Ceritasilat Novel Online

Jari Maut Pencabut Nyawa 1

Pendekar Naga Putih 05 Jari Maut Pencabut Nyawa Bagian 1


PENDEKAR NAGA PUTIH
PENDEKAR NAGA PUTIH
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin
tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Jari Maut Pencabut Nyawa
128 hal.; 12 x 18 cm
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Clicker
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
1 "Hait... hiaaat...!"
Keheningan pagi yang sejuk, tiba-tiba saja dipecahkan teriakan-teriakan
orang yang sedang berlatih silat. Untunglah suara teriakan itu sama sekali tidak merusak keindahan sang pagi.
Seolah-olah suara itu memang bagian dari pagi itu sendiri, sehingga semakin
menambah semarak suasana hari ini.
Sesosok tubuh ramping tampak bergerak lincah disertai ayunan pedang hitamnya
yang menimbulkan hawa maut.
Dari gerakannya yang ringan dan bertenaga kuat, dapat diduga
kalau sosok tubuh ramping itu memiliki kepandaian yang tidak rendah.
"Hiaaat...!"
Dibarengi sebuah pekikan tinggi, tubuh ramping itu meluncur dan berputar ke
depan bagai baling-baling.
Sedangkan pedang hitam di tangannya menusuk dengan kecepatan yang menggetarkan!
Wuuung! Wuuung...!
Prasss! Prasss...!
Hebat sekali akibat yang ditimbulkan gerakan itu.
Sebuah dahan pohon setinggi tiga tombak, terpapas habis daun-daunnya tanpa
sebuah goresan pun terdapat di batangnya. Sebuah ilmu pedang yang tidak bisa
dianggap enteng.
Setelah bersalto tiga kali di udara, sosok tubuh ramping itu mendaratkan kakinya
ringan di tanah. Ternyata dia seorang gadis yang berparas sangat cantik! Kalau
dilihat dari raut wajah, paling jauh usianya sekitar delapan belas tahun.
Namun, kepandaian yang dimilikinya sudah
demikian hebat! Benar-benar seorang gadis tak ada duanya.
"Ha ha ha...! Bagus...! Bagus, Cucuku! 'Ilmu Pedang Bidadari Menabur Bunga' yang
kau mainkan tadi sudah cukup baik. Hanya saja dalam gerakan-gerakanmu tadi ada
beberapa bagian yang perlu diperbaiki." Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di
belakang gadis itu telah berdiri seorang kakek berusia sekitar tujuh puluh
tahun. "Eyang...!"
Gadis bertubuh ramping yang mengenakan pakaian
serba hijau itu berseru gembira. Dengan wajah beseri-seri, ia berlari
menghampiri kakek itu. Rambutnya yang panjang dan berwarna hitam pekat itu
bergoyang lembut mengikuti
ayunan langkahnya. Langsung dijatuhkan dirinya, berlutut di hadapan kakek itu.
"Eyang, aku mohon petunjuk...," pinta gadis jelita itu sambil berlutut. Suara
yang keluar dari sela-sela bibir mungil itu demikian merdu, tak ubahnya nyanyian
indah. "Kenanga, Cucuku. Sifatmu yang selalu merendah dan tidak suka menonjolkan
kelebihan, membuat Eyang semakin yakin bahwa engkau tidak mungkin akan
menyalahgunakan
kepandaian yang kuturunkan kepadamu. Dan sifat itu pulalah yang akan menjauhkan dirimu dari segala bencana
dalam pengembaraanmu di dunia persilatan nanti," ucap kakek itu sambil mengusap
rambut kepala gadis yang bernama Kenanga. Kedua mata kakek itu sejenak meredup
ketika mengucapkan kata-kata terakhir yang membuat hatinya bergetar.
"Eyang. Apa..., apa maksud Eyang..." Apakah Eyang sudah tidak menyayangiku
lagi?" tanya Kenanga terkejut.
Dengan gerakan pelahan, gadis itu segera bangkit berdiri.
Ditatapnya sepasang mata tua di hadapannya itu, penuh ketidakmengertian.
Kakek tua itu cepat menguasai perasaan agar muridnya tidak mengetahui apa yang
tengah dirasakannya saat ini.
Dengan penuh kasih sayang diusap-usapnya rambut kepala muridnya. Tubuh tua itu
kemudian berbalik dan melangkah pelahan-lahan menuju sebuah pondok kayu yang
letaknya tidak jauh dari tempat muridnya biasa
berlatih silat.
Kenanga yang hatinya masih dipenuhi tanda tanya itu termenung sejenak. Dan tanpa
berkata apa-apa lagi, gadis itu
pun bergegas menyusul gurunya. Disejajarkan langkahnya di sisi gurunya dengan kepala tertunduk dalam-dalam. Wajahnya yang
semula berseri penuh kegembiraan, kini terlihat muram. Bahkan sang mentari pagi
yang semula bersinar cerah mendadak meredup, seolah-olah ikut merasakan
kemurungan dara jelita ini.
Sementara tanpa disadari mereka, tiga pasang mata tengah mengawasi dari balik
semak-semak yang berjarak kurang lebih lima belas tombak di belakang.
"Duduklah, Cucuku," ujar kakek itu lembut. "Angkatlah kepalamu. Janganlah
suasana pagi yang indah ini dirusak oleh kemurunganmu. Tersenyumlah, Cucuku.
Kuasailah hatimu dan janganlah mudah terhanyut oleh perasaan."
Kenanga tersentak ketika mendengar ucapan gurunya.
"Ahhh, mengapa aku jadi lupa pada pelajaran yang selalu Eyang berikan" Yahhh,
Eyang benar! Aku tidak boleh terlalu larut dalam perasaan. Apalagi itu merupakan
pantangan bagi orang yang memiliki ilmu silat," ucap gadis jelita itu dalam
hati. Kakek tua itu tersenyum lebar ketika melihat wajah muridnya cerah kembali.
Kegembiraan kakek itu bukanlah disebabkan
berserinya wajah Kenanga, tapi karena muridnya ternyata telah mengerti maksud yang terkandung dalam ucapannya tadi.
"Maafkan aku, Eyang. Aku terlalu mengikuti perasaan.
Habis ucapan Eyang tadi terlalu tiba-tiba datangnya," ucap Kenanga dengan suara
pelahan. Namun, wajahnya sudah berseri
kembali karena sudah dapat menguasai perasaannya. "Kenanga, kau masih muda dan masih punya banyak keinginan. Apakah ingin tinggal
di hutan ini selamanya, dan tidak ingin melihat dunia ramai lagi" Kalau begitu,
untuk apa gunanya mempelajari ilmu silat" Bukankah segala
ilmu yang dimiliki harus diamalkan"
Lalu, bagaimana akan mengamalkannya di tempat terasing seperti ini?" kakek itu
melontarkan pertanyaan bertubi-tubi dengan lembut, namun mengandung kebenaran
yang tidak bisa dibantah oleh Kenanga.
"Tapi, siapakah yang akan mengurus keperluan Eyang?"
tanya gadis itu, masih berusaha mencari alasan karena hatinya masih merasa berat
untuk meninggalkan gurunya.
"Ha ha ha...! Bukankah sebelum ada dirimu aku telah dapat memenuhi kebutuhanku
sehari-hari" Nah, apa lagi alasanmu sekarang?"
"Tapi.... Tapi, Eyang...."
"Aaah! Sudahlah, Cucuku. Lebih baik sekarang persiapkan segala keperluanmu untuk bekal di perjalanan nanti. Lagipula,
bukankah kau ingin cepat-cepat bertemu pemuda yang berjuluk Pendekar Naga Putih
yang dulu pernah kau ceritakan padaku," goda kakek itu sambil tersenyum.
"Ah, Eyang...,"
Kenanga tertunduk malu ketika diingatkan tentang Panji (Bagi Anda yang ingin mengetahui kisah pertemuan
Kenanga dengan Panji, silakan baca serial Pendekar Naga Putih dalam episode
"Tiga Iblis Gunung Tandur"). Wajahnya dijalari rona merah ketika teringat pemuda
pujaannya itu. Selintas tersirat di mata dara jelita itu butir-butir kerinduan
yang telah lama terpendam dalam hati. Samar-samar terdengar helaan napas berat
berhembus dari hidungnya yang berbentuk indah itu.
Begitu indahnya lamunan yang menghanyutkan gadis itu
sehingga tidak sadar kalau gurunya telah meninggalkannya beberapa saat yang lalu. Ketika tersadar, gadis jelita itu pun
bergegas meninggalkan tempat itu untuk menyusul gurunya yang telah kembali ke
tempat tinggal mereka.
*** Pada hari kedua setelah kepergian Kenanga, dua orang laki-laki tinggi besar
melangkah mendatangi pondok
tempat tinggal guru gadis itu.
"Hei, Raja Pedang Pemutus Urat! Keluar kau!" teriak salah satu dari mereka
dengan suara mengguntur.
Tubuhnya sedikit lebih tinggi dari kawannya. Wajahnya dipenuhi bulu hitam lebat
sehingga nampak gagah dan menyeramkan.
Setelah hening sejenak, pintu pondok pun terkuak.
Maka muncullah kakek tua yang menjadi guru Kenanga.
Ternyata, dia berjuluk Raja Pedang Pemutus Urat. Sebuah julukan yang tidak asing
lagi bagi kaum persilatan. Kening kakek itu agak berkerut seolah berusaha
mengenali kedua pendatang itu.
"Hm.... Siapakah Kisanak berdua, dan ada keperluan apa mencariku?" tegur Raja
Pedang Pemutus Urat, suaranya tenang dan lembut.
"Kami adalah dua saudara, berjuluk Gorilla Batu. Dan maksud kedatangan kami
untuk meminjam Kitab Jari Maut yang kau miliki," kali ini yang berbicara adalah
orang yang berkepala gundul.
Raja Pedang Pemutus Urat terkejut bukan main
mendengar permintaan yang di luar dugaan itu. Cepat kakek itu menekan debaran
dalam dadanya. "Hm..., apa maksud perkataanmu itu, Kisanak" Sama sekali tidak kumengerti?"
"Huh!" dengus laki-laki bercambang bawuk bagaikan seekor
kerbau liar. "Jangan memancing-mancing
kemarahan kami, kakek peot! Cepat serahkan kitab itu, atau ingin merasakan
kepalan kami terlebih dahulu?"
"Aku sama sekali tidak tahu-menahu tentang kitab yang kau sebutkan itu. Kalaupun
tahu, aku tidak akan memberikannya kepadamu!" jawab Raja Pedang Pemutus Urat
tegas. "Bangsat, tua bangka tidak tahu diuntung! Mampuslah kau! Hiaaat..!"
Dibarengi sebuah bentakan menggelegar, laki-laki bercambang bawuk itu menerjang Raja Pedang Pemutus Urat. Kepalannya yang sebesar
kepala bayi itu mengaung
dahsyat menuju dada lawan.
Wuuuttt! Kepalan yang mengandung tenaga dalam tinggi itu mengenai tempat kosong ketika
kakek itu menggeser tubuhnya
ke belakang. Dan sebelum si brewok memperbaiki posisi, Raja Pedang Pemutus Urat langsung melancarkan tiga buah
serangan beruntun.
Buk! "Ugh...!"
"Aaah...!"
Tubuh tinggi besar itu terjajar mundur sejauh delapan langkah


Pendekar Naga Putih 05 Jari Maut Pencabut Nyawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akibat tendangan kaki kanan lawan yang
menghantam dadanya. Meskipun tidak terluka, namun si brewok cukup terkejut
melihat kecepatan gerak lawan yang sama sekali tidak diduga itu.
Sedangkan Raja Pedang Pemutus Urat pun tidak kalah terkejutnya.
Kaki kanannya bagaikan menghantam sebongkah besi padat sehingga menimbulkan rasa nyeri yang menyengat dan menjalar
hingga ke lutut. Padahal sebagian
tenaga dalamnya telah disalurkan waktu menyerang tadi. Diam-diam kakek itu merasa terkejut sekali melihat kekebalan
tubuh lawan yang tinggi besar itu.
"Tua bangka keparat! Rupanya kau lebih suka memilih mati daripada menyerahkan
Kitab Jari Maut itu. Kalau memang itu yang menjadi kemauanmu, baiklah! Jangan
salahkan kalau kami berbuat kasar kepadamu," ancam laki-laki brewok itu
menggeram marah
"Hm...," gumam Raja Pedang Pemutus Urat pelahan tanpa mempedulikan ucapan
lawannya. Tanpa banyak cakap lagi, kakek itu segera mencabut keluar pedang yang
tersampir di punggungnya.
Sriiing! Sebilah pedang bersinar kuning keemasan telah tergenggam di tangan Raja Pedang Pemutus Urat. Terdengar suara mengaung tajam ketika pedang bersinar kuning itu diputar-putar
untuk melindungi dadanya.
Kedua kakinya bergerak membentuk kuda-kuda. Tangan kirinya digerakkan ke depan
dada, sedangkan tangan kanannya
yang memegang pedang berada di atas kepalanya dengan siku ditekuk. Sebuah gerakan pembukaan jurus 'Pedang Pemutus Urat' yang telah menggegerkan rimba persilatan.
"Huh!" dengus laki-laki brewok itu kasar. Tanpa membuang-buang waktu lagi, orang
tinggi besar itu segera meloloskan
sebuah rantai baja berat yang melilit tubuhnya. Diputarnya rantai baja itu hingga menimbulkan angin keras menderuderu. "Hati-hati, Kakang Soma! Kepandaian Raja Pedang Pemutus Urat tidak boleh
dipandang rendah," seru saudaranya yang berkepala gundul itu mengingatkan.
Sedangkan dia sendiri sudah pula mencabut keluar sebilah golok besar yang
terlihat sangat berat dari punggungnya.
"Kalau kau merasa gentar, lebih baik kau mundur, Adi Ludira!" teriak laki-laki
brewok yang ternyata bernama Soma itu geram. Bagaimanapun juga, Soma tidak
senang mendengar adiknya membesar-besarkan lawannya
"Heaaa...!"
Tiba-tiba Soma membentak keras sambil mengayunkan rantai baja ke arah Raja
Pedang Pemutus Urat. Rantai baja itu mengaung dahsyat mengancam tubuh lawan.
Melihat serangan dahsyat itu, Raja Pedang Pemutus Urat segera merendahkan
tubuhnya hingga serangan itu lewat di atas kepalanya. Tapi begitu kepalanya
diangkat, datang serangan dari ujung rantai lain yang berdesing cepat bagai
kilat. Laki-laki tua guru Kenanga itu mengayunkan
senjatanya menangkis serangan yang datang. Trang! Bunga api berpijar ketika dua senjata yang mengandung tenaga dahsyat itu
berbenturan keras. Keduanya terdorong mundur akibat benturan itu.
Raja Pedang Pemutus Urat terdorong sejauh enam
langkah. Segera diperiksa senjatanya kalau-kalau rusak.
Hati kakek itu menjadi lega ketika mendapati senjatanya masih utuh.
Sedangkan lawannya terdorong sejauh lima belas
langkah. Dari sini saja sudah dapat diukur kalau tenaga Raja Pedang Pemutus Urat
masih lebih tinggi dua tingkat daripada laki-laki brewok yang bernama Soma itu.
Dan hal ini tentu saja sangat mengejutkan hatinya. Padahal selama ini dia selalu
mengagungkan tenaganya. Tapi kini, ternyata laki-laki itu harus menerima
kenyataan bahwa tenaga Raja Pedang Pemutus Urat masih lebih tinggi.
Dan belum lagi kakek itu mempersiapkan serangan berikut, tiba-tiba datang
serangan dari adik si brewok itu dengan golok besarnya. Namun dalam beberapa
jurus saja, laki-laki gundul itu sudah mulai kerepotan menghadapi serangan
balasan Raja Pedang Pemutus Urat yang
menggunakan ilmu andalannya. Ilmu yang tak ada duanya dalam rimba persilatan.
Dapat dipastikan, dalam beberapa jurus lagi laki-laki gundul yang bernama Ludira
itu tidak akan mampu untuk melindungi dirinya dari serangan ujung pedang yang
selalu mengincar bagian-bagian tubuh yang mematikan.
Melihat keadaan adiknya yang terdesak itu, Soma langsung
melompat dan melibatkan dirinya dalam pertarungan itu. Begitu tiba, laki-laki brewok itu segera melancarkan serangan
dahsyat. Rantai bajanya meluncur ke arah kepala Raja Pedang Pemutus Urat yang
tengah mendesak Ludira. Akibatnya, orang tua itu terpaksa melompat ke belakang
menghindari rantai baja Soma.
Rupanya serangan yang dilancarkan Soma tidak berhenti sampai di situ saja. Sebab ke manapun Raja Pedang Pemutus Urat
menghindar, rantai baja itu masih terus mencecarnya. Mau tidak mau kakek itu
harus mengakui kehebatan lawannya yang satu itu. Beberapa kali senjata itu
hampir menghajar tubuhnya, sehingga harus
terpaksa ditangkis demi menahan serangan berbahaya itu. Hati Soma bukan main terkejut ketika ujung rantai
bajanya berbalik ke arahnya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, segera dilempar
tubuhnya ke belakang untuk menyelamatkan diri dari ancaman ujung rantai miliknya
sendiri itu. Setelah melakukan salto sebanyak empat kali, barulah laki-laki
gundul itu terlepas dari ancaman maut senjatanya sendiri. Namun belum lagi
sempat menarik napas lega, tahu-tahu saja pedang di tangan lawan sudah datang
mengancam tenggorokannya.
"Heh"! Bangsat!"
Terpaksa Soma menggulingkan tubuhnya menghindari ancaman ujung pedang lawan.
Untunglah pada saat yang berbahaya itu, Ludira datang membantu sehingga dia
terhindar dari ancaman maut itu.
Trang! "Uuuh...!"
Tubuh Ludira yang tinggi besar itu terjengkang ke belakang ketika menangkis
pedang bersinar kuning keemasan yang dikibaskan Raja Pedang Pemutus Urat
disertai pengerahan tenaga dalam itu. Laki-laki gundul itu langsung
menggulingkan tubuh untuk berjaga-jaga dari serangan lawan berikutnya. Tubuhnya
melenting berdiri ketika lawan tidak melakukan serangan susulan.
Saat itu Soma yang sudah dapat menguasai keadaan, kembali menerjang Raja Pedang
Pemutus Urat. Kali ini laki-laki brewok itu benar-benar harus menguras seluruh
kepandaiannya untuk menghadapi lawan yang sangat lihai itu.
Di pihak lain, Ludira pun sudah menggerakkan golok besarnya dan langsung
melancarkan serangan ganas.
Goloknya yang besar dan berat itu berdesingan di sekitar tubuh lawan.
Raja Pedang Pemutus Urat sama sekali tidak merasa gentar menghadapi keroyokan
dua Gorilla Batu itu. Pedang bersinar kuning keemasan di tangannya bergerak
secepat kilat membalas serangan dua orang lawannya. Pertempuran pun berjalan semakin seru dan mendebarkan! Pada jurus yang ketiga puluh tujuh, rantai baja di tangan Soma meluncur
mengancam kepala Raja Pedang Pemutus Urat. Melihat serangan tersebut, laki-laki
tua itu segera menjejak bumi, maka tubuhnya langsung melambung tinggi. Sehingga serangan rantai baja lawan hanya lewat di bawah
kakinya. Raja Pedang Pemutus Urat bersalto ke depan sambil menusukkan pedangnya
ke dada lawan. Ludira yang melihat saudaranya terancam bahaya, segera melompat memapak pedang
lawan. Golok besarnya diayunkan, menebas pinggang Raja Pedang Pemutus Urat yang
tengah meluncur ke arah Soma.
Menyadari akan bahaya yang mengancam dirinya, Raja Pedang Pemutus Urat
mengurungkan niatnya menyerang Soma.
Segera dikelebatkan pedangnya menyambut serangan Ludira. Terdengar benturan yang memekakkan telinga dibarengi jatuhnya
tubuh Ludira yang tidak mampu mengimbangi kekuatan tenaga lawan.
Sebelum laki-laki gundul itu dapat memperbaiki keadaannya, pedang di tangan lawan sudah meluncur datang mengancam
tenggorokannya. Bergegas Ludira melempar tubuhnya ke samping. Namun Raja Pedang
Pemutus Urat yang sudah telanjur jengkel itu terus mencecar lewat seranganserangan cepat bagai kilat.
"Aaakh...!"
Ludira meraung keras ketika pedang bersinar kuning keemasan itu menggores
lambungnya. Darah segar mulai mengucur membasahi pakaiannya. Tubuhnya boleh jadi
kebal terhadap senjata lawan, tapi tidak untuk pedang pusaka sinar emas yang
berada di tangan Raja Pedang Pemutus Urat. Sehingga meskipun tubuhnya terlindung
ilmu kebal, tetap saja tidak mampu menahan sabetan pedang pusaka sinar emas.
Apalagi pedang itu berada di tangan tokoh sakti seperti Raja Pedang Pemutus Urat
yang tidak disangsikan lagi kelihaiannya dalam menggunakan pedang.
Pada saat yang sama, rantai baja di tangan Soma
meluncur datang melibat tubuh Raja Pedang Pemutus Urat.
Prat! "Hehhh...!"
Rantai baja milik Soma itu cepat melibat tubuh Raja Pedang Pemutus Urat. Kakek
sakti itu bertindak cepat!
Kedua kakinya segera dipantek ke tanah, sedangkan rantai baja itu dicengkeramnya
kuat-kuat. Terjadilah tarik-menarik yang menegangkan! Raja Pedang Pemutus Urat
mengerahkan seluruh tenaga dalam untuk mempertahankan dirinya agar tidak terseret tarikan Soma yang memang memiliki
tenaga dalam tinggi itu. Butir-butir keringat mulai membasahi kening orang tua
sakti itu. Di lain pihak, keringat sebesar biji jagung mulai mengalir membasahi sekujur
tubuh Soma. Samar-samar selapis uap tipis tampak mengepul dari ubun-ubun Soma.
Itu tandanya dia telah mengerahkan tenaganya habis-habisan.
"Hiaaah...!"
Mendadak, Raja Pedang Pemutus Urat mengulur
tangannya menggenggam rantai yang melibat tubuhnya.
Lalu disentakkan rantai itu sekuat tenaganya.
"Akh...!"
Soma berteriak kaget, ketika secara tiba-tiba tubuhnya yang tinggi besar itu
tersentak dan meluncur ke arah Raja Pedang Pemutus Urat. Dalam keadaan mengapung
di udara, sepasang kaki lawan yang mengandung tenaga dalam dahsyat itu telak
menghantam dadanya!
Buk! "Ugh...!"
Tubuh Soma terpelanting keras! Darah segar muncrat dari mulutnya. Namun kekuatan
tubuh laki-laki brewok itu benar-benar luar biasa. Meskipun gerakannya terlihat
limbung, namun masih bisa bangkit menghampiri Ludira yang tengah berjalan ke
arahnya. "Tunggu pembalasan kami, Raja Pedang Pemutus
Urat...!" ancam Soma penuh kemarahan.
Raja Pedang Pemutus Urat termangu melihat kepergian dua orang laki-laki tinggi
besar yang terluka Itu.
Sementara angin lembut bertiup mempermainkan jenggot kakek itu yang panjang dan


Pendekar Naga Putih 05 Jari Maut Pencabut Nyawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah memutih. "Hhh.... Siapa sangka hari ini aku telah menanam bibit permusuhan baru. Entah
dari golongan mana mereka...?"
desah Raja Pedang Pemutus Urat sedih.
*** 2 "Uhk... hughk...!"
Sosok laki-laki muda tampak tengah melangkah tersuruk-suruk menerobos semak dan jalanan berbatu.
Sebentar-sebentar langkahnya terhenti, lalu terbatuk-batuk hebat. Cairan merah
menetes keluar dari celah-celah bibirnya yang pucat. Kelihatannya laki-laki muda
itu terluka parah!
Bajunya yang berwarna kuning cerah itu tampak
dikotori noda darah di sana-sini. Beberapa bagian lainnya telah
koyak hingga terlihat kulit dagingnya yang mengeluarkan darah. Jelas, itu bekas goresan benda tajam!
Sambil terus melangkah dengan susah payah pemuda itu
terbatuk kembali dengan hebatnya. Tubuhnya terbungkuk-bungkuk sambil menekap dadanya yang panas bagai terbakar.
"Uhk... uhk... uuuhhh...!"
Mungkin karena tak sanggup menahan luka yang
diderita, pemuda itu terguling roboh di sebuah tanah lapang
berumput tebal. Dibarengi keluhan pendek, kepalanya pun terkulai setelah terlebih dahulu memuntahkan segumpal darah kehitaman. Laki-laki muda berwajah tampan itu kini
tergolek tak berdaya, pingsan.
Entah sudah berapa lama dia tak sadarkan diri. [img]
Ketika matanya terbuka, terasa tubuhnya agak ringan dan hanya sedikit rasa nyeri
yang masih tersisa. Diam-diam pemuda itu menjadi heran sekali. Bagaimana mungkin
luka-lukanya yang begitu parah tahu-tahu saja telah hampir sembuh" Padahal ia
tadi hanya pingsan.
Namun, ketika kedua matanya dapat melihat jelas, pemuda itu menjadi heran.
Ternyata dirinya terbaring pada
sebuah dipan kayu, di sebuah kamar yang cukup bersih.
Diedarkan pandang matanya berkeliling meneliti seluruh isi kamar itu.
"Hhh.... Di manakah aku...?" keluh pemuda itu
mencoba bangkit dari pembaringan beralaskan tikar pandan itu.
"Ahhh.... Syukurlah kau sudah siuman, Anak Muda.
Hampir setengah hari kau tak sadarkan diri. Apa yang terjadi pada dirimu, Anak
Muda" Kulihat luka-lukamu parah sekali," tiba-tiba terdengar suara yang begitu
bijak. Di depan pintu kamar yang telah terkuak itu, tampak berdiri sosok tubuh renta.
Suaranya terdengar halus dan sabar. Di tangannya tergenggam sebuah cawan bambu.
"Siapakah engkau, Kakek" Dan di mana aku sekarang?"
tanya laki-laki muda itu.
"Tenanglah,
Anak Muda. Jangan terlalu banyak bergerak dulu, karena lukamu masih belum sembuh benar.
Nah, sekarang minumlah obat ini agar kesehatanmu cepat pulih," ujar kakek itu sambil menyodorkan cawan berisi obat di tangannya.
Tanpa banyak cakap lagi, pemuda itu langsung
menenggak habis obat yang diberikan penolongnya itu.
Sekilas, terlihat seringai di wajahnya karena obat itu terasa pahit.
"Terima kasih, Kek. Entah apa jadinya diriku apabila tidak ditolong Kakek"
"Sudahlah, Anak Muda. Sekarang tidurlah agar nanti tubuhmu terasa segar
kembali," setelah berkata demikian, kakek itu pun bergegas meninggalkan tempat
itu. Tanpa berkata apa-apa lagi, pemuda itu merebahkan tubuhnya. Beberapa saat
kemudian terdengar dengkuran halus, pertanda ia telah terlelap.
*** Menjelang sore, laki-laki muda itu terbangun. Dicoba digerak-gerakkan
lengan dan kakinya. Alangkah senangnya hati pemuda itu ketika tidak merasakan lagi
kenyerian yang mengganggunya itu. Pelahan-lahan dilangkahkan kakinya ke arah pintu, dan dibukanya pelahan. Semburat kemerahan
menerpa wajah sehingga membuatnya menjadi silau.
"Ha ha ha.... Bagaimana perasaanmu sekarang, Anak Muda?" tanya kakek penolongnya
yang tiba-tiba muncul dari balik semak belukar.
"Ahhh..., Kakek mengejutkanku saja. Terima kasih, Kek.
Rasanya tubuhku sudah mulai sehat. Sekali lagi kuucapkan banyak-banyak terima kasih atas kesediaan Kakek
menolongku,"
ucap pemuda itu sambil membungkukkan tubuhnya dalam-dalam. Suaranya terdengar sopan dan teratur rapi bagai seorang terpelajar.
"Sudahlah. Lebih baik kau ceritakan, siapa dirimu dan apa yang menyebabkan kau
mengalami luka begitu
parah?" tanya kakek yang tak lain adalah Raja Pedang Pemutus Urat.
Setelah menghela napas beberapa kali, barulah pemuda itu menceritakan apa yang
telah terjadi terhadap dirinya.
Waktu itu ia tiba-tiba saja dihadang dua orang laki-laki bertubuh tinggi besar
yang sama sekali tidak dikenalnya.
Tanpa bertanya-tanya lagi, kedua laki-laki itu langsung saja menyerangnya.
Walaupun pemuda itu berusaha mengadakan perlawanan, namun karena kepandaiannya
di bawah kedua lawannya, akhirnya malah menjadi bulan-bulanan.
"Kedua laki-laki tinggi besar itu baru berhenti menganiaya ketika aku telah tak sadarkan diri Entah apa sebabnya dia
menyerangku" Dan tampaknya mereka juga tengah menderita luka dalam cukup parah.
Hhh... Benar-benar
berbahaya kedua orang itu...," pemuda itu mengakhiri ceritanya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Kakek sakti yang berjuluk Raja Pedang Pemutus Urat itu menghela napas dalamdalam. Kini mulai dimengerti duduk persoalannya. Dan ia pun tahu, apa yang
menyebabkan kedua orang laki-laki bertubuh tinggi besar itu marah-marah.
"Yaaah.... Kedua orang itu memang sangat berbahaya.
Kepandaian mereka sangat tinggi. Rasanya jarang sekali tokoh rimba persilatan
yang dapat menandingi kepandaian mereka berdua. Entah dari mana mereka datang,
sebab logatnya terdengar asing di telingaku."
"Aaah! Kalau begitu, Kakek ini Raja Pedang Pemutus Urat" Sebab, mereka menyebutnyebut julukan Kakek.
Benarkah Kakek telah melukai mereka?" tanya pemuda itu.
"Tidak salah. Memang, akulah yang telah melukai mereka. Tapi itu pun baru dapat
kulakukan setelah melalui sebuah pertarungan melelahkan...," tutur Raja Pedang
Pemutus Urat tak bergairah. Seolah-olah kejadian itu telah mendatangkan
kesedihan di hati kakek sakti itu.
"Eh! Siapa namamu, Anak Muda...?" tanya kakek itu mengalihkan percakapan.
"Namaku Jaya Sukma, Kek."
"Nah, Jaya Sukma. Tinggallah di tempat ini untuk beberapa hari. Setelah
kesehatanmu pulih, kau boleh melanjutkan perjalananmu yang tertunda itu," pinta
Raja Pedang Pemutus Urat halus.
"Mmm..., kalau Kakek mengijinkan, aku ingin tinggal di sini untuk mengurus
Kakek. Toh, sekarang ini aku tidak mempunyai tujuan. Lagipula, kedua orang tuaku
sudah tiada. Jadi, ijinkanlah aku tinggal di sini menemani Kakek..," ucap Jaya
Sukma sambil menundukkan kepala dalam-dalam.
Mendengar permintaan Jaya Sukma, Raja Pedang
Pemutus Urat termenung sejenak. Dipandanginya wajah tampan di hadapannya seolaholah ingin mengetahui, apa sebenarnya yang diingini pemuda itu. Beberapa saat
kemudian, barulah dapat diputuskan untuk menerima permintaan Jaya Sukma.
"Yahhh.... Terserah kaulah, Jaya Sukma. Asal kau tahu, kalau aku tidak akan
menerima murid lagi!" jelas Raja Pedang Pemutus Urat penuh ketegasan.
"Tak mengapa, Kek. Biarlah aku menjadi pelayan
Kakek daripada aku berkeliaran tanpa tujuan."
*** Maka mulai hari itu Jaya Sukma tinggal di tempat
kediaman Raja Pedang Pemutus Urat. Pemuda yang
bertutur kata sopan itu tidak pernah mengeluh dalam mengerjakan segala yang
menjadi keperluan mereka sehari-hari. Wataknya yang pendiam dan jarang
berbicara, sedikit banyak telah menimbulkan rasa simpati di hati Raja Pedang
Pemutus Urat. Namun kakek sakti itu berusaha menyembunyikannya.
"Hait..., hiyaaa...!"
Seperti biasanya, setiap pagi Jaya Sukma selalu melatih ilmu-ilmu yang
dimilikinya. Gerakannya terlihat cukup mantap dan bertenaga. Hampir setengah
harian Jaya Sukma berlatih. Meskipun keringat telah membanjiri seluruh tubuhnya,
tapi pemuda itu sama sekali tidak mengenal lelah. Memang, dia seorang pemuda
yang keras hati.
Tanpa setahu Jaya Sukma, Raja Pedang Pemutus Urat selalu memperhatikannya saat
sedang berlatih. Semakin lama diperhatikan, kakek itu semakin merasa suka dan
kagum melihat ketekunan pemuda itu. Padahal setahunya, pemuda itu hanyalah
melatih ilmu-ilmu biasa dan tidak memiliki keistimewaan apa pun. Namun pemuda
itu demikian tekun, seakan-akan tengah melatih sebuah ilmu dahsyat. Diam-diam
timbul rasa haru dan kasihan dalam hati Raja Pedang Pemutus Urat.
"Jaya...," panggil Raja Pedang Pemutus Urat sambil melangkah
menghampiri pemuda itu yang telah menyelesaikan latihannya. Rupanya kakek itu merasa tertarik juga, dan tidak
mampu menahan perasaan hati terhadap pemuda itu.
"Ahhh..., Kakek," seru pemuda itu terkejut. Bagaimana Jaya Sukma tidak terkejut"
Padahal, selama ini ilmunya selalu dilatih di tempat tersembunyi yang letaknya
cukup jauh dari pondok mereka. Dan sekarang, tahu-tahu saja
Raja Pedang Pemutus Urat telah berada di dekatnya.
"Sedang apa kau, Jaya...?" tanya Raja Pedang Pemutus Urat pura-pura bodoh.
"Oh...! Eh..., aku.... Aku sedang mengambil air, Kek..,"
jawab pemuda itu gugup.
"Hm.... Dari mana kau peroleh jurus-jurus itu, Jaya...?"
Mendengar pertanyaan itu, Jaya Sukma sadar kalau tidak perlu lagi sembunyisembunyi. Lagipula, bukankah dia tidak melakukan kesalahan apa-apa" Jadi,
mengapa harus merasa takut"
"Hanya jurus-jurus biasa, Kek. Mendiang ayahku yang mengajarinya," jawab Jaya
Sukma terus terang.
"Hm.... Sudah lebih dari satu bulan kau tinggal bersamaku, bekerja mengurus
segala keperluan sehari-hari
tanpa mengeluh sedikit pun. Biarlah sebagai imbalannya, kau akan kuajarkan satu macam jurus. Tapi ingat, aku tidak ingin
mengangkat murid! Jadi jangan sekali-kali memanggilku guru ataupun eyang!" kata
Raja Pedang Pemutus Urat yang rupanya sudah merasa suka kepada Jaya Sukma.
"Oh..., terima kasih, Kek. Akan kutaati segala perintah Kakek," ucap Jaya Sukma
gembira. "Nah! Sekarang, perhatikanlah baik-baik...," setelah ucapannya selesai, Raja
Pedang Pemutus Urat mulai bergerak lambat agar gerakannya dapat ditangkap jelas.
Beberapa kali Raja Pedang Pemutus Urat mengulangi gerakannya sehingga lama
kelamaan Jaya Sukma pun sudah dapat mengikuti secara pelahan.
"Hm.... Sekarang, cobalah sendiri."
"Baik, Kek...!" jawab Jaya Sukma penuh kegembiraan.


Pendekar Naga Putih 05 Jari Maut Pencabut Nyawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat wajah pemuda itu yang bersinar-sinar penuh kegembiraan, diam-diam
perasaan Raja Pedang Pemutus Urat semakin trenyuh. Tanpa berkata apa-apa lagi,
kakek itu bergegas meninggalkan Jaya Sukma yang masih terus melatih ilmu yang
diberikannya itu.
Raja Pedang Pemutus Urat sengaja berpura-pura
meninggalkan tempat itu, padahal dia tengah bersembunyi
di balik semak belukar untuk memperhatikan tanggapan Jaya Sukma sepeninggalnya.
Biar bagaimanapun, kakek itu masih belum menaruh kepercayaan penuh terhadap
pemuda yang belum lama dikenalnya itu. Tapi kecurigaan Raja Pedang Pemutus Urat
rupanya tidak beralasan. Sebab meskipun tanpa dirinya, ternyata pemuda itu tidak
bosan-bosannya melatih ilmu yang baru didapat itu. Menyaksikan hal itu, Raja Pedang Pemutus Urat menarik napas lega. Lalu segera
melangkah meninggalkan tempat itu.
*** Tiga bulan semenjak Raja Pedang Pemutus Urat
menurunkan satu macam ilmu kepada Jaya Sukma,
namun sifatnya sama sekali tidak berubah. Dia tetap sopan, rendah hati, dan
selalu tekun melatih ilmu yang diberikan. Dan dalam tiga bulan terakhir ini,
pemuda itu telah menunjukkan kemajuan pesat.
Hingga pada suatu kesempatan, Raja Pedang Pemutus Urat memanggil Jaya Sukma
sehubungan dengan apa yang menjadi pikirannya selama ini.
"Duduklah, Jaya...," ujar kakek itu ketika Jaya Sukma memasuki pondok
Jaya Sukma duduk di hadapan Raja Pedang Pemutus Urat
tanpa berkata sepatah pun. Pemuda itu menundukkan wajahnya dalam-dalam. Dalam hati ia takut kalau-kalau kakek sakti
itu akan menyuruhnya pergi dari tempat yang sudah telanjur disukai itu. Hati
pemuda itu berdebar menantikan ucapan yang keluar dari mulut Raja Pedang Pemutus
Urat "Jaya..., sudah berapa lama kau tinggal di tempat ini?"
tiba-tiba Raja Pedang Pemutus Urat mengeluarkan pertanyaan yang membuat hati Jaya Sukma semakin berdebar kencang.
"Sudah lebih dari tiga bulan, Kek," jawab pemuda itu agak gugup.
"Hm.... Selama ini kulihat sikapmu tidak pernah
mengeluh. Bahkan aku tidak pernah menemukan satu kesalahan pun dalam sikapmu,
"ujar kakek itu. "Maka, aku merasa yakin kalau kaulah yang pantas mendapat ilmu
'Jari Maut'."
Nampak sekali kalau Jaya Sukma menjadi terkejut bercampur
girang, namun cepat-cepat menguasai perasaannya. Wajah pemuda itu memucat, dan bibirnya bergetar ketika mendengar
kata-kata itu. "Pewaris ilmu 'Jari Maut'...!" Ahhh! Maafkan aku, Kek.
Mana mungkin aku berani menerima ilmu itu" Lagipula, aku... aku...."
"Sudahlah...!" potong Raja Pedang Pemutus Urat cepat.
"Dengar, Jaya Sukma! Aku sudah tua, dan hanya
mempunyai seorang murid wanita. Ketahuilah, bahwa ilmu itu tidak bisa dipelajari
oleh seorang wanita. Karena apabila dipelajari, maka wanita itu akan berubah
menjadi seorang wanita iblis yang keji dan tak kenal ampun, akibat pengaruh ilmu
'Jari Maut' itu. Nah! Daripada ilmu itu jatuh ke tangan orang yang tidak
bertanggung jawab, bukankah lebih baik kuturunkan kepadamu. Lagipula aku sudah
lama memperhatikanmu, Jaya Sukma. Rasanya kau cukup pantas untuk mewarisi ilmu
itu," jelas Raja Pedang Pemutus Urat panjang lebar.
"Baiklah, Kek. Kalau memang itu sudah menjadi
keputusan Kakek, aku akan bersedia mematuhinya," jawab pemuda itu tegas.
"Nah! Kalau kau sudah bersedia menerimanya, mari ikut aku."
Raja Pedang Pemutus Urat bergegas bangkit dari
duduknya. Kakek sakti itu melangkah ke luar, diikuti Jaya Sukma. Mereka terus
berjalan memasuki hutan yang berada di samping kiri pondok.
Kakek sakti itu menghentikan langkahnya pada sebuah batu besar yang menonjol
menutupi sebuah mulut gua.
Ditekannya sebuah alat pada dinding gua sehingga batu besar itu bergeser. Maka,
tampaklah sebuah mulut gua yang cukup besar dan agak gelap. Raja Pedang Pemutus
Urat melangkah memasukinya diikuti Jaya Sukma yang terbengong-bengong keheranan.
Sama sekali tidak disangka kalau tempat yang sering dilewatinya saat mengambil
air itu, ternyata terdapat sebuah gua. Dan lebih mengejutkan lagi, ternyata itu
adalah tempat penyimpanan Kitab Ilmu Jari Maut! Benar-benar sebuah tempat yang
rapi dan tak terduga.
Setelah melewati beberapa tikungan, mereka tiba pada sebuah ruangan yang agak
luas. Lima tombak di hadapan mereka nampak sebuah kerangka yang dalam posisi
bersemadi di atas sebuah batu pipih berbentuk segi empat.
"Eyang..," Raja Pedang Pemutus Urat berseru pelahan sambil menjatuhkan dirinya
berlutut di hadapan kerangka itu. Rupanya kerangka manusia itu adalah kerangka
guru Raja Pedang Pemutus Urat.
Beberapa saat kemudian, kakek itu bangkit dan
berjalan ke arah sebuah peti yang berada tidak jauh dari kerangka gurunya.
Segera diulurkan tangannya membuka tutup peti, lalu dikeluarkannya sebuah kitab
berwarna kuning yang bertuliskan "Kitab Ilmu Silat Jari Maut". Raja Pedang
Pemutus Urat segera memeriksa isi kitab. Ketika yakin kalau isi kitab itu masih
utuh, kakek itu bergegas menghampiri Jaya Sukma yang hanya diam berdiri
memperhatikannya.
"Nah, Jaya Sukma. Untuk mempelajari isi kitab ini, kau harus berjanji di hadapan
kerangka guruku. Berjanjilah kalau ilmu yang akan kaupelajari ini akan
dipergunakan untuk kebaikan. Dan apabila janji itu dilanggar, maka kau akan mati
secara mengerikan termakan ilmu itu sendiri.
Bagaimana" Apakah kau bersedia?" tanya Raja Pedang Pemutus Urat. Suaranya
terdengar tegas dan berwibawa.
Jaya Sukma mengangguk cepat, dan tanpa ragu-ragu lagi segera berlutut di hadapan
kerangka manusia itu sambil mengucapkan janji yang diajarkan Raja Pedang Pemutus
Urat tadi. Suara pemuda itu terdengar agak bergetar ketika mengucapkan janji
maut itu. "Hm..., lega hatiku sekarang Terimalah kitab ini, Jaya.
Dan kau harus menguasai isinya dalam waktu satu bulan.
Setelah itu, barulah pelajari gerakannya. Ketahuilah, bahwa ilmu yang dulu
kuajarkan kepadamu adalah dasar-dasar ilmu 'Jari Maut'. Dan dengan demikian kau
akan lebih mudah mempelajarinya. Dan sekarang, pintu gua akan kututup dari luar.
Karena, apabila ilmu itu telah kau pelajari secara sempurna, maka batu itu
bukanlah penghalang yang berarti bagimu. Kebutuhanmu selama mempelajari ilmu itu
jangan dipikirkan. Pokoknya, semua sudah tersedia di dalam gua ini. Nah,
sekarang aku akan pergi." Setelah berkata demikian, Raja Pedang Pemutus Urat
segera berkelebat lenyap dari pandangan Jaya Sukma. Gerakannya demikian cepat.
Jelas, kalau ilmu meringankan
tubuhnya sudah mencapai taraf kesempurnaan. Tidak lama kemudian terdengar suara bergemuruh tanda bahwa pintu
gua telah tertutup kembali.
"Ha ha ha...! Akhirnya usahaku selama ini tidak sia-sia!
Ha ha ha...!" Jaya Sukma tertawa terbahak-bahak, menari, dan melompat-lompat
bagaikan orang yang kehilangan ingatan.
Sepeninggal Raja Pedang Pemutus Urat, Jaya Sukma cepat memeriksa dan membaca isi
kitab itu. Bukan main gembira hatinya ketika mendapat kenyataan kalau ilmu yang
bernama 'Jari Maut' itu benar-benar sebuah ilmu langka yang jarang terdapat di
dunia persilatan. Pelahan-lahan mulai dibaca dan dihapalkannya isi kitab yang
cukup tebal itu.
Dengan penuh ketekunan, Jaya Sukma mempelajari isi kitab itu tanpa mengenal
waktu. Pemuda itu hanya berhenti apabila perutnya betul-betul terasa lapar.
Apabila rasa laparnya sudah tak tertahankan lagi, Jaya Sukma bergegas memetik
beberapa buah jamur yang banyak terdapat di belakang gua. Jamur itu terasa manis
dan banyak mengandung air. Jadi dia tidak perlu takut kelaparan.
Karena ketekunannya yang luar biasa, dalam waktu
kurang dari satu minggu, Jaya Sukma sudah dapat menghapal seluruh isi Kitab Jari
Maut. Kini ia hanya tinggal mempelajari gerakan-gerakannya saja. Hal itu
tidaklah terlalu sukar, karena dia telah dibekali dasar-dasar ilmu itu dari Raja
Pedang Pemutus Urat. Benar-benar suatu keberuntungan baginya. Apalagi, diam-diam
sebetulnya pemuda itu telah memiliki kepandaian yang cukup tinggi juga.
*** 3 Waktu terus berputar, sesuai kodratnya. Tak terasa, Jaya Sukma telah lebih dari
lima bulan tinggal di dalam gua. Dan memasuki bulan keenam, Jaya Sukma sudah
hampir menyempurnakan ilmu 'Jari Maut' yang dipelajari tanpa mengenal lelah itu.
Kemajuan yang diperolehnya memang begitu pesat. Meskipun tubuhnya agak kurus
tidak terawat, namun dari sinar matanya yang mencorong tajam, dapat diduga kalau
tenaga sakti yang dimilikinya telah meningkat jauh. Rambut, kumis dan jenggotnya
semakin panjang, sehingga membuat Jaya Sukma telah berubah menjadi seorang
pemuda menyeramkan.
Seperti biasanya Jaya Sukma terus melatih ilmu 'Jari Maut' yang terus
disempurnakannya itu. Sambaran angin pukulannya
yang berhawa panas itu benar-benar menggiriskan. Kedua tangannya yang kadang-kadang hanya menggunakan dua jari itu
berkesiutan menyambar dengan kecepatan yang menggetarkan!
Wut! Cuiiit! "Hahhh!"
Suatu ketika pemuda itu membentak keras dibarengi tusukan kedua jari tangannya
yang mengandung hawa panas itu. Bagaikan seekor ular hidup, tangan Jaya Sukma
meliuk cepat menusuk sebuah batu sebesar perut kerbau.
Creb! Bagaikan segumpal benda lunak, batu besar itu mudah sekali ditembus dua jari
tangan Jaya Sukma yang berisi tenaga tinggi sekali. Dengan wajah berseri-seri,
pemuda itu segera menarik pulang tangannya yang amblas ke dalam batu besar itu.
Sambil tertawa didekatinya batu tadi, dan langsung ditiupnya. Hebat! Batu besar
itu kini hancur jadi tepung!
Buktinya, ketika ditiup, seketika beterbangan debu-debu halus, hingga batu
sebesar perut kerbau itu lenyap seketika.
Begitu melihat hasil dari ilmu yang selama ini ditekuni, Jaya Sukma terkesiap
sebentar. Tak lama kemudian....
"Ha ha ha...! Sebentar lagi dunia akan terkejut dengan kemunculanku! Ha ha
ha...! Julukan yang cocok untukku adalah.... Jari Maut Pencabut Nyawa!" suara
pemuda itu bergema ke seluruh dinding gua, kemudian memantul ke tempat semula.
Begitu lepas tawanya, dan begitu lepas kepuasannya.
Jaya Sukma menyimpan Kitab Jari Maut di balik
bajunya, kemudian melangkah pelahan-lahan mendekati mulut gua yang tertutup batu
besar itu. Untuk beberapa saat lamanya pemuda itu hanya meraba-raba dan
memeriksa batu besar yang menyumbati mulut gua.
Seolah-olah, ingin mengukur sampai di mana kekuatan batu besar itu.
Setelah puas memeriksa, kakinya melangkah mundur menjauhi mulut gua. Sinar
matanya mencorong tajam bagaikan hendak menembus dunia di luar sana. Dengan
kuda-kuda kokoh, Jaya Sukma mulai menyedot udara sebanyak-banyaknya.
Kedua tangannya bergetar, sedangkan urat-urat di kedua lengannya nampak menonjol biru, pertanda segenap
tenaga saktinya tengah dikerahkan.
"Heaaa....!"
Dibarengi sebuah pekikan panjang, tubuh Jaya Sukma melesat ke arah mulut gua.
Kedua tangannya meliuk-liuk susul-menyusul didahului terpaan angin panas
menyengat kulit. Tiba-tiba dari jari-jari tangannya meluncur seberkas sinar
kemerahan dan langsung menghantam batu besar yang menyumbat mulut gua. Dan....
Glarrr! Batu yang sangat besar itu hancur berkeping-keping akibat hantaman sinar merah
yang keluar dari jari tangan Jaya Sukma. Itulah ilmu 'Jari Maut' tingkat
terakhir yang telah sempurna dikuasai pemuda itu. Benar-benar sebuah
ilmu ganas dan amat mengerikan!
"Ha ha ha...! Akulah si Jari Maut Pencabut Nyawa yang akan menguasai dunia
persilatan. Ha ha ha...," Jaya Sukma tertawa terbahak-bahak tanpa mempedulikan
keadaan sekelilingnya.
Tanpa disadarinya, sesosok bayangan tinggi kurus tiba-tiba berkelebat mendekati
mulut gua yang telah terbuka lebar itu.
"Jaya Sukma! Apa maksud perkataanmu Itu?" seru
sosok tinggi kurus yang ternyata Raja Pedang Pemutus Urat. Kakek itu langsung
melesat ke arah gua ketika mendengar ledakan sangat dahsyat tadi. Dan dugaannya
ternyata benar. Jaya Sukma rupanya telah berhasil mempelajari ilmu 'Jari Maut'
lebih cepat dari waktu yang diberikan.
Melihat kehadiran kakek yang telah memberinya kitab sudah menghadang di mulut
gua, Jaya Sukma sama sekali tidak berlutut. Malah sebaliknya, pemuda itu berdiri
menantang. Sifat asli yang ditunjukkannya benar-benar bagai langit dan bumi.
Jauh sekali dengan sifat yang selama ini diketahui Raja Pedang Pemutus Urat.
"Ha ha ha...! Selamat Tuan Muda. Selamat. Rupanya Tuan Muda telah berhasil
menguasai ilmu 'Jari Maut' yang selama ini diidam-idamkan. Ha ha ha...." Entah
dari mana datangnya, tahu-tahu di tempat itu telah muncul dua sosok tubuh tinggi
besar yang ternyata adalah dua saudara Gorilla Batu.
Bukan main terkejutnya hati kakek itu melihat
kehadiran dua orang yang pernah dipecundanginya. Kini baru disadari kalau
dirinya telah salah memilih Jaya Sukma sebagai pewaris tunggal ilmu 'Jari Maut'
yang amat ganas dan mengerikan itu.
"Hm.... Rupanya kaulah yang dulu menyuruh dua orang itu untuk merebut Kitab Jari
Maut dari tanganku. Hanya satu yang tidak kumengerti, mengapa saat kau kutemukan
benar-benar mengalami luka dalam yang sesungguhnya?"
tanya Raja Pedang Pemutus Urat lirih, seakan-akan untuk
dirinya sendiri.
"Ha ha ha.... Untuk dapat memperdayai orang sakti sepertimu, tubuhku harus rela
dikorbankan oleh dua orang pembantuku ini," sahut Jaya Sukma disertai senyuman
penuh ejekan. "Ahhh...! Betapa bodohnya aku si kakek pikun ini. Tapi sebelum kau membuat
malapetaka dalam rimba persilatan, lebih baik sekarang kucabut saja ilmu 'Jari
Maut' yang telah kau peroleh secara licik itu!"
Setelah berkata demikian, Raja Pedang Pemutus Urat mencabut keluar pedang
bersinar kuning keemasan yang selalu tersampir di punggungnya. Disadari
sepenuhnya kalau yang dihadapinya kali ini adalah orang yang telah berilmu
dahsyat! "Ha ha ha...! Majulah jika memang ingin cepat-cepat kukirim ke neraka, kakek
peot," ejek Jaya Sukma. Sinar matanya mencorong tajam memancarkan kebengisan.
"Hm!"
Didahului sebuah dengusan pendek, Jaya Sukma
bergerak memainkan jurus pembuka ilmu 'Jari Maut'.
Pemuda itu memang sengaja ingin mencoba keampuhan ilmu itu terhadap Raja Pedang
Pemutus Urat yang telah dikenal dalam rimba persilatan.
"Heaaa...!"


Pendekar Naga Putih 05 Jari Maut Pencabut Nyawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambil berteriak keras, Jaya Sukma melompat dan langsung
melancarkan serangan-serangan
yang menimbulkan udara panas. Kedua tangannya menusuk bergantian,
memperdengarkan
suara mencicit tajam. Jangankan terkena tusukan jari tangannya, bahkan angin pukulannya saja sudah
cukup untuk membeset kulit lawan! Memang betapa hebat ilmu 'Jari Maut' yang
telah dimiliki pemuda itu.
Raja Pedang Pemutus Urat terpaksa harus berlompatan menghindari jari-jari tangan
yang berhawa maut itu.
Sesekali kakek itu membalas dengan tusukan-tusukan pedangnya yang tidak kalah
dahsyat. Sekejap saja dua tokoh berkepandaian tinggi itu sudah terlibat dalam
suatu pertarungan mati-matian!
Belasan jurus telah mereka lewati. Sampai sejauh itu belum nampak tanda-tanda
salah seorang yang terdesak.
Keduanya mulai bertarung dalam tempo cepat! Bahkan mulai mengeluarkan ilmuilmunya pada tingkat yang lebih tinggi. Pertarungan pun semakin seru dan
menegangkan! "Yeaaat...!"
Pada jurus kesembilan belas, Raja Pedang Pemutus Urat memperdengarkan pekikan
melengking menusuk telinga.
Bahkan disusul dengan kibasan pedang sinar emasnya yang bergulung-gulung
menyilaukan mata. Dan secara tiba-tiba
arena pertarungan tertutup sinar kuning keemasan yang terpancar dari pedang di tangan kakek itu.
Mengkelap hati Jaya Sukma menyaksikan kesaktian Raja Pedang Pemutus Urat yang
jarang dipergunakan itu.
Pemuda itu semakin kecut hatinya ketika merasakan urat-urat di seluruh tubuhnya
melemah bagaikan lumpuh.
Itulah 'Ilmu Pedang Pemutus Urat' tingkat tinggi yang menjadi andalan kakek
sakti itu sehingga mendapat julukan Raja Pedang Pemutus Urat.
"Bangsat! Kakek keparat!" Jaya Sukma memaki-maki sambil terus mencoba melepaskan
diri dari lingkaran sinar keemasan yang mengurungnya itu. Namun semakin
berusaha untuk melepaskan diri, semakin kuat pula pengaruh yang merasuk ke dalam
tubuhnya. Pelahan-lahan Jaya Sukma mulai merasakan tenaganya makin berkurang. Darah di
tubuhnya terasa semakin cepat mengalir. Satu persatu urat-urat di tubuhnya mulai
mengembung dan menonjol ke luar. Rasanya tidak lama lagi pemuda itu akan tewas
dan urat-urat di tubuhnya pasti putus!
Soma dan Ludira yang berjuluk Gorilla Batu itu
tersentak kaget melihat kejadian yang sama sekali tidak diduga itu. Tanpa
berpikir dua kali, kedua laki-laki bertubuh tinggi besar itu langsung melompat
ke dalam arena pertarungan. Senjata-senjata di tangan mereka meluncur deras,
mengancam keselamatan Raja Pedang
Pemutus Urat yang tengah mendesak Jaya Sukma.
Trang! Tring! "Uhhh...!"
Raja Pedang Pemutus Urat membabatkan senjatanya dua kali berturut-turut untuk
menangkis serangan dua orang bertubuh tinggi besar itu. Terdengar keluhan pendek
keluar dari mulutnya. Tubuh kakek itu agak terhuyung akibat benturan yang sangat
keras itu. Karena pada saat menangkis, pikirannya tengah terpusat kepada Jaya
Sukma. Akibatnya, tenaga tangkisan yang dipergunakan pun banyak berkurang.
Demikian pula yang dialami Soma dan Ludira. Kedua orang itu terdorong akibat
tangkisan Raja Pedang Pemutus Urat yang membuat lengan merek bergetar dan terasa
nyeri. Akibatnya untuk beberapa saat keduanya terdiam sambil menyalurkan hawa
murni untuk memunahkan rasa nyeri yang diderita.
Lain halnya Jaya Sukma. Begitu merasa dirinya terlepas dari pengaruh lawan,
cepat-cepat pemuda itu melompat mundur.
Ditariknya napas dalam-dalam untuk menghilangkan pengaruh yang mengerikan itu Diam-diam hati pemuda itu bergidik
ngeri membayangkan kesaktian lawannya yang sudah tua itu.
Begitu tubuhnya terasa pulih, pemuda itu segera menyiapkan
seluruh kesaktian yang dimiliki untuk menghadapi lawan yang juga sudah siap-siap melanjutkan pertarungan.
"Paman berdua, menyingkirlah. Biar kuhadapi sendiri kakek peot itu!" kata Jaya
Sukma kepada kedua orang pembantunya sambil melirik ke arah Raja Pedang Pemutus
Urat. "Tuan Muda, jangan terlalu gegabah! Ilmu 'Jari Maut'
yang Tuan Muda pelajari belum
begitu sempurna. Sedangkan kepandaian Raja Pedang Pemutus Urat tinggi sekali, dan tidak bisa
dibuat main-main. Bagaimana kami dapat berpangku tangan melihat keselamatan Tuan
Muda terancam," sergah Ludira.
"Benar, Tuan Muda!" timpal Soma. "Lagipula kita harus segera menyingkirkan kakek
peot ini agar berita jatuhnya Kitab Jari Maut ke tangan Tuan Muda tidak cepat
tersiar di dunia persilatan. Kalau berita ini sampai tersebar, jelas kita akan
celaka. Paling tidak, banyak tokoh persilatan yang akan mencari Tuan Muda.
Bukankah itu berbahaya sekali" Sedangkan ilmu 'Jari Maut' yang Tuan Muda
pelajari belum lagi sempurna."
Mendengar alasan yang cukup masuk akal itu, Jaya Sukma termangu beberapa saat.
Diam-diam ia harus berterima kasih sekali kepada dua orang pembantunya yang
demikian mengkhawatirkan keselamatannya itu.
"Baiklah! Kalau begitu, kalian berjaga-jaga saja kalau-kalau aku membutuhkan
bantuan," akhirnya Jaya Sukma mengalah juga. Sesudah berkata demikian Jaya Sukma
segera melompat menerjang Raja Pedang Pemutus Urat yang sudah bersiap menyambut
serangannya. Kali ini kakek itu cukup terkejut melihat kecepatan dan kekuatan yang terkandung
dalam serangan lawan. Karena telah mengetahui kehebatan ilmu 'Jari Maut', Raja
Pedang Pemutus Urat tidak ingin lagi bersikap main-main. Sambil berteriak keras,
pedangnya diputar-putar sepenuh tenaga.
Angin keras menderu-deru mengiringi ayunan senjatanya.
Dan kini kedua orang itu kembali bertarung hebat. Jaya Sukma yang telah
merasakan kehebatan lawan, mulai bertindak lebih hati-hati. Lontaran-lontaran
serangannya tidak lagi membabi buta. Dan kini liukan-liukan tangannya lebih
terarah dan berbahaya.
Cuiiit! Cuiiit!
Raja Pedang Pemutus Urat mengegoskan tubuhnya
sehingga tusukan jari lawan yang menimbulkan angin panas itu lewat beberapa
rambut di samping pinggangnya.
Baju di bagian pinggang itu hancur bagai dimakan api.
Sedangkan kulit pinggangnya hanya terasa pedih sekejap karena telah
dilindunginya dengan penyaluran hawa murni. Secepat kilat kakek sakti itu
menggerakkan pedangnya menebas siku lawan.
Singgg! Tebasan Raja Pedang Pemutus Urat berhasil dihindari Jaya Sukma yang bertindak
cepat menarik pulang
tangannya. Pada saat yang bersamaan, jari-jari tangan kanan pemuda itu meluncur
ke tenggorokan lawan. Cepat-cepat kakek sakti itu menggerakkan tangan kirinya
menangkis serangan Jaya Sukma, dan sekaligus melepaskan tendangan kilat ke dada lawan.
Duk! Bug! "Hughk...!"
Tubuh Jaya Sukma terjungkal akibat tendangan Raja Pedang Pemutus Urat yang
begitu telak menghantam dadanya. Pemuda itu berusaha bangkit sambil menekap
dadanya yang terasa remuk! Cairan merah merembes dari celah-celah bibirnya.
Memang hebat sekali daya tahan tubuh anak muda itu! Hanya dengan beberapa
tarikan napas saja, tubuhnya telah kembali tegak seperti tidak pernah terjadi
suatu apa-apa. Sebaliknya, Raja Pedang Pemutus Urat sangat terkejut ketika melihat baju lengan
kirinya telah hancur akibat menangkis serangan pemuda itu.
"Hm.... Anak muda ini berbahaya sekali! Entah apa jadinya
kalau ilmu 'Jari Maut' itu telah disempurnakannya" Pasti dunia persilatan akan gempar apabila pemuda ini tidak
segera dilenyapkan!" kata hati Raja Pedang Pemutus Urat resah.
Dengan berpikiran demikian, kakek ini segera meluncur ke arah Jaya Sukma yang
bersiap menanti serangannya.
Kembali diputarnya pedang sinar emasnya dalam jurus
'Pedang Pemutus Urat'. Sinar emas bergulung-gulung mengiringi serangannya.
Jaya Sukma rupanya sudah pula mempersiapkan Ilmu
'Jari Maut' tingkat terakhir yang baru saja diselesaikannya itu.
Diiringi bentakan menggeledek, pemuda itu mendorongkan tangan kanannya dengan tiga buah jari diluruskan. Sebentuk sinar
kemerahan meluncur keluar
dari jari tangan Jaya Sukma, dan langsung menghantam sinar keemasan yang
membungkus tubuh Raja Pedang Pemutus Urat.
Wusss! Bummm...! "Arrrgh....!"
Hebat sekali akibat benturan dua tenaga dahsyat itu!
Bumi di sekitar pertarungan bagaikan dilanda gempa.
Bunga-bunga api memercik ke segala arah. Beberapa pohon yang dekat dengan
pertarungan berhamburan ke mana-mana. Benar-benar mengerikan akibat ledakan itu!
Jaya Sukma sendiri terbanting pingsan! Dari sela-sela bibirnya mengalir darah
segar yang kental. Pemuda itu mengalami luka dalam yang cukup parah!
Demikian pula halnya Raja Pedang Pemutus Urat.
Meskipun tidak terbanting sebagaimana halnya Jaya Sukma, namun dalam usianya
yang telah lanjut itu, Raja Pedang Pemutus Urat tidak lagi sekuat dulu. Kakek
sakti itu terbatuk-batuk hebat! Sudah tidak diperhatikan lagi, ke mana jatuhnya
pedang pusaka sinar emas di tangannya.
Raja Pedang Pemutus Urat berdiri limbung. Ia berusaha menahan rasa nyeri
bagaikan ditusuki ribuan jarum pada bagian dadanya. Diaturnya napas pelahanlahan mengusir nyeri yang menusuk itu.
Dan belum lagi dapat memulihkan kondisinya, tiba-tiba telinga Raja Pedang
Pemutus Urat mendengar desiran angin tajam menuju lehernya. Segera saja
direndahkan kepala sebisanya untuk menghindari bacokan golok besar Ludira.
Untunglah serangan itu dapat dihindarinya. Tapi dari lain jurusan, rantai baja
di tangan Soma sudah meluncur datang!
Wung...! Wung...!
Raja Pedang Pemutus Urat bergulingan menghindari serangan rantai baja yang terus
mengejarnya itu. Sayang tubuh kakek itu dalam keadaan terluka. Kalau tidak,
serangan itu akan dapat diatasi dengan baik.
Bukkk! Kakek Sakti itu terjengkang akibat hantaman rantai baja milik Soma pada
punggungnya. Segumpal darah kental terlompat keluar dari bibirnya yang memucat.
Belum lagi sempat berdiri tegak, datang serangan dari Ludira dengan bacokan yang
mengarah bahu kanannya.
Untunglah Raja Pedang Pemutus Urat masih sempat mengegoskan badannya sehingga
golok besar itu hanya menyerempet
bahu. Dengan pengerahan sisa-sisa tenaganya, kakek itu menghantamkan telapak tangannya ke arah pelipis Ludira.
Plak! "Aduuuhhh...!"
Tak ayal lagi tubuh Ludira berputar bagai gasing akibat hantaman telapak tangan
yang mengandung tenaga dalam tinggi itu. Ternyata, meskipun dalam keadaan luka
parah, kakek itu masih cukup berbahaya. Buktinya, Ludira sendiri pun sampai
kecolongan! Namun kali ini Raja Pedang Pemutus Urat belum bisa menarik napas lega, karena
tiba-tiba.... Bukkk! Kali ini kakek itu terjungkal akibat hantaman rantai baja yang menghantam
Sumpah Palapa 17 Jaka Sembung 4 Raja Rampok Dari Lereng Ciremai Telapak Emas Beracun 3

Cari Blog Ini