Ceritasilat Novel Online

Jari Maut Pencabut Nyawa 3

Pendekar Naga Putih 05 Jari Maut Pencabut Nyawa Bagian 3


"Maaf, Paman. Bolehkah aku mengetahui nama besar Paman
berdua?" tanya Panji tiba-tiba, memecah keheningan di antara mereka.
"Apalah artinya nama besar kami dibandingkan nama besar yang kau sandang itu,
Pendekar Naga Putih. Tapi ada baiknya kalau memperkenalkan diri kepadamu. Aku
yang renta ini dijuluki orang sebagai Pendekar Tombak Sakti. Sedang ini adalah
saudara seperguruanku, berjuluk Pendekar Kapak Maut. Dan kami bertujuh mendapat
tugas dari ketua untuk menghentikan kekejaman Jari Maut Pencabut Nyawa yang saat
ini tengah membuat kekacauan di dunia persilatan. Sayang sekali lima orang kawan
kami telah tewas ketika kami meninggalkan mereka di hutan.
Dan dilihat dari luka-luka yang terdapat, kami yakin bahwa yang membunuh mereka
adalah si Jari Maut
Pencabut Nyawa. Oh, ya, Pendekar Naga Putih. Bolehkan kami tahu nama besar
gurumu?" tiba-tiba saja Pendekar Tombak Sakti mengajukan pertanyaan yang membuat
Panji terkejut.
"Menyesal sekali, Paman. Beliau tidak memperbolehkan aku untuk menceritakan apa
pun tentang dirinya. Sekali lagi aku mohon maaf," jawab Panji penuh penyesalan.
"Ahhh, tidak apa-apa. Lupakan pertanyaan tadi," sahut Pendekar Tombak Sakti
memaklumi. "Baiklah. Aku pamit dulu, Paman. Aku harus cepat-cepat
mengejar mereka," ujar Panji sambil membungkukkan tubuhnya memberi hormat. Setelah
berkata demikian, pemuda itu bergegas melangkahkan kakinya
meninggalkan dua orang tokoh Perguruan Delapan Naga itu.
"Hei! Pelahan dulu, Pendekar Naga Putih!" seru
Pendekar Tombak Sakti menahan langkah Pendekar Naga Putih. "Apakah kau sudah
mengetahui di mana iblis itu tinggal?"
"Aku akan mencarinya, Paman," jawab Panji seraya tersenyum.
"Ke mana akan mencarinya?" tanya Pendekar Kapak Maut tiba-tiba.
"Entahlah. Tapi, biar bagaimanapun aku akan berusaha menemukan orang itu," sahut
Panji bersungguh-sungguh.
"Apakah kau keberatan kalau kami menyertaimu"
Rasanya kami sudah dapat menduga dari mana si Jari Maut Pencabut Nyawa itu
berasal," usul Pendekar Tombak Sakti.
"Tentu saja tidak, Paman. Malah sebaliknya aku merasa berterima kasih sekali
atas kesediaan Paman berdua sudah membantuku," jawab Panji gembira karena tidak
ingin menyinggung perasaan dua orang pendekar itu.
"Kalau begitu, marilah kita berangkat!" ajak Pendekar Tombak Sakti.
Panji dan Pendekar Kapak Maut menganggukkan
kepalanya. Beberapa saat kemudian, ketiga orang pendekar itu pun bergegas meninggalkan tempat tersebut untuk menyusul kepergian
Jari Maut Pencabut Nyawa.
*** 7 Angin pagi bertiup lembut mengikuti ayunan langkah tiga orang pendekar memasuki
Desa Jati Larang. Mereka adalah Panji, Pendekar Tombak Sakti, dan Pendekar Kapak
Maut. "Aneh! Desa ini tampak begitu sepi dan mencurigakan,"
gumam Pendekar Tombak Sakti sambil merayapi keadaan desa yang hanya beberapa
tombak di hadapan mereka.
"Benar, Paman. Tampaknya kita harus hati-hati.
Sepertinya, desa ini baru saja mengalami musibah," sahut Panji yang juga merasa
curiga. "Eh! Kakang Rancapala, Panji, lihatlah! Beberapa buah rumah dekat mulut desa itu
tampaknya belum lama terbakar. Asap-asap tipis masih tampak mengepul dari puingpuingnya. Ah! Mudah-mudahan saja itu hanya kebakaran yang disebabkan keteledoran
penghuninya,"
seru Barga atau yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Kapak Maut sambil
menunjuk beberapa buah rumah. Rumah-rumah yang ditunjuk Barga itu tampak
menghitam dan samar-samar masih mengepulkan asap tipis.
"Wah! Mudah-mudahan saja perjalanan kita tidak
mengalami hambatan karena hal itu," keluh Rancapala atau Pendekar Tombak Sakti
disertai helaan napas berat.
"Panji, Adi Barga, kuharap kalian jangan bertindak dulu.
Kalau ada sesuatu yang mencurigakan, biarlah aku saja yang
mencoba mengatasinya. Semua ini untuk menghindarkan kesalahpahaman. Nah, bagaimana?" usul Rancapala.
Baik Panji maupun Barga mengangguk setuju atas
keputusan yang diambil Pendekar Tombak Sakti. Mereka berdua menyadari sepenuhnya
bahwa saat ini berada di
daerah asing yang belum pernah didatangi sebelumnya.
Dan tentu saja mereka harus bisa membawa diri agar terhindar dari segala sesuatu
yang tidak diinginkan.
Setelah mengambil keputusan demikian, ketiganya bergegas memasuki mulut desa
tanpa meninggalkan kewaspadaan.
Begitu melewati mulut desa, tampak puluhan pasang mata menatap ke arah mereka penuh curiga.
Rancapala, Barga, dan Panji mencoba bersikap ramah dan menganggukkan kepala
kepada orang-orang itu.
Tanpa mempedulikan anggukan itu dibalas ataupun tidak, ketiganya terus melangkah
memasuki Desa Jati Larang.
Belum lagi jauh memasuki desa, tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring yang
disertai berlompatannya sosok-sosok tubuh yang langsung mengurung tiga orang
pendekar itu. "Berhenti...!"
Rancapala, Barga, dan Panji segera menghentikan langkahnya. Ketiga orang
pendekar itu tetap bersikap tenang meskipun dikurung belasan orang dengan
senjata di tangan.
"Hei, orang asing! Siapa kalian dan apa maksudnya mendatangi desa kami"!" tanya
seorang laki-laki berkulit hitam dan berhidung lebar. Suaranya terdengar lantang
dan sama sekali tidak menunjukkan sikap bersahabat.
"Maafkan kami, Kisanak. Kami bertiga adalah perantau yang secara kebetulan saja
lewat di desa ini, tanpa maksud-maksud tertentu," jawab Pendekar Tombak Sakti
mencoba bersikap ramah. Sikap yang ditunjukkan pendekar itu sama sekali bukan karena takut, melainkan karena tidak ingin
mencari keributan.
Lain yang diinginkan Pendekar Tombak Sakti lain pula tanggapan laki-laki
berkulit hitam itu. Sikap ramah yang ditunjukkan pendekar itu malah membuatnya
semakin angkuh dan memandang rendah.
"Hm.... Kalian pasti mata-mata perampok hina yang berjuluk Dedemit Jati Palas
itu. Dan kedatangan kalian ke
sini untuk melihat hasil pekerjaan semalam, bukan" Kalau itu yang ingin
diketahui, katakan kepada Dedemit Jati Palas, kami seluruh penduduk Desa Jati
Larang tidak akan sudi menyerah dan tunduk di bawah kekuasaannya. Nah, sekarang
pergilah, sebelum kami kehilangan kesabaran!"
bentak lelaki berkulit hitam itu sambil membusungkan dada.
"Sudah, Kakang Balingka. Untuk apa bertanya lagi"
Bunuh saja mereka!" teriak seorang lelaki berwajah pucat yang berada di belakang
laki-laki berkulit hitam bernama Balingka itu sambil mengacungkan goloknya.
"Ya, bunuh saja mereka...!" seru yang lainnya lagi.
"Tahan...!"
Tiba-tiba Pendekar Tombak Sakti berteriak keras. Suara teriakannya terdengar
bagaikan ledakan petir menggelegar.
Akibatnya, beberapa pengepungnya yang sudah melangkah maju, terpental bagaikan
didorong tenaga kuat. Sedangkan yang lainnya tersurut mundur dengan wajah
memucat, termasuk lelaki berkulit hitam yang bernama Balingka.
"Dengar, saudara-saudara! Kami tidak mengenal siapa itu Dedemit Jati Palas atau
sebangsanya. Kalau kalian masih tidak percaya, hadapkan kami kepada kepala desa
kalian! Bagaimana?" seru Rancapala sambil mengerahkan tenaga dalamnya, sehingga
suaranya terdengar nyaring dan bergaung memekakkan telinga.
Balingka diam-diam merasa terkejut merasakan kehebatan tenaga dalam yang ditunjukkan Pendekar Tombak Sakti. Sejenak tergambar
bayang keraguan di wajahnya. Namun meskipun demikian, dia tetap belum merasa
yakin akan kebenaran ucapan laki-laki tinggi tegap itu.
"Maafkan kami, Kisanak. Biar bagaimanapun kami
tetap belum dapat mempercayai kata-katamu. Dan apabila Kisanak ingin menghadap
kepala desa, maka kami minta agar kalian suka menyerahkan senjata," usul
Balingka yang mulai surut kegalakannya. Namun demikian, dia berusaha menutupi
dengan suaranya yang tenang.
"Tunggu...!" tiba-tiba terdengar teriakan dari belakang Pendekar Tombak Sakti.
Teriakan itu rupanya berasal dari mulut Barga yang sudah melangkah maju.
Sementara Balingka
langsung melangkah mundur sambil menyilangkan pedangnya menjaga kemungkinan.
"Hm, Kisanak. Kau boleh tidak mengenal dan mencurigai kedatangan kami. Tapi bagaimana dengan nama Pendekar Naga Putih"
Apakah kedatangan pendekar muda yang perkasa itu patut dicurigai?" tanya Barga
yang tiba-tiba saja menemukan cara yang baik untuk meredakan ketegangan di antara mereka. Selain itu, dia juga ingin mengetahui
apakah nama besar Pendekar Naga Putih sudah terdengar hingga ke daerah selatan
ini. "Oh! Pendekar Naga Putih..."!" Balingka dan beberapa orang lainnya tersentak
kaget. Rupanya kedigdayaan pendekar muda yang memiliki ilmu-ilmu tinggi itu
telah sampai pula ke telinga mereka.
"Kisanak! Apakah maksudmu bahwa kau datang
bersama pendekar muda yang budiman itu...?" tanya Balingka ragu-ragu. Sementara
matanya menatap sosok Panji penuh selidik. Pada sinar mata laki-laki berkulit
hitam itu terpancar secercah harapan. Sesaat kemudian sinar mata dan raut wajah
Balingka berubah mengeras.
"Hm, jangan kau coba menipu kami dengan menjual nama pendekar muda itu. Tidak
akan semudah itu kami dapat mempercayai omonganmu!"
Meskipun Barga merasa kagum akan sikap laki-laki berkulit hitam yang tidak mudah
percaya begitu saja terhadap ucapannya, namun jelas pendekar itu terlihat agak
jengkel. "Saudara Panji, maukah kau memberikan bukti agar mereka yakin bahwa saat ini
sedang berhadapan dengan Pendekar Naga Putih yang mereka kagumi itu?" pinta
Pendekar Kapak Maut sambil menolehkan kepalanya ke arah Panji.
"Baiklah, Paman Barga. Akan kucoba meyakinkan agar kesalahpahaman ini tidak
berlanjut," jawab Panji tenang.
Setelah berkata demikian, pemuda itu segera mengempos seluruh tenaga dalamnya.
Beberapa saat kemudian selapis kabut bersinar putih keperakan nampak menyelimuti
seluruh tubuh Pendekar Naga Putih. Dan tubuh Panji meliuk-liuk
mirip seekor naga putih. Hawa dingin berhembus membuat beberapa orang pengepung yang berada tidak jauh dari pemuda
itu menggigil kedinginan.
"Ahhh.... Pendekar Naga Putih...!" teriak Balingka dan beberapa orang lainnya
yang sudah mendengar tentang ciri-ciri pendekar muda yang sakti itu. Di wajah
mereka jelas tergambar kegembiraan yang tidak dapat disembunyikan. "Bagaimana, Kisanak" Apakah masih meragukannya...,"
tanya Barga tersenyum bangga. Diam-diam hatinya juga merasa kagum dengan
tingginya ilmu yang dimiliki pemuda itu.
"Ah, tentu saja tidak! Marilah, Pendekar Naga Putih.
Marilah, Kisanak. Ki Dirga Sura tentu akan merasa gembira sekali melihat
kehadiran kalian," ajak Balingka sambil tersenyum gembira. Bagaimana Balingka
tidak akan gembira" Dengan adanya pendekar muda itu, ia merasa yakin kalau
musibah yang selama ini menghantui desanya akan dapat diatasi.
Dengan langkah tegap dan wajah berseri, Balingka mengantarkan tamu-tamunya untuk
menghadap Ki Dirga Sura yang menjabat Kepala Desa Jati Larang
Panji, Rancapala, dan Barga yang ditemani Balingka dan empat orang anak buahnya
menghentikan langkahnya di depan sebuah rumah yang cukup besar. Memang, itu
adalah kediaman Kepala Desa Jati Larang.
"Silakan tunggu di sini, Kisanak. Aku akan melaporkan berita gembira ini kepada
Ki Dirga Sura. Ha ha ha....
Beliau tentu akan merasa gembira sekali!" ujar Balingka tertawa. Sambil berkata
demikian, lelaki berkulit hitam itu melangkah meninggalkan mereka.
"Hm.... Sudah kuduga kalau julukanmu akan terdengar sampai ke daerah ini, Panji.
Itulah sebabnya sengaja
kugunakan namamu untuk menghilangkan kecurigaan mereka kepada kita," jelas Barga


Pendekar Naga Putih 05 Jari Maut Pencabut Nyawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang semakin merasa kagum atas sikap yang ditunjukkan Panji. Pemuda itu sama
sekali tidak terlihat bangga ataupun besar kepala karena nama besarnya telah
dikenal sampai sekian jauhnya. Benar-benar sikap seorang pendekar sejati!
"Ah! Sudahlah, Paman Barga. Bisa-bisa kepalaku
meledak apabila sanjungan itu masih Paman teruskan,"
sahut Panji pelan.
Saat itu terdengar suara pintu terkuak, disusul langkah-langkah kaki mendatangi
tempat tiga orang pendekar itu menanti. Keempat orang anak buah Balingka
mengangguk hormat kepada seorang laki-laki gagah berusia sekitar lima puluh
tahun. Laki-laki gagah yang bernama Ki Dirga Sura itu
melangkah diiringi Balingka dan seorang gadis cantik yang berusia kurang lebih
sekitar delapan belas tahun.
"Selamat datang di desa kami, Kisanak. Maafkan kalau sambutan anak buahku tidak
ramah tadi," ujar Ki Dirga Sura. Suaranya terdengar halus dan ramah disertai
senyum cerah yang menghias wajahnya.
"Ah! Tidak apa-apa, Ki. Hal itu dilakukan karena terpaksa,"
jawab Rancapala sambil bangkit berdiri menyambut kedatangan kepala desa itu. Sikapnya itu diikuti pula oleh Barga dan
Panji. "Ah! Inikah pemuda tampan dan gagah yang dijuluki Pendekar Naga Putih" Selamat
datang, Pendekar Muda.
Merupakan suatu kehormatan besar bagi kami karena saudara...."
"Panji, Ki!" jawab Panji memperkenalkan diri.
"Ya, Saudara Panji. Merupakan suatu kehormatan bagi kami karena kau sudi untuk
singgah di desa ini. Oh, ya, perkenalkan anakku yang manja dan nakal ini," ujar
Ki Dirga Sura sambil menoleh ke arah dara cantik yang hanya tersenyum itu.
"Ah, Ayah...!" rungut gadis itu sambil mencubit lengan ayahnya.
"Namanya Trijati...," potong Ki Dirga Sura lagi tanpa mempedulikan cubitan pada
lengannya. Barga, Rancapala, dan Panji menganggukkan kepala ke arah gadis cantik yang
bernama Trijati itu. Gadis itu tersenyum
manis membalas anggukan ketiga orang pendekar itu. "Kakang Panji, nama julukanmu sudah lama kami
dengar. Dan Ayah selalu memuji-muji sepak terjangmu.
Mmm..., bersediakah Kakang bermain-main denganku"
Sebentaaar... saja. Boleh kan, Ayah?" tiba-tiba gadis itu berkata kepada Panji
tanpa malu-malu. Tentu saja hal itu mengejutkan hati mereka yang berada di
tempat tersebut.
"Trijati, jangan kurang ajar! Kau kira sedemikian hebatkah ilmu kepandaian yang
kau miliki sehingga berani menantang
Pendekar Naga Putih"!"
Ki Dirga Sura memperingatkan putrinya yang sudah telanjur bicara itu.
"Maafkan anakku, Saudara Panji. Jangan hiraukan ucapannya."
"Ah! Tidak apa-apa, Ki," sahut Panji maklum.
"Uuuh..., Ayah...!" Trijati memberengut manja sambil membanting-banting kakinya
ke lantai. Ki Dirga Sura tidak mempedulikan sikap putrinya yang memang sangat manja itu.
Kembali ditolehkan kepalanya ke arah tiga tamunya, lalu menceritakan tentang
kejadian yang telah menimpa Desa Jati Larang beberapa hari terakhir ini.
"Semalam pun belasan orang anak buah Dedemit Jati Palas kembali membuat
kerusuhan di desa ini. Beberapa buah rumah dibakar sebagai peringatan yang
terakhir. Dan apabila kami masih belum bersedia tunduk, malam nanti
Dedemit Jati Palas itu akan datang untuk membumihanguskan Desa Jati Larang. Itulah sebabnya, mengapa kedatangan Kisanak
bertiga dicurigai," jelas Ki Dirga Sura menutup ceritanya.
"Jadi selama ini Dedemit Jati Palas itu hanya mengutus anak buahnya saja?" tanya
Rancapala menegaskan.
"Benar! Sedangkan menghadapi para pengikutnya saja
kami sudah kewalahan. Entah bagaimana nasib desa ini apabila ia sendiri yang
memimpin pengikutnya itu.
Mungkin desa ini sudah jatuh di bawah kekuasaannya,"
keluh Ki Dirga Sura sambil menghela napas berat dan panjang. "Ah..., siapa
sangka pada saat yang gawat seperti ini Yang Maha Kuasa telah mengirimkan
bantuannya dengan mengirimkan tiga orang pendekar gagah."
"Baiklah, Ki. Kami akan berusaha membantu penduduk Desa Jati Larang ini sekuat
tenaga," ucap Pendekar Tombak Sakti merendah.
"Ha ha ha.... Aku yakin dengan bantuan kalian,
Dedemit Jati Palas itu akan lari terbirit-birit." kata kepala desa itu tertawa
gembira. "Nah, sekarang marilah kita membuat rencana," usul Barga bersemangat.
*** Malam itu langit tampak cerah. Bintang bertaburan
bagaikan pelita penghias malam. Tiupan angin bersilir lembut membuat suasana
malam itu semakin terasa indah.
Desa Jati Larang tampak sepi. Sesekali terdengar lolongan anjing hutan di
kejauhan. Beberapa sosok tubuh nampak bergerak menuju perbatasan Desa Jati
Larang. Setelah keluar dari mulut desa, sosok-sosok bayangan itu bersembunyi di antara
gerombolan semak di tepi jalan.
Ketika suasana malam semakin larut, terdengar gemuruh derap kaki kuda yang mendatangi Desa Jati Larang. Puluhan ekor kuda itu
terhenti ketika orang yang berada di depan mengangkat tangan kanannya tinggitinggi. Jarak antara puluhan penunggang kuda dengan mulut desa hanya terpisah
beberapa puluh tombak saja.
Belum lagi si pemimpin rombongan mengucapkan
sesuatu, tiba-tiba terdengar desingan tajam meluncur ke arah rombongan orang
berkuda itu. Dan tanpa dapat dicegah lagi, kuda-kuda tunggangan mereka meringkik
nyaring sambil mengangkat kedua kaki depannya. Sesaat
kemudian, belasan ekor kuda terdepan langsung roboh setelah terlebih dahulu
melemparkan penunggangnya.
Mendadak, di sekitar tempat itu telah bermunculan puluhan batang obor yang
tergenggam di tangan para penduduk Desa Jati Larang. Sekejap saja, suasana di
mulut desa itu menjadi terang benderang tak ubahnya seperti siang hari.
Tentu saja kejadian yang tak terduga itu telah membuat para penunggang kuda itu
menjadi terkejut setengah mati.
Si pemimpin yang bertubuh tinggi dan berperut gendut itu berteriak menyumpah dan
mengancam. "Bangsat! Monyet jelek kau, Dirga Sura! Awas, kau!
Akan kucincang hancur tubuhmu nanti. Akan kuhirup darahmu!" teriak laki-laki
gendut itu sambil membanting kakinya ke tanah berulang-ulang.
"Ha ha ha..., Dedemit Jati Palas. Jangan hanya
berteriak-teriak seperti nenek-nenek kehabisan sirih. Ayo, buktikan ucapanmu
itu," tiba-tiba terdengar sahutan yang disertai berkelebatnya beberapa sosok
tubuh dari semak-semak di tepi jalan.
"Sebaiknya Paman tetap di sini. Biar kami saja yang menghadapi Dedemit Jati
Palas itu sesuai janji kita," ujar Panji sambil melesat ke arah rombongan
Dedemit Jati Palas.
"Aku ikut, Kakang!" gadis cantik yang tak lain adalah Trijati itu langsung
melompat tanpa menanti persetujuan Panji.
Ki Dirga Sura hanya bisa menggeleng-gelengkan
kepalanya melihat putrinya sudah melesat ke arah gerombolan tersebut. Hati orang
tua itu baru menjadi tenang ketika teringat adanya Pendekar Naga Putih bersama
putri tersayangnya itu.
Sementara itu pertarungan sudah berlangsung. Balingka yang menjadi tangan kanan Ki Dirga Sura mengamuk
hebat dengan pedangnya. Setiap kali pedangnya terayun, terdengar jeritan kematian dari lawannya. Sepak terjang
lelaki berkulit hitam itu benarbenar bagaikan algojo yang haus darah.
Rancapala atau Pendekar Tombak Sakti sudah pula bertempur
dengan dua orang lelaki kembar yang merupakan pembantu utama dari Dedemit Jati Palas.
Pendekar Tombak Sakti sama sekali tidak menduga kalau Dedemit Jati Palas
ternyata banyak memiliki pembantu yang tangguh. Sehingga, tokoh utama Perguruan
Delapan Naga itu harus mengeluarkan ilmu andalannya untuk menghadapi dua orang
lawan yang bertarung saling mengisi itu.
Di bagian lain, tampak Pendekar Kapak Maut tengah mendesak lawannya yang
bersenjatakan sebuah clurit yang
dapat dilemparkan seperti bumerang. Namun kepandaian orang itu tampak masih di bawah tokoh Perguruan Delapan Naga itu.
Terlihat jelas kalau orang yang bersenjata clurit itu kerepotan menghadapi
sambaran sepasang kapak bermata dua yang merupakan senjata andalan Barga.
Sedangkan orang yang berjuluk Dedemit Jati Palas sendiri tengah mengamuk ganas!
Teriakan-teriakan ngeri terdengar
setiap kali tangannya menyambar.
Darah berhamburan dan memercik membasahi pakaiannya yang berwarna hitam itu. Pancaran
sinar obor menerangi wajahnya
yang terlihat menyeringai penuh nafsu membunuh. Dedemit Jati Palas tak ubahnya seperti iblis yang tengah menebar maut.
"Akulah lawanmu, dedemit jelek!" teriak sesosok bayangan ramping yang langsung membabatkan pedangnya ke arah orang itu.
Tak! "Ihhh...," sosok ramping yang ternyata Trijati itu berseru tertahan ketika mata
pedangnya berbalik akibat sentilan jari-jari Dedemit Jati Palas yang mengandung
tenaga dalam tinggi. Untunglah pada saat itu sesosok bayangan putih berkelebat
menyambar tubuh gadis itu. Kalau tidak, tentu Trijati sudah terjatuh dalam
tangan lawannya.
"Menyingkirlah,
Adik Trijati. Biar aku yang menghadapinya," kata Panji setelah meletakkan tubuh gadis itu ke tempat yang
aman. Setelah berkata demikian, tubuh Pendekar Naga Putih kembali berkelebat ke
arah Dedemit Jati Palas yang kembali tengah menyebar maut.
"Dedemit Jati Palas, sambutlah...!" sambil berteriak memperingatkan lawan, tubuh
Panji sudah meluncur deras disertai sebuah pukulan yang menimbulkan desiran
angin tajam. Kepala rombongan yang berjuluk Dedemit Jati Palas itu mendengus mengejek.
Meskipun tahu kalau angin pukulan serangan itu cukup berbahaya, namun
kesombongan telah membutakan
matanya. Dia benar-benar memandang rendah melihat usia lawannya yang masih muda itu.
Duk! "Ehhh...!" tubuh tinggi besar berperut gendut itu tersentak mundur sejauh lima
tindak. Dan hal itu benar-benar telah membangkitkan kemarahan di hatinya.
"Siapa kau, Anak Muda"! Apa hubunganmu dengan
bangsat Dirga Sura itu?" bentak Dedemit Jati Palas.
Tampak wajahnya merah padam.
"Namaku Panji. Dan aku tidak punya hubungan apa-apa dengan Ki Dirga Sura. Aku
hanya seorang tamu yang kebetulan lewat di sini. Dan sebagai tamu, tentu saja
harus membela tuan rumah yang sedang menghadapi pengacau yang mengaku berjuluk
Dedemit Jati Palas,"
jawab Panji tenang.
"Bangsat! Aku tidak butuh khotbahmu. Hm.... Apa julukanmu
sehingga

Pendekar Naga Putih 05 Jari Maut Pencabut Nyawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berani menantangku"!"
teriak Dedemit Jati Palas geram.
"Ah! Itu tidak perlu ditanyakan. Dan rasanya tidak perlu kujawab. Lebih baik,
bersiaplah untuk kukirim ke neraka,"
jawab Panji yang membuat mata lawannya melotot
bagaikan hendak ke luar.
"Bangsat! Kubunuh kau...!" diiringi bentakan menggeledek, tubuh Dedemit Jati Palas itu melesat ke arah Panji. Kedua tangannya
langsung melancarkan tiga buah serangan secara berturut-turut.
Wut! Wut! Wut! Panji memiringkan tubuhnya ke kiri dan kanan
sehingga serangan lawan mengenai tempat kosong. Dan sebelum lawan menarik
serangannya, kepalan Panji sudah meluncur menghantam dadanya.
Buk! "Heghk...!"
Dedemit Jati Palas terbanting ke tanah ketika dadanya terkena hantaman tangan
Panji. Tubuh yang tinggi besar itu menggigil sesaat, dan baru dapat melepaskan
pengaruh hawa dingin yang menusuk itu setelah mengerahkan hawa murninya. Diamdiam hati kepala gerombolan itu menjadi terkejut
sekali ketika merasakan pukulan yang mengandung hawa dingin itu. Untunglah Panji hanya mengerahkan seperempat tenaga
dalamnya, sehingga lawan masih dapat berdiri tegak.
"Siapa sebenarnya kau, Anak Muda..."!" tanya laki-laki gendut itu sambil
meneliti sosok Panji dari ujung kaki hingga ke ujung rambut. Darah di tubuhnya
berdesir ketika teringat tentang seorang pendekar muda yang memiliki pukulan
sedingin es. "Tidak perlu banyak cakap, Dedemit Jati Palas! Apakah kalau kuberitahu julukanku
kau akan mundur?" ledek Panji.
"Bangsat! Setaaan...! Kubunuh kau..., hiaaat...!" teriak Dedemit Jati Palas.
Bukan main murkanya hati laki-laki gendut itu karena diejek sedemikian rupa.
Diiringi teriakan nyaring, ia segera menerjang
Panji. Kali ini serangannya tidak
dapat dipandang remeh. Entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu saja di tangannya telah
tergenggam sebuah senjata berbentuk gada berduri.
"Hm...!"
Panji mendengus pelahan sambil menghindari serangan lawan. Pemuda itu sengaja
tidak membalas serangan.
Sehingga Dedemit Jati Palas semakin memuncak kemarahannya. Memang itulah yang diinginkan Panji.
Karena pada saat kemarahan lawan semakin memuncak, akan semakin hilanglah
pertahanan dirinya.
Secara pelahan-lahan Pendekar Naga Putih mulai
membalas sesekali. Akibatnya, serangan Dedemit Jati Palas seringkali berbalik
akibat angin pukulan yang keluar dari dua tangan Panji. Beberapa kali laki-laki
gemuk itu terdorong mundur dengan tubuh menggigil kedinginan, untuk kemudian
menyerang kembali secara kalap.
Sementara itu Pendekar Tombak Sakti yang sudah
menggunakan senjatanya, sudah mulai dapat mendesak lawan. Secara pelahan tapi
pasti, kedua lawannya terkurung dalam serangan tombak baja putih pendekar itu.
Bret! "Aaakh...!"
Salah seorang lawan Pendekar Tombak Sakti menjerit kesakitan ketika ujung tombak
pendekar itu tertancap di perutnya.
Tubuh orang itu melambung setelah disentakkan ke atas, lalu terbanting ke atas tanah dan tewas seketika dengan
perut hancur! Pada saat yang bersamaan, ujung pedang lawannya yang
seorang lagi telah berhasil menggores bahu Rancapala. Cepat-cepat pendekar itu menggulingkan tubuhnya untuk menghindari serangan berikut dari lawan.
Dan ketika melihat lawannya melompat mengejarnya, Rancapala
cepat-cepat menusukkan tombaknya dari bawah ke atas. "Aaakh...!"
Tombak berkait milik Rancapala telah menembus tubuh lawan. Langsung dicabut
senjatanya sehingga kaitan yang berada dekat ujung tombak merobek perut lawannya
yang tewas seketika itu juga. Darah langsung muncrat ke mana-mana.
Di bagian lain, Pendekar Kapak Maut sudah pula
mengakhiri nyawa lawannya. Kapak yang memiliki mata pada kedua ujungnya itu
telah membabat putus leher lawan! Begitu lawannya tewas, dia bergegas membantu
yang lainnya. Tidak ketinggalan pula Ki Dirga Sura. Senjatanya yang berupa golok panjang itu
berkelebat mencari mangsa.
Pakaiannya yang semula berwarna putih itu sudah tidak nampak warna aslinya,
karena dipenuhi darah lawan.
Keringat sudah mengalir deras membasahi pakaiannya.
Namun Kepala Desa Jati Larang itu masih terus mengamuk tanpa mengenal lelah.
Di sebelah kirinya, Trijati pun ikut pula membantu ayahnya dengan pedang di
tangan. Sesekali tangan dan kakinya melepaskan sebuah tendangan maupun pukulan
yang langsung disusul sambaran pedangnya. Sehingga dalam pancaran sinar obor,
gadis cantik itu nampak bagai seorang dewi yang sedang menyebar maut.
Setelah cukup lama pertempuran berlangsung, tampak para penduduk Desa Jati
Larang mulai menguasai arena pertempuran. Untunglah para penduduk desa itu
dibantu tokoh-tokoh utama Perguruan Delapan Naga. Kalau tidak, mana mungkin
dapat memenangkan pertempuran itu"
Yang jelas, mereka bukanlah orang persilatan seperti halnya musuh mereka.
Tidak lama kemudian, pertempuran pun berakhir. Para pengikut Dedemit Jati Palas
yang sudah kehilangan keberaniannya
terpaksa menyerah dan membuang senjatanya. Para penduduk Desa Jati Larang pun bersorak menyambut kemenangan
itu. Pada saat yang sama, pertempuran antara Pendekar Naga Putih melawan Dedemit Jati
Palas pun sudah pula akan
berakhir. Panji yang telah merasa cukup mempermainkan lawannya, segera melompat ke belakang dan bersiap mengakhiri
pertarungan itu.
Dedemit Jati Palas yang mengira lawannya ingin
melarikan dia, bergegas mengejarnya. Tubuhnya meluncur disertai ayunan gada
berdurinya yang menimbulkan desiran angin keras. Namun tubuh tinggi besar itu
terpental kembali ketika senjatanya terbentur selapis kabut bersinar putih
keperakan yang melindungi tubuh
Panji. Tubuh Dedemit Jati Palas menggigil karena hawa dingin telah merasuk dalam
tubuhnya. "Pendekar Naga Putih...!" teriaknya parau. Hatinya mulai dihinggapi rasa takut
ketika mengetahui siapa lawannya.
Pada saat itu tubuh Panji sudah melesat disertai ayunan tangannya yang berbentuk
cakar naga. Serangkum angin dingin yang dapat membekukan tubuh, berhembus keras
mengiringi pukulan Panji.
Bret! "Aaarghhh...!"
Diiringi raungan panjang menyayat, tubuh Dedemit Jati Palas terlempar keras
bagai dilempar tangan raksasa.
Tubuh yang tinggi besar itu jatuh deras menghantam tanah. Napasnya kontan putus
dengan mata terbeliak.
"Kau tidak apa-apa, Kakang Panji...!" sesosok bayangan ramping yang tak lain
adalah Trijati berlari menyongsong Panji.
"Tidak, Adik Trijati. Mari kita temui ayahmu," ajak Panji yang jadi merasa kikuk
mendapat perhatian begitu rupa dari gadis itu.
Malam itu juga Ki Dirga Sura memerintahkan penduduk desa
untuk menguburkan mayat-mayat korban pertarungan. Dan kini mereka pun kembali ke desa.
*** 8 Tiga sosok bayangan hitam tampak menyelinap di
antara bayang-bayang pepohonan. Mereka tak lain adalah Panji, Rancapala, dan
Barga. Ketiganya bergerak hati-hati mendekati sebuah pintu gerbang yang
dikelilingi tembok tinggi.
"Tidak salah lagi! Inilah tempat kediaman si Jari Maut Pencabut Nyawa, seperti
yang dikatakan Ki Dirga Sura itu,"
bisik Rancapala.
"Tapi, mengapa tampak sepi sekali" Sedangkan menurut keterangan Ki Dirga Sura, tempat ini dijaga beberapa tukang pukul,"
sergah Barga heran.
"Entahlah! Jangan-jangan mereka telah mengetahui kedatangan kita. Dan siapa
tahu, ini merupakan sebuah jebakan!" sahut Rancapala seperti terpengaruh ucapan
Barga. Sementara Pendekar Naga Putih masih terus meneliti bagian luar gedung itu.
Seolah-olah, pemuda itu tengah mencari jalan masuk yang aman dan tak terjaga.
"Hm, rasanya sulit sekali menyelinap ke tempat itu tanpa
diketahui penghuninya. Bagaimana pendapat Paman?" tanya Panji seraya menoleh kepada kedua orang pendekar itu.
Untuk beberapa saat lamanya, baik Rancapala maupun Barga hanya termenung
mendengar pertanyaan Panji.
Kemudian pandangan mereka kembali beralih ke arah bangunan itu.
"Yah! Memang sulit sekali untuk menyelinap masuk tanpa
diketahui penghuninya. Apalagi kita belum mengetahui keadaan di balik pintu gerbang itu," sahut Rancapala sambil terus
berpikir keras.
"Apakah kau ada usul, Saudara Panji...?" tanya Barga
tiba-tiba, seperti ingin mengetahui pikiran pemuda perkasa itu.
"Bagaimana kalau kita menyelinap masuk secara
berpencar, Paman" Akan kucoba masuk melalui belakang bangunan itu. Sedangkan
Paman berdua dapat melompat masuk melalui tembok di depan itu," usul Panji
sambil menunjuk ke arah pohon besar yang tumbuh di samping tembok.
Setelah berpikir sesaat lamanya, dua orang tokoh Perguruan Delapan Naga itu pun
mengangguk menyetujui.
Dan mereka langsung membuat rencana.
Tidak lama kemudian, tampak Panji meninggalkan
kedua orang itu, lalu melesat ke belakang bangunan tempat tinggal Jari Maut
Pencabut Nyawa. Pemuda itu bergegas meneliti bagian belakang bangunan untuk
mencari tempat masuk yang aman.
Sekali menggenjotkan kakinya, tubuh Pendekar Naga Putih langsung melambung dan
hinggap di atas tembok batu yang agak terlindung.
"Hm..., tepat seperti yang kuduga. Tempat seperti ini pastilah mempunyai taman
pada sudutnya," gumam Panji sambil tersenyum. Sejurus kemudian, tubuhnya sudah
meluncur turun ke bagian belakang taman.
Keberuntungan rupanya tengah menyertai Pendekar Naga Putih. Di saat tengah
kebingungan mencari tempat Kenanga
disekap, seorang laki-laki setengah baya berpakaian seperti tukang kebun, melintas di dekatnya.
Tanpa banyak kesukaran, Panji melumpuhkan orang itu, lalu menyeretnya ke semaksemak untuk mengorek
keterangan dari mulut orang itu.
Beberapa saat kemudian, tubuh pemuda itu keluar dari semak-semak. Panji berlari
sambil sesekali merapatkan tubuhnya ke dinding. Pendekar muda itu menyusuri
jalanan berbatu kerikil yang menuju ke kandang kuda.
Sebab menurut keterangan tukang kebun yang baru saja dilumpuhkannya tadi, ada
seorang gadis jelita yang disekap di kamar yang letaknya dekat kandang kuda itu.
Siapa lagi kalau bukan Kenanga"!


Pendekar Naga Putih 05 Jari Maut Pencabut Nyawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sedangkan di bagian depan, Pendekar Tombak Sakti dan Pendekar Kapak Maut sudah
memasuki halaman.
Mereka bergerak cepat tanpa menimbulkan suara, menyelinap di balik batang pohon yang tumbuh di halaman. Baru saja Rancapala dan
Barga bergerak ke samping gedung, tiba-tiba terdengar suara berdesing tajam yang
meluncur ke arah mereka.
Singgg! Singgg...!
Trak! Trak...! Empat batang anak panah langsung runtuh dalam
keadaan patah! Di tangan masing-masing telah tergenggam senjata andalan mereka.
Keduanya langsung bersiaga ketika menyadari kalau kedatangan mereka telah
diketahui lawan.
Ketika kembali terdengar suara desingan anak panah, Rancapala dan Barga
menyimpan senjatanya. Cepat-cepat keduanya menangkis dengan menggunakan sisi
telapak tangan miring. Empat batang anak panah itu kontan berbalik kepada
tuannya. "Aaakh...!"
Empat orang yang melepaskan anak panah itu langsung terjungkal tewas. Dada dan
leher masing-masing telah ditembus sebatang anak panah yang mereka lepaskan
tadi. "Maling keparat! Siapa kalian"! Dan apa maksud kalian menyusup ke dalam gedung
ini"!" bentak seorang laki-laki pendek gemuk sambil melintangkan senjatanya di
depan dada. "Siapa pun kami, bukan urusanmu! Lebih baik laporkan kepada majikanmu bahwa kami
datang untuk mengambil nyawanya!" teriak Pendekar Tombak Sakti tak kalah
garangnya. "Bangsat! Kurobek mulutmu yang lancang itu!" setelah berkata demikian, orang itu
langsung menerjang dua orang tokoh Perguruan Delapan Naga yang kemudian diikuti
kawan-kawannya yang lain.
Dalam sekejap saja di halaman samping gedung itu
telah terjadi pertempuran sengit! Rancapala dan Barga tidak
tanggung-tanggung
lagi membalas serangan- serangan lawannya. Senjata-senjata mereka berkelebatan mengancam tubuh lawan
yang berjumlah delapan orang itu.
Ternyata kedelapan orang itu memiliki kepandaian yang tidak rendah! Sepuluh
jurus telah terlewati, namun dua orang pendekar itu belum juga mampu merobohkan
seorang lawan pun. Tentu saja hal ini membuat Rancapala dan Barga menjadi
penasaran. Padahal mereka dikenal sebagai tokoh-tokoh utama Perguruan Delapan
Naga. Tapi, sampai sekian lama belum juga dapat melukai lawan. Hal itu benarbenar di luar perhitungan mereka.
"Hiaaat..!" Pendekar Kapak Maut berteriak melengking disertai ayunan kapaknya
dalam jurus 'Kapak Maut Pembelah
Bumi'. Kedua mata kapak berkilatan menyilaukan mata lawan. Dan tanpa dapat dicegah lagi....
Cras! Cras! Sepasang kapak maut di tangan Barga membeset perut dan leher seorang lawannya.
Seketika itu juga, salah seorang pengeroyok tewas tanpa sempat berteriak karena
kepalanya telah terpisah dari badan!
Tepat pada saat itu, tombak di tangan Rancapala meliuk bagaikan seekor ular
menuju sasaran. Lawannya berkelit sehingga mata tombak itu tidak mengenai
lehernya. Tapi justru itulah yang diinginkan Rancapala. Tepat pada saat itu,
ditarik pulang tombaknya sehingga kaitan yang melengkung ke dalam, membeset urat
leher lawannya.
Darah segar menyembur keluar dari luka itu. Orang itu berkelojotan meregang
nyawa untuk kemudian diam tak berkutik. Mati.
Dua orang tokoh utama Perguruan Delapan Naga itu terus merangsek lawan-lawannya.
Jurus-jurus pilihan yang
digunakan mereka benar-benar hebat dan menggiriskan sekali. Lewat tiga jurus kemudian, kembali dua orang pengeroyok itu
menggelinding tewas.
Rancapala dan Barga seolah-olah sepakat
untuk berlomba membunuh lawan sebanyak-banyaknya. Mereka seakan-akan bersaing dan
saling mendahului merobohkan lawan, sehingga tindakan mereka tidak kepalang
tanggung. Pada saat keduanya mulai mendesak lawannya, tiba-tiba
terdengar bentakan-bentakan
mengguntur yang dibarengi berkelebatnya dua sosok tubuh tinggi besar, dan langsung menerjunkan
dirinya ke dalam arena.
"Ha ha ha...! Rupanya cecurut-cecurut dari Perguruan Delapan Naga telah berani
mati memasuki sarang macan,"
salah seorang dari kedua laki-laki tinggi besar yang ternyata adalah Soma itu
tertawa mengejek.
"Ayo! Kita antarkan mereka ke neraka, Kakang," seru seorang lagi yang tak lain
adalah Ludira. Setelah berkata demikian, dia pun langsung menerjang Pendekar
Kapak Maut. Dengan masuknya dua orang pengawal Jari Maut
Pencabut Nyawa itu, tentu saja Rancapala dan Barga menjadi kelabakan. Dalam
beberapa jurus saja kedua orang pendekar itu terdesak hebat!
Buk! "Akh...,"
terdengar keluhan tertahan dari mulut Pendekar Tombak Sakti.
Tampak tubuh Rancapala terpental bergulingan ketika kepalan Soma yang hampir
sebesar kepala bayi itu menghantam dadanya. Pendekar itu cepat bangkit meski
agak terhuyung. Dari bibirnya mengalir cairan merah membasahi pakaiannya.
Rancapala menghirup udara banyak-banyak untuk mengusir rasa sesak di dadanya.
Tombak berkaitnya melintang di depan
dada, siap menghadapi segala kemungkinan.
Pada saat yang bersamaan, Pendekar Kapak Maut pun terpelanting akibat tendangan
Ludira yang hinggap di lambungnya. Wajahnya menyeringai menahan sakit pada
lambungnya. Pendekar itu cepat menggulingkan tubuhnya ke kiri ketika melihat
lawannya kembali menerjang.
Derrr! Tanah tempat Barga tadi terjatuh melesak akibat
injakan kaki yang hampir sebesar kaki gajah itu. Kalau saja Barga tidak sempat
menghindar, tentu perut pendekar itu telah remuk akibat injakan kaki Ludira!
"Aaarghhh...!"
Tiba-tiba terdengar teriakan menyayat yang dibarengi terpentalnya empat
orang pengeroyok pendekar itu.
Keempat orang itu berkelojotan tewas akibat goresan dalam dan memanjang di tubuh
mereka. "Manusia-manusia pengecut!" bentak seorang wanita cantik mengenakan pakaian
serba merah. Sebilah pedang bersinar kehijauan tergenggam erat di tangannya.
Wanita itu tampak bagaikan seorang dewi yang turun dari langit untuk
menyelamatkan mereka.
"Paman, aku datang membantu...!" seru seorang dara lain yang tidak kalah
cantiknya dengan si baju merah. Di tangan dara itu pun tergenggam sebatang
pedang bernoda darah.
"Dewi Tangan Merah...!" seru Pendekar Tombak Sakti gembira.
"Trijati...!" Mengapa kau menyusul kami?" teriak Barga cemas.
Namun, mereka tidak sempat untuk berpanjang kata lagi. Ternyata pada saat itu
lawan sudah datang menyerbu.
Tanpa banyak cakap lagi, keempat orang itu segera menyambut serangan lawan-lawan
mereka. Pertarungan pun kembali berlangsung seru dan sengit
*** "Ha ha ha...! Apa yang kau cari, Pendekar Naga Putih?"
tiba-tiba terdengar sebuah suara yang membuat Panji tersentak kaget.
Pemuda itu cepat menoleh ke arah tempat penyimpanan makanan kuda. Ditatapnya
pemuda bertubuh tinggi tegap yang wajahnya ditumbuhi bulu-bulu lebat, namun
tertata apik itu. Dia memang Jaya Sukma, yang tengah memandang sambil tersenyum mengejek.
"Jari Maut Pencabut Nyawa! Mari kita bertanding secara
jantan, jangan hanya pandai menculik wanita!" tantang Panji. Wajahnya tetap
tenang tanpa kemarahan. Hanya sinar matanya saja yang mencorong tajam bagaikan
mata naga yang murka karena merasa terusik.
"Baik! Kita bertanding dengan taruhan gadis jelita itu.
Bagaimana?" usul Jaya Sukma sambil melangkah tenang menghampiri Panji.
"Apa maksudmu, Jari Maut?" tanya Panji meski
sebenarnya sudah mengerti ke mana arah pembicaraan orang itu.
"Begini. Kalau dalam pertandingan nanti aku kalah, kau boleh ambil gadis itu.
Tapi jika aku menang, maka kau harus rela menyerahkannya untukku. Kalau kau
merasa takut, silakan tinggalkan tempat ini sekarang juga!" tegas Jaya Sukma
penuh kesombongan.
"Baik, aku terima usulmu," jawab Panji setelah
termenung beberapa saat lamanya.
"Ikuti aku," ajak Jari Maut Pencabut Nyawa sambil melangkah ke sebuah tanah
lapang berumput yang cukup luas.
Kedua orang pemuda tampan yang sama-sama memiliki kesaktian tinggi itu berdiri
berhadapan dalam jarak empat tombak. Mereka saling tatap dengan sinar mata yang
dapat merobohkan seorang berkemampuan rendah.
"Hiaaat..!" disertai teriakan melengking tinggi, Jaya Sukma
menerjang Panji yang berdiri tegak siap menyambut serangan lawan. Serangkum angin panas menyebar ke sekitar arena
pertarungan. Melihat lawan telah langsung mengeluarkan ilmu
andalan yang ganas dan mengerikan itu, bergegas Panji mengerahkan 'Tenaga Sakti
Gerhana Bulan' yang dahsyat.
Selapis kabut bersinar putih keperakan tampak mulai menyelimuti tubuh. Hawa
dingin menebar di sekitar tubuhnya.
Wusss! Tusukan jari Jaya Sukma yang berwarna kemerahan itu cepat dielakkan Panji dengan
menggeser tubuhnya ke kiri.
Sedangkan jari-jari tangan Pendekar Naga Putih yang berbentuk cakar naga itu
menyambar cepat ke pelipis lawan, disusul tendangan kaki kanannya ke arah
lambung. Mendapat serangan balasan secara beruntun itu, tidak membuat Jaya Sukma gugup.
Cepat-cepat ditarik kaki kanannya
ke belakang disertai liukan tubuhnya. Sementara tangan kirinya meluncur ke arah tenggorokan lawan, cepat dan tak
terduga. Duk! Mereka masing-masing terdorong mundur ketika Panji menggerakkan tangannya
menangkis serangan itu. Baik Pendekar Naga Putih maupun Jari Maut Pencabut Nyawa
sama-sama merasakan kalau lengannya tergetar akibat pertemuan tenaga dalam
tinggi itu. "Hm...!"
Sambil mendengus kasar, Jari Maut Pencabut Nyawa menarik
kedua tangannya ke pinggang. Kemudian, didorong tangannya ke atas secara pelahan-lahan dan bersilangan. Terdengar suara
bergemeletuk ketika tenaga saktinya mengalir di kedua lengannya. Cahaya
kemerahan yang menebarkan hawa panas, menyelimuti lengan Jaya Sukma sebatas
bahu. Rupanya si Jari Maut Pencabut Nyawa telah mengerahkan tenaga dalam
sepenuhnya. Merasakan hawa panas yang menyengat kulit semakin kuat
memenuhi arena pertarungan, bergegas Panji menghirup udara sebanyak-banyaknya. Lapisan kabut bersinar putih keperakan yang
menyelimuti tubuhnya tampak
semakin lebar dan menebal. Hawa dingin berhembus keras, sehingga pohon yang tumbuh tidak jauh dari situ tampak
terlapisi butiran-butiran salju pada batang dan daunnya.
"Yeaaaa...!" dengan teriakan membahana, Jaya Sukma melesat ke arah Panji.
Serangannya kali ini benar-benar menggiriskan. Daun-daun pohon yang berjarak dua
meter dari tubuhnya langsung mengering akibat hawa panas yang berhembus dari
tubuhnya. Kedua jari tangannya menusuk beberapa kali, sehingga menimbulkan suara
mencicit tajam.
Panji yang memang sudah menduga kalau lawannya
memiliki kepandaian sangat tinggi itu, bergerak cepat mengelakkan serangan.
Langsung saja dibalas serangan itu dengan tidak kalah berbahayanya.
Pertempuran dua pemuda yang sama-sama memiliki
ilmu kesaktian luar biasa itu benar-benar hebat dan mendebarkan. Pohon-pohon
yang berada di sekitar arena pertempuran


Pendekar Naga Putih 05 Jari Maut Pencabut Nyawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu satu-persatu tumbang dan saling tumpang tindih.
Glarrr! Sebuah pukulan Jari Maut Pencabut Nyawa menghantam pohon yang berada di belakang Pendekar Naga Putih. Pohon sepelukan
orang dewasa itu langsung tumbang dalam keadaan hangus! Untunglah, Panji cepatcepat menghindar jika tidak ingin tewas terlanggar pukulan maut itu.
Jurus demi jurus berlalu cepat. Dan tanpa disadari pertarungan telah memasuki
jurus kesembilan puluh tujuh. Namun sampai sekian jauh, belum ada tanda-tanda
siapa yang akan keluar sebagai pemenang.
Sementara di tepi arena, terlihat Rancapala, Barga, dan Trijati tengah
menyaksikan pertarungan antara Panji melawan Jaya Sukma. Rupanya mereka telah
berhasil mengakhiri
perlawanan Soma, Ludira, dan para pembantunya. Hanya Dewi Tangan Merah yang tidak tampak.
Rancapala dan Barga tampak mengalami luka cukup parah. Noda-noda darah tampak
terlihat di beberapa bagian pakaian mereka. Keduanya bersandar lemah pada
sebatang pohon. Rupanya meskipun berhasil menghabisi lawan-lawannya, mereka pun
tidak terlepas dari luka akibat serangan lawan.
Sementara Trijati tampak memandang ke arah pertarungan dengan wajah cemas. Sesekali dara cantik itu menahan napas ketika
Panji terdesak. Kemudian wajahnya kembali berseri pada saat Panji dapat
menguasai Jaya Sukma. "Trijati, jangan mendekat! Pertarungan itu berbahaya sekali!" seru Pendekar
Tombak Sakti lemah ketika melihat dara itu hendak mendekati arena pertarungan
maut itu. Mendengar peringatan Rancapala, Trijati mengurungkan niatnya. Tapi, matanya tak
lepas-lepas memandang ke arena pertarungan.
Pada saat itu pertarungan sudah melewati jurus yang keseratus lima puluh, Jaya
Sukma yang penasaran semakin memperhebat serangannya. Hingga pada suatu saat,
pemuda itu melontarkan kedua tangannya ke dada Pendekar Naga Putih. Padahal padi
saat bersamaan, Panji mendorongkan sepasang tangannya! Dan....
Blarrr! "Aaakh...!"
Kedua orang yang mengadu tangan itu
berseru tertahan. Ledakan keras yang terdengar begitu memekakkan telinga. Bahkan tanah di sekitar arena pertarungan bagaikan digoncang
gempa! Pendekar Naga Putih dan Jari Maut Pencabut Nyawa terlempar
terguling-guling
akibat benturan yang mahadahsyat itu. Cairan merah menetes dari sela-sela bibir mereka. Tubuh Jaya
Sukma menggigil kedinginan, sedangkan Panji merasakan seluruh tubuhnya bagaikan
terpanggang. Dan kini mereka kembali berhadapan meski kuda-kuda masing-masing sudah tidak
mantap lagi. Tiba-tiba Jaya Sukma mengebutkan tangan kanannya. Maka tiga buah
sinar putih seketika meluncur deras ke arah Panji. Pada saat
Pendekar Naga Putih melempar tubuhnya menghindari terjangan tiga buah sinar putih yang ternyata jarum beracun itu,
Jaya Sukma melontarkan pukulan 'Jari Maut' secara licik. Seberkas sinar
kemerahan menyambar tubuh Panji.
Cusss! "Akh...!" Panji mengeluh tertahan.
Meskipun Panji mencoba berkelit, namun sinar kemerahan itu masih juga menyerempet bahunya. Untunglah tubuhnya masih terlindung lapisan kabut keperakan, sehingga ilmu
pukulan 'Jari Maut' tidak sampai
[img] melukai tubuhnya. Pemuda sakti itu terjajar mundur sambil memegangi bahu
kirinya yang terasa nyeri dan agak panas.
"Hiyaaa...!"
Disertai teriakan nyaring, tubuh Panji melesat dengan jurus
'Naga Mengguncang Bumi'. Kedua tangannya bergerak cepat menimbulkan angin dingin yang menderu-deru.
Jaya Sukma terjajar mundur, dan tubuhnya bagaikan dikelilingi dinding-dinding
salju yang tak tampak. Jari Maut Pencabut Nyawa itu tak sempat lagi menghindar
ketika tangan kanan Panji telah menghantam lambungnya.
Bret! "Aaargh...," Jaya Sukma menjerit
kesakitan, dan tubuhnya terlempar sejauh tiga batang tombak. Lambungnya yang terkoyak akibat cakaran tangan kanan Panji tampak meneteskan
darah kental berwarna agak kehitaman. Dan selagi berusaha bangkit, kedua tangan
Pendekar Naga Putih telah menghantam dadanya.
Desss! Bukkk! "Aaakh...!"
"Hughk..!"
Tubuh Jari Maut Pencabut Nyawa terhempas bagai
sehelai daun kering diiringi jeritan menyayat. Setelah bergetar sesaat, tubuhnya
diam tak berkutik lagi. Mati.
Namun akibat yang dialami Panji juga cukup parah.
Tubuhnya terpelanting akibat tendangan kaki lawannya.
Rupanya pada saat-saat terakhirnya, Jaya Sukma masih sempat melepaskan tendangan
ke lambung Pendekar Naga Putih. Untunglah Panji bertindak cepat dengan menelan
sebutir pil berwarna putih untuk mengobati luka di lambung. Dikerahkannya hawa
murni untuk mempercepat penyembuhan luka dalam yang dideritanya.
"Kakang Panji! Kau..., kau terluka...?" tiba-tiba Trijati yang sejak tadi
mengkhawatirkan keselamatan pemuda itu segera berlari mendekati Panji yang sudah
bergerak bangkit dari duduknya.
"Ohhh, hanya luka sedikit. Hei" Trijati! Mengapa kau berada di tempat ini?"
tanya Panji terkejut. Pemuda itu merasa kikuk sekali ketika menyadari kedua
lengan gadis itu
bergayut di bahunya. Tangan Panji bergerak, menurunkan tangan gadis itu dari bahunya.
Namun, rupanya Trijati salah mengerti. Ketika merasa tangannya
dipegang pemuda itu, gadis itu segera menyambut dan meremas tangan pemuda yang sangat dikaguminya itu. Sehingga secara
sepintas, keduanya seperti sepasang kekasih yang sedang menumpahkan rindu.
Kenanga yang saat itu sedang menghampiri ditemani Dewi Tangan Merah yang telah
membebaskannya dari kamar tempat dia disekap, menatap kaget, bibirnya bergetar
penuh kemarahan. Terdengar isak tertahan keluar dari kerongkongannya. Dara
jelita itu langsung berbalik dan
berlari. Samar-samar terdengar isaknya yang memilukan. Panji cepat menoleh ketika mendengar langkah orang berlari dari arah
belakangnya. Wajah pemuda itu berubah pucat ketika mengenali gadis yang sedang
berlari sambil terisak itu.
"Kenanga...!" teriak Panji sambil berlari mengejar Kenanga yang terlihat
mengecil karena mereka sudah terpisah cukup jauh.
"Kakang! Kau..., kau mau ke mana?" tiba-tiba sepasang tangan halus memegang erat
lengan kanan Panji, sehingga pemuda itu terpaksa menahan langkahnya.
"Maafkan aku, Trijati. Gadis itu adalah tunanganku, dan aku harus mengejarnya,"
jelas Panji. Wajahnya terlihat sedih. "Adik Sundari, tolong berikan obat ini
kepada Paman Rancapala dan Paman Barga untuk mengobati luka mereka. Maaf, aku
harus pergi dulu."
Panji cepat menyerahkan dua buah pil berwarna putih kepada Dewi Tangan Merah.
Setelah menemukan Kitab Jari Maut yang berada di balik jubah Jaya Sukma, Panji
pun bergegas menyusul Kenanga. Dan sekali berkelebat, tubuh Pendekar Naga Putih
hanya tinggal bayangan yang semakin lama semakin mengecil. Panji terus mengejar
Kenanga yang berusaha menghindar darinya.
"Kakang Panji...!" tinggal Trijati berdesah lemah di antara isaknya. Dia
menyadari bahwa Pendekar Naga Putih bukan miliknya. Ternyata pendekar itu telah
memiliki wanita pujaannya sendiri.
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Clicker
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Pendekar Pedang Dari Bu Tong 19 Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D Jodoh Rajawali 26

Cari Blog Ini