Pendekar Mabuk 044 Pusaka Bernyawa Bagian 1
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Keisel
Convert & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: Abu Keisel
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa
izin tertulis dari penerbit.
1 ANGIN bertiup semilir sejuk.
Barangkali karena mendung menggantung di langit dan hujan sedang berkemas untuk
turun, maka angin pun membawa kelembaban udara yang sejuk. Cuaca
seperti itu enak untuk tidur.
Maka bersiaplah pemuda tampan
berambut panjang lurus tanpa ikat
kepala itu untuk mencari tempat buat baringkan badan. Setidaknya dengan
duduk bersandar pun jadilah, yang
penting bisa untuk pejamkan mata dan terlena tidur. Pemuda berbaju coklat tanpa
lengan dan celana putih lusuh itu tak lain adalah murid sinting si Gila Tuak
yang bergelar Pendekar
Mabuk: Suto Sinting.
Karena tak ada tempat yang enak
untuk baringkan badan, Suto Sinting akhirnya berbaring di atas dedaunan semak
tak berduri. Tempat yang sepi dan sangat kecil kemungkinannya
dijamah manusia itu membuat Suto
Sinting tak segan-segan berbaring di atas dedaunan semak. Daun-daun itu
tidak patah, bahkan tidak melengkung terlalu banyak. Padahal daun dan
ranting kecil-kecil itu menyangga
tubuh Pendekar Mabuk. Tentu saja hal itu dilakukan oleh Suto dengan
menggunakan ilmu peringan tubuh yang bekerja dengan sendirinya dalam setiap
denyut jantungnya.
Tapi anehnya bumbung tuak yang
terbuat dari bambu panjang itu juga diletakkan di atas dedaunan beranting kecil.
Padahal umumnya dedaunan itu akan melengkung atau patah rantingnya jika ditindih
dengan kayu sebesar
lengan. Ternyata daun dan ranting
tidak patah walau ditindih dengan
bumbung tuak yang
isinya masih termasuk penuh. Sebab setelah mengisi tuaknya di sebuah kedai, Suto baru
meneguknya sekitar empat kali. Berarti bambu itu lebih berat daripada bambu
seukurannya. "Apakah sang bambu tuak juga
punya ilmu peringan tubuh?" pikir seseorang yang memperhatikan Suto dari jarak
jauh. Sepasang mata indah berbulu
lentik itu sejak tadi memperhatikan Suto dari jarak sekitar lima belas
tombak. Dia adalah seorang gadis
cantik tak berbaju. Maksudnya, ia
memang tidak mengenakan baju tapi
mengenakan rompi. Rompi panjangnya
terbuat dari sutera yang tembus
pandang. Rompi itu berwarna merah,
panjangnya sampai paha. Bagian
pinggang diikat dengan kain semacam selendang warna kuning, sedangkan
celananya berwarna merah juga sebatas lutut kurang. Celana itu sangat ketat,
sehingga menampakkan bentuk lekuk
tubuhnya bagian bawah.
Gadis berpakaian seronok itu
berambut pendek, seperti potongan
lelaki. Tapi bentuk potongannya sangat indah dan sesuai dengan kecantikannya.
Rambut bagian depan berkesan tegak
karena dipotong lebih pendek dari
lainnya. Kalau ia tidak mengenakan
giwang kecil warna merah, ia seperti lelaki. Kalau ia tidak mempunyai bibir
segar dan menggemaskan, ia akan
dianggap seorang lelaki. Untung nya ia punya dada besar dan sekal tanpa
pembalut kecuali rompi merahnya itu, sehingga melalui belahan rompi di
dadanya yang menampakkan sebagian sisi bukit dada itu, orang akan mengetahui
bahwa dia adalah gadis cantik bertubuh sekal.
"Aku harus menunggunya beberapa saat, setelah ia tertidur nyenyak aku baru
bertindak," kata gadis itu dalam hatinya. Mata indahnya yang berkesan membelalak
itu memperhatikan Suto tak berkedip dari balik persembunyiannya.
Rupanya gadis berusia sekitar dua
puluh tiga tahun itu punya maksud
tertentu kepada Pendekar Mabuk,
sehingga walaupun kakinya dikerumuni semut ia masih betah di
persembunyiannya. Sesekali kakinya
disentakkan supaya semut-semut genit itu menyingkir dari kulitnya yang
berwarna kuning langsat, bersih, dan halus mulus.
Tangan kanannya sesekali
memegangi gagang senjata, berupa pisau panjang bergagang logam kuningan
berukir, sarungnya juga dari logam
kuningan berukir. Tampak bersih
mengkilap karena sering digosok pakai asam dan garam. Mata pisaunya
berukuran sepanjang siku sampai
telapak tangan. Bentuknya agak kecil, jadi tak bisa disebut sebagai pedang.
Pendekar Mabuk dianggap sinting
oleh si gadis cantik itu. "Sudah tahu mau turun hujan, eeh... masih nekat tidur
di alam terbuka"! Dasar pemuda sinting, mana bisa membedakan langit mendung dan
cerah. Atau jangan-jangan matanya tidak bisa
melihat warna dengan benar" Warna hitam mendung
dianggapnya warna putih cerah."
Gadis itu tidak tahu kalau Suto
Sinting sudah menggunakan ilmu penolak hujan. Biar sering disebut sebagai
pemuda sinting, tapi Suto bisa menolak hujan, tapi tak bisa menolak rezeki.
Ilmu menolak hujan itu sebenarnya
sudah dimilikinya ketika ia turun dari Jurang Lindu, tempatnya digembleng
oleh sang Guru, Gila Tuak. Tapi ilmu penolak hujan jarang digunakan Suto karena
dianggap ilmu yang terlalu
kecil baginya. Kadang-kadang jika
kurang khusuk dalam heningnya, ilmu penolak hujan itu sering gagal. Hujan yang
ditolak malahan turun dengan
deras dan menjadikan banjir di sana-sini.
Tapi kali ini Suto sudah menolak
hujan dengan khusuk, dan yakin betul bahwa hujan tak akan turun. Tapi
keteduhan meganya dapat dinikmati
sebagai hawa pengantar tidur.
Pendekar Mabuk tidur begitu
nyenyaknya. Maklum, sudah tiga malam ia tidak tidur karena menjaga sebuah
perguruan yang ingin diserang kelompok aliran hitam. Setelah kelompok aliran
hitam itu berhasil ditumbangkan dan sisanya melarikan diri dari perguruan
tersebut, barulah Pendekar Mabuk
meninggalkan perguruan itu. Dan rasa kantuknya pun tiba, sehingga dedaunan semak
dijadikan alas untuk tidur.
Begitu nyenyaknya sampai-sampai
Suto Sinting terdengar mendengkur
samar-samar. Dengkur itu mengundang perhatian dua orang pencari kayu
bakar. Mereka terkejut melihat ada
orang tidur di atas dedaunan semak
dengan selamat. Padahal di bawahnya ada tonggak runcing bekas potongan
pohon kecil. Seandainya Suto jatuh, pasti
punggungnya akan tertancap
tonggak runcing itu.
"Orang itu edan apa sakti" Kok tidurny* di atas
dedaunan semak begitu?" kata pencari kayu yang bertubuh pendek.
Yang jangkung menjawab, "Apakah kau tak kenal dia" Bukankah dia adalah Pendekar
Mabuk yang kondang dengan kesaktiannya itu?"
"Ah, pendekar kok tidurnya di
atas pohon."
"Kalau dia bukan pendekar sakti mana mungkin dia bisa tidur di atas pohon
setipis itu?"
"O, iya, ya"! Kalau begitu, mari kita cepat pergi dari sini. Jangan
mengganggu tidurnya. Nanti kalau kita berisik di sini tidurnya terganggu dan dia
bisa marah kepada kita."
Kedua orang itu segera pergi,
tapi masing-masing berceloteh tentang kabar yang mereka dengar dari mulut ke
kuping tentang kesaktian Pendekar
Mabuk. Bahkan yang bertubuh pendek
mempunyai pendapat, jika Suto tidak sedang mabuk, tentunya tak akan mau tidur di
atas dedaunan sekecil itu.
Padahal walau berjuluk Pendekar Mabuk,
tapi Suto tidak pernah mabuk. Dulu
ketika menempuh pelajaran dari sang Guru, Suto memang sering mabuk. Tapi lamalama ia seperti bosan mabuk,
sehingga walaupun meminum tuak satu bumbung habis, ia tidak akan mabuk.
Hanya saja, jurus-jurus yang diajarkan oleh Gila Tuak itu adalah jurus orang
mabuk. Meliuk ke sana-sini, terhuyung-huyung seperti mau jatuh, tahu-tahu
menghantam lawan.
Mendung menyingkir dengan penuh
kesadaran. Sang matahari menerobos
celah dedaunan. Matahari sudah mulai bergeser ke barat. Cahayanya masih
menyengat dan membuat Pendekar Mabuk terbangun dari tidurnya.
Wuuuut...! Ia sentakkan pinggulnya dan turun dari atas
dedaunan. Badannya menggeliat dengan otot dikeraskan. Mulutnya sempat
menguap sebagai sisa kantuknya.
Biasanya bangun tidur Suto
Sinting langsung membuka tutup bumbung tuak, menenggak tuak beberapa teguk
sebagai penyegar tubuh. Tapi kali ini, Suto
Sinting begitu bangun tidur
langsung terkejut
dan matanya terbelalak. "Mana bumbung tuakku"!"
Jantungnya berdebar-debar karena
tegang. Bumbung tuak itu hilang dari tempatnya. Suto Sinting sempat menduga
bumbung itu jatuh. Namun ketika
dicarinya di kedalaman semak, ternyata bumbung tuak tidak ditemukan.
"Celaka! Bagaimana mungkin
bumbung tuak itu bisa hilang, padahal ia dekat denganku. Setidaknya kalau ia
menggelinding jatuh aku pasti
terbangun. Apakah ada yang
mencurinya?" pikir Suto sambil masih penasaran mencari bumbung tuak di
dalam semak-semak.
"Wah, gawat kalau begini"!"
gumamnya lirih. "Pendekar Mabuk kok kehilangan bumbung tuak" Hilang pula ciri
khas penampilanku! Oh, dewa...
kemana bumbung tuakku itu, tolong
carikan ya Dewa...!"
Tentu saja kehilangan itu
merupakan suatu peristiwa yang baru pertama kali dialami Smo dan sangat
menegangkan. Karena bagi Suto bumbung tuak itu bukan sekadar bumbung biasa.
Bumbung tuak itu berisi tuak sakti.
Tuak mana pun jika sudah masuk ke dalam bumbung itu akan menjadi tuak berkhasiat
tinggi; selain bisa untuk sembuhkan segala macam luka dan
penyakit, juga bisa untuk melenyapkan benda yang disembur dengan tuak itu,
namanya jurus 'Sembur Siluman'. Banyak lagi kegunaan tuak yang sudah masuk ke
dalam bumbung tersebut.
Bumbungnya sendiri bukan terbuat
dari sembarang bambu. Bambu yang
dipakai sebagai bumbung tuak itu
sebenarnya merupakan bambu bernyawa, artinya bisa bergerak sendiri
menyerang lawan dan mengembalikan
pukulan tenaga dalam lawan. Bambu
tersebut memang dari jenis bambu besi, tapi ditemukan si Gila Tuak di penjara
bumi, lorong gua di bawah Gunung Karak Kato (sekarang Krakatau).
Kesaktian bumbung itu juga bisa
menyedot tenaga dalam lawan yang
dipancarkan secara berlebihan untuk kemudian dilumpuhkan. Karena sejarah bumbung
itu sebenarnya adalah jelmaan dari bocah tanpa pusar yang bernama Wijayasura,
yaitu eyang gurunya si
Gila Tuak, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Pusaka Tombak Maut").
Hal yang menegangkan Suto lagi
adalah keberadaan sebuah pusaka yang tersimpan di dalam bumbung itu. Pusaka
Cincin Manik Intan disimpan Suto di dalam bumbung tuak. Jika bumbung itu
hilang dicuri orang tentu saja Cincin Manik Intan ikut hilang.
Padahal cincin pusaka itu sangat
berbahaya jika dipakai oleh sembarang orang. Bisa membuat orang itu berlaku keji
dan semena-mena mencabut nyawa orang lain.
"Aku yakin pasti ada yang
mengambil. Tak mungkin bumbung itu
digondol kucing atau serigala. Pasti diambil oleh seseorang!" kata Suto bicara
sendiri sambil celingak-celinguk di sekitar tempat itu.
Langkah mencari bumbung tuak yang
hilang itu terhenti. Mata pendekar
muda itu memandang ke arah salah satu sisi, bekas tumbuhnya serumpun bambu.
Bambu-bambu hijau yang pernah tumbuh di situ agaknya habis ditebangi oleh
seseorang. Sejumlah bumbu masih utuh di salah satu bagian, tapi di bagian lain
pohon-pohon bambu itu tinggal sisa
tonggaknya yang meruncing berjajar-jajar. Tinggi tonggak ratarata sebatas paha orang dewasa.
Dan di tempat tonggak-tonggak
runcing itu, ternyata ada seorang gadis yang sedang berbaring dengan
tenangnya. Tubuh gadis cantik yang
mulus itu tetap utuh tanpa luka
seujung jarum pun, padahal ia tidur di atas keruncingan tonggak-tonggak
bambu. "Siapa gadis itu"!" pikir Suto Sinting. "Rupanya ia sedang pamer ilmu atau
memang sedang menjajal ilmu
kebalnya sehingga ia tidur di atas
tonggak-tonggak bambu yang runcing dan tajam itu" Hmmm... atau barangkali ia
melihatku tidur di atas pohon, lalu ia tak mau kalah dengan menunjukkan
kebolehannya yang bisa tidur di atas keruncingan tonggak bambu"!"
Gadis itu tak lain adalah gadis
berompi merah yang belahan dadanya tampak lebar sampai ke ulu hati dan tampak
kemontokannya sebagian. Suto Sinting tidak mengenal gadis itu,
sehingga ia mendekatinya dan ingin melihat dengan lebih jelas lagi wujud
kecantikan si gadis bertubuh sekal
menantang gairah itu.
Weeet...! Tiba-tiba tubuh yang
terbaring dengan kedua tangan di perut itu melesat bagaikan terbang dengan
Pendekar Mabuk 044 Pusaka Bernyawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sendirinya. Di udara ia bersalto
beberapa kali, dan kejap berikutnya sudah berdiri di atas sebatang bambu yang
terpotong miring hingga
keruncingannya semakin tajam. Teeb...!
Dengan satu kaki gadis itu
berdiri di atas keruncingan bambu.
Matanya terbuka memandang Suto Sinting yang sempat terperangah bengong. Bukan
karena kehebatan sang gadis yang bisa berdiri di atas keruncingan bambu,
tapi terperangah karena memandang
kecantikan yang begitu menantang
selera kejantanan seorang pendekar.
Suto Sinting bagai terkesima
memperhatikan tiap bagian tubuh gadis itu. Sang gadis sunggingkan senyum
bernada sinis. Senyum itu lebih
berkesan membanggakan ilmunya.
Terbukti tegurannya menyinggung
tentang masa tidur Suto tadi.
"Kau kira hanya kau sendiri yang bisa tidur di atas daun tanpa jatuh?"
Kesadaran si murid sinting Gila
Tuak segera membuatnya nyengir dan
garuk-garuk kepala. Sang gadis berkata lagi dengan senyum jumawanya,
"Kalau kau bisa pamer ilmu
peringan tubuh, aku pun bisa pamer
ilmu peringan tubuhku! Sekarang
bagaimana pendapatmu tentang ilmuku ini"!"
"Hebat sekali," Jawab Suto Sinting sambil manggut-manggut.
"Pemusatan tenaga dalam pada titik
urat saraf tertentu adalah hal yang biasa kulakukan juga."
Si gadis sedikit berkerut dahi.
"Kok dia tahu kalau pemusatan tenaga pada urat saraf tertentu" Kalau begitu dia
jago juga untuk berbuat seperti yang kulakukan ini"!" pikir si gadis.
"Tapi perlu kau ketahui, Nona...
bahwa aku tidur di atas daun bukan
dengan maksud pamer ilmu padamu. Aku tak tahu kalau kau ada di sekitar
hutan sini. Kupikir tak ada orang,
jadi aku berani melakukan hal itu.
Kalau kutahu ada orang di hutan ini, aku tak berani lakukan hal itu, sebab takut
dianggap pamer ilmu. Padahal ilmuku sangat rendah. Tidak ada sekuku hitamnya
dibandingkan ilmu yang kau miliki, Nona. Aku ini manusia biasa, pengembara yang
tidak punya bekal apa pun kecuali seutas nyawa dan sejengkal mahkota bagi
seorang lelaki...."
Sambil berbicara panjang begitu,
diam-diam tubuh Suto Sinting terangkat sendiri secara pelan-pelan. Telapak
kakinya mulai tidak menyentuh tanah.
Semakin lama bicara semakin naik,
hingga sang gadis membelalak melihat Suto bisa melayang-layang di udara
tanpa alas berpijak apa pun.
"Waah.. Ini sudah pamer ilmu
namanya. Kata-katanya merendah tapi tindakannya meninggikan diri."
Si gadis menjadi kagum dan
mengakui kehebatan Pendekar Mabuk
secara diam-diam. Tetapi sebagai gadis berilmu ia tak mau mengakui begitu saja.
Dengan satu kekuatan tenaga
dalam ia menarik tubuh Suto Sinting yang melayang di udara. Tangan nya
mengembang ke depan dan menyentak
turun dalam jarak lima langkah di
depan Suto. Wuuut...!
Tapi bukan Suto yang tertarik
turun, melainkan gadis itu sendiri
yang tersentak jatuh dari atas
keruncingan bambu tempatnya berpijak.
Bruuus...! Hampir saja lehernya
tertusuk tonggak bambu di depannya, ia jatuh dalam keadaan tersungkur
menyedihkan. Sedangkan tubuh Suto
Sinting masih tetap mengambang di
udara karena menggunakan jurus 'Layang Raga'-nya itu.
Sang pendekar tampan hanya
tersenyum dan akhirnya cekikikan
setelah ia turun serta menapakkan
kakinya ke bumi. Sang gadis menjadi berwajah merah karena malu dan jengkel
sendiri. Akhirnya ia menjadi berang
dan membentak Suto Sinting.
"Jangan menertawakan diriku!
Kurobek mulut manismu itu kalau kau masih menertawakan diriku!"
"Mau merobek pakai apa, Nona"
Pakai tangan atau pakai bibirmu?" goda Suto Sinting.
"Kurang ajar! Hiiih...!"
Gadis itu melompat dan menyambar
pisaunya. Pisau dikibaskan ke mulut Suto Sinting. Wuuut...!
Dengan menarik kepala ke
belakang, Suto Sinting berhasil
menghindari kibasan pisau tersebut.
Lalu jari tangannya menyentil ke arah pergelangan tangan si gadis. Wees...!
Tuub...! "Auh...!" si gadis memekik kesakitan, sebab Suto menggunakan
jurus 'Jari Guntur' yang mampu
menghadirkan tenaga dalam cukup besar untuk satu sentilan. Akibatnya, bukan saja
pisau itu terlempar lepas dari genggaman,
tapi tubuh si gadis
berputar dua kali di udara karena
merasa bagai disapu angin badai
berkekuatan besar.
Bruuuk...! Si gadis akhirnya
jatuh bersimpuh di tanah. Wajahnya
yang punya kesan pemberani itu
menyeringai menahan rasa sakit di
pergelangan tangannya. Lalu tangan
kirinya mengeras dengan telapak tangan melebar. Telapak tangan itu pelan-pelan
meraba pergelengan tangan yang membekas biru legam. Beberapa saat
bekas pukulan di genggamnya, kemudian kejap berikutnya ia sudah tidak
merasakan sakit. Tangan kirinya bagai mengurut dan mencabut rasa sakit itu dalam
satu genggaman. Genggaman itu segera ditiupnya dengan kepala sedikit mendongak.
Puiiih...! Ia bangkit lagi dalam keadaan
sehat dan segar, seperti tak pernah mengalami luka dan sakit apa pun.
Pisaunya segera dipungut dan
dimasukkan ke dalam sarungnya.
"Kau memang lebih hebat dariku,"
ujarnya sambil memasukkan pisau ke
sarungnya. "Sekalipun kukerahkan seluruh ilmuku, tapi aku tetap tidak akan bisa
mengunggulimu, Pendekar
Mabuk!" Dahi sang pendekar berkerut walau
bibirnya tetap tersenyum menawan. "Kau mengenal diriku sebagai
Pendekar Mabuk?" "Tentu saja aku mengenal ciricirimu. Aku juga mengetahui bahwa nama
aslimu adalah Suto, sebutannya Suto Sinting. Gurumu adalah tokoh tertinggi di
rimba persilatan yang bergelar Gila Tuak dan Bidadari Jalang."
"Wow...! Lengkap sekali kau
mengetahui tentang diriku?" Suto
tampak semakin berseri. "Lalu kau sendiri siapa, Nona Cantik"!"
"Pernah mendengar Putri Malu?"
"Pernah. Sejenis daun kumis
kucing." "Enak saja!" gadis itu bersungut-sungut. "Putri Malu itu namaku. Jangan
disamakan dengan kumis kucing."
"Ooo, ho, ho, ho...!" Pendekar Mabuk tertawa geli. "Jadi namamu Putri Malu" Tapi
kurasa kau seorang putri yang tidak tahu malu. Buktinya
pakaianmu begitu menantang kemesraan seorang lelaki."
"Justru inilah yang dinamakan
Putri Malu. Artinya putri yang punya ke... eh, putri yang punya rasa malu.
Kalau tak punya rasa malu aku sudah telanjang."
"Aku akan memandang," sahut Suto dalam kelakarnya.
Putri Malu hanya mencibir. Manis
juga cibirannya, bikin hati Suto
geregetan ingin menggigit bibir itu.
Untung Suto sadar bahwa bibir itu
bukan kue lapis yang boleh digigit
sembarang orang, sehingga sang
pendekar tampan pun hanya bisa tarik napas memendam keinginannya.
"Kulihat tadi kau mencari sesuatu di sekitar sini."
Pendekar Mabuk segera ingat pada
persoalan gawatnya, ia sedikit berubah wajah menjadi agak tegang. Matanya pun
mulai memandang sekeliling.
"Benar. Aku mencari bumbung wadah tuak. Tadi sewaktu aku tidur, bumbung itu
kuletakkan di sampingku. Tapi
ketika aku bangun, bumbung itu sudah tak ada. Hilang entah ke mana, dan aku
sudah mencarinya tapi tak berhasil."
"Jika aku berhasil menemukan,
maukah memberiku hadiah?"
Pendekar Mabuk memandang Putri
Malu dengan berkerut dahi. Pandangan matanya sedikit menyipit karena ia
mulai menaruh curiga.
"Maukah kau memberiku hadiah?"
tanya Putri Malu lagi sambil tersenyum dan melirik nakal.
"Hadiah apa yang kau inginkan?"
"Hmmm...." senyumnya semakin berkesan nakal. "Tidak berat, juga tidak mahal."
"Sebutkan! Jangan bertele-tele!"
sahut Suto agak keras karena penasaran dan tak sabar ingin segera mendapatkan
bumbung tuaknya.
"Aku minta
hadiah segumpal
kehangatan."
"Maksudmu, singkong bakar atau ubi rebus?"
"Uuuh...!" Putri Malu cemberut jengkel. "Bukan kehangatan berupa makanan!"
"Jadi kehangatan apa yang kau
inginkan?"
"Kemesraan...," jawabnya sambil mendekat dan berlagak manja. Bibirnya mulai
tampak merekah mengundang
selera. Matanya memandang sayu bagai ingin dicumbu.
Jantung Suto Sinting seperti
mengalami gempa setempat. Berguncang cepat hingga mengeluarkan keringat
dingin. Pikirannya menjadi kusut,
pandangan matanya pun mulai buram.
Karena ia merasakan ada getaran aneh yang begitu kuat hingga sulit untuk
ditaklukkan. Setelah berulang kali
menelan ludah dan membiarkan gadis itu mendekat, Suto Sinting segera berkata
dengan suara agak parau.
"Aku.... Aku tak sanggup
memberikannya, Putri Malu."
"Bukan untuk aku," ujarnya.
Ucapan itu membuat Suto cepat kerutkan dahi kembali.
"Bukan untuk kamu" Lantas untuk siapa?"
"Untuk ratuku."
"Ratumu..."! Siapa ratumu itu?"
"Gusti Ratu Sukma Semimpi."
Suto Sinting semakin berkerut
dahi karena merasa asing dengan nama itu. Sedangkan gadis cantik yang kian
mendekat dan menggenggam tangan Suto itu mulai berkata dalam nada mendesah
lembut. "Jika kau mau menuruti
keinginanku, maka kau akan memperoleh bumbung tuakmu kembali."
"Kalau begitu kau yang mencuri bumbung tuakku!" sergah Suto tiba-tiba sadar dan
dapat menyimpulkan kata-kata Putri Malu. Bahkan langkahnya ditarik mundur dua
tindak, matanya mulai
memancarkan ketajaman.
Putri Malu tetap tenang, namun
kelihatan mengubah sikap menjadi lebih tegas lagi.
"Ya. Memang aku yang
menyembunyikan bumbung tuakmu!"
"Wah, kacau juga rupanya!" gerutu
Suto Sinting. "Berikan bumbung tuak itu sebelum aku menjadi marah
kepadamu!"
"Tak akan kuberikan walau kau
marah sebesar apa pun, kecuali jika kau mau kubawa menghadap Ratu Sukma Semimpi
dan memberikan kemesraan cinta padanya."
Wuuut...! Tiba-tiba angin
berhembus cepat di sisi mereka.
Rupanya ada tokoh lain yang hadir di situ.
* * * 2 TUBUH kurus bermata cekung
memandang dengan sorot mata yang
dingin. Rambutnya yang putih sepanjang punggung diikat dengan ikat rambut
dari kain merah. Melihat ikatan
rambutnya, sepintas orang akan menduga bahwa ia adalah seorang perempuan tua.
Tapi jika melihat kumisnya yang
panjang berwarna putih dengan jenggot pendek berwarna putih pula, maka orang
akan tahu bahwa ia adalah seorang
lelaki. "Galak Gantung..."!" gumam Putri Malu bernada heran. Suto Sinting hanya
membatin, "O, kakek ini bernama Galak
Gantung" Apa maksud dia datang kemari"
Apakah mau menunjukkan kegalakannya, atau mau menggantung Putri Malu"
Jangan-jangan malahan mau menggantung diri sendiri?"
Kakek berpakaian hitam dengan
dirangkap jubah putih tanpa lengan itu mulai perdengarkan suaranya setelah puas
memandangi Putri Malu dan Suto secara bergantian.
"Sejak kapan kau menjadi gadis perayu, Putri Malu"!"
Suara itu kering, tapi mengandung
wibawa yang tinggi, bisa bikin orang lain segan padanya. Kemudian ia
berkata lagi, "Tak kusangka kau menjadi gadis penjerumus yang akan mencelakakan
orang lain."
"Apa maksudmu bicara begitu,
Galak Gantung"!" Putri Malu menghardik tanpa sungkan-sungkan.
Galak Gantung memandang Pendekar
Mabuk. Selama dua helaan napas ia
belum bicara. Namun ketika mau bicara ia sedikit membungkuk pertanda memberi
hormat kepada sang pendekar. Tentu
saja hal itu mengherankan bagi Suto Sinting maupun bagi Putri Malu. Dalam
Pendekar Mabuk 044 Pusaka Bernyawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hatinya Putri Malu membatin,
"Kenapa dia menghormat kepada
Pendekar Mabuk" Bukankah Galak Gantung tokoh tua berilmu tinggi"!"
"Kumohon jangan mau turuti
bujukan gadis itu, Anak Muda!"
"Maaf," kata Suto dengan sopan sekali. "Aku kurang mengerti maksudmu, Ki Galak
Gantung." "Ratu Sukma Semimpi bukan
keturunan orang
baik-baik. Ayahnya bernama Sabung Nyawa, bekas ketua
partai perampok di pesisir wetan!
Ibunya, Ratu Cabul Kidul, penyihir sesat yang punya kegemaran menjadikan lelaki
sebagai budak gairahnya.
Demikian pula Ratu Sukma Semimpi, ia hanya ingin menundukkan dirimu dengan modal
kemesraannya. Siapa pun yang
bercumbu dengannya akan terserap
ilmunya dan pria
itu akan polos seperti bayi baru lahir lanpa ilmu
setetes pun!"
"Bohong!" bentak Putri Malu.
"Jangan dengarkan omongan tua bangka
itu, Pendekar Mabuk!"
"Aku orang tua, buat apa aku
bicara bohong padamu, Anak Muda!" ucap Galak Gantung dengan nada dingin.
"Racun iblis kau! Hiaaah...!"
Putri Malu menjadi
berang, ia melompat menyerang Galak Gantung.
Wuuut...! Putri Malu seperti
menyerang angin. Tak ada sasaran yang dikenainya. Galak Gantung sudah berada di
belakang Pendekar Mabuk tanpa
ketahuan kapan bergeraknya.
"Setan kempot!" gerutu Putri Malu.
"Anak muda, ingat pesanku, jangan mau melayani Ratu Sukma Semimpi. Ilmu dan
kesaktianmu akan habis terhisap olehnya pada saat kalian bercumbu
dalam kemesraan."
"Mulut busuk!" bentak Putri Malu.
Slaap...! Seberkas sinar hijau
dilepaskan dari tangan Putri Malu.
Bentuk sinar itu seperti lempengan
persegi empat. Galak Gantung kaget, sempat
terkesiap sebentar, lalu tangannya
berkelebat seperti menyambar sesuatu.
Wuuut...! Ternyata tangan itu mengeluarkan
asap yang menggumpal dan membuat sinar
hijau tadi terperangkap di dalamnya.
Asap itu segera membubung tinggi
melewati pucuk-pucuk pohon, kemudian meledak di angkasa dengan suara
menggelegar. Blegaaarrr...! Pada saat itu Putri Malu sudah
berkelebat bagaikan terbang ke arah Galak Gantung. Weees...! Tangannya
menghantam dada Galak Gantung dengan cepat.
Tapi Galak Gantung menangkisnya
dengan kaki, sedangkan kedua tangannya masih dikebelakangkan.
Plak, plak, plak, deeess...!
Kaki Galak Gantung menendang
perut Putri Malu. Gadis itu terlempar empat langkah dalam keadaan
menyeringai. Kemudian Suto Sinting
melihat darah segar meleleh dari
telinga gadis cantik itu. Kejap
berikutnya si gadis terbatuk dan dari mulutnya keluar darah kental.
"Gawat! Dia terluka. Padahal
hanya terkena tendangan seringan itu.
Berarti penyaluran tenaga dalam si
Galak Gantung cukup tinggi. Setiap
gerakan mengandung tenaga inti yang membahayakan. Putri Malu bisa mati kalau
masih menyerang terus."
Suto Sinting cepat bergerak ke
arah depan Putri Malu. Zlaaap...!
Gerakannya yang lebih cepat dari
gerakan anak panah itu diperhatikan oleh Galak Gantung dengan senyum tipis yang
berkesan sinis. Namun bukan
bermaksud meremehkan
gerakan Suto Sinting. "Hentikan seranganmu, Ki Galak Gantung!"
"Aku tidak akan menyerangnya
kalau dia tidak membahayakan nyawaku!"
kata Galak Gantung.
"Hiaaaat...!" tiba-tiba Putri Malu melambung tinggi melewati kepala Suto dan
menendang ke arah kepala
Galak Gantung. Wuut, wuut, wuut, wuut,
wwuuut...! Tendangan bertubi-tubi yang
dilakukan dengan cepat sekali itu
membuat Galak Gantung melompat mundur dan meliuk-liukkan tubuhnya untuk
menghindar. Tapi kejap berikut ia
berputar badan dan kakinya menyampar ke arah lawan. Wweeettt...!
Duug, duug, duuug, duuug...!
Satu tendangan menghasilkan
serangan beruntun dan semuanya
mengenai sasaran. Sentakan terakhir
membuat Putri Malu terjungkir balik ke belakang dan jatuh dengan luka memar di
beberapa bagian tubuhnya, terutama pada wajah dan belahan dadanya.
Suto Sinting tertegun bengong
melihat pertarungan serba cepat itu.
Dalam hatinya Suto berkata,
"Jurus-jurusnya galak sekali.
Mungkin karena itulah ia berjuluk
Galak Gantung" Oh, Putri Malu terluka lebih parah lagi. Aduh, sayang bumbung
tuakku hilang! Aku tak bisa mengobati lukanya jika begini"!" hati Suto gundah
kembali. Putri Malu menggeliat bangkit
dengan berpegangan batang pohon. Saat itu Galak Gantung ingin lepaskan
pukulan jarak jauh dengan mengangkat tangan kanannya. Tapi Suto Sinting
segera berseru,
"Hentikan!"
Satu seruan bersuara menyentak
telah membuat Galak Gantung hentikan gerak. Wajahnya berpaling memandang Suto
Sinting. Yang dipandang melangkah mendekatinya. Galak Gantung segera
turunkan tangan tak jadi lepaskan
pukulan jarak jauhnya.
"Tidakkah kau malu melawan gadis semuda dia, Ki"! Ilmunya tak sebanding
dengan ilmu yang kau miliki!"
"Dia perlu dihajar sebelum
menyesatkan orang banyak!"
"Aku akan menanganinya. Serahkan padaku."
"Berjanjilah untuk tidak terpikat dengan bujuk rayunya dan kau tidak
akan datang bercumbu dengan Ratu Sukma Semimpi!"
Suto Sinting menarik napas
sebentar. "Baik. Aku berjanji. Tapi aku akan menemui ratu itu untuk
menanyakan apa maksudnya mengirimkan anak buahnya untuk membujukku!"
Dengan tetap bernada dingin Galak
Gantung berkata, "Aku percaya padamu, Anak Muda. Selesaikan masalah Putri Malu
itu. Bantulah dia. Sebenarnya aku tidak punya kebencian padanya, juga tidak
ingin bermusuhan dengannya!"
"Akan kuperhatikan kata-katamu, Galak Gantung!"
"Jika begitu aku harus pergi
sekarang juga untuk menyelesaikan
urusanku sendiri. Sampaikan salamku kepada Sabawana dan Nawang Tresni!"
Weeess...! Galak Gantung pergi
dengan begitu cepat sehingga seperti menghilang dari pandangan mata.
Kepergian itu membuat Pendekar Mabuk
terbengong melompong. Bukan karena
kehebatan Galak Gantung yang mampu
bergerak cepat itu, tapi karena tokoh tua yang rambutnya diikat ke belakang itu
sempat titip salam kepada gurunya Suto dengan menyebut nama asli Gila Tuak dan
nama asli Bidadari Jalang.
"Berarti dia sahabat dari guruku"
Pantas dia menghargaiku" Setidaknya ia bisa melihat noda merah di keningku yang
hanya bisa dilihat oleh orang-orang berilmu tinggi."
Noda merah kecil di kening Suto
memang tidak bisa dilihat oleh setiap orang. Noda merah itu diberikan oleh calon
mertuanya, yaitu Ibu dari Dyah Sariningrum yang menjadi ratu di alam gaib. Noda
merah itu merupakan tanda kehormatan
sebagai Manggala Yudha Kinasih di negeri Puri Gerbang Surgawi alam gaib. Setiap orang berilmu tinggi
pasti hormat kepada Suto karena mereka tahu bahwa kekuatan Suto bukan hanya
terletak pada ilmunya saja, melainkan mampu mengerahkan sepasukan prajurit sakti
dari alam gaib. Dan jika
prajurit alam gaib itu mulai bergerak, tak satu pun ada yang bisa menandingi
kekuatannya, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Manusia Seribu
Wajah"). Orang seperti Putri Malu jelas
tak bisa melihat noda merah itu, sebab noda merah hanya bisa dilihat dengan
indera ketujuh. Jika seseorang hanya bisa menggunakan
indera keenamnya,
belum bisa melihat noda merah itu,
sehingga ia tidak tahu siapa Suto
sebenarnya. Untuk ukuran manusia biasa, Putri
Malu tergolong gadis berilmu tinggi, ia mampu mengobati lukanya sendiri dalam
waktu singkat dengan meraba
bagian yang luka dan mencabut gaib dari luka itu. Rasa sakit itu mampu
diambilnya dan dibuangnya dengan satu tiupan yang menyentak ke udara.
Karenanya tak heran ketika Galak
Gantung telah pergi dan Suto Sinting tertegun lama dalam renungannya, Putri Malu
sudah bisa berdiri dan melangkah dengan sehat seperti tak pernah
menderita luka dan sakit apu pun
"Jangan percaya dengan fitnah si Galak Gantung itu!" kata Putri Malu.
"Ratu Sukma Semimpi tidak seburuk itu."
Rupanya gadis itu masih ingin
membujuk Suto Sinting agar mau dibawa menghadap sang Ratu. Hal itu
menimbulkan keheranan dan rasa ingin tahu yang mengusik hati Pendekar
Mabuk. "Kalau kau mau menghadap Ratu
Sukma Semimpi dan mau memberikan
kemesraan yang diharapkan beliau,
bumbung tuakmu akan kukembalikan "
"Kalau aku tidak bersedia,
bagaimana?"
"Kau akan kehilangan bumbung
tuakmu selamanya!"
"Kalau aku memaksamu dengan
kekerasan, apukah kau sanggup
melawanku?"
Pulri Malu diam saja. Ia
melangkah bagai mempertimbangkan
keputusannya. Suto merasa tantangannya akan disambut dulu, setelah Putri Malu
dikalahkan barulah si gadis akan
menyerahkan bumbung tuaknya.
Tapi tiba-tiba Putri Malu melesat
masuk ke semak-semak dan menghilang di sana. Suto Sinting terkejut sekali karena
tidak menduga kalau Putri Malu akan melarikan diri.
"Kurang ajar! Dia malah kabur!
Bagaimanapun aku harus bisa mengejarnya dan menangkapnya supaya bumbung tuakku dikembalikan!"
Zlaaap...! Suto Sinting menggunakan jurus
'Gerak Siluman' hingga mampu melesat dengan cepat melebihi anak panah.
Semak belukar itu diterabasnya tampa peduli ada duri atau tidak, ia tak
ingin kehilangan Putri Malu demi
kembalinya bumbung tuak.
"Edan! Benar-benar gadis edan! Ke mana perginya"!" Suto Sinting hentikan
pelariannya sebentar, karena merasa kehilangan jejak Putri Malu.
Wuuut...! Jleeg...!
Suto Sinting naik ke atas pohon.
Dari atas pohon ia memandang
sekeliling dan memperhatikan setiap gerakan semak. Tapi ia tidak menemukan Putri
Malu. Jurus 'Lacak Jantung' yang mampu menyadap suara jantung orang
lain di sekitarnya, ternyata tidak
memberikan hasil yang diharapkan. Tak ada suara detak jantung sedikit pun
kecuali jantungnya sendiri dan jantung hewan-hewan kecil di sekitar tempat itu.
"Sial. Aku pasti salah arah!"
geram Suto dengan jengkel. "Mungkin dia menuju ke timur! Naluriku tadi
sebenarnya ingin mengarah ke timur, tapi aku terlalu mengikuti alam
pikiranku. Benar-benar gadis konyol
dia itu!" Zlaaaap...! Suto Sinting melesat
ke arah timur, ia tidak menggunakan jalan darat, melainkan menerabas
dedaunan pohon. Seakan melintas dari pohon ke pohon tanpa menimbulkan suara
gemerisik. Kecepatan gerak dan ilmu peringan tubuhnya membuat daun-daun bagai
dilewati angin kecil.
"Nah, itu dia..."!" sentak hati Suto kegirangan, ia segera menuju ke sebuah
lembah di mana terlihat
sekelebat bayangan merah.
Bayangan merah itu dipastikan sebagai pakaian Putri Malu yang bergerak cepat
melarikan diri.
Namun alangkah kecewanya Suto
setelah tahu bahwa bayangan merah itu bukan Putri Malu, melainkan seorang nenek
berjubah merah dengan tongkat putihnya. Rupanya nenek berambut putih disanggul
sebagian itu sedang mengejar seseorang hingga menggunakan gerakan secepat itu.
Suto Sinting akhirnya
mengikuti sang nenek dari atas pohon, ia ingin tahu apa yang dikejar sang nenek.
Mungkinkah Putri Malu juga atau orang lain yang ada hubungannya dengan Putri
Malu"
Pendekar Mabuk 044 Pusaka Bernyawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketika tiba di tanah lapang yang
tidak banyak ditumbuhi pohon, nenek berjubah merah itu tahu-tahu
terjungkal ke depan dan bergulingguling. Suto Sinting tidak melihat sekelebat sinar atau senjata apa pun yang
membuat sang nenek terjungkal, sehingga ia
menyangka sang nenek
tersandung batu dan jatuh tergulingguling.
Namun ketika Suto hendak turun
dari atas pohon untuk memberikan
pertolongan kepada sang nenek, tiba-tiba seorang lelaki tua berjubah putih
dengan pakaian dalam hitam dan rambut putihnya diikat ke belakang muncul
menyerang sang nenek. Dengan sebatang kayu kering ia menghantam sang nenek.
Wuuut...! Trak, duaaar...!
Sang nenek menahan pukulan kayu
tersebut dengan melintangkan
tongkatnya dalam keadaan terbaring.
Ketika kayu menyentuh tongkat terjadi satu kilatan cahaya warna putih dan
ledakan cukup keras pun menggelegar membahana.
Lelaki tua itu tak lain adalah
Galak Gantung yang agaknya berseteru dengan si nenek jubah merah. Rupanya nenek
jubah merah bukan mengejar
lawan, melainkan dikejar oleh lawan.
Suto Sinting jadi ragu untuk turun
membantu sang nenek, sebab lawan sang nenek adalah sahabat gurunya sendiri.
"Ada persoalan apa antara mereka berdua" Sudah sama tuanya masih saja lakukan
pertarungan. Kalau bukan
karena masalah penting, tak mungkin mereka sampai baku hantam sedahsyat itu.
Keduanya sama-sama mempunyai
tenaga dalam yang mudah disalurkan
melalui apa saja. Terbukti hantaman kayu dengan tongkat tadi memercikkan
seberkas sinar dan menimbulkan ledakan cukup besar. Hmmm... akan kuperhatikan
dari pohon sebelah sana saja, supaya aku tahu persis apa perkara yang
mereka pertarungkan itu!"
Zlaaap...! Suto Sinting pindah
pohon. Letaknya lebih dekat dengan
pertarungan itu, tapi berdaun lebih rimbun, sehingga keberadaan Suto di situ tak
mudah terlihat.
Kedua tokoh itu masih sama
kuatnya. Berulang kali mereka saling mengadu tenaga dalam, berkali-kali
saling terlempar dan jatuh, namun tak satu pun ada yang tampak terluka.
Saat mereka saling memasang jurus
dalam jarak tiga tombak, Galak Gantung
serukan kata menyentak walau wajahnya tetap berkesan dingin, namun penuh
wibawa. "Kuingatkan sekali lagi, jangan membantu usaha Putri Malu yang ingin
mencelakakan murid sahabatku itu,
Sumbar Keramat!"
"Urusanku bukan urusanmu.
Urusanmu pun bukan urusanku, Galak
Gantung! Kalau kau ikut campur
urusanku itu namanya lancang! Aku pun tak segan-segan melumpuhkanmu, Galak
Gantung!" "Haruskah persoalan ini merenggut salah satu nyawa kita, Sumbar
Keramat"!"
"Anggani adalah muridku. Kalau seorang guru membela muridnya itu
adalah tindakan yang wajar!"
"Semasa demi kebaikan memang
wajar. Tapi Putri Malu, muridmu itu mempunyai keinginan yang kurang ajar.
Mengorbankan orang lain untuk mencapai kepentingan pribadi adalah tindakan yang
tidak terpuji, Sumbar Keramat.
Apa artinya seorang guru membela murid yang tidak terpuji! Apakah sang Guru juga
punya niat tidak terpuji juga"!"
"Tak usah banyak mulut kau, Galak Gantung! Keluarkan kegalakanmu seperti
masa muda dulu, aku tak akan mundur setapak pun!" sentak sang nenek berjubah
merah. Ternyata dia adalah guru dari Putri Malu yang punya nama asli Anggani.
"Menarik juga percakapan mereka.
Tapi aku masih belum jelas apa
persoalan sebenarnya?" pikir Pendekar Mabuk dengan mulut mengecap-ngecap
karena rindu minuman tuak. Hatinya
sejak tadi tak bisa tenang karena
tidak berada di samping bumbung
tuaknya. "Jangan menyesal jika aku
terpaksa menghancurkan hidupmu, Sumbar Keramat!"
"Sebelum kau lakukan, aku akan melakukan lebih dulu! Heaaah...!"
Nyai Sumbar Keramat sentakkan
kaki dan tubuhnya melayang cepat
bagaikan terbang. Tongkatnya
dihantamkan ke arah kepala Galak
Gantung. Tapi sahabat Gila Tuak itu berpindah tempat dalam sekejap.
Weesss...! Tahu-tahu
ia ada di belakang Nyai Sumbar Keramat. Lalu
kedua tangan Galak Gantung menyentak ke depan dan tiba-tiba tubuh Sumbar Keramat
terjungkal sebelum mendaratkan kakinya ke tanah. Wuuutt...!
Brrrusss...! Nenek tua berbadan kurus itu
tersungkur di rerumputan tinggi, ia seperti boneka yang dibuang
sembarangan. Suto Sinting sebenarnya tak tega, tapi ia tak berani mencegah
pertarungan itu, karena sepertinya
Nyai Sumbar Keramat ingin membantu
muridnya dalam membujuk Suto untuk
membawanya kepada Ratu Sukma Semimpi, sedangkan Galak Gantung bersikap
menggagalkan rencana itu. Galak
Gantung tampak membela Suto dan tidak ingin Suto Sinting celaka karena
bujukan Putri Malu.
"Galak Gantung...!" seru Nyai Sumbar Keramat. "Kau tak akan bisa mengalahkanku
sebelum bersujud di
hadapanku!"
Tiba-tiba Galak Gantung berlutut
dan bersujud sampai mencium tanah.
Pada saat itu Nyai Sumbar Keramat
melepaskan pukulan tenaga dalamnya
berupa serpihan logam kecil-kecil
seperti serbuk besi yang menyembur
dari telapak tangan kirinya.
Zraaakkk...! Galak Gantung gulingkan badan
sebelum ia melihat datangnya serbuk mengkilat itu. Wuuut...! Begitu badan
berguling ke kiri, langsung lenyap tak berbekas. Blaab...!
Tahu-tahu Galak Gantung sudah
berada di bawah pohon, sisi kanan Nyai Sumbar Keramat. Sedangkan serbuk
mengkilat itu menghantam tanah.
Brruuss...! Blaaarrr...!
Tanah itu menjadi berongga cukup
lebar dan dalam. Lubang tersebut
segera terbungkus nyala kobaran api yang membubung tinggi. Rumput dan
tanah di sekitarnya pun ikut terbakar pula, hingga salah satu pohon menjadi layu
dan akhirnya pasrah terbakar
karena tak bisa melarikan diri.
"Kau salah sasaran, Sumbar
Keramat!" seru Galak Gantung.
Begitu nenek kempot itu menengok
ke samping kanan, saat itu juga tangan kanan Galak Gantung menyambar ikat
pinggangnya yang terbuat dari tambang coklat. Srreeet...! Tambang
itu disentakkan ke depan dalam satu kali lecutan cepat.
Plaas...! Zeerrrrtt...!
Leher Nyai Sumbar Keramat
terjerat tambang yang mampu memanjang secara ajaib itu. Nyai Sumbar Keramat
mengerang dengan suara tertahan.
Tangannya yang kiri mencekal tambang
yang menjerat leher. Rupanya makin
lama jeratan tambang semakin kuat,
bagaikan bergerak dengan sendirinya.
Dengan mengerahkan tenaga, Nyai
Sumbar Keramat menahan gerakan tambang yang hendak ditarik Galak Gantung.
Seluruh tubuhnya yang merendahkan kaki itu bergetar, sementara Galak Gantung
sendiri juga mengerahkan tenaga untuk menarik tambang tersebut.
Sekali tarik, tubuh Nyai Sumbar Keramat akan melayang dan jeratan di lehernya akan
mematikan. Karena itu Nyai Sumbar
Keramat mempertahankan agar hal itu jangan sampai terjadi.
Adu tenaga itu sampai membuat
tambang berasap. Dalam jarak delapan langkah lebih tambang itu terentang kuatkuat dan akhirnya terbakar.
Mungkin karena tak mampu menahan
panasnya tenaga dalam yang disalurkan oleh kedua tokoh tua itu, sehingga
bagian pertengahan tambang mulai
menyalakan api dan akhirnya api pun merayap menuju kedua sisi.
"Gila! Rupanya keduanya sama-sama punya ilmu yang sebanding, sehingga
pertarungan itu menjadi begitu ulet dan alot, saling tak mampu
menumbangkan lawan. Barangkali dulu
mereka satu guru dan sama-sama
mendapat kesaktian yang seimbang,"
pikir Suto Sinting dengan gelisah,
karena ia bimbang antara ingin melerai pertarungan atau hanya menjadi
penonton yang baik.
Yang jelas ia melihat Galak
Gantung menyentakkan tangan kirinya dan berhembusnya angin dari telapak tangan
itu yang memadamkan api di
tambang tersebut. Wuuurbb...! Kini
tambang tinggal berasap, namun mereka masih saling tarik dengan tenaga dalam
yang dikerahkan habis-habisan.
"Sumbar Keramat...!" seru Galak Gantung dengan suara tertekan.
"Biarkan muridmu menghadapi Ratu Sukma Semimpi sendiri tanpa melibatkan
Pendekar Mabuk, atau aku harus
mengakhiri masa hidupmu jika kau masih ingin membantu muridmu
membujuk Pendekar Mabuk"!"
"Keparat kau...! Heeaahh...!"
Satu sentakan tangan diiringi
hentakan kaki membuat Nyai Sumbar
Keramat mampu menarik tambang dan
tubuh Galak Gantung tersentak. Kakek berjubah putih itu terpental maju
dalam keadaan melayang di udara dengan tubuh menukik. Tubuh itu melintasi
batas kepala Nyai Sumbar Keramat, dan pada saat itu rupanya Galak Gantung juga
kerahkan tenaga hingga mampu
menarik tambang. Wuuuut...! Lalu,
tubuh Nyai Sumbar Keramat pun
tersentak naik dan melayang terjungkir balik. Akibatnya kedua tokoh tua itu
seperti mainan di ujung dua tali,
saling melayang dan terbuang-buang.
Namun ketika Galak Gantung
berhasil tapakkan kakinya di batang pohon dalam keadaan miring, ia
berhasil pula menyentakkan tambangnya, sehingga Nyai Sumbar Keramat tertarik dan
melayang cepat.
Wuuut...! Brrrusss...!
"Auaahg...!"
"Uuuhg...!"
Suto Sinting ingin tertawa
melihat keduanya bertabrakan bagai
orang buta beradu dengan orang buta.
Keduanya sama-sama roboh dan berdarah.
Keduanya sama-sama terkapar. Tapi
agaknya Nyai Sumbar Keramat lebih
parah, ia segera tak sadarkan diri
alias pingsan. Pada saat itu, sekelebat bayangan
merah datang dari balik dua pohon yang tumbuhnya merapat. Putri Malu muncul dari
sana. Rupanya entah sejak kapan
gadis itu mengintai pertarungan dari sana dan begitu melihat gurunya
pingsan, ia segera muncul
untuk melakukan pembelaan. Tapi pada saat itu
pula Suto Sinting berkelebat
keluar dari persembunyian. Langsung menghadang langkah Putri Malu.
* * * 3 MELIHAT Suto menghalangi
langkahnya, Putri Malu langsung
melepaskan pukulan tenaga dalam tanpa sinar ke dada Pendekar Mabuk.
Wuuut...! Reggh...! Suto Sinting tersentak
mundur. Dadanya bagaikan ditendang
kaki orang sebesar gajah, ia tak
sempat menangkis pukulan itu karena ia tak menyangka kalau Putri Malu benarbenar akan memukulnya.
Untung pukulan itu tak membuatnya
luka, hanya merasa panas dan sedikit sesak napas. Pendekar Mabuk tidak
sampai terjatuh. Hanya tersentak tiga langkah ke belakang.
Ia segera bergeser ke samping
kanan, karena Putri Malu ingin
melangkah melalui samping kanan. Gadis itu
menjadi berang sekali, ia
melepaskan pukulan tanpa sinar lagi, kali ini dilakukan dengan dua tangan.
Tapi kali ini Suto Sinting siap
menghadapinya, sehingga begitu
gelombang pukulan itu menghantamnya, Suto pun melepaskan gelombang pukulan tanpa
sinar. Wuuukk...! Buuhg...!
Weeeess...! Putri Malu terlempar
ke belakang karena pukulan Suto
menyatu dengan pukulan sendiri dan
menghantam ke dadanya. Tentu saja
Putri Malu seperti ditendang seekor banteng liar. Ia jatuh di kejauhan sana,
sekitar berjarak tujuh langkah.
"Uuhg...!" Putri Malu mengerang sukar bangun. Pendekar Mabuk cemas, karena
bagaimanapun juga ia tak ingin gadis itu mati sebelum menyerahkan
bumbung tuaknya. Maka Suto Sinting pun segera menghampirinya untuk memberi
pertolongan. "Jangan sentuh aku!" sentak Putri Malu dengan cemberut.
"Kau bikin aku jengkel, Putri
Malu! Sebenarnya setiap masalah bisa kita selesaikan tidak dengan cara
begini, melainkan dengan cara baikbaik. Aku tak keberatan menolongmu
Pendekar Mabuk 044 Pusaka Bernyawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyelesaikan persoalanmu asal bumbung tuakku kau kembalikan. Sebaiknya
katakan di mana bumbung tuak itu kau sembunyikan, Putri Malu."
"Guruuu...!" tiba-tiba Putri Malu memekik, ia berusaha bangkit tapi
jatuh lagi. Suto Sinting berpaling ke
belakang, ia juga agak terkejut
melihat Galak Gantung mengangkat tubuh Nyai Sumbar Keramat dan membawanya
pergi dengan gerakan cepat.
Putri Malu akhirnya hentikan
langkah setelah mencoba berdiri untuk mengejar gurunya, tapi langkahnya
terhuyung-huyung, ia menderita luka pada tulang-tulangnya akibat terpukul tenaga
dalamnya yang menyatu dengan tenaga dalam Pendekar Mabuk itu. Mau tak mau ia
mengobati dirinya lebih
dulu. "Kalau bumbung tuak itu ada, kau dapat kutolong. Dengan meminum tuak itu, maka
kau akan menjadi sehat dan segar."
"Diam kau!" sentaknya dengan sewot, ia mengurut kakinya sendiri
dengan kedua tangan gemetar, lalu
seperti menangkap rasa
sakit dan membuangnya dengan satu tiupan ke arah genggaman tangannya. Hal itu dilakukan
beberapa kali dan dipandangi oleh Suto Sinting dengan kalem.
"Aku telah mendengar percakapan gurumu dengan Ki Galak Gantung," kata Suto
sambil memandang keadaan
sekeliling, sementara Putri Malu
mengobati dirinya.
"Dari percakapan mereka, aku
dapat menyimpulkan bahwa kau
sebenarnya punya masalah dengan Ratu Sukma Semimpi itu. Masalahmu itu bisa
diselesaikan jika kau bisa membawaku menghadapnya dan kau berhasil
membujukku agar melayani kemesraan
gairahnya."
Putri Malu memandang dengan sikap
terkejut, ia masih duduk melonjorkan kaki. Suto Sinting segera berpaling
menatapnya pula dengan kedua tangan bersidekap di dada. Mulutnya sesekali
menelan ludah karena haus minuman
tuaknya. "Katakan yang sebenarnya, Putri Malu... apa persoalan yang kau hadapi sehingga
kau harus membujukku untuk mau melayani kasmaran sang Ratu itu?"
Putri Malu tidak langsung
menjawab. Namun raut wajahnya mulai tampak berubah mengendur, seakan ia sudah
merasa tak perlu menutupi
sesuatu yang dirahasiakan, ia bangkit menyentak-nyentakkan kakinya sebentar,
ternyata sudah terasa enak. Kemudian ia melangkah mendekati gundukan tanah di
bawah pohon. Di sana sang gadis cantik dan berambut cepak itu duduk termenung,
sehingga Pendekar Mabuk
terpaksa mendekatinya lalu berkata
dengan sikap ramah, tanpa nada
permusuhan "Katakan, Anggani... apa
masalahmu?"
Putri Malu terkejut lagi dan
menatap Suto. "Kau tahu nama asliku?"
"Kudengar gurumu menyebutkan nama itu, dan kutahu nama itu adalah
milikmu. Sebab nama itu sangat cantik, sesuai dengan wajahmu."
Anggani menarik napas, lalu
menghempaskannya. Suaranya terdengar pelan, tapi penuh kesungguhan. Tak ada
kesan bercanda atau berbohong.
"Memang aku dalam kesulitan. Aku tak tahu bagaimana mengatasinya. Yang kutahu
hanya dengan cara menyerahkan kau kepada Ratu Sukma Semimpi,
sehingga aku bisa bebas dari kesulitan
itu." "Sebutkan kesulitanmu, barangkali aku punya cara lain untuk
mengatasinya."
Putri Malu memandang penuh harap.
Ada kesedihan di balik mata beningnya itu. Ada penyesalan juga di sana, yang
semua itu membuat Pendekar Mabuk
semakin penasaran ingin tahu
segalanya. "Ibuku ditawan oleh Ratu Sukma Semimpi."
Pendekar Mabuk terperanjat,
matanya memandang tajam karena dahinya pun berkerut.
"Kurasa ia tidak main-main dan juga tidak berbohong. Aku dapat
melihat kesungguhan dukanya dari sorot pandangan matanya kali ini," pikir
Pendekar Mabuk.
"Mengapa ibumu sampai ditawan
oleh sang Ratu?"
"Ibuku adalah seorang tabib.
Pernah mendengar nama Tabib Getar
Hati?" Pendekar Mabuk diam berpikir
sebentar, kemudian menjawab, "Baru kali ini kudengar namanya."
"Itulah nama ibuku, ia ditawan oleh Ratu Sukma Semimpi karena dituduh
salah melakukan pengobatan."
"Pengobatan yang bagaimana?"
tanya Suto Sinting ketika Putri Malu diam sesaat.
"Awalnya... sang Ratu menderita luka dalam akibat pertarungannya
dengan Penguasa Pulau Campak. Ibuku dipanggil dan disuruh mengobati. Luka dalam
yang hampir membusukkan jantung sang Ratu itu berhasil diobati oleh Ibu, tetapi
di sini lain, buah dada sang Ratu menjadi kempes dan makin
hari makin kecil. Sang Ratu sangat kecewa dan sedih, lalu akhirnya
menjadi murka. Karena ia sangat
membanggakan dadanya itu yang dipakai sebagai daya pikat bagi
lawan jenisnya. Ibu segera ditangkap dan
dipenjara. Padahal menurut Ibu,
hilangnya buah dada sang Ratu bukan karena salah pengobatan, tetapi sang Ratu
terkena kutukan seorang pendeta dari sebuah biara, namanya Pendeta
Cermin Bumi. Pendeta itu dibunuh
ketika hendak melakukan pertarungan dengan Penguasa Pulau Campak. Sebelum sang
Pendeta menghembuskan napas
terakhir sempat melontarkan kutukan yang pada intinya membuat sang Ratu
kehilangan seluruh daya tarik
kecantikannya."
Pendekar Mabuk angguk-anggukkan
kepala. Setelah diam sesaat dan
merenungi cerita itu, Pendekar Mabuk yang resah karena tidak mendapatkan tuaknya
itu segera ajukan pertanyaan lagi,
"Lalu, apa hubungannya dengan
diriku" Mengapa kau membujukku agar aku melayani gairah sang Ratu?"
"Ibu akan dilepaskan dari penjara jika penyakit sang Ratu telah sembuh.
Karena sang Ratu tetap tidak percaya bahwa hilangnya daya tarik kewanitaan itu
karena kutukan, ia tetap menuduh Ibu. Lalu, ibuku menyarankan agar sang Ratu
mencari penangkal kutukan itu."
Karena sang gadis diam sampai
tiga helaan napas, maka Suto pun
segera memancing percakapan agar
diteruskan kembali.
"Apa penangkal kutukan itu?"
"Darah Pendekar," jawab Putri Malu dengan pelan.
"Maksudmu membunuh seorang
pendekar dan diambil darahnya?"
Putri Malu gelengkan kepala.
"Darah sang Ratu harus bercampur dengan darah seorang pendekar dari
golongan putih. Pada saat darah sang
Ratu tercampuri darah Pendekar, maka kekuatan kutuk itu akan sirna dan apa yang
hilang dari sang Ratu akan
kembali lagi. Ia akan kelihatan cantik dan tubuhnya menjadi montok seperti dulu
kala." "Mengapa aku yang jadi
sasarannya" Apakah ibumu menyarankan begitu?"
"Tidak. Ibu hanya menyarankan
mencari darah pendekar. Lalu, sang
Ratu menyuruhku mencarimu: Pendekar Mabuk. Karena sang Ratu diam-diam
sudah tertarik padamu karena pernah bermimpi tentang dirimu. Untuk
membebaskan ibuku, aku harus mencari Pendekar Mahuk dan mampu membujuknya untuk
datang kepada sang Ratu."
Putri Malu tundukkan kepala,
antara tersipu dan sedih. Lalu ia
lanjutkan bicaranya lagi,
"Sudah kuajukan usul untuk
mencari pendekar lain, mungkin bisa kudapat dari tanah seberang. Tapi sang Ratu
tidak mau. Ia pergunakan
kesempatan itu untuk memperalatku guna mendapatkan Pendekar Mabuk. Aku diberi
waktu sampai purnama tiba. Apabila
sampai malam purnama tiba aku belum mendapatkan Pendekar Mabuk, maka ibuku
akan digantung di depan umum."
Wajah cantik itu benar-benar
menampakkan kesedihannya. Mata indah bening itu menjadi memerah karena
menahan tangis. Suto Sinting menarik napas dan melangkah ke sisi lain
sambil berpikir.
"Repotnya aku tidak punya tuak.
Kalau aku sekarang punya tuak,
barangkali dengan meminum tuakku maka otakku bisa bekerja dengan baik dan bisa
memperoleh cara untuk
menyelamatkan Tabib Gelar Hati itu,"
pikir Suto Sinting.
Menurutnya pula, kesalahan
tersebut tidak terletak pada Tabib
Getar Hati. Kesalahan itu terletak
pada diri sang Ratu sendiri. Wajar
jika seorang pendeta akhirnya
melontarkan kutukan karena merasa
diperlakukan semena-mena, hingga
akhirnya menemui ajal. Sebenarnya
kutukan itu adalah dosa sang Ratu
sendiri yang harus dipikulnya. Tapi agaknya sang Ratu tidak mau menanggung
kesalahan sendiri, sehingga ia mencari kambing hitam. Tabib Getar Hati
dijadikan kambing hitam, selain itu juga karena ia ingin mendapatkan
kepuasan pribadinya; kepuasan mendapat
kemesraan dari Pendekar Mabuk, juga kepuasan menyerap ilmu sang Pendekar.
"Aku sudah minta bantuan kepada Guru," kata Putri Malu, "Dan Guru siap
membantuku tapi rupa nya bekas
suaminya itu tidak setuju "
"Maksudmu, Ki Galak Gantung itu bekas suami gurumu?"
"Benar. Aku tak tahu pasti apakah mereka pernah bersuami-istri secara resmi atau
hanya sebagai kekasih, yang jelas mereka pernah terlibat masalah cinta di masa
mudanya." Suto Sinting menggumam dan
manggut-manggut. Putri Malu
perdengarkan suaranya kembali,
"Guru hanya sanggup membantuku dalam menundukkan dirimu, tapi tak
sanggup mengobati sang Ratu. Sedangkan aku sendiri jika harus bertarung
melawanmu, kurasa tak akan mampu
menumbangkan dirimu. Kuakui kau punya ilmu lebih tinggi dariku, hingga Galak
Gantung hormat padamu."
Suto Sinting tersenyum tipis. Tak
enak hati mendengar pernyataan seperti itu. Gadis cantik berwajah duka itu
dipandanginya dengan satu tangan
menyilang dada, tangan yang satu
disangga dan digigit-gigit kukunya.
Anggani berkata lagi, "Satusatunya cara mengalahkan dirimu dengan mencuri bumbung tuakmu, yang kata
orang-orang sebagai sumber kekuatanmu!
Tapi walau bumbung tuak sudah
kusembunyikan, ternyata kau masih
punya ilmu lebih tinggi dariku."
"Ada baiknya kembalikan saja
bumbung tuak itu, lalu aku akan
berusaha membebaskan ibumu."
Anggani bangkit dan menatap Suto
dengan wajah sayu karena haru.
"Kau berjanji dengan sungguhsungguh" Berani bersumpah akan
membantu membebaskan ibuku"!"
Suto Sinting mengangguk. "Aku
berjanji. Tapi aku tak akan
membebaskan kutukan itu. Kuanggap
kutukan itu adalah hukuman yang layak diterima oleh Ratu Sukma Semimpi.
Ibumu tidak bersalah, pendeta yang
dibunuh sang Ratu juga tidak bersalah.
Yang salah adalah sang Ratu sendiri, dan ia pantas menerima hukumannya."
"Ak... aku... aku akan
mengembalikan bumbung tuakmu jika kau berani bersumpah."
"Aku bersumpah akan bebaskan
ibumu!" Suto Sinting mengangkat kedua jarinya sebagai tanda sumpah yang
tidak sekadar main-main.
Pelan-pelan bibir Putri Malu
mulai mekar. Lalu tersungging senyum kegirangan yang memancarkan keceriaan dari
wajah cantiknya. Pendekar Mabuk justru terkesima memandang kecantikan itu
berseri kembali.
"Kau amat cantik sebenarnya...,"
ucap Pendekar Mabuk tanpa sadar. Tapi buru-buru menutup mulutnya setelah
menyadari apa yang diucapkannya itu sebenarnya tak boleh didengar oleh
Putri Malu. Sementara sang gadis
menjadi berdebar-debar mendengar
ucapan yang menurutnya terlontar
dengan sendirinya dari hati sanubari sang Pendekar Mabuk. Wajah cantik itu
menjadi merah dadu menahan malu dan haru.
"Kalau begitu, kita ambil saja bumbung tuakmu."
"Di mana kau sembunyikan?"
"Di atas sebuah pohon yang tak akan kau ketahui tempatnya."
Mereka bergegas pergi ke tempat
Suto tidur tadi. Sebuah pohon yang ada di seberang tempat Suto tidur di atas
dedaunan semak segera dihampiri oleh Putri Malu.
Dengan sentakan kaki ringan,
tubuh Putri Malu melesat ke atas.
Wuuut...! Kemudian tubuh itu hinggap di salah satu dahan.
Suto Sinting diam di bawah pohon
itu sambil tersenyum-senyum, karena hatinya berkecamuk sendirian.
"Cerdas sekali gadis itu. Akalnya cukup banyak. Melemahkan diriku dengan mencuri
bumbung tuak. Lalu bumbung
disembunyikan di atas pohon. Tentu
saja aku tidak bisa mencarinya, karena aku mencari di daratan. Sebenarnya dia
tidak berhati jahat. Dia lakukan
begini karena keadaan sangat memaksa, demi menyelamatkan ibunya. Tapi... apa
hubungan Putri Malu dengan Ratu Sukma Semimpi" Apakah benar dia anak buahnya
Pendekar Mabuk 044 Pusaka Bernyawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
atau prajuritnya sang Ratu" Mengapa ia betah punya ratu sesat seperti itu"
Apakah dia juga ikut aliran sang Ratu yang gemar menaklukkan lelaki untuk
melayani gairahnya" Apakah dia juga bisa menyerap ilmu seorang lelaki
dengan melalui pergumulan mesra" Oh, seandainya benar begitu Putri Malu
sebenarnya sudah menjadi putri yang tahu malu dan sesat. Apakah aku harus
menolong orang sesat" Kata Guru,
menolong atau membela orang sesat
boleh saja, asal orang itu menjadi
baik dan mau meninggalkan aliran
hitamnya setelah kutolong. Ah, kurasa jika Putri Malu memang gadis golongan
hitam, ia pasti akan mau meninggalkan aliran hitamnya setelah terkesan
dengan penampilanku. Eh, sepertinya dia naksir aku! Aku bisa merasakan
getaran hatinya saat ia menatapku."
Senyum Suto Sinting kian mekar.
Tapi mendadak ia harus hentikan
kecamuk batinnya, karena Putri Malu sudah cukup lama di atas pohon namun belum
turun juga. Suto mendongak dan berseru,
"Cepat bawa turun, Anggani! Aku sudah tak tahan haus!"
"Naiklah! Tolong bantu aku!" seru Anggani si Putri Malu dari atas pohon.
Seruan itu membuat Suto Sinting heran dan curiga. Maka ia pun segera
pergunakan jurus peringan tubuhnya.
Suuuut...! Satu hentakan pelan membuat tubuh Suto Sinting melesat ke atas
tegak lurus, kemudian bersalto satu kali dan hinggap di sebuah dahan
besar. Putri Malu ada di dahan depannya
dalam jarak cukup dekat.
"Bumbung itu tidak ada!" kata Putri Malu dengan nada takut dan
sedih. Suto Sinting terkejut dan matanya
segera terbuka lebar memandangi
sekeliling pohon. Ternyata di pohon itu memang tidak ada bumbung tuak.
Suto menjadi cemas.
"Kau taruh di mana?"
"Di sini. Di sela-sela dahan ini dan kuikat memakai akar. Tak mungkin bisa
jatuh." "Celaka!" gumam Suto Sinting.
Kemudian ia bergerak menjelajahi pohon tinggi besar itu. Setelah puas mencari di
pohon itu dan ternyata tidak
membawa hasil apa-apa, Suto Sinting berpindah ke pohon lain dengan satu lompatan
yang menyerupai seekor burung garuda melesat dari pohon yang satu ke pohon yang
lain. Beberapa pohon telah diperiksa
oleh Pendekar Mabuk. Sang gadis pun ikut memeriksa enam-tujuh pohon di
sekitar pohon tinggi besar itu. Mereka akhirnya bertemu kembali di pohon
pertama. "Ak... aku tidak bohong. Aku
menyembunyikannya di pohon ini. Aku ingat betul bentuk pohon ini. Tak
mungkin salah."
Wuuuurrt...! Suto Sinting turun
dengan bersalto satu kali. Ia
menapakkan kaki ke tanah tanpa suara.
Sedangkan Putri Malu ketika
mendaratkan kakinya terdengar suara, bluuk...! Itu menandakan ilmu peringan
tubuhnya lebih rendah dari Pendekar Mabuk.
"Cari di sekitar semak bawah
pohon ini! Siapa tahu jatuh di suatu tempat!" kata Suto Sinting sambil menahan
kedongkolan. Namun sampai beberapa saat mereka
menjelajahi semak di sekeliling pohon, bumbung tuak itu tetap tidak
ditemukan. Akhirnya Suto Sinting
berhenti mencari dan berdiri bersandar pada batang pohon tersebut. Napasnya
terhempas dalam keadaan kepala
mendongak. Hempasan napas itu
dimaksudkan untuk menghilangkan rasa dongkol yang akan membuatnya marah.
Namun ketika napas
terhempas, daun-daun pohon menjadi rontok. Dahan dan rantingnya terangkat naik bagaikan
disapu badai dari bawah. Suto Sinting kaget dan segera sadar setelah salah satu
dari dahan sebesar kaki gajah
terdengar meretak keras. Krrraak...!
"Celaka! Hampir saja aku lupa.
Pohon ini bisa terhempas patah tak
karuan jika aku masih di bawahnya.
Rupanya hatiku benar-benar memendam marah, sehingga napasku menjadi napas badai.
Oh, ya... aku harus menenangkan diri, menenteramkan hatiku agar tak marah dan
dongkol terhadap Putri Malu.
Dia tidak sengaja menghilangkan
bumbung tuak itu! Aku harus bisa
memahami maksud hatinya yang
sebenarnya."
Suto Sinting segera menenangkan
hati sendiri. Putri Malu terkesima
bengong melihat hembusan napas yang mengakibatkan daun rontok, ranting
beterbangan, dahan patah, dan pohon bergetar. Gadis itu semakin kagum
terhadap ilmu Pendekar Mabuk.
"Napasnya saja bisa bikin dahan sebesar itu menjadi retak" Benar-benar sinting
ilmu pemuda tampan yang satu ini!" gumam hati Putri Malu. Ia tidak tahu bahwa
napas Suto akan berubah menjadi badai yang mengerikan jika ia memendam
kejengkelan atau kemarahan.
Sebab di dalam diri Suto tersimpan
Napas Tuak Setan sejak ia meminum Tuak Setan secara tidak sengaja. Pusaka
Tuak Setan itu seharusnya dimusnahkan, namun karena terjadi perebutan dengan
Mawar Kempot, tokoh sesat dari Pulau
Iblis, maka Pusaka Tuak Setan itu
tumpah dan terminum masuk ke dalam tubuh Suto. Akibatnya ia mempunyai Napas Tuak
Setan yang akan keluar
dengan sendirinya jika hatinya
memendam kemarahan, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Pusaka Tuak Setan").
"Maafkan aku," ujar Putri Malu dengan wajah sedikit tertunduk,
sebagai sikap merasa bersalah atas
kecerobohannya itu. "Aku tidak bermaksud menghilangkan bumbung
tuakmu. Aku hanya ingin menyembunyikan di tempat yang aman, yang tak mungkin
diganggu orang. Tapi ternyata...
bumbung itu justru hilang entah ke
mana." Pendekar Mabuk sengaja menepuknepuk pundak gadis cantik itu. Hatinya semakin tenang dan debar-debar
kedongkolannya telah susut. Suaranya terdengar lembut di telinga sang
gadis. "Tak perlu disesali, karena
mencari bumbung tuak itu tidak cukup dengan menyesali perbuatanmu. Yang
perlu kau lakukan adalah mengingatingat, kira-kira adakah orang yang
melihatmu saat kau menyembunyikan
bumbung tersebut?"
"Setahuku tidak ada orang di
sekitar sini. Aku telah memeriksanya sebelum naik ke pohon ini!"
"Atau barangkali kau
memindahkannya karena suatu alasan?"
Putri Malu diam, mengingat-ingat.
Tapi ia akhirnya menggelengkan kepala, ia bahkan menggerutu bagai bicara pada
diri sendiri. "Ini semua gara-gara Guru.
Sebenarnya aku tak setuju, tapi Guru mendesakku mengerjakan gagasannya."
"O, jadi semua ini adalah gagasan Nyai Sumbar Keramat?"
"Benar. Guru mengatakan, bahwa jika aku ingin mengalahkan Pendekar Mabuk harus
mampu mencuri bumbung
tuaknya. Karena menurut Guru, di
situlah pusat kekuatanmu berada."
"Kalau begitu, gurumu itu yang mengambil tuak dari tempat
persembunyiannya. Dia ingin
mengalahkan aku, dan harus
menyingkirkan bumbung tuak tanpa
diketahui siapa pun, walau oleh
muridnya sendiri. Maka ia memindahkan bumbung tuak itu tanpa setahu kau!"
"Tapi Guru tidak tahu kalau aku menyembunyikannya di pohon ini!"
sangkal Putri Malu.
"Siapa tahu gurumu mengawasimu terus, sehingga ia tahu di mana kau
menyembunyikan bumbung tuak itu."
"Kalau begitu kita segera mencari Guru!"
"Dia dibawa lari oleh Ki Galak Gantung!"
"Pasti ke puncak Bukit Wangi. Di puncak bukit itu Galak Gantung
menempati sebuah gubuk sebagai tempat pengasingan baginya."
"Berapa lama perjalanan menuju Bukit Wangi?"
"Sehari semalam dengan langkah biasa. Tapi jika kita menggunakan ilmu peringan
tubuh dapat berlari secepat angin, kita mampu menempuhnya setengah hari kurang."
Suto Sinting memandang ke langit.
Arah matahari udah condong ke barat.
"Sebentar lagi petang akan
datang. Kita pasti terhadang malam di perjalanan. Tahukah kau jalan yang
tersingkat menuju ke Bukit Wangi?"
"Melalui pantai. Tapi kita harus melalui batas
wilayah kekuasaan
Gandapura."
"Siapa itu Gandapura"!"
"Manusia besar seperti raksasa
pemakan daging manusia. Dia yang
disebul Penguasa Pantai Ajal."
"Lalu apa masalahnya kalau kita melewati batas wilayah kekuasaannya?"
"Kita bisa ditangkap dan
dijadikan santapan lezat baginya. Tak satu pun orang asing yang selamat
melalui Pantai Ajal, kecuali orangorangnya Gandapura sendiri. Sampai
sekarang ilmunya belum ada yang
mengalahkan. Gandapura titisan raksasa yang hidup dua ribu tahun yang lalu."
Pendekar Mabuk diam termenung
mempertimbangkan langkahnya. Haruskah ia menumbangkan Gandapura dulu untuk
dapatkan bumbung tuaknya kembali"
* * * 4 BAHAYA apa pun akan ditempuh
murid si Gila Tuak itu, asalkan
bumbung bernyawa itu berhasil
diperolehnya kembali. Maka dengan
menjamin keselamatan Putri Malu,
Pendekar Mabuk mengajaknya ke Bukit Wangi untuk temui Nyai Sumbar Keramat
dan Galak Gantung. Mereka sepakat
melalui jalan pantai dan melintasi batas wilayah Pantai Ajal.
Putri Malu yang merasa bersalah
dan menyesal atas tindakannya itu
sempat menjelaskan kepada Pendekar
Mabuk, "Jika nanti guruku melawanmu, aku akan lari sembunyi karena tak tahu
harus berpihak ke mana. Jika kau
melawan guruku, manfaatkan
sesumbarnya. Karena sesumbarnya sering mendatangkan celaka bagi dirinya
sendiri jika lawannya tahu
memanfaatkan kata-kata tersebut."
"O, pantas Ki Galak Gantung waktu itu langsung bersujud hingga mencium tanah
ketika gurumu melontarkan
sesumbar, bahwa Ki Galak Gantung tak akan bisa mengalahkan dirinya jika tidak
bersujud di depannya. Akhirnya dalam pertarungan itu gurumu banyak menderita
luka bahkan sampai jatuh
pingsan." "Galak Gantung memang sudah tahu hal itu, karena cukup lama mereka
bergaul; kadang berkasih-kasihan,
kadang bermusuhan. Tapi sejak beberapa tahun belakangan ini, mereka berpisah dan
saling perang dingin."
"Kenapa begitu?" seraya Suto tertawa kecil membayangkan orang-orang tua saling
bermusuhan seperti bocah cilik.
"Biasa, perdebatan aliran dalam perguruan mereka. Guruku menemukan
satu aliran baru tapi Galak Gantung menolak aliran itu. Galak Gantung
lebih berpedoman pada aliran perguruan mereka."
"Mereka seperguruan?"
"Benar. Mereka dulu seperguruan.
Hanya Nyai Sumbar Keramat dan Galak Gantung yang boleh melanjutkan aliran
perguruan mereka dan menurunkannya
kepada beberapa penerusnya. Salah satu murid yang hampir berhasil mewarisi
jurus-jurus Nyai Sumbar Keramat hanya aku, dengan catatan aku pun harus
memusuhi Galak Gantung dan tidak perlu menghormatinya. Aku pun heran, mengapa
usia mereka sudah sama-sama mencapai delapan puluh tahun lebih tapi masih
bermusuhan saja. Sebagai murid aku
hanya ikut apa kata Guru."
"Lalu, apa hubunganmu dengan Ratu Sukma Semimpi itu" Apakah kau mengabdi
kepadanya sebagai prajurit biasa atau pengawal pribadi?"
"Sebenarnya aku bukan
prajuritnya. Aku bukan apa-apanya.
Tapi ketika Ibuku ditawan olehnya, aku datang menyerang, tapi aku dikalahkan
oleh sang Ratu. Aku hampir dijatuhi hukuman mati. Hukuman mati itu bisa
dibatalkan kalau aku mau mengabdi
kepada sang Guru. Maka hampir enam
purnama lebih aku mengabdi kepada sang Ratu
sebagai Prajurit Duta yang
kerjanya diutus ke sana-sini, kadang menghadapi lawan berat, kadang
juga...." Kata-kata itu berhenti sampai di
situ saja. Putri Malu bagaikan
tersumbat tenggorokannya begitu
melihat tiga sosok berwajah bengis
melompat turun dari atas bebatuan
lereng bukit cadas.
"Siapa mereka"!" bisik Suto Sinting dengan heran karena belum
pernah jumpa dengan tiga orang wajah bengis itu.
"Gawat!" gumam Putri Malu.
"Mereka orang Pulau Campak. Kalung hitam berhias tengkorak burung hantu itu
adalah lambang orang Pulau Campak
" "Kalau begitu, mereka akan
menuntut balas kepada
Ratu Sukma Semimpi.?"Benar. Tapi mereka pasti tahu kalau aku orangnya Ratu Sukma
Semimpi." "Dari mana mereka bisa tahu kalau kau orangnya sang Ratu?"
"Pakaianku!" bisik Anggani dengan mata tetap memandang ke arah tiga
orang bengis yang melangkah pelanpelan mendekati mereka. Anggani
Pendekar Mabuk 044 Pusaka Bernyawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyambung bisikannya,
"Baju buntung warna merah tanpa pelapis lagi di dalamnya ini adalah ciri pakaian
orangnya sang Ratu.
Potongan baju sama, hanya beda warna, sesuai dengan jabatan dan tingkatan
masing-masing."
Tiga orang bengis itu masingmasing bersenjata pedang besar tanpa sarung. Gagang pedang mereka diberi hiasan
ronce-ronce benang merah.
Bentuknya ada yang lurus, ada yang
lengkung, ada pula yang ujungnya
datar. Mereka bertubuh besar dan
tergolong tinggi. Rambut mereka ada yang panjang
sepundak, ada yang pendek, ada pula yang botak tengah.
Orang yang rambutnya botak memakai
baju biru tua itu mengenakan antinganting lingkar sebelah kanan.
Sedangkan yang memakai pakaian
bercorak bola-bola putih-hitam itu
mempunyai rambut pendek, ikat kepala merah, kumis lebat, dan bentuk
wajahnya lonjong.
Si rambut panjang tidak
mengenakan ikat kepala, sehingga
sebagian rambut yang tersapu angin
menutupi wajahnya. Tapi kebengisan
wajah itu tampak jelas dari matanya yang kecil berkesan keji. Kumisnya
juga kecil, melengkung ke bawah hingga dagu, ia mengenakan pakaian hitam
tanpa lengan baju, sehingga bentuk
lengannya tampak besar dan berotot.
Yang berambut pendek dan berperut
besar itu berkata lebih dulu sambil pandangan matanya tertuju kepada Putri Malu.
"Kau pasti orangnya Sukma
Semimpi!" "Bukan!" sentak Anggani. "Aku hanya orang upahannya! Aku tidak
mengabdi kepada Ratu Sukma Semimpi!"
"Bohong!" bentak si rambut botak.
"Jangan ingkar dari bukti pakaianmu!
Kami tak bisa dibohongi, karena kami bukan anak kecil, tahu"!"
"Lalu, apa maksud kalian
menghadang langkahku?"
"Kau adalah bagian yang harus kami musnahkan!" sahut si rambut pendek berpakaian
bola-bola putih-hitam itu. "Semua orang Tanah Ratu harus dibantai habis untuk
menebus kematian penguasa kami! Termasuk kau, Gadis Pengecut!" orang itu menuding dengan
pedang besarnya.
"Sepertinya harus segera
kutangani agar Anggani tidak celaka,"
pikir Suto Sinting. Lalu ia berbisik kepada Anggani yang berdiri di samping
kirinya, "Mundurlah. Biar aku yang melayani mereka."
"Aku juga berani!"
"Aku tak ingin kau celaka,
Sayang...," bujuk Suto dengan tenang bahkan berkesan menyepelekan keadaaan
tersebut. Sebutan 'sayang' membuat
kekerasan hati Putri Malu menjadi
lunak. Akhirnya ia mundur selangkah sedangkan Suto maju dua langkah
"Hei, kau juga orang Tanah
Ratu"!" sentak si kepala botak sambil menuding Pendekar Mabuk dengan pedang
lengkungnya. "Aku bukan orang Tanah Ratu. Aku orang Jurang Lindu."
Mereka bertiga saling pandang.
Salah seorang menggumam, "Jurang
Lindu..." Di mana itu Jurang Lindu?"
"Entah. Mungkin dia asal sebut saja!"
Suto Sinting segera berkata,
"Tentu saja kalian tidak tahu di mana Jurang Lindu, sebab kalian bukan hidup di
Tanah Jawa. Kalian hidup di sebuah pulau yang mungkin tidak punya Jurang Lindu."
"Lalu apa maksudmu maju ke depan"
Mau lindungi gadis itu"!"
Dengan tenang Pendekar Mabuk
menjawab, "Jelas aku melindungi gadis ini, karena gadis ini tidak tahu
menahu dosa Ratu Sukma Semimpi. Kalau kalian mau menumbangkan sang Ratu,
datanglah ke Istananya. Tumbangkan
dengan cara apa pun, gadis ini dan aku tidak akan ikut campur, tidak akan
membela sang Ratu! Tapi jangan kalian gunakan gadis ini sebagai sasaran
dendam kalian. Aku akan menjadi
perisainya!"
Penjelasan itu cukup dimengerti
oleh ketiga orang bengis itu. Suto
Sinting bermaksud menghindari
pertarungan sebab sebenarnya Putri
Malu dan dirinya tidak punya masalah dengan mereka.
Tiga orang bengis itu saling
pandang. Akhirnya si baju biru
berkepala botak itu bertanya,
"Bagaimana menurutmu, Batu Laut"!"
Rupanya orang yang bernama Batu
Laut adalah orang yang berambut
panjang dan berkumis lengkung ke
bawah. Orang ini sejak tadi diam saja.
Setelah mendapat pertanyaan dari
temannya ia baru perdengarkan
suaranya. "Jangan mau dibodohi anak kemarin sore. Kita kan orang-orang tua.
Memalukan sekali kalau dikibuli oleh omongan anak kemarin sore," sambil
kepalanya melenggak-lenggok dan suara kecil mirip perempuan. Pendekar Mabuk dan
Putri Malu hampir tertawa
cekikikan setelah tahu bahwa Batu Laut adalah lelaki bersuara dan bergaya
wanita. "Dia seorang banci?" bisik Suto sambil berpaling ke belakang, karena Putri Malu
ada di belakangnya. Putri Malu hanya mengangguk dan tersenyum canggung.
"Jadi, menurutmu kita habisi saja mereka?"
Batu Laut menjawab, "Ya, habisi saja. Terutama yang lelaki itu. Ih...
aku sebel sekali sama dia!"
"Majulah dulu kalau kau memang sebal sama pemuda itu!"
Tangan Hitam Elang Perak 2 Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L Pendekar Aneh Naga Langit 38
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama