Ceritasilat Novel Online

Titisan Ilmu Setan 3

Pendekar Mabuk 021 Titisan Ilmu Setan Bagian 3


dibutuhkan, tapi juga kekuatan batin untuk melawan
godaan-godaan tersebut.
Pada satu ketika, Tulang Neraka sudah mencapai
delapan puluh sembilan bait yang bisa diucapkan dengan benar, sesuai dengan
peraturan di dalamnya. Tiba-tiba rasa kantuknya datang lagi. Ia sudah melawannya
mati-matian, namun rasa kantuk itu semakin lama semakin
berat sekali. Sampai pada mantera kesembilan puluh, Tulang Neraka jatuh
tertidur. Padahal ia telah
mengganjal kelopak matanya dengan sebatang lidi agar tetap melek. Tapi toh dia
tertidur juga dalam keadaan mata melek.
Ketika ia sadar, batu yang dipakainya duduk tertidur itu telah menjadi panas.
Sebagian bagian bawahnya
membara merah bagai terpanggang lahar panas gunung
berapi. Tetapi, Tulang Neraka bertekad mengulang
kidung tersebut dari bait pertama lagi. Rasa bosan telah lama menghuni batinnya,
namun selalu dilawan dengan tekad. Apabila rasa bosan itu datang, pikirannya
segera dilayangkan pada Arum Kafan sebentar, lalu semangat itu timbul lagi.
Yaitu semangat untuk membalas
kematian saudara-saudaranya kepada keluarga Arum
Kafan yang dibencinya itu.
Tetapi kali ini usaha untuk mengulang dari bait
pertama menjadi gagal. Hal itu disebabkan, karena
Tulang Neraka merasakan panas yang amat menyengat
pada pantatnya. Batu yang dipakainya duduk itu semakin membara dan menjadi merah
sampai di permukaan yang
dipakai duduk. Tulang Neraka berjuang keras
mematikan rasa sakit dan panas pada pantatnya.
Tubuhnya gemetar menggigil bukan karena
kedinginan, namun karena merasakan panas yang tak
tertahan lagi. Dengan tubuh berkeringat deras, ia
memusatkan perhatiannya dan menyadari bahwa batu
membara itu hanya sebuah godaan belaka. Tulang
Neraka berjuang keras mempertahankan sikap
duduknya. Semakin lama rasa panas itu memang semakin reda,
tapi batu makin merah bagai bongkahan lahar gunung
yang memadat. Dan ketika rasa panas itu tak terasa lagi, ia melihat kedua
kakinya yang bersila menjadi merah membara, menyala terang.
Tulang Neraka hampir saja menjerit kaget dan
ketakutan melihat kakinya menjadi merah membara.
Tetapi ia berhasil menahan napasnya hingga semakin
mengucur keringat yang keluar dari tubuhnya, sampai pada kulit kepalanya juga
berkeringat. Rambutnya
menjadi basah kuyup bagaikan orang habis tercebur ke selokan besar.
Ternyata sekarang warna merah membara seperti besi
terpanggang api itu bukan hanya di bagian kaki saja, melainkan sampai sebatas
perutnya juga menyala merah membara. Makin lama semakin naik, dan semakin
mendekati leher. Tulang Neraka masih diam saja; dan merasa pasrah kepada sang
nasib. Pikirnya, biarlah ia mati sekalian di atas batu itu, ketimbang turun dari
batu dan tidak mendapatkan ilmu 'Kidung Mantera Gaib'
tersebut. Kini, cahaya panas merah membara telah
membungkus sekujur tubuhnya sampai ke bagian
rambut. Anehnya rambut itu tidak terbakar sedikit pun.
Kitab dari bahan kulit lontar itu juga tidak hangus sedikit pun.
Ketika sekujur tubuh telah membara bagai besi
terpanggang api, tiba-tiba memerciklah sinar merah dari tubuh tersebut, membias
dan menyebar sekeliling tubuh.
Tulang Neraka bagai gumpalan api yang memancarkan
sinar merah ke segala arah. Dan pada saat itulah ia mendengar suara tua yang
bernada tegas, penuh wibawa dan kharisma,
"Kutitiskan ilmu ini kepadamu, Tulang Neraka!
Karena kulihat kau sangat berkemauan keras untuk
memilikinya. Jika kau mempelajarinya, tak akan berhasil sebelum mencapai seribu
hari. Tetapi, batinmu terbaca
olehku, betapa ingin kau memiliki ilmu 'Kidung Mantera Gaib', karenanya
kutitiskan kepadamu dengan tanggung jawab pada dirimu sendiri! Apa yang akan
terjadi di dalam jiwamu, adalah bukan tanggung jawabku, Tulang Neraka! Kau mau
jadi sesat atau baik, itu pilihan jiwamu dan merupakan bagian dari pribadimu!
Mulai saat ini, kau telah memiliki ilmuku, yaitu 'Kidung Mantera Gaib'.
Kau akan menjadi seperti aku dan bergelar Manusia
Tembus Raga...!"
"Ttteett... tteet... terima... ttee... terima kasih, Eyang..,!"
"Tetapi ingatlah, setinggi-tinggi ilmu ini, masih ada yang lebih tinggi lagi!
Jadi, rendahkan dirimu,
tundukkan kepalamu, jadilah bijak dan jangan sombong, Cucuku!"
"Ttee... teriima... terima kasih, Eyang...! Ssa... saya akan patuhi pesan
Eyang...!"
Setelah suara itu menghilang, Tulang Neraka seperti ditimpa sesuatu yang hitam
pekat tak bisa untuk melihat.
Blapp...! Gelap sekali. Matanya dibuka, tak ada yang dilihatnya selain warna
hitam. Napasnya pun terasa
semakin sesak, dan sesak sekali. Tulang Neraka
berusaha menghirup udara, namun ia seperti tidak berada di dalam ruangan yang
mempunyai udara. Entah ada di mana dia saat itu. Yang jelas, tubuhnya terasa
semakin lemas, tak mampu lagi tulang punggungnya menyangga
tubuh yang duduk. Ia pun jatuh ke belakang, terkapar dan tak sadarkan diri,
alias pingsan! Entah untuk berapa lama Tulang Neraka pingsan.
Ketika ia sadar, ia mendapatkan dirinya sudah berada di bawah batu tempatnya
duduk semula. Ia terkapar di
lantai gua yang kering itu. Kitab Lontar Gegana masih ada di atas batu tanpa
berubah sedikit pun. Segera ia menyimpan kitab itu dengan mengangkat sebongkah
batu. "Hei, terasa enteng sekali batu ini kuangkat?" katanya dalam hati. "Seperti
mengangkat tumpukan daun saja"
Apakah ini akibat pengaruh ilmu titisan dari Eyang
Buyut Bayan Maruto?" Di bawah batu besar itu ada ruang khusus untuk menyimpan
kitab yang selama ini disembunyikan. Disanalah kitab ditaruh kembali dan batu
ditutupkan lagi. Sewaktu ia berbalik dan ingin melangkah, kakinya menyandung
batu berukuran sebesar kepalanya sendiri.! Wuttt...!
"Hai..."!" Tulang Neraka tertegun sekaligus terkejut melihat kakinya bisa
menyampar batu itu. Tapi anehnya batu itu tidak bergerak. Tulang Neraka
mengulangi menyampar batu dengan mata memperhatikan jelas-jelas pada kakinya. Ternyata
kakinya bukan menyampar tapi menembus masuk ke dalam batu.
Berbinar-binar mata Tulang Neraka memperhatikan
keadaannya yang berubah itu. Ceria girang wajahnya.
Berulang-ulang ia melakukan gerakan yang sama,
ternyata ia benar-benar bisa menembus melalui
pertengahan batu. Debar-debar jantungnya kian cepat karena menyambut kegirangan
yang amat besar itu.
"Bagaimana jika aku menembus batu tempat
bersemadi itu" Apakah bisa juga?" pikirnya. Lalu ia
mencoba pelan-pelan mendekati batu tersebut. Pertama-tama dijamahnya dengan
tangan. Ia merasakan
kepadatan batu tersebut. Tapi ketika tangannya makin menekan, ternyata ia
seperti menekan air. Blesss...!
Tangannya masuk ke dalam batu tersebut. Waktu ditarik kembali, tangannya masih
utuh dan tidak kotor. Maka Tulang Neraka pun mencobanya dengan tubuh. Ia
berjalan menembus batu itu. Blesss...! Ternyata ia hanya seperti menyentuh air.
Ia bisa tembus batu itu bagaikan bayangan lewat.
"Ha ha ha ha...!" Tulang Neraka tertawa kegirangan.
"Aku bisa menembus benda keras, berarti aku bisa menembus dinding! Ha ha ha
ha...!" Tulang Neraka berlari ke sana-sini menerabas
bebatuan, apa saja yang ingin dilewati, diterabasnya begitu saja tanpa dihindari
lagi. Blass...! Blasss...!
Ploss...! Tulang Neraka berlari ke sana-sini sambil tertawa terbahak-bahak.
Puasnya hati adalah bahagianya jiwa dan gembiranya batin. Ia masih memuaskan
hatinya dengan berlari ke sana-sini, bahkan menembus dinding gua dan segera
keluar kembali dengan kata,
"Gelap, ah!"
Dengan berlari pula, Tulang Neraka menerobos pintu
penutup gua yang dari batu besar itu. Plooss...! Tahu-tahu ia ada di luar gua,
pada saat pagi mulai tiba.
"Hua ha ha ha...! Segar sekali! Segaaar...!" teriaknya dengan amat kegirangan.
"Siapa sekarang yang ingin melawanku! Tak akan ada yang bisa menjatuhkan diriku
jika aku bisa lari sana-sini tanpa ada penghalang lagi. Ha
ha ha...!"
Mendengar suara tawa Tulang Neraka, Dogol yang
ada di pantai segera berlari-lari menemuinya. Luka di tangannya yang buntung
telah kering, itu menandakan sudah cukup lama ia menunggu Tulang Neraka keluar
dari dalam gua. Ketika ia sudah berhadap-hadapan
dengan Tulang Neraka, ditunjukkanlah tangan kanannya yang terpenggal putus
dengan kalimat mengadu
kesedihan, "Guru... putus...!"
"Lho, kenapa bisa putus"! Aku tak pernah
menyuruhmu memutuskan tangan sendiri, Tolol!"
"Dewi Taring Ayu memenggalnya, Guru!"
"Taring Ayu..."!" geram Tulang Neraka. Matanya mulai mendelik menampakkan
keganasannya. "Keparat dia itu! Di mana dia sekarang"!"
"Bersama seorang pemuda tampan seperti pemabuk, tak tahu namanya!"
"Orangnya menyandang bumbung tuak"!"
"Betul, Guru!"
"Keparat! Dia juga yang membuatku luka tempo hari!
Kalau begitu aku harus mencari mereka sekarang juga!"
"Tapi, tunggu sebentar, Guru...!" Dogol mengejar dan Tulang Neraka terhenti,
berpaling dan membentak
dengan mata melotot.
"Ada apa lagi"!"
"Sebaiknya... sebaiknya silakan Guru mengenakan pakaian kembali, baru pergi
mencari mereka!"
"Maksudmu..."! Hahh..."!" Tulang Neraka terbelalak
begitu melihat tubuhnya sendiri yang ternyata masih polos, tanpa selembar benang
pun. Ia lupa, bahwa saat semadi ia melakukannya tanpa mengenakan pakaian, dan
ketika siuman ia juga belum berpakaian. Karena itu, Tulang Neraka segera kembali
masuk ke gua tanpa
membuka batu penutup pintu gua itu. Plosss...! Ia
tembus ke dalam bagaikan bayangan yang hilang entah ke mana.
Dogol membelalakkan matanya. Mengucak-ngucak
sebentar dan memandang lagi ke arah pintu gua yang
masih tertutup. Ia masih kurang percaya dengan
penglihatannya sendiri. Maka didekatinya pintu gua itu.
Dirabanya dengan tangan pelan-pelan. Didorongnya
pintu gua dari batu itu, ia bergumam sendiri,
"Keras..."! Tapi kelihatannya tadi Guru masuk tanpa mendorong batu penutup
ini"!" Dogol terheran-he-ran dan bimbang dengan keyakinan apa yang dilihatnya.
Bluss...! Tulang Neraka keluar lagi dari dalam gua dalam keadaan sudah
berpakaian lengkap. Caranya keluar juga dengan menerabas batu penutup gua. Dan
tubuh Dogol yang ada di depan pintu itu diterabasnya tembus.
Ploss...! Dogol celingak-celinguk kebingungan. Ia merasa
dilewati bayangan, namun merasa juga diterjang
gurunya. Tapi ia tidak jatuh, tidak tumbang dan hanya rambutnya yang sedikit
tersingkap karena angin
bayangan itu. Tapi ia masih belum yakin juga dengan peristiwa aneh yang
dialaminya itu. Ia ingin tanyakan hal itu kepada gurunya, tapi Tulang Neraka
dalam keadaan diam tertegun bengong. Di dalam hati Tulang Neraka bertanya-tanya,
"Dogol kuterabas tidak jatuh"! Berarti aku tidak bisa menendang lawan" Aku
seperti bayangan menendang
benda keras, tentunya tak akan mengakibatkan
kerusakan pada benda itu. Lalu, bagaimana jika aku
ingin melawan mereka, sedangkan aku tidak bisa
menyentuh mereka dan mereka tidak bisa
menyentuhku"! Wah, lantas buat apa aku punya ilmu
seperti ini jika tak bisa digunakan untuk menyerang lawan"!"
Kemudian, Tulang Neraka ingat kalimat penjelasan di dalam kitab pusaka itu yang
mengatakan, "Apabila hatimu berkehendak menjamah benda, maka terjamahlah benda
itu. Apabila hatimu berkehendak tidak menjamah benda, maka benda itu pun bisa
kau lalui dengan
menembusnya. Dan untuk selamanya dirimu menjadi
bayangan yang tidak bisa disentuh orang, tidak bisa dipegang orang, tapi kau
bisa menyentuh dan
memegangnya kapan saja kau punya keinginan di
hatimu...."
Setelah memahami kalimat itu, maka Tulang Neraka
pun segera pergi dengan meninggalkan pesan pada
Dogol, "Jaga gua baik-baik!"
Dogol kembali terbelalak kaget melihat Tulang
Neraka berlari menerabas pepohonan berbatang keras
dan besar. Plos plos plosss...! Dogol geleng-geleng kepala dan berkata
sendirian, "Gila! Rupanya Guru bisa menembus dinding
sekarang ini"! Mungkinkah pengaruh suasana di sekitar gua ini, karena semalam
datang kabut yang
membungkus gua ini" Kalau begitu aku pun juga bisa
menembus pohon itu"!" Kemudian Dogol berlari
menerabas pohon terdekat. Duggh! Bruss...! Dogol
memekik, wajahnya besot dan benjol keningnya, karena membentur pohon dengan
keras. * * * 8 ANGIN pantai terasa kering di kulit. Kabut telah
hilang dari keheningan pagi. Dan matahari mulai
merayap naik menuju ketinggiannya. Dan saat itulah
salah satu dari tiga orang yang sejak dini sudah
mencapai pantai itu bergegas bangkit dari duduknya.
"Ada yang keluar dari Pulau Dedemit itu! Coba
kalian perhatikan siapa orang itu"!" kata si baju kuning yang memakai nama
Wadal, bertubuh sedang dan
berkumis tipis. Pria yang lainnya berdiri juga dan
memandang ke arah Pulau Dedemit ketika mereka tiba
masih terbungkus kabut.
"Kurasa dialah yang akan kita susul ke Pulau
Dedemit itu, Tambon! Perhatikanlah baik-baik, benar dia atau bukan?" kata yang
berbaju serba putih, karenanya ia berjuluk Musang Putih. Sementara itu, Tambon
pun segera kerutkan dahinya, sipitkan matanya untuk
menangkap sebentuk penglihatan jarak jauh. Lelaki
berpakaian hijau tua itu segera perdengarkan suaranya,
"Memang dia! Tak salah lagi, dialah si Tulang
Neraka!" "Aha, pucuk dicintai ulam pun tiba! Tak perlu kita susah-susah mencari perahu,


Pendekar Mabuk 021 Titisan Ilmu Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang dicari telah datang dengan sendirinya!"
Wadal pun tersenyum-senyum girang, "Sudah tak
sabar golokku ini ingin memakannya habis-habisan!"
Wadal mencabut goloknya dari pinggang kiri. Srett...
"Biarkan dia merapat ke pantai, baru kita mencegat di depannya!" kata Tambon
yang berbadan besar dan brewokan itu.
"Kalau begitu kita harus bergeser ke selatan, biar tidak terlalu jauh dari
tempatnya mendarat nanti!" ujar Musang Putih.
Sambil mereka bergegas ke selatan, Musang Putih
bertanya kepada Wadal, "Menurutmu, mengapa kali ini dia keluar sendirian"
Bukankah mereka biasa ke mana-mana berempat sehingga orang cepat mengenali bahwa
mereka adalah Empat Raja Sesat?"
"Mungkin dia punya tugas tersendiri dari ketiga saudaranya!" jawab Wadal. "Atau
barangkali dia punya urusan pribadi!"
Kedua belah pihak sebenarnya sama-sama tak tahu
apa yang terjadi nanti. Pihak Musang Putih dan kedua saudara perguruannya itu
tidak tahu bahwa Tulang
Neraka sudah mendapat titisan ilmu setan yang bernama ilmu 'Kidung Mantera
Gaib'. Sedangkan pihak Tulang
Neraka juga tidak tahu kalau kemunculannya kali ini sudah dihadang dan ditunggutunggu oleh Musang Putih
dan yang lainnya.
Maka ketika Tulang Neraka melompat turun dari
perahunya, cepat-cepat ketiga saudara seperguruan itu melesat menghadangnya.
Serempak mereka bertiga
mendaratkan kaki di pantai tepat berjarak tiga tombak dari tempat Tulang Neraka
berdiri. Tersentak Tulang Neraka, kaget melihat ketiga orang tahu-tahu sudah menghadang
di depannya. Ketiganya
sudah mencabut senjata masing-masing, sedangkan
Tulang Neraka baru ingat bahwa ia tidak memegang
senjata apa pun.
"Sial! Aku tidak punya senjata apa-apa!" gerutu Tulang Neraka di dalam hatinya.
"Hmm... mereka bertiga, masing-masing memegang senjata! Aku harus
bisa merebut senjata yang berbaju putih itu. Kurasa pedangnya itu cukup lumayan
untuk menebas lehernya sendiri! Tapi, siapa mereka sebenarnya?"
Tulang Neraka masih diam, memandangi tiap wajah
mereka. Segera terdengar suara Musang Putih berseru dari tempatnya,
"Tulang Neraka! Seharusnya kau muncul bersama
ketiga saudaramu, jadi mempermudah pekerjaan kami
membantai kalian berempat!"
"Ke mana saudaramu yang tiga lagi" Sedang mulas perutnya"!" Wadal tersenyumsenyum sinis mengejek Tulang Neraka. Tetapi orang berjubah abu-abu tanpa
mengenakan baju dalaman itu masih diam saja dan
mempelajari sifat ketiga lawannya melalui wajah
mereka. Mana yang paling galak, itulah yang diserang
lebih dulu nantinya.
"Tulang Neraka! Kuizinkan kau pulang kembali ke pulau itu untuk memanggil ketiga
saudaramu, setelah itu datanglah kemari dan kami tetap menunggu kalian!
Kami siap mencabut nyawa kalian kapan saja!"
"Jangan membawa-bawa ketiga saudaraku yang telah tiada!" geram Tulang Neraka.
Mereka menggumam dan manggut-manggut dengan senyum disertai tawa
melecehkan. Tulang Neraka kembali memperdengarkan
suaranya yang berkesan angker itu,
"Siapa kalian bertiga" Ada urusan apa menghadangku di sini?"
"Kami murid-murid dari Pendita Wilo yang kau
bunuh dengan keji bersama ketiga saudaramu itu! Masih ingatkah kau dengan
Pendita Wilo, yang tinggal di
Lembah Berhala itu"!"
"Hah ha ha ha...!" Tulang Neraka tertawa keras begitu ingat Pendita Wilo.
Beberapa waktu lalu, ketika Urat Iblis dan kedua saudara lainnya masih hidup,
mereka berempat pernah mendatangi Lembah Berhala dan
bertemu dengan Pendita Wilo di kuilnya. Karena satu masalah, Empat Raja Sesat
menyerang Pendita Wilo
yang sedang melakukan semadi itu. Dan sang Pendita
pun tewas di tangan mereka berempat secara
mengenaskan. Nasibnya serupa dengan nasib Nyai
Tanduk Setan. Tapi pada waktu itu, ketiga murid Pendita Wilo itu tidak ada di
tempat, sehingga tidak mengetahui perbuatan mereka secara persis. Hanya satu
pelayan pendita itu yang melihatnya dan segera melarikan diri
mencari ketiga murid Pendita Wilo.
"Kalian bertiga mau bertingkah bagaimana" Kalau guru kalian saja bisa kami bunuh
dengan mudahnya,
apalagi kalian yang hanya sebagai murid! Kurasa kalian kemari bermaksud
menyerahkan nyawa kalian agar
cepat menyusul arwah guru kalian!" kata Tulang Neraka tak mau kalah gertak. Dan
ucapannya itu membuat
geram ketiga lawannya.
"Guru hanya satu orang dan kalian berempat pada waktu itu. Wajar kalau Guru
kalah. Sekarang kau yang sendirian dan kami bertiga, tibalah saat pembalasan
yang setimpal dengan perbuatan!" kata Musang Putih.
Kemudian Tulang Neraka berkata dengan tetap tenang,
"Majulah kalau begitu! Serang aku! Serang!"
"Jurus 'Sergap Lebah'...!" seru Musang Putih.
Serentak Wadal dan Tambon bergerak ke kanan dan kiri Tulang Neraka. Musang Putih
segera memekik sebagai
isyarat bagi yang lain,
"Heaaah...!"
Tiga manusia itu melompat dan bersalto dalam satu
arah, yaitu ke arah Tulang Neraka. Senjata mereka pun segera berkelebat. Tapi
Tulang Neraka berhasil
memukul dada Musang Putih dengan kedua telapak
tangannya. Pukulan itu mengena telak dan cukup kuat, membuat Musang Putih
terpental dan pedangnya
terlepas dari tangannya.
Wuttt...! Wess...!
Golok Wadal dan Tambon berkelebat menebas
punggung serta leher Tulang Neraka. Jelas-jelas benda
tajam itu menembus masuk ke tubuh Tulang Neraka,
namun segera lolos keluar tanpa menyentuh apa pun.
Bahkan ketika keduanya kembali mendarat ke bumi dan menyentakkan kakinya dengan
tendangan miring ke arah kepala Tulang Neraka, tendangan mereka tepat
mengenai kepalanya, tapi yang terasa adalah perpaduan kaki mereka sendiri,
sehingga keduanya pun sama-sama terpental ke sisi masing-masing.
Tulang Neraka tertawa terbahak-bahak, merasa
bangga melihat tubuhnya tak bisa dilukai. Ia segera melompat dan memungut pedang
Musang Putih yang
tergeletak ke tanah. Pada waktu itu, Musang Putih
sedang berusaha mencapai pedangnya dengan bergulingguling dua kali. Tapi pedang
sudah telanjur berada di tangan Tulang Neraka. Menggelindingnya tubuh
Musang Putih bagai ular menghampiri gebukan. Dengan enaknya Tulang Neraka
menebaskan pedang ke arah
tubuh Musang Putih. Crapp...!
"Aahg...!" Musang Putih memekik dalam keadaan mendekap luka di bagian pundaknya.
Lalu ia segera sentakkan punggung dan berdiri cepat. Kakinya
menendang ke samping, sasaran dada lawannya.
Wuttt...! Ploss....! Kaki Musang Putih masuk dan
menembus punggung Tulang Putih. Kejadian itu dilihat jelas-jelas oleh Wadal dan
Tambon dengan mata melotot terheran-heran.
Tulang Neraka tertawa melihat kaki lawannya tembus
dari dada sampai ke punggung. Musang Putih terperanjat kaget melihat keanehan
tersebut. Karena ia tersentak
kaget dan terpukau, maka ia tak menyadari datangnya bahaya dalam sekejap. Tulang
Neraka segera kibaskan pedang ditangannya itu ke arah leher Musang Putih.
Crass! Tulang Neraka melompat mundur dua tindak, lalu
memandangi lawannya dengan tertawa terbahak-bahak.
Kepala lawannya itu tiba-tiba jatuh menggelinding
disusul oleh bagian tubuhnya yang bergedebuk seperti karung beras dijatuhkan.
Bluggh...! "Musang Putih...!" teriak Tambon dengan segera mendekati tubuh dan kepala Musang
Putih. Tetapi, tiba-tiba Wadal menyerang Tulang Neraka dengan
melepaskan pukulan jarak jauh bertenaga dalam
berbahaya. Sinar hijau menggumpal mirip gumpalan
serabut kelapa itu melesat ke arah Tulang Neraka, keluar dari telapak tangan
Wadal. Sinar hijau sebesar separo genggaman tangan itu dibiarkan oleh Tulang
Neraka dan menghantam tepat di pinggang kirinya, namun sama
dengan peristiwa tadi, sinar hijau itu bagai menembus bayang-bayang dan lolos
melalui pinggang kanan.
Plosss...! Sedangkan pada waktu itu, Tambon sedang tersentak
duka melihat kepala Musang Putih terpisah dari raganya.
Ia tidak tahu bahwa sinar hijau yang lolos dari tubuh Tulang Neraka itu mengarah
kepadanya. Ketika ia
terkejut dan ingin menghindar, ternyata sudah terlambat.
Sinar hijau itu tepat mengenai lehernya dan leher itu pun pecah tak tertolong
lagi. Blarrr...!
"Tambooon...!" teriak Wadal kaget dan menyesal,
tapi juga bingung melakukan gerakan selanjutnya.
Sementara itu, Tulang Neraka makin keras tawanya,
semakin terbahak-bahak gelaknya.
Penyesalan atas kematian Tambon membuat Wadal
menjadi ciut nyali dan panik. Apalagi ketika itu Tulang Neraka segera berkata
kepadanya di sela tawa
kepuasannya, "Kau lihat sendiri, Bocah Dungu! Aku tak akan bisa dibunuh oleh siapa pun! Tapi
aku bisa membunuhmu
sekarang juga! Kurasa memang kau harus dilenyapkan
sekalian, biar tidak menjadikan ganjalan dalam hidupku selanjutnya. Hah ha ha
ha...." Wadal membatin dalam hatinya, "Celaka!
Bagaimanapun tingginya ilmuku, tak mungkin aku bisa melawan dia! Dia seperti
angin, tak bisa disentuh dan dilukai! Kalau begini caranya aku bisa mati di
tangannya! Sebaiknya aku melarikan diri saja sebelum kutemukan jurus maut untuk
menandingi ilmunya itu!"
Blasss...! Wadal segera melompat meninggalkan
tempat itu dengan cepatnya. Ia ditertawakan oleh Tulang Neraka. Bahkan ia
mendengar suara Tulang Neraka
berseru dari tempatnya,
"Ke mana pun larimu, kukejar kau sampai dapat, Tikus Busuk! Hah ha ha ha...!"
Pelarian Wadal semakin kencang dan cepat. Api saja
diterabasnya selagi masih bisa dipakai untuk lewat. Ia benar-benar ketakutan
sekali, ketika dilihatnya ke
belakang, ternyata Tulang Neraka benar-benar
mengejarnya. Kecepatan lari mereka seimbang, sehingga
jarak mereka pun selalu sama. Tapi ketika Wadal
tersungkur jatuh dan segera bangkit lagi, jarak mereka menjadi lebih pendek. Ini
membuat Wadal makin
mempercepat larinya. Bahkan ia meleset naik ke atas pohon dan berlari dengan
melompati dahan-dahan
pohon. Rupanya hal itu pun dilakukan oleh Tulang
Neraka yang masih menggenggam pedangnya Musang
Putih. Melihat Tulang Neraka ikut mengejar melalui
dahan demi dahan, Wadal semakin ngeri dan panik.
Hal yang membuat Wadal menjadi lebih panik adalah
melihat Tulang Neraka berlari menerabas pohon besar atau gugusan batu. Tulang
Neraka benar-benar seperti bayangan yang tak bisa terbentur dan terhalang benda
sekeras apa pun. Sementara Wadal harus menghindari
benda-benda keras, sehingga pelariannya makin lama
semakin lemah. Srott...!
"Hahh..."!" Wadal terpekik, ia jatuh terpeleset pada kemiringan sebuah lereng.
Tubuhnya menggelinding dan terbentur-bentur batu maupun semak berduri. Ia tak
bisa menghindari keadaan itu dan hanya mengikuti ke mana arah menggelindingnya
tubuh. Brukk...! Akhirnya Wadal jatuh di tanah cadas yang rata.
Sekujur tubuhnya penuh luka. Tapi luka itu tak
dihiraukan, karena ia melihat Tulang Neraka berdiri di ujung tebing itu, siap
mengejarnya lagi sambil
menghamburkan tawa di sana. Mau tak mau Wadal pun
cepat melarikan diri ke arah utara.
Ya. Ia memilih arah utara, karena di sana ia punya
seorang sahabat yang dikenalnya dengan baik. Di sana ada rumah sahabatnya dan
Wadal berharap bisa
mendapat pertolongan dari sahabatnya itu. Orang yang dimaksud Wadal adalah
Kembang Darah, yang selama
ini membina hubungan baik sebatas seorang sahabat.
Dengan cepat, Wadal berhasil menemukan kediaman
Kembang Darah yang tampak berbangunan kuno itu.
Dari kejauhan ia sudah berteriak,
"Kembang...! Kembang Darah, tolong akuuu...!"
Pada saat itu, di rumah kuno berlantai dua itu,
penghuninya sedang bersiap-siap untuk melakukan suatu penyerangan ke Pulau
Dedemit. Karena menurut
penyelidikan yang dilakukan oleh Dewi Taring Ayu, ia sering melihat Tulang
Neraka dan ketiga saudaranya
keluar masuk Pulau Dedemit. Mereka ingin memeriksa
apakah Kitab Lontar Gegana itu disembunyikan oleh
kelompoknya Tulang Neraka di Pulau Dedemit itu, atau mungkin dari sana mereka
bisa memperoleh petunjuk ke tempat lain. Yang jelas mereka harus berangkat
bersama, karena mereka menyangka Nyai Tanduk Setan juga
bermukim di sana dan menghimpun beberapa kekuatan
baru bersama Tulang Neraka. Pendekar Mabuk pun
disarankan turut serta oleh Dewi Taring Ayu, dan Suto Sinting tak bisa menolak
tawaran itu. Karena firasatnya mengatakan, bahwa keempat perempuan cantik itu
dapat mudah dikalahkan jika menyerang ke sarang orang-orang sesat itu.
"Kembang Daraaah...!" suara itu jelas sekali didengar orang-orang penghuni
rumahtua tersebut. Mereka
terkejut dan semakin kaget setelah Wadal memasuki
halaman rumah dalam keadaan sekujur tubuhnya penuh
luka. "Wadal...!" teriak Kembang Darah. Ia bergegas keluar dari rumah lebih dulu dan
segera menolong
Wadal. "Apa yang terjadi..."! Katakan, apa yang terjadi pada dirimu, Wadal..."!" desak
Kembang Darah mulai panik.
Wadal tak bisa menjawab untuk beberapa saat.
Pendekar Mabuk segera menolong, memberikan minum
tuaknya beberapa teguk. Kejap berikutnya, Wadal mulai menarik napasnya, dan ia
mencoba menjelaskan!
"Tulang Neraka mengejarku...!"
"Apa..."!" Delima Ungu dan Kembang Darah sama-sama terkejut. Arum Kafan saling
pandang dengan Dewi Taring Ayu. Suto hanya diam saja dan memperhatikan
ke arah luar lewat jendela yang masih terbuka. "Dia muncul dari Pulau Dedemit.
Aku menyerangnya
bersama Musang Putih dan Tambon. Tetapi, mereka
berdua mati dan... dan...!"
"Mengapa kalian menghadang dan menyerangnya"!"


Pendekar Mabuk 021 Titisan Ilmu Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanya Arum Kafan.
"Kami menuntut balas atas kematian Guru kami
Pendita Wilo!"
"Oh, jadi beliau telah dibunuh oleh Tulang Neraka?"
sahut Kembang Darah yang pernah bertemu Pendita
Wilo beberapa kali.
"Ya. Dan... dan kami tak bisa melawan Tulang
Neraka! Dia tidak bisa dibacok ataupun dipukul!"
Suto menyahut, "Maksudmu, dia kebal senjata apa pun"!"
"Bukan hanya kebal tapi... tapi dia seperti bayangan.
Golokku seperti membabat angin ketika memenggal
lehernya. Pukulan tenaga dalamku seperti menembus
kabut ketika menghantam lambungnya! Ia mengejarku
dengan menembus pohon besar dan batuan besar. Ia
benar-benar seperti angin yang bisa menembus benda
sekeras apa pun, Kembang! Aku... aku tak sanggup
menghadapinya!"
Hening tercipta sejurus. Keempat perempuan cantik
itu saling beradu pandang satu dengan lainnya. Pendekar Mabuk masih kelihatan
tenang-tenang saja, sesekali
matanya memandang keluar melalui jendela yang
terbuka itu. Dan tiba-tiba terdengar Dewi Taring Ayu keluarkan geramannya, lalu
menggebrak meja dengan
keras. Brakk...! Semua terkejut, termasuk Pendekar
Mabuk. Semua memandang ke arah wanita cantik
bertaring runcing itu.
"'Kidung Mantera Gaib'!" katanya dengan tegas. "Dia sudah menguasai ilmu 'Kidung
Mantera Gaib', dan
menjadi Manusia Tembus Raga!"
Sekali lagi ketiga adiknya itu terperanjat, tapi Suto hanya kerutkan dahinya
menatap Dewi Taring Ayu.
Kemudian Suto ajukan tanya kepada Dewi,
"Kau tidak salah duga, Dewi"!"
"Tidak! Ciri-ciri orang yang memiliki ilmu 'Kidung Mantera Gaib' adalah bisa
menembus benda apa pun tapi tak bisa dilukai karena tubuhnya bagaikan angin atau
bayangan!"
Arum Kafan terdengar berkata, "Tak mungkin
semudah itu ia bisa mempelajari ilmu tersebut"! Belum lama dia bertarung
denganku, dia masih bisa kupukul dan kutendang! Jarak antara pertarunganku
dengan sekarang hanya sekitar satu bulan. Mana mungkin dia bisa selesaikan pelajaran
ilmu itu dalam satu bulan"!"
Dewi Taring Ayu diam, seakan membenarkan
kesimpulan adiknya. Tetapi Pendekar Mabuk segera
berkata, "Ki Darma Paksi pernah mengatakan padaku, bahwa eyang buyut kalian pernah
mengeluarkan semacam
wasiat, bahwa kelak pada suatu saat, ia akan menitiskan ilmu itu kepada salah
satu keturunannya."
"Menitiskan...?" gumam Arum Kafan sambil
memandang Pendekar Mabuk dengan dahi berkerut.
"Ya. Itu yang kudengar dari mulut Ki Darma Paksi."
Dewi Taring Ayu segera berkata, "Jelas sudah
sekarang! Kitab itu pasti ada pada Tulang Neraka,
mungkin disimpan di Pulau Dedemit. Selama ini ia
mendekam di sana hanya dengan alasan mencari titisan ilmu setan itu, jelas tak
mungkin! Dari mana dia tahu bahwa Eyang Buyut Bayan Maruto ingin menitiskan
ilmunya kepada dia" Pasti ia tekuni ilmu itu, sampai tiba ilmu itu menitis
dengan sendirinya di luar rencana
sebenarnya."
Delima Ungu segera berkata, "Yang perlu kita
pikirkan sekarang, apa yang harus kita lakukan"!
Menyerangnya dengan cara bagaimana?"
"Aku yang akan menghadapinya!" kata Pendekar Mabuk. Tapi Arum Kafan segera
menyergah, "Jangan, Suto! Dia sangat berbahaya!"
Wadal mengajukan usul dari tempatnya terkulai di
sebuah kursi bersandar dinding,
"Kalau boleh kuusulkan agar mencari tempat
berlindung yang aman saja! Aku yakin dari kalian tak akan ada yang bisa
melawannya, tapi mati karenanya
malah bisa terjadi!"
"Sembunyi..."!" gumam Kembang Darah. "Sembunyi ke mana?"
Suto tiba-tiba ajukan usul, "Bagaimana jika ke pondoknya Ki Darma Paksi?"
Baru saja selesai bicara begitu, tiba-tiba mereka
dikejutkan oleh suara dan tawa Tulang Neraka di
kejauhan. Wajah-wajah mereka menjadi tegang. Tulang Neraka keluarkan ancaman,
"Arum Kafan...! Habis sudah riwayat keturunan
leluhurmu hari ini juga, Arum...! Ha ha ha ha...!"
Dewi Taring Ayu berkata, "Suto, bawa mereka
pondok Ki Darma Paksi! Aku akan hadapi dia!"
"Kau jangan gila, Dewi!" sentak Arum Kafan.
"Aku hanya menghambatnya supaya tidak mengejar kalian!"
* * * 9 SEKALIPUN Dewi Taring Ayu adalah manusia
penghisap darah dan telah menewaskan kekasih kedua
adiknya, yaitu Arum Kafan dan Kembang Darah, tapi
sikapnya sebagai kakak masih terlihat jelas. Ia tetap melindungi adik-adiknya
dan siap mengorbankan diri, menentang bahaya demi keselamatan adik-adiknya.
Sekalipun menghambat adalah tugasnya, tapi punya
bahaya tinggi bagi keselamatan Dewi Taring Ayu
sendiri. Agaknya perempuan bertaring itu tidak
menghiraukan lagi keselamatan dirinya dan ia berani keluar lebih dulu untuk
mencegat Tulang Neraka
sebelum memasuki halaman rumah tanpa pagar tinggi
itu. Mereka yang di dalam rumah masih bimbang untuk
lari atau membantu Dewi Taring Ayu. Sementara itu,
Wadal segera keluar setelah berseru kepada Kembang
Darah, "Cepat kau pergi, Kembang! Aku akan membantu
kakakmu menghambat Tulang Neraka agar tak mengejar
kalian!" Arum Kafan masih tak bisa meninggalkan tempat.
Delima Ungu bahkan mulai merah matanya karena
bimbang untuk meninggalkan Dewi Taring Ayu atau
membantunya. Sementara itu, Suto memandang dari
jendela ke arah pertemuan antara Dewi Taring Ayu
dengan Tulang Neraka.
Dewi Taring Ayu tampak telah mencabut pedangnya,
membuat langkah Tulang Neraka terhenti dan bertolak pinggang menertawakan sikap
Dewi Taring Ayu.
"Kau yang paling sulung, memang layak mati lebih awal!" kata Tulang Neraka. Dewi
Taring Ayu hanya menjawab,
"Lakukan!"
Tulang Neraka tidak main-main dengan ancamannya.
Ia segara melompat dan menyerang Dewi Taring Ayu
dengan pedangnya. Tapi gerakan Dewi Taring Ayu
begitu cepat dan lincah. Pedang yang ditebaskan Tulang Neraka meleset dari
sasaran. Sementara itu, Dewi Taring Ayu sudah berhasil menebaskan pedangnya
beberapa kali dengan cepat ke tubuh Tulang Neraka.
Wut wut wut wesss...!
Pendekar Mabuk terkesiap matanya melihat pedang
Dewi Taring Ayu tak bisa memotong tubuh lawannya.
Padahal mata Suto melihat jelas pedang itu memenggal pundak, pinggang, dan
bagian punggung Tulang Neraka.
Namun si jubah abu-abu itu masih tegar berdiri tak
mampu terpotong sedikit pun. Pedang Dewi Taring Ayu benar-benar seperti menebas
bayangan. "Gawat keadaannya!" kata Suto di dalam hati.
"Tulang Neraka benar-benar tak bisa dilukai sedikit pun!
Tak ada cara lain untuk mengalahkannya kecuali
bersembunyi dan memikirkannya beberapa waktu!
Tuakku pun kalau kusemburkan hanya seperti
menyembur bayangan dan angin saja! Kalau kupakai
Napas Tuak Setan, ia hanya bisa melayang pergi, tapi tak akan bisa mati! Karena
ia tidak akan terbentur-bentur benda sekeras apa pun! Hmmm...! Pasti ada caranya
untuk mengalahkan dia, tapi sekarang belum kutemukan
cara itu! Dan... sebaiknya aku memang harus membawa mereka bertiga ke pondok Ki
Darma Paksi untuk
bersembunyi, jika tidak maka akan habislah keluarga Arum Kafan ini!"
Sempat dilihat oleh Pendekar Mabuk, Wadal
mengirimkan pukulan jarak jauhnya berupa sinar Jingga melesat dari dua jarinya.
Tapi ketika sinar itu tembus di kepala Tulang Neraka, bagaikan lewat begitu saja
tanpa terasa sakit sedikit pun bagi si Tulang Neraka.
Sementara itu, Dewi Taring Ayu berusaha memancing
kemarahan dan serangan lawannya dengan
mengandalkan kegesitannya menghindari.
"Cepat kita tinggalkan tempat ini!" kata Suto kepada Arum Kafan.
"Bagaimana dengan kakakku itu"!" Delima Ungu tampak sedih sekali.
"Dewi sedang mengulur waktu dan mengandalkan
kegesitan gerak menghindarnya. Kurasa Dewi Taring
Ayu akan menyusul setelah kita terlihat selamat dari incaran Tulang Neraka!"
Tak ada pilihan lain bagi ketiga gadis cantik itu.
Maka dengan melalui pintu belakang, mereka pun segera bergegas pergi
meninggalkan rumah kediaman mereka,
yang termasuk rumah warisan leluhur mereka itu. Suto Sinting yang menuntun
langkah mereka menuju ke
pondok Ki Darma Paksi sambil menjaga mereka dari
bahaya yang sewaktu-waktu datang.
Sementara itu, Dewi Taring Ayu sendiri
memperhitungkan gerakannya agar tak mengalami nasib
seperti Wadal. Karena tadi, Wadal mencoba menyerang Tulang Neraka dari belakang.
Serangannya itu hampir saja mengenai diri Dewi Taring Ayu, seperti yang
dialami oleh Tambon di pantai. Untung Dewi Taring
Ayu segera berkelit dan mampu menghindari sinar hijau dari tangan Wadal.
Tetapi sejurus kemudian, Wadal memekik dengan
kepala terdongak. Dewi Taring Ayu tak sempat menarik gerakan serang Tulang
Neraka karena ia sibuk
menghindari sinar hijau itu. Tubuh Wadal mengejang
kaku setelah tersabet pedang dari dada sampai di
permukaan wajahnya.
"Ahg...!" cukup pendek pekikan Wadal, setelah itu ia roboh tak bernyawa lagi.
Dewi Taring Ayu sempat berpikir untuk memancing
gerakan lawan agar semakin menjauhi rumahnya.
Walaupun Dewi Taring Ayu tadi sempat melihat
kelebatan ketiga adiknya lewat pintu belakang, tapi ia khawatir Tulang Neraka
mengetahui dan segera
mengejarnya. Karena itu, Dewi Taring Ayu pun segera berlagak menyerangnya dengan
jurus pukulan jarak
jauhnya. Sekalipun ia tahu tak akan mengenai sasaran tapi pancingan menjauhnya
itu membuat Tulang Neraka semakin geram semakin penasaran untuk membunuh
Dewi Taring Ayu.
"Percuma kau mempunyai ilmu 'Kidung Mantei Gaib'
jika membunuhku saja tak mampu!" seru Dewi Taring Ayu. "Mana kehebatanmu sebagai
Manusia Tembus Raga, hah"! Mana..."!"
"Bangsat kau, Dewi! Ke mana pun kau lari akan ku buru nyawamu!" teriak Tulang
Neraka yang merasa terhina oleh ucapan Dewi Taring Ayu. Maka ia pun
mengejar perempuan itu. Bertarung mengalahkan
kegesitan gerakan Dewi Taring Ayu. Kemudian Dewi
berlari lagi, dan berhenti untuk bertarung kembali, saling serang dan saling
kejar terus-menerus. Semakin menjauh jarak mereka dari arah kediaman Ki Darma
Paksi. Padahal di tempat kediaman Ki Darma Paksi, sudah
tersusun rencana untuk mengalahkan Tulang Neraka
setelah antara Suto dan Ki Darma Paksi terjalin
pembicaraan mengenai ilmu 'Kidung Mantera Gaib'. Ki Darma Paksi pada mulanya
berkata, "Pada masa kejayaan Ki Bayan Maruto, tidak ada seorang pun yang bisa mengalahkan
kesaktiannya itu.
Mereka memandang Ki Bayan Maruto sebagai seorang
tokoh yang bermegah atas kesaktiannya. Namun Ki
Bayan Maruto atau si Manusia Tembus Raga itu, tetap tundukkan kepala dan
merendahkan diri di depan siapa saja. Tak ada kesombongan yang terlontar dari
mulutnya maupun sikapnya, bagai padi di hamparan sawah yang
menguning, menunduk ia walau seekor kerbau pun
mampu di robohkannya!"
"Apakah memang begitu kodratnya manusia memiliki ilmu 'Kidung Mantera Gaib', Ki
Darma?" tanya Suto.
"Bicara soal kodrat, adalah bicara tentang garis kekuasaan yang mencipta langit,
bumi, dan seisinya. Tak dapat orang menentukan kapan sang kodrat melangkah
melintasi bayang-bayang kehidupan kita. Tetapi,
begitulah kenyataan yang pernah terjadi pada diri
seseorang yang memiliki ilmu 'Kidung Mantera Gaib'.
Seperti mendiang Ki Bayan Maruto, beliau wafat bukan karena serangan musuh,
melainkan karena ketuaannya
dan jemputan kodrat ataupun takdir tadi."
"Mengapa ilmu itu bisa membuat orang bagaikan
bayangan, Ki?" tanya Arum Kafan yang saat itu ikut mendengarkan percakapan
antara Ki Darma Paksi dan
Suto Sinting. Ki Darma Paksi diam sebentar, memandang hampa
ke arah depan. Sepertinya ada sesuatu yang
dipertimbangkan dalam benak orang tua berkumis dan
berjenggot putih halus itu. Mereka menunggu dengan
sabar, lalu kejap berikutnya terdengar Ki Darma Paksi menjawab pertanyaan Arum
Kafan tadi, "Alam ini terbagi menjadi dua, nyata dan tidak nyata.
Yang nyata kita namakan kehidupan di muka bumi, yang tidak nyata dinyatakan
sebagai alam gaib. Ilmu 'Kidung Mantera Gaib' adalah ilmu yang datangnya dari
alam gaib. Manusia yang memiliki ilmu seperti itu, raganya telah masuk ke alam
gaib. Raga di alam gaib, tapi
bayangan dan kekuatan tenaganya ada di alam nyata.
Jadi yang kita tebas dengan pedang adalah bayangan si Tulang Neraka, yang
menghantam kita adalah tenaga
Tulang Neraka, tapi sumber tenaga dan kekuatannya ada di dalam raga, dan raga
itu ada di alam gaib. Tentu saja sangat sukar bagi seseorang melawan pemilik
ilmu 'Kidung Mantera Gaib'! Tapi baru saja tadi ketika aku diam sejenak, kurasakan
datangnya firasat aneh yang
mengatakan, Tulang Neraka akan mati terbunuh walau ia mendapat titisan ilmu
setan itu!"
Arum Kafan dan kedua adiknya saling berpandangan.
Di dalam hati mereka timbul pertanyaan, "Mungkin kah Dewi Taring Ayu berhasil
membunuh Tulang Neraka"!"
Pendekar Mabuk diam dengan dahi berkerut dan


Pendekar Mabuk 021 Titisan Ilmu Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

matanya memandang ke arah luar. Batinnya pun
berkecamuk sendiri kala itu,
"Jika ia benar berada di alam gaib, maka untuk membunuhnya harus masuk ke alam
gaib juga! Dari
sana aku bisa melukainya dan membunuhnya! Kalau
begitu, agaknya aku harus segera mencari Tulang
Neraka dan menantangnya bertarung! Aku harus
bergerak cepat sebelum Dewi Taring Ayu terbunuh oleh kesaktiannya!"
Secara diam-diam dalam keadaan terpisah, Ki Darma
Paksi berkata kepada ketiga gadis cantik itu,
"Murid si Gila Tuak, bukan sembarang murid! Mata batinku melihat tubuhnya
bercahaya, memancarkan
kesaktian putih yang mengagumkan! Dialah orang yang bisa menandingi Tulang
Neraka!" "Tapi... tapi saya takut dia terluka, Ki Darma!" kata Delima Ungu dengan wajah
sedih, penuh kecemasan.
Agaknya ia menyimpan perasaan kasih dan sayang
kepada Suto Sinting, sehingga merasa tak rela jika Suto terluka kulitnya. Hal
itu membuat Ki Darma Paksi
tertawa seperti orang menggumam dan berkata,
"Kalau aku boleh katakan kepadamu, Cah Ayu, kau menyimpan cinta kepadanya, dan
lebih besar daripada
cinta yang tersimpan di kedua kakakmu ini!"
Arum Kafan tersipu, sementara Kembang Darah
mengalihkan pandang menutupi senyum malunya.
Delima Ungu hanya memandangi kedua kakaknya itu
dan segera berkata,
"Tapi saya hanya bisa menyimpannya saja, Ki. Tak bisa mencurahkan cinta ini
untuk Suto!"
"Menyimpan segenggam cinta adalah lebih abadi
daripada mencurahkannya, Cah Ayu. Barangkali kalian belum mengetahui, bahwa
Pendekar Mabuk itu telah
terikat hatinya oleh perempuan lain yang anggun dai bijaksana."
"Siapa perempuan itu, Ki Darma?" sergah Kembang Darah ingin tahu.
Tersenyum Ki Darma Paksi memandangi Kembang
Darah, lalu ia menjawab,
"Aku tak punya wewenang untuk menyebutkan nya, sekalipun aku tahu siapa
orangnya! Jadi menurut naluri tuaku ini, sebaiknya simpan saja cinta kalian
kepada Pendekar Mabuk itu, karena Suto tak akan jatuh hati lagi kepada perempuan
lain. Cintanya telah menjadi karang abadi dan hanya perempuan itulah yang
merasuk dalam jiwa, darah, dan sukmanya. Tetapi sebagai seorang
sahabat, Suto Sinting bisa lebih hangat dari seorang kekasih dalam batas-batas
tertentu. Tak ada ruginya kalian bersahabat dengan murid si Gila Tuak yang
sebenarnya adalah kakak dari eyang buyutmu itu!"
"Barangkali memang kita harus begitu, Delima," kata Kembang Darah kepada adiknya
yang bungsu. Delima
Ungu hanya diam, tundukkan kepala.
Suto mendekati Ki Darma Paksi dan ketiga gadis itu.
Dengan tegasnya ia berkata,
"Ki Darma, saya harus menyusul Dewi Taring Ayu sebelum ia terbunuh oleh kekuatan
Tulang Neraka!"
"Itu lebih baik, Suto! Karena pertolongan kita hanya akan menjadi tinggi
nilainya jika kita datang tepat pada saat orang itu membutuhkannya!"
"Saya titip mereka bertiga, Ki Darma!"
"Sebagai bekas pelayan kakeknya, aku berkewajiban melindungi mereka, karena
mereka adalah cucu-cucuku juga dalam anggapan batinku. Jangan cemaskan mereka,
Suto. Dan... tunggu!"
Ki Darma Paksi diam sebentar, seperti sedang
merasakan sesuatu yang membuatnya terpatung,
memandang lurus ke depan dengan dada tegak.
Sementara itu Arum Kafan sempat membisikkan kata,
"Hati-hati, Suto...! Jangan sampai kau menjadi korban ilmu setan itu! Ingatlah
akan tugasmu, yaitu membawa Kitab Lontar Gegana kepada gurumu. Jadi kau harus
bisa selamatkan diri dari kekuatan ilmu setan itu, Suto!
Kami tak ingin kecewa dengan sikap ksatriaanmu!"
Kembang Darah ikut berbisik, "Jika terdesak lebih baik mundur untuk menyusun
siasat baru, Suto. Jangan memaksakan diri hanya karena menjaga harga diri."
Delima Ungu tak mau ketinggalan, juga membisikkan
kata yang hanya pendek tapi bermakna dalam, "Kalau kau mati, aku ikut mati
melawan dia!"
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum ketika
matanya beradu pandang dengan Delima Ungu. Gadis
itu tak henti-hentinya menatap, bagai memuaskan diri menikmati sebentuk
ketampanan yang mengagumkan
hati. Dan tiba-tiba terdengar suara Ki Darma Paksi
berkata, "Aku mendengar tangis tertahan. Aku
merasakan luka terpendam. Aku juga mendengar
langkah-langkah gontai sedang menuju kemari!
Kusarankan padamu, Pendekar Mabuk, jangan pergi
sebelum datang si langkah gontai itu. Jangan pergi, Suto!"
Apa maksud kata-kata itu, tak begitu jelas bagi
mereka bertiga. Tapi Pendekar Mabuk cepat tanggap dan bisa mengartikannya. Itu
tandanya akan datang
seseorang dalam keadaan terluka, menahan tangis, dan menahan sakit. Siapa orang
itu" Tak jelas jawabnya.
Tapi mereka segera terkesiap melihat Ki Darma Paksi melompat keluar dan tahutahu sudah berada di halaman pondoknya. Seakan ia berdiri di sana untuk menunggu
seseorang yang akan datang. Dan sikap itu membuat
mereka berempat segera keluar juga dan berada di
pelataran. Kejap berikutnya, sesosok tubuh melangkah dengan
gontai, terhuyung-huyung dalam keadaan berlumur
darah. Mata mereka sama-sama terperanjat memandang
ke arah orang yang terhuyung-huyung itu, dan mulut
Arum Kafan lebih dulu memekik,
"Dewi...!"
Dengan tenang Ki Darma Paksi berkata, "Sambutlah
awal keturunan kalian itu! Bawalah berlindung di
pondokku untuk menyelamatkan jiwanya. Ia terluka
parah pada bagian punggungnya!"
Apa yang diucapkan oleh Ki Darma Paksi memang
benar. Hanya selintas memandang Dewi Taring Ayu
yang terhuyung-huyung gontai itu, Ki Darma Paksi
sudah bisa mengetahui bahwa luka parah itu ada di
bagian punggung. Luka parah itu akibat sabetan sebuah pedang tajam, sementara
pedangnya sendiri masih
digenggam dengan tangan kanan.
"Dewi, apa yang terjadi"! Oh, lukamu besar sekali, Dewi...!" Arum Kafan sedikit
panik menghadapi
kakaknya terluka parah begitu.
"Tulang Neraka mengejarku...! Dia tahu aku terluka parah, sekarang masih
memburuku...!" tutur Dewi Taring Ayu sambil terengah-engah, wajahnya pucat pasi
karena kekurangan darah.
"Minumlah tuakku dulu, baru kau bercerita banyak-banyak," kata Suto yang tadi
sempat tegang sebentar, tapi sekarang sudah bisa tenang kembali. Ia membantu
Dewi Taring Ayu untuk menenggak tuaknya beberapa
teguk. Tuak itu mempercepat keringnya luka dan
lenyapnya rasa sakit.
"Dewi Taring Ayu...!" terdengar suara berteriak kasar dan keras dari pekarangan.
"Aku tahu kau lari kemari, karena darahmu yang menetes di bumi menunjukkan
kepadaku! Kau tak akan bisa lari dari kematianmu, Dewi Taring Ayu! Ha ha ha
ha...!" "Keparat si Tulang Neraka itu!" Delima Ungu
menggeram, lalu segera bergegas keluar. Tapi tangan Ki Darma Paksi menghadang,
menghalanginya dan berkata,
"Bukan dia tandinganmu, dan bukan kamu
tandingannya, Delima Manis! Biarkan Suto yang
menghadapi angkara murka, si setan sesat berjiwa laknat itu!"
Suto selesai menutup bumbung tuaknya. Saat itu
terdengar suara Ki Darma Paksi,
"Saat inilah kejahatan akan dikalahkan oleh kebaikan, yang hitam akan
dihancurkan oleh yang putih, dan sudah saatnya kau turun tangan mengatasi
kesesatan jiwa ini sebagai murid si Gila Tuak!"
"Jangan, Suto! Jangan menghadapi dia!" kata Dewi Taring Ayu.
"Dia benar-benar tak bisa dilawan!" tambah Dewi Taring Ayu setelah Suto
menyunggingkan senyum. Dan
dengan pelan ia berkata,
"Boleh aku meminjam pedangmu, Dewi?"
Perempuan bertaring itu tidak menjawab, Pendekar
Mabuk pelan-pelan mengambil pedang itu dengan mata
tetap menatap Dewi Taring Ayu. Ia berkata pelan setelah menggenggam pedang itu,
"Kau cantik, Dewi...!" setelah itu Pendekar Mabuk pun melesat keluar diikuti
oleh ketiga adik Dewi Taring Ayu. Tapi mereka hanya sampai di batas serambi
saja, tak berani ikut ke pelataran. Ki Darma Paksi membantu Dewi Taring Ayu
untuk ikut ke serambi melihat
pertarungan Pendekar Mabuk dengan Tulang Neraka.
"Aha, rupanya kau juga ada di sini, Pemuda Tampan!
Kau yang mengalahkan aku tempo hari, dan sekarang
mau serahkan nyawa padaku" Bagus sekali! Bagus
sekali!" Sett...! Suto Sinting menggenggam pedang kuat-kuat
dengan kedua tangannya. Pedang ada di depan ketiak
kanan, kedua kaki rapat merendah. Matanya tajam
melirik gerakan Tulang Neraka.
"Hiaaat...!" Tulang Neraka maju menyerang dengan mengibaskan pedangnya dari atas
ke bawah. Zlapp...! Pendekar Mabuk tiba-tiba sudah berada di
belakang Tulang Neraka dan menebaskan pedangnya
dua kali. Wuttt, wwuttt...! Pedang bagai mengenai
bayangan. Suto sendiri ditertawakan oleh Tulang
Neraka. Tetapi, segera Suto mengusap dahinya memakai tangan kanan. Clapp...!
Pendekar Mabuk menghilang,
masuk ke alam gaib. Hanya Pendekar Mabuk dan Ki
Darma Paksi yang tahu, bahwa Suto berada di alam gaib, tak bisa terlihat oleh
mata Arum Kafan, Dewi Taring Ayu, dan kedua adik mereka itu. Tetapi buat Tulang
Neraka, ia tetap melihat gerakan Suto, bahkan tak tahu bahwa Suto ada di alam
gaib, sejajar dengan raganya.
"Ke mana dia..."!" gumam Delima Ungu dengan tegang. Mereka hanya memandang
Tulang Neraka bagai
sedang bertarung dengan tempat kosong. Kadang ia
melompat sendiri, kadang ia menebas sendiri.
Trang, trang...!
Mereka terkejut mendengar suara benturan pedang
dua kali, sedangkan di mata mereka tetap tidak melihat Suto bersama pedangnya.
Arum Kafan berkata seperti
bicara pada dirinya sendiri,
"Dia ada! Dia ada di sana, tapi tidak terlihat oleh kita!"
"Luar biasa kesaktian si tampan itu," gumam Dewi Taring Ayu.
Ki Darma Paksi berkata, "Suto masuk ke alam gaib dan menemui raga Tulang Neraka!
Matilah orang sesat itu sebentar lagi!"
Ucapan itu memang benar. Baru saja berhenti ucapan
Ki Darma Paksi, tiba-tiba ia dan yang lainnya melihat Tulang Neraka tersentak
mundur dan terpekik tertahan,
"Ahk...!" Ia mulai tampak kebingungan, dadanya sempat digores oleh pedang
Pendekar Mabuk. Ia benar-benar heran dan tak menyangka akan bisa dilukai. Ia
memegang luka itu, memandang darah di tangannya.
"Kau bisa melukaiku, Jahanam..."!" geram Tulang Neraka. Ia tampak semakin bengis
dan buas. Wuttt wuttt wuttt...!
Pedang Suto berkelebat cepat saat melompat
menyerang. Tapi Tulang Neraka tidak melihat gerakan Suto karena cepatnya. Hanya
tahu-tahu ia tersentak
bagai terpaku di tempat. Mereka yang menyaksikan juga melihat Tulang Neraka
terpaku di tempat. Tangan
kanannya tiba-tiba putus, jatuh ke tanah. Pluk...! Disusul kemudian daun
telinganya jatuh karena terpotong.
Pluk...! Kejap berikutnya, mata yang membelalak dan mulut yang ternganga itu
jatuh menggelinding bersama kepalanya, sedangkan raganya masih berdiri bagai
tertancap di tanah. Diam tak bergerak.
Mata mereka yang menyaksikan pertarungan itu
menjadi terbelalak dengan mulut melongo tanpa bisa
berkata apa-apa. Ternyata Suto Sinting-lah orang yang bisa mengalahkan ilmu
'Kidung Mantera Gaib' itu. Rasa kagum dan takjub mereka terhadap kesaktian Suto
sampai membuat mereka sulit bicara, bahkan ketika Suto sudah menampakkan diri
lagi dengan cara mengusap
kembali keningnya memakai tangan kiri, perempuanperempuan cantik itu masih terpaku tak bisa bicara.
Kepala, tubuh, dan bagian tubuh dari manusia sesat
Tulang Neraka itu segera mengeluarkan cahaya merah
membara seperti besi terpanggang api. Cahaya itu makin memancar menyilaukan,
lalu redup dalam seketika.
Blapp...! Dan Ki Darma Paksi berkata,
"Lenyap sudah ilmu titisan itu!"
Ucapan itu memang benar. Tubuh dan kepala Tulang
Neraka kembali dapat disentuh walau dengan kaki. Itu berarti ia bukan lagi
menjadi bayangan seperti saat ilmu setan itu menitis dalam dirinya.
Pendekar Mabuk mendekati Dewi Tarung Ayu,
menyerahkan pedang Dewi Taring Ayu dengan kedua
tangan. Dewi Taring Ayu tersenyum, lalu pedang
diangkatnya ke atas oleh Dewi Taring Ayu. Tapi
ternyata di tangan Suto masih ada pedang, dan di tangan Dewi Taring Ayu yang
terangkat ke atas itu tidak
memegang pedang. Dewi Taring Ayu tertawa, ingat
masa pertemuannya dengan Suto ketika mereka pamer
ilmu dengan logam ujung golok yang menancap di
pohon. "Jangan melecehkan aku lagi. Aku hormat pada
ilmumu yang tinggi itu, Suto! Tak akan kupamerkan
ilmuku di depanmu lagi," kata Dewi Taring Ayu yang mulai mengering lukanya.
Pendekar Mabuk hanya memandangi Dewi Taring
Ayu dengan senyum menawan setiap mata yang
memandangnya kala itu. Dan Suto berucap kata kepada Dewi,
"Kau cantik, Dewi...!"
Perempuan bertaring itu tersipu malu. Cepat-cepat
Delima Ungu mendekat dengan cemberut dan berkata,
"Aku..."!"
"Kau... lebih cantik dari yang tercantik," jawab Suto Sinting, membuat Delima
Ungu merah wajahnya,
dikulum senyumnya, dan ia biarkan Dewi Taring Ayu
merangkulnya. "Kita geledah Pulau Dedemit untuk mendapatkan
kitab itu dan harus segera kuserahkan kepada guruku!"
kata Suto. "Aku setuju," jawab Dewi Taring Ayu mewakili adik-adiknya. Kemudian mereka pun
pergi ke Pulau Dedemit, dan berhasil menemukan kitab pusaka tersebut dalam
gua setelah mengalahkan Dogol lebih dulu. Dogol dibuat kabur terbirit-birit oleh
Delima Ungu. Maka, Suto pun terpaksa harus meninggalkan
mereka, karena ia harus segera menemui gurunya untuk menyerahkan kitab tersebut.


Pendekar Mabuk 021 Titisan Ilmu Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka terpaksa harus rela melepas kepergian Pendekar Mabuk, walau Dewi Taring
Ayu sempat membisikkan kata kepada Suto Sinting,
"Baru sekarang aku menelan cairan lain yang bukan darah, yaitu tuak Suto! Rasarasanya, lebih nikmat dari darah manusia!"
"Tuak lain pun lebih nikmat! Percayalah, Dewi!"
Pendekar Mabuk menepuk pundak Dewi dengan
mantap, lalu melangkah pergi dalam gerakan secepat
angin badai. Zlappp...!
SELESAI PENDEKAR MABUK Segera menyusul:
LENTERA KEMATIAN
E-book by: paulustjing
Email: paulustjing@yahoo.com
Medali Wasiat 7 Pendekar Bayangan Sukma 13 Sumpit Nyai Loreng Gadis Penyebar Cinta 1

Cari Blog Ini