Pendekar Mabuk 023 Rahasia Pedang Emas Bagian 3
Jagat. Ternyata bukan!" kata Minarsih.
"Jadi dia memang Nini Pasung Jagat?" tanya Dewi Anjani.
"Benar! Dia adalah Nini Pasung Jagat! Dia belum mati."
"Aneh," gumam Embun Salju. "Pukulan 'Darah Kutub'-ku masih bisa
membuatnya bertahan hidup" Seharusnya tidak demikian! Memang aku
tahu ia melepaskan pukulan 'Darah Geni' dan 'Jalur Baja', tapi pukulan
'Darah Kutub'-ku toh bisa melumpuhkannya!"
Minarsih diam, tak bisa mendebat namun tak berani mencabut
pernyataannya bahwa Nini Pasung Jagat memang hidup kembali. Dewi
Anjani pun berkerut heran, demikian pula Embun Salju. Ruangan menjadi
sepi sejenak. Setelah itu, Embun Salju melakukan penyembuhan terhadap
luka-luka yang diderita Minarsih.
Selesai melakukan penyembuhan yang membuat keadaan Minarsih
sedikit lebih segar dari semula datang, Embun Salju menyuruh Minarsih
melanjut kan kisahnya.
"Kami berenam diserangnya, Guru! Ia tahu bahwa kami adalah murid
Guru Embun Salju, tapi ia tak tahu di mana saat itu ia berada! Kami
didesak untuk membawanya pulang ke sini! Kami berenam bersepakat
untuk menolak desakan itu!"
"Apakah kalian tidak melawan?"
"Kami melawan. Guru! Nini Pasung Jagat kami keroyok berenam.
Tapi dia tetap tegar dan semakin berbahaya setiap pukulan yang
dilepaskannya. Pertama-tama Kurnia tewas dalam keadaan kepala hancur,
menyusul kemudian Ambar Gati tewas dalam keadaan dadanya remuk
dihantam oleh Nini Pasung Jaga..."
"Mengapa kalian tidak melepaskan pukulan 'Geprak Tulang'"!"
"Sudah, Guru! Tapi tak mempan!" jawab Minarsih.
"Tak mempan bagaimana" Meleset maksudmu?"
"Bukan meleset. Guru! Tubuh Nini Pasung Jagat tak hancur
dihantam pukulan 'Geprak Tulang'."
"Aneh. Kuat sekali dia, Guru?" gumam Dewi An-jani dan bertanya
kepada gurunya. Embun Salju diam termenung memikirkan kehebatan Nini
Pasung Jagat. Lalu, di dalam hatinya Embun Salju berkata,
"Orang yang bisa bertahan menerima pukulan 'Geprak Tulang'
adalah orang yang mempunyai jurus 'Sumsum Besi'. Apakah dia
mempunyai jurus 'Sumsum Besi'?"
Kemudian Embun Salju bertanya kepada Minarsih, "Apakah kalian
menggunakan 'Perisai Gaib'?"
"Ya. Kami menggunakan jurus 'Perisai Gaib'. Tapi dia masih bisa
menembusnya. Korban orang yang menggunakan 'Perisai Gaib' adalah
Kurnia, Guru!"
Dewi Anjani terkesiap matanya, memandang heran dan tegang, "Dia
bisa menembus 'Perisai Gaib'?"
"Betul, Dewi! Aku sendiri hampir saja menjadi sasaran karena
mengandalkan 'Perisai Gaib'!"
"Rasa-rasanya tak mungkin, Minarsih. Sebab, waktu ia bertarung
melawanku di depan sana, aku juga menggunakan jurus 'Perisai Gaib', tapi
ia tidak bisa menyentuhku!"
"Nyatanya ia bisa menerobos lapisan batin yang membungkus raga
kita dalam jarak satu langkah berkeliling itu, Dewi!"
Embun Salju semakin dibuat penasaran dan terheran-heran. Ia
berkata lirih dalam gumam, seolah-olah ditujukan pada diri sendiri,
"'Perisai Gaib' bisa ditembusnya" Berarti dia mempunyai jurus
'Pukulan Tembus Jiwa'!"
"Sepertinya memang begitu, Guru!"
"Lalu mengapa ia tidak gunakan saat melawan Anjani di depan?"
"Saya tidak tahu, Guru! Yang jelas, ketika pedang kami
menyerangnya bersamaan, pedang kami menjadi patah, kecuali pedang
saya, Guru! Tubuh Nini Pasung Jagat menjadi keras, sekeras baja!"
"Menjadi keras" Maksudmu kebal, begitu"!" tanya Dewi Anjani.
"Bukan hanya kebal, tapi keras! Keras seperti baja. Pedangku
menebasnya dan tak bisa melukai kulit tubuhnya, tetapi justru
menghadirkan percikan bunga api, terutama jika kami menebasnya
kuat-kuat. Dan suara yang keluar dari tebasan pedang ke tubuhnya pun
aneh. Seperti pedang menebas baja dengan sentakan kuat!"
"Itu tidak mungkin, Minarsih! Tidak mungkin!" bantah Dewi Anjani.
"Betul, Dewi! Betul!"
"Apa kau tak lihat waktu aku berhasil melukai bagian kakinya"!"
"Ya. Memang aku melihatnya sendiri, ia terluka tiga tempat karena
sabetan pedangmu. Tapi bekas luka itu tak ada saat ia bangkit lagi, dan
pedang kami tak bisa melukainya!"
Memang sulit dipercaya bagi Dewi Anjani. Sebab ia merasa pernah
melukai kulit tubuh Nini Pasung Jagat di tiga tempat. Jika sekarang
Minarsih mengatakan bahwa Nini Pasung Jagat kebal senjata, itu sungguh
aneh. Dewi Anjani curiga. Minarsih mengarang cerita karena suatu hal
yang dirahasiakan. Kemudian ia mendekati Embun Salju dan berbisik
pelan sekali, "Sepertinya ada yang tidak beres pada diri Minarsih, Guru!"
Embun Salju manggut-manggut. Kemudian ia berkata kepada
Minarsih, "Bagaimana luka-lukamu" Masih terasa sakit?"
"Hanya perih sedikit, Guru!"
"Itu berarti sebentar lagi lukamu akan sembuh, bibirmu yang robek
akan mengering Dan..., sebaiknya keluarlah dulu. Aku mau bicara berdua
dengan Dewi Anjani."
"Baik, Guru!"
Di luar, Minarsih kembali bercerita dengan penuh semangat dan
berapi-api. Beberapa temannya mengerumuni, termasuk Jongos Daki yang
merasa tertarik dengan berita aneh tersebut. Jongos Daki menyimak tiap
kata yang diucapkan Minarsih, seolah-olah mencatatnya dalam otak.
Sementara itu, di dalam ruang penyembuhan, Embun Salju bertanya
kepada Dewi Anjani,
"Apa yang kau maksud dengan ketidakberesan Minarsih tadi?"
"Dia mengarang sebuah cerita seru untuk menutupi sesuatu yang
belum jelas kita ketahui!"
"Minarsih berbohong kepada kita?"
"Betul, Guru!"
"Tidak mungkin!" bantah Embun Salju. "Minarsih bicara apa adanya.
Aku melihat jelas dari sorot matanya, ia tidak menyimpan kebohongan
sedikit pun!"
"Tapi seperti yang kita ketahui bersama, Minarsih adalah seorang
penakut. Guru! Mungkin ia dibayang-bayangi oleh rasa takutnya sendiri,
sehingga sepertinya ia melihat adegan yang mengerikan di depan matanya.
Bayangan itu bisa menjadi seperti nyala, seolah-olah memang benar-benar
dilihatnya. Jadi, ia mengatakan sejujurnya apa yang terbayang di matanya
itu. Guru!"
Kembali perempuan cantik yang anggun dan bijaksana itu merenung
diri beberapa saat. Setelah itu ia berkata kepada Dewi Anjani,
"Jika benar ia dihantui ketakutannya sendiri, sehingga apa yang terbayang
itu menjadi seperti nyata lantas ke mana orang-orang lainnya" Mengapa
mereka tidak kembali bersama Minarsih" Kemana Kurnia, Ambar Gati,
Inriana, dan yang lainnya?"
Dewi Anjani menjawab dengan mata menera wang dalam
renungannya, "Saya khawatir, jangan-jangan mereka dibunuh oleh Minarsih
sendiri!" "Dibunuh"! Atas dasar apa Minarsih membunuh kelima temannya
itu?" "Mungkin dendam pribadi," jawab Dewi Anjani dalam nada ragu.
"Satu hal yang perlu kau ingat, Anjani...! Dari enam orang yang
kutugaskan memakamkan mayat Nini Pasung Jagat, dua orang berilmu
tinggi di dalamnya, yaitu Ambar Gati dan Sampur Welas. Ilmunya sejajar
dangan Mahasi! Tak mungkin Minarsih bisa mengalahkan Ambar Gati dan
Sampur Welas!"
"Mungkin dengan kelicikannya, Guru!"
Embun Salju manggut-manggut pada akhirnya. Ia mengguman pelan.
"Ya, mungkin dengan kelicikannya!Tapi aku tidak pernah mendidik
murid-murid ku menjadi orang licik, Anjani!"
"Memang, Guru! Tapi jiwa seseorang siapa yang tahu. Jalan pikiran
orang siapa yang bisa menerka."
"Berarti kau meremehkan kesanggupanku meneropong jiwa, batin,
dan pikiran seseorang, Anjani"!"
"O, tidak begitu maksud saya. Guru! Hmm... maksud saya, setelah
Minarsih ada di pulau itu, barangkali kelicikan-kelicikan itu timbul, lepas
dari teropong Guru."
"Bisa saja begitu! Tapi kulihat tadi dia tidak mempunyai kelicikan!
Kuteropong batinnya, dia tulus dan jujur mengatakan apa adanya, Anjani!"
Dewi Anjani menarik napas panjang-panjang. Ia merasa tak berani
membantah dan mendebat lagi. Akhirnya ia berkata,
"Baiklah. Anggap saja Minarsih benar. Lalu. apa yang membuat Nini
Pasung Jagat menjadi kebal senjata dan keras kulitnya seperti baja" Kalau
dia mau, pasti sudah ia keluarkan ilmu itu saat melawan saya dan melawan
Guru sendiri kemarin siang!"
"Itu yang harus kuselidiki! Mungkin dia menjadi kebal jika berada di
tanah kuburan" Mungkin kulitnya menjadi baja jika terkena sinar
rembulan" Bisa saja kemungkinan kemungkinan itu terjadi, Anjani! Tapi
alangkah baiknya jika kutugaskan kau untuk mencari tahu kebenaran cerita
Minarsih! Pergilah ke Pulau Kubangan dan selidiki apa yang terjadi di sana
sebenarnya!"
"Baik, Guru!" jawab Dewi Anjani dengan patuh. Dewi Anjani segera
menemui Mahasi yang sudah sehat dan cepat pulih seperti sediakala itu.
Kemudian ia berkata kepada Mahasi, "Ikut aku ke Pulau Kubangan,
Mahasi!" "Ke Pulau Kubangan"! Untuk apa ke sana"!" tanya Mahasi.
"Guru memberiku tugas untuk menyelidiki keadaan di sana, sekaligus
mencari tahu kebenaran cerita Minarsih itu!"
"Kurasa itu hanya isapan jempol saja, Anjani! Bilanglah pada Guru
agar jangan mempercayai cerita Minarsih!"
"Sudah kulakukan sampai berdebat seru dengan beliau, tapi Guru
tidak mau percaya padaku! Dan sekarang untuk membuktikan mana yang
benar, Guru menugaskan aku ke sana! Kau ikut aku ke sana sambil
mencari bukti-bukti bahwa Nini Pasung Jagat hidup kembali! Itu kalau
memang dia hidup kembali! Dan Guru berpesan agar kepergian kita jangan
diketahui oleh siapa pun, sehingga Minarsih tidak curiga dan tidak tahu
bahwa ceritanya itu sedang kita selidiki!"
"Baiklah! Aku ikut berangkat sekarang juga! Aku siap!"
Pertama-tama yang mereka temukan adalah sebuah perahu di pantai
yang biasa digunakan untuk bertolak ke Pulau Kubangan. Perahu itu
adalah perahu milik orang-orang Kuil Elang Putih. Tampak ada simbol
seekor elang di atas dasar papan lambung nya yang putih itu.
Perahu tersebut kelihatan dilabuhkan dengan tergesa-gesa. Tali
penambatnya hanya disangkutkan pada sebongkah batu yang sewaktu-waktu bisa lepas dan membuat perahu terbawa ombak. Pada
perahu itu juga ditemukan bercak-bercak darah, menandakan terjadi
pertempuran juga di atas perahu itu. Siapa yang bertempur, tak bisa
dipastikan secara jelas. Mungkin Minarsih dengan teman sendiri, atau
Minarsih dengan Nini Pasung Jagat, jika memang nenek itu bangkit dari
matinya. "Apakah kita perlu melaporkan keadaan perahu ini kepada Guru lebih
dulu, Anjani" "
"Tidak usah! Kita langsung bertolak ke Pulau Kubangan saja! "
Kedua perempuan itu naik ke atas perahu setelah melepaskan tambang
penambatnya. Tetapi tiba-tiba Mahasi berteriak,
"Anjani, awaaas...!"
Mahasi melompat sambil menedang Dewi Anjani. Tendangan itu
hanya berupa jejakan kuat yang membuat Dewi Anjani terlempar jatuh ke
laut, sementara itu Mahasi sendiri juga jatuh ke laut dangkal. Byurrr...! Dan
tiba-tiba sinar merah itu melesat menghantam perahu putih.
Zlapppp...! Blubbb...! Zrrubbb...!
Mahasi dan Dewi Anjani sama-sama membelalakkan matanya
lebar-lebar di dalam kekuyupan sekujur tubuh mereka. Betapa mereka
tidak terkejut dan terbelalak jika mereka melihat perahu itu tiba-tiba
menjadi setumpuk serbuk kayu yang segera terhempas buyar dibawa
ombak pantai. Perahu itu bagaikan lenyap sewaktu dihantam oleh sinar
merah dari arah hutan pantai.
"Apa yang terjadi"!" seru Dewi Anajani karena kagetnya.
"Ada yang menyerang kita dari hutan timur sana!" jawab Mahasi.
Mereka segera bergegas mencari tempat berlindung. Sebongkah
batu karang besar menjadi sasaran berlindung mereka. Mata mereka
memandang ke arah sebatang pohon berdaun merah kehitaman. Dari
bawah pohon itulah Mahasi melihat sinar merah tadi menyerang mereka.
Jika ia tidak menendang Dewi Anjani, maka Dewi Ajani akan menjadi
bubuk seperti perahu tersebut.
"Siapa yang menyerang kita"!" tanya Dewi Anjani dengan tegang
karena amarahnya menjadi meluap namun tertahan di dalam dada.
"Entah! Tak kulihat manusianya. Aku hanya melihat sinar merah yang
melesat dari bawah pohon itu!"
"Pancinglah dengan pukulan jarak jauhmu! Saran Dewi Anjani.
Mahasi segera berdiri dan melepaskan pukulan jarak jauhnya yang
memancarkan sinar kuning panjang berkelebat bagai bintang jatuh dari
langit. Wuuuttt...! Blarrr...! Tanaha di bawah pohon besar berdaun merah kehitaman itu
menyembur ke atas dalam satu ledakan. Pohon besar itu berguncang,
daunnya yang keringpun berguguran.
Dan pada saat itu, sesosok tubuh berjubah hitam melesat dari balik
pohon besar itu. Ia muncul menampakkan diri secara nyata, dan berjalan
santai sambil terkekeh-kekeh.
"Anjani! Lihat orang itu! Bukankah dia Nini Pasung Jagat"!"
Dewi Anjani tertegun sebentar,
nyaris tidak mempercayai
penglihatannya. Kemudian ia berkata,
"Kalau begitu apa yang diceritakan Minarsih itu memang benar. Nini
Pasung Jagat memang bangkit lagi dari kematiannya! Edan! Punya ilmu
apa dia sebenarnya"!"
"Dia mendekati kita, Anjani! Apa yang harus kita lakukan"!"
"Serang dia!" tegas Dewi Anjani, lalu dia mendului muncul dari
persembunyian dan melepaskan pukulan jarak jauhnya berupa sinar putih
keperakan yang tak begitu jelas karena sinar matahari menyamainya.
Anehnya, nenek tua itu matanya lebih awas, dan ia melompat ke samping
untuk menghindari sinar putih perak itu.
Wesss...! Dalam sekejap nenek tua bertongkat lengkung itu sudah berada di
depan Dewi Anjani dan Mahasi. Kedua gadis itu mulai bersikap waspada.
Mereka tanpa disengaja mencabut pedang secara bersamaan. Serrtt...!
"Aha, kau mau membunuhku pakai pedang, bocah-bocah dungu"!"
He he he he ....!" Nini Pasung Jagat melecehkan mereka berdua.
Dewi Anjani sempat berbisik kepada Mahasi,
"Tebas dia! Gunakan jurus 'Elang Mengamuk Bintang'. Kalau
Pendekar Mabuk 023 Rahasia Pedang Emas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ternyata dia tidak mempan dilukai, cepat kabur dan jangan hadapi dia lagi!
Lapor ke Guru secepatnya!"
"Ya, aku setuju!"
Nini Pasung Jagat berkata, "Hampir saja aku salah arah melacak
tempat tinggal gurumu, Bocah-bocah dungu! Untung kulihat kalian muncul,
sehingga bisa kujadikan patokan arahku menuju Kuil Elang Putih! He he he
he...! "Setan Jahanam....!" Geram Dewi Anjani, "Saatnya sekarang kau
mati untuk yang kedua kalinya! Heeah...!
Dewi Anjani menyerang dengan jurus 'Elang Mengamuk Bintang'.
Mahasi puin ikut menyerang dengan jurus yang sama. Gerakan mereka
sama cepatnya. Tapi Nini Pasung Jagat hanya terkekeh-kekeh
membiarkan kedua musuhnya bertingkah seperti itu.
Trang cring cring trang tring cringng...!
Pedang mereka sebenarnya mengenai tubuh Nini Pasung Jagat lebih
dari depalan kali. Tapi tubuh itu tetap utuh. Hanya percikan-percikan bunga
api yang kelihatan dari tebasan pedang ke kulit tubuh nenek tua itu.
Bahkan dalam satu kali gebrakan, Nini Pasung Jagat berhasil membuat
tubuh kedua gadis itu terpental jauh.
Wuttt...! Brukk brruk...!
Dewi Anjani terpental ke barat, Mahasi terpental jatuh ke timur. Nini
Pasung Jagat tertawa mengikik bagaikan kuntilanak. Tak ada bagian
tubuhnya yang lecet atau terluka. Mahasi dan Dewi Anjani merasa
bagaikan memenggal pilar baja yang merusak tepian pedang saja.
Tanpa diberi aba-aba lagi, Mahasi segera melesat lari demikian juga
Dewi Anjani. Melihat lawannya lari, Nini Pasung Jagat segera mengejarnya
sambil berteriak-teriak tak karuan. Makian dan ancaman berhamburan
keluar dari mulut nenek yang kini bertubuh aneh itu.
8 KALAU bukan karena ada halangan di perjalan, Pendekar Mabuk
dan Kirana tiba di Kuil Elang Putih pada pagi hari. Tapi pada saat fajar,
langkah mereka berdua dihadang oleh seorang perempuan cantik
berambut uban rata dengan panjangnya melebihi pantat. Rambut putih itu
dibiarkan meriap, bahkan sebagian ada yang bergerai di depan dadanya.
Perempuan itu mengenakan pakain biru muda dalam bentuk pakaian jubah
berlengan longar. Sedangkan bagian dalamnya mengenakan pakaian
penutup dada dari bahan satin warna merah tua, sama dengan warna
celana ketatnya yang sebatas betis itu.
"Selamat pagi, Tuan Pendekar dan Putri Kirana...!" sapanya dalam
senyum sinis. Sapaan itu membuat Suto Sinting menjadi heran dan
sebentar kemudian berbisik kepada Kirana,
"Siapa dia, Kirana?"
"Ratu Fajar Garang! Musuh dari mendiang guruku yang juga
bernafsu ingin memiliki pusaka Pedang Wukir Kencana itu!"
"Oo...! Jadi sekarang ia ingin merebut pedang ini?"
"Kurasa begitu! Lawan dia dengan lari cepatmu, Suto!"
"Mengapa harus pakai lari segala?"
"Mengulur waktu, supaya lewat dari fajar! Kesaktiannya hanya dalam
cahaya fajar. Lewat dari fajar, ia sudah menjadi orang lemah yang hanya
pandai mengelabui lawannya dengan segala macam tipu muslihat! Dia
jago tipu, Suto!"
Terdengar Ratu Fajar Garang berkata kepada Suto, "Kalau tak salah
lihat, kau Pendekar Mabuk yang mengalahkan Mahendra Soca dalam satu
perjudian nyawa!" (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Ladang
Pertarungan")
"Benar. Dari mana kau tahu?"
"Aku hadir di Ladang Pertarungan itu! Aku melihat kehebatanmu, dan
aku terkesan dengan ilmu pedangmu! Tapi untuk saat-saat fajar begini, kau
tidak akan bisa menandingi ilmu pedangku, Pendekar Mabuk"
"Apa maksudmu berkata begitu"!"
"Serahkan pedang emas di tanganmu itu, atau kau kubantai seperti
saat membantai Mahendra Soca, si Wajah Hitam itu"!"
"Boleh kau ambil pedang ini, asal kau bisa mengejarku!"
Zlapppp...! Pendekar Mabuk berlari melebihi hembusan badai.
Tahu-tahu ia berada jauh di ujung sana. Ratu Fajar Garang terbegong
memandang gerakan Suto Sinting yang begitu cepatnya. Dari sana
terdengar Suto berseru,
"Fajar Garang! Ambillah pedang ini kalau kau mampu menjamahnya!"
"Keparat kau, Pendekar Mabuk! Aku tak akan terpancing oleh
kelicikanmu! Hiaaah...!"
Wuttt...! Ratu Fajar Garang menyerang Kirana yang tersenyum-senyum melihat Suto melakukan rencana yang dibisikkan tadi.
Kirana tidak menyangka akan mendapat serangan tiba-tiba dari Ratu Fajar
Garang. Ia berkelebat pula menghindari tendangan maut lawannya, tapi
tangan Ratu Fajar Garang segera mengibas ke samping sambil mencabut
pedangnya dari pinggang kiri. Wuttt...! Brettt...!
"Aaauh...!" Kirana terpekik keras, punggungnya terkena kibasan
pedang. Ia rubuh tak berkutik. Ratu Fajar Garang segera menyergap
Kirana dan menjambak rambut gadis itu. Pedangnya ditempelkan di leher
Kirana, dan ia pun berseru,
"Pendekar Mabuk! Tukar pedang itu dengan nyawa gadis ini!"
"Sial!" sentak Suto Sinting dengan hati dongkol. "Bodoh amat Kirana
itu! Mengapa dia tetap di tempat, sementara aku sudah lari menjauhi si
rambut putih itu"! Sekarang nyawanya terancam! Benar-benar bodoh kau,
Kirana!" Tak habis-habisnya Suto menggerutu dalam hati. Jelas ia tak bisa
membiarkan Kirana dipenggal atau digorok lehernya begitu saja oleh Ratu
Fajar Garang. Tetapi ia pun tak bisa menyerahkan pedang emas itu
kepada perempuan berambut putih yang jelas berjiwa keji itu. Repotnya
lagi, perempuan berambut putih tapi masih cantik itu tidak memberi
kesempatan kepada Pendekar Mabuk memikirkan bagaimana menyelamatkan pedang emas dan nyawa Kirana. Perempuan itu berseru
kembali, "Kuhitung tiga kali kalau kau tak mau serahkan pedang itu, kutarik
pedangku ini dan putuslah leher kekasihmu, Pendekar Mabuk!"
"Persetan!" geram Suto Sinting "Kalau kuserang dari sini, bisa jadi
tubuh Kirana yang akan dipakainya sebagai tameng! Rasa-rasanya tak
mungkin aku bisa menyerangnya jika Kirana masih dalam ancamannya!"
"Satu...!" Ratu Fajar Garang mulai menghitung.
"Benar-benar sial!" geram Pendekar Mabuk lagi. Kemudian dengan
gerakan cepatnya, tahu-tahu Suto sudah berada di depan Ratu Fajar
Garang. "Baru hitungan kesatu kau sudah kembali, itu tandanya kau sayang
kepada kekasihmu ini, Pendekar Mabuk!"
"Lepaskan dia dan hadapilah aku jika kau memang punya kesaktian
yang bisa menandingi jurus pedangku!" pancing Suto Sinting.
Ratu Fajar Garang yang berbibir memikat hati itu tertawa pelan,
bernada melecehkan pancingan Pendekar Mabuk itu. Ia segera berkata,
"Aku tak akan melawanmu sebelum aku memiliki pedang itu!
Serahkan pusaka Ki Padmanaba itu, dan kulepaskan gadis ini!"
"Tinggalkan aku, Suto! pergilah! Cepat pergi...!" seru Kirana sambil
menyeringai menahan rasa sakit di punggungnya. Pendekar Mabuk dalam
keadaan bimbang. Ratu Fajar Garang kembali berkata,
"Aku tadi baru menghitung satu kali. Sekarang hitungan berikutnya.
Dua!" "Suto, jangan hiraukan nyawaku! Pikirkan nyawa orang banyak jika
pedang itu jatuh ke tangan iblis berambut putih ini!"
"Diam kau, Kirana!" bentak Ratu Fajar Garang sambil mengencangkan jambakan tangannya ke rambut Kirana. Wajah Kirina
makin menyeringai kesakitan dan ia tak berani berbuat apa apa karena pedang sudah mengiris sebagian kulit lehernya.
"Baiklah!" sentak Suto tiba tiba. Ia mulai nampak menyerah.
"Jangan. Suto! Pergi! Larilah!" seru Kirana. Tapi Suto berkata,
"Aku tak tega meninggalkan dirimu dalam keadaan seperti ini, Kirana!
Kau harus kuselamatkan!"
"Bagus!" kata Ratu Fajar Garang, "Itu namanya seorang kekasih
yang benar-benar mencintai gadisnya! Hi hi hi...! Aku jadi iri, kepingin
punya kekasih setampan kamu, segagah kamu, dan sesetia kamu,
Pendekar Mabuk!"
"Ratu Fajar Garang! Kuserahkan pedang ini padamu, tapi kau harus
melepaskan gadis itu!"
"O. tentu, tentu...!"
"Kalau kau ingkar janji, kuhancurkan pedang itu dan kutunggu siang
tiba baru menyiksamu sekeji mungkin!"
"Ratu Fajar Garang tak pernah bicara plin-plan, Pendekar Mabuk!
Kau patut percaya padaku!"
"Baik. Aku percaya! Ambillah pedang ini!" Wuttt...! Pendekar Mabuk
melemparkan pedang itu ke arah sampingnya dalam jarak sekitar tujuh
tombak. Ratu Fajar Garang terperanjat, Kirana sendiri sebenarnya juga
kaget dan menyesal, mengapa Suto menyerahkan pedang itu begitu saja.
Sedangkan Suto sendiri memandangi Ratu Fajar Garang dengan mata
tajamnya. "Mengapa kau lemparkan pedang itu ke sana"! Aku ada di sini,
Goblok!" bentak Ratu Fajar Garang.
"Untuk menjamin keselamatan gadis itu, kau harus melepaskannya
lebih dulu, baru bisa mengambil pedang itu! Kalau kau ingkar janji, aku bisa
mengambilnya lebih cepat darimu, Ratu uban...!"
"He he he he...! Rupanya kau minta jaminan juga, Pendekar Mabuk!
Akan kubuktikan bahwa Ratu Fajar Garang kalau bicara tidak pernah
plin-plan! Nih, ambil gadismu!"
Wuttt...! Brukk...! Kirana disentakkan hingga menabrak Pendekar
Mabuk. Lehernya tidak jadi digorok oleh Ratu Fajar Garang. Perempuan
beruban rata itu segera lari menuju ke pedang emas yang tergeletak di
rerumputan. Tetapi, pada saat itu pula tangan kanan Suto bergerak
menyentak ke depan dalam keadaan telapak tangan terbuka miring. Sett...!
Zlap zlappp...!
Jurus 'Manggala' dikeluarkan oleh Suto Sinting. Dari tangan yang
disentakkan, meluncur dua pisau kecil yang tak terlihat oleh mata telanjang.
Pisau itu melesat begitu cepatnya dan menancap masuk ke punggung
Ratu Fajar Garang. Pada waktu itu, perempuan tersebut sedang mau
mengambil pedang dalam gerakan membungkuk. Dan ketika ia terkena
jurus 'Manggala', keadaannya menjadi tetap diam dan tak bergerak
sebagaimana posisi mengambil pedang. Suaranya tak ada, gerakannya
pun hilang. Kirana memandangnya dengan rasa takjub. Ia membatin,
"Lagi-lagi Pendekar Mabuk mengeluarkan ilmu totoknya yang sering
membuatku kagum. Benar-benar dia laki-laki yang penuh daya kagum di
benak dan hati setiap wanita!"
Dengan tenang Pendekar Mabuk mengambil pedang tersebut. Ratu
Fajar Garang pun tidak mencegah ataupun menghalanginya lagi. Dengan
tenang pula Suto Sinting segera menyelempangkan pedangnya itu di
punggung, menjadi satu dengan bumbung tuak dan menyuruh Kirana
segeta meneguk tuak beberapa kali.
"Untuk mengeringkan lukamu!" kata Suto. Dan Kirana pun tidak
menolak. Ketika ia selesai meneguk tuak, rasa perih di punggung mulai
berkurang, lalu ia berkata kepada Suto sambil memandang Ratu Fajar
Garang. "Jangan bebaskan dia sampai matahari meninggi. Biar orang
menemukan dirinya dalam keadaan begitu!"
"Dia akan bebas sebentar lagi. Kalau ada angin datang, maka dia
akan bebas dengan sendirinya!"
"Kalau begitu, lekas kita tinggalkan dia!"
"Tak perlu terburu-buru, Kirana! Aku ingin melihat dia bebas."
"Kau ini sinting betul, Suto! Orang orang...!"
"Ssst...! Ada angin datang! Perhatikan dia!" potong Suto.
Mata Kirana tertuju ke arah Ratu Fajar Garang yang masih dalam
keadaan membungkuk. Angin pun berhembus dari selatan ke utara. Dan
mata Kirana mulai terbelalak lebar. Apa yang dilihatnya hampir tak
dipercayainya. Tubuh yang menjadi patung itu ternyata mulai ambrol. Bagian
rambutnya berserakan dihembus angin. Lalu bagian betisnya juga
berhamburan, dan ketika angin bertiup semakin kencang, tubuh Ratu Fajar
Garang itu pun terbang berhamburan dalam keadaan sudah menjadi debu.
Rupanya saat ia terkena Jurus 'Manggala', seketika itu pula tubuhnya
menjadi debu. Namun karena cepatnya perubahan dari manusia menjadi
debu, keadaannya masih tetap menggumpal berbentuk sama seperti wujud
aslinya. Setelah datang angin, baru kelihatan dan diketahui bahwa tubuh
itu telah menjadi debu seluruhnya. Tak ada sisa tulang ataupun secabik
pakaiannya. "Ilmu apa yang kau pakai itu, Suto"!" gumam Kirana masih dengan
mata terbelalak walau debu Ratu Fajar Garang telah lenyap habis sama
sekali tanpa bekas sedikit pun.
"Itu yang dinamakan Jurus 'Manggala' ! Kalau tidak dalam keadaan
terpaksa dan harus mengambil kecepatan tertentu, jurus itu jarang
kugunakan!"
"Luar biasa! Maukah kau mengajariku, Suto"!"
"Bisa kita bicarakan setelah kita berada di Kuil Elang Putih!" jawab
Suto Sinting sambil mencubit dagu Kirana.
Bergegaslah mereka menuju Perguruan Elang Putih. Mereka harus
membicarakan tentang pedang itu kepada kakak dari Ki Padmanaba, yaitu
Embun Salju. Dalam perjalanan, Kirana sempat berkata kepada Suto
Sinting yang baru saja meneguk tuaknya.
"Hati-hatilah dengan Nyai Guru Embun Salju!"
"Ada apa dengan dia?"
"Dia cantik, Suto!"
"Kurasa semua orang akan berkata begitu!"
"Dia sangat memikat hati buat setiap lelaki."
"Kuakui hal itu, Kirana!"
"Jangan kau terpikat dengannya, Suto!"
"Seandainya terpikat, mengapa?"
"Kau melukai hatiku!" jawab Kirana sambil bersungut-sungut.
Pendekar Mabuk tertawa pelan. "Kau tak perlu merasa terluka!"
"Itu hakku! Aku mau terluka atau tidak, itu urusanku! Kau tak berhak
melarangku begitu."
"Yang kumaksud, kau tak perlu merasa sakit hati, karena aku tak
akan terpikat oleh kecantikan Nyai Guru Embun Salju!"
"Sungguh?"
"Bisa kau percaya omonganku!" ucap Suto tegas.
Tapi tiba-tiba ketika matahari mulai merayap pada jalurnya, dari arah
depan mereka terlihat sesosok bayangan berpakaian abu-abu mendekati
arah mereka. Orang yang berlari dengan terburu-buru itu sangat dikenali
oleh Suto dan Kirana. Sebab itulah Suto berkata kepada Kirana,
"Bukankah itu Paman Jongos Daki?"
Pendekar Mabuk 023 Rahasia Pedang Emas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Benar! Pasti ada apa-apa lagi, sehingga ia menyusul kita!"
Mereka mempercepat langkah supaya lebih cepat bertemu dengan
Jongos Daki. Orang bertubuh agak pendek itu semakin kelihaian tegang
wajahnya. Ketika ia sudah berhadapan dengan Suto, napasnya
terengah-engah dan keringatnya mengucur membasahi pakaian.
"Ada apa, Paman?" tanya Pendekar Mabuk.
"Nyai embun Salju diserang...!"
"Siapa yang menyerang?" Kirana terpenjarat.
"Nini Pasung Jagat!"
"Hah..."! Pasung Jagat"! Bukankah dia sudah mati dan dikuburkan di
Pulau Kubangan"!"
"Benar, Kirana! Tapi dia bangkit lagi dan mengamuk di sana!"
Suto berkata dengan tenang. "Tak perlu cemas! Embun Salju pasti
bisa mengatasinya!"
"Justru Nyai Embun Salju sekarang dalam keadaan terdesak!" kata
Jongos Daki. "Aku diperintahkan menyusulmu, Suto!"
"Nyai terdesak .."! Orang sakti seperti dia terdesak oleh kekuatan
Nini Pasung Jagat"! Sungguh tidak masuk akal kedengarannya!" ujar
Pendekar Mabuk sambil mengerutkan dahinya kuat kuat.
Jongos Daki memandang ke arah pedang emas. Wajahnya menjadi
berseri-seri. Ia segera berkata dengan nada girang.
"Kau telah berhasil menemukan pusaka pedang emas itu, Suto"!"
"Ya. Seperti yang kau lihat inilah, Paman!"
"Bagus, bagus...! Jongos Daki segera mangut-mangut. Kemudian ia
berkata dengan penuh semangat. "Kalau begitu, cepatlah jalan duluan.
Gunakan jurus larimu yang cepat melebihi setan ketakutan itu, Pendekar
Mabuk. Biar aku dan Kirana menyusul dari belakang! Nyai Embun Salju
sangat membutuhkan bantuanmu!"
"Kalau begitu, aku harus berangkat lebih dulu!"
"Berangkatlah, Suto! Lekas...! Jangan sampai kau terlambat tiba di
sana! Kalahkan Pasung Jagat dengan pedang itu!"
Zlappp...! Suto pun pergi, tahu-tahu sudah ada di ujung sana.
Kelihatan jauh dan kecil dari tempat Kirana dan Jongos Daki berada.
Embun Salju terdesak mundur oleh serangan Nini Pasung Jagat.
Bahkan satu kali ia terkena pukulan bercahaya biru dari tangan Nini
Pasung Jagat. Segera Mahasi dan Dewi Anjani memerintahkan beberapa
murid lainnya untuk memagari Embun Salju.
"Nyai Guru harus beristirahat dulu! Jangan teruskan penyerangan
ini!" kata Dewi Anjani.
"Siapa yang akan menahan amukan Nini Pasung Jagat itu kalau
bukan aku" Kalian akan mati sia-sia kalau mencoba menyerangnya!"
"Kami akan pancing dia agar menjauh dari kuil ini!" kata Mahasi. Lalu,
Dewi Anjani menambahkan kata,
"Kami ulur waktu sampai Pendekar Mabuk tiba di sini!"
"Apa Jongos Daki sudah berangkat?"
"Sudah sejak tadi, Guru!" jawab Dewi Anjani.
"Guru terluka dan harus disembuhkan dulu! Kami akan ulur waktu
untuk menunggu kedatangan Pendekar Mabuk!"
"Baik, Baik...! Tapi lukaku ini tak seberapa. Tak perlu cemas!" kata
Embun Salju sambil melangkah mundur. "Buat dia agar sibuk ke arah lain,
sementara aku meredam luka dalamku ini!"
Dewi Anjani membawa beberapa orang untuk memancing serangan
nenek gila itu kearah lain. Dewi Anjani memilih orang-orang yang pandai
berkelit dan lincah dalam bergerak. Mereka tidak akan melakukan
serangan balas. Sekalipun mereka melepas kan pukulan, mereka tahu
pukulan itu tidak akan dapat melukai tubuh Nini Pasung Jagat. Jadi
serangan mereka hanya bersifat memancing gerakan saja.
Mahasi mendampingi gurunya dan membawa ke balairung. Embun
Salju melakukan semedi beberapa saat. Penyembuhan terhadap luka di
dalamnya dilakukan dengan cepat. Hanya beberapa waktu saja ia kembali
dalam keadaan segar. Dan tepat pada waktu itu, sekelebat bayangan
melompati tembok halaman kuil yang mirip benteng tingginya itu. Bayangan tersebut segera mendarat di depan balairung.
"Suto...! Syukurlah kau cepat datang!" Embun Salju menyambut
dengan ceria. Lebih ceria lagi setelah ia melihat di tangan kanan Suto
menggenggam sebilah pedang emas. Dan Embun Salju tahu, pedang itu
adalah pusaka milik mendiang adiknya.
"Kau berhasil rupanya!"
"Berkat petunjukmu, Nyai!" jawab Suto. "Apa yang terjadi di depan
sana, Nyai?"
"Nini Pasung Jagat bangkit lagi!"
"Mengapa kau tak bisa atasi dia" Apakah dia mempunyai ilmu lebih
tinggi darimu, Nyai?"
"Sesuatu telah terjadi di luar perkiraanku, Suto! Nini Pasung Jagat
menjadi kebal senjata! Kulit tubuhnya keras bagaikan baja, dan tak bisa
dilukai dengan senjata apa pun! Bahkan pukulan tenaga dalamku tak bisa
melumpuhkan dia. Padahal terkena tepat di dadanya, dan meledak di sana,
tapi tak membuat dia terluka kecuali hanya tersentak mundur atau terpental
beberapa jarak saja."
"Mengapa dia bisa menjadi kebal begitu?"
"Saat dia melepaskan pukulan 'Darah Geni', aku melawannya
dengan pukulan 'Darah Kutub' yang mempunyai hawa dingin serta titik
beku paling tinggi. Dia pun melepaskan pukulan 'Jalur Baja', yang begitu
panas dan dapat melelehkan tubuh manusia, bahkan besi pun bisa lumer
jika dihantam pukulan 'Jalur Baja'-nya itu. Ternyata pukulan 'Darah Geni'
dan 'Jalur Baja' sama-sama mempunyai titik panas yang luar biasa. Dan
pukulan itu membeku di dalam darahnya karena kuhantam terus dengan
hawa dingin yang bertitik beku tinggi. Dan akibat dari ketiga jurus itu
menjadi satu di dalam darahnya, maka membentuk satu lapisan pelindung,
membuat kulitnya, uratnya, tulang-tulangnya bahkan rambutnya jadi
mempunyai lapisan baja yang tak bisa dilukai atau digores oleh senjata
apa pun!" "Hmmm...! Kalau begitu, pedang emas ini yang akan melukainya!
Aku harus segera masuk ke pertarungan tu, Nyai! Permisi!"
Zlappp....! Pendekar Mabuk pun cepat tinggalkan tempat.
9 NINI Pasung Jagat gemas melihat tingkah Dewi Anjani dan
teman-temannya yang hanya menyerang dan mundur, menyerang lalu
mundur lagi, makin lama makin jauh dari tanah depan kuil. Tetapi karena
rasa penasarannya terhadap Dewi Anjani yang tak bisa dibunuh dan
mampu menghindar terus dengan lincahnya, Nini Pasung Jagat mengejar
lawannya sampai di Bukit Perawan. Dari depan kuil bisa terlihat jelas
pertarungan Nini Pasung Jagat dengan Dewi Anjani dan lima anak
buahnya yang lincah-lincah itu.
Pada satu kesempatan, Dewi Anjani berhasil terpental dan hangus
bagian punggungnya. Ia terluka kena pukulan telapak mautnya Nini
Pasung Jagat. Dalam keadaan lemah Dewi Anjani merangkak mencari
tempat aman. Tapi pada waktu itu, Nini Pasung Jagat sudah tiba di
depannya. Jlegg...! "Serang dia supaya tidak mencelakakan Anjani!" kata temannya.
Maka mereka pun menyerangnya dengan pukulan jarak jauh secara
bersamaan. Namun pukulan itu tidak ada yang melukai kulit tubuh Nini
Pasung Jagat, dan karenanya tidak dihiraukan oleh nenek gila pusaka itu.
"Sudah saatnya tongkatku menghabisi nyawamu. Bocah Dungu!
Hiaah!" Nini Pasung Jagat menancapkan tongkatnya ke punggung Dewi
Anjani yang sudah tak sanggup melakukan apa-apa lagi itu. Tetapi tiba-tiba
tubuh nenek tua itu terpental kesamping dan membentur sebatang pohon
berakar pipih. Brrukkk...! "Monyeeeet...!" teriaknya dengan keras, ia pun segera bangkit.
Suatu tenaga yang begitu besar telah dilepaskan oleh seseorang.
Tenaga itu yang membuat Nini Pasung Jagat terpental jauh. Dan ketika ia
bangkit memandang ke arah Dewi Anjani, rupanya di sana sudah berdiri
lelaki berpakaian coklat dan celana putih, punggungnya menyandang
bumbung tuak. "Rupanya kau murid sinting si Gila Tuak itu! Hah...! Sangat kebetulan
sekali kau hadir dalam keadaan tubuhku sudah menjadi sekeras baja
begini! Kulampiaskan dendamku kepada si Gila Tuak di depanmu, Suto!"
"Hei," panggil Pendekar Mabuk kepada anak buah Dewi Anjani.
Bawa dia menjauhi! Sambil tangan kirinya menopang tubuh Dewi Anjani.
Lalu, Dewi Anjani pun dibawa pergi menjauh oleh anak buahnya. Tapi
mereka belum turun dari puncak bukit yang tak seberapa tinggi itu. Bahkan
di sisi lain pun muncul dua orang yang terengah-engah tegang. Mereka
adalah Kirana dan Jongos Daki.
"Suto, habisi dia!" seru Kirana.
"Aku dengar!" seru Pendekar Mabuk tanpa menoleh pada Kirana. Ia
berdiri dengan tegapnya. Tangan kiri memegang pedang emas dengan
sarung pedangnya, tangan kanan siap melakukan gerakan secepat kilat.
Pada waktu itu, mata Nini Pasung Jagat tertuju pada pedang emas
itu. Mata tua tersebut berbinar-binar. Bibirnya menyunggingkan senyum
yang lebih cocok dikatakan sebagai seringai.
"Aha...! Pedang Wukir Kencan ada di tanganmu, Suto"! Oooh...ho ho
ho...! Pucuk dicinta ulam tiba! Itu yang kucari-cari!"
"Barangkali kematian yang kau cari, bukan pedang ini, Nini!"
"Dengar Cah bagus kayak tikus...! Pedang itu adalah milik guruku,
dan hanya murid-muridnya yang berhak memegang dan memiliki pedang
emas itu! Ki Padmanaba atau aku! Bukan kau! Karena kau bukan murid
Guru kami, Suto!"
"Tapi aku yang mendapat amanat dari Ki Padmanaba untuk
menyelamatkan pedang ini, agar tak jatuh ke tangan orang-orang sesat
seperti kamu, Nini!"
"Kalau kau nekat menggunakan pedang itu, maka kau akan mati
termakan kutuk yang ada di dalam kekuatan pedang itu!"
Kirana berteriak dari jauh, "Jangan percaya, Suto!"
Pendekar Mabuk tersenyum memandangi Nini Pasung Jagat yang
tampak berang mendengar seruan Kirana. Tapi Nini Pasung Jagat tidak
menghiraukan seruan tersebut, ia maju setindak sambil mengulurkan
tangannya dengan pelan,
"Berikan padaku! Jika Ki Padmanaba sudah tiada, berarti akulah
pewaris pedang emas itu!"
"Tak ada pesan dari Ki Padmanaba untuk menyerahkan pedang ini
kepadamu, Nini!"
"Dia lupa menyebutkannya!"
"Kurasa tidak. Yang ada hanyalah pesan untuk menghabisi nyawamu,
karena kau telah membunuhnya dengan keji, Nini!" kata Suto dengan
tangan kanan mulai memegang pedang, tepat pada gagangnya.
Nini Pasung Jagat menjadi tegang, ia tahu kehebatan pedang itu,
sehingga ia merasa cemas. Dalam batinnya ia berkata sendiri,
"Pedang itu sangat berbahaya! Dipegang orang bodoh pun bisa
membuat orang tersebut pandai memainkan jurus-jurus pedang maut,
apalagi dipegang bocah sinting murid si Gila Tuak itu! Agaknya aku harus
membujuknya dengan cara halus. Aku tak berani merebutnya dengan
kasar. Tapi... sekarang tubuhku sudah menjadi sekeras baja! Kulitku tak
bisa dilukai! Mengapa aku harus takut menyerangnya" Kurasa Pendekar
Mabuk tak bisa dibujuk secara halus! Dia bukan orang bodoh. Jadi, aku
memang harus merebutnya dengan pertarungan. Mudah-mudahan dia
belum tahu kalau kulitku sudah sekeras baja dan tak mempan digores
dengan senjata apa pun!"
Nini Pasung Jagat melangkah ke samping beberapa tindak, arahnya
memutari Pendekar Mabuk. Tapi Sinting ikut bergerak memutar
pelan-pelan. Tangannya sudah menggenggam gagang pedang. Ia selalu
mengambil posisi menyamping. Pedang terangkat di depan dada bersama
sarungnya. Tapi belum dicabut. Karena sekali cabut, langsung akan
berkelebat. Itu sebabnya Pendekar Mabuk mengambil posisi menyamping
kanan dan bergerak terus supaya posisinya tetap sama dengan gerakan
Nini Pasung Jagat.
"Kau memaksaku untuk merebutnya, Suto! Kau belum tahu siapa aku
yang sekarang ini!"
"Kalau kau memang mampu merebutnya, Rebutlah! Itu berarti kau
punya keberanian menghadapi anak sekecil aku, Nenek Kempot!"
"Jahanam kau..! Heaaah...!"
Zlappp...! Pendekar Mabuk berkelebat bagai orang menyeberang jalan dengan
cepatnya. Tak satu pun mata yang melihat gerakan Suto menyeberang
melintasi tubuh Nini Patung Jagat. Mereka tahu-tahu sudah melihat Suto
berpindah posisi, pedangnya sudah dilepas dari sarung pedang, tapi
sarung pedang tetap terangkat ke depan.
Nini Pasung Jagat diam di tempat. Berdiri agak membungkuk sedikit.
Jari-jari tangannya begerak pelan. Ia masih memunggungi Suto. Suto
sendiri tidak bergerak dari tempatnya. Namun matanya melirik tajam ke
arah Nini Pasung Jagat.
"Habisi dia! Lekas habisi dia?" seru Kirana bagai tak sabar, karena ia
melihat Pendekar Mabuk punya kesempatan untuk memenggal kepala Nini
Pasung Jagat dari belakang. Kirana jadi geram dan gemas sendiri melihat
Pendekar Mabuk tidak bergerak menebaskan pedangnya. Ia ingin maju,
tapi tangannya ditahan oleh Jongos Daki.
"Biarkan dulu!" kata Jongos Daki mengingatkan. Cukup lama kedua
tokoh yang bertarung itu sama-sama diam tak bergerak. Sementara
orang-orang yang menonton dari depan pintu gerbang kuil mulai
berteriak-teriak, sama dengan seruan Kirana.
Mereka mendesak supaya Pendekar Mabuk cepat- cepat memenggal
kepala Nini Pasung Jagat. Tetapi Pendekar Mabuk tidak menghiraukan
teriakan mereka yang samar samar kedengarannya itu.
"Huuuhh...!" teriak mereka di sana setelah melihat Suto memasukkan
pedang emas ke sarung pedang. Sedangkan Kirana, Dewi Anjani, Jongos
Daki, dan yang ada di bukit itu, memandang dengan mata tak berkedip.
Mereka melihat cairan menetes dari bagian bawah perut Nini Pasung Jagat.
Cairan itu bukan merah, melainkan kuning keemasan, seperti logam emas
yang dipanaskan dan mencair. Tes... tes... tes...! Makin lama menjadi
semakin banyak. Tubuh Nini Pasung Jagat masih diam mematung.
Tangannya bergerak-gerak. Tetapi, kejap berikutnya, para penonton yang
ada di belakang Suto itu menjadi terperangah kaget ketika tubuh Nini
Pasung Jagat tumbang ke belakang. Brukkk...!
Mereka melihat dengan mata kepala sendiri, dari bagian bawah
pusar sampai ke pertengahan kening Nini Pasung Jagat, ternyata terbelah
tipis namun jelas dalam. Sabetan pedang Pendekar Mabuk membentuk
garis lurus dari bawah putar sampai ke pertengahan kening. Dan tak
seorang pun yang melihat saat Pendekar Mabuk menyabet pedang emas
itu ke tubuh Nini Pasung Jagat.
"Luar biasa...!" gumam Kirana semakin terkagum kagum kepada
Suto. Nini Pasung Jagat menghembuskan napas terakhir dalam keadaan
mata terbuka lebar dan mulut ternganga sedikit. Rupanya kulit tubuh yang
telah berubah menjadi sekeras baja itu hanya bisa dilukai oleh pedang
emas tersebut. Nini Pasung Jagat lupa, selain pedang itu membuat
seseorang bisa memainkan jurus pedang maut jika menggenggam pedang
itu, pedang tersebut juga bisa memotong semua benda, sekalipun gunung
baja yang menjulang tinggi. Dan setiap lawan yang terkena pedang
tersebut, darahnya berubah kuning keemasan, namun cepat berbau busuk
dan berubah menjadi hitam dalam setengah hari saja.
Rubuhnya Nini Pasung Jagat membuat orang-orang di depan
gerbang kuil bersorak kegirangan. Sorak itu segera mereda dan hilang
setelah seseorang muncul di tengah arena pertarungan tadi. Orang
tersebut bertubuh tinggi, besar, seperti raksasa. Dialah Logayo ketua
perkumpulan atau perguruan sesat Kobra Hitam yang hampir gulung tikar.
Kemunculan Logayo yang bergelar Dewa Murka, kali ini tidak didampingi
oleh Rangka Cula. Mungkin karena tergesa-gesa dan bernafsu sekali
melihat kelebatan pedang emas dari kejauhan, sehingga ia tidak sempat
mengajak Rangka Cula.
Pendekar Mabuk 023 Rahasia Pedang Emas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi kemunculan itu membuat hati Kirana menjadi seperti ditusuk
dengan seribu jarum berkarat. Dendam di dalam hatinya terbakar lagi.
Bayangan saat orang seperti raksasa itu memperkosa ibu dan seorang
kakaknya, terbayang jelas di mata Kirana. Sekalipun waktu itu Logayo
masih muda, tapi Kirana masih ingat dengan wajahnya, brewoknya,
matanya yang lebar ganas dengan alisnya yang tebal, tubuhnya yang
besar, suaranya yang berat dan besar itu juga, semuanya melekat erat
dalam ingatan Kirana.
Pelan-pelan Kirana bangkit dengan jantung bergemuruh, berdebar
debar dan sedikit gemetar. Tinggal satu orang itu yang belum dilenyapkan
oleh dendam Kirana. Kini orang tersebut muncul di depan Pendekar Mabuk
dan berkata dengan gaya memuakkan,
"Hebat sekali jurus pedangmu, Anak Muda! Aku terkesima melihat
jurusmu yang luar biasa itu! Tapi kau menggunakan pedang emas milik Ki
Padmanaba kelihatannya! Apakah kau telah mencuri pedang itu dari
tangan bekas adik iparku, hah"!"
"Aku tak kenal siapa dirimu, Raksasa brewok!"
"O, kau belum mengenalku" Hua ha ha ha ha....! Kasihan betul kau
ini! Aku adalah Logayo, si Dewa Murka, ketua Perguruan Kobra Hitam
yang disegani banyak orang!"
"Tapi mengapa aku tidak merasa segan sedikitpun padamu"!"
Tawa itu lenyap seketika. Wajahnya menjadi bengis. Logayo
memandang angker kepada Suto Sinting. Dengan melihat raut wajahnya
yang begitu angker dan buas saja orang sudah bisa dibuat ketakutan,
apalagi jika melihat murkanya. Logayo berkata dengan nada geram yang
menyeramkan, "Jangan kau pancing nafsuku untuk membunuhmu. Anak Muda!
Jangan lagi kau berkata begitu di depan orang-orang seperti saat ini! Kalau
kau ucapkan lagi kata kata yang sama, kuremukkan kepalamu dengan
kedua tanganku!" kedua tangannya saling meremas.
"Aneh. Kau bicara seperti itu, wajah dibuat seangker itu, tapi aku tak
punya rasa takut sedikit pun padamu. Malah merasa geli!" Suto tertawa
pendek dipaksakan.
"Ggrrr...! Kurang ajar betul kau!" geramnya semakin kuat. Tangannya
menggenggam keras-keras dan mengepulkan asap putih bagai terbakar
kedua genggamannya itu. Ia melangkah maju dua tindak. Jaraknya
menjadi lebih dekat dengan Suto, sekitar tiga langkah.
"Seharusnya kau kubunuh karena berkata begitu! Tapi sebagai
jaminan dan tebusan, cukup kau serahkan pedang itu padaku! Karena aku
adalah kakak ipar dari Ki Padmanaba!"
"Kalau kau menghendaki pedang ini, berarti kau menghendaki
kematianmu, Logayo! Apakah kau belum jera dengan habisnya anak
buahmu dengan Racun Getah Tengkorak itu"!"
Terperanjat Logayo mendengarnya. Merah wajahnya seketika itu.
"Jadi kau yang menjadi manusia serba hitam dan memasang jerat
melalui lentera kematian itu, hah"! Kau yang menyebar racun setan itu dan
membuat matinya anak buahku itu, hah"!"
"Bukan aku, Logayo! Jangan salah duga!"
"Jika bukan kau, siapa"!" bentaknya.
"Aku...!"
Tiba-tiba Kirana tampil sambil menyebutkan kata dengan keras. Ia
menatap mata Logayo dengan beringas, seakan ingin menelan orang
sebesar itu. Ia maju sampai berada di depan Pendekar Mabuk, seakan
mengambil alih perkara itu dari Suto. "Akulah yang memasang lentera
beracun itu, Logayo! Aku yang menghabisi anak buahmu! Karena kaulah
yang membantai habis keluargaku, ketika kau dan kelima begundalmu itu
menjadi perampok di rumahku atas perintah Lastri , bibiku sendiri itu!"
"Lastri Wiku..."! Ggrrr...! Rupanya kau anak Bantar Sogi yang paling
bungsu itu, hah"!"
"Betul! Dan semua teman-temanmu sudah kubunuh untuk membayar
hutang lamanya. Sekarang tinggal kau yang belum kulenyapkan, Logayo!
Kau harus mau di tanganku!"
"Bocah dungu! Kumakan kau bulat-bulat sekarang juga! Grrr!"
Logayo menggeram dan mengangkat kedua tangannya. Tapi Kirana
segera berkelebat ke belakang, tangan kanannya menyambar gagang
pedang yang masih digenggam kuat oleh Suto. Pedang emas itu tercabut
di luar dugaan Pendekar Mabuk. Bahkan kini Kirana dengan gerakan cepat
berkelebat menerjang orang bertubuh besar seperti raksasa itu sambil
menebaskan pedangnya dari bawah ke atas. Brettt...!
"Ehhg...! gerakan Logayo terhenti seketika. Perutnya terbelah.
Semua orang melihat gerakan pedang itu membabat dari bawah ke atas.
Kemudian dengan cepat pula, Kirana menghujamkan pedang itu,
menusukkan ke arah jantung Logayo, "Hiaaahh...!"
Jrubbb...! Pedang menghujam masuk ke jantung. Darah yang berubah menjadi
kuning keemasan itu muncrat ke mana-mana. Logayo masih bisa mendelik
dan bergerak-gerak ingin mencabut pedang itu. Tetapi tenaganya makin
lemah. Tangannya menggapai ingin meraih rambut Kirana yang masih
memengangi gagang pedang itu dengan kuat-kuat. Tapi tangan itu tak
sempat menggapai rambut, jatuh lemas ke samping, mulutnya
memuntahkan cairan kuning emas sebagai ganti warna merah pada
darahnya. Kemudian tubuh dan kepalanya tampak terkulai lemas. Kirana
menjejak tubuh besar itu dengan kuat untuk mencabut pedang yang
tembus ke belakang punggung Logayo.
Dubb...! Wuttt...! Tubuh Logayo terpental ke belakang. Slubb...!
Pedang emas pun tercabut sudah. Kini digenggam oleh Kirana dengan dua
tangan. Matanya memandang ganas ke mayat Logayo. Napasnya
terengah-engah. Pedang masih berdiri tegak, siap disabetkan kapan saja.
"Kirana...,' sapa Suto pelan dan hati-hati. "Kirana, sudah selesai
sekarang...! Sudah cukup dendammu terlampiaskan..."
Kirana menatap Suto, mata gadis itu berkaca-kaca memandangnya.
Kemudian, meleleh air matanya ketika ia terbayang wajah-wajah
keluarganya, ayahnya, ibunya, dan satu persatu wajah kakak
perempuannya yang berjumlah lima orang itu. Seakan Kirana telah
menebuskan nyawa mereka dengan membantai seluruh orang yang
terlibat dalam peristiwa perampokan di rumahnya itu.
Dengan matinya Logayo, pimpinan perampok dan pemerkosa kelima
kakak serta ibunya itu, Kirana semakin menyadari bahwa sekarang
hidupnya benar-benar telah sendirian. Tanpa arah dan tujuan yang pasti.
Tanpa dendam dan kegelisahan lagi. Maka, menangislah ia dalam pelukan
Pendekar Mabuk, sementara Pendekar Mabuk pun berusaha menenangkan tangis itu dengan bisikan-bisikan yang meneduhkan hati
Kirana. Pedang emas telah dimasukkan ke dalam sarungnya. Pendekar
Mabuk pun segera menuntun Kirana untuk melangkah dalam rangkulan
kasih sayang seorang kakak terhadap adiknya.
Ketika menuruni bukit, mereka berpapasan dengan Embun Salju
yang agaknya menyongsong kemenangan Pendekar Mabuk dalam
melawan manusia berkulit baja itu. Buru-buru Kirana mengusap air
matanya dan melepaskan rangkulan tangan Suto begitu ia melihat Embun
Salju menjemputnya. Sekejap, Embun Salju sempat berkata kepada Dewi
Anja-ni dan kelima anak buahnya,
"Suruh orang-orangnya Mahasi membuang mayat-mayat di atas bukit
itu, Anjani!"
"Baik, Guru...!"
Kemudian, senyum menawan mekar di bibir Embun Salju ketika ia
menatap ke arah Suto dan Kirana. Terucap kata olehnya,
"Terima kasih, kau telah mengalahkan musuh kami yang paling
berbahaya itu, Suto!"
"Berkat pedang pusaka milik adikmu, Nyai! Tanpa pedang ini
mungkin aku belum bisa mengalahkannya!"
"Pedang itu memang dahsyat, Suto!" Embun Salju memandang
kagum ke arah pedang pusaka itu. "Boleh kulihat bentuk ukirannya"
Sepertinya punya arti tersendiri!"
"Kenapa tidak" Ini pedang adikmu, jadi kau punya hak untuk
menyimpannya, Nyai! Aku bukan pewarisnya!" Pendekar Mabuk segera
menyodorkan pedang itu dan diterima oleh Embun Salju.
"Tapi menurut pesan Ki Padmanaba," kata Kirana, "Siapa yang bisa
menemukan pedang emas itu, berarti dialah pewarisnya, Suto!"
"Kurasa itu perlu dibicarakan lebih lanjut dengan kakak Ki
Padmanaba sendiri. Bukankah begitu, Nyai"!"
"Ya, memang perlu kita bicarakan! Tapi... tunggu!" tiba-tiba Nyai
Guru Embun Salju menjadi tegang. Matanya melirik sekeliling. Lalu mata
itu tertuju pada rimbunan pohon bambu yang ada di samping kaki Bukit
Perawan itu. "Ada apa, Nyai?" tanya Kirana.
"Seseorang sedang bersembunyi di sana kurasakan getaran
batinnya, dia ingin merebut pedang ini! Sebentar, kucari dia!"
Wuttt...! Embun Salju melesat pergi. Suto tertegun memandang
kearah rimbunan bambu.
Kirana segera berkata, "Tak Ingin kau kejar orang itu"!"
Suto menghembuskan napas. "Biarlah Nyai Embun Salju yang
menanganinya! Kurasa ia tak akan celaka. Toh ia bersama pedang emas
itu!" Suto segera melangkah menuju ke kuil, Tetapi Kirana segara berkata,
"Hatiku merasa tak enak dengan sikap Nyai Embun Salju tadi!"
"Tak enak bagaimana?"
Tiba-tiba Embun Salju datang dari arah kuil mendekati Suto dan
Kirana. Mereka terkejut melihat Embun Salju tidak membawa pedang.
"Suto..."! Jadi siapa yang yang mengubah diri menjadi Embun
Salju?" "Celaka! Mengapa Embun Salju bisa ada dua" Apakah dia
mempunyai adik kembar "atau mungkin kakak kembar?"
"Setahuku, dia tidak punya saudara kembar!" Kirana makin tegang.
"Lalu... yang berkelebat ke rumpun bambu tadi siapa?"
Embun Salju mendekat dan memandang heran kepada Suto dan
Kirana. Kemudian ia bertanya, "Ada apa, Suto"!"
"Nyai... apakah kau tadi menerima pedang emas dariku"!"
"Pedang emas" Oh, tidak! Aku baru saja mau mengucapkan selamat
atas kemenanganmu dan terimakasih atas bantuanmu! Kami sudah
menyiapkan pesta kecil untuk kalian!"
"Tapi... tapi tadi ada orang serupa dengan kau, Nyai! Dia meminjam
pedang itu dan... dan berkelebat ke arah rimbunan bambu! Kalau tak
percaya, tanyakan kepada Dewi Anjani yang diberi perintah untuk
membuang mayat-mayat di atas bukit itu!"
"Membuang mayat"! Aku tak pernah menyuruh anak buahku untuk
membuang mayat! Setiap mayat yang mati di Tanah Merah ini pasti
kusuruh menguburkannya baik-baik!" kata Embun Salju.
"Celaka! Celaka, Nyai! Pedang itu dibawa orang yang mirip kamu!"
"Persis...?"
"Persis sekali, Nyai!" jawab Kirana.
Embun Salju berkerut dahi dan termenung. Kemudian ia mengguman,
"Hanya ilmu sihir yang bisa membuat seseorang bisa menirukan bentuk
dan wajahku! Di sini orang yang bisa melakukan ilmu sihir seperti itu
adalah Rangka Cula, anak buah Logayo yang kau bunuh itu, Kirana!"
"Kalau begitu, aku harus mengejarnya sekarang juga, Nyai!"
Pendekar Mabuk segera bergegas tapi Kirana menahannya, "Aku
ikut!" Suto bingung menjawab. Haruskah ia membawa Kirana dalam
mengejar pencuri pedang emas itu" Apakah tidak akan merepotkan dirinya
nanti" Akan berhasilkah ia merebut pedang itu jika membawa Kirana"
TAMAT Segera terbit: MALAIKAT JUBAH KERAMAT
Hina Kelana 38 Dewa Linglung 1 Raja Raja Gila Bulan Berdarah 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama