Pendekar Mabuk 019 Pembantai Berdarah Dingin Bagian 1
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
1 PEREMPUAN tua itu berjalan terbungkuk-bungkuk.
Langkahnya sangat pelan dan tertatih-tatih. Kadang ia oleng ke kiri, kadang
oleng ke kanan. Malah sesekali mau tersungkur jatuh ke depan. Diperkirakan
usianya sudah ratusan tahun. Badannya kurus sekali, seperti tengkorak berjalan.
Rambutnya putih kehijau-hijauan.
Kulitnya keriput, berlipat-lipat seperti kain kumal yang lusuh. Rambut anehnya
itu dikonde kecil di tengah
kepala, sisanya meriap ke kanan-kiri dipermainkan
angin. Nenek tua renta yang punya mata cekung dan alis
putih itu memakai pakaian hitam sebatas dada yang
sering melorot karena kebesaran. Pakaiannya itu
compang-camping, robek di sana-sini tanpa tambalan.
Jika dipakai melangkah terlalu lebar, celana panjang
hitamnya itu sering robek bagian bawah. Karena itu ia berjalan pelan-pelan
supaya pakaiannya yang sudah
lapuk tidak robek terlalu lebar.
Bibirnya yang keriput berlipat-lipat sering bergerak-gerak mengunyah sesuatu,
tapi ia tidak makan apa-apa.
Seperti orang sedang membaca mantera, tapi juga tidak ada yang diucapkannya.
Gigi depannya sudah habis.
Tinggal gusinya yang belum copot. Gigi gerahamnya
juga sudah habis semua, sehingga pipinya terlihat
kempot. Anehnya, nenek tua renta yang seolah-olah kalau
kena angin terlalu besar bisa tumbang sendiri itu, masih juga menyandang pedang
pendek di pinggangnya.
Sarung pedang itu diikatkan pada pinggang memakai
akar pepohonan. Padahal dilihat dari tenaga dan
ketuaannya, nenek ini sudah tidak kuat mencabut
pedang. Membetulkan letak pakaiannya yang melorot itu pun sering kesulitan
apalagi mencabut pedang.
Waktu ia masuk ke dalam kedai, semua pengunjung
kedai memperhatikan dirinya. Sesekali langkahnya
menabrak meja, membuat makanan di atas meja itu jadi berantakan. Seorang pemuda
berdiri ingin menolong
mencari tempat duduk, tapi nenek itu berkata,
"Jangan sentuh diriku!" Dengan gaya genit dan ganjen. Nenek ini berlagak jual
mahal dan pura-pura tidak peduli dengan banyak mata yang
memperhatikannya. Nenek itu segera mendekati pemilik kedai lalu bertanya dengan
suara tuanya yang sedikit serak gemetar,
"Apa di sini jual jagung goreng alias marning"'
Tentu saja para pengunjung kedai tertawa serempak.
Bagaimana mereka tidak tertawa geli melihat nenek
setua itu, mulutnya sudah tak bergigi lagi, tapi masih menanyakan marning.
Padahal orang yang masih sehat
saja makan marning tidak berani terlalu banyak, karena gigi bisa pegal mengunyah
marning yang keras itu.
Sambil terbungkuk-bungkuk, nenek itu berbalik
badan dan menghadap ke arah para tamu kedai tersebut.
Lalu dengan suara tuanya ia berseru,
"Kenapa menertawakan aku" Apa tak pantas aku
memesan bubur di kedai ini, hah"!"
Pembeli yang duduk paling dekat dengan nenek itu
berkata, "Tadi yang dipesan Nenek bukan bubur, tapi marning atau jagung goreng!"
"Tidak mungkin! Aku tadi pesan bubur pada pemilik kedai ini!"
"Marning, Nek!"
"Bubur!" bantahnya dengan mata tuanya melotot bagai ingin lompat ke piring
kosong di atas meja itu.
Pemilik kedai segera menengahi, "Jadi, Nenek mau pesan bubur?"
"Iya. Aku mau makan bubur. Di sini ada jual bubur apa?"
"Bubur sagu dan bubur kacang hijau juga ada, Nek!"
"Hmm...! Kuno itu! Aku mau pesan bubur manusia!"
"Hah..."!" pemilik kedai terbelalak kaget.
"Kenapa mendelik padaku"!" sentak nenek itu dengan suara tua.
Pemilik kedai menjawab, "Saya kaget, Nek! Bukan mendelik kepada Nenek. Saya
kaget mendengar nenek
minta bubur manusia!"
"Kenapa kaget" Cara membuatnya tidak sulit. Ambil satu tamu di sini, bawa ke
belakang, getok kepalanya sampai mati, buang tulangnya, rebus dagingnya pakai
air panas, diberi merica dan cabe sedikit, setelah empuk tuang di mangkok dan
hidangkan di meja! Mudah kan"!"
Salah seorang pengunjung kedai yang mendengar
ucapan itu segera berdiri dan berseru dari tempatnya,
"Nenek ini tua-tua kok kejamnya melebihi setan!
Tidak punya rasa kasihan di antara sesama manusia!"
"Ada yang lebih kejam lagi, Nak! Begini yang lebih kejam...!"
Nenek itu mencabut pedangnya dengan tersendatsendat dan susah payah. Setelah pedang dicabut, ia
dekati meja salah seorang tamu kedai yang sedang asyik menikmati teh panasnya
dengan ketan kelapa. Tiba-tiba pedang itu berkelebat cepat menghantam meja.
Crakk...! "Aaaa...!" orang yang sedang menikmati ketan kelapa itu menjerit seketika,
sampai isi mulutnya muncrat ke wajah orang di depannya. Semua mata terbelalak
seketika melihat tindakan nenek tua renta itu. Mereka sama sekali tidak
menyangka kalau pedang nenek itu
berkelebat cepat memotong pergelangan tangan orang
yang sedang makan ketan kelapa. Pergelangan tangan itu pun menjadi putus
seketika. Nenek tua itu berpaling memandang orang yang tadi
bicara sambil berdiri, kemudian ia berkata,
"Nah, itu yang lebih kejam lagi dari dugaanmu, Nak!"
Dengan senyum tua yang keriput, nenek itu
memungut potongan tangan, lalu diberikan kepada
pemilik kedai sambil bilang,
"Rebus dan kasih merica sedikit!"
Pemilik kedai mundur tiga langkah. Wajahnya pucat
memandangi potongan tangan itu dijinjing jarinya oleh si nenek.
"Rebuslah ini!" kata si nenek lagi.
Pemilik kedai geleng-geleng kepala. Takut dan
gemetar. Sementara itu, beberapa tamu segera
menyingkir keluar dari kedai, takut menjadi sasaran nenek keji itu. Tetapi ada
dua orang yang segera tampil maju mendekati nenek itu dari belakang. Mereka dua
orang lelaki yang sama-sama menyandang golok di
pinggangnya. Yang satu berpakaian kuning, yang satu lagi memakai baju merah.
Yang memakai baju merah menghardik dengan suara
lantang, "Hentikan tindakanmu itu, Tua renta! Apa maumu datang ke desa ini dan mengacau
suasana di kedai"!"
Nenek itu membalikkan badan, menghadap kedua
orang tersebut. Wajahnya kaku tanpa senyum, matanya memandang dengan angker.
Potongan tangan yang
dijinjingnya itu dilemparkan seenaknya ke muka orang berpakaian merah. Tapi
orang itu dengan cepat
mengibaskan goloknya yang membuat potongan tangan
itu mental ke kiri. Pluk! Jatuh di dalam stoples tempat peyek yang lupa belum
ditutup oleh pembeli dan sudah
ditinggal kabur keluar kedai.
"Apakah kamu bernama Suto Sinting alias Pendekar Mabuk..."!" tanya nenek itu.
"Bukan! Namaku Gondo!" jawab orang berpakaian merah.
"Yang itu... yang di sebelahmu dan tolak pinggang seperti jagoan kurang sesajen
itu, apakah bernama Suto Sinting?"
"Juga bukan," jawab si baju kuning. "Namaku Dekso!"
"Lha yang namanya Suto Sinting itu yang mana?"
"Kami tidak kenal dengan orang yang kau cari itu!
Sebaiknya silakan kamu pergi dan jangan ganggu lagi warga desa kami ini!"
"Ganggu sebentar tak apalah," kata nenek itu dengan berjalan tertatih-tatih
mendekati sebuah bangku. Lalu, ia duduk di bangku itu. Tapi meletakkan pantatnya
kurang tepat sehingga ia jatuh terduduk di lantai. Brukk...!
"Wadaauw...!" teriaknya sambil meringis
memejamkan mata.
Sebagian dari mereka yang di luar kedai
menertawakan, sebagian lagi diam saja dan merasa benci kepada nenek itu. Mereka
yang tertawa karena tidak bisa menahan geli melihat nenek itu jatuh terduduk di
lantai dengan pakaian sebatas dadanya melorot sampai ke
perut. Pemandangan itu bukan porno lagi, tapi lucu buat mereka. Karena si nenek
jadi salah tingkah, antara
memegang pantatnya yang sakit dan bingung
membetulkan letak pinjung di dadanya.
Pemilik kedai mengeluh dengan wajah takut di dekat
seorang pembeli yang juga ketakutan.
"Mimpi apa aku semalam kok bisa kedatangan orang gila sekejam ini"! Padahal
seingatku semalam aku tidak tidur!"
Gondo berbisik kepada Dekso, "Seret saja dia! Buang sampai di batas desa sana!
Kalau perlu ceburkan saja ke jurang. Orang ini membahayakan kalau dibiarkan
terlalu lama di desa kita!"
"Kau saja yang menyeretnya. Aku agak ngeri
menghadapi dia!"
"Ah, nyalimu dari dulu tak pernah lebih besar
daripada upil!" gerutu Gondo sambil bersungut-sungut.
Kemudian ia bergegas mendekati nenek itu.
Bayangan Dekso sendiri, Gondo dapat mengangkat
tangan nenek itu dengan ringan, karena tinggal tulang dibungkus kulit saja. Tapi
ternyata tidak demikian
kejadiannya. Gondo keberatan menarik tangan nenek itu, bahkan sampai menggunakan
dua tangan, ia masih
belum bisa menarik tubuh nenek itu dari duduknya di lantai menjadi berdiri.
"Berat!" katanya kepada Dekso.
Nenek itu diam saja dan matanya memandangi Gondo
dengan mulut melompong. Lalu, Dekso yang penasaran
datang mendekat dan segera menarik tangan nenek itu.
Dekso sampai ngotot, urat-uratnya keluar, wajahnya
sampai merah, tapi ia tak berhasil mengangkat nenek itu.
"Kalian pada mau perkosa aku, ya?" kata nenek tersebut, tapi tak dihiraukan oleh
Dekso dan Gondo.
Mereka berdua saling berbisik.
"Berat sekali! Seperti mau mengangkat batu sebesar rumah!"
"Kurasa dia berilmu tinggi, sehingga sulit diangkat!"
bisik Gondo. Kemudian Dekso mau bicara, tapi nenek
itu sudah bangkit sendiri, sedikit limbung dan mau jatuh, tapi segera bertahan
pada sebuah meja.
Ketika ia sudah tegak kakinya, namun badan masih
terbungkuk-bungkuk, Dekso pun berkata,
"Sebaiknya segeralah tinggalkan desa kami, Nek!"
"Kau mengusirku"!" ucapnya pelan tapi matanya memancarkan kemarahan. Dengan
menahan napasnya
nenek itu berkata, "Kalau kau mengusirku, kau bisa menjadi buta, Nak!"
Blarrr..! Terdengar suara petir menggelegar di siang hari bolong. Semua
terkejut, kecuali nenek itu. Ia hanya terkekeh-kekeh setelah Dekso berkata
kepada Gondo, "Mataku... Aduh, mataku...! Mataku di mana ini?"
"Kenapa dengan matamu, Dekso?"
"Ak... aku... aku tak bisa melihat apa-apa! Gondo, di mana kau"!"
Dekso meraba-raba mencari temannya. Temannya
mundur tiga tindak dengan wajah tegang, sebab ia
menjadi takut melihat Dekso benar-benar buta. Bahkan ia menjadi ngeri melihat
bola mata Dekso menjadi putih semua, tak ada manik hitamnya.
"Gondo! Tolong aku...!" Dekso panik. Langkahnya menabrak meja dan makanan di
atas meja berentakan.
Prangng...! Dekso semakin panik, sedangkan Gondo
semakin tegang.
"Gondo! Aku...aku buta betul! Gondo di mana
kamu...!" Gondo menyeringai antara ngeri dan terharu. Maka
dengan cepat Dekso dipeluknya, kemudian dituntun
berjalan menjauh, bahkan keluar dari kedai itu. Tak ada orang yang bersuara
sedikit pun. Mereka semua
terkesiap di tempat, tegang dan berdebar-debar melihat Gondo benar-benar buta.
Suara nenek itu terdengar lagi, "Siapa yang mau buta lagi"! Ayo, maju...! Jangan
sungkan-sungkan!"
Tentu saja tak ada yang mau mendekat. Justru yang
menjauh menjadi banyak. Yang berlari terbirit-birit pun ada. Maka, segeralah
tersebar berita tentang adanya nenek sihir keturunan raja iblis. Ada yang
menyebarkan, siluman tua gentayangan mencari mangsa. Ada juga
yang mengatakan, desanya telah didatangi mayat tua dari zaman purba. Pokoknya,
mereka seenaknya
menyebarkan berita yang pada kesimpulan akhirnya
membuat penduduk desa menjadi gaduh dan diliputi
perasaan takut. Anak-anak yang sedang bermain dicari oleh orangtua mereka dan
dibawa masuk, pintu pun
ditutup rapat. Malah ada yang dipaksa masuk
bersembunyi di kolong balai-balai.
Berita yang cepat menyebar dan menakutkan
masyarakat itu segera sampai di telinga Wigunorekso, tokoh desa yang menjadi
kepala desa, juga menjadi
jawara di desa itu. Sejak Wigunorekso diangkat menjadi kepala desa, tak satu pun
maling yang berani
menyambangi desa itu, tak satu pun rampok dan garong
yang berani menjamah barang-barang penduduk, tak satu pun pemabuk yang berani
bertingkah di desa itu. Karena dulunya, Wigunorekso adalah ketua maling, rampok,
garong, pemabuk, dan segala macam orang jahat.
Wigunorekso merasa aneh mendengar kabar ada
nenek tua bikin perkara di desanya. Penasaran sekali Wigunorekso jadinya. Maka,
ia dan tiga anak buahnya yang jago silat dan berani mati asal gede bayarannya
itu, segera mendatangi kedai tersebut. Karena menurut
beberapa orang, nenek itu tidak mau keluar dari kedai Wak Gempol.
Pada waktu itu, nenek misterius sedang menikmati
secangkir teh panas dengan gula batunya. Delapan
potong pisang sudah dilahapnya habis. Kini pisang yang kesembilan sedang dikupas
kulitnya, ia tak peduli
beberapa mata masih memperhatikan ke tempatnya
secara mencuri-curi pandang dari luar kedai, ia tetap makan, minum, dan apa saja
yang ingin dilakukan
olehnya. "Hoi...! Sini!" panggilnya kepada pemilik kedai, Wak Gempol. Maka, dengan rasa
takut yang kesekian kali, Wak Gempol mendekat, siap melayani permintaan nenek
setan itu. "Gempol..., eh, namamu benar Gempol?"
"Ya. Benar, Nek."
"Gempol, apa kau sudah lama buka kedai di sini?"
Pendekar Mabuk 019 Pembantai Berdarah Dingin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sudah, Nek!"
"Berapa lama?"
"Hmmm... yah, sekitar tiga tahun lebih!"
"Belum lama, Goblok!"
"O, iya... belum lama, Nek," Wak Gempol terpaksa mengikuti apa kata nenek itu
saja, ketimbang dia
membantah, nasibnya bisa seperti Dekso atau terpotong tangannya.
"Selama ini apa kau tidak pernah mendengar nama Suto Sinting?"
"Tidak, Nek!"
"Tamu-tamu yang datang kemari tak ada yang
mengaku bernama Suto Sinting?"
"Sungguh tidak ada, Nek! Aku berani bersumpah.
Malahan aku tidak tahu seperti apa ciri-ciri orang yang bernama Suto Sinting
itu!" "Orangnya ganteng, tinggi, tegap, dan.... Eh, tapi mungkin sekarang dia sudah
setua aku ini!" ucapnya seperti bicara pada diri sendiri. Lalu ia termenung
beberapa saat, mengunyah pisangnya lagi. Kejap
berikutnya dia berkata kepada Wak Gempol,
"Aku tak bisa bayangkan seperti apa wajah Suto yang tentunya sudah setua aku
ini! Apakah dia masih ganteng, masih gagah, atau sudah loyo dan peot" Hmmm...,"
nenek itu manggut-manggut sendiri.
"Apa... apakah orang yang bernama Suto Sinting itu bekas kekasihmu, Nek?"
Mata cekung itu cepat menatap Wak Gempol dengan
bengis. Wak Gempol berdebar-debar, jantungnya
bagaikan mau jebol karena kerasnya berdetak. Nenek itu menggeram dengan suara
tua gemetar yang berkata,
"Jangan lagi-lagi kau bilang begitu, Gempol! Usiamu
bisa pendek kalau bicara begitu lagi!"
"Maaf, Nek! Maaf, aku tidak tahu! Maaf...!"
"Suto Sinting bukan kekasihku!"
"Iya, iya.... Bukan kekasihmu! Bukan!"
"Suto Sinting itu musuhku!"
"Iya. Betul Suto itu musuhmu! Betul sekali!"
"Hik hik hik hik...!" Nenek itu tertawa dengan matanya bagai terpejam. Ketika
tawanya berhenti, ia sedikit kaget, karena telah masuk seorang berperawakan
tinggi, tegap dan berkumis lebat. Tak terlalu gemuk tapi kelihatan kuat ototototnya. Orang itu berusia sekitar lima puluh tahun. Mengenakan baju putih rapi,
bersih. Dialah yang bernama Wigunorekso, yang didampingi
oleh tiga anak buahnya berpakaian biru, merah, dan
hitam. Wigunorekso memandang nenek itu dengan tajam.
Pancaran matanya menandakan kemarahan yang
terpendam. Wigunorekso tak berkedip ketika nenek itu pun memandangnya dengan
polos, seperti orang tak
bersalah apa-apa. Tak ada kesan angker di wajah nenek itu.
"Siapa kau sebenarnya, sehingga berani mengganggu ketenteraman desaku ini,
nah"!" hardik Wigunorekso.
"Kamu siapa?" tanya nenek itu. "Apakah namamu Suto?"
"Bukan! Aku kepala desa sini. Namaku
Wigunorekso!"
"Ah, sayang sekali kau bukan Suto Sinting!" ucapnya dengan lesu.
"Kuminta kau segera pergi dan tinggalkan desa ini!
Jangan kembali lagi kalau kau ingin selamat!"
"Hik hik hik hik...! Orang ini galak padaku, Gempol!"
Pemilik kedai itu diam saja dan serba salah, karena itu ia lebih memilih untuk
tundukkan kepala saja. Apa yang diperdebatkan oleh kedua orang itu tak mau
diikutinya, ia sudah ngeri dan capek menahan debaran jantungnya.
"Cepat tinggalkan desa ini!" bentak Wigunorekso.
Nenek itu memandang, kali ini ia berdiri dan
melangkah keluar dari bangku. Matanya memandang
dengan angker. Wigunorekso tidak mau kalah angker
dalam memandang. Jadi keduanya saling pandang
seperti sepasang kuburan.
"Aku tidak mau tinggalkan tempat ini, karena aku masih capek!" kata nenek itu.
"Kalau capekku sudah hilang, aku akan jalan lagi!"
"Rantanu! Seret dia keluar dari kedai Wak Gempol!"
Orang yang bernama Rantanu itu berpakaian hitam,
dan cepat maju lalu menyeret tangan nenek itu. Tapi sang nenek segera menepiskan
tangannya, tak mau
dijamah oleh Rantanu. Melihat nenek itu membandel,
Rantanu geram. Lalu ia menampar nenek itu dengan
kasar. Wuttt...! Tabb...! Tangan Rantanu cepat dipegang
oleh nenek itu. Digenggam tak terlalu kuat, tapi Rantanu mendelik dan tak bisa
memekik walau mulutnya telah
ternganga. Lalu, nenek itu menahan napas sambil
berkata dalam geram,
"Matilah kau, Nak...!" Lalu terdengar petir menyambar bumi.
Rantanu tersentak-sentak tubuhnya, kemudian ketika
dilepaskan genggamannya, Rantanu jatuh begitu saja, dan wajahnya menjadi pucat
pasi, bibirnya biru,
napasnya tak ada. Rantanu mati tanpa sebab-sebab yang jelas.
Hal itu membuat Wigunorekso menjadi berang, ia
menggeram sambil menggenggam tangan kuat-kuat.
Tapi sebelum ia lepaskan murkanya kepada nenek itu, tiba-tiba sang nenek
berkata, "Kalian pun akan mati tinggal tulang sekarang juga!"
Blarr...! Petir menyambar lagi. Wigunorekso jatuh
bersama kedua pengikutnya. Tubuh mereka
mengepulkan asap dan tak bergerak. Makin lama asap
semakin tebal. Nenek itu melangkah keluar karena tak tahan asap. Ia terbatukbatuk. Dan ketika asap hilang beberapa saat kemudian, ternyata tubuh Wigunorekso
dan kedua pengikutnya itu benar-benar tinggal tulang-belulang, tanpa daging
tanpa bekas pakaian.
* * * 2 MATAHARI pagi sudah sejak tadi pancarkan
sinarnya ke bumi. Cahaya segar jatuh di atas reruntuhan sebuah candi yang ada di
lereng sebuah bukit. Candi itu sudah porak-poranda. Konon, semasa kejayaan
pemerintah seorang raja, candi itu dibangun sebagai tempat persemayaman putri
raja. Mayatnya dikubur di ruang bawah tanah candi tersebut. Tapi tidak ada satu
orang pun yang bisa temukan pintu masuk ke ruang
bawah tanah itu.
Candi tersebut sekarang dijadikan tempat berlatih
jurus-jurus silat aliran Tapak Merah. Seorang lelaki tua berjenggot putih dengan
kepala gundul dan memakai
kain putih sebelah sisi itulah yang menjadi ketua dan guru dari Perguruan Tapak
Merah itu. Orang tersebut bernama Resi Jejak Naga.
Bersama murid-muridnya yang berjumlah sekitar tiga
puluh orang, Resi Jejak Naga berlatih ilmu kanuraga di pelataran candi tersebut.
Dua murid Resi Jejak Naga yang sudah tinggi ilmunya adalah Tawon Kusuma dan
seorang perempuan muda berusia sekitar dua puluh tujuh tahun yang bernama Ratna
Pamegat. Mereka berdua
yang sering mewakili Resi Jejak Naga dalam melatih
murid-murid Perguruan Tapak Merah.
Ketika pagi mulai beranjak mendekati siang,
Perguruan Tapak Merah kedatangan seorang tamu yang tak diketahui dari mana asal
datangnya. Tamu itu tahu-tahu muncul di jalanan seberang candi, dan dengan
tertatih-tatih menghampiri candi tersebut. Tamu itu tak lain dari si nenek aneh
yang telah mencuri jubah abu-abu dari sebuah rumah yang menjemur jubah itu. Kini
jubah tersebut menutup badan kurus keringnya, sehingga tak terlalu tampak renta,
ia berjalan dengan terbungkuk-bungkuk seenaknya saja, seolah masuk halaman rumah
sendiri. Tawon Kusuma segera menghampiri nenek itu dan
menyapa dengan suaranya yang keras, "Mau apa kau kemari, Nek?"
"O, aku..." Aku mau mencari orang yang bernama Suto Sinting!"
"Suto Sinting..."!" Tawon Kusuma berkerut dahi, merasa pernah mendengar nama itu
tapi tidak tahu siapa pemilik nama itu. Lalu, ia bertanya kepada nenek itu,
"Apakah kau neneknya Suto?"
Nenek itu menggeram tampak bengis. "Aku tidak
pernah punya cucu sinting seperti Suto!"
"Atau... bekas kekasihmu?"
Nenek itu jengkel sekali, ia mencabut pedangnya
dengan susah payah, sementara Tawon Kusuma
memandanginya tanpa mengerti maksud si nenek.
Tawon Kusuma malahan merasa kasihan melihat si
nenek kerepotan mencabut pedangnya yang sudah
berkarat itu. Ia bahkan membantu memegangkan sarung pedang yang selalu mau ikut
tercabut jika pedangnya ditarik.
Srett...! Pedang itu berhasil dicabut. Tapi di luar dugaan Tawon Kusurno, pedang
itu ditebaskan oleh sang nenek ke lehernya. Zrratt...! Crass...! Darah menyembur
ke luar, rambut nenek itu menjadi basah oleh darah.
Tawon Kusuma terbelalak kaget, sekaligus meregang
nyawanya, ia segera rubuh ke belakang. Brukk...! Lalu tanpa banyak bicara,
lepaslah sukma Tawon Kusuma
dari raganya, ia mati tanpa diduga-duga oleh dirinya
sendiri. Kalau saja gerakan berkelebat tangan si nenek itu
tidak terlalu cepat, mungkin Tawon Kusuma masih
sempat gunakan gerakan naluri untuk menghindar atau menangkis tangan nenek. Tapi
karena terlalu cepatnya gerakan tangan si nenek, maka Tawon Kusuma tak
sempat melakukan apa-apa, sehingga ajal pun
diterimanya dengan sangat mengejutkan.
"Siapa yang menganggap aku kekasihnya Suto,
kubunuh!" kata nenek itu kepada mayat Tawon Kusuma.
Kejadian itu terjadi dalam jarak agak jauh dari murid-murid yang sedang berlatih
di pelataran candi. Mereka tidak memperhatikan keadaan Tawon Kusuma. Ratna
Pamegat sedang memberi contoh gerakan jurus-jurus
yang harus ditirukan oleh para murid. Resi Jejak Naga ada di dalam candi sedang
mengobati seorang murid
yang terkena pukulan waktu berlatih dan agak parah
keadaannya. "Huh, hiaah...! Huh, Hiaah...! Huh, hiaah...!"
Para murid tetap berlatih jurus-jurus yang diajarkan oleh Ratna Pamegat dengan
semangat tinggi. Nenek itu hanya memandangi dari tempat mayat Tawon Kusuma
tergeletak, ia memandang dengan santai saja, sepertinya tidak pernah melakukan
apa-apa terhadap seseorang.
Ketika gerakan jurus yang semula membelakangi
tempat nenek itu berdiri menjadi berubah arah, mereka berbalik secara serempak
sambil melakukan pukulan
tebas-balik, maka mereka pun jadi terkejut melihat
Tawon Kusuma tergeletak bermandikan darah.
"Tawon Kusuma..."!" seru Ratna Pamegat. Dengan cepat ia melompat mendului para
murid yang segera
bubar dan menyerbu ke tempat mayat Tawon Kusuma.
Ratna Pamegat segera memeriksa keadaan Tawon
Kusuma, lalu ia terkesiap setelah mengetahui Tawon
Kusuma sudah tak bernyawa.
"Siapa yang membunuh Tawon Kusuma"!" sentak Ratna Pamegat kepada nenek aneh itu.
Dengan tenang dan seperti orang tak bersalah, nenek itu menjawab,
"Aku yang bunuh dia!"
Zerrrbbb...! Serempak para murid mengurung nenek
itu dengan kuda-kuda siap menyerang, menunggu
perintah dari Ratna Pamegat. Nenek itu hanya
memandangi sekeliling dengan perasaan heran dan
wajahnya berkerut dahi tampakkan rasa aneh melihat
mereka mengepungnya.
"Ada apa kalian mengepungku" Apa salahku"!" kata nenek pikun itu.
"Kau telah membunuh saudara kami!" bentak Ratna Pamegat.
"Lho, aku membunuh karena dia menyakiti hatiku!
Dia menyangka aku punya kekasih Suto Sinting, padahal Suto Sinting yang
kutanyakan kepadanya itu adalah
musuhku yang ingin kubunuh! Jadi kalau aku
membunuh dia, bocah malang ini, berarti bukan
salahku!" "Nenek edan!" geram Ratna Pamegat. "Hiaaat...!"
Ratna Pamegat segera melompat dan menyerang nenek
itu. Ia segera mencabut pedang di punggungnya untuk
ditebaskan ke leher sang nenek. Tapi dengan gerakan kecil si nenek mengibas
tangannya ke samping, maka
Ratna Pamegat terpelanting jatuh. Angin kibasan tangan itu cukup kencang dan
besar, sehingga keseimbangan
tubuh Ratna Pamegat tak terkendali lagi. Tubuh itu
terpelanting cukup jauh dan menabrak dua murid
lainnya. Sementara, seorang murid berpakaian abu-abu segera
melompat dan mengarahkan tendangan kakinya ke
punggung nenek tersebut. Tetapi, dengan satu kali
kibasan tangan ke belakang, sambil tubuhnya berbalik arah, kaki murid itu
tertangkap oleh sang nenek. Kaki itu segera digenggam kuat-kuat hingga lawannya
menjerit kesakitan.
Kaki pemuda itu diputar, diayunkan keliling kepala
sehingga tubuh sang pemuda melayang-layang. Begitu
cepat putaran itu, sehingga ketika sang nenek
melepaskan genggamannya, tubuh itu pun melesat
melayang terlempar jauh, lalu membentur dinding candi yang sudah tak beratap
rata lagi itu. Prakk...! Kepala orang muda itu menghantam dinding candi,
langsung pecah tak tertolong lagi.
"Hiiaaat...!" Kini lebih dari sepuluh orang maju serentak menyerang nenek itu.
Mereka menyerang
secara bersamaan sehingga nenek itu bingung
melayaninya. Akhirnya ia hanya sentakkan kaki
kurusnya ke tanah dan tiba-tiba tubuhnya melesat naik ke atas dengan cepat.
Gerakan menyergap serentak dari berbagai arah itu membuat mereka kecele dan
akhirnya saling berbenturan kepala sendiri. Prokk...! Sang nenek berjungkir balik di
udara dan jatuh di pelataran candi dalam keadaan sigap. Kakinya menapak dengan
tepat. Jligg...! Tapi segera ia terbatuk-batuk sambil
terbungkuk-bungkuk.
Resi Jejak Naga keluar begitu mendengar suara
gaduh. Matanya menyipit saat dilihatnya seorang nenek yang berusia lebih tua
darinya itu sedang bersiap
mencabut pedangnya lagi dengan susah payah. Pada
waktu itu, beberapa murid ingin menyerang kembali.
Ratna Pamegat yang memberi perintah serang.
Tetapi, tiba-tiba Resi Jejak Naga yang ada di
belakang nenek bungkuk itu segera berseru, "Tahan...!"
Para murid yang mau menyerang segera berhenti
melangkah. Ratna Pamegat bergegas menghampiri
gurunya. Sedangkan nenek itu masih sibuk mencabut
pedang dengan susah payah. Maklum, ikat pinggangnya dari akar berumbai-rumbai
sehingga sesekali gagang
pedang tersangkut dan sarung pedang menjadi ikut jika mau dicabut
"Guru, Tawon Kusuma mati dibunuh oleh nenek tua itu!"
Terkesiap mata Resi Jejak Naga. Dipandanginya
Pendekar Mabuk 019 Pembantai Berdarah Dingin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nenek berambut putih tipis itu dengan mata menyipit.
Sang nenek berpaling ke belakang dan ia tak jadi
mencabut pedang karena melihat seorang lelaki tua
sedang berdiri tak jauh darinya, dalam deretan tangga ketiga dari tempatnya
berdiri. Nenek itu pandangi Resi Jejak Naga dengan mata
menyipit juga, dahi berkerut dan muka bersungutsungut, ia menaiki tangga candi dengan kaki gemetaran dan sangat hati-hati.
Lalu, ia sengaja menghampiri lelaki gundul berpakaian putih separo badan itu.
Semakin dekat semakin berkerut dahi nenek itu, seakan
mempertegas penglihatannya ke wajah Resi Jejak Naga.
Kejap berikutnya terdengar nenek itu bersuara, "Kau mirip dengan Suto Sinting si
Pendekar Mabuk! Apakah kau yang bernama Suto Sinting?"
"Bukan! Namaku Jejak Naga!" jawab Resi Jejak Naga dengan menahan kemarahan
melihat mayat muridnya tergeletak di beberapa tempat.
"Ya. Kurasa kau tidak mirip Suto Sinting! Kalau Suto menjadi tua, tak mungkin
kepalanya sepelontos kamu, Jejak Naga!" ujar nenek aneh itu. Ia tetap merasa
seperti orang tak bersalah. Bahkan dengan enaknya ia berkata,
"Muridmu kubunuh tadi!"
Napas Resi Jejak Naga tertahan. Kemudian napas itu
ditelannya untuk menahan luapan amarahnya.
Tangannya berkelebat ketika Ratna Pamegat hendak
maju menyerang. Ratna Pamegat pun segera urungkan
niatnya. "Mengapa kau membunuh muridku?" tanya Resi Jejak Naga. Jawabannya seperti apa
yang dilontarkan kepada Ratna Pemegat tadi. Kemudian Jejak Naga
berkata, "Kau berhutang nyawa kepadaku jika begitu. Kau harus membayarnya, Nenek tua!"
"Tidak mau!" kata nenek itu. "Nyawaku hanya satu,
sedangkan kau punya banyak nyawa murid. Hilang
beberapa tak apalah!"
Ratna Pamegat menggeram, "Seenaknya dia bicara, Guru! Izinkan saya
merampungkannya!"
"Jangan," jawab Resi Jejak Naga dengan pelan. "Dia berilmu tinggi. Kau bukan
tandingannya!"
Tiba-tiba seorang murid yang sejak tadi sudah
menggeletukkan gigi dengan jengkel sekali, segera
menghantam nenek itu menggunakan pukulan tenaga
dalamnya. Wutt...!
Wresss...! Pukulan itu menerpa tubuh nenek kurus kering. Tapi
tubuh itu tidak bergeming, hanya jubahnya yang
berkelebat cepat, rambutnya terhempas angin pukulan, dan kain pada celananya
yang robek itu menjadi semakin robek karena hempasan angin kencang. Brett...!
"Kau merobekkan kain celanaku, Anak Muda!" kata nenek itu dengan mata tajam
memandang, ia menahan
napas dan berkata, "Kau seperti seekor kucing yang gemar merobek-robek pakaian
orang!" Blarrr...! Semua mata terbelalak kaget begitu mendengar suara
petir menggelegar, tiba-tiba pemuda yang menyerang
nenek itu berubah menjadi seekor kucing hitam yang
berwajah ganas. Kucing itu mengeong, dan berlari
tinggalkan tempat. Resi Jejak Naga tak bisa berkata sepatah kata pun melihat
satu muridnya berubah menjadi seekor kucing.
"Siapa kau sebenarnya, Nenek tua!" Resi Jejak Naga
mulai menghardik suaranya. Nenek itu dengan tenang
dan kalem menjawab,
"Kalau kau bisa beri tahu di mana Suto Sinting berada, aku akan kasih tahu siapa
diriku!" "Kami tidak kenal dengan nama Suto Sinting!
Kumohon kau tidak mengganggu kami, Nenek tua!"
"Aku tidak mengganggu. Tapi aku diganggu,
sehingga aku balas mengganggu!"
Beberapa murid mundur menjauhi nenek misterius
itu. Mereka mulai merasa takut dirinya berubah menjadi seekor kucing. Sementara
itu, sang nenek segera duduk di batu candi yang berfungsi sebagai lantai, dekat
dengan stupa kecil. Di sana ia bersandar dalam bayangan teduh sebuah pohon tak
jauh dari candi itu.
Terdengar pelan Ratna Pamegat berkata kepada
gurunya, "Siapa Suto Sinting itu"! Apakah Guru tidak kenal dengan orang itu?"
"Tidak. Sepertinya memang pernah kudengar nama itu, tapi hanya sepintas dan tak
kutahu siapa orang tersebut!"
"Jadi bagaimana cara mengatasi nenek edan itu, Guru"!"
"Biarlah aku yang atasi dia. Kau suruh saudara-saudaramu untuk menjauhi tempat
aku dan dia bicara.
Jangan sampai ada yang jadi sasaran kegilaannya lagi!
Cari kucing hitam jelmaan Suwogo itu, dan jaga dia
baik-baik. Aku akan mendesak nenek itu agar
mengembalikan wujud Suwogo ke asalnya!"
Ratna Pamegat segera bicara kepada para murid,
sementara Resi Jejak Naga bicara kepada nenek itu.
Tetapi para murid merasa keberatan jika harus jauh dari guru mereka itu.
Kesetiaan terhadap Guru membuat para murid tak mau jauh-jauh menjaga gurunya
dari bahaya nenek misterius itu. Ratna Pamegat tak bisa memaksa mereka sesuai
perintah Guru. Karena Ratna Pamegat
sendiri tak tega jika harus menjauhi sang Guru,
sementara sang Guru berhadapan dengan maut yang
mengancam sewaktu-waktu.
Maka beberapa murid hanya berada dalam jarak
beberapa tombak dari tempat guru-mereka bicara dengan nenek misterius itu.
Sementara Ratna Pamegat sendiri tak berani lebih jauh dari tempatnya sekarang,
sekitar empat tombak dari gurunya.
"Kau harus mengembalikan muridku yang menjadi
kucing itu!"
"Aku tak bisa!"
"Harus bisa!"
"Jangan paksa aku!" nenek itu menghardik dengan suara tua yang gemetaran.
Napasnya terengah-engah
setelah itu. "Jika begitu, lekaslah pergi dan carilah orang yang bernama Suto Sinting itu ke
tempat lain. Jangan di sini!"
"Kau mengusirku, Jejak Naga?"
"Ya. Karena kau mengganggu ketenteraman kami!"
Nenek itu berdiri dengan mata memandang ganas.
Resi Jejak Naga mundur satu tindak dan bersiap
menghadapi serangan sewaktu-waktu, ia segera berkata kepada nenek itu,
"Kalau kau datang dengan baik-baik, mungkin kami akan membantumu mencarikan
orang yang bernama
Suto Sinting itu! Tapi karena kau datang dengan
permusuhan, maka kami pun tak sudi membantumu!"
"Tak mau membantuku juga tak apa-apa!" Nenek itu bersungut-sungut.
"Tapi kau harus segera pergi dari sini! Kami tidak bersedia menerimamu!" sentak
Resi Jejak Naga semakin jengkel.
Nenek itu memandang dengan terus-menerus. Sorot
pandangan matanya sangat tajam. Dan oleh Resi Jejak Naga, pandangan mata itu
dilawannya, ia pun tak
berkedip menatap sang nenek dan tak kalah tajam pula sorot pandangan matanya.
Tetapi tiba-tiba tubuh Resi Jejak Naga bagai disapu angin besar yang membuatnya
terbang melayang ke arah belakang. Wusss...! Gerakan terbang Resi Jejak Naga
membuat semua murid menjadi tegang dan bersiap
untuk menyerang.
Resi Jejak Naga terjatuh, tapi segera disambut oleh Ratna Pamegat yang membuat
sang resi tak sampai
terbanting di lantai candi berbatu keras itu. Resi Jejak Naga pun diturunkan
dari topangan tangan Ratna
Pamegat. "Nenek Setan!" sentak Resi Jejak Naga yang sudah tak bisa menahan marah lagi
itu. "Kurasa kau memang perlu diberi pelajaran biar sadar di masa tuamu ini!
Hihh...!" Sentakan tangan Resi Jejak Naga keluarkan cahaya
merah pijar. Cahaya itu melesat menghantam Nenek
Setan. Lalu, oleh si nenek cahaya itu ditangkis dengan menggunakan telapak
tangannya. Dess! Cahaya itu jatuh ke lantai dan padam seketika.
"Kau ingin adu ilmu denganku, Jejak Naga"! Baik, baik...! Kau punya ilmu apa
saja, keluarkanlah! Aku akan melayani kemarahanmu!" kata sang nenek.
Resi Jejak Naga segera maju beberapa tindak, saat itu sang nenek menuruni tangga
dengan hati-hati dan
sesekali tampak limbung mau jatuh. Sepertinya ia sudah tidak punya tenaga lagi
untuk melangkah, tapi masih dipaksakan. Kesempatan itu digunakan oleh Resi Jejak
Naga untuk melepaskan pukulan bercahaya biru.
Pukulan itu sengaja dilepaskan berkali-kali, sehingga cahaya biru melesat
berturut-turut menghantam sang
nenek. Tapi oleh sang nenek cahaya itu ditahan memakai telapak tangannya.
Zlubb... zlubb... zlubb... zlubb...!
Sinar biru berturut-turut dan patah-patah itu seakan diserap masuk ke dalam
telapak tangan sang nenek.
Dengan suara gemetaran sang nenek berkata,
"Terus, keluarkan terus ilmumu! Sama saja kau
menyumbangkan ilmu itu kepadaku secara cuma-cuma,
Jejak Naga. Hik hik hik...!"
Seketika itu Resi Jejak Naga sadar bahwa ia telah
memasukkan ilmunya ke raga nenek aneh itu. Ia pun
segera menghentikan pukulan sinar birunya, karena ia yakin, semakin banyak sinar
biru yang dikeluarkannya, berarti semakin banyak kekuatan jurusnya dihisap oleh
nenek aneh itu.
"Kenapa berhenti?" tanya sang nenek. "Jejak Naga, Jejak Naga... tubuhmu sudah
bau tanah saja masih
banyak bertingkah kau!"
"Kau pun lebih bau tanah, bahkan kau telah bau mayat, Nenek Peot! Sadarilah hal
itu!" "Berani kau mengatakan aku nenek peot, hah" Aku masih cantik! Masih manis, dan
masih menawan hati!"
"Cuih...!" Resi Jejak Naga meludah benci.
Nenek aneh itu makin marah, merasa dihina dan
direndahkan. Maka ia pun menahan napas sambil
berucap kata, "Kurang ajar kau, Jejak Naga! Kau menganggap aku jijik, tapi sebenarnya tubuhmu
lebih menjijikkan!
Kepalamu memang masih utuh tapi lehermu sampai ke
bawah sudah menjadi tulang belulang dan masih hidup, Jejak Naga!"
Blarrr...! Petir meledak bagai ingin memecah langit.
Seketika itu juga, tubuh Resi Jejak Naga berubah
menjadi tulang-tulang tengkorak, tapi kepalanya masih utuh dan bisa bicara.
Tulang-belulang itu pun masih bisa berjalan ke sana-sini dan bisa dipakai
menggerakkan tangan, namun sudah tanpa kulit, tanpa daging dan tanpa isi apa
pun. Dari tempatnya berdiri, nenek aneh itu berkata kepada Ratna Pamegat,
"Bawa kemari orang yang bernama Suto, baru
kupulihkan keadaan gurumu! Jika tidak, selamanya dia akan menjadi tengkorak
hidup!" * * * 3 IRING-IRINGAN manusia mulai tampak keluar dari
balai desa. Suara mereka menggaung bagaikan sejuta
lebah. Langkah kaki mereka pun tampak tergesa-gesa.
Iring-iringan itu diawali oleh langkah tiga orang paling depan. Satu orang yang
ada di tengah tampak dalam
keadaan terikat kedua tangannya ke belakang. Dua orang di kanan-kirinya
menggenggam lengannya dengan kuat.
Setiap mata yang berpapasan dengan iring-iringan itu berhenti melangkah dan
sempatkan diri memandang.
Bahkan beberapa orang yang semula menuju arah
berlawanan, begitu melihat iring-iringan itu menjadi kembali arah, mengikuti
iring-iringan tersebut. Beberapa orang yang ada di dalam rumah ataupun di
warung, juga menyempatkan diri keluar ataupun hanya melongok dari pintu
rumahnya. Salah seorang yang ada di sebuah warung bertanya
kepada orang yang berlari-lari menuju lapangan,
"Ada apa itu"!"
"Suto mau digantung!" jawab orang itu sambil berlari.
"Hah..."! Akhirnya dia digantung juga?"
Bergegas keluar dari warung itu seorang perempuan
muda yang wajahnya menjadi bahan incaran kaum
lelaki. Perempuan itu ikut memandang ke arah iringiringan yang menuju lapangan. Suara mereka yang lewat
bersimpang-siur dengan tegang dan terburu-buru
menyerukan kata,
"Suto digantung! Suto mau digantung...!"
Perempuan muda yang cantik dan menyandang
pedang di punggung itu segera mendekati seorang lelaki tua-yang berdiri di bawah
pohon. Perempuan itu
bertanya, "Iring-iringan apa itu, Pak tua?"
"Suto...! Dia mau digantung!"
"Suto..."!"
Perempuan cantik yang tak lain adalah Ratna
Pamegat segera menjadi tegang setelah mendapat
jawaban dengan jelas. Wajahnya pun berubah menjadi
lebih tegang lagi.
Orang yang dicarinya sejak empat hari yang lalu,
ternyata sekarang ditemuinya dalam keadaan mau
digantung. Tak disangka sama sekali kalau ternyata
orang yang bernama Suto itu punya kesalahan besar di desa itu sehingga mau
digantung oleh penguasa
setempat. "Mengapa dia dijatuhi hukuman gantung, Pak tua?"
tanya Ratna Pamegat lagi kepada orang tua yang sejak tadi berdiri di bawah pohon
menunggu iring-iringan itu lewat di depannya.
"Pendekar Mabuk memperkosa istri Ki Lurah Pogo.
Pengadilan memutuskan ia harus digantung, supaya
rakyat di desa ini pun tidak ada yang berani bertindak begitu lagi terhadap
siapa punl"
"Apakah dia sudah jelas bersalah, sehingga
diputuskan untuk digantung begitu"!"
"Ada beberapa orangnya Ki Lurah Pogo yang
memergoki perbuatan Suto, dan Nyi Sumirah sendiri
telah menuntut atas perbuatan Suto itu!"
Ratna Pamegat diam. Iring-iringan itu lewat di
depannya dalam jarak antara empat tombak. Ratna
Pamegat segera bergabung dalam iring-iringan itu dan mendengarkan kasak-kusuk
mereka yang membicarakan
tentang Suto. "Kalau tidak digantung, nanti di sini banyak
pemerkosa yang berbuat seenaknya saja!" kata salah seorang memberi tanggapan
terhadap keputusan
pengadilan tersebut.
Pemuda berwajah tampan itu seakan menerima saja
Pendekar Mabuk 019 Pembantai Berdarah Dingin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keputusan yang menimpa dirinya. Hukuman yang akan
dilaksanakan di tengah lapangan dan sengaja biar
menjadi tontonan orang itu membuat Ratna Pamegat
berpikir dengan gelisah. Sesekali ia mendengar suara pemuda yang mau digantung
itu berseru, "Aku tidak memperkosa Nyi Sumirah! Tapi kalau
kalian tetap menggantungku, arwahku akan datang lagi untuk memperkosa semua
perempuan di desa ini! Setiap malam aku akan datang menggerayangi siapa saja,
dari yang tua, muda, maupun yang bocah!"
Ratna Pamegat berjalan lebih cepat untuk dapat
mencapai lapangan lebih dulu. Ketika ia sampai di tanah lapangan itu, ternyata
tiang gantungan sudah disiapkan.
Tiang gantungan itu berupa sebuah panggung kecil yang diapit oleh tiang gawang.
Di atas tiang gawang itu
terdapat tali gantungan yang sudah siap menjerat
mangsa. Ratna Pamegat berkata dalam hatinya, "Mungkinkah dulunya nenek aneh itu juga
diperkosa oleh Suto,
sehingga ia dendam sekali dengan pemuda yang
bernama Suto ini dan menjadi buas kepada siapa saja!
Tugasku adalah mencari Suto supaya Guru dibebaskan
dari pengaruh kekuatan gaib nenek aneh itu. Tapi
bagaimana aku harus membawa Suto ke Candi Sapta
Windu jika orang itu sendiri di sini mau digantung"!
Padahal nenek aneh itu sudah berpesan bahwa aku harus bisa menyeret Suto Sinting
dalam keadaan hidup-hidup dan menyerahkannya kepadanya! Sedangkan sekarang
nyawa orang itu terancam mati gantung"!"
Tak ada pilihan lain buat Ratna Pamegat selain
mencari kesempatan untuk membebaskan Pendekar
Mabuk dari tiang gantungan. Sejenak ia berpikir, sejenak pula ia mendengar
Pendekar Mabuk berseru dari atas
panggung tiang gantungan itu dengan lantangnya,
"Ingat, aku tidak memperkosa! Aku tidak memaksa perempuan itu! Tapi aku dijatuhi
hukuman gantung!
Kuhabisi perempuan di desa ini! Arwahku akan datang merobek-robek setiap
perempuan yang habis kutiduri!
Aku akan menuntut balas melalui arwahku! Ingat kata-kataku, Ki Lurah Pogo...!
Ingat...!"
Tak jauh dari tanah lapangan itu, dua rumah tiba-tiba terbakar secara misterius.
Dua rumah itu berdampingan dan sebelahnya lagi ada rumah yang hampir ikut
terbakar. Dua rumah yang terbakar itu menimbulkan
kepanikan dan kegaduhan mereka yang berkumpul di
lapangan. Suasana menjadi kacau, karena api berkobar semakin besar dan menjilatjilat rumah di kanan kirinya.
Dalam keadaan kacau itulah, tubuh Pendekar Mabuk
bagai diterjang angin bercahaya warna Jingga. Wusss...!
Para petugas yang siap menggantung Suto menjadi
terbengong sekejap melihat tawanannya hilang begitu saja sebelum lehernya
dijerat tali gantungan. Dua
petugas itu pun berteriak keras-keras,
"Suto hilaaang...! Tawanan kita dicuri orang! Suto hilang!"
Semakin heboh dan kacau suasana di tanah lapang.
Rumah yang kebakaran itu menimbulkan kepanikan dan
kekacauan yang hebat, hilangnya tawanan mereka pun
membuat kekacauan lebih hebat lagi. Semua orang
bingung mencurahkan perhatian antara ke rumah
terbakar atau ke panggung gantungan.
Salah satu dari orangnya Ki Lurah Pogo berseru,
"Perempuan itu telah membawa lari tawanan kita! Dia menuju ke hutan barat!"
Ki Lurah Pogo yang bermata lebar dan berperawakan
tegap itu segera berseru kepada beberapa orangnya,
"Kejar mereka! Bunuh di tempat!"
Ratna Pamegat telah berhasil membawa lari pemuda
tampan itu. Pemuda tersebut dipanggul di atas pundak dalam keadaan tak bisa
bergerak, karena ketika Ratna Pamegat menyambar pemuda itu dari bawah tali
gantungan, ia sudah menotoknya lebih dulu lewat
lemparan batu kecil. Kini ia bebas membawa lari
Pendekar Mabuk walau dalam kejaran beberapa anak
buah Ki Lurah Pogo. Mereka yang mengejar berpencar
dan memotong jalan untuk melakukan pencegatan di
beberapa tempat.
Sampai di suatu tempat bersemak duri, Ratna
Pamegat terhadang oleh dua orang anak buah Ki Lurah Pogo. Kedua orang itu
langsung menyerang Ratna
Pamegat dengan pukulan tenaga dalam mereka yang
bercahaya merah.
Ratna Pamegat melompat dalam satu sentakan kaki
ke tanah. Pukulan tenaga dalam dari dua arah melesat di bawah kakinya. Wutt...!
Lalu saling berbenturan satu dengan yang lain. Blarrr....!
"Serahkan orang itu atau kuhabisi kau sekarang juga, Perempuan Jalang!" teriak
yang berpakaian hitam.
"Aku membutuhkan orang ini! Aku terpaksa
mencurinya dari kalian. Sangat terpaksa!"
"Keparat kau! Sarju, habisi saja mereka berdua!"
teriak yang berpakaian hijau.
Mereka berdua mencabut golok masing-masing.
Ratna Pamegat terpaksa menurunkan pemuda yang
tertotok jalan darahnya itu. Kemudian Ratna Pamegat mencabut pedangnya juga dari
punggung. Matanya
menatap dengan tajam, melirik lawannya yang datang
dari depan dan dari kiri.
"Hiaaat...!" Yang dari depan menyerang dalam satu lompatan. Goloknya berkelebat
menebas leher. Tapi
pedang Ratna Pamegat berkelebat menangkisnya dengan cepat. Trangng...!
Yang dari samping pun menyerang dengan tebasan ke
arah perut. Ratna Pamegat menyentakkan kakinya, tepat menendang bagian
pergelangan tangan orang itu, hingga orang itu terjengkang ke sam-ping akibat
terbawa dorongan tangannya yang kena tendang. Pada saat itulah pedang Ratna Pamegat
ditebaskan ke samping kiri.
Brett...! "Aaahg...!" orang itu mendelik sambil memekik.
Dadanya terkena sabetan pedang Ratna Pamegat.
Yang dari depan menyerang dengan tendangan
berputar. Ratna Pamegat terkena tendangan pada bagian wajah. Plokk...! Ia
terhuyung ke samping. Orang itu melompat dan membacokkan goloknya. Tapi pedang
Ratna Pamegat mendahului menembus lambungnya
dengan telak. Blesss...!
"Aaahg...!" orang itu pun mendelik, dan mati beberapa kejap berikutnya.
Pemuda yang dijatuhkan dari pundaknya itu segera
diangkat oleh Ratna Pamegat, lalu dibawanya lari lagi.
Namun beberapa langkah ia melesat, tiba-tiba kembali tiga orang menghadangnya
dengan senjata masing-masing di tangan. Wajah ketiga orang itu memancarkan nafsu
membunuh. Ratna Pamegat yang belum
memasukkan pedangnya ke sarung pedang itu segera
berhenti menahan gerakan. Pemuda itu tetap dipanggul di pundak kiri.
"Perempuan Bodoh! Serahkan pemuda itu biar kami gantung karena kesalahannya!"
bentak yang berkumis lebat.
"Maaf, aku terpaksa mencurinya dari kalian karena ada satu keperluan yang amat
penting demi jiwa
guruku!" "Persetan dengan gurumu! Serahkan dia! Tinggalkan di situ!"
"Tak bisa...! Aku harus membawanya pulang!"
"Serang dia! Hiaaat...!"
Ketiganya melompat bersamaan dengan senjata siap
dihujamkan ke tubuh Ratna Pamegat maupun pemuda
itu. Tetapi dengan gerakan cepat yang tak sempat
terlihat, pedang Ratna Pamegat berhasil berkelebat
menerabas tiap senjata mereka. Dalam satu sapuan, dua senjata mereka terpental
jauh, satu keris patah terpotong pedang.
Tubuh mereka bertiga pun sama-sama terpental
karena gelombang angin besar yang keluar dari tebasan pedang bertenaga dalam
itu. Ratna Pamegat melompat
dan segera melarikan diri. Tapi dua dari ketiga orang itu cepat bangkit lalu
mengejarnya dengan melepaskan satu pukulan jarak jauh ke punggung Ratna Pamegat.
Hawa panas yang mendekati punggung itu berhasil
dihindari Ratna Pamegat dengan melompat ke balik
sebuah pohon. Wuttt...! Dua orang itu segera maju
menyerang mengandalkan pukulan tenaga dalamnya.
Namun sebelum tangan mereka bergerak menyentak
tiba-tiba pedang Ratna Pamegat telah menyapunya
dengan cepat dan membuat tangan mereka putus
seketika. Satu dari mereka terkena pula tendangan kaki Ratna Pamegat di bagian
dada dan memuntahkan darah
segar dari mulut orang itu. Sedangkan orang yang tadi tertinggal dua temannya
itu kini menyerang dengan
senjata tombaknya yang tadi sempat terpental jatuh.
Tombak itu dilemparkan ke arah Ratna Pamegat. Tapi oleh perempuan itu dihindari
dengan satu lompatan ke samping. Jrubb...! Tombak itu menancap di sebuah
batang pohon. Ratna Pamegat pun melompat maju,
ketika itu lawannya juga melompat maju, dan crasss...!
Tak banyak bicara lagi pedang itu menebas lawan,
hingga lawan tersentak ke belakang dalam keadaan dada robek lebar karena tebasan
pedang. Sambil tetap memanggul pemuda yang mau
digantung itu, Ratna Pamegat tinggalkan tempat itu.
Dalam hatinya ia menggerutu tiada berkesudahan.
"Sial! Kalau bukan karena ulah nenek aneh itu, tak sudi aku menyelamatkan
seorang pemerkosa macam dia
ini! Kalau bukan demi pulihnya keadaan Guru, tak mau aku menjadi pembela dan
penyelamat orang yang
bersalah! Perbuatan ini bertentangan dengan hati
kecilku, tapi toh tetap harus kulakukan! Mudahmudahan setelah peristiwa ini aku tidak menemui
masalah yang seperti makan buah simalakama ini!"
Arah pelarian Ratna Pamegat mulai mendaki bukit,
karena jika ia menyusuri kaki bukit, maka akan banyak pengepung yang ditemuinya.
Ki Lurah Pogo menyebar
anak buahnya menyusuri kaki bukit, sehingga Ratna
Pamegat harus ke arah puncak bukit.
Sekalipun begitu, toh akhirnya ia dipergoki juga oleh seorang lelaki berkumis
tebal dan berwajah penuh
wibawa. Orang itulah yang dikenal sebagai Ki Lurah
Pogo. Sebilah keris sudah digenggam oleh Ki Lurah
Pogo. Matanya memancarkan permusuhan sengit yang
tak bisa ditawar-tawar lagi.
Ratna Pamegat tidak mau gegabah berhadapan
dengan tokoh tua ini. Ia menurunkan pemuda yang
seharusnya digantung itu. Kini ia berdiri dengan sikap tegas dan lebih leluasa
dalam bergerak. Pedangnya
masih di tangan dengan mengucurkan darah bekas luka lawannya.
"Siapa kau sebenarnya, Perempuan Bodoh"!" gertak Ki Lurah Pogo.
"Aku bukan siapa-siapa dalam hal ini. Tapi kumohon Ki Lurah bisa memahami
kesulitanku. Aku harus
membawa Suto kepada seseorang. Jika tidak kulakukan, maka nasib guruku akan
sangat menderita. Guruku, juga beberapa murid perguruan kami secara tak langsung
tertawan oleh kekejian nenek aneh berdarah dingin itu!
Kami harus menemukan Suto dan menghadapkan
kepadanya!"
"Aku tak peduli keadaanmu, keadaan perguruanmu atau tuntutan nenek aneh itu! Aku
hanya minta agar
kamu tinggalkan bocah busuk yang telah memperkosa
istriku, merusak kehormatan harga diriku itu!"
"Maaf, Ki Lurah...! Barangkali pemuda ini pun
nantinya akan kami bunuh! Tapi bagaimanapun juga aku harus serahkan dulu kepada
nenek aneh itu. Aku bukan membela perilakunya yang jahat, tapi sekadar mencari
syarat untuk membebaskan guruku! Jadi bagaimanapun
juga aku harus mempertahankan pemuda ini, Ki Lurah!"
"Kau akan menyesal, Perempuan Bodoh!" geramnya makin kuat.
"Jika memang aku harus menyesal, apa boleh
buatlah...! Akan kujalani juga penyesalan itu! Yang Jelas aku harus
mempertahankan Suto!"
"Kalau begitu kau pun terpaksa harus kubunuh, Gadis Dungu!"
Keris itu bergetar. Tangan Ki Lurah Pogo ikut
bergetar. Keris itu bergerak pelan ke arah dada, lalu dengan satu sentakan kuat
keris itu menusuk ke depan dan melesat sinar biru berkelok-kelok menghantam
tubuh Ratna Pamegat. Zrabb...!.
Dengan cepat tubuh Ratna Pamegat melompat dan
berguling di tanah. Dengan cepat pula ia sudah berdiri kembali. Ki Lurah Pogo
mengangkat kerisnya ke atas
dan kini keris itu memercikkan api merah dan membuat wujud keris membara bagai
besi terpanggang api.
"Hiaaat...!" Ki Lurah Pogo menyerang Ratna Pamegat dengan kibasan keris ke arah
dada lawannya. Ratna
Pamegat menghindar dan berjungkir balik ke belakang karena seperti mendapat
tendangan tenaga yang teramat kuat karena gelombang yang ditimbulkan dari
kibasan keris tersebut.
Dengan penuh nafsu membunuh, Ki Lurah Pogo
mengejar Ratna Pamegat dan melayangkan
tendangannya ke depan. Plakk...! Tendangan itu berhasil ditangkis oleh tangan
kiri Ratna Pamegat yang berdiri dengan satu lutut. Kemudian pedangnya pun
berkelebat dari bawah ke atas. Wutt...! Crass...!
"Ahg...!"
Ki Lurah Pogo terluka pahanya cukup lebar. Tapi ia tidak berhenti sampai di situ
saja. Keris itu segera dihujamkan ke pundak Ratna Pamegat. Tetapi
sebelumnya Ratna Pamegat sudah lebih dulu melesat
bersalto ke arah belakang, sehingga keris itu mengenai tempat kosong.
Bisa saja Ratna Pamegat menebaskan pedangnya
untuk membelah punggung Ki Lurah Pogo. Tapi ia
bermaksud untuk tidak membuat kematian gara-gara
mempertahankan pemuda pemerkosa yang harus
dibawanya lari itu.
Maka dengan sentakan tangan kirinya yang
melepaskan pukulan tenaga dalam, punggung Ki Lurah
Pogo dihantamnya kuat-kuat. Dess...!
"Uuhg...!" Ki Lurah Pogo terpekik dan terjungkal bersama kerisnya, ia menggeliat
kesakitan, punggungnya bagaikan patah total, ia tak bisa bangkit untuk sementara
waktu. Matanya pun terbeliak-beliak dengan mulut
ternganga tak bisa keluarkan suara lagi.
"Maaf, Ki Lurah... tak ada jalan lain bagiku!" ucap Ratna Pamegat dengan
tegasnya. Kemudian, perempuan
cantik itu segera memanggul tubuh pemuda tampan yang masih tertotok jalan
darahnya itu. Dan ia segera
meninggalkan tempat tersebut dengan gerakan cepat, ia mendaki bukit itu,
memotong jalan melewati puncak
bukit dan menuruni lereng seberangnya. Rasa-rasanya hanya itu jalan yang aman
buat Ratna Pamegat dalam
melarikan Pendekar Mabuk, si pemuda tampan tersebut.
Terdengar suara para pengejar dari bawah berseru
Pendekar Mabuk 019 Pembantai Berdarah Dingin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memaki dan mengancamnya. Para pengejar itu masih
tetap berusaha mendapatkan Suto dengan cara
bagaimanapun. Jumlah mereka yang mengejar lebih dari tujuh orang. Ratna Pamegat
yang kini sudah mencapai puncak bukit berhenti sejenak untuk memperhatikan
para pengejar. Sebuah batu besar segera dihantam dengan pukulan
tenaga dalam. Telapak tangan Ratna Pamegat keluarkan cahaya perak berpendarpendar dan cahaya yang mirip piringan kecil itu melesat menghantam batu yang
besarnya seukuran sebuah gubuk. Duarrr...!
Batu itu pecah menjadi bongkahan-bongkahan
sebesar genggaman tangan, kemudian menggelinding
runtuh ke lereng bukit, menghujani para pengejarnya.
Dua batu yang berukuran sedang juga dihantam lagi oleh Ratna Pamegat dan semakin
banyak hujan batu yang
menghalangi langkah para pengejar itu. Bahkan mereka saling berteriak kesakitan
karena ada yang terhantam keningnya, ada yang tertimpa punggungnya, ada yang
terbentur mata kaki atau tulang keringnya, sehingga mereka memutuskan untuk
berlindung ataupun kembali
turun. Ratna Pamegat segera mengangkat pemuda itu lagi,
dan membawanya lari menuruni lereng seberangnya.
Dengan langkah cepat ia tinggalkan puncak bukit itu dan menerobos hutan yang
bertanaman rapat.
* * * 4 SEORANG perempuan berkebaya hijau dan
mengenakan kain sebatas betis tiba-tiba menghadang
langkah Ratna Pamegat. Rambut perempuan itu
disanggul asal-asalan. Tampaknya ia terburu-buru dalam menghadang langkah Ratna
Pamegat. Ia menggenggam
sebilah pisau badik berukuran satu jengkal panjangnya.
Matanya memandang tajam, penuh nafsu permusuhan.
Ratna Pamegat memperkirakan usia perempuan
berkebaya hijau itu sekitar empat puluh tahun. Masih kelihatan sisa
kecantikannya di masa remajanya, namun yang kelihatan jelas adalah mata
nakalnya. "Mau kau bawa lari ke mana pemuda itu, Perempuan Binal"!" hardik perempuan
berkebaya hijau yang lengannya ditarik sampai siku.
Melihat kalung dan giwang yang dipakai perempuan
itu, Ratna Pamegat menduga perempuan itu bukan
rakyat jelata. Pasti punya derajat yang lebih tinggi dari sekadar rakyat desa.
Kulit tubuhnya pun putih bersih dengan dada membusung sekal. Ratna Pamegat
memandang penuh curiga kepada perempuan itu.
"Apa maksudmu menghadang langkahku?"
"Tinggalkan pemuda yang kau panggul itu, dan
pergilah dengan cepat!" kata perempuan tersebut.
Bibirnya masih tampak merah karena gincu yang masih baru.
"Ada urusan apa kau dengan si pemerkosa ini"!"
"Kau tak perlu tahu! Yang jelas, aku siap
membunuhmu jika kau mau membawa lari Suto!"
"Segigih itu kau ingin merebut Suto dariku?" pancing Ratna Pamegat.
"Ya. Karena aku sudah lama mengenal dia. Mungkin lebih dulu aku mengenal dia
daripada dirimu! Perlu kau ketahui, aku adalah istri Ki Lurah Pogo itu. Akulah
Nyi Sumirah!"
"O, kamu yang namanya Nyi Sumirah"!" Ratna Pamegat manggut-manggut dan mulai
meletakkan tubuh
Suto ke tanah. Tapi ia belum mau jauh-jauh dari tubuh pemuda itu. Ia bertanya
kepada istri Ki Lurah Pogo itu,
"Apakah kau ingin menggantungnya juga?"
"Justru aku datang untuk menyelamatkan dia,
menyembunyikannya di suatu tempat yang aman!"
"Bukankah dia memperkosamu?"
Nyi Sumirah sunggingkan senyum tipisnya. "Bodoh sekali aku kalau sampai harus
diperkosa oleh si tampan itu! Kalau perlu aku yang memperkosa dia! Buatku, Suto
memang mengagumkan dan mampu membikin aku
bahagia dalam batin. Jika sekarang kau ingin
merebutnya dari pelukanku, kau harus bertarung nyawa denganku!"
"O, tidak! Jangan salah sangka. Aku tidak ingin bercinta dengan pemuda ini, Nyi
Pasangan Naga Dan Burung Hong 8 Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana Dendam Empu Bharada 36
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama