menyalahkan Panji Klobot!"
"Mulut ular busuk!" geram Ragadenta.
Nyai Jurik Wetan menggeram datar kepada muridnya.
"Di mana perempuan yang bernarna Laras Wulung itu sekarang"!"
"Mana kutahu. Aku tidak kenal dengan Laras Wulung, Guru!"
Tiba-tiba terdengar suara berseru dari kejauhan. Suara itu adalah
suara batin dari Citra Bisu yang sengaja dikirimkan ke setiap orang di situ,
sehingga mereka bagaikan mendengar seruan keras dari arah timur.
"Dia ada di sini...!!"
Semua mata memandang ke arah timur. Rupanya tanpa setahu Suto
Sinting, Citra Bisu berhasil menawan Laras Wulung dan memaksa
perempuan Itu keluar dari persembunyian. Pedang kristalnya diarahkan ke
leher Laras Wulung. Ujung pedang sudah menempel di leher si janda mantan
istrinya Badra Sanjaya itu, sementara pedang Laras Wulung berhasif
dilucuti oleh Citra Bisu. Laras Wulung dipaksa berjalan dekati mereka.
"Itu yang bernama Laras Wulung, Nyai!" ujar Suto Sinting.
"Hmmm... berpakaian biru tua, wajah mempesona, tubuh memang
tampak menggairahkan...,' gumam Nyai Jurik Wetan.
"Aku tak tahu siapa perempuan itu, Guru! Kumohon jangan percayai
kata-kata si bocah sinting itu! Sebaiknya kita tinggalkan saja tempat ini,
Guru!" bujuk Ragadenta dengan wajah tegang dan salah tingkah.
Nyai Jurik Wetan, Ragadenta, dan Tenda Biru sendiri merasa asing
dengan wajah cantik si Citra Bisu. Tapi rasa ingin tahu mereka tertunda
untuk sesaat. Nyai Jurik Wetan pandangi Laras Wulung yang sudah
hentikan langkah dalam jarak dua tombak darinya. Pedang kristal Citra Bisu
tetap mengancam leher Laras Wulung. Kapan saja dapat disentakkan
menghujam leher itu hingga tembus. Karenanya, Laras Wulung tak berani
lakukan tindakan bodoh demi keselamatan jiwanya.
"Benarkah kau bernama Laras Wulung"!" tegur Nyai Jurik Wetan
dengan nada tak ramah.
Tapi janda bahenol itu tidak menjawab pertanyaan Nyai Jurik Wetan.
la justru bicara kepada Ragadenta yang segera melengos ke arah lain.
"Ragadenta, maafkan aku... aku tak tahu kalau perempuan laknat ini
ada di belakangku dan tahu-tahu mengancamku dengan pedangnya."
"Aku tak kenal siapa dirimu. Jangan panggil namaku!" sentak
Ragadenta sambil tak mau memandang Laras Wuiung.
"Kita memang gagal, Ragadenta. Tapi masih banyak kesempatan lain
yang dapat kita raih bersama!"
"Aku tidak kenal dengan dirimu, Keparat!" bentak Ragadenta semakin
dongkol. "Apakah kau lupa, aku adalah Laras Wulung, Ragadenta! Ooh... jangan
begitu, Ragadenta. Sekali pun kita telah gagal menemukan tempat
penyimpanan harta karun itu, tapi kita bisa...."
"Diam kau, Bangsat!" Ragadenta berteriak rnurka. la ingin mencabut
sabitnya untuk menyerang Laras Wulung. Tapi tangannya kembali dicekal
oleh sang guru. Teeb...!
"Ternyata muridku sudah menjadi seorang pengkhianat!" geram Nyai
Jurik Wetan. "Guru, jangan mudah terhasut oleh wajah-wajah iblis ini! Kita cari
harta itu bersama-sama, Guru!"
"Setelah kupertimbangkan, aku tak mau diperbudak oleh harta!
Kulihat banyak perampok yang berke- llaran di sekitar sini untuk dapat
merampok harta karun llu! Aku tak mau jadi korban kerakusan mereka!
Maka kubatalkan niatku untuk memiliki harta tersebut, karena aku merasa bukan
perampok!" tegas Nyai Jurik Wetan.
"Tapi, Guru... harta itu kalau...."
"Tutup mulutmu pengkhianat!" sentak sang guru. "Kau sudah punya
niat berkomplot dengan perempuan haram jadah itu untuk mengkhianatiku!
Aku harus me- nerima hukumannya, Ragadenta!"'
"Aku hanya...."
Deess...! "Ahhk...!" Ragadenta mengejang seketika setelah dua jari sang guru
menotok bagian tengkuknya. Tubuh kejang itu akhirnya terkulai lemas dan
jatuh di kaki gurunya. Brruuk...!
"Nyai, jangan perlakukan dia dengan kasar!" sergah Laras Wulung
tampak tak rela melihat 'kuda jantan'nya dilumpuhkann oleh sang guru. Tapi
Nyai Jurik Wetan berucap lebih tajam lagi kepada Laras Wulung.
"Gara-gara rayuanmu, muridku tega mau mengkhianati gurunya! Kau
masih punya urusan denganku dan akan kita selesaikan setelah aku
menghukum anak ini, Perempuan busukl"
Wuuut...! Kaki Nyai Jurik Wetan menyentak naik. Tubuh Ragadenta yang
jatuh di kakinya itu meiayang dan ditangkap dengan tangan kiri,
kemudiandijatuhkan ke pundak kirinya. Seet...! Nyai Jurik Wetan menatap
Suto Sinting dengan tajam pula.
"Kalau bukan muridku yang salah, sudah kuhan-curkan kepalamu,
Pendekar Mabuk! Lain kali kita bisa buktikan semua omonganku ini!"
Nyai Jurik Wetan bergegas pergi membawa pulang muridnya. Tetapi
Suto Sinting segera menahannya dengan suara cepat.
"Tunggu, Nyai...!"
Tubuh sang nenek yang sudah mau membalik itu terpaksa berputar ke
arah semula lagi.
"Nyai... bagaimana dengan sahabatku ini. Tenda Biru terluka oleh ilmu
muridmu. Kumohon kau mau pulihkan keadaan dia, juga pulihkan keadaan
Panji Klobot di sana! Mereka berdua korban kepicikan muridmu, Nyai!"
,"Hhhrrhm...!" Nyai Jurik Wetan menggeram kesal. Tapi ia segera
sentakkan ujung kepala tongkatnya ke arah Tenda Biru. Claap...! Sinar putih
tipis seperti perak melesat dari kepala tongkat dan menghantam pundak
Tenda Biru. Tongkat itu disentakkan lagi ke arah Panji Klobot yang ada di
kejauhan sana. Claap...! Sinar putih perak melesat dan menghantam dada
Panji Klobot. "Jangan menuntut apa-apa lagi dariku!" geram Nyai Jurik Wetan, lalu
dengan cepat ia melesat tinggalkan tempat tersebut. Blaasss...!
"Nyai, tunggu...! Jangan bawa Ragadenta, Nyai! Aku harus
bersamanya...!" seru Laras Wulung dengan gusar.
Tapi ketika ia ingin mengejar Nyai Jurik Wetan, lohernya terasa
ditekan oleh benda runcing. la ingat dengan pedang kristal yang
mengancamnya. Maka ia pun urungkan langkah dan menarik napas dalamdalam memendam perasaan dongkolnya. Citra, lepaskan dia!" perintah Suto
Sinting dengan suara batin. Citra Bisu masih mendengarnya. "Apakah tak
berbahaya Jika kulepaskan?" "Kurasa ia tak akan berani bertindak macamma- cam jika ada aku di sini!?"Baiklah!" jawab Citra Bisu dengan suara batin
pula. Pedang Kristal ditarik mundur, tapi masih digenggam oleh Citra Bisu.
Suto Sinting berujar kepada Laras Wulung.
"Pergilah, Laras...! Carilah lelaki mana saja asal jangan ganggu
sahabat-sahabatku. Jika hal itu kau lakukan, kau akan berhadapan denganku
dan aku tak akan beri pengampunan sedikit pun padamu!"
Laras Wulung tank napas lagi. Jengkel tapi tak berani melampiaskan
kejengkelannya. Sebab ia tahu persis seberapa tinggi ilmu Pendekar Mabuk.
la merasa tak akan mampu menandinginya.
"Kuharap lain kali kau juga tidak mengganggu pasanganku, Suto!"
ujarnya dengan ketus.
"Kita tidak akan saling mengganggu tentunya," sambil Suto berikan
senyum rarnah pada Laras Wulung.
Citra Bisu lemparkan pedang milik Laras Wulung. Janda montok itu
menangkapnya. la sempat pandangi Citra Bisu dengan tatapan memancarkan
dendam. Tapiyang dipandang balas menatap lebih berani lagi. Akhirnya
janda bahenol itu segera melesat pergi tanpa pamit pada siapa pun. la pergi
ke arah yang sama dengan kepergian Nyai Jurik Wetan. Mungkin saja ia
akan mengejar Nyai Jurik Wetan untuk merebut Ragadenta, si 'kuda
jantan'-nya yang sedang digandrungi itu.
Sinar putih dari Nyai Jurik Wetan tadi ternyata hawa sakti untuk
memulihkan keadaan Tenda Biru. Dalam beberapa hitungan saja, Tenda Biru
mulai rasakan memperoleh tulang-tulangnya kembali. la bisa berdiri walau
masih sedikit sempoyongan. Sementara itu, Panji Klobot pun sudah bisa
berjalan dekati mereka.
"Kudengar kau telah tewas, Bocah Sinting," ujar Tenda Biru yang
menatap Suto dengan tatapan sangat pribadi.
"Kata siapa aku sudah mati?"
"Kudengar ledakan dahsyat sekali dua hari yang lalu. Kulihat tebing di
sebelah sana runtuh. Ternyata ada tokoh tua yang mengaku bernama Dewa
Kubur sedang bertarung melawan seorang perempuan yang mengaku
bernama Laksamana Tanduk Naga...."
"Siapa..."!" Suto terkejut karena ingat nama orang Mangol yang
memburunya untuk dijadikan tumbal, (Bacai di serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Pemburu Tumbal").
Selanjutnya, Tenda Biru menceritakan tentang kematian Perwira
Tombala dalam pertarungannya melawan Dewa Kubur. la mendapat
penjelasan panjang-lebar dari Dewa Kubur, termasuk kabar kematian Suto
Sinting. Pemuda itu terbengong beberapa saat setelah tahu dirinya telah
dikabarkan meninggal.
"Tak perlu sedih, Suto,"' ujar Citra Bisu dengan suara batin. "Akan
kubantu menjelaskan pada siapa saja bahwa Pendekar Mabuk masih hidup,"
Suto Sinting menatap luka di wajah Citra Bisu. Rasa iba hinggap
sesaat di hatinya. Kemudian ia menyuruh Tenda Biru membawa pulang Citra
Bisu, sementara ia akan pergi mencari kedai untuk mengisi bumbung tuaknya yang telah kosong itu.
"Tapi kudengar Kusir Hantu dan Pematang Hati ditangkap orangorang Tanah Pasung!" ujar Tenda Biru.
"Dari mana kau tahu?"
"Kami kedatangan orang gemuk sekali yang meng- aku bernama
Belatung Gerhana. Dia sekarang ada di pondok kami dalam keadaan kakinya
patah karena terkena reruntuhan tebing. la ada di pondok bersama Mahligai
Sukma. Sedangkan aku dan Panji Klobot ingin * membebaskan Kusir Hantu
dan Pematang Hati, yang menurut penjelasan Belatung Gerhana, mereka
dibawa ke Pantai Bejat!"
"Itu akan kuurus secepatnya, Tenda Biru! Sekarang bawa pulang dulu
Citra Bisu ini!"
Tenda Biru berbisik, "Siapa dia sebenarnya, Bocah Sinting?"
"Kau bisa tanyakan sendiri di pondok nanti!"
Citra Bisu berbisik lewat suara batinnya, "Kuharap kau tidak pergi ke
Pantai Bejat sebelum datang menjemputku, Suto! Aku akan marah jika kau
pergi ke sana sendiri setelah dapatkan tuak untuk bumbungmu."
"Mengapa kau ingin ikut ke sana?"
"Aku harus ikut membereskan sisa-sisa perampok harta yang kujaga
selama ini! Itu memang tugasku. Jangan kau ambil alih!"
Setelah pergi lebih dulu, barulah Pendekar Mabuk berani membatin
sebuah pertanyaan untuk dirinya sendiri.
"Haruskah aku patuh kepada aturan Citra Bisu"!"
Suto tak tahu jawaban yang pasti. Tapi ia punya pertimbangan
sendiri, "Mana yang lebih penting, mem- hebaskan Kusir Hantu dan cucunya
atau mengobati luka Citra Bisu lebih dulu"!"
Ternyata pertimbangan batin itu pun belum diketahui jawaban pastinya.
4 Udara panas membuat Suto Sinting mengikat rambutnya ke belakang
dengan akar menyerupai karet. Dalam keadaan rambut panjangnya diikat ke
belakang, ketampanannya tampak sedikit beda. Tapi tetap saja
memancarkan pesona yang akan memikat , para gadis dan wanita separuh
baya. Tubuhnya yang kekar, tegap, gagah dan terkesan jantan itu sering
membuat hati para janda berdebar penuh harap untuk dapat memeluk
kegagahan tersebut.
Dalam langkahnya mencari tuak, Suto Sinting tak sempat berpikir
tentang gadis lain. Yang ada dalam benaknya adalah wajah cantik Citra
Bisu. la terbayang kecupan hangat bibir si prajurit cantik itu. la juga terbayang pelukan hangat tubuh tinggi, sekal dan sangat padat itu.
Tapi Suto segera ingat tentang kekasihnya; Dyah Sariningrum yang
berkuasa di negeri Puri Gerbang Surgawi. Bagaimanapun mantapnya tubuh
Citra Bisu, I menurutnya masih kalah menarik dibandingkan kecantikan dan
keelokan tubuh Dyah Sariningrum.
Untuk itu, Suto segera hilangkan bayangan Citra Bisu. la segera
memikirkan bumbung tuaknya yang kosong dan mulutnya yang asam karena
lama tak meneguk tuak. Tubuhnya pun terasa linu-linu, urat-urat terasa
kaku, luka memar akibat pertarungan juga masih membekas dan terasa
sedikit sakit walau sudah diatasi dengan hawa murninya. Hanya tuak yang
mampu membuatnya segar kembali.
Sebuah kedai ditemukan di desa kaki bukit, agak jauh dari Lembah
Seram. Pendekar Mabuk langsung mengisi bumbung tuaknya. Pemilik kedai
sempat me rasa heran saat mengisi bumbung tuak tersebut.
"Apakah tuak ini akan kau jual lagi, Kisanak?"
"Tidak, Pak Tua. Aku bukan penjual tuak keliling."
"Lho, jadi kau akan minum semua tuak sebanyak ini?"
"Begitulah kebiasaanku, Pak Tua. Sehari tak minum tuak seperti tak
bisa bernapas sebulan," canda Suto Sinting. Tapi si pemilik-kedai itu
berkerut dahi dengan mata melirik ke arah Suto sebentar, lalu
memperhatikan tuangan tuaknya lagi.
"Kisanak ini seperti mendiang Pendekar Mabuk saja. Dia juga doyan
minum tuak. Tapi sayang, pendekar sakti yang banyak menyelamatkan jiwa
orang-orang lemah itu sekarang sudah tiada. Kalau saja Pendekar Mabuk
masih hidup, kurasa beliau akan merasa senang jika bersahabat dengsnmu,
Kisanak." Hati pun seperti diiris sembilu. Mendengar namanya dianggap telah
mati, bukan main risaunya Pendekar Mabuk. Bahkan ia tak berani
menyatakan sikap dirinya di depan pemilik kedai. ia khawatir justru akan
membuat pemilik kedai menertawakan pengakuannya, atau mengecamnya
sebagai orang yang mengaku-aku Pendekar Mabuk.
Untuk itu, Suto Sinting mencoba menahan diri dan memaklumi
keadaan yang salah kaprah itu. Napasnya ditarik dalam-dalam sambil
merasakan derasnya darah bercampur tuak yang diminumnya dari cangkir
kedai. "Kalau saja Pendekar Mabuk itu belum tewas," ujar pemilik kedai lagi
sambil serahkan bumbung tuak yang sudah terisi tuak hingga penuh itu."...
seandainya Pendekar Mabuk masih hidup dan singgah di desa ini, pasti
orang-orang Tanah Pasung itu akan dibabat habis oleh- nya."
"Orang-orang Tanah Pasung..."!" Suto Sinting memandang heran
kepada si pemilik kedai.
"Rupanya Kisanak memang bukan orang sekitar sini, ya?"
"Memang bukan, Pak Tua. Ada apa dengan orang- orang Tanah
Pasung" Siapa mereka sebenarnya?" Suto berlagak bodoh.
"Mereka para pemburu harta karun peninggalan negeri Hastamanyiana. Sudah dua malam mereka mengganggu kehidupan di desa ini,
Kisanak." "Mengganggu dalam hal apa?"
"Ternak kami dicuri, kadang dirampok secara paksa. Baik itu ayam,
kambing, sapi, atau kerbau. Bahkananjing pun disikatnya juga."
"Untuk apa mereka merampok ternak?"
"Untuk dibawa ke Pantai Bejat, dipakai pesta pora. Kabarnya mereka
tiap maiam berpesta pora di Pantai Bejat, sedangkan siang harinya mereka
mencari harta karun tersebut. Padahal mereka bukan orang Tanah Jawa!
Dengar-dengar mereka berasal dari pulau seberang. Tapi mereka tidak mau
pulang ke pulau seberang sebelum berhasil merampok harta karun
peninggalan negeri Hastamanyiana."
Suto Sinting menggumam sambil manggut-mang- gut. Kemudian ia
ajukan tanya kepada pemilik kedai yang ikut menemaninya duduk di situ.
Pendekar Mabuk 123 Pengawal Pilihan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakah desa ini tidak jauh dari Pantai Bejat?"
"Kalau ditempuh jalan kaki biasa, tidak sampai setengah hari, Kisanak.
Hasil panen kami juga sering kami jual di Pantai Bejat, sebab di sana banyak
pendatang dari luardaerah yang sengaja mencari rempah-rempah atau
palawija untuk dijual di negerinya masing-masing."
"Kalau begitu, mereka memang harus segera diusir dari Tanah Jawa,
Pak Tua." "lya. Tapi siapa yang berani" Siapa yang mampu kalahkan ilmunya Ratu
Sinden, ketua mereka itu"! Seperti kukatakan tadi, Kisanak... kalau
Pendekar Mabuk masih hidup dan ada di sekitar desa ini, pasti aku akan
meminta bantuannya untuk mengamankan desa ini. Dan menurutku, hanya
Pendekar Mabuk yang mampu kalahkan ilmunya si Ratu Sinden itu, Kisanak!"
"Pendekar Mabuk belum mati, Pak Tua."
"Hahh..."! Belum mati"!" pemilik kedai itu terbeia- lak, tapi segera
kendurkan ketegangan kagetnya. la terkekeh pelan.
"Ah, Kisanak ini ada-ada saja...."
"Pendekar Mabuk adalah aku sendiri, Pak Tua."
"Aah... Kisanak ini bereanda!" sambil Pak Tua ma- kin terkekeh geli
dan menepak pelan lengan Suto Sinting.
"Aku bersungguh-sungguh, PakTua. Pendekar Mabuk belum mati!"
"Sudah mati! Kisanak ini kurang mengikuti perkembangan zaman
rupanya. Atau... terlambat mendengar kabar besar itu" Uuh... hampir semua
orang di muka bumi sudah mendengar kabar bahwa Pendekar Mabuk sudah
mati. Matinya menyedihkan sekali...."
"Pak Tua, akulah si Pendekar Mabuk itu!"
"Sebagai pengagum Pendekar Mabuk, aku sangat sedih begitu
mendengar kernatiannya," ujar pemilik kedai itu, seakantak mautanggapi
kata-kata Suto lagi. Hal itu membuat Suto Sinting tarik napas menahan kejengkelan. "Seorang tokoh dari Gunung Gandul yang berjuluk Dewa Kubur,
ternyata gagal menyelamatkan Pendekar Mabuk. Pemuda gagah perkasa itu
tercebur masuk ke sumur tua, padahal sumur itu tanpa dasar. Artinya, kedalaman sumur tak bisa diduga. Ditambah lagi, sumur itu sekarang sudah
tertimbun reruntuhan tebing. Tebing itu runtuh akibat pertarungan Dewa
Kubur dengan perempuan dari Mangol yang bernama Laksamana Tanduk
Naga. Tapi kabarnya perempuan itu bisa lolos dari ancaman maut Dewa
Kubur. Hanya saja, Lawannya Pendekar Mabuk yang kalau tak salah bernama
Perwira Tombala, orang Mangol juga, tewas di tangan Dewa Kubur. Aah...
sayang sekali Dewa Kubur tak bisa selamatkan Pendekar Mabuk. Coba kalau
dia bisa selamatkan Pendekar Mabuk, pasti mereka dapat menggulung habis
orang-orang Tanah Pasung!"
"Cukup, cukup...! Aku sudah dengar cerita itu, Pak Tua!"
"Naaah... sudah dengar toh" Jadi sekarang Kisanak percaya kalau
Pendekar Mabuk sudah mati"!"
"Pak Tua, coba hitung berapa harga makanan dan minuman tuakku.
Aku mau buru-buru pergi."
"Lho, sudah sore begini mau pergi ke mana, Kisanak" Apakah tidak
sebaiknya bermalam di sini saja?"
"Aku harus segera sampai ke Pantai Bejat!"
"Lho, mau apa ke sana" Cari mati juga"! Lebih baik bermalam saja di
sini. Kami menyediakan kamar sewaan kok."
"Aku mau bertemu dengan Ratu Sinden itu, Pak tua. Dua orang
kenalanku ditawan oleh mereka. Aku harus segera membebaskan mereka
dan menghentikan segala tindakan si Ratu Sinden yang merugikan penduduk Tanah Jawa ini!"
Aaah, Kisanak ini selera bercandanya tinggi sekali rupanya. Kok
seperti Pendekar Mabuk saja keberanian Kisanak."
"Aku titisan Pendekar Mabuk!"
"Oooo... titisan"! Ya, ampuuun... pantas Kisanak punya keberanian dan
penampilan seperti almarhum Pendekar Mabuk..."!"
Suto Sinting menggerutu dalam hati, "Giliran mengaku titisan
Pendekar Mabuk dia percaya sekali! Uuh, dasar bodoh!"
Pendekar Mabuk memilih cepat pergi dari kedai ketimbang harus
mengalami tekanan batin terus-terusan. Yang penting, bumbung tuak sudah
terisi penuh. Ketenangan terkuasai sepenuhnya. Walaupun hati sering
berdesir pedih jika ingat namanya sudah dianggap mati, tapi dengan
menenggak tuak dari bumbung saktinya, kepedihan itu pun sirna dalam
sekejap. Seandainya pemilik kedai itu mau percaya bahwa Pendekar Mabuk
memang masih hidup, mungkin Suto memilih untuk bermalam di desa itu.
Hari memang sudah sore, sebentar lagi akan menjadi senja, lalu petang akan
datang. Memang seharusnya beristirahat di suatu tempat sambil
mempertimbangkan, pulang ke Lembah Seram untuk obati luka Citra Bisu
atau melabrak ke Pantai Bejat, bebaskan Kusir Hantu dan Pematang Hati.
Agaknya sikap pemilik kedai membuat Suto tak punya pilihan untuk
lanjutkan perjalanan. Sampai di tengah jalan ia berhenti dan
mempertimbangkan langkah berikutnya. Rambutnya yang diikat ke belakang
itu ingin dilepas dari pengikatnya, tapi gerakan itu terhenti.
"Ooh, mungkin karena rambutku diikat ke belakang begini maka
pemilik kedai itu tidak mengenali bahwa diriku adalah Pendekar Mabuk"!"
pikirnya, lalu tak jadi melepas ikatan rambut.
"Berarti wajahku sedikit berubah kalau rambut diikat ke belakang.
Mungkin keadaan rambutku yang selalu terurai tanpa ikat kepala ini menjadi
ciri-ciri yang sangat dikenali oleh mereka sebagai Pendekar Mabuk.
Hmmm... jadi kalau baju coklatku ini kuganti, celana putihku juga kuganti,
mungkin aku semakin tidak dikenali sebagai Pendekar Mabuk"! Tapi
bagaimana dengan bumbung tuakku"! Pasti akan dikenali sebagai bumbung
tuaknya Pendekar Mabuk! Lalu, bagaimana jika bumbung tuak kubalut
dengan kain, sehingga tidak semata-rnata tampak seperti bumbung tuak"
Ooh... penampilanku pasti akan berbeda lagi."
Pendekar Mabuk menetapkan langkahnya untuk menuju ke Pantai
Bejat dan membebaskan Kusir Hantu dan Pematang Hati. Pekerjaan itu
dirasakan lebih pen- ting daripada menyembuhkan luka Citra Bisu. Toh luka
gadis itu tidak akan merenggut nyawa kalau sampai dua tiga hari baru
terobati. Suto memperhitungkan untuk membebaskan Kusir Hantu dan
Pematang Hati bukan pekerjaan yang mu- iliih. Pasti mereka berdua dijaga
sangat ketat. Tapi jika In bisa tundukkan si Ratu Sinden, pasti anak buah
Ratu Sinden akan ketakutan dan membebaskan Kusir Hantu serta Pematang
Hati. "Jika mereka menawan Kusir Hantu dan Pematang Hati, aku harus
bisa menawan Ratu Sinden!" tegas Suto dalam hati. "Jika Ratu Sinden
berhasil menjadi tawananku, maka ia bisa kupaksa agar memberi perintah
kepada anak buahnya untuk bebaskan Kusir Haritu dan Pematang Hati.
Untuk dapat menawan Ratu Sinden, sebaiknya aku tampil beda. Jangan
seperti Pendekar Mabuk, nanti belum-belum mereka sudah persiapkan benteng pertahanan dan itu akan buang-buang waktu dan tenaga."
Baru saja Suto Sinting ingin mencari sarana untuk mengubah
penampilannya, tiba-tiba ia melihat sekelebat bayangan melintas di seiasela pohon seberang arahnya. Bayangan hitam itu berlaritak seberapa
cepat, masih bisa diikuti dengan pandangan mata. Suto ter- peranjat sebab
ia merasa kenal dengan orang yang beriari terbirit-birit bagai dikejar setan
itu. "Kalau tak salah dia si Sawung Kuntet"!" gumam Suto Sinting dalam
hati. Lalu ia melihat seseorang juga yang beriari menyusul Sawung Kuntet.
Orang itu berpakaian kuning kunyit dan menggenggam kapak. la seorang
lelaki bertubuh lebih tinggi dari Sawung Kuntet. Agaknya lelaki itu beJ
usaha untuk membunuh Sawung Kuntet. Maka tak banyak pertimbangan lagi,
Suto Sinting segera bertinda selamatkan Sawung Kuntet, sahabatnya.
Zlaaap, ziaap...!
Dalam sekejap Suto Sinting sudah tiba di depan langkah Sawung
Kuntet. Tapi orang pendek berkumis seperti kelelawar itu justru berteriak
kaget begitu melihat siapa yang menghadang di depan langkahnya.
"Huuaaaaa...! Setaaaaaan...!!"
Sawung Kuntet lari ke arah lain. Pendekar Mabuk tertegun sesaat,
merasa aneh melihat Sawung Kuntet ketakutan bertemu dengannya. Lalu, ia
segera ingat bahwa dirinya sudah dianggap mati, sehingga mungkin Sawung
Kuntet tak percaya bahwa ia bertemu dengan Pendekar Mabuk.
"Pantas dia bilang 'setan' sambil ngacir"!" gumam Suto Sinting sambil
bergegas mengejar Sawung Kuntet lagi.
Zlaaap, zlaaap...! Jurus Gerak Siluman1 yang mem- punyai kecepatan
sama dengan kecepatan cahaya itu membuat Suto Sinting dalam waktu dua
kejap sudah berada di depan langkah Sawung Kuntet. Orang yang
ambutnya terbelah seperti parit itu berteriak ketakutan lagi.
Huaaaaaa...! Seeee...!"
Wuuut...! Suto Sinting menyambarnya. la melesat keatas pohon sambil
membungkam mulut Sawung Kuntet dengan tangannya. Bleeb...!
Sampai di atas pohon, Suto Sinting berkata pelan. lauyan berteriak lagi,
Bodoh! Orang yang mengejarmu sedang kebingungan mencarimu!"
"Taap... tapi... tapi kau sudah anu... anu...," Sawung Kuntet gugup.
Kata-kata 'anu' yang selalu digunakan sebagai pengganti kata yang
dimaksud, segera dapat dipahami oleh Suto.
"Kau menyangka aku sudah mati, bukan"!"
"liyy... iya...! Bukankah memang benar kau sudah anu..."! Kudengar
anumu hilang... di... di...."
"Anuku. masih ada, Tolol!"
"Maksudku, kudengar mayatmu hilang di suatu tempat dan tidak bisa
ditemukan lagi."
"Kau yakin aku benar-benar sudah mati?"
"Jus... jus... jus...."
"Apanya yang jas-jus-jas-jus..."!" hardik Suto dengan suara berbisik.
"Jus... tru... justru aku diutus Eyang Cakraduya untuk mencari anumu,
eeh... mencari mayatrnu yang...."
"Ssst...! Soal itu dibahas nanti saja!" bisik Suto sambil membungkam
mulut Sawung Kuntet lagi. "Sekarang aku ingin tahu, siapa orang yang
mengejarmu itu"!"
"Dia... dia Lebak Suram. Musuh lamaku. Aku sudah hampir lupa
dengannya, tapi dia masih ingat bahwa aku pernah membuntungi kaki
adiknya. Sekarang dia man balas buntungi anuku.... Aku tak sudi. Kalau aku
t.i punya anu, lantas bagaimana kalau aku mau anu"!"
"Yaah, pakai anu palsu, kan bisa!"
"Husy...! Sembarangan saja usulmu!"
"Maksudku, dia mau buntungi kakimu, yaah... untuk sementara kamu
pakai kaki palsu dulu."
"Dia bukan mau buntungi kakiku, tapi benar-benar anuku ini yang mau
dibuntungi!"
Suto menahan tawa geli dengan menutup mulut sendiri begitu melihat
tangan Sawung Kuntet meme- gangi bagian celananya. Rupanya yang
dimaksud Sawung Kuntet memang benar-benar 'anu'-nya yang ingin
dibuntungi orang Lebak Suram itu.
"Kalau anuku buntung, mana bisa pakai anu palsu!" gerutu Sawung
Kuntet. Mereka tak sadar, bahwa orang Lebak Suram itu sudah tiba di bawah
pohon tempat mereka bersembunyi. Suara kasak-kusuk Sawung Kuntet
memancing perhatian orang tersebut, sehingga orang tersebut mengetahui
buronannya ada di atas pohon.
"Tikus sawah...! Turun kau!" sentak orang itu membuat Suto dan
Sawung Kuntet diam serentak.
"Kalau tak mau turun, kuhancurkan pohon ini bernama badan busukmu
itu!" ancam orang tersebut.
"Kau di sini saja!" ujar Suto, lalu ia melompat turun dari atas pohon.
Wuuut...! Jleeg...! Kini ia berhadapan dengan orang berperawakan kekar
seperti potongan lubuhnya.
"Siapa kau"! Aku tak punya urusan denganmu!" nmitak orang itu.
Aku sahabatnya Sawung Kuntet!"
"Oo, jadi kau mau bela si tikus sawah itu"!"
"Tunggu, sabar dufu. Akan kujelaskan bahwa...."
"Keparat kau! Hiaaah...!"
Wees...! Orang itu menerjang Suto Sinting dengan kapak bergagang
panjang dihantamkan ke arah kepala. Suto Sinting sangat sigap. Bumbung
tuak yang sudah ada di tangan kanannya itu segera diangkat ke atas dan
menahan hantaman kapak tersebut. Traang...! Wuuut...! Tangan orang itu
terpentak kelar ke belakang, seperti menghantam sebongkah karet membal.
la sempat sempoyongan mau tumbang ke belakang.
".Jangan menyerangku dulu, Sobat! Aku mau bicara secara damai!"
ujar Suto Sinting. Tapi emosi orang itu tampaknya sukar dibendung lagi,
sehingga ia tak menghiraukan ucapan Suto sedikit pun.
Kubabat habis kau bersama tikus botak itu, heeaaah...!"
Tees, tees...! Suto Sinting kirimkan jurus Jari Guntur -nya. Dua
sentilan bertenaga dalam itu dilepaskan ke arah dada orang itu. Gerakan
melayang orang itu tersentak dan menjadi oleng ke belakang karena dada
nya terkena sentilan jurus Jari Guntur'. la merasa seperti ditendang kuda
jantan dua kali di bagian dada.
Brruuk...! Orang itu pun tumbang. Napasnya ter sengal-sengal lima
kali, kemudian terkulai lemas. Ia pingsan tanpa malu-malu lagi. Dadanya
tampak membiru akibat sentilan Jari Guntur' tadi.
"Bandel! Kubilang bicara saja secara damai, malah ngotot! Yah,
beginilah akibatnya. Rasakan sendiri!" gerutu Suto Sinting sambil
memperhatikan orang tersebut. Sementara itu, Sawung Kuntet melompat
turun dari atas pohon. Wuuut...! Gedebuk...!
"Adaaoow...!" Sawung Kuntet dalam posisi pung- gung duluan. Suto
Sinting hanya memandang dengan senyum geli.
Tapi ketika ia kembali memperhatikan orang ber- pakaian kuning
kunyit itu, tiba-tiba terlintas gagasan untuk mengambil pakaian orang
tersebut. "Ukuran badannya sama denganku. Tingginya juga sama. Hmmm...
kurasa sebaiknya aku menukar pakaianku dengan pakaian orang ini saja"!"
pikir Suto saat itu.
Melihat Suto Sinting melepasi pakaian orang tersebut, Sawung
Kuntet terbelalak kaget. la buru-buru dekati Suto dengan sedikit
terpincang-pincang karena jatuh tadi.
"Gila kau, Suto. Sudah tak waras lagi apa" Kau mau anu-anukan orang
itu"!"
"Gundulmu! Aku bukan banci, Tolol!"
"Lalu... lalu kau mau apakan dia"! Mengapa kau copot anunya?"
"Anunya tidak kucopot! Hanya pakaiannya yang kulepasi!"
"lya, maksudku untuk apa kau copoti pakaiannya"!"
"Aku ingin bertukar pakaian dengannya."
"Maksudmu... kau bosan dengan warna pakaianmu itu"!"
Pendekar Mabuk akhirnya menjelaskan rencananya secara rinci. la
juga menjelaskan nasibnya yang masih mujur dan tidak mati seperti yang
dikabarkan dari mulut ke mulut itu.
"Jadi... kau ingin anukan si Kusir Hantu dan cucunya"! Kau ingin
menyamar dengan anu berbeda agar bisa dekati Ratu Sinden?"
Bukan dengan anu berbeda. Anuku tidak akan berbeda, yang berbeda
penampilanku."
"lya. Maksudku juga begitu!"
"Kuharap kau bisa membantuku, Sawung Kuntet."
"Baik. Akan kubantu, asal setelah itu kau harus temui Candu Asmara,
cucu Eyang Cakraduya itu."
"Ada apa dengan Candu Asmara?"
"Dia sakit begitu mendengar kabar kematianmu. Anunya panas."
"Husy...! Apa kau pegang anunya, kok tahu kalau panas?"
"Maksudku, badannya panas!" sentak Sawung Kuntet jengkel sendiri
jika yang diajak bicara tak me- ngerti maksudnya.
Tapi ia segera tertawa begitu melihat Suto Sinting mengenakan baju
lengan panjang dan celana longgar warna kuning kunyit. Menurutnya,
penampilan Suto lucu dan kaku. Tidak seperti biasanya.
"Lalu bagaimana dengan orang ini, ya?" gumam Suto Sinting sambil
Pendekar Mabuk 123 Pengawal Pilihan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memperhatikan si pemilik pakaian kunyit. Beruntung orang itu mengenakan
celana kolor sebagai rangkapan pakaiannya, sehingga ketika baju dan celana
kuning kunyitnya diambil, ia tidak teianjang bulat-bulat. Tapi menurut
Sawung Kuntet, keadaan orang itu tidak perlu dipikirkan lagi.
"Orang-orang Lebak Suram itu pencuri semua! Mereka biasa mencuri
barang-barang penduduk mana saja. Biar sekarang dia merasakan bagaimana
sedihnya jika anunya dicuri orang. Maksudku, pakaiannya...!"
"Tapi kasihan dia. Pasti akan kebingungan kalau nanti dia pingsan dan
mendapatkan pakaiannya tak ada. Biarlah kutinggalkan saja baju dan
celanaku ini sebagai gantinya!"
Pendekar Mabuk pun bergegas pergi. Sawung Kuntet mengikutinya.
Tapi tanpa setahu Suto, baju coklat dan celana putih kusam itu diambil lagi
oleh Sawung Kuntet. Digulung sekecil mungkin dan diikat dengan tali dari
akar lentur. Setelah agak jauh melangkah, Suto baru menyadari bahwa baju dan
celananya dibawa oleh Sawung Kuntet.
"Pulangkan ke sana! Kasihan orang itu nanti kalau siuman tak punya
pakaian." "Dia sendiri tak pernah kasihan kepada penduduk desa yang selalu
dicuri barang-barangnya, masa' kita harus anu sama dia"!" bantah Sawung
Kuntet. "Sudahlah, urusan itu urusanku. Kalau memang dia mau tuntut
pakaiannya yang hilang, biar dia yang menuntutku. Aku tidak takut dengan
anunya...."
"Anunya lagi, anunya lagi...."
"Maksudku, tidak takut dengan tuntutannya!"
Bumbung tuak pun dibungkus rapi dengan lembaran-lembaran batang
pisang kering. Sepintas tak terlihat bahwa benda itu adalah bumbung tuak.
Rambut Suto dirapikan ke belakang, diikat mode! ekor kuda. Bain kuning
kunyit lengan panjang sedikit digulung le- ngannya sampai mendekati siku.
"Aku punya gagasan baru!" ujar Sawung Kuntet. "Bagaimana jika
kubuatkan anu dari getah pohon Sing- kalang"!"
"Aku sudah punya anu, kenapa mau kau buatkan anu lagi?"
"Maksudku, dibuatkan tato dengan getah pohon Singkalang. Bisa
dipakai untuk mempertebal alismu juga."
"Bisa hilang?"
"Jika kena air memang lama-lama akan anu. Tapi setelah empat-iima
hari baru bisa luntur dan anu sendiri.?"
"Boleh juga," jawab Suto sambil tertawa geli mom bayangkan usul
Sawung Kuntet itu.
Salah satu kepandaian Sawung Kuntet, selain llmu
kanuragan setengah matang, ia juga pandai melukis. ia bisa membuat tato
dengan gambar bagus di dada Suto Sinting.
"Tatonya gambar perkutut saja, ya?" ujar Suto mengusuikan pada
Sawung Kuntet. "Perkutut..."! Uuuh, tato kok gambar perkutut! Ku- rang sangar!"
"Kalau begitu... gambar kuburan saja."
"Uuh... norak!"
"Hmmm, bagaimana kalau gambar ketupat rebus"!"
"Haah, haa, haa, haa...," Sawung Kuntet tertawa geli. "Ketupat dan
sambal gorengnya, begitu"!"
Suto pun geli juga membayangkannya.
"Gambar tato harus berkesan angker. Misalnya kepala macan, atau
kapala... kepala... anu... maksudku, kepala..."
"Kepala nenekmu saja, bagaimana"!" sela Suto dengan konyol. Sawung
Kuntet bersungut-sungut menggerutu. Akhirnya, soal gambar tato
diserahkan kepada Sawung Kuntet. Suto ikut saja dengan gagasan lelaki
yang berpakaian serba hitam itu.
Agaknya Suto Sinting tidak kecewa setelah Sawung Kuntet selesai
kerjakan gambar tato dari getah pohon Singkalang. Tato itu bergambar
seekor kuda jantan mengangkat kedua kaki depannya. Tidak terlalu besar,
tapi cukup jelas jika belahan baju Suto tidak dirapatkan.
Alis Suto pun dipertebal dengan getah pohon Singkalang yang
berwarna biru, lama-lama menjadi berwarna kehitaman. Alis itu selain tebal
juga sedikit naik, sehingga wajah Suto Sinting tampak lebih beda dari
biasanya. "Kumis bagaimana?"
"Jangan, nanti kelihatan palsu," tolak Suto.
"Diberi bintik-bintik saja, jadi seperti kumis dan cambang habis dianu... maksudku, habis dikerok."
"Boleh, boleh...!" ujar Suto dengan semangat. la tertawa geli lagi.
la sempat bercermin lewat genangan air di sawah-sawah. Semakin geli
melihat perubahan wajahnya. Tampan tapi berkesan agak liar sedikit. Tak
mudah orang mengenalinya sebagai Pendekar Mabuk. Apalagi ia mengenakan
akar bahar sebesar kelingking yang melingkar di lengan kirinya. la tampak
lebih perkasa lagi, walau berkesan ganas.
5 Sawung Kuntet membayang-bayangi dari kejauhan. Mereka tiba di
Pantai Bejat pada hari berikutnya, sebab malam itu Suto Sinting bertemu
dengan Ki Partolo, paman dari Mayangsita. Mereka sempat berbincangbincang di rumah sahabatnya Ki Partolo tentang kekuatan si Ratu Sinden.
Waktu itu, Mayangsita berada di kediaman gurunya. Jadi gadis
penggugup dan latah itu tidak sempat bertemu Suto Sinting. Esoknya Suto
berangkat berdua dengan Sawung Kuntet. Tetapi jarak mereka berjauhan.
Sawung Kuntet ditemani oleh Ki Partolo, di mana keduanya akan berlagak
tidak kenal dengan pemuda berpakaian kuning kunyit, alias Suto Sinting.
Pantai Bejat memang tempat berlabuhnya kapal- kapal dagang dari
berbagai daerah. Mereka datang ke Pantai Bejat karena hutan wilayah
Pantai Bejat banyak ditumbuhi rempah-rempah. Desa-desa di sekitar Pantai
Bejat adalah desa subur-makmur, banyak petani palawija yang menjual hasil
pertaniannya kepada para pedagang dari seberang.
Tetapi Pantai Bejat juga mempunyai sisi lain. Tempat yang sepi dan
berhutan liar itu terletak agak jauh dari bandar pelabuhan yang
sebenarnya. Tempat itu berada di ujung teluk yang membelok ke arah
barat. Di sanalah orang-orang Tanah Pasung melabuhkan kapal mereka. Satu
kapal besar dan empat perahu berlayar tunggal ditambatkan di pantai
berdinding karang tak terlaiu tinggi. Mereka bisa melompat dari tepian
karang ke tepian kapal atau perahu.
Gubuk-gubuk darurat didirikan oleh mereka di tepian hutan pantai.
Mereka menggunakan rumbia sebagai dinding dan atap gubuk. Agaknya tak
satu pun orang bandar pelabuhan yang berani mendekati ke pe- mukiman
orang-orang Tanah Pasung itu. Bahkan jika orang Tanah Pasung datang ke
bandar pelabuhan yang ramai itu, orang-orang yang tinggal di sekitar situ
diliputi rasa was-was dan cemas.
"Mereka seperti iblis! Sering bikin keonaran, dan tak segan-segan
membunuh orang tak bersalah!" ujar seorang pemilik kedai yang berbadan
gemuk itu. Sebelum mendekati daerah gubuk-gubuk liar orang Tanah Pasung,
Suto sengaja sempatkan singgah di sebuah kedai yang tergolong bersih dan
tempatnya cukup lebar. Selain makan dan minum, Suto juga bermaksud
mencari kabar tentang keadaan di pantai ujung sana.
"Jika siang begini, iblis-iblis itu pergi mencari harta karun. Menjelang
sore mereka pulang."
"Berhasilkah mereka mendapatkan harta karun itu?"
"Setahuku tak pernah berhasil. Tapi mereka agaknya juga tak mudah
menyerah."
"Kudengar mereka menangkap dua orang yang dapat dijadikan
pemandu jalan menuju goa penyim- panan harta karun itu?" pancing Suto.
"Ya, kudengar memang begitu, Nak. Tapi entah bagaimana hasiinya.
Mungkin mereka tangkap orang yang salah. Toh nyatanya sampai sekarang
tak ada kabar bahwa mereka telah dapatkan harta karun itu,"' ujar si
pemilik kedai yang berusia sekitar empat puluh lima tahun.
"Beberapa hari yang lalu...," sambung si pemilik kedai. "... ada seorang
pemuda yang mau coba-coba membebaskan kedua tawanan itu. Dari sini
terdengar ledakan beberapa kali dan pekik pertarungan. Tapi... entah
bagaimana nasib pemuda itu. Mungkin mati, mungkin juga meiarikan diri,
karena si Ratu Sinden itu ilmunya memang hebat!"
Pendekar Mabuk termenung sesaat. Lalu ia ingat dengan sahabatnya
yang tunanetra.
"Mangku Randa..."! Ya, kurasa yang dimaksud pemilik kedai ini adalah
si Mangku Randa. Sebab waktu berpisah denganku, dia bertekad mengejar
orang- orang Tanah Pasung. Selain ingin bebaskan Kusir Hantu dan
Pematang Hati, ia juga ingin balas dendam atas kematian ibunya yang
dibunuh Ratu Sinden. Tapi... bagaimana nasib anak itu sekarang?"
Suto Sinting agak mencemaskan keselamatanMangku Randa. Pemuda
anak mendiang Nyai Sindang Rumi itu sangat berapi-api mencari pembunuh
ibunya. Setelah diketahui si pembunuh adalah Ratu Sinden, ia bertekad
membalas kematian ibunya dengan berusaha membunuh Ratu Sinden, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Misteri Lembah Seram"). Tapi hati
kecil Suto sangsi dengan kemampuan Mangku Randa untuk kalahkan si Ratu
Sinden. Lebih-lebih sampai saat Suto lolos dari lorong maut, ia belum
bertemu dengan pemuda itu, atau mendengar kabar yang pasti tentang
Mangku Randa. "Kalau kau mau menyewa kamar di atas, masih ada tiga kamar yang
kosong, Nak," bisik si pemilik kedai.
"Kupertimbangkan dulu, Paman. Jika memang aku butuh bermalam di
sini, aku akan bilang padamu!"
"Untuk sementara Jangan bicara dulu tentang orang-orang Tanah
Pasung." "Mengapa begitu, Paman?"
"Dua orang Tanah Pasung baru saja masuk kemari," bisik si pemilik
kedai sambil melirik ke arah pintu masuk. la pun bergegas pergi, berlagak
menyambut kedua tamu itu dengan ramah. Suto Sinting memperhatikan
kedua orang tersebut. Satu di antaranya pernah dilihat wajahnya saat ia
dan Mangku Randa dikepung oleh mereka.
Suto Sinting berlagak tak peduiikan kemunculan dua orang itu. Tapi
diam-diam ia gunakan ilmu 'Sadap Suara yang membuatnya dapat
mendengarkan percakapan dari jarak jauh.
"Apakah kau percaya dengan pengakuan tawanan kita itu"!"
"Kurasa dia sudah bicara apa adanya. Dia memang tidak tahu tentang
Goa Kembar. Tapi dia kenal orang yang rnengetahui goa itu. Dia tak mau
terlibat urusan ini, sehingga menyebutkan nama Pendekar Mabuk sebagai
orang yang menjadi kunci di mana harta karun itu tersimpan."
Hati Suto pun kaget mendengar namanya disebut- kan. Tapi ia tetap
bersikap tenang. Meneguk tuak dari cangkir dan menikmati pisang goreng
dengan santai sekali.
"Tapi menurut teman kita yang kemarin ditugaskan memeriksa tebing
itu, ternyata tebing itu sudah runtuh. Mestinya pintu masuk ke goa
tersebut juga sudah ter- himpit reruntuhan."
"Bukankah tawanan kita bilang, masih ada pintu rahasia yang hanya
diketahui oleh Pendekar Mabuk"! Jadi, kurasa Nyai Ratu Sinden berikan
perintah yang benar. Menangkap Pendekar Mabuk dan memaksanya bicara
adalah langkah yang paling tepat."
"Tapi kudengar Pendekar Mabuk ilmunya cukup tinggi. Kurasa kalau
yang ditugaskan menangkap Pendekar Mabuk adalah diriku, maka aku lebih
baik berpu- ra pura gagal walaupun sudah adu muka dengan Pendekar
Mabuk." "Dasar pengecut!"
"Masalahnya... aku belum kawin, masa' aku harus mati muda di tangan
Pendekar Mabuk. Aku yakin ilmuku tak ada sekuku hitamnya dengan
Pendekar Mabuk!"
"Makanya, Nyai Ratu sendiri turun tangan mencari Pendekar Mabuk!
Tidak hanya mengandalkan kita-kita orang!"
Diam-diam Suto sunggingkan senyum tipis mendengar percakapan
kedua orang itu.
"Kurasa ini akal-akalannya Kusir Hantu," ujar Suto membatin, "Dia
punya siasat menjebak Ratu Sinden agar berhadapan denganku. Hmmm...
boleh juga siasatnya itu. Tapi, mengapa bukan dia sendiri yang bertarung
menghadapi Ratu Sinden" Mengapa Kusir Hantu tidak memberontak,
setidaknya mengadakan perlawan- an atas penangkapannya itu"! Janganjangan dia me- nyimpan rahasia yang membuatnya tak berani melawan Ratu
Sinden"!"
Tiba-tiba dua orang Tanah Pasung itu tampak terburu-buru ingin
segera pergi. Bahkan mereka tak meninggalkan uang sebagai biaya makanminum mereka di kedai itu. Tiga pemuda pelayan kedai melihat kepergian
mereka. Salah satu ingin mengejar dua orang tersebut, tapi pemilik kedai
yang gemuk segera membe- rikan isyarat dengan kepala menggeleng.
Pelayan tersebut tak jadi mengejar dua orang Tanah Pasung.
"Hmm... enak sekali mereka. Makan tinggal makan minum tinggal
minum, tahu-tahu pergi begitu saja. Tanpa ucapan terima kasih sedikit
pun,'' gumam hati Suto Sinting. "Rasa-rasanya perlu diberi pelajaran biar
mereka tahu aturan sedikit!"
Suto Sinting ingin lepaskan sentilan Jari Guntur'- nya. Tetapi
perhatiannya segera tersita oleh kemunculan seorang perempuan cantik
berusia sekitar dua puluh tujuh tahun. Perempuan itu muncul dari pintu tengah, sedangkan dua orang tadi keluar dari pintu samping.
"Edan! Dewi apa ini yang turun ke kedai"! Dewi nasi liwet atau dewi
teh tubruk"!" puji Suto dalam hatinya, karena perempuan berpakaian ketat
mengkilap berwar- na merah muda itu memang berparas cantik sekali. Beberapa lelaki yang ada di kedai itu menatapnya tidak berkedip, termasuk
Suto Sinting. Pancaran pesona dari wajah dan tubuhnya yang sirital itu mempunyai
daya tarik sekuat magnet kutub utara. Semerbak wangi rempah-rempah
bercampur melati menyebar di seluruh ruangan makan kedai tersebut.
Karenanya, niat Suto memberi pelajaran kepada dua orang Tanah Pasung itu
menjadi batal total. Pandangan matanya bagai lengket tertuju pada langkah
perempuan cantik berhidung mancung dan berbibir sedikit tebal tapi
berbentuk indah menantang gairah.
Gaun ketatnya yang berwarna merah jambu itu berpotonganterusan.
Mempunyai belahan panjang dari bawah sampai ke pertengahan paha. Saat
ia melang-kah, belahan gauri ketatnya itu tersingkap-singkap, membuat
paha dan betisnya yang putih mulus itu menjadi incaran mata para lelaki,
termasuk Suto Sinting.
"Sayang lagaknya kelihatan angkuh dan sombong, mengurangi nilai
daya tariknya," ujar Suto dalam hati. "Tapi... bentuk matanya yang indah
dan sedikit sayu itu seakan mampu menyingkirkan kesan angkuhnya.
Hmmm... siapa perempuan ini"!"
Rambut disanggu! rapi, giwang berkeriiap beriian, kalung berbandul
batu permata, gelang pun berhias permata, ditambah jubah perangkap gauh
berwarna ungu muda, maka tampaklah ia sebagai perempuan kaya yang
gemar pamer kekayaannya. Jubah ungu mudanya dihiasi bulu-bulu iembut
pada tepiannya. Bulu- bulu iembut dan tampaknya haius itu berwarna ungu
tua. Jubah tipisnya yang beriengan panjang seakan hanya sebagai hiasan
pelengkap busana saja. Sebab tipisnya kain jubah membuat bentuk
tubuhnya yang berda- da montok dan berpinggul meliuk sekal itu tetap tampak jelas dari luaran.
Hanya saja, tidak semua lelaki di dalam kedai itu berani
memandangnya secara terang-terangan. Kebanyakan mereka melirik dengan
sembunyi-sembunyi, ada yang berpura-pura sambil mengambil kerupuk, ada
yang berlagak sambil meneguk minumannya, ada pula yang seolah-olah
sedang mengamati cincin di jarinya sendiri. Hanya satu-dua yang berani
memandang terang-terangan termasuk Suto.
Pandangan mata Suto terpaksa terang-terangan sebab perempuan itu
berjalan melintas di depan meja- nya, lalu menemui si pemilik kedai yang
gemuk itu. Saat perempuan itu melintas di depan Suto, matanya yang
sedikit sayu melirik nakal kepada Suto Sinting. Senyum tampak mekar
dengan tipis. Hampir tak terlihat. Tetapi Pendekar Mabuk terang-terangan
sunggingkan senyum tanpa canggung-canggung.
Saat lirikan nakal perempuan itu belum berakhir, Suto sudah buang
pandangan ke arah pisang goreng yang tersaji di depannya. Dengan cuek ia
menyantap pisang goreng, tanpa melirik ke arah perempuan itu lagi. Tapi
Pendekar Mabuk 123 Pengawal Pilihan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
telinganya masih mendengar suara si perempuan saat bicara kepada pemilik
kedai. "Kudengar kedaimu ini juga penginapan, Pak Gemuk?"
"Oh, hmm, iya... benar. Kami menyewakan kamar- kamar di Soteng
atas! Apakah... apakah...."
"Apakah tempat ini aman?" sahut perempuan itu.
"O, iya.,. tentu aman!"
"Aku ingin menyewa satu kamar untuk bermalam beberapa hari."
"Baa... baik, akan kusuruh pelayan menyiapkan lebih rapi lagi Nona...
eh, Nyai... eeh, Ibu... eh...," Pak Gemuk serba saiah memberi sebutan pada
perempuan itu. Kemudian ia memanggil peiayannya dan menyuruh peiayan
mengantar perempuan itu ke kamar sambil merapikan kamar tersebut.
Sebelum pergi ikuti pelayan, perempuan itu terde- ngar berkata
kepada Pak Gemuk.
"Apakah kau menyewakan tenaga keamanan?"
"Mak... maksudnya... maksudnya pengawal pribadi?"
"Betul. Aku butuh pengawal pribadi yang berani menjamin
keselamatan jiwaku selama bermalam di penginapanmu!"
"Hmm, eeeh... nanti akan kucarikan. Segera akan kukirim seseorang
sebagai pengawal pribadimu, Nyo- nya, eeh... Nona... eeh, Nyai... eeh, hmm,
anu...,' "Kirim pengawal secepatnya ke kamarku! Cari yang tangguh dan
berilmu tinggi!"
"Baa., baik!" Pak Gemuk membungkuk-bungkuk penuh hormat.
Perempuan itu naik ke tangga kayu berukir yang ada di sisi kiri
ruangan. Tepat berhadapan dengan tempat duduk Suto. Tetapi Suto Sinting
acuh tak acuh, me- nyantap pisang gorengnya sambil mencuil-cuil tepung
yang membungkus pisang tersebut.
Namun sebenarnya ekor mata Suto masih memper hatikan langkah
perempuan cantik itu saat menaiki tangga menuju ke loteng atas. Suto pun
tahu perempuan itu sempat memperhatikan ke arahnya lagi sebelum
menghilang di ketinggian loteng. Namun pemuda konyol itu tetap berlagak
tak merasa dipandangi.
Lenyapnya perempuan itu, membuat orang-orang yang ada di kedai
saiing berkasak-kusuk. Masing-masing memberikan pujian, penilaian,
pendapat dan sebagainya. Bahkan ada yang bicara tentang khayalan mesumnya hingga timbulkan gelak tawa di antara teman semeja.
Suto hanya diam, membatin dalam hatinya, "Cantik sekali dia. Daya
pikatriya sangat tinggi. Jantungku sam- pai berdetak-detak kencang begini,
pertanda ia mempunyai daya pikat yang memang tinggi. Seperti sebongkah
besi semberani yang ingin menarik sebatang jarum. Sukar sekali dilawan
atau dihindari."
Pendekar Mabuk segera tuangkan tuak dari dalam bumbungnya. Padahal
tuak dalam cangkir masih ada sedikit. Tapi dengan meminum tuak dari
dalam bumbung saktinya, waiau dituang ke daiam cangkir lebih dulu, tetap
saja akan mempunyai khasiat tersendiri.
Debar-debar dalam dadanya mulai reda. Detak jantung menjadi normal
kembali. Daya pikat yang tadi seperti besi semberani itu bisa diatasi
dengan ketenang- an. Tuak itulah yang menenangkan jiwa dan batin Pendekar Mabuk. Beberapa saat setelah itu, pelayan yang mengan- tarkan perempuan
cantik tadi turun dari loteng. la lang- sung menemui Pak Gemuk dan
berbisik-bisik sebentar. Kemudian Pak Gemuk datang menemui Suto Sinting
dan bicara dengan suara membisik pula.
"Perempuan tadi ingin bicara denganmu, Nak."
Tentu saja kabar itu mengejutkan Suto walau tak sampai tersentak
kaget. "Aku tidak kenal dengannya."
"Dia ingin menyewamu sebagai pengawal pribadi,Nak."
"Menyewaku..."! Ooh, dia pikir aku berilmu tinggi seperti yang
diharapkannya"!" Suto Sinting tertawa pendek seperti orang menggumarn.
"Paman, katakan kepada dia, aku tidak sanggup menjadi pengawal
pribadinya. Aku takut mati!"
"Oh, tolonglah, Nak... temui saja dia dan katakan sendiri
penolakanmu. Jangan kami yang mengatakan- nya, nanti dia kecewa dengan
pelayanan kami dan pin- dah ke penginapan lain, Nak."
Suto menghembuskan napas panjang. "Baiklah kalau semua ini demi
pelayanan usahamu, Paman. Akan kutemui dia dan kukatakan sendiri
penolakanku!"
"Ooh, terima kasih... terima kasih...!" Pak Gemuk tampak girang sekali.
Rupanya ia benar-benar takut tamu kaya itu kecewa karena menganggap
pelayanan- nya kurang memuaskan. Hanya disuruh memanggilkan seseorang
saja tak mampu, tentu saja hal itu akan rne- ngecewakan si tamu kaya
tersebut. "Kasihan si Paman Gemuk itu. Kalau tamu kaya itu kecewa, lalu pindah
penginapan, jelas si Paman Gemuk akan merasa kurugikan," pikir Suto
Sinting sambil me- naiki tangga menuju loteng, diantar oleh pelayan yang
tadi membawa perintah dari perempuan cantik itu.
Kamar perempuan cantik itu terletak di ujung tang- ga. Hanya lima
iangkah dari ujung tangga. Si pelayan mengetuk pintu, lalu terdengar seruan
suara wanita dari dalam kamar.
"Masuuuk...!"
Pelayan pun pergi. Suto Sinting membuka pintu itu sendiri dan berdiri
di ambangnya. Si perempuan sudah tak mengenakan jubah, hanya gaun
terusan tanpa le- ngan warna merah jambu mengkilap, seperti terbuat dari
kain satin bermotif bunga kecil-kecil. Senyumnya tipis dan dingin saat
menyambut kemunculan wajah Suto Sinting dari balik pintu. la berdiri di
dekat jendeia yang menghadap ke barat. Rupanya ia tadi sedang menikmati
pemandangan pantai barat melalui jendeia kamar tersebut.
"Masuklah, jangan di pintu saja!" ujarnya bernada perintah. Kesan
ramahnya tak ada. Suto Sinting sedikit kikuk karena hati kecilnya merasa
tak suka diperintah demikian. Tapi rasa ingin tahu siapa perempuan cantik
itu membuat hati kecilnya mengalah dan tak mau peduii dengan sikap kurang
ramah itu. "Tutup pintunya!" perintah perempuan itu lagi. Suto Sinting menutup
pintu dengan menyimpan rasa dong- kol dalam hatinya. Rasa dongkol itu
segera lenyap setelah perempuan itu duduk di tepian ranjang berkasur
lebar. Dari sana matanya yang sayu pandangi Suto tak berkedip. Suto
Sinting menelan napas untuk mene- nangkan kegundahan dalam hatinya.
"Mengapa kau memanggilku, Nona"! Kurasa, kita tidak saling kenal,"
ujar Suto sedikit kaku.
"Namaku Yunda. Kau boleh memanggilku Yunda saja. Tak perlu embelembel Nona, atau Nyai atau seje- nisnya. Yunda saja cukup!"
"Yunda..."!" gumam Suto Sinting mengulang, seakan mencatat nama
itu dalam ingatannya.
"Duduklah...!" Yunda menyilakan Suto duduk. Tak jauh dari ranjang
ada kursi ukir berbantalkan busa merah. Tapi Suto Sinting tidak duduk di
situ, la berjalan de- kati jendela, memandang ke arah luar. Dari tempatnya
tampak suasana Pantai Bejat sebelah barat yang dihuni oleh gubuk-gubuk
orang Tanah Pasung. Tapi perhatian Suto tidak sedang ke arah sana
sepenuhnya. Separoh perhatiannya tertuju pada Yunda.
"Kau punya nama?"
"Tentu saja punya," jawab Suto sambil berpaling menatap Yunda.
"Siapa namamu?"
Suto tak langsung menjawab. la ingat sedang laku- kan penyamaran,
sehingga ia harus mengubah namanya juga agar tak dikenali orang.
"Namaku... Kanda. Hmm, lengkapnya... lengkapnya Panji Kanda," Suto
ingat Panji Klobot.
la tambahkan lagi, "Tapi orang sering memanggilku dengan nama
Kanda. Dan memang di antara para pe ngembara, aku dikena! dengan nama
Kanda." "Yunda dan Kanda..."! Aneh sekali"!'' perempuan itu sunggingkan
senyum kecil. "Sepertinya kita sudah dijodohkan untuk saling bertemu di
sini." "Ah, tidak juga!" sangkal Suto Sinting. "Sebelum hari menjadi sore,
aku sudah harus tinggalkan pantai ini."
"Ke mana...?"
"Lanjutkan pengembaraanku!" jawab Suto berlagak sebagai
pengembara. Yunda bangkit dan dekati Suto. "Kuharap tak perMu buru-buru
lanjutkan perjalanan. Aku butuh seorang pe- ngawal pribadi."
"Aku bukan seorang pengawal," ujar Suto sambil beradu pandang.
"Tapi aku yakin kau mampu menjadi seorang pengawal pribadi bagi
perempuan seperti diriku!"
Kepala menggeleng, bibir sunggingkan senyum kalem. Mata perempuan
itu makin sayu, bagaikan terbius oleh senyum Suto. Padahal senyuman itu
wajar- wajar saja. Tak menggunakan jurus 'Senyuman Iblis' pemberian
Bidadari Jalang. Jurus senyuman itu dapat membuat perempuan mana pun
menggelepar-gelepar dihujani gairah ingin bercumbu dengan Pendekar Mabuk. "Kau keliru, Yunda. Aku bukan orang berilmu tinggi. Menjamin
keselamatanku sendiri belum tentu mampu, apalagi menjamin keselamatan
orang lain!"
Pintu diketuk, pelayan masuk membawakan mi- numan. Setelah itu
pergi lagi. Yunda menuangkan minuman teh ke dua cangkir. Suto Sinting
masih pandangi ombak di lautan jauh yang bergulung-gulung.
Yunda menawarkan minuman itu. Suto mendekati meja dan
memaksakan diri untuk meneguk teh hangat. Padahal sebenarnya ia tak
doyan air teh, karena sudah terbiasa dengan tuak. Tapi demi melengkapi
penyamarannya, ia harus paksakan diri untuk seolah-olah terbiasa minum
teh. "Benda apa yang kau bawa-bawa itu?" tanya Yunda menatap bumbung
tuak yang dibungkus gedebong pisang kering dan diikat kuat-kuat serta rapi
itu. "Perbekalanku dalam pengembaraan,"
"Apa isinya?"
"Madu...!" jawab Suto Sinting.
"Madu..."! Ooh, pantas badanmu kelihatan kekar, rupanya kau suka
minum madu?"
"Aku juga suka makan sarang lebah madu. Aku masih menyimpan
sarang lebah itu, lengkap dengan lebahnya. Kau mau?"
"O, tidak! Jangan kau buka di sini! Aku paling takut dengan lebah!"
tolak Yunda sambil sembunyikan se- nyum geli. la agak jauhi Suto, lalu
duduk di kursi ukur berbantalan busa merah.
"Kanda, sesungguhnya aku benar-benar butuh seorang pengawal
pribadi. Dan saat di bawah tadi, hatiku
mengatakan bahwa kauiah orang yang pantas menjadi pengawal pribadiku."
"Sekali lagi kukatakan, aku tidak bisa menjamin nyawaku sendiri!"
"Seorang pengawal pribadi tidak harus bertarung melawan bahaya."
Pendekar Mabuk mendekat. Bumbung tuaknya di- letakkan tak jauh
dari ranjang, bersandar dinding. la du- duk di tepian ranjang, karena posisi
duduk Yunda mulai bertumpang kaki. Belahan gaunnya tersingkap, kemulusan
pahanya terpampang jelas. Mata Suto ingin memandang lebih jelas lagi.
Karenanya ia duduk di tepian ranjang.
"Lalu apa tugas seorang pengawal pribadi, jika bukan bertarung
melawan bahaya?"
Dengan wajah sedikit terangkat berkesan angkuh, Yunda menjawab
dengan nada datar.
"Menyelamatkan hati yang sedang kesepian, mene- mani jiwa yang
sendirian, dan banyak lagi yang bisa dilakukan oleh seorang pengawal
pribadi." Suto Sinting tersenyum lebar, tak memberi komentar.
"Kusediakan upah besar untukmu, jika kau mau mengawal hatiku,
Kanda!" Suto makin lebarkan senyum, lalu gelengkan kepala.
"Tawaranmu memang sangat menantang danmenggoda, Yunda. Tapi aku
tak bisa menerimanya. Aku tak bersedia menjadi pengawal hatimu. Aku
bukan pria yang bisa dibeli, Yunda!"
Suto meneguk teh hangatnya, karena Yunda juga meneguknya pula.
"Maaf, aku tidak bermaksud membelimu, Kanda. Aku mencoba
memberikan sesuatu agar kau tak mera- sa kurugikan. Jika upah membuat
kau merasa kubeli, bagaimana kalau... kau menjadi temanku saja" Menemaniku selama beberapa hari."
Si pemuda diam dan berpikir sesaat. Yunda merasa punya kesempatan
mempengaruhi pikiran tersebut.
"Di sini aku tidak punya teman, Kanda. Setidaknya aku butuh seorang
teman untuk bertimbang rasa."
"Sebenarnya kau datang dari mana, Yunda?"
"Dari...," Yunda diam sejenak, berjalan ke meja, meletakkan cangkir
minumnya. Lalu ia duduk di samping Suto. Kaki kiri ditumpangkan di kaki
kanan. Sema- kin jelas kulit pahanya di depan Suto Sinting, semakin
berdebar hati Suto dibuatnya.
"Terus terang saja, Kanda... sebenarnya aku dari Pegunungan Gobi.
Aku mencari ayahku yang kabarnya berada di Tanah Jawa ini. Ayahku, yang
tentunya sekarang sudah lanjut usia itu, dulunya ia seorang panglima di
negeri Hastamanyiana...."
Suto Sinting tersentak mendengar nama Hastamanyiana disebutkan.
Tapi ia dapat meredam rasa kagetnya itu dalam hati, sehingga mimik
wajahnya tampak biasa-biasa saja.
"Tapi kudengar," lanjut Yunda. "... Hastamanyiana telah lama hancur.
Seorang kenalan ibuku belum lama ini mengatakan, ia melihat bertemu
dengan ayahku di Tanah Jawa dalam keadaan tua sekali."
"Siapa nama ayahmu?"
Setelah diam dua helaan napas dan sedikit tunduk- kan kepala,
seakan membendung rasa dukanya, Yunda pun sebutkan nama ayahnya
dengan suara pelan.
"Ayahku bernama... Gila Tuak!"
"Hahh..."!"
Kali ini Suto Sinting tak bisa menahan rasa kaget- nya. Matanya
tlrbelalak lebar dan wajahnya semburat merah. la nyaris tak percaya
dengan pendengarannya sendiri saat Yunda menyebutkan nama gurunya: si
Gila Tuak alias Ki Sabawana itu. Namun ia buru-buru sadar akan
penyamarannya sehingga rasa kagetnya cepat dikuasai.
"Mengapa kau terkejut, Kanda" Apakah kau kenal dengan nama Gila
Tuak?" "Hmmm, yaah... aku memang pernah mendengar nama itu. Kurasa
semua orang di rimba persilatan pasti pernah mendengar nama si Gila Tuak,
tokoh tertinggi di rimba persilatan itu."
"Kau pernah bertemu dengannya" Kau tahu di mana tempat
tinggalnya?"
Suto Sinting gelengkan kepala. "Aku tidak tahu. Aku hanya mengena!
namanya saja. Belum pernah bertatap muka dengan beliau."
"Kudengar kabar terakhir dari seorang tokoh tua, Gila Tuak
mempunyai murid tunggal yang bergelar Pendekar Mabuk alias Suto
Sinting." Suto kuasai kembali rasa kagetnya dengan tank napas panjarig dan
manggut-manggut.
"Aku mencari muridnya itu. Kabarnya, si Pendekar Mabuk lebih sering
berkeliaran ketimbang Gila Tuak," ujar Yunda lagi. "Menurutku, dengan
mencari Pendekar Mabuk dan menemukannya, aku bisa minta diantar untuk
bertemu dengan ayahku di tempat kediamannya yang sukar dicari itu."
Suto menggumam dalam hati dengan jantung berdebar-debar.
"Mengapa guru tak pernah ceritakan tentang anaknya ini"
Mungkinkah karena guru merasa malu mempunyai hubungan cinta dengan
seseorang yang sampai menghasiikan satu keturunan secantik ini" Mengapa
pula guru tak pernah bilang kalau dulu pernah menjadi panglima
Hastamanyiana" Apakah ada guru menganggap hal itu tidak penting
diceritakan di depanku" Atau... mungkinkah ada rahasia tersendiri di balik
masa lalu guru yang pernah punya hubungan cinta dengan perempuan dari
Pegunungan Gobi"!"
Pendekar Mabuk 123 Pengawal Pilihan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Perempuan cantik itu bergeser lebih mendekat lagi. Suaranya
menjadi pelan, seperti membisik. Pandangan matanya tertuju lekat-lekat ke
wajah Sujo dengan bola
mata kian sayu.
"Maukah kau menemaniku, Kanda?"
Suto Sinting bingung menjawab, tapi matanya memandang wajah
cantik berbibir menggairahkan itu.
"Maukah kau membantuku mencari Pendekar Mabuk, lalu pergi
menemui ayahku si Gila Tuak itu?"
"Aku... aku... aku akan coba," jawab Suto terkesan ragu-ragu.
Belahan gaun semakin lebar. Paha putih mulus semakin nenantang
untuk dielus. Pendekar Mabuk mencoba belahan diri untuk tidak bertindak
nakal. Tapi tatapan mata Yunda yang beradu dengan pandangan matanya
sejerti menghadirkan kekuatan aneh yang menggetarkanjiwa.
Getaan jiwa itu rnakin lama makin menyentuh hasrat dan nenyalakan
api gairah. Suto merasa dituntut oleh batimya sendiri. Dituntut untuk
dapatkan sebentuk kehan
"Hrnm,eeh, hmmh... su... sudah," Suto mencoba melawan tuntutan
batinnya walau terasa sangat sukar dan berat skali.
"Kau pernah mencium kekasihmu?"
"Hmmmeehmm.. ya, pernah."
Aku belm pernah," ujar Yunda dengan suara mulai bernada desah.
Aku ingin sekali dicium oleh seorang lelaki perkasa sepertimu. Aku
merindukan kehangatan dari pria yang sesuai seleraku, Kaulah pria yang
sesuai seleraku, Kanda. Kecuplah aku walau sekali saja."
"Hmm, eehh, eehh, hmmm...."
"Kecuplah walau sebentar saja, Kanda," suara itu makin mendesah,
makin mendekat, hembusan napasnya menghangat di wajah Suto. Sebagai
pemuda yang waras, kehangatan napas itu semakin membakar jairah
bercumbunya dan membuat dadanya tersentak-sentak bagai ingin jebol jika
tak dituruti kemauan batiniya itu.
"Kanda... peluklah aku...," desah Yunda semakin lebih mendekatkan
bibirnya ke bibir Suto.
Pria mana yang tahan menerima tantangan seperti itu" Sekali pun ia
seorang pendekar, jika sudalrasakan hembusan napas hangat dan
mendengar desahan se lembut itu, tak ayal lagi ketangguhannya da&m
berta- han akan runtuh juga. Lebih-lebih pandatgan mata Yunda mempunyai
kekuatan yang mengobanan api asmara lawan jenisnya, tak ada lagi yang
bis.dilakukan Suto Sinting kecuali menempelkan bibirnya ke bibir
perempuan itu. Cuup...!
Bibir itu dikecupnya dengan lembut. "tapi kecupan itu dibalas oleh
Yunda dengan menyodorkan lidahnya, sehingga mau tak mau lidah itu
terpagut oleh bibir Suto. Lidah mereka saling bertemu, saling memilin,
dalam deburan api asmara yang kian bergolak. Tak heran jika Suto Sinting
pun akhirnya melumat bibir prempuan cantik itu. Si perempuan membalas
luman bibir dengan lebih berapi-api lagi, bahkan berkesan ganas.
Kedua tangannya memeluk Suto, meremas-remas punggung dengan
remasan yang menggelitik. Sampai akhirnya perempuan itu justru lebih
ganas menyerang dengan kecupan yang merayap di seluruh permukaan
wajah Suto, lalu turun ke leher dan mengecup leher Suto sesekali.
Lidahnya menyapu leher itu dengan gerakan liar.
Sesaat kemudian, serangan mesra itu berhenti. Mereka saling
hempaskan napas panjang. Yunda segera baigkit, berdiri di depan Suto
Sinting. Tali pengi- kat gaun yang ada di samping mulai dilepaskan. Tiga
simpui tali yang merapatkan gaun merah jambunya itu ditarik satu-satu,
Tees, tees, tees..,!!
Kini gaun itu terbuka lebar. Sesosok tubuh mulus berdada montok
dan kencang terpampang jelas di depan mata Suto Sinting. Tubuh putih
mulus itu tidak mengenakan pelapis apa pun di balik gaun merah jambunya.
Bahkan perempuan itu menanggalkan gaun itu dengan pandangan mata sayu
yang makin memberikan tantangan untuk bercumbu.
Jiwa yaag melayang-layang di langit asmara membuat mereka berdua
tak pedulikan lagi suasana saat itu. Mereka juga lupa menutup jendela
kamar yang tetap terbuka. Mereka sangka tak ada orang yang mengintip
dari jendela itu.
Tetapi di itas pohon seberang sana, ternyata ada orang yang
betengger memperhatikan ke arah dalamkamar. Orang itu bukan ingin
menikmati kemesraan yang berlangsung di dalam kamar, melainkan punya
tujuan lain dari pengintaiannya.
Sebatang anak panah dilepaskan dari atas pohon. Zeeeb, wiiizzz...!
Api asmara membuat Suto Sinting lengah. Tiba-tiba Suto tersentak dan
terpekik dengan suara tertahan, karena anak panah yang melesat itu
menancap di lengan kirinya. Juuub..,.!
"Aahk...!"
"Kanda..."! Ooh..."!" Yunda terkejut dengan mata membelalak lebar
melihat anak panah menancap di lengan kiri Suto. Seandainya Suto pada
saat itu tidak sedang merayapkan lidahnya mendekati pundak Yunda, maka
lehernya yang akan tertancap anak panah tersebut. Beruntung ia sedang
merayapkan lidahnya mendekati pundak Yunda, bermaksud akan ke leher
perempuan itu, sehingga lengannya sedikit naik dan panah itu menancap di
lengannya. "Uuhkk...!" Suto Sinting mengerang, sekujur tubuhnya cepat menjadi
panas. Panah itu beracun ganas.
Yunda menjadi murka karena merasa kemesraannya diganggu oleh
datangnya anak panah tersebut. la cepat menyambar pakaiannya sambil
berguling ke lantai menghindari anak panah yang kedua Suto Sinting sendiri
jatuh berlutut di lantai sambil mendekap lengan kirinya.
Dengan gerakan sangat cepat, Yunda kenakan pakaiannya kembali tak
terlalu rapi. Jubah disambarnya sambil memandang ke arah pohon. la
melihat di pohon sana seseorang sedang menyiapkan anak panah yang kedua.
Tanpa banyak bicara lagi, perempuan itu meiompat keluar jendeia
bagaikan terbang. Atap-atap rumah pen duduk dipakainya berpijak sesaat.
Tubuhnya melesat begitu cepatnya, sehingga Suto Sinting tak sempat
melihat ke mana arah kepergian perempuan itu.
Yang dilihatnya adalah pohon berguncang, daun nya berguguran. Pasti
habis diterjang sesuatu.
Yunda itulah si penerjang pohon. la memburu orang yang melepaskan
anak panah tadi. Orang tersebut beriari menghindari kejaran Yunda.
"Ternyata dia berilmu tinggi juga?" ujar Suto dalam hati. Tapi ia tak
bisa lanjutkan komentarnya tentang perempuan cantik itu. Sekujur
tubuhnya bagaikan di- aliri darah yang rnendidih,
la buru-buru menenggak tuaknya setelah mencabut anak panah
dengan erangan memanjang. Beberapa saat setelah tuak ditenggak, luka
bolong itu mulai merapat kembali. Rasa panas berangsur-angsur hilang. Suto
Sinting kenakan pakaiannya kembali, kemudian melesat lewat jendeia dengan
gunakan jurus 'Gerak Si- luman'-nya.
Zlaaap, zlaaap...!
Suto Sinting m.engejar Yunda, lantaran ia merasa harus meiindungi
perempuan yang mengaku sebagai anak si Gila Tuak. Tapi benarkah Gila Tuak
mempunyai seorang anak secantik Yunda" Benarkah Gila Tuak pernah
terlibat skandal dengan perempuan dari Pegunungan Gobi"
Jawabannya ada dalam kisah mendatang. Ikuti terus kelanjutan kisah
ini. SELESAI Imbauan Pendekar 9 Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong Beruang Salju 1