Ceritasilat Novel Online

Perawan Sinting 1

Pendekar Mabuk 085 Perawan Sinting Bagian 1


Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
https://www.facebook.com/pages/Dunia-AbuKeisel/511652568860978
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
1 DENGAN pedang di punggung, gadis
berambut sebahu potongan shaggy itu
melompat dari pohon ke pohon bagai seekor
tupai, ikat kepalanya yang terbuat dari kain
berbenang emas itu memantulkan cahaya
sinar matahari, sehingga gerakannya mudah
diikuti oleh sepasang mata yang
memperhatikan sejak tadi.
"Gesit dan lincah sekali gadis itu. Dilihat dari gerakannya yang serba cepat
itu, aku yakin dia gadis yang beringas," sepasang mata
yang mengikutinya dari kejauhan itu
membuntuti terus sambil tak lepaskan
pandangannya kepada gadis berompi ungu
itu. Setiap kali gadis itu menghilang karena
tertutup bayangan pohon, sepasang mata
yang memperhatikannya itu segera berkelebat
ke arah lain agar dapat mengikuti gerakan si
gadis. Rupanya ia tertarik dengan kelincahan
dan kecepatan gerak si gadis, sehingga ke
mana pun gadis itu pergi selalu diikuti. Jarak yang cukup terjaga membuat si
gadis tak sadar kalau sedang diikuti oleh sepasang
mata milik seorang pemuda berambut lurus
sepundak tanpa ikat kepala. Pemuda berbaju
coklat dan bercelana putih kusam itu tak lain
adalah Suto Sinting, murid si Gila Tuak yang
bergelar Pendekar Mabuk.
Tiba di sebuah tanggul sungai, gadis itu
hentikan langkah dan gerakannya. Matanya
memandang ke sana-sini seperti ada yang
sedang dicari. Kesempatan itu digunakan oleh
Suto Sinting untuk mengambil jarak lebih
dekat agar dapat melihat gadis itu lebih jelas lagi.
"Luar biasa!" gumam hati sang pendekar tampan itu. "Bukan saja cantik, namun
juga bertubuh menggairahkan. Hmmm... anak
siapa dia sebenarnya" Guru mana yang
punya murid secantik itu" Andai saja aku
menjadi gurunya, hmm, hmm... tak akan
sempat kuturunkan ilmuku karena sibuk
mengagumi kecantikan dan keelokan
tubuhnya itu."
Wees, slaap, slaap, slaap...!
Tiba-tiba gadis itu sudah berada di atas
batu. Batu tinggi itu berada di tengah sungai
lebar. Gerakan cepatnya membuat Pendekar
Mabuk sunggingkan senyum kekaguman
yang tak bisa ditahan lagi.
Gadis itu masih pandangi keadaan
sekeliling, bagai sedang mencari sesuatu yang
amat penting baginya. Dari tempat
persembunyiannya Pendekar Mabuk dapat
melihat jelas bentuk kecantikan si gadis yang
berhidung mancung, berbibir sensual,
bermata agak lebar tapi indah bentuknya,
juga berdada montok tapi kencang dan
hangat rasanya. Rompi ungunya tidak
mempunyai kancing bagian depan. Tapi ujung
bawah rompi saling terikat di perut, sayang
tak sampai menutupi pusarnya. Rompi itu
agaknya terbuat dari kain tebal yang hanya
sekadar dibentuk rompi secara acak-acakan,
sehingga benang di tepian rompi merawisrawis mirip pakaian gelandangan.
Dari pusar ke bawah, gadis berkulit
kuning langsat dan tampak mulus itu
mengenakan kain penutup warna ungu juga.
Kain itu melilit pinggul sebatas paha. Kain itu menyelinap di sela-sela kedua
pahanya dari belakang ke depan hingga mirip cawat
setengah celana. Begitu pendeknya kain
penutup itu sehingga separo dari pahanya
yang mulus tak sempat tertutup.
"Kurasa usianya kurang dari dua puluh
tujuh tahun. Mungkin sekitar dua puluh
limaan," pikir Suto dalam pengamatannya.
"Tapi tubuhnya tampak sekal, seperti sudah sangat matang untuk seorang perempuan
dewasa. Kalau saja tinggi tubuhnya tidak
setinggi tubuhku, maka ia akan kelihatan
agak gemuk. Tapi dalam keadaan bertubuh
tinggi, ia kelihatan tegap, kekar, dan
sepertinya tahan bantingan juga dia."
Wes, slaap...! Gadis itu pindah tempat,
kini ada di daratan tepi sungai besar itu.
Pendekar Mabuk juga mengikuti dengan
lompatan secepat perpindahan cahaya,
karena ia menggunakan jurus 'Gerak
Siluman'-nya. Zlaaap...! Suto Sinting pun
sudah ada di daratan tepi sungai, tapi
berlindung di balik pohon besar.
"Kuharap dia mandi. Kuharap mandi,
mandi, mandi.... Yaah, cuma garuk-garuk
pundak saja, bukan mau melepaskan
pakaiannya. Sial!" Suto Sinting menggerutu
sendiri dalam hati.
Tiba-tiba Pendekar Mabuk terkejut
melihat sekelebat sinar merah seperti buah
rambutan yang melesat dari kerimbunan
semak dan pohon di sebelah kiri si gadis.
Sinar merah mirip buah rambutan yang
memancarkan warna terang itu melesat ke
arah gadis tersebut.
"Celaka! Ada yang ingin menyerangnya"!
Oh, dia tak melihat! Bisa mati gadis itu jika
terhantam, sinar merah yang...."
Blaaarrr...! Pendekar Mabuk belum selesai
lanjutkan kecamuk batinnya, tiba-tiba gadis
itu rentangkan kedua tangan tanpa
memandang datangnya sinar. Dari telapak
tangan kirinya keluar sinar biru kecil yang
menabrak sinar merah mirip rambutan itu.
Maka terjadilah ledakan besar yang
menggetarkan pepohonan di sekitarnya. Gadis
itu tidak terpental, hanya terpelanting sedikit dan segera sigap kembali.
Padahal dahan pada pohon itu belakangnya sempat patah
karena kerasnya sentakan daya ledak tadi,
tapi gadis itu bagaikan mampu menahan
sentakan daya ledak yang cukup kuat itu.
"Oh, hebat juga dia?" gumam Pendekar Mabuk yang tetap bersembunyi sambil
menggantungkan bumbung bambu isi tuak
sakti di pundaknya.
"Keluarlah kau, Rogana! Aku tahu kau
ada di sekitar sini!" seru gadis itu dengan suara lantang. Dari lantangnya suara
Suto dapat menilai keberanian gadis itu cukup
tinggi. Gerakan matanya pun menjadi nanar
dan liar, seakan ia tak sabar menunggu
kemunculan lawannya yang tadi disebutkan
bernama Rogana itu.
Pendekar Mabuk terbelalak begitu
melihat tanah di seberang sana mulai retak.
Keretakannya menjalar cepat mendekati kaki
gadis itu dari belakang. Hampir saja Suto
berseru memberitahukan datangnya bahaya
tersebut. Tapi rupanya si gadis lebih tanggap
dan lebih peka atas bahaya yang
mendekatinya, sehingga ia cepat-cepat
lakukan lompatan ke samping dan berjungkir
balik bagai baling-baling. Wuuut...! Tepat
pada saat itu dari dalam keretakan tanah itu
muncul sesosok tubuh yang membaur dengan
tanah. Brrruul...!
Tanah menyembur ke berbagai arah
bersama keluarnya orang berpakaian serba
merah. Orang itu sudah mempersiapkan
pedang dan pedangnya terarah ke atas. Jika
gadis berompi ungu itu tidak segera melompat
ke samping, maka ia akan tertusuk pedang
dari bawah. Jleeg...! Orang yang baru muncul dari
dalam tanah itu berdiri tegak membelakangi
Suto Sinting dalam jarak tujuh langkah. Suto
semakin merapatkan tubuh dengan pohon
dan merendahkan badan supaya lebih
terhalang oleh semak ilalang di depan pohon
tersebut. "Gila! Tinggi sekali orang ini"!" pikir Suto. "Gadis itu sampai mendongak dalam
memandangi wajah lawannya. Raksasa dari
mana orang ini sebenarnya?"
Suto Sinting hanya bisa melihat bagian
punggung dan rambut yang panjang sampai
pinggang berwarna abu-abu. Ia belum melihat
orang tinggi besar itu dari arah depan. Namun
dari bentuk pedangnya yang besar penuh
dengan darah kering, Pendekar Mabuk bisa
pastikan orang itu bertampang ganas dan
sadis. Tapi anehnya gadis berkulit mulus itu
tak merasa takut sedikit pun. Matanya
memandang tajam ke arah lawannya, ia tak
segera mencabut pedangnya, hanya berjalan
menyamping yang membuat sang lawan ikut
menyamping berlawanan arah.
"Sangat tak seimbang! Gadis itu bisa
mati jika nekat melawan orang itu!" gumam Suto dalam batinnya. "Oooh..."!
Gila"!"
Pendekar Mabuk semakin tegang ketika
lawan si gadis terlihat dari depan. Ternyata
orang itu bukan saja berwajah ganas,
melainkan juga berwajah menyeramkan, ia
bertulang rahang panjang ke depan dan
berkulit tebal warna abu-abu berlipat-lipat. Di tengah keningnya mempunyai
tanduk seperti cula badak. Alisnya lebat, matanya lebar
kemerah-merahan, mulutnya yang monyong
mempunyai bibir tebal warna hitam.
"Iih...!" Suto bergidik. "Itu manusia apa siluman"! Wajahnya mirip badak, tapi
juga mirip babi hutan. Jangan-jangan dia lahir
karena perkawinan silang antara babi hutan
dengan badak bercula satu"!"
Rogana memang manusia berwajah
badak. Bukan saja wajahnya yang mirip
badak, tapi kulit tubuhnya juga tebal seperti
kulit badak. Jubah merahnya yang berlengan
panjang itu tidak dikancingkan bagian
depannya, sehingga Suto dapat melihat
dadanya yang keras berwarna abu-abu dan
perutnya yang tebal berlipat-lipat. Ternyata
Rogana juga mempunyai jari-jari yang besar
dan berkuku runcing warna hitam.
"Amit-amit jabang bayi!" gumam Suto dalam hati. "Mudah-mudahan gadis itu tidak
sedang hamil. Kalau sedang hamil bisa-bisa
anaknya seperti si Rogana itu."
Gadis tersebut ternyata tidak tampak
gentar sedikit pun. Bahkan ketajaman
matanya memancarkan keberanian yang
tinggi, ia berani menuding lawan yang
menyeramkan itu dengan serukan suara
lantangnya. "Kali ini tak akan kubiarkan kau lolos
dari tanganku, Rogana! Karena kau telah
membunuh guruku yang menyembunyikan
diriku!" ujar Perawan Sinting, sambil
membayangkan saat gurunya ditemukan
tewas, setelah bertarung melawan Rogana,
akibat sang Guru menyembunyikan sang
murid. "Nyawamu sudah ada dalam
jangkauanku, Gadis Keparat!" balas Rogana dengan suara besar, seperti tertekan.
Ia menyeringai, membuat Suto merinding
karena melihat giginya yang besar dan
runcing itu. "Kalau kau masih sayang dengan
ragamu, sebaiknya hentikan pengejaranmu
terhadapku, Gadis Tolol! Ada baiknya kita
berdamai dan hidup berdampingan dengan
penuh kasih sayang!"
"Aku mau hidup berdampingan
denganmu, Jika kau sudah menebus
kematian guruku dengan nyawamu!"
"Jadi kau benar-benar tak mau kuajak
berdamai"!"
"Terkutuklah aku selama tujuh turunan
kalau sampai berdamai dengan pembunuh
guruku sendiri!" seru gadis itu menampakkan keras kepalanya.


Pendekar Mabuk 085 Perawan Sinting di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau begitu kau benar-benar gadis
bangsat yang harus kukirim ke neraka
sekarang juga! Heeeeaah...!"
Tubuh tinggi besar itu melayang seperti
pilar terbang. Gadis cantik berbibir sensual
tak mau diterjang, karenanya ia segera
lakukan lompatan ke samping dalam jarak
lima langkah. Wuuut...!
Pedang besar di tangan Rogana menebas
tempat kosong. Wuuuk...! Tapi begitu melirik
si gadis ada di samping kirinya, ia pun segera menyabetkan pedangnya ke kiri.
Wuuuk...! Si gadis sudah lebih dulu lakukan
gerakan seperti berlari dalam kemiringan
batang pohon yang tumbuh tegak lurus itu.
Tab, tab, tab, tab, tab...! Tahu-tahu tubuhnya telah melesat berjungkir balik di
udara melewati atas kepala Rogana. Tepat di atas
kepala Rogana gadis itu lepaskan pukulan
tenaga dalamnya dengan tangan
menggenggam. Beet, claap...! Pendekar Mabuk melihat
ada sinar merah sekilas yang keluar dari
genggaman si gadis dan menghantam kepala
Rogana. Duaaar...! Brrruuk...! Gluduk, gluduk, gluduk...!
Rogana jatuh tersungkur dan cepat
menggelinding ke samping. Dalam sekejap ia
telah berdiri kembali dengan rambut
kepulkan asap, tapi kepala masih utuh.
Sebagian rambutnya tampak terbakar dan
menjadi keriting, terutama di bagian tengah
kepala yang tadi terkena pukulan bercahaya
merah. "Grrrmmm...!" Rogana menggeram
dengan pandangan memancarkan amarah
besar. Si gadis masih tampak tenang, berdiri
dengan kuda-kuda kokoh dan kedua tangan
siap lepaskan pukulan lagi.
"Heeeaahh...!" Manusia berwajah badak itu berteriak sambil lemparkan pedang
besarnya. Pedang itu meluncur lurus ke dada
si gadis. Tapi dengan satu lompatan bersalto
ke belakang, gadis itu berhasil menendang
pertengahan pedang dari bawah ke atas.
Beet...! Pedang berbalik arah dan meluncur ke
dada Rogana. Wees...! Taak...! Rogana
menahan ujung pedang dengan
menghadangkan telapak tangan kirinya.
Pedang berhenti sekejap, tangan kanan
Rogana menyambar gagang pedang. Wuuut...!
Kini pedang berada di tangan kanan Rogana
lagi. "Hebat, hebat...!" Pendekar Mabuk
manggut-manggut. "Jurus tendangan yang
kelihatannya mudah dipelajari tapi sebetulnya
punya kunci sendiri yang sulit dimiliki setiap orang."
Gadis itu membuka jurus baru dengan
merentangkan kedua tangannya ke samping
dan menegakkan kedua kaki yang saling
merapat, ia sengaja berdiri menyamping dari
lawannya dengan mata melirik penuh
waspada. Lawannya bergerak maju dengan
lakukan lompatan meluncur cepat sambil
meluruskan pedangnya untuk menembus
tubuh si gadis.
Wees...! Tiba-tiba si gadis berlutut satu kaki,
kemudian kedua tangannya menyentak ke
atas bergantian. Bet, bet...! Tepat pada saat
itu Rogana meluncur di atas kepalanya dan
pukulan bercahaya biru menghantam dada
dan perut Rogana secara berturut-turut.
Blaar, blaar...!
Tubuh Rogana terpental, melambung
tinggi dan jatuh terbanting hingga tanah
terasa bergetar. Brrruuk...!
"Grrrhh...!" Rogana mengerang antara menahan sakit dan menyalurkan
kemarahannya. Suto melihat perut dan dada Rogana
mengepulkan asap. Tapi agaknya tak
dipedulikan oleh Rogana. Ia segera bangkit, kemudian kaki kanannya menghentak ke
tanah satu kali.
"Hheaaahh...!"
Bluuk...! Krrraak...!
Tiba-tiba tanah yang dipijak si gadis
retak terbuka membuat si gadis terperosok
masuk ke dalam keretakan tanah itu.
Brrus...! Untung salah satu tangannya segera
berhasil menyambar akar pohon, sehingga ia
tak sampai terperosok seluruh tubuhnya, ia
cepat-cepat berusaha untuk keluar dari
keretakan tanah itu.
Hanya saja, Rogana segera menerjang
dengan gerakan cepat, sehingga tangan si
gadis terlepas dari akar pohon dan ia jatuh ke tempat yang lebih dalam lagi.
Bruuus...! Sruuuk...! "Haaaaahhh...!!"
Rogana berteriak keras dan panjang.
Kedua kakinya segera menghentak ke bumi.
Bluk, bluk...! Maka keretakan tanah itu
merapat kembali, membuat si gadis hampir
saja terkubur di dalamnya. Zeerrrpp...!
Sebelum tanah bergerak merapat
kembali, tiba-tiba tubuh gadis itu melesat
bagaikan terlempar dari dalam tanah. Tubuh
itu meluncur lurus ke atas dengan satu kaki
sedikit terlipat dan tangan kanan sudah
menggenggam pedang. Pedang itu menyala
hijau pijar dan mengarah ke langit.
"Hiaaaaaahhh...!"
Clap, clap, clap, clap...!
Pedang itu memancarkan sinar seperti
kilat berwarna hijau menyebar ke berbagai
arah, menyambar apa saja yang dikenalnya.
Blaaaar, blaar, blegaar, blaar, duuaar...!
Beberapa pohon tumbang dan pecah
karena sambaran sinar itu. Bahkan dahan
pohon yang dipakai bersembunyi Suto itu
patah dalam keadaan hangus pada bagian
yang patah. Dahan itu jatuh, hampir saja
menimpa kepala Pendekar Mabuk. Brruk...!
Pendekar Mabuk kaget sebentar, lalu tak
pedulikan dahan itu, karena ia sedang
memperhatikan sinar hijau lainnya.
Ternyata salah satu sinar hijau itu ada
yang menghantam pelipis Rogana. Jegaar...!
Rogana terlempar jauh, pelipisnya hangus
dan kepulkan asap. Tapi ia masih sehat dan
mampu berdiri dengan cepat, ia segera
menyambut kehadiran gadis berompi ungu
yang sedang bergerak turun dalam gerakan
seperti saat ia meluncur ke atas.
"Haaaaarrrhhh...!!"
Rogana memutar-mutar pedangnya di
atas kepala sejenak, kemudian pedang
dilepaskan dan, craaak...! Pedang itu menjadi
sembilan bilah yang segera menyebar dan
meluncur ke arah gadis itu. Pendekar Mabuk
hanya bisa terbengong menyaksikan jurus
aneh si manusia berwajah badak itu.
Gadis tersebut terpaksa menangkis tiap
pedang yang mendekat ke arahnya.
Gerakannya sangat cepat hingga sukar
dilihat. Suto Sinting hanya bisa mendengar
suara denting pedang beradu dengan
gaduhnya. Trang, tring, tring, trang, tring, trang,
trang, tring...!
Rupanya sembilan pedang itu bagai
mempunyai nyawa sehingga dapat bertarung
sendiri-sendiri tanpa dimainkan oleh
pemiliknya. Pedang yang sudah tertangkis
dan terlempar dapat kembali lagi menyerang
si gadis dari arah mana saja. Lambat sedikit
gerakan si gadis maka ia akan menjadi
sasaran empuk bagi pedang tersebut.
"Edan! Rupanya si manusia badak itu
juga berilmu tinggi"!" pikir Suto Sinting dengan hati berdebar-debar girang
karena menyaksikan pertarungan yang sama-sama
kuat dan sama-sama dahsyat.
Sementara si gadis berusaha
melepaskan diri dari kepungan pedangpedang bernyawa, Rogana lakukan satu
lompatan bagaikan terbang cepat melintasi
atas kepala si gadis. Kedua tangannya segera
menyentak dan keluarkan asap abu-abu yang
segera membungkus tubuh si gadis.
Wuuursss...! Bluub...! Begitu kakinya mendarat ke bumi,
Rogana berseru sambil tepukkan tangan satu
kali. "Heeeeaaaahhh...!" Plaaak...!
Sembilan pedang tadi bergerak cepat
mengumpul dan dalam sekejap sudah berada
di tangan Rogana menjadi satu pedang.
Zraaak...! Teeb...!
Alam segera menjadi hening. Pendekar
Mabuk tetap lebarkan mata dengan bingung,
karena gadis itu hilang tak terlihat lagi. Tapi di tempat si gadis bertarung
tadi tampak dua
bongkah batu hitam dalam ukuran besar;
seperti seekor kerbau berdiri. Kedua batu itu
saling merapat.
"Gadis itu menjadi batu"!" gumam hati Pendekar Mabuk penuh keheranan, ia yakin
gadis itu menjadi batu, karena Rogana
memandangi batu itu dengan seringai
kemenangan. "Siapa pun tak akan menemukan
bangkaimu, Gadis Tolol! Hahh...!"
Setelah mengucapkan kata itu, Rogana
segera pergi tinggalkan tempat tersebut
dengan langkahnya yang cepat hingga
menyerupai bayangan merah berkelebat
menerjang semak dan pepohonan kecil.
Sedangkan batu itu tetap utuh, tanpa
gerakan sedikit pun.
"Kalau begitu, gadis itu ada di dalam
dua batu berongga yang saling merapat"!
Terpenjara di sana" Karena si Rogana tadi
mengatakan 'siapa pun tak akan menemukan
bangkaimu', berarti gadis itu mati di dalam
dua batu berongga tersebut"!" pikir Suto
dengan wajah mulai tampak sedih. Kasihan
gadis itu. Apa yang bisa kulakukan untuk
selamatkan dirinya" Apakah dia masih hidup
di dalam batu itu atau langsung mati" Suto
bicara lirih sambil mendekati batu itu dengan
hati-hati. * * * 2 BATU besar itu diperhatikan beberapa
saat. Lalu, Pendekar Mabuk gunakan ilmu
'Lacak Jantung' untuk mendengar detak
jantung di sekitar tempat tersebut, ia berhenti dari segala gerakan dan pejamkan
mata sesaat, pusatkan kekuatan batin pada
pendengarannya.
"Oh, kudengar ada suara detak jantung
yang samar-samar. Lemah sekali. Apakah ini
detak jantung gadis itu?" pikir Suto Sinting sambil membuka mata kembali.
"Agaknya ia masih hidup walau di dalam
batu. Tapi makin lama detak jantungnya
makin lemah, berarti dia akan mati kehabisan
udara! Oh, kalau begitu aku harus segera
hancurkan batu ini!"
Suto tak berani gunakan jurus
penghancur seperti jurus 'Pukulan Gegana'
atau jurus 'Pukulan Guntur Perkasa' dan
sejenisnya. Karena ia khawatir jurus itu
selain dapat menghancurkan batu besar
tersebut juga dapat menghancurkan gadis di
dalamnya. Dengan penuh pertimbangan akhirnya
Suto Sinting cukup menghantamkan
bumbung tuaknya yang mempunyai kekuatan
sakti tersendiri. Sebab bambu yang dipakai
untuk tempat tuak itu bukan sembarang
bambu, tapi merupakan jelmaan dari tokoh
sakti yang dalam silsilahnya adalah eyang
buyut guru yang bernama Wijayasura, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Pedang Guntur Biru"). Bumbung itu diputar tiga kali dan dihantamkan ke batu
besar yang kerasnya menyerupai besi itu.
Wut, wut, wut...! Blaaarr...! Krraaak...!
Ledakan yang timbul akibat hantaman


Pendekar Mabuk 085 Perawan Sinting di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bumbung tuak ke batu membuat batu itu
menjadi retak tiga bagian. Tapi belum pecah,
dan wajah si gadis belum kelihatan. Ini
menunjukkan bahwa kekerasan batu itu
memang menyerupai besi dan tidak dapat
dihancurkan dengan mudah. Suto Sinting
terpaksa mengulangi tindakannya tadi.
Bumbung tuak diputar tiga kali lalu
dihantamkan ke batu tersebut. Blaaar...!
Praaak...! Kedua batu itu akhirnya pecah menjadi
beberapa bongkahan, dan tubuh si gadis
tampak berdiri bersama pedang menyala
hijau yang masih di tangannya.
"Gila! Ternyata bagian dalam kedua batu
itu adalah batu lahar yang masih
memancarkan nyala merah membara"!"
gumam Suto terheran-heran sambil pandangi
asap tipis dan bongkahan-bongkahan batu
tersebut. Dari luar memang kedua batu itu
tampak dingin-dingin saja. Tapi sebenarnya di
sisi dalam batu memancarkan hawa panas
seperti lahar merah. Tentu saja keadaan
tubuh si gadis mengalami luka bakar sangat
parah. Kulitnya yang mulus menjadi hitam
kecoklatan dan membengkak.
"Kalau gadis ini tidak mempunyai
lapisan tenaga dalam cukup tinggi, pasti ia
sudah menjadi bubur atau setidaknya
menjadi arang dan tak bernyawa," kata Suto dalam hatinya. "Ternyata keadaan
gadis ini hanya mengalami luka bakar saja, rambut
dan pakaiannya masih utuh. Berarti ia
mempunyai satu kekuatan yang dapat
menahan hawa panas. Benar-benar sinting
juga ilmu gadis ini! Dibungkus lahar panas
masih bisa bertahan. Tapi aku yakin, ia tak
akan mampu bertahan lebih lama lagi. Jelas
ia akan mati lumer jika sampai terbungkus
batu lahar selama seperempat hari."
Pendekar Mabuk segera memeriksa
denyut nadinya.
"Ooh... lemah sekali! Terlambat sedikit
aku bertindak, gadis ini tidak akan bernyawa
lagi!" gumam Suto Sinting bagai bicara pada diri sendiri. Kemudian ia segera
membawa gadis itu ke tempat yang teduh.
Mulut si gadis bertubuh sekal dan tinggi
itu terkatup rapat. Padahal Suto harus
menuangkan tuak saktinya agar tertelan oleh
si gadis. Karena dengan menelan tuak
tersebut, maka kekuatan si gadis akan pulih
kembali. Mau tak mau Suto harus
memasukkan tuak dengan cara meniupkan
napas dari mulutnya yang sudah menampung
tuak. Mulut gadis itu beradu dengan
mulutnya dan pelan-pelan tuak semburkan
ke dalam mulut gadis itu. Memang hanya
sedikit yang masuk ke tenggorokan si gadis,
namun hal itu dilakukan oleh Suto secara
berulang-ulang, sampai tenggorokan si gadis
diperkirakan cukup menampung tuak duatiga tegukan. Setelah itu, Suto segera membiarkan si
gadis tergeletak di rerumputan, ia berdiri agak jauh sambil sesekali pandangi
pecahan batu itu dengan penuh rasa kagum.
"Rogana cukup hebat. Ilmunya tak boleh
diremehkan. Tapi persoalan apa yang
membuat Rogana membunuh gurunya si
gadis itu"!" pikir Suto Sinting dalam
kebisuannya. Lalu, matanya melirik ke arah si
gadis. Luka bakar itu mulai mengalami
perubahan sedikit demi sedikit. Pendekar
Mabuk merasa lega dan mulai bisa tersenyum
walau hanya tipis saja.
Semilir angin di keteduhan mulai dapat
dirasakan oleh si gadis. Luka bakar berubah
warna sedikit demi sedikit. Beberapa saat
kemudian kemulusan kulit tubuh gadis itu
pulih seperti sediakala, ia pun sadar
membuka matanya, tertegun sesaat, lalu
segera bangkit dengan wajah menegang
penuh keheranan.
Pertama-tama yang dipandangi kulit
lengannya, ia sangat terheran-heran melihat
lengannya mulus tanpa bekas luka sedikit
pun. Pahanya pun mulus tanpa cacat, lalu
wajahnya diraba sendiri, ternyata juga halus
seperti semula.
"Rasa panas tiba-tiba hilang. Badanku
menjadi terasa segar. Apa yang terjadi pada
diriku"! Apakah aku sudah berada di alam
kubur?" sang gadis membatin sambil pandang sana pandang sini. Akhirnya pandangan
matanya menemukan seorang pemuda
berbadan tinggi, tegap, dan gagah dengan
wajah tampan yang menyejukkan hati.
"Oh..."! Siapa dia" Malaikat atau dewa"!"
pikirnya sambil berdiri pelan-pelan, seakan ia ragu dengan sikapnya.
"Hai...," sapa Pendekar Mabuk dengan senyum makin lebar.
Hampir saja gadis itu berlutut dan
menyembah Suto karena menyangka Suto
adalah dewa. Tapi karena ia segera ingat
suasana tempat tersebut dan komposisi
pepohonan, batu, dan sungai, maka ia segera
yakin bahwa ia masih berada di alam jagat
raya dan berhadapan dengan manusia muda
yang punya wajah tampan menawan. Terlebih
setelah ia melihat bongkahan-bongkahan
batu yang bagian sisi dalamnya masih tersisa
bara api sama-samar, gadis itu pun segera
sadar bahwa dirinya telah lolos dari jurus
mautnya si manusia badak itu.
"Kaukah yang hancurkan batu
'pembungkus' dariku tadi?" tanyanya dengan sikap tegas.
"Bukan," jawab Suto Sinting merendah.
"Kebetulan saja aku tadi sedang mencari
kepompong. Kulihat ada kepompong besar
tapi keras, lalu kusentil-sentil dan kepompong itu pecah. Ternyata kepompong itu
berisi seorang gadis cantik yang nyaris mati
terbakar. Maka gadis itu kubawa ke tempat
teduh ini biar tidak kepanasan."
Gadis itu diam dengan tegap pandangi
Suto. Ia tahu maksud bahasa merendah itu,
bahwa ia telah diselamatkan oleh pemuda
tampan tersebut dari ancaman batu
pembungkus kematian. Karenanya ia segera
berkata dengan suara seperti orang
menggumam. "Hebat sekali kau bisa memecahkan
batu itu. Sama saja kau telah
menghancurkan jurus mautnya Rogana yang
dinamakan jurus 'Kepompong Mayat' itu.
Pendekar Mabuk berlagak kerutkan dahi
dan ajukan tanya bernada bingung. "Siapa
Rogana ini?"
Gadis itu menjawab dengan senyum tipis
berkesan sinis, matanya memandang ke arah
pohon yang menjadi tempat persembunyian
Suto Sinting tadi. Kata-katanya pun terdengar
bernada sinis. "Kurasa kau sudah melihatnya sendiri
seperti apa Rogana itu."
"Apa maksudmu?" sambil Pendekar
Mabuk mendekat.
Setelah memasukkan pedang ke
sarungnya, gadis itu berkata lagi dengan
sikap acuh tak acuh. Matanya memandangi
sungai dan pohon yang dipakai bersembunyi
oleh Suto tadi.
"Kau tak perlu berlagak bodoh. Kau
telah mengikutiku dari seberang sungai tadi,
lalu bersembunyi di balik pohon itu saat aku
bertarung melawan Rogana."
Pendekar Mabuk terkesip dan membatin,
"Sialan! Rupanya dia tadi mengetahui gerak-gerikku?"
"Aku tahu kau mengikutiku, tapi aku
yakin kau bukan Rogana, jadi tak perlu
kuhiraukan," tambah si gadis. "Aku memang tidak melihat
jelas wajahmu, hanya
merasakan ada yang mengikuti serta
memperhatikan diriku. Selama kau tidak
menyerangku aku tidak lakukan apa pun
terhadap dirimu."
Akhirnya pemuda tampan itu cengarcengir sendiri, merasa malu oleh kepurapuraannya. Tapi dalam hatinya Suto merasa
lebih kagum dan mengakui kepekaan indera
si gadis yang termasuk tinggi itu.
"Kau memang hebat," ujar Suto pada
akhirnya. "Kuakui memang aku tadi
mengikutimu karena aku kagum dengan
kelincahan gerakmu."
Si gadis tidak menampakkan kesan
bangga mendengar pujian tak langsung dari
mulut Suto Sinting, ia berekspresi biasa-biasa saja. Bahkan sekarang ia berani
menatap Suto dalam jarak dua langkah dengan sorot
pandangan mata berkesan cuek.
"Boleh aku minta minummu"!"
"O, silakan...!" Pendekar Mabuk
menyerahkan bumbung tuaknya. Gadis itu
menerimanya dan menenggak tuak itu
dengan tanpa basa-basi lagi. Glek, glek, glek, glek, glek...! "Busyeeett...!
Banyak amat"!"
gerutu Suto dalam hati dengan mata sedikit
melebar. Baru sekarang ia melihat seorang
gadis mampu menenggak tuak cukup banyak
seperti meminum air putih saja.
"Cukup enak tuakmu!" ujarnya sambil
menyerahkan bumbung tuak kembali, ia
masih cuek dipandangi Suto dengan
pandangan mata terheran-heran. Bahkan
dengan lagak tengil ia menepuk-nepuk
pundak Suto sambil berkata konyol.
"Teruskan bakatmu. Kau memang
berbakat untuk menjadi penjual tuak."
"Kau...?"
"Banyak penjual tuak yang kukenal, tapi
mereka tidak bisa mencari tuak senikmat
tuakmu itu!" lalu ia melangkah mendekati pohon dan menyandarkan salah satu
tangannya dengan tangan yang satunya lagi
bertolak pinggang. Matanya memandangi
seberang sungai, menyusuri tanggul yang
ditumbuhi pohon-pohon bambu itu.
"Tengil juga gadis ini," pikir Suto. "Sudah tahu diselamatkan dari maut, juga
tak ada ucapan terima kasihnya. Sudah diberi
minum, masih saja tak mau berterima kasih
padaku. Benar-benar mengesankan
kekonyolannya."
Tiba-tiba gadis itu berpaling memandang
Suto. Pandangan mata mereka saling bertemu
dan Suto menggeragap salah tingkah.
"Mengapa kau memandangiku terus?"
"Hmmm, hmm... aku kagum. Eh,
bukan... aku heran."
"Apa yang mengherankan dari diriku?"
"Hmmm... hmmm... tak ada. Aku tak
jadi heran," sambil Suto cengar-cengir
semakin salah tingkah.
"Kalau begitu aku yang heran padamu."
"Oh, aku mengherankan dirimu" Kenapa
kau heran padaku?"
"Karena kau masih tetap ada di sini.
Padahal kau tidak punya keperluan apa-apa
denganku."
"Songong sekali!" gerutu Suto dalam
hati, tapi mulutnya lontarkan kata yang
berbeda. "Aku suka dengan kerahamanmu. Aku
jadi ingin tahu siapa namamu sebenarnya?"
Gadis itu berbalik, hingga berhadapan
total dengan Pendekar Mabuk. Matanya
menatap penuh keberanian, tanpa rasa malu,
kikuk ataupun sungkan.
"Rupanya kau orang baru di daerah ini,
sehingga tak mengenali siapa diriku."
"Hmmm, hmmm... Iya, memang aku
orang baru. Aku jarang berkeliaran di daerah
tenggara ini," jawab Suto sambil menahan
malu dianggap berpengetahuan cekak.
"Kalau begitu agaknya perlu kau catat
dalam otakmu, bahwa aku inilah yang dikenal
dengan nama Perawan Sinting."
"Hahh..."!" Suto terkejut dengan wajah menegang.
Gadis itu justru berkerut dahi sambil
melangkah lebih dekat dan tangan kanannya
masih bertolak pinggang.


Pendekar Mabuk 085 Perawan Sinting di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa kau terkejut?"
"Perawan Sinting"!" tandas Suto lagi,
seakan tak yakin dengan pendengarannya.
"Iya. Kenapa kau menjadi tegang"
Apakah ada pihak lain yang mengupahmu
untuk membunuh Perawan Sinting" Jika
benar begitu, bunuhlah aku sekarang juga!"
"Oh, hmm... ehh... bukan begitu
maksudku. Eeh...."
"Lalu apa maksudmu terkejut dan
tegang begitu mendengar namaku?"
"Karena... karena...." Suto tersenyum kaku. "Karena namamu punya kemiripan
dengan namaku."
"O, ya..." Apakah namamu Perawan
Edan?" "O, bukan. Bukan itu. Hmmm...."
"Hei, tenang saja! Aku tidak berbuat
jahat padamu. Jangan gugup begitu!" sambil gadis itu menepuk-nepuk pundak Suto.
Sok tua! "Maksudku... kita punya nama yang
kebetulan saja punya kesamaan. Jika
namamu Perawan Sinting, maka perlu kau
catat juga dalam otakmu, bahwa akulah
murid si Gila Tuak dan Bidadari Jalang yang
bernama Suto Sinting."
"Suto Sinting..."!" gadis itu ganti terkejut dan matanya melebar.
"Kenapa terkejut" Tenang saja!" balas Suto sengaja bikin dongkol si gadis.
"Hmmmh...!" gadis itu mencibir.
"Candamu tak lucu sama sekali. Kau hanya
mengada-ada saja dengan mengarang nama
menyerupai namaku."
"Ooh, ternyata pengetahuanmu cekak di
rimba persilatan ini," kecam Suto sambil
sedikit manggut-manggut. Kini ia berlagak
sombong untuk membalas keangkuhan gadis
itu tadi. Ia bahkan berdiri lebih tegak dan
digagah-gagahkan karena si Perawan Sinting
sedang memperhatikan dengan langkah
mengelilinginya.
"Tak mungkin. Namamu pasti bukan
Suto Sinting."
"Sumpah direndam dalam duit, berani!"
Suto agak ngotot. "Coba tanyakan kepada
para tokoh silat di kawasan selatan, utara,
barat, dan timur. Mereka mengenaliku
dengan nama Suto Sinting!"
"Nama yang sangat buruk," gumam si
Perawan Sinting dengan sinis. "Kalau benar itu namamu, kusarankan ganti saja
nama itu. Jangan mengemban namaku!"
"Sejak kecil aku sudah dipanggil dengan
nama Suto. Dan begitu remaja guruku
memanggilku dengan nama Suto Sinting!"
"Ganti sajalah! Suto Gendeng lebih
bagus." "Tak enak dengan Mario Gendeng
temanku, nanti dikira meniru namanya!"
"Atau ganti saja dengan nama Suto
Slebor! Itu lebih cocok dengan
penampilanmu."
"Ah, kurang keren!"
"Hmmm... o, ya, aku punya nama yang
bagus untukmu. Bagaimana kalau namamu
diganti Suto PA saja"!"
"Apa itu PA"!"
"Pemuda Amburadul!"
"Ah, sudah Sinting ya Sinting sajalah!
Tak perlu diganti PA atau yang lainnya!"
"Tapi nama Sinting itu sudah jadi ciriciriku! Nanti dikira kita bersaudara!"
"Biar saja! Bukankah lebih baik kita
bersaudara daripada bermusuhan"!"
"Aku tak mau!" tegas Perawan Sinting.
"Aku keberatan kalau disangka saudaramu."
"Kenapa keberatan?"
"Aku tak suka punya saudara pemuda
jalang begitu."
"Mataku tidak jalang!" sanggah Suto.
"Kalau tidak jalang kenapa sejak tadi
matamu melirik belahan dadaku"!"
Seer...! Darah Suto bagaikan naik semua
ke wajah, membuat wajahnya menjadi
semburat merah menahan malu. Tapi dengan
cepat ia dapatkan alasan untuk menutupi
rasa malunya itu.
"Maaf, waktu kecil aku pernah sakit
panas." "Apa hubungannya sakit panas dengan
lirikan mata ke dadaku?"
"Mataku sering jereng sendiri, tapi
kadang sehat kembali. Jadi kalau kau
melihatku melirik ke dadamu, itu lantaran
mataku tiba-tiba jereng lagi."
"Ooo... jadi matamu sering menjadi
jereng karena sakit panas masa kecil itu?"
"Ya, karena itulah mohon kau
memakluminya."
"Sayang sekali," gumam Perawan
Sinting. "Padahal aku berharap lirikan
matamu adalah lirikan karena rasa tertarik,
bukan karena jereng."
"Hah..."! Oh, tapi anu... begini...."
Perawan Sinting tiba-tiba menjejak
pinggang Suto hingga tubuh Pendekar Mabuk
terpental dan berguling satu kali. Suto hampir saja marah, namun begitu melihat
gadis itu lakukan gerakan cepat dengan memutar
tubuhnya, Suto Sinting jadi tertegun.
Matanya melebar kaget begitu Perawan
Sinting hentikan gerakan dalam keadaan
berlutut satu kaki dan di kedua tangannya
telah terselip empat pisau terbang; dua pisau
terselip di antara jemari tangan kiri, dua lagi di jemari tangan kanan.
"Edan betul dia! Rupanya tendangannya
tadi bermaksud menyelamatkan nyawaku dari
empat pisau maut" Hmmm... siapa pemilik
keempat, pisau terbang itu?" gumam Suto
Sinting dalam hatinya. "Sial malu juga aku jadinya. Kali ini aku benar-benar
lengah." "Berlindunglah!" Perawan Sinting
berseru tanpa memandang Pendekar Mabuk,
tapi seruan itu jelas ditujukan kepada sang
pendekar tampan. Sambil berseru begitu,
kedua tangan Perawan Sinting segera
berkelebat ke depan lemparkan keempat
pisau tadi ke arah kanannya. Suto Sinting
sempat mengecam dalam batinnya.
"Tolol! Kenapa pisau-pisau itu tidak
dilemparkan ke arah datangnya tadi"
Mengapa justru berbeda arah"!"
Weees...! "Aaaahk...!?"
"Oouwhk...!"
Pendekar Mabuk terkejut. "Oh, ternyata
pisau-pisau itu mengenai seseorang di balik
semak sebelah kanan itu"!"
Kejap berikutnya, Perawan Sinting tegak
kembali dan dua orang berpakaian serba biru
tua keluar dari semak-semak itu dengan
sempoyongan. Dua lelaki berbadan gemuk itu
ingin lemparkan pisaunya lagi ke arah
Perawan Sinting, tapi ia segera tumbang ke
depan karena bagian dada mereka telah
tertancap pisau lemparan si Perawan Sinting.
Masing-masing mendapat ganjaran dua pisau
yang menancap di sekitar dada dan perut
mereka. Dengan perhatian terpusat pada orang
yang terkena lemparan pisau, Pendekar
Mabuk bergegas hampiri kedua orang
tersebut. Orang itu segera tak bernyawa
karena pisau lemparan Perawan Sinting tadi.
Namun baru saja Suto melintas di depan
Perawan Sinting dalam keadaan perhatian
masih terpusat ke orang tersebut, gadis itu
segera menendang punggung Suto dengan
satu lompatan cepat. Buuuhk...! Brrruk...!
Suto Sinting jatuh tersungkur sangat
menyedihkan, ia hampir saja berang dan
membalas tendangan kepada Perawan
Sinting. Namun niatnya itu tertunda lagi karena
Perawan Sinting berguling satu kali dan
bangkit dengan satu kaki berlutut, sementara
di kedua tangannya telah terjepit dua keping
logam pipih bergerigi sebagai senjata rahasia
seseorang. Kedua logam itu terjepit juga di
antara jari-jari tangan kanan-kirinya.
"Gawat! Kalau saja aku tidak tersungkur
mungkin kedua senjata rahasia itu mengenai
tubuhku!" pikir Suto Sinting. Lalu ia berseru
dalam keadaan setengah merangkak.
"Lemparkan kembali ke arah semula!"
Tapi Perawan Sinting diam saja. Bahkan
gadis itu tak bergerak sedikit pun sejak
bangkit dengan berlutut satu kaki tadi.
Sedangkan mata Pendekar Mabuk segera
menangkap dua gerakan yang melintas di
sela-sela semak dan pepohonan. Maka sertamerta Pendekar Mabuk bangkit dan lepaskan
pukulan bersinar biru besar dari telapak
tangan kirinya. Claaap...! Jurus 'Tangan
Guntur'-nya itu sengaja diarahkan ke
sebatang pohon. Jegaaar...!
Pohon itu pun segera pecah dan
tumbang. Brrruk...! "Aaaahk...!" terdengar suara orang
berseru. Suto yakin rencananya berhasil;
orang itu pasti tertimpa pohon tersebut.
Zlaaap...! Pendekar Mabuk segera
menerabas ke semak dan hampiri pohon yang
tumbang. "Ooh..."!" keluh Suto sambil palingkan wajah sebentar karena ngeri.
Ada dua orang yang tertimpa pohon
tersebut. Satu orang tewas karena dadanya
terhujam potongan dahan, satu orang lagi
masih hidup, tapi kakinya terhimpit batang
pohon yang tumbang sehingga tak bisa
bergerak. Kedua orang itu juga mengenakan
pakaian serba biru, seperti dua orang yang
terkena lemparan pisau Perawan Sinting tadi.
Dengan sedikit susah payah, Suto
Sinting akhirnya berhasil menarik orang yang
kakinya tergencet pohon itu. Orang tersebut
mengerang kesakitan. Suto tak peduli dan
segera menyeretnya ke tempat Perawan
Sinting berada.
Di sana, Suto melemparkan orang yang
kedua kakinya menjadi remuk itu ke depan
Perawan Sinting. Keadaan gadis itu masih
tetap berlutut dengan satu kaki dan menjepit
dua keping senjata rahasia bergerigi.
"Perawan Sinting..."!" tegur Suto mulai curiga. Lalu ia mendekati gadis itu,
ikut berlutut di depan si gadis yang memandang
lurus tanpa berkedip.
"Astaga..."!" Pendekar Mabuk terbelalak kaget. Ternyata ada sekeping logam
bergerigi yang menancap tepat di pertengahan belahan
dada si Perawan Sinting. Dada itu melelehkan
darah dan senjata tersebut nyaris terbenam
seluruhnya. Kulit di sekitar dada menjadi
memar membiru pertanda logam itu beracun
ganas. * * * 3 PERAWAN Sinting ternyata masih hidup,
hanya tak berani bergerak karena takut
keluarkan darah dari lukanya terlalu banyak,
ia sempat ucapkan kata pelan tapi bernada
datar pada saat Suto Sinting berada di
depannya pandangi senjata rahasia yang
menancap di dada gadis itu.
"Cabut... satu... sentakan...!"
Pendekar Mabuk paham maksud ucapan
itu, ia harus mencabut senjata rahasia yang
menancap di dada. Tapi karena senjata itu
terlalu terbenam, sehingga sulit untuk
dipegang dan dicabut dalam satu sentakan.
Apalagi tangan Suto menjadi gemetar karena
senjata itu tepat berada di antara dua bukit
sekal di dada Perawan Sinting itu, mau tak
mau ia harus menyingkapkan gumpalan sekal
itu dengan tangan kirinya, dan mencabut
logam bergerigi itu dengan tangan kanannya.
Gumpalan sekal itulah yang membuat


Pendekar Mabuk 085 Perawan Sinting di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suto gemetar dan berdebar-debar, karena
mau tidak mau ia harus menyingkapkan
rompi si gadis dan gumpalan sekal yang
montok itu terlihat jelas di depan matanya.
Hmmmmrrm...! Suto Sinting menggeram
dalam hati, sehingga berulang kali gagal
mencabut senjata rahasia itu.
"Pegang senjata itu, jangan pegang
senjataku!" ucap si gadis dengan gigi
menggegat pertanda menahan kemarahan.
"Maaf, licin...! Banyak darah dan...."
"Jangan banyak omong!" gertaknya tetap dengan suara menggeram dan bernada datar.
Sreeb...! "Ouhk...!" si gadis terpekik lalu tumbang ke belakang dengan napas menghempas.
Luka mengucurkan darah segar setelah
senjata itu tercabut oleh Suto. Perawan
Sinting menggeliat kesakitan. Wajahnya
menyeringai dengan menggigit bibir, membuat
wajah itu bagai sedang menikmati sentuhan
mesra. Suto semakin berdebar-debar melihat
ekspresi wajah si cantik itu.
"Minumlah tuak ini! Cepat, minum biar
lukamu tak banyak keluarkan darah. Racun
itu mulai mengganas dalam tubuhmu!"
Berkat kesaktian tuak Suto yang
mujarab sekali untuk penyembuhan itu, luka
di dada Perawan Sinting menjadi kering dan
cepat merapat, sampai akhirnya dada itu
menjadi mulus kembali tanpa luka seujung
jarum pun. Bahkan darah yang berceceran di
sekitarnya bagai diserap masuk ke dalam
pori-pori dan menjadi bersih tanpa bekas
sedikit pun. "Ternyata tuakmu sungguh, ajaib sekali,
ya"!" ujar Perawan Sinting.
"Lupakan dulu soal itu. Lihat, aku
berhasil menangkap salah satu dari pelempar
senjata rahasia ini!" sambil Suto Sinting menunjukkan si lelaki yang kakinya
hancur tertimpa pohon itu. Lelaki tersebut dalam
keadaan tergeletak di tanah tanpa gerakan.
Perawan Sinting memperhatikan dengan
cermat, lalu berlutut mendekati lelaki
berkumis agak tebal yang usianya sekitar
empat puluh tahun itu.
"Kurasa dia pingsan karena tak kuat
menahan rasa sakit di kakinya," ujar Suto Sinting yang segera menenggak tuaknya
sendiri. "Apanya yang pingsan?" ucap Perawan
Sinting dengan nada mengecam kata-kata
Suto tadi. Mendengar suara bernada begitu, Suto
Sinting segera hentikan minumnya dan
kerutkan dahi, ia memandang lelaki
berpakaian biru yang sedang dipegang
lengannya oleh Perawan Sinting. Rupanya
gadis itu sedang memeriksa denyut nadi di
bagian leher. "Dia tak bernyawa lagi."
"Kok bisa..."!" Suto bergegas mendekati dan berlutut, lalu memeriksa denyut nadi
orang tersebut. Ternyata orang itu sudah
tidak mempunyai denyut nadi lagi dan tak
ada gerakan dada yang menandakan ia
bernapas. "Wah, kacau...!" keluh Suto Sinting.
"Susah payah kubawa kemari akhirnya mati
juga!" "Dia bukan mati karena luka, tapi mati
karena bunuh diri."
"Bunuh diri"! Dari mana kau tahu"!"
Suto menatap gadis itu dengan berkerut dahi
semakin tajam. "Lihat tangan kanannya ini!"
Pendekar Mabuk segera pandangi
tangan kanan orang tersebut. Ternyata
tangan itu bukan sekadar jatuh ke samping,
melainkan menusukkan sesuatu ke dalam
pinggangnya. Suto segera menarik tangan itu,
dan sebatang jarum ikut tercabut dari dalam
pinggang orang tersebut. Jarum itu segera
dipandangi oleh Pendekar Mabuk dengan
heran. "Jarum beracun ganas," ujar Perawan
Sinting yang badannya menjadi lebih segar
setelah meminum tuaknya Suto tadi.
"Kau mengenali jarum ini"!" tanya
Pendekar Mabuk.
"Namanya jarum 'Penangkal Siksa'.
Jarum itu mempunyai racun yang sangat
tinggi dan mematikan dalam tiga helaan
napas. Jarum itu hanya digunakan untuk
bunuh diri agar terhindar dari siksaan lawan.
Karenanya, Jarum itu dinamakan jarum
'Penangkal Siksa'. Orang ini merasa lebih baik mati daripada kita siksa untuk
membocorkan rahasianya."
Setelah diam sebentar memandangi
jarum itu, Pendekar Mabuk segera pandangi
Perawan Sinting yang telah berdiri dan
menghembuskan napas panjang.
"Rupanya kau mengenal siapa mereka,
sehingga kau tahu nama dan kegunaan jarum
ini"!"
"Kira-kira begitu," jawab Perawan Sinting sambil memandang sekeliling tempat
itu. Suaranya terdengar kembali setelah ia berada
di bawah pohon dan menyandarkan tangan
kirinya. "Mereka pasti orang-orang Istana
Tengkorak."
"Aku baru mendengar nama tempat itu.
Lalu apa hubungannya dengan penyerangan
ini"!"
"Entah. Yang jelas, aku tidak punya
urusan dengan Pangeran Cabul."
"Siapa Pangeran Cabul itu?"
"Penguasa Istana Tengkorak," jawab
Perawan Sinting dengan tegas.
Sambungnya lagi, "Karena aku tak
merasa punya urusan dengan Pangeran
Cabul, berarti maut yang datang tadi
ditujukan untukmu!"
"Untukku..."! Oh, aku juga tak kenal
dengan Pangeran Cabul!" bantah Suto
Sinting. "Bahkan mendengar namanya saja
baru sekarang."
Perawan Sinting menatap dengan dahi
sedikit berkerut. Lalu, hati Perawan Sinting
mempertimbangkan pengakuan Suto tadi.
"Pertanyaan-pertanyaannya
menunjukkan bahwa ia memang asing
dengan nama Pangeran Cabul. Aku pun tak
pernah melihat tampangnya berkeliaran di
daerah ini. Tapi mengapa orang-orang istana
Tengkorak itu menyerang dengan senjatasenjata mematikan"! Siapa yang diserang
sebenarnya" Kalau kulihat arah pisau dan
senjata rahasia itu, sepertinya sengaja
diarahkan kepadanya, bukan kepadaku."
Pendekar Mabuk segera ajukan tanya,
"Apakah kau tahu di mana letak istana
Tengkorak?"
"Aku tahu, tapi aku tak mau antarkan
kau ke sana!" jawab Perawan Sinting.
"Cukup kau tunjukkan arah dan ciri-ciri
tempatnya. Aku akan temui Pangeran Cabul
sendiri dan meminta penjelasan terhadap
penyerangan orang-orangnya ini!"
Perawan Sinting sunggingkan senyum
tipis. "Kau cari mampus jika ke sana!"
"Kalau dia tidak memusuhiku, tentunya
aku tidak akan mati di tangan Pangeran
Cabul!" "Apakah kau sudah siap melayani
Pangeran Cabul?"
Pendekar Mabuk heran dan kerutkan
dahi lagi. "O, jadi Pangeran Cabul itu seorang
perempuan?"
"Seorang lelaki!" jawab Perawan Sinting cepat. "Dia adalah seorang lelaki yang
mempunyai gairah bercinta dengan seorang
lelaki juga."
"Hahh..."! Maksudmu... dia mempunyai
kelainan bercinta"!"
"Tepat! Karenanya kukatakan tadi, aku
tidak punya urusan dengan Pangeran Cabul,
sebab Pangeran Cabul tidak bergairah
terhadap seorang perempuan. Bahkan ia
selalu bersikap baik terhadap kaum wanita."
Pendekar Mabuk jadi terbengong
melompong. Beberapa saat setelah ia
tertegun, Perawan Sinting segera
perdengarkan suaranya yang sedikit serak
bagai orang banyak berteriak itu.
"Kita berpisah sampai di sini. Aku harus
mengejar Rogana!"
"Perawan Sinting, tunggu dulu!"
Gadis itu hentikan langkahnya,
pandangi Suto yang mendekat dengan
langkah cepat. "Kau masih ingin memburu Rogana"!"
"Aku harus membalas dendam atas
kematian guruku satu purnama yang lalu."
"Kurasa...."
"Aku tahu," sahut Perawan Sinting. "Aku tahu kalau Rogana itu berilmu tinggi.
Jika tidak berilmu tinggi, tak mungkin ia bisa
membunuh guruku. Dan aku juga tahu, tidak
mudah menemukan tempat kediaman si
manusia badak itu. Tapi semua itu tak
membuatku harus hentikan pembalasan. Dia
berhutang nyawa padaku dan harus
membayarnya dengan nyawa."
"Kau bisa celaka jika masih
mengejarnya, Perawan Sinting. Kau bisa mati
terbakar dalam batu berapi seperti tadi!"
"Mati itu biasa," ujarnya dengan kalem.
"Semua orang pasti mati. Mengapa harus
ditakuti" Mengapa harus dihindari" Mati
sekarang dengan besok, sama saja."
"Tapi setidaknya jika kau mati besok,
kau masih bisa mengukir sejarah perjalanan
hidupmu." "Perjalanan hidup itu sama saja. Besok,
sekarang, lusa, semuanya sama. Dalam
perjalanan hidup hanya ada dua hal yang
saling berpasangan: baik-buruk, sehat-sakit,
sedih-gembira, siang-malam... hanya itu yang
ada dalam sejarah."
Suto terbungkam bagai mendapat
petuah dari orangtua. Perawan Sinting
sunggingkan senyum pendek dan tipis, ia
menepuk-nepuk bahu Suto.
Pluk, pluk, pluk...!
"Laki-laki tak boleh takut mati!"
Suto memandang dengan hati
menggerutu. Perawan Sinting makin perlebar
senyum. "Mati itu sehat!"
"Mati kok sehat"!" gerutu Suto.
"Buktinya, pernahkah kau dengar ada
orang mati pergi ke tabib karena kena
penyakit" Pernahkah kau dengar ada orang
mati mengeluh pinggangnya pegal atau
kepalanya pusing" Nah, berarti mati itu
sehat!" "Untuk apa sehat kalau tak punya
nyawa!" "Untuk dikubur!" jawab Perawan Sinting seenaknya.
Setelah menjawab begitu, Perawan
Sinting segera melesat tinggalkan tempat.
Gerakannya begitu cepat dan sukar diikuti
oleh pandangan mata. Tetapi Pendekar
Mabuk merasa cemas dan tak rela jika gadis
secantik itu harus mati di tangan manusia
badak yang menyeramkan. Di samping itu ia
belum mendapat penjelasan tentang di mana
letak istana Tengkorak. Maka dengan
pergunakan jurus 'Gerak Siluman', gadis itu
segera disusulnya.
"Setidaknya aku harus mendampinginya
agar tak mati di tangan si manusia badak
itu!" pikir Suto sambil melesat melebihi kilat.
Tanpa disadari hati Suto merasa senang
dengan lagak dan gaya si Perawan Sinting itu.
Terlebih setelah ia membayangkan saat
menyentuh gumpalan hangat di dada
Perawan Sinting, debar-debar keindahan
membakar semangat Suto untuk tetap dekat
dengan gadis itu.


Pendekar Mabuk 085 Perawan Sinting di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Zlaaap, zlaaap, zlaaap...!
Pendekar Mabuk sempat kehilangan
arah sejenak, ia tak melihat gerakan Perawan
Sinting lagi. Sementara hatinya sempat ragu
dan tak mengerti harus melangkah ke mana.
Wuuuk...! Wwwes...!
Pendekar Mabuk naik ke atas pohon.
Dari ketinggian itu ia berharap dapat melihat
lebih leluasa lagi dan bisa menemukan
gerakan Perawan Sinting.
Namun harapannya itu tidak terkabul.
Justru yang dilihatnya adalah sesuatu yang
sedang bergerak menuruni sebuah bukit.
Sesuatu yang dilihatnya itu adalah iringiringan pengusung tandu yang dikawal oleh
delapan orang dan dipukul oleh empat orang.
"Tandu dari mana itu" Siapa yang ada di
dalam tandu tersebut" Apakah si Pangeran
Cabul"!" ujar Suto bicara sendiri.
"Sebaiknya kuikuti mereka, siapa tahu
memang orang istana Tengkorak. Sebab
kebanyakan mereka berpakaian biru muda."
Zlaaap, zlaaap...!
Dalam beberapa kejap saja Suto Sinting
sudah tiba di jalanan yang akan dilalui iringiringan pengusung tandu itu. Ia masih
bersembunyi di atas pohon dan
memperhatikan mereka dengan teliti. Hati
menjadi sangsi, karena bentuk pakaian para
pengiring tandu itu tidak mirip pakaian
keempat orang Istana Tengkorak yang tewas
di tangan Perawan Sinting tadi.
"Sepertinya mereka bukan orang Istana
Tengkorak. Tapi barangkali mereka
mengetahui di mana arah Istana Tengkorak
itu. Aku sangat penasaran dan tak bisa
tenang jika belum mendapat penjelasan siapa
sebenarnya yang ingin dibunuh oleh orangorang Istana Tengkorak itu," ujar Suto
membatin. Namun sebelum Suto Sinting bergerak
menghampiri iring-iringan tandu berlapis kain
merah rapat itu, tiba-tiba mereka hentikan
langkah setelah kemunculan seorang kakek
berjubah abu-abu. Kakek berambut putih
rata yang memegang tongkat kayu berbentuk
seperti tulang itu sengaja menghadang
langkah para pengiring tandu, ia melompat
dari balik semak seberang Suto.
Delapan orang pengawai tandu segera
bergerak memagari tandu tersebut. Senjata
mereka pun segera dicabut dan siap tempur,
kecuali dua orang lelaki muda berjubah hijau
dan kuning. Dua lelaki yang rambutnya digulung dan
diikat dengan kain pita merah itu agaknya
mempunyai jabatan tinggi di antara enam
orang pengawal tersebut. Mereka berdua
bersenjata pedang dengan sarung pedang
cukup bagus, berkesan mewah. Dengan
gerakan isyarat, si jubah merah
memerintahkan para pengawal untuk
mengepung kakek kurus berjubah berjanggut
pendek dan berkumis lebat warna putih itu.
Sang kakek yang berusia sekitar tujuh puluh
tahun tampak tenang-tenang saja. Bahkan
sesekali kelihatannya nyengir sambil
pandangi para pengepung.
"Siapa kakek berjubah abu-abu itu?"
tanya Suto dalam hatinya, ia segera pindah
pohon agar bisa melihat lebih dekat lagi.
Terdengar suara si jubah kuning berseru
kepada sang kakek.
"Lagi-lagi kau ingin mengacaukan
perjalanan kami, Tulang Geledek!"
"Semasa kalian masih menjadi
pecundang si buruk muka itu, aku tetap akan
menghalangi langkah kalian!" kata sang
kakek yang ternyata bernama Tulang Geledek
itu. "Tapi kami tidak ada urusan denganmu,
Tulang Geledek"!" sahut si jubah hijau.
"Apakah kau tak menyesal kalau sampai aku tega membunuhmu"!"
"Heh, heh, heh...! Kau tak perlu
menggertakku, Jurik Rawa! Apakah kau pikir
jika kau sudah bersama Raden Lontar maka
aku akan takut menghadapi gertakanmu"
Hah...! Sepuluh Raden Lontar dan sepuluh
Jurik Rawa tidak akan membuatku mundur,
terutama jika di belakangku ada tembok
besar! Heh, heh, heh...!"
"Bicaramu sengaja memancing
amarahku, Tulang Geledek!" sentak si jubah kuning yang ternyata bernama Raden
Lontar itu. Sedangkan si jubah hijau yang bernama
Jurik Rawa itu segera maju dua langkah dan
mencabut pedangnya. Sreet...!
"Tak perlu melibatkah sahabatku; Raden
Lontar! Cukup aku seorang yang akan
melawanmu, Tulang Geledek! Bersiaplah
menghadapi ajalmu yang sudah ada di ujung
pedangku ini!"
Tulang Geledek justru terkekeh-kekeh,
meremehkan ancaman si Jurik Rawa yang
berbadan tegap dan kekar walau tak seberapa
tinggi itu. Suto Sinting membatin, "Apa persoalan
mereka sebenarnya"!"
* * * 4 JURIK Rawa lepaskan serangan
pertama, menerjang Tulang Geledek dengan
pedang berkelebat dari samping kanan ke
samping kiri. Wees...! Tulang Geledek hanya
lompat mundur sedikit. Jleeg...! Pedang tidak
kenai sasaran apa-apa. Tapi Tulang Geledek
segera kibaskan tongkatnya dalam gerakan
yang tak bisa terlihat oleh lawannya. Wuut...!
Lalu tongkat disodokkan ke depan. Suut...!
Buuhk...! "Eehk...!" Jurik Rawa mendelik, ulu hatinya tersodok tongkat Tulang Geledek.
Langsung mulutnya ternganga dan
semburkan darah segar.. Bruus...!
Melihat tubuh Jurik Rawa terbungkuk,
Tulang Geledek segera hantamkan tongkatnya
ke tengkuk kepala lawan. Wuuut...! Deeb...!
Tongkat berhenti di atas tengkuk kepala Jurik
Rawa, hanya berjarak satu ruas kelingking
saja dari tengkuk itu.
"Kau sudah mati, Jurik Rawa!" ujar si kakek berjubah abu-abu. "Tapi aku masih
beri kesempatan padamu untuk sadar akan
kekeliruan langkahmu! Kembalikan gadis
dalam tandu ke tempatnya, lalu nikmati sisa
hidupmu dengan damai."
Tulang Geledek angkat tongkatnya
kembali, ia bergerak mundur dan tegak.
Kalau saja Tulang Geledek mau hantamkan
tongkat itu ke tengkuk kepala Jurik Rawa,
jelas pemuda bertubuh kekar itu akan tewas.
Setidaknya gegar otak. Hal itu disadari betul
oleh para pengepung dan Raden Lontar
sendiri. Tapi agaknya Tulang Geledek punya
kebijakan tersendiri dengan memberikan
kesempatan kepada Jurik Rawa untuk
mengubah sikapnya.
Tetapi bagi Jurik Rawa, kebijakan itu
adalah kesempatan emas untuk
melumpuhkan lawannya, ia tak pernah
membatalkan apa yang sudah dikerjakan.
Untuk mengembalikan gadis dalam tenda,
adalah hal yang tabu bagi Jurik Rawa.
Maka ketika Tulang Geledek ingin bicara
kepada Raden Lontar, tahu-tahu Jurik Rawa
berkelebat dari samping dan menyabetkan
pedangnya dengan cepat. Wees...!
Traak...! Pedang itu berhasil ditangkis
oleh Tulang Geledek. Habis menangkis,
tongkat disentakkan naik. Beet...! Prrok...!
"Aaahhk ..!" Dagu Jurik Rawa remuk
seketika. Darah mengucur dari mulut Jurik
Rawa. "Rupanya kau tak mau diberi
kesempatan untuk hidup lebih layak lagi,
Jurik Rawa! Kalau begitu, bersiaplah kukirim
ke neraka dan bergabunglah dengan orangorang sesat di sana!"
Tulang Geledek bergerak memutar
dengan cepat sekali hingga tak kelihatan
seperti memutar. Wuuut, kraakk...!
Tongkatnya menghantam dada Jurik Rawa.
Dada itu remuk, Jurik Rawa ambruk.
"Gila! Dia seperti tidak bergerak, tapi
tahu-tahu Jurik Rawa roboh dan tak
bernyawa lagi"!" gumam batin sang Pendekar Mabuk. "Untung aku sejak tadi tak
berkedip sehingga sempat melihat kecepatan putar
tubuh si tua Tulang Geledek itu. Hanya
seperti garis! Benar-benar hanya seperti garis yang bergerak melingkar. Ooh...
sungguh hebat kecepatan jurus itu!"
Melihat Jurik Rawa tumbang tanpa
nyawa lagi, Raden Lontar tampak menggeram
penuh murka. Namun ia tidak mau langsung
menyerang Tulang Geledek, ia pergunakan
wewenangnya dengan satu kali ucap saja.
"Serang...!"
Maka para pengepung yang sebetulnya
sudah ciut nyali itu terpaksa maju serempak
menghujamkan senjatanya ke arah Tulang
Geledek. "Heaaaatt...!!"
Tulang Geledek rendahkan kaki dan
memutar tongkatnya di atas kepala satu kali.
Wuuut...! Maka tenaga dalamnya yang
tersalur melalui tongkat itu menyebar ke
berbagai penjuru dan membuat para
pengepung itu terpental tunggang langgang.
Brruss...! Brruk...! Guzraak...! Prrok...!
"Aaaaahhh...!"
Mereka memekik serempak dan terluka
serempak. Tak satu pun ada yang masih
sanggup berdiri tegak. Bahkan yang
sempoyongan atau terpelanting juga tak ada.
Semuanya terlempar ke belakang dan
menemukan nasibnya sendiri-sendiri. Ada
yang kepalanya membentur batu, ada yang
punggungnya menabrak pohon, ada yang
jatuh dengan leher tertekuk dan akhirnya
patah leher, ada pula yang kepalanya terjepit
di sela dua bongkahan batu.
Sementara itu, Raden Lontar yang juga
ikut jatuh terduduk itu hanya menderita sakit
pada tulang tunggirnya. Ia masih bisa cepat
berdiri dan mencabut pedangnya dengan
wajah semakin berang. Sementara empat
pengusung tandu mundur ke bawah pohon
besar dengan meninggalkan tandunya dalam
keadaan masih tertutup. Mereka berempat
saling ketakutan dan siap-siap melarikan diri
jika Raden Lontar ternyata juga kalah
melawan Tulang Geledek.
"Tua-tua masih lincah juga si Tulang
Geledek itu," gumam Suto dalam hati. Ia
menyimpan kekaguman terhadap kecepatan
gerak si Tulang Geledek itu.
"Sekarang kau berhadapan denganku,
Tulang Geledek!"
"Boleh saja," jawab Tulang Geledek
dengan kalem, sambil mengusap-usap
janggutnya yang pendek itu.
"Mau bertarung sampai mati, atau
sampai sekarat saja, atau cuma lecet-lecet
saja?" tantang Tulang Geledek dengan lagak dipaksakan agar kelihatan sombong.
Tapi Pendekar Mabuk yakin, kakek beralis tebal
putih itu sebenarnya bukan orang yang
sombong. Kesombongan itu dilakukan untuk
memancing kemarahan Raden Lontar agar
lebih besar lagi.
"Seseorang yang mempunyai kemarahan
sangat besar dan berkobar-kobar biasanya
akan mengalami beberapa kelemahan,
termasuk kelemahan tenaga dan kelemahan
kewaspadaannya," pikir Pendekar Mabuk
sambil manggut-manggut, mengakui
kecerdasan otak si tua Tulang Geledek itu.
"Kau boleh jumawa di depan mereka,
Tulang Geledek. Kau boleh bangga melawan si
lemah Jurik Rawa. Tapi melawanku, jangan


Pendekar Mabuk 085 Perawan Sinting di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

coba-coba berkedip satu kali pun, Tulang
Geledek. Pedang ini akan menari di lehermu
pada saat kau kedipkan mata!" gertak Raden Lontar.
"O, sehebat itukah jurus pedangmu"
Kalau begitu aku akan pejamkan mata dari
sekarang saja, biar pedangmu tak sempat
menari-nari di leherku! Aha...! Heh, heh,
heh...! Sudah terpejam apa belum ini"!"
sambil Julang Geledek menyodorkan
wajahnya dalam keadaan mata terpejam kuatkuat. Lagaknya yang kocak itu membuat Suto
Sinting buru-buru menutup mulutnya karena
ingin tertawa dengan suara menyentak.
"Bedebah kau, Tua Keropos! Hiaaat...!"
Wuuut...! Claap. .!
Raden Lontar tidak pergunakan
pedangnya, melainkan pergunakan tangan
kirinya menyentak ke depan dalam keadaan
mengepal. Dari kepalan tangan kiri itu
melesatlah selarik sinar panjang tanpa putus
warna biru berasap tipis.
"Lho, kenapa pakai sinar"!" ujar Tulang Geledek sambil masih tetap pejamkan
mata, tapi tongkatnya disodokkan ke depan. Kepala
tongkat dihantam sinar biru itu. Teees...!
Sinar itu belum putus, masih seperti bor yang
ingin melubangi kepala tongkat yang
berbentuk seperti tulang itu.
Raden Lontar bertahan pula keluarkan
tenaga dalamnya dalam bentuk sinar biru
berasap tipis, sedangkan Tulang Geledek juga
bertahan mendorong sinar itu dengan
tongkatnya. Kedua kaki Tulang Geledek
merendah, tangan kirinya terangkat sedikit di
atas kepala, tangan kanannya menahan
tongkat dengan gemetar. Sedikit demi sedikit
Tulang Geledek bergerak maju, membuat
Raden Lontar terdesak mundur.
"Wah, ini baru seru," puji Suto Sinting dalam hati sambil berwajah ceria.
Namun wajah ceria Suto tiba-tiba lenyap
begitu melihat Raden Lontar sentakkan
pedang lurus ke depan dan dari ujung pedang
keluar sinar merah kecil yang melesat ke arah
dada kiri si Tulang Geledek. Slaaap...!
"Heaah...!" Tulang Geledek segera
hadangkan tangan kirinya dalam satu
sentakan pendek. Tangan kiri itu
mengepulkan asap tebal warna putih. Lalu
sinar merahnya Raden Lontar tertahan
tangan berasap itu. Dees...! Sementara kedua
mata Tulang Geledek masih tetap terpejam
kuat-kuat. Kedua orang itu saling kerahkan tenaga
hingga tubuh mereka bergetar. Kedua sinar
itu pun belum mau padam dan masih
menjadi saluran adu tenaga dalam. Hanya
saja, Tulang Geledek masih terus bergerak
maju walau dengan geserkan kakinya,
sedangkan Raden Lontar terdesak mundur
dengan peluh mulai bercucuran.
Dalam keadaan kerahkan tenaga, Raden
Lontar masih sempat perintahkan kepada
anak buahnya yang tampak sudah mulai
bangkit itu. "Serbu...!" suara Raden Lontar terdengar
berat sekali. Dua orang di belakang Tulang Geledek
segera menerjang bersama-sama
menggunakan golok mereka masing-masing.
"Heeaat...!"
Cras, breet...!
"Aaaahk...!" Tulang Geledek terpekik dalam keadaan punggungnya luka dua
bacokan. Luka itu ternganga lebar dengan
darah mengalir mengerikan. Tapi kakek itu
masih mampu menahan dua sinar yang
datang dari Raden Lontar walau dengan
menyeringai menahan sakit dan salah satu
kakinya mulai jatuh berlutut.
"Curang!" geram Pendekar Mabuk, ia
bergegas ingin membantu Tulang Geledek
ketika dilihatnya dua orang bersenjata golok
itu akan bergerak menyerang Tulang Geledek
lagi. Tetapi niat Suto itu buru-buru
ditahannya, karena ia melihat sekelebat
bayangan menerjang kedua anak buah Raden
Lontar yang sedang melompat ke arah Tulang
Geledek. Wuuut, weees...! Prak, prook...!
Bayangan itu berupa sosok tubuh tinggi
berbadan kencang yang segera menyentakkan
kedua kakinya ke kanan kiri hingga kenai
kepala kedua anak buah Raden Lontar
tersebut. Tendangan serempak itu ternyata
membuat kedua kepala menjadi retak,
sehingga kedua anak buah Raden Lontar itu
terpental dan jatuh dalam keadaan sekarat.
"Perawan Sinting"!" gumam Suto dengan tegang dan mulai berseri-seri kembali.
Ternyata orang yang membantu Tulang
Geledek itu adalah si gadis berompi ungu
yang punya gerakan sangat cepat itu.
Perawan Sinting segera melompat di
pertengahan jarak dari belakang Tulang
Geledek ke depan melewati kepala Pak Tua itu
tanpa permisi dulu. Wuuuk...! Jlleeg...!
Ia berdiri dengan kaki merendah
menghadap Raden Lontar. Lalu kedua sinar di
kanan-kirinya yang sedang ditahan Tulang
Geledek itu segera diambil alih dengan kedua
telapak tangannya yang sudah bercahaya
hijau bening itu.
"Biar kuselesaikan dia!" seru Perawan Sinting, kemudian kedua tangan yang
menyala hijau itu memotong sinar biru dan
merah di kanan-kirinya. Zuuuubs...!
Tulang Geledek tidak menahan kedua
sinar itu lagi. Tapi ia segera roboh walau tak sampai tersungkur karena luka
parah di punggungnya. Sementara itu, Perawan
Sinting segera kerahkan tenaga dalamnya
untuk melawan dua sinar Raden Lontar itu.
"Hiaaaah...!!"
Pekik si Perawan Sinting sambil kedua
kakinya menghentak ke tanah bersamaan.
Kemudian secara pelan-pelan dari kedua
telapak tangan itu keluar sinar hijau bening
yang makin lama makin menjulur maju,
mendesak kedua sinar dari Raden Lontar.
"Haaahh...!!" teriak Perawan Sinting lagi sambil sentakkan satu kali ke tanah.
Maka sinar hijau yang keluar dari tangannya itu
bergerak cepat dan mendesak kedua sinar
dari Raden Lontar.
Wuuuuurrss...! Blegaaarrrr...!
"Aaaahhkk...!!" Raden Lontar memekik keras-keras dalam keadaan terlempar ke
belakang bersamaan suara ledakan yang
menggelegar. Brruuuss...! Raden Lontar jatuh di semak-semak tak
jauh dari pohon yang dipakai bersembunyi
oleh Suto Sinting. Karenanya, Pendekar
Mabuk dapat melihat dengan jelas keadaan
Raden Lontar yang amat menyedihkan itu.
Pemuda berpakaian serba kuning itu
nekat keluar dari semak-semak dengan
merangkak. Pakaiannya sudah berubah
menjadi kuning kehitam-hitaman. Wajahnya
yang bersih pun menjadi abu-abu. Pedangnya
hancur, tinggal gagang yang masih dipegangi
terus itu. Sedangkan tangan kirinya yang tadi
keluarkan sinar biru itu telah hancur sebatas
pergelangan tangan, ia tak punya telapak
tangan kiri lagi.
"Perawan Sinting...!" geram Raden Lontar menyeramkan. "Perempuan terkutuk kau!
Tunggu saat pembalasanku nanti, Jahanam!!"
Raden Lontar segera melesat pergi dalam
keadaan terluka amat parah. Perawan Sinting
tidak mengejarnya, hanya tersenyum sinis
sambil pandangi kepergian Raden Lontar.
Sementara para anak buah Raden Lontar
yang masih sempat bernyawa walau dalam
keadaan terluka, segera melarikan diri
menyebar arah. Masing-masing mencari
selamat sendiri-sendiri, demikian pula empat
pengusung tandu tersebut. Sedangkan tandu
merah itu masih tetap berada di tempatnya
tanpa ada yang mengusik sejak tadi.
Perawan Sinting mulai tegang begitu
melihat keadaan Tulang Geledek. Ia segera
hampiri Pak Tua itu dengan sapaan yang
menandakan sudah saling kenal.
"Eyang...! Bertahanlah, aku akan
mencari obat untuk lukamu!"
Pendekar Mabuk segera membatin,
"Sudah saatnya aku muncul."
Zlaaap...! Dalam sekejap saja ia sudah
berada di belakang Perawan Sinting.
Kehadirannya tak diketahui oleh gadis itu,
namun membuat Tulang Geledek
memandangnya dengan wajah menyeringai
menahan rasa sakit.
"Barangkali beliau butuh tuakku ini,
Perawan Sinting."
Kata-kata lembut dan bernada kalem itu
mengejutkan Perawan Sinting. Dari raut
wajahnya, gadis itu tampak lega begitu
melihat kehadiran Pendekar Mabuk. Namun
kelegaan itu tidak ditonjolkan dan ia bersikap dingin-dingin saja.
"Tolong beri minum tuakmu kepada
Eyang Tulang Geledek ini!" kata Perawan Sinting bernada memerintah.
Dengan meneguk tuak sakti si Pendekar
Mabuk, luka lebar di punggung Tulang
Geledek akhirnya merapat kembali. Kakek
bertubuh kurus jangkung itu mampu berdiri
tegak, badannya terasa lebih segar dari saat
sebelum lakukan pertarungan dengan Jurik
Rawa. Melihat sosok pemuda tampan dengan
bumbung tuak dan baju coklat celana putih,
Tulang Geledek segera kerutkan dahi dan
berucap kata bagai orang menggumam.
"Sepertinya... aku belum pernah
bertemu denganmu, Nak. Siapa kau
sebenarnya"!"
"Aku.... Suto Sinting, Eyang," jawab Suto ikut-ikutan memanggil Eyang.
"Ooo... jadi kau kakaknya si Perawan
Sinting ini"!"
"Bukan!" sahut Perawan Sinting. "Dia Suto Sinting, dan aku Perawan Sinting. Tak
ada hubungan saudara atau apa pun!"
"Ooo... jadi kalian cuma sama-sama
Sinting"!"
Perawan Sinting tampak kesal dan
melirik Suto dengan sinis, sementara Suto
justru tersenyum geli sambil lemparkan
pandangan ke arah lain dalam sekejap.
Kemudian sang Pendekar Mabuk berkata
dengan sopan kepada Tulang Geledek.
"Kami baru hari ini saling bertemu dan
berkenalan. Hmm... sepertinya memang
antara aku dan Perawan Sinting tak ada
hubungan apa-apa, Eyang!"
"Ah, kalian pasti sedang saling
bertengkar sehingga tak mau saling mengaku
saudara. Kalian pasti kakak-beradik.
Buktinya kalian berdua sama-sama Sinting!"
Perawan Sinting segera menarik baju
Pendekar Mabuk untuk jauhi Tulang Geledek.
Gadis itu berbisik dengan nada menggeram
jengkel. "Apa kubilang tadi"! Gantilah namamu!
Jangan Suto Sinting!"
"Memang itu namaku. Kau saja yang
ganti; jangan Perawan Sinting."
"Tidak bisa! Kau yang harus ganti
nama!" tegas gadis itu. "Ganti dengan nama Suto Sableng!"
"Tidak mau! itu nama sahabatku si Bayu
Sableng! Nanti disangkanya aku ikut-ikutan
dia!" bantah Suto dengan ngotot.
Rupanya Tulang Geledek mendengar
perdebatan itu, sehingga ia pun segera ikut
berkata, "Sudahlah, sesama orang sinting
dilarang saling berdebat! Nanti keputusan
kalian serba sinting semua."
Pendekar Mabuk dan Perawan Sinting
sama-sama menarik napas. Mereka
perhatikan langkah Tulang Geledek yang
sedang mendekat.
"Lebih baik kita urus gadis dalam tandu
itu!" seraya Tulang Geledek menuding tandu merah yang masih tetap pada tempatnya
itu.

Pendekar Mabuk 085 Perawan Sinting di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suto Sinting merasa heran dan segera
ajukan tanya. "Dari mana kau tahu kalau tandu itu
berisi seorang gadis, Eyang Tulang Geledek"!"
"Raden Lontar dan Jurik Rawa adalah
begundalnya si manusia badak; Rogana."
"Ooo...," Suto Sinting manggut-manggut karena baru mengerti akan hal itu,
sedangkan Perawan Sinting tetap tenang karena ia sudah
mengetahui sepak terjang Raden Lontar dan
Jurik Rawa. Tulang Geledek lanjutkan kata, "Setiap
mereka menyerahkan seorang gadis sebagai
pemuas gairah Rogana, maka Rogana akan
memberinya upah dengan menurunkan satu
ilmu kesaktiannya. Raden Lontar yang lebih
Sepasang Garuda Putih 1 Candika Dewi Penyebar Maut I I I Harpa Iblis Jari Sakti 23

Cari Blog Ini