Pendekar Mabuk 080 Pusaka Jarum Surga Bagian 2
Suto Sinting terkejut, seperti baru menyadari ada
sesuatu yang lebih penting mendapat perhatian darinya tapi hampir saja
dilalaikan. Pandangan mata Suto pun tertuju ke arah lawan si Pangkar Soma yang
tadi terpuruk di bawah pohon karena terpental oleh
gelombang ledakan adu kekuatan tenaga dalam.
Ternyata lawan si Pangkar Soma adalah seorang
gadis cantik berambut pendek bagian depan, tapi bagian belakangnya panjang
sepunggung. Gadis itu berjubah
biru tanpa lengan, pakaian dalamnya biru muda tipis
tembus pandang, sehingga dadanya yang montok sekal
itu tampak membayang di mata setiap lelaki yang
berhadapan dengannya.
"Tenda Biru..."!" gumam Suto Sinting menyebut nama gadis yang pernah
diselamatkan dari jurus 'Sabda Sirna'-nya mendiang Nyai Ronggeng Iblis itu.
Tenda Biru itulah yang dulu disebut juga sebagai Gadis Tanpa Raga. Jika tanpa bantuan
Suto, mungkin ia tetap tanpa raga dan tak bisa memamerkan keindahan tubuhnya
yang sexy sekali itu.
"Kematian Nyai Ronggeng Iblis harus kau tebus
dengan nyawamu, Tenda Biru! Gara-gara ulahmu itulah, Nyai Ronggeng Iblis
akhirnya tewas dan ilmu yang
kumiliki tak bisa menyatu dengan ilmunya, sehingga aku batal menjadi orang
terkuat di rimba persilatan ini!
Sebelum tubuhmu hancur lebur, tak puas aku hidup di
dunia ini!" seru Pangkar Soma.
"Rupanya si Pangkar Soma mendendam kepada
Tenda Biru karena gadis itu dianggap sebagai biang
kematian Nyai Ronggeng Iblis!" pikir Suto Sinting yang telah mengetahui perihal
penyatuan ilmu Pangkar Soma dengan ilmunya Nyai Ronggeng Iblis, yang dapat
menjadikan satu kekuatan maha sakti dan sukar
dikalahkan itu.
"Sekarang terimalah kematianmu yang akan penuh
siksaan ini, Tenda Biru!" seru Pangkar Soma sambil mencabut cambuk pusakanya
dari pinggang. "Gawat! Dia pasti akan pergunakan jurus 'Cambuk Iblis'-nya yang berbahaya itu"!"
gumam Suto Sinting dengan tegang.
Maka sebelum cambuk itu dilecutkan, Suto Sinting
segera berkelebat menerjang Pangkar Soma dari
samping kanan. Jurus 'Gerak Siluman' digunakan,
sehingga kecepatan gerak yang menyamai kecepatan
cahaya itu tidak bisa dihindari oleh Pangkar Soma.
Zlaaaap...! Bruuuusss...! "Aaauh...! Bangsaaat...!" teriak Pangkar Soma sambil terpental tunggang langgang
hingga membentur
sebatang pohon dengan kerasnya.
Duuurr...! Pohon itu bergetar hebat, daun-daunnya
berguguran dan menimbuni tubuh Pangkar Soma yang
terpuruk di bawah pohon itu.
Tenda Biru kaget dan kerutkan dahi sambil menahan
rasa sakit di dalam dadanya, ia pandangi pemuda yang datang membantunya dalam
keadaan kekuatannya
banyak berkurang akibat adu tenaga dalam tadi.
Sementara itu, Suto Sinting tak pedulikan keadaan
Tenda Biru yang merasa terheran-heran. Ia lebih
memperhatikan cambuk si Pangkar Soma yang gagal
disambarnya tadi. Cambuk itu masih ada dalam
genggaman Pangkar Soma, dan kini Pangkar Soma telah
bangkit kembali dengan menggeram penuh nafsu untuk
membunuh. "Jahanam kau...!" Pangkar Soma menuding Suto.
"Rupanya kau sudah berani ikut campur urusanku, Badra Sanjaya!"
"Aku bukan Badra Sanjaya!" seru Suto Sinting. Tapi sebelum ia lanjutkan
ucapannya, Pangkar Soma telah
lepaskan murkanya sambil berseru keras-keras.
"Kau pikir aku telah buta! Panggil gurumu: si Jalu Kuping! Kuhancurkan sekalian
dia seperti dirimu saat ini! Heeeaaah...!"
Ctaarrr...! Cambuk merah itu dilecutkan ke arah
kepala Suto Sinting yang memakai raganya Badra
Sanjaya itu. Lecutan cambuk mengeluarkan sinar-sinar merah seperti jarum yang
menerjang kepala Suto.
Zuurrp... ! Pendekar Mabuk segera kibaskan bumbung tuaknya
memutar kepala. Wuuut...! Satu kibasan membuat
bumbung tuak itu menghantam sinar-sinar merah seperti jarum. Craaaps...!
Blegaaar...! Pendekar Mabuk terlempar ke atas cukup tinggi
akibat gelombang ledakan itu. Ia jatuh terbanting dengan sangat menyedihkan.
Hidungnya langsung berdarah dan
kaki kirinya terkilir. Sedangkan si Pangkar Soma masih tegar di tempatnya, ia
hanya tersentak mundur satu
langkah pada saat terjadi ledakan dahsyat tadi. Kini ia melepas lecutan
cambuknya lagi ke arah Suto Sinting.
"Modar kau, Jahanaaam...! Hiaaah...!"
Ctaarrr...! "Uuuukh...!" Suto Sinting mengejang dengan wajah menyeringai kesakitan. Cambuk
itu memercikkan
cahaya merah lebar dan menghantam pinggangnya. Luka
koyak bagai terkena sabetan samurai tampak memerah
panjang di pinggang Pendekar Mabuk.
"Oouh...! Gila! Luka ini panas sekali. Tubuhku terasa sedang terpotong pelanpelan dan, oh... benar! Luka ini makin memanjang!" keluh Suto dalam hati.
Melihat keadaan si penolongnya dalam bahaya,
Tenda Biru segera memaksakan diri dengan
mengerahkan tenaga yang tersisa. Satu lompatan cepat dilakukan oleh Tenda Biru
sambil mengarahkan
pedangnya ke punggung Pangkar Soma yang ingin
melecutkan cambuknya lagi ke arah Suto Sinting.
"Hiaaaat...!" Tenda Biru serukan teriakan panjang sebagai pelampiasan
kemarahannya. Namun justru
teriakan panjang itu telah membuat Pangkar Soma
berbalik arah dan mengetahui bahaya sedang
mengancamnya. "Perempuan jalang kau! Heaahhh...l"
Cambuk itu dilecutkan dalam gerakan seperti seekor
ular. Slap, slap, slap, taaar...!
"Aaaakh...!" Tenda Biru terlempar bagai kapas diterjang angin. Jurus cambuk yang
digunakan Pangkar Soma kali ini dapat sebarkan kekuatan badai dalam
sekilas. Kekuatan badai itulah yang melemparkan Tenda Biru dalam keadaan lebih
parah lagi. "Haaaahh..."!" Tenda Biru terbelalak lebar-lebar setelah menyadari keadaannya
jauh terduduk tanpa
selembar benang pun. Wajah pucat itu menjadi merah
menahan rasa sakit dan malu. Ia bergegas bangkit dan larikan diri ke balik
pohonan sambil mendekap tubuhnya yang kehilangan seluruh penutupnya, ia mendekap
dirinya, menggapit satu tangannya dan memeluk
dadanya sendiri dengan jantung berdetak-detak
menyakitkan. "Lihatlah kejalanganmu, Perempuan Mesum!" teriak Pangkar Soma.
Ia tak tahu bahwa saat itu Pendekar Mabuk segera
menenggak tuaknya, sehingga luka mengerikan itu mulai merapat dengan sendirinya,
darah menguap bagai
terserap udara dan menjadi kering tanpa bekas. Pada saat Pangkar Soma balikkan
badan untuk lakukan serangan
lagi terhadap lawannya, ternyata Pendekar Mabuk sudah berdiri tegak dengan sisa
luka yang sedang mengering dan merapat. Pangkar Soma terperanjat melihat luka
lawannya seajaib itu.
Dalam keadaan sedang terperanjat itulah, Pendekar
Mabuk segera lepaskan jurus 'Mabuk Lebur Gunung',
tubuhnya menggeloyor seperti orang mabuk yang mau
tumbang, tapi tiba-tiba menyodokkan bumbung tuaknya
ke perut Pangkar Soma. Wuuut...!
"Heaaah...!" Blaaar...!"
Sodokan yang ditahan dengan telapak tangan Pangkar
Soma itu mengakibatkan dentuman cukup keras, karena
telapak tangan Pangkar Soma memberi perlawanan
dengan keluarkan inti tenaga dalamnya. Sedangkan
sodokan bumbung tuak itu juga mempunyai kekuatan
tenaga sakti yang sebenarnya dapat membuat
merontokkan seluruh urat lawannya.
Tetapi karena beradu dengan inti tenaga dalam
Pangkar Soma, maka bumbung tuak itu hanya bisa
lepaskan ledakan kuat yang menerbangkan Pangkar
Soma. Wuuuusss...! Bruuukk...!
"Haaaakhh...!" Pangkar Soma mengerang keras ketika jatuh dalam jarak dua belas
langkah dari tempatnya semula. Sekujur tubuhnya terasa bagai
disayat-sayat dengan pedang yang habis terpanggang
api. Dari lengan sampai leher dan mulutnya tampak
membiru memar. Tentu saja luka itu sangat menyiksa
Pangkar Soma. "Keparat bangkai...!" geramnya penuh luapan emosi.
Ketika ia ingin bangkit, tubuhnya terasa lemas sehingga terhuyung-huyung ke
samping. "Oh, celaka kalau begini. Jantungku semakin
melemah!" keluh Pangkar Soma dalam hati. "Kalau diteruskan, pasti berakibat
buruk pada diriku sendiri.
Sebaiknya kuatasi dulu luka-luka keparat ini!"
Ctaaaaar...! Pangkar Soma melepaskan sabetan cambuknya pada
saat Pendekar Mabuk ingin maju menyerang kembali.
Lecutan itu menyebarkan asap putih kehitam-hitaman.
"Asap beracun!" sentak hati Pendekar Mabuk, maka ia cepat hindari asap itu
dengan menutup hidungnya
memakai tangan kiri. Sambil lakukan lompatan
menghindar, bumbung tuaknya diputar di atas kepala.
Wuuk, wuuuk...! Asap beracun itu pun menyebar dan
hilang tertiup angin.
"Sial! Ke mana si jahanam tadi"!" gerutu Suto Sinting dalam hati begitu melihat
Pangkar Soma pun lenyap bersama hilangnya asap beracun. Rupanya pada saat
Suto sibuk hindari asap beracun. Pangkar Soma cepatcepat larikan diri dengan bebas tanpa kejaran. Jika tidak begitu, ia akan
dikejar oleh lawannya, setidaknya akan dihantam dengan pukulan jarak jauh yang
dapat membuatnya semakin lebih parah lagi.
Suto Sinting hanya bisa menghempaskan napas dalam
satu sentakan, ia membuang kejengkelannya karena
gagal lumpuhkan si Pangkar Soma. Tuak pun
ditenggaknya lagi walau tak sebanyak tadi. Badannya semakin terasa segar.
"Oh, ya... ke mana tadi si Tenda Biru"!" pikirnya dengan sedikit terkejut karena
baru ingat Tenda Biru.
Pendekar Mabuk mendengar suara orang terbatukbatuk kecil di balik pohon, ia segera melesat ke arah pohon tersebut. Zlaaap...!
"Ooh..."!" pekik Tenda Biru makin merapatkan diri dengan pohon, karena dalam
keadaan polos tanpa
selembar benang pun. Suto Sinting baru ingat hal itu, tapi ia sudah telanjur ada
di depan Tenda Biru yang
cepat memunggunginya.
"Wow... keren!" ucap Suto dalam hati dengan mata sulit dikedipkan.
"Jangan pandangi aku, Setan!" bentak Tenda Biru karena menyangka orang yang ada
di dekatnya adalah
Badra Sanjaya. "Pergi sana! Pergiii...!"
Pendekar Mabuk tersenyum-senyum sambil
memalingkan wajah.
"Pergi ke mana, ya?" gumamnya berlagak bingung agar tampak beralasan jika masih
ada di tempat. "Pergi kau, Ibliiiis...!" seru Tenda Biru, lalu la terbatuk-batuk dan keluarkan
dahak darah. Pendekar
Mabuk cemas, lalu segera dekati gadis itu dan sodorkan bumbung tuaknya.
"Lekas minum tuakku, biar lukamu tak menjalar ke mana-mana!"
"Tidak! Tidaaak...! Pergi sanaaa...!"
Pendekar Mabuk keki, kepala Tenda Biru dijuleknya.
Wuuuut...! "Orang mau ditolong kok malah bentak-bentak!"
omelnya sambil bersungut-sungut, ia menjauh dua
langkah, lalu kembali lagi.
"Ini... minum dulu tuakku, Tenda Biru!"
"Ak... aku... aku dalam keadaan seperti ini!
Pejamkan matamu!"
"Iya, iya... ini sudah terpejam gitu kok!"
"Yang kiri masih mengintip!"
"Lha, memang mataku yang kiri kalau terpejam agak terbuka sedikit. Maklum,
kelopak mataku yang kiri ini pendek sebelah, jadi kalau dipejamkan tidak bisa
rapat seperti yang kanan!"
"Dasar jalang!" sentak Tenda Biru. Kemudian ia menyambar bumbung tuak itu, tapi
kakinya menendang
dengan cepat. Buuukh...!
Wees, brruuk...!
"Kampret kau! Uuuukh...!" Pendekar Mabuk
menyeringai setelah terpental oleh tendangan itu sejauh lima langkah dan jatuh
terpuruk begitu saja hingga
sikunya terasa sakit akibat membentur akar pohon.
Sementara itu, Tenda Biru cepat-cepat tenggak tuak
tersebut, lalu meletakkannya di tanah dalam keadaan
disandarkan pohon, ia bergerak melingkari pohon dan
bersembunyi di balik pohon sebelahnya.
"Oh, dadaku yang panas dan sakit tadi mulai terasa lapang dan napasku menjadi
longgar"!" pikir Tenda Biru sambil matanya memandangi sekeliling mencari di mana
pakaiannya berada.
"Kau benar-benar gadis edan, Tenda Biru! Sudah
ditolong malah menyerang!" omel Pendekar Mabuk
sambil hampiri bumbung tuaknya.
"Kenapa si keparat itu membelaku"!" gumam Tenda Biru membatin. "Kenapa ia
mempunyai tuak yang bisa sembuhkan lukaku seperti tuaknya Suto" Oh, benar...!
Tuak itu seperti tuaknya Suto, dan bumbungnya juga
sama! Tapi mengapa bisa ada di tangan si keparat Badra
Sanjaya itu"!"
Rupanya gadis itu pernah bentrok dengan Badra
Sanjaya beberapa hari yang lalu. Ia masih ingat ketika diserang oleh musuh
lamanya, dan musuh lamanya itu
dibela oleh Badra Sanjaya.
Bruuuk...! Tiba-tiba ada sesuatu yang jatuh
menyelubungi kepala Tenda Biru. Gadis itu berang dan menghempaskan sesuatu yang
menyelubungi kepalanya.
Ternyata baju hijau si Badra Sanjaya. Ia menjadi ragu untuk membuang baju itu.
"Pakailah baju itu. Lumayan bisa untuk penangkal masuk angin!" ujar Suto Sinting
yang berada di balik pohon tempat persembunyian Tenda Biru itu.
Pendekar Mabuk 080 Pusaka Jarum Surga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tenda Biru buru-buru mengenakan setelah hatinya
membatin, "Ini baju si keparat itu! Ah, tapi persetan dulu dengan siapa pemilik
baju ini. Yang penting aku tidak terlalu polos begini!"
Lalu, terdengar suara Suto Sinting berkata, "Sudah apa belum"!"
"Celananya mana"!"
"Ah, gila kau! Sudah kuberi baju masih untung kau!
Masih mau minta celana segala"! Kau pikir aku ini
seekor sapi yang tidak perlu celana"!"
"Kalau begitu, jangan dekati aku! Bisa kubunuh kau kalau mendekatiku!"
"Pakai apa kau mau membunuhku, lihatlah ke pohon tadi... pedangmu tertinggal di
sana!" "Ambilkan!" sentak Tenda Biru.
"Ambillah sendiri! Untuk apa kuambilkan pedang itu
kalau nantinya akan kau pakai untuk membunuhku,"
gerutu Suto Sinting terdengar jelas di telinga Tenda Biru.
Weees...! Tenda Biru berkelebat menyambar
pedangnya dalam gerakan cepat. Suto Sinting hanya
tersenyum sambil
sesekali tundukkan kepala
memperhatikan perutnya yang mempunyai pusar, ia
merasa geli melihat pusarnya, karena selama ini ia tak pernah mempunyai pusar
seujung jarum pun, sebab dia
memang pemuda tanpa pusar, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Bocah Tanpa Pusar").
Seeet...! Tiba-tiba Tenda Biru mengarahkan ujung
pedangnya ke leher Suto Sinting yang tanpa baju itu.
Suto terperanjat sebentar, lalu sunggingkan senyum.
Tentu saja senyumannya tidak begitu menarik perhatian Tenda Biru, karena
senyuman itu bukan senyuman
Pendekar Mabuk yang dikaguminya.
"Apa maksudmu mengancamku dengan pedang"!"
"Serahkan bumbung tuak itu padaku! Cepat...!"
Pedang didorong sedikit, kepala Suto tersentak ke
belakang hingga rapat dengan pohon, karena ia tak ingin lehernya terluka oleh
pedang Tenda Biru.
"Apa maksudmu, Tenda Biru!"
"Kau tak perlu berlagak suci! Kau tak perlu
memihakku, karena ketika aku bertarung dengan Sriti
Kuning, kau memihaknya dan nyaris membuatku
binasa!" Suto membatin, "O, Iya... yang dia tahu pasti aku si Badra Sanjaya. Pantas kalau
sikapnya sekasar ini
padaku. Aku harus bisa menjelaskan kepadanya tentang hal ini."
Tetapi sebelum Suto menjelaskan, Tenda Biru sudah
membentak lagi dengan kasar.
"Cepat serahkan bumbung tuak itu! Aku tahu kau
mencuri bumbung tuak itu dari tangan Pendekar
Mabuk!" "Tenda Biru...."
"Jangan berlagak kalem di depanku, Keparat!
Serahkan bumbung tuak itu atau kutembus lehermu
dengan pedang ini!" Tenda Biru semakin garang.
"Aku bukan Badra Sanjaya, Tenda Biru. Aku adalah Suto Sinting, si Pendekar Mabuk
itu!" "Kau pikir aku anak kecil"! Kau sangka mataku
buta"!" sambil Tenda Biru lebarkan mata, seakan ingin tunjukkan bahwa matanya
tidak buta. "Suto Sinting tidak seburuk wajahmu! Pendekar
Mabuk tidak berkumis dan sayang kepadaku. Dia tidak
akan membela Sriti Kuning, bahkan tak akan tega
melepaskan pukulan berbahaya kepadaku!"
"Aku memang sayang padamu, Tenda Biru!"
"Diam kau!" bentaknya makin kasar. "Tak perlu kau menabur rayuan padaku, karena
aku tahu siapa kau
sebenarnya! Kau bukan Pendekar Mabuk dan...."
"Aku...."
"Tutup mulutmu!"
"Iyya... iya, aku akan tutup mulut, tapi kau tutup juga mulutmu yang itu...,"
sambil mata Suto melirik ke paha Tenda Biru yang tidak ikut tertutup kain baju.
Maka seketika itu Tenda Biru merapatkan kedua kakinya dan menjadi salah tingkah
sendiri. "Kurobek mata jalangmu kalau masih melirik
kemari!" "Habis mau melirik ke mana, orang adanya cuma
itu...," kata Suto sambil menahan rasa geli. Ia ingin tertawa lepas, tapi takut
membuat gadis itu makin panik dan pedangnya benar-benar merobek mata.
"Kelilipan debu masih bisa ditiup atau dicuci, kalau kelilipan pedang mau dicuci
pakai apa" Ditiup pun akan semakin perih," gumamnya dalam hati.
"Lepaskan celanamu!" sentak Tenda Biru sambil mengarahkan pedang ke dada Suto
Sinting. "Ah, yang benar saja kau...." Suto bersungut-sungut.
"Lepaskan celanamu!"
"Apakah kau sudah tak bisa menahan hasratmu
untuk...."
Buukkh...! Tiba-tiba kaki Tenda Biru berkelebat
menendang perut Suto, membuat suara Suto terhenti
seketika. Gerakan menendang itu dilakukan dengan
cepat agar sesuatu yang tak tertutupi tidak dapat dilihat oleh mata lelaki yang
ditendang. "Sekali lagi kau menanggapku gadis murahan,
pedangku yang akan bicara!"
"Uuukh... mual sekali perutku," keluh Suto Sinting.
Tapi ia segera tarik napas untuk mengatasi rasa sakit dan mual akibat tendangan
tadi. "Kuhitung tiga kali kalau kau tak mau melepaskan celanamu yang akan kupakai,
pedangku tak akan diam di
depan dadamu, tapi akan menembus sampai ke
punggungmu!"
"Coba tendang aku lagi seperti tadi," kata Suto Sinting sambil matanya melirik
ke arah yang ditutup
dengan telapak tangan kiri dan digapit dengan kedua
kaki itu. Tenda Biru benar-benar ingin hujamkan
pedangnya, tapi Pendekar Mabuk segera berkata.
"Tunggu...! Kau boleh menghujamkan pedangmu
setelah aku bertemu dengan Panji Klobot!"
Tenda Biru terperanjat. "Dari mana kau tahu nama muridku, si Panji Klobot itu"!"
"Karena akulah yang bersamanya ketika kau menjadi gadis tanpa raga. Akulah Suto
Sinting yang mencarikan obat pemunah kutukan Nyai Ronggeng Iblis berupa
Bunga Kecubung Dadar. Akulah yang kau selamatkan
dari tangan Selimut Senja bersama-sama Pematang Hati dan Mahligai Sukma. Akulah
Pendekar Mabuk yang
menolongmu saat kau terluka parah oleh pedangnya
Dewi Kesepian!"
"Ooh..."! Kau tahu segalanya tentang itu"!" Tenda Biru menjadi gemetar dan
berdebar-debar. Matanya
melebar dengan mulut ternganga bengong.
"Kalau kau tega membunuhku, bunuhlah sekarang
juga! Kalau kau tetap menganggapku Badra Sanjaya,
hujamkan pedangmu ke jantungku. Barangkali memang
begitulah caramu membalas ciumanku ketika kita berada di tepi danau berair
kuning, di Bukit Ketapang, tempat di mana kita temukan Bunga Kecubung Dadar
itu!" "Ooh..." Kkkkau... kau..."!" Tenda Biru makin
menggeragap dan tegang sekali. Menurutnya tak
mungkin Badra Sanjaya mengetahui letak ditemukannya
Bunga Kecubung Dadar yang telah membuat ia
mempunyai raga lagi itu.
"Hanya Suto yang tahu semua itu! Hanya Suto... tapi, mengapa Badra Sanjaya
mengetahui semuanya"
Benarkah aku berhadapan dengan Badra Sanjaya atau
berhadapan dengan Suto Sinting"!" pikirnya dalam cekaman rasa gelisah dan
kebingungan. "Mengapa kau tidak menyebutku dengan sebutan
khas darimu?"
"Ap... apa sebutanku kepada Pendekar Mabuk" Coba katakan, bagaimana jika aku
memanggil Pendekar
Mabuk?" Wajah Badra Sanjaya tersenyum tenang. Suto-lah
yang tersenyum sebenarnya, dan ia segera menirukan
sebutan atau panggilan khas dari Tenda Biru terhadap dirinya.
"Kau selalu memanggilku: 'Bocah Sinting!"
Tenda Biru makin tercengang. "Ooh, kau... kalau begitu kau memang si Bocah
Sinting itu..."!"
"Nyawaku sedang disewa oleh Ki Jalu Kuping,
gurunya si Badra Sanjaya. Ia memindahkan sukmaku ke
raganya Badra Sanjaya yang terkena jurus 'Ranjang
Goyang'-nya Ratu Dekap Rindu...," dan segalanya diceritakan oleh Suto, sehingga
Tenda Biru sempat
trenyuh, lalu tak terasa air matanya meleleh perlahan-lahan.
"Bocah Sinting...!" keluhnya dalam keharuan yang
bercampur penyesalan atas sikap kasarnya tadi. Ia pun segera memeluk Suto dan
membiarkan tangis penyesalannya membasahi dada pemuda tak berbaju itu.
"Tenda Biru, kumohon bantuanmu untuk menemui
guruku. Pergilah ke Jurang Lindu dan temui guruku; si Gila Tuak. Mintalah
keterangan bagaimana cara
memindahkan sukmaku ke ragaku kembali jika sampai
Ki Jalu Kuping tak mau melakukan hal itu. Aku tak
ingin mempunyai raga seperti ini, Tenda Biru."
"Tapi... tapi bagaimana aku bisa menghadap gurumu jika aku tidak mempunyai
penutup apa-apa di bagian
bawahku ini...."
"Iya, iya... aku tahu. Tapi tak perlu kau menuntun tanganku sampai menyentuhnya.
Cukup bilang begitu
aku sudah mengerti bahwa bagian bawahmu butuh
penutup!" Tenda Biru sempat tertawa dalam duka keharuannya,
ia jengkel sendiri hingga merengek dan memukul dada Suto dengan pukulan kasih
sayang. "Akan kucari pakaianmu. Siapa tahu ada di sekitar sini karena terhempas angin
gaib yang keluar dari
cambukan si Pangkar Soma tadi," kata Suto sambil memandang sekeliling tempat
itu. "Bocah Sinting, kalau sampai pakaianku tak bisa ditemukan bagaimana?"
"Aku tak bisa kuat menahannya...."
"Menahan apa maksudmu?"
"Menahan... menahan... menahan detak jantungku
yang menyentak-nyentak sejak tadi," jawab Suto sambil
berlagak masih pandangi keadaan sekelilingnya.
"Oh, Bocah Sinting... aku kangen padamu...", bisik Tenda Biru sambil tiba-tiba
memeluk Suto dari
belakang. Bajunya yang terbuka membuat dadanya
menempel di punggung Suto. Rasanya hangat-hangat
menyentakkan aliran darah. Terlebih setelah Tenda Biru menggeser-geserkan
tubuhnya, punggung Suto
merasakan kehangatan dan lekuk-lekuk kedua bukit
gadis itu secara jelas. Sementara itu, kedua tangan Tenda Biru yang menelusup di
bawah ketiak Suto itu meremas-remas dada Suto dan sesekali merayap ke sana-sini
hingga turun melewati perbatasan pusar.
Tenda Biru yang dulu bekas murid seorang tokoh
aliran sesat itu, kini mulai rasakan debaran indah di hatinya. Tangannya semakin
berani bergerak menelusuri tubuh Suto dari belakang. Bahkan sesekali ia
menggigit kulit punggung itu membuat Suto melepaskan erangan
kecil yang membakar gairahnya sendiri.
"Tenda Biru, jangan lakukan di antara kita. Aku...
aku...." "Bukankah ragamu adalah Badra Sanjaya" Jika
kunikmati kehangatanmu berarti aku menikmati
kehangatan Badra Sanjaya. Tak apa, Bocah Sinting...
kau sekarang bebas menikmatiku, karena ragamu masih
tetap bersih tanpa noda dariku. Ooh... Bocah Sinting, kecuplah bibirku...!
Pagutlah... pagutlah ini, Bocah Sinting. Sudah lama aku tak pernah menikmatinya
dengan pria mana pun. Aku rindu kenikmatan bercinta, Bocah Sinting.... Ambillah
ini...." Ia menyodorkan dadanya. Suto Sinting gemetar dan
pejamkan mata, lalu menyambarnya dengan lihai.
Wuuut, cruub...!
"Ooooh...!" Tenda Biru memekik keras, kepalanya mendongak, kakinya melebarkan
jarak. Si bocah sinting merayapkan ciumannya sampai ke perut Tenda Biru dan
terus nekat ke bawah, sehingga membuat Tenda Biru
makin mengerang panjang-panjang dengan tubuh
meliuk-liuk dalam berdirinya.
* * * 6 JUBAH biru si gadis berkulit mulus itu ternyata
tersangkut di atas pohon. Juga kutang dan pakaian
bawahnya ada di antara dedaunan dan ranting pohon.
Pada waktu badai sekilas dari cambukan Pangkar Soma, pakaian itu ikut melayang
terbang. Jika hanya sekadar angin badai biasa, tak mungkin bisa membuat Tenda
Biru sepolos itu. Tentunya badai sekilas tadi adalah badai gaib yang mampu
melepasi kutang seorang
perempuan. "Badai nakal...," ujar Suto dalam hatinya sambil lanjutkan langkah menuju Bukit
Kemesraan, sementara
itu Tenda Biru bergegas ke Jurang Lindu untuk temui si Gila Tuak, sesuai rencana
yang dikatakan Suto tadi.
Namun kata-kata Tenda Biru saat sebelum mereka
berpisah masih terngiang di telinga Suto Sin-ting.
"Hati-hati jika berhadapan dengan Ratu Dekap
Rindu." "Apa alasanmu menyuruhku hati-hati?"
"Ratu itu cantik. Dia menghisap kecantikan para lawannya, ia mirip bidadari. Dan
hanya orang berilmu hitam saja yang bisa menyerap kecantikan lawannya,
sehingga wajahnya tampak secantik bidadari dari
kayangan."
Sebenarnya pesan itu justru membuat Suto Sinting
menjadi lebih penasaran lagi. Ia ingin buktikan kata-kata Tenda Biru itu, karena
ia memang belum pernah bertemu dengan Ratu Dekap Rindu.
"Ratu Dekap Rindu ilmunya cukup tinggi lho," ujar Tenda Biru mengingatkan Suto
sebelum mereka sama-sama melangkah ke tujuan masing-masing.
"Lebih tinggi mana dengan Nyai Ronggeng Iblis?"
"Hmmm... mungkin sejajar. Tapi, tak tahulah... aku tak bisa menilainya karena
kau belum pernah
berhadapan langsung dengan Ratu Dekap Rindu. Aku
hanya mendengar cerita dari bekas guruku saat aku
menjadi orang sesat, yaitu Nyai Garang Sayu. Setahuku, dulu mendiang Nyai Garang
Sayu pernah bentrok
Pendekar Mabuk 080 Pusaka Jarum Surga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan Ratu Dekap Rindu, dan Nyai Garang Sayu
melarikan diri. Tak tahu alasan sebenarnya, apakah kalah tinggi ilmunya atau
hanya mengatur siasat, yang jelas Nyai Garang Sayu tak pernah mengulang lagi
pertarungan itu."
"Kau melihat saat mantan gurumu itu bertarung
melawan Ratu Dekap Rindu?"
"Tidak. Waktu itu aku dinas luar. Eh... maksudku, waktu itu aku pergi ke luar
pulau untuk satu keperluan.
Aku hanya mendengar ceritanya dari teman-teman
seperguruanku!"
"Kalau begitu aku harus mempertinggi kewaspadaan jika berada di istana Bukit
Kemesraan nanti."
"Kurasa begitu. Dan kusarankan bersikaplah sebagai Badra Sanjaya. Seolah-olah
kau memang Badra Sanjaya, sehingga dari kata-kata sang Ratu nanti kau dapat
mengambil kesimpulan di mana letak tabung penjara
sukma itu."
"Kau memang gadis cantik dan cerdas," ujar Suto sambil mencubit pipi Tenda Biru.
Kenangan itu ikut terbawa dalam perjalanan Suto
Sinting di awal senja berlangit tembaga itu. Dengan
menyeberangi sungai besar, Pendekar Mabuk sudah tiba di wilayah Bukit Kemesraan,
ia memang baru kali itu
menginjakkan kakinya di wilayah Bukit Kemesraan,
sehingga pantas jika ia tak mengetahui arah istana di sebelah mana.
Beruntung sekali ia bertemu dengan Tenda Biru
sebelum berada di wilayah Bukit Kemesraan, sehingga ia bisa mendapat keterangan
dari Tenda Biru tentang
arah menuju istana. Tenda Biru pernah datang ke istana itu, namun hanya sampai
depan pintu gerbangnya saja.
Karena waktu itu ia hanya menjadi salah satu dari
sepuluh orang pengawal Nyai Garang Sayu yang
menjaga keamanan sang guru sesat itu. Hanya sang guru yang masuk ke istana dan
bertemu dengan Ratu Dekap
Rindu. "Apa yang harus kukatakan kepada Ratu nanti jika ia tanyakan pusaka 'Jarum
Surga' nanti" Kalau menurut Ki Jalu Kuping, pusaka itu sebenarnya tidak ada.
Tapi bagaimana mungkin tidak ada jika sang Ratu berani
membayarku tinggi untuk dapatkan Badra Sanjaya
bersama pusaka 'Jarum Surga' itu" Kurasa pusaka
tersebut memang ada, tapi tidak diketahui oleh orang banyak, termasuk Ki Jalu
Kuping pun tak tahu tentang pusaka tersebut."
Belum sampai Suto menemukan cara menghadapi
pertanyaan tentang pusaka "Jarum Surga', tiba-tiba langkahnya terhenti karena
lompatan tiga orang
berpakaian serba coklat mengkilap yang langsung
menghadang Suto dengan posisi mengepung tiga arah.
Pendekar Mabuk sempat terperanjat dan segera berkerut dahi karena merasa asing
dengan ketiga gadis berpakaian coklat mengkilat itu. Pakaian tersebut merupakan
baju tanpa lengan dan celana ketat yang membentuk lekuk-lekuk tubuh mereka.
"Akhirnya kau kembali juga, Badra Sanjaya!" tegur gadis yang bersenjata trisula
di pinggangnya. Rupanya gadis itu sudah cukup kenal dengan Badra Sanjaya,
sehingga Suto pun berlagak sudah kenal dengan mereka.
"Sudah kuduga kalian akan menyambutku di sekitar tempat ini," kata Suto Sinting
dengan sikap tenangnya.
"Nyai Ratu memerintahkan kami untuk
menangkapmu jika kau tampak melintasi perbatasan
Bukit Kemesraan ini!" ujar gadis yang bermata bundar, bening dan tengahnya hitam
berwarna hitam jernih.
"Kurasa kalian tak perlu menangkapku, aku memang ingin menghadapi Nyai Ratu
sendiri!" ujar Pendekar Mabuk. Kemudian ia membuka bumbung tuaknya dan
menenggak tuak beberapa teguk.
"Apa yang kau bawa itu, Badra"!"
"Tuak...! Kalian mau coba?" Suto Sinting sok akrab.
"Hmmm...! Lagakmu seperti Pendekar Mabuk saja,
Badra! Apakah dengan membawa bumbung tuak begitu
lantas kami tak berani menangkapmu"!" ujar gadis berambut panjang dengan belahan
dada bajunya terbuka lebar-lebar, sehingga tersumbullah gumpalan putih
mulus di kanan-kiri dada itu. Menggiurkan sekali, tapi juga membuat Suto menahan
diri agar tetap waspada.
"Buang bambu tuak itu, dan serahkan kedua
tanganmu untuk kami ikat, Badra!"
"Lho, mengapa aku mau diikat?"
"Perintah dari Nyai Ratu memang begitu, Badra!"
"Oh, aku tak mau! Aku paling malas kalau pakai
diikat-ikat saja. Memangnya aku ini kayu bakar"!" kata Suto sambil tunjukkan
sikap protesnya.
Katanya lagi, "Sudah kubilang, kalian tak perlu menangkapku, apalagi mengikatku,
tak perlu sama sekali. Karena kedatanganku kemari untuk menghadap
Nyai Ratu!"
"Tapi kami harus patuhi perintah Nyai Ratu, Badra!" .
Yang bersebelahan dada lebar itu menimpali,
"Kecuali jika kau bersedia memberi kami perjalanan indah. Bukankah begitu, Paras
Juwita"!"
"Benar," jawab Paras Juwita yang bersenjata trisula itu. Ia menjawab dengan
senyum dan lirikan jalang.
Katanya lagi kepada Suto, "Kurasa inilah
kesempatanmu untuk mengulangi keindahan masa lalu
kita, Badra!"
"Mengulangi..."!" Suto merasa heran, dan segera membatin, "Berarti si Badra
Sanjaya itu buaya gila juga, ya" Setiap perempuan pernah diajaknya menikmati
perjalanan indah."
"Bagaimana, Badra! Apakah kau ingin menolak
tawaran damai dari kami, atau ingin kami ikat sebagai tawanan"!" ujar yang
bermata sayu. "Jadi... jadi aku harus melayani siapa?"
"Kami bertiga; Gayanti, Umbari, dan diriku,"' jawab Paras Juwita.
"Edan! Tiga-tiganya bersamaan"!" ujar Suto bernada makin heran. Tiga gadis yang
rata-rata berusia sekitar dua puluh empat tahun itu sama-sama cekikikan.
Gayanti berkata, "Kurasa kau tidak akan kewalahan, Badra. Bukankah waktu ketika
kau berempat bersama
Paras Juwita, Windusari, dan Lelasih, kau mampu
memberi kami keindahan yang sama" Kurasa sekarang
pun kau tetap mampu, Badra. Apalagi sekarang hanya
bertiga." "Kita ke gua yang dulu saja, Gayanti," ujar Paras Juwita.
"Aku setuju. Bagaimana menurutmu, Badra"!"
"Edan betul si Badra Sanjaya itu sebenarnya!
Ternyata dia tukang mengumbar cumbuan di sana-sini!
Kurasa gurunya tidak mengetahui kalau muridnya gemar bercumbu dengan perempuan
mana pun!" gerutu Suto dalam hatinya.
"Mumpung masih agak sore, Badra. Sebaiknya kita segera ke gua yang dulu!" ujar
Gayanti. "Benar, Badra...," Paras Juwita mendekat dan mengusap-usap dada Suto sambil
sunggingkan senyum
jalangnya. "Mumpung yang lain belum melihat
kedatanganmu, sebaiknya kita manfaatkan dulu waktu
untuk mengarungi lautan cinta, Badra...."
Umbari segera ikut mendekat dan mengusap-usap
dada Suto dari samping kirinya.
"Kau belum merasakan kepandaianku menerbangkan
jiwa seorang lelaki, bukan" Nanti kau akan merasakan keindahan yang paling indah
dariku. Ayolah, kita ke gua saja, Badra...."
Gayanti mendekat dan mengambil tempat di belakang
Suto. Ia memeluk dari belakang melalui pinggang
samping kanan kiri. Tapi bibirnya mengecup tengkuk
kepala Suto dengan nakal.
"Badra..., aku punya jurus baru yang dinamakan
'Lidah Naga Kasmaran'. Pasti membuatmu semakin
melayang-layang menembus langit kehangatan yang
paling tinggi, Badra. Ayolah, kita ke gua yang dulu, Sayang.... Aku sudah tak
tahan lagi...," bisik Gayanti sambil sesekali menyapu belakang telinga Suto
dengan ujung lidahnya.
Jantung bukan berdetak lagi tapi bergetar bagai mau
rontok. Dalam kebingungan itu, Suto Sinting tak bisa mengambil keputusan harus
bersikap bagaimana
terhadap ketiga gadis montok-montok itu. Ia hanya bisa
'ah, uh, ah, uh' saat didorong ke bawah pohon bersemak rimbun. Rupanya ketiga
gadis itu sudah tak sabar lagi ingin mendapatkan kemesraan dari pria yang
dianggapnya sebagai Badra Sanjaya.
"Hmmm..., ehh... hei, hei... tunggu dulu!" kata Suto, tapi tak dihiraukan oleh
ketiga gadis itu. Mereka
semakin mengganas dan membuat Suto terpelanting
jatuh di rerumputan semak. Mereka justru cekikikan dan saling menggumuli Suto
dengan caranya sendiri-sendiri.
"Tidaaaak...!"
Weeerss...! Bruuusss.. !
Suto Sinting berteriak keras sambil lakukan sentakan pada kedua tangan dan
kakinya. Tiga wanita yang sudah dibakar kobaran gairah bercumbu itu terpental
menyebar, saling terlempar tinggi-tinggi dan jatuh
berdebam di tempat yang berbeda.
"Kalian pikir aku ini kuda pejantan"!" sentak Suto Sinting dengan berang. Tentu
saja ketiga gadis yang
merasa gairahnya terganggu itu menjadi berang juga.
Paras Juwita yang tadi telah membuat Suto
kedodoran segera lakukan lompatan menerjang dengan
suara terlontar keras.
"Rupanya kau minta hajar dulu baru mau, hah"!
Heeeeaah...!"
Pendekar Mabuk segera sentilkan jarinya yang
mengandung kekuatan tenaga dalam cukup besar itu.
Tees...! Beeekh...!
"Heeekh...!" Lompatan perempuan bersenjata trisula itu terhenti dan bagai
tertahan oleh dinding tak terlihat, ia jatuh terjungkal setelah perutnya merasa
seperti dihantam dengan palu godam, Brruk...!
Tes, tes...! Sentilan jurus 'Jari Guntur' segera
dilepaskan kembali oleh Suto Sinting ke arah Umbari
dan Gayanti. Kedua gadis yang telah mencabut senjata tajamnya itu segera
terlempar ke belakang dan
mengerang kesakitan. Ulu hatinya dijadikan sasaran
jurus 'Jari Guntur'-nya Suto. Mereka menyeringai
kesakitan dan untuk sesaat tak mampu berdiri.
Zlaaaap...! Pendekar Mabuk segera melesat pergi
tinggalkan tempat itu dengan pegangi tali celananya yang tadi sempat putus
dipaksa oleh Paras Juwita. Untuk sementara Suto terpaksa berlari sambil
kerepotan menyambung tali celananya.
"Brengsek! Ikat saja pakai kain ikat pinggang ini!"
geramnya sambil mengarah ke bangunan megah yang
tampak berbenteng putih di kejauhan sana. Pendekar
Mabuk yakin betul, bahwa bangunan berbenteng putih
itulah istananya Ratu Dekap Rindu yang harus dituju.
Tiga perempuan yang tadi hampir menjadikan diri
Suto sebagai budak nafsunya, kini sedang lakukan
pengejaran. Mereka memang tertinggal jauh oleh Suto, tapi usaha mengejar tetap
ada sebagai kewajiban seorang prajurit istana sang Ratu Dekap Rindu.
Di depan pintu gerbang benteng putih itu, Suto
Sinting dihadang oleh delapan prajurit yang semuanya perempuan berparas cantikcantik. Bahkan masing-masing dada mereka saling bertonjolan dengan sekal dan
menantang sekali. Pakaian mereka berbelahan tengah
agak lebar, sehingga pinggiran sepasang bukit dada itu tampak menggoda setiap
lelaki yang dikepung mereka, termasuk Pendekar Mabuk yang menurut anggapan
mereka adalah Badra Sanjaya.
"Aku ingin menghadap Ratu! Izinkan aku masuk!"
tegas Suto Sinting dengan menenteng bumbung tuaknya
sebagai langkah persiapan hadapi bahaya apa pun.
Untung saja bumbung tuak itu tadi sempat diisi tuak
hingga penuh dari sebuah kedai di desa yang ia temukan setelah berpisah dengan
Sriti Kuning tadi. Dengan
begitu, kapan saja ia terluka ia dapat meminum tuaknya sebagai pengering luka
secara gaib. Salah seorang dari prajurit pengepung itu berseru
kepada Suto. "Nyai Ratu perintahkan kami menangkapmu, Badra!
Kau dianggap mengecewakan Nyai Ratu dan layak
dijadikan tawanan, bukan seseorang yang layak kami
hormati lagi!"
"O, jadi Badra Sanjaya dulu di sini dihormati"!"
gumam Suto Sinting dalam hatinya. Tapi mulutnya
segera serukan kata kepada prajurit yang bicara tadi.
"Aku akan kembalikan pusaka 'Jarum Surga' kepada Nyai Ratu! Kumohon jangan
membuatku kecewa dan
membatalkan niatku menyerahkan pusaka 'Jarum Surga'
ini!" Pendekar Mabuk bicara dengan lantang dan mantap,
seolah-olah dia benar-benar membawa pusaka 'Jarum
Surga'. Tetapi para prajurit itu menertawakan dengan cekikikan, bahkan ada yang
tertawa dengan berpaling ke arah lain. Sikap mereka itu membuat Suto Sinting
menjadi curiga.
"Jadi kalian tidak percaya kalau aku membawa
pusaka 'Jarum Surga' itu"! Apakah kalian perlu
melihatnya dulu"!"
Tawa para prajurit itu semakin ditahan karena
semakin terasa lucu bagi mereka, sehingga salah satu ada yang terkikik-kikik
hingga membungkukkan badan.
"Apa-apaan mereka ini"!" geram hati Pendekar Mabuk. "Mereka boleh saja tidak
percaya, tapi tak perlu sampai terpingkal-pingkal seperti yang berambut
panjang diikat pita biru itu! Sebaiknya aku tak perlu menantang pembuktian. Bisa
bikin diriku terjebak
sendiri oleh omonganku! Kalau mereka benar-benar
ingin melihat pusaka itu ada di tanganku, wah... tentu saja aku akan kewalahan
mencari alasan untuk hindari pembuktian itu!"
Maka seruan Pendekar Mabuk pun akhirnya berubah
menjadi sebuah ancaman halus.
"Kalau aku tak kalian izinkan masuk, maka aku akan pulang dan pusaka itu akan
kujual kepada pihak lain!"
Tiba-tiba pintu gerbang terbuka, dan seraut wajah
yang sudah dikenal Suto pun tampak muncul dari balik pintu gerbang. Wajah itu
adalah wajah si Laras Wulung.
"Biarkan dia masuk! Beri jalan untuknya!"
Maka barisan pengepung yang ada di depan Suto itu
segera menyingkir sambil mulut mereka ditutupi dengan tangan supaya tak
kelihatan kalau sedang tersenyum.
Pendekar Mabuk merasa semakin aneh melihat sikap
mereka. Tapi hati Suto berkata,
"Ah, persetan dengan keanehan mereka!"
Gerbang dibuka lebar, Laras Wulung menyambut
kehadiran sdsok Badra Sanjaya dengan senyum
memancarkan daya pikat yang menggetarkan jiwa setiap lelaki.
Pendekar Mabuk 080 Pusaka Jarum Surga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
* * * 7 PENDEKAR MABUK dibawa oleh Laras Wulung ke
sebuah ruangan berlorong terang. Lorong terang itu
berlantai mengkilap warna putih kaca.
"Aku ingin bertemu ratu dan langsung bicara soal pusaka 'Jarum Surga'," kata
Suto sambil berjalan didampingi pengawal kepercayaan sang Ratu.
Senyum tipis mekar di bibir mirip kuncup mawar itu.
Pendekar Mabuk meliriknya sebentar sambil membatin,
"Sepertinya ada yang lucu pada diriku. Apa yang membuat mereka dan Laras Wulung
ini menertawakan
diriku dengan sembunyi-sembunyi"!"
Kejap berikut terdengar suara Laras Wulung bersama
langkahnya yang tegap, menampakkan keberanian dan
ketangkasannya sebagai pengawal kepercayaan sang
Ratu. "Kau baru bisa bertemu dengan Nyai Ratu esok sore."
"Mengapa begitu?"
"Nyai Ratu sedang lakukan semadi selama sepuluh hari. Esok hari yang kesepuluh
dan ia akan keluar dari ruang semadi pada sore menjelang senja."
Laras Wulung bicaranya selalu tegas, menunjukkan
sikapnya yang tegas pula dalam menggantikan
kedudukan sang Ratu selama sang Ratu berhalangan.
Tubuhnya yang tinggi, sama dengan tinggi tubuh Suto
atau Badra Sanjaya, mempunyai badan sekal, padat
berisi. Seakan sewaktu-waktu dapat keluarkan kekuatan yang sukar ditumbangkan.
"Mau ke mana kita ini?" tanya Suto Sinting ketika menuruni tangga menuju ke
lantai bawah. "Apakah kau tak ingat tempat ini?"
Pendekar Mabuk agak menggeragap. Bagaimanapun
juga ia harus tampak seperti Badra Sanjaya supaya
tujuan sebenarnya tak dicurigai siapa pun.
"Ya, aku ingat tempat ini. Tapi yang kutanyakan, mengapa harus ke sini?"
"Kau pikir ada tempat lain untukmu?"
Pendekar Mabuk menjadi bimbang dan curiga, ia tak
jelas maksud ucapan Laras Wulung itu. Ia menyangka
akan dibawa ke penjara. Hampir saja ia menolak dan
berbalik arah. Untung Laras Wulung yang berbaju biru
kehitam-hitaman itu segera berkata dengan suara pelan namun jelas.
"Apakah kau tak ingin istirahat dulu" Sebentar lagi petang tiba, dan tentunya
kau perlu istirahat setelah lakukan perjalanan jauh dari Gunung Dara."
"O, ya... memang aku lelah. Tapi aku masih ingin ngobrol denganmu, Laras
Wulung!" "Kau sangka akan kutinggalkan istirahat sendirian"
Ratu bisa marah kalau kau istirahat sendirian?"
"Apakah Nyai Ratu menjadi murka setelah aku
melarikan pusaka 'Jarum Surga'-nya itu?"
Sambil menutup pintu besar di ujung tangga, Laras
Wuiung perdengarkan suaranya.
"Kucoba untuk menenteramkan hati Nyai Ratu agar beliau tidak menjadi murka
padamu!' "Tapi para prajurit itu ingin menangkapku atas
perintah Nyai Ratu!"
"Supaya kau tidak melarikan diri lagi dan mau diajak bicara dengan damai!" jawab
Laras Wulung sambil membawa Suto berjalan di antara kamar-kamar
berdinding hitam dan berpintu besi. Pendekar Mabuk
semakin cemas dan kecurigaan dalam hatinya kian besar.
"Jangan-jangan aku dimasukkan ke dalam kamar penjara secara baik-baik"! Oh, aku
tak boleh terkecoh oleh sikap tenangnya Laras Wulung ini! Harus ada yang bisa
segera kulakukan seandainya ia tahu-tahu
menjebloskan diriku dalam penjara yang sukar ditembus tenaga dalam."
Melangkah di lorong yang kanan-kirinya adalah
kamar-kamar menimbulkan kesan tak enak sekali di hati Suto. Sinting. Sekalipun
pada akhirnya Laras Wulung hentikan langkah setelah mereka tiba di kamar paling
ujung, Pendekar Mabuk sudah siapkan bumbung
tuaknya untuk lakukan sesuatu jika dirinya dalam
bahaya. "Bagaimana kalau Laras Wulung kulumpuhkan dulu"
Setelah dia lumpuh aku bisa bebas mencari tabung
beling yang menjadi penjara sukmanya Badra Sanjaya!"
pikir Suto Sinting sambil memperkuat genggaman
tangannya yang dililit tali bumbung tuak itu.
Tapi ketika pintu kamar ujung itu dibuka, Suto
Sinting tertegun sesaat dan hatinya segera membatalkan rencana memukul Laras
Wuiung dari belakang. Karena
begitu kamar dibuka, mata Pendekar Mabuk melihat
sebuah ruangan yang lebar sekali. Ruangan itu
mempunyai kolam berair bening, taman batuan karang
berwarna-warni dan dilengkapi dengan perabot ruang
tidur, termasuk sebuah ranjang berlapis kain berbulu halus warna merah muda.
Sedangkan sebagian lantainya dilapisi permadani lembut berwarna hijau muda
bagaikan bentangan rumput muda. Seluruh dinding
ruangan itu dilapisi cermin, sehingga membuat ruangan itu tampak luas dan lega.
Di mana pun orang berdiri atau duduk di kamar itu, ia akan dapat melihat
bayangannya dalam cermin sebelah mana saja.
Ruangan itu menjadi terang oleh cahaya obor dari
bebatuan yang membara dan memancarkan sinar merah
api ke atas. Bebatuan itu berada dalam sebuah tempat
lebar bertangkai panjang. Lampu penerang seperti itu ada di setiap sudut kamar,
yang membuat suasana kamar tampak terang benderang tanpa asap obor menghitam di
langit-langitnya.
"Ooh..."! Langit-langit kamar ini juga dilapisi cermin" Hi, hi, hi... aku bisa
melihat bayanganku ada di atas sana. Ah, buruk amat aku kalau dilihat dari atas
kepala! Seandainya yang kupakai adalah ragaku sendiri, alangkah bangganya aku
memandangi diriku di setiap
sisi dinding bercermin ini!"
Laras Wulung menutup pintu kamar itu, tapi ia
sendiri tetap ada di dalam kamar. Berarti Suto tidak dimasukkan dalam penjara.
Bahkan perempuan itu
berlagak cuek dengan pandangan mata Suto yang
mengikutinya penuh perasaan kagum. Laras Wulung
membuka almari dan mengeluarkan kain putih yang
ternyata adalah sebuah jubah lembut berlengan panjang.
Jubah itu sampai menutup mata kaki.
Lalu sebuah kain merah muda diambilnya pula dari
dalam almari berukir. Rupanya kain itu adalah selembar handuk berbulu halus.
"Mandilah dulu," ujar Laras Wulung agak datar dan bernada tegas.
"Mandinya di mana, ya?" pikir Suto. "Apakah nyebur ke kolam itu seperti mandi di
sungai"!"
Laras Wulung sendiri melepaskan bajunya di tepian
kolam berair jernih itu.
"Lho..."!"
Bahkan bukan hanya baju yang dilepas Laras
Wulung, melainkan juga pakaian lainnya dilepas juga
tanpa rasa malu atau sungkan.
"Lho, lho..."!" mata Suto terbelalak dan sepertinya sukar berkedip lagi. Karena
saat itu ia melihat dengan jelas sebentuk tubuh yang elok menawan. Tubuh putih
mulus berdada sekal menantang dan berpinggul
menonjol berisi, sungguh menggemaskan namun juga
membuat jantung Suto terasa berhenti mendadak, lalu
berdetak lagi dengan tersendat-sendat.
"Apakah kau tak ingin mandi, Badra"!" tegur Laras Wulung pada saat Suto berlagak
memunggungi, tapi
memandang jelas-jelas melalui pantulan cermin yang
menutup dinding di depannya. Laras Wulung pun
menatap Suto melalui bayangan yang ada di cermin itu.
"Ak... aku...," Suto menjadi salah tingkah. Laras Wulung mendekati dengan
pandangan mata yang teduh
namun mengandung daya getar yang cukup membuat
lutut terasa ngilu.
"Kalau kau tak mau mandi, aku tak mau
melayanimu," kata Laras Wulung.
"Ap... ap... apa maksudmu berkata begitu"!" tanya Suto mulai menggeragap.
"Apakah kau berlagak bodoh"!"
Semakin sulit mulut Suto dipakai untuk bicara.
Semakin kaku pula lidahnya.
"Badra Sanjaya selalu mandi bersamaku," ucap Laras Wulung sambil menatap dalam
jarak sangat dekat.
"Badra Sanjaya selalu patuh padaku, karena ia menyukai keindahan dan
kemesraanku. Jangan mengubah
kebiasaan, Badra."
"Oh, hemmm... iya, aku hanya... hanya merasa kagum yang kelewat batas terhadap
kecantikanmu, Laras
Wulung," ujar Suto yang tadi sempat tertegun dan menyimpan kecemasan. Takut
tidak diakui sebagai
Badra Sanjaya. Kini ia biarkan Laras Wulung bersikap seperti seorang ibu ingin
memandikan anaknya yang
berusia tiga atau empat tahun.
Tapi Laras Wulung adalah seorang ibu yang nakal,
Karena sebelum anaknya menceburkan diri ke dalam
kolam pemandian, Laras Wulung sempat tersenyumsenyum sambil mempermainkan gairah sang bocah, ia
berlutut dan sesekali memandang ke atas, menatap wajah pemilik kehangatan itu.
Bibir dan lidahnya nakal
kembali setelah ia puas melihat si pemilik kehangatan mengerang lirih ditikam
rasa nikmat. Jari-jari tangan Laras Wulung kian lincah mempermainkan sesuatu
yang membuat Suto Sinting terlonjak-lonjak dalam buaian
keindahan. Suto tak berani menolak, karena siapa tahu memang beginilah kebiasaan
Badra Sanjaya jika
berhadapan dengan pengawal kepercayaan sang Ratu ini.
Laras Wulung kian menunduk hingga akhirnya
mencium lutut Suto. Dipagutnya lutut itu, dan hati Suto Sinting berdesir bagai
diiris sembilu namun tak terasa sakit. Yang dirasakan dari pagutan pada bagian
lututnya itu adalah siraman kenikmatan begitu indah dan
membuat gairahnya kian berkobar-kobar.
Lutut itu sesekali digigit kecil oleh Laras Wulung,
sesekali disapu dengan lidahnya dan dipagut kembali.
Hanya saja, makin lama pagutan itu makin merayap ke
atas dan terus ke atas sampai menemukan terminal
keindahan. Laras Wulung memandang dengan sayu. Sangat
menggoda sekali. Suto Sinting terengah-engah karena
lelah menahan jeritan keindahannya. Tapi ia harus tetap bersikap seperti Badra
Sanjaya. Maka ketika Laras
Wulung menuntunnya mendekati sebuah batu setinggi
pinggul yang permukaannya datar, Suto Sinting ikut saja tanpa menolak tanpa
bertanya. Batu di dekat kolam
jernih itu kini menjadi tempat duduk Laras Wulung,
"Beri aku keindahan yang dahsyat seperti
biasanya...," ucap Laras Wulung dengan suara masih bernada wibawa.
Suto bingung apa yang harus dilakukannya supaya
sama seperti yang dilakukan Badra Sanjaya. Apalagi
sekarang perempuan itu merebah ke belakang tapi satu kakinya masih menapak di
lantai sedangkan kaki yang
satunya ada di tepian batu itu.
"Barangkali dia minta diperlakukan seperti saat dia memperlakukan diriku tadi,"
pikir Suto Sinting. Maka dilakukanlah seperti yang telah dilakukan Laras Wulung
kepada Suto saat Suto berdiri tadi.
"Ooouh...!" Belum-belum Laras Wulung telah memekik ketika Suto menempelkan
bibirnya di lutut
perempuan itu. Selanjutnya, suara Laras Wulung seperti orang di kamar
penyiksaan. Menjerit, mengerang,
merengek, terengah-engah, mendesah, lalu menjerit lagi.
Bahkan kadang terpekik dengan kedua tangan meremas
rambut kepala Suto kuat-kuat. Perempuan itu ternyata lebih dahsyat dari yang
pernah dihadapi Suto Sinting sebelumnya.
"Lakukan...!" sentak Laras Wulung bagai orang marah. "Cepat lakukan sekarang!
Cepaaat...! Oooouh...!"
Ia juga seperti orang menangis. Suto Sinting jadi
bingung sendiri.
"Apa maunya perempuan ini" Dibeginikan mengeluh, digitukan menjerit, diginigitukan memekik, digitu-gitukan malah merengek.... Jadi aku harus bagaimana
sebenarnya"!" gerutu Suto Sinting dalam hati, tapi tetap menjadi seekor kucing
yang memandikan anaknya.
Laras Wulung sangat kegirangan. Jerit, pekik, rengekan, keluh dan semua yang
dilontarkan lewat mulut Laras
Wulung hingga berisik itu adalah pernyataan dari rasa girang, bahagia, nikmat,
syahdu, dan sebagainya yang bercampur menjadi satu.
Jebuuurrr...! Karena banyak bergerak, Laras Wulung jatuh ke
kolam itu setelah memekik keras-keras dan tangannya
yang meremat pundak Suto Sinting itu terlepas karena tubuh Suto mengucurkan
keringat dengan deras.
"Cepat kemari... cepat...!" panggil Laras Wulung, kemudian Suto pun akhirnya
terjun ke kolam itu.
Jebuuuurr...! Jebar, jebur, jebar, jebur...!
Air kolam menjadi kacau. Laras Wulung memukulmukul air kolam ketika Suto Sinting memeluknya. Suara Laras Wulung berhamburan
tak jelas apa yang
diucapkannya. "Kenapa tidak kau lakukan!" sentak Laras Wulung pada akhirnya. "Lakukanlah! Kau
bukan Suto Sinting, tapi Badra Sanjaya! Lakukanlah...!"
Suto Sinting bingung mendengar ucapan itu. Tapi
karena Laras Wulung mendesak dan membentak, nyaris
mengamuk, maka Suto Sinting pun akhirnya
memberikan apa yang diminta Laras Wulung dari Badra
Sanjaya. "Kuberikan apa yang kau minta dari Badra Sanjaya!"
ucap batin Suto. "Barangkali inilah yang kau inginkan dari Badra Sanjaya...!"
"Aaaahhh...!" teriakan panjang Laras Wulung adalah puncak keindahan yang
dicapainya dan diperoleh dari
Badra Sanjaya. Perempuan itu akhirnya terkulai lemas di tepian
kolam. Suto Sinting masih tegar dan berdiri di
sampingnya dengan tegak, gagah, dan kekar.
"Kau luar biasa dari yang pernah kudapatkan darimu, Badra Sanjaya!" ujar Laras
Wulung sambil tergolek pandangi pria yang berdiri di sampingnya.
"Mengapa kau sebut nama Suto Sinting?" pancing Suto karena kecurigaannya semakin
besar. "Apakah aku tadi menyebut nama Suto Sinting"!"
"Ya, kau menyebutnya!"
"Oh, mungkin karena aku tahu kau bukan Badra
Sanjaya, melainkan Pendekar Mabuk. Kau adalah Suto
Sinting!" "Aku Badra Sanjaya!" sentak Suto yang terkejut
sekali mendengar pernyataan itu. "Aku murid Ki Jalu Kuping dari Gunung Dara!"
"Bukan. Kau bukan Badra Sanjaya. Ragamu memang
Pendekar Mabuk 080 Pusaka Jarum Surga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Badra Sanjaya tapi sukmamu, jiwamu, rasamu, semua
adalah milik Pendekar Mabuk!"
Laras Wulung pun bangkit dan memandang Suto
tegas-tegas. "Badra Sanjaya sudah ada di sini sebelum kau
datang." Mata Suto terbelalak walau tak begitu lebar, ia
menyembunyikan rasa kagetnya.
"Badra Sanjaya sekarang berada dalam tabung kaca.
Tapi raganya masih bisa kunikmati seperti biasanya.
Sukmamu membantuku mendapatkan keindahan dari
Badra Sanjaya. Aku tahu, Jalu Kuping mempunyai ilmu
'Sewaka Sukma'. Jika Badra Sanjaya beberapa waktu
yang lalu lari dari sini dan kembali kepada gurunya, sudah kuperkirakan bahwa
ilmu 'Sewaka Sukma' akan
digunakan oleh Jalu Kuping. Tapi aku tak menyangka
kalau Pendekar Mabuk yang pernah menemuiku
bersama Yundawuni itu adalah orang yang nyawanya
disewa oleh Jalu Kuping!"
Suto Sinting merasa telah tertangkap basah, ia tak
bisa mengelak lagi, akhirnya ia mengakui secara tak
langsung atas kebenaran pendapat Laras Wulung itu.
"Dari mana kau tahu kalau aku adalah Pendekar
Mabuk?" "Bumbung tuakmu tak mungkin bisa berada di tangan Badra Sanjaya! Ilmumu jauh
lebih tinggi dari Badra
Sanjaya! Karena kutahu kau murid si Gila Tuak."
"Dari mana kau tahu aku murid si Gila Tuak?"
"Yundawuni menjelaskan tentang dirimu, selain itu juga kabar dari beberapa orang
yang pernah melihat
kehebatan ilmumu!" jawab Laras Wulung.
"Tapi mengapa kau masih tetap mengharap
kemesraan dariku, sedangkan kau tahu aku bukan Badra Sanjaya"!"
"Aku sangat membutuhkan kemesraan itu. Aku... aku mencintai Badra Sanjaya. Sebab
itulah dia kusuruh
melarikan diri dari istana ini. Aku tak ingin Badra
Sanjaya menjadi budak gairah Nyai Ratu setiap malam
atau kapan saja Nyai Ratu membutuhkannya. Aku
merasa lebih baik tidak melihat orang yang kucintai
daripada melihat kekasihku itu terpaksa harus melayani keinginan Nyai Ratu!"
Pendekar Mabuk manggut-manggut. Setelah diam
sesaat dan Laras Wulung duduk di tepian kolam, Suto pun segera ajukan tanya lagi
kepada wanita cantik
berselera tinggi itu.
"Benarkah Nyai Ratu menyuruh orang-orangnya
menangkap Badra Sanjaya karena tuduhan mencuri
pusaka 'Jarum Surga'"!"
Laras Wulung tersenyum kecil. Ia memandang Suto
yang berdiri di sampingnya dalam keadaan masih tetap seperti keluar dari kolam.
Perempuan itu segera berkata sambil memandangi tubuh bagian bawah Suto.
"Itulah pusaka 'Jarum Surga' yang dimaksud!"
"Ooh..."!" Suto Sinting tersentak kaget, merasa
terkecoh oleh bayangannya tentang pusaka 'Jarum Surga'
itu. "Sewaktu aku datang bersama Yundawuni, kau bilang padaku bahwa pusaka 'Jarum
Surga' dibawa lari oleh
Badra Sanjaya, dan pusaka itu seperti tombak yang...."
"Bukankah memang seperti tombak"!" sahut Laras Wulung sambil tersenyum. "Aku
tidak bilang bahwa pusaka dicuri Badra Sanjaya, tapi pusaka 'Jarum Surga'
dibawa lari oleh Badra Sanjaya. Memang dibawa lari, sebab pusaka itu adalah
milik Badra Sanjaya dan ia
melarikan diri, maka dikatakan pusaka itu dibawa lari.
Apakah aku salah"!"
Pendekar Mabuk hanya tarik napas dalam-dalam. Ia
benar-benar terkecoh oleh permainan kata Laras
Wulung. "Siapa yang memberi perintah menangkap Badra
Sanjaya?" "Nyai Ratu...! Perintah itu memang turun dari Nyai Ratu sendiri. Sebab Nyai Ratu
membutuhkan pusaka
'Jarum Surga' itu. Dia ingin mendapatkannya kembali.
Jika tak berhasil, dia akan membunuh Badra Sanjaya.
Maka kuminta bantuan kepada Yundawuni untuk
menghubungi Pendekar Mabuk. Kuminta kau
menangkap Badra Sanjaya sebab aku takut Badra
Sanjaya diburu oleh pengawal Nyai Ratu yang ilmunya
cukup tinggi. Jika kau lebih dulu menangkap Badra Sanjaya, maka kau akan
melindungi nyawa Badra
Sanjaya dari serangan para pengawal Nyai Ratu yang
mendapat tugas memburunya itu."
"Ooh, cerdik sekali kau sebenarnya, Laras Wulung"!"
Suto Sinting manggut-manggut lagi.
"Tapi mengapa menurut cerita Ki Jalu Kuping, yang disebut-sebut oleh Badra
Sanjaya adalah nama Ratu
Dekap Rindu"! Mengapa bukan namamu" Apakah dia
tidak mencintaimu?"
"Itu karena dia terkena jurus 'Ranjang Goyang' sang Ratu. Jurus 'Ranjang Goyang'
dapat mengenai lawan
bercumbu pada saat sang Ratu merasa dikecewakan
dalam cumbuannya. Dan dengan sendirinya kekuatan
gaib dari Jurus 'Ranjang Goyang' itu terlepas dari sorot pandangan mata sang
Ratu," tutur Laras Wulung.
Sambungnya lagi, "Maka ketika Nyai Ratu mengaku pernah dikecewakan oleh Badra
Sanjaya, aku segera
tanggap bahwa Badra Sanjaya pasti telah terkena jurus
'Ranjang Goyang'. Jika begitu, maka cepat atau lambat sukmanya akan datang
sendiri kepada Nyai Ratu dan
segera dimasukkan dalam tabung beling untuk
dipenjarakan. Sukma itu tak akan pergi ke mana-mana
jika tabung itu tidak dibuka atau tidak dipecahkan!"
"Sekarang di mana tabung itu berada?" tanya Suto yang sudah mulai yakin bahwa
Laras Wulung ada di
pihak Badra Sanjaya.
"Tabung itu ada di kamar Nyai Ratu. Tak seorang pun mengetahui letaknya dan cara
mengambilnya kecuali
aku! Karena aku pengawal kepercayaan Nyai Ratu!"
"Maukah kau mengambilkannya untukku demi
membebaskan sukma si Badra Sanjaya?"
"Aku tak keberatan asalkan kau mau juga
melindungiku jika Nyai Ratu murka padaku!"
"Kalau aku tak mau, bagaimana?"
Laras Wulung diam sebentar. Kemudian ia memandang Suto sambil berdiri.
"Tolong, bantulah aku. Aku sangat mencintai Badra Sanjaya! Aku akan kalah jika
melawan Nyai Ratu."
"Kau mencintai Badra Sanjaya?"
Laras Wulung mengangguk.
"Apakah kau tak tahu bahwa Badra Sanjaya sering melayani perempuan lain,
termasuk Gayanti, Paras
Juwita dan...."
"Dan aku juga," potong Laras Wulung. Ia melangkah ke samping, lalu berbalik dan
menatap Suto kembali.
"Ketika Badra Sanjaya datang kemari mencari kakak seperguruannya yang bernama
Jantra Loya, kami
berhasil memperdayanya. Sebenarnya kami tidak tahu di mana Jantra Loya berada,
karena kami tak punya urusan dengan Jantra Loya. Tapi melihat ketampanan Badra
Sanjaya, kami katakan bahwa Jantra Loya dalam
tawanan kami. Dia bisa dilepaskan jika Badra Sanjaya mau menjadi penghibur
perempuan-perempuan di Bukit
Kemesraan ini. Badra Sanjaya tak berkutik ketika
melawan Nyai Ratu, akhirnya ia mau menjadi pelayan
kemesraan kami. Jadi siapa pun yang membutuhkan
kemesraannya, dia harus melayani, jika tidak maka
Jantra Loya tidak akan kami lepas dari penjara. Padahal itu hanya tipu muslihat
kami saja. Sampai akhirnya Nyai Ratu merasa bahagia jika mendapat pelayanan
cinta dari Badra Sanjaya. Aku sendiri merasa bahagia sekali jika
selesai bercumbu dengannya, lalu akhirnya aku jatuh
cinta pada Badra Sanjaya dan ingin memiliki dia
sepenuhnya."
"Hmmm...!" Suto Sinting manggut-manggut. Setelah diam tiga helaan napas, ia pun
berkata dengan suara
pelan tapi jelas dan tegas.
"Baiklah, aku akan membantumu dalam memadu
cinta dengan Badra Sanjaya, asal kau benar-benar mau menjadi seorang istri yang
baik." "Aku akan menjadi istri terbaik bagi Badra Sanjaya!
Aku bersumpah untuk hal itu."
"Baik. Sekarang bebaskan sukma Badra Sanjaya, dan jika Nyai Ratu mengamuk, aku
yang akan menghadapinya. Tapi terlebih dulu kau dan aku pergi ke Gunung Dara untuk meminta
kembali ragaku! Tak
mungkin aku bercinta denganmu dalam keadaan diriku
bertubuh Badra Sanjaya, bukan?"
"Memang. Aku memang ingin Badra Sanjaya
seutuhnya!"
"Kau akan menerimanya setelah sukmaku kembali ke ragaku yang asli dan sukma
Badra Sanjaya bebas dari
penjara." "Akan kucari penjara sukma itu. Tapi... tapi maukah kau memberiku kemesraan
lagi?" "Bukankah kau tahu aku adalah Pendekar Mabuk?"
"Kau hanya tenaga penggerak saja. Tapi yang
kurasakan adalah kehangatan dan kemesraan Badra
Sanjaya. Tolonglah... beri aku sekali lagi biar
kekuatanku pulih kembali."
"Kekuatan..."!"
"Kekuatanku akan susut dan bisa menjadi lenyap jika gairahku sudah telanjur
timbul tapi tidak mendapat
pelampiasan. Jika gairahku tidak pernah timbul, walau tak mendapatkan kemesraan
aku tak akan kehilangan
tenaga. Ini disebabkan karena aku memiliki ilmu 'Titis Panewu' warisan dari
nenekku. Jika gairah sedang
kambuh, tak dapat obatnya, maka ilmu 'Titis Panewu'
akan menyerap tenaga dan kekuatan batinku."
"Apa itu ilmu 'Titis Panewu'?"
"Setiap anak yang kulahirkan secara dengan
sendirinya akan memiliki seluruh ilmu yang ada
padaku." "Wah, hebat juga ilmu itu"!" puji Suto.
"Karena itulah, aku butuh obat untuk gairahku."
"Apakah kau bergairah lagi?"
Laras Wulung anggukkan kepala dengan malu-malu.
"Aku rindu sekali kepada Badra Sanjaya, dan kebetulan kau hadir membawa raganya,
maka gairahku meletup-letup sejak tadi. Tolonglah aku sekali ini saja, setelah
itu kita lari dari sini sambil membawa tabung penjara
sukmanya Badra Sanjaya!"
Bingung juga menghadapi masalah ini. Tapi akhirnya
Suto Sinting berkata, "Aku tidak bisa melayanimu. Tapi kalau kau mau mengambil
miliknya Badra Sanjaya,
ambillah. Aku hanya sekadar membantu kalian!"
"Ooh...!" Laras Wulung segera memeluk raga Badra Sanjaya dan hanyut dalam ayunan
gelombang cinta yang luar
biasa dahsyatnya, tidak seperti saat-saat
sebelumnya. Pencurian tabung penjara sukma segera dilakukan
Laras Wulung sesuai rencana. Pendekar Mabuk hanya
membayang-bayangi di luar kamar Nyai Ratu, dan Laras Wulung sendiri yang masuk
ke dalam kamar tersebut.
Ketika ia berhasil membawa tabung beling berisi asap ungu samar-samar, tiba-tiba
langkahnya kepergok oleh seorang pengawal lain yang bernama Kumbarini.
"Apa yang kau bawa itu, Laras Wulung"!" tegur Kumbarini dengan nada curiga.
"Nyai Ratu menyuruhku mengambil tabung penjara
sukma ini!" kata Laras Wulung dengan tenang.
"Nyai Ratu sedang bersemadi. Tak mungkin ia
menyuruhmu!"
"Mengapa kau tak percaya padaku, Kumbarini"!"
"Karena aku tahu tabung itu adalah tabung penjara sukma Badra Sanjaya. Aku tahu
kau mencintai dia,
karena aku pernah mendengar percakapanmu di balik
kerimbunan bambu di taman keputrian itu. Kalian
merencanakan untuk kabur dari sini. Kau yang
menyuruh Badra Sanjaya melarikan diri. Kau pula yang menunjukkan pintu rahasia
untuk meloloskan diri. Maka sekarang kutahu kau mencuri tabung itu untuk
membebaskan sukma si Badra Sanjaya!" ujar perempuan berambut panjang dengan
kenakan jubah biru bola-bola kuning.
"Kembalikan tabung itu, Laras Wulung!"
"Jika kau tahu tentang rencana itu, mengapa kau tidak melaporkannya kepada Nyai
Ratu"!"
"Karena aku tak punya bukti yang kuat. Sekarang aku punya bukti dan ingin
menindakmu sendiri!"
"Kalau begitu, terimalah jurus 'Sekar Dayu' ini!"
Clap, clap... ! Dua sinar biru keluar dari kibasan tangan kiri Laras Wulung.
Rupanya Kumbarini telah
menduga akan diserang secara mendadak, ia telah siap menangkis dengan sentakkan
tangan kanannya yang
memancarkan sinar merah lebar. Maka dua sinar biru itu menghantam sinar merah
yang menyerupai perisai itu.
Jegaaarrr...! Ledakan dahsyat mengguncangkan bangunan istana
megah itu. Tentu saja ledakan tersebut membuat para
pengawal lainnya berdatangan dan suasana menjadi
heboh. Semakin bertambah heboh lagi setelah
Kumbarini melesat naik ke atas serambi lalu berseru
kepada para pengawal yang berdatangan itu.
"Laras Wulung mencuri tabung penjara sukma!
Lihat...! Tabung itu ada di tangannya dan ia akan
membebaskan sukmanya Badra Sanjaya!"
"Keparat! Rupanya dia sekarang menjadi pencuri
jahanam! Serang dia! Seraaaang...!"
Lebih dari dua puluh lima pengawal berilmu tinggi
mengepung Laras Wulung dan mereka menghujani
Laras Wulung dengan pukulan bersinar.
"Hati-hati... tabung itu jangan sampai pecah!" seru Kumbarini mengingatkan
teman-temannya, namun
justru menjadikan Laras Wulung sadar akan hal itu.
Maka sambil hindari sinar putih dari lawannya, Laras Wulung melemparkan tabung
itu ke arah pohon.
Weess...! Pyaaar...!
Wuuutt...! Asap ungu tipis itu menyebar dan lenyap
tersapu angin. Semua pengepung, termasuk Kumbarini
Pendekar Mabuk 080 Pusaka Jarum Surga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terpekik tegang melihat tabung itu telah pecah.
"Bunuh dia! Jangan beri kesempatan hidup lagi!"
teriak Kumbarini sambil menunjuk Laras Wulung.
Clap, clap, clap, clap...!
Laras Wulung dihujani sinar maut yang dapat
hancurkan tubuhnya. Pada saat kritis itu, Pendekar
Mabuk segera melesat menyambar tubuh Laras Wulung
yang sedang melompat hindari pukulan maut lawanlawannya Zlaaap...! Weees...!
Tahu-tahu Laras Wulung sudah berada di atas tembok
benteng dalam keadaan dipondong seorang lelaki
berpakaian serba hijau. Kumbarini dan yang lainnya
terbelalak bengong.
"Kejar mereka!" teriak Kumbarini.
"Turunkan aku! Akan kulepaskan jurus penghancur istana ini!" kata Laras Wulung.
Ia segera diturunkan dari pondongan Suto. Lalu kedua tangannya segera
berkelebat bagai menari cepat, tahu-tahu menyentak ke depan. Wuuuk...! Mata dari
kedua telapak tangannya
keluar sinar ungu yang menyebar ke berbagai penjuru.
Wuuuus...! Blegaaarrr.... Bhaaaangg...!
Zlaaaap...! Suto Sinting menyambar tubuh Laras
Wulung ketika nyala sinar ungu berubah menjadi api
besar yang menyambar ke mana-mana. Dengan
dipanggul Suto Sinting, Laras Wulung akhirnya
meninggalkan istana itu pada saat suasana istana
menjadi gempar, gaduh dan penuh kepanikan.
Zlaaap, zlaaap, zlaaap...!
Dalam waktu singkat, Laras Wulung sudah berada
jauh sekali dari Bukit Kemesraan. Jika tanpa bantuan jurus 'Gerak Siluman' Suto
Sinting, barangkali para
pengawal Ratu Dekap Rindu akan berhasil mengejar
Laras Wulung. Setidaknya berhasil menghantam Laras
Wulung dari jarak jauh.
Bleeebaang...! Gelegar ledakan maha dahsyat masih terdengar
sayup-sayup di tempat Suto menurunkan Laras Wulung
dari pundaknya. Mereka hanya memandang ke arah
Bukit Kemesraan yang memancarkan sinar merah terang
yang menyebar ke langit, membuat langit petang
menjadi merah bak terpanggang api neraka.
Kembalinya sukma Badra Sanjaya ditandai dengan
bangkitnya raga Suto Sinting yang terbaring di dalam pondok Ki Jalu Kuping.
Kakek berjubah abu-abu tampak kegirangan, karena ia yakin bahwa Suto berhasil
memecahkan tabung penjara sukma itu. Keyakinannya
itu menjadi kenyataan setelah Suto dalam sosok raga
Badra Sanjaya itu tiba di padepokan Lereng Kunyuk, di Gunung Dara, bersama
seorang wanita cantik yang tak
lain adalah Laras Wulung.
Ki Jalu Kuping akhirnya memindahkan kembali
sukma mereka ke tubuh masing-masing. Maka
melompatlah Laras Wulung memeluk Badra Sanjaya
dalam kegirangan yang luar biasa.
"Kurasa Ratu Dekap Rindu akan mencarimu, Laras
Wulung!" kata Badra Sanjaya.
"Itu urusanku!" sahut Suto Sinting yang kini sudah merasa lega karena sudah
memakai raganya sendiri.
"Hanya saja, kumohon padamu, Badra Sanjaya... jangan kau umbar lagi kemesraanmu
untuk gadis-gadis lain.
Curahkan seluruh kekuatan kemesraanmu untuk Laras
Wulung dan... segeralah meresmikan pernikahan kalian, supaya kalian nyata-nyata
merasa saling memiliki!"
Badra Sanjaya dan Laras Wulung anggukkan kepala
dengan senyum kedamaian dan kebahagiaan yang di
ambang ancaman dendam Ratu Dekap Rindu.
SELESAI Segera terbit!!!
PEMBALASAN RATU MESUM
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
https://www.facebook.com/Dunia
AbuKeisel Istana Tanpa Bayangan 3 Dewi Sri Tanjung Mencari Ayah Kandung Kisah Pedang Di Sungai Es 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama