya akibat cemburu
mendengar Bunga Bernyawa disentuh-sentuh oleh lelaki lain. Lalu, lanjutnya dalam
suara geram yang tegas,
"Kuperintahkan padamu, curi bayi itu dari Mayang Suri, lenyapkan Bunga Bernyawa,
dan bunuh pemuda itu! Penggal kepalanya lalu bawa kemari kepala bocah ingusan
itu! Mengerti"!"
"Mengerti, Tuan Laksamana!"
"Jika kau pulang tanpa membawa bayi Mayang Suri dan kepala anak muda itu,
kuperintahkan agar kau menggantung dirimu sendiri di depan kapalku ini!
Jelas"!"
"Jelas, Tuan Laksamana"!"
"Bawa beberapa orang untuk berjaga-jaga jika kalian kepergok Pawang Jenazah,
habisi mereka sekalian!
Jangan sisakan satu pun!"
"Baik, Tuan Laksamana!"
"Jalan!"
Plokkk...! Satu tamparan sebagai ucapan selamat jalan diterima oleh Perwira Loyang.
Tamparan keras itu juga sebagai ucapan selamat berjuang dan tunaikan tugas.
Setiap kali akhir
perintahnya, laksamana selalu memberikan tamparan keras kepada orang-orangnya. Karena itu, Perwira Loyang menganggap
tamparan tersebut adalah belaian
kasih sayang seorang atasan kepada bawahannya. Mungkinkah hal itu membuat Jowala merasa iri"
Tidak. Jowala tidak merasa iri. Baginya, lebih baik ia tidak mendapat belaian
kasih sayang dari Laksamana
Cho Yung, ketimbang harus tebal wajahnya karena
sering dipakai bahan tamparan si orang bertangan besar itu. Lebih baik tak perlu
mendapat ucapan selamat jalan atau selamat berjuang, daripada giginya rontok
lagi seperti tempo hari, Ketika Jowala mendapat ucapan selamat jalan dari sang
laksamana. Tugas mencuri bayi sekarang ada di tangan Perwira Loyang. Hanya orang-orang
terpilih dan dipercaya yang mendapat tugas penting seperti itu, sehingga
walaupun kulit pipinya memar merah, tapi Perwira Loyang merasa bangga dalam
hatinya karena dipercaya mengemban
tugas penting itu.
Ia membawa sepuluh orang berkuda. Tapi yang
terpilih akhirnya hanya tiga orang termasuk Jowala sendiri,
sisanya ditinggalkan karena

Pendekar Mabuk 015 Pawang Jenazah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kurang bisa menunggang kuda. Mereka melaju menyusuri pantai
menuju kaki bukit di mana ada desa yang menjadi
tempat tinggal bayi anak mendiang Dewa Maut itu.
Empat orang berkuda itu tiba-tiba menghentikan
langkah kuda masing-masing ketika dilihatnya dari arah depan muncul lima orang
berkuda. Lima orang itu
adalah anak buah Pawang Jenazah yang memisahkan diri sejak Pawang Jenazah
menemui Suto dan Bunga
Bernyawa yang pingsan hari kemarin.
"Jowala, kau hadapi kelima orang itu bersama Rompa dan Gandra!"
"Itu soal mudah, Perwira Loyang! Asal jangan ada Pawang Jenazah!"
"O, jadi kau takut kepada Pawang Jenazah?"
"Bukan takut, tapi jijik! Aku tak bisa menyentuh kulit orang yang hidupnya
bergaul akrab dengan mayat-mayat hidup itu! Jijik sekali!"
"Sudah jangan banyak dalih! Hadapi mereka dan habisi sekarang juga!" bentak
Perwira Loyang dengan galak, ia memang selalu tampil galak jika di belakang
Laksamana Cho Yung. Tapi jika ada di depan Laksamana Cho Yung, kegalakannya itu bagai lenyap tanpa bekas.
Sengaja Perwira Loyang mencari tempat teduh.
Semilir angin dinikmatinya dengan santai sekali. Sementara matanya sesekali memandang ke arah kira-kira sepuluh tombak lebih, di
mana terjadi pertarungan antara ketiga anak buahnya melawan lima orang anak buah
Pawang Jenazah. Sesekali Perwira Loyang melepaskan tawa terkekeh-kekeh melihat lawannya
dibuat berjungkir balik oleh Jowala atau Rompa.
Pedang dan golok anak buah Perwira Loyang
berkelebat cepat dan memenggal beberapa kepala lawan.
Yang sudah terlihat jelas menggelinding adalah dua kepala lawan. Kepala itu
terpental saat dipenggal oleh pedang
Gadra, menggelinding bagaikan bola dan berhenti tak jauh dari tempat Perwira Loyang yang tetap berada di atas punggung
kuda. "He he he he...! Kalau saja Pawang Jenazah melihat kepala itu, pasti dia akan
lari terkencing-kencing menghindari seranganku! Dia belum pernah melihat kalau
aku dan anak buahku sudah mengamuk, gunung pun tak mampu membendung amukan
kami!" kata
Perwira Loyang, bicara sendiri seperti orang gila.
"Ah, sayang sekali pedangku tak sempat kuambil!
Pedang itu masih tertancap di pohon ketika aku
menyerang anak muda itu! Brengsek! Siapa anak muda itu
sebenarnya"
Gatal tanganku ingin segera melawannya."
Derap kaki kuda mendekati Perwira Loyang. Tiga
anak buahnya telah merampungkan tugas dengan cepat.
Kelima orangnya Pawang Jenazah telah tak bernyawa semua.
"Perwira Loyang, keadaan sudah aman!"
"Mati semua?"
"Mati semua, Perwira!"
"Bagus! Mari kita lanjutkan langkah kita!"
"Arah mana yang lebih dulu kita tuju, Perwira?"
tanya Gadra. "Desa Karang Tunda! Kita curi bayi si Mayang Suri itu!" jawab Perwira Loyang.
Jowala menyahut.
"Mengapa kita tidak cari pemuda yang membawa lari Nona Bunga Bernyawa dulu"'
"Kita tak tahu tempatnya secara pasti, Jowala!"
"Tapi Nona Bunga harus cepat diselamatkan dari tangan pemuda itu, sebelum pemuda
itu sempat meniduri Nona Bunga, Perwira!"
"Kurasa hari ini pemuda itu sudah berhasil tiduri Nona Bunga!"
"Ya. Tapi mungkin baru satu atau dua kali!"
"Ah, lupakan dulu soal Bunga Bernyawa!" kata Perwira Loyang.
"Lebih baik kita pusatkan perhatian kita pada Desa Karang Tunda. Soal perempuan
itu, soal kecil. Toh kita ditugaskan membunuh perempuan itu jika ketemu!"
"Justru itu sebelum kita bunuh kita manfaatkan dulu untuk menikmati kehangatan
tubuhnya," kata Jowala.
"Sudah lama aku sering mengincarnya, aku sangat berselera padanya. Tapi aku tak
berani berbuat apa-apa karena dia masih jadi gundiknya Laksamana Cho Yung!
Sekarang dia sudah seperti dibuang oleh laksamana.
Rasa-rasanya sangat bodoh jika aku tak manfaatkan kesempatan emas ini untuk
melampiaskan impianku
selama ini, Perwira! Tidakkah kau sendiri punya gairah untuk menikmati
kehangatan dan keindahan tubuh Nona Bunga, Perwira?"
"Aku sudah tak pernah punya gairah lagi kepada perempuan!"
"Ha ha ha ha...!" tawa Jowala yang segera diikuti oleh tawa Gadra dan Rompa.
Tapi tiba-tiba tawa Rompa terhenti dengan satu
sentakan suara tertahan.
"Huhhg...!"
Tubuh Rompa segera limbung dan jatuh terjungkal
dari atas kuda. Cepat-cepat semua temannya memandang sekeliling, karena mereka
melihat sekelebat pisau melayang dan menancap di dada kiri Rompa, tepat di
bagian jantungnya.
Mereka sudah berada di hutan, sehingga mereka
segera menyusuri tiap pohon yang ada di sekelilingnya.
Mereka juga pandangi bagian atas pohon untuk mencari
penyerang gelap. Tapi sampai beberapa lama mereka tidak temukan di mana letak
persembunyian penyerang gelap itu.
"Bangsat...! Keluar kau!" teriak Perwira Loyang dengan mata galaknya mulai
menjadi liar dan buas.
Gadra memeriksa mayat Rompa dan segera berkata,
"Rompa mati, Perwira!"
Plokk...! Tangan Perwira Loyang menampar keras mulut
Gadra hingga orang itu mengerang kesakitan. Dengan geram Perwira Loyang ucapkan
kata, "Jangan anggap aku orang bodoh, tahu"! Tanpa kau katakan begitu, aku sudah tahu
kalau Rompa mati! Yang penting
bukan mencari nyawa Rompa, tapi cari penyerang gelapnya!'
Gadra segera melesat pergi untuk mencari penyerang gelap,
ia menerabas tiap semak-belukar untuk membuktikan kepada Perwira Loyang bahwa ia telah melakukan tugas mencari
penyerang gelap itu. Jowala sendiri juga melesat pergi berpencar, mencari ke
arah lain. Kini tinggal Perwira Loyang sendirian di dekat kuda-kuda yang mereka
tambatkan secara asal-asalan itu.
"Di mana orang itu kira-kira?" pikir Perwira Loyang,
"Tak mungkin pisau itu melayang sendiri tanpa ada yang melemparkannya! Hmm...
sepi sekali hutan ini! Suara binatang pun tak kudengar sejak tadi. Jangan-jangan
hutan ini angker"!"
Sambil berkata begitu bulu kuduk Perwira Loyang
berdiri. Matanya jelalatan ke mana-mana dengan tegang.
Gerakannya lebih sering merapat dekat kudanya. Di tengah sepinya suasana hutan
itu, tiba-tiba terdengar suara jerit yang menggema,
"Aaaa...!"
Hati Perwira Loyang tersentak kaget. Jerit itu berasal dari tempat perginya
Gadra. Perwira Loyang bergumam lirih,
"Suara Gadra itu tadi! Ada apa dengan dia?"
Kemudian, Perwira Loyang serukan suaranya, "Gadra..."! Ada apa di sana"! Kau baik-baik saja, bukan"!"
Tak ada jawaban yang terdengar. Sepi tetap sunyi, dan hati Perwira Loyang
menjadi makin jengkel karena waswas, ia menggerutu sendiri dengan suara lepas.
"Dasar orang bisu!"
Tanpa senjata apa pun, Perwira Loyang masih bersiap menunggu lawan di tempat.
Badannya memutar ke sana-sini, takut ada serangan mendadak dari penyerang gelap,
ia sempat melirik mayat Rompa, lalu timbul gagasan untuk mencabut pisau ukuran
sejengkal dari dada mayat Rompa. Pisau itu akan digunakan untuk melempar atau
menyerang siapa pun yang tahu-tahu menyerangnya dari belakang.
Sunyinya hutan kembali dirobek oleh suara jeritan yang memanjang.
"Aaaa...!"
Dalam hati Perwira Loyang berkata dalam keluh.
"Wah, itu suara Jowala! Apakah dia dalam bahaya" Oh,
sebaiknya aku segera mencari Jowala ke arah kiri sana!"
Baru saja Perwira Loyang mau bergerak pergi
tinggalkan tempat, tiba-tiba terdengar suara, krosak...! Ia berpaling ke
belakang. Pisau hampir saja dilemparkan.
Ternyata Gadra yang keluar dari rimbunan semak di sebelah kanannya itu. Gadra
berdiri dengan mata
memandang Perwira Loyang, membuat yang dipandang berseru membentak,
"Mengapa kupanggil tak menyahut, hah"! Sudah tuli dan bisukah kamu, Gadra"!"
Gadra diam saja. Perwira Loyang makin jengkel tak mendapat jawaban dari anak
buahnya, ia segera
menghampiri anak buahnya itu dan ditamparnya keras-keras. Plokkk...!
"Lain kali kau harus jawab setiap seruanku, mengerti"!"
Tiba-tiba tubuh Gadra meliuk dan rubuh ke depan.
Brukk...! "Hah..."!" Perwira Loyang terbelalak kaget. Ternyata di punggung Gadra telah
menancap sebuah pisau yang lebih besar dari pisau yang menancap di dada Rompa
itu. Pisau yang bergagang besar wama hitam itu menancap hampir habis. Tinggal sisa
sedikit bagian tajamnya yang terlihat di punggung Gadra.
"Jahanam! Rupanya anak ini telah mati sejak tadi!"
geram Perwira Loyang dengan rasa sesal akibat
tamparannya tadi, dan rasa jengkel akibat tindakan seseorang yang telah
menewaskan Gadra.
Tubuh Gadra yang tengkurap dengan kepala miring,
wajahnya tampak pucat dan matanya mendelik itu,
akhirnya hanya dilangkahi oleh Perwira Loyang. Karena kejap berikutnya ia
melihat Jowala muncul dari balik pohon, tempatnya pergi tadi.
Jowala hanya berdiri dengan mata memandang Gadra tak berkedip, ia berdiri tak
bergerak, sehingga Perwira Loyang semakin tegang dan cemas. Hatinya membatin,
"Yaah... mati juga Jowala akhirnya !"
Perwira Loyang menghampiri Jowala dan dengan hati sedih ia berkata di depan
orang itu, "Siapa yang membunuhmu"
Katakan! Akan kubalaskan supaya arwahmu tidak penasaran di alam baka sana, Jowala! Siapa yang
membunuhmu?"
"Tidak ada, Perwira!" jawab Jowala dengan datar dan lemas.
Perwira Loyang kerutkan dahi, lalu cepat meraih
pundak Jowala dan memutar tubuh orang itu. Ia periksa bagian punggungnya,
ternyata tak ada pisau menancap seperti tubuh Gadra tadi. Maka, Perwira Loyang
bertanya tanpa sadar,
"Tak ada pisau di punggungmu"
Kapan kau mencabutnya"!"
"Aku tak tertancap pisau seperti Gadra, Perwira! Tapi aku berhasil membelah dada
orang itu!"
"Orang itu siapa" Seperti apa ciri-cirinya" Kau mengenalnya"'
Jowala menjawab, "Siapa lagi jika bukan anak buahnya Pawang Jenazah, Perwira!"
Dan tiba-tiba dari arah belakang Perwira Loyang, dari
tempat munculnya mayat Gadra tadi, muncul pula
seorang bersenjata cangkul kecil. Orang itu segera melemparkan
cangkulnya dalam gerakan berputar. Sambil melepaskan cangkulnya, ia juga melepaskan pukulan tenaga dalam dari
tangan kirinya berupa sinar hijau melesat cepat.
"Awas!" seru Jowala seketika itu, tangannya segera singkirkan Perwira Loyang
hingga orang itu jatuh ke samping. Jowala cepat kibaskan pedang besarnya untuk
menangkis cangkul yang membahayakan itu.
Trakk...! Zrubb...! "Aahg...!"
Sinar hijau itu menghantam dada Jowala sekalipun ia berhasil menyingkirkan
cangkul kecil itu. Sinar hijau membuat dada Jowala membiru seketika. Tapi pada
saat itu, Jowala sempat kibaskan tangan kanannya dalam gerakan memutar dari
belakang ke depan, dan pedang besarnya itu melesat cepat ke arah Cangkul Lahat.
Jrubb...! "Nghh...!" Cangkul Lahat tak mampu berteriak.
Pedang besar itu menancap di perutnya. Hampir separo bagian yang terbenam di


Pendekar Mabuk 015 Pawang Jenazah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perut. Dan hal itu membuat Cangkul Lahat tak sanggup berdiri lebih lama lagi. Ia
pun rubuh dengan bersimbah darah dan mata tak
berkedip walau sudah tak bernyawa seujung kuku pun.
"Jowala! Lain kali kau tak boleh singkirkan aku begitu saja! Kau harus...
harus...!" Perwira Loyang tak melanjutkan kata, karena ia melihat dada Jowala
makin membiru, dan Jowala mendelik tak bergerak. Setelah diperiksa, ternyata ia telah
mati dalam keadaan berdiri.
"Jowala..." " gumam Perwira Loyang pelan, penuh sesal dan kesedihan, ia tepuktepuk pipi orang itu.
Jowala tetap tak mau bernapas lagi. Bahkan tepukan pelan itu membuat tubuh tak
bernyawa itu jatuh
berdebam seperti jatuhnya tubuh mayat Gadra tadi.
"Bangsat! Habis sudah anak buahku!" geram Perwira Loyang dengan darah makin
mendidih dan murka siap terlepaskan. Tapi ia tak punya sasaran untuk melepaskan
murkanya, sehingga hanya napasnya yang terengah-engah melawan nafsu amarahnya
sendiri. Tetapi, tiba-tiba ia melihat mayat Rompa pelan-pelan bangkit berdiri dengan mata
membelalak putih. Mayat itu pun kini menjadi tegak. Perwira Loyang merasa lega,
ternyata ada satu anak buahnya yang masih bisa
diharapkan bantuannya.
"Rompa...! Oh, syukurlah kalau kau masih hidup!"
Perwira Loyang mendekati Rompa. Tapi tiba-tiba tangan Rompa bergerak mencakar
wajah lonjong berkumis
turun itu. Crass...!
"Edan!" pekik Perwira Loyang. Untung ia cepat kibaskan tangan untuk menangkis
cakaran tangan Rompa yang tiba-tiba, sehingga kulit lengannya koyak sedikit terkena cakaran
itu. "Gggrrr...!"
Rompa menyeringai, menampakkan giginya dengan mengeluarkan suara geram keganasan.
Matanya yang putih terasa lebih mengerikan dalam keadaan melangkah pelan,
setindak demi setindak.
Mendadak, Perwira Loyang dikejutkan
kembali dengan bangkitnya mayat Gadra. Pelan gerakannya, putih matanya, menyeringai, dan
mengeluarkan geram dengan tangan sedikit terangkat, siap menerkam dan mencakar
lawannya. "Pasti ini pekerjaan si Pawang Jenazah! Bangkai busuk dia itu!"
Disusul kemudian bangkitnya mayat Jowala yang
sama seramnya dan sama ganasnya dengan mayat
Rompa dan Gandra. Kini, Perwira Loyang telah
dikepung oleh mayat temannya sendiri. Ia menjadi tegang dan kebingungan
menghadapinya. * * * 6 MAYANG Suri perempuan yang lugu, anak seorang
kepala desa yang sudah almarhum. Dia merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara.
Dia perempuan yang punya ilmu, namun tak terlalu tinggi. Dia perempuan cantik
berkulit hitam manis. Banyak pemuda desa yang terpikat oleh kecantikannya, tapi
hanya bertepuk sebelah tangan.
Ketika desa itu diserang oleh perampok-perampok
dari kulon, muncul seorang penolong yang sudah cukup banyak usianya tapi masih
kelihatan awet muda.
Penolong itu adalah Dewa Maut. Dalam pengelanaannya itulah, Dewa Maut terpikat
oleh Mayang Suri, lalu mereka saling jatuh cinta dan menikah. Tapi hanya tiga
bulan pernikahan itu berlangsung. Ketika benih dalam
kandungan Mayang Suri berubah menjadi janin, Dewa Maut pun mati dibunuh oleh
seorang musuh lamanya.
Pada saat benih itu berubah menjadi janin, saat itulah hilang semua ilmu yang
dimiliki oleh Dewa Maut.
Di sebuah rumah warisan orangtuanya, Mayang Suri tinggal bersama bayinya, juga
tinggal bersama istri kakaknya
yang belum mempunyai keturunan itu. Sekalipun Mayang Suri hidup sebagai janda, tapi
kecantikannya masih mengundang selera banyak lelaki.
Tak jarang Mayang Suri harus menghindari niat lelaki yang bermaksud mendekati
dan mempersuntingnya.
Karena itu, kedatangan Pendekar Mabuk ke rumah
Mayang Suri sempat dicurigai sebagai pria yang ingin memperistri Mayang Suri.
Kedatangan Suto itu jadi bahan perhatian para tetangga dan jadi bahan kasakkusuk di antara mereka.
Kedatangan Suto bersama Bunga Bernyawa disambut
oleh Sulasih, istri dari kakaknya Mayang Suri. Sulasih masih muda, sebaya dengan
Mayang Suri. Sulasih tak berkedip saat pertama menerima kedatangan Suto.
Matanya memandang kagum terhadap ketampanan dan
daya tarik yang terpancar dari mata Pendekar Mabuk itu.
Dalam hatinya, Sulasih membantin, "Kalau Mayang Suri menolak lamaran pemuda
tampan ini, sungguh
bodoh otaknya! Dalam kurun waktu sepuluh tahun lagi, belum tentu Mayang bisa
bertemu dengan pemuda
setampan tamu yang satu ini! Dia sangat menawan dan mendebarkan hati. Kalau saja
aku belum bersuami, tak menolak jika aku dilamar oleh pemuda ini! Oh, sungguh
beruntung Mayang Suri bisa mendapatkan pemuda
tampan sebagai pengganti suaminya. Jujur saja hatiku mengatakan, pemuda ini jauh
lebih gagah, lebih tampan dan lebih mendebarkan hati dibanding Dewa Maut,
bekas suami Mayang itu!"
Bunga Bernyawa merasa tak enak melihat Pendekar
Mabuk dipandangi terus-menerus oleh Sulasih. Maka, dengan sedikit ketus Bunga
Bernyawa segera ajukan pertanyaan kepada Sulasih,
"Kami ingin bertemu dengan Mayang Suri! Jika dia ada tolong panggilkan, jika
tidak ada tolong sebutkan kemana perginya!"
"Oh, hmmm... ya, ada! Mayang Suri ada di belakang.
Dia sedang menyusui anaknya! Sebentar, saya panggilkan dia!" kata Sulasih, tapi matanya tidak memandang Bunga Bernyawa,
melainkan menatap ke
arah Suto Sinting, ia pun bergegas pergi dengan
perasaan sayang meninggalkan Suto di serambi depan.
Sesampai di kamar Mayang Suri, Sulasih segera
menceritakan ketampanan Pendekar Mabuk dengan
sangat berapi-api dan tertawa-tawa penuh riang, ia katakan,
"Tak rugi kau bersuamikan dia! Sudahlah, lekas temui pemuda itu. Dia datang
bersama tabib yang
kemarin hari datang ingin mengobati bayimu itu!"
"Tabib..."! Tabib cantik itu" Ah, aku curiga sama tabib itu!" kata Mayang Suri
dengan dahi berkerut.
"Mengapa curiga?"
"Adakah seorang tabib secantik itu?"
"Dia tabib dari negeri Cina, tempat asal bekas suamimu itu!"
"Sekalipun dari negeri Cina, tapi aku sangsi dan curiga dengan tabib itu.
Caranya memandangku, caranya memandangi bayiku ini, sepertinya dia punya maksudmaksud lain yang tersembunyi di balik kebaikannya!
Perasaanku jadi tak enak."
"Kalau begitu, lupakanlah tentang tabib itu, curahkan perhatianmu pada pemuda
tampan itu! Dia bukan hanya tampan, tapi kelihatannya berilmu tinggi juga,
Mayang! Kuharap kau tidak menolaknya jika ia ingin melamarmu sebagal istrinya!"
"Ah, kau ini!" Mayang Suri menjadi tersipu malu sendiri. Tapi hatinya jadi
berdebar-debar kendati ia belum
melihat setampan apakah pemuda yang diceritakan kakak iparnya itu.
Dengan mengenakan baju kebaya panjang warna
hijau tua dan kain coklat muda, angkin warna kuning, Mayang Suri menemui tamunya
di serambi depan.
Seperti apa kata Sulasih, pemuda itu memang tampan menurut penilaian Mayang
Suri. Tampan dan punya
daya tarik yang menggetarkan hati. Lebih tampan dan lebih menarik dari bekas
suaminya. Tapi seperti apa kata Sulasih juga, pemuda itu datang bersama tabib cantik yang
kemarin ingin membawa
anaknya untuk diobati. Mayang Suri cemas saat matanya beradu pandang dengan
Bunga Bernyawa, ia juga sedikit heran, mengapa sekarang tabib cantik itu datang
tanpa diusung dengan tandu kehormatan"
"Mayang, aku datang lagi bersama... bersama seorang temanku ini yang bernama
Suto, Pendekar Mabuk!" kata Bunga bernyawa.
"Anakku sudah sembuh. Panasnya sudah turun.
Kurasa tak perlu seorang tabib lagi!" kata Mayang Suri sambil menggendong
bayinya. "Kedatangan
kami bukan untuk melakukan pengobatan,"
kata Suto, "Kami datang untuk menolongmu dan bayi itu, Mayang Suri."
"Kami tidak butuh pertolongan kalian! Jadi sebaiknya kalian segera tinggalkan
aku dan bayiku ini! Jangan ganggu kami lagi."
Bunga Bernyawa segera menyahut, "Ini demi keselamatanmu dan keselamatan bayimu, Mayang Suri!"
"Hmm... aku... aku merasa dalam keadaan baik-baik saja! Bayiku juga baik-baik
saja! Tak ada yang perlu kalian perbuat untuk kami!"
"Kamu belum tahu yang sebenarnya. Bayimu dalam ancaman bahaya, Mayang Suri! Kami
harus selamatkan bayimu!" kata Bunga Bernyawa lagi.
"Terima kasih! Tapi aku merasa masih mampu
menyelamatkan bayiku!"
Suto segera menyahut dengan suara lembut, "Ada bahaya yang mengancam bayimu.
Bahaya itu tidak kau ketahui datangnya, tapi aku dan Bunga Bernyawa tahu persis,
bahwa bahaya itu mengancam keselamatan
bayimu, Mayang Suri. Jadi, sebaiknya ikutlah kami pergi, tinggalkan rumah ini
untuk bersembunyi di tempat yang aman untuk bayimu!"
Mayang Suri berdiri dan mundur mendekati pintu
arah dalam, "Tidak! Aku tak mau pergi bersama kalian!
Aku tak mau serahkan bayi ini!"
"Mayang Suri, percayalah...!"
Pendekar Mabuk berdiri dan maju setindak. "Percayalah padaku, aku tidak akan mencelakai bayimu
sedikit pun!"
"Tidak! Sebaiknya tinggalkan saja kami, dan kalian tak perlu datang lagi
kemari!" Dari arah luar halaman rumah itu terdengar seseorang berseru,
"Mayang...! Ada apa ..."!"
Lelaki berpakaian biru tua itu bergegas mendekati Mayang Suri. Sulasih pun
muncul dari dalam dengan perasaan heran melihat ketegangan tersebut. Lelaki yang
menyandang golok di pinggang, berwajah kaku, keras, rambut ikal badan besar itu
segera ajukan tanya kepada Pendekar Mabuk dengan sikap tidak bersahabat,
"Siapa kau" Mau apa datang kemari?"
"Aku Suto, dan itu temanku, Bunga Bernyawa dari negeri Cina!"
"Apa perlumu kemari" Katakan!" bentak lelaki berbaju biru yang ternyata adalah
kakak Mayang Suri bernama Wicaksono, suami Sulasih.
"Jangan kasar-kasar, Kang," bisik Sulasih dan terdengar di telinga Pendekar Mabuk.
"Kamu tak perlu ikut bicara!" kata Wicaksono kepada istrinya.
"Kulihat dia punya gelagat tak baik terhadap Mayang Suri!"
Mayang Suri segera berkata, "Mereka ingin membawa bayiku, Kang!"
"Apa..."! Ingin membawa bayimu"! Apa mereka pikir kita ini orang gila"!
Seenaknya saja mau bawa pergi bayi ini"! Tidak! Aku tidak izinkan bayimu dibawa
pergi oleh siapa pun!"
Suto berkata dengan sabar, "Bayi itu akan dicuri orang! Percayalah! Cepat atau
lambat, akan ada orang datang mencuri bayi itu!"
"Kalianlah pencurinya!" bentak Wicaksono dengan mata
melotot kepada Pendekar Mabuk. Sesekali memandang ke Bunga Bernyawa.
Bunga Bernyawa berkata dengan nada tersinggung,
"Jangan menuduh kami begitu! Itu namanya kamu pancing bentrokan dengan kami!"
"Kalian yang memancing bentrokan! Kalian yang mencari-cari masalah!" sambil
Wicaksono menuding-nuding Suto dan Bunga.
Bunga Bernyawa mulai panas hati melihat sikap
Wicaksono. Suto tahu, Bunga Bernyawa menggeletakkan giginya dan ingin melepaskan pukulan kepada Wicaksono, tapi
Pendekar Mabuk menggeleng kecil tak kentara. Hanya Bunga Bernyawa yang tahu
gerakan geleng kepala yang berarti larangan untuk berbuat kasar.


Pendekar Mabuk 015 Pawang Jenazah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Keluar kalian dari rumahku ini! Keluar!" bentak Wicaksono semakin berani, ia
bahkan mendorong-dorong Pendekar Mabuk, sehingga Pendekar Mabuk
terdesak mundur.
"Jangan paksa aku bertindak kasar terhadap kalian!
Keluar sana!" tambah Wicaksono. Mayang Suri dan Sulasih hanya pandangi tindakan
Wicaksono dengan hati berdebar-debar.
"Kang Wicaksono, jangan kasar begitu terhadap tamu!" Sulasih akhirnya coba
mengingatkan suaminya.
Tapi sang suami tambah berang karena mulai ada unsur kecemburuan melihat sikap
istrinya seperti membela Suto yang tampan itu.
"Terhadap tamu macam dia tak perlu kita bersikap sopan! Kalau kau mau ikut dia,
keluarlah juga sana!"
"Bukan begitu, Kang!" Sulasih mulai takut.
"Wicaksono,"
kata Pendekar Mabuk kemudian. "Izinkan aku menjelaskan duduk perkaranya masalah bayi itu!"
"Aku tidak butuh penjelasan muslihatmu, Setan!
Hiih...!" Behgg...! Pendekar Mabuk terpental keluar dari serambi dan jatuh di halaman karena pukulan
telapak tangan Wicaksono. Pukulan itu menghentak kuat ke dada Suto dengan secara tiba-tiba. Tak
sempat Suto menghindar dan menangkisnya, karena tidak menyangka Wicaksono akan
melepaskan pukulan sekeras itu. Akibatnya,
Pendekar Mabuk bagai terlempar dengan tubuh terbang, ia jatuh terduduk di
pelataran. Wicaksono segera mengejar dengan bernafsu untuk
menghajar tamunya. Tapi Bunga Bernyawa segera
melompat dan bersalto satu kali. Dalam kejap berikut ia
sudah berada di arah kanan Wicaksono yang mau
melepaskan tendangan ke arah Pendekar Mabuk. Bunga Bernyawa cepat berseru,
"Jangan sekali lagi sentuh dia, Wicaksono!"
Berpaling cepat Wicaksono kepada Bunga Bernyawa.
Wajahnya menampakkan geram kemarahan yang tertahan. Dengan garang ia berkata,
"Kalau kalian tak mau aku bertindak kasar, cepatlah pergi dari rumahku ini!
Sekarang juga, pergi kalian!"
Pendekar Mabuk bangkit dan tarik napas dalamdalam untuk menahan kesabaran di dalam hatinya. Lalu, ia berkata,
"Kau akan menyesal jika tak mau turuti saran kami.
Wicaksono!"
"Persetan dengan saranmu! Hiaaat...!"
Wicaksono melepaskan pukulan jarak jauhnya walau sebenarnya jarak mereka hanya
empat langkah. Tetapi sebelum tangannya berkelebat maju dalam satu sentakan,
tubuh Bunga Bernyawa sudah lebih cepat bergerak
menyerang. Satu lompatan ringan bertenaga berat
dilakukan oleh Bunga Bernyawa. Tendangan kaki dalam lompatan itu tepat mengenai
lengan Wicaksono. Tapi karena tendangan itu bertenaga berat maka tubuh
Wicaksono pun terhempas ke samping dan tergulingguling.
Bukk...! Brukkk...!
Wicaksono semakin garang, ia cepat bangkit dan
memandang angker kepada Bunga Bernyawa. Nona
manis itu hanya sunggingkan senyum sinis dengan
wajah angkuhnya, ia berdiri sigap dan siap menghadapi serangan dari Wicaksono.
Sementara itu, Pendekar Mabuk tak mau mencegah Bunga Bernyawa, karena
menurutnya Wicaksono memang perlu diberi pelajaran sedikit dari Bunga Bernyawa.
Tak perlu dirinya sendiri yang turun tangan. Cukup Bunga Bernyawa saja sudah
bisa bikin Wicaksono jera. Suto yakin, Wicaksono tak bisa mengungguli ilmu Bunga
Bernyawa. Buktinya, ketika Wicaksono melepaskan pukulan
tenaga dalamnya dari jarak sepuluh langkah, Bunga Bernyawa juga melepaskan
pukulan jarak jauhnya
sebagai tandingan pukulan Wicaksono.
"Heaaah...!" Bunga Bernyawa bertahan dalam posisi berdiri tegak dan kakinya
sedikit merenggang, tangannya yang satu di depan dada keluarkan tenaga hingga
sedikit bergetar. Sementara itu Wicaksono menggunakan kedua telapak tangannya
untuk bertahan melawan tenaga jarak jauh yang terasa ingin mendorong tubuhnya
dengan kuat. Tiba-tiba Wicaksono menyentak pendek kedua tangannya itu. "Hiaat...!"
Wuttt...! Bunga Bernyawa nyaris terpelanting jika tak segera melepaskan
pertahanannya dan ia melenting di udara sambil bersalto satu kali. Jika Bunga
Bernyawa masih mempertahankan sikapnya maka ia akan terdorong keras ke belakang dan mungkin tubuhnya akan membentur tembok halaman
yang berjarak lima langkah di belakangnya itu.
Suto sedikit terkejut melihat kekuatan Wicaksono.
"Rupanya dia punya isi cukup lumayan!" pikir Pendekar Mabuk. "Dilihat dari
sentakan tangannya yang pendek saja tapi bisa membuat Bunga Bernyawa hampir
terpental, itu tandanya Wicaksono tak boleh dianggap ringan oleh Bunga Bernyawa.
Kalau Bunga Bernyawa meremehkannya, Wicaksono bisa melukainya!"
Rupanya Bunga Bernyawa pun membatin demikian.
Karena itu, Bunga Bernyawa mulai tak mau menganggap remeh Wicaksono dan lebih berhati-hati lagi.
"Jangan paksakan diri melawanku jika ilmumu baru seujung rambut, Nona! Kau bisa
kubunuh dalam waktu sekejap!" seru Wicaksono.
"Majulah kalau memang kau mampu membunuhku!"
tantang Bunga Bernyawa.
"Kurang ajar! Hiaaat...!"
Wicaksono berlari menyerang, Bunga Bernyawa pun
berlari maju menyambut serangan lawan. Mereka sama-sama lompat dan melesat di
udara. Keduanya saling adu pukulan dengan menggunakan kedua telapak tangan
mereka. Blapp...! Benturan telapak tangan mereka timbulkan nyala api putih berpendar
sekejap. Kemudian, Bunga Bernyawa terpental ke belakang dan Wicaksono pun
demikian. Bunga Bernyawa bersalto balik dan mampu mendarat dengan tepat,
sedangkan Wicaksono terlempar dengan hilang keseimbangan badan, ia jatuh
membentur sebuah pohon dengan kerasnya, hingga dedaunan pohon
berguncang dan sebagian ada yang rontok.
"Aaahg...!" Wicaksono sentakkan napas dan keluar darah dari mulutnya.
"Kaaang...!" seru Sulasih dengan tegang, ia segera lari mendapatkan suaminya dan
menolongnya untuk
berdiri. Wicaksono sontakkan darah kembali dari
mulutnya. Wajahnya menjadi pucat pasi. Mayang Suri juga cemas. Sambil
menggendong bayinya ia bergegas mendekati kakaknya.
Sementara itu Bunga Bernyawa dipandangi Pendekar Mabuk dengan tajam, seakan
menerima teguran keras dari Suto. Bahkan ketika Suto mendekat terdengar suaranya
berbisik, "Terlalu lepas kendali kau!"
"Aku jengkel sekali padanya!"
Terdengar Mayang Suri berseru dari tempat kakaknya yang lemas itu,
"Kalian harus bertanggung jawab atas luka dalam Wicaksono!"
Pendekar Mabuk bergegas hampiri Mayang Suri.
"Suruh minum tuak ini sedikit, luka dalamnya akan sembuh! Percayalah! Ini bukan
racun!" Bunga Bernyawa tambahkan kata, "Kalau kami
bermaksud jahat, mudah sekali membunuh kakakmu
sekarang juga. Tak perlu Suto kasih minum tuak untuk obat luka dalam itu!"
Wicaksono terpaksa meneguk sedikit tuak bumbung
Pendekar Mabuk, karena ia tak tahan lagi merasakan panas di dalam dada dan
perutnya yang seperti dibakar
oleh semburan api lahar. Dan setelah ia teguk sedikit tuak itu, ia merasakan ada
perubahan yang melegakan.
Rasa panas seperti semburan api lahar itu menjadi dingin. Sekujur tubuhnya
justru merasa segar dalam waktu yang amat singkat.
Suto segera berkata di depan Mayang Suri dan
Wicaksono yang masih didampingi Sulasih,
"Maafkan kami. Jika maksud baik kami dianggap jahat, kami akan pergi secepatnya.
Tapi perlu kalian ketahui, bayi itu diincar oleh orang sesat bernama Laksamana
Cho Yung. Dia adalah adik dari Dewa
Maut!" "Itu nama almarhum suamiku!" sahut Mayang Suri.
"Benar. Aku tahu hal itu. Tapi kau tak tahu kalau bayimu telah menjadi bayi
sakti, karena semua ilmu Dewa Maut ada di dalam diri bayi itu. Dalam usia
delapan tahun bayi itu bisa menumbangkan orang
berilmu tinggi seperti Laksamana Cho Yung. Karena itu, Laksamana Cho Yung
mengincar bayimu, dia ingin
memiliki semua ilmu mendiang kakaknya, dan dia tak rela jika ilmu itu jatuh ke
tangan orang lain, sekalipun ke tangan keponakannya sendiri!"
"Dengan cara apa dia mau mengambil ilmu yang sudah menitis di dalam bayi itu"l"
kata Wicaksono mulai mau mengerti keadaan sebenarnya, dan oleh Bunga
Bernyawa dijawab,
"Bayi itu akan diambil hati dan jantungnya untuk dimakan Laksamana Cho Yung.
Dengan begitu, semua ilmu milik Dewa Maut telah menyatu di dalam diri
Laksamana Cho Yung."
"Jadi bayiku akan dibunuhnya untuk diambil jantung dan hatinya?" Mayang Suri
menjadi tegang.
"Kalau kau tak percaya, tunggulah beberapa waktu lagi, pasti akan datang utusan
dari Laksamana Cho Yung untuk mengambil bayimu, entah secara tipu muslihat atau
secara paksa!"
kata Suto, kemudian Bunga Bernyawa tambahkan kata,
"Utusan pertama adalah aku! Ingat, kemarin aku datang dengan menyamar sebagai
tabib. Tapi hatiku tak tega
melihat bayi itu harus kuserahkan kepada Laksamana Cho Yung. Maka kubatalkan niatku walau untuk itu aku harus pertaruhkan
nyawaku sebagai
gantinya!"
Pendekar Mabuk tambahkan kata juga, "Lalu, kami sepakat
untuk menyelamatkan bayi itu dengan membawanya lari dari rumah ini! Bukan hanya bayi itu yang harus lari dan
bersembunyi, tapi tentunya bersama ibunya juga. Bila perlu seluruh penghuni
rumah ini mengungsi dulu untuk sementara! Aku akan tangani sendiri kekejian
Laksamana Cho Yung itu!" ,
"Mengungsilah demi keselamatan kalian, toh hanya sementara! Jika keadaan sudah
aman kembali, kalian bisa tinggal di rumah ini lagi!" sahut Bunga Bernyawa.
Suto pun kembali berkata,
"Tapi jika kalian menolak uluran tangan kami, kami tak keberatan untuk
tinggalkan kalian sekarang juga!"
Mayang Suri dan Wicaksono saling pandang dalam
kebimbangan. * * * 7 RUPANYA nama Laksamana Cho Yung sudah
bukan nama asing lagi bagi telinga Wicaksono. Ia tahu, Laksamana Cho Yung sedang
berurusan dengan Pawang Jenazah karena telah membunuh anak dan istri Pawang
Jenazah. Wicaksono juga tahu, Laksamana Cho Yung orang berilmu tinggi yang sudah
cukup lama berkelana di tanah Jawa tanpa tujuan yang jelas. Tapi Wicaksono tidak
tahu bahwa Laksamana Cho Yung ternyata adik dari Dewa Maut, bekas iparnya itu.
Mendengar penjelasan dari Bunga Bernyawa dan
Pendekar Mabuk, Wicaksono pun akhirnya putuskan
untuk menyerang Laksamana Cho Yung. Mayang Suri
disarankan untuk melarikan bayinya, bersembunyi di suatu
tempat dalam penjagaan Suto dan Bunga Bernyawa. Tempat persembunyian sudah disepakati. Mayang
Suri mempunyai kakek Eyang Juru Taman, yang tinggal di sebuah pegunungan bernama
Pegunungan Mahagiri.
Eyang Juru Taman adalah adik dari kakek Mayang Suri.
Menurut Wicaksono, tempat yang paling aman untuk sembunyikan bayi itu adalah di
Pegunungan Mahagiri, karena tempat itu cukup jauh dari pantai, jauh dari
jangkauan orang-orang rimba persilatan. Bahkan Sulasih pun disarankan untuk ikut
mengungsi ke Pegunungan Mahagiri.
"Sebaiknya kau tak perlu temui Laksamana Cho Yung. Dia berilmu tinggi dan sangat
mudah mencabut nyawa orang. Dia merasa dirinya seperti dewa, sehingga segala
tindakannya dianggapnya benar!" kata Bunga Bernyawa kepada Wicaksono. Tapi
Wicaksono tak pernah gentar dan takut dengan kekuatan manusia mana pun juga. Wicaksono
beranggapan, jika Laksamana Cho tidak segera dilenyapkan maka bayi Mayang Suri
tetap akan menjadi incaran maut terus-menerus.
"Aku dengar kabar ada dua orang kuat di pihak Laksamana Cho, yaitu Perwira
Loyang dan si Ular
Setan! Hanya dua orang itu yang tergolong kuat, sisanya hanya cecunguk biasa
yang hanya dengan dua-tiga jurus mudah ditumbangkan!" kata Wicaksono. "Dan aku
sudah ukur kekuatan Perwira Loyang serta si Ular Setan!
Aku merasa mampu menumbangkan mereka berdua!
Bahkan untuk tumbangkan Laksamana Cho Yung, aku
punya jurus simpanan tersendiri! Jadi kalian tidak perlu cemaskan diriku! Pergi
dan bersembunyilah sebelum mereka menjamah bayi itu!"
Bayi itu akan menjadi orang sakti menurut pemikiran Wicaksono. Jika sampai bayi
itu mati, Mayang Suri tak punya


Pendekar Mabuk 015 Pawang Jenazah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kekuatan apa pun dimasa tuanya nanti. Wicaksono berpikir sampai ke situ, sehingga dengan penuh semangat ia harus bisa
membunuh Laksamana
Cho Yung. Sebenarnya Wicaksono mempunyai tiga sahabat baik yang sering bantu membantu
dalam beberapa hal.
Mereka juga orang-orang berilmu tinggi. Tetapi dalam
masalah ini, Wicaksono tidak mau melibatkan ketiga temannya itu. ia merasa mampu
bergerak sendiri untuk tandingi Laksamana Cho Yung. Seandainya dia harus mati,
dia cukup bangga bisa mati demi membela nyawa keponakannya. Wicaksono sangat
sayang kepada bayi Mayang Suri itu, karena sekian lama ia menikah dengan Sulasih
tapi belum dikaruniai keturunan. Jadi bayi Mayang Suri itu sudah dianggapnya
seperti anaknya sendiri yang harus dibela dengan selembar nyawanya.
Wicaksono segera gunakan aji 'Bayu Gegana', yaitu ilmu yang bisa membuatnya
bergerak secepat angin.
Sasarannya adalah Pantai Gelagah, karena Wicaksono pernah melihat kapal besar
bersandar di sana. Kapal itu mempunyai hiasan pada haluannya, yaitu seekor naga
bermahkota. Menurut dugaan Wicaksono, kapal itu pasti milik Laksamana Cho Yung,
karena punya ciri budaya Cina. Kapal itulah yang jadi sasaran utama Wicaksono.
Dan dengan menggunakan aji 'Bayu Gegana' ia dapat menempuh waktu setengah hari
Dendam Dalam Darah 1 Pendekar Harpa Emas Karya Rajakelana Dewi Mutiara Hijau 1

Cari Blog Ini