Pendekar Mabuk 038 Telur Mata Setan Bagian 3
Belum sempat Suto Sinting menyapa, dua sosok lagi
muncul dalam satu lompatan bersama. Dua sosok itu tak
lain adalah Neraka Berjalan dan Roh Seribu Dewa.
Maka seketika itu pula Pendekar Mabuk dapat mengerti
bahwa mereka adalah orang-orang Bukit Kopong.
Melihat kemunculan Roh Seribu Dewa dan Neraka
Berjalan, gadis di atas pohon tidak mau tinggal diam.
Tak tega jika harus melihat Suto Sinting menghadapi
mereka sendirian. Teratai Kipas segera berdiri dua
langkah di samping kiri Suto Sinting, siap menghadapi
mereka bertiga.
"Kita bertemu lagi, Teratai Kipas!" kata Roh Seribu Dewa dengan suaranya yang
berat. Kumisnya yang
mirip sayap kelelawar itu diusap-usap, satu tangannya
lagi bertolak pinggang.
"Apakah Tiga Pengawal Iblis sudah ganti anggota
satu orang?" kata Teratai Kipas sambil melirik orang berpakaian loreng hitammerah itu. "Si Kumis Tengkorak memang menggantikan Japrak
Kurap yang kau bunuh ketika itu. Dan kini dia datang
untuk membalas dendam atas kematian iparnya!" ucap
Neraka Berjalan dengan rasa bangga dapat
menghadirkan si Kumis Tengkorak yang ilmunya lebih
tinggi dari mereka berdua.
"Mana yang tempo hari kau bilang unjuk gigi atas
kebolehannya bermain jurus cambuk itu, Neraka
Berjalan?" tanya Kumis Tengkorak dengan suara sedikit serak dan besar.
"Si tampan itulah yang pamer ilmu cambuknya!"
jawab Neraka Berjalan sambil melirik Pendekar Mabuk
yang tampak tenang-tenang saja.
Kumis Tengkorak berkata, "Kalau begitu, mundurlah kalian berdua, biar kuhadapi
anak ingusan itu!" Setelah bicara begitu ia pun maju dua langkah.
"Siapa namamu, Bocah Ingusan"!"
Suto Sinting hanya sunggingkan senyum tipis,
matanya memandang tajam namun tak berkesan ganas.
Si Kumis Tengkorak yang bermata cekung dan dingin
berkesan bengis itu tampak tak sabar menunggu jawaban
dari Suto Sinting, ia segera membentak dengan mata
menjadi lebar. "Kutanya siapa namamu, mengapa kau diam saja,
hah"! Apakah kau tuli"!"
Suto Sinting kian melebarkan senyum berkesan geli.
Matanya memandang Teratai Kipas sebentar, dan Teratai
Kipas yang menjawab pertanyaan itu.
"Namanya Suto Sinting! Apakah kau belum pernah
mendengar nama itu, Kumis Tengkorak"!"
"Tutup mulutmu, Gadis borokan! Aku bertanya
kepada bocah tolol itu! Bukan kepadamu!" bentak si
Kumis Tengkorak sambil maju selangkah.
"Sebelum menuju kepadanya, harus melalui aku.
Karena akulah pengawalnya!" Teratai Kipaa sengaja memancing kemarahan.
Kumis Tengkorak menggeram jengkel. "Mulut
lancang! Berani-beraninya kau menjadi pengawal bocah
tolol itu. Kau akan mati terbelah oleh cambukku, Teratai Kipaai"
"Tak jadi soal. Tapi sebelumnya aku ingin tahu,
mengapa kau marah-marah kepada Suto Sinting" Ada
persoalan apa?"
"Kau tak perlu tahu! Yang jelas kau telah membunuh iparku dan aku berhak
menuntut balas kepadamu. Hanya
satu syarat yang bisa membebaskan tuntutanku padamu,
yaitu menukarnya dengan Tongkat Tulang Barong milik
mendiang gurumu; Ki Selo Gantung!"
"Siapa pun tak akan mendapatkan tongkat itu!" kata Teratai Kipas dengan tegas
dan berani. Kedua tangannya bertolak pinggang, wajahnya terangkat tegak.
Si Kumis Tengkorak menggeram lagi. Setelah
menatap tajam-tajam, Kumis Tengkorak berkata dengan
kasar, tangannya menuding-nuding Teratai Kipas.
"Hati-hati...! Kupecahkan batok kepalamu tanpa
ampun lagi, Betina tolol! Heaaah...!" Tangannya
bergerak cepat menghempas ke depan. Wuuttt...!
Gelombang tenaga dalam tak bersinar dilepaskan
sebagai uji coba kekuatan Teratai Kipas. Tapi gadis itu pun tak kalah sigap, ia
pun melepaskan pukulan jarak
jauh tak bersinar. Bueeng...! Dua pukulan tenaga dalam
beradu di pertengahan jarak.
Teratai Kipas tersentak mundur dua langkah,
sedangkan Kumis Tengkorak hanya oleng ke kiri sedikit, tapi tidak bergeser dari
tempatnya. Saat ia bergerak
oleng itulah tiba-tiba jari tangan Suto menyentil dari jarak jauh secara diamdiam. Dees...! Jurus 'Jari Guntur'
dilepaskan. Jurus itu mempunyai kekuatan dua kali
tenaga kuda. Ternyata sentilan bertenaga dalam itu tepat kenai rusuk si Kumis
Tengkorak. Wuuutt...! Brrruk...!
Roh Seribu Dewa dan Neraka Berjalan terperanjat
melihat tubuh si Kumis Tengkorak terlempar terbang
dan membentur sebuah pohon dengan kerasnya. Tubuh
itu bagaikan sesuatu yang tidak terpakai lagi dan
dicampakkan begitu saja. Padahal Roh Seribu Dewa tahu
bahwa si Kumis Tengkorak adalah orang Bukit Kopong
yang tersulit ditumbangkan. Jarang jatuh dalam
pertarungan melawan siapa pun. Tetapi kali ini Kumis
Tengkorak dengan mudahnya dapat ditumbangkan,
bahkan dilemparkan dengan ringan sekali.
"Bangsaaatt...!" geram Kumis Tengkorak dengan mata mendelik dan kedua tangan
mengejang kuat-kuat.
Ia melangkah dekati Suto Sinting sambil mencabut
cambuknya. "Biar kuhadapi dia," kata Teratai Kipas.
"Mundurlah, ini bagianku," kata Pendekar Mabuk dengan tetap kalem. Teratai Kipas
menurut dan ia menepi ke bawah sebuah pohon di belakang Suto.
Kumis Tengkorak kibaskan cambuknya ke udara
sebagai gertakkan dan unjuk kepandaian. Satu kali
sabetan cambuk, suaranya menggelegar ke mana-mana.
Duaaarr...! Ujung cambuk itu memercikkan bunga api
warna merah. Daun-daun banyak yang berjatuhan
karena getaran suara cambuk tadi. Tapi hal itu justru membuat Suto Sinting
tersenyum lebar. Matanya melirik
ke arah Roh Seribu Dewa dan Neraka Berjalan, sebentar
kemudian memandang Kumis Tengkorak lagi.
"Aku tahu kau yang menyerangku!" kata Kumis
Tengkorak dengan tangan kiri menuding ke arah
Pendekar Mabuk. "Kau mau main licik rupanya!
Menyerang secara diam-diam sungguh perbuatan yang
amat memalukan, Bocah tolol! Jika kau jantan, lakukan
serangan secara terang-terangan
sepertiku ini, hweeeah...! Duaar...! Cambuk dilecutkan tepat ke arah pundak
Suto Sinting. Dengan jelas sekali Teratai Kipas melihat cambuk yang memercikkan
bunga api itu menyabet
pundak kiri Suto Sinting. Tetapi yang disabet diam saja dan tidak memberi
perlawanan, juga tidak menghindar
atau menangkisnya. Hal itu membuat Kumis Tengkorak
semakin penaaaran dan amarahnya berkobar.
"O, kau mau unjuk kesaktian sebagai orang kebal"
Baik! Terimaiah jurus 'Cambuk Gagak Biru' ini!
Hiaaah...!"
Duaar...! Cambuk itu memercikkan sinar biru dari
ujung sampai pangkalnya. Tampak cepat gerakan
lecutnya, jelas sekali menghantam dada Suto Sinting.
Tapi sang pendekar tampan itu tetap diam dalam senyum
lembut, tak bergeming sedikit pun.
Tetapi di sisi sana, Neraka Berjalan tersentak dan
terpekik tertahan,
"Aahg...!" ia memegangi dadanya yang mulai luka bagai terkoyak kuku-kuku beruang
ganas. Roh Seribu
Dewa menjadi heran dan kebingungan. Sementara itu, si
Kumis Tengkorak semakin jengkel. Maka cambuknya
pun melesat berulangkali, menghantam tubuh Suto bagai
menghujani dengan ledakan-ledakan bersinar biru itu.
Duar, duar, duar, duarrr...!
Pundak, punggung, perut, paha, sampai kaki Suto
Sinting dijelajahi dengan sabetan cambuk. Suaranya saja sempat membuat tumbuhtumbuhan di sekitarnya
bergetar. Tapi sang Pendekar Mabuk hanya diam saja,
tak bergeming sedikit pun. Hanya saja, di sisi belakang Kumis Tengkorak
terdengar raung pekikan beberapa
kali. "Aahhg...! Uuhg...! Aaahg...! Oooggh...! Uuhg...!"
Neraka Berjalan tersentak ke sana-sini dalam keadaan
koyak dan berdarah. Hal itu membuat Roh Seribu Dewa
berteriak yang membuat lecutan si Kumis Tengkorak
berhenti seketika.
"Hentikan! Hentikaaan...!"
Si Kumis Tengkorak terperangah memandang dua
arah bolak-balik; ke Neraka Berjalan dan kepada Suto.
Hatinya pun segera membatin, "Edan! Yang kuhajar bocah ingusan itu, tapi kenapa
yang kelojotan temanku
sendiri"! Luka-lukanya tepat di tempat yang
kucambukkan ke tubuh bocah ingusan itu"!"
Suto Sinting menenggak tuaknya. Tenang dan kalem,
seakan tak terjadi apa-apa pada dirinya. Mereka tak tahu bahwa Suto telah
pergunakan jurua ilmu 'Alih Raga', yang membuat seluruh luka diderita orang yang
mendapat pindahan raga dan rasa dari Pendekar Mabuk.
Dengan menggunakan pandangan mata yang tadi
dilakukan sebelum dicambuk Kumis Tengkorak, Suto
Sinting telah memindahkan rasa dan raganya kepada
Neraka Berjalan, sehingga yang merasakan sakit dan
luka parah adalah Neraka Berjalan, walau yang
dicambuk adalah raganya sendiri.
"Kau telah melukai teman sendiri, Kumis
Tengkorak!" teriak Roh Seribu Dewa dengan bingung.
Sementara itu Neraka Berjalan
jatuh terkapar.
Pakaiannya tercabik-cabik.
Kumis Tengkorak berang, tak mau dituduh melukai
teman sendiri. "Aku memukul bocah bodoh itu! Bukan memukulkan
cambuk kepada Neraka Berjalan! Kalau tak percaya,
lihat... kuhancurkan kepala bocah itu!"
Wuutt...! Duaaar...! "Jangaaan...!" teriak Roh Seribu Dewa panjang sekali. Tapi teriakan itu
terlambat. Kumis Tengkorak
sudah lebih dulu mencambukkan cambuknya ke arah
kepala Suto Sinting. Ujung cambuk itu menyala biru
terang dan kepala Neraka Berjalan pun hancur seketika dalam keadaan yang amat
mengerikan. Teratai Kipas tertegun di tempat bagaikan patung.
Jurus yang digunakan Pendekar Mabuk telah membuat
matanya tak bisa berkedip karena kagumnya. Jurus itu
dulu pernah diceritakan oleh gurunya; Selendang Kubur, dan baru sekarang menjadi
kenyataan di depan
hidungnya. Tak heran jika Teratai Kipas terbengong
melompong tak bisa bilang apa-apa ketika kepala Neraka Berjalan hancur bagaikan
mewakili kepala Suto Sinting yang dicambuk dengan kekuatan tenaga dalam itu.
Tentu saja Neraka Berjalan tak mau bernyawa lagi
karena kepalanya hancur. Seandainya bernyawa pun
percuma, karena ia tak akan bisa cuci mata lagi dalam keadaan sudah hancur remuk
begitu. Dan keadaan
tersebut makin membuat Kumis Tengkorak murka, Roh
Seribu Dewa cemas, takut kalau berikutnya giliran
kepalanya yang dihancurkan teman sendiri.
"Jangan serang dia! Jangan...!" teriak Roh Seribu Dewa. Tapi seruan itu tidak
dihiraukan oleh Kumis
Tengkorak yang sudah terselubung murka.
Cambuk diputar-putar di atas kepala. Makin lama
semakin menimbulkan suara menggaung. Lalu busabusa salju bertebaran seirama dengan arah putaran
cambuk loreng hitam-putih itu. Jelas yang akan terjadi adalah lecutan bertenaga
salju pembeku darah dan
penghenti detak jantung manuaia.
Sayangnya sebelum cambuk itu dilecutkan, tiba-tiba
seberkas sinar kuning menyerupai bintang melesat dari balik semak dan menghantam
dada Kumis Tengkorak.
Wuuttt...! Kumis Tengkorak dengan cepat mengarahkan
lecutan cambuk ke arah gerakan sinar kuning tersebut.
Tepat mendekati dirinya, ujung cambuk menghantam
sinar kuning. Blaaammm...! Gelegar dentuman sungguh dahsyat. Sinar kuning
kemerahan memercik lebar ketika ujung cambuk
menghantam sinar tersebut. Hentakan daya ledak sangat
kuat. Tubuh si Kumis Tengkorak terlempar lima tombak
jauhnya, melayang bagaikan sampah kering tersapu
badai. Sedangkan tubuh Roh Seribu Dewa juga
terlempar hingga membentur seonggok batuan cadas.
Bruusss...! Tubuh itu terasa remuk. Seluruh tulangnya bagaikan
patah-patah. Sedangkan tubuh Kumis Tengkorak
mengepulkan asap tipis, pakaiannya tercabik-cabik,
rusak berat. Rambutnya menjadi keriting sebagian
karena terbakar. Rupanya sinar kuning tadi
menyemburkan gelombang hawa panas yang tinggi pada
waktu meledak dihantam cambuk. Beberapa pohon
menjadi berkulit keriput karena dilanda hawa panas
menyerupai panasnya lahar gunung berapi.
Suto Sinting dan Teratai Kipas juga tersentak mundur
walau jaraknya tak terlalu dekat dari tempat terjadinya ledakan dahsyat tadi.
Hawa panas sempat dirasakan oleh mereka, namun tak begitu parah. Mereka segera
saling berdekatan, dan Teratai Kipas berbisik, "Ada yang memihak kita."
"Ya, aku tahu. Tahu siapa orangnya?" balas Suto Sinting dalam bisikan.
Kejap berikut dari arah datangnya sinar kuning tadi
Pendekar Mabuk 038 Telur Mata Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melesat dua sosok manusia yang sama-sama telah
dikenal pihak Suto serta pihak Kumis Tengkorak. Dua
orang itu tak lain adalah Menak Goyang bersama
gurunya; si Malaikat Miskin yang memegangi tongkat
bercabang tiga pada ujungnya.
Menak Goyang berdiri di samping gurunya, agak ke
belakang. Pinggulnya bergerak-gerak tak mau diam
sebentar pun. Tapi senyum dan pandangan matanya
tampak sedikit angkuh, seakan merasa bangga atas
serangan dari gurunya terhadap Kumis Tengkorak yang
dapat membuat alam sekitarnya menjadi layu dan
berkeriput kering.
"Malaikat Miskin...!" bisik Teratai Kipas. "Mengapa dia memihak kita?"
"Kita lihat saja apa yang terjadi," kata Suto Sinting dengan pelan.
Malaikat Miskin yang berusia sekitar delapan puluh
tahun dengan rambut putih dan jubah abu-abu itu
memandangi Kumis Tengkorak dan Roh Seribu Dewa.
Saat itu, keadaan Roh Seribu Dewa masih bisa bangkit
dan berdiri tegak, sedangkan Kumis Tengkorak
terhuyung-huyung dengan wajah hangus sebagian dan
berdirinya berpegangan pada pohon.
Roh Seribu Dewa berseru, "Paman Malaikat
Miskin...! Mengapa Paman ikut mencampuri urusan
kami"! Mengapa Paman Malaikat Miskin memihak
mereka"!"
Malaikat Miskin menjawab dengan suara dingin,
"Haruskah aku memihak para pencuri pusaka"!"
"Hati-hati dalam bicara, Paman! Jika Guru kami
Cukak Tumbila mendengar ucapan Paman, bisa-bisa
beliau murka kepada Paman Malaikat Miskin!"
"Bilang pada gurumu, aku akan datang mengobrakabrik Bukit Kopong!" tegas Malaikat Miskin dengan berwibawa. Orang yang gemar
memakai pakaian
bertambal-tambal walau tampak warna aslinya, segera
mendekati Roh Seribu Dewa dalam keadaan wajah tak
bersahabat. "Kuperintahkan kepada kalian untuk pulang sekarang juga dan bilang kepada Cukak
Tumbila, bahwa aku akan
mengobrak-abrik tempatmu itu! Lekas!"
Roh Seribu Dewa kebingungan dan gemetaran
kakinya. Tetapi si Kumis Tengkorak yang masih
memegangi cambuknya itu segera mencoba melawan
dengan melecutkan cambuk ke arah Malaikat Miskin.
Duaaar...! Tongkat bercabang tiga pada ujungnya diangkat,
cambut melilit di bawah cabang tongkat. Kemudian
tongkat itu disentakkan mundur. Wuuuttt...! Treess...!
Cambuk loreng hitam-putih itu putus menjadi beberapa
bagian. Kumis Tengkorak terbengong melompong.
Kemudian dengan gerakan bagaikan terbang miring,
wajah Kumis Tengkorak menjadi sasaran telak
tendangan kaki Malaikat Miskin yang punya gerakan
secepat kilat itu. Bruuuss...!
"Auuffh...!"
Gigi orang itu langsung rontok, mulutnya berdarah,
bibirnya pecah. Jelas tendangan itu bertenaga dalam
tinggi, karena jika tidak bertenaga dalam tinggi, mulut Kumis Tengkorak tak akan
sampai serontok itu. Tentu
saja Kumis Tengkorak mengerang sambil memaki tapi
tak jelas ucapan makiannya itu.
"Fuh, ahf... fuu, fah... uah, uah, hufiih...!"
"Bahasa mana yang dipakainya?" bisik Suto kepada Teratai Kipas.
Gadis itu menjawab, "Bahasa monyet purba," lalu tawanya terdengar mendesis.
Sementara itu, Roh Seribu
Dewa dan si Kumis Tengkorak segera larikan diri sambil membawa pergi mayat
Neraka Berjalan. Malaikat
Miskin tidak mengejarnya, melainkan berbalik arah dan
melangkah dengan penuh wibawa menuju tempat Suto
Sinting dan Teratai Kipas berkasak-kusuk.
"Mereka bukan lawan kalian!" katanya berkesan mengecilkan ilmu Pendekar Mabuk
dan Teratai Kipas.
"Lain kali jangan coba-coba melawan orang-orang seperti itu tanpa ada diriku
bersama kalian. Mereka tak segan-segan mencabut nyawa orang dan tak pernah
pandang bulu dalam membantai siapa pun!"
"Terima kasih atas pertolonganmu, Malaikat Miskin,"
kata Suto Sinting bersikap merendah. "Tapi jika boleh aku ingin tahu apa
gerangan yang membuatmu mau
menolong kami, sampai-sampai melepaskan jurus
mautmu untuk mengusir mereka itu?"
Sebenarnya Teratai Kipas ingin membantah
pernyataan Malaikat Miskin tadi. Ia merasa diremehkan
dengan ucapan seperti itu, ia ingin unjuk kekuatan dan memamerkan ilmunya Suto
Sinting. Tetapi melihat sikap
Suto merendah, Teratai Kipas urung melakukan
bantahan apa pun di depan Malaikat Miskin.
Menak Goyang masih menggerak-gerakkan kaki
kirinya dalam bertolak pinggang satu tangan, ia
menjawab pertanyaan Suto tadi sebelum gurunya bicara
lebih banyak lagi.
"Jika bukan karena budi baik Guru, kalian tak akan ditolong dari ancaman maut
Kumis Tengkorak dan Roh
Seribu Dewa itu!"
"Gurumu baik sekali, Menak Goyang," ujar Suto.
"Cuma sayang belum bisa menangkap pencuri pisau
pusakanya sendiri."
Malaikat Miskin segera menyahut kata, "Justru itu aku menyingkirkan mereka
berdua agar tak mengusik
nyawa kalian, karena aku bermaksud mengajak kalian
bergabung menangkap pencuri Pisau Tanduk Hantu!"
"Lho, bukankah selama ini sayalah yang dicurigai sebagai pencurinya?" kata Suto
Sinting dengan berpura-pura heran.
"Setelah kupertimbangkan baik-baik, ternyata apa yang kau katakan kepada
muridku; Menak Goyang itu
memang benar. Bukit Kopong adalah pusat Maling! Jadi
kurasa memang orang-orang Bukit Kopong itulah yang
mencuri Pisau Tanduk Hantu-ku itu."
"Jika kau menyerang Bukit Kopong berarti kau akan berhadapan dengan Cukak
Tumbila, saudara
seperguruanmu sendiri, Malaikat Miskin!" kata Teratai Kipas tanpa basa-basi
lagi. "Itu sudah kuperhitungkan. Karenanya aku tak perlu
membawa sepasukan muridku untuk menyerang ke
Bukit Kopong. Cukup kita berempat, mereka akan kita
buat morat-marit tak bernyawa lagi."
"Kita berempat?" sahut Suto Sinting bernada heran.
"Maksudmu aku dan Teratai Kipas harus ikut menyerang orang-orangnya Cukak
Tumbila"!"
"Kejahatan dibalas dengan kejahatan, dan kebaikan pun dibalas dengan kebaikan.
Jika aku tadi telah
menolong kalian dari ancaman maut si Kumis
Tengkorak, apa salahnya jika kalian membalas
pertolonganku itu dengan membantuku menyerang Bukit
Kopong?" Teratai Kipas mencibir dan membatin, "Hmmm...
licik sekali dia! Padahal tanpa bantuannya, sebenarnya Suto Sinting dapat
menyingkirkan Kumis Tengkorak
dengan mudah sekali! Malaikat Miskin hanya sekadar
cari dukungan, dan agaknya ia tahu bahwa Suto Sinting
punya ilmu cukup tinggi yang bisa diandalkan untuk
menghadapi Cukak Tumbila."
Tetapi Pendekar Mabuk yang baru saja menenggak
tuaknya menjawab dengan bahasa yang rendah.
"Apakah kau tak salah pilih, Malaikat Miskin" Kami melawan Kumis Tengkorak saja
tak mampu, apalagi
harus melawan orang-orang Bukit Kopong?"
Malaikat Miskin merasa terpojok oleh kata-katanya
sendiri, ia menarik napas sambil mencari alasan kuat
untuk membujuk Suto Sinting. Akhirnya ia berkata
dengan jarak lebih dekat lagi,
"Kau dan Teratai Kipas memang tak seberapa tinggi
ilmunya, tapi jika kekuatan kalian digabungkan dengan kekuatanku, maka akan
menjadi kekuatan besar yang
maha dahsyat! Cukak Tumbila dan orang-orangnya tak
akan bisa menandingi kekuatan kita!"
Suto Sinting tertawa kecil seperti mereka tersipu
malu. "Kau hanya membesarkan hatiku saja, Malaikat
Miakin. Seperti anggapanmu sendiri, aku bukan orang
hebat yang punya ilmu tinggi, ilmuku tidak ada sekuku hitam dari ilmumu.
Penggabungan ini hanya akan sia-sia saja, Malaikat Miskin. Kurasa kau bisa
menempuhnya dengan cara lain, yaitu berunding baik-baik dengan
Cukak Tumbila, meminta pisaumu dikembalikan,
mendesaknya agar memaksa salah satu orangnya untuk
mengaku sebagai pencuri pisau pusaka itu."
Wajah tokoh tua yang licik itu tampak gelisah.
Agaknya bujukannya nyaris menemui jalan buntu.
Bahkan di hatinya sempat timbul niat untuk memaksa
dengan sebuah ancaman baru; menyandera Teratai Kipas
agar Suto mau ikut menyerang ke Bukit Kopong.
Namun sebelum niat itu dijalankan, tiba-tiba Malaikat
Miskin terpaksa membalikkan badan seketika dan
menyentakkan tangan kirinya. Ternyata ada kilatan
cahaya hijau bening yang menyambar ke arahnya dari
belakang. Cahaya hijau bening itu dihantam dengan
cahaya merah yang keluar dari tengah telapak tangan
kanannya. Wuuutt...!
Blegaaar...! Pepohonan bergetar karena gelombang ledakan yang
besar. Asap hitam mengepul dari hasil ledakan tadi.
Ketika asap hitam lenyap, tampaklah dua sosok tubuh
berdiri di seberang sana memandang ke arah Malaikat
Miskin. Mereka adalah Resi Pakar Pantun dan
pelayannya, Kadal Ginting.
Teratai Kipas mengeluh di samping Suto, "Yaaah... si tikar rombeng lagi!"
Suto Sinting hanya tertawa geli tanpa suara. Matanya
melirik Teratai Kipas yang juga menahan tawa dalam
senyum dan geleng-gelengkan kepala.
Terdengar suara Resi Pakar Pantun mengawali
sapaannya, "Tikar rombeng dibuat alas bertapa
Sekali bertapa mudah tertawa
Cukup lama kita tidak berjumpa
Sekali berjumpa harus mengadu nyawa."
Di sisi lain Teratai Kipas kembali berbisik kepada
Suto, "Benar apa kataku, bukan"! Tikar rombeng lagi...!"
"Ssst...! Diamlah. Kita ingin tahu apa masalah yang membuat sang Resi ingin
mengadu nyawa dengan
Malaikat Miskin. Setelah tahu masalahnya kita pergi
diam-diam, tak perlu ikut campur urusan ini."
Suara Malaikat Miskin menggelegar lantang, "Apa maksudmu berpantun demikian,
Resi Pakar Pantun"!
Kau menantangku beradu nyawa"!"
"Tikar rombeng terpaksa harus disewa
Robek sedikit tak akan ada pembeli
Hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa
Hutang pusaka harus direbut kembali!"
Kemudian Resi Pakar Pantun melangkah lebih dekat
lagi dan berkata,
"Kau telah membunuh adikku beberapa tahun yang
silam dan merebut pusaka Pisau Tanduk Hantu. Pusaka
itu adalah pusaka warisan dari leluhur kami. Cukup lama aku mencarimu, Malaikat
Miskin, baru sekarang tiba
saatnya kita bertemu. Maka jangan heran jika aku ingin mengadu nyawa denganmu
demi membalas kematian
adikku dan merebut pusaka leluhur kami itu!"
"Pusaka itu telah hilang, tidak di tanganku lagi!"
bentak Malaikat Miskin dengan garang.
"Tikar rombeng hanyut di air berbusa
Burung camar lupa akan induknya
Tampang miskinmu memang harus dipaksa
Agar pusaka kembali ke tangan pemiliknya!"
Malaikat Miskin menggeram penuh kemarahan, lalu
berseru, "Menak Goyang, habisi mereka!"
Resi Pakar Pantun pun berkata, "Kadal Ginting,
hadapi dia!"
"Tikar rombeng dipakai...."
"Hadapi diaaa...!" bentak sang Resi.
"Baik, Eyang! Hiaaatt...!" Kadal Ginting melompat bersalto dua kali. Begitu
mendaratkan kakinya ke tanah di sambut tendangan berputar oleh Menak Goyang.
Wuuukk...! Kadal Ginting merendah dan merunduk
sehingga kaki itu lolos dari kepalanya. Kedua tangan
segera bertumpu di tanah, dan kakinya menyabet
berputar ke depan. Wuuutt...! Plak...! Kaki Kadal
Ginting menyambar kaki Menak Goyang.
Brruus...! Menak Goyang jatuh terpelanting, dan
Kadal Ginting segera melompat berdiri tegak dengan
satu kaki diangkat dan dua tangan yang menguncupkan
jari-jarinya itu merentang ke samping bagaikan sayap
burung perkasa.
"Jurus tikar rombeng...!" serunya, lalu tangannya berkelebat sibuk sendiri
memainkan gerakan jurus yang
tak dimengerti lawan. "Heeaaat...!"
Selebihnya Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas tak
mengetahui, siapa yang unggul dalam pertarungan itu.
Karena kejap berikutnya Pendekar Mabuk dan Teratai
Kipas telah jauh dari mereka, meninggalkan tempat itu menuju sebuah gua yang
menjadi tempat penyimpanan
Telur Mata Setan.
Teratai Kipas tak tahu persis, gua yang mana yang
dimaksud oleh Nyai Guru Betari Ayu itu. Tetapi ia tahu bahwa di lereng timur
gunung tersebut memang terdapat
banyak gua yang biasa digunakan untuk bertapa.
"Kita harus menemukan gua itu dan mendapatkan
Telurnya sebelum si Tikar Rombeng selesai bertarung
dengan Malaikat Miskin," kata Suto kepada Teratai Kipas. Gadis itu hanya
menggumam, dan segera
hentikan langkahnya dengan merentangkan tangan
sebagai tanda bahwa Suto pun diperintahkan untuk
berhenti.
Pendekar Mabuk 038 Telur Mata Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ada apa?" tanya Suto dengan heran.
"Semak di depan sana bergerak-gerak aneh. Aku
curiga di semak-semak itu ada seseorang yang
menunggu kedatangan kita!"
Pendekar Mabuk pandangi semak-semak yang
dimaksud, dan ia hanya menggumam lirih sambil
manggut-manggut. Lalu ia berkata pelan,
"Dugaanmu memang benar. Aku mendengar detak
jantung lebih dari dua orang!"
"Siapa mereka dan apa maunya menghadang kita"
Padahal kita sudah dekat dengan lereng gua-gua yang
akan kita tuju itu."
* * * 7 EMPAT orang berpakaian sama muncul dari balik
semak belukar itu. Empat orang tersebut agaknya empat
prajurit yang mempunyai tugas tersendiri di tempat itu.
Mereka mengenakan celana kuning bergaris merah
dengan rompi kuning bertepian benang berenda merah.
Masing-masing berusia sekitar dua puluh lima tahun.
Hanya satu yang agak tua dan berkumis tebal, usianya
sekitar tiga puluh tahun lebih sedikit. Si kumis tebal itulah yang mendekati
Pendekar Mabuk dan bicara
mewakili ketiga rekannya.
"Apakah kau tahu siapa mereka?" bisik Suto Sinting kepada Teratai Kipas.
"Hmm... eh... tidak," jawab Teratai Kipas dengan cemas dan gelisah. "Tapi
dilihat dari pakaian
seragamnya, mereka pasti prajurit dari sebuah negeri
yang... yang... entahlah dari negeri mana. Coba kau
tanyakan saja padanya!"
Si kumis lebat yang bersenjatakan pedang di
pinggang itu menyapa dengan suara tegas dan lantang.
"Maaf, Tuan muda...! Siapakah Tuan dan ada
keperluan apa datang ke wilayah ini" Mohon Tuan sudi
menjelaskannya."
"Namaku Suto, aku mau mencari gua untuk bertapa,"
jawab Suto Sinting sekadar melegakan hati si penanya.
"Kumohon Tuan jangan melintasi wilayah ini, karena wilayah ini tertutup untuk
sementara. Raja kami sedang bertapa. Silakan Tuan muda mencari tempat lain yang
diperlukan."
Suto Sinting berbisik kepada Teratai Kipas, tapi agak
terkejut melihat Teratai Kipas ada di bawah pohon, bagai menyembunyikan diri di
sana. Suto Sinting terpaksa
mendekatinya, memandangi wajah cemas si gadis cantik
itu. "Teratai..., kenapa kau" Takut menghadapi mereka?"
"Tid... tidak. Aku tidak takut."
"Mengapa kau gelisah dan sedikit pucat?"
"Hmm... anu... terus terang saja, prajurit yang
memegang tombak berujung pedang itu mirip sekali
dengan bekas kekasihku. Aku tak mau melihatnya. Kau
saja yang berhadapan dengan mereka."
Suto Sinting tersenyum geli. "Hatimu terlalu lembut untuk sebuah kenangan lama,
Teratai Kipas. Tapi...
baiklah akan kuhadapi sendiri. Hmmm... o, ya...
bukankah Nyai Guru Betari Ayu menyebut-nyebut gua
yang dipakai untuk bertapa seorang raja?"
"Hmm... iya, benar. Di dalam gua itulah Telur Mata Setan berada."
"Tapi mereka melarang kita ke sana! Apakah aku
harus menerjang larangan itu" Menurutmu bagaimana,
Teratai Kipas?"
"Menurutku ya... ya terjang saja. Terserah kamu,"
Teratai Kipas menjawab tanpa pertimbangan apa-apa
hanya sekadar menutupi keadaan dirinya yang dicekam
kegelisahan. Sebelum kembali menemui prajurit berkumis lebat,
Suto Sinting menenggak tuaknya dulu. Tiga tegukan
sudah cukup baginya. Badan terasa segar dan wajahnya
berseri-seri. Dengan senyum tipis ia berkata kepada
prajurit itu. "Aku harus menemui rajamu."
Prajurit itu terkejut. "Apa maksudmu sebenarnya,
Tuan muda?"
"Ada yang ingin kuambil dari gua tempat rajamu
bertapa!" "Oh, itu sangat tidak mungkin, Tuan muda. Tugas
kami adalah menjaga Prabu Wiloka yang sedang bertapa
agar tidak terganggu. Sekarang Tuan muda justru datang ingin bertemu Prabu
Wiloka, itu tidak mungkin, Tuan
muda!" Prajurit itu sekalipun berkumis lebat namun tergolong
prajurit yang sopan dalam tutur katanya. Karena itu Suto Sinting tak berani
bersikap kasar sedikit pun, ia bahkan bersikap lebih merendahkan diri dan hatihati. "Barangkali jika Prabu Wiloka
mengetahui keperluanku, beliau akan memaklumi, mengapa aku
datang mengunjungi beliau dan mengganggu bertapanya.
Aku butuh pertolongan Prabu Wiloka, karena aku
manusia biasa yang tidak luput dari kekurangan, masih
membutuhkan bantuan pihak lain. Jadi izinkan aku
menemui Prabu Wiloka. Ini sangat penting!"
Prajurit itu gelengkan kepala dengan senyum tipis.
"Tetap tidak bisa, Tuan muda. Jangan memaksa!"
"Bagaimana jika aku nekat menemui beliau?"
"Dengan penuh sesal kami akan bertindak sedikit
keras, Tuan muda!"
"Kalau begitu, baiklah. Aku akan nekat menemui
beliau." Suto Sinting melangkah maju, prajurit itu segera
bergerak cepat menendangkan kakinya ke arah samping.
Wuuut...! Plaak...! Suto Sinting menangkisnya dengan
kibasan tangan ke belakang. Kaki itu terbuang,
sentakannya keras sekali hingga orang berkumis lebat itu terpelanting.
Brrukk...! ia jatuh dan dibiarkan oleh Suto, tidak diserang lagi. Padahal jika
Suto mau, sekali
serangan saja orang itu bisa lumpuh selamanya
Tiga prajurit bersenjata tombak segera menyerang
Suto Sinting dari belakang. Mereka melompat dan
berteriak bersama-sama.
"Heeeaah...!"
"Hentikan!" bentak Suto Sinting.
Buurrrtk...! Mereka hentikan lompatan dan saling
berjatuhan sendiri-sendiri. Suto Sinting dipandang oleh mereka, termasuk si
kumix lebat. "Jangan ada yang melarangku! Mengerti"!"
"Mengerti!" jawab mereka serentak, termasuk kumis
lebat. Di balik pohon, Teratai Kipas memandang penuh
keheranan. Hatinya berkecamuk membatin keanehan
yang dilakukan Suto Sinting itu.
"Ilmu apa lagi yang digunakan Suto" Prajurit-prajurit itu menjadi takut,
menunduk dan menurut dengan
perintahnya" Ini benar-benar aneh. Padahal mereka
dididik pantang menyerah. Tapi hanya dengan satu kali
bentakan, mereka menjadi seperti dikebiri, tak punya
keberanian menyerang sedikit pun?"
Teratai Kipas tak tahu bahwa Suto Sinting, si
Pendekar Mabuk itu mempunyai ilmu yang aneh-aneh,
sehingga disebutnya 'sinting'. Di sinilah salah satu letak dari kesintingan
Suto. Ia menguasai ilmu 'Sentak
Bidadari'. Dengan getaran gelombang suara yang
menyerang jiwa seseorang, Suto Sinting bisa membuat
orang itu tunduk, keberaniannya menjadi surut. Ilmu itu hanya bisa digunakan
untuk orang-orang yang tidak
berilmu tinggi. Jika para prajurit bisa dibuat tunduk dan menurut, berarti
mereka tidak berilmu tinggi.
"Antarkan aku menemui Raja! Katakan bahwa aku
punya masalah penting dan sangat membutuhkan
bantuannya demi menyelamatkan jiwa seseorang!"
"Baik, Tuan muda!" jawab prajurit berkumis lebat.
Suto Sinting melambaikan tangan kepada Teratai
Kipas, tapi gadis itu tak mau jalan. Suto terpaksa
mendekatinya dan berkata pelan,
"Jiwa mereka sudah kukuasai. Mereka akan antarkan kita ke goa itu!"
"Pergilah sendiri."
"Teratai..."! Mengapa kau jadi begini?"
"Aku... aku akan melintasi jalan lain. Kalau sewaktu-waktu kau dalam bahaya, aku
bisa datang membantumu.
Kalau kita bersama-sama, kita akan terperangkap dan
tersergap bersama pula. Kita berpencar, tapi aku tak
akan jauh-jauh darimu. Percayalah! Aku tak akan lari
meninggalkan dirimu, Sutol"
"Suatu pemikiran yang bagus," kata Suto Sinting sambil tersenyum. Tapi batinnya
berkata lain, "Aku tahu, kau menderita batin jika berjalan dengan prajurit yang
mirip kekasihmu itu. Aku tak mau menyiksamu. Aku
tahu betul rasanya derita batin yang timbul karena
kenangan masa lalu. Baiklah, Teratai... jaga dirimu juga agar jangan sampai
terperangkap hal-hal yang tidak kita inginkan bersama...."
Teratai Kipas segera pergi tinggalkan tempat itu
ketika Suto Sinting berjalan didampingi keempat prajurit tadi. Ilmu 'Sentak
Bidadari' membuat Suto seperti
seorang tamu agung yang dikawal ketat dan dijaga
keselamatannya. Sampai akhirnya mereka tiba di depan
sebuah gua yang rupanya punya penjagaan lebih ketat
lagi. Sejumlah prajurit berkeliaran di sana, malah ada yang mendirikan tenda
untuk giliran tugas jaga. Jumlah prajurit yang ada di sana lebih dari dua puluh
orang. Melihat kedatangan Suto Sinting didampingi empat
prajurit, mereka menyangka keempat prajurit
menemukan seorang mata-mata. Para prajurit lainnya
segera bergerak cepat. Dalam waktu singkat mereka
sudah mengurung Suto Sinting dan keempat prajurit itu.
Dua orang berbadan tinggi besar yang menjaga pintu gua memandang ke arah
kepungan tersebut. Salah satu yang
berbadan kekar, berkepala gundul dan mengenakan
rompi hitam, celana hitam, segera datang mendekati
kepungan. Orang itu menyandang pedang besar tanpa
sarung yang diselipkan di sabuk hitamnya. Wajah orang
itu tampak menyeramkan. Alisnya tebal, matanya lebar.
Barangkali dia adalah pengawai Prabu Wiloka yang
terpercaya dan berilmu tinggi.
"Gutomo!" seru si gundul berkumis lebat juga itu.
"Mata-mata dari mana yang kalian tangkap itu?"
Gutomo, prajurit yang berkumis lebat dan tadi sempat
dijatuhkan oleh Suto Sinting itu berkata dengan sedikit cemas.
"Dia bukan mata-mata. Tuan muda ini bermaksud
baik, Mugowira! Tuan muda ini bernama Suto Sinting
dan ingin bertemu dengan Prabu Wiloka."
"Goblok!"
Glepoook...! Gutomo ditampar keras oleh Mugowira
yang berbadan kekar itu. Sekali tampar ditanggung
melintir tiga kali. Wajah Gutomo merah bagaikan buah
yang matang di pohon.
"Sudah kuingatkan, jangan sampai ada orang yang
mendekati gua ini! Mengapa kau malah membawa
orang"! Goblok sekali kau, Gutomo!"
"Mak... maksudnya... Tuan muda ini ingin minta
bantuan kepada Prabu Wiloka untuk menyelamatkan
jiwa seseorang!"
"Tak peduli apa pun alasannya, pulangkan dia!"
bentak Mugowira.
"Ak... aku... aku tidak berani menyuruhnya pulang, Mugowira."
"Pengecut! Prajurit macam kau pantasnya digites
saja! Huhh...!" tangan Mugowira menghantamkan
tinjunya ke wajah Gutomo. Namun sebelum tinju itu
menyentuh wajah, Suto Sinting kirimkan sentilan 'Jari
Guntur'-nya yang tepat kenai pergelangan tangan
Mugowira. Tees...! Duub...!
"Aauh...!" pekiknya kaget sampai melonjak dengan wajah menyeringai. Tangan itu
bagaikan ditendang kuda
dan bengkak sampai ujung siku.
"Jahanam kau!" geram Mugowira penuh dendam, ia segera tarik napas dalam-dalam
dan menggerakkan
tangan kirinya menjadi keras, menyalurkan hawa murni
untuk kurangi rasa sakit pada tangan kanannya itu.
Sementara para prajurit lainnya sudah bersiap-siap
melepaskan tombak dan senjata apa pun yang bisa
dilemparkan ke arah Suto Sinting. Namun kali ini, ilmu
'Sentak Bidadari' digunakan lagi oleh Suto untuk
mengurangi pertikaian yang akan membawa korban.
"Letakkan semua senjata kalian! Letakkan!" bentak Suto Sinting.
Satu demi satu mereka mundur. Perlahan-lahan
senjata mereka diletakkan di tanah bagaikan dalam
keraguan. Mugowira memandang dengan heran, ia
mencoba memberi semangat kepada para prajurit dengan
berseru, "Serang dia, Seraaang...!"
Para prajurit segera ambil senjata masing-masing
yang sudah telanjur ditaruh di tanah. Tapi begitu mereka mau mengambilnya, suara
Suto Sinting terdengar lagi
berseru membentak,
"Mundur semua!"
Wuuurrt...! Dengan serentak mereka mundur
tinggalkan senjata maaing-masing. Mugowira mulai
paham siapa yang dihadapi. Pasti bukan pemuda
sembarangan. Dan Suto Sinting pun mulai menyadari
bahwa orang gundul bertubuh kekar itu tentunya orang
berilmu tinggi, buktinya ilmu 'Sentak Bidadari' tidak berhasil mempengaruhi
jiwanya menjadi takut dan
penurut seperti para prajurit lainnya itu.
"Apa maksudmu bikin keributan di sini"!" sentak Mugowira kepada Suto.
"Seperti kata Gutomo tadi, aku butuh bantuan Prabu Wiloka."
"Tidak seorang pun boleh menemui Prabu Wiloka!"
"Aku sangat butuh bantuan sang Prabu."
"Apa pun alasanmu, sebaiknya kau pulang saja!"
"Aku tidak mau pulang sebelum bertemu sang Prabu
Wiloka!"
Pendekar Mabuk 038 Telur Mata Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau begitu aku harus memaksamu dengan cara
kasar!" "Aku menerima caramu, Mugowira!"
Mugowira melangkah
ke samping mencari
kelengahan Suto Sinting. Dengan tenang Suto Sinting
sengaja menenggak tuak memancing kelengahan supaya
diserang. Pancingannya berhasil, Mugowira melepaskan
pukulan jarak jauh dengan sinar putih berkerilap dari tangan kanannya.
Claaap...! Suto Sinting segera berlutut.
Bumbung tuak dihadangkan ke arah lajunya sinar putih
itu. Maka sinar tersebut menghantam bumbung tuak.
Deeb...! Ternyata sinar itu memantul balik lebih cepat dan lebih besar lagi.
Wuuuutt...! Mugowira kaget. Kaki segera menyentak ke tanah, tubuh melayang naik.
Wuuss...! Sinar putih menghantam dinding tebing
berjarak lima tombak dari pintu gua.
Blegaaaarr...! Beberapa prajurit terpental karena sentakan daya
ledak yang menggema dahsyat itu. Mugowira
terbengong melihat sinar putihnya nyaris meruntuhkan
dinding batu tebing. Sebagian bebatuan di atas sana
bergulir longsor. Seorang penjaga yang tinggal di mulut gua sendirian memandang
kagum pada apa yang terjadi.
Penjaga itu semula berdua dengan Mugowira, tapi ketika mendengar gelegar yang
dahayat, ia menjadi ragu-ragu untuk datang membantu Mugowira. Jika ia ke sana
berarti ia meninggalkan mulut gua. Padahal mulut gua harus tetap dijaga supaya
tidak dimasuki pihak lain yang akan mengganggu tapa sang Prabu Wiloka. Orang itu
jadi gelisah dan salah tingkah, mondar-mandir di depan pintu gua dengan tubuhnya
yang juga kekar sudah siap
mencabut pedang di punggungnya.
"Edan! Pukulanku bisa berbalik arah dan menjadi sedahsyat itu"! Padahal pukulan
tadi hanya akan
membuatnya lumpuh, tak bisa menghancurkan benda
apa pun. Tapi... kenyataannya pukulanku tadi hampir
saja membelah dinding batuan sekeras itu"!" pikir Mugowira dengan terheranheran. Suara dentuman tadi ternyata membangunkan masa
bertapa sang Prabu Wiloka, raja Negeri Majageni.
Melihat sang Prabu keluar dari gua, semua prajurit
menunduk dalam ketakutan dan penuh hormat. Wajah
sang Prabu yang berpakaian putih mirip pendita itu
kelihatan sedang menahan marah, ia melangkah
didampingi penjaga pintu gua yang berpakaian merah
dengan hiasan rompi biru tua, rambut panjang sepundak
diikat dengan ikat kepala kain biru pula.
"Mugowira! Apa yang terjadi hingga membatalkan
tapaku"!"
Mugowira membungkukkan badan penuh hormat,
"Ampun, Prabu... seorang anak muda memaksa ingin
bertemu Kanjeng Prabu dan membuat keonaran di sini!"
Prabu Wiloka memandang tajam kepada Suto, yang
dipandang justru membungkukkan badan memberi
hormat sebagai tanda kesopanannya juga. Setelah Suto
Sinting berdiri dengan tegak lagi, Prabu Wiloka
menyapa dengan suara tegas, bernada geram sebagai
tanda kemarahan yang terpendam.
"Siapa dirimu, sehingga berani mengganggu mas
bertapaku"!"
"Namaku Suto Sinting, sang Prabu! Aku...."
"Tunggu!" sergah Prabu Wiloka tanpa mahkota.
"Sepertinya nama itu pernah kudengar dari mulut para tokoh sakti yang berkunjung
ke Negeri Majageni!"
"Mungkin hanya kesamaan nama yang secara
kebetulan saja, Prabu. Yang jelas, kedatangan saya
kemari ingin masuk ke gua itu untuk mengambil sesuatu
yang amat berharga bagi jiwa orang lain."
"Lancang betul maksudmu"!"
"Maafkan saya, Prabu Wiloka. Saya terpaksa lakukan demi menolong jiwa seorang
sahabat yang terkena
Racun Ludah Naga!"
Prabu Wiloka tersentak kaget. Cepat-cepat ia
sentakkan tangannya ke arah mulut gua. Dan tiba-tiba
sinar kuning melesat dari tangan itu, menghantam tepian pintu gua, lalu menyebar
membentuk seperti jala.
Craaab...! Sinar kuning itu tetap menyala sebagai
penghalang masuk ke dalam gua.
"Kalau kau berani masuk ke dalam gua, maka
tubuhmu akan hangus seketika oleh sinar kuning
penjerat sukma itu!" kata Prabu Wiloka.
"Apa maksud Prabu Wiloka memasang sinar penjerat
sukma itu"!"
"Tak kuizinkan siapa pun memasuki gua yang sedang kugunakan untuk bertapa itu!
Jika ia nekat masuk,
berarti ia nekat bertaruh nyawa!"
"Rasa-rasanya saya memang terpaksa
mempertaruhkan nyawa demi sahabat yang menderita
Racun Ludah Naga itu, Prabu!"
"Racun Ludah Naga hanya dimiliki oleh Syakuntala, Panglima dari tanah Hindus!"
katanya mencoba
membeberkan pengetahuannya.
"Memang benar. Syakuntala itulah yang membuat
tubuh sahabat saya menyusut dan kian lama kian
menjadi seperti bocah cilik, Prabu. Tetapi di dalam gua itu ada obat yang harus
kuambil dan diminumkan kepada
sahabat saya itu!"
Prabu Wiloka diam sesaat, ia mulai bimbang. Setelah
berjalan mondar-mandir beberapa saat, Prabu Wiloka
berkata, "Tidak! Siapa pun tetap tidak kuizinkan masuk. Kalau kau nekat, kau akan
berhadapan dengan Mugowira dan
Mahesa Sulung," sambil menunjuk penjaga berpedang di punggung dan berpakaian
merah dengan rambutnya
yang panjang itu.
"Kalau memang saya harus diadu dengan mereka,
saya tidak keberatan, Prabu. Tapi saya mohon kerelaan
Prabu jika sampai kedua pengawal Prabu cedera atau
bahkan tewas di tangan saya!"
"Jangan sesumbar dulu, Suto Sinting!" geram Prabu Wiloka. "Mahesa Sulung,
Mugowira... hadapi dia!"
Mugowira maju lebih dulu. Ia melompat dari sisi
kanan ke tengah lingkaran pengepung, karena para
prajurit masih mengelilingi Suto Sinting membentuk
pagar betis berlingkaran lebar. Prabu Wiloka sendiri undurkan diri, memberi
tempat lega untuk pertarungan
Suto dan Mugowira.
Tangan Mugowira mengeras membentuk cakar. Lalu
jurus-jurus cakar harimau dimainkan dengan gesit.
Sementara itu Suto Sinting diam saja dengan bumbung
tuaknya ada di tangan kanan, melilit talinya di tangan itu.
"Hiaaat...!" Mugowira menyerang dengan pukulan bercakar secara beruntun. Tapi
Suto Sinting tetap diam di tempat, menghindar dengan cara meliuk-liukkan
tubuhnya seperti gerakan orang mabuk. Kadang ia
menangkis dengan kibasan tangan seperti orang mau
jatuh. Dan pada satu kesempatan, tangan kiri Suto
menghantam masuk ke dada Mugowira. Buuehg...!
"Huuhgg...!" Mugowira terpekik berat, tubuhnya yang besar terpental terbang
hingga ke tepian garis
lingkar, nyaris menjatuhi seorang prajurit. Tubuh besar itu bagaikan terbanting
dengan telak. Suara jatuhnya pun menimbulkan bunyi berdebum yang membuat tengkuk
para prajurit merinding.
Darah keluar dari mulut. Tak seberapa banyak,
namun memancing kemarahan Mugowira lebih besar
lagi. Maka ia pun segera bangkit dan mencabut pedang
besarnya yang bergagang ukir dengan rumbai-rumbai
benang merah. "Hiaaatt...!" teriakannya memanjang, ia berlari sambil siap-siap menebaskan
pedangnya. Dan dalam jarak
tertentu ia melompat cepat, wuuuttt...! Pedangnya
ditebaskan ke leher Suto Sinting. Wuuung...! Duaaar...!
Terdengar bunyi ledakan yang mengejutkan Prabu
Wiloka. Ledakan itu timbul akibat gerakan pedang besar dihadang oleh bumbung
tuak. Pedang besar itu langsung
patah menjadi dua bagian. Mugowira terbelalak
bengong. Saat itulah kaki Suto Sinting menendang ulu
hati Mugowira dengan telak. Duuuss...!
"Nggekkk...!" tubuh besar itu melengkung ke depan,
punggungnya ke belakang. Tubuhnya melayang lagi
sambil memuntahkan darah merah. Brrukk...! ia jatuh
dalam keadaan terkulai lemas.
"Prabu Wiloka!" seru Suto. "Kumohon jangan timbulkan korban lagi. Kedatanganku
bukan untuk membuat kematian di antara para pengawalmu!"
"Mahesa Sulung, maju...!" teriak Prabu Wiloka yang agaknya semakin marah melihat
salah satu dari dua
pengawal andalannya dirobohkan oleh Suto.
Mahesa Sulung segera mencabut pedangnya dari
punggung, ia tampak lebih kalem dari Mugowira. Jurus pedang segera dimainkan di
depan Suto Sinting. Tetapi
agaknya Suto Sinting ingin perlihatkan tingkatan
ilmunya yang lebih tinggi lagi dari jurus yang sudah
digunakan untuk melawan Mugowira tadi. Suto Sinting
sengaja menenggak tuaknya, memancing kelengahan
agar segera diserang lawan. Kali ini ia menyisakan tuak di dalam mulut, dikumurkumurnya sebelum akhirnya ia
terpaksa harus melompat bersalto mundur ketika Mahesa
Sulung menebaskan pedangnya yang bergerak bagaikan
kilat itu. Wut, wut, wut, wut, siaap...!
Beberapa tebasan berhasil dihindari Suto Sinting, dan
satu kesempatan bagus diperoleh sang pendekar tampan.
Tuak dalam mulutnya disemburkan ke arah pedang
Mahesa Sulung. Bwweerrsss...!
Claap...! Mahesa Sulung terbengong seketika, diam bagaikan
patung dengan tangan hampa, tanpa pedang tanpa
senjata apa pun. Pedang itu lenyap setelah disembur oleh Suto menggunakan tuak
dalam mulutnya. Jurus 'Sembur
Siluman' digunakan Suto Sinting untuk memberi
peringatan kepada pihak Prabu Wiloka bahwa
pertarungan tak perlu terjadi dan saling menolong sangat dibutuhkan.
Prabu Wiloka sendiri diam tak bergerak ketika
melihat pedang Mahesa Sulung bisa lenyap dalam sekali
sembur. Hatinya segera membatin,
"Luar biasa hebatnya dia! Mahesa Sulung akan sia-sia jika tetap melawannya.
Setidaknya kucoba dengan jurus
'Pancasurya', apakah ia masih bisa menandingi jurus
andalanku ini"!"
Lalu sang Prabu berseru, "Mahesa Sulung,
minggirlah! Biar kuhadapi sendiri orang ini!"
Mahesa Sulung segera menyingkir walau masih
dengan wajah seperti orang pikun yang habis kehilangan pedangnya. Prabu Wiloka
maju empat tindak, dan Suto
Sinting tetap berdiri tegak menenteng bumbung tuaknya.
"Suto Sinting, terimalah jurus 'Pancasurya' ini,
hiaaah...!"
Wuuutt...! Kedua tangan Prabu Wiloka berjari lurus
dan rapat, disentakkan ke tanah. Dari tanah di depannya keluar lima larik sinar
biru sebesar lidi.
Craaip...! Lima larik sinar merah menyerang Pendekar Mabuk.
Dengan cepat bumbung tuak melintang di depan dada,
dipegang ujung-ujungnya dengan dua telapak tangan
saling menekan. Drrrub...! Sinar itu menghantam
bumbung dan lima-limanya berbalik dengan cepat dan
lebih besar ragi. Lima sinar biru besar itu menghantam tanah tempat Prabu Wiloka
berpijak. Blegaaarr...! Prabu WHoka tersentak melesat ke atas. Hampir saja
kakinya buntung jika Suto Sinting tidak sedikit
mengarahkan lebih ke bawah, dengan begitu sinar biru tersebut menghantam tanah
di depan kaki sang Prabu,
bukan tepat pada kedua kakinya.
Semua orang yang ada di situ terkejut. Terbengong,
terperangah dan berdebar-debar melihat sang Prabu
bersalto di udara satu kali, lalu berhasil mendarat lagi, sedikit terkilir dan
jatuh bersimpuh. Mahesa Sulung
segera menolongnya bangkit.
"Ouh... kakiku...!" rintih sang Prabu dengan terpincang-pincang.
"Biar saya hadapi lagi orang itu, Kanjeng Prabu!"
"Jangani Dia bukan orang sembarangan! Biar aku
saja yang hadapi dia!" kata sang Prabu, lalu matanya memandang lurus ke arah
Suto Sinting. Sebelum ia
bicara, Pendekar Mabuk yang tampak tetap tenang itu
berkata, "Prabu, jangan mendesakku untuk membuat korban
nyawa di sini! Kumohon kerelaanmu untuk mengizinkan
diriku masuk ke gua itu dan mengambil Telur Mata
Setan yang ada di sana!"
Prabu Wiloka terperanjat. Mulutnya membungkam,
matanya tak berkedip. Rupanya ia mempertimbangkan
keputusannya. Kejap berikut barulah terdengar suaranya
berkata dengan nada tak segarang tadi.
"Jauh-jauh aku menemukan tempat bertapa yang
paling baik dan berkekuatan gaib cukup tinggi. Haruskah kubiarkan tempat itu kau
acak-acak, Anak Muda"! Terus
terang, aku sendiri tidak tahu kalau di dalam gua itu ada Telur Mata Setan yang
setahuku hanya ada dalam
dongeng belaka. Tapi ketahuilah, bahwa aku tak ingin
tempat itu kau acak-acak sebelum tapaku rampung."
"Apa yang Prabu cari dalam bertapa itu?" tanya Suto Sinting.
"Aku bertapa bukan untuk mencari Telur Mata Setan.
Perlu kau ketahui, aku hanya mempunyai dua orang
anak, satu lelaki, satu lagi perempuan. Dan anak lelakiku sudah mati bunuh diri
karena gila cinta. Tinggal anak
perempuanku yang kuharapkan menjadi pewaris tahta
Negeri Majageni. Tetapi sejak kecil anak itu telah
minggat dan tak pernah pulang karena aku menikah lagi.
ia tidak setuju dengan pernikahanku yang baru. ia tidak mau mempunyai seorang
ibu tiri. Ia pergi dan hatiku pun selama sepuluh tahun ini menjadi kosong tanpa
kebahagiaan...."
Pendekar Mabuk 038 Telur Mata Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sang Prabu menarik napas, bagaikan menekan
perasaan duka. Lalu ucapannya dilanjutkan lagi setelah ia melihat Suto Sinting
selesai menenggak tuaknya.
"Aku bertapa hanya untuk mendapatkan anakku
kembali. Tapi kau mengacau kehadiran dewa yang ingin
memberikan petunjuk padaku tentang di mana anak
gadisku itu. Kau akan kuizinkan masuk ke gua dan
mengambil Telur itu jika kau bisa menemukan anakku
yang hilang sepuluh tahun lamanya, bahkan lebih dari sepuluh tahun."
"Siapa nama anak itu?"
"Roro Padmi!"
Tiba-tiba melesat sesosok bayangan yang segera
mendarat dari gerakan saltonya ke depan Suto Sinting.
Orang itu adalah Teratai Kipas, langsung bersujud di
kaki Prabu Wiloka sambil menghamburkan tangis,
"Ayah... ampunilah aku!"
Prabu Wiloka dan Suto sama-sama kaget serta
terheran-heran. Teratai Kipas dibimbing berdiri oleh
sang Prabu dan dipandangi beberapa saat, lalu terucaplah kata mengharu dari
mulut sang Prabu,
"Kaukah putriku; Roro Padmi..."!"
"Be... benar. Benar, Ayah! Akulah Roro Padmi
Wulinting!"
"Anakku...! Anakku..."!"
Brrruk...! Teratai Kipas dipeluknya. Sang Prabu
menitikkan air mata ketika putrinya yang selama ini
pergi dari istana menangis terisak-isak
dalam pelukannya. Pendekar Mabuk buru-buru buang muka,
karena tak tahan melihat keharuan itu. Ia tak mau ikut menangis seperti beberapa
prajurit yang ada di kanan
kiri sang Prabu.
"Selama ini aku memang tidak pulang, tapi aku
sebenarnya sering kembali tanpa setahu siapa pun, Ayah.
Karenanya aku tahu kalau Arya Wuka, adikku, mati
bunuh diri karena dibuat gila asmara oleh Nyai Sapu
Lanang!" tutur Roro Padmi Wulintang alias Teratai
Kipas. Suto Sinting tertegun setelah tahu bahwa Teratai
Kipas ternyata putri seorang raja. Pantas jika Teratai Kipas merasa cemas dan
gelisah ketika bertemu dengan
keempat prajurit. Ternyata bukan karena salah satu
prajurit mirip kekasihnya, melainkan karena ia tahu akan berhadapan dengan para
prajurit ayahnya sendiri, itu
sebabnya Teratai Kipas memisahkan diri dari Suto
dengan alasan yang kuat karena ia sebenarnya tak ingin berhadapan dengan ayahnya
sendiri. Namun demi
mendapatkan Telur Mata Setan yang dicari-cari Suto
Sinting, akhirnya Teratai Kipas tampakkan diri dan
berlutut di kaki orangtuanya.
Telur Mata Setan kini benar-benar didapatkan oleh
Suto Sinting. Seperti apa kata Nyai Guru Betari Ayu,
Telur itu memang ada di dalam batu berongga di antara
salah satu batu dalam gua tersebut. Pantas saja kalau gua itu mempunyai pengaruh
kekuatan gaib cukup tinggi dan
cocok untuk dipakai bertapa karena ada kekuatan gaib
Telur Mata Setan. Telur itu berwarna emas, kulitnya
keras seperti dari besi, besarnya sedikit lebih besar dari Telur burung puyuh.
Ternyata bukan setiap orang bisa
memegang Telur itu kecuali yang mempunyai tenaga
dalam cukup tinggi. Bagi yang tidak, Telur itu beratnya bagaikan melebihi berat
sebatang pilar baja sebuah
istana. Teratai Kipas diizinkan oleh Prabu Wiloka untuk
mengantarkan Suto Sinting ke Puncak Gunung
Kundalini, menyelesaikan masalah Telur Mata Setan
yang akan diminumkan kepada Sumbaruni. Sang Prabu
bahkan berbisik kepada Teratai Kipas,
"Apakah dia kekasihmu" Jika benar, Ayah akan
segera nikahkan kalian! Ayah sangat setuju dan gembira sekali jika mempunyai
menantu sesakti dia!"
Teratai Kipas tersenyum, "Tidak, Ayah. Dia hanya
sahabatku. Dia sudah mempunyai calon istri sendiri,
tahukah Ayah siapa dia sebenarnya?"
"Siapa?"
"Dia adalah muridnya si Gila Tuak yang bergelar Pendekar Mabuk!"
"Hahh..."!" Prabu Wiloka membelalak kaget dan merinding seketika.
SELESAI PENDEKAR MABUK Segera terbit!!!
PISAU TANDUK HANTU
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Pedang Golok Yang Menggetarkan 23 Dewi Ular 77 Bulan Berdarah Mustika Lidah Naga 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama