Pendekar Mabuk 09 Pusaka Tombak Maut Bagian 1
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Ke isel
Conve rt & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: De wi KZ
http://kangzusi.com
http://dewi-kz.info/
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
1 PERAHU kecil itu merapat ke pantai bagai tanpa
tenaga pendorong. Satu-satunya penumpang perahu kecil itu berdiri di buritan
perahunya dengan kaki tegak sedikit
merenggang, badannya lurus dengan dada membusung karena montok. Orang tersebut memiliki wajah cantik sederhana, tapi
mata kecilnya tampak tajam dalam setiap pandangnya.
T ubuh yang tak terlalu kurus namun cukup padat
berisi itu dibungkus pakaian silat warna hijau muda bertepian kain satin merah
tua, ikat pinggangnya kain merah tua juga. Di selipan ikat pinggang itu terdapat
sebilah pedang bergagang kayu hitam dengan sarung
pedangnya yang juga dari kayu hitam mengkilap.
Perempuan berusia sekitar tiga puluh tahun itu
bersiap diri untuk turun dari perahunya. Namun tiba-tiba perahu
kecil itu mengalami sentakan yang mengguncangkan, bahkan hampir saja perahu itu terbalik jika keseimbangannya
tidak dijaga oleh perempuan tersebut. Apa yang ia tabrak saat itu, jelas tak
ada. Itu berarti perahu tersebut
ada yang mengguncangnya
dengan dorongan tenaga dalam dari kejauhan tempat.
Ketika posisi perahu sudah kembali normal, perempuan itu cepat sentakkan kakinya ketepian perahu, dan tubuhnya melenting di
udara dengan berjungkir balik satu kali. Dalam waktu singkat sepasang kakinya
sudah mendarat di pasir pantai dengan sigap, tangan kanannya memegang gagang
pedang, siap mencabutnya sewaktu-waktu.
Alam pantai sepi, tiada suara selain desau angin dan gemercik riak pantai.
Tetapi mata perempuan berambut ikal yang diikatkan ke belakang sepanjang
punggung itu masih menatap sekelilingnya dengan penuh waspada.
Setiap gugusan batu atau gerumbulan semak disusuri dengan pandangan matanya yang
tajam itu. "Pasti ada orang yang menyambutku dengan angkuh!" ucapnya di dalam hati. Ia masih belum bergerak sedikit pun kecuali
matanya yang bergerak liar ke sana-sini.
Setelah ia merasa yakin tak ada orang di ger umbulan semak, atau di atas pohon
yang menjulur ke pantai, atau di balik gugusan batu yang bertebaran di pantai
itu, maka ia pun bergerak memandang ke arah perairan, sampai mendapatkan perahunya
sendiri. Ketika ia
memandang perahunya, matanya cepat berkedip dengan hati sedikit kaget melihat
seseorang telah berada di sana, di buritan tempatnya berdiri tadi.
Seorang lelaki bercelana merah tanpa mengenakan
baju, telah berdiri dengan tegak bagai menantang keributan. Orang itu bertubuh
kurus sekali, seperti tidak mempunyai daging lagi kecuali tulang yang dibungkus
kulit. Rambutnya yang panjang berwarna abu-abu
meriap dipermainkan angin pantai, sebagian mata
cekungnya tertutup helai-helai rambut. T angannya lurus ke samping bawah kanankiri, tanpa ada kesan ingin mencabut senjata cakra di pinggangnya. Orang itu tak
lain adalah T engkorak T erbang, si penjaga pantai di bawah kekuasaan Ratu
Pekat. Melihat orang mirip tengkorak hidup itu berdiri di perahunya, perempuan tersebut
segera serukan kata,
"T inggalkan perahuku atau kuhantam kau dari sini"!"
T engkorak Terbang diam saja, tak memberi jawaban apa pun, tapi ia tidak mau
beranjak pergi dari atas perahu. Matanya yang cekung itu hanya menatap penuh
sinar permusuhan, sehingga perempuan itu pun segera mengirimkan pukulan jarak
jauhnya lewat sodokan
tangan kanannya yang bertelapak terbuka dan menghadap ke atas. Zebb...!
T engkorak T erbang sentakkan kakinya dan tubuhnya pun melayang bagaikan
terbang, lalu bersalto satu kali ke udara, hingga dalam waktu singkat sepasang
kakinya telah mendarat di pasir pantai. Jarak berdirinya hanya lima langkah dari
perempuan berpakaian hijau muda itu.
T ak ada senyum, tak ada ucap. T engkorak T erbang memperhatikan
perempuan itu dengan mata tak berkedip. "Begitukah caramu menyambut tamu"!" perempuan itu memperdengarkan suaranya yang
bening. T erpaksa orang bertubuh sangat kurus itu menjawab,
"Harusnya aku yang bertanya, begitukah caramu datang bertamu di pulauku?"
Perempuan itu sedikit sipitkan mata begitu tahu suara orang berwajah keras
dengan tonjolan tulang-tulangnya tampak jelas itu ternyata sangat kecil. Suara T
engkorak T erbang memang cempreng dan sangat
tak enak didengarnya. "Pulau Beliung ini bukan pulaumu! Aku tahu siapa penguasa di pulau ini!" kata
perempuan itu dengan ketus.
"T api aku petugas penjaga pantai yang punya we wenang untuk menolak kehadiran
orang asing!" balas T engkorak T erbang
"Apakah kau sanggup menolak kehadiran Badai Kelabu"!"
"Apa sulitnya menolak kehadiranmu, Badai Kelabu"!
Sekarang juga jika kau tidak segera angkat kaki dan pergi bersama perahumu, kau
akan kuhancurkan seperti ombak menghancurkan gundukan pasir!"
"Kulayani sesumbarmu itu, Mayat Hidup!"
Sambil berkata begitu, perempuan yang mengaku
berjuluk Badai Kelabu itu melangkah ke samping,
mencari celah untuk menyerang. T api sebelum ia
melakukan penyerangan, tiba-tiba tubuh T engkorak T erbang telah lebih dulu
melesat tanpa diketahui sentakan kakinya. T ubuh kurus kerontang itu bagaikan
terbang ke arah Badai Kelabu dan melepaskan satu tendangan kaki kanannya yang
menyamping. Wesss...!
T app...! Kaki kurus itu dengan mudah ditangkap oleh tangan Badai Kelabu. Mestinya orang
yang ditangkap kakinya itu
jatuh terpelanting karena Badai Kelabu memelintirnya. T etapi, gerakan memelintir itu diikuti oleh si tubuh ceking
dengan cepat, bahkan ia bergerak bagaikan
kipas yang membalik dan dengan menggunakan kaki kirinya menendang wajah Badai
Kelabu. Plokk...! T enaga yang keluar cukup besar. T endangan menyabet itu membuat wajah Badai Kelabu bukan hanya terlempar
ke samping, namun juga tersentak ke belakang. Wajah itu menjadi merah. Penglihatannya sempat kabur sebentar.
Pegangan tangannya pada kaki T engkorak T erbang pun lepas.
Badai Kelabu terhuyung ke belakang hampir jatuh, sedangkan T engkorak T erbang
pun jatuh dalam posisi tengkurap, kedua telapak tangannya menapak di tanah.
T angan itu segera menghentak, dan tubuhnya kembali melenting tinggi lalu
bersalto satu kali, dan dalam waktu singkat sepasang kaki kurusnya sudah menapak
di tanah dengan sigap dan tampak kekar walaupun kurus sekali.
T engkorak T erbang memperdengarkan tawanya yang merusakkan gendang telinga,
"Hiaak, hak hak hak hak hak...!" T ubuhnya terguncang-guncang karena tawanya.
Badai Kelabu menggeram sambil menarik napasnya.
Dalam hati ia membatin kata, "Boleh juga tendangannya.
Berat dan mantap. Wajahku terasa bagai disembur api.
Panas sekali. Kalau aku bukan orang berilmu, pasti wajahku sudah somplak disabet
tendangan kaki kurus itul Agaknya orang ini punya ilmu yang cukup lumayan juga."
T engkorak T erbang memperdengarkan suaranya lagi,
"Pulanglah daripada kau mati sia-sia di sini, Badai Kelabu!"
"Aku akan pulang setelah melihat mayatmu terkapar di pantai ini! Hiaaat...!"
Cepat sekali Badai Kelabu tahu-tahu telah melesat terbang dengan kaki mengarah
ke wajah T engkorak T erbang. Kaki itu ditahan oleh telapak tangan T engkorak T
erbang. Plakk...!
Pertemuan telapak kaki dengan telapak tangan itu justru membuat tubuh Badai Kela
bu bersalto maju satu kali. T ubuhnya melayang melewati kepala T engkorak T
erbang, dan ketika gerakan saltonya berguling, kaki kirinya menyepak ke belakang
dengan kuat dan tepat mengenai punggung T engkorak Terbang. Bukkk...!
Kaki Badai Kelabu bagai mendapat tempat pijakan
baru, maka tubuhnya pun tersentak maju dan berguling di pasiran pantai. Dalam
kejap berikut tubuh itu telah
kembali berdiri membelakangi T engkorak T erbang yang segera membalikkan badan
untuk menghadap lawan.
T api rupanya lawan sedang tersungkur akibat sepakan kaki yang mirip tendangan
kuda tadi. T engkorak
T erbang cepat-cepat bangkit dengan wajah dan rambut dikibaskan
karena bercampur pasir. Lelaki kurus kerontang itu menggeram dengan mata lebih tajam
memandang. Di dalam hatinya ia berkata,
"Kurang ajar, tendangan bertenaga dalam itu membuat tengkuk kepalaku semutan dan kaku! Lumayan juga dia punya isi. Aku tak
boleh menganggapnya
enteng!" Badai Kelabu sunggingkan senyum mengejek, ia juga ucapkan kata bernada ketus,
"Baru satu jurus saja kau sudah kerepotan menghadapiku, Mayat Hidup! Apalagi
lebih dari satu jurus, kau akan kerepotan menghadapi liang kuburmu sendiri!"
"Jangan bangga dengan tendangan cacingmu itu, Badai
Kelabu! Aku bukan orang yang mudah dirobohkan oleh perempuan pucat macam kau, tahu"!
Cuih...!" T engkorak T erbang meludah seba gai penghinaan.
T etapi segera matanya terkesiap, dahinya berkerut, karena apa yang diludahkan
dari mulutnya itu ternyata adalah darah kental. Wajah kagetnya ditertawakan oleh
Badai Kelabu, se dangkan T engkorak T erbang hanya membatin kata,
"Wah, gawat! Aku terluka di bagian dalam"!"
T awa perempuan berwajah lonjong itu makin
terdengar jelas. T api tawa itu sendiri cepat terhenti setelah ia menyadari
beberapa helai rambutnya ada yang rontok, terbang terbawa angin. Badai Kela bu
menjadi kaget melihat rambutnya mudah terbawa angin, ia
berkata dalam hatinya,
"Kurang ajar! Rupanya tendangan kakinya yang menampar wajahku tadi benar-benar
dialiri tenaga dalam yang cukup besar. Panas masih kurasakan di sekitar kepala
dan panas itu membuat rambutku menjadi
rontok"! Edan! Harus segera kulawan rasa panas ini memakai hawa dinginku, biar
tak menjadi botak
kepalaku karena kehilangan banyak rambut!"
Rupanya di seberang sana, T engkorak T erbang juga sedang memejamkan mata dalam
sikap berdiri dan
menundukkan kepala, ia mencoba mengobati luka
dalamnya dengan tahan napas beberapa saat. Dan Badai Kelabu pun buru-buru
menyalurkan hawa dinginnya di kepala untuk meredam hawa panas yang hampir
merontokkan rambutnya itu.
Kejap berikutnya, mereka berdua sudah kembali
sama-sama siap bertarung lagi. Jarak mereka menjadi tujuh langkah, karena
masing-masing merasa tak mau kecurian gerak yang bisa membahayakan jiwa mereka
masing-masing. Mata mereka pun saling pandang tak berkedip untuk memperhatikan
Pendekar Mabuk 09 Pusaka Tombak Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
setiap gerakan kecil dari masing-masing lawan.
"Kuingatkan sekali lagi, tinggalkan pulau ini supaya kau masih bisa menikmati
hidup di masa tuamu nanti, Badai Kelabu!"
"Aku tidak akan pergi sebelum bertemu dengan Nyai Ratu Pekat!"
"Hiiak, hak hak hak hak hak...!" T engkorak Terbang tertawa
keras dengan suaranya yang merusakkan
gendang telinga. Badai Kelabu sempat kerutkan dahi menahan telinganya yang
terasa sakit. Lalu, T engkorak T erbang serukan kata lagi.
"Justru kau akan cepat mati kalau bertemu dengan Ratu Pekat!"
"Aku datang bukan untuk bermusuhan dengannya.
Aku datang sebagai tamu! T amu yang ingin meminta bantuan dari Nyai Ratu!"
"Untuk sementara ini, Ratu tidak menerima tamu siapa pun!"
"Aku berteman baik dengan Ratu!"
"T idak peduli teman baik atau teman jelek, tugasku adalah menolak siapa pun
yang ingin datang ke pulau ini! Ketahuilah Badai Kelabu, untuk sementara pulau
ini tertutup bagi siapa pun! Orang yang nekat datang kemari, berarti musuh kami!
Dan aku berkuasa untuk menghancurkannya!"
"Rupanya Nyai Ratu Pekat sudah memutus tali persahabatan dengan siapa pun dan
menjalin tali permusuhan dengan teman-teman baiknya!"
"Hiak, hak hak hak hak...! Boleh saja kau menyimpulkan begitu, Badai Kelabu, tapi kau tetap harus pergi dari pulau ini!"
"Aku akan memaksa Nyai Ratu Pekat untuk menerimaku!" kata Badai Kelabu sambil maju satu
tindak. T engkorak T erbang pun maju satu tindak dan berkata,
"Kalau kau bisa mengalahkan T engkorak T erbang, baru kau bisa mendesak Nyai
Ratu Pekat! T api kurasa, itu usahamu yang sia-sia, karena kau akan mati tanpa
membawa hasil apa pun, Badai Kelabu!"
"Kita buktikan siapa yang unggul di antara kita, T engkorak T erbang!" sambil
berkata begitu, kedua tangan
Badai Kelabu mulai mekar
jari-jemarinya,
perlahan-lahan bergerak ke atas, lalu memutar lewat belakang satu persatu.
Pada saat yang sama, T engkorak Terbang pun cepat kerahkan tenaga
yang membuat kedua tangannya gemetar. T elapak tangannya saling terkatup di dada, menempel lekat dengan kaki
kian merendah. Dan tiba-tiba kaki yang merendah itu menghentak ke bumi,
tubuhnya pun terlempar ke atas sambil dilepaskannya pukulan jarak jauh bertenaga
dalam cukup besar itu.
Kedua tangan T engkorak T erbang menyentak ke depan dan, wessss...! Pukulan
tenaga dalam tanpa wujud tanpa warna itu melesat ke arah Badai Kelabu.
"Hiaaat...!"
pekik Badai Kelabu dengan menyentakkan kedua tangan dari atas ke bawah, seperti melepaskan burung dalam
genggaman. Wuuuhgg...!
T ali badai dilepaskan. Pukulan tenaga dalam T engkorak Terbang tersentak ke atas dan menimbulkan suara dentaman yang
teredam. Karena pada saat itu, angin badai datang menghantam. T ubuh T engkorak
T erbang yang kurus kerontang itu terhempas oleh
kekuatan angin badai yang seolah-olah hanya dalam satu kelompok saja.
Batu besar yang ada di belakang T engkorak Terbang ikut terhempas bergeser tiga
langkah dari tempatnya.
Se dangkan tubuh T engkorak T erbang sendiri jatuh membentur batu dalam jarak
lima langkah lebih dari tempatnya semula. T ubuh kurus itu seperti bungkusan
kosong yang dibuang dan dihempaskan begitu saja tanpa bisa menjaga keseimbangan
tubuh. Begggh...! "Uhhg...!" T engkorak T erbang terpekik dengan suara tertahan. T ulang rusuknya
terasa sakit diadu dengan batu besar, juga ba gian pundaknya terasa ngilu dan
lecet karena benturan batu tersebut. Napas T engkorak
T erbang terasa sesak, seakan dihimpit benda berat dan besar.
Pukulan 'Badai Gunung' itu seakan masih saja
menyerangnya walau tubuh T engkorak T erbang telah merapat dengan batu besar.
Rambutnya meriap-riap ke belakang,
dadanya terasa sakit sekali. T engkorak
T erbang berusaha melawan tekanan berat dari pukulan
'Badai Gunung' yang belum dihentikan oleh Badai
Kelabu itu. Kedua tangan T engkorak T erbang berusaha mendorong sesuatu yang tak kelihatan di ba gian
depannya. Tenaganya terkuras, urat dan ototnya mengeras, ia sampai meringis-ringis menahan tenaga yang begitu besar
menghimpitnya, bagai ingin membuat tubuhnya tergencet batu di belakangnya. T
etapi, sekuat tenaga T engkorak T erbang, kekuatan besar dari pukulan
'Badai Gunung' itu masih belum bisa dihindari.
Badai Kelabu belum mau menarik tangannya ke
belakang. Matanya masih tertuju pada lawan. T enaganya masih dikerahkan, dan
semburan angin badai masih terarah pada satu tujuan. Benda-benda di luar jalur
arah angin badai itu tidak ikut terpental dan terhempas.
Kekuatan angin badai itu kira-kira hanya membentuk semacam jalur yang lebarnya
dua langkah dari sisi kanan-kiri mereka.
"Di mana sumbarmu, T engkorak Dekil..."! Ayo, hadapi pukulan 'Badai Gunung'-ku
ini, hiiaah...!"
Makin keras datangnya tekanan badai ke arah
T engkorak T erbang, semakin kewalahan orang kurus kerontang itu menahannya.
Sampai-sampai, batu yang dipakai bersandar punggung T engkorak T erbang itu pun
bergerak-gerak, mulai bergeser dari tempatnya. Sebentar lagi pasti akan
terhempas juga bersama tubuh T engkorak T erbang.
Dalam keadaan kritis begitu, T engkorak Terbang
cepat mencabut senjata cakranya yang berujung bergerigi. Senjata itu dipegang menggunakan dua
tangan, bagian ujungnya dihadapkan ke depan. T etapi kaki T engkorak Terbang
mulai terangkat-angkat karena hempasan angin kencang yang hampir menerbangkan
tubuhnya. "Hiaaaahh...!" T engkorak T erbang pekikkan suara nyaringnya yang kering dan
sember itu. Roda bergerigi di ujung senjata cakra berputar cepat
bagaikan baling-baling. Kecepatan putaran gerigi itu memercikkan api merah. Api
itu menyembur ke depan, semakin lama semakin besar dan membuat tubuh
T engkorak Terbang mulai terbebas dari tekanan angin badai. Sementara itu, di
seberang sana Badai Kelabu masih bertahan melepaskan kekuatan badainya dengan
lebih besar lagi melalui kedua telapak tangannya yang terbuka dan ujung
telapaknya menghadap ke tanah.
T angan itu pun gemetar bagai menerima tekanan yang membalik dari percikan
bunga-bunga api senjata cakra itu.
T ubuh T engkorak T erbang terasa makin ringan,
makin bebas bergerak. Dan tenaga dalamnya tetap
dikerahkan membuat senjata cakra itu semakin banyak menyemburkan percikan bunga
api merah, hingga
menimbulkan suara: wooooossss...!
Kejap berikut, T engkorak T erbang sengaja menjejakkan kakinya hingga tubuhnya melesat ke atas.
Percikan bunga api hilang. Badai yang dikerahkan lewat tangan perempuan itu
menghantam apa saja yang ada pada jalur bekas tempat berdiri T engkorak T
erbang. Dari udara, senjata cakra itu dikibaskan bagaikan pedang
menebas kepala lawan. Kibasan itu menyemburkan nyala api kuning kehijau-hijauan,
wuuuut...! Badai Kelabu cepat gulingkan tubuh ke tanah, karena kilatan cahaya kuning
kehijauan itu melesat cepat bagai mau memenggal kepalanya. Dengan berguling ke
tanah, cahaya kuning kehijauan itu terhindar dari lehernya, dan
sebagai sasarannya adalah sebatang pohon kelapa yang melengkung ke arah pantai.
Crassss...! Buurrrk...!
Batang pohon kelapa itu terpotong dengan rapi, dan cepat sekali menjadi rubuh
pada bagian yang terpotong itu. Srettt...!
Badai Kelabu mencabut pedang hitamnya, ia segera melompat ke depan menerjang T
engkorak Terbang yang juga melompat ke depan, hingga ke dua senjata itu beradu
dalam satu suara pekikan Badai Kelabu.
"Ciaaaaat...!"
Duarrr...! Keduanya sama-sama terpental ke belakang dan jatuh tanpa bisa menyangga
keseimbangan tubuh mereka.
Benturan dua senjata bertenaga tinggi itu melepaskan satu ledakan dan sentakan
yang begitu kuat, yang membuat keduanya sama-sama terpental. Lalu, keduanya pun
sama-sama cepat bangkit dan siap menyerang lagi.
"T ahan...!" terdengar seruan dari belakang Tengkorak T erbang. Seruan itu
datang dari perempuan muda
berpakaian serba ungu, dialah putri penguasa Pulau Beliung itu. Dialah yang
berjuluk Cempaka Ungu. Ia menyandang pedang di punggung yang dililit kain ungu.
Cempaka Ungu segera melompat, bersalto di udara
satu kali dan mendarat di tanah pertengahan antara T engkorak Terbang dan Badai
Kelabu. Kehadiran
Cempaka Ungu membuat serangan kedua orang itu
tertahan dan saling menghentikan gerakan.
"Badai Kelabu!" ucap Cempaka Ungu yang sudah mengenali perempuan yang
menggenggam pedang hitam
itu. "Syukur kau masih mengenaliku, Cempaka Ungu!"
kata Badai Kelabu sambil
menghembuskan napas
panjang, mengendurkan ketegangannya.
"Apa maksudmu menyerang T engkorak T erbang?"
tanya Cempaka Ungu.
"Jika bukan karena diserang, aku tak akan menyerang! Jika bukan karena ingin dibunuh, aku tak ingin membunuh!"
Cempaka Ungu palingkan wajah kepada Tengkorak
T erbang. T api sebelum Cempaka Ungu ajukan tanya, T engkorak T erbang sudah
lebih dulu serukan kata keras nyaring,
"Seperti perintah Nyai Ratu, aku berhak mengusir tamu siapa saja orangnya. Dan
tugas itu kujalankan!"
"Badai Kelabu teman baik ibuku, Tengkorak T erbang!"
"T ak peduli teman baik, karena perintah ibumu hanya mengusir orang yang mencoba
datang ke pulau ini, tak terkecuali!"
Cempaka Ungu segera melangkah mendekati T engkorak T erbang dan berkata dengan suara pelan.
"Biarkan dia datang menemui Ibu!"
"T ak ada izin dari ibumul Aku tak berani lepaskan dia!"
"Dia bisa kita gunakan sebagai sekutu, dan akan membantu menghadapi kedatangan
Siluman T ujuh Nyawa!" "Aku tak berani simpulkan begitu, Cempaka Ungu!"
"Aku yang menjamin dirinya! Biarkan dia datang menemui Ibu!"
"Bagaimana kalau aku tetap melarangnya?"
"Kau
Pendekar Mabuk 09 Pusaka Tombak Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan berhadapan denganku. Tengkorak T erbang!"
* * * 2 IST ANA Cambuk Biru pernah menjadi istana berdarah karena kedatangan anak buah Siluman T ujuh Nyawa yang bernama Gagak
Neraka. Dalam kaitan
peristiwa berikutnya, Suto melihat seorang pengkhianat yang mengadakan kontak
hubungan dengan kekuatan
tenaga batinnya kepada Siluman T ujuh Nyawa. Dalam perkiraan Pendekar Mabuk,
akan datang serombongan kapal dari orang-orangnya Siluman T ujuh Nyawa untuk
menyerang Pulau Beliung dan menguasai istana tersebut (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Istana Berdarah"). Karenanya, Pendekar Mabuk dan Nyai Ratu
Pekat bersepakat untuk menolak kedatangan tamu siapa pun juga orangnya, karena
dikhawatirkan akan menjadi mata-mata utusan Siluman T ujuh Nyawa.
T engkorak T erbang yang bertugas sebagai penjaga pantai, walau gelar
panglimanya sudah dibatalkan, tapi ia tetap menjalankan tugas dengan penuh
tanggung jawab. T ak peduli Badai Kelabu teman baik dari Ratu Pekat, ia tetap
saja menolak kehadiran tamu tersebut
dengan cara sekeras apa pun. T etapi, Cempaka Ungu mendesaknya untuk menerima
tamu yang satu itu.
T engkorak Terbang bukan takut kalah tarung dengan Cempaka Ungu, tapi takut
kepada ibu gadis itu jika gadis itu dikalahkannya. Mau tak mau T engkorak T
erbang melepaskan musuhnya dan membiarkan Badai Kelabu
diba wa oleh Cempaka Ungu ke istana.
Di istana, Ratu Pekat sedang berbincang-bincang
dengan Suto, si Mata Elang, dan Dewa Racun. Saat itu Singo Bodong sedang
membantu empat prajurit yang membangun kembali pintu gerbang istana.
Kedatangan Badai Kelabu disambut dengan baik oleh Ratu Pekat. Bahkan perempuan
berusia sekitar lima puluh tahunan, mengenakan pakaian hitam sebatas dada yang
ditaburi manik-manik emas dengan dirangkap baju jubah putih dari bahan sutera,
dan mengenakan kalung berliontin batu hitam itu, memeluk Badai Kelabu dengan
penuh keakraban.
T etapi, Mata Elang yang berdiri di samping Ratu dengan
tegap dan berpakaian serba merah itu, memandang penuh kecurigaan kepada Badai Kelabu.
Setiap gerakan yang ditimbulkan oleh Badai Kelabu itu tak luput dari incaran
kewaspadaan mata pengawal pribadi Ratu Pekat itu. Sedangkan Pendekar Mabuk hanya
memandangnya dengan senyum tipis di bibir, dan Dewa Rac un memperhatikan dengan
mata sedikit menyipit, merasa pernah melihat perempuan yang baru datang itu.
"Semakin cantik dan hebat kau, Badai Kelabu!" puji
Ratu Pekat yang rambutnya sudah mulai ditaburi uban walau tak terlalu banyak.
"Jangan puji aku demikian, Nyai. Aku sedang bersedih, dan menjadi lebih sedih
lagi setelah mendengar cerita dari Cempaka Ungu tentang musibah yang
melanda Istana Cambuk Biru ini."
"Ya, aku pun ikut sedih. T api masa berkabungku ini tak mau kubuat berlarutlarut. Semua sudah menjadi takdir Yang Maha Kuasa. Dan... oh, tentunya kau sudah
mengenal kedua tamuku ini, Badai Kelabu," sambil Ratu Pekat menunjuk Pendekar
Mabuk dan Dewa Racun.
Badai Kelabu memandang kepada Dewa Racun, lalu
menatap Pendekar Mabuk beberapa saat
lamanya. Hatinya berdebar-debar menerima senyuman Suto, si murid sinting Gila T uak itu,
yang berdiri dengan tenang, kedua tangan terlipat di dada, bumbung bambu tuak
terselempang di punggung, mengenakan pakaian coklat celana putih. Baju coklatnya
tanpa lengan, rambutnya tanpa ikat kepala, tapi justru membuat Suto tampak lebih
tampan daripada seandainya ia memakai ikat kepala.
Cempaka Ungu menjadi tak enak hati melihat Badai Kelabu menatap Pendekar Mabuk
tiada berkedip, ia segera palingkan pandang dengan hati kesal. Dan pada saat
itu, Badai Kelabu berkata kepada Ratu Pekat,
"T amumu yang kerdil berpakaian bulu serba putih ini kukenal dengan julukan Dewa
Racun. Aku tahu dia
orang Pulau Serindu, Nyai. T api tamumu yang tampan itu, baru sekarang aku
melihatnya," Badai Kelabu melirik Suto lagi sekejap.
"Dia murid sinting si Gila T uak dari Jurang Lindu!"
"O, ya... aku tahu nama si Gila T uak, tapi aku tak pernah tahu kalau si Gila T
uak punya murid senakal itu!" kata
Badai Kelabu, karena ia menganggap senyuman Pendekar Mabuk itu sungguh nakal menggoda hati.
"Namanya Suto!" tambah Ratu Pekat. "Dia yang menyelamatkan kami dari amukan anak
buah Siluman T ujuh Nyawa."
Badai Kelabu sunggingkan senyum sekejap, melirik Suto sesaat, kemudian senyumnya
hilang. Wajahnya menjadi keruh, dan ia pun ucapkan kata bernada duka.
"Kedatanganku kemari juga ada hubungannya dengan Siluman T ujuh Nyawa, terutama
dengan anak buahnya yang dikenal sebagai Nakhoda Kapal Neraka yang
bernama Tapak Baja itu."
"Hmmm... ada apa dengan Tapak Baja?"
"Dia melukai guruku, Nyai."
"Melukai gurumu?" Nyai Ratu Pekat bernada heran.
"Setahuku gurumu orang berilmu tinggi! Bagaimana mungkin dia bisa dilukai oleh
Tapak Baja?"
"Karena sekarang Nakhoda Kapal Neraka itu mempunyai senjata yang sangat dahsyat
dan sulit dikalahkan."
"Senjata apa yang dimilikinya?" desak Ratu Pekat.
"Pusaka T ombak Maut!"
"Ooh..."!" Ratu Pekat nampak kaget. Bahkan Dewa Racun sempat tersentak kaget dan
memandang Ratu Pekat. Mereka saling pandang sebentar, lalu Ratu Pekat
alihkan padang kepada si Mata Elang yang rupanya juga ikut terperanjat demi
mendengar Pusaka Tombak Maut disebutkan Badai Kelabu. De wa Racun memandang
Pendekar Mabuk, tapi Suto tetap tenang. Tak ada rasa kaget kecuali bingung dan
berkerut dahi. "Ccee... cee... celaka!" ucap Dewa Racun dengan gagap, karena mulutnya tidak
beraroma ikan bakar. Jika ia habis makan ikan bakar dan sisa aroma ikan masih
ada di mulutnya, ia akan bicara dengan lancar.
"Apa hebatnya Pusaka Tombak Maut itu?" tanya Suto.
"It... it... itu senjata pusaka yang berba... ba...
bahaya!" kata Dewa Racun. "T ap... tap... tapi, setahuku senjata itu bukan milik
si T apak Baja!"
"Benar," sahut Ratu Pekat. "Setahuku senjata Pusaka Tombak Maut itu milik
seorang tokoh sakti yang
berjuluk Ki Jangkar Langit!"
"Jangkar Langit?" Pendekar Mabuk gumamkan kata.
"Sepertinya guruku pernah menyebut-nyebut
nama Jangkar Langit."
"Jika kau memang murid si Gila T uak," kata Ratu Pekat yang baru-baru ini saja
dia mengetahui siapa Pendekar Mabuk itu, "T entunya kau pernah mendengar nama
Jangkar Langit dari mulut gurumu, karena Ki Jangkar Langit adalah teman baik
gurumu." "Lalu, di mana letak kedahsyatan Pusaka Tombak Maut itu?" tanya Suto kepada
Badai kelabu. Perempuan itu ingin menjawabnya, tapi lidahnya bagaikan kelu.
Nyai Ratu Pekat yang menjelaskan pertanyaan itu,
"Pusaka Tombak Maut itu adalah sebuah tombak yang ujungnya terbuat dari taring
babi hutan, alias taring genjik. Babi hutan itu adalah jelmaan dari tokoh sesat
zaman dulu, yang berhasil dibunuh oleh Ki Jangkar Langit. Pusaka itu bisa
dipakai membunuh orang satu pulau dengan hanya ditancapkan pada satu tanah. T
anah itu akan mengeluarkan gas beracun
dan seluruh penghuni pulau itu akan mati. Apalagi jika ada angin besar, maka gas beracun itu
pun bisa terbawa angin ke pulau lain dan menewaskan orang di tempat lain. Pusaka
itu dapat menggegerkan orang dalam dua-tiga pulau dengan gas beracunnya itu,
sehingga diberi nama Pusaka Tombak Maut."
Cempaka Ungu yang baru mendengar cerita itu
menjadi terbengong-bengong menyimaknya. Pendekar Mabuk hanya berkerut dahi
sambil mulutnya sedikit melongo membayangkan sebuah pusaka yang punya
kehebatan seperti itu. Menurut Suto, setiap lapisan tanah mempunyai lapisan gas
beracun. Jika tombak itu
ditancapkan di tanah, maka gas beracun akan terhisap keluar, dan menyebar ke
mana-mana. Jadi, tombak itu adalah tombak penghisap racun yang berbahaya bagi
keselamatan jiwa manusia.
Badai Kelabu masih mencuri-curi pandang pada
Pendekar Mabuk. T etapi Suto tidak menghiraukan, sebab ia segera tertarik dengan
ucapan kata dari Dewa Racun yang terputus-putus karena gagapnya itu,
"T ap... tap... T apak Baja akan semakin ganas jika memegang senjata pusaka itu.
Ap... ap... apalagi...
apalagi dia adalah salah satu dari kelima al...al... al...."
"Alang-alang!"
"Bukan. Al... algojo! Dia satu dari kelima algojonya Siluman T ujuh Nyawa, yang
tugasnya menghancurkan lawan yang harus cepat disingkirkan. Pas... pas...
pas...." "Pasar"!"
"Bukan! Pa.... Pasti... pasti T apak Baja akan semakin merajalela keganasannya
dengan menggunakan senjata pusaka itu."
"Juga semakin ganas," celetuk si Mata Elang yang sejak tadi diam saja itu.
"Kalau begitu," Cempaka Ungu ikut bicara, "Sangat berbahaya jika Siluman T ujuh
Nyawa menugaskan
T apak Baja untuk menyerang pulau kita ini, Ibu!"
"Ya. Sangat berbahaya," jawab Ratu Pekat dalam tatapan mata menerawang.
"Karena...Pusaka T ombak Maut adalah jenis pusaka yang sulit dicari
tandingannya, tak bisa dikalahkan dengan pusaka apa pun juga. Dia mempunyai
sifat dan gerakan yang berbeda dari pusaka-pusaka pada umumnya."
Pendekar Mabuk mengambil bumbung tuaknya, lalu
menenggak tuak di depan mereka tanpa rasa canggung ataupun malu-malu. T uak
diteguk tiga kali, setelah itu dikembalikan pada posisinya semula, ia kelihatan
orang yang paling berwajah tenang, walau sudah mendengar banyak tentang
keganasan Pusaka T ombak Maut di
tangan T apak Baja. Bahkan Dewa Racun sendiri
kelihatan gelisah memikirkannya, Cempaka Ungu tampak cemas memikirkan nasib istananya yang bisa
direbut dengan mudah oleh Tapak Baja.
Sele wat hening sekejap, Ratu Pekat bertanya kepada Badai Kelabu,
"Lantas apa
maksudmu datang kemari, Badai Kelabu?" "Guru terluka oleh pusaka itu. Dalam waktu sesingkat mungkin aku harus mencari
obat untuk menyembuhkan luka Gur u. Menurut Guru, hanya ada satu cara yang bisa
menyembuhkan lukanya, yaitu dengan menggunakan
sebuah batu yang bernama Batu Galih Bumi," sambil mata Badai Kelabu menatap ke
arah kalung Ratu Pekat.
Mendengar nama Batu Galih Bumi dise butkan, Ratu Pekat terkejut, demikian juga
Cempaka Ungu dan si Mata Elang. Dewa Racun manggut-manggut dalam
bungkamnya mulut, sedangkan Pendekar Mabuk hanya sedikit kerutkan dahinya, masih
kurang jelas apa yang dimaksud Batu Galih Bumi dan mengapa Ratu Pekat jadi
terkejut. T erdengar kembali Badai Kelabu ucapkan kata,
"Guru mengutusku datang menemuimu, Nyai. Guru ingin meminjam Batu Galih Bumi
yang kau pakai sebagai kalung itu."
Suto pun segera manggut-manggut kecil, karena
sekarang dia mengerti bahwa ternyata yang dimaksud Batu Galih Bumi itu adalah
liontin yang dipakai kalung Ratu Pekat. Batu hitam sebesar mata pete itu
dipandangi oleh Suto beberapa saat. T iba-tiba kepala Pendekar Mabuk tersentak
ke belakang sedikit. Seperti ada satu tenaga yang terpancar dari batu itu dan
mencolok matanya, membuat kepalanya tersentak mundur dalam gerakan tak kentara. Pendekar
Mabuk hanya membatin,
"Hmmm... memang ada isinya batu itu."
T erdengar Dewa Racun berkata kepada Pendekar
Mabuk, "Ssssu... Suto, ikutlah aku sebentar. Ada yang ingin kubicarakan
denganmu!"
Kemudian, Dewa Racun juga berkata kepada Ratu
Pekat, "Mmma... maa... maaf. Ratu... saya mau ada sedikit pembicaraan dengan
Pendekar Mabuk."
"Ya, silakan!" jawab Ratu Pekat mulai terdengar ketus. Pasti sedang menahan
suatu pergolakan rasa di dadanya.
"Bagaimana, Nyai" Boleh aku pinjam Batu Galih Bumi itu?" desak Badai Kelabu
setelah Pendekar Mabuk dan Dewa Racun pergi.
Ratu Pekat menjawab, "T idak kuizinkan siapa pun meminjam ataupun memegang Batu
Galih Bumi ini,"
seraya ia memegang batu di kalungnya.
"Nyai, guruku dalam keadaan berbahaya. Pukulan
'Tombak Maut' bisa membuat jiwa Gur u melayang jika tidak segera diobati dengan
Batu Galih Bumi."
"Aku tak peduli dengan sakit gurumu. Jika urusannya sampai pada meminjam Batu
Galih Bumi, aku tidak
sanggup memberikan bantuan apa-apa pada gurumu!"
"Kami menjamin akan mengembalikan Batu Galih Bumi itu, Nyai Ratu."
"Aku tetap tidak bisa meminjamkannya. Sebab aku tahu watak gurumu itu sering
licik. Bisa-bisa batu ini tidak kembali ke tanganku dan menjadi miliknya."
"Nyawaku sebagai jaminannya, Nyai Ratu."
"Nyawamu tidak sebanding nilai dan harganya dengan batu ini, Badai Kelabu," kata
Ratu Pekat semakin hilang kesan persahabatannya.
"Jadi apa yang harus saya lakukan jika Nyai Ratu tidak mengizinkannya" Saya
bingung, Nyai!" ucap Badai Kelabu bernada sesal.
"Pulanglah dan katakan kepada gurumu, aku tak bisa meminjamkan Batu Galih Bumi
untuk keperluan apa
pun, dan kepada siapa pun tak akan kupinjamkan batu ini!"
Pendekar Mabuk 09 Pusaka Tombak Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Padahal, pesan Guru saya harus merebut batu itu jika tidak boleh dipinjamkan!"
"Itu berarti kau harus melawanku, Badai Kelabu!"
"Melawan siapa pun saya tak akan mundur, Nyai Ratu. Demi menyelamatkan jiwa
Guru, saya siap mati bertarung dengan siapa pun."
"Badai Kelabu!" sentak Cempaka Ungu yang mulai tersinggung dengan ucapan-ucapan
Badai Kelabu. "Jika kau memaksa ibuku dan mau melawannya, kau harus
hadapi dulu anaknya!" Cempaka Ungu menepuk dada.
"Apakah kau lawan sebandingku, Cempaka?"
"Keparat! Kau benar-benar teman yang tidak bisa menghargai nilai persahabatan.
Hihhh...!" Tapp...!
T angan Cempaka Ungu yang ingin menghantam
Badai Kelabu itu ditangkap oleh tangan ibunya. Mata Cempaka Ungu melirik tajam
kepada ibunya dan sang Ibu berkata,
"Dia memang bukan lawan tandingmu, Cempaka!"
"Biarkan saya menghajar mulutnya, Ibu!"
"Jangan! Aku tahu, Badai Kelabu punya ilmu lebih tinggi darimu! Bukan kau yang
harus melawannya, tapi aku sendiri!"
"Atau, biarkan aku yang maju, Nyai!" kata si Mata Elang. Dan tiba-tiba dari
sepasang mata lelaki muda yang berompi merah berhias manik-manik emas itu
keluar cahaya seperti lidi panjang berwarna kuning.
Menghantam ke wajah Badai Kelabu.
T etapi dengan cekatannya Badai Kelabu menyentakkan tangannya ke depan dalam posisi terbalik.
Dari pangkal jari yang bertulang menonjol itu keluar gelombang tenaga dalam yang
menghentak ke depan, menyambut sinar kuning dari mata si Mata Elang.
Mestinya, lawan yang terkena sinar kuning itu akan terjengkang ke belakang
bahkan mungkin terlempar jauh dari
tempatnya. T etapi, yang terjadi adalah kebalikannya. T ubuh si
Mata Elang tersentak ke
belakang ketika sinar kuning itu masuk kembali ke matanya. Wuttt...! Blluggh...!
T ubuh si Mata Elang membentur pilar dengan
kerasnya. Pilar itu berada dalam jarak delapan langkah dari tempatnya semula.
Melihat si Mata Elang terlempar sebegitu rupa dan menjadi sulit bernapas, Ratu
Pekat belalakkan mata garangnya, lalu dengan satu sentakan tangan kirinya ia
berhasil melepaskan pukulan jarak jauh kepada Badai Kelabu. Sang tamu itu pun
terlempar keluar dari serambi istana, dan Ratu Pekat segera melompat untuk
mengejar Badai Kelabu ke halaman depan istana.
"Badai Kelabu! Jika aku terpaksa membunuhmu, bukan karena aku tidak menghargai
persahabatan kita selama ini, tapi karena aku mempertahankan batu
pusakaku ini! Jangan kau salahkan diriku jika nyawamu sampai melayang, karena
kau tak mau mengikuti
saranku untuk segera pulang ke Pulau Hitam!"
"Nyai Ratu," kata Badai Kelabu dengan berdiri tegak siap menyerang, "Sejujurnya
kukatakan, aku cukup senang dan gembira menerima tantanganmu! Kalau toh aku
harus mati, biarlah aku mati lebih dulu daripada mati setelah guruku!"
"Baiklah! Kau rupanya lebih senang mati di tanganku daripada mati di tangan
orang lain. Hiaaat...!"
Ratu Pekat kembali sentakkan tangannya dari bawah ke atas depan, dan Badai
Kelabu cepat hentakkan kaki, tubuhnya melenting di udara. Kejap berikut, tubuh
itu sudah berdiri tegak menghindari pukulan jarak jauhnya Ratu Pekat.
T angan Badai Kelabu segera bergerak memutar ke
belakang keduanya, lalu seperti melepas burung ia lepaskan pukulan 'Badai
Gunung'-nya. Wuusss...!
Angin kencang menghempas membuat tubuh Ratu
Pekat mundur satu tindak. T api kedua tangannya segera bergerak menahan hembusan
kuat dari arah lawan.
Barang-barang yang ada di belakang Ratu Pekat menjadi terbang tak tentu arah.
Bahkan tubuh Cempaka Ungu pun terlempar keluar dari jalur badai yang menghembus
dengan kuat itu.
"Hiihhg...!"
Ratu Pekat bertahan dari hembusan badai kabut tanpa ada penahan di bagian
belakangnya. T ubuhnya sebentar-sebentar ingin terlempar ke belakang, tapi
dipertahankan untuk tetap berdiri di tempat dengan kedua kaki makin merendah.
Kedua tangannya dihadapkan ke depan,
berusaha mengeluarkan hembusan angin juga untuk
menahan badai dari tangan tamunya.
Batu Galih Bumi memancarkan sinar merah dalam
satu kilasan yang cepat. Badai Kelabu tak menduga akan mendapat
serangan sinar merah sebesar jari kelingkingnya. Wuutttt...!
"Hiaaat...!" ia memekik sambil gulingkan tubuh ke kiri. Rupanya terlambat
sedikit ia bergerak, sehingga betisnya terkena sinar merah itu. Jrubbb...!
"Aaahg...!" Badai Kelabu memekik. Betisnya menjadi berlubang bagai habis
ditembus tombak atau anak panah yang tajam. Darah keluar dari betisnya. Badai
Kelabu mencoba berdiri dan tak menghiraukan lukanya.
Srett...! Pedang hitam dicabut dari sarungnya, ia menggeram penuh dendam
pembalasan atas luka di
kakinya. Tapi tiba-tiba, batu hitam yang menggantung di atas dada Ratu Pekat itu
kembali mengeluarkan sinar merah. Wuutttt...!
Trangng...! Badai Kelabu menangkis sinar merah itu menggunakan pedangnya yang
diangkat tepat di tengah dada. Sinar merah membentur pedang, dan membalik
membentuk sudut kecil ke arah tubuh Ratu Pekat.
Seketika itu pula Ratu Pekat sentakkan kakinya dan
melesat di udara dalam gerakan salto. Wuggh...!
"Hiaaat...!" sentak suara Ratu Pekat sambil tangannya menghentak
ke depan. T angan itu mengeluarkan
gelombang tenaga dalam tanpa sinar. T ak terlihat gerakannya, sehingga Badai
Kelabu pun terpukul pada bagian pinggangnya. Beggh...!
"Aaagh...!"
Badai Kelabu tersentak, tubuhnya melengkung ke belakang dengan mulut
ternganga menahan sakit. * * * 3 DALAM sebuah kamar, Dewa Racun berbicara
dengan Suto Sinting. Suto yakin pembicaraan itu sangat penting, karena Dewa
Racun membawanya menjauh dari Ratu Pekat dan yang lainnya. Seba b itu Suto pun
menyimak percakapan Dewa Racun dengan sungguh-sungguh,
"Ak... aku... aku baru tahu kalau Batu Galih Bumi adalah perhiasan yang dipakai
kalung oleh Ratu Pekat."
"Ada apa dengan Batu Galih Bumi" Apakah ada hubungannya dengan Pusaka T ombak
Maut?" "Bis... bis... bisa ada, bisa juga tidak. Maksudku begini...," Dewa Racun yang
kerdil itu segera naik ke atas sebuah bangku supaya wajahnya bisa sejajar dengan
Suto. T api tetap saja ia lebih rendah dari Suto, namun dalam bicaranya tidak
terlalu mendongak ke atas seperti tadi.
"Nyai... nyai... nyai gus... gustiku pernah bilang, bahwa Batu Galih Bumi bisa
untuk mengobati luka apa pun, dan juga bisa untuk menolak kutukan apa pun. Dul..
dul.. dulu, Nyai Gusti pernah punya gagasan untuk memiliki Batu Galih Bumi untuk
memulihkan pengaruh pukulan 'Candra Badar' yang dideritanya dari Siluman T ujuh
Nyawa itu. Jad... jad... jad...."
"Jadah"!"
"Bukan. Jad... jadi, bagaimana kalau Batu Galih Bumi itu kita rebut dari tangan
Ratu Pekat?"
Suto tidak langsung menjawab, ia berpikir beberapa kejap. T api sambil berpikir
ia meneguk tuak dari dalam bumbungnya itu. Kemudian barulah ia menjawab,
"Kurasa tak perlu, Dewa Racun."
"T api nyai gustiku perlu obat pemunah pukulan
'Candra Badar' Bii... biii... biar tubuhnya tidak terbakar jika terkena sinar
matahari atau sinar alam lainnya."
"Aku bisa mengatasinya. Tak perlu harus mencuri atau merebut batu pusaka milik
orang lain, supaya kelak suatu saat orang lain juga akan segan mencuri atau
merebut pusaka milik kita."
"Ap... ap... apakah kau yakin bahwa kau bisa menyembuhkan
penyakit yang diderita oleh nyai gustiku?" Pendekar Mabuk tersenyum tenang. "Kita lihat saja nanti!" Suto mau bergegas
keluar dari kamar, tapi tangan Dewa Racun menahannya.
"T ung... tung... tung...."
"Kamu ini mau ngomong apa mau menari" Kok tang,
tung, tang, tung?"
"Mmmmak... maaak... maksudku, tunggu dulu!"
sentak Dewa Racun dengan jengkel. Suto tertawa kecil.
"Sudah kupastikan, aku tak mau merebut pusaka milik orang lain atau barang apa
pun yang bukan milikku!" tegas Suto kemudian.
"T ap... tap., tapi bagaimana dengan luka-luka yang diderita gurunya Badai
Kelabu itu?"
"Itu bukan urusanku! Apa maksudmu menanyakannya?"
"Sep... sep... sep...."
"Sepuluh?"
"Bukan! Se... sepertinya... sepertinya guru Badai Kelabu membutuhkan
pertolongan, sedangkan Ratu
Pekat bersikeras tidak mungkin meminjamkan Batu
Galih Bumi kepada siapa pun. Aku takut mereka saling ber... ber... ber...."
"Beranak?"
"Berselisih!" bentak Dewa Racun. "Pertarungan bisa terjadi!"
"Jadi, maksudmu kita harus memihak salah satu dari mereka"
T idak, Dewa Racun! Aku tidak mau mencampuri urusan orang lain, kecuali hanya sebagai pihak penengah! T ugas kita
di sini hanya menjaga serangan dari Siluman T ujuh Nyawa yang bisa datang
sewaktu-waktu. T api sampai lima hari kita di pulau ini, tak ada utusan dari
Siluman T ujuh Nyawa yang datang menyerang. Berarti kita harus segera berangkat
ke Pulau Serindu. Aku sudah tak sabar lagi ingin segera bertemu
dengan Dyah Sariningrum, nyai gustimu itu, Dewa
Racun. Aku tak mau ikut campur urusan Badai Kelabu dan Ratu Pekat!"
"Mak... mak... mak...."
"Makan."
"Maksudnya!" sentak Dewa Racun. Biasanya jika dia kesulitan mengucap satu kata,
jika sudah ditebak oleh orang lain, kata-kata yang akan diucapkan segera dapat
ditemukan dan dilontarkan. T api jika orang lain itu salah menebak apa yang
ingin diucapkan, Dewa Racun sering merasa dongkol hatinya.
"Maksudku, memang tidak harus memihak pada salah satu, tapi ambillah jalan
tengah supaya mereka tid... tid...
tidak saling berselisih."
"Baiklah, akan kucoba membujuk Badai Kelabu agar tidak bernafsu untuk merebut
atau memiliki Batu Galih Bumi. Mudah-mudahan dia mau percaya bahwa aku bisa
mengobati penyakit gurunya itu."
"Nnnnnaaah... itu yang kumaksud!" Dewa Racun tersenyum senang.
"T api, siapakah Badai Kelabu itu" Apakah dia orang jahat?"
"Ak... ak... aku baru ingat, bahwa dia orang Pulau Hitam yang pernah membantu
Ratu Pekat menyerang
orang-orangku."
"Jadi, kenapa kita harus menolongnya dari kesulitan ini?"
"Buk... buk... bukankah Ratu Pekat semula juga memusuhi kita" Tapi seperti apa
kata gurumu, si Gila
T uak, kepadamu, bahwa menundukkan lawan tidak
harus dengan kekerasan, tapi juga bisa dilakukan dengan kebaikan. Sekarang pun
kita sudah menundukkan Ratu Pekat!"
"O, ya! Benar apa katamu itu. Guru memang pernah bilang
be gitu padaku. T anpa sadar kita telah menundukkan Ratu Pekat, sehingga tidak punya niat untuk menyerang nyai gustimu
yang bergelar Gusti Mahkota Sejati itu!"
"Jadi, apa salahnya kalau kita juga menundukkan Badai Kelabu dengan keb...
keb... keb...."
"Kebakaran!"
"Kebaikan!" sentak Dewa Racun dengan gemas. Suto hanya tersenyum geli dan cepat
melangkahkan kaki keluar dari kamar.
Sampai di pelataran istana, Pendekar Mabuk dan
Dewa Racun sama-sama terperanjat melihat Badai
Kelabu sudah terbujur lunglai dengan darah melumuri kakinya dan di be berapa
tempat di tubuhnya terdapat luka memar membiru.
Pendekar Mabuk dan Dewa Racun tidak melihat
bahwa Ba dai Kelabu baru saja terkena pukulan punggungnya oleh telapak tangan Ratu Pekat yang saat itu masih menyalakan pijar
merah membara. T angan tersebut bagaikan berlumur lahar gunung berapi dan mau
dihantamkan lagi ke dada Badai Kelabu yang terkapar tak berdaya. T api, Suto
segera serukan kata keras,
"T ahan, Nyai...!"
Suara itu membuat Nyai Ratu Pekat palingkan wajah
ke arah Suto, juga Cempaka Ungu dan Mata Elang yang memperhatikan
dari sisi kejauhan. Suto segera
Pendekar Mabuk 09 Pusaka Tombak Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melangkahkan kaki mendekati Ratu Pekat. Perempuan itu
menggeram dengan matanya yang nanar memancarkan nafsu untuk membunuh Badai Kelabu.
"Apa maksudmu menahan pukulanku yang terakhir, Pendekar Mabuk"!"
"Itu perbuatan sia-sia," jawab Pendekar Mabuk seenaknya saja. "Tinggalkan dia,
Nyai...!" "Dia akan merebut batu pusakaku ini, Pendekar Mabuk! Mengapa aku harus
melepaskan dia"!" sentak Nyai Ratu Pekat sambil masih bersikap berlutut satu
kaki, siap hentakkan tangannya yang membara itu.
"Dia punya alasan yang mendesak. Jika alasan yang mendesak itu bisa diatasi, dia
tidak akan merebut Batu Galih Bumi-mu itu, Nyai!"
"T ak ada yang bisa menyelamatkan jiwa orang yang telah terkena senjata Pusaka
Tombak Maut, Suto! Hanya Batu Galih Bumi yang bisa menyelamatkannya! Jadi,
bagaimanapun juga Badai Kelabu pasti tetap akan
menyelamatkan nyawa gurunya dengan merebut batu
ini!" "Serahkan perkara itu padaku," kata Suto, lalu ia menenggak tuak beberapa teguk.
Sisanya masih ada yang disimpan di mulut hingga kedua pipinya sedikit
mengembung. Dari arah belakang terdengar suara Mata Elang,
"Pendekar Mabuk! Kuharap jangan ikut campur urusan Nyai Ratu untuk kali ini! T
inggalkan dia!"
Suto bahkan menyemburkan sisa tuak dalam mulutnya ke tangan Ratu Pekat yang membara bagaikan lahar gunung berapi itu.
Brusss...! Nyrrosss...! T iba-tiba tangan yang mirip besi membara itu menjadi hitam dan berasap. Nyala baranya padam. Hal itu tidak
menimbulkan rasa sakit pada tangan Ratu Pekat, hanya menimbulkan rasa heran yang
sangat besar. Ratu Pekat membatin kata, "Gila! Pukulan 'Lahar Iblis'-ku bisa dipadamkan begitu
saja dengan semburan tuaknya"! Luar biasa mengagumkannya anak muda
sinting ini"!"
T angan Ratu Pekat yang hitam segera pulih menjadi kuning langsat seperti
sediakala tanpa memakan waktu yang lama. Hanya sekitar tiga helaan napas tangan
itu telah menjadi bersih dan kering.
Dari kejauhan Mata Elang menyangka Suto mulai
menyerang Ratu Pekat, maka dengan kekuatan tenaga dalam
yang disalurkan lewat sepasang matanya, keluarlah cahaya merah dari mata kiri si Mata Elang.
Wuuttt.....' Arah melesatnya sinar merah sebesar lidi itu menuju ke punggung
Suto. Melihat gerakan sinar merah melesat ke arahnya, Suto hanya sedikit
memiringkan badannya, hingga sinar itu membentur tabung bambu tempat penyimpan
tuak. Trass...! Zuuutt...!
Cempaka Ungu terkejut bukan main sampai terlontar suara keras, "Awaaas...!"
Sinar merah yang mengenai bumbung bambu tempat
tuak itu membalik, yang semula besarnya seperti
sebatang lidi, kini menjadi lebih besar lagi, tiga kali lipat dari besar semula.
Kecepatan geraknya pun melebihi kecepatan semula. Hampir saja Mata Elang tak
sempat menghindari serangan yang membalik ke arahnya jika tubuhnya tidak
disentakkan oleh tangan Cempaka Ungu dengan sekuat tenaga.
Brakkk...! Prokkk...!
T ubuh Mata Elang yang didorong keras oleh
Cempaka Ungu terlempar dan membentur reruntuhan
bekas pintu gerbang. Pelipisnya menghantam kuat
sebuah benda keras, dan akhirnya berdarah, ia menyeringai sambil memegangi pelipisnya.
Se dangkan sinar merah yang membalik itu juga
hampir saja mengenai tangan Cempaka Ungu saat gadis itu mendorong tubuh Mata
Elang. Untung Cempaka
Ungu cepat menarik tangannya dan berguling ke arah samping, sehingga sinar merah
itu menghantam tiang penyangga atap di serambi samping. T iang sebesar tiga
pelukan manusia itu menjadi gompal pada bagian salah satu sisinya dihantam sinar
merah itu. Brull...! Prakkk...!
Ratu Pekat terkesima dan memandang tak berkedip
ke arah tiang yang gompal dengan pasir dan bebatuannya yang menyembur ke mana-mana. Setahu
sang Ratu, sinar merah dari mata pengawal pribadinya itu tidak akan sedahsyat
itu kekuatannya. Paling bisa hanya menggompalkan tiang marmer sebagian kecil
saja, tidak akan merusakkan sampai batas lewat dari pertengahan besarnya tiang seperti saat itu.
Melihat keadaan sedemikian rupa, Ratu Pekat cepat
berdiri dan berkata kepada Suto,
"Akan kau apakan perempuan ini"! Dia sudah banyak menderita luka dalam akibat
seranganku!"
"Rasa-rasanya tak baik jika persahabatan kalian putus hanya karena keadaan yang
kritis seperti saat ini! Biarlah kusembuhkan luka-luka si Badai Kelabu ini, dan
akan kubujuk supaya dia tidak mengincar Batu Galih Bumi lagi."
"T api dia tetap akan berkeras kepala untuk menyembuhkan luka gurunya memakai Batu Galih
Bumi!" "Aku yang akan menyembuhkan luka-luka gurunya itu!"
Ratu Pekat kerutkan dahi, tak yakin akan kemampuan Pendekar Mabuk. Sebab ia
cukup tahu keparahan orang yang terkena pukulan Pusaka Tombak Maut. Tapi
kesangsian di hati Ratu Pekat hanya dipendamnya saja, ia tidak mau
melontarkannya. Karena pada saat itu ia segera
berpaling ke arah seseorang yang sedang
dipanggil Pendekar Mabuk tempat orang-orang yang membetulkan pintu gerbang.
"Singo Bodong...! Angkat dia ke dalam!" teriak Suto.
Orang bertubuh tinggi, besar, berperut sedikit buncit, jarinya
sebesar pisang ibaratnya, segera datang mendekati Pendekar Mabuk. Dialah Singo Bodong,
orang berwajah seram, angker, tapi tidak punya ilmu apa-apa bahkan berkesan
polos dan lugu. Ia diba wa oleh Pendekar Mabuk dalam perjalanannya, karena
semula ia disangka tokoh keji bernama Dadung Amuk, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Utusan Siluman T ujuh Nyawa").
"Apa yang harus kulakukan, Suto?" tanya orang berkumis tebal berpotongan seperti
seorang warok. "Angkat perempuan ini ke dalam. Aku akan mengobatinya."
"Menurutku dia sudah sangat parah dan tinggal menunggu matinya saja, Suto.
Sebaiknya...."
"Sebaiknya angkat dia ke dalam!" gertak Pendekar Mabuk.
Singo Bodong ketakutan. "Baa... baik... baik!" Lalu, ia bergega s mengangkat
tubuh Ba dai Kelabu ke dalam istana. Bahkan langsung dibawa masuk ke dalam kamar
yang khusus untuk tidur Pendekar Mabuk selama di Pulau Beliung itu.
Ratu Pekat sempat berpapasan dengan Mata Elang
yang memegangi pelipisnya. Darah karena luka benturan masih keluar dari pelipis
itu. Sambil memeriksa luka tersebut, Ratu Pekat berkata,
"Jangan lawan Pendekar Mabuk itu! Dia sangat berbahaya! Ingat, jangan sekalikali melawan atau membokongnya! Kau bisa lebih celaka dari saat ini, Mata
Elang!" "Baik, Nyai...!"
Di dalam kamar itu, tubuh Badai Kelabu dibaringkan di atas lantai, bukan di atas
tempat tidur. Seba b saat itu, Cempaka Ungu segera ikut masuk ke dalam kamar,
dan membentak Singo Bodong,
"Jangan taruh dia di atas pembaringan Pendekar
Mabuk! Bisa kotor tempat tidur itu, Goblok!"
Singo Bodong takut. Maka, tubuh Badai Kelabu
ditaruhnya di lantai. T ubuh itu sangat memprihatinkan.
Lemas sekali, dan dingin di telapak kaki serta di beberapa tempat lainnya.
Napasnya memang masih ada, tapi sangat tipis dan tak kentara lagi helaannya.
Cempaka Ungu sengaja ikut masuk ke dalam kamar
itu. Bukan semata-mata ingin melihat cara Suto melakukan penyembuhan terhadap tubuh yang tinggal menunggu lepasnya nyawa itu,
tapi juga menampakkan rasa
waswas, karena ia takut kalau-kalau Suto melakukan kemesraan secara diam-diam dengan Badai Kelabu. Cempaka Ungu menyimpan
kecemburuan yang
tak mampu diungkapkan karena Suto tak pernah
memberi sambutan terhadap hasrat hatinya.
Buat Cempaka Ungu, kehadiran Pendekar Mabuk di
Pulau Beliung adalah sesuatu yang menggembirakan, juga menjengkelkan. Gembira,
karena hatinya terpikat kepada
Pendekar Mabuk dan berharap mendapat sambutan hangat dari Pendekar Mabuk itu, menjengkelkan karena Suto tak pernah memberi sambutan hangat yang diharapkan. T etapi secara jujur Cempaka Ungu mengakui,
kehadiran Pendekar Mabuk
telah membuat hatinya lupa pada seseorang yang sudah satu tahun menjalin
hubungan cinta dengannya.
Pengobatan yang dilakukan Pendekar Mabuk sangat
sederhana, tapi membuat Pendekar Mabuk sedikit
bingung, ia berpikir beberapa saat, sampai akhirnya Dewa Racun yang berdiri di
samping Cempaka Ungu
bertanya, "Ap... ap... apa yang ingin kau lakukan, Suto?"
"Memasukkan tuak ini ke dalam mulutnya. Dia tidak bisa menelan apa-apa.
Tenggorokannya bagai terkunci.
Harus dilakukan dengan paksa."
"Se... sebaiknya kau masukkan tuak itu lewat semburan dari mulutmu," usul Dewa
Racun. "Maksudnya," Cempaka Ungu menyela bicara, "Suto menampung tuak
dalam mulutnya,
lalu mulutnya dirapatkan ke mulut Badai Kelabu dan tuak di mulut Pendekar Mabuk disemburkan ke
dalam mulut Badai
Kelabu?" "T ep.. tep... tepat sekali!"
"T idak!" sentak Cempaka Ungu dengan cemberut,
"Itu tidak baik dan tidak pantas! Penyembuhan itu penyembuhan mesum namanya!"
Suto tahu Cempaka Ungu merasa cemburu, sehingga
Suto hanya tertawa geli beberapa saat. Wajah Cempaka Ungu menjadi merah dadu
menahan malu, karena
kecemburuannya diketahui Suto dan ditertawakannya.
"T api... terserah dialah!" ucap Cempaka Ungu sambil bersungut-sungut
dan palingkan wajah, tak mau memandang. "Singo Bodong, carikan
Pendekar Mabuk 09 Pusaka Tombak Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku corong untuk memasukkan tuak ke dalam mulut Badai Kelabu!"
"Corong..."!" Singo Bodong berkerut dahi.
"Daun saja!" kata Pendekar Mabuk
kemudian. "Ambil daun untuk kita bikin corong, dan tuak ini bisa dimasukkan ke dalam
kerongkongan Badai Kelabu
memakai bantuan corong daun tersebut!"
"Nah, itu baru pengobatan yang jitu!" sahut Cempaka Ungu lega.
* * * 4 SUN GGUH sederhana pengobatan itu. Hanya menelan tuak beberapa teguk, lalu istirahat satu malam, esok paginya semua luka
memar telah hilang, luka berdarah di betisnya menjadi kering dan nyaris hilang.
Badan terasa segar, bahkan Badai Kelabu merasa seperti mendapat kekuatan baru.
Lebih lincah dalam bergerak, lebih lega dalam bernapas.
"Hanya dengan tuak...?" gumam Cempaka Ungu di dalam hatinya. "Apakah suatu saat
nanti kalau aku mengalami luka dalam atau luka luar bisa cepat sembuh hanya
dengan minum tuak" Ah, kurasa tuak itu tidak sembarang tuak. T api..., seingatku
tuak itu diperoleh dari tuak yang diberikan oleh Ibu. Apakah semua tuak yang
diberikan oleh Ibu mempunyai khasiat yang begitu tinggi untuk penyembuhan"
Hmm..." Mengapa Ibu diam saja dan tak pernah ceritakan hal itu padaku?"
Kalau saja saat itu Pendekar Mabuk mendengar
percakapan hati Cempaka Ungu, maka gadis itu pasti akan ditertawakan. Cempaka
Ungu berpendapat terlalu sederhana, ia tidak tahu bahwa yang mempunyai khasiat
mujarab dan hebat adalah bukan tuaknya, melainkan
bumbung tempat menyimpan tuak itu. Sembarang tuak bisa masuk ke bumbung itu,
tapi tidak sembarang
bumbung bambu yang bisa
mengeluarkan khasiat
dahsyat seperti itu.
Bumbung bambu itu dulu bekas milik si Gila T uak semasa mudanya. Bumbung itu
diperoleh Sabawana,
nama asli Gila T uak, ketika Sabawana berada dalam penjara bumi. Ia terperosok
ke sana dalam satu
pengejaran. Musuh yang dikejarnya adalah Yopradigda, yang kemudian bergelar
Malaikat T anpa Nyawa dan dikalahkan oleh Gila T uak.
Yopradigda pada waktu itu berhasil mengubah diri menjadi seekor belalang dan
terbang ke sana kemari karena
takut tertangkap oleh Sabawana. Dalam pengejaran itulah Saba wana terperosok dalam lubang sumur yang amat dalam. T
ernyata lubang sumur itu adalah lorong sebuah gua. Di dalam sana, Saba wana
menemukan beberapa lorong berliku-liku. Ia melangkah menyusuri lorong itu, tapi
tak dapat menemukan jalan keluar. Bahkan jalan tempat terperosoknya semula juga
tidak bisa ditemukan kembali.
T ak terasa hari berganti hari dan bulan berganti bulan, Sa ba wana sibuk
mencari jalan keluar dan tak pernah berhasil. Itulah sebabnya Saba wana
menamakan tempat itu adalah penjara bumi. T etapi Saba wana tak pernah putus
harapan, ia selalu berusaha mencari jalan keluar, ke mana pun arah lorong itu
berada ia susuri terus walau sering sekali ia merasa melewati jalan yang pernah
dilewati lebih dari tiga kali.
Di dalam penjara bumi itu, Saba wana akhirnya
bertapa. Rasa putus asanya dilampiaskan dalam upaya terakhir, yaitu semadi
dengan tujuan meminta bantuan kepada Hyang Widi agar ia bisa bebas dari penjara
bumi. Di dalam tapanya itu, Sa bawana merasa ditemui oleh seorang bocah telanjang
berusia antara tiga tahun. Bocah itu berambut tipis, matanya tajam, berkesan
bandel dan nakal. Bocah itu bertanya kepada Sabawana,
"Apa yang kamu cari di sini, Kak" Bukankah ilmumu sudah tinggi?"
Sa bawana menjawab, "Aku mencari jalan keluar dari penjara bumi ini," sambil
menjawab be gitu, hati Sa bawana bertanya juga, "Siapa sebenarnya anak kecil
itu?" T etapi anak tersebut malah bertanya, "Siapa namamu, Kak?"
Panji Sakti ( Jit Goat Seng Sim Ki) 10 Tamu Dari Gurun Pasir To Liong Keng Hong Karya Opa Renjana Pendekar 14
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama