Pendekar Naga Putih 113 Makhluk Haus Darah Bagian 2
"Apa maksud kata-katamu, Kek?" tanya Panji.
"Eh, masih mau berpura-pura juga, ya?" ujar kakek itu
seraya menghentikan langkah setengah tombak dari Panji.
"Jelaskan maksudmu, Kek! Ini bukan saat yang tepat
untuk berteka-teki!"
"Apa aku bilang begitu?" Kakek ini menelengkan
kepala. Bibirnya menyunggingkan senyum mengejek.
Panji menghempaskan napas kuat-kuat. Sorot
matanya tajam berkilat. Amarahnya jelas terpancing nleh
sikap kakek itu yang sengaja hendak memperinalnkannya. Tapi untuk meladeni ia merasa percuma saja.
Menurut pengamatannya, kakek itu agak kurang beres
otaknya. "Sudahlah!" Panji mengibaskan tangannya.
"Tidak ada gunanya melayanimu berdebat. Kalau kau
kurang puas, silakan ajak mayat-mayat itu untuk melayani
omonganmu. Maaf, aku harus pergi!" Panji langsung
memutar tubuh untuk meninggalkan tempat itu.
"Hei, tunggu...!" Kakek itu berteriak sambil melompat
tinggi. Dia berputar beberapa kali di udara sebelum
mendarat satu tombak di hadapan Panji. "Mana bisa pergi
begitu saja setelah membantai belasan prajurit kerajaan!"
tuduh si kakek, membuat Panji terperangah kaget.
"Apa-apaan ini" Main tuduh seenak perut sendiri!
ltukah makna tawa dan pujianmu tadi?" Panji kelihatan
gusar sekati. la merasa tidak enak dituduh seperti itu.
"He he he ... Tidak perlu main sembunyi seperti itu
kepadaku, Pendekar Naga Putih," sahut si kakek berkeras
dengan tuduhannya. "Harta yang dibawa pasukan kerajaan
yang baru kau bantai ini memang sangat banyak. Tidak
heran kalau seorang pendekar besar sepertimu sampai
bisa khilaf Tapi terus terang, aku tidak mempersoalkan
kematian mereka. Aku akan tutup mulut asalkan kau mau
membagi dua harta itu. Kau tidak keberatan, bukan"
Separuhnya saja sudah cukup untuk kau gunakan berfoyafoya selama hidup!"
"Gila...!" Panji menggeram. Sekarang ia benar benar
jengkel. "Aku sama sekali tidak tahu-menahu seal harta
yang kau maksud itu. Kau sendiri yang menyebutnyebutnya. Aku jadi curiga...."
"Apa maksudmu, Pendekar Naga Putih?"
"Semua ini pasti sudah kau atur bersama kawankawanmu." lanjut Panji seraya tersenyum sinis. "Kau
sengaja mencegahku tadi. Itu baru kusadari saat
menemukan mayat-mayat yang berserakan di tempat ini.
Jelas kau menghambat perjalananku agar pekerjaan
kawan-kawanmu tidak terganggu."
"Ha ha ha...!" Tuduhan balik Panji malah membuat si
kakek tergelak. "Maling teriak maling. Bagus... bagus! Aku
suka itu... aku suka!"
Panji menggelengkan kepala. Melayani bicara kakek
itu, ia jelas tidak bakal menang.
"Terserah kau sajalah, Kek. Yang jelas aku tidak
membunuh mereka. Sekarang aku mau pergi! Akan kucari
dua buah kereta kuda itu sebagai bukti kalau aku tidak
bersalah!" usai berkata demikian, Panji benar-benar
melangkah pergi. Tak akan dipedulikannya meski kakek itu
akan mencegah. Si kakek kembali tertawa mengekeh. Kali ini ia tidak
mencegah kepergian Panji. 'Ya, temukanlah Setan Mata Api
dan Katak Hijau, Pendekar Naga Putih. Manusia-manusia
licik itu telah mengkhianatiku. Mereka telah
memperdayaiku, yang mencegahmu agar tidak sampai
menggagalkan rencana perampokan," ujar si kakek dalam
hati seraya menatap kepergian Pendekar Naga Putih.
Sepeninggal Panji, kakek ini segera memeriksa mayat
mayat Ketika berdiri di dekat mayat Senapati Malingkat,
mulutnya berkemak-kemik mengucapkan sesuatu yang tak
jelas. "Setan Mata Api, Katak Hijau!" ujar si kakek kemudian.
Suaranya lantang dan bergetar. "Tunggulah. Akan ada
pembalasan yang mengerikan untuk orang-orang serakah
seperti kalian...!" Dalam suara kakek itu terkandung
sesuatu yang menggetarkan hati. Seperti menyimpan suatu
kutuk mengerikan. Mengandung getaran dendam dan sakit hati. Yang kelak akan dibalasnya dengan cara yang tak
pernah terlintas dalam pikiran Setan Mata Api maupun
Katak Hijau. *** 6 Hari itu adalah hari kesembilan sejak peristiwa di Bukit
Dampet Pagi setelah terjadinya perampokan Panji
menelusuri jejak roda kereta yang berisikan harta kerajaan.
Pada hari kesembilan, saat menjelang siang, Panji berhasil
menemukan dua buah kereta kuda tersebut Namun kedua
kereta itu telah kosong. Tak satu pun benda berharga ter
sisa di dalamnya.
Hal itu tidak membuat Panji menyerah. Apalagi ia
sudah bisa memperkirakan ke mana perampok- perampok
itu melarikan diri. Jejak roda kereta terus bergerak ke arah
utara. Dari kenyataan itu Panji mengambil kesimpulan
kemungkinan besar perampok-perampok berasal dari
daerah utara. Atau paling tidak, hendak membawa harta
rampokannya ke wilayah utara.
Perkiraan itu memang masih dalam rabaannya saja.
Memang hal itu bisa dijadikan sebagai pegangan. Selain itu
memang tidak ada petunjuk lagi. Dan la sama sekali belum
mendapat gambaran tentang ciri-ciri dari perampokperampok itu, yang berjumlah sedikitnya dua orang. Sebab
tidak mungkin satu orang bisa membawa dua buah kereta
kuda sekaligus. Dan Panji memang harus mengakui
kelihaian perampok-perampok itu yang tidak pernah
melintasi daerah pemukiman penduduk. Dua buah kereta
kuda itu selalu dibawa melalui daerah-daerah sepi yang
jauh dari tempat-tempat pemukiman penduduk. Sehingga
Panji menemui kesulitan untuk mengetahui ciri-ciri atau
pun jumlah perampok-perampok itu. Tidak ada orang yang
bisa ditanyainya untuk mencari keterangan tentang kereta
kuda atau pun orang-orang yang membawanya.
Suara langkah orang berlari mengusik lamunan Panji.
Tubuhnya segera diputar menghadap arah suara langkah
itu datang. Dan, pandangannya terbentur pada dua sosok
tubuh yang kemudian berhenti tepat di depannya.
Tanpa berkata sepatah pun kedua pendatang itu
meneliti Panji dari ujung kepala sampai kaki. Dan tanpa
sadar Panji melakukan hal yang sama pada mereka
Keduanya adalah seorang nenek berambut putih riapriapan dan seorang gadis cantik bermata bulat Mata itu
bersinar sinar. Mencerminkan watak yang jenaka. Di ujung
bibir sebelah kanan terdapat sebuah tahi lalat. Tanda
bahwa gadis cantik itu seorang yang cerewet.
"Hei! Mengapa kau pandangi kami seperti itu" Belum
pernah berjumpa dengan perempuan, ya?" Gadis cantik
bertahi lalat menegur Panji lebih dulu. Suaranya terdengar
galak. Begitu juga dengan roman mukanya. Malah, dia
bertolak pinggang segala.
Tadinya Panji bermaksud membela diri. Karena
mereka juga melakukan perbuatan serupa kepada dirinya.
Tapi niat itu diurungkan. Ditariknya napas sesaat, lalu
dicobanya tersenyum ramah kepada mereka.
"Maaf, kalau sikapku membuat Nona tidak suka...."
"Siapa bilang aku tidak suka?"
Gadis bertahi lalat memotong kalimat Panji. Sementara
nenek berambut putih riap-riapan bersikap tidak peduli.
Nenek itu tetap meneliti Panji. Dari kepala ke ujung kakl,
kemudian balik dari kaki ke ujung kepala. Perbuatan itu
dilakukannya sampai berulang-ulang.
"Jika demikian, biarlah kutarik lagi perkataanku llu,"
Panji tetap menunjukkan sikap ramahnya. "Dan maaf kalau
sikapku tadi telah membuat Nona merasa suka."
"Aku juga tidak bilang begitu!" Lagi-lagi gadis itu
menukas. "Hh...," Panji menghela napas "Entah apa lagi yang
harus kukatakan kepadamu, Nona...."
"Tanya kek siapa namaku. Itu kan lebih enak
didengarnya," sahut gadis bertahi lalat.
"Aneh..."!" gerutu Panji seraya menggaruk-garuk
kepala. Bukan karena gatal, tapi bingung menghadapi
sikap aneh gadis itu. "Hik hik hik...!"
Panji mengalihkan perhatiannya pada sosok nenek
berambut riap-riapan. Sejak tadi nenek itu cuma diam
sambil terus memperhatikannya. Dan sekalinya membuka
mulut, si nenek tertawa mengikik seraya menutupi
mulutnya seperti lagak seorang gadis saja. Sikap nenek
mau tidak mau membuat Panji tersenyum geli.
"Tanyalah, Anak Tampan, tanyalah," si nenek malah
menyumh Panji. "Apa kau tidak tertarik dengan muridku
yang bahenol ini" Wajahnya cantik dan segar berseri-seri.
Tubuhnya langsing padat," lalu dia berpaling kepada
muridnya. "Coba biarkan anak tampan itu memegang
tubuhmu, Muridku. Biar dia rasakan sendiri betapa hangat
dan lunaknya tubuhmu yang bahenol itu," perintahnya
kepada si gadis yang ternyata muridnya.
Ucapan nenek itu tentu saja membuat Panji jengah.
Parasnya berubah kemerahan. Nenek gendeng, gerutu
Panji dalam hati. Diam-diam ia merasa kasihan kepada
gadis bertahi lalat, yang menurutnya pasti merasa malu
dengan permintaan gurunya itu.
Tapi, alangkah kaget hati Panji sewaktu melihat gadis
itu tersenyum malu-malu seraya menggoyang- goyangkan
tubuhnya. Gadis ini melangkah maju mendekati Panji.
Tubuhnya disorongkan untuk dipegang Panji seperti
permintaan gurunya.
"Peganglah, Anak Tampan. Raba sesukamu. Bagian
yang mana saja boleh," sambil diselingi kekehnya si nenek
memerintah Panji. Karuan saja Panji menjadi kelabakan!
"Celaka..." keluh Panji dalam hati. "Guru dan murid
sama gilanya! Mereka jelas tidak sedang bermain-main.
Heran, mengapa belakangan ini aku sering menemukan
manusia kurang waras?"
"Mengapa bengong, Anak Tampan" Hayo, jangan malumalu!" Si nenek mendesak Panji yang makin kelabakan dan
salah tingkah. Sementara gadis cantik bertahi lalat sudah
berdiri di depan hidung Panji. Kendati kedua belah pipinya
dironai warna kemerahan, namun ia tidak malu-malu
menarik tangan Panji dan dibawanya ke tubuhnya.
Panji terperangah dalam keheranan. Terbengongbengong memandang si nenek dan gadis di depannya
bergantian. Seperti tidak sadar tangannya dibiarkan
dibawa gadis itu ke bagian tubuhnya yang paling menonjol.
Buah dada yang membukit dan sedang ranum-ranumnya.
"Aiii...!"
Setengah terpekik Panji menarik tangannya. Hampir
saja ia menyentuh buah dada gadis itu. Dengan wajah
kemerahan Panji melompat mundur. Sementara si gadis
membelalakkan matanya. Kelihatan sekali betapa ia
sangat heran dengan tindakan Panji. Yang ia tahu selama
ini, tak ada seorang lelaki pun akan menolak jika diberi
kesempatan seperti itu. Hanya lelaki tolol saja yang
berbuat begitu. Mungkin pemuda ini termasuk dalam
golongan itu, pikirnya dalam keheranan.
Lain tanggapan gadis itu, lain pula tanggapan si nenek.
Parasnya langsung berubah. Kekehnya seketika lenyap.
Wajahnya membesi dengan sorot mata yang nyata-nyata
menunjukkan kemarahan.
"Hei, Pemuda Bego!" Si nenek memaki Panji. Suaranya
melengking menusuk telinga. Jari telunjuknya yang
berkuku runcing ditudingkan lurus-lurus ke wajah Panji.
"Kau telah melakukan satu kesalahan besar. Apa yang kau
lakukan merupakan penghinaan tak berampun. Hanya
nyawamu yang dapat menebusnya!"
Panji terperangah. Sungguh tak disangka tindakannya
membuat nenek itu marah besar. Padahal, yang
dilakukannya adalah suatu kebenaran. la telah
menyelamatkan si gadis dari rasa malu.
"Nek," ujar Panji. "Tidak ada niat sedikit pun di hatiku
untuk menghina kalian berdua. Dan.. ."
"Cukup! tidak pertu berdalih lagi!" Si nenek membentak
garang. "Menolak untuk menyentuh tubuh muridku sama
artinya dengan melakukan penghinaan besar! Padahal,
sewaktu pertama kali melihatmu aku sudah merasa cocok
untuk menjadikanmu suami muridku. Itu adalah suatu
kehormatann yang tiada taranya. Aku tidak pernah
sembarangan memilih Tapi kau ternyata menolaknya
mentah-mentah. Satu-satunya cara untuk menebus
penghinaan ini adalah kematianmu! Nah, Murni," lanjutnya
seraya menoleh kepada muridnya. "Bunuh pemuda yang
tidak tahu diuntung itu!" perintahnya tanpa bisa ditawar
lagi. Gadis cantik bertahi lalat yang bernama Murni ini
segera mematuhi perintah gurunya. Terdengar suara angin
berdesing sewaktu ia mencabut pedang. Lalu, tanpa
berkata apa-apa lagi Murni mengayun langkahnya
menghampiri Panji.
"Murni, tahan dulu...!" Panji berusaha mencegah.
Kedua telapak tangannya diangkat di depan dada. "Aku
tidak ingin kelak kau menyesali perbuatanmu. Sekali lagi
kutegaskan, aku sama sekali tidak bermaksud
menghinamu. Simpanlah senjatamu itu. Jangan turuti
nafsu amarah yang dihembuskan setan."
Tapi Murni tidak mendengarkan kata-kata Panji. Gadis
ini terus melangkah dengan pedang terhunus. Sorot
matanya tajam berkilat, memancarkan tekad yang tidak
bisa dicegah. "Haliittt..!?"
Tiga langkah di dekat Panji, Murni membentak seraya
membabatkan pedangnya yang memperdengarkan suara
mengaung. Serangan itu jelas tidak main-main. Panji yang
Pendekar Naga Putih 113 Makhluk Haus Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak ingin kehilangan kepala segera bergerak mundur.
Babatan pedang yang mengancam lehernya lewat satu
jengkal. Dan Panji masih harus berlompatan beberapa kali
ketika se-rangan Murni tidak berhenti sampai di situ.
"Terus, Murni, terus!" Si nenek berteriak-teriak
memberi semangat. "Pemuda tolol macam dia tidak perlu
diberi hati. Jangan ragu-ragu. HaHsi saja pemuda sial
dangkalan itu...!"
Dan Murni memang tidak main-main. Serangannya
datang bertubi-tubi laksana curahan air hujan. Agak repot
juga Panji dibuatnya. Murni ternyata bukan gadis
sembarangan. Kecepatan dan kekuatan serangannya
menunjukkan kepandaian yang tinggi. Lama-kelamaan
Panji menjadi waswas juga. Jika terus-terusan menghindar,
bukan mustahil serangan itu akan mengenai tubuhnya.
"Berhenti, Murni! Jangan paksa aku untuk melawan!"
Panji berseru di tengah desing pedang Murni, Namun,
gadis itu tidak peduli. Malah serangannya semakin
diperhebat. Kesabaran Panji mulai habis. Kalau dinasihati sudah
tidak bisa, maka jalan satu-satunya adalah unjuk gigi.
Ketika serangan Murni kembali datang mengancam, Panji
langsung memapakinya dengan satu tangkisan menyilang.
Tapi Panji kecewa. Tangkisannya hanya membabat
angin kosong. Murni sudah lebih dulu merubah
serangannya. Dengan gerak berputar yang indah,
pedangnya langsung beralih sasaran Kalau tadi meluncur
lurus ke dada Panji, maka kali ini leher yang menjadi
incarannya. Whuuuttt..! Panji menekuk lutut dan tubuhnya hingga sambaran
pedang lewat di atas kepala. Lengannya kemudian diputar
sambil menggeser kaki kanan ke depan. Gerakan itu
dilakukan Panji dengan sangat cepat. Murni menahan
pekiknya ketika tahu-tahu saja jari jari Panji sudah
menceka pergelangan tangannya hingga pedangnya
terlepas dari genggaman. Tubuhnya sendiri terjajar oleh
dorongan tangan kiri Panji pada perutnya.
Panji baru saja hendak menarik napas lega, tapi
sambaran angin keras menerpa tubuhnya. Sebuah telapak
tangan yang dilandasi kekuatan hebat langsung
membentur tubuh.
Deeesss...! Tak ayal lagi tubuh Panji terlempar deras dan jatuh
terguling-guling di tanah. Panji menyeringai kesakitan.
Dadanya berdenyut-denyut oleh rasa nyeri. Pukulan itu
telah mendatangkan luka di bagian dalam tubuhnya.
Untungnya, 'Tenaga Sakti lnti Panas Bumi' langsung
bekerja dan menyembuhkan luka dalam itu. Pengaruh
tenaga mukjizat tersebut membuat sekujur tubuh Panji
dilapisi pancaran sinar kuning keemasan.
"Ayyyaaa...!" Si nenek memekik tertahan menyaksikan
munculnya sinar kuning keemasan yang membungkus
tubuh Panji. 'Ternyata pemuda tak tahu diuntung itu adalah
Pendekar Naga Putih!" serunya dengan roman muka
terkejut. "D-dia... Pendekar Naga Putih..."!' Murni tidak kalah
kagetnya . "Kalian tidak keliru,' ujar Panji seteah pengobatan
terhadap lukanya selesai. "Aku, pemuda tolol dan bego ini
memang dijuluki Pendekar Naga Putih."
"Hih hih hih...!" Si nenek terkikik seraya menutup mulut
dengan telapak tangan. "Bagus... bagus! sungguh suatu
kebetulan yang sanga menyenangkan Nah, Pendekar Naga
Putih. Setelah aku mengetahui siapa kau sebenarnya,
maka biarlah kutarik kembali kata kata yang tadi
kuucapkan. Aku tidak akan membunuhmu."
"Terima kasih atas kemurahan hatimu, Nek," ucap
Panji tersenyum lega.
"Tapi...," Si nenek memandang Panji dengan mata
berbinar "Dengan satu syarat, kau harus bersedia menjadi
suami muridku "
"Celaka...!" desis Panji dalam hati. "Rupanya nenek
sinting ini tidak berubah juga!"
"Jawablah, Pendekar Naga Putih," si nenek mendesak
tak sabar. "Katakan kalau kau bersedia mengawini
muridku yang bahenol ini. Sebab jika menolak, kau akan
kubunuh!" lanjutnya kembali mengancam.
Panji tetap bungkam. Nenek itu tampaknya benarbenar akan melaksanakan ancamannya. Ini sangat
berbahaya sekali. Nenek berambut putih riap-riapan itu
sangat lihai. "Lebih baik kau terima tawaranku, Pendekar Naga
Putih. Dengan begitu, akan banyak keuntungan yang kau
peroleh," Si nenek kembali berkata.
"Tapi, Nek ..."
"Tidak periu kau jelaskan, Pendekar Naga Putih! Aku
tahu alasan apa yang hendak kau ajukan. Aku bisa
membacanya dari raut wajahmu. Dan melalui dua kereta
kuda itu, aku juga bisa mengetahui siapa yang sedang kau
buru." "Eh?"
Panji menarik wajahnya dengan wajah kaget. Apa yang
dikatakan nenek berambut putih riap-riapan itu memang
sangat mengejutkan hatinya. Tapi kekagetan itu cuma
berlangsung beberapa saat saja.
Sebuah pikiran yang melintasi benaknya membuat
Panji meragukan kebenaran kata-kata si nenek. Siapa tahu
itu adalah siasat si nenek untuk menjeratnya.
"Bagaimana aku bisa percaya kalau kau tidak
membuktikan kata-katamu, Nek?" pancing Panji.
Si nenek tersenyum. Diperhatikannya dua kereta kuda
yang berada di belakang Panji "Kereta kuda itu milik
kerajaan," jelasnya tanpa mengalihkan perhatian.
"Sebelumnya berisikan emas permata yang sangat mahal
harganya. Kusirnya dua orang berkepandaian tinggi.
Dikawal dua belas prajurit langguh yang dipimpin seorang
senapati. Dan...," tiba-tiba si nenek memejamkan matanya.
"Ada apa, Nek"!" Panji bertanya dengan rasa
prnasaran yang besar. Keterangan nenek itu benar- IxMiar
mengejutkan hatinya. Meskipun ia tidak tahu lunyak,
namun tentang isi kereta kuda dan dua belas prajurit itu
memang sudah tepat. Begitu juga dengan senapati dan
dua kusir kereta. Jumlah itu sama persis dengan mayatmayat yang ditemuinya di Bukit Dampet beberapa hari lalu
Dan itu benar-benar satu berita yang sangat menarik
baginya. Karena ia sekarang yakin kalau nenek itu juga
pasti tahu siapa pelaku perampokan dan pembantaian itu.
"Senapati yang menjadi pimpinan rombongan itu
ternyata seorang pengkhianat. Bersama dua orang
kawannya yang menghadang di sebuah jalan sempit, ia
membantai prajurit prajuritnya sendiri. Sayang, ia keliru
memilih orang. Dia mati dibunuh kedua rekannya itu.
Mereka lalu membawa lari kereta kuda yang berisi harta
berlimpah," lanjut si nenek mengakhiri penjelasannya.
"Bagaimana kau bisa mengetahui semua itu, Nek"!"
Diam-diam timbul kecurigaan di hati Panji. Janganjangan guru dan murid itulah yang menjadi pelakunya.
Kemunculan mereka sangat aneh. Tepat di saat kedua
kereta kuda yang telah kosong itu ditemukan.
"Goblok! Diberitahu malah menuduh yang bukanbukan! Buang pikiran itu dari kepalamu, Pendekar Naga
Putih!" bentak si nenek.
"Gila! Rupanya ia benar-benar dapat membaca pikiran
orang!" gumam Panji dalam hati. la merasa tidak enak
juga. "Tidak semua orang memiliki kepandaian seperti ini,
Pendekar Naga Putih. Dengan kepandaian inilah aku bisa
membaca jalan pikiran orang. Mengetahui suatu kejadian
yang sudah maupun akan terjadi. Dan..., eh"!"
Tiba-tiba si nenek memejamkan matanya. la melihat
sesuatu pada wajah Pendekar Naga Putih.
"Kau... pernah bertemu, dan bahkan berselisih dengan
bangsat tua keparat itu!" ujar si nenek dengan setengah
memekik. Parasnya nampak agak memucat
"Siapa yang kau maksud, Nek?" Panji menjadi tegang
sewaktu menyaksikan perubahan wajah nenek itu.
Dilihatnya ada sorot kemarahan dan kebencian dalam
sepasang matanya.
"Setan Tua Gila..,!" desis si nenek. "Kau pernah
berjumpa dengannya, bukan?"
"Setan Tua Gila"!"
"Kau sempat bertengkar mulut serta meladeninya
bermain-main," ujar si nenek untuk membantu ingatan
Panji. Itu kau lakukan di saat perampokan tengah
bertangsung."
"Aah...!" Panji menampar keningnya perlahan.
Sekarang ia baru ingat. "Jadi, kakek sinting itukah yang kau
maksud" Ya, aku memang telah bertemu dengannya
Apakah Setan Tua Gila ada hubungannya dengan
perampokan itu?"
Si nenek menggeleng lemah. "Kalau itu aku tidak tahu.
Kecuali jika aku bertemu langsung dengan Setan Tua Gila.
Sedangkan kedua perampok itu adalah...," si nenek tidak
melanjutkan. Senyumnya mengembang, seperti baru sadar
kalau dia telah terlalu banyak bicara.
"Siapa mereka, Nek?" desak Panji.
Si nenek menggeleng. "Enak saja kau mencari
keterangan secara cuma-cuma," ujarnya. "Semua yang
kukatakan tad'i sudah lebih dari cukup. Sekarang aku
menuntut jawabanmu. Jika kau bersedia, bukan saja nama
kedua perampok itu yang akan kau ketahui, tapi aku
bahkan akan membantumu menangkap mereka."
Pendekar Naga Putih menarik napas dalam-da- lam.
"Maaf, Nek, aku tidak bisa menerima tawaran- mu. Terus
terang, aku sudah mempunyai calon istri," jelasnya.
"Huh, jangankan cuma calon. Kalaupun kau sudah
beristri, itu tidak jadi soal. Yang penting kau bersedia
menjadi suami muridku," si nenek berkeras Sementara
Murni menunggu dengan sabar. Membiarkan gurunya yang
menyelesaikan semua itu "Dengar, Pendekar Naga Putih.
Aku melihat bahaya besar bakal menimpamu. Kau tidak
akan mampu menghadapinya seorang diri. Suatu kekuatan
maha dahsyat akan menghadang. Hanya aku dan muridku
yang bisa menolongmu. Dan kami rela mempertaruhkan
nyawa asalkan kau bersedia menjadi suami muridku ini."
"Aku tidak bisa, Nek," Panji berkata dengan wajah
menyesal. "Dan aku tidak mau mendustai kalian dengan
mengatakan bersedia menerima tawaran itu. Tidak. Itu
bukan sifatku."
"Hm...," si nenek mengangguk-angguk. Nampaknya ia
bisa menerima alasan itu "Sekarang begini saja. Kami
berdua akan membantumu. Jika kami berdua binasa, kau
boleh bebas. Tapi jika kita semua selamat, atau cuma aku
yang tewas, maka kau harus mengawini muridku.
Bagaimana" Aku sudah memberi kebijaksanaan
kepadamu, Pendekar Naga Putih."
"Maaf Nek, aku tetap tidak bisa," Panji menggeleng
lemah. "Aku tidak bisa menjanjikan sesuatu yang tak
mungkin dapat kulakukan."
"Keras kepala!" Si nenek menggeram dengan wajah
bengis. "Kau memang hendak menghina kami! Pemuda
tolol sepertimu sebaiknya mampus VM?MA?
SI nenek langsung melompat dengan kecepatan luar
biasa. Teriakannya mengguntur, meningkahi sambaran
angin pukulannya yang menderu keras laksana topan
prahara. Whuuusss... blaaarrr...!
Beruntung Panji sudah lebih dulu melempar tubuhnya
Pukulan nenek itu pun membongkar tanah di bekas
tempatnya berdiri Bongkahan tanah beterbangan disertai
kepulan debu. Kesempatan itu tidak disia-siakan Panji. Dia
segera melesat pergi menerobos semak belukar. Panji
merasa tidak punya alasan untuk bertempur dengan nenek
itu. "Kurang ajar...!"
Si nenek mendesis gusar. Dari balik kepulan debu
dilihatnya sosok Panji yang hendak melarikan diri. Cepat
bagai kilat diterobosnya kepulan debu itu. Pukulan
mautnya kembali menderu ketika sosok bayangan Panji
hampir menghilang ke dalam rimbunan semak.
Sambaran angin pukulan itu mengejutkan Panji. Tidak
mungkin baginya untuk melanjutkan niatnya. Pukulan itu
memang tidak ditujukan ke tubuhnya, tapi pada semak
belukar di depannya. Jika ia melanjutkan, maka
tubuhnyalah yang akan menjadi sasaran. Panji terpaksa
melenting kembali ke belakang.
"Bagus...!"
Terdengar suara pujian si nenek. Dan seiring dengan
terbongkarnya semak belukar yang memperdengarkan
ledakan keras, nenek itu mendarat setengah tombak di
dekat Panji meluncur turun. Tanpa memberi kesempatan
lagi si nenek menerjang dengan hebatnya.
Panji terpaksa mengangkat kedua lengannya
menyambuti serangan itu. Untuk mengelak tidak ada
kesempatan lagi.
Plak! Dukkk! Benturan kedua pasang lengan membuat Pendekar
Naga Putih memekik tertahan. Lengannya terasa nyeri
bukan main, sementara tubuhnya terpental satu tombak ke
belakang Dan selagi tubuhnya melayang di udara, si nenek
sudah menyusuli dengan serangkaian totokan.
Panji mengetuh pendek. Tiga totokan bersarang telak
di tubuhnya. Seketika pemuda itu kehilangan kesadaran. Si
nenek yang tidak ingin tubuh Pendekar Naga Putih
terbanting ke tanah, buru-buru menyambarnya.
Berterima kasihlah kepada gurumu ini, Murni. Pemuda
inilah satu-satunya yang dapat menolongmu. Dalam
tubuhnya mengalir darah naga siluman. Aku yakln itu Sejak
pertama kali melihatnya, aku bisa merasakan getaran
darah mukjizat tersebut Hih hih hih...!" Si nenek terkekeh
Pendekar Naga Putih 113 Makhluk Haus Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
senang. Murni sendiri berseri-seri wajahnya. Gadis ini segera
menjatuhkan diri di hadapan gurunya. Sambil berlutut dia
mengucapkan terima kasih. Murni baru berani bangkit
berdiri setelah mendapat perkenan gurunya. Diikutinya
langkah si nenek meninggalkan tempat itu dengan
membawa tubuh Pendekar Naga Putih.
*** 7 Di bawah langit sore dua sosok tubuh tampak berlari
bagai dikejar setan. Langkah kaki mereka tak beraturan.
Dengus napas yang terdengar tak ubahnya kuda pacu.
Peluh mengalir deras di wajah yang agak pucat. Melihat
keadaan itu tampaknya mereka telah berlari melewati
batas kemampuan, dan telah menempuh jarak yang
sangat jauh. Keadaan kedua sosok tubuh itu sebenarnya bukanlah
sesuatu yang mengherankan kalau terjadi pada orang
biasa. Tapi, mereka bukanlah orang- orang kebanyakan.
Kedua sosok tubuh itu tidak lain Katak Hijau dan Setan
Mata Api. Dua gembong kaum sesat yang keganasannya
menjadi momok tokoh tokoh persilatan daerah utara.
Langkah-langkah mereka sudah sangat kelelahan,
yang akhirnya tak dapat dipertahankan lagi. Keduanya
jatuh terguling-guling di pinggiran sebatang sungai. Terus,
terjerembab masuk ke dalam air. Sesaat tubuh keduanya
lenyap ditelan air sungai.
"Fuaaahhh...!"
Katak Hijau menyembul ke atas permukaan air seraya
menghempaskan napas kuat-kuat. Setan Mata Api
menyusul kemudian. Keduanya lalu berenang ke tepian
setelah mengibaskan air yang membasahi kepala. Tiba di
tepian mereka melempar tubuhnya ke atas rerumputan
yang agak kering.
"Keparat..!" umpat Setan Mata Api tiba-tiba seraya
meninju tanah kuat-kuat. "Nasib kita benar- benar sedang
sial! Musnah sudah impian untuk bisa menikmatl hidup
dengan penuh kemewahan!"
Katak Hijau menoleh sekilas. Dihembuskannya napas
kuat-kuat tanpa berniat menimpali kata-kata Setan Mata
Api Nampaknya Katak Hijau lebih bisa menerima
kenyataan yang terjadi. Tanpa berkata- kata pandangannya
dialihkan kembali menatap langit sore.
"Kelihatannya kau rela menerima penghinaan ini
begitu saja, Katak Hijau" Tidak adakah niat di hatimu
untuk merebut kembali semua hasil jerih payah kita?"
Setan Mata Api bertanya dengan mimik wajah mencemooh.
Kelihatan sekali perasaan tidak sukanya terhadap sikap
yang ditunjukkan Katak Hijau.
Katak Hijau masih membisu. Ditariknya napas sesaat.
Lalu, wajahnya dipalingkan dengan gerak perlahan.
Ditentangnya tatapan Setan Mata Api. Untuk beberapa saat
mulutnya tetap terkunci.
"Tidak ada lagi yang bisa kita perbuat, Setan Mata Api,"
ujar lelaki itu kemudian. Pelan dan dalam desahan napas
yang menunjukkan keputusasaan. "Raja Sesat Selatan
bukanlah tandingan kita. Apa yang bisa kita perbuat"
Masih bagus kita dapat menyelamatkan diri. Jika tidak, kau
tahu sendiri bagaimana kejamnya manusia satu ini Jadi,
seharusnya kau malah bersyukur karena masih bisa
melihat matahari esok pagi."
Setan Mata Api membungkam. Harus diakuinya
kebenaran ucapan Katak Hijau. Kalau dipikir- pikir memang
tidak ada lagi yang dapat mereka lakukan. Raja Sesat
Selatan bukan tandingan mereka berdua. Memikirkan
untuk membalas perbuatan tokoh sesat nomor satu di
daerah selatan itu, sama artinya dengan mencari mati.
Srakkk...! Suara dedaunan kering yang terinjak membuat Setan
Mata Api dan Katak Hijau tersentak kaget. Keduanya
bergegas bangkit berdiri dan mengedarkan pandangan ke
sekeliling tempat itu. "llfhhh...!"
Bukan cuma Katak Hijau saja yang menutup hidung.
Setan Mata Api pun ikut-ikutan. Mereka saling
berpandangan dengan kening berkerut. Ke- heranan
tergambar jelas di wajah keduanya. Bau yang memualkan
perut menyergap hidung mereka saat angin sore tiba-tiba
berhembus agak keras. Bau yang membuat bulu kuduk
mereka meremang. Bau mayat yang telah membusuk!
"Kurang ajar!" Setan Mata Api mendesis jeng- kel untuk
mengurangi kengerian hatinya. "Bau bu suk ini benar-benar
memualkan perut! Siapa pula yang mati di tempat sepi
seperti ini"!"
Srakkk...! Suara dedaunan kering terinjak membuat oceh- an
Setan Mata Api langsung terhenti. Tokoh bertu- buh besar
dan tinggi ini sampai berjingkrak kaget. Di tengah
ketegangan yang mencekam, suara deda?unan kering
terinjak seolah terdengar bagai ledakan petir. Kengerian
dirasakan kian memuncak! Lebih- lebih bau bangkai
semakin keras tercium. Setan Mata Api sampai
mengeluarkan keringat dingin!
"A-aku merasakan ada sesuatu yang tidak be- res...!"
Katak Hijau berbisik lirih. Wajah yang bia sanya berwarna
kehijauan itu kini nampak pu- cat. Katak Hijau pun dilanda
ketegangan dan kengerian. Bau busuk mayat yang semakin keras
seperti bisikan malaikat maut yang siap merenggut
nyawanya. "A-apa... maksudmu?" tanya Setan Mata Api. Meski
laki-Iaki itu merasa nalurinya juga menga- takan ada
sesuatu yang tidak wajar. Sejak semula perasaan itu
berusaha disembunyikannya. Ia tidak ingin Katak Hijau
sampai mengetahui perasaannya itu. Tentu saja ia kaget
sewaktu mendengar ucapan Katak' Hijau.
Pernyataan Katak Hijau membuat Setan Mata Api
maklum kalau apa yang mereka berdua rasakan Itu bukan
lagi suatu kebetulan. Hanya saja ia masih belum bisa
mengerti mengapa bau busuk mayat sa- |a dapat
menimbulkan pengaruh yang begitu besar kepada mereka
berdua. Padahal bagi mereka bau nlaupun hamparan
mayat bukanlah sesuatu yang inch. Bahkan bisa dikatakan
bahwa hal itu merupa- knn santapan hidung dan mata
mereka sehari-hari. In II Hdak aneh kalau sekarang mereka
keheranan. 'irbab apa yang mereka alami dan rasakan itu
me- inang sangat tidak wajar. Lain persoalan jika orang Inin
yang mengalami dan merasakannya.
97 Katak Hijau belum sempat menjawab perta- " LYQQQ
Setan Mata Api, ketika terdengar suara napas
MAKIII UK HAUS DARAH
yang berat. Suara napas itu membuat hati mereka
bergetar dalam cekaman kengerian memuncak. Dan selagi
mereka saling berpandangan dengan wa?jah pucat-pasi,
dari rimbunan semak di sebelah kiri menyeruak sesosok
tubuh. "K-kau...!" Dengan paras sepucat mayat dan mata
terbelalak lebar, jari-jari gemetar Setan Mata Api menuding
sosok tubuh itu.
"Mus... tahil!"
Cuma kalimat itu yang bisa diucapkan Katak Hijau.
Sepasang matanya terbelilak lebar. Mulutnya ternganga
dengan kepala digelengkan. Tidak perca?ya dengan apa
yang dilihatnya. "Hhh...!"
Sosok yang baru datang kembali mengeluarkan
desahan berat, Langkahnya tertatih menghampiri Setan
Mata Api dan Katak Hijau. Bau busuk ter- sebar dari
tubuhnya. Keadaan sosok yang baru muncul ini memang sanggup
merontokkan jantung. Sorot matanya di- ngin dan kosong.
Tidak ada cahaya kehidupan sedi- kit pun. Daging wajahnya
menggembung bengkak, kendati masih bisa dikenali.
Pakaian di bagian dada terkoyak memperlihatkan luka
melintang sepanjang satu jengkal. Di luka itu terlihat
makhluk-makhluk kecil. Belatung! Tapi yang paling
mehgejutkan Se tan Mata Api dan Katak Hijau, sosok
mengerikan itu adalah Senapati Malingkat! Padahal,
mereka berdua tahu betul kalau Senapati Malingkat telah
tewas. Merekalah yang membunuhnya!
"Katak Hijau... Setan Mata Api.... Aku datang untuk
menagih hutang di antara kita," sosok mayat Senapati
Malingkat berkata dengan susah payah.
"Tidak... tidak!" Setan Mata Api bergerak mundur
seraya menggoyang-goyangkan teiapak ta?ngan. la belum
bisa menerima kenyataan yang ba- qinya sangat mustahil
itu. "Pergi! Jangan ganggu kami! Kau... sudah mati. Sudah
mati!" Katak Hijau pun tersurut mundur. Kemunculan i isok
mayat Senapati Malingkat merupakan mimpi Inburuk
baginya. Dan seperti halnya Setan Mata Api, Katak Hijau
pun belum bisa menerima kenya limn Itu
Sosok mayat Senapati Malingkat menggeleng I aim
"Aku datang untuk mengambil nyawa kalian Inn juga harta
UMPSRNMQ LPXB BB .MNLQ\M PHUXV ?""? 8Q\NMO NMNX GHQJMQ
kedua tangan diulurkan
A? SMQ -MUL ?MULQ\M \MQJ NHUNMX NXVXN GLNHP- l"ii'|k.iu
Siap untuk mencekik batang leher kedua
cabn korbannya.
"Harta itu tidak ada pada kami!" Setan Mata Api
berkata keras-keras dengan napas tersengal. "Raja... Raja
Sesat Selatan telah merampasnya. Jika kau menghendaki
harta itu, mintalah kepada- nya!"
Mayat Senapati Malingkat menunda langkah- nya
sesaat. Kepalanya ditengadahkan dengan tarik- an napas
yang keras dan panjang. Lalu, kembali perhatiannya
dialihkan pada Katak Hijau dan Setan Mata Api. Tiba-tiba
sosok itu melompat lurus seperti sebatang tombak yang
dilemparkan. Kendati gerak- annya kaku, namun
kecepatannya sangat luar bi- asa.
Bagai terkena sihir, Katak Hijau dan Setan Ma?ta Api
cuma bisa memandang dengan mata terbela- lak lebar.
Baru setelah sepuluh jari tangan itu ham- pir
mencengkeram lehernya, Katak Hijau dapat membebaskan
diri dari kungkungan pengaruh aneh. Cepat ia mengangkat
kedua lengannya untuk mematahkan serangan. Tapi
alangkah kaget hati- nya. Lengannya yang menangkis
terpental hingga bagian lehernya semakin terbuka. Katak
Hijau tidak bisa menghindar lagi ketika jari-jari tangan kiri
ma?yat Senapati Malingkat mencekik lehernya. Sementara yang kanan menusuk dada kiri hingga telapak tangan
itu terbenam. "Arghhh...!"
Katak Hijau meraung setinggi langit. Jan- tungnya telah
ditarik putus. Tubuh sekarat itu Hdak roboh karena
lehernya masih berada dalam cengke- raman mayat
Senapati Malingkat. Terdengar suara tulang leher patah.
Begitu cengkeraman ditarik, tu?buh sekarat Katak Hijau
menggelepar jatuh ke ta?nah. Lalu, tewas dengan mata
mendelik dan lidah terjulur keluar.
Selesai menghabisi nyawa Katak Hijau, mayat
Senapati Malingkat tidak menemukan Setan Mata Api di
tempat itu. Rupanya, Setan Mata Api meng- nmbil
kesempatan itu untuk lari menyelamatkan diri Tidak
dipedulikannya nasib rekannya. -"Stan Mata Api merasa
lebih baik mencari selamat ketim- !>niig membantu
rekannya yang berarti memperta- ruhkan nyawa yang cuma
satu-satunya. "Ke mana pun kau pergi aku akan bisa meTn'inukanmu, Setan Mata Api...," desah parau ma- ynl
Senapati Malingkat.
*** Saat memperoleh kesadarannya kembali, yang
pertama kali didengar Panji adalah suara tawa ce- kikikan.
Panji membuka matanya periahan sambil mengingat-ingat
apa yang telah dialaminya. Semua- nya menjadi jelas
sewaktu pandangannya menemu- kan dua wajah
perempuan. Si nenek berambut ri- ap-riapan dan muridnya.
"Hih hih hih. .. Aku sengaja menyadarkanmu, Pendekar
Naga Putih!" suara si nenek terdengar melengking. "Terus
terang aku membutuhkan da- rahmu. Itu hanya bisa
kuperoleh dengan jalan membunuhmu. Kecuali jika kau
bersedia berhu- bungan dengan muridku ini," lanjutnya
seraya me- nunjuk Murni yang berdiri di sampingnya.
Panji menatap kedua perempuan itu berganBan. "Jadi, kau dan muridmu adalah manusia-ma- nusia
peminum darah" Dan yang akan kalian jadi- kan korban
kali ini adalah aku."
"Kami bukan sebangsa manusia seperti yang kau duga
itu, Pendekar Naga Putih," si nenek menggelengkan
kepala. "Muridku mengidap satu penyakit aneh. Satusatunya obat yang dapat me- nyembuhkannya hanyalah
darahmu. Muridku harus meminum darahmu."
"Mengapa hams darahku?" tanya Panji pena- saran.
"Apa istimewanya" Mengapa tidak darahmu saja" Lagi
pula, penyakit aneh macam apa yang cara mengobatinya
hams meminum darah manu sia?"
"Hm.... Jangan berpura-pura bodoh, Pendekar Naga
Putih," si nenek tersenyum mengejek. "Aku tidak bisa
dibohongi. Dan aku tahu dalam tubuhmu mengalir darah
naga siluman yang sangat mukjizat. Itu sebabnya aku
membutuhkan darahmu."
Panji terkejut. Bagaimana nenek itu bisa mengetahuinya"
"Tidak perlu heran, Pendekar Naga Putih. Apa kau lupa
kalau aku mempunyai kepandaian yang hlsa mengetahui
kejadian-kejadian masa lalu dan yang akan datang?"
Ucapan si nenek membuat Panji teringat dengan
pengalamannya di masa lalu. Memang tidak seluruhnya
Pendekar Naga Putih 113 Makhluk Haus Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dapat diingat dengan jelas. Karena, saat menghadapi naga
siluman ia tidak dapat berpikir dengan baik. Itu terijadi
sewaktu Panji hendak memetik sebuah tanaman langka.
(Mengenai peristiwa itu pembaca dapat mengikutinya
dalam episode : Bunga Abadi Di Gunung Kembaran).
"Nanti dulu. Nek," pinta Panji seraya bergerak untuk
duduk. "Kalau boleh aku tahu, penyakit apa sebenarnya
yang diderita muridmu itu?"
"Awal dari penyakit muridku terjadi pada lima tahun
silam," si nenek memulai ceritanya. "Saat itu aku masih
berhubungan dengan Setan Tua Gila. Tapi jangan kau
samakan Setan Tua Gila yang dulu dengan sekarang. Dulu
pikiran kakek itu masih waras. Cuma julukannya saja Setan
Tua Gila. Itu karena wataknya yang memang kadang
kurang lumrah. Dan kalau sekarang jalan pikirannya
seperti anak-anak, itu ada hubungannya dengan penyakit
yang diderita muridku."
Nenek yang mengaku bemama Suri Gandil itu
kemudian berhenti sejenak. Ditariknya napas dalam-dalam.
Dia lalu tercenung sejenak seolah hendak mengumpulkan
seluruh ingatannya tentang pe ristiwa itu.
"Waktu itu aku dan Setan Tua Gila masih hidup dalam
satu atap. Kami saling mencintai. Meskipun belasan tahun
menjalani hidup layaknya sepasang suami istri, tapi kami
tidak menikah. Waktu itu aku belum mempunyai murid.
Malah, aku tidak pemah mempunyai niat untuk mengambil
murid. Niat itu baru muncul setelah Setan Tua Gila pergi
meninggalkan aku. Kakek keparat itu ternyata makhluk
serakah! Dia tega mencampakkan diriku begitu saja hanya
karena saking gilanya dengan ilmu silat!"
Panji diam tidak menanggapl. Sekarang ia baru
mengerti mengapa sewaktu pertama kali menyebut nama
Setan Tua Gila, sorot mata Nenek Suri Gandil menyiratkan
dendam dan sakit hati.
"Pendekar Naga Putih," tiba-tiba Nenek Suri Gandil
berkata. "Coba kau terka berapa kira-kira usia muridku
ini?" Panji tidak segera menjawab. Pandangannya segera
dialihkan ke wajah Murni. Ditatapnya wajah gadis cantik itu
sambil menaksir-naksir.
"Mungkin sekitar dua puluh dua tahun," terka Panji.
Nenek Suri Gandil tertawa cekikikan.
"Kau pasti tidak akan percaya kalau kukatakan usia
Murni sebenarnya baru dua belas tahun!"
"Dua belas tahun"!" desis Panji tak percaya. Nenek
Suri Gandil pasti hendak mempermainkannya. Siapa mau
percaya kalau sosok gadis yang dilihat seperti orang
dewasa itu baru berusia dua belas lahun"
"Aku tidak berdusta, Pendekar Naga Putih. Lima tahun
silam, setelah Setan Tua Gila meninggalkanku, Murni baru
berusia tujuh tahun. Bakatnya dalam ilmu silat kulihat
sangat besar sekali. Dia kuselamatkan dari keganasan
bencana alam yang merenggut nyawa kedua orangtuanya.
Pertumbuhannya memang tidak wajar. Dan, itu ada
hubungannya dengan penyakit yang dideritanya."
"Hhh.... Sungguh sukar untuk dipercaya...," Panji
menggeleng seraya kembali memperhatikan Murni.
Kesungguhan Nenek Suri Gandil membuat Panji mau tidak
mau harus percaya juga.
*** 9 "Lima tahun silam aku dan Setan Tua Gila membunuh
seorang tokoh sakti yang bermukim di salah satu pulau di
Lautan Timur," Nenek Suri Gandil melanjutkan kisahnya.
"Sebenarnya kalau tokoh itu mau melawan, kami berdua
pasti dapat dibunuhnya dengan mudah. Tapi hal itu tidak
dilakukannya. Ia telah bersumpah untuk tidak
menggunakan ilmu silatnya lagi Menurutnya, ilmu silat
hanyalah pembawa bencana. Karena kepandaian silat
itulah dia harus kehilangan istri dan dua orang anaknya. la
sendiri waktu itu tengah berkelana untuk memperdalam
ilmu. Dan ia sangat terpukul ketika kembali ke tempat
kediamannya, hanya pusara ketiga orang yang dicintainya
itu saja yang dijumpai. Kematian orang-orang yang
dicintainya membuat jiwanya terguncang. Ia menyalahkan
dirinya sendiri karena lebih mementingkan ilmu silat
ketimbang keluarganya. Puluhan tahun tokoh itu
menyembunyikan diri di salah satu pulau terpencil di
Lautan Timur. Dan dia bersumpah di depan makam istri
dan anak- anaknya untuk tidak menggunakan ilmu silatya
lagi. Karena tahu tentang sumpahnya itulah, maka kami
berani mendatangi tempat tinggalnya. Tokoh itu tidak
memberikan perlawanan sedikit pun hingga dengan mudah
kami membunuhnya. Lalu, kami membawa pergi beberapa
kitab ilmu silat miliknya. Kami tidak peduli dengan kutuk
yang diucapkannya sesaat sebelum menghembuskan
napas terakhir. Kitab-kitab ilmu silat itu hanya akan
mendatangkan kesengsaraan bagi kami, begitu bunyi
kutuk yang diucapkannya."
Nenek Suri Gandil menghentikan ceritanya. Diliriknya
sekilas wajah Murni yang kelihatan agak tegang. Sesaat
kemudian, nenek itu melarrjutkan kisahnya kembali.
"Sungguh tidak kusangka kalau kutuknya itu akan
menjadi kenyataan! Setan Tua Gila pergi meninggalkan aku
dengan membawa beberapa buah kitab. Perbuatan Setan
Tua Gila itulah yang membuatku mulai mempercayai
kutukan tersebut. Perasaan was-was akan kutukan itu
membuat aku tidak berani mempelajari isi kitab yang
kubawa. Aku hanya membaca dan menghapal isinya. Suatu
hari aku menemukan Murni tengah menangisi mayat orang
tuanya yang tertimpa runtuhan rumah akibat gempa.
Ketika melihat bakat yang ada dalam dirinya, timbullah
satu pikiran di benakku. Murni akan kudidik dengan ilmu
silat yang terdapat dalam kitab tokoh hebat itu. Hendak
kulihat apa yang akan terjadi jika Murni mempelajari isi
kitab itu."
Nenek Suri Gandil menatap Murni dengan perasaan
bersalah. Mumi sendiri cuma tersenyum pahit. Gadis itu
tidak menyalahkan gurunya kendati jelas-jelas betapa
selama ini ia hanya dijadikan percobaan.
"Kutuk tokoh itu ternyata menjadi kenyataanl" Nenek
Suri Gandil melanjutkan. Suaranya terdengar agak parau.
"Mula-mula aku tidak begitu memperhatikan ketika Murni
tumbuh dengan cepat. Dua tahun kemudian, Murni
mengeluh tentang rasa nyeri yang kadang menyiksa
dirinya. Tubuhnya seperti ditusuki ratusan jarum-jarum
halus. Pada tahun ketiga, di sekujur tubuh Murni muncul
bintil- bintil merah yang mengandung air. Dan pada usia
sepuluh tahun itu, tubuh Murni tak ubahnya dengan usia
tujuh belas tahun. Penderitaan Mumi membuat aku
berpikir tentang kejahatan-kejahatan yang telah kulakukan.
Aku telah banyak menimbulkan kesengsaraan pada orang
lain. Akhirnya, aku berjanji kepada diri sendiri untuk
meninggalkan jalan sesat. Dan aku bersumpah untuk
menyembuhkan penyakit Murni. Sampai kemudian aku
memperoleh petunjuk tentang darah naga siluman yang
mukjizat Darah itu mengalir dalam tubuh seorang pemuda.
Ternyata... bukan cuma itu saja penyakit yang diderita
Murni. Sejak memasuki tahun kelima, pada setiap malam
bulan purnama salah satu bintil di tubuh Murni akan
membesar seperti bisul. Sakitnya sulit sekali untuk
kugambarkan. Murni akan meraung-raung karena rasa
sakit yang menyiksa... "
"Tapi, aku tidak melihat adanya bintil-bintil ataupun
blsu! pada wajah dan tangan Murni?" Panji memotong
cerita Nenek Suri Gandil. Pemuda itu agaknya meragukan
kebenaran cerita si nenek
"Setelah melihat kelainan pada diri Murni, aku
berusaha mengobatinya. Meskipun tidak sempurna tapi
usahaku tidak terlalu mengecewakan," jawab Nenek Suri
Gandil. "Sayang, hasil kerja kerasku selama hampir tiga
tahun hanya mampu melenyapkan penyakit itu untuk
sementara. Tiga hari menjelang purnama bintil-bintil itu
akan kembali muncul. Dan sekarang benjolan yang seperti
bisul telah berjumlah enam buah. Dua di atas payudara,
dua di kiri-kanan pusar, sedang dua lainnya di wajah. Tepat
di atas kedua tulang pipi. Bayangkan, Pendekar Naga
Putih. Bagaimana pedih dan tersiksanya hati seorang gadis
jika mendapati wajahnya dihiasi dua benjolan kemerahan
yang mengandung darah bercampur nanah."
"Nek," ujar Panji selesai Nenek Suri Gandil bercerita.
"Tidak adakah pengobatan cara lain selain meminum
darahku?" Nenek Suri Gandil menggeleng pelan.
"Dengan meminum darahmu, berarti kekuatan
mukjizat darah naga siluman akan memenuhi seluruh jalan
darah di tubuh Murni. Lalu, darah mukjizat ltu akan bekerja
memusnahkan sumber penyakit di dalam tubuh muridku."
"Tapi, sepanjang yang aku ketahui, tidak ada setetes
pun darah naga siluman yang mengalir di tubuhku...."
"Eh, kau hendak mengingkari janjimu, Pendekar Naga
Putih!" Nenek Suri Gandil menukas dengan sorot mata
berkilat. "Jangan kau kira aku bisa dibohongi. Aku bisa
merasakan darah mukjizat itu menyatu di dalam tubuhmu."
"Kekuatan mukjizat Naga Langit memang kuakui
mengalir di seluruh tubuhku. Tapi bukan darah Nek,
melainkan sesuatu yang berupa tenaga mukjizat Naga
Langit menyatu dalam diriku berupa satu kekuatan," Panji
menjelaskan dengan agak terburu- buru, khawatir Nenek
Suri Gandil akan memotong penjelasannya.
"Bukan darah"! Tenaga mukjizat"!"
Nenek Suri Gandil kelihatan kecewa. Ia memang tidak
tahu jelas tentang sesuatu yang dirasakannya mengalir
dalam tubuh Pendekar Naga Putih. Nenek Suri Gandil
memastikan kalau sesuatu itu adalah darah. Sungguh
tidak pernah terpikir kalau sesuatu tersebut sebenarnya
kekuatan mukjizat Pedang Pusaka Naga Langit, yang bisa
menjelma menjadi seekor naga.
"Benar, Nek," tegas Panji dengan perasaan lega. "Aku
bisa memindahkannya ke tubuh Mumi tanpa harus kau
bunuh." Nenek Suri Gandil dan Murni sampai terpekik.
Keduanya berpelukan dengan penuh kegembiraan. Tapi,
beberapa saat kemudian Nenek Suri Gandil melepaskan
pelukannya. Ditatapnya Panji dengan wajah gelisah.
"Tapi... aku tidak bisa menentukan sampai berapa
lama Murni memerlukan tenaga mukjizat itu, Pendekar
Naga Putih."
"Tidak apa-apa, Nek," Panji tersenyum. "Aku tidak
keberatan meminjamkan tenaga mukjizat itu sampai Murni
benar-benar sembuh. Lagi pula tenaga mukjizat itu tidak
bisa dikendalikan orang lain. Jika Murni sudah sembuh,
dengan sendirinya kekuatan mukjizat itu akan kembali
kepadaku."
*** Seperti tidak mengenal lelah, Setan Mata Api lerus
berlari. Tak peduli jarak dan waktu yang sudah
lllempuhnya. Yang ada dalam pikirannya adalah heilari
sejauh-jauhnya menghindari mayat hidup enapati
Malingkat. Ketika tengah berlari melintasi kaki sebuah anak bukit,
tiba-tiba satu pikiran melintas di benak Setan Mata Api.
Satu harapan baru yang membuat semangatnya bangkit.
Lalu, dengan sisa-sisa tenaga di dakinya lereng anak bukit
Itu, sampai ia tiba di depan sebuah bangunan yang cukup
megah. Kepada penjaga pintu gerbang Setan Mata Api
minta diantarkan untuk menemui pemilik bangunan.
"Hoa ha ha.... Apa yang sudah terjadi denganmu, Setan
Mata Api?" tanya seorang lelaki tinggi besar dan berkulit
hitam sewaktu melihat keadaan Setan Mata Api yang telah
duduk di hadapannya. "Ada keperluan apa kau tiba-tiba
datang kepadaku?"
"Maafkan kelancanganku. Raja Sesat Utara," Setan
Mata Api menjura dalam-dalam. "Terus terang aku sangat
membutuhkan pertolongan. Aku...hendak meminta
perlindungan darimu."
Lelaki tinggi besar yang ternyata gembong tokoh sesat
di daerah utara itu nampak mengerutkan kening. Sorot
matanya mengeluarkan cahaya yang berkilat-kilat. Raja
Sesat Utara kelihatan sangat marah.
"Hra.... Apa yang hendak kau berikan sebagai
imbalannya, Setan Mata Api"! Jika itu tidak sangat
berharga, kepalamu akan kupisahkan dari tubuhmu! Ini
sama saja dengan menghina aku!"
Setan Mata Api mengangguk berulang-ulang. la tentu
saja maklum dengan siapa sedang berhadapan. Ucapan itu
bukan hanya gertakan kosong. Maka, diceritakannya
tentang harta rampokan yang telah dirampas Raja Sesat
Selatan. Brakkk..! Suara meja kayu jati yang pecah berhamburan akibat
hantaman telapak tangan Raja Sesat Utara membuat
Setan Mata Api betjingkrak kaget. Dia jatuh telentang
dengan paras pucat-pasi.
"Bedebah kurang ajar kau, Setan Mata Api!" bentak
Raja Sesat Utara. Tokoh tinggi besar ini sudah bangkit dari
duduknya. Ditatapnya Setan Mata Api dengan sinar mata
mencorong. "Jadi, kau rupanya yang telah berani lancang
merampok harta kiriman raja tanpa sepengetahuanku!"
Belum juga gema suara bentakannya lenyap, Raja
Sesat Utara sudah melompat ke depan. Sekali langannya
bergerak, tubuh Setan Mata Api telah diangkatnya.
"A-apa..."! Mengapa..."!" Setan Mata Api merasa
jantungnya serasa copot.
"Tahukah kau, gara-gara perbuatanmu itu aku
dldatangi tiga orang utusan raja. Dan mereka bukan orang
sembarangan yang bisa dibuat main-main! Mereka adalah
Senapati Wanalaga. Pejabat tinggi yang paling berpengaruh
di istana. Dan juga dua orang jago nomor satu istana!" ujar
Raja Sesat Utara yang membuat tubuh Setan Mata Api
Pendekar Naga Putih 113 Makhluk Haus Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menggigil. Mereka mencari orang bernama Malingkat.
Mulanya aku tidak kenal dengan orang itu. Tapi setelah
cirri-cirinya mereka sebutkan, baru aku tahu kalau
Malingkat ternyata si Jari Beracun! Ia mengaku berasal dari
daerah utara ini Maka, kesinilah mereka mencari. Dan jika
aku tidak bersedia membantu menemukan si keparat Jari
Beracun itu, mereka akan menangkapku dengan tuduhan
hendak memberontak terhadap kerajaan. Aku akan
dihukum gantung, tahu!"
"T tapi... harta itu... sangat banyak sekali, Raja Sesat.
Kau akan hidup dalam gelimang kesenangan jika mau
merampasnya dari tangan Raja Sesat Selatan. Kau...."
"Diaaam...!" Raja Sesat Utara membentak. "Kau tahu
untuk apa harta itu sebenarnya, hah" Harta itu adalah
hadiah untuk melamar putri kerajaan tetangga. Tentu saja
sangat banyak jumlahnya. Aku tidak mau terlibat dalam
urusan celaka ini. Dan untuk menunjukkan ketidak
terlibatanku, kau akan kuserahkan kepada ketiga tokoh
penting istana itu, Akan kuberitahukan kepada mereka di
mana harta itu sekarang berada!"
Setan Mata Api merasa nyawanya terbang seketika.
Maksudnya hendak mencari perlindungan, tapi ternyata
malah menghampiri kematian. Pihak istana ternyata telah
mencurigai Senapati Malingkat Maklumlah Setan Mata Api
kalau tidak ada lagi yang bisa dilakukannya. Dia tidak
melawan ketika Raja Sesat Utara membawanya untuk
diserahkan kepada Senapati Wanalaga.
Raja Sesat Utara baru saja tiba di kaki bukit, ketika
tahu-tahu saja di hadapannya telah berdiri sesosok tubuh.
Hidungnya dikernyitkan saat mencium bau busuk bangkai
yang memualkan perut. Raja Sesat Utara tidak jadi
menegur sosok itu ketika didengarnya teriakan Setan Mata
Api. "D-dia... d-dia... mayat hidup Senapati Malingkat..!"
Setan Mata Api menuding sosok penghadang dengan
sekujur tubuh gemetar. Deraan rasa takut yang hebat
membuat Setan Mata Api meronta dalam cekalan Raja
Sesat Utara. Tak peduli kendati Kaja Sesat Utara
mengancam akan membunuhnya saat itu juga. Bagi Setan
Mata Api, sosok mayat Senapati Malingkat jauh lebih
menakutkan ketimbang Raja Sesat Utara.
"Dam kau, Bedebah Tolol!"
Karena jengkel. Raja Sesat Utara membanting tubuh
Setan Mata Api ke tanah. Kalau dalam keadaan biasa,
bantingan Raja Sesat Utara yang sangat ku.nl itu pasti
akan membuat Setan Mata Api meringkuk kesakitan. Tapi
semua itu tidak dirasakannya. Sosok mayat hidup Senapati
Malingkat lebih menarik perhatiannya. Setan Mata Api
langsung bangkit dengan sangat kalap. Bergegas tubuhnya
dibalikkan hendak lari menyelamatkan diri.
Tapi baru saja bergerak dua langkah, mayat Senapati
Malingkat sudah lebih dulu bertindak. Sosok itu melesat
dengan geiakan kaku namun cepat luar biasa. Raja Sesat
Utara sendiri sampai tidak sempat berbuat apa-apa. Tahutahu jari-jari berbau busuk yang sudah membengkak itu
menjambret leher baju bagian belakang Setan Mata Api.
"Tolooong...!" Saking ngerinya, Setan Mata Api sampai
berteriak seperti anak kecil. Lupa kalau dirinya seorang
tokoh sesat yang kejam dan ditakuti.
"Hei, berhenti!" Raja Sesat Utara berusaha mencegah.
Bukan karena kasihan kepada Setan Mata Api, tapi karena
ia membutuhkan tokoh sesat itu untuk membuktikan
kepada pihak istana kalau dirinya tidak terlibat dalam
perampokan harta kerajaan. "Jangan main gila dengan
Raja Sesat Utara!" ancamnya.
Mayat hidup Senapati Malingkat mana bisa ditakuttakuti. Tanpa peduli, tangan kanannya langsung
mencengkeram batok kepala Setan Mata Api.
Prakkk...! Perlahan saja jari-jari tangannya meremas. Namun,
akibatnya sangat mengerikan sekali. Raja Sesat Utara
sampai terbelalak. Remasan jari-jari mayat hidup Senapati
Malingkat membuat batok kepala Setan Mata Api remuk.
Hal itu rupanya masih belum cukup. Jari-jari tangan yang
semula mencengkeram leher baju belakang ditusukkan ke
tulang belikat sebelah kiri, hingga melesak sampai
pergelangan. Dan sewaktu ditarik keluar, dalam
genggaman tangannya nampak sebuah benda sebesar
kepalan yang penuh dengan darah dan masih berdenyut
lemah. Jantung Setan Mata Api!
"Iblisss...!" Raja Sesat Utara mendesis ngeri. Meskipun
terkenal sangat kejam, namun Raja Sesat Utara merasa
ngeri juga menyaksikan perbuatan mayat hidup Senapati
Malingkat. Mayat Senapati Malingkat cuma mengeluarkan
desahan panjang. Ditolehnya Raja Sesat Utara. Bola mata
yang memancarkan cahaya kehijauan itu imenyorot tajam.
"Hmhhh...!"
Raja Sesat Utara menggeram untuk meredam kegerian
di hatinya. Kedua tangannya dikepalkan. Kemudian,
dipasangnya kuda-kuda. Siap menghadapi mayat hidup
Senapati Malingkat yang sudah menunjukkan tanda-tanda
hendak menyerang.
Diawali suara napas besar mayat Senapati Malingkat
melesat kaku. Sepasang tangannya dijulurkan dengan jarijan terbuka. Siap mencekik leher Raja Sesat Utara Namun,
kendati terganggu bau busuk bangkai Raja Sesat Utara
masih bisa menghindar Bahkan membalas dengan tiga
pukulan yang susul-menyusul.
Buk! Buk! Buk! Tiga pukulan itu mendarat telak di dada, perut, dan
lambung. Jangankan sampai terpental, bergeming pun
mayat Senapati Malingkat tidak. Justru Raja Sesat Utara
sendiri yang menjerit kesakitan. Tenaga pukulannya
membalik. Kedua lengannya terasa seperti lumpuh, hingga
untuk beberapa saat tidak bisa digerakkan. Tubuh mayat
yang dipukulnya itu dirasakan kenyal bagai sebongkah
karet. Dan belum lagi Raja Sesat Utara sempat berbuat
sesuatu, tahu-tahu batang lehernya telah dicengkeram jarijari sekeras jepitan baja. Bersamaan dengan remasan di
lehernya, Raja Sesa Utara merasakan sesuatu menembus
dada kirinya. Raung kesakitannya merobek langit sewaktu
jantungnya dibetot keluar.
"Hei..."!"
Mayat hidup Senapati Malingkat sudah melepaskan
tubuh Raja Sesa Utara yang melorot ke tanah sewaktu
teriakan itu terdengar. Diputarny tubuh menghadapi tiga
sosok yang berlarian mendatangi.
Raung kematian yang menggetarkan hati itu membuat
langkah Pendekar Naga Putih, Nenek Suri Gandil, dan
Mumi terhenti. Mereka saling berpandangan satu sama
lain. "Entah kematian macam apa yang dialami ma nusia itu
sampai-sampai suara jeritannya membuat bulu kuduk
berdiri," ujar Nenek Suri Gandil. "Aku Jadi ingin tahu. Ayo,
kita lihat."
Nenek Suri Gandil langsung saja melesat menuju
tempat asal suara. Panji dan Murni tentu saja tidak mau
ketinggalan. Keduanya mengikuti langkah Nenek Suri
Gandil. Tidak berapa lama ketiganya tiba di tempat mayat
hidup Senapati Malingkat berada. Suara raung kematian
yang mereka dengar berasal dari Raja Sesat Utara. Tiba di
tempat itu mereka melihat empat sosok tubuh tengah
saling berhadapan. Selisih waktu kedatangan mereka
dengan tiga sosok pertama, yang bukan lain Senapati
Wanalaga dan dua orang jagoan istana, memang tidak
terlalu lama. Tiga tokoh penting istana itu langsung
menoleh sewaktu mendengar suara langkah kaki orang
mendatangi dari belakang mereka.
"Hih hih hih.. . Rupanya di tempat ini sedang ada pesta
meriah yang dihadiri tokoh-tokoh penting istana!" Nenek
Suri Gandil berkata sambil berlari menghampiri keempat
sosok tubuh itu.
Celoteh Nenek Suri Gandil tidak ditanggapi Senapati
Wanalaga dan kedua rekannya. Mereka tengah dilanda
ketegangan hebat setelah mengenali siapa sosok yang
telah membunuh Raja Sesat Utara. Tak satu pun dari
mereka yang mengeluarkan suara.
"Hei..."!" Tiba-tiba, Panji berseru seraya menuding
sosok mayat Senapati Malingkat "Aku pernah melihat
orang itu! Dia adalah salah satu mayat yang kutemukan di
Bukit Dampit"!"
"Dia memang Senapati Malingkat...," Senapati
Wanalaga menjelaskan.
"Hih hih hih...! Aku tahu sekarang!" Nenek Suri Gandil
mendekati Panji dan Murni. Kemudian bisiknya, "Ini adalah
pekerjaan Setan Tua Gila. Dia membangkitkan mayat
Senapati Malingkat. Seperti yang telah kuceritakan
kepadamu, Pendekar Naga Putih. Ilmu membangkitkan
mayat itu berasal dari kitab yang pernah kami curi. Itu
berarti Setan Tua Gila berada di sekitar tempat ini. la harus
mengendalikan mayat Senapati Malingkat"
Nenek Suri Gandil berhenti sebentar. Dipandanginya
wajah mayat Senapati Malingkat. Beberapa saat kemudian
nenek itu terlihat mengangguk- ngangguk.
"Setan Tua Gila berada di lereng bukit sebelah
selatan," bisiknya kemudian kepada Panji dan Murni.
"Sementara aku dan tiga tokoh kerajaan itu menghadapi
mayat hidup ini, kalian berdua pergilah dan bunuh tua
bangka keparat itu! Tanpa membunuh Setan Tua Gila,
mayat hidup ini tidak akan bisa dikalahkan."
Lalu, Nenek Suri Gandil bergegas menghampiri mayat
hidup Senapati Malingkat. Diberikannya isyarat kepada
ketiga tokoh kerajaan untuk membantunya.
Sementara Nenek Suri Gandil dan tiga tokoh Istana itu
siap menghadapi mayat hidup Senapati Malilngkat, Panji
dan Murni bergerak meninggalkan tempat itu. Mereka
menuju lereng bukit sebelah Selatan. Tidak sulit bagi Panji
dan Mumi untuk menemukan Setan Tua Gila. Dari
kejauhan mereka sudah melihat sesosok tubuh tengah
duduk bersila di dekat tepi sungai. Sosok itu bukan lain
dari Setan Tua Gila yang pernah dijumpai Panji.
"Apa yang harus kita lakukan, Kakang Panji?" Murni
berbisik kepada Panji, sementara pandangannya tertuju
pada sosok Setan Tua Gila. Kakek itu tengah bersemadi
dengan kedua mata teipejam.
"Tunggu saja dulu. Lihat apa yang akan dilakukan
Setan Tua Gila selanjutnya," jawab Panji.
Tidak berapa lama Panji serta Murni menyaksikan
tubuh Setan Tua Gila bergetar. Kedua lengannya
dikembangkan. Diputar ke atas dan ke bawah, sementara
mulutnya berkemak-kemik seperti tengah membaca
mantera. "Sekarang...!"
Panji memberi isyarat setelah memberikan petunjuk
kepada Murni cara menggunakan 'Tenaga Sakti Inti Panas
Bumi' yang telah dipinjamkannya untuk sementara waktu.
Sedang ia sendiri mengerahkan seluruh kekuatan 'Tenaga
Sakti Gerhana Bulan'. Mereka berdua harus menggencet
Setan Tua Gila dari depan dan belakang dengan
menggunakan kekuatan mukjizat yang berlainan unsur itu.
"Haiiittt...!"
Dari belakang, Murni membentak seraya
mendorongkan kedua telapak tangannya. Sinar kuning
keemasan melesat dari tangannya. Serangkum hawa
panas maha dahsyat Itu menderu ke arah lambung kirikanan Setan Tua Gila.
"Hyahhh...!"
Pada saat bersamaan Pendekar Naga Putih berseru
keras. Kedua telapak tangannya didorongkan dengan
gerak menyilang. Satu ke arah ubun- ubun, sedang satunya
lagi menuju bagian bawah perut. Angin dingin laksana
badai salju menderu luras. Malah, tubuh Panji sampai
menggigil. Dalam serangan itu ia memang mengerahkan
tenaga hingga ke puncak.
Bressshhh...! Dua kekuatan raksasa menghantam dari depan dan
belakang tubuhnya. Setan Tua Gila terdengar
mengeluarkan suara seperti orang tercekik! Tubuhnya
mengejang sesaat. Lalu, dengan sebuah teriakan
mengguntur kedua tangannya didorongkan ke depan dan
belakang. Pendekar Naga Putih dan Murni sama terpekik kuat
Kekuatan dahsyat yang dilontarkan Setan Tua Gila
membuat tubuh mereka terlempar satu tombak lebih.
Kemudian, jatuh terguling-guling di tanah. Beruntung tubuh
mereka dilapisi cahaya mukjizat. Sehingga, hantaman
tenaga dahsyat Setan Tua Gila tidak sampai menimbulkan
luka parah. Meskipun begitu, beberapa saat lamanya mereka
seperti lumpuh. Telentang di tanah berumput dengan
napas tersengal dan wajah agak pucat.
Mereka baru dapat bergerak bangkit bersamaan
dengan munculnya Nenek Suri Gandil dan tiga tokoh
istana. "Nek, Setan Tua Gila itu... "
"Dia sudah ko'it."
Nenek Suri Gandil langsung menukas ucapan Panji. Si
nenek menghampiri Setan Tua Gila yang masih duduk
dalam keadaan bersila. Kedua tangannya terkembang ke
depan dan belakang. Namun begitu disentuh ujung jari
Nenek Suri Gandil, tubuh Setan Tua Gila langsung hancur
menjadi abu. "Setan Tua Gila rupanya paman guru Setan Mata Api,"
ujar Nenek Suri Gandil kepada Panji. "Tidak heran kalau ia
mencegahmu sewaktu hendak melewati Bukit Dampet.
Setan Mata Api dan Katak Hijau menghubungi Setan Tua
Gila lalu mengajaknya bersekongkol. Dasar orang-orang
serakah, setelah berhasil mereka meninggalkan Setan Tua
Pendekar Naga Putih 113 Makhluk Haus Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gila. Keduanya hendak mengangkangi harta itu sendiri.
Setan Tua Gila menjadi sakit hati. Dan karena Setan Mata
Api dan Katak Hijau merencanakan semua itu bersama
Senapati Malingkat, maka mayat senapati itu digunakan
Setan Tua Gila untuk membalas pengkhinatan orang-orang
serakah itu."
Panji mengangguk-anggukkan kepala. Diam diam ia
merasa bersyukur telah bertemu dengan Nenek Suri
Gandil. Meski pada mulanya sempat merepotkan epotkan
Panji, tapi kemudian nenek itu malah membantunya
menghancurkan keangkaramurkaan.
"Mengenai harta itu bagaimana, Nek" Apa sudah
ditemukan?" tanya Panji ketika teringat harta kerajaan,
yang sedianya akan dipergunakan untuk melamar putri
kerajaan sahabat.
"Mulanya aku sempat pusing juga melihat Setan Mata
Api sudah tewas. Tapi..., kau tahu sendiri kan aku bisa
mengetahui sesuatu dengan membaca wajah orang. Dari
wajah mayat Setan Mata Api Itulah aku mengetahui kalau
harta itu sekarang berada pada Raja Sesat Selatan."
Nenek Suri Gandil kemudian menoleh kepada
Senapati Wanalaga dan dua jago istana yang tersenyum
lebar. "Kami akan mengurusnya. Raja Sesat Selatan pasti
tidak ingin digantung. Dan kalaupun ia berkeras tidak mau
menyerahkan harta itu, kami dengan mudah bias
memaksanya. Bawa saja seribu prajurit. Lalu, ratalah
tempat kediaman Raja Sesat Selatan? ujar Senapati
Wanalaga. Kemudian, disambung dengan tawanya yang
keras. Semua yang berada di tempat itu jadi ikut tertawa.
Menyambuti kelucuan rencana Senapati Wanalaga...
SELESAI Serial Pendekar Naga Putih selanjutnya : WALET PUTIH
Pedang Langit Dan Golok Naga 21 Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long Pendekar Pemanah Rajawali 13
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama