Ario Bledek Petir Di Mahameru 04 Bagian 1
ARIO BLEDEG Pendekar Keris Tujuh Petir
Karya: Bastian Tito
Petir Di Mahameru (Bagian 4)
ENAM BELAS API DENDAM MULAI BERKOBAR
BERSAMAAN dengan menyingsingnya fajar, gerobak yang ditarik dua ekor kuda besar
itu memasuki pintu gerbang keraton. Waktu itu Kerajaan berada dalam keadaan
kemelut, pengawalan dilakukan sangat ketat. Prajurit bertebaran di seluruh
pelosok Kotaraja. Keraton dijaga ratusan pasukan siang malam. Semula para
pengawal di pintu gerbang hendak menghentikan gerobak. Namun ketika melihat
siapa yang duduk di bagian depan gerobak, dengan cepat mereka membuka pintu
gerbang lebar-lebar, memberi jalan. Bertindak sebagai sais kereta adalah
prajurit kepala Gedeng Kemitir. Di sebelahnya duduk gagah orang tua berjubah
kuning berambut riap-riapan. Didadanya tergantung melintang sebuah tombak yang
pada ujungnya terikat sehelai bendera kuning berbentuk segi tiga. Dia bukan lain
adalah Ki Dalem Sleman,tokoh silat Istana.
Di lantai gerobak tergeletak jenazah Pangeran Tua Sekar Seda Lepen. Di lehernya
kelihatan luka besar menguak, agak tertutup oleh darah yang membeku. Itulah
bekas luka tusukan golok Perwira Muda Tubagus Lor Putih. Perwira Kerajaan
Brajanala yang sedang sakit ketika diberitahu kedatangan Ki Dalem Sleman membawa
jenazah Pangeran Tua Sekar Lepen serta merta turun dari pembaringan. Setelah
mencuci muka dan berpakaian dengan langkah menghuyung dia segera menuju halaman
depan Keraton. Begitu menyaksikan sendiri mayat Pangeran Tua dan bicara sebentar
dengan Ki Dalem Sleman, Brajanala membawa tokoh silat Istana itu ke ruang dalam,
bersama-sama menghadap Sultan Prawoto. Seluruh penghuni keraton terjaga. Ini
adalah satu peristiwa besar. Pangeran Tua Sekar Seda Lepen yang oleh pihak
Keraton dianggap sebagai pemberontak berhasil ditewaskan dan jenazahnya dibawa
sendiri oleh tokoh silat Istana, Ki Dalem Sleman. Setelah cukup lama menunggu
akhirnya Sultan Prawoto muncul menemui Brajanala dan Ki Dalem Sleman. Setelah
menerima penjelasan dari Perwira Brajanala Sultan Prawoto berucap.
"Ki Dalem Sleman, ini satu peristiwa besar bagi Kesultanan Demak. Kau tahu
sendiri, mata-mata kita sudah sejak lama mengikuti gerak-gerik Pangeran Tua. Itu
sebabnya, karena sakitnya Perwira Brajanala, aku mengirim Perwira Muda Tubagus
Lor Putih untuk mencegatnya di sungai. Ternyata dia tidak mampu berbuat banyak.
Kalau kau tidak turun tangan kemungkinan besar Pangeran Tua itu berhasil
melarikan diri waktu dicegat di sungai. Memalukan sekali, Tubagus Lor Putih
hanya bisa membunuh Pangeran Tua ketika Pangeran Tua berada dalam keadaan
pingsan tak berdaya. Anak-anakpun bisa melakukannya!"
"Sultan, dengan izin Sultan saya akan memecat Perwira Muda itu. Kalau perlu
memenjarakannya!" kata Perwira Tinggi Brajanala yang jadi marah besar setelah
mendengar keterangan Ki Dalem Sleman atas apa yang terjadi.
"Lakukanlah tugasmu, Perwira," jawab Sultan lalu berdiam diri sesaat. "Aku
merasa lega, musuh paling besar dan paling berbahaya bagi Kerajaan telah
disingkirkan. Namun sebagai manusia biasa aku merasa haru, sedih, duka cita yang
mendalam. Bagaimanapun juga Pangeran Tua Sekar Seda Lepen adalah masih kakekku
juga. Jenazahnya perlu diurus dengan baik. Ki Dalem Sleman, mengingat Perwira
Brajanala masih dalam keadaan sakit, aku menugaskan mu untuk membawa jenazah
Pangeran Tua, menyerahkannya pada puteranya, Arya Penangsang."
"Saya siap melakukan perintah," jawab Ki Dalem Sleman seraya membungkuk dan
menambahkan. "Saya sudah mengabdi sejak masa ayahanda Sultan,Sultan Trenggono. Pengabdian
saya tidak akan terputus, kecuali Tuhan memanggil saya terlebih dahulu."
Sultan mengangguk. "Ki Dalem tahu dimana Arya Penangsang berada?"
"Terakhir sekali dia berada di desa Pilangsari di selatan Demak. Namun seorang
mata-mata memberi tahu dua hari lalu, putera Pangeran Tua itu terlihat di
Welahan, satu desa di kawasan barat Kudus. Saya akan mengirim seseorang
mendahului saya ke sana. Jadi jika jenazah sampai, Arya Penangsang sudah
bersiap-siap menerimanya."
"Bagus sekali langkah yang Ki Dalem ambil," kata Sultan pula. "Namun harap
berhati-hati. Arya Penangsang kalap mendadak melihat mayat ayahanda!
Tidak mustahil dia akan melakukan tangan jahat terhadap Ki Dalem."
"Saya bisa mengerti kalau dia sampai berbuat begitu. Saya akan berhati-hati."
"Aku percaya Ki Dalem bisa mengatasi urusan. Dan atas jasa besarmu ini aku akan
memberi tahu Bendaharawan Istana untuk melipat gandakan santunan bulanan atas
nama Ki Dalem...."
"Sultan, sebenarnya saya tidak mengharapkan imbal jasa apa-apa," kata Ki Dalem
Sleman sambil membungkuk. "Semua yang saya lakukan adalah menjadi tugas dan
tanggung jawab semata." Sultan berpaling pada Brajanala. "Perwira, ketatkan
pengawalan atas Keraton. Lipat gandakan kekuatan prajurit di seluruh Kerajaan
dan sebar mata-mata sebanyak mungkin. Aku punya firasat, tewasnya Pangeran Tua
akan mendatangkan hal-hal yang tidak kita inginkan. Terutama dari pihak yang
tidak menyukai tahta Kerajaan berada di tanganku."
Perwira Brajanala mengangguk. Setelah membungkuk memberi hormat dia segera
meninggalkan tempat itu. Tapi Sultan berkata. "Satu hal lagi Perwira. Harap
dikirim seorang utusan untuk menemui Joko Tingkir. Sejak ayahanda mangkat dia
seperti menghilang begitu saja. Sebagai menantu ayahanda, dia tidak layak
berbuat begitu. Aku tahu dia tengah merampungkan beberapa ilmu kesaktian di satu
tempat terpencil. Cari dia, minta dia segera datang ke Kotaraja menemuiku. Kita
perlu bantuan tenaga dan pikirannya."
"Akan saya lakukan Sultan," kata Perwira Brajanala. Sesaat setelah Perwira
Tinggi Kerajaan itu berlalu, Ki Dalem Sleman minta diri pula dengan alasan
segera hendak mengurus jenazah Pangeran Tua Sekar Seda Lepen. Namun yang pertama
sekali dilakukannya adalah menyusul Brajanala. Di satu lorong Keraton dia
berhasil mengejar Perwira itu. Keduanya saling bercakap berbisik-bisik.
"Tugas dari Sultan harus kita lakukan. Tapi dengar baik-baik Brajanala. Apapun
yang terjadi jangan kau pergi mencari Joko Tingkir. Kehadiran ipar Sultan itu di
dalam Keraton sama saja dengan mendatangkan seekor harimau berbahaya bagi kita
dan teman-teman. Bisa mendatangkan bencana!"
"Ki Dalem Sleman, aku sudah tahu hal itu. Kau tak usah khawatir," jawab
Brajanala. "Sekembalinya kau menemui Arya Penangsang, kita segera mengadakan
pertemuan dengan teman-teman. Satu hal kau ingat baik-baik Ki Dalem.
Kepandaianmu bicara akan sangat menentukan. Kita semua berharap bisa menarik
putera mendiang Pangeran Tua itu agar masuk ke dalam barisan kita!"
Ki Dalem Sleman tersenyum lalu berkata. "Banyak orang akan meratap di atas
genangan darah. Tapi kita dan teman-teman mungkin masih bisa menari di atas
genangan darah itu."
"Kerajaan dilanda kekacauan. Ini kesempatan kita mengeruk keuntungan. Mengeruk
uang, harta dan jabatan!" jawab Perwira Tinggi Brajanala pula sambil mengulum
senyum. *** TUBUH Arya Penangsang bergetar hebat. Dua tangannya terkepal laksana batu. Dua
mata terpejam. Rahang mengatup, mulut terkancing. Dari ubun-ubun di atas
kepalanya mengepul asap tipis. Dada bergelombang dan tenggorokannya turun naik.
Di kiri kanannya orang-orang bertangisan. Ibunya, beberapa saudara sekandung,
keluarga terdekat dan teman-teman. Rumah besar di desa Welahan itu penuh dengan
orang-orang yang datang untuk menyampaikan rasa duka cita atas tewasnya Pangeran
Tua Sekar Seda Lepen. Dua tangan Arya Penangsang bergerak, memegang pinggiran
peti jenazah yang penutupnya sengaja dibuka. Di seberang peti, di depan Arya
Penangsang tegak tertunduk Ki Dalem Sleman. Di sebelahnya berdiri Gedeng
Kemitir. Prajurit Kepala yang pernah diselamatkannya ikut menemani Ki Dalem
Sleman mengantarkan jenazah Pangeran Tua Sekar Seda Lepen. Selain itu masih ada
beberapa orang prajurit. Namun di dalam rumah besar itu, dari Demak hanya Ki
Dalem Sleman dan Gedeng Kemitir yang hadir. Prajurit kepala ini yang telah
diselamatkan nyawanya oleh Ki Dalem Sleman. Dua tangan Arya Penangsang bergetar.
Peti jenazah yang dipegangnya ikut bergetar.
"Orang-orang Demak! Kalian harus membayar mahal atas kematian ayahanda ku! Aku
akan menjadikan. Demak sungai darah! Sungai darah yang berhulu di Keraton
Prawoto!" Ratap tangis di sekitar peti jenazah semakin keras begitu semua orang mendengar
ucapan Arya Penangsang itu. Arya Penangsang sendiri yang tidak sanggup menahan
amarah, seperti kalap berteriak keras. Pinggiran peti jenazah hancur berkepingkeping. "Orang-orang Demak keparat! Mana orang Demak! Mana!"
Orang-orang perempuan berpekikan, orang-orang lelaki keluarkan seruan tertahan
ketika tiba-tiba Arya Penangsang menyambar golok besar seorang teman yang
berdiri di dekatnya.
"Kau orang Demak! Kau harus mampus! Kau juga!"
Tiba-tiba sekali Arya Penangsang melompat ke hadapan Gedeng Kemitir. Golok di
tangannya berkelebat ganas ke arah leher prajurit Demak itu. Sesaat lagi leher
Gedeng Kemitir akan tertabas putus, tiba-tiba satu bayangan kuning melesat.
Pergelangan tangan kanan Arya Penangsang tahu-tahu sudah berada dalam satu
cekalan kuat. "Jahanam!" Tua bangka keparat! Kau minta mampus!"
Laksana kilat tangan kiri Arya Penangsang menghantam. Bukan cuma satu kali, tapi
dua kali berturut-turut.
"Bukkk!"
"Bukkk!"
Ki Dalem Sleman adalah tokoh silat Istana paling disegani. Tingkat ilmu silat
dan kesaktiannya dikagumi teman ditakuti lawan. Tidak mudah untuk bisa
menjatuhkan tangan terhadapnya. Tapi saat itu dia sama sekali tidak menduga
kalau Arya Penangsang akan menghantamnya demikian rupa. Ki Dalem Sleman
terlempar sampai beberapa langkah. Mukanya agak pucat. Dari sela bibirnya
kelihatan lelehan darah. Jelas dia menderita luka dalam cukup parah akibat
hantaman tangan kiri Arya Penangsang. Walau demikian, sambil menahan rasa sakit
dia masih sempat melontarkan senyum dan bolang balingkan golok besar berhasil
dirampasnya dari tangan Arya Penangsang. Golok dimelintangkannya di depan dada
lalu berucap. "Raden Arya, harap tenang. Kendalikan amarah! Kekerasan tidak akan menyelesaikan
perkara. Kami datang dengan ikhlas untuk mengantar jenazah karena kami sangat
menghormati mendiang Pangeran Tua Sekar Seda Lepen....."
Ucapan Ki Dalem Sleman terputus oleh bentakan Arya Penangsang.
"Siapa percaya mulut busuk orang Demak!" Untuk kedua kalinya Arya Penangsang
melompat kirim kan serangan. Kali ini dengan pukulan tangan kosong mengandung
tenaga dalam dan hawa sakti tinggi.
"Maafkan saya Raden Arya," kata Ki Dalem Sleman. Tokoh Istana Demak ini tidak
rela menerima hantaman orang untuk kedua kalinya. Dengan tenang dia kebutkan
lengan jubah sebelah kanan.
"Wutttt!"
Satu gelombang angin deras menderu ke arah Arya Penangsang. Membuatnya terdorong
walau dia sudah kerahkan tenaga untuk bertahan. Dalam marahnya dia coba memukul
dengan dua tangan sekaligus. Tapi terlambat. Saat itu dua jari tangan kanan Ki
Dalem Sleman sudah bersarang di dadanya sebelah kiri. Sesaat jalan darahnya
terhenti. Ketika darah kembali mengalir, tubuh Arya Penangsang yang tinggi kokoh
itu telah berubah menjadi patung kaku!
Suasana di dalam rumah besar itu menjadi hening. Keheningan yang disertai
cengkaman ketegangan. Tiba-tiba ada satu suara menggema.
"Raden Arya, tenangkan pikiran, dinginkan hatimu! Jika kau mampu melaksanakan
aku akan meminta pada sahabatku Ki Dalem Sleman untuk membebaskan mu dari
totokan..."
Semua orang, termasuk Ki Dalem Sleman sendiri sama palingkan kepala ke arah
datangnya suara. Yang bicara ternyata adalah seorang bungkuk berpakaian slempang
kain putih. Melihat siapa yang berdiri di depannya, Ki Dalem Sleman segera
rangkapkan dua tangan di depan dada lalu membungkuk hormat.
"Sahabatku Mantre Jembrana. Tidak kusangka kita bisa bertemu di tempat ini dalam
keadaan seperti ini. Harap maafkan. Aku tidak tahu menahu kalau kau...."
"Arya Penangsang adalah menantuku," menerangkan orang tua bernama Mantre
Jembrana. "Ah, aku merasa sangat bersalah. harap maafkan diriku."
"Kau tidak bersalah. Hanya menantuku yang tidak dapat mengendalikan diri."
"Ah," Ki Dalem Sleman menghela nafas dalam.
"Agaknya aku terlalu terburu-buru menurunkan tangan kasar. Maafkan diriku. Biar
aku lepaskan dulu totokan di tubuh menantumu."
Ki Dalem Sleman cepat menghampiri Arya Penangsang lalu tusukkan dua jari tangan
kanannya tepat ke arah mana tadi dia menotok lumpuhkan Arya Penangsang. Begitu
totokan punah, Arya Penangsang merasakan tubuhnya lemas. Kalau Ki Dalem Sleman
tidak lekas memegangnya pasti sosok tubuh besar lelaki itu
akan jatuh terhenyak ke lantai.
"Raden Arya, pekerjaan sahabatku Ki Dalem Sleman mengantar jenazah ayahmu bukan
main-main. Dia tahu kalau pekerjaan itu sama dengan mengantar nyawanya sendiri.
Apakah keberanian, kebaikan dan keikhlasannya itu hendak kau balas dengan
menyerangnya membabi buta" Ingin membunuhnya?"
"Maafkan saya Bapak..." kata Arya Penangsang pula.
"Jangan minta maaf padaku. Minta maaf pada Ki Dalem Sleman."
"Ki Dalem, maafkan saya."
Ki Dalem Sleman tersenyum dan pegang bahu Arya Penangsang.
"Ki Dalem Sleman," berkata Mantre Jembrana.
"Kami semua di sini ingin mendengar bagaimana kejadiannya sampai Pangeran Tua
Sekar Seda Lepen menemui nasib mengenaskan begini rupa. Sehingga kalau kami
menanam dendam, kami tahu dan tidak kesalahan tangan kepada siapa dendam itu
akan kami tumpaskan."
Dalam kisah yang disampaikan Ki Dalem Sleman kepada semua orang yang ada di
tempat itu, Ki Dalem Sleman menceritakan mulai dari tertangkapnya Pangeran Tua
Sekar Seda Lepen sampai akhirnya di bunuh oleh Perwira Muda bernama Tubagus Lor
Putih. Ki Dalem Sleman tentu saja sama sekali tidak menceritakan kalau
sebenarnya dirinya turut ambil bagian dalam penangkapan Pangeran Sekar. Setelah
mendengar penuturan Ki Dalem Sleman, Mantre Jembrana merenung sejenak, dia
melirik pada menantunya Arya Penangsang akhirnya sambil memandang pada Ki Dalem
Sleman orang tua ini berkata.
"Ki Dalem, kami menghargai sekali apa yang telah kau lakukan. Rasanya banyak hal
yang masih ingin kami tanyakan. Mungkin kami juga memerlukan beberapa petunjuk
dari dirimu yang begitu banyak pengalaman. Kami mengundangmu untuk bermalam satu
dua hari di tempat ini. Sudikah kau menerimanya?"
Ki Dalem Sleman tersenyum. "Sebenarnya masih banyak urusanku di Demak. Tapi aku
mana berani menampik undangan sahabatku Mantre Jembrana. Cuma, aku tak bisa
terlalu lama di sini. Bagaimana kalau aku menginap cukup satu malam saja?"
"Itupun sudah satu kehormatan bagi kami," jawab Mantre Jembrana. Orang tua ini
memberi isyarat pada seorang pengawal. Pengawal ini segera mendatangi. Dengan
suara setengah berbisik Mantre Jembrana berkata. "Siapkan satu kamar bagus untuk
tamu kita. Beri tahu pelayan kepala agar meminta Nyi Werda bersedia menjadi
teman tidur Ki Dalem Sleman malam ini."
*** TUJUH BELAS PENGADILAN DUNIA
SIANG itu Sultan dan beberapa petinggi Kerajaan termasuk Ki Dalem Sleman dan
Perwira Brajanala tengah mengadakan pembicaraan penting. Sejak beberapa waktu
belakangan ini dilaporkan tentang adanya gerakan-gerakan beberapa kelompok besar
pasukan di kawasan utara yang tidak dikenal asal kesatuannya. Perwira Tinggi
Brajanala tengah berbicara ketika seorang pengawal muncul, memberi tahu tentang
kedatangan seorang tak dikenal, membawa sebuah peti.
"Orang itu masih muda, mengaku bernama Tunggul Kebuti, pekerjaan petani di desa
Mijen..." "Mijen terletak dekat di selatan Welahan, tempat kediaman Arya Penangsang.
Mungkin...."
Kata-kata Brajanala diputus oleh ucapan Sultan yang bertanya pada pengawal. "Kau
sudah memeriksa atau bertanya apa isi peti itu dan siapa pengirimnya?"
"Kami tidak berani melakukan pemeriksaan sebelum dapat perintah. Kami hanya
bertanya. Ketika ditanya, pemuda petani itu berkata dia tidak tahu apa isi peti
itu. Seorang tak di kenal menyediakan sebuah gerobak untuk membawa peti itu ke
sini. Lalu memberinya upah besar...."
Sultan memandang pada Brajanala. Perwira ini segera bangkit dari tempat
duduknya. "Biar saya menemui orang itu," kata Brajanala.
"Tunggu, apakah Perwira Muda Lor Bagus Putih yang menghabisi Pangeran Tua itu
masih belum diketahui dimana beradanya?"
"Saya sudah menyuruh beberapa orang untuk menyidik. Tapi masih belum di dapat
keterangan. Bahkan istrinya sendiri tidak tahu..." menerangkan Perwira
Brajanala. "Aneh. Dia menghilang begitu saja," kata Ki Dalem Sleman.
"Memang aneh. Aneh sekali," ujar Sultan. Dia lalu menganggukkan kepala pada
Ario Bledek Petir Di Mahameru 04 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Brajanala. Perwira ini segera tinggalkan ruangan diikuti oleh pengawal pelapor.
Tak lama kemudian Brajanala muncul kembali bersama pengawal tadi yang membawa
sebuah peti seukuran satu pemelukan. Di sebelah belakang berjalan seorang
pemuda yang kelihatan lugu dan melangkah sambil memandang kian kemari. Seumur
hidup baru kali ini dia berada dalam Keraton atau Istana. Tak heran kalau dia
memandangi segala sesuatunya terkagum-kagum. Pengawal meletakkan peti bagus
berwarna coklat dihias ukiran di empat sudutnya dihadapan Sultan. Setelah
memperhatikan peti itu beberapa saat Perwira Brajanala bertanya pada pemuda lugu
di dekatnya. "Kau datang dari Mijen?"
Pemuda yang ditanya mengangguk.
"Namamu Tunggul Kebuti?"
Yang ditanya kembali anggukkan kepala.
"Apa isi peti itu?" Ki Dalem yang kini ajukan pertanyaan. Tidak seperti yang
lain-lainnya, orang tua satu ini mulai mencium ada bau yang tidak enak memasuki
rongga pernafasannya. Seperti bau anyir. "Saya tidak tahu. Saya tidak tahu isi
peti itu..."
"Siapa yang menyuruhmu mengantarkan peti ke sini?" tanya Brajanala.
"Saya tidak kenal. yang jelas dia bukan orang Mijen. Dia memberikan sebuah
gerobak, lengkap dengan kuda. Memberi saya upah banyak. Lalu berkata antarkan
peti ini ke Keraton Demak. Serahkan pada Sultan. Itu saja. Saya anggap itu
pekerjaan mudah,apa lagi upahnya besar."
Semua orang pandangi pemuda petani dari Mijen itu. Lalu terdengar Sultan
berkata. "Pengawal, buka peti itu."
Pengawal yang tadi membawa peti segera bertindak. Tapi dia jadi bingung sendiri.
Peti itu ternyata terkunci. Ada lobang kunci tapi tak ada anak kunci pembukanya.
Melihat pengawal kebingungan, pemuda bernama Tunggul Kebuti jadi ingat sesuatu.
Dia mengeruk kantong bajunya, mengeluarkan sebuah anak kunci.
"Saya lupa," katanya. "Orang yang menyuruh saya mengantarkan peti memberikan
anak kunci ini. Disertai pesan agar saya sekali-kali jangan membuka peti."
Brajanala segera mengambil anak kunci itu. Dia sendiri yang memasukkan ke dalam
lobang kunci memutarnya dua kali lalu membuka penutup peti. Begitu peti terbuka
bau tidak sedap menyambar hidung. Lalu sekian pasang mata membelalak disertai
seruan terkejut yang tidak dapat ditahan. Di dalam peti yang terbuka itu,
mengerikan sekali, ada satu kepala dengan dua mata membelalak seperti ketakutan.
Walau kutungan kepala itu penuh lumuran darah namun semua orang mengenali itu
adalah kepala Tubagus Lor Putih, Perwira Muda yang tempo hari menusuk mati
Pangeran Tua Sekar SedaLepen. Beberapa orang yang ada di ruangan itu keluarkan
suara seperti mau muntah. Sultan palingkan kepala dengan wajah jijik lalu
melambaikan tangan. Brajanala cepat menutup peti kembali, memerintahkan pengawal
membawa peti itu keluar lalu menjambak rambut Tunggul Kebuti. Petani lugu yang
tak tahu apa-apa ini tentu saja jadi ketakutan setengah mati.
"Aku tidak percaya kau tidak tahu siapa orang yang menyuruhmu mengantarkan peti
ini!" Perwira Brajanala menyambar sebilah pedang lalu ditempelkannya ke leher si
pemuda yang menjadi pucat pasi seperti mayat. "Bicara! Atau kutabas batang
lehermu!" Pemuda dari Mijen itu menggigil ketakutan.Masih untung tidak sampai terkencing.
Dalam keadaan seperti itu mulutnya terbuka, tapi tidak keluar suara jawaban.
Lalu tangan kanannya tergesa-gesa mengeruk ke balik pinggang pakaiannya. Dari
balik pakaian dia mengeluarkan satu gulungan kertas. Dengan suara gagap dan gemetar
dia memberitahu. "Or...orang yang menyuruh antar peti, dia memberikan ini.
Katanya harus diserahkan pada Sultan...."
Brajanala menyambar gulungan kertas itu yang sudah dapat dipastikan adalah
sepucuk surat, lalu memandang ke arah Sultan.
"Buka, baca isinya keras-keras!" perintah Sultan. Perwira Brajanala segera
membuka gulungan kertas. Seperti yang diperintahkan Sultan dia membaca tulisan
yang tertera di atas kertas keras-keras.
Prawoto, Tak ada rasa hormatku untuk menyebutmu sebagai Sultan. Apa yang telah kau
lakukan terhadap ayahku akan segera kau terima balasannya. Kau akan menghadapi
Pengadilan Dunia. Sebagai bukti aku tidak main-main, aku sampaikan satu hadiah
yang membuatmu tidak bisa tidur nyenyak.
Arya Penangsang
Wajah Sultan tampak merah gelap. Dia berdiri dari kursi, mengambil surat yang
dipegang Perwira Brajanala, bukan untuk membacanya tapi merobek-robeknya.
"Ki Dalem Sleman," kata Sultan dengan suara lantang. Ketika kau membawa jenazah
Pangeran Tua ke Welahan, kau bahkan sempat menginap satu malam di sana.
Menurutmu kau berhasil meredam amarah dan membujuk Arya Penangsang serta Mantre
Jembrana. Tapi kau saksikan sendiri apa yang terjadi! Jahanam anak pemberontak
itu membunuh Tubagus Lor Putih! Mengirimkan kepalanya ke padaku!
Keji biadab!"
"Sultan, mohon maafmu. Saya tidak dapat menduga apa yang terjadi Pada saat saya
berada di sana Arya Penangsang sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan
melakukan sesuatu. Bahkan dia sendiri mengantarkan kepergian saya sampai ke
perbatasan. Saya khawatir, mungkin setelah saya pergi ada yang menghasutnya..."
Brajanala memanggil pengawal, menyuruh bawa Tunggul Kebuti dan menjebloskan
petani malang itu ke dalam tahanan. Lalu pada Sultan dia berkata.
"Jika Sultan berkenan, saya bisa menyiapkan pasukan. Dua hari di muka kita serbu
Welahan untuk menangkap Arya Penangsang hidup atau mati!"
"Mengapa musti menunggu sampai dua hari"
Aku ingin paling lambat besok pagi kau dan pasukanmu sudah bergerak! Namun ingat
satu hal. Hindari jatuh korban dari kalangan rakyat tidak berdosa. Yang kita
cari adalah Arya Penangsang, Mantre Jembrana dan kaki tangannya."
"Kalau itu perintah Sultan saya akan segera lakukan," kata Perwira Brajanala.
"Ki Dalem Sleman, kuharap kau mengumpulkan sahabatmu para tokoh persilatan untuk
bergabung dengan pasukan Demak. Aku yakin Arya Penangsang tidak sendirian. Aku
menyirap kabar bahwa dia telah mengatur satu barisan khusus terdiri dari para
tokoh rimba persilatan."
"Saya siap menjalankan perintah Sultan," kata Ki Dalem Sleman sambil membungkuk.
"Saya dan Perwira Brajanala akan segera mengatur segala sesuatu yang diperlukan.
Kami berdua mohon diri."
"Ki Dalem dan yang Iain-Iain boleh pergi, Perwira Brajanala biar tetap di sini
dulu. Aku perlu membicarakan perihal pengamanan Kotaraja dan Keraton Demak."
Semua orang yang berada di tempat itu kecuali Perwira Brajanala meninggalkan
ruangan. Setelah tinggal berdua saja Sultan Prawoto berkata.
"Perwira Brajanala, sebenarnya aku bukan saja memintamu untuk memperhatikan
pengamanan Kotaraja dan memperketat pengawalan Istana, tapi ada satu hal lain
yang perlu akan dibicarakan denganmu.
Ada satu hal yang aku tidak mengerti. Lebih tepat kalau kukatakan
mencurigakan..."
"Jika saya boleh mengetahui yang Sultan maksudkan," ujar Brajanala.
"Turut cerita Ki Dalem Sleman waktu dia mengantar jenazah Pangeran Tua ke
Welahan, dan juga turut apa yang aku ketahui, Arya Penangsang tidak mengetahui
siapa yang menghabisi ayahnya. Mengapa tahu-tahu kepala Tubagus Lor Putih
dikirimkannya ke sini" Aku menaruh curiga, jangan-jangan Ki Dalem Sleman telah
menceritakan kejadian yang sesungguhnya pada Arya Penangsang. Yaitu bahwa
Perwira Muda itulah yang menusuk mati Pangeran Tua Sekar Seda Lepen."
"Saya tidak dapat menduga apa-apa, kecuali jika Sultan memerintahkan untuk
menyelidiki," kata Brajanala pula.
"Itu memang yang aku inginkan. Aku perintahkan agar kau melakukan penyelidikan.
Selain itu memperhatikan setiap gerak-gerik orang tua itu. Siapa saja yang
dihubunginya. Beri tahu padaku segera jika kau menemukan sesuatu. Satu hal lagi,
harap perhatikan juga tindak tanduk prajurit bernama Gedeng Kemitir. Dia sangat
dekat dengan Ki Dalem Sleman. Siapa tahu ada hubungan yang tidak terduga antara
dua orang itu."
"Akan saya lakukan Sultan," jawab Brajanala lalu membungkuk, kemudian bergegas
Perwira Tinggi Demak ini meninggalkan tempat itu. Setelah berada sendiri di
ruangan itu Sultan Prawoto merenung. Dia ingat beberapa kali pembicaraannya
dengan mendiang ayahnya yaitu Sultan Trenggono. Waktu itu Sultan Trenggono
membicarakan tentang telah terjadinya perpecahan dan bentrokan terselubung
antara beberapa tokoh dalam Keraton Demak. Yang pertama dipimpin oleh Ki Dalem
Sleman. Yang kedua Ki Suro Gusti Bendoro yang konon hanya sendirian menghadapi
kelompok Ki Dalem Sleman. Ki Suro kabarnya memilih mengalah dan mengundurkan
diri dari segala urusan Keraton Demak. Kemudian terbetik kabar bahwa orang tua
itu telah dituduh mencuri salah satu pusaka Keraton yakni bendera keramat
bernama Kanjeng Kiai Pujoanom. Sultan Trenggono memerintahkan Ki Dalem Sleman
dan Perwira Tinggi Brajanala untuk mencari Ki Suro Gusti Bendoro. Namun setelah
sekian lama berlalu Ki Suro tak kunjung berhasil ditemukan.
*** Gudang Ebook (ebookHP.com)
http://www.zheraf.net
DELAPAN BELAS BANJIR DARAH MALAM itu udara terasa dingin sekali karena sorenya hujan lebat turun mengguyur
Kotaraja. Di luar tembok Keraton, puluhan prajurit terdiri dari empat kelompok
besar melakukan penjagaan dan perondaan ketat. Di dalam Keraton terlebih lagi.
Bukan saja para pengawal yang melakukan penjagaan, tetapi beberapa tokoh silat
Istana kelihatan turut bertugas mengamankan Keraton, menjaga keselamatan Sultan
serta keluarganya. Lewat tengah malam dinginnya udara bukan kepalang. Banyak
pengawal Keraton menjalankan tugas sambil menggigil. Menjelang dini hari keadaan
sekitar Keraton tampak aman walau diselimuti kesunyian. Saat itulah di sudut
timur kelihatan ada kabut mengambang. Kabut yang sama kemudian muncul di ujung
barat. Lalu muncul lagi di sebelah selatan dan akhirnya menyusul di sebelah
utara. Perlahan-lahan kabut itu mengambang naik setinggi dada lalu berge
rak ke arah bangunan Keraton.
"Aneh," kata seorang prajurit tua yang bertugas mengawal di bagian timur
Keraton. "Belasan tahun bertugas jadi pengawal", baru kali ini aku melihat ada
kabut sekitar Keraton..."
"Mengapa musti heran. Sore tadi hujan lebat bukan main. Udara dingin luar biasa.
Kalau kemudian muncul kabut tak ada anehnya," menyahuti kawan prajurit tua yang
berdiri di sampingnya. Tak selang berapa lama tebaran kabut melebar bukan saja
ke arah Keraton tapi juga sekitar halaman luas dimana para pengawal lapisan
ketiga bertugas.
"Ini baru aneh," berkata pengawal di samping prajurit tua. "Tidak biasanya aku
mengantuk. Heran, mataku terasa berat..."
"Kalau kau tidur dalam tugas, kau bisa dijatuhi hukuman berat," kata prajurit
tua pula. Tapi habis berkata begitu dia menguap lebar-lebar. Matanya terasa
berair dan kantuk aneh mendadak membuat kepalanya terasa berat. "Kurasa aku
sudah ketularan dirimu, ikut-ikutan mengantuk..." Prajurit tua itu berucap lalu
berpaling pada kawannya. Tapi sang kawan ternyata sudah menjelepok di tanah,
bersandar ke tembok halaman Keraton, tertidur pulas!
"Masih muda tak tahan kantuk! Bagaimana nanti kalau sudah setua usiaku! Hai,
bangun!" Prajurit tua itu pergunakan kakinya menggoyang paha temannya. Tapi dia
sendiri kemudian merasa lemas, berpegangan ke tembok halaman lalu bluk! Prajurit
tua ini jatuh dekat temannya, melosoh di tanah, entah pingsan entah tidur!
Di bagian lain halaman Keraton, untuk melawan udara dingin, seorang prajurit
menghidupkan sebatang rokok kawung. Tidak sengaja matanya menatap ke atas.
Prajurit ini terkejut, serta merta mencampakkan rokoknya ke tanah lalu lari ke
arah rumah jaga di sudut utara halaman. Di situ biasanya paling tidak ada lima
sampai tujuh pengawal sementara yang lain-lainnya berkeliling seputar halaman.
Kejut prajurit ini bukan alang kepalang ketika dia sampai di rumah jaga,
ditemuinya enam orang kawannya bergeletakan tumpang tindih di lantai. Di goyanggoyangnya tubuh enam orang itu satu persatu. Tak ada yang bergerak. Mati" Di
dekapkannya telinganya ke dada beberapa orang prajurit. Ada degup jantung.
Berarti tidak mati. Lalu pingsan" prajurit satu ini segera berdiri. Memandang ke
arah wuwungan Keraton. Seperti tadi dia melihat ada bayangan orang bergerak di
atas atap bangunan. Tadi cuma dua orang. Kini malah dilihatnya ada empat orang!
"Aku harus memberi tahu kepala pengawal. Aku harus segera melapor ke dalam
Keraton!" kata prajurit itu. Lalu dengan cepat dia lari ke arah bangunan
Keraton. Namun di pertengahan halaman tiba-tiba sebuah benda melesat di udara.
Di lain kejap prajurit itu keluarkan keluhan tinggi, pegangi anak panah yang
menancap di dada kirinya lalu roboh ke tanah. Tak selang berapa lama di atas
atap Keraton terdengar satu suitan keras. Suitan ini disahuti oleh suitan lain
dari arah selatan. Lalu terdengar lagi suitan-suitan nyaring dari tiga arah
yakni utara, barat dan timur. Begitu suitan terakhir lenyap terdengar derap kaki
kuda ke arah pintu gerbang Keraton, yang saat itu sudah berada dalam keadaan
terpentang lebar. Padahal biasanya pintu gerbang itu selalu berada dalam keadaan
tertutup. Entah siapa yang telah membukanya, yang jelas dua puluh pengawal yang
bertugas di tempat itu telah bergeletakan tanpa sadarkan diri. Dua belas
penunggang kuda menembus pintu gerbang Keraton. Semuanya mengenakan topeng
berwarna putih hingga di malam sunyi dan dingin itu mereka tak bedanya kelihatan
seperti setan gentayangan!
Tiba-tiba di sebelah belakang rombongan penunggang kuda bertopeng muncul pula
rombongan penunggang kuda yang dari pakaian yang dikenakan jelas mereka adalah
pasukan Kerajaan. Di depan sekali seorang Perwira Muda sambil mencekal pedang
berteriak memberi tahu anak buahnya.
"Rombongan orang-orang tak dikenal memasuki halaman Keraton! Lekas menyebar!
Satu orang segera mencari bantuan!"
Pasukan Kerajaan yang terdiri dari dua lusin prajurit itu segera menyebar. Satu
orang memisahkan diri melakukan perintah meminta bantuan. Namun maksudnya tidak
kesampaian karena sesaat kemudian sebatang panah menancap tepat di kuduknya,
tembus ke tenggorokannya!
Di bawah pimpinan Perwira Muda segera dilakukan pengurungan. Dua belas
penunggang kuda bertopeng putih terjepit di tengah-tengah. Perwira Muda yang
memimpin pasukan berteriak lantang. "Hanya orang-orang jahat mengenakan topeng
di malam hari! Buka topeng kalian dan lekas serahkan diri!" Sambil membentak
Perwira Muda itu menghunus senjatanya yaitu sebilah golok panjang
berbentuk segi empat. Salah seorang penunggang kuda bertopeng putih yang
dikurung rapat angkat tangan kanannya ke atas. Saat itu juga udara malam
dipenuhi suara berdesing.
"Awas serangan panah!" teriak Perwira Muda. Goloknya diputar di atas kepala,
"Traak....traak!" Dua anak panah yang diarahkan ke kepala dan dadanya patah lalu
mental ke udara. Dia berhasil selamatkan diri. Tapi di kiri kanannya enam orang
anak buahnya kena ditembus panah, jatuh terguling dari atas kuda masing-masing.
"Cepat habisi mereka!" Salah seorang penyerbu bertopeng putih memberi perintah.
Dari sosok tubuhnya yang kekar agaknya dia masih muda dan bertindak selaku
pimpinan orang-orang bertopeng. Mendengar perintah itu, empat orang bergerak
maju. Yang pertama seorang bertopeng membawa tombak besi yang bagian kepalanya
diikat sehelai bendera segi tiga berwarna kuning. Orang ini menyerbu ke arah
Perwira Muda yang memegang golok. Begitu berhadapan langsung dia tusukkan tombak
besinya ke dada lawan.
"Traangg!"
Terdengar suara bedentrangan ketika Perwira Kerajaan menangkis dengan golok.
Kejut Perwira ini bukan alang kepalang. Bentrokan senjata itu membuat tangannya
bergetar hebat. Goloknya hampir terlepas dan tangan kanannya terasa linu
kesemutan. Sadar kalau lawannya memiliki tingkat tenaga dalam jauh di atasnya,
sang Perwira pelototi lawan dengan pandangan menyelidik. Dia memang tidak dapat
melihat wajah yang terlindung topeng itu, namun senjata berupa tombak di tangan
lawan rasa-rasa dia pernah melihat sebelumnya. Hanya sayang Perwira ini tidak
bisa berpikir lebih lama. Saat itu lawan telah menyerbunya kembali dengan
serangan tombak. Hanya beberapa gebrakan saja Perwira Muda itu kena dipukul bahu
kirinya hingga terpental jatuh dari pelananya. Selagi tubuhnya melayang di
udara, tombak besi menderu dan craass! Tombak itu menghujam dada, tembus sampai
ke punggung. Pada saat orang bertombak maju ke hadapan Perwira Muda, tiga orang lainnya ikut
bergerak. Dua bersenjata satu lagi hanya mengandalkan tangan kosong. Lebih dari
dua belas prajurit Kerajaan dibuat tak berdaya. Semua menemui ajal dalam waktu
singkat. Kalau ketiga orang bertopeng putih itu tidak memilikiilmu tinggi, tidak
mudah untuk merobohkan belasan prajurit Kerajaan yang telah berlatih begitu
cepat. Orang bertopeng yang bertindak sebagai pimpinan kembali mengangkat tangan
kanannya. Kali ini tangan itu digerakkan ke arah bangunan Keraton. Sehabis
memberi tanda orang tadi mendahului menggebrak kuda ke arah Keraton. Saat itu di
sekitar bangunan Keraton kabut aneh tampak mengambang setinggi dada. Penunggang
kuda di sebelah depan hentikan kudanya di muka tangga batu. Lalu berpaling pada
arah pengikut di belakangnya dan berkata.
"Hentikan serangan kabut penyirap! Aku tidak ingin bangsat itu menemui ajal
dalam keadaan tidak sadar! Dia harus melihat dan merasakan bagaimana ngerinya
kematian!"
Salah seorang penunggang kuda bertopeng putih yang mengenakan jubah hitam
Ario Bledek Petir Di Mahameru 04 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berambut panjang awut-awutan sentakkan tali kekang kudanya, bergerak maju ke
depan. Lalu dengan satu gerakan hebat dia melompat, tegak berdiri di atas
punggung kudanya sambil rangkapkan tangan di atas dada dan pejamkan sepasang
mata. Dari mulut orang ini keluar suara racauan halus. Perlahan-lahan dua tangan
yang dirangkapkan, dibuka, dikembangkan ke samping. Sepuluh jari tangan dan
telapak tangan digerak-gerakkan seperti orang memanggil. Terjadilah satu hal
luar biasa. Semua kabut yang mengambang di halaman dan sekitar bangunan Keraton
secara aneh bergerak ke arah tangan yang melambai lalu naik ke atas kepala.
Secara aneh pula kabut itu seolah masuk ke dalam ubun-ubun orang itu. Semakin
cepat dia menggerakkan jari-jari dan dua telapak tangannya, semakin cepat pula
kabut itu amblas masuk ke dalam kepalanya. Dalam waktu singkatsemua kabut yang
tadi memenuhi seantero tempat sirna tak berbekas. Begitu kabut lenyap, orang di
atas kuda melompat jungkir balik dan di lain kejap dia sudah duduk kembali di
punggung kudanya. Di saat yang sama, orang bertopeng yang tadi jadi pimpinan
penyerbu mengangkat tangan sambil berteriak. Dua belas kuda kemudian menghambur
masuk ke dalam Keraton!
Gudang Ebook (ebookHP.com)
http://www.zheraf.net
*** DENGAN langkah tegap dan tenang Sultan Prawoto digiring ke ruang tengah Keraton
oleh enam orang bertopeng putih. Di belakangnya mengikuti istri, anak-anak, dua
saudara sepupunya, seorang abdi dalem serta tiga orang pelayan. Berlainan dengan
sikap berani yang ditunjukkan oleh Sultan, yang lain jelas berada dalam
ketakutan amat sangat dan tiada hentinya bertangisan. Betapa tidak. Untuk sampai
ke ruang tengah itu mereka melewati bagian-bagian Keraton yang dipenuhi dengan
tebaran mayat para pengawal dan beberapa tokoh silat Istana. Di ruang tengah
Istana ada enam orang bertopeng lagi telah menunggu. Dua belas ekor kuda
berkeliaran di tempat itu. Sekilas memandang saja, dari bentuk tubuh, pakaian
yang dikenakan atau senjata yang mereka pegang Sultan Prawoto bisa mengetahui
beberapa di antara mereka.
"Pembunuh-pembunuh pengecut! Biadab! Kalian membunuh orang-orang yang tak
berdosa!" Sultan Prawoto yang tak dapat menahan hatinya lagi berteriak marah.
"Aku perintahkan kalian untuk menyerah!"
Dua belas orang bertopeng saling pandang lalu meledak tawa bergelak di ruangan
itu. Salah seorang di antaranya, yang bertubuh tegap besar melangkah mendekati
Sultan lalu membuka topeng putihnya. Sultan Prawoto keluarkan suara mendengus
begitu melihat wajah itu. Matanya memandang laksana kobaran api.
"Dugaanku tidak keliru! Semua ini adalah perbuatan jahatmu! Arya Penangsang!
Atas nama Kerajaan aku perintahkan padamu untuk menyerah!"
Orang yang barusan membuka topeng putih ternyata adalah Arya Penangsang,
pimpinan rombongan penyerbu. Dia adalah putera Pangeran Tua Sekar Seda Lepen.
Wajahnya tampak garang, dipenuhi kumis, cambang bawuk dan jenggot meranggas.
"Prawoto! Jangan menggigau! Saat ini yang namanya Kerajaan Demak sudah tidak ada
lagi! Yang namanya Sultan Demak hanya tinggal sisa bangkai hidup yang siap
mampus! Kau sudah membaca suratku!
Saat ini kau tengah menghadapi Pengadilan Dunia!
Kau keparatnya yang bertanggung jawab, menanggung segala dosa!"
Sultan Prawoto sudah bisa menduga apa yang hendak dilakukan oleh Arya
Penangsang. Maka dia berkata. "Istri dan anak-anakku tidak berdosa, tidak ada
sangkut pautnya dengan diriku!
Bebaskan mereka! Jika kau ingin menuntut balas kematian ayahmu, mari kita
bertempur satu lawan satu secara kesatria!"
Arya Penangsang kerutkan kening, delikkan mata lalu tertawa bergelak. "Di saatsaat malaikat maut hendak mengambil nyawamu, kau masih bisa bersyair menunjukkan
jiwa kesatria palsu menutupi kepengecutan dan dosa besarmu! Kau ingin
pertempuran secara jantan! Akan ku penuhi permintaanmu!"
Arya Penangsang jentikkan tangannya hingga mengeluarkan suara keras. Seorang
bertopeng segera menghampirinya, menyerahkan sebuah benda terbungkus kain putih.
Dengan cepat Arya Penangsang membuka bungkusan kain putih. Isi bungkusan
ternyata sebilah golok yang bagian ujungnya sampai ke pertengahan berwarna
hitam. Warna hitam ini adalah noda darah yang telah mengering.
"Prawoto! Dengan golok ini ayahku dibunuh!
Dengan golok ini pula kau akan ku bantai! Demak akan tergenang darah! Darah itu
berpangkal dari Keraton ini! Kau menginginkan pertempuran secara jantan!
Silahkan kau memilih senjata! Kita bertempur satu lawan satu!"
"Aku akan menghadapimu dengan tangan kosong! Silahkan menyerang!" jawab Sultan
Prawoto pula sambil kertakkan rahang sementara jerit tangis terdengar semakin
menjadi-jadi di ruang itu. Sesekali kuda-kuda yang ada di situ keluarkan suara
ringkikan. "Jahanam pengecut! Kau inginkan mampus secara pengecut! Jangan kira aku akan
berbelas kasihan kepadamu! Lihat golok!" Di dahului dengan teriakan dahsyat Arya
Penangsang melompat. Golok besar di tangan kanannya berkiblat, mengeluarkan su
ara deru mengerikan. Istri Sultan Prawoto menjerit sambil memeluk anak-anaknya
yang bertangisan. Kuda meringkik. Para pelayan ikut berteriak. Sultan Prawoto
menghindar ke kiri sambil lepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung hawa
sakti, membuat tubuh Arya Penangsang bergoyang-goyang dan sambaran goloknya
tidak mengenai sasaran. Arya Penangsang kembali keluarkan teriakan keras. Tangan
kirinya ikut bekerja melepas pukulan jarak jauh untuk menahan serangan tangan
kosong Sul tan Prawoto. Golok di tangannya diputar laksana curahan hujan.
Berkiblat ganas mengerikan. Satu jeritan menggelegar di ruangan besar itu. Sosok
Sultan Prawoto mencelat ke belakang. Jatuh berlutut di lantai. Darah mancur dari
tangan kanannya yang buntung. Istrinya menjerit menghambur coba menghampiri.
Namun seorang bertopeng putih menjambak rambutnya lalu melemparkannya hingga
terguling di lantai.
*** KEESOKAN harinya seluruh Demak gempar besar. Kabar kematian Sultan Prawoto yang
di bantai bersama anak istrinya, saudara serta para pelayan tersebar luas dengan
cepat. Rakyat bersedia namun tak berani menunjukkan rasa berkabung terangterangan. Karena kabarnya siapa saja yang menunjukkan sikap masih mendukung
Sultan yang lama akan dihabisi secara semena-mena. Dalam suasana seperti itu
Arya Penangsang mengumumkan pengangkatan dirinya sebagai Sultan Demak baru.
Beberapa petinggi dan para tokoh silat yang sebelumnya mengabdi pada Sultan yang
lama diberi kekuasaan dan kedudukan lebih tinggi. Hal ini mendatangkan tanda
tanya besar bagi rakyat. Hingga mereka mencurigai bahwa orang-orang itu terlibat
atau membantu Arya Penangsang dalam peristiwa berdarah
di Keraton Demak. Mereka antara lain adalah Nenek Ular Si Lidah Bangkai.
Tumenggung Pakubumi alias Kala Srenggi. Lalu kepala rampok hutan Roban Warok
Wesi Gludug, Ki Dalem Sleman dan Perwira Tinggi Brajanala serta beberapa orang
lainnya yang belum sempat diketahui karena sengaja merahasiakan diri. Selama
satu hari mayat-mayat yang bergeletakan di ruang tengah keraton sengaja
dibiarkan begitu saja. Malah rakyat diminta untuk menyaksikan kematian Sultan
Prawoto dan keluarganya itu yang oleh Arya Penangsang dianggap sebagai
pengkhianat. Namun tak seorangpun yang mau datang untuk menyaksikan. Rakyat sama
maklum siapa sebenarnya yang jadi pengkhianat dan pemberontak. Beberapa orang
Adipati yang konon masih setia kepada Sultan Prawoto mengadakan pertemuan
rahasia dipimpin oleh Adipati Japara.
*** SEMBILAN BELAS PENCULIKAN DI PAGI BUTA
DARI dalam gubuk kajang beratap rumbia itu,di penghujung malam yang dingin,
ketika kebanyakan orang bahkan juga para satwa masih tenggelam dalam tidur
nyenyak terdengar suara orang mengaji. Dari suaranya jelas yang mengaji itu
adalah seorang anak laki-laki. Di luar gubuk yang terletak di puncak bukit kecil
pada aliran kali Glugu, di dalam gelap, tanpa suara dua orang terlihat
membimbing kuda masing-masing. Di satu tempat mereka tinggalkan tunggangan itu.
"Tombak saktimu tidak dibawa serta?" bertanya orang yang berjalan di sebelah
kanan. Tubuhnya tinggi besar, kulitnya sehitam arang.
"Cuma menangkap seorang bocah saja, apa perlu senjata sakti itu?" jawab sang
teman, seorang kakek berjubah kuning tebal. Dua orang itu melangkah ke arah
sebuah pohon besar tak jauh dari gubuk. Di sini keduanya berhenti dulu. Yang
berpakaian jubah kuning tebal berbisik pada teman sebelahnya. "Kau mendengar
suara orang mengaji?"
"Sejak tadi," jawab si teman yang berkulit hitam legam, berbadan besar kokoh.
"Yang mengaji seorang anak lelaki. Kukira dia anak yang kita cari. Anak yang
konon disebut-sebut dalam Kitab Hikayat Keraton Kuno."
"Aku belum pernah melihat kitab itu. Apa lagi membacanya. Jadi sangkut paut si
anak dengan kitab itu sulit kupercaya! Lagi pula, apa kitab itu benar-benar ada"
Jangan-jangan cuma karangan belaka. Disampaikan dari mulut ke mulut hingga
akhirnya orang percaya kitab itu benar-benar ada."
"Sobatku Perwira Kerajaan, apa kau tidak percaya pada cerita Si Lidah Bangkai,
Warok Wesi Gludug dan Tumenggung Pakubumi. Dua diantara mereka pernah berusaha
merampas kitab itu dari tangan Ki Suro Gusti Bendoro dan Empu Bondan Ciptaning.
Tapi gagal..."
"Anak itu, jika memang dia anak yang kita cari apa yang hendak kita lakukan
terhadapnya?" bertanya orang yang dipanggil dengan sebutan Perwira Kerajaan. Dia
bukan lain adalah Brajanala yang kini mengabdi di bawah tahta Arya Penangsang
Sultan Demak yang baru. Konon kabar yang mengatakan bahwa dalam waktu dekat dia
akan diangkat menjadi Patih Kerajaan. Kakek yang dijuluki si culas bermuka
banyak ini kini mendapat kedudukan tinggi dan enak di Keraton Demak sebagai
imbal bantuannya menumbangkan tahta Sultan Prawoto. "Sesuai perintah Sultan
Arya, anak itu harus kita bawa ke Keraton. Apa yang akan dilakukan terhadapnya
kemudian aku sendiri tidak tahu." Berkata Ki Dalem Sleman.
"Seorang anak bisa membahayakan Kerajaan, Satu hal yang bagiku tidak masuk
akal," ujar Brajanala. "Kalau memang dia berbahaya, mengapa tidak dihabisi saja.
Lemparkan ke jurang atau ke dalam sungai. Habis perkara. Mengapa! susah-susah
mengurusinya?"
"Sobatku, jangan berpikiran pendek. Pergunakan sedikit akalmu! Justru anak
inilah yang diduga punya teka-teki besar bagi Kerajaan. Dia bukan anak
sembarangan. Kisahnya tertera dalam Kitab Hikayat Keraton Kuno..."
"Lagi-lagi kitab itu!" bersungut Brajanala. "Pekerjaan seperti ini seharusnya
tidak kita yang menangani. Cukup dua tiga orang prajurit saja."
"Tadinya aku juga berpikir seperti itu. Tapi semakin ku kaji persoalannya
semakin tertarik aku untuk menangani sendiri. Ternyata Sultan kita yang baru
juga punya jalan pikiran sepertiku. Jika tidak ada apa-apanya, mana mungkin
Sultan Arya menugasi kita berdua."
"Anak ini yang bernama Ario menurut riwayat yang aku dengar bukan anak Ki Suryo
Pabelan..."
"Dia cucu si kakek pemilik gubuk itu. Sudah dipelihara Ki Suryo sejak ke dua
orang tuanya lenyap tak tentu rimbanya," menerangkan Ki Dalem Sleman.
"Dari tadi kita bicara saja! Kapan kita akan masuk ke gubuk dan menculik anak
itu"!" tanya Perwira Tinggi Brajanala.
"Sabar, jangan kesusu. Coba kau perhatikan keadaan sekeliling kita." berkata Ki
Dalem Sleman. Brajanala memandang berkeliling. Dia hanya melihat pepohonan,
semak belukar dan kegelapan.
"Tak ada apa-apa yang perlu dirisaukan," kata Perwira ini kemudian.
Ki Dalem Sleman tersenyum. "Matamu mulai lamur. Perasaanmu mulai tumpul. Mungkin
terlalu banyak hidup enak di Keraton...."
Tidak senang mendengar ucapan sahabatnya itu sang Perwira bertanya. "Apa
maksudmu Ki Dalem?"
"Buka matamu besar-besar. Lihat ke atas atap gubuk," bisik Ki Dalem Sleman.
Mendengar ucapan orang, Brajanala segera palingkan kepala, memandang ke bagian
atas gubuk kajang atap rumbia.
"Astaga, mengapa aku sampai tidak melihat!"
Sang Perwira berucap sambil mengusap-usap janggut kasar di dagunya. Di atas atap
gubuk yang gelap, ternyata mendekam satu sosok yang menghitam dalam kegelapan.
"Orang itu, siapapun dia adanya pasti punya niat sama dengan kita. Hendak
menculik anak di dalam gubuk. Kita harus segera bertindak sebelum kedahuluan
orang!" "Jalan pikiranmu mulai terbuka! Tunggu apa lagi"!"
Ki Dalem Sleman dan Perwira Brajanala segera keluar dari balik pohon. Tapi
sesaat langkah mereka tertahan ketika tiba-tiba sekali sosok di atas gubuk
menjebol atap lalu lenyap masuk ke dalam gubuk!
"Ki Dalem! Kita kedahuluan!" kata Brajanala. Saat itu bagian dalam gubuk yang
tadinya diterangi lampu minyak mendadak gelap. Suara anak mengaji ikut lenyap!
"Aku masuk ke dalam. Kau tunggu di atap!
Orang itu mungkin akan kabur lewat lobang di atas atap!" Tanpa banyak bicara
Perwira Brajanala segera melompat ke atas atap. Seperti diketahui Perwira ini
memiliki tubuh tinggi besar. Atap gubuk yang terbuat dari rumbia lapuk itu mana
mungkin menahan tubuhnya yang berat. Tapi tanpa suara, seperti seekor burung
enak saja dia hinggap di atas gubuk, lalu mendekam menunggu waspada. Ternyata
Perwira Kerajaan ini akhir-akhir ini semakin hebat ilmu tenaga dalam maupun
meringankan tubuh. Tak lama kemudian di dalam gubuk terdengar suara orang
berkelahi disertai bentakan-bentakan keras.
"Penculik keparat! Serahkan anak itu padaku!"
Itu adalah suara Ki Dalem Sleman. Terdengar suara tawa bergelak.
"Maling berteriak penculik! Jika kau mau mengambil anak ini silakan saja!" Orang
yang tertawa menjawab ucapan Ki Dalem Sleman. Lalu... bukkk! Terdengar suara
beradunya dua pukulan Dua sosok sama-sama mental. Gubuk bergoyang keras. Dinding
sebelah kanan jebol. Seorang berpakaian warna gelap melesat keluar dari gubuk
sambil memanggul sosok seorang anak lelaki berusia sekitar sepuluh tahun yang
berada keadaan tertotok. Sesaat kemudian kelihatan sosok Ki Dalem Sleman
mengejar. Melihat ini Perwira Brajanala yang berada di atas atap segera melesat
turun ke bawah, melakukan penghadangan. Orang yang memanggul anak kecil di
bahunya tersentak lalu berucap. "Kiranya maling jelek membawa kawan yang lebih
jelek! Ha...ha...ha! Walau kalian berdua, jangan harap bisa dapatkan anak ini!"
"Kalau kau tidak mau menyerahkan suka rela, kami tidak segan-segan membuatmu
menjadi mayat penasaran lebih dulu!" menyahuti Ki Dalem Sleman. Dia memberi
isyarat pada Brajanala. Kedua orang ini segera menyerbu. Waktu di dalam gubuk
keadaan gelap setelah lampu minyak padam. Orang yang memboyong anak kecil tidak
bisa melihat jelas siapa adanya kakek berjubah kuning itu. Di luar gubuk
walaupun malam tapi keadaan lebih terang. Ketika memperhatikan pakaian dan wajah
si kakek berjubah kuning tebal, barulah orang itu sempat menjadi kaget. Terlebih
lagi ketika dia juga mengenali orang ke dua yang jadi pengeroyoknya.
"Ki Dalem Sleman, tokoh silat culas Kesultanan Demak. Perwira Tinggi Brajanala,
sama busuknya dengan si tua bangka itu! Bagaimana mereka bisa terlibat dalam
urusan bocah ini" Lawanku tidak enteng. Lebih baik mencari jalan kabur dari pada
membahayakan keselamatan anak ini!"
Berpikir seperti itu, orang yang memboyong anak kecil di bahunya segera
melancarkan serangan gencar diseling gerakan-gerakan tipuan. Begitu dua lawan
berlaku lengah, dia akan serta merta kabur melarikan diri. Tetapi Ki Dalem
Sleman dan Brajanala yang punya segudang pengalaman mana bisa diperdayakan. Dari
jurus gerakan orang, kedua tokoh Istana Demak ini sudah bisa membaca apa yang
hendak dilakukan lawan. Dan ternyata Ki Dalem Sleman mengenai siapa adanya si
penculik anak. Kakek ini segera menegur dengan suara lantang.
"Datuk Manding Kalianget! Tidak kusangka, jauh-jauh tinggal di Madura muncul di
tanah Jawa jadi penculik bocah!"
Maklum orang sudah tahu siapa dirinya, si penculik seorang kakek berpakaian biru
gelap, memiliki rambut, alis, kumis dan janggut kelabu menyeringai lalu
berbatuk-batuk.
"Kalian berdua, bukankah punya maksud sama" Hendak menculik anak ini" Cuma
sayang aku mendapatkannya lebih dulu!"
Habis berkata begitu kakek bernama Manding Kalianget hentakkan kaki kanannya ke
tanah. Bukit kecil di tepi kali Glugu itu bergetar. Bersamaan dengan itu di
tanah mencuat kepulan asap hitam menutup pemandangan.
"Penculik busuk! Jangan mengira bisa menipu kami!" teriak Brajanala.
"Mau lari kemana" Jalan lolos mu cuma satu! Ke pintu akhirat!" ikut berteriak Ki
Dalem Sleman. Dari tempat mereka berdiri Datuk Manding Kalianget memang lenyap
tak kelihatan tertutup kepulan asap hitam. Tapi begitu dua orang itu melesat
tinggi ke udara, dari atas mereka segera melihat di mana beradanya si penculik.
Saat itu Datuk Manding Kalianget telah berkelebat ke arah selatan. Dua kali
membuat lesatan, dua tokoh Istana Demak ini berhasil menghadang Manding
Kalianget, membuat si penculik terkejut besar.
Brajanala dan Ki Dalem Sleman tidak memberi kesempatan lagi. Keduanya langsung
menyerang. Perkelahian hebat segera terjadi. Dalam waktu tiga jurus saja Datuk
Manding Kalianget mulai terdesak. Dengan beban anak di atas bahu kiri yang harus
diselamatkannya, menghadapi dua lawan berkepandaian tinggi memang tidak mudah
bagi Manding Kalianget. Pada awal jurus ke enam tokoh silat dari Madura ini
cabut senjatanya, sebilah clurit besar berwarna biru. Senjata ini memiliki
rongga hampa dan pada ujungnya ada sebuah lobang kecil. Setiap clurit itu
berkelebat, menderu suara seperti lengkingan angin puting beliung di malam buta!
Ario Bledek Petir Di Mahameru 04 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ki Dalem Sleman menyesal besar meninggalkan tombak saktinya di pelana kuda.
Gempuran clurit Manding Kalianget ganas bukan main. Datangnya laksana curahan
hujan. Terlebih lagi ketika dari lobang di ujung clurit menyembur asap hitam
menebar bau aneh pertanda mengandung racun jahat!
Ki Dalem Sleman memberi isyarat pada Brajanala. Perwira Tinggi Demak itu segera
mencabut pedangnya. Dengan senjata ini dia bisa membendung serangan clurit
lawan. Sementara itu Ki Dalem Sleman menghantam dengan kebutkan ujung jubah
kuningnya. Dua rangkum gelombang angin menderu menghantam kepulan asap hitam
beracun yang keluar dari lobang di ujung clurit. Selama enam jurus pertempuran
berkecamuk hebat. Bagaimanapun hebatnya ilmu silat Datuk Manding Kalianget,
bagaimanapun ganas serangan cluritnya namun dua lawan yang dihadapinya bukan
sembarangan. "Datuk Manding Kalianget! Kau mau serahkan anak itu atau kau memang ingin
dibantai lebih dulu"!"
Ki Dalem Sleman berseru. Walau jelas dirinya dalam keadaan terdesak namun
Manding Kalianget tidak unjukkan rasa takut. Malah sambil tertawa dia berkata.
"Kau terlalu banyak bicara! Jaga batang lehermu!"
"Wuuuttt!"
Sinar biru melesat di udara. Clurit besar membabat ke arah perut Ki Dalem
Sleman. Selagi kakek ini melompat mundur tiba-tiba clurit di tangan lawan
melesat ke atas, membabat ke arah tenggorokannya. Ki Dalem Sleman tertipu!
Untungnya Brajanala segera melompat sambil sorongkan pedang.
"Traangg!"
Clurit dan pedang saling beradu, mengeluarkan suara berdentrangan dan percikan
bunga api di udara. Datuk Manding Kalianget merasa terkejut. Bentrokan senjata
tadi membuat tangannya tergetar hebat dan ada hawa panas menyerang telapak
tangannya hingga dia hampir-hampir melepas pegangan pada gagang senjata.
"Celaka, kalaupun aku nekad menyabung nyawa, anak ini tak mungkin kuselamatkan.
Dua lawan yang kuhadapi benar-benar tangguh! Masih ada satu cara untuk
menghadapi mereka. Kalau ternyata gagal, aku memilih mati bersama anak ini!"
Setelah membatin begitu rupa Manding Kalianget keluarkan seruan keras. Clurit di
tangannya dibabatkan berputar membentuk lingkaran. Selagi dua lawan bergerak
menghindar Manding Kalianget pergunakan kesempatan untuk melesat ke udara. Dari
ketinggian dua tombak kakek ini kemudian hantamkan tangan kirinya ke bawah
sambil mulutnya merapal sesuatu. Dari tangan kiri Manding Kalianget tiba-tiba
melesat keluar satu bayangan besar hitam, membentuk makhluk bermuka raksasa.
Kejut Ki Dalem Sleman dan Perwira Brajanala bukan alang kepalang. Keduanya
memukul ke atas. Dua pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi jelasjelas mengenai makhluk besar hitam itu. Tapi seperti membal, dua pukulan itu
berbalik kembali, malah menghantam ke arah Brajanala dan Ki Dalem Sleman.
"Bummm! Bummm!"
Tanah terbongkar membentuk dua lobang besar. Untungnya dua tokoh Istana itu
masih sempat selamatkan diri.
Brajanala berdiri dengan muka agak pucat. Tangannya yang memegang pedang terasa
bergetar. "Perwira, kau gempur kakek jahanam itu dengan pedangmu. Aku akan menggasak
makhluk jejadian," bisik Ki Dalem Sleman lalu loloskan ikat pinggang jubahnya
yang terbuat dari gulungan kawat lentur berlapis kain kuning. Dengan
kesaktiannya ikat
pinggang ini bisa berubah menjadi sebatang tombak, cemeti atau tali penjirat.
Mendengar bisikan Ki Dalem Sleman, Brajanala segera keluarkan jurus-jurus maut
ilmu pedangnya. Gempuran Perwira Tinggi ini membuat Datuk Manding Kalianget
sesaat menjadi sibuk terpaksa andalkan clurit untuk menghadapi pedang lawan.
Kakek ini cepat-cepat pergunakan makhluk hitam jejadiannya untuk menyerang
Brajanala. Namun saat itu ikat pinggang kuning di tangan Ki Dalem Sleman mulai
ambil peranan. Senjata ini meliuk di udara dua kali berturut-turut, menusuk ke
lambung makhluk hitam, lalu berkelebat menjirat ke arah leher! Datuk Manding
Kalianget tersentak kaget ketika melihat satu kali bergerak saja lawan telah
mampu menjirat leher makhluk hitam besar jejadian. Dia segera merapal habishabisan. Tapi tak ada gunanya. Makhluk jejadian hitam besar keluarkan suara
menggebor lalu sirna tak berbekas. Malah tali kuning yang masih menjulai panjang
tiba-tiba menggelung ke arah lehernya!
Manding Kalianget gerakkan tangan yang memegang clurit untuk menabas tali kuning
tapi senjatanya membal ke atas, terlepas dari genggamannya. Lidah tokoh silat
dari Madura ini mulai terjulur keluar. Ludah membusah. Matanya mendelik merah.
Jiratan tali kuning pada lehernya tak mampu dilepaskan. Tak ada kemungkinan lagi
baginya untuk selamatkan diri dari kematian.
"Ki Dalem Sleman keparat! Kau boleh membunuhku! Tapi jangan harap bisa dapatkan
anak ini hidup-hidup!"
Habis berkata begitu Datuk Manding Kalianget gebukkan tinju kanannya ke batok
kepala si bocah di bahu kirinya!
*** Bersambung Ke Bagian Selanjutnya:
Petir Di Mahameru 5
Gudang Ebook (ebookHP.com)
http://www.zheraf.net
Sumpah Palapa 26 Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Jejak Di Balik Kabut 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama