Pendekar Naga Putih 09 Mencari Jejak Pembunuh Bagian 2
Sambil merendahkan tubuh, senjatanya ditusukkan ke arah lambung Pendekar Naga
Putih. Namun, Panji yang sudah dapat membaca arah serangan itu, cepat menekuk kakinya
dan meng-gencet senjata lawan ke atas permukaan tanah.
Begitu kaki kirinya menjejakkan tanah, secepat itu
pula kaki kanan menyepak wajah tukang pukul Patala.
Plak! "Uuuh...!"
Orang itu mengeluh tertahan ketika telapak kaki Panji mencium pelipisnya.
Tubuhnya terjajar mundur jauh enam langkah. Tapi belum lagi sempat memperbaiki
posisi kuda-kudanya, tahu-tahu sebuah tamparan hinggap di kepala. Seketika itu
juga tubuh anak buah Patala melintir seperti sebuah gasing.
Seketika pandangannya terasa gelap hingga tidak tahu apa-apa lagi. Orang itu
jatuh pingsan akibat tamparan Panji yang cukup keras!
Setelah merobohkan kedua tukang pukul Patala, tubuh Panji kembali melenting ke
atas pohon. Bagaikan bayangan hantu, pemuda berjubah putih itu berkelebat dari
satu pohon ke pohon yang lain.
Beberapa saat kemudian, akhirnya sampai di tempat Patala anak buahnya menunggu.
"Ha ha ha...!" Panji tertawa bergelak sambil mengerahkan tenaga dalam. Suaranya
bergema di sekitar daerah itu hingga tak ubahnya seperti tawa iblis yang datang
dari alam kegelapan. Pemuda itu berdiri dengan kaki terpentang di atas sebatang
dahan yang agak tinggi. Jubahnya yang putih ber-kibaran tertiup angjn hingga
pemandangan itu lebih dari cukup untuk membuat seorang penakut lari terbiritbirit. "Sssi... apaaa... kau...?" teriak Patala gemetar dengan suara terputus-putus.
Walau bagaimanapun pemandangan itu benar-benar menggetarkan hati siapa saja yang
melihatnya. "Ha ha ha...! Aku adalah iblis yang ditugaskan mencabut nyawamu, Manusia Bejat!"
seru Panji, suaranya dibuat sebesar mungkin sehingga mampu mendirikan bulu roma orang yang
mendengar. Beberapa tukang pukul Patala terbelalak pucat!
Mereka benar-benar menyangka kalau sosok serba putih itu adalah iblis yang
ditugaskan mencabut nyawa mereka. Seketika keringat dingin mulai membasahi
pakaian mereka.
Namun tidak demikian halnya dengan Patala yang terlalu cerdik untuk dikibuli.
Meskipun dengan perasaan agak gentar, Patala terus meneliti sosok yang berdiri
di atas sebatang dahan. Samar-samar, mulai dapat diduganya sosok di atas pohon
itu. "Keparat! Rupanya kau pemuda usilan! Turun kau, Bangsat! Jangan beraninya hanya
menakut-nakuti orang secara pengecut!" maki Patala merasa diper-mainkan oleh
musuh yang amat dibencinya.
Beberapa orang yang tadi sempat terkecoh, ikut marah. Serentak mereka mencabut
senjata masing-masing. Wajah yang semula pucat, mendadak merah padam karena
marah bercampur malu.
Ketika Panji melayang dari atas pohon, Patala dan para tukang pukulnya langsung
mengurung. Tanpa banyak cakap lagi, mereka segera menyerang dengan senjata
terhunus! Seketika belasan senjata berkelebatan di bawah siraman sinar sang
rembulan. Tapi Panji mampu bergerak cepat dan mengelak setiap sambaran senjata yang
berdesingan di sekitar tubuhnya.
"Hiaaat!"
Disertai bentakan keras, Pendekar Naga Putih melambung ke udara seraya
mengembangkan kedua tangannya mengancam kepala dua tukang pukul terdekat.
Plak! Plak! Tanpa bersuara lagi, anak buah Patala terpental ke depan ketika tamparan tangan
pemuda berbaju putih menghantam belakang kepala mereka. Kedua orang itu langsung
tergeletak tewas! Dengan hidung, telinga, dan mulut mengalirkan darah segar!
Rupanya tenaga liar yang mengendap di dalam tubuh Panji kembali bergejolak.
Padahal tadinya dia hanya berniat menjatuhkan lawan saja, namun tenaga liar
dalam dirinya membobol keluar hingga menewaskan dua anak buah Patala sekaligus.
"Bangsat! Mampuslah kau!" teriak salah seorang tukang pukul lain sambil melompat
dan menusukkan pedang ke dada pemuda berbaju putih. Tubuh Panji yang saat itu
masih mengapung di udara, rasanya sulit sekali untuk menghindar.
Namun Pendekar Naga Putih bukanlah pendekar kemarin sore. Berbagai macam
pengalaman yang telah didapat setelah menghadapi berpuluh-puluh pertarungan
tidak membuatnya gugup. Cepat kedua tangannya bergerak menghimpit senjata lawan.
Dan dengan memanfaatkan tenaga dorong pedang lawan, tubuh Panji berputar ke
atas. Tak pelak lagi sepasang telapak kakinya mampir di kepala tukang pukul
Patala. Desss! "Ughk...!"
Tanpa ampun lagi tubuh lawan terbanting ke tanah. Setelah meregang nyawa sesaat,
akhirnya diam tak bergerak-gerak lagi. Rupanya orang itu tewas akibat tengkorak
kepalanya retak!
Begitu Panji menjejakkan kedua kakinya di tanah, dua tukang pukul lain sudah
datang menyerbu dari dua arah. Segera Pendekar Naga Putih merendahkan kuda-kuda
sambil menjulurkan telapak tangan ke
dada dua penyerang.
Buk! Buk...! "Hughk...!"
*** 4 Hantaman telapak tangan Panji tepat mengenai dada kedua penyerang. Tubuh
keduanya terpental balik disertai semburan darah segar dari mulut. Setelah
menabrak sebatang pohon, keduanya melorot dan terkulai pingsan!
Patala dan sembilan anak buahnya tersentak mundur. Kegentaran mulai membayangi
di wajah mereka begitu melihat lima orang kawannya telah menggeletak tak berdaya
hanya dalam beberapa jurus saja. Padahal kepandaian orang-orang itu tidak bisa
dikatakan rendah. Mereka rata-rata adalah pembantu-pembantu utama Patala. Tapi
ketika berhadapan dengan pemuda berpakaian putih itu, mereka tak ubahnya
sekumpulan laron menyerbu api.
"Hei! Mengapa kalian diam saja! Apakah kepala kalian ingin dipenggal! Ayo,
serbu!" Patala berteriak-teriak bagaikan nenek-nenek yang kehabisan sirih.
Kemarahannya dilampiaskan kepada pengikutnya yang tengah termangu ragu.
Biar bagaimanapun gentarnya, namun orang-orang itu lebih takut kepada
majikannya. Dan tanpa diperintah dua kali, sembilan orang tukang pukul Patala
itu bergerak maju dan menerjang Panji dengan senjata terhunus. Tapi karena
hatinya telah diliputi rasa gentar, maka serangan-serangan mereka pun tidak lagi
seganas sebelumnya. Kadang-kadang pada saat mengayunkan senjata, mereka langsung
melompat mundur ketika melihat Panji menggerakkan tangannya. Padahal serangan
mereka belum sampai. Panji yang tahu kalau lawan-lawannya telah di-cengkeram kegentaran, segera
memanfaatkan kesempatan. Suatu saat kedua kakinya dibanting ke tanah sambil
berteriak nyaring.
"Hiaaa...!"
Bentakan pancingan Pendekar Naga Putih ternyata tidak sia-sia. Para pengeroyok
lari tunggang-langgang.
Tinggallah Panji tertawa terpingkal-pingkal melihat Patala dan anak buahnya
berlarian jatuh bangun.
Sampai-sampai perutnya terasa sakit melihat tingkah mereka yang seperti dikejar
setan. "Ha ha ha... dasar tikus-tikus pengecut! Rupanya kalian hanya berani kepada
orang-orang lemah saja.
Sekalinya bertemu lawan yang lebih kuat, kalian lari terbirit-birit!" seru Panji
sambil terus tertawa terbahak-bahak.
Tiba-tiba, Pendekar Naga Putih teringat pada pemuda yang menjadi majikan orangorang itu. "Kurang ajar! Ke mana perginya pemuda bejat itu?"
gumam Panji geram. Sesaat kemudian, pemuda itu sudah bertengger di atas dahan
dan terus ber-ompatan di antara pepohonan sambil mengedarkan pandangan. Namun
orang yang dicarinya sudah tak tampak batang hidungnya lagi. "Hm... rupanya dia
sudah melarikan diri selagi anak buahnya menge-royokku."
Karena tidak berhasil menemukan orang yang dicarinya, Panji bergegas
meninggalkan tempat itu.
Angin malam berhembus menyebarkan hawa dingin yang menusuk tubuh. Sementara sang
rembulan masih tersenyum dengan pancaran sinarnya yang kuning keemasan.
*** Keesokan paginya, penduduk Desa Kertasari menjadi gempar! Mereka menemukan tiga
sosok tubuh yang telah menjadi mayat Sedangkan empat orang lainnya tergeletak
pingsan dengan luka-luka yang cukup berat.
Penduduk desa yang semula hendak mengerjakan tugas sehari-hari segera masuk
kembali ke dalam rumah. Mereka mengunci pintu dan jendela rapat-rapat tatkala
mengenali orang-orang itu sebagai anak buah Patala yang biasa mengawal kepala
desa. Warga Desa Kertasari sadar kalau kejadian itu akan berakibat buruk bagi
keselamatan mereka.
Ketika matahari sudah mulai naik, tampak serombongan orang berkuda mendatangi
tempat itu. Mereka dipimpin oleh seorang laki-laki berusia enam puluhan yang wajahnya
terlihat jauh lebih tua dari usia sesungguhnya. Orang tua itu adalah Ki Kalari,
Kepala Desa Kertasari.
Begitu rombongan berkuda tiba di tempat anak buah Patala tergeletak, tanpa
banyak cakap lagi orang tua itu melompat dari punggung tunggangannya. Perlahan
kakinya dilangkahkan mendekati sosok-sosok yang bergeletakan.
Tujuh orang yang menyertai Ki Kalari, ikut melompat dari punggung kuda masingmasing. Mereka ikut menyertai kepala desanya mendekati sosok-sosok yang bergeletakan.
"Kuburkan mayat-mayat itu di tempat ini. Dan bawa yang masih hidup ke balai
desa. Aku berangkat duluan dan menunggu di sana," ujar Ki Kalari sambil
melangkah meninggalkan para pembantunya.
"Baik, Ki," sahut salah seorang pengawal Ki Kalari mengangguk.
Kepala Desa Kertasari itu bergegas melompat ke
punggung kuda. Wajahnya teriihat kelam karena menyimpan rasa penasaran yang
hebat. Tanpa menoleh lagi, kudanya segera digebah meninggalkan tempat itu.
Sepeninggal Ki Kalari, tujuh orang pengawal bergegas menjalankan perintah kepala
desanya. Selesai mengubur mayat-mayat teman mereka, ketujuh pengawal bergegas
meninggalkan tempat itu sambil membawa enam orang yang mengalami luka dalam yang
cukup berat Tak lama kemudian, ketujuh orang itu tiba di balai desa di mana Ki Kalari dan
Patala telah menanti kedatangan mereka.
Patala berlari menyongsong kedatangan ketujuh orang itu. Tangannya bergerak
cepat memeriksa tubuh empat anak buahnya yang dirobohkan Panji semalam. Setelah
beberapa saat memeriksa, Patala mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menarik
napas lega. "Hm... keadaan mereka tidak terlalu mengkhawatirkan. Beri mereka minum ramuanramuan yang telah kusediakan. Aku jamin mereka segera pulih dalam dua hari,"
ujar Patala sambil bertolak pinggang.
"Sudah kunasihatkan agar kau jangan dulu bertindak. Nah, sekarang kau lihat
sendiri akibatnya"
Pemuda itu pasti pendekar pengembara yang berilmu tinggi. Kalau sudah begini,
pasti dia tidak akan meninggalkan Desa Kertasari sebelum tahu apa sebenarnya
yang terjadi di sini" Menurut dugaanku, tidak lama lagi pasti dia akan
menyatroni rumahku,"
ujar Ki Kalari bersungut-sungut
"Hm... hari ini aku memang mengaku kalah. Tapi lihat nanti! Akan kubuat dia
berlutut minta ampun
sambil menciumi ujung kakiku! Tunggu saja kau pemuda keparat!" ujar Patala
sambil mengepal tinjunya. Sepasang matanya memancarkan api dendam yang membara.
Ki Kalari hanya tercenung menatap cakrawala biru.
Ucapan Patala yang berapi-api karena terbakar dendam sama sekali tidak
ditanggapinya. Patala menjentikkan jemarinya ketika melihat ketujuh pembantunya melangkah
keluar dari balai desa. Mereka bergegas menghampiri Patala begitu melihat
isyarat majikan mudanya.
"Jaga tempat ini baik-baik! Kalau pemuda keparat itu datang mencari Ki Kalari,
katakan dia tidak ada tempat. Ingat jangan bertindak sendiri-sendiri! Dan selama
aku pergi, kalian tidak boleh membuat keributan, mengerti!" ujar Patala kepada
ketujuh orang pembantunya yang hanya mengangguk patuh.
"Dan kau, Ki. Kau tidak kuizinkan keluar selama aku tidak ada. Sekali kau
langgar perintahku, kau akan tahu sendiri akibatnya!" ancam Patala galak.
Dan anehnya, Ki Kalari pun tidak berani membantah ucapan anak muda itu. Entah
apa yang menjadi penyebabnya.
Patala menghentakkan tali kekang kudanya meninggalkan Balai Desa Kertasari. Baru
beberapa puluh tombak kudanya dipacu, tiba-tiba lari binatang tunggangannya
dihentikan ketika melihat dua orang laki-laki menghampiri dari arah yang
berlawanan. "Tuan Muda...," sapa orang bermuka tikus dan kawannya berbarengan.
"Hm... dari mana saja kalian?" tegur Patala ketus dan bernada mengancam,
sehingga membuat wajah kedua orang itu menjadi pucat.
"Kami... kami...."
"Ah, sudahlah! Sekarang kembalilah kalian ke tempat Ki Kalari. Awasi segala
tingkah laku orang penyakitan itu. Laporkan padaku kalau dia memperlihatkan
tingkah yang mencurigakan!" ujar Patala yang rupanya terburu-buru, hingga tidak
sempat lagi menanyakan dari mana saja mereka pergi beberapa hari belakangan ini.
"Baik, baik!" sahut keduanya cepat sambil menarik napas lega, seolah-olah saat
itu mereka-baru saja bebas dari sebuah keputusan hukuman mati. Setelah berpesan
demikian, Patala pun kembali menghela kudanya menuju perbatasan Desa Kertasari.
Pemuda itu terus memacu kudanya bagai sedang dikejar setan.
"Hhh... syukurlah dia terburu-buru. Kalau tidak, aku tidak bisa menjamin saat
ini kepala kita masih ada di tempatnya," desah si muka tikus sambil
menghembuskan napas kuat-kuat. Sedangkan kawannya hanya mengangguk lega.
Tidak lama kemudian, kedua orang itu pun kembali meneruskan langkahnya. Kali ini
mereka menuju kediaman Ki Kalari, untuk menjalankan perintah Patala yang
dipanggil dengan sebutan tuan muda.
*** Bagaikan orang kesetanan, Patala terus memacu kuda melewati perbatasan desa. Dan
setibanya di luar lesa, kudanya dibelokkan menuju ke arah Timur Desa Kertasari.
Tanpa sepengetahuan Patala, ada sesosok
bayangan putih berkelebat membayanginya. Gerakan bayangan putih yang tidak lain
adalah Panji, demikian cepat dan ringan hingga tidak menimbulkan suara
sedikit pun. Tubuh pemuda berjubah putih itu terus berkelebatan di antara
batang-batang pohon.
Kadang-kadang melambung ke batang pohon dan di lain saat sudah berlompatan dari
satu dahan ke dahan yang lain.
Panji menghentikan larinya dan mendekam di atas dahan pohon berdaun lebat saat
Patala mulai memasoki daerah perbukitan. Dan setelah menye-berangi sungai kecil,
dilihatnya Patala memasuki mulut sebuah hutan.
Panji menunda niatnya untuk membuntuti Patala ketika beberapa tombak di belakang
pohon tempatnya bersembunyi, terlihat seorang lelaki yang bagian kepalanya
tertutup caping lebar tengah membungkuk. Mendadak keningnya berkerut ketika
melihat beberapa sosok tubuh bergelimpangan di sekitar orang bercaping.
"Eh, diakah yang telah membunuh orang-orang itu"
Atau dia hanya menemukan saja?" gumam Panji bertanya pada dirinya sendiri.
"Hm... aku harus hati-hati menghadapi orang bercaping itu. Karena aku belum tahu
secara pasti di pihak mana sebenarnya orang misterius itu."
Pendekar muda itu segera turun dari pohon dan bergegas menghampiri orang
bercaping yang tampak nya tengah memeriksa mayat-mayat itu.
Panji yang ingin menegur orang bercaping mendadak mengurungkan niatnya ketika
melihat dada mayat mayat itu terdapat tanda telapak tangan berwarna merah. Saat
itu juga ingatannya terbayang pada mayat gurunya yang juga punya tanda seperti
itu. "Hm... mau lari ke mana kau, Pembunuh Biadab"
Kali ini kau tidak akan lepas dari tanganku! Lihat
serangan...!" bentak Panji seraya melancarkan serangan-serangan berbahaya.
Si orang bercaping terkejut mendengar bentakan yang datang dari belakangnya.
Cepat dia melompat dan melakukan beberapa kali salto ke samping guna menghindari
Pendekar Naga Putih 09 Mencari Jejak Pembunuh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
serangan anak muda yang tengah kalap itu.
"Sabar dulu, Kisanak. Tidakkah sebaiknya kau dengar keteranganku lebih dahulu?"
seru orang bercaping mencoba menyabarkan Panji.
"Hm... kau rupanya," ujar Panji begitu mengenali orang bercaping yang pernah
memperingatkannya sewaktu hendak mencegah Patala. "Tak perlu banyak cakap lagi.
Sekarang lebih baik kau sambut seranganku! Hiaaat..!"
Seketika itu juga, Pendekar Naga Putih meluruk sambil melancarkan beberapa kali
serangan berturut-turut. Sambaran angin pukulan yang dilancarkan Panji
berkesiutan mengancam tubuh orang misterius itu.
"Hei... hei! Nanti dulu, Kisanak! Apa salahku?"
teriak orang bercaping sambil melompat menghindar.
Gerakannya terlihat cukup lincah dan gesit, hingga beberapa pukulan Panji
berhasil dihindari.
"Tidak perlu banyak bacot! Keluarkan seluruh ilmu kepandaianmu kalau tak ingin
mati sia-sia!" bentak Panji geram. Kedua tangannya kembali melontarkan serangan
yang membuat orang itu semakin
kelabakan. Sadar kalau membiarkan dirinya terus-menerus diserang akan mendapatkan celaka,
maka orang bercaping terpaksa melancarkan serangan balasan.
Sepasang tangannya bergerak cepat melancarkan pukulan-pukulan yang tidak kalah berbahaya.
Sepasang tangannya yang membentuk kepalan meluncur bergantian dan menimbulkan
sambaran angin yang cukup kuat.
Melihat lawannya mulai melancarkan serangan balasan, Pendekar Naga Putih semakin
memperhebat serangan. Kedua tangannya diputar-putar hingga menimbulkan sambaran
angin dingin yang kuat.
Namun sampai sejauh itu Panji sama sekali belum memperlihatkan tanda-tanda akan
mengeluarkan ilmu andalannya. Si orang bercaping masih dapat mengimbangi.
Wut! Wut.! "Uts...!"
Dua kali serangan yang dilontarkan Pendekar Naga Putih mengenai tempat kosong
ketika orang bercaping menggeser tubuhnya dengan kedua kaki direndahkan. Begitu
dua kali serangan itu luput, mendadak orang bercaping berputar sambil melakukan
sapuan secara tak terduga.
Wukkk! Panji mengangkat kaki depan hingga sapuan orang misterius itu hanya mengenai
rumput kering. Secepat pemuda itu mengangkat kaki, secepat itu pula menjatuhkan
tubuh sambil menjulurkan kaki kanannya menghantam perut lawan. Dan.... Bukkk!
"Aaakh...!"
Orang bercaping yang tak sempat lagi menghindar, bergulingan sejauh tiga tombak
ke belakang. Wajah di balik caping itu terlihat meringis, menahan rasa mual
akibat terhantam tendangan yang cukup keras.
Setelah berhasil menendang perut lawan,
Pendekar Naga Putih berdiri tegak menunggu lawannya bangkit Aneh, padalah saat
itu terbuka kesempatan untuk melumpuhkan lawan, tapi Panji
sama sekali tidak mempergunakannya.
Melihat lawan tidak menyusuli serangan, si orang bercaping tertegun sejenak. Dia
merasa heran sekali mengapa Panji tak mempergunakan kesempatan selagi dirinya
terjatuh. Padahal menurut per-hitungannya pemuda berjubah putih itu pasti akan
dapat melumpuhkannya saat itu juga. Tapi mengapa tidak dilakukannya" pikir si
orang bercaping heran.
"Apa sebenarnya keinginanmu, Kisanak" Bukankah kau dapat melumpuhkanku kalau kau
memang menghendaki" Tapi mengapa kau tidak mempergunakan kesempatan ini" Apa
sebenarnya yang kau inginkan dariku?" tanya orang bercaping meng-ungkapkan rasa
penasaran. "Karena kau belum mengeluarkan seluruh ilmu kepandaianmu. Nah, sekarang
keluarkanlah seluruh ilmumu agar kau tak mati penasaran!" sahut Panji yang
rupanya tengah menunggu lawannya mengeluarkan ilmu pukulan yang dapat
menimbulkan tanda telapak tangan berwarna merah. Itulah yang menyebabkan mengapa
Panji tidak melancarkan serangan pada saat si orang bercaping terjatuh.
"Hm... ilmu apa lagi yang harus kukeluarkan untuk menandingimu, Kisanak" Seluruh
kepandaianku telah kukerahkan untuk menahan gempuranmu selama tiga puluh jurus
tadi," jawab orang bercaping sambil menyeringai menahan rasa nyeri yang mendera
perutnya. "Kau belum mempergunakan ilmu yang kau pakai membunuh mereka bukan" Nah, kalau
kau tidak ingin celaka, cepat keluarkan ilmu yang kau pergunakan untuk membunuh
mereka," ujar Panji yang sudah bersiap kembali melancarkan serangan yang lebih
hebat "Percayalah, Kisanak. Aku bukanlah pembunuh orang-orang itu. Dan aku pun sama
sekali tidak memiliki ilmu seperti yang kau sangka. Kau boleh percaya omonganku
atau tidak, terserah!" ujar orang bercaping tegas.
"Hm... kalau bukan kau yang membunuh mereka, lalu siapa" Dan apa hubunganmu
dengan mereka?"
tanya Panji lagi yang masih belum yakin kalau orang bercaping bukan salah
seorang pengikut Patala.
"Aku tidak punya hubungan apa-apa dengan orang-orang yang terbunuh ini. Aku
tidak sengaja menemukan mayat-mayat ini karena hanya kebetulan lewat, seperti
juga kau. Aku bisa saja menuduhmu sebagai orang yang telah membunuh mereka,"
jawab orang bercaping yang kini malah berbalik melontarkan tuduhan. "
"Eh!" Panji tersentak kaget mendengar tuduhannya diputarbalikkan. Sungguh sama
sekali tidak disangkanya kalau orang itu malah berbalik menuduh.
Beberapa saat lamanya pemuda berjubah putih ini hanya termenung tanpa mampu
mengeluarkan sepatah kata pun.
"Nah, sekarang apa alasanmu membantah tuduhanku" Bisa saja kau yang membunuh
mereka, lalu ketika melihat aku datang, kau segera sembunyi.
Dan untuk menimbulkan kesan aku yang membunuh mereka, kau berpura-pura baru
datang untuk melontarkan tuduhan secara pengecut," ujar orang bercaping lagi
semakin memojokkan.
"Hm...," Panji hanya bergumam sambil mengerutkan kening ketika mendengar ucapan
orang bercaping yang cukup masuk akal. Mereka berdua bisa saja saling tuduh
karena tidak ada seorang saksi pun yang melihat kejadian itu. Ucapan orang
bercaping membuat pemuda itu menyadari
kekeliruannya. Tapi dia masih belum percaya sepenuhnya, karena sama sekali belum
mengetahui siapa orang itu sebenarnya.
"Bagaimana, Kisanak" Benarkah kau yang membunuh mereka?" orang bercaping kembali
menegaskan. "Tidak. Seandainya aku yang membunuh mereka, aku tidak akan sepengecut itu
melemparkan tuduhan kepada orang lain," jawab Panji tegas. Seolah-olah ingin
mengatakan kalau dirinya bukan seorang pengecut seperti yang dituduhkan si orang
bercaping. "Kalau boleh kutahu, siapakah namamu, Kisanak"
Apa keperluanmu di tempat ini?" meskipun nada suara si orang bercaping masih
menimbulkan kesan menyelidik, namun sikapnya sama sekali tidak menunjukkan
permusuhan. "Namaku Panji. Orang-orang persilatan memberiku julukan Pendekar Naga Putih. Aku
memberitahukan hal ini bukan karena menyombongkan julukan kosong itu. Tetapi
agar kau dapat mempertimbangkan tuduhanmu," ujar Panji, karena tidak ingin
terjadi kesalahpahaman di antara mereka lagi.
"Pendekar Naga Putih...!" seru orang bercaping membelalakkan matanya lebarlebar, seolah-olah ingin meyakini kalau pemuda di hadapannya adalah pendekar
muda yang tersohor itu. "Ah, maafkan sikapku yang kurang hormat tadi, Saudara
Pendekar. Tentu saja tuduhanku tidak berlaku bagi Pendekar Naga Putih. Aku sudah sering
mendengar nama besarmu selama ini, kau pendekar muda yang selalu menentang
segala tindak kejahatan," ujar si orang bercaping segera membuka caping bambu
yang selama ini menyembunyikan wajahnya.
"Hm... ucapanmu terlalu berlebihan, Kisanak.
Sudahlah, jangan terlalu memujiku. Bisa-bisa kepalaku menjadi besar nanti,"
sahut Panji yang menjadi risih mendengar orang bercaping memuji dirinya. "Nah,
ternyata wajahmu tidak buruk.
Mengapa kau selalu menyembunyikannya" "
"Maafkan aku, Saudara Pendekar. Kedatanganmu benar-benar membuat harapanku yang
semula hampir musnah bangkit kembali. Marilah kita cari tempat yang lebih baik.
Akan kuceritakan duduk persoalannya," tukas orang bercaping sambil mencari
tempat yang lebih enak untuk bercakap-cakap.
*** 5 "Namaku Kuntara. Anak Ki Kalari yang menjadi Kepala Desa Kertasari," orang
bercaping memulai ceritanya. "Lima belas tahun lalu, ayah mengirimku ke salah
satu perguruan untuk mendalami ilmu silat.
Setelah dinyatakan lulus, aku pun berniat kembali ke desa kelahiranku. Tapi,
keadaan di desaku ternyata telah jauh berubah. Banyak kejanggalan-kejanggalan
yang kutemui. Aku jadi ragu kalau orang yang kini memimpin desa itu masih
ayahku," Kuntara berhenti sebentar untuk menekan emosinya. Ditariknya napas
panjang berulang-ulang guna menenteramkan hatinya.
"Apakah kau tidak bertanya pada salah seorang penduduk?" tanya Panji melihat
Kuntara menghentikan ceritanya.
"Itulah kenyataan pahit yang sempat membuatku terguncang. Sejak kecil ayah
selalu menekankan agar aku selalu berlaku adil dan menentang segala tindak
kejahatan. Sampai-sampai ayah menitipkan aku ke sebuah perguruan untuk
mewujudkan keinginannya.
Dapat kau bayangkan betapa malunya aku, Saudara Panji. Begitu menginjakkan kaki
di desa ini, ternyata semua penduduk mengutuk ayahku karena perbuatannya yang
kejam dan tidak berprikemanusiaan,"
ujar Kuntara serak seraya menyapu wajahnya seolah-olah ingin menghilangkan
segala bayangan buruk tentang ayahnya.
"Apakah kau tidak berusaha menyelidiki penyebab ayahmu berbuat demikian?" tanya
Panji ikut merasa
prihatin dengan keadaan yang dialami pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun
itu. "Yahhh..., aku memang telah menyelidikinya. Aku terpaksa menyembunyikan wajahku
agar tidak mudah dikenali oleh pembantu-pembantu ayahku. Dan pada suatu malam,
aku berhasil menyelinap masuk dan menemuinya," tutur Kuntara meneruskan
ceritanya. "Lalu bagaimana sikap ayahmu" Apakah dia mengenalimu?" Panji menyelak tak sabar.
"Tentu saja dia mengenaliku. Nah, dari situlah baru kuketahui kalau semua
kejadian yang menimpa penduduk bukan kemauannya sendiri. Ternyata ayah dijadikan
boneka yang dikendalikan oleh seseorang.
Dan itu sudah berlangsung kurang lebih lima tahun!
Hhh.... Aku merasa berdosa sekali telah menuduhnya kejam."
"Apakah ada alasan yang menyebabkan ayahmu menuruti segala perintah yang
bertentangan dengan hati nuraninya" Apakah dia tidak menjelaskan kepadamu?"
"Tentu saja ayah menceritakan segalanya kepadaku, Saudara Panji. Namun ayahku
tidak dapat berbuat apa-apa untuk menghentikan segala kekejaman dan kebiadaban
Patala, anak kepala rampok yang menguasai ayahku. Belakangan baru diketahui
kalau yang menekan ayah adalah kepala perampok yang menguasai beberapa desa di
wilayah ini. Ayah terpaksa menurut karena orang-orang jahat itu menyandera ibu
dan adik perempuanku. Itulah sebabnya ayahku mendiamkan saja segala perbuatan
Patala dan para pembantunya," tutur Kuntara sambil mengepalkan tinjunya eraterat. Sepasang bola matanya berkilat menahan kemarahan.
"Apakah kau pernah mencoba membebaskan ibu
dan adikmu" Atau mencoba mencegah perbuatan Patala?" tanya Panji kini mulai
mengerti duduk persoalan yang menimpa penduduk Desa Kertasari.
"Tidak mungkin, Saudara Panji! Ibu dan adikku ditahan di tempat kediaman kepala
rampok itu. Lagi pula di sana terdapat lebih dari seratus anggota perampok yang
rata-rata memiliki ilmu cukup hebat.
Kalau aku nekat membebaskan ibu dan adikku, itu sama artinya dengan bunuh diri?"
"Lalu, apa rencanamu sekarang" Aku siap membantumu!" ujar Panji yang membuat
semangat Kuntara bangkit seketika.
"Ah! Dengan adanya bantuanmu, persoalannya tentu akan menjadi lain. Sekarang aku
baru yakin kalau usaha kami akan berhasil!" seru putra Kepala Desa Kertasari
begitu yakin pada kemampuan Pendekar Naga Putih yang namanya telah
mengguncangkan dunia persilatan.
"Kami?" tanya Panji heran ketika mendengar Kuntara menyebut kata-kata 'kami'.
"Ya! Aku, paman guruku, dan beberapa saudara seperguruanku," tukas Kuntara yang
rupanya telah meminta bantuan saudara-saudara seperguruannya.
"Apakah kau sudah menghubungi mereka?"
"Sudah lama aku menghubungi mereka. Dan kini mereka sudah berada di Desa
Kertasari menunggu saat yang tepat untuk bertindak," jawab Kuntara yang membuat
Pendekar Naga Putih sedikit terkejut karena tidak menyangka pemuda itu telah
menyusun rencana.
"Hm..., Kuntara, apakah kau tidak mengenali salah satu mayat-mayat itu?" tanya
Panji sambil menunjuk ke arah tujuh sosok mayat.
"Entahlah, aku tak tahu siapa mereka. Hanya
dapat kupastikan kalau mereka adalah tokoh-tokoh persilatan golongan lurus. Aku
pernah melihat salah seorang di antara mereka datang ke perguruanku dan
berbicara kepada guru," sahut Kuntara menerangkan.
"Kau tahu pembunuh mereka?"
"Tidak, Saudara Panji. Tapi menurutku, kemungkinan besar mereka dibunuh kawanan
perampok. Karena tempat kediaman para perampok itu tidak begitu jauh dari tempat ini.
Bolehkah aku tahu, mengapa kau begitu ingin mengetahui pembunuh mereka, Saudara
Panji?" akhirnya Kuntara tak dapat menahan rasa ingin tahunya melihat Pendekar
Naga Putih begitu penasaran dengan pembunuh itu.
"Ah, tidak. Aku hanya ingin tahu saja," sahut Panji mengelak, karena tidak ingin
melibatkan orang lain dalam persoalannya. "Sebelum bertemu denganmu, aku sempat
mengikuti Patala yang sedang menuju ke dalam hutan. Menurutmu, apakah yang
tengah dikerjakan olehnya?" tanya Panji mengalihkan pembicaraan.
"Mungkin dia akan mengadu kepada ayahnya. Eh, apakah Patala tahu kalau kau
Pendekar Naga Putih?"
tanya Kuntara begitu teringat pada anak kepala perampok itu.
"Hm... kurasa tidak. Memangnya kenapa?" sahut Panji setelah berpikir sejenak.
"Ah, tidak apa-apa. Tapi yang jelas, kita akan bertambah sulit untuk bergerak
kalau dia tahu siapa sebenarnya pemuda yang berani menentangnya. Dia pasti
mengerahkan para perampok dan orang-orang golongan sesat untuk membunuhmu,"
jawab Kuntara seraya menarik napas dalam-dalam.
"Kuntara, apakah Patala selalu tinggal di rumah ayahmu?" tanya Panji yang
rupanya ingin tahu lebih
banyak tentang orang yang bemama Patala.
"Tidak tentu. Kadang-kadang kalau sudah bosan di desaku, maka dia pindah ke desa
lain yang masih di bawah kekuasaan ayahnya. Biasanya setiap dua atau tiga bulan
dia pindah ke desa lain untuk mencari gadis-gadis cantik yang akan dijadikan
pemuas nafsu binatangnya," tutur Kuntara geram ketika teringat kebiadaban
Patala. "Kalau begitu, kau sudah tahu kediaman kepala perampok yang menyekap ibu dan
adikmu" Dapatkah kau mengantarku ke sana?" pinta Panji sekaligus ingin
membuktikan kebenaran cerita Kuntara. Biar bagaimanapun, cerita pemuda itu masih
belum diyakini sepenuhnya.
"Tentu, sudah lama aku tahu persembunyian para perampok itu. Seperti yang
kukatakan tadi, untuk dapat masuk ke sana merupakan suatu hal yang mustahil
bagiku. Tapi lain halnya bila kau yang menyelinap ke sana. Aku yakin kau pasti
bisa, karena kepandaianmu berpuluh-puluh kali kepandaianku,"
puji Kuntara yang menurut Panji terlalu berlebihan.
"Ah, sudahlah. Ayo, antarkan aku!" ajak Panji tak ingin membuang-buang waktu
lagi. "Baiklah, ayo!" ujar Kuntara lebih dulu meninggalkan tempat itu.
Pendekar Naga Putih yang tidak ingin menonjolkan kepandaiannya, hanya berusaha
mengimbangi lari pemuda itu tanpa berniat mengungguli. Sekilas Panji tahu kalau
Kuntara sengaja mempercepat larinya untuk menguji.
*** Senja mulai merebah ketika kedua pemuda itu memasuki kawasan hutan kecil yang
menurut Kuntara adalah kediaman para perampok. Setelah beberapa lama berlari,
akhirnya mereka bersembunyi di balik batu besar yang banyak berserakan di tempat
itu. "Itulah sarang mereka, Saudara Panji," ujar Kuntara sambil menunjuk ke sebuah
tempat hampir mirip lembah yang dikelilingi dinding-dinding cadas tinggi.
"Hm...," gumam Panji. Kedua anak muda itu berada di tempat agak tinggi hingga
dapat melihat jelas sebuah lembah yang cukup luas berbentuk seperti danau. Di
tengah lembah terlihat sebuah perkampungan yang terdiri dari rumah-rumah kecil
berderet mengitari bangunan besar dan megah.
"Mungkin bangunan paling besar itulah kediaman kepala perampok. Hebat! Orang itu
Pendekar Naga Putih 09 Mencari Jejak Pembunuh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tak ubahnya raja kecil yang berkuasa di sini. Lihatlah! Gedung kediamannya tak
kalah megah dengan milik seorang adipati," ujar Panji terheran-heran.
"Tidak aneh, Saudara Panji. Setiap musim panen mereka selalu mendatangi desadesa yang berada di bawah kekuasaannya untuk merampas hasil panen.
Dan para petani hanya diberikan sisanya yang tidak seberapa banyak," tutur
Kuntara. "Hm... pantas kalau mereka begitu makmur,"
gumam Panji sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ssst...!" bisik Panji menempelkan jari telunjuk ke bibirnya. Kemudian tubuhnya
langsung melayang ke atas sebatang pohon tidak jauh dari tempat mereka
bersembunyi. Kuntara yang langsung mengerti isyarat rekannya,
ikut pula melompat ke atas sebatang pohon di sebelah Panji. Meskipun belum
mendengar sesuatu yang mencurigakan, namun Kuntara percaya kalau Pendekar Naga
Putih pasti telah lebih dulu men-dengarnya.
Benar juga! Tidak lama setelah keduanya melompat ke atas pohon, serombongan
orang berkuda melintas di bawah mereka. Rombongan itu berjumlah sekitar tiga
puluh orang. Wajah mereka rata-rata terlihat kasar, namun seragam yang mereka
kenakan nampak mewah dan terawat baik.
Kening Panji berkerut melihat di antara rombongan itu terdapat belasan wanita
yang berwajah pucat dan basah oleh air mata. Pakaian mereka seperti yang biasa
dikenakan gadis-gadis desa. Sekilas, sudah dapat diduga kalau wanita-wanita itu
hasil culikan. Dan yang lebih membuat kening Pendekar Naga Putih semakin berkerut dalam adalah
ketika melihat seorang gadis berpakaian biru muda di antara mereka. Gadis cantik
berambut panjang itu terkantuk-kantuk di atas punggung kuda dengan kedua tangan
terikat ke belakang.
"Ayuning...!?" desis Panji terkejut bercampur heran.
Jantung pemuda itu berdebar seketika karena sedikit banyak telah tahu tingkat
kepandaian Ayuning.
Apabila gadis gagah itu dapat mereka tawan, sudah barang tentu tingkat
kepandaian orang-orang itu tidak bisa dibuat main-main.
Melihat Ayuning ditawan bersama gadis-gadis lainnya, tentu saja Panji tidak mau
tinggal diam. Tanpa memikirkan keselamatan dirinya, pemuda berjubah putih itu melayang dari
atas pohon disertai bentakan lantang.
"Berhenti!"
Rombongan berkuda tersentak kaget mendengar bentakan dahsyat yang disertai
pengerahan tenaga dalam. Seketika binatang-binatang tunggangan panik seketika
dan sulit dijinakkan. Alhasil, rombongan berkuda itu menjadi kacau-balau tak
terkendali. "Hieeeh...!"
"Shaaa... ck ck ck...!"
Para penunggang kuda kewalahan menjinakkan kuda-kuda mereka yang semakin binal.
Bahkan tidak sedikit di antara mereka jatuh terinjak-injak kaki kuda.
Di tengah suasana kacau itu, tiba-tiba Panji melesat cepat menyambar Ayuning
yang berada di atas punggung kuda. Gerakannya hampir tak tampak oleh mata orang
awam. "Bangsat! Ada orang melarikan tawanan kita!
Cepat kejar!" teriak salah seorang anggota rombongan yang sempat melihat sesosok
bayangan putih menyambar gadis tawanannya. Seketika kudanya digebah cepat
mengejar Panji.
Setelah berhasil membawa Ayuning ke tempat aman, Pendekar Naga Putih cepat
melepaskan ikatan gadis itu. Tapi tiba-tiba ingatan Panji terlintas pada
Kuntara. Mungkin saja Kuntara ikut melompat dari atas pohon pada saat dirinya
membebaskan Ayuning, Hal itulah yang dikhawatirkan Panji.
"Kakang Panji...," desah gadis berbaju biru muda ketika mulai dapat mengenali
penolongnya. "Ah, untunglah Kakang menolongku. Kalau tidak, entah apa yang akan
terjadi pada diriku. Terima kasih, Kakang."
"Ayuning, lebih baik cepat kau tinggalkan tempat ini! Aku harus segera menolong
kawanku. Siapa tahu dia mengalami kesulitan!" desak Panji sambil
bergerak meninggalkan gadis itu.
Baru beberapa langkah meninggalkan Ayuning, pemuda itu telah dikepung belasan
ekor kuda bersama anggota perampok di atasnya. Rupanya mereka berhasil menemukan
orang yang melarikan tawanannya.
"Itu dia! Mau lari ke mana kau, Bangsat..! Hei! Kau sudah bosan hidup" Atau mau
cari mampus di tangan gerombolan Setan Kepalan Besi!" bentak salah seorang
anggota perampok galak.
Setelah berkata demikian, orang itu melompat dari punggung kudanya. Gerakannya
kelihatan gesit, pertanda kalau kepandaian orang itu tidak bisa dipandang
rendah. Setelah perampok pertama turun, yang Iain pun segera menyusul dan langsung
membuat lingkaran mengepung Panji dan Ayuning. Kini kedua pendekar muda itu
terkurung di tengah-tengah kepungan.
"Ha ha ha...! Sesalilah dirimu yang sok usilan, Kisanak! Hiaaat..!" disertai
teriakan nyaring, orang itu melompat maju sambil mengayunkan pedang ke tubuh
Panji. Teriakan itu juga merupakan isyarat bagi yang Iain untuk segera
menyerang. Setelah melihat kawannya sudah bergerak menyerang, perampok lain
berlompatan susul-menyusul ke arah Panji dan Ayuning.
"Kakang Panji, hati-hati dengan bubuk beracun yang akan mereka gunakan nanti!"
teriak Ayuning mengingatkan Panji di tengah hujan senjata belasan pengeroyok.
Wut! Wut..! Panji menggeser kakinya ke samping sambil merendahkan kuda-kuda menghindari
bacokan pedang dua perampok. Gerakannya disusul dengan
tendangan kilat ke dada salah seorang lawan.
Namun orang itu cukup cerdik dan gesit.
Senjatanya langsung diputar untuk membabat kaki yang mengancam dadanya. Cepat
Pendekar Naga Putih menarik kakinya kembali hingga bacokan itu pun luput untuk
kedua kalinya. Bagaikan sebuah pegas, kaki Panji secepat kilat menendang dagu
orang itu. Tendangan kuat dan dilakukan secara mendadak membuat lawan kelabakan.
Tanpa dapat dicegah lagi tendangan itu telak mengenai sasaran.
Desss! "Aaakh...!"
Seketika itu juga perampok terbanting keras ke tanah ketika dagunya terhajar
secara telak! Terdengar bunyi tulang patah diiringi jerit kesakitan menyayat. Perampok
bernasib sial itu mengerang sambil menutup wajahnya. Seketika darah kental
mengalir dari mulutnya karena tulang rahangnya patah.
Selagi perampok itu sibuk mengurusi lukanya, saat itu Pendekar Naga Putih sudah
sibuk menghindari serangan empat pengeroyok lainnya. Serangan yang dilancarkan
empat perampok itu demikian gencar, seolah-olah tak ingin memberi kesempatan
untuk membalas.
Sadar kalau lawan-lawannya adalah anggota perampok yang sering mengganggu
penduduk desa-desa di sekitar wilayah itu, Panji bertindak kepalang tanggung.
Dan begitu memasuki jurus ke tujuh, tiba-tiba Pendekar Naga Putih merubah
gerakannya. "Heaaat..!"
Wuk! Wuk! Wuk...!
"Hm...!"
Sambil mendengus kasar, Panji melenting ke
udara menghindari serangan beruntun tiga perampok. Dan selagi masih berada di
udara, kedua kaki pemuda berjubah putih itu meluncur ke belakang melakukan dua
tendangan ke arah dua pengeroyok sekaligus! Dan...
Bukkk! Desss! Tanpa bersuara lagi, dua perampok terjerembab mencium tanah ketika tendangan itu
tepat menghantam punggung mereka. Tubuh mereka langsung ambruk bersimbah darah.
Tewas seketika!
"Keparat! Kubunuh kau!" lawan yang kini tinggal seorang berteriak-teriak marah
dan melangkah maju sambil mengayunkan pedang kalang-kabut.
Pada saat pedang lawan membabat ke arah leher, Panji merendahkan kuda-kuda
sambil meliukkan kepala. Ketika mata pedang lawan berdesing di atas kepala,
tahu-tahu tangan kanannya menangkap pergelangan tangan lawan. Lalu tubuh orang
itu ditekuk dan langsung disambut dengan gerakan lututnya.
Terdengar jeritan tertahan ketika lutut Panji menghajar dada lawan. Darah segar
langsung menyemprot seketika itu juga. Sejenak tubuh perampok itu menggelepar di
tanah sebelum diam untuk selama-lamanya. Tewas dengan tulang dada remuk!
Belum lagi Panji sempat menarik napas lega, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda
mendatangi tempat itu. Tak lama kemudian, kawanan perampok yang ketinggalan
dalam pengejaran telah tiba.
"Bangsat!" seorang laki-laki brewok berwajah bengis membentak ketika melihat
tiga kawannya menggeletak tewas.
"Bunuh pemuda itu!" perintah si brewok kepada
belasan anak buahnya yang langsung melompat dari punggung kuda.
Tanpa banyak cakap lagi, belasan kawanan rampok yang baru tiba serentak menyerbu
Panji. Senjata-senjata mereka menyambar-nyambar mengincar tubuh pemuda berbaju putih
itu. Pertarungan pun kembali berlangsung seru.
Di tempat lain, Ayuning juga tengah bertarung sengit melawan tujuh kawanan
perampok. Meskipun para perampok terus mencecar gadis cantik itu dengan serangan
bertubi-tubi, namun sampai sejauh itu tak satu pun senjata mereka yang dapat
menyentuh tubuh Ayuning. Malah dua kawan mereka telah tergeletak akibat tamparan
gadis berpakaian biru muda itu.
Sebagai murid tunggal tokoh sakti seperti Dewa Tanpa Bayangan, sudah dapat
dipastikan kalau kepandaian Ayuning tidak bisa disamakan dengan tokoh-tokoh
kebanyakan. Tentu saja sebagai murid tunggal, Ayuning telah dibekali ilmu-ilmu
silat tinggi. Maka tidak mengherankan kalau gadis itu kelihatan tenang menghadapi keroyokan
kawanan perampok meskipun tidak bersenjata! Hanya dengan tangan kosong.
"Haiiit..!"
Tiba-tiba, Ayuning berteriak nyaring sambil melompat ke udara dengan kedua
tangan terkembang. Dengan gerakan berputar, tangan gadis itu melakukan dua kali
tamparan yang cepat dan tak terduga. Tentu saja serangan mendadak itu membuat
pengeroyok yang menjadi sasarannya kelabakan.
Dan.... *** 6 Plak! Plak! "Hughk...!"
Dua di antara para pengeroyok melintir ketika telapak tangan Ayuning menghantam
pelipis mereka.
Seketika itu juga keduanya melihat alam di sekelilingnya menjadi gelap hingga
tidak tahu lagi apa yang terjadi selanjutnya. Kedua orang itu telah tergeletak
pingsan! Kawanan perampok yang mengeroyok Ayuning kini tinggal lima orang. Seketika para
penggeroyok bergerak mundur melihat gadis itu kembali merobohkan dua kawan
mereka. Beberapa saat lamanya, kelima orang itu hanya berdiri terpaku menatap
pendekar wanita yang cantik jelita itu.
Sebelum kedua belah pihak saling bergerak, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan
putih mendekati Ayuning. Dengan gerakan yang indah, bayangan putih itu
mendaratkan kedua kakinya tepat di sisi gadis berpakaian biru muda itu.
"Kakang Panji...!" seru Ayuning gembira ketika melihat Panji tidak kurang suatu
apa pun. "Ayuning, sebaiknya kita tinggalkan tempat ini, sebelum kawan-kawan mereka
datang membantu,"
bisik Panji perlahan.
"Mengapa, Kakang" Apakah kau takut?" tegur gadis cantik itu dengan kening
berkerut. Ayuning tampaknya tidak begitu suka melarikan diri dari kancah
pertarungan. "Bukan begitu, Ayuning. Kalau bantuan mereka
tiba, maka akan lebih sulit bagi kita meloloskan diri.
Selain jumlah mereka banyak, tidak sedikit di antaranya adalah tokoh-tokoh
digdaya," jawab Panji mencoba memberikan pengertian kepada gadis itu.
"Tapi... tapi... bagaimana dengan gadis-gadis desa yang akan mereka jadikan
pemuas nafsu, Kakang"
Apakah kau tega membiarkan mereka terancam bahaya yang lebih mengerikan daripada
kematian"!"
bantah Ayuning sambil memalingkan kepalanya ke arah belasan gadis desa yang
berkumpul di dekat sebatang pohon dan dijaga ketat tiga perampok.
Mendengar bantahan Ayuning, Panji menjadi gelagapan. Tentu saja tidak akan
dibiarkannya gadis-gadis desa itu jatuh ke tangan para perampok. Tapi pada saat
ini posisinya benar-benar dalam keadaan sulit. Kalau sampai bantuan para
perampok keburu tiba, maka rencana yang telah disepakati bersama Kuntara bisa
berantakan. "Baiklah! Mari kita habisi dulu para perampok ini.
Setelah itu, baru kita tinggalkan tempat ini bersama gadis-gadis tawanan itu,"
sahut Panji mantap. Setelah berkata demikian, tubuhnya kembali melompat ke
tengah lawan-lawannya.
Lima belas perampok tergetar mundur melihat lapisan kabut bersinar putih
keperakan mengelilingi sekujur tubuh Panji. Seketika tubuh mereka menggigil
akibat pengaruh hawa dingin menusuk tulang yang mulai memenuhi sekitar daerah
itu. Panji yang tidak ingin hawa dingin dari tubuhnya mempengaruhi yang lain, segera
memancing lawan menjauhi tempat Ayuning dan para gadis tawanan berada. Tapi dia
tertegun sejenak ketika mendengar derap kaki kuda yang makin lama makin dekat
menuju ke tempat mereka.
"Hm.... Aku harus cepat bertindak sebelum terlambat," kata Panji dalam hati.
Indra pen-dengarannya menangkap jelas derap kaki kuda rombongan bantuan yang
sebentar lagi segera tiba dalam jumlah besar.
"Heaaat..!"
Seketika itu juga Pendekar Naga Putih meluruk ke arah pengeroyok yang masih ragu
untuk menyerang.
Sepasang tangannya diputar-putar sehingga menimbulkan desir angin yang luar
biasa dinginnya.
Meskipun agak tersendat, Panji dapat mengatur tenaga liar yang mengendap dalam
tubuhnya. Wusss! Desss! Bukkk! "Aaakh...!"
Dua kawanan perampok terguling dihantam
pukulan maut Kedua orang yang tidak sempat mengelak itu, tewas seketika dengan
tubuh membiru. Para perampok lain mundur ketakutan. Mereka sama sekali tidak menyangka dua
kawan mereka tewas dalam segebrakan saja. Padahal sebelumnya pemuda itu
membutuhkan paling tidak lima jurus untuk menjatuhkan salah seorang di antara
mereka. Kejadian ini segera menyadarkan orang-orang itu kalau sejak tadi Panji tidak
bersungguh-sungguh menghadapi mereka.
"Keparat! Rupanya pemuda itu bukan orang sembarangan. Hati-hatilah kawan-kawan!
Kali ini kita harus mengerahkan seluruh kemampuan untuk menangkapnya," seru
salah seorang pengeroyok yang sepertinya pimpinan mereka.
Pendekar Naga Putih yang tidak ingin membuang-buang waktu lagi segera melesat ke
arah para gadis desa ditawan. Pemuda itu meluncur cepat bagai anak
panah lepas dari busurnya, dan langsung menerjang tiga perampok yang menjaga
gadis-gadis culikan itu.
Melihat tubuh Panji tiba-tiba meluncur ke arah mereka, ketiga perampok segera
mengayunkan senjata untuk menghalau. Serentak ketiganya mem-bacok dengan
mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam.
"Hiaaa...!"
Trak! Bukkk! "Aaakh...!"
Tiga perampok menjerit ngeri ketika senjata mereka menghantam tubuh Panji.
Seketika itu juga ketiganya terlempar keras bagai disentakkan tenaga raksasa
yang tak tampak. Sementara ketiga senjata mereka berpatahan ketika menyentuh
tubuh Panji. Ketiga perampok meregang menahan sakit dan rasa dingin yang merasuk sampai ke
tulang. Sesaat kemudian, tubuh mereka pun mengejang dan tewas dengan kulit
membiru. Itulah kelebihan Pendekar Naga Putih. Tenaga sakti yang mengendap dalam tubuhnya
Pendekar Naga Putih 09 Mencari Jejak Pembunuh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bergejolak setiap saat dan menjadi penangkal bila diserang dari luar. Semakin
kuat tenaga lawan yang menyentuh tubuh Panji, maka semakin kuat pula daya tolak
yang diterima si penyerang.
Bersamaan kehadiran Panji di tempat para gadis desa, tahu-tahu melayang sesosok
tubuh dari atas pohon dan mendarat di dekat kerumunan gadis desa.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun orang itu langsung membuka tali pengikat yang
membelenggu mereka.
"Kuntara...," seru Panji begitu mengenali orang yang baru datang. "Kuntara, bawa
gadis-gadis tawanan ini pergi! Biar aku yang akan mencegah para
perampok itu!" ucap Panji lagi yang hanya dijawab anggukan oleh Kuntara. Setelah
berkata demikian, murid tunggal Eyang Tirta Yasa itu melesat ke arah Ayuning
yang tengah dikeroyok.
"Ayuning! Cepat kau menyingkir! Lindungi Kuntara membawa gadis-gadis desa
meninggalkan tempat ini!" seru Panji begitu menjejakkan kakinya di dekat
Ayuning. "Tapi, bagaimana denganmu, Kakang?" tanya gadis berpakaian biru muda
mengkhawatirkan keselamatan Panji.
"Aku akan menahan orang-orang yang akan mengejar kalian! Cepatlah! Jangan
membantah!" seru Panji tegas karena tidak ingin mendengar bantahan gadis yang
keras kepala itu.
Belum lagi Ayuning sempat meninggalkan pemuda itu, tiba-tiba terdengar suara
bergemuruh yang disertai dengan munculnya para perampok lain.
Rupanya salah orang anggota perampok sempat melaporkan kejadian yang mereka
alami. Kawanan perampok yang berjumlah lebih dari lima puluh orang bergegas melompat
dari punggung kuda dan mengepung tempat itu. Sepertiga dari mereka membawa busur
dan anak panah.
Terlambat bagi Panji dan Ayuning untuk
meninggalkan tempat itu. Tapi untunglah Kuntara telah lebih dulu meninggalkan
arena pertempuran bersama para gadis desa yang diselamatkannya.
"Ayuning, dengar kata-kataku dan jangan kau bantah!" bisik Panji kepada gadis
itu. "Aku akan menerobos kepungan di sebelah kiri. Dan pada saat itu, kau harus
pergi dari sini, mengerti!?"
"Baiklah, Kakang," jawab Ayuning mengalah.
"Hm... bersiaplah!" bisik Panji sambil menarik
napas dalam-dalam. Sesaat kemudian, tubuh Pendekar Naga Putih meluncur ke arah
para pengepung yang berada di sebelah kirinya.
"Heaaat..!"
Hawa dingin berhembus keras ketika sepasang telapak tangan Panji didorongkan ke
depan. Dan... Wusss! Blarrr! Hebat sekali akibat yang ditimbulkan dorongan sepasang tangan Panji. Tanah dan
rerumputan hamburan ketika pukulan itu menghantam bumi.
Beberapa pengepung yang tidak sempat menghindar terlempar keras. Tewas seketika
dengan tubuh membeku.
Pada saat kepungan kawanan perampok
berantakan, Pendekar Naga Putih segera menarik tangan Ayuning untuk meloloskan
diri. Setelah tubuh murid Dewa Tanpa Bayangan melesat ke depan, pemuda itu
segera membalikkan tubuhnya untuk berjaga-jaga dari bokongan lawan.
"Hujani panah...!" teriak salah seorang pimpinan perampok yang bertubuh tinggi
kurus dan berwajah pucat.
"Pendekar Naga Putih...!" seru pimpinan perampok satunya lagi terkejut Laki-laki
berusia sekitar lima puluh tahun itu terbelalak melihat lapisan kabut sinar
putih keperakan menyelimuti seluruh tubuh Panji.
"Pendekar Naga Putih!?" ulang pimpinan perampok yang berwajah pucat dengan rasa
terkejut bercampur heran.
Mendengar aba-aba si muka pucat, barisan panah segera bersiap-siap melepaskan
anak panah. Sesaat kemudian terdengar suara berdesing ketika puluhan batang anak
panah meluncur deras ke arah Panji.
Pendekar Naga Putih yang memang sudah siap
menghadapi segala kemungkinan, bergegas memutar kedua tangannya. Sesaat
kemudian, angin dingin laksana badai berputar menderu-deru. Batu-batu kecil dan
ranting-ranting kering beterbangan di sekitar tempat itu.
Wrrr! Wrrr...! Puluhan batang anak panah beterbangan ke segala arah. Tak satu pun dari puluhan
batang anak panah menyentuh tubuh Panji. Bahkan ada yang berbalik menghujani
kawanan perampok sendiri.
Cappp! Cappp! "Aaa...!"
Tiba-tiba delapan kawanan perampok menjerit pilu ketika anak-anak panah berbalik
menembus tubuh mereka sendiri. Kawanan perampok itu terjungkal, tewas seketika!
"Gila!" seru beberapa kawanan perampok terkejut.
"Ilmu setan...!" seru yang lain gentar.
"Jangan takut! Kepung pemuda iblis itu!" si pemimpin yang bertubuh tinggi kurus
dan berwajah pucat berteriak memberi semangat kepada anak buahnya.
Belasan perampok kembali berlompatan maju ke depan. Di tangan mereka tergenggam
pisau-pisau terbang yang siap dilemparkan!
"Hiaaa...!"
Dibarengi teriakan nyaring sebagai isyarat, salah seorang dari mereka segera
melompat sambil mengibaskan tangan. Kemudian disusul oleh yang lain turut-turut
Singgg! Singgg...!
Puluhan batang pisau terbang sepanjang telapak tangan berdesingan mengancam
Pendekar Naga Putih!
Panji yang belum sempat menarik napas lega, kembali menggerakkan tangan dan
menariknya ke sisi pinggang. Dan disertai bentakan keras, kedua telapak
tangannya didorong untuk menangkis puluhan pisau, terbang yang meluncur cepat ke
arahnya. Wusss! Belasan pisau terbang yang dilepaskan tiga orang pertama berhasil dipukul
runtuh. Namun sebelum pemuda itu sempat melancarkan pukulan balasan, belasan
pisau terbang lain sudah berada di depan muka.
Plak! Plak...! Trak! Trak...! Pisau terbang yang mengancam wajah berhasil dirontokkan dengan tepisan kedua
tangannya. Sementara belasan pisau lain jatuh berpatahan ketika menyentuh tubuh Panji yang
dikelilingi lapisan kabut bersinar putih keperakan. Beberapa pisau ada yang
berhasil ditangkap, langsung dilempar kembali ke perampok dengan kecepatan
menggiriskan! Empat kawanan perampok yang tadi melepaskan pisau terbang langsung terjungkal
dan tewas seketika dengan leher tertancap pisau mereka sendiri. Tentu saja
Pendekar Satu Jurus 14 Kitab Ilmu Silat Kupu Kupu Hitam Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Pedang Ular Mas 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama