Ceritasilat Novel Online

Pedang Guntur Biru 3

Pendekar Mabuk 014 Pedang Guntur Biru Bagian 3


makan kotoran kambing biar bisa mengembik, makan
kotoran anjing biar bisa melolong, dan... kalau mau sakti
seperti aku ya makan saja...."
Fuih...! Dewi Kelambu Darah sentakkan napas
melalui hidungnya dalam jarak tujuh langkah. Tiba-tiba
Sambar Jantung terbungkuk ke depan sambil memegangi
dadanya. Wajah menjadi merah bagai menahan rasa
sakit yang luar biasa. Kesempatan itu digunakan
Kelambu Darah untuk menggerakkan kepalanya ke kiri
dalam satu sentakan. Wuttt...!
Tubuh Sambar Jantung tersentak ke samping, bagai
sampah dilemparkan begitu saja. Dugg...! Kepalanya
membentur dinding pagar yang keras itu. Ia sempat
terpekik dengan napas tertahan,
"Huggh...!"
Brukk...! Tubuhnya jatuh seperti nangka busuk. Tapi
cepat-cepat ia berdiri setengah kaki dan menamparkan
tangannya ke depan. Wuttt...!
Plakk...! Dalam jarak sudah lebih dari tujuh langkah,
wajah Dewi Kelambu Darah tertampar keras tanpa
tersentuh tangan lawan. Kerasnya tamparan membuat
Kelambu Darah terpelanting ke kiri, dan pipinya menjadi
memar merah. "Kurasa Eyang Sambar Jantung bisa kalah dengan
Dewi Kelambu Darah!" pikir Intan Selaksa dari
tempatnya menjauh. "Perempuan itu tanpa gerakan
tangan bisa menendang, memukul, menampar,
melempar, dan mungkin juga bisa mencekik leher
lawannya. Sedangkan Eyang Sambar Jantung bisa
melakukan hal seperti itu jika ia gerakkan tangannya, ia
tak bisa menggunakan kekuatan mata seperti yang
dimiliki Dewi Kelambu Darah itu. Hmmm...! Siapa yang
menang, aku tak perlu tahu. Karena siapa pun pemenang
pertarungan ini, tetap saja ia mengincar pedang pusaka
itul Dengan kata lain, dia akan mengincarku, karena
akulah yang memegang kunci kamar Cipta Hening!
Haruskah aku menyerahkan kunci itu jika nyawaku
terancam" Oh, tidak! Aku lebih baik melarikan diri
sejauh mungkin dan bersembunyi! Kalau keadaan
terpaksa sekali, biarlah aku mati tapi kunci kamar itu tak
akan kuserahkan kepada siapa pun, seperti pesan Guru
sebelum wafat. Kalau keadaan terpaksa sekali, aku harus
bisa melawan mereka sebatas kemampuan yang ada,
sampai aku mati! Tapi... kalau kunci kamar masih tetap
ada di tubuhku, mereka akan temukan setelah aku mati
dibunuhnya! Jadi, sebaiknya kusimpan dulu kunci ini di
suatu tempat! Hmmm... tapi di mana aku harus
menyimpannya" Dalam keadaan seperti ini, jelas mereka
akan curiga dan akan kejar aku jika aku lari untuk
sembunyikan kunci kamar ini!"
Sambar Jantung tetap bertahan dari serangan mata
maut Dewi Kelambu Darah. Mereka bertarung dengan
sesekali saling hina dan membuat kedua hati bertambah
panas. Tanpa diketahui oleh mereka ternyata kamar yang
diduga sebagai tempat penyimpanan pedang pusaka saat
itu sedang disambangi seseorang, kamar itu didekati
dengan gerakan yang gesit dan tanpa suara.
Seorang perempuan judes berwajah cantik sedang
memeriksa keadaan sekeliling depan kamar Cipta
Hening. Perempuan bermahkota kecil dengan
mengenakan gelang lempengan di kedua lengannya itu
tak lain adalah Ratu Teluh Bumi. Ia berhasil menyusup
masuk ke dalam halaman Kuil Swanalingga melalui
bagian samping. Lompatannya cukup tinggi dan ringan,
sehingga ia berbasil mendekati kamar tersebut tanpa
timbulkan suara sedikit pun.
"Ruang depan itu pasti ruang pemujaan, dan kamar
inilah pasti yang dinamakan kamar Cipta Hening.
Karena menurut desas-desus pusaka itu tersimpan di
salah satu kamar yang ada di dekat ruang pemujaan. Di
sini ada satu kamar, hanya kamar ini! Hmmm..., ya!
Terlihat pintunya begitu kokoh dan...."
Tangan yang ingin meraba pintu itu tiba-tiba ditarik.
Tak sadar mulut Ratu Teluh Bumi berucap, "Ets... ada
racunnya"!"
Kemudian tangan itu meraba tapi tak sampai
menempel di daun pintu itu. Tangan itu merasakan ada
hawa gatal yang terpancar dari lapisan pintu tersebut.
Ratu Teluh Bumi segera ucapkan kata lirih,
"Hmm... tak mungkin dijinakkan racun ini! Bahaya
sekali jika tersentuh kulit sedikit pun. Jika begitu, pasti
ada alat lain yang bisa digunakan untuk membuka pintu
ini! Tak mungkin Begawan Sangga Mega dan muridnya
bisa menyentuh pintu ini tanpa terkena racunnya, karena
tak ada tempat pegangan tangan untuk membuka pintu
ini!" Mata Ratu Teluh Bumi menyusuri tiap dinding batu
yang ada di sekitar pintu. Tapi tak ditemukan susunan
batu yang bisa dicurigai sebagai kunci pembuka pintu
tersebut. "Sepertinya harus didobrak dengan kekuatan ilmu
tinggi!" kembali Ratu Teluh ucapkan kata lirihnya.
Maka, ia pun segera undurkan langkah lima tindak. Dari
sana ia melepaskan pukulan tenaga dalam jarak jauh
melalui telapak tangan kanannya.
Wusssh...! Beeng...!
Pintu tak terguncang sedikit pun. Suara yang timbul
akibat benturan pukulan tenaga dalam itu tak seberapa
keras. Sepertinya suara yang mestinya menggelegar itu
teredam oleh ketebalan pintu itu.
"Pukulan 'Elang Santet' tak bisa menjebolkannya.
Padahal biasanya baja setebal apa pun bisa kujebol
dengan pukulan 'Elang Santet'! Hmmm... kalau begitu
aku harus gunakan jurus 'Lintah Sakti'! Membelah
gunung pun sanggup dengan jurus 'Lintah Sakti', apalagi
hanya pintu sekeras itu!"
Jurus 'Lintah Sakti' keluar dari kesepuluh jari Ratu
Teluh Bumi. Kedua tangannya yang diangkat ke atas itu
membentuk cakar dan menyentak keras hingga
pancarkan sinar merah membara ke arah pintu itu.
Sepuluh sinar merah keluar dari tiap jari tangan Ratu
Teluh. Biasanya pintu akan lumer, atau jebol dalam satu
ledakan yang teramat kuat. Tetapi sinar merah sepuluh
bias itu masih belum membuat pintu menjadi lumer atau
hangus sedikit pun. Malahan timbul sinar biru yang
mengelilingi tepian pintu.
Ratu Teluh Bumi terkejut melihat sinar biru
mengelilingi pintu, ia membatin, "Sinarnya siapa itu?"
Ratu Teluh Bumi palingkan wajah ke kiri selesai
menghentikan pukulan 'Lintah Sakti'-nya. Ternyata di
sana ada seraut wajah tua berjubah abu-abu. Orang itu
sedang tudingkan kepala tongkatnya ke arah pintu, dari
tongkatnya itu keluar sinar biru mengelilingi pintu
tersebut. Sinar itu padam ketika sinar merah 'Lintah
Sakti' pun padam. Ternyata pintu tetap kokoh tak
bergeming. "Setan kurap!" geram Ratu Teluh Bumi sambil
mengarahkan badan ke lelaki tua bertongkat burung
hantu itu. "Kubantu kau menjebolkan pintu itu!"
"Persetan dengan bantuanmu! Aku mampu lakukan
sendiri!" gertak Ratu Teluh Bumi. "Sebaiknya cepat
tinggalkan aku sendirian di sini, Bandot Tembang!"
Si Bandot Tembang malahan sunggingkan
senyumnya. Ratu Teluh Bumi mendengus muak. Bandot
Tembang ucapkan kata dengan nada pelan,
"Aku akan membantumu untuk mendapatkan pusaka
itu! Tapi dengan catatan, kau harus mau mengakui
kekalahanmu dan tunduk padaku! Karena gurumu pun
sudah dibunuh oleh guruku...."
"Dan gurumu sudah kubunuh sendiri!" sahut Ratu
Teluh Bumi. "Mana mungkin aku tunduk kepada
muridnya jika gurunya sendiri kubantai tanpa ampun,
hah"!"
Bandot Tembang bagai disiram air panas wajahnya.
Mulai tampak merah menahan marah. Terbayang
kematian gurunya yang sungguh mengerikan. Sekalipun
peristiwa itu terjadi sekian puluh tahun yang lalu, tetapi
Bandot Tembang masih tetap ingat, ia yang pertama kali
menemukan potongan tangan gurunya, kemudian
bagian-bagian tubuh lainnya ditemukan keesokan
harinya, ia tahu gurunya bertarung dengan Ratu Teluh
Bumi, tapi waktu itu ia tak bisa berbuat apa-apa karena
Guru memenjarakannya di atas pohon. Tak ada yang
bisa menyentuhnya karena ia dilapisi kekuatan anti
pukulan tenaga dalam apa pun. Ia digantung dengan
kepala di bawah karena tindakan yang dianggap sesat
oleh sang Guru.
"Bandot Tembang! Jika kau mau tinggalkan aku
sendirian di sini, umurmu akan panjang. Tapi jika kau
tetap ingin menggangguku, kau akan menyusul gurumu
secepatnya!"
"Mulut betinamu cukup kotor bagiku, Ratu Teluh!
Sebaiknya kususulkan saja nyawamu sendiri agar bisa
minta bantuan gurumu untuk membukakan pintu itu.
Hiiah...!"
Bandot Tembang meremas sendiri tongkatnya sampai
tangannya mengeluarkan otot dan gemetaran. Dari
ukiran mata burung hantu di kepala tongkat
meluncurkan cahaya sinar kuning dua buah. Memanjang
dan menjadi satu di ujungnya. Sinar itu menembus dada
Ratu Teluh Bumi tujuannya. Tapi jari telunjuk Ratu
Teluh Bumi cepat dihadangkan di depan dada. Sinar
kuning itu tepat mengenai ujung jari telunjuk.
Rupanya sinar itu sedang ditangkis oleh Ratu Teluh
Bumi dengan ujung telunjuknya dan berusaha dilawan
kekuatannya hingga kedua kaki Ratu Teluh Bumi
gemetaran. Kedua tubuh itu sama-sama gemetar.
Gerakan sinar juga makin menipis. Kejap berikutnya
sinar kuning itu hilang seketika bagai tersedot telunjuk
Ratu Teluh Bumi. Zlubb...!
Tetapi pada saat itu pula telapak tangan Ratu Teluh
Bumi menjadi menyala kuning. Telapak tangan itu
segera dihentakkan ke depan dan melesatlah sinar
kuning itu berupa gumpalan bola yang bergerak dengan
cepat. Wuttt...!
Bandot Tembang menghadangkan kepala tongkatnya,
sehingga bola kuning menyala-nyala itu menghantam
kepala tongkat itu dengan keras.
Blarrr...! Ledakannya begitu keras dan timbulkan gelombang
hawa panas yang menyentak sangat kuat. Tubuh Bandot
Tembang terlempar ke belakang dan terguling-guling
hingga keluar dari ruang pemujaan, sedangkan tubuh
Ratu Teluh Bumi terpental pula hingga membentur
dinding tepi pintu. Kalau saja saat itu punggungnya
membentur pintu kamar Cipta Hening, pasti Ratu Teluh
celaka, karena racun pintu itu akan menempel di
punggungnya. Ia sangat beruntung karena punggungnya membentur
batuan dinding samping pintu. Tulang punggungnya
terasa mau patah. Sakit sekali. Tapi dengan cepat ia
berhasil mengatasi rasa sakit itu, hanya menggunakan
hirupan napas panjang dan menahannya di dada
beberapa hitungan, ia sudah bisa berdiri kembali dan
cepat berlari untuk menyerang Bandot Tembang yang
terbungkuk-bungkuk di pelataran kuil memuntahkan
darah segar dari mulutnya.
"Hiaaat...!" Ratu Teluh Bumi pekikkan suaranya
sambil melompat terbang ke arah Bandot Tembang yang
sedang berusaha bangkit.
Buhgg...! Dada Bandot Tembang terkena tendangan kaki yang
melompat itu. Tendangan tersebut jelas dialiri tenaga
dalam cukup besar, sehingga membuat Bandot Tembang
terlempar tubuhnya, menghantam pintu gerbang kuil
yang terbuka separo itu. Pintu tersebut jebol dan tubuh
Bandot Tembang terpuruk jatuh tepat di depan kaki
Sambar Jantung.
Pertarungan Sambar Jantung dengan Dewi Kelambu
Darah terhenti. Mereka, juga Intan Selaksa, terkejut
melihat dua orang keluar dari halaman Kuil
Swanalingga. Mereka tampak cemas dan ada
kekhawatiran kalau-kalau Pedang Guntur Biru sudah
berada di tangan mereka. Tapi setelah mata mereka
memeriksa sekilas keadaan Ratu Teluh Bumi dan
Bandot Tembang, mereka menjadi lega karena tak satu
pun dari mereka yang memegang Pedang Guntur Biru.
"Oh, ternyata Ratu Teluh Bumi yang jahat itu juga
hadir di sini?" pikir Intan Selaksa. "Lalu, siapa lagi
tokoh tua yang memuntahkan darah dan terlempar dari
dalam itu"! Aku belum mengenalinya, tapi aku yakin dia
pasti berilmu tinggi. Hmmm...! Empat orang sakti sudah
ada di sini. Bakalan hancur tubuhku kalau tak cepat
melarikan diri. Tak ada yang sanggup kulawan satu pun
dari mereka. Karena kulihat orang yang terlempar itu
sudah berdiri lagi dengan tegak, sepertinya tak pernah
mendapat pukulan hebat dari lawannya!"
"Bandot Tembang..."! Rupanya sejak tadi kau sudah
ada di dalam kuil itu, hah"! Kurang ajar!" geram Sambar
Jantung menggeram.
"Aku juga tak sangka kalau Ratu Teluh pun sudah
ada di dalam sana," sahut Dewi Kelambu Darah. "Kalian
mencari pedang atau sama-sama menggunakan
kesempatan untuk bercinta?"
"Tutup mulutmu, Kelambu robek!" bentak Ratu
Teluh Bumi dengan gusar.
"Hei, tahan dulu!" seru Sambar Jantung. "Gadis itu


Pendekar Mabuk 014 Pedang Guntur Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melarikan diri. Dia pemegang kunci kamar pusaka
tersebut!"
"Mau lari ke mana anak celeng itu, hiaaah...!" Ratu
Teluh Bumi segera sentakkan kaki dan ia melesat pergi
mengejar Intan Selaksa. Melihat Ratu Teluh mengejar
Intan, yang lain pun ikut mengejarnya dengan gusar.
* * * 8 INTAN Selaksa tahu bahwa dirinya dikejar oleh
mereka. Secepat mungkin ia melarikan dirinya. Tapi
kecepatan itu masih kalah juga dengan kecepatan
mereka. Dalam waktu singkat, Ratu Teluh Bumi sudah
berdiri menghadang langkah Intan Selaksa.
"O, bahaya! Dia sudah sampai di depan sana!"
gumam Intan Selaksa dalam ketegangannya. "Sebaiknya
aku lari ke arah kiri saja!"
Wusss...! Intan Selaksa berkelebat tanpa peduli lagi
apakah Ratu Teluh Bumi masih mengejarnya lagi atau
sudah bosan. Yang jelas dia harus cepat selamatkan diri,
karena kunci kamar itu ada di balik ikat pinggangnya.
Baru saja beberapa jarak ia menempuh pelariannya
yang berbelok arah itu, tiba-tiba di depannya sudah
berdiri Sambar Jantung yang segera berseru,
"Intan, jangan takut. Aku melindungimu! Kemarilah,
Anak Manis!"
Mata perempuan muda itu menegang lagi. "Tak
mungkin dia mau melindungiku. Sebelum ia bergerak,
aku harus cepat hindarkan diri!"
Wuttt...! Intan Selaksa berbelok arah. Tak tahu ke
mana tujuannya, yang jelas ia harus bisa selamatkan
dirinya dari kejaran orang-orang bertangan rakus itu.
Jlegg...! Bandot Tembang sudah berdiri di depan
Intan Selaksa dalam jarak sepuluh langkah. Tanpa
berhenti sedikit pun, Intan Selaksa cepat melarikan diri
ke arah kiri. Arahnya sudah berubah lagi. Mana yang
dilihat aman itu yang ia tuju.
Dia samping kirinya Intan melihat sekelebat
bayangan warna jingga sejajar dengan larinya. Jelas itu
warna jubahnya Dewi Kelambu Darah yang ingin
mencegat di depan jalan. Maka, cepat-cepat Intan
Selaksa berbelok arah, menerabas semak berduri dan tak
pedulikan kulitnya tergores semak-semak itu.
Tapi dalam beberapa jarak kemudian, tahu-tahu Ratu
Teluh Bumi sudah berdiri di depannya dengan sikap
menghadang. "Mati aku...!" gumam Intan Selaksa dalam hati.
Cepat-cepat ia membalikkan diri dan berlari lagi. Namun
begitu ia melangkah sambil membalikkan diri, ia
membentur sesuatu dengan keras. Bukk...! Intan Selaksa
jatuh terduduk di tanah. Matanya memandang ke atas.
"Oh, siapa lagi ini"!" pikirnya. "Tampan sekali
wajahnya?"
Pemuda tampan itu mengulurkan tangan, kemudian ia
membantu Intan Selaksa untuk berdiri. Napas Intan
terengah-engah, tapi matanya tak berkedip pandangi
pemuda tampan itu.
"Berdirilah di belakangku!"
"Ap... ap... apakah kau juga inginkan Pedang Guntur
Biru?" "Ya. Tapi bukan untuk kumiliki! Hanya sekadar
menjaganya agar tidak jatuh di tangan orang-orang kotor
yang mengejarmu itu!"
"Kkkau... kau siapa?" tanya Intan Selaksa.
Pemuda itu hanya senyum sedikit. Senyum itu indah
menurut mata Intan Selaksa yang belum rabun itu.
Dan tiba-tiba dari arah belakang pemuda tampan itu
muncul seorang lelaki tua berbaju jubah hijau celana
putih, membawa tongkat bola kristal. Raja Nujum segera
ucapkan kata, "Dia bernama Suto Sinting! Jangan jauh-jauh darinya.
Intan!" "Oh, syukurlah Paman Raja Nujum datang tepat pada
waktunya!" Intan Selaksa sunggingkan senyum. Lesung
pipit terbentang indah di sudut senyum Intan Selaksa.
Suto Sinting tak berkedip pandangi senyum berlesung
pipit itu, karena ia segera terbayang wajah calon istrinya
yang dalam pengungsian di Pulau Mayat, yaitu Dyah
Sariningrum. "Raja Nujuuum...!" teriak Ratu Teluh Bumi.
"Hadapilah aku lebih dulu jika kau ingin mendapatkan
pusaka itu!"
Tapi di dalam hati Ratu Teluh Bumi cepat berkata,
"Gila! Ganteng sekali pemuda itu! Siapa dia" Baru
sekarang kutemukan raut wajah setampan dia! Wah,
kenapa bergetar dan deg-degan hatiku" Sebaiknya
kulupakan dulu siapa dia. Agaknya Raja Nujum sudah
kenai baik dengan Intan Selaksa dan mau melindungi
gadis itu. Ada baiknya jika Raja Nujum kusingkirkan
dulu!" Belum sempat Raja Nujum membalas sapaan dan
tantangan Ratu Teluh Bumi, tiba-tiba muncul Bandot
Tembang ke tempat itu. Bandot Tembang segera
pandangi Raja Nujum, hatinya sedikit ciut melihat
Pendekar Mabuk tersenyum padanya dan menyapa
dengan kalem, "Kita bertemu lagi. Eyang Bandot Tembang yang
sakti dan punya ilmu tinggi dalam melarikan diri...!"
"Tutup bacotmu, Bocah Sinting!" gertak Bandot
Tembang. "Biarkan dia bicara!" terdengar suara tua yang segera
tampakkan diri dari arah kanan depan. Cepat-cepat Raja
Nujum yang menyahut,
"O, syukurlah kau ada di sini Sambar Jantung!"
Intan Selaksa cepat berbisik dari belakang Raja
Nujum, "Dia ternyata juga inginkan pusaka itu, Paman!"
Raja Nujum hanya menggumam, pertanda
mengiyakan bisikan Intan, tapi ia bersikap tenang seakan
belum mengetahui maksud Sambar Jantung, ia bahkan
berkata kepada Sambar Jantung,
"Sebagai teman akrab dari mendiang kakakku, aku
yakin kau datang untuk membela satu muridnya yang
dikejar-kejar orang banyak ini, Sambar Jantung!"
"Ya. Aku akan melindungi Intan, tapi Intan
ketakutan! Ia samakan aku dengan mereka! He he he
he...! Dia salah anggapan, Raja Nujum!" sambil Sambar
Jantung menghabiskan tawanya. Hatinya merasa sedikit
aman karena bisa mengelabui Raja Nujum. Tentunya
Intan Selaksa akan menurut kepada Raja Nujum jika
Raja Nujum menganjurkan Intan Selaksa untuk
berlindung kepadanya. Dengan begitu ia bisa membujuk
Intan Selaksa untuk serahkan kunci kamar pusaka itu.
Intan Selaksa menjadi muak melihat lagak Sambar
Jantung. Kalau saja jurusnya berlaku untuk menotok
orang-orang itu, ia akan lakukan menotok mereka
dengan senyuman. Tapi berulang kali ia mencoba
tersenyum dengan melancarkan kekuatan tenaga totok
seperti yang dilakukannya kepada Barong Geni. Namun
jurus itu ternyata tidak berlaku, dan orang-orang itu tak
bisa ditotok dengan senyuman.
Mendadak muncul kembali dari arah kiri Pendekar
Mabuk, seorang perempuan yang langkahnya tenang dan
langsung mendekati Suto dalam jarak dua langkah. Dewi
Kelambu Darah pandangi mata Suto yang saat itu sedang
tersenyum menatapnya pula. Mata Dewi Kelambu Darah
menjadi sedikit sayu bagai dibuai kemesraan dalam
bayangan. "Hatiku bergetar melihatmu! Baru sekarang kutemui
pemuda setampan kamu! Layak rasanya kau merebah di
balik kelambuku...!"
"Sayang aku tak berminat, Nyai...!" jawab Pendekar
Mabuk sambil tetap sunggingkan senyum yang
menggoda. "Tunduklah kau kepadaku!" mata bening berbulu
lentik menatap Suto. Seberkas kekuatan dilancarkan
melalui pandangan mata itu.
Intan Selaksa cemas, karena dia tahu Dewi Kelambu
Darah mempunyai kekuatan di mata dan bisa
memerintah orang seenaknya saja, bahkan bisa
melemparkan orang sebesar apa pun dengan ringan dan
mudah. Maka, sebelum Pendekar Mabuk terkena
pengaruh kekuatan mata Dewi Kelambu Darah, tangan
Intan Selaksa cepat menyodok ke pinggang perempuan
itu. Sodokan dengan menggunakan telapak tangan itu
bertenaga besar sehingga tubuh Dewi Kelambu Darah
tersentak terbang, terpental hingga lebih dari tujuh
langkah jauhnya.
Buhgg...! Wusss...! Brukk...!
"Ha ha ha ha...!" terdengar suara tawa Bandot
Tembang dan Sambar Jantung bersamaan begitu melihat
Kelambu Darah terpental.
"Babi Busuk...!" geram Dewi Kelambu Darah.
Untuk menghentikan tawa kedua orang itu, Dewi
Kelambu Darah kibaskan kepaianya dengan mata tertuju
pada Bandot Tembang. Wuttt...! Bandot Tembang
terlempar dan membentur tubuh Ratu Teluh Bumi.
Bruss...! Plakkk...! RatuTeluh Bumi menampar wajah
Bandot Tembang yang dalam keadaan menabrak dengan
wajah hampir mencium. Tamparan keras tak diduga itu
membuat Bandot Tembang terlempar lagi ke samping
dan jatuh berguling dua kali.
Sambar Jantung makin tertawa geli melihat Bandot
Tembang bagai dipermainkan dua perempuan. Tapi tawa
tersebut cepat lenyap, karena mata Dewi Kelambu Darah
kini memandangnya dan dengan satu kali sentakan
kepala mengibas, Sambar Jantung terjungkal ke samping
dan wajahnya masuk ke semak-semak. Brusss...!
"Siapa yang mau tertawa lagi, hah"!" bentak Dewi
Kelambu Darah dengan lagak galaknya. Lalu, terdengar
suara tawa yang walau tak keras namun terdengar jelas.
Itulah tawa milik Pendekar Mabuk.
"Ha ha ha ha.... Aku tertawa!"
Dewi Kelambu Darah cepat palingkan pandang
dengan wajah tetap menampakkan kegeramannya. Tapi
ia cepat berkata,
"Kalau kau yang tertawa, terserah!"
"Hmm...!" Ratu Teluh Bumi mencibir, mencemooh
sikap Dewi Kelambu Darah.
Pendekar Mabuk segera membuka bumbung tuaknya
dan menenggak beberapa teguk tuak, sementara itu
terdengar Bandot Tembang berseru,
"Raja Nujum! Menyingkirlah kau dan jangan lindungi
bocah bodoh itu! Aku membutuhkan kunci pembuka
pintu kamar pusaka tersebut!"
Ratu Teluh Bumi menyahut, "Kalau kau melindungi
gadis itu, kami akan membunuhmu bersama-sama, Raja
Nujum!" Pada saat itu, Intan Selaksa mempunyai gagasan yang
lebih bagus lagi. Ia segera mengambil kunci kamar Cipta
Hening dari selipan ikat pinggangnya. Kemudian dengan
diam-diam, sebelum bumbung tuak Suto ditutup
kembali, bumbung yang sudah ada di punggung itu
segera didekati. Dengan berlagak menepak punggung
Suto, kunci itu dicemplungkan ke dalam bumbung tuak.
Plung...! Tapi tak terdengar oleh siapa pun. Bahkan Suto
bagai tak peduli dengan tepukan pundak itu, karena
matanya memandang ke arah Ratu Teluh Bumi yang
bisa melepaskan pukulan atau mengirimkan kekuatan
gaib secara membahayakan. Pendekar Mabuk hanya
sedikit memiringkan kepala, karena menyangka Intan
Selaksa ingin bisikkan kata. Bahkan ia menutup
bumbung tuaknya pun tidak dengan memperhatikan
mulut tabungnya.
"Perempuan yang bernama Dewi Kelambu Darah tadi
sangat berbahaya!" bisik Intan Selaksa, supaya tak
kentara kepura-puraannya.
"Aku bisa atasi dia! Aku tahu dia menggunakan
kekuatan mata!"
Terdengar suara Raja Nujum berkata kepada empat
orang serakah itu,
"Ketahuilah kalian, Pedang Guntur Biru tidak akan
bisa dimiliki oleh siapa pun, selain pewarisnya!"
"Siapa pewarisnya"!" tanya Bandot Tembang.
"Tidak ada di sini! Aku pun bukan pewarisnya!"
"Lalu untuk apa kau ada di sini jika bukan pewaris
pusaka Pedang Guntur Biru?" seru Dewi Kelambu
Darah. "Aku hanya ingin menyelamatkan kuil dari jamahan
tangan-tangan kotor! Bagaimanapun juga kuil itu adalah
tempat suci milik kakakku Begawan Sangga Mega! Aku
perlu menjaga kesucian kuil itu!"
"Sudah ada muridnya! Intan Selaksa yang
menjaganya. Mengapa kau mau ikut menjaganya"!"
"Karena dia tidak cukup kuat untuk menghadapi
keserakahan dan kerakusan kalian!" jawab Raja Nujum.
"Eh, Raja Nujum...," kata Sambar Jantung, "Rasarasanya cukup aku saja yang menjaga Intan Selaksa. Aku
sanggup menghadapi mereka, bahkan berjumlah dua-tiga
kali lipat dari ilmu mereka pun aku masih sanggup!"
"Aku percaya!" sambil Raja Nujum sunggingkan
senyum. "Tapi aku juga percaya bahwa kau sanggup
membawa lari pedang itu pula!"
"Mengapa kau menduga begitu?"
"Di bola kacaku ini aku bisa melihat kerakusanmu
yang ingin menjarah Kuil Swanalingga! Kau tak bisa
bohong, Sambar Jantung!".
Tak bisa lagi Sambar Jantung menyembunyikan
niatnya dari Raja Nujum, karena ia segera sadar bahwa
Raja Nujum bisa menebak hati seseorang dan bisa
melihat masa depan serta masa lalu seseorang.


Pendekar Mabuk 014 Pedang Guntur Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karenanya, dengan santai dan meremehkan sekali
Sambar Jantung ucapkan kata kepada Raja Nujum,
"Kalau begitu... kelihatannya kau juga sudah tahu
bahwa nyawamu sebentar lagi mati di tanganku! He he
he...!" "Kalau itu tantangan, aku akan menyambutnya!"
jawab Raja Nujum dengan tetap kalem. Tapi segera ia
berbisik kepada Suto Sinting,
"Kuhadapi mereka berempat, kau lari sembunyikan
Intan Selaksa!"
"Baik! Kucari kesempatan baik untuk pergi dari sini!"
jawab Pendekar Mabuk dengan suara pelan sekali. Lalu
kepada Intan Selaksa, Suto pun berbisik pelan,
"Bersiaplah lari bersamaku! Biar mereka dihadapi
Raja Nujum!"
"Aku siap," balas Intan Selaksa.
Bandot Tembang membatin, "Mereka semua berilmu
tinggi! Cukup sulit mengalahkan mereka! Sebaiknya
kugunakan tembang saktiku untuk membuat mereka
pecah jantungnya!"
Dewi Kelambu Darah berseru, "Raja Nujum, sebelum
kau melawan Sambar Jantung, sebaiknya kau hadapi
dulu aku. Kasihan Sambar Jantung, sudah terlalu tua
untuk mengadakan pertarungan!"
"Kepada siapa pun yang ingin menantangku lebih
dulu, aku siap melayani sekarang juga!" jawab Raja
Nujum. Kalem sekali sikapnya.
Tiba-tiba terdengar Bandot Tembang mengalunkan
sebuah irama tembang yang mencekam denyut nadi
setiap orang. Tanah kubur telah tersingkap, menunggu ajal setiap
insan. Jika jantung tak berdenyut, napas pun hanyut
terbawa sukma. Dalam keheningan relung hati yang....
Plokk...! Tiba-tiba ada sesuatu yang menghantam
tenggorokan Bandot Tembang. Sesuatu itu muncul
secara tiba-tiba dari sentilan jari Pendekar Mabuk
berkekuatan tinggi. Jurus 'Jari Guntur' digunakan,
membuat Bandot Tembang tersedak dan terbatuk-batuk.
"Huk huk huk hukk...!" Bandot Tembang segera
memaki, "Bang... Bangsat! Kubunuh kau...!"
Suara itu menjadi serak dan rusak. Bandot Tembang
terbatuk-batuk lagi. Lalu mencoba bicara kembali. Tapi
tenggorokannya bagaikan pecah dan semakin serak
suaranya. "Siapa anak muda itu"! Dia bisa menggunakan
jarinya untuk merobek pita suara orang di dalam
tenggorokan!" sentak Ratu Teluh Bumi.
Suto menyahut, "Namaku, Suto Sinting! Jelas..."!"
Dengan suara makin gerok mirip suara kambing
disembelih, Bandot Tembang berkata,
"Hakro, trak pengrah hengerar namra gritu...! Huk
uhuk huk...!"
Sambar Jantung menyahut, "Kau memang tak pernah
dengar nama itu, Bandot Tembang, karena kau memang
bodoh! Tapi biar setua ini telingaku masih belum tuli!
Kudengar nama Suto Sinting adalah seorang pendekar
yang sedang kondang bergelar Pendekar Mabuk! Dia
adalah murid dari si Gila Tuak dan Bidadari Jalang!
Benarkah begitu, Suto"!"
"Benar!" jawab Pendekar Mabuk tegas, membuat
Raja Nujum palingkan wajah kepadanya dan berkata
dalam gerutuan,
"Setan kau! Kenapa tak bilang sejak tadi kalau kau
murid si Gila Tuak" Aku kenal baik dengan gurumu
itu!" "Aku takut kau tak mempercayai pengakuanku tadi!"
"Pantas kau kenal siapa ibuku, siapa ayahku dan siapa
kakek guruku. Rupanya kau murid si Gila Tuak itu"!"
"Sudahlah, lekas lakukan gebrakan, aku akan bawa
lari Intan!"
"Baik!" Raja Nujum menurut. Lalu, ia maju tiga
tindak dan tongkatnya dibabatkan memutar dengan
kepala tongkat ada di depan. Wusss! Satu kibasan kuat
itu menghadirkan sentakan tenaga dalam yang sungguh
besar, hingga keempat orang itu terpental berjatuhan tak
tentu arah. Bahkan sebatang pohon rubuh menimpa kaki
Dewi Kelambu Darah.
Brurrkk...! "Aaaaow...!" Dewi Kelambu Darah terpekik
kesakitan, satu kakinya terselip batang pohon dan
menghimpitnya kuat-kuat. Sementara yang lainnya
terjungkal di semak-semak atau ke mana saja. Masingmasing jarak jatuh mereka mencapai tujuh langkah dari
tempat semula mereka berdiri. Sementara itu, bola kristal
di tongkat Raja Nujum masih menyala berkejap-kejap
warna merah membara. Sebelum tongkat itu dikibaskan
lagi, Raja Nujum segera berbisik ke belakang,
"Cepat lari dan...."
Ia terhenti bicara bisiknya, karena ketika melirik ke
belakang, ternyata Pendekar Mabuk dan Intan Selaksa
sudah menghilang, entah sejak kapan dan ke arah mana.
Raja Nujum tak mendengar gerakan pergi Suto dan
Intan. Intan Selaksa bagaikan sedang bermimpi, ia tak sadar
jika telah diangkat dan dibawa lari oleh Pendekar Mabuk
menggunakan jurus gerak silumannya yang luar biasa
cepat itu. Dalam waktu singkat, mereka sudah berada di
depan kuil. Suto menurunkan Intan Selaksa dari atas
pundaknya, Intan Selaksa terperangah memandang
sekeliling dan berkata dengan suara gumam,
"Sudah ada di sini lagi?"
"Aku tidak tahu arah yang pasti kita tuju! Jika kau
tahu, tunjukkan arahnya! Aku akan membawamu lari
dan bersembunyi di sana!"
"Memang di sini sangat berbahaya! Tapi guruku
punya gubuk peristirahatan untuk menghibur diri. Di
sebelah sana, arah ke barat, ada sebuah telaga berair biru
bening. Guru sering memancing ikan di sana, tapi tidak
untuk dimakan, juga tidak untuk dibunuh. Hanya diusapusapnya sesaat, lalu dicemplungkan lagi ke air telaga."
"Jika begitu kita bergegas ke sana saja!"
"Tapi tempat itu melalui sarang ular berbisa! Jarang
orang bisa selamat sampai di sana, kecuali dengan
memutari gunung ini dari arah timur!"
"Kita coba saja!" setelah bicara begitu, Intan Selaksa
ingin mengatakan sesuatu, namun ia sudah berada di
pundak Suto dan melesat pergi melebihi gerakan angin
atau anak panah secepat apa pun.
Rasa-rasanya hanya tiga helaan napas, Intan Selaksa
sudah sampai di tepi telaga biru. Airnya jernih dan
tempatnya indah. Banyak tanaman berwarna walau
bukan bunga. Di sana ada sebuah gubuk yang berbentuk
saung, tanpa dinding penuh. Hanya separo bagian
dinding yang menutupi saung itu, sedangkan bagian
depannya terbuka lepas. Atapnya dari rumbia bercampur
ijuk hitam. Lantainya lebih tinggi tiga jengkal dari tanah.
Sungguh nyaman beristirahat di sana. Tiupan udara
gunung sungguh semilir mengantukkan mata orang yang
kenyang. "Apakah telaga ini mempunyai ikan cukup banyak?"
"Tak terlalu banyak, tapi memang Guru memelihara
ikan hias aneka warna di dalam telaga ini!"
"Hmm... sungguh indah pemandangan di sini! Aku
bisa betah berada di sini berbulan-bulan!"
"Jika kau berada di sini berbulan-bulan, lantas
bagaimana dengan kekasihmu" Mestinya dia rindu
padamu!" pancing Intan Selaksa yang segera ditatap
Pendekar Mabuk. Intan Selaksa tersenyum, seolah-olah
pamerkan lesung pipit yang amat digemari Suto Sinting
itu. "Di sini ternyata bukan saja untuk memancing ikan,
namun untuk memancing sekerat hati!" ujar Pendekar
Mabuk membuat Intan Selaksa menjadi tersipu-sipu.
Lalu ia melangkahkan kaki ke tepian telaga, ia duduk di
sebuah batu yang ada di sana, memandangi air telaga
yang tenang dan warna birunya begitu indah bagaikan
agar-agar. "Kalau saja mereka tahu tempat ini, mereka tidak
akan mau bertarung untuk memperebutkan Pedang
Guntur Biru," ujar Pendekar Mabuk mendekati.
"Kalau saja mereka tahu, mereka tidak sudi saling
bunuh, sebab pusaka itu memang tidak ada!"
"Tidak ada"!"
"Guru tidak pernah punya Pedang Guntur Biru!
Kamar itu bukan kamar penyimpanan pusaka, hanya
sekadar kamar semadi!"
"Apakah kau pernah masuk di dalamnya?"
"Belum. Tapi saat pintu kamar itu terbuka, aku
sempat melihat isinya. Tak ada barang apa pun kecuali
selembar tikar di lantai. Ruangan itu benar-benar
kosong! Bersih, bahkan tanpa cahaya jika pintu tidak
dibuka!" "Tapi mengapa mereka berebut untuk masuk ke
kamar itu?"
"Mereka salah duga! Kabar tentang mendiang Guru
memiliki pusaka Pedang Guntur Biru sepertinya hanya
sebuah isapan jempoi belaka, sekadar untuk menjaga
wibawa Guru dan menakut-nakuti lawan!"
"Tapi... tapi Raja Nujum adik dari Begawan Sangga
Mega! Raja Nujum pun mengakui bahwa kakaknya itu
menyimpan pusaka Pedang Guntur Biru, Intan Selaksa!
Dia kemari juga untuk menjaga supaya pedang pusaka
itu tidak jatuh ke tangan orang sesat!"
"Barangkali setelah peristiwa ini, akan tersebar kabar
bahwa pusaka Pedang Guntur Biru ada di tangan Paman
Raja Nujum! Ini untuk menipu lawan, supaya Paman
Raja Nujum pun disegani dan ditakuti, sehingga tidak
sembarang orang berani berhadapan dengannya."
Tercenung lama Suto jadinya. Menurut jalan
pikirannya, apa yang dikatakan Intan Selaksa itu
memang benar. Artinya, bisa saja terjadi suatu tipuan
sejak puluhan tahun yang lalu tentang adanya pusaka
Pedang Guntur Biru. Tipuan itu dimaksud untuk
menjaga wibawa dan rasa hormat bagi keluarga Eyang
Purbapati. Sebenarnya pedang pusaka itu memang tidak
ada. "Lantas mengapa kau dikejar-kejar mereka dan
mereka kehendaki kunci kamar tersebut" Kau sendiri
mengapa mempertahankannya" Jika memang di dalam
kamar semadi itu tidak terdapat benda pusaka itu,
seharusnya kau tak perlu repot-repot mempertahankan
kamar itu!"
"Amanat mendiang Guru, aku harus menjaga kuil dan
kamar itu khususnya, agar jangan sampai ada yang
menjamah atau merusaknya. Aku hanya tunaikan tugas
dari mendiang Guru!"
Mengapa mendiang gurunya Intan Selaksa
mengkhususkan kamar itu" Jika tidak ada apa-apanya,
pasti tidak perlu dikhususkan, pikir Suto dalam renungan
panjangnya. * * * 9 MATAHARI pagi telah pancarkan sinarnya sejak
tadi. Pendekar Mabuk bergegas bangkit ketika
menyadari dirinya telah semalaman tertidur di saung tepi
telaga itu. Nyenyak sekali tidurnya, sampai ia tak terasa
bahwa Intan Selaksa telah bangun dan tinggalkan saung.
"Ke mana dia"!" pikir Suto mencari-cari Intan
Selaksa. "Mungkin sedang buang air di balik rumpun
bambu merah itu" Hmm... tak perlu kususul. Nanti
sangkanya mataku seperti keranjang!" gumam Pendekar
Mabuk sambil melangkahkan kakinya mendekati telaga,
kemudian ia meraup air telaga untuk mencuci muka.
Namun tiba-tiba ada gelombang tenaga yang datang
dari seberang telaga yang bergaris tengah antara tujuh
tombak. Gelombang tenaga dalam itu memang tidak
berbahaya, tapi sentakannya yang kuat membuat tubuh
Suto terjengkang ke belakang saat ingin meraup air.
Bugg...! Suto Sinting cepat bangkit dan pandangi arah
datangnya gelombang angin besar itu. Ternyata
datangnya dari Intan Selaksa yang baru muncul dari
rimbunan bayam kuning setinggi lututnya. Dari sana
Intan berseru, "Jangan sekali-kali menyentuh air telaga!"
"Mengapa?" teriak Suto.
"Guru berpesan begitu! Aku tak tahu artinya!"
"Anak itu terlalu patuh kepada segala perintah
gurunya, ia juga mempunyai nilai kesetiaan yang tinggi,"
pikir Pendekar Mabuk.
Intan Selaksa melangkahkan kaki dengan santai,
mendekati Suto.
"Kubawakan bunga untukmu," kata Intan Selaksa.
"Bunga apa ini" Baunya harum sekali," Suto
pandangi bunga berwarna merah jambu yang berbau
harum lembut, bentuknya mirip seperti mawar
berkelopak susun dua.
"Ini namanya bunga Cendana Surga!"
"Aku baru kali ini mendengar namanya. Cukup indah,
seperti indahnya warna bunga dan bentuknya. Cantik
sekali, seperti cantiknya si pemberi," ucap Pendekar
Mabuk melegakan hati Intan Selaksa. Gadis itu
tersenyum dengan manisnya, berkesan malu namun
bahagia hatinya.
"Bunga Cendana Surga layak dimiliki oleh seorang
pria," kata Intan Selaksa.
"Mengapa begitu?"


Pendekar Mabuk 014 Pedang Guntur Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pria yang memiliki bunga Cendana Surga membuat
dirinya tak bisa disakiti oleh perempuan mana pun!
Seorang perempuan tak akan tega melukai hati pria yang
memiliki bunga Cendana Surga. Bawalah bunga itu
untuk menjaga-jaga hatimu. Sampai seratus tahun pun
bunga itu tak akan layu. Harumnya tetap akan menyebar
di seluruh tubuhmu, dan tercium dari jarak tiga puluh
langkah. Tapi jangan sampai bunga itu jatuh ke tanah,
karena dia akan cepat layu dan tak lagi menyebarkan
wewangian yang menenteramkan hati siapa pun!"
"Terima kasih! Mengapa kau berikan padaku" Bukan
pada pria yang bisa menjadi kekasihmu abadi?"
"Aku tidak punya kekasih abadi! Aku hanya punya
harapan abadi!"
Suto tersenyum sambil pandangi Intan Selaksa. Kejap
berikutnya Suto berkerut dan cepat berkata,
"Intan Selaksa, aku punya firasat tak baik untuk Raja
Nujum! Sebaiknya kau di sini dulu, aku akan
menengoknya ke sana! Siapa tahu Raja Nujum
membutuhkan bantuan secepatnya!"
"Aku harus ikut!"
"Jangan! Mereka memburumu dan memaksamu
untuk menyerahkan kunci itu! Kalau kau tak mau, kau
bisa dibunuh oleh mereka di luar jangkauan
pengamananku!"
"Kunci itu sudah tidak ada lagi padaku!"
"Hah..."! Lantas ke mana kunci itu?"
"Ada di dalam bumbung tuakmu!"
"Gila kamu!" Suto tertawa geli.
"Sejak kemarin sudah kumasukkan, sebelum kau
menghantam tenggorokan Bandot Tembang."
Pendekar Mabuk tertawa bagai orang menggumam.
"Nakal kau...!" Ia menjentik lirih ujung hidung Intan
Selaksa. "Kalau begitu sejak semalam aku minum tuak
campur kunci"!"
Intan Selaksa tertawa renyah. "Maafkan aku. Aku
panik kala itu!"
"Baiklah! Kalau begitu kau ikut aku ke sana, dan
jangan jauh-jauh dariku! Jika mereka memaksamu untuk
menyerahkan kunci dan kau terdesak, katakan yang
sebenarnya, bahwa kunci kau masukkan ke dalam
bumbung tuakku. Suruh mereka ambil sendiri!"
Tak ada rasa gentar di hati Intan Selaksa selama ia
bersama Suto. Bahkan ia punya kesiapan nyali untuk
melawan siapa pun yang mencoba menyerangnya.
Tetapi apa yang terjadi di tempat pertarungan Raja
Nujum sungguh menyedihkan. Mereka menemui duka di
sana, karena mendapatkan keadaan Raja Nujum yang
sedang sekarat, sebentar lagi mati. Sedangkan orangorang yang kemarin melawannya sudah tidak terlihat
kecuali Bandot Tembang. Orang ini terbujur kaku dalam
keadaan jebol dadanya.
"Paman...! Paman Raja Nujum...!" Intan Selaksa
cepat mendekati orang tua yang sekarat itu dengan wajah
duka menahan tangis.
"Mer... mereka... menyerang kuil... pertahankan...
perta...."
Pendekar Mabuk bergegas ingin menuangkan tuak ke
dalam mulut Raja Nujum. Tapi sudah terlambat. Raja
Nujum menghembuskan napasnya yang terakhir pada
saat tutup bumbung itu dibuka oleh Suto Sinting.
"Pamaaan...!" seru Intan Selaksa dalam tangis
berkabungnya. Pendekar Mabuk kembali menutup bumbung
tuaknya. Tapi segera dibuka lagi, lalu dituang ke
mulutnya. Beberapa teguk tuak ditenggak sebagai alat
penghapus duka atas kematian Raja Nujum.
"Cepat kita ke kuil!" kata Suto kepada Intan Selaksa.
"Mereka pasti akan merusak kuil itu. Setelah dari sana,
baru kita makamkan Raja Nujum di samping makan
gurumu, Intan!"
Jenazah itu ditinggalkan. Tongkat yang telah pecah
bola kristalnya juga ditinggalkan. Mayat Bandot
Tembang dilangkahi. Matinya mengerikan. Matanya
sempat melirik ke kanan dan tak kembali lagi.
"Raja Nujum agaknya bertarung semalam suntuk
dengan mereka! Kulihat darahnya masih segar," kata
Suto. "Tapi yang membuatku merasa aneh, mengapa
Raja Nujum masih juga berpesan agar kuil
dipertahankan! Ada apa dengan kuil tersebut" Jika tidak
ada pusaka Pedang Guntur Biru, tak mungkin kuil begitu
gigih harus dipertahankan!"
Intan Selaksa menyahut, "Tak tahulah bagaimana
sebenarnya. Yang kutahu hanya, Guru tak pernah
mempunyai pedang atau senjata apa pun!"
"Sangat disayangkan jika kuil itu dihancurkan mereka
tapi mereka tidak temukan pedang pusaka itu!"
"Itu yang kucemaskan dari awalnya," sahut Intan
Selaksa. "Kalau begitu, kupancing saja mereka dengan
pertarungan!"
"Belum tentu mereka mau melayani pertarungan
denganmu! Mereka lebih mementingkan pedang pusaka
dengan cara memporak-porandakan kuil!"
"Aku bisa menggunakan kunci! Dengan
menunjukkan kunci itu, mereka pasti bersedia bertarung
melawanku supaya bisa dapatkan kunci kamar semadi
itu!" "Bagaimana kalau kau sampai... kalah"'
"Kalau suratan takdirku sudah begitu, tak ada yang
bisa menghindarinya!" jawab Pendekar Mabuk dengan
tenang. Kunci itu agak sulit diambilnya, karena bumbung
masih berisi tuak hampir separo bagian. Jika dituangkan
semua tuaknya, kunci bisa terambil tapi Suto kehabisan
tuak. Karena itu diambillah jalan untuk menggunakan
kayu pengait. Kunci itu ternyata berbentuk seperti senjata cakra
kecil. Ujungnya bergerigi dan mempunyai garis siku dua
buah pada batangnya.
Panjangnya antara satu ukuran jari tengah, tapi lebih
kecil dari ukuran jari itu sendiri. Bagian pemegangnya
berbentuk gambar hati yang berlobang. Suto mencari
akar, lalu membuatnya kalung dengan bandul kunci
tersebut, ia mengikatkan akar dan kunci di lehernya agak
ketat, supaya dalam pertarungan nanti sukar diserobot
lawan. Ketika mereka sampai di kuil, tiga orang itu sedang
menggempur dinding kamar semadi. Mereka pikir pintu
itu lebih sulit digempur ketimbang dindingnya. Tetapi
pada waktu Sambar Jantung ingin melepaskan pukulan
penggempurnya, Pendekar Mabuk segera berteriak,
"Kuncinya ada di sini! Tak perlu menggempur
dinding itu! Ambil saja kunci ini!"
"Bocah monyet itu muncul lagi!" geram Ratu Teluh
Bumi. Sengaja Suto memancingnya ke arah luar halaman
kuil, karena keadaan di dalam halaman kuil sangat tak
baik jika untuk pertempuran. Bahkan Suto sengaja
memancing mereka untuk mengejarnya ke sebuah
gugusan cadas yang menyerupai bukit kecil itu. Suto
berdiri di sana, sementara Intan Selaksa bersembunyi di
balik kerimbunan pohon yang ada tak jauh dari bukit
cadas itu. Dalam waktu singkat Sambar Jantung, Ratu Teluh
Bumi, dan Dewi Kelambu Darah sudah mengepung Suto
Sinting. Mata mereka sama-sama memandang ke arah
leher Pendekar Mabuk yang berkalung kunci warna
hitam dari batuan jenis kecombong hitam.
"Kuberi kesempatan tiap orang satu kali untuk
melawanku dan merebut kunci ini dari leherku!" kata
Suto dengan sikap tetap tenang. Mereka saling cibirkan
bibir. Bahkan Sambar Jantung berkata,
"Menyambar kunci itu amat mudah, Suto! Mungkin
jantungmu juga ikut tersambar, karena sambarmenyambar itu pekerjaanku, Nak!"
"Cobalah kau yang mengawali pertarungan ini! Tak
perlu sampai ada yang mati, asal semua bersikap ksatria,
kalau kalah segera mundur dan akui kekalahan kalian!"
kata Pendekar Mabuk sambil menenggak tuak lagi
Kesempatan Pendekar Mabuk lengah saat menenggak
tuak digunakan oleh Sambar Jantung untuk
menggerakkan tangannya dari tempat ia berdiri berjarak
enam langkah dari Pendekar Mabuk itu. Wuttt...!
Tangannya bergerak menyambut sesuatu di depannya.
Tetapi tangan Suto yang tidak memegangi tuak itu
menepis, dan terasa menyentuh hawa panas yang
berbunyi, Plakkk...! Sambar Jantung terkejut. Tangannya bisa ditangkis
walau tak tersentuh tepian tangan Suto. Ia makin
penasaran kepada Pendekar Mabuk itu. Dengan cepat ia
sentakkan tangannya dari bawah ke atas bagai ingin
menjungkirbalikkan meja.
Pendekar Mabuk merasa ada gerakan gelombang dari
atas yang mendorong tubuhnya ke belakang dan
berjungkir balik. Sebab itu, ia segera sentakkan
bumbung tuaknya yang telah ditutup itu ke bawah.
Wuttt...! Plokk...! Bumbung tuak itu bagaikan menghantam
benda keras, padahal hanya berkelebat di tempat kosong
depan kaki Pendekar Mabuk. Namun akibatnya sangat
berbahaya bagi Sambar Jantung, ia terpelanting dengan
kuat bagai tangannya disentakkan ke arah samping dan
memutar, ia jatuh dengan bagian punggung lebih dulu.
Bokk...! Menyeringai wajahnya, merasa sakit
punggungnya, tapi lebih sakit bagian pergelangan
tangannya. Matanya membelalak melihat pergelangan tangannya
bengkak seketika dan membiru bagai mengenakan
gelang besar. Warna biru itu terus bergerak sampai ke
batas siku. "Biadab kau! Terimalah aji pamungkasku ini!
Hiaaah...!"
Tangannya masih bisa menghentak ke depan, dan
hembusan badai berserbuk putih itu keluar dengan deras,
mengguncangkan tanah sekeliling. Badai salju terjadi,
udara dingin begitu cepat menyembur ke tubuh Pendekar
Mabuk. Tetapi Pendekar Mabuk diam saja.
Dipandanginya gerakan jurus 'Badai Salju'-nya si
Sambar Jantung itu. Dalam waktu singkat tubuh
Pendekar Mabuk telah menjadi putih terbungkus salju.
Dan salju-salju itu sebenarnya salju beracun. Salju itu
akan memakan daging dan darah korbannya hingga
menjadi tulang-belulang.
"Bocah edan!" geram Sambar Jantung. "Sudah
dibungkus salju sebanyak itu tetap saja tak mau rubuh"!
Hiaaah...!"
Sambar Jantung sentakkan kedua tangan lagi dengan
telapak tangan membara merah menyala. Pukulan itu
melepaskan sinar merah berbentuk piringan setengah
lingkaran. Sinar merah melesat ke dada Suto, dengan
cepat Suto bergerak limbung seperti mau jatuh karena
mabuk, tapi pada saat itu ia mengangkat bumbung
tuaknya, dan sinar merah itu menghantam bumbung
tersebut. Crasss...!
Sinar merah memantul balik dengan lebih cepat dan
lebih besar bentuknya. Sambar Jantung terkesiap, dan
saking kagetnya tak sempat hindarkan diri, lalu sinar
merah itu pun menghantam dadanya. Blarrr!
Tubuh Sambar Jantung pecah menjadi serpihanserpihan kecil tak bisa dilihat oleh mata lagi, mana
bagian kepala, mana bagian jari. Lembut sekali, tanpa
suara mengaduh, tanpa darah memercik.
Pendekar Mabuk mengibaskan badannya, salju-salju
yang membungkusnya itu berjatuhan. Badannya basah
seperti orang habis tercebur di sungai. Tapi ia tetap tegar
dan menatap Ratu Teluh Bumi, lalu menatap Dewi
Kelambu Darah. "Siapa lagi...?" tanya Suto. "Atau sebaiknya tak perlu
ada pertarungan biar tak ada korban!"
"Jangan merasa menang dulu!" kata Dewi Kelambu
Darah. "Aku lawanmu! Bukan si tua bangka itu!"
Sett...! Mata Kelambu Darah bergerak ke samping.
Pendekar Mabuk terpelanting, karena tak menyangka
akan mendapat serangan seketika itu. Pendekar Mabuk
berguling-guling di atas tanah tiga kali, lalu cepat
hinggap di atas sebongkah batu yang tingginya hanya
sebatas betis. Jlegg...!
Ia berdiri siap menghadapi Dewi Kelambu Darah.
Mata perempuan itu pun kembali memandang dengan
liar dan tajam. Suto segera pandangi mata itu. Kelambu
Darah meremas kedua tangannya, Suto sedikit bergetar
kakinya. Rupanya mereka beradu kekuatan lewat
pandangan mata. Kelambu Darah ingin mengambil
kunci itu dengan kekuatan matanya, tapi Pendekar
Mabuk mendorong kekuatan itu dengan tetap berdiri
merenggang kaki.
Makin lama semakin sama-sama bergetar tubuh
mereka. Angin gunung berhembus menyingkapkan
pakaian dan rambut mereka yang tampak gigih saling
mempertahankan diri. Dan tiba-tiba Suto Sinting
menggenggamkan tangannya, lalu menyentakkan napas
melalui hidung. Fuih...!
Napas tanpa dendam dan kemarahan itu tidak
menghadirkan angin badai Tuak Setan, namun
mempunyai kekuatan mendorong balik pancaran mata
Dewi Kelambu Darah. Hal itu membuat Dewi Kelambu
Darah tiba-tiba terpekik sambil terjengkang ke belakang.
"Aaa...!"


Pendekar Mabuk 014 Pedang Guntur Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kedua bola matanya pecah. Darah memercik dari
kedua rongga mata itu. Tangan menutup mata sambil
menjerit. Tubuhnya limbung karena sentakan keras, dan
jatuh terguling-guling ke lereng berjurang dalam. Suara
jeritannya masih terdengar membahana, makin lama
semakin hilang. Lenyap, dan berganti sepi yang menanti.
Ratu Teluh Bumi maju dua tindak. Suto melesat
pindah tempat agar dia tak terjebak jatuh ke jurang di
belakangnya. Pada waktu Pendekar Mabuk tiba di
tempatnya yang baru, Ratu Teluh Bumi segera
melemparkan sesuatu yang seolah-olah habis
ditangkapnya di udara atas kepala.
Wuttt...! Gemerincing bunyinya menerjang angin,
menuju ke arah Suto. Rupanya serombongan pecahan
beling atau logam-logam tajam. Dengan kibasan tangan
bagai memercikkan air, rombongan benda tajam itu
pecah berhamburan ke mana-mana. Satu di antaranya
masuk ke rahang Ratu Teluh Bumi. Perempuan itu
tersentak bagai tersengat bisa kalajengking. Dan tiba-tiba
kulit rahangnya itu mengelupas. Bergerak pelan
mengelupas sendiri sampai ke bagian pipi. Ratu Teluh
Bumi cepat pejamkan mata. Kejap berikutnya luka itu
kembali seperti semula. Mulus lagi wajahnya.
Namun ia segera meniup telapak tangannya ke arah
Suto. Dan Suto segera putarkan bumbung tuak ke atas.
Sesuatu yang berwarna serbuk hitam dari tiupan tangan
Ratu Teluh Bumi itu menyebar ke mana-mana terkena
kibasan angin bumbung. Bahkan kibasan angin itu
semakin besar dan menghantam keras kepala Ratu Teluh
Bumi. Plokk...!
"Ahhg...!" Ratu Teluh Bumi terpelanting. Kepalanya
mengucurkan darah, sepertinya menjadi retak, ia
terguling-guling jatuh ke lereng bukit pendek itu. Tapi ia
masih berusaha berdiri dan memandang ke atas bukit.
Sementara itu, berdirinya sendiri sudah menjadi
limbung, darah makin membanjir membasahi tubuhnya.
Setelah dirasakan tak mungkin lagi untuk meneruskan
pertarungan, Ratu Teluh Bumi pun berseru,
"Tunggu beberapa saat lagi! Aku pasti akan
membalas kekalahan ini, Suto Sinting!"
Tanpa menunggu jawaban dari Suto, Ratu Teluh
Bumi cepat menjejakkan kaki ke tanah dan ia melesat
pergi dengan cepat. Kemudian dengan lenyapnya Ratu
Teluh Bumi, muncullah Intan Selaksa yang telah keluar
dari persembunyiannya dan berseru memanggil Suto
dengan senyum kegembiraan.
"Sutooo...!"
Ia memeluk Pendekar Mabuk dengan rasa bangga dan
lega yang teramat dalam. Suto pun membalas pelukan
kemenangan itu dengan hangat. Tapi angin gunung yang
membawa udara dingin itu tetap saja menghembuskan
napasnya, mempermainkan rambut kedua insan itu
hingga dari bawah terlihat bagaikan dua tugu merapat
dan meriap-riapkan rambut dengan indahnya.
"Doaku ternyata dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa!
Kau diberi kemenangan, Pendekar Mabuk!"
"Terima kasih atas doamu! Jika tanpa doamu, belum
tentu aku menemukan kemenanganku, Intan!"
Rupanya Pendekar Mabuk sendiri sangat penasaran,
ingin membuktikan apakah benar di dalam kamar
semadi itu tersimpan pedang pusaka yang mereka
perebutkan. Ia meminta izin kepada Intan Selaksa untuk
membuka dan memeriksa kamar tersebut. Intan Selaksa
semula takut kepada pesan gurunya. Tapi Suto
membujuk dan siap menanggung segala akibatnya.
Maka, Intan Selaksa pun memberanikan diri untuk
penuhi permintaan itu.
Terlebih dulu Pendekar Mabuk semadi beberapa saat
lamanya di depan pintu kamar tersebut, seakan
memohon izin kepada mendiang Guru Intan Selaksa itu
untuk menengok keadaan di dalam kamar tanpa akan
menyentuh apa pun. Setelah itu, Intan Selaksa disuruh
membuka pintu kamar dengan menggunakan kunci.
Ternyata lubang kunci ada di meja altar di tempat
pemujaan. Begitu kunci dimasukkan ke dalam lobang,
lalu diputar, maka pintu itu pun bergerak dengan sendiri.
Zrrr...! Kamar terbuka sudah. Tak ada yang berani masuk.
Hanya memandang dari jarak tiga langkah. Ternyata
kamar benar-benar kosong. Tak ada benda apa pun
kecuali selembar tikar. Batu-batuannya tersusun rapi, tak
ada kesan sebagai pintu rahasia menuju ke sebuah
ruangan. "Aneh! Kamar kosong begini disangka ada benda
pusakanya"!" gumam Suto Sinting dengan heran.
"Sudah kukatakan, kamar ini kosong! Ternyata benar,
bukan"!"
Suto manggut-manggut merenunginya. Tiba-tiba
datang angin tak terlalu kencang. Daun kering terbang
tertiup angin, masuk ke kamar itu dan jatuh di tikar.
Intan Selaksa ingin buru-buru memungutnya karena
merasa telah mengotori kamar semadi itu. Namun
tangannya segera ditepis oleh Suto Sinting dalam
sentakan keras. Wuttt...! Pluk...! Segera tubuh itu
dipeluknya. Intan Selaksa terkejut berada dalam pelukan
Suto. Tapi lebih terkejut lagi melihat sesuatu yang
terjadi di dalam kamar. Daun kering itu telah membuat
beban lain di tikar, dan puluhan tombak berjajar rapi
keluar dari arah kanan-kiri dinding.
Zzzrabb...! Dua rombongan tombak saling
menghujam rapat. Jika ada orang berdiri di atas tikar itu,
pasti akan hancur ditembus lebih dari empat puluh
tombak yang bergerak cepat dari kanan-kiri.
Suto dan Intan terkejut. Mereka masih termenung
membayangkan kengerian yang nyaris menghancurkan
tubuh Intan Selaksa. Bahkan ketika mereka kembali
berada di tepi telaga, bayangan mengerikan itu masih
menghantui pikiran mereka.
"Untung kau segera memelukku! Kalau tidak,
habislah riwayatku!"
"Gurumu sengaja kasih jebakan bagi mereka yang
berhati rakus! Tentu saja jika gurumu duduk di situ,
jebakan itu tak akan bergerak karena sudah dijinakkan
lebih dulu!"
"Benar juga! Tapi..., apakah menurutmu di sela-sela
tombak itu terdapat pedang pusaka?"
Suto berkerut dahi dan menggumam, "Mungkin juga!
Kenapa baru sekarang kita pikirkan hal itu" Mengapa
tadi tidak terpikir oleh kita, sehingga kita bisa
memeriksanya"! Tapi seingatku, seorang teman pernah
mengatakan kepadaku, bahwa Begawan Sangga Mega
mengatakan, "Pedang itu tak bisa dilihat sembarang
orang. Letaknya jauh dari hati pewarisnya. Jadi, kurasa
karena pewarisnya adalah Siluman Tujuh Nyawa yang
berhati sesat, maka artinya pedang itu jauh dari hati
orang yang sesat atau kotor. Letaknya tak bisa dilihat
sembarang orang, artinya hanya orang berhati bersih
yang bisa melihat di mana pedang itu berada."
"Begitukah maksudnya?"
"Kira-kira saja begitu! Aku tak tahu secara tepatnya!"
jawab Suto. Tapi sampai jauh malam Suto dan Intan Selaksa yang
menikmati keindahan purnama di tepi telaga itu masih
belum bisa memastikan, apakah Pedang Guntur Biru itu
memang ada atau tidak" Jika ada apakah memang tak
bisa dilihat sembarang orang, atau terletak di suatu
tempat yang sukar dijangkau manusia"
Ketika Pendekar Mabuk sendirian merenungkan itu di
tepi telaga, tiba-tiba tak sadar ia mengusap keningnya
yang bertanda merah itu dengan tangan kiri. Lalu
matanya terbelalak kaget melihat cahaya biru
mengambang di perairan telaga tersebut. Suto mendekati
cahaya biru itu, ia makin tersentak kaget setelah
mengetahui benda bercahaya biru itu adalah sebuah
pedang bergagang dari batuan giok biru, sarungnya dari
logam putih beling bercahaya biru semburat.
Berdebar-debar Pendekar Mabuk melihat pedang itu.
Ternyata di situlah, di perairan telaga itulah pedang itu
disimpan oleh Begawan Sangga Mega. Jelas tak akan
mudah ditemukan atau dilihat orang, karena pedang itu
ada di antara lapisan alam nyata dan alam gaib. Hanya
orang-orang yang bisa melihat alam gaib saja yang bisa
melihat seperti apa Pedang Guntur Biru itu.
Berbentuk sangat indah, menarik sekali. Setiap orang
pasti berminat untuk memilikinya. Tapi Pendekar
Mabuk menahan hatinya dan berhasil untuk tidak
memegangnya. Sekalipun ia bisa melihat alam gaib jika
mengusap keningnya dengan tangan kiri, sekalipun ia
bisa memegang, tapi ia tak mau gegabah melakukannya.
Sekalipun ia bisa membawa lari dan memilikinya, tapi ia
tak mau membawanya lari. Ia hanya berkata dalam
hatinya, "Bukan aku pewarisnya, tapi mungkin Siluman Tujuh
Nyawa itu, kalau memang dia bisa berusia tiga ratus
tahun. Jika ia sebelumnya sudah mati, berarti satusatunya pewaris pedang itu adalah.... Singo Bodong!"
Hati Suto Sinting cukup lega. Puas rasanya walau
hanya bisa memandang Pedang Guntur Biru itu.
Setidaknya ia menjadi percaya, bahwa Pedang Pusaka
Guntur Biru itu memang ada, dan tak bisa dimiliki oleh
siapa pun walau harus saling bunuh-membunuh, kecuali
orang berhati suci, polos, bersih, dan tidak dihinggapi
nafsu angkara murka.
Pendekar Mabuk terpaksa harus melanjutkan
perjalanannya, memburu Siluman Tujuh Nyawa untuk
memenggal kepala tokoh sesat yang banyak memakan
korban tak bersalah itu. Ia terpaksa harus berpisah
dengan Intan Selaksa dengan ucapan kata berpisah,
"Suatu saat, aku pasti datang lagi menengokmu ke
sini. Dan satu hal yang perlu kau ketahui, bahwa
ternyata pusaka itu memang ada!"
Pendekar Mabuk membiarkan dipeluk Intan Selaksa
sebagai salam perpisahannya.
SELESAI Ikuti kisah selanjutnya!!!
Serial Pendekar Mabuk Suto Sinting
dalam episode: PAWANG JENAZAH Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Keisel
Convert & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: Dewi KZ
http://kangzusi.com
http://dewi-kz.info
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
Lambang Naga Panji Naga Sakti 9 Naga Sakti Sungai Kuning Huang Ho Sin-liong Karya Kho Ping Hoo Memanah Burung Rajawali 10

Cari Blog Ini