Pendekar Mabuk 089 Pedang Penakluk Cinta Bagian 1
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
1 SUARA tembang itu ternyata datang dari tanah
perbatasan sebuah desa. Mulanya suara tembang itu
disangka sekelompok orang yang mengadakan lomba
'Tembang Tercantik'. Karenanya, pemuda tampan
berbaju tanpa lengan warna coklat dan bercelana putih
kusam itu segera mendekati tempat tersebut. Pemuda
tampan yang membawa bambu bumbung tuak itu tak
lain adalah si murid sinting Gila Tuak yang bergelar
Pendekar Mabuk dan akrab dipanggil Suto Sinting.
Namun setelah Suto Sinting sampai di tempat
datangnya suara tembang itu, ia jadi kecewa dan gelenggeleng kepala. Ternyata
suara tembang itu dilantunkan dari mulut seorang pemuda gila berpakaian rangkaprangkapan. Seorang lelaki agak pendek bertubuh kurus
dengan rambut kucal acak-acakan itu menari-nari sambil melantunkan tembang tak
jelas iramanya. Sebuah guci
kecil ada di tangan kirinya.
"Uu, lalala... ceriping singkong enak rasanya. Uuh, lalala... nyolong ceriping
aduh nikmatnya, uuh, lala, lala, la... lalalalala... ceriping!"
Orang gila itu berjoget sambil geleng-geleng kepala terus tanpa henti. Seakan
dunia itu miliknya. Seluruh keindahan di alam jagat raya itu bagaikan hanya dia
yang punya. Matanya yang sayu itu seperti orang
mengantuk, tapi gerakan tubuhnya yang meliuk ke sanasini dengan teratur itu benar-benar tampak sedang
dinikmati. Lelaki berpakaian rangkap tujuh, termasuk tiga
celana pendek, tiga celana panjang beda panjang, dan
sarung kumai dililit di pinggangnya itu, tak pedulikan kedatangan Suto Sinting
di bawah pohon. Pendekar
Mabuk terpaksa menikmati tontonan gratis itu sebagai
obat kecewa atas hatinya yang salah terka itu.
"Pemuda itu benar-benar tak punya beban dalam
hidupnya. Alangkah enak hidup seperti dia?" pikir Suto sambil senyum-senyum
kecil karena geli melihat tarian
si orang gila. "Coba kalau aku bisa hidup seperti dia, pasti pikiran dan batinku bebas dari
masalah apa pun. Tapi... eh, aku tak mau hidup seperti dia, itu berarti aku
gila! Mana ada gadis yang mau punya kekasih pemuda gila" Hmmm...
kalau menikmati kelucuan orang gila, boleh-boleh saja.
Sambil beristirahat di tempat teduh ini, kunikmati saja
keanehan orang itu."
Bumbung tuak diangkat dan dijungkirkan ke mulut.
Glek, glek, glek...! Tiga teguk tuak diminumnya. Badan terasa segar, hati merasa
tenang. Pendekar Mabuk
sengaja duduk di atas sebuah batu yang ada di bawah
pohon rindang itu sambil matanya pandangi tarian si
orang gila yang usianya sekitar dua puluh lima tahun itu.
"Uuh, lalala... ceriping kodok aduh baunya. Uuh, lalala... ceriping tembok aduh
kerasnya. Uuh, lala, lala, la... lalalala... ceriping!"
Orang gila itu masih berjoget seenaknya dengan
kepala menggeleng-geleng terus. Keringatnya mengucur
dari dahi sampai ke pipi. Giginya gemeretak seperti
orang sedang menggigil kedinginan. Matanya yang sayu
terbuka sedikit dan mulai melihat kehadiran Suto
Sinting, ia tersenyum dan melambaikan tangan penuh
persahabatan. Suto Sinting hanya membalas senyuman
tapi tak mau melambaikan tangan, takut dikira samasama gila. Tetapi pemuda kurus berambut tipis itu segera
mendekati Suto sambil kepalanya tetap godek-godek
seperti wayang golek.
"Hai, Jek...!" sapanya sambil melambaikan tangan lagi. "Tampan sekali kau,
Jek...." "Namaku Suto, bukan Jek!"
"Ah, bohong. Kau pasti si Dufkijek... cucunya Mbah Gudel! He, he, he...!"
"Bukan. Aku bukan Dufkijek, dan bukan cucunya
Mbak Gudel. Namaku Suto Sinting. Kau bisa
memanggilku Suto, kalau kau mau bersahabat
denganku."
"Ah, kau pasti Dulkijek! Kalau kau bukan Dulkijek, aku tak mau bersahabat dan
tak mau memberitahukan
rahasia pedang itu lho!"
Suto mulai tertarik mendengar rahasia pedang yang
sebenarnya tak ingin diketahui. Karena pemuda gila
yang cengar-cengir terus dengan mata sayu seperti orang mabuk itu sudah telanjur
menyebutkan tentang rahasia sebuah pedang, Suto jadi berminat untuk
mengetahuinya. Mau tak mau ia harus bersikap
bersahabat dengan pemuda gila itu.
"Mau bersahabat denganku atau tidak?" sambil pemuda gila itu geleng-geleng terus
mengikuti irama
tembang di hatinya.
"Baiklah. Aku mau bersahabat denganmu. Aku
memang Dulkijek!"
"Naaah... itu baru sohib namanya! Sohib itu teman baik! He, he, he, he...!"
Suto Sinting ikut-ikutan tertawa ceria supaya
dianggap seorang sahabat yang baik. Pemuda itu
mengangkat tangannya dengan telapak tangan terbuka
dan mengajak adu telapak tangan.
"Tos dulu, Jek. Ayo, tos dulu...!"
"Tos itu apa"!"
"Tos itu singkatan dari: Tangan Orang Senang. Mari kita adu tangan kita supaya
senang bersama! Ayo, tos
dulu, Jek...!"
Untuk melegakan pemuda tersebut, Suto Sinting pun
mengadu telapak tangannya dengan orang itu sambil
tertawa kecil. Plok...!
Wuuut!, brruk...!
Pemuda gila itu terlempar sejauh lima langkah. Suto
Sinting kaget, pemuda itu juga kaget dan menggeragap.
"Kenapa pukulanmu keras sekali, Jek"! Pelan saja"!
Yang penting kita sama-sama asyik, Jek!"
"Wah, aku lupa menarik tenaga dalamku dari telapak tangan. Aduh, kasihan sekali
dia!" pikir Suto Sinting yang tak sengaja melepaskan tenaga dalamnya saat
beradu telapak tangan. Hal itu karena Suto sudah
terbiasa jika bertemu dengan lawan dan mengadu telapak tangan selalu saling
melepaskan tenaga dalam dari
telapak tangan itu. Tapi rupanya kali ini pemuda gila itu tidak mempunyai tenaga
dalam sedikit pun. Ia
menghendaki adu telapak tangan secara kosong hanya
sebagai tanda bersahabat. Suto jadi menyesal sendiri dan buru-buru menolong
pemuda itu. "Maaf, aku tak mengerti maksudmu. Jangan marah,
Kawan!" "O, tak apa. Untuk apa aku marah" Yang penting kita sama-sama senang saja, tak
perlu saling bermusuhan,
Jek!" Setelah pemuda itu berhasil dibantu untuk berdiri, ia
mengangkat tangannya lagi.
"Tos lagi, Jek! Pelan-pelan saja!"
Plaak...! "Asyiiiik...! ini baru sahabat yang baik!" ujarnya sambil tetap ceria, sementara
Pendekar Mabuk hanya
merasa bingung melihat sikap pemuda itu.
"Kelihatannya gila, tapi kok bicaranya masih lancar?"
pikir Suto. Pemuda yang belum diketahui namanya itu masih
bergoyang-goyang sambil geleng-gelengkan kepala.
Ceria sekali, tampak sangat gembira menikmati
hidupnya di siang yang teduh itu.
"Mau ceriping juga, Jek?"
"Ceriping..."!" Suto heran lagi.
"Tak usah sungkan-sungkanlah.... Apa kau tak tahu kalau ceriping itu jenis
minuman tuak yang paling enak dan melebihi tuak majalegi" Kalau mau ceriping,
aku masih punya cukup banyak."
Suto membatin, "Bukankah ceriping itu sejenis
keripik singkong" Tapi mungkin di daerah ini beda
artinya." "Kau juragan ceriping"!" tanya Suto.
"Lho, masa' lupa..."! Aku, Mahesa Gondes, bandar
ceriping di seluruh padukuhan sini. Jek!" sambil ia menepuk dadanya dan tetap
godek-godek. Suto hanya
mencatat dalam hatinya bahwa pemuda itu bernama
Mahesa Gondes. "Kalau kau mau ceriping, nanti kita bisa bergembira bersama sambil menembang
begini...," ia mulai
menembang lagi.
"Uuh, lalala... ceriping tokek aduh jijiknya. Uuh, lalala... ceriping kebo aduh
alotnya. Uuh, lala, lala, la.
lalalala... ceriping!" sambil
ia memperagakan
kenikmatannya dalam berjoget dan geleng-geleng
kepala. "Mahesa Gondes, soal
rahasia pedang tadi,
bagaimana?" Suto alihkan omongan.
"Ah, minum ceriping dulu baru ngomong soal
pedang!" ujar Mahesa Gondes sambil geleng-geleng
kepala terus. "Baik, baik...! Aku mau minum ceriping. Hmmm...
kau punya ceriping apa, Mahesa Gondes"!"
"Hmmm, pokoknya asyik, Jek! Aku orangnya asyikasyik saja, Jek!" kata Mahesa Gondes sambil membuka tutup guci itu.
"Minum ini! Kau pasti akan menikmati keindahan di dunia! Baru kita bisa bicara
tentang rahasia pedang
pusaka!" "Apa ini"!" tanya Suto heran.
"Ini namanya ceriping raja! Minum saja, Jek!"
Pendekar Mabuk sempat dibuat bimbang sesaat, ia
mencium tuak dalam guci berbau wangi.
"Minum saja!" bujuk Mahesa Gondes.
"Minuman apa ini sebenarnya?" Pendekar Mabuk semakin bingung.
"Minumlah benda itu, itu adalah tuak gegap gempita.
Sejenis minuman yang bikin hati kita senang dan selalu jujur kepada siapa pun,
selalu baik kepada siapa pun,
dan selalu mengalah kepada siapa pun. Namanya "Tuak Ceriping'."
"Wah, gawat sekali orang ini!" pikir Suto Sinting.
"Jangan-jangan bisa muntah jika aku minum tuak bau wangi rempah-rempah begini."
"Kalau kau tak mau minum, aku tidak bisa kasih tahu rahasia pedang pusaka itu,
Jek. Sebab kau tak bisa lihat di mana pedang pusaka itu berada."
"Pedang apa itu, Mahesa Gondes"!"
"Pedang Penakluk Cinta. Wow...! Hebat kan
namanya" He, he, he...!" Mahesa Gondes gelenggelengkan kepala terus sambil
segera serukan tembangnya. "Uuh, lalala... ceriping sumur aduh benjolnya. Uuh, lalala... ceriping janda
aduh hangatnya. Uuh, lala, lala, la... lalala... ceriping! Asyiiik...!"
Sementara itu Pendekar Mabuk mulai teringat sesuatu
yang sempat tak terpikirkan, yaitu sebuah pusaka yang bernama Pedang Penakluk
Cinta. Karena dalam
perjalanannya memburu Siluman Tujuh Nyawa, ia
sempat melihat pertarungan dua tokoh muda tapi
berilmu lumayan tinggi. Dua tokoh muda itu adalah dua
gadis yang tak dikenal Suto dan saling mempersoalkan
Pedang Penakluk Cinta. Sayangnya, sebelum Suto turun
tangan melerai pertarungan itu, keduanya sudah samasama mati dibunuh orang misterius dengan senjata
rahasia berbentuk kelelawar. Suto mengejar dan mencari orang itu, tapi tak
berhasil menemukannya, sampai
akhirnya ia merasa lelah, lalu mendengar suara tembang Mahesa Gondes dan
akhirnya singgah di tempat itu.
"Penasaran sekali aku dengan pedang itu"! Mengapa si Mahesa Gondes yang setengah
gila ini mengetahui
rahasia pedang itu" Siapa dia sebenarnya" Hmmm...
supaya dia mau berterus terang padaku, sebaiknya
kuikuti keinginannya!"
"Ayo minum. Tuakmu kalah enak dengan tuak
ceriping ini!"
Suto Sinting segera menenggak tuak dalam guci itu.
"Lihat tanganmu, Jek!" kata Mahesa Gondes, sambil mengambil gucinya. Guci itu
mempunyai tali dan
galinya digantungkan pada ikat pinggang.
"Ada apa dengan tanganku"!"
"Kalau telapak tanganmu sudah berkeringat, berarti kau sudah merasakan khasiat
tuak ceriping raja tadi!"
Suto Sinting membiarkan telapak tangannya diperiksa
dengan cara diraba. Setelah meraba tangan Suto, pemuda yang tak jelas status
kejiwaannya, gila atau mabuk itu, segera tersenyum dengan mata sayunya memandang
Suto. "Sebentar lagi kau pasti akan merasa gembira, Jek!
Nikmati saja dulu. Kalau kau sudah mulai merasa
melayang-layang dengan indahnya, baru kita bicara
tentang' rahasia Pedang Penakluk Cinta. Setuju" He, he, he...!"
Mahesa Gondes menari-nari lagi sambil gelenggeleng kepala dan melantunkan lagu seperti tadi.
"Uuh, lalala... ceriping borok aduh asinnya. Uuh, lalala... ceriping popok aduh
pesingnya. Uuh, lala, lala, la... lalala... ceriping!"
Pendekar Mabuk hanya senyum-senyum sambil
memikirkan beberapa hal yang membingungkan, ia ikut
geleng-geleng kepala hanya untuk menyenangkan
Mahesa Gondes. Tiba-tiba hatinya berkata, "Mengapa aku berdebardebar" Ooh... ada perasaan senang di hatiku dan debaran ini sangat indah
rasanya. Hei, ada apa dengan diriku"
Kenapa badanku jadi dingin"! Tapi... tapi tanganku
mulai berkeringat"!"
Pendekar Mabuk semakin bingung dengan perubahan
dirinya yang begitu cepat dan sangat di luar dugaan itu.
Sambil terbawa gerakan Mahesa Gondes yang gelenggeleng kepala itu, hati Suto berkecamuk terus, bertanya-tanya pada diri sendiri.
Pendekar Mabuk 089 Pedang Penakluk Cinta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, ampun... ada apa ini" Mengapa hatiku berbunga-bunga begini bahagianya" Oh,
pandangan mataku pun
serba indah. Melihat pakaian si Mahesa Gondes yang
tumpuk-tumpuk itu tampak indah namun lucu sekali.
Aduh... aku ingin tertawa terus tanpa alasan" Oh, bibirku tertarik ke kanan
kiri, ingin tersenyum terus" Aduuh...
nikmat sekali perasaanku hari ini... lalu bagaimana
dengan pedang itu"!"
"Godek-godek terus, Jek! Ayo, jangan malu-malu,
ikuti goyanganku!" Mahesa Gondes memberi semangat.
Bahkan ia mengajak Suto melantunkan tembang pula.
"Uuh, lalala... ceriping tengkuk aduh kerasnya. Uuh, lalala... ceriping dengkul
aduh mualnya. Uuh, lala, lala, la... lalala... ceriping!"
"Indah sekali tuak ceripingmu, Mahesa!" ujar Suto sambil tersenyum gembira dan
ikut goyang badan serta
goyang kepala. Bahkan ia pun ikut lantunkan tembang
seperti Mahesa Gondes tadi.
"Uuh, lalala... ceriping golok aduh tajamnya. Uuh,
lalala... ceriping tombak aduh mulesnya. Uuh, lala, lala, la... lalala...
ceriping!"
"Bagus, Jek! Terus gelengkan kepala! Nembang
terus, Jeeek...!" seru Mahesa Gondes memberi semangat.
Suto Sinting semakin asyik geleng-geleng kepala dan
goyangkan badannya yang kekar, sambil mengayunkan
bumbung tuaknya ke sana-sini. Ia tampak menikmati
perasaan girangnya penuh suka cinta.
Tiba-tiba seberkas sinar merah melesat dari balik
pohon di kejauhan sana. Weeess...! Kebetulan saat itu
Suto Sinting melihat gerakan sinar yang meluncur di
udara ke arah Mahesa Gondes. Tetapi ia tidak segera
melindungi Mahesa Gondes atau menghantam sinar
berbahaya itu dengan jurus mautnya, ia justru menuding sinar itu sambil tertawatawa. "Hei, lihat... sinar itu indah sekali warnanya!
Asyiik...! Ha, ha, ha, ha...!" Suto tertawa dengan nada rendah tapi penuh
keceriaan. Mahesa Gondes juga hanya menatap gembira ke arah
sinar yang melayang ke arahnya.
"Asyik...! Ada dewa menghampiriku. Pasti ingin tuak ceriping juga! Wahai dewa
merah... datanglah kemari
aku akan...."
Blaaabbs...! Sinar merah itu menghantam dada Mahesa Gondes.
Tubuh pemuda itu meletup kepulkan asap tebal.
Pendekar Mabuk bukan kaget dan segera menolong, tapi
justru tertawa sambil menudingnya.
"Hah, hah, nah...! Kau seperti sate kebanyakan
bumbu, Mahesa! Ngebul teruuuusss...!"
Suto tetap goyangkan badan sambil berseru, "Uh,
lalala... ceriping asap aduh lucunya...."
Asap tebal yang membungkus Mahesa Gondes itu
segera lenyap. Ternyata di balik asap tebal itu tubuh Mahesa Gondes telah
terkapar di tanah dalam keadaan
tak berkutik. Tubuh itu menjadi merah kebiru-biruan, memar, seperti habis
dikeroyok orang sepasar. Bahkan
setiap lubang di tubuhnya keluarkan darah kental; dari mulut, hidung, telinga,
dan sudut-sudut matanya.
Suto Sinting yang diliputi perasaan bahagia itu
memandang Mahesa Gondes seperti memandang badut
yang lucu. Ia tertawa geli walau tak harus terbahakbahak, ia memang menghampiri Mahesa Gondes, tapi
bukan untuk menolong seperti biasanya, melainkan
untuk menertawakan.
"Hah, hah, hah...! Kenapa kau bobo manis di sini, Mahesa"! Ayo, kita keluarkan
ceripingmu lagi. Kita ber-uhlala kembali, Mahesa! Mumpung aku sedang asyik
ini, Jek!"
Suto Sinting bergoyang kepala, "Uuh, lalala...
ceriping mayat aduh bonyoknya. Uuh, lalala... ceriping lempung aduh pulesnya.
Uuh, lala, lala, la... lalala...
ceriping!"
Pendekar Mabuk tidak tahu bahwa Mahesa Gondes
saat itu sedang sekarat akibat pukulan bersinar merah tadi. Nyawa pemuda itu
sudah di ubun-ubun, tinggal
lolos meninggalkan raganya, lalu la akan tewas tanpa
bisa ber-uhlala lagi.
Tapi pada saat itu segera muncul sekelebat bayangan
yang segera menyambar tubuh Mahesa Gondes.
Wuuus...! Orang yang berkelebat cepat itu membawa
pergi Mahesa Gondes. Suto Sinting berseru, "Hei... mau diajak jualan tuak di
mana dia" Aku ikut, Jeek...!"
Suto Sinting pun mengejar orang tersebut sambil beruhlala. 2 ORANG berjubah putih yang membawa lari Mahesa
Gondes itu punya kecepatan gerak yang cukup tinggi.
Pendekar Mabuk tertinggal, karena ia lupa menggunakan
jurus 'Gerak Siluman' yang kecepatannya menyamai
kecepatan cahaya itu.
Jika ia tidak dalam keadaan terbuai oleh perasaan
indah akibat 'tuak ceriping raja'-nya Mahesa Gondes,
sudah tentu kecepatan orang berjubah putih itu dapat
disusulnya. Setidaknya, Suto tidak akan kehilangan arah ke mana larinya si jubah
putih itu. Tuak yang diminumnya demi rasa ingin tahu tentang
rahasia sebuah pedang itu ternyata benar-benar membuat pikiran Pendekar Mabuk
menjadi kacau, ia justru
hentikan langkah ketika bingung mencari orang yang
dikejarnya. "Hah, hah, hah...! Orang itu larinya cepat sekali, seperti setan kebelet buang
air besar," ujarnya dengan terkekeh-kekeh sendiri, ia sandarkan salah satu
tangannya ke pohon dan pandangan mata menatap ke
sana-sini. Mata Suto seperti mata orang mengantuk.
Sayu dan sedikit merah.
"Jualan tuak ceriping ke mana si Mahesa Gondes itu, ya?" tanya Suto pada dirinya
sendiri. "Hebat sekali ceripingnya. Bisa bikin perasaanku selalu riang dan
senang. Umumnya bahan yang dipakai untuk ceriping
adalah singkong atau pisang. Tapi kali ini yang
kuminum ceriping... ceriping raja" Heh, heh, heh...!"
Suto Sinting melangkah tanpa tujuan sambil
menikmati keindahan yang memabukkan jiwanya.
"Ceriping sama dengan tuak. Singkong sama dengan
raja. Jadi ceriping singkong sama dengan tuak raja! Hah, hah, hah, hah...! Lucu
sekali pengertian yang kudapatkan ini"! Raja kok dibuat tuak"! Apa tidak bikin
orang kesurupan"! Hehh, hehh, heeh, he...!"
Tiba-tiba ia mendengar suara dentuman yang cukup
keras. Blaaarr...! Tawanya dihentikan, tapi senyum kegembiraan masih
ada. "Suara apa itu tadi"! Setan batuk"! Hah, hah, hah...!
Setan kok batuk"! Ada-ada saja pikiranku ini!"
Blegaaar...! "Waah, lebih seru lagi. Kurasa suara itu bukan suara setan batuk. Tapi suara
petir bangkis! Hah, hah, hah...!
Petir kok bangkis, lalu ingusnya sebesar apa, ya" Hik, hik... lucu sekali
pikiranku ini" Kenapa aku jadi punya pikiran yang lucu-lucu, ya"!"
Ledakan ketiga terdengar lagi. Kali ini ledakan
tersebut sampai menggetarkan tanah tempat Suto
berpijak. Pemuda mabuk tuak ceriping itu bicara pada
diri sendiri. "Wah, buminya mau ambrol. Pasti sudah keropos!
Tapi, jangan-jangan getaran tanah ini akibat suara
menggelegar itu" Ah, sebaiknya kulihat ada apa di
sebelah sana, sehingga sejak tadi jegar-jeger mirip dewa tepuk tangan! Heeh,
heeh, hheeh, hee...! Dewa kok tepuk tangan, apa dewanya kurang kerjaan"!" Suto
Sinting tertawa sendiri sambil hampiri tempat datangnya ledakan tadi.
Ternyata di lembah berpohon renggang itu terdapat
sebuah pertarungan yang cukup seru. Pertarungan itu
dilakukan oleh dua perempuan yang usianya sama-sama
sekitar dua puluh tiga tahun. Yang satu berambut pendek sepundak dengan poni di
depan dahinya, yang satu
berambut panjang sebahu diriap, dengan ikat kepala dari kulit macan tutul.
Gadis yang mengenakan ikat macan tutul itu juga
mengenakan baju model tutul-tutul tapi bukan warna
kuning-hitam, melainkan warna biru tutul-tutul putih.
Bajunya tanpa lengan dan berbelahan dada lebar,
menampakkan sebagian tepi bukit mulusnya yang
berkulit kuning langsat itu. Sedangkan bagian bawahnya adalah kain yang dibentuk
seperti celana panjang
longgar berbelahan samping kanan-kiri. Jika kaki gadis itu menendang, maka
kainnya akan menyingkap dan
pahanya pun akan melambai-lambai menggugah hasrat
lelaki yang sedang tidur.
Gadis berpakaian tutul-tutul itu punya tendangan
cukup bagus. Selain cepat juga tinggi, melebihi kepala lawannya. Sedangkan sang
lawan jarang gunakan
tendangan, kecuali dalam saat-saat tertentu.
Sang lawan mengenakan jubah rapat berlengan
longgar warna hijau dengan bunga-bunga merah. Celana
panjangnya yang longgar berwarna merah darah.
Sekalipun ia tampak rapi, tidak seseronok lawannya, tapi gumpalan dadanya tampak
membusung penuh
tantangan, seakan menunggu jamahan tangan lawan
jenisnya, ia juga seorang gadis cantik berhidung
mancung dan berbibir mungil. Matanya indah, dan
sangat sayang jika sampai tercolok pedang lawannya.
Melihat kedua gadis itu bertarung, Suto Sinting justru menertawakan walau tak
keras, ia memandang dari
ketinggian tanah yang ditumbuhi semak ilalang.
"Haah, haah, haah, haa...! Cantik-cantik kok pada berantem"! Bodoh amat mereka
itu. Mendingan ikut
senang-senang denganku, hati riang jiwa melayang,
ooh... asyiknya!"
Suto Sinting menuruni tanah tinggi itu sambil
mendendangkan tembang suara pelan.
"Uuh, lalala... ceriping paha aduh mulusnya. Uuh, lalala... ceriping dada aduh
montoknya. Uuh, lala, lala, la... lalalala... ceriping! Uuh... lalala... uuh,
lalala...."
Tiba-tiba ia berseru, "Awas kepala!"
Plook...! Si gadis berikat kepala kulit macan tutul itu terkena tendangan kaki
lawan yang memutar dengan
cepat. Pelipisnya bagaikan ditampar dengan tendangan
itu cukup keras, ia terpelanting dan berguling-guling sesaat.
Suto tertawa melihat gadis itu berguling-guling,
"Hah, hah, hah, hah! Tangkisanmu salah, Nona!
Menangkislah pakai tangan, jangan pakai kepala!"
Kali ini Pendekar Mabuk bukan sebagai pemisah
pertarungan, tapi sebagai penonton terang-terangan.
Jaraknya dengan pertarungan sekitar sepuluh langkah, ia menyaksikan pertarungan
itu sambil tertawa-tawa,
karena setiap gerakan kedua gadis itu selalu
menghadirkan kelucuan bagi hati Suto Sinting. Tak
segan-segan ia bertepuk tangan seperti anak kecil nonton adu jago di pekarangan
rumah tetangga.
"Awas perutmu, hoi!"
Buuhk...! "Naah... apa kataku! Hah, hah, hah, hah! Ususmu bisa kusut, Nona! Perut mau
ditendang kok dibiarkan saja"!
Uuuh... lucu sekali gadis berbaju biru itu."
Gadis berbaju biru tutul-tutul putih itu bukan saja
rasakan sakit pada bagian perutnya yang terkena
tendangan lawan, tapi juga merasa dongkol mendengar
komentar Suto dari kejauhan. Ingin rasanya menyumpal
mulut Suto dengan segenggam tanah kuburan. Namun
karena si jubah hijau bunga-bunga merah mendesaknya
terus, maka si baju biru merasa tak perlu pedulikan
seruan-seruan pemuda tampan itu.
"Sebelum kesabaranku habis, serahkan saja Pedang
Penakluk Cinta itu padaku, Sunggar Manik! Jika kau
tetap ingin membawa lari pedang itu, maka aku
mengakhiri masa hidupmu di bumi ini! Ratu Ladang
Peluh telah memberiku wewenang untuk mencabut
nyawamu jika kau tetap membandel tak mau serahkan
pedang pusaka itu!"
"Sampai mati pun tak akan kuserahkan pedang itu ke tanganmu. Mustikani! Bila
perlu, Ratu Ladang Peluh
pun akan kulawan dengan pedang itu!" balas si baju biru tutul-tutul yang
ternyata bernama Sunggar Manik itu,
sedangkan lawannya bernama Mustikani. Suto Sinting
terkekeh pelan di tempatnya sambil geleng-geleng
kepala. "Bodoh amat kalian! Mengapa harus berebut pedang"
Beli lagi saja! Banyak tukang pande besi jualan pedang!"
Mustikani benar-benar ingin wujudkan ancamannya.
Pedang di punggung dicabut. Sreet...! Sunggar Manik
yang ada dalam jarak delapan langkah itu dihampirinya dengan gerakan melompat
jungkir balik berkali-kali
dengan gunakan ujung pedangnya sebagai tumpuan di
tanah. Wuk, wuk, wuk, wuk!
Tiba di depan Sunggar Manik pedangnya ditebaskan
dengan cepat dengan gerakan memenggal kepala.
Wuuus...! Trang...! Sunggar Manik pun telah siap dan
cabut pedangnya dengan cepat, lalu menangkis pedang
itu. Denting suara pedang melengking tinggi dan
keluarkan pereskan bunga api.
Sunggar Manik cepat sentakkan pedang runcingnya
yang habis dipakai menangkis tadi. Suuut...! Pedang itu bertujuan menghujam ke
dada Mustikani. Tetapi gadis
berponi rata itu berkelit ke samping dengan lincahnya.
Lalu ia putar tubuhnya dengan cepat, pedangnya
menyambar perut Sunggar Manik. Wees...! Traaaang...!
Hampir saja perut Sunggar Manik robek tanpa ada
yang menjahitnya. Untung jurus pedangnya cukup
lincah, sehingga ia berhasil menangkis tebasan cepat.
Seakan ia sudah tahu bahwa serangan berikutnya akan
membahayakan perutnya.
Trang, trang, tring, trang, tring...!
Kedua gadis itu beradu pedang dengan kecepatan
tinggi. Gerakan jurus pedang mereka nyaris tak bisa
Pendekar Mabuk 089 Pedang Penakluk Cinta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dilihat dari tempat Suto berdiri sambil sesekali
menenggak tuaknya, lalu tertawa-tawa pelan,
menganggap pertarungan pedang itu adalah sesuatu yang
lucu. "Mana bisa saling merobek perut, jurus pedang kalian tanpa tipuan begitu"!" ujar
Suto pelan, hanya dia yang mendengarkan. "Kalian pegang pedang saja seperti
pegang centong nasi, mana bisa unggul"!"
Lalu, ia berseru, "Gunakan kaki, Non! Kaki
mainkan...!"
Seruan itu dijawab sendiri, "Mau main ke mana si kaki, ya" Main jauh-jauh nanti
malah nyasar ke
pelacuran" Hik, hik, hik, hik!" Pendekar Mabuk pun tertawa sendiri.
Tapi seruannya tadi sempat ditangkap telinga
Mustikani, sehingga kaki Mustikani segera berkelebat
cepat menendang Sunggar Manik saat pedang mereka
beradu di atas kepala. Traang...! Buuhk...!
"Heehk..."!" Sunggar Manik terpental lima langkah
jauhnya. Ulu hatinya terkena tendangan dengan telak.
Tendangan bertenaga dalam itu sempat membuat ulu hati
Sunggar Manik bagaikan terbakar bagian dalamnya, ia
memuntahkan darah segar saat hendak bangkit.
"Hoeek...!"
Suto berkata sambil tertawa, "Wah, ngidam, ya Non"!
Sudah hamil berapa bulan, Non"!" sambil ia tetap
geleng-geleng kepala dengan lambat, badannya
bergerak-gerak ikuti irama goyangan indah.
Tetapi tiba-tiba Suto melihat selarik sinar putih terang melesat dari telapak
tangan Mustikani yang disentakkan ke arah Sunggar Manik. Kala itu Sunggar Manik
sedang berlari jauhi lawannya, karena ingin menahan luka panas di dalam dadanya lebih
dulu. Ia merasa akan terganggu
bahaya jika redakan luka dalam jarak dekat dengan
lawannya. Slaaap...! Sinar putih itu meluncur jauh ke arah
lawan. Suto langsung berseru sambil tertawa.
"Woow...! Indah sekali sinarmu! Lebih indah jika dipadu dengan sinarku!"
Claap...! Suto Sinting lepaskan jurus pukulan 'Guntur
Perkasa' yang berupa sinar hijau dari tangannya. Karena posisinya seolah-olah
berada di pertengahan jarak antara Mustikani dengan Sunggar Manik, maka sinar
hijau itu berhasil memotong kecepatan sinar putih tersebut dan
bertabrakan di depan Sunggar Manik yang baru saja
hendak lari ke arah lain. Blaaarrr...!
Ledakan keras menggelegar guncangkan tanah
sekelilingnya. Tubuh Sunggar Manik terlempar akibat
jaraknya terlalu dekat dengan ledakan, ia bagai
dilemparkan oleh ledakan yang mempunyai gelombang
panas dan daya sentak cukup besar itu. Weerr...!
Bruuuss...! "Aaoow...!" Sunggar Manik meraung kesakitan
karena menabrak pohon besar. Wajahnya berciuman
dengan pohon dengan keras. Kulit pohon sampai lecet
dan somplak. Hal itu membuat Sunggar Manik semakin
parah. Dahinya terasa retak, batang hidungnya terasa
patah. Darah mengalir deras dari hidung, sementara
tulang dada juga terasa remuk.
"Sekarang tamatlah riwayatmu, Sunggar Manik!
Hiaaah..!"
Mustikani melayang seperti seekor burung tanpa
sayap. Pedangnya diarahkan ke depan, siap menembus
dada atau leher lawan. Pendekar Mabuk girang melihat
gadis itu bagaikan terbang.
"Wooow, hebaaat..! Aku juga bisa, Non! Lihat,
hiaaahuu...!"
Pendekar Mabuk ikut-ikutan meluncur bagaikan
terbang. Bahkan gerakannya lebih cepat karena ia
menggunakan separo jurus 'Gerak Siluman' yang
terkenal berkecepatan tinggi itu. Weees...! Akibatnya, kedua tubuh itu
bertabrakan di udara sebelum pedang
Mustikani mencapai tubuh Sunggar Manik. Brrruus...!
Bumbung tuak lebih dulu membentur tubuh
Mustikani dari arah samping. Gadis itu langsung
terpental jauh bagaikan diterjang badai besar, ia sempat memaki keras ketika
melayang-layang di udara.
"Setan kuraaap...!"
Brruuuk...! "Uuuhk...!" Mustikani mengerang, ia jatuh dalam keadaan telentang. Tulang
punggungnya terganjal akar
pohon sebesar lengan. Tulang punggung itu bagaikan
patah seketika karena hempasan terbangnya mempunyai
daya banting cukup keras. Sedangkan Pendekar Mabuk
juga jatuh terbanting dengan kepala membentur tanah.
Duuuk...! "Aoow...! Puyeeng...!" erangnya sambil menggeliat memeluk bumbung tuaknya. Namun
rasa puyeng di kepala hanya sesaat, ia segera bangkit dan menenggak
tuak sambil berlutut satu kaki. Glek, glek, glek...! Tuak itu membuat seluruh
rasa sakit hilang, termasuk rasa
puyengnya, ia tertawa-tawa lagi dengan suara tawa
seperti erang menggumam.
"Hebat, hebat... kepalaku termasuk barang awet, tak mudah pecah! Heh, heh, heh,
heh!" Suto memandang ke arah Sunggar Manik, ia
terperanjat melihat gadis itu telah melarikan diri agak jauh.
"Lho... lari"! O, ya... memang lebih baik kau
melarikan diri dulu, Non. Nanti kembali lagi kalau luka-lukamu sudah sembuh,
ya"! Hik, hik, hik, hik...!
Larinya seperti ayam kesiangan!"
Wuuut, brruk...!
Tiba-tiba Suto Sinting terjungkal ke depan.
Punggungnya diterjang dengan tendangan kuat. Rupanya
Mustikani berhasil kerahkan tenaga simpanan sambil
menahan tulang punggungnya yang sakit untuk lakukan
terjangan ke arah Suto. Ia tampak berang kepada pemuda yang belum dikenalnya
itu. Tapi merasa pernah dibuat
beruntung oleh saran Suto tentang tendangan tadi.
"Uuh...! Punggungku masih ada apa sudah jebol,
ya"!" gumam Suto Sinting sambil cengar-cengir, masih tetap bersuasana senang dan
tak merasa marah oleh
serangan tersebut.
Mustikani memandang ke arah Sunggar Manik yang
sudah menjauh itu. Ia ingin mengejar, tapi tiba-tiba
kakinya disampar oleh kaki Suto yang berlagak ingin
bangkit itu. Wuuut, brruuk...! Mustikani terpelanting jatuh dengan pedang nyaris
menancap perutnya sendiri.
Untung ujung pedang itu menancap di tanah samping
pinggangnya, sehingga perut gadis itu masih utuh.
"Setan busuk!" maki Mustikani, ia ingin bangkit, namun jatuh melemas lagi. Kali
ini tulang punggungnya
benar-benar patah, ia mengerang kesakitan dan hanya
bisa menggeliat pelan-pelan.
Suto Sinting menertawakan lagi. "Uuh, lalala...
ceriping kaki aduh sakitnya...," goda Suto Sinting yang tidak mendapat tanggapan
dari si gadis. "Oouh...! Oooouh...!"
"Sakit, ya" Sakit, Non"!" Suto mendekati dan jongkok seenaknya di dekat
Mustikani sambil cengar-cengir. "Punggungku yang kau jejak juga sakit, Nona.
Tapi aku minum tuak ini jadi bisa 'uhlalala' lagi. Kalau kau mau tak sakit,
minumlah tuakku ini!"
Si gadis masih tak menghiraukan, ia hanya
mengerang sambil peringas-peringis berusaha mengurut pinggangnya. Suto Sinting
membuka tutup bumbung
tuak, lalu menyodorkan ke mulut si gadis.
"Ayo, minum! Minumlah... jelek-jelek tuak ini
mengandung kekuatan sakti, Non. Sakti sekali! Sakit apa pun yang kau derita bisa
cepat sembuh, kalau kau mau
minum tuak ini. Orang mati yang sudah jadi tengkorak
saja bisa hidup kembali, kalau mau minum tuak ini! Tapi biasanya orang mati pada
bandel, tak ada yang mau
minum tuak ini!" celoteh Suto tanpa pedulikan wibawa dan kharismanya sebagai
pendekar kondang itu hilang
daripadanya. Bumbung tuak disodor-sodorkan ke mulut Mustikani.
Si gadis tetap tak peduli karena menahan rasa sakit. Tapi pada saat mulutnya
mengerang, tuak pun mengucur
masuk ke mulut si gadis. Beberapa tuak terteguk, tapi
yang lainnya berceceran di sekitar mulut dan dada si
gadis. Beberapa saat kemudian, Mustikani mulai rasakan
kesegaran pada tubuhnya. Mula-mula pernapasannya
yang tadinya berat menjadi longgar. Rasa sakit jika
bergerak mulai ringan. Bahkan tulang punggungnya
terasa tersambung lagi. Rasa sakit itu makin lama
semakin lenyap dan tubuh Mustikani menjadi lebih segar dari sebelum bertarung
dengan Sunggar Manik.
"Hebat juga tuaknya. Hmmm...! Siapa pemuda ini
sebenarnya?" pikir Mustikani sambil memperhatikan Suto Sinting yang masih
menggumamkan tembang
sambil duduk santai di bawah pohon terdekat, kepala
menggeleng-geleng menikmati irama tembang yang
digumamkan itu.
3 SETELAH rasakan kehebatan tuak Suto, gadis itu
menjadi punya pertimbangan lain dalam benaknya. "Aku yakin dia bukan pemuda
sembarangan. Dari kehebatan
tuaknya yang mampu lenyapkan luka dengan cepat ini,
aku yakin dia punya ilmu cukup tinggi. Setidaknya
sejajar denganku. Kurasa ada baiknya jika ia kubujuk
untuk membantuku mendapatkan Pedang Penakluk
Cinta." Mustikani merasa yakin, bahwa ia akan kalah jika
berhadapan dengan Sunggar Manik apabila Sunggar
Manik mengeluarkan Pedang Penakluk Cinta. Tadi dia
berani serang Sunggar Manik, karena pedang yang ada
di pinggang Sunggar Manik bukan Pedang Penakluk
Cinta. "Pedang itu pasti disimpan di suatu tempat," pikir Mustikani. "Sekarang ia
sedang mengambilnya untuk melawanku! Tak ada jeleknya jika kugunakan pemuda
ini untuk menjadi perisaiku melawan pedang tersebuti
Aku harus mengenalnya lebih dekat lagi."
Rencana batinnya itulah yang membuat Mustikani
mulai dekati Pendekar Mabuk. Walau wajahnya masih
belum bisa ramah, karena menahan harga dirinya agar
tak dianggap gadis ganjen, namun sikapnya sudah mulai
menunjukkan rasa ingin bersahabat. Sikap itu ditanggapi
Suto Sinting dengan santai, tak terlalu pikirkan apa
maksud pendekatan si gadis, karena Suto masih diliputi perasaan senang, bahagia
dan selalu ingin tersenyum.
Apa saja yang dipandang bisa menghadirkan perasaan
geli di hatinya, sehingga ia mudah tertawa atau
tersenyum. "Apa maksudmu menghalangi seranganku kepada
Sunggar Manik"!" tanya Mustikani dengan ketus.
"Biar lebih seru lagi," jawab Suto Sinting seolah-olah terlontar seenaknya saja.
"Kau kekasihnya Sunggar Manik"!"
Pendekar Mabuk tertawa geli, namun tak terbahakbahak. Rasa-rasanya pertanyaan wajar seperti itu
mengandung kelucuan yang amat menggelikan, padahal
dilontarkan dengan wajah ketus dan berkesan sinis. Tapi perasaan Suto tak merasa
tersinggung sedikit pun.
"Kalau dia kekasihku, sudah kuajak 'uhlala' sejak tadi," jawabnya di sela tawa.
"Aku tidak kenal siapa dia, juga tidak kenal siapa dirimu. Tapi aku yakin kita
pasti akan berkenalan."
"Hmmm...!" Mustikani mencibir, Suto perpanjang tawanya.
"Asyik sekali cibiranmu, Non! Mirip rembulan dalam gerhana. Heh, heh, heh, heh!"
Mustikani pandangi Suto yang cuek, geleng-geleng
kepala dengan badan sedikit ikut bergoyang. Mustikani
menyimpan keheranan melihat sikap pemuda tampan
yang ceria dan geleng-geleng terus itu.
"Jangan-jangan dia orang gila lepas dari pasungan?"
pikir Mustikani, tengkuknya sempat merinding sedikit.
Pandangan mata sayu Suto Sinting masih tetap tertuju
ke wajah Mustikani yang cantik jelita itu. Setelah
beberapa saat saling bungkam dan saling pandang, Suto
Sinting perdengarkan suaranya yang bernada lembut,
seakan penuh persahabatan dan kesabaran yang damai.
"Namaku Dulkijek, ehh... bukan. Itu bukan namaku.
Hanya si gendeng Mahesa Gondes saja yang
memanggilku Dulkijek. Namaku sebenarnya adalah
ceriping raja. Eh, salah lagi... anu.... Suto! Nah, iya...
namaku Suto, itu asli, tidak salah lagi!" lalu Suto tertawa cekikikan, merasa
geli sekali dengan kesalahan ucap
yang dilakukan tanpa disengaja itu. Sedangkan
Mustikani sendiri sebenarnya ingin tertawa, namun
ditahannya mati-matian agar tetap kelihatan berwibawa
di depan pemuda aneh itu.
"Namamu sendiri siapa, Nona" Boleh kutahu" Kalau
tak boleh akan kuberi nama sendiri. Heh, heh, heh, heh!"
Setelah diam sesaat dengan pandangan tetap berkesan
angkuh, gadis itu pun sebutkan namanya dengan suara
datar. "Namaku Mustikani!"
"Siapa" Setrikani"!"
"Mustikani!" sentak si gadis.
"Ooo.... Mustikani"! Kedengarannya tadi Setrikani.
Kupikir, apanya yang disetrika" Tengkuknya" Heh, heh,
heh, heh!"
"Kau ceria sekali, ya" Sedikit-sedikit tertawa, sedikit-sedikit tertawa" Janganjangan otakmu sedang tak
waras"!"
"Kelihatannya memang begitu. Heh, heh, heh...! Hari ini aku diliputi perasaan
senaaaang... sekali, ini gara-gara si Mahesa Gondes yang memberiku tuak ceriping
raja, eh... ceriping apa tadi namanya, ya?" Suto menggumam, seakan bertanya pada diri
sendiri. Mustikani hanya
kerutkan dahi dan tak pedulikan tentang apa yang
dialami Suto Sinting, ia segera ajukan tanya perihal
pertolongan Suto terhadap dirinya itu.
"Mengapa kau menyelamatkan Sunggar Manik dari
ancaman mautku, sementara kau juga sembuhkan
Pendekar Mabuk 089 Pedang Penakluk Cinta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cederaku dengan tuakmu itu" Apa maksud tindakanmu
yang kuanggap aneh ini"!"
"Entah, aku sendiri tak tahu mengapa aku lakukan
semua itu! Aku hanya merasa senang dan bahagia sekali
jika bisa sembuhkan dirimu dan membuatmu sehat
seperti sekarang ini. Cuma itu yang ada di hatiku. Kalau tak percaya,
tanyakanlah padaku!"
Mustikani tarik napas dalam-dalam. Ada rasa kesal
mendengar jawaban yang seolah-olah dilontarkan tidak
dengan sungguh-sungguh itu. Hati gadis itu pun
membatin sambil memandang ke arah kepergian
Sunggar Manik. "Sepertinya pemuda ini benar-benar gila. Kurasa ia tak bisa diharapkan menjadi
perisaiku dalam
menghadapi Sunggar Manik dan Pedang Penakluk Cinta
itu. Diajak bicara saja susah, apalagi diajak kerja sama, malah akan menyusahkan
diriku sendiri nanti!
Sebaiknya kukejar saja si Sunggar Manik sebelum ia
mengambil Pedang Penakluk Cinta yang disembunyikan
di suatu tempat!"
Suto Sinting segera bangkit berdiri ketika Mustikani
ingin tinggalkan tempat itu. Suaranya cepat berseru
menahan langkah kaki Mustikani.
"Hei, tunggu...!" Ia terpaksa mendekat dengan langkah limbung karena Mustikani
berhenti dalam jarak
lima langkah di depannya.
"Mau ke mana kau, Mustikani?"
"Mengejar lawanku tadi!" jawab Mustikani masih ketus.
"Dia sudah lari, mengapa harus dikejar"! Bodoh amat kau ini. Orang lari kok
dikejar"! Lebih baik istirahat dulu di sini bersamaku, nanti akan kunyanyikan
sebuah lagu yang berjudul 'Uhlala'. Kau pasti ikut-ikutan
goyang kepala, Mustikani. Heh, heh, heh, heh!"
Suto mulai tarik suara, "Uuh, lalala...."
"Aku tak butuh nyanyian!" sentak Mustikani
memotong, membuat Suto tak jadi lantunkan
tembangnya, ia justru tertawa geli menyadari
tembangnya terputus begitu saja.
"Yang kubutuhkan adalah Sunggar Manik, bukan
nyanyianmu yang bersuara seperti kaleng rombeng itu!"
tambah Mustikani dengan hati kesal.
"Mengapa kau membutuhkan Sunggar Manik"
Apakah dia kekasihmu?"
"Hmm, dasar bodoh!"
"Sudah lama aku bodoh, tapi baru kau yang tahu.
Heh, heh, heh, heh!"
"Persetan dengan ucapanmu!" sentak Mustikani, kemudian ia bergegas pergi. Tapi
tangan Suto mencekal
lengannya dengan cepat, membuat langkah tertahan
kembali. Teeb...!
"Sebutkan dulu alasanmu, mengapa ingin mengejar
Sunggar Manik"!"
"Itu urusanku! Kau tak perlu tahu!"
"O, perlu! Aku perlu tahu alasanmu, supaya aku bisa tentukan sikap; apakah aku
harus membantumu atau
tidak." "Kau tidak perlu membantuku!"
"Jadi, kau tak butuh bantuanku" Oh, kalau begitu, kembalikan tuakku yang sudah
kau telan tadi!
Kembalikan, ayo...!"
"Dasar edan! Tuak sudah ditelan disuruh
mengembalikan"!"
Gerutuan si gadis tak didengarkan oleh Suto. Murid
sinting si Gila Tuak itu berkata lagi dengan nada
membujuk. "Percayalah, aku akan membantumu jika kau mau
berterus terang tentang permusuhanmu dengan Sunggar
Manik. Jelaskan saja padaku, supaya aku bisa tahu mana yang baik dan mana yang
jahat. Kalau kau yang jahat,
aku tak mau membantumu. Tapi kalau kau di pihak yang
baik, aku akan membantumu."
"Tak ada yang perlu kujelaskan padamu!" ketus Mustikani. "Kau mau anggap aku
orang baik atau orang jahat, terserah! Aku tak punya urusan denganmu!"
"Heh, heh, heh, heh...! Tak punya urusan denganku
kok berhenti di sini?" ledek Suto Sinting.
"Kau yang menahan langkahku!" bentak Mustikani semakin dongkol hatinya.
"Aku menahan karena aku ingin tahu tentang pedang yang kau perdebatkan dengan
Sunggar Manik tadi!"
Mustikani agak kaget. Ada rasa sesal karena tadi ia
memperdebatkan pedang yang dicarinya tanpa
menyadari ada orang yang mendengarkan perdebatan itu.
Mustikani merasa tak bisa sembunyikan masalah lagi
jika kenyataannya Suto Sinting sudah menyinggungnyinggung tentang pedang. Napas gadis itu ditarik
dalam-dalam, lalu dihembuskan dalam satu sentakan
kedongkolan. "Apa saja yang kau dengar dari pertengkaranku
dengan Sunggar Manik tadi"'"
"Aku mendengar kalian tadi berdebat soal Pedang
Penakluk Cinta. Selain itu juga main ancam-ancaman
yang mengerikan, tapi aku belum sempat ngeri.
Sekarang aku ngeri dulu, ya?"
"Bicara yang benar!" sergah Mustikani dalam nada menghardik. Suto Sinting
tersenyum, mengangkat
tangannya, memberi tanda agar Mustikani tenang dan
jangan terburu-buru marah.
Pemuda berambut panjang lurus sepundak tanpa ikat
kepala itu menyambung kata-katanya lagi,
"Hanya soal pedang itu yang masih melekat dalam
ingatanku. Jadi sekarang kuminta padamu, jelaskanlah
tentang pedang itu, Mustikani! Kalau kau tidak mau
jelaskan, aku akan lantunkan tembang keras-keras
tentang 'uhlala' yang...."
"Cukup!" sentak Mustikani memotong kata-kata Suto lagi. Ia merasa akan semakin
kesal jika sampai
mendengarkan tembang yang dianggapnya melantur tak
karuan itu. Karenanya ia memilih lebih baik jelaskan
persoalan sebenarnya.
"Siapa tahu dia memang benar-benar mau
membantuku," pikir Mustikani, menaruh harap lagi
kepada Suto Sinting yang belum diketahuinya sebagai
Pendekar Mabuk.
Nama Pendekar Mabuk cukup dikenal di rimba
persilatan. Mustikani sendiri sering mendengar cerita
tentang kesaktian Pendekar Mabuk dari beberapa orang
yang dikenalnya. Bahkan cerita-cerita itu membuatnya ikut merasa kagum terhadap
Pendekar Mabuk. Tetapi ia
belum pernah bertemu dengan sosok Pendekar Mabuk,
sehingga ia tak tahu kalau sekarang ia sedang
berhadapan dengan pendekar berilmu tinggi itu.
"Aku diutus untuk menangkap Sunggar Manik atau
membunuhnya, dan membawa pulang Pedang Penakluk
Cinta," tutur Mustikani dengan serius.
"Siapa yang mengutusmu" Sunggar Manik sendiri?"
"Bukan!" sentaknya dengan kesal. "Ratu Ladang Peluh yang mengutusku!"
"O, ya... tadi kudengar kalian juga sebutkan nama ratu itu. Siapa..." Ratu
Ladang Peluh"! Aneh. Ladang
kok peluh. Ladang itu pantasnya ladang jagung atau
ladang singkong. Jadi bisa dipanen tiap bulan-bulan
tertentu. Kalau ladang peluh itu yang mau dipanen
apanya" Mau panen peluh"! Memangnya sekarang peluh
sekilonya berapa?"
"Mau kujelaskan persoalannya apa mau ngoceh
sendiri"!" hardik Mustikani. Suto Sinting cepat-cepat diam, menutup mulut sambil
tertawa geli tanpa suara.
Hanya tubuhnya yang terguncang-guncang sesaat.
"Sunggar Manik mencuri pusaka ratu kami, yaitu
Pedang Penakluk Cinta itu! Ia mencuri pedang itu
bersama adiknya yang bernama Lentik Sunyi.
Kemudian, sang Ratu menugaskan aku dan Umbari
untuk menangkap atau membunuh keduanya, yang
penting Pedang Penakluk Cinta harus berhasil kami
bawa pulang ke Bukit Randa, tempat sang ratu bertakhta dalam istana kecilnya."
"Bukit Randa itu di mana?" potong Suto Sinting, karena tiba-tiba ia merasa
sangat asing dengan nama itu dan menjadi ingin tahu secepatnya.
"Bukit Randa ada di sebelah selatan, hampir
mendekati pesisir kidul," jawab Mustikani sepolos-polosnya, karena ia pikir
penjelasan itu perlu diketahui Suto agar jika terjadi sesuatu padanya Suto bisa
sampaikan kabar kepada Ratu Ladang Peluh.
"Aku dan Umbari berpisah di lereng bukit itu,"
Mustikani menuding sebuah bukit kecil tak jauh dari
tempat mereka berdiri.
"Kami berpisah karena masing-masing mengejar
kedua pencuri yang berpencar itu. Aku mengejar
Mustikani dan Umbari mengejar Lentik Sunyi."
Sambil masih godek-godek kepala, Suto Sinting
segera ajukan tanya setelah Mustikani diam selama dua
helaan napas. "Bagaimana kalau sampai kau tak berhasil tangkap
Sunggar Manik dan Lentik Sunyi?"
"Ratu akan menghukumku! Mungkin juga akan
membunuhku karena dianggap sebagai pengawalnya
yang sudah tak berguna lagi."
"Ooo... jadi kau pengawal Ratu Ladang Peluh?"
"Bukan aku saja, tapi Umbari dan beberapa orang
lainnya, termasuk Sunggar Manik sendiri sebenarnya
adalah pengawal pribadi sang Ratu."
"Ooo... pantas kalian cantik-cantik dan lincah-lincah.
Tentunya ilmu silat kalian cukup tinggi, ya?"
Gadis berjubah hijau bunga-bunga merah itu tidak
hiraukan sanjungan yang dianggap kampungan itu.
Mustikani lanjutkan kata-katanya. Kini kata-katanya
lebih cenderung berkesan keluhan hati yang dicekam
rasa cemas. "Jika ratu mengutus kami, berarti nyawa kami siap hilang sewaktu-waktu; hilang
di tangan musuh, atau
hilang di tangan ratu jika kami gagal."
"Oh, itu tak baik! Manusia tanpa nyawa, itu tak baik!
Sumpah!" kata Suto Sinting seakan serius sekali. "Jadi kusarankan, sebaiknya kau
jangan mau kehilangan
nyawa. Apa artinya hidup tanpa nyawa"! Iya, kan"!"
Mustikani bersungut-sungut, "Wejanganmu
kesiangan! Aku bukan anak kecil yang perlu wejangan
seperti itu! Aku harus pergi mengejar Sunggar Manik
dan Lentik Sunyi! Pedang itu harus kudapatkan, karena
aku ingin tetap bernyawa!"
"Bagus! Mari kita bernyawa bersama!" ujar Suto semakin ngaco. Mustikani menatap
dengan tajam dan
cemberut. Suto segera sadar bahwa ucapannya tadi
kurang betul. "Maksudku, mari kita mengejar Sunggar Manik dan
Lentik Sunyi bersama. Kita serang mereka. Kita tangkap mereka. Lalu... kita ajak
mereka menyanyikan:
'Uuh, lalala... ceriping maling aduh bencinya. Uuh,
lalala... ceriping copet aduh muaknya. Uuh, lala, lala, la... lalalala...
ceriping'!"
Suto lantunkan tembang lagi dengan kepala
menunduk dan geleng-geleng, tubuh bergoyang ikuti
irama. Tapi ketika ia buka mata, ternyata Mustikani
sudah berlari jauh meninggalkannya.
"Lho... dia sudah sampai sana"! Waah... ketinggalan aku ini! Kejar terus,
Jek...!" Zlaap, zlaap...! Suto Sinting segera menyusul
Mustikani dengan Jurus 'Gerak Siluman' yang dilakukan
secara refleks itu. Dalam sekejap saja Mustikani sudah terkejar dan justru Suto
Sinting berhasil mendahului
Mustikani. Ia berhenti di bawah pohon yang akan
dilewati Mustikani.
"Edan! Cepat sekali gerakannya" Tahu-tahu ia sudah berada di depan langkahku"!
Padahal sudah kutinggal
cukup jauh!" ujar Mustikani dalam hatinya dengan rasa terheran-heran.
Akhirnya mereka berlari beriringan. Namun baru
beberapa saat mereka lakukan pengejaran terhadap diri
Sunggar Manik, tiba-tiba langkah mereka terpaksa
hentikan langkah. Mereka temukan dua sosok mayat
tergeletak berdekatan. Dua sosok mayat itu adalah dua gadis yang pertarungannya
pernah dilihat Suto sebelum
Suto akhirnya bertemu Mahesa Gondes.
"Umbari..."! Umbari!...!" seru Mustikani sambil hampiri salah satu mayat yang
berpakaian abu-abu itu.
Ternyata mayat itu adalah mayat Umbari, sedangkan
mayat yang satunya adalah mayat Lentik Sunyi.
"Kulihat mereka tewas karena lemparan senjata
rahasia berbentuk kelelawar," kata Suto Sinting sambil mencari sekeping logam
hitam berbentuk kelelawar
bersayap runcing. Ketika kedua gadis yang lakukan
pertarungan itu tiba-tiba tumbang karena lemparan
senjata rahasia, Suto sempat memeriksa keduanya, dan
menemukan sekeping logam berbentuk kelelawar
bentangkan sayap. Logam hitam berukuran kecil itu
sempat dicabut oleh Suto dari leher Umbari, lalu logam itu dibuang begitu saja
setelah Suto merasa jelas dengan bentuk logam tersebut. Sekarang logam itu
sedang dicarinya untuk ditunjukkan kepada Mustikani.
Tetapi sebelum Suto temukan logam tersebut,
Mustikani sudah berhasil menemukan sekeping logam
berbentuk kelelawar dari dada mayat Lentik Sunyi, ia
mencabut benda itu dan memperhatikan dengan dahi
berkerut. Dukanya terhadap kematian sang teman
menjadi surut oleh rasa heran dan aneh melihat logam
berbentuk kelelawar kecil itu.
"Nah, seperti itulah logam yang kutemukan
menancap di leher mayat ini," ujar Suto sambil dekati Mustikani.
"Kurasa, kedua gadis ini sengaja dibunuh oleh
seseorang yang memiliki senjata rahasia berbentuk
kelelawar seperti yang kau pegang itu, Mustikani! Dan
orang tersebut sempat kukejar, kucari-cari, tapi yang
kutemukan justru 'ceriping raja'-nya si Mahesa Gondes yang sangat 'uhlala' ini,"
sambil Suto Sinting
sunggingkan senyum keceriaan.
Pendekar Mabuk 089 Pedang Penakluk Cinta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mustikani tetap berkerut dahi pandangi senjata
rahasia berbentuk kelelawar itu. Ia menggumam, seperti bicara pada diri sendiri.
"Rasa-rasanya aku kenal siapa pemilik senjata rahasia ini!"
"O, kau kenal pemilik senjata itu" Bagus, bagus!"
kalau begitu, maukah kau mengenalkan diriku
kepadanya"!" seraya senyum Suto semakin melebar,
kepala godek-godek pelan.
Mustikani menggeram. "Hiih...!"
Wuuut, jruuub...!
Senjata itu dilemparkan di atas kepala Suto Sinting.
Pemuda itu cepat rundukkan kepala dengan wajah
menyeringai merasa ngeri. Senjata itu menancap di
pohon belakang Suto.
"Akan kubalas kematian Umbari! Akan kutuntut
nyawanya sebagai pengganti nyawa Umbari!" geram
Mustikani sambil matanya menerawang jauh,
memancarkan dendam yang ditujukan pada seseorang.
Suto Sinting sempat bengong karena beranggapan
dirinya yang diancam Mustikani.
"Bukan aku pemilik senjata rahasia itu, Non! Aku
orang baik-baik. Lihat saja, aku hanya bisa menyanyi:
'Uuh, lalala... ceriping codot aduh ngototnya. Uuh,
lalala....'"
"Diaaam...!" bentak Mustikani membuat Suto
terlonjak kaget dan langsung bungkam tak bersuara
sedikit pun. 4 MUSTIKANI tetap ingin kejar Sunggar Manik lebih
dulu. Jika ia berhasil merebut Pedang Penakluk Cinta
yang diduga disembunyikan oleh Sunggar Manik, maka
ia akan dapat menumbangkan orang yang membunuh
Umbari dengan senjata rahasia beracun tinggi itu.
Namun gadis itu tak mau menjawab pertanyaan Suto
ketika Suto ajukan tanya siapa pemilik senjata berbentuk kelelawar itu.
"Nanti kau akan tahu sendiri jika kau benar-benar bantu aku dalam merebut Pedang
Penakluk Cinta itu!"
ujarnya sambil melirik Pendekar Mabuk dengan wajah
masih pancarkan dendam terhadap si pembunuh Umbari
itu. Suto Sinting akhirnya ikuti langkah Mustikani yang
sudah ditinggal jauh oleh Sunggar Manik. Sekalipun
demikian, Mustikani masih yakin bahwa ia akan berhasil temukan Sunggar Manik,
karena ia tahu Sunggar Manik
terluka cukup parah dan akan kehabisan darah dalam
pelarian. Setidaknya akan kehabisan tenaga, lalu
berhenti di suatu tempat, dan di situlah saatnya
Mustikani harus memaksa Sunggar Manik untuk
serahkan pedang tersebut.
Murid Sinting si Gila Tuak dan Bidadari Jalang yang
bertubuh kekar dan gagah itu masih dalam keadaan
dimabuk oleh khayalan indah yang menyenangkan
hatinya. Tetapi ia tak terlalu banyak kehilangan
kewaspadaan. Masih ada sisa kewaspadaan yang
membuatnya segera mencekal lengan Mustikani, lalu
menariknya mundur hingga saling berjatuhan.
Bruuuss...! "Edan kau ini!" sentak Mustikani dengan marah.
Namun belum habis kata-kata itu, suara Mustikani cepat menjadi lirih karena
tiba-tiba ia sadar apa yang terjadi pada saat itu.
Serombongan jarum melayang di atasnya pada saat ia
jatuh telentang dan menindih tubuh Suto yang telentang juga itu. Jarum-jarum itu
bagaikan pasukan nyamuk
yang melesat di udara dan menancap di pohon belakang
mereka. Zruuub...!
Pohon itu segera menjadi layu. Kulit pohon bergerakgerak terkelupas pelan-pelan dan mengkerut. Daun-daun
pohon segera mengkerut juga dalam keadaan berubah
menjadi kuning. Kejap berikutnya, pohon itu telah
menjadi kering dan merengas bagai hidup di padang
pasir tanpa air. Keadaan tersebut ternyata disebabkan
oleh racun di ujung-ujung puluhan jarum yang
menancap di batangnya. Racun itu bekerja dengan cepat
dan ganas, membuat pohon bagaikan mati kering dalam
dua helaan napas.
Mustikani buru-buru bangkit dan memasang
kewaspadaan tinggi. Matanya menatap ke arah
datangnya jarum-jarum hitam tersebut. Sementara itu,
Suto Sinting bergegas bangkit dengan wajah
menyeringai karena tangannya terlipat ke belakang saat jatuh dan tertindih tubuh
Mustikani. Tangan itu terasa terkilir dan sakit jika dipakai untuk bergerak.
"Sial! Pergelangan tanganku terselip di sebelah mana ini"!" gumam Suto Sinting
dalam nada gerutu. Tapi hatinya merasa geli melihat pergelangan tangannya
sukar ditegakkan, ia buru-buru menenggak tuaknya
sambil duduk melonjor di tanah. Dua teguk tuak cukup
rasa sakitnya hilang dan pergelangan tangannya menjadi normal kembali.
Namun ia segera terkejut begitu melihat arah yang
dipandang Mustikani. Ternyata di sana telah berdiri
seorang tokoh tua berusia sekitar tujuh puluh tahun, ia seorang kakek berjubah
biru lusuh dengan tubuh kurus,
mata cekung dan rambut abu-abu pendek. Janggut dan
kumisnya juga abu-abu pendek. Giginya... bukan abuabu, tapi hitam kelam bagai kebanyakan nikotin
tembakau. Tokoh tua yang menggenggam tongkat
berujung seperti palu itu sangat asing bagi Suto Sinting, sehingga Suto segera
dekati Mustikani. Kala itu
Mustikani sedang beradu pandang mata dengan mulut
terbungkam rapat, namun dadanya yang naik turun
menunjukkan gemuruhnya hati yang dibakar kemarahan
dan ketegangan.
"Siapa Pak Tua itu" Bandar ceriping juga?" tanya Suto dalam bisikan.
Mustikani menjawab dengan lirih dan bernada datar.
"Dia dikenal dengan nama: si Tulang Besi dari
Sungai Garong. Dia adalah Ketua Perguruan Raga Baja"
"Diakah yang menyerangmu dengan jarum-jarum
maut tadi?"
"Memang dia!" geram Mustikani. "Satu purnama yang lalu, perguruannya dihancurkan
oleh ratuku, ia
sempat lolos, dan baru sekarang muncul lagi. Kurasa dia ingin balas dendam
padaku, karena dia tahu aku
orangnya Ratu Ladang Peluh."
Pendekar Mabuk masih senyum-senyum saat
pandangi si Tulang Besi yang berwajah tegas, berkesan
galak. Senyuman Suto Sinting diartikan lain bagi si
Tulang Besi, karenanya ia segera berseru dengan
suaranya yang masih terdengar sedikit berat,
menyeramkan. "Apa maksudmu senyum-senyum padaku, Pemuda
Pikun"!"
"Maksudku..." Oh, hmmm... maksudku tersenyum
padamu ya mengajakmu tersenyum," jawab Suto
Sinting, lalu tertawa pelan. "Pertanyaanmu lucu juga, Pak Tua. Orang tersenyum
kok mau dilarang"!"
"Aku tidak butuh senyumanmu, Pemuda Bodoh!"
bentaknya. "Tidak butuh ya sudah! Masih bisa kutawarkan pada
yang butuh," ujar Suto Sinting dengan santai sekali, seakan tak punya beban apaapa, tak punya rasa takut
sedikit pun. "Dengar kataku, Pemuda Dungu...! Aku tak punya
persoalan apa-apa denganmu. Persoalanku hanyalah
mencabut nyawa gadis pengikut ratu Iblis itu sebagai
cicilan hutang si ratu iblis itu atas pembantaian yang menewaskan semua muridku!
Tapi jika kau mau
berlagak jagoan, mau jadi pelindung gadis binal itu,
maka aku tak segan-segan mencabut nyawamu pula
tanpa permisi lagi!"
"Tulang Besi!" seru Mustikani. "Jika kau ingin membalas dendam atas kematian
semua muridmu, lampiaskan kepada ratuku! Jangan kepadaku, karena
pada waktu peristiwa pembantaian itu terjadi, aku tidak ikut di dalamnya. Aku
sedang menengok kakekku yang
saat itu kebetulan sedang sakit. Jadi aku tak punya
kesalahan apa pun padamu, Tulang Besi!"
"Hmmm...! Hanya segitu nyalimu, Perawan Busuk"!"
geram si Tulang Besi. "Aku dapat rasakan getaran
hatimu yang ketakutan melihat kehadiranku di sini!"
Suto Sinting menyahut, "Pak Tua, bolehkah aku
melindungi gadis ini"!"
Mustikani menggerutu pelan namun penuh geram.
"Goblok! Begitu saja ditanyakan!"
Tulang Besi segera berkata, "Kalau kau ingin mati bersama gadis busuk itu,
jadilah pelindungnya. Bila
perlu, jadilah pemandu jalan menuju neraka!"
"Wow... mengerikan sekhalieee...," ujar Suto
berkesan canda.
Tulang Besi marah, merasa dipermainkan oleh
Pendekar Mabuk. Maka dengan cepat ia menggeram
seperti seekor singa mengincar mangsa. Geraman itu
membuat tanah dan pohon sekitarnya bergetar. Bahkan
beberapa helai daun ada yang rontok akibat getaran
tersebut. Rupanya si Tulang Besi sengaja pamer
kesaktian sambil ciutkan nyali calon lawannya.
Suto Sinting berkata kepada Mustikani dengan santai,
cuek sekali, seakan ia tidak sedang berhadapan dengan
seseorang yang berilmu tinggi.
"Rupa-rupanya ada gunung berapi mau meletus,
Mustikani. Getaran gempanya sampai ke tempat kita ini!
Bagaimana jika kita mengungsi lebih dulu sebelum kena
letusan gunung berapi itu"!"
Mustikani tidak melayani ucapan Suto. Ia tetap diam
dan menatap tajam-tajam ke arah Tulang Besi. Ia tak
mau lengah dan terkena pukulan lawan.
Murid si Gila Tuak yang dikenal pula dengan Julukan
Tabib Darah Tuak itu segera memandang si Tulang Besi
sambil nyengir dan berkata kalem.
"Pak Tua, aku mau coba lindungi gadis ini. Karena menurut dugaanku, gadis ini
tidak bersalah, sebab dia
tidak ikut dalam pembantaian itu. Jadi, kalau kau tidak keberatan dan tidak
merasa jeri, izinkan aku melindungi gadis ini dari ancaman balas dendammu.
Bagaimana?"
Tulang Besi semakin menggeram dengan mata
cekungnya kian tajam.
"Grrrhhmmrrr!"
Getaran pada tanah semakin hebat. Bahkan tanah di
bawah kaki si Tulang Besi menjadi retak memanjang
sampai di sekitar tempat Suto berdiri. Pohon-pohon pun bergetar lebih keras,
membuat daun-daun berguguran
dan ranting-ranting kecil berjatuhan. Suara derak samar-samar terdengar.
Ternyata sebatang dahan lapuk patah
akibat getaran tersebut.
Pendekar Mabuk memandang sekelilingnya dengan
bingung tapi tetap dengan senyum.
"Wah, rasa-rasanya kiamat mau tiba, Mustikani. Tapi mengapa langit tidak ikut
bergetar, ya" Jangan-jangan di dalam tanah ini ada binatang raksasa yang sedang
menguap karena habis bangun tidur?"
Nada bicara yang berkesan menyepelekan itu
membuat hati Mustikani menjadi cemas. Sebab secara
jujur hati kecilnya mulai mengakui kehebatan ilmu
Tulang Besi. Hanya dengan keluarkan suara menggeram
saja bisa menggetarkan tanah dan pepohonan
sekelilingnya, apalagi pukulannya. Nyali pun menjadi
ciut juga, namun Mustikani tidak perlihatkan keciutan
nyalinya itu. Ia tetap diam memandang Tulang Besi
seakan siap hadapi serangan kapan pun.
Sementara itu, Tulang Besi menjadi semakin berang
melihat Suto Sinting tidak kelihatan takut sedikit pun.
Bahkan sebaliknya, tampak menyepelekan gertakan
nyali itu. Tulang rahangnya yang bertonjolan itu tampak bergerak menggeletukkan
gigi. Suaranya pun terdengar
kian memberat, seakan dibebani kemarahan yang telah
menjadi lebih besar dari sebelumnya.
"Anak muda, kuizinkan kau menjadi pelindungnya
jika kau kuat menahan hantaman tongkatku ini!
Heeeah...!"
Weess...! Tongkat itu dihantamkan ke kepala
Pendekar Mabuk sambil si Tulang Besi lakukan
lompatan cepat. Dengan gerak refleksnya Pendekar
Mabuk angkat bumbung tuak dan sentakkan ke samping.
Tongkat pun akhirnya kenai bumbung tuak.
Duaaar...! Benturan tongkat dengan bumbung tuak timbulkan
ledakan yang cukup keras dan mengeluarkan daya sentak
besar. Tangan si Tulang Besi yang pegangi tongkat itu
tersentak ke belakang, badannya turut tersentak dan
akhirnya ia terpelanting nyaris jatuh kalau tidak
punggungnya membentur pohon. Sementara itu,
Pendekar Mabuk yang cengar-cengir
itu juga terpelanting ke belakang dan nyaris jatuh kalau tak
segera ditahan dengan kedua tangan Mustikani.
"Gila! Ternyata bumbung tuak bocah itu punya
kekuatan tenaga dalam yang tidak kecil"!" gumam hati si Tulang Besi. "Agaknya
aku harus hati-hati dengannya.
Selama ini hanya orang-orang berilmu tinggi yang
mampu menahan hantaman tongkatku. Apakah anak
muda itu juga berilmu tinggi" Siapa dia sebenarnya"
Aku tak pernah jumpa dengannya."
Mustikani berbisik, "Hati-hati, dia bukan orang
berilmu pas-pasan! Seluruh tulangnya seperti terbuat
dari besi. Tenaga dalamnya pun cukup tinggi. Jangan
sampai pukulan dan tendangannya kenai tubuhmu. Bisa
remuk tulangmu jika diadu dengan tulangnya."
"Tenang saja. Aku hanya berpura-pura sempoyongan, padahal... memang benar-benar
sempoyongan. Heh, heh,
heh, heh!"
"Masih konyol saja kau ini! Hilangkan
kekonyolanmu!" Mustikani menyentak dengan suara
berbisik, ia benar-benar mencemaskan jiwa Suto, tapi
yang dicemaskan justru seenaknya saja.
Pendekar Mabuk 089 Pedang Penakluk Cinta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Pak Tua, aku sudah bisa menahan pukulan
tongkatmu, malahan kau sendiri yang terpental lebih
jauh dariku. Jadi, sekarang kau mengizinkan aku
menjadi pelindung gadis ini, bukan"!"
"Jangan merasa bangga dulu dengan keselamatan
yang kebetulan ini, Bocah bau popok! Tahanlah
pukulanku ini jika kau memang merasa mampu menjadi
pelindung! Heeeahh...!"
Wuuut...! Tulang Besi berkelebat menerjang
Pendekar Mabuk dengan tangan menggenggam dan
dihantamkan ke wajah anak muda itu. Beet!
Suto Sinting menggeloyor seperti orang mabuk mau
jatuh. Wuuut, wees...! Pukulan tangan itu lolos dari
sasaran. Namun ternyata kaki si Tulang Besi menendang
cepat ke arah samping mengenai pangkal lengan Suto.
Beet, krak...! "Aaaah...!" Suto Sinting memekik sambil terjungkal ke samping. Tulang di ujung
pundaknya terasa dihantam
dengan besi sebesar betisnya. Tulang itu terasa remuk dan tangan kirinya tak
mampu digerakkan lagi.
"Aaahk...!" Suto Sinting mengerang kesakitan sambil bergeser mundur dengan
merayap-rayap hingga
mencapai bawah pohon, ia sandarkan tubuhnya di sana
seraya berusaha menahan rasa sakit yang luar biasa.
Matanya sesekali terbeliak dengan mulut ternganga, atau terpejam kuat-kuat
dengan mulut menyeringai.
"Kutumbuk hancur batok kepalamu, Tikus Lumbung!
Haaaah...!"
Tulang Besi melompat sambil ingin hantamkan
tongkatnya yang berkepala mirip martil besar itu.
Namun sebelum lompatan itu mendekati tubuh Suto, jari
tangan Suto segera menyentil dua kali. Des, des...!
Jurus 'Jari Guntur' dipergunakan Pendekar Mabuk
untuk menyingkirkan bahaya yang sedang menuju ke
arahnya. Sentilan jari itu mempunyai kekuatan tenaga
dalam cukup besar, seperti tendangan kuda jantan yang
liar. Dua sentilan bertenaga dalam itu kenai dada si
Tulang Besi. Duuhk, duuhk ..!
"Uuhk...!" Tulang Besi terlempar mundur. Kekuatan daya lompatnya kalah besar
dengan kekuatan sentilan
Suto Sinting. Akibatnya ia jatuh terbanting dalam
keadaan duduk. Brruuk...!
Umumnya orang yang terkena sentilan jurus 'Jari
Guntur' apalagi di bagian dadanya, dia akan menyeringai kesakitan karena tulang
dadanya terasa remuk. Apalagi sampai dua kali sentilan mengenai tempat yang
sama, pasti orang itu tidak akan bisa bernapas untuk beberapa saat.
Tetapi tidak demikian halnya dengan si Tulang Besi.
Ia segera bangkit dan tetap tampak kuat bagai tak pernah mendapat sentilan 'Jari
Guntur'. Rupanya tulang-tulang tubuhnya yang keras seperti besi itulah yang
membuat ia mampu cuek setelah terkena sentilan 'Jari Guntur' dua
kali. "Kuat juga orang ini"!" gumam Suto Sinting dalam hati.
Mustikani ingin bertindak, tapi Suto Sinting
mencegahnya. "Diam saja di tempat, Mustikani! Aku masih sanggup menghadapi besi tua ini!"
Sambil berkata begitu, Suto Sinting bangkit berdiri
lagi. Sebab pada saat Tulang Besi terlempar dan
terbanting, Suto buru-buru menenggak tuaknya dua
teguk. Tuak itu segera hilangkan rasa sakit di ujung
pundak kirinya, ia menjadi sehat lagi, seperti tak pernah cedera sedikit pun,
dan hal itu juga menimbulkan rasa kagum di dalam hati si Tulang Besi.
Kakek berjubah biru itu segera mainkan jurus dengan
tongkatnya. Tiba-tiba tubuhnya melambung di udara,
melesat cepat bagai seekor burung zaman purba yang
meluncur ke arah Suto Sinting dengan tongkat
digenggam dua tangan menyilang di depan dadanya.
Weeers...! Ayunan tubuh menyentak ke atas, membuat Pendekar
Mabuk melambung naik. Wuus...! Kemudian kedua
kakinya menjejak pohon yang ada di belakangnya.
Dess...! Tubuhnya pun meluncur cepat bagaikan terbang
ke arah si Tulang Besi. Weess...!
Dengan kedua tangan menggenggam bumbung tuak
melintang di dada, Pendekar Mabuk sengaja mengadu
kekuatan tenaga dalamnya kepada si Tulang Besi.
Bumbung tuak dan tongkat saling bertabrakan di
udara. Masing-masing digenggam dengan kedua tangan
yang sudah dialiri tenaga dalam.
Blegam...! Ledakan dahsyat terjadi hingga mengguncangkan
alam sekeliling. Beberapa pohon berukuran sedang
menjadi tumbang bagaikan dihempas badai yang
mengamuk. Benturan tongkat dengan bumbung tuak itu sempat
menimbulkan daya rekat cukup kuat, sehingga Tulang
Besi bagai bergelayutan pada tongkatnya dan kakinya
menendang ke dada Suto Sinting secara beruntun.
Des, des, des, des, des...!
"Aaahk...!" Suto Sinting tak bisa hindari tendangan itu karena tak menduga akan
mendapat serangan
beruntun secepat itu.
Ketika tongkat terlepas dari bumbung tuak, tubuh
mereka sama-sama melayang turun. Tapi Pendekar
Mabuk masih sempat kerahkan sisa tenaganya untuk
berkelebat memutar tubuh. Wuuus...! Bersamaan dengan
itu bumbung tuaknya pun berkelebat menyabet dan
kenai bagian bawah ketiak si Tulang Besi.
Buuhk, kraak...!
"Aaaahhk...!" Tulang Besi terlempar bagai bola kena pukulan kuat. Tubuhnya
melayang cepat sejauh delapan
langkah lebih. Kepala si Tulang Besi yang kehilangan
keseimbangan badan itu membentur pohon besar dengan
kuatnya. Prrook...!
"Aauw...!" pekik si Tulang Besi lagi. Benturan itu sangat kuat, sehingga
sebagian kulit batang pohon itu
menjadi rompal. Tak ketinggalan kepala si Tulang Besi
yang kerasnya seperti besi itu akhirnya bocor juga dan mengalirkan darah cukup
deras. "Aauh...! Bangsat tengik bocah itu!" erang si Tulang Besi sambil pegangi
rusuknya. "Jahanam terkutuk!
Tulang rusukku bisa patah begini"! Kalau kupaksakan
aku bisa mati di tangan anak semuda dia!"
Tulang Besi segera kerahkan sisa tenaganya dan
melarikan diri secepatnya, ia merasa tak mungkin
mampu melawan kekuatan si pemuda sinting itu jika
dalam keadaan terluka separah itu. Maka tanpa berkata
apa pun, ia tinggalkan tempat tersebut dengan gerakan
cepat, Mustikani sengaja tidak mengejarnya, karena ia
menjadi tegang setelah melihat Suto Sinting terkapar di tanah tanpa bergerak
lagi. Tendangan beruntun si Tulang Besi tadi telah membuatnya pingsan dan
terluka parah di bagian dalam dadanya.
"Celaka! Bagaimana kalau sudah begini"!" keluh Mustikani dengan wajah tegang
sekali. Sekalipun dia
tahu tuak Suto dapat sembuhkan luka, tapi dia tak tahu bagaimana cara meminumkan
tuak itu, karena keadaan
mulut Suto terkatup rapat.
Gadis cantik yang tadi ikut terlempar saat terjadinya
ledakan dahsyat itu, kini diam mematung dalam keadaan
serba bingung. Matanya menatap lurus ke sosok tubuh
kekar berwajah tampan yang kini terkapar dengan sangat menyedihkan.
"Dadanya menjadi merah kebiru-biruan. Alangkah
parahnya ia. Siapa yang akan kumintai bantuan untuk
menyelamatkan nyawa pemuda konyol ini"!" pikir si cantik di sela-sela
kecemasannya. 5 CAHAYA lampu minyak menerangi rumah gubuk di
lereng Bukit Busung. Dinamakan demikian, karena
menurut legenda zaman dulu, di bukit itu ada seorang
gadis anak janda miskin yang hamil tanpa suami.
Artinya, tidak ada yang mengaku sebagai ayah si jabang bayi yang dikandungnya.
Akhirnya untuk menutup rasa
malu, ketika perut gadis itu membengkak, si ibu selalu mengatakan kepada
kenalannya bahwa anak gadisnya
bukan hamil tapi karena terkena penyakit busung lapar.
Setelah sembilan bulan, gadis itu tidak melahirkan,
sampai dua bulan ke depan juga belum melahirkan.
Ketika diperiksa seorang tabib, ternyata gadis itu
memang benar-benar kena penyakit busung lapar.
Karenanya bukit itu dinamakan Bukit Busung.
Tetapi persoalan yang dihadapi Pendekar Mabuk
Eng Djiauw Ong 4 Bende Mataram Karya Herman Pratikto Prabarini 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama