Ceritasilat Novel Online

Tabib Sesat 1

Pendekar Mabuk 113 Tabib Sesat Bagian 1


1 MALAM berbintang mirip jerawat perawan puber. Langit cerah bagai
bentangan selimut janda kesepian. Rembulan muncul di tepi langit, bundar
besar dan berwarna kuning, mirip bagian tengah telur mata sapi.
Langit berlukiskan keindahan alam itu menjadi pusat perhatian
setiap orang, terutama para tokoh rimba persilatan yang mengerti tandatanda keramat tentang malam purnama itu. Banyak mata yang
tersembunyi di balik kerimbunan semak. hutan, serta dedaunan lainnya.
Mereka tak mau tampakkan diri, bak hantu-hantu malam yang mengintai
bayi baru lahir. Mereka menyebar di sela-sela persembunyian sepanjang
Pantai Mindar. Sudah malam begini. kenapa belum muncul juga" bisik seseorang
kepada temannya yang sama-sama bersembunyi di celah-celah batu
karang. "Mungkin sebentar lagi. Sabar sajalah!"
"Kalau ternyata dia tidak muncul bagaimana?"
"Kita muncul sendiri!" jawab temannya.
"Brengsek! Kakiku sampai kesemutan. "
"Kakiku justru terasa hangat.
"Kok bisa hangat?"
"Entah kotorannya siapa yang kuinjak sejak tadi ini."
Bisik-bisik sejenis itu banyak terjadi di sepanjang Pantai Bandar.
Perahu-perahu nelayan ditambatkan tanpa penunggu. Tak ayal lagi perahuperahu nelayan itu dipakai tempat bisik-bisik pu!a oleh mereka yang
menunggu pemunculan sesuatu yang keramat.
Malam itu, peristiwa yang kelak akan menjadi sebuah legenda atau
cerita rakyat akan terjadi di Pantai Bandar. Seorang putri bidadari akan
muncul untuk menemui ayahnya; seorang petapa sakti yang dikenal dengan
nama Paderi Moyang. Gadis anak bidadari itu akan berkuasa di Bukit
Caraka, menjadi perantara suci antara manusia dengan dewa. Gadis anak
bidadari yang keramat itu dikenal dengan nama Putri Merak.
Siapa pun yang bisa memakan jantung Putri Merak, maka orang itu
akan hidup selama seribu tahun lagi. Tetapi barang siapa bisa menjadi
pengawal dan penye- lamat Putri Merak, maka keturunan pertama orang
itu akan mendapat sukma warisan dari Paderi Moyang. Seluruh ilmu dan
kesaktian sang petapa akan menitis pada bayi pertama si penyelamat Putri
Merak. Sang petapa sakti yang pernah dikabarkan mati secara moksa,
lenyap tanpa bekas, telah memilih seorang gadis untuk menjadi
pendamping kehadiran pu- trinya itu. Gadis yang dipilih oleh Paderi
Moyang adalah murid Raja Mantra yang dikenal dengan nama Utari. Oleh
sebab itu, Utari diberi tanda oleh Paderi Moyang berupa kalung Batu
Kasumbi, agar ia dikenal dan diper- caya oleh Putri Merak sebagai
pengawal pilihan seka- ligus utusan dari Paderi Moyang, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Sukma Warisan").
"Aku heran, mengapa si Utari yang dipilih sebagai pengawal Putri
Merak" Padahal ilmunya Utari tidak seberapa tinggi. Masih banyak gadis
seusia Utari yang ilmunya lebih tinggi dan lebih bisa menjamin keselamatan Putri Merak. Mengapa Paderi Moyang memper- cayakan
keselamatan Putri Merak di tangan kepada Utari"!"
Seseorang membalas suara kasak-kusuk teman- nya di balik
persembunyian mereka.
"Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan Paderi Moyang
sehingga mempercayakan keselamatan putrinya di tangan Utari. Pertama,
karena Utari gadis yang masih perawan. Belum pernah kemasukan 'maling'
tanpa mata."
"Hiik, hik, hik, hik...! Maling tanpa mata itu apa?" canda temannya.
"Kurasa kau tahu sendiri. Lalu, menurutku pertimbangan Paderi
Moyang kedua: Utari adalah murid dari sahabatnya, yaitu Ki Wiramba
alias si Raja Mantra. Pertimbangan yang ketiga: Utari dan kakaknya yang
bernama Rinayi, sebenarnya adalah gadis berdarah i-ini Mereka anak
Prabu Balayudha, dari Kerajaan Pa- inpnll, Negeri tersebut sekarang
sudah lenyap tersapu alam; banjir dan badai besar. Tak seorang pun
penduduk negeri itu yang masih hidup kecuali Utari dan Rinayi. Sebab
sewaktu terjadi bencana alam yang mengerikan itu, mereka berdua masih
berguru di Muara Angker, tempat si Raja Mantra memperdalam jurusjurus saktinya, termasuk jurus mantra yang mempunyai kedahsyatan
mengagumkan itu."
"Ooo... jadi Utari itu anak raja?" sang teman manggut-manggut
dengan suara gumam pelan.
Tentu saja orang di sampingnya itu bisa jelaskan perihal latar
belakang kehidupan Utari, sebab orang tersebut punya hubungan dekat
dengan Raja Mantra. Bahkan pernah bertemu tiga kali dengan Paderi Moyang. Orang itu adalah seorang wanita muda yang berusia sekitar dua
puluh lima tahun. Mempunyai wajah cantik, bertahi lalat di sudut kiri bibir
atasnya. Matanya agak lebar, indah, dan bertepian hitam, berbibir tebal
menggairahkan untuk dipagut.
Ciri-ciri yang paling khas bagi wanita muda itu terletak pada
payudaranya. Diaiah satu-satunya wanita di dunia yang mempunyai delapan
payudara. Ciri-ciri itu pernah dibuktikan sendiri oleh Pendekar Mabuk,
dan si murid sinting Gila Tuak itu sernpat terkejut melihat wanita itu
mempunyai delapan payudara yang terletak di dada, punggung, pinggang,
dan yang kecil terletak di sekitar pangkal pahanya.
Wanita muda yang berperawakantinggi, sekal, ber- watak tegas dan
berani itu tak lain adalah si Puting Selaksa, muridnya Resi Parangkara dari
Teluk Sendu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Wanita
Keramat").
Memang dialah yang berjuluk Wanita Keramat, karena dia pernah
menerima keajaiban 'Rona Dewaji, berupa sinar merah dan rembulan yang
sedang purnama dan membuat tubuhnya saat itu menjadi berwarna hijau
kristal. Rona Dewaji adalah gaib kekuatan kasih yang dimiliki para dewa.
Kesaktian gaib Rona Dewaji itu akan membuat orang yang menerimanya
selalu mengalami keberuntungan, keselamatan, dan kebahagiaan turuntemurun. Mendengar kabar kernunculan Putri Merak, Puting Selaksa segera
bergegas ke Pantai Bandar. !a bersama- sama seorang sahabatnya yang
bernama Mayangsita dari Lembah Randu. Bagi Pendekar Mabuk, gadis
bernama Mayangsita itu bukan orang asing lagi. Suto Sinting alias si
Pendekar Mabuk sangat kenal dengan Mayangsita, dan ia tahu betul
bahwa Mayangsita adalah murid Eyang Panujum. Gadis itu selalu menjadi
gugup dan latah jika berhadapan dengan pemuda tampan yang sekiranya
membuat hatinya kagum dan berdebar-debar, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : Rahasia Bayangan Setan" dan "Mahkota Penjerat
Hati"). Mayangsita mengenakan baju tanpa lengan dan celana warna hitam.
Rambutnya pendiek sebahu tanpa ikat kepala.. la juga termasuk gadis yang
cantik. Berdada sekal, berbibir ranurn dan punya senyum yang bisa
membuat hati pemuda deg-degan. Ia bersenjata pedang diselipkan
pada ikat pinggangnyai yang berwarna hijau. Sedangkan Puting Selaksa,
rneingenakan baju berlengan panjang dan celana warna hijau tua. Rambutnya panjang, disanggul asal-asalan, sisanya berjuntai sebatas bahu seperti
ekor kuda. la mengenakan ikat kepala merah bintik-bintik putih. la tampak
lebih kekar dan lebih montok dari Mayangsita.
Mereka datang ke Pantai Bandar bukan untuk membuat kekacauan.
Pada dasarnya mereka ingin melihat kemunculan si putri bidadari asli dari
kayangan itu, Tetapi tentu saja mereka siap lakukan tindakan jika bahaya
datang mengancam keselamatan Putri Merak atau Utari. Sebab, Puting
Selaksa sendiri juga kenal baik dengan Utari dan Rinayi.
Angin laut berhembus sepoi-sepoi basah kuyup, terutama bagi yang
berada di kedalaman aimya. Sua- sana Pantai Bandar berkesan lengang.
Para penduduk desa nelayan di pantai itu tak tahu akan ada peristiwa
besar di tempat tersebut, sehingga mereka sibuk me- nyusuri mimpinya,
tapi ada juga yang sibuk menyusuri tubuh istrinya.
Di sisi barat, sebuah tebing karang menjulang ting- gi. Di atas
tebing itu tampak bayangan hitam yang foer diri menatap ke perairan
pantai. Sosok bayangan itu bagaikann ada di tengah rembulan, karena jika
dilihat dari pantai, sang rembulan ada di belakang sosok bayangan
tersebut. Semua pengintai tahu, di sana ada bayangan yang berdiri tegak
tanpa gerak. Seakan bayangan itu adala sang maul yang menunggu
mangsanya. Tetapi para pengintai tak pernah mau pedulikan bayangan
hitam itu. Mereka cenderung memperhatikan perairan pantai, menunggu
kemunculan si anak bidadari asli dari ka- yartgan itu.
"Aaoooouuu...!!"
Terdengar lolongan panjang mengalun bagaikan ingin memenuhi
bumi. Lolongan panjang yang menyeramkan itu datang dari si bayangan
hitam di puncak tebing. Lolongan itu adalah suara serigala yang
kegirangan saat menatap rembulan memancarkan cahaya purnamanya.
Ombak lautan mulai bergulung-gulung. Air laut tampak pasang.
Biasanya ombak lautan di Pantai Bandar tidak sebesar itu. Air laut
memang sering pasang. tapi tidak sampai menggenangi pesisir pantai di
depan rumah penduduk desa nelayan. Malam itu. air laut bagaikan
merayapi ingin masuk ke rumah-rurnah penduduk desa nelayan. Anak
kepiting dan anak ikan bermain di halaman rumah orang, Untung bukan
anak ikan paus,
Hembusan angin makin lama semakin kencang. Suara deru ombak
menghantam tebing karang terdengar bergemuruh meremangkan bulu
kuduk setiap orang. Pohon-pohon kelapa dan pohon yang non kelapa
meliuk-liuk kearah barat. Pohon-pohon itu seolah Ingin diterbangkan oleh
sang angin. Makin lama hembusan angin terasa tidak akrab. la datang bersama
pasukan badai. Bahkan di tengah lautan terjadi pusaran badai yang
melingkar membentuj cerobong ke arah langit.Air laut menjlng tinggi
dalam gerakan memutar sebegitu dahsyatnya. Seolah-olah pusaran badai
laut itu menghantarkan gelombang samudera untuk naik ke langit dan
mencaplok rembulan.
Suasana di Pantai Bandar menjadi meriyeramkan. Gugusan karangkarang yang menjulang di sana-sini tampak bergetar. Sepertinya ada
kekuatan dahsyat yang mengguncang samudera dari dasar lautan. Bahkan tanah di sekitar Pantai Bandar itu juga terasa bergetar, seakan ingin
amblas ke bawah di telan bumi.
Glegaaamrrrrrr...!!
Itu bukan suara orang batuk. Itu suara petir yang mengguntur di
angkasa. Cahaya birunya yang mirip seeker naga itu berkerslap dengan
gerakan gesit, seakan ingin membelah rembulan. Cahaya biru itu
berkerilap beberapa kali tanpa diiringi mendung dan rintik hujan. Langlt
tetap foersih dan cahaya rembulan tetap bersinar.
Cralaap... clap, clap, clap...! JegaaarrrhvJ
"Puling Selaksa... aduh, bagaimana ini"! Celanaku basahS" bisik
Mayangsita. "Ah, kau ini seperti anak kecil saja. Dengan suara petir dan deru
badai saja takut, sampai celananya basah! Uuuh...."
"Bukan basah karena takut, tapi air laut menjadi makin naik dan
membasahi celanaku."
"Makanya jangan jongkok di situ!"
"Habis jongkok dimana" Di atas rembulan?" ujar Mayangsita
bersungut-sungut, toh akhirnya ia pindah di belakang Puting Seiaksa.
Sebenarnya Mayangsita ingin berbisik lagi kepada Puting Seiaksa,
tapi muiutnya bagaikan kaku secara mendadak. Lidahnya seperti berubah
menjadi lempengan besi baja, sukar ditekuk. Hal itu disebabkan oleh
datangnya cahaya biru terang dari langit.
Cahaya biru terang yang berkesan indah itu meluncur dari langit ke
pusaran arus badai laut yang ada di tengah samudera sana. Seolah-olah
ada dewa yang menyorotkan lampu senternya ke permukaan air laut untuk
mencari ikan teri berjubah.
Yang jelas, cahaya biru terang itu sangat indah dipandang matadan
mendebarkan hati. Siapa pun yang memandang cahaya biru terang itu
hatinya akan diiliputi perasaan tenteram, damai, dan bahagia sekali tanpa
tau apa sebabnya. Tak heran jika Mayangsita dan Puting Seiaksa samasama terperangah kagum memandang cahaya biru indah itu.
Semua mata pengintaitertuju ke pusaran badai laut mu Mereka
mencoiba mempertajam penglihatannya nynr dapat menemhus cahaya biru
yang makin lama makln rnenyiSaukan tapi tetap dalam keindahan tiada
lunnyn Itu. Namun mata mereka tetap tak dapat me- iitiinhun silaunya
cahaya, sehingga tak tahu apa yang terjadi di balik kemilau cahaya biru
tersebut. Bahkan ada pengintai yang sama sekali tak bisa melihatcahaya biru
indah itu, karena kedua matanya disapu angin kencang, dan angin itu
membawa debu ke matanya. Orang tersebut sibuk mengucal-ngucal kedua
matanya dengan panik, karena ia takut kehabisan pemandangan indah
tersebut. "Menakjubkan sekali..."!" gumam Mayangsita dalam hati, mewakili
kekaguman hati orang-orang di sekitar Pantai Bandar.
Hal yang membuat mereka kagum sekali adalah keajaiban yang
terjadi pada malam itu, di mana cahaya biru terang yang indah itu
menyebar ke permukaan air iaut, membuat laut menjadi berwarna kemilau
biru terang. Pusaran badai iaut itu telah hilang. Kini permukaan laut
menjadi rata. Datar dan bening, seperti lempengan kristal mewah.
Gerakan air laut sangat pelan, sehingga nyaris tampak tidak bergerak.
Bagi mereka yang kakinya terendam air laut, ia dapat merasakan
kehangatan air tersebut. Kehangatan itu mengalir ke seluruh tubuh dan
membuat hatinya menjadi semakin berdebar-debar penuh keindahan
misterius, Hembusan angin pun tidak sekencang tadi. Kali ini angin berhembus
pelan, kalem, tapi berwibawa. la menyapu alam sekitarnya. Setiap benda
yang disapu angin itu seolah-olah mendatangkan keindahan, termasuk hati
tiap manusia. Suasana di Pantai Bandar menjadi sangat romantis. Sepi tapi
hangat. Hening tapi penuh semangat. Tak heran jika para penduduk desa
nelayan yang sudah punya keluarga menjadi terbangun saling rabameraba...mencari selimut agar bisa menenggelamkan diri dalam impian
yang lebih indah lagi.
Tiba-tiba cahaya biru dari langit itu mengecil, membentuk seperti
pilar tinggi. Lautan tampak seperti menyangga langit dengan pilar cahaya
itu. O, ya...! Sejak tadi bayangan hitam di atas tebing itu melolong
panjang berkali-kali. Lolongannya terdengar merdu dan mirip nyanyian
malam penghantar cumbu.
"Aaaauuuuu...! Aaauuuuu...!"
"uh, ah! Gelap!" ujar hati salah seorang pengintai yang sengaja
menikmati suara lolongan misterius itu.
Para pengintai memang semakin berdebar-debar, terlebih setelah
pilar cahaya biru yang mirip tiang pe nyangga langit itu semakin mengecil,
mengecil..., dan kecil sekali. Akhirnya cahaya biru itu menjadi seperti
tiang bendera yang amat tinggi. Benar-benar mirip tiang bendera. Hanya
saja siapa yg akan mengerek bendera jika tiangnya setinggi itu" Pasti
membutuhkan tiga kali pingsan untuk mengerek bendera sampai ke ujung
atasnya yang menembus langit itu.
Tiba tiba cahaya biru kecil itu bagaikan putus di ,ujunng atasnya.
Kemudian cahaya itu bergerak meliuk-liuk dengan cepat
zuuub, zuub, zuub... zrraab!
Astaga! Cahaya itu berbentuk seperti kereta berkuda! Pekik
Mayangsita dalam bisikan. Puting Selaksa tersentak kedepan karena
kaget, telinganya seperti disembur hawa panas dari mulut Mayangsita
yang membisik kaget itu.
"Aaaauuuuuu...!!" suara lolongan terdengar lagi. Pada saat itu,
cahaya biru yang membentuk kereta berkuda itu lenyap. Zaaab...! Kini
tinggal pijar-pijarnya saja. Dan mereka memang melihat bentuk kereta
berkuda yang diiapisi cahaya pijar biru seperti cahaya kunang-kunang.


Pendekar Mabuk 113 Tabib Sesat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mengagumkan sekali! Baru sekarang kulihat pemandangan yang...."
"Ssst...! Brisik, ah!" sentak Puting Selaksa dengan dongkol kepada
Mayangsita. Kereta cahaya itu bergerak mendekati arah pantai. Semua mulut
para pengintai saiing berkasak-kusuk heboh.
"Dia datang... dia datang...!"
"Siapa yang datang" Mertuaku"!1'
;" "Tolol! Dia datang...! Putri Merak itu datang dengan kereta cahaya!
Lihat... lihat...!"
| "Ya, lihat... lihat kebunku, penuh dengan bunga, ada yang.. biru dan
ada yang merah"
"Husy...!"
"Maksudku,.. maksudku, lihat: si Putri Merak itu. i. menunggang
kereta cahaya yang ditarik kuda-kuda bercahaya biru. Ooh, alangkah
indahnya kuda-kuda itu."
"Aaauuuuuuuuu...!!"
Suara lolongan dari atas tebing semakin keras dan panjang. Seakan
bayangan hitam di sana mengucapkan selamat datang kepada anak
bidadari asli dari kayangan. Tetapi perlambang apakah bayangan hitam
yang tampak bagaikan menodai rembulan kuning itu" Hanya beberapa
orang yang berpikir demikian.
Pada umumnya mereka memusatkan perhatiannya ke arah gerakan
kereta cahaya yang ditarik dengan enam ekor kuda biru fosfor. Anehnya,
tak ada suara derap kaki kuda, atau kecipaknya air laut yang digunakan
alas berjalan kereta kuda tersebut.
Sampai di gugusan karang yang sangat dekat dongan pantai, kereta
cahaya itu berhenti. Nyala pijar birunya masih bisa menerangi alam
sekeliling gugusan karang tersebut. Ditambah lagi, cahaya rembulan juga
bersinar semakin terang, seakan habis ditambah minyaknya. Hal itu
membuat tiap pasang mata pengintai melihat munculnya seorang gadis
cantik dari dalam kereta cahaya.
Gadis cantik itu berambut panjang meriap-riap, Mengenakan
mahkota kecil berbatu putih berkerilap terkena pantulan rembulan.
Wajah si gadis terkena sinar cahaya keretanya, sehingga setiap orang
dapat melihat bentuk kecantikan yang amat mengagumkan itu.
Gadis tersebut mengenakan kain warna pink, merah muda sekali.
Kainnya halusdan lembut, meriap-riap dihembus angin kalem. Pinjung
penutup dadanya juga warna pink. Pakaian merah muda sekali itu dilapisi
dengan jubah lengan panjang tak dikancingkan bagian depannya. Jubah itu
berwarna hijau muda dengan hias- an bulu-bulu merak yang menempel
bagaikan disulam- kan pada jubah tersebut. Indah sekali, berkesan
merah. "Oooh... cantiknya bukan main...?" desah suara siapa saja yang
memandang penuh rasa kagum pada gadis yang baru keluar dari kereta
cahaya. Gadis itulah yang disebut-sebut sebagai Putri Merak.
"Mengapa ia diam saja di atas batu karang itu?"
"Mungkin menunggu penjemputnya," bisik Puting Seiaksa kepada
Mayangsita. Tiba-tiba dari arah timur muncul serombongan orang berpakaian
serba kuning. Mereka adalah orang- orang pengusung tandu. Di depan
mereka tampak seorang gadis melangkah dengan gagah yang menge- nakan
pakaian keprajuritan, lengkap dengan pedang panjang. Kalau berjalan...
prok, prok, prok. Pisau ter- bang yang bergelantungan di sekeliling
pinggangnya itu menyentuh baju besi, hingga terdengar suara prok" prokprok jika dipakai berjalan.
"Oh, itu dia rombongan penjemput Putri Merak,' bisik Mayangsita.
"Ya, tapi..., bukankah... bukankah dia si Hindayarifl orang dari
Lembah Ajal"!"
"Lho, mengapa bukan Utari"!"
"Entahlah. Kita lihat saja apa yang dilakukan oleh Hindayani itu!"
Gadis berlangkah tegap itu segera berlutut satu kaki dan
tundukkan kepala di depan Putri Merak.
"Selamat datang, Putri Merak. Aku diutus ayahandamu untuk
menjemputmu dan membawamu ke Bukit Caraka!"
"Oh, terima kasih sekali atas budi baikmu. Tapi tunjukkan padaku
kalung Batu Kasumbi yang menjadi tanda bahwa kau adalah utusan
ayahandaku!"
Hindayani keluarkan kalung dari dalam baju besinya. Kalung itu
digenggam dan ditunjukkan kepada Putri Merak.
"Inilah kalung Batu Kasumbi yang menjadi tanda bahwa aku adalah
utusan Eyang Paderi Moyang!"
Putri Merak tersenyum manis. "Kau menipuku, Sobat," ujarnya
dengan kalem. Tiba-tiba dari langit muncul cahaya petir. Craalp, " Craalp..
Blegaaarr...! Semua mata pengintai terperanjat melihat tubuh Hindayani
disambar petir bersama orang- orangnya yang bertugas mengusung tandu.
Hindayani "I 'M uiang-orangnya lenyap tanpa bekas. Bahkan sisa ^<" y11
tnndunya pun tak ada.
"Gila! Ke mana si Hindayani itu"!" gumam Mayangsita. Ia termakan
kutuk. Kudengar, siapa pun yang mencoba membohongi Putri Merak akan
termakan kutuk. Entah kutuk bagaimana. Rupanya kutuk itu membuat si
pendusta lenyap tanpa bekas seperti itu. Mmmmm monyeramkan sekali!"
Putri Merak masih berdiri di tempatnya, tak jauh dari kereta
cahaya. Ia seperti seorang gadis sedang menunggu kekasihnya yang sudah
janjian mau bertemu di situ.
Tak lama kemudian, seorang wanita muda berkuda muncul dari arah
kedaiaman hutan pantai. Perempuan berkuda itu kenakan jubah biru
terang. Gerakan menunggang kuda tampak gesit dan lincah. Sebilah pedang disandang di punggungnya.
"Ooh, siapa yang datang itu, Puting Seiaksa?"
"Hmmm... sepertinya dia orang Gua Batur. Aku mengenali jubahnya
yang biru bersulam benang merah bergambar bunga mawar itu!" ujar
Puting Selaksa.
"Tapi aku tak tahu siapa namanya," tambah Puting Seiaksa.
Perempuan muda itu segera melompat turun dari punggung kuda. la
buru-buru berlutut di pasir kering depan Putri Merak.
"Maaf, Putri Merak... aku datang terlambat karena jalanan macet.
Maksudku... banyak penghalang yan< ingin merebut tugasku sebagai
penjemputmu, Putri Me rak!"
"Oh, jadi kau yang ditugaskan ayahandaku untuk menjemputku?"
"Benar, Putri Merak!"
"Kau membawa kalung Batu Kasumbi?"
"Semula membawa, tapi di perjalanan direbut oleh lawanku. Maka
aku buru-buru kemari sebelum lawan! tiba lebih dulu dengan membawa
Batu Kasumbi itu.
Putri Merak sunggirigkan senyum manisnya.
"Sinar matamu menampakkan kebohonganmu, Sobat! Kau telah
mendustaiku!"
"Aku tidak dusta! Aku benar-benar...."
Jegaaarrr...! Kilat biru menyambar gadis penunggang kuda itu. la lenyap bersama
kudanya juga. Itu menandakan bah- wa dia bukan pengawal utusan Paderi
Moyang. Melihat kenyataan seperti itu, bagi mereka yang siap-siap ingin
menyamar sebagai utusan Paderi Moyang muiai ciut nyali. Mereka tak
berani lakukan rencana untuk berpura-pura menjadi utusan Paderi Moyang, karena siapa pun yang berbuat demikian akan lenyap tanpa bekas
disambar petir misterius. Agaknya Putri Merak tak dapat ditipu dengan
cara apa pun. Dan sang putri tampak masih menunggu hadirnya kejujuran
dengan sabar. Tak berapa lama, seorang gadis melompat dengan cepat dari atas
sebuah pohon. Wuut, wuut...! Jleeg...! Gadis itu mendaratkan kakinya di
pasir kering depan Putri Merak.
"Nah, itu dia si Utari...!' sentak suara bisik Puting Selaksa.
Rupanya Utari sejak tadi sengaja menunggu di atas pohon.Keadaan
di sekitarnya dipelajari lebih dulu sebelum akhirnya ia muncul menghadap
Putri Merak. Utari gadis berusia sekitar dua puluh tiga tahun, dengan baju
jingga dan celana ungu tua ternyata sudah sembuh dari luka-lukanya saat
dilarikan oleh kakaknya dari pantai jalang. Kini ia tampak sehat seperti
tak pernah menderita luka apa pun.
la berdiri dengan tegap, tampak sebagai sosok gadis pemberani.
Dengan tangan kiri ditaruh di atas pedang sarung perunggu yang
diselipkan di pinggang kirinya, Utari yang bergiwang merah itu rapatkan
kedua kaki dan memberi anggukan sebagai sikap menghormat.
"Siapa kau, Sobat?" tegur Putri Merak dengan ramah.
"Aku yang bernama Utari, utusan Eyang Paderi Moyang untuk
menjemput dan membawamu ke Bukit Caraka!"
"Mana buktinya kalau kau utusan ayahandaku?"
Utari keluarkan kalung berbatu hijau dalam lipatan kain celana
ungunya. Rupanya selama ini kalung Batu Kasumbi disembunyikan Utari
dalam lipatan celananya, sehingga tak mudah diketahui lawan yang ingin
me- nyerobotnya. Kalung itu sengaja tak dikenakan oleh Utari. karena
takut akan memancing perhatian pihak lain yang ingin memiliki kalung
tersebut. Setelah berhadapan dengan Putri Merak, kalung itu sekarang
dipakai oleh Utari. Batu hijau pada bandul kalung bertali hitam itu
memancarkan sinar hijau sa ngat terang dan hanya sepintas saja. Claaap...!
Sinar hijau itu menerpa wajah Putri Merak, mem buat sang putri percaya
bahwa dia sudah berhadapan dengan seorang utusan dari ayahnya. Putri
Merak pun menengok ke samping kanan, bagaikan bicara pada enam ekor
kuda cahaya tersebut.
"Turangga Surya... kembalilah menghadap Ibu dan katakan aku
sudah bertemu dengan penjemputku!"
Zruuubs...! Tiba-tiba kereta bercahaya biru itu lenyap tanpa bekas
lagi. Warna air laut pun berubah menjadi seperti biasanya: biru kehijauhijauan. Cahaya dari kalung Batu Kasumbi pun telah hilang sejak tadi. Kini
cahaya yang ada hanyalah sinar rembulan bundar bak martabak di atas
penggorengan. "Utari, bawalah aku ke Bukit Caraka sekarang juga!"
"Baik, Putri...!"
Utari menyelipkan kedua jarinya ke mulut dan diti- upnya jari itu.
Suiiiittt...! Suara suitan itu merupakan tanda bagi seseorang. Maka dari arah
barat muncul seorang gadis menunggang kuda sambil menuntun seekor
kuda kosong tanpa penumpang. Gadis berbaju merah yang menunggang
kuda itu adalah Rinayi, kakak kandung Utari yang pernah menjadi anak
buah tokoh sesat: Hantu Asmara, Hingga kesuciannya sudah tidak tersisa
lagi. Rinayi memberikan hormat kepada Putri Merak saat diperkenalkan
oleh Utari. Sang putri segera naik ke atas punggung kuda putih,
sedangkan Utari menunggang kuda hitam yang tadi ditunggangi Rinayi.
Uta hati-hati!" pesan sang kakak sebelum Utari dan Putri Merak
akhirnya pergi meninggaikan Pantai Bandar.
Wuuus, wuuut, weers, blaas, blaass...!
Rinayi terperangah kaget. Ternyata banyak bayangan yang
berkelebat dari sisi lain ke arah yang sama dengan tujuan Utari dan Putri
Merak. "Celaka! Ternyata banyak orang yang mernbayang- bayangi Utari
dan Putri Merak"! Pasti mereka ingin membunuh Putri Merak dan
memakan jantungnya! Ooh, aku harus segera hubungi Guru agar Utari dan
Putri Merak lolos dari hadangan mereka!'
Rinayi pun bergegas lari ke arah barat. la menuju ke tempat di
mana sang Guru dan Rupa Setan bersem- bunyi bersamanya, menunggu
saat-saat kemunculan Putri Merak. Namun alangkah terkejutnya Rinayi
setelah mengetahui tempat itu kosong. Raja Mantra, gurunya, dan si Rupa
Setan yang pernah menjadi Ketua Partai Petapa Sakti itu, telah lenyap
dan tidak ada di tempat. Rinayi kebingungan mencari sang Guru untuk
melaporkan bahaya yang membayang-bayangi Utari dan Putri Merak itu.
2 Bayangan hitam di atas tebing yang melolong itu, ternyata adalah si
manusia serigala berbulu hitam. Tanpa uban selembar pun. Dan manusia
serigala itu tak lain adalah Pendekar Mabuk, si murid sinting Gila Tuak
dan Bidadari Jalang. la akrab juga dikenal dengan nama Suto Sinting.
Sang pendekar tampan yang bertubuh tinggi, gagah, dan kekar itu
sedang mengalami musibah dalam hidupnya. la terkena jurus 'Siluman
Serigala' akibat pertarungannya dengan petapa berilmu tinggi dari aliran
hitam yang dikenal dengan nama Belah Nyawa. Pertarungan itu terjadi
bukan saja berdasarkan dendam si Belah Nyawa kepada Suto, yang telah
menewaskan dua murid andalannya, namun juga karena Belah Nyawa
merasa dihalangi tindakannya yang ingin menculik Cindera Giri. Niatnya
menculik Cindera Giri timbul setelah mendengar bahwa Cindera Giri
mengetahui rahasia Tabib Sesat dari Pantai Jalang, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Manusia Serigala").
Musibah itu telah membuat Suto Sinting berwujud seperti seekor
serigala. Badannya berbulu lebat, rahangnya maju ke depan, telinganya
menjadi tinggi, Jari-jarinya mengeluarkan kuku hitam seperti kuku
serigala. Repotnya lagi, emosinya menjadi emosi serigala. Buas dan liar.
Tapi di balik semua itu, Pendekar Mabuk masih mempunyai rasa manusiawi
yang tersisa, sehingga kadang ia terpaksa menekan sekuat tenaga agar
emosi binatangnya tidak terlepas seliar serigala asli.
Tuak saktinya yang terkenal dapat untuk menyembuhkan luka itu
ternyata kali ini tidak bisa dipakai untuk melawan kekuatan uap racun dan
jurus 'Siluman Serigala'. Dugaan Suto, musibah itu dapat diatasi jika
mendapatkan obat dari Dyah Sariningrum, calon istrinya, yang mempunyai
seorang ibu berkuasa di alam gaib! yaitu Gusti Ratu Kartika Wangi.
Tetapi kemunculan Arya Suaka, murid dari Geledek Biru, membuat
Suto Sinting sempat beralih kepada sang iokoh sakti tersebut. Menurut
Arya Suaka, gurunya pernah menangkal kekuatan jurus Siluman Serigala'
pada beberapa tahun yang lalu.
Tetapi karena kemunculan Putri Merak ternyata lebih penting
untuk dibayang-bayangi, maka niat Suto datang kepada Geledek Biru
terpaksa ditangguhkan.Penangguhan itulah yang membuat tubuh Suto
Sinting menjadi lebih berbulu lagi dan perubahan yang terjadi pada
dirinya semakin membuat orang sulit mengenali siapa dia sebenarnya. Rasa
malu mencekam hatinya!! sehingga ia sempat merasa minder dan tak
berani muncul di antara para pengintai sapanjang Pantai Bandar tadi.
Paderi Moyang, petapa sakti aliran putih yang dikabarkan telah
moksa itu, bukan orang asing lagi bagi Pendekar Mabuk. Sang tokoh yang
pernah menampakkan diri pada Pendekar Mabuk itu juga pernah memberi
tugas untuk menyingkirkan angkara murka yang dilakukkan oleh Pendekar
Mabuk. Suto Sinting merasa punya hubungan baik dengan Paderi Moyang,
sehingga iapun merasa perlu melindungi kemuneulan Putri Merak yang
ditakdirkan akan berkuasa di Bukit Caraka, menjadi perantara antara
manusia dengan dewa.
Oleh sebab itu, ketika Putri Merak sudah dibawa oleh Utari,
Pendekar Mabuk pun segera berkelebat Membayang-bayangi mereka
berdua. la berusaha agar keadaan dirinya tidak dilihat oleh Utari, Putri
Merak dan yang lainnya.
Dengan menggunakan jurus 'Gerak Siluman' yang membuatnya
mampu bergerak menyamai kecepatan cahaya itu. Suto Sinting
menyelusup di sela-sela keremangan malam. la berada dalam jarak
pandang dengan putri Merak dan Utari. Posisinya yang selalu berpindahpindah dengan sangat cepat itu membuat beberapa orang yang juga
bermaksud membayang-bayangi Putri Merak dan Utari, tak melihat
keberadaan si manusia serigala disekitar langkah mereka.
Tiba-tiba seberkas cahaya putih menyilaukan melesat dari satu
arah. Seberkas cahaya putih menyilaukan itu sempat membuat Pendekar


Pendekar Mabuk 113 Tabib Sesat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mabuk Terperanjat bukan kepalang.
"Oh, apa yang terjadi itu"!" ujarnya dalam hati.
Blaaab...! Cahaya putih menyilaukan itu seperti jaring yang. ditebarkan dari
satu tangan. Cahaya itu menyambar tubuh Putri Merak. Dalam sekejap
saja, Putri Merak dan kudanya lenyap tanpa bekas yang ditinggalkan.
Bahkan suara kuda pun tak terdengar, kecuali suara ringkik kudanya Utari
yang melonjak ketakutan. Utari terlempar dari punggung kuda, dan sang
kuda pun lari ngibrit tanpa pamit lagi.
Suasana remang-remang sempat membuat pan- dangan mata orangorang yang membayangi perjalar tersebut menjadi gelap pekat beberapa
kejap. Mata me reka bagaikan buta, sama sekali tak bisa melihat apa apa.
Demikian pula halnya dengan Utari.
Sekitar tujuh helaan napas kemudian, pandangai mata mereka mulai
normal kembali. Pendekar Mabuk mempunyai pandangan yang buram,
karena memang sejak ia berubah menjadi manusia serigala, pandangan
matanya tak setajam biasanya.
"Putri Meraaak...! Putri Meraaak...!" teriak Utari mencari orang
yang dikawalnya dengan panik.
Wuuut, wuuut...! Dua bayangan melesat ham|i Utari.
Jleeg, jleeg...!
"Utari! Ini aku.... Puting Selaksa!"
"Ooh, kau..."! Aku kehilangan...."
"Ya, aku tahu! Cahaya putih tadi datang dari utara sana!" ujar
Puting Selaksa. Sementara itu, Mayangsita yang masih mengikuti Puting
Selaksa segera perdengarkan suaranya.
"Cahaya itu menelan habis Putri Merak dan kudanya!"
Wuuut, wuuut...! Jleeg, jleeg...!
Dua orang muncul lagi di sekitartempat itu. Mereka adalah Cindera
Giri dan Arya Suaka yang diam-diam mongikuti perjalanan Utari dari
Pantai Bandar. Utari segera bersiap cabut pedang, karena menyangka datang
bahaya mengancamnya. Tapi begitu ia melihat wajah Arya Suaka secara
samar-samar. Ia segera teringat tentang pemuda yang pernah dilihatnya
dalam peristiwa rebutan mahkota pusaka itu. Peristiwa tersebut juga
melibatkan Cindera Giri yang sempat bentrok dengannqan Utari, tapi
segera diselamatkan nyawanya oelh Utari sendiri, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode "Geger Hantu Asmara").
Dalam sepintas kulihat orang yang memiliki cahaya putih itu
mengenakan jubah hitam!" ujar Arya Suaka langsung nyeplos begitu saja.
Cindera Giri masih diam, tapi ikut membantu mencari Putri Merak dengan
memandang ke sana-sini.
Wess jleg..! Sesosok tubuh sekal milik gadis berpakaian kuning
gading muncul di belakang Utari. Dengan cepat Utari mencabut pedangnya
dan diarahkankepada gadis yang baru saja muncul.
Kuarasa kau yang mengacaukan tugasku ini Tiara Surga!" geram
Utari dengan penuh curiga.
"Pakai otakmu! Jangan hanya dengkulmu yang dipakai untuk
berpikir!" ketus Tiara Surga, murid dari Perguruan Telaga Murka, yang
pernah bentrok dengan Utari karena ingin gantikan tugas Utari sebagai
penga- wal Putri Merak, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Sukma Warisan").
"Sudah kuduga, kau tidak akan becus mengawal Putri Merak!" tegas
Tiara Surga lagi. "Eyang Paderi Moyang benar-benar salah pilih!"
"Tutup mulutmu!" sentak Utari dengan berang sekali,
"Tak ada gunanya saling debat begini!" potong Puting Seiaksa.
"Sebaiknya kita menyebar untuk men- cari Putri Merak!"
Tiba-tiba terdengar suara lain menyahut dari atas pohon. I
"Tindakan yang sia-sia!"
Semua mata tertuju ke arah suara tua tersebut.
"Serahkan saja padaku! Aku akan memburunyal' tambah suara
tersebut. Lalu, si pemilik suara pun meluncur turun dari atas dahan.
Gerakannya sangat cepat. Nyaris tanpa suara saat kakinya menapak ke
tanah dl samping Mayangsita.
Tokoh tua itu berusia sekitar delapan puluh tahun, berambut
pendek warna putih rata, la memiliki kumlt dan jenggot putih uban.
Mengenakan jubah kunirig garis-garis merah, berkalung tasbih biru
sepanjang perut.
Bagi Arya Suaka dan yang lainnya, tokoh itu masih menimbulkan
tanda tanya di hati mereka, sebab mereka tidak mengenalnya. Tetapi bagi
Utari, atau Suto Sinting yang memperhatikan dari atas pohon yang paling
tinggi, tokoh tua yang banyak senyum dan semangatnya masih seperti
remaja itu bukan orang yang membi- ngungkan, Dia adalah si Dewa Bandot
dari Pulau Pahang. Utari mengenalnya karena Dewa Bandot adalah sahabat
karib Raja Mantra.
"Eyang Dewa Bandot! Rupanya Eyang ada di sini |uga"!" sapa Utari
yang mendapat senyum lebar dari si dewa Bandot.
"Aku sedang mengikuti seseorang yang mengincar Putri Merak,"
ujar Dewa Bandot. "Tapi rupanya aku terlambat. Jadi, sebaiknya kalian
tak perlu saling kecam dan saling menyalahkan. Akan kususul orang itu
untuk menyelamatkan putri sahabatku: Paderi Moyang!"
"iapa orang yang...."
Laaaap.J Dewa Bandot lenyap sebelum Utari selesaikan
pertanyaannya, Tokoh dari Pulau Parang itu bergerak sangat cepat
sehingga seperti menghilang ditelan Bumi.
Disatu sisi, sepasang mata berbulu lebat memperhatikan gerakan
Dewa Bandot. Manusia Serigala itu mendengar percakapan tadi dari jarak
jauh, karena ia mempunyai ilmu 'Sadap Suara' yang mampu mendengar
percakapan dari jarak seratus tombak lebih. Suto Sinting itulah orangnya.
Tanpa banyak berpikir panjang lagi, Pendekar Mabuk segera susul
gerakan Dewa Baudot dengan meng- gunakan ilmu Sukma Lingga'-nya.
Claap...! Sosok ma- nusia serigala itu berubah menjadi sinar hijau yang
ber- ekor kecil, mirip kunang-kunang.
Sinar hijau itu melesat dengan cepat bagaikan menembus
perbatasan alam nyata dan alam gaib. Kecepatan gerak jurus ini bisa
dibilang tiga kali cepat dari jurus 'Gerak Siluman', sehingga dalam
sekejap saja Suto mampu menyusul Dewa Bandot. la sengaja menghadang
langkah super cepatnya Dewa Bandot, sehingga gurunya Santana itu
terkejut ketika merasa dihadang oleh sosok manusia berbulu lebat.
Tanpa berpikir panjang, Dewa Bandot segera i paskan serangannya
berupa sinar patah-patah wa biru. Crelaap...! Sinar lurus patah-patah itu
dihadang oleh bumbung tuaknya Suto, sehingga timbul ledakan yang
menggema cukup dahsyat. Blegaaarr...!
Pendekar Mabuk terpental sejauh delapan langkah tubuhnya yang
berbulu melayang-layang. Bagian depan tubuhnya: dada, wajah, perut, dan
bawah perut alias paha, terasa seperti diterjang lempengan baja yang
cukup keras. Pendekar Mabuk mengerang sakitan, tapi suaranya seperti
erangan seekor serigala
"Gggrrrrr...!!"
Dewa Bandot perdengarkan suaranya, kali ini suaranya sengaja
dibuat berwibawa untuk menggertak lawannya. Tapi tetap saja ia
tersenyum, walau sinis, sebab ia memang dikenai sebagai tokoh tua yang
banyak senyum. "Sekali lagi kau menghalangiku, kau akan terbang ke neraka, Iblis
Berbulu!" Pendekar Mabuk menggeliat bangkit untuk berdiri. Ia bertopang
bumbung tuaknya saat mengangkat badannnya. Dewa Bandot berkerut
dahi, curiga melihat bentuk bumbung tuak yang sudah dikenalinya itu. Keinginan untuk melepaskan amarahnya ditahan sesaat, Tapi ia tetap
waspada dan siap serang jika timbul bahaya dari si pemegang bumbung
tuak itu. Siapa kau sebenarnya, Iblis Berbulu"!"
"Eyang ... Dewa Bandot...," sapa Suto Sinting dengan suara serak
dan agak cadel. Semakin terkesiap pandangan Dewa Bandot mendengar
namanya disebutkan oleh manusia berwajah serigala itu. la bergerak
mendekat lagi. Senyumnya makin lebar, tapi bermakna keheranan.
"Kau membawa bumbung tuaknya si Pendekar Mabuk Apakah kau...."
"Aku Suto Sinting, Eyang!"
"Jabag bayi!" Dewa Bandot tersentak dengan kepala mundur
sedikit. Senyumnya lenyap untuk sekejap.
"Kenapa kau bisa jadi begini, Pendekar Mabuk"!"
"Belah Nyawa menggunakan ilmu...."
"Siluman Serigala..."! Hmmm, ya, aku tahu dialah pemilik ilmu itu!
Hanya dia yang mempunyai ilmu itu. Entah sudah diturunkan kepada
muridnya atau kepada orang lain, atau belum diturunkan kepada siapasiapa. Tapi yang jelas keadaanmu harus segera dipulihkan, sebelum
akhirnya tubuhmu menjadi busuk dan mati tanpa dikenali oleh siapa pun!"
Agaknya si Dewa Bandot itu cukup tahu tentang ilmu andalannya si
Belah Nyawa yang berhasil dipulihkan kembali dalam beberapa waktu
belakangan ini. Tetapi Pendekar Mabuk tidak terlalu tertarik dengan segala sesuatu yang diketahui Dewa Bandot mengena ilmu 'Siluman Serigala'
itu. Ada satu hal yang ingin segera diketahui olehnya.
"Eyang Dewa Bandot, kudengar tadi Eyang bicara dengan Utari,
bahwa Eyang sedang mengikuti orang yang mengincar Putri Merak. Pasti
Eyang tahu siapa orang itu! Tolong katakan padaku, siapa orangnya da aku
akan segera menyusulnya sebelum ia berhasil memakan jantung Putri
Merak!" Sekalipun sebenarnya bicara Suto tersendat-sendat bagai orang
sulit bernapas, tapi Dewa Bandot paham betul dengan maksud keinginan si
Pendekar Mabuk itu. Tetapi agaknya ada sesuatu yang perlu
dipertimbangkan baik-baik oleh Dewa Bandot, sehingga tokoh yang kini
tersenyum-senyum itu tidak buru-buru menjawab, melainkan memandang
kearah lain sambil melangkah ke samping kanan Pendekar Mabuk.
"Memang aku percaya, kau mampu hadapi orang Itu. Ilmu yang kau
miliki sepadan dengan ilmu yang dimiliki orang tersebut. Tapi keadaanmu
sendiri perlu segera mendapat pertolongan, Pendekar Mabuk. Kusarankan
agar kau segera menghubungi...."
Blaar, blaar, jegaarrr...!
Ledakan beruntun yang menggelegar hingga menggetarkan bumi itu
memutus kata-kata Dewa Bandot. Perhatian mereka segera tertuju ke
arah utara, tempat datangnya suara ledakan. Kilatan sinar merah
menghentak-hentak tiga kali terlihat jelas di malam yang remang-remang
itu. Maka tanpa bersepakat lebih dulu kedua orang berbeda generasi itu
segera melesat ke arah utara. Ziaaap...! Blaass...!
Siapa yang bertarung di sana, Pendekar Mabuk maupun Dewa
Bandot masih belum jelas. Mereka mencari pusat ledakan dahsyat tadi.
Tiba-tiba mereka mendengar suara gerutu dan makian yang samar-samar.
Mereka bergegas menuju tempat datangnya suara tersebut.
Sapi rontok, kucing gering, kambing gembrot! Uuukh Kurang ajar
betul dia! Dasar babi lempoh, kodok kerot babon busung!"
Raja mantra.."!" sapa Dewa Bandot yang menampakkan diri lebih
dulu. Ternyata orang yang menggerutu dan memaki-maki sambil bangkit
berdiri itu adalah Raja Mantra gurunya Utari.
Pendekar Mabuk masih bimbang untuk menampakkan diri karena
malu dengan perubahan sosok diri- nya. Dari balik kerimbunan semak dan
kegelapan malam, matanya yang merah liar itu memperhatikan Raja
Mantra setelah teriebih dulu ia memperhatikan ke- adaan sekeliling yang
terasa lengang itu. Agaknya Raja Mantra habis bentrok dengan seseorang
dan ia ditinggalkan oleh lawannya setelah berhasil dibuat berguling- guling
di tanah. "Dewa Bandot, kau ada di sini rupanya"!"
"Kau pasti memburu orang yang membawa lari Putri Merak itu!"
"Memang. Tapi sialnya aku salah menangkisnya dengan ilmu yang
lebih rendah satu tingkat dari yang digunakan menyerangku! Dasar bebek
kembungl sambil Raja Mantra menebah-nebah pakaian hijau tua nya yang
model biksu itu.
Tokoh tua berusia sekitar delapan puluh tahun itu segera menarik
napas panjang-panjang untuk pulihkan tenaganya yang tadi hilang sebagian
akibat adu ilmu dengan lawannya. Rambutnya yang putih dirapikan
gulungannya, jenggot dan kumisnya yang putih diusapnya satu kali
memakai tangan kiri, sementara tangan kanannya masih menggenggam
tongkat kayu borkepala bentuk tangan menggenggam. Sekalipun ia
menggerutu tapi wajahnya tetap berkesan cuek.
"Syukurlah jika kau sudah tahu siapa penculik Putri Merak itu!"
ujar Dewa Bandot kepada si Raja Mantra.
"Ya, aku tahu persis siapa dia. Sekarang dia sedang dikejar oleh si
Rupa Setan yang sejak tadi bersamaku. Raja Mantra memandang ke arah
Dewa Bandot yang ada di sebelah kirinya.
"Apakah kau ingin ikut rnengejarnya, Dewa Ban- dot"!"
"Tidak. Ada sesuatu yang harus kita kerjakan lebih "lulu," kata
Dewa Bandot sambil tersenyum. Wajah tuanya disoroti cahaya rembulan
pucat. "Keselamatan si Putri Merak adalah tanggung jawab muridku; Utari!
Aku tidak mau Utari gagal dalam tugasnya sebagai pengawal pilihan
Kakang Paderi Moyang. Aku harus menyusu! Rupa Setan. Karena
menurutku Rupa Setan belum tentu unggul melawan si keparat keropos,
sapi rontok, babi busung itu!"
"Tunggu dulu, Raja Mantra! Kuharap kau mau lakukan sesuatu yang
lain, tapi bisa kita kaitkan dengan penculikan Putri Merak itu!"
"Kalau kau tak mau jelaskan dalam lima hitungan, "aku akan pergi
secepatnya. Aku akan mulai menghitung Tiga.. empat..."
Dewa Bandot segera berseru memanggil seseorang.
"Pendekar Mabuk... keluarlah! Kemarilah, Nak...!
" Pendekar Mabuk..."!" gumam Raja Mantra hentikan hitungannya.
Pendekar Mnbuk masih belum mau tampakkan diri. " Ia
mempertimbangkankan keadaan dirinya yang tentunya akan tidak dikenali
oleh Raja Mantra. Padahal Raja Mantra sudah membayangkan sosok
Pendekar Mabuk tampan yang akan berubah itu, sebab ia sudah diberi
tahu oleh si Rupa Setan alias Anjardini tentang bencanajj yang dialami si
murid sinting Gila Tuak itu.
"Suto Sinting! Aku tahu kau pasti berubah menjadi manusia
serigala. Kemarilah, tak perlu malu padaku! Aku bukan perawan cantik, Cah
Bagus!" seru Mantra. Seruan itu membuat Suto Sinting sempat
terperanjat. "Ternyata Eyang Raja Mantra sudah mengetahui keadaanku"!
Hmmm... mungkin karena beliau telah bertemu dengan Anjardini," ujar
Suto dalam hatinya Baginya sudah tak ada alasan untuk malu atau
bersembunyi lagi. 1a pun segera keluar dari tempat persembunyiannya.
Zlaap...! Jleeg...!
"Husy! Jangan menggeram begitu! Bikin bulu kudukku merinding
saja!" ujar Raja Mantra yang benar benar tak merasa kaget melihat sosok
wujud Suto Sinting yang berbulu lebat itu,
"Eyang.... Raja Mantra...," sapa Suto Sinting dengan suara serak dan
lirih. Sapaan itu menimbulkan perasaan haru di hati Raja Mantra.
"Duh, Dewa... kenapa jadi seperti kau, Cah bagus"!" Raja Mantra
mengusap-usap punggung Pendekar Mabuk. "Hmm, hmm... gatal semua
tanganku memegang bulumu, Mak!"
"Jangan menghina, Eyang....,"
"Oohoo, tidak. Aku tidak menghina. Sekadar membangkitkan
candamu saja!"
Dewa Bandot segera berkata, "Raja Mantra, kurasa ilmunya
Pendekar Mabuk akan mampu mengimbangi ilmunya si penculik Putri
Merak!" Hmmm, yaah... sepertinya memang begitu."
"Untuk itulah, kumohon kau bisa pulihkan keadaannya sebagai
pemuda tampan yang berilmu tinggi itu, Raja Mantra."
Pendekar Mabuk sempat memendam perasaan heran dan curiga
terhadap kata-kata Dewa Bandot itu. Tapi ia tak sempat ajukan tanya,
karena Raja Mantra sudah lebih dulu berkata kepada Dewa Bandot.
"Apakah kau yakin aku bisa memulihkan keadaan si ganteng yng


Pendekar Mabuk 113 Tabib Sesat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

konyol ini"!"
"Aku yakin kau bisa lakukan dengan mantra saktimu"! Tegas Dewa
Bandot walau dengan senyum seulas menghiasi wajah tuanya.
"Mantra yang mana, ya.,."!" gumam Raja Mantra seperti bicara pada
diri sendiri. la berpikir beberapa saat.
"Kebanyakan mantra sakti jadi lupa yang mana yang bisa
menghancurkan uap racun Siluman Serigala itu'!" gerutu Dewa Bandot.
Kejap kemudian, Raja Mantra seperti ingat sesuatu, aiM'iy i dan
suaranya menyentak bersama wajahnya yang berseri-seri, dihiasi senyum
cengar-cengir. Nah aku ingat sekarang! Tapi... tapi harus diucapkan oleh dia
sendiri, Dewa Bandot!"
"Jangan bodoh! Kau bisa tuntun dia untuk mengucapkan mantra itu!"
Raja Mantra menggumam dan manggut-mangg Kemudian ia bicara kepada
Suto Sinting dengan memandang berhadapan.
"Pendekar Mabuk, aku akan mencoba mantra saktiku yang berjudul
: 'Koyak Kayik'. Kau tinggal men ikutinya dan...."
I "Itu mantra apa puisi, kok pakai judul segala potong Dewa Bandot
dengan senyum geli.
"Jahit mulutmu, agar jangan mengganggu mantraku, Dewa Bandot!"
Yang diperingatkan hanya tertawa kecil. Dewa Bandot sedikit menyisih.
"Pendekar Mabuk, kosongkan pikiranmu, kosongkan pula batinmu,
tirukan apa yang kuucapkan resapilahtiap kata nanti, walau kau tak tahu
artinya, anggaplah tiap kata yang kau ucapkan mengalir ke sekujurtubuh
mengikuti darahmu. Bisakah kau berbuat begitu, Nak"!"
"Bisa, Eyang," jawab Suto Sinting. Kemudian, tanpa diperintah, si
manusia serigala itu pejamkan matanya sendiri, bukan mata orang lain
yang dipejamkan. Lalu terdengar si Raja Mantra mengawali ucapan
mantranya yang baru diikuti oleh Suto Sinting.
"Koyak kayik si koyak kayik...."
"Koyak kayik si koyak kayik...."
"Bahorok koyak perih rasanyo...."
"Bahorok koyak perih rasanyo...."
"Sigobal, sigahel a/a sigobal-gabel...."
"Sigobai, sigabel ala sigobal-gabel...."
"Adigantang, aciigantung bergobal-gabel...."
"Adigantang, adigantung bergobal-gabel...."
"Apa ini apa itu...,"
"Yang mana maksudmu?" sahut Dewa Bandot sambil clingak-clinguk
mencari sesuatu.
Hei, ini mantra! Jangan diartikan sebagai pertanyaan!' ujar Raja
Mantra dengan jengkel.
"Ooo... maaf, maaf... teruskan!" Dewa Bandot menyisih lagi.
Suto tirukan ucapan mantra yang tadi, "Apa ini apa itu
pudar gaib pudar wujud, kuasa Hyang Maha Dewa.....
pudar gaib pudar wujud, kuasa Hyang Maha Dewa.....
"Simulu kutuk kublung!"
"Simulu kutuk kublung!"
"Nah tunggu beberapa saat...."
"Nah tunggu beberapa saat".."
Heeh yang ini jangan ditirukan!" hardik Raja Mantra. Dewa Bandot
terkekeh geli, membuat hati Suto Sinting pun sebenarnya ingin tertawa
cekikikan. Tapi niat untuk tertawa itu terpaksa harus ditahannya, karena tiba-tiba ia merasakan desiran angin menjadi kencang.
Sepertinya ada pasukan dari kayangan yang datang ke bumi dan
timbulkan hembusan angin cukup kencang. Suara gemuruh pun terdengar.
Suara itu sepertinya datang dari langit. Makin lama makin keras, makin
bergemuruh besar, dan angin makin berhembus kencang menyerupai
badai. "Mantramu memang hebat, Wirambada," puji Dewa Bandot dengan
menyebut nama asli Raja Mantra.
Rupanya terjadinya kelainan alam itu akibat terucapnya mantra
yang tampaknya seperti main-main, tapi sebenarnya mengandung kekuatan
sakti sungguh dahsyat. Pendekar Mabuk tak sempat bicara apa-apa !a
hanya meresapi tiap hembusan angin yang menerpanya.
Sedikit demi sedikit ia merasakan udara menjadi dingin. Sepertinya
ia kehilangan baju dan celana, tnpl sebenarnya bulu-bulu yang tumbuh di
sekujur tubuh nya itu mulai rontok tersapu angin. Semakin kencang
hembusan angin membadai itu, semakin terasa urat-urat di sekitar wajah
mulai mengendor.
Dalam beberapa saat kemudian, ternyata mantra itu benar-benar
berhasil memulihkan keadaan Suto sinting menjadi seperti semula:
tampan, gagah, tinggi,kekar, dan macho sekali.
"Aku telah pulih, Eyang! Aku telah pulih seperti sediakala!" Suto
nyaris berteriak karena kegirangnnya 'Terima kasih, Eyang Raja
Mantra...! Terima kasih, Eyang Dewa Bandot!"
"Hei, yang sembuhkan kau adalah mantraku. Dewa Bandot tidak
punya mantra sakti seperti itu!" protes si Raja Mantra karena Suto juga
mengucapkan terima kasih kepada Dewa Bandot.
Wajah Dewa Bandot tampak murung sesaat. Tapi Suto Sinting
segera berkata "Jika tanpa didesak Eyang Dewa Bandot, belum tentu Eyang Raja
Mantra mau pulihkan keadaanku. Jadi, kurasa sudah sepatutnya aku
menghaturkan terima kasih pula kepada Eyang Dewa Bandot!"
Ya, sudah. Boleh juga. tapi sedikit saja ucapan terima kasih yang
kau berikan pada si Dewa Bandot! jangan banyak-banyak!" ujar Raja
Mantra daiam kesan candanya.
Tidak dapat ucapan terima kasih juga tidak apa- gerutu Dewa
Bandot sambil bersungut-sungut. Bisa beli di pasar!"
Sudah Eyang...! Menurutku, yang penting bukan kepada siapa saya
harus berterima kasih," ujar Suto. Yang terpenting adalah siapa orang
yang membawa kabur Putri Merak. Tolong beritahukan padaku. Aku akan
mengejarnya sebelum Putri Merak jadi korban keganasan orang itu!"
"Tabib Sesat !" Raja Mantra dan Dewa Bandot bicara bersamaan
secara tak sengaja. Mereka saling lirik sebentar, lalu Duwa Bandot
tampak mengalah. Raja Mantra lanjutkan ucapannya setelah Suto Sinting
menggumam, seperti bicara pada diri sendiri.
"Oo... jadi si penculik Putri Merak itu adalah Nini Kembang Kempis
alias si Tabib Sesat dari Pantai Jalang"!"
"Ya. Memang dia orangnya. Rupanya dia tak sabar mengandalkan
orang-orangnya, sehingga bertindak sendiri melakukan penculikan
tersebut."
"Tapi aku yakin Putri Merak tidak dibawanya ke Pantai Jalang!"
"Tentu saja," sahut Raja Mantra. "Karena dia me- nembus alam
gaib, berarti dia membawa Sari Putri Merak ke Dasar Bumi, tempat asalusulnya yang sebe- narnya!"
"Aku akan mengejarnya sekarang juga, Eyang!" tegas Suto Sinting
bernada tak sabar lagi.
3 Bukan hal yang sulit bagi Pendekar Mabuk untuk masuk ke alam
gaib. la mempunyai kesaktian pada keningnya, yaitu noda merah kecil
pemberian Ratu Kartika Wangi. Noda merah kecil di keningnya itu akan
dapat membuat Suto Sinting keluar- masuk ke alam gaib dengan mengusap
kening itu memakai telapak tangan kanannya. Noda merah keci! di kening
Suto itu hanya bisa dilihat oleh orang-orang berilmu tinggi, seperti Dewa
Bandot, Raja Mantra, dan yang lainnya, (Baca serial Pendekar Mabuk.
dalam episode : Manusia Seribu Wajah"). "
Tetapi alam yang dituju Suto Sinting sebenarnya terletak di
perbatasan alam nyata dan alam gaib. Wilayah yang dihuni manusia Dasar
Bumi itu memang sangat tipis sekali lapisannya dengan wilayah yang dihuni
manusia di permukaan Bumi. Maka masyarakat Dasar Bumi pun ibarat
hidup di antara dua alam,. yaitu alarn gaib dan alam nyata.
Pendekar Mabuk bukan tidak pernah datang ke alarn tersebut
Ketika mencari Batu Tembus Jagat, ia pernah datang ke alam perbatasan
tersebut, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Penjara
Terkutuk").
Juga ketika Pendekar Mabuk harus menghancurkan kebejatan si
Ratu Kamasinta alias Dewi Penyebar Asmara, ia pun terpaksa harus lenyap
dari alam nyata dan masuk ke alam perbatasan tersebut, sampai akhirnya ra bertemu dengan gadis cantik bernama Nirwana Tria. Gadis itu
masih muda dan cantik, namun sudah menjadi guru dalam satu aliran silat
golongan putih. Gadis itu ternyata cucunya Dewa Tanah, si penguasa tertinggi golongan putih di Dasar Bumi, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Ratu Maksiat").
Tak heran jika si Tabib Sesat alias Nini Kembang Kempis itu
membawa lari Putri Merak ke alam perbatasan, karena memang ia berasal
dari sana. Tabib Sesat adalah pelarian dari Dasar Bumi yang berhasil
membaur di tengah kehidupan masyarakat Permukaan Bumi. Tentu saja
Tabib Sesat berilmu tinggi, karena menurut penjelasan yang pernah
diterima Suto dari Nirwana Tria, masyarakat Dasar Bumi mempunyai ilmu
tinggi dan cukup bisa diandalkan untuk melawan para tokoh di Permukaan
Bumi. Dengan membawa lari Putri Merak ke alam perbatasan itu,
tentunya Tabib Sesat merasa aman dan merasa tak akan ada yang mampu
mengejarnya. Sekalipun ada hanya dua-tiga orang saja, itu pun pada
umumnnya para tokoh tua berilmu tinggi. Namun si Tabib Sesat tak tahu
bahwa Rupa Setan yang pernah menjadi Ketua Partai Petapa Sakti dan
Pendekar Mabuk bisa lakukan pengejaran sampai ke alam perbatasan
tersebut. Dulu memang Rupa Setan tidak bisa menembus alam perbatasan.
Tapi sejak peristiwa memburu Batu Tembus Jagat itu, ia berusaha
perdalam lagi ilmunya, sehingga kini bisa menembus alam perbatasan.
Alam tersebut mempunyai pemandangan yang lebih indah. Pohon-pohon
berwarna-wami, gugusan batu bermunculan dengan warna-warna yang
menawan. Ada yang berwarna merah beneng seperti agar-agar, tapi
kerasnya seperti batu cincin. Ada juga batu yang bentuk dan ukurannya
seperti kuda mengangkat kedua kaki depannya, berwarna hijau lumut.
Pohon berbatang merah dengan daunnya yang kuning berkilauan juga tampak tumbuh di sana-sini,
Pendekar Mabuk merasa sedang berada di taman surga. Hatinya
menjadi berseri-seri penuh keindahan. Tapi sang hati pun masih bertanyatanya, "Di wilayah mana aku berada"! Ke mana arah pe- larian si Tabib
Sesat itu"!"
Semak-semak berwarna ungu menjadi pusat per- hatian Suto
Sinting. Semak-semak itu seperti ilalang, tapi daunnya berwarna ungu
bagai memancarkan sinar kemilau, seakan terbuat dari kristal. Tapi ilalang
ungu itu juga bergerak-gerak dihembus angin semilir.
Alam indah itu juga mempunyai angin, udara, tanah, dan langit
seperti yang ada di Permukaan Bumi. Hanya bedanya, sekalipun tampak
terang, namun suasananya berkesan teduh. Hembusan angin membawa
kesejukan tersendiri, seolah-olah membawa pengaruh gaib yang dapat
menenteramkan hati.
Karena tak ada petunjuk yang jelas, ke mana ia harus melangkah,
maka Pendekar Mabuk pun berjalan menuju perbukitan yang letaknya
cukup jauh. la menyusuri hutan berwarna-warni dengan suara kicau burung yang aneh, tapi enak didengarkan.
Hembusan angin yang tadi terasa membawa kesejukan tersendiri,
kini mulai terasa kering. Semakin lama angin yang berhembus terasa
semakin aneh. Kulit lengan mulai terasa sedikit panas, lalu timbul rasa
perih. "Sepertinya ada yang tak beres!" ujar hati Suto Sinting.
Langkahnya terpaksa dihentikan karena firasat adanya ketidakberesan
semakin kuat. Bahkan hembusan angin terasa semakin membuat sekujur tubuh
perih. Mata pun jadi pedas, mengeluarkan air dengan sendirinya.
Kesunyian yang ada di sekitar tempat itu, bagaikan mengandung misteri
yang perlu dicurigai.
Pendekar Mabuk buru-buru menenggak tuaknya. Beberapa teguk
tuak dapat mengusir rasa perih pada kulit dan matanya, la sengaja masih
tetap diam di tempat, di bawah sebatang pohon biru berdaun biru muda.
Daunnya kecil-kecil dan rindang, seperti daun pohon beringin. Akar pohon
itu termasuk jenis akar rambut, bergelantungan dari dahan-dahannya.
"Ooh..."!'' Suto terkejut melihat kulit tubuhnya yang sedikit putih,
seperti ditaburi tepung. Tapi serbuk putih itu makin lama semakin tebal
dan berkilauan.
"Serbuk beling..."!" gumam hatinya dalarn keheranan. la mulai
sadar, bahwa angin yang berhembus di tempat itu mengandung serbuk
beling yang dapat menggores kulit tubuh manusia secara tak kentara.
Goresan serbuk lembut itulah yang mendatangkan rasa perih tadi. Jika
Suto tidak segera menenggak tuak saktinya, maka rasa perihnya akan
semakin tajam. "Kurasa angin itu bukan angin sembarangan. Serbuk beling lembut
sekali itu pasti kiriman seseorang!" ujarnya membatin. Mata pun segera
memandang penuh waspada ke sana-sini. Bumbung tuak mulai digantungkan di pundak kanan, sewaktu-waktu dapat disambar untuk menangkis
serangan dari arah mana pun.
"Agaknya ada yang menyambut kedatanganku dengan tak ramah.
Hrnmm... sebaiknya kugunakan jurus 'Kipas Malaikat untuk mengetahui
seberapa hebat kekuatan angin yang menyambutku ini."
Tali bumbung tuak segera digenggam, melilit pada genggaman itu.
Bumbung tuak pun segera diputar di atas kepala dengan gerakan cepat
hingga timbulkan bunyi berdengung.
Wuuuung... wuuuung... wuuuung...!
Putaran bumbung tuak itu hadirkan angin kencang yang menyebar
ke berbagai arah dalam gerakan melingkari tubuh Pendekar Mabuk. Begitu
kencangnya angin yang ditimbulkan dari gerakan bumbung memutar itu,
sehingga terdengar suara hembusannya secara samar-samar. Arah angin
pun berubah. Dan tiba- tiba daun-daun tanaman di sekitar tempat itu
mulai berguguran.
Traas, trrass, traass...!
"Oh, daun-daun itu bukan berguguran tapi terpotong"! Buktinya ada
daun yang jatuh dalam keadaan terbelah menjadi dua bagian. Dan ilalang
ungu itu pun bagaikan dipangkas pada bagian pucuknya"! Kurasa angin yang
menaburkan serbuk beling halus itu berubah menjadi seperti pisau
pemangkas yang amat tajam!" pikir Suto sambii memperhatikan
sekeliiingnya. Jurus 'Kipas Maiaikat' dihentikan. Suto ingin rasakan hembusan
angin di sekitarnya apakah masih mengandung serbuk beling atau sudah
menjadi sejuk kembali. Ternyata angin berhembus semilir damai tanpa
timbulkan rasa perih di kulitnya.
"Hmmm, penyambutku telah perkenalkan diri, dan ia merasa aku
menyambut perkenalannya. Kurasa tak lama lagi ia akan muncul di
hadapanku!" ujar Suto Sinting membatin dengan tetap bersikap tenang
tapi penuh waspada.
Tiba-tiba Suto Sinting mendengar suara aneh yang berirama. Suara
itu seperti besi ditabuh dan menim- bulkan dengung atau denging
berbagai nada. Ting, tong, tong, ting, tang, tong...!
"Suara apa itu"!"
Tong, teng, teng, tung, tang, ting, tong, tung,tring...!
"Aduh, kupingku..."!" Suto Sinting mulai mendekap telinganya.
Suara itu mempunyai getaran gelombang tenaga dalam yang berubah
menjadi seperti jarum- jarum tajam. Seakan suara tersebut menusuknusuk gendang telinga hingga timbulkan rasa sakit yang sampai membuat
tubuh Suto tersentak-sentak sambil me- nyeringai.
Ting, long, tong, tang, tung, tring, trang, tung, tung...!
"Ooouh, suara itu semakin mendekat, semakin sakit telingaku! Sial"
geram Suto Sinting yang segera me- narik napasnya dan menahannya


Pendekar Mabuk 113 Tabib Sesat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beberapa saat. Hawa murni disalurkan ke gendang telinga. Hawa murni itu
yang membuat ia mampu menahan rasa sakit. walau untuk itu telinganya
tetap keluarkan darah kental sedikit demi sedikit.
Tuak segera ditenggaknya. Hanya satu teguk. namun sudah bisa
mengurangi rasa sakit dan menahan darah agar tidak keluar lebih banyak.
Darah yang telah meleleh sampai di pipi itu menguap dan lenyap bagaikan
bensin terserap angin.
Namun suara tabuhan aneh itu semakin dekat dan semakin jelas.
Seakan si penabuhnya sengaja memukul benda bunyi-bunyian itu lebih
kuat lagi. Hanya saja, tuak sakti yang sudah diminumnya masih mampu menahan serangan gelombang tenaga dalam yang disebarkan melalui bunyibunyian tersebut.
"Ini harus kubalas dengan... dengan... dengan apa, ya" Oh,
sebaiknya dengan jurus Napas Tuak Setan' saja! Tapi... tapi badai yang
akan keluar dari mulutku nanti dapat merusak keindahan alam di sekitar
sini. Aduh, sayang sekali!"
Saat murid si Gila Tuak itu menimbang-nimbang, tiba-tiba dari
balik pohon hijau bening di seberang Suto muncul seseorang dengan
tongkat menyerupai tulang iga. Tongkat itu sedikit melengkung dan
mempunyai anak tulang di sisi kanan kirinya. Sepertinya tongkat itu
tgrbuat dari tulang iga binatang yang sukar dikenali. Setiap tulang
pendek-pendek yang dipukul dengan kayu biasa menimbulkan bunyi
beraneka nada. Lewat pukulan itulah orang tersebut menyalurkan tenaga
dalamnya dan mengubah getaran gelombang suara menjadi getaran tajam
yang merusak gendang telinga.
"Ini tidak perlu kulawan!" ujar Suto Sinting dalam hatinya.
"Sebaiknya kutunjukkan padanya bahwa aku mampu menahan getaran
gelombang suaranya!"
Langkah si penabuh tongkat tulang iga itu semakin dekati Pendekar
Mabuk. Tapi pemuda tampan itu sengaja berdiri dengan tegap dan tampak
gagah. Kedua kakinya sedikit merenggang dan kedua tangannya memeluk
bumbung tuak di dada. ia pandangi si penabuh tongkat tulang iga itu
dengan senyum kalem berkesan meremehkan kekuatan orang tersebut.
Si penabuh tongkat tulang iga itu ternyata adalah! seorang gadis
berhidung bangir dan berbibir mungii. Matanya bundar, bening, dan indah
sekali, karena ia mempunyai bulu mata yang lentik dan alis yang sedikit
tebal tapi melengkung kecii seperti bulan tersipu malu.
Gadis itu berkulit kuning langsat, mengenakan pakaian terusan
longgar berlengan panjang. Pakaian yang panjangnya sampai sebatas mata
kaki itu berwarna biru tipis, sepertinya dari bahan sutera. Di atas warna
biru itu terdapat bintik-bintik berbentuk bintang, bagai terbuat dari
logam anti karat yang dapat menempel lekat pada gaun tersebut.
"Manis juga dia," gumam hati Suto mulai konyol. Matanya sengaja
memandang teduh dan bersahabat. Wajah mungil si gadis berambut ekor
kuda itu diperhatikan terus sampai gadis itu hentikan langkah dalam jarak
tiga tombak di depannya.
Si gadis mungil hentikan tetabuhannya. la tampak heran melihat
pemuda tampan di depannya tak cedera sedikit pun. Tongkat tulang iga
digenggam dengan tangan kiri, dipakai berjalan ke kanan empat langkah,
kembali lagi ke kiri enam langkah, akhirnya berhenti dengan pandangan
mata sama tajamnya ke arah wajah Suto Sinting.
Senyum si murid sinting Gila Tuak sengaja lebih dilebarkan lagi
agar tampak keramahannya. Tangan kanan menyingkapkan rambut sesaat
agar tidak menutupi wajah tampannya. Bumbung tuak tetap didekap di
dada, seperti memeluk bayi.
"Terima kasih atas sambutan ramahmu, Nona," Suto mengawali
bicara, sedikit dibuat agak angkuh, karena gadis berusia sekitar dua puluh
dua tahun itu juga bersikap agak angkuh.
Sambung Suto, "Sayang sekali irama musikmu tak cukup untuk
menumbangkan pohon atau memecahkan batu, sehingga tak bisa
melukaiku!"
"Hmm...!" gadis itu mendengus sinis. Matanya memandangi Suto dari
kepala sampai kaki. Yang dipandang justru pasang aksi, sebentar-sebentar
mengubah gaya berdirinya, sambil masih melontarkan kata-kata yang
memancing kejengkelan gadis itu.
"Kiriman serbuk beiingmu juga sudah kuterima, Nona. Kurasa kau
kurang pandai dalam memilih serbuk beling yang tajam dan yang tidak
tajam. Untuk itu, kusarankan jika ingin jadi tukang beling pelajari dulu
jenis beling yang tajam dan yang tidak."
Si gadis tampak merah mukanya mendengar hinaan itu. Kontan ia
melompat ke arah Suto Sinting dengan menyodokkan tongkat tulang iga
itu. Wuuut...! Draak.....!
Bumbung tuak dipakai menangkis sodokan tongkat. Begitu tongkat
menyodok bumbung tuak, kekuatan si gadis memantul balik dan membuat
tubuh sekalnya terpental ke belakang. Wuuus...! Jleeg...! Untung ia dapat
berdiri dengan sigap lagi, sehingga tak begitu merasa malu oleh serangan
balik dari lawannya.
"Edan! Bumbung bambu itu rupanya bukan bambu sembarangan!"
gumamnya dalam hati. Namun di wajahnya si gadis tampakkan kesan sinis
dan meremehkan kekuatan pemuda tampan itu. la mendengus satu kali dan
melangkahi maju lagi hingga mencapai dua tombak di depan Pendekar
Mabuk. "Kurasa sudah cukup perkenalanmu, Nona. Aku sudah tahu bahwa
kau bukan gadis berilmu rendah. Getaran tenaga dalammu melalui tongkat
itu sempat menyodok ulu hatiku saat bumbung tuakku menangkisnya tadi."
"Hmmm...! Itu belum seberapa!" ujar si gadis tampak menyimpan
rasa bangga mendengar pujian tak langsung dari Suto. Padahal sodokan
tongkat tadi tidak mempunyai arti apa-apa bagi Pendekar Mabuk.
Si gadis menggertak, "Kalau kau tak mau ting- galkan wilayahku,
tongkatku ini akan menumbuk ke- palamu sampai selembut serbuk
belingku tadi!"
"Oh, jadi aku memasuki batas wilayahmu, Nona?" Suto berlagak
kaget. "Tak perlu banyak mulut! Pergi sekarang juga!"
"Aku tak banyak mulut, Nona. Mulutku cuma satu. Mungkin kaulah
yang banyak mulut, karena mulutmu lebih dari satu!"
Si gadis menggeram, lalu mendengus satu hembusan. la segera
ambil sikap kuda-kuda menyerang. Pandangan matanya semakin tajam.
"Maaf, aku hanya bercanda, Nona!" ujar Suto Sinting dengan buruburu untuk menahan luapan kemarahan si gadis. Ia pun berkata lagi,
"Aku akan pergi setelah dapat bertemu dengan Nirwana Tria. Kau
kenal dia, Nona?"
"Ooh..."!" gadis itu terperanjat. Sorot pandangan matanya berubah,
tajam tapi penuh keheranan.
Suto membatin, "Sepertinya dia kenal dengan Nirwana Tria.
Hmmm, sebaiknya kupancing lagi dengan menyebutkan nama itu."
"Jika kau tahu di mana Nirwana Tria, tolong an- tarkan aku
padanya, Nona Cantik."
"Jangan sembarangan menyebutkan nama guruku. Bisa kurobek
mulutmu dengan tongkat ini!" gertak si gadis.
Kini justru Suto Sinting yang terkesip rnendengar kata-kata
tersebut. "Jadi, kau muridnya Nirwana Tria"!"
"Siapa kau sebenarnya, Bocah Lancang"!" sentak si gadis dengan
menampakkan kegalakannya.
"Aku adalah Suto Sinting, masyarakat muka bumi!"
Si gadis mundur satu langkah. Wajah cantiknya tampak sedikit
tegang. ia tidak langsung bicara, me- lainkan diam beberapa saat sambil
memperhatikan Suto lagi, memandang dari kepala sampai kaki. Yang dipandang justru menenggak tuaknya satu teguk. Badan terasa lebih segar
lagi. "Apakah kau mempunyai gelar di dunia persilatan ini"!"
"Pendekar Mabuk adalah gelarku!" tegas Suto Sinting.
"Ooh..."!" si gadis makin terperanjat dan lebih te- gang lagi.
Kakinya mundur dua langkah. Bersamaan dengan itu pancaran matanya
yang tajam penuh per- musuhan itu menjadi susut.
"Celaka! Kalau begitu aku berhadapan dengan orang yang salah.
Ternyata dia adalah si Pendekar Mabuk, sahabat Guru, yang sering
dibangga-bangga kan oleh Guru. Gawat! Guru bisa menghukumku dengan
hukuman berat jika ia mengadukan sikapku tadi!"
Kini si gadis justru rapatkan kedua kaki, turunkan tongkatnya
hingga ujung bawah menyentuh tanah, lalu sedikit membungkuk dengan
kepala tertunduk sekejap, pertanda memberi hormat.
"Ampunilah aku, Pendekar Mabuk. Hukumlah kelancanganku tadi,
asal jangan kau adukan tindakanku itu kepada Guru Tria."
Mulanya pendekar tampan itu heran melihat gadis itu memberi
hormat padanya. Tapi segera merasa geli setelah tahu bahwa si gadis
takut diadukan kepada gurunya.
"Aku tak akan adukan tindakanmu yang tak sopan tadi kepada
gurumu, asal kau mau sebutkan siapa namamu, Cantik"!"
"Namaku.... Riandawi, penjaga Lembah Surya ini," jawab si gadis
penuh hormat. Pendekar Mabuk lebar- kan senyum dan mendekat.
"Riandawi... hmm, nama yang aneh tapi menurutku itu nama yang cantik
juga. Sama seperti orangnya."
Riandawi menjadi kikuk, senyumnya canggung dan kaku sekali.
"Ternyata cerita Guru itu bukan sekadar mimpi kosong. Orang yang
bernama Pendekar Mabuk itu memang tampan dan mudah menggetarkan
hati wanita. Aduh, celaka kalau begini! Aku harus jaga jarak dengannya
agar batinku tak terialu berharap apa-apa dari hatinya," ujar Riandawi
membatin. Tapi bibirnya yang mungil ranum seperti bibir gurunya itu segera
berucap lain. "Sebaiknya, Tuan Pendekar Mabuk kuantar menemui Guru Tria
sekarang juga! Ikutlah aku, Tuan Pendekar!"
"Hei, hei...!" Pendekar Mabuk mencekal pundak Riandawi yang ingin
pergi. "Narnaku Suto Sinting, bukan Tuan Pendekar. Jadi, sebaiknya
panggil saja aku: Suto Sinting, atau Suto saja. Tapi jangan panggil aku
Sinting saja. Paham?"
Riandawi tersenyum dan mengangguk.
"Kau dan aku adalah sahabat. Teman. Bukan pelayan dan majikan,
bukan pula murid dan guru tetapi apa?"
"Teman!"
"Bagus!" puji Pendekar Mabuk.
Baru beberapa langkah mereka berjalan, tiba-tiba mereka
mendengar suara ledakan besar yang meng- J gema. Suara tersebut
terdengar sangat jelas, menan- I dakan sumbernya tak jauh dari tempat
mereka berada. Blaaamm...!! "Ledakan apa itu?" pancing Pendekar Mabuk.
"Kita lihat saja!" jawab Riandawi dengan cepat. Bahkan dengan
cepat pula ia melesat kembali arah. Pendekar Mabuk menyusulnya dengan
menggunakan separuh kekuatan jurus 'Gerak Siluman'-nya. Zlaaab....!
Di sebuah tanah datar, mereka melihat dua orang saling beradu
ilmu tanpa senjata. Keduanya sama-sama berusia sekitar empat puiuh
tahun. Mereka adalah seorang lelaki berpakaian abu-abu dengan kumis
lebat dan seorang perempuan berjubah merah dengan rambut disanggul.
Si lelaki bersalto cepat di udara sambil sentakkan telapak tangannya ke
arah lawannya. Sentakan telapak tangan itu tidak keluarkan cahaya
melainkan sembur- kan asap kuning tebal. Wuuuss...!
Perempuan berjubah merah sentakkan kakinya dan tubuhnya
segera melesat naik sambil kibaskan tangan bagai membuang sesuatu.
Wess...! Dari tangan itu keluar asap merah tebal dalam bentuk seperti
bola kaki. Asap merah itu terhantam asap kuning, kemudian terjadi
ledakan yang kedua sekeras tadi.
Biaaamm...! Dari ledakan itu timbul pancaran cahaya jingga yang menyebar
Nenek Bongkok 2 Neraka Hitam Seri Bara Maharani Karya Khu Lung Sumpah Palapa 22

Cari Blog Ini