Ceritasilat Novel Online

Panggung Kematian 2

Pendekar Naga Putih 55 Panggung Kematian Bagian 2


melumpuhkan kekuatannya perlahan-lahan. Itulah sebabnya, mengapa Somanggala
kelihatan pucat dan tak bersemangat sewaktu bertarung dengan Garbanaka.
Untung tubuhnya terlatih baik, sehingga masih sanggup bertahan dan mampu
menghadapi Garbanaka, meskipun hanya beberapa belas jurus. Entah apa yang
terjadi sebelum hari pertarungan...?"
jelas Panji, yang membuat Kenanga ikut menghela napas panjang mendengar
keterangan kekasihnya.
"Hm.... Mungkinkah Garbanaka berbuat curang kepada Somanggala, Kakang" Setelah
melihat sepak terjangnya, agaknya Garbanaka termasuk orang yang menghalalkan
segala cara untuk meraih ke-inginannya. Mungkin saja Garbanaka telah melakukan
sesuatu, di luar pengetahuan Somanggala...,"
duga Kenanga, membuat Panji mengangguk-anggukkan kepala. Pendekar Naga Putih mempunyai dugaan yang
sama dengan Kenanga. Meskipun demikian. Panji tidak berani langsung memastikan dengan menuduh Garbanaka. Hanya menurut pikirannya, Garbanaka
patut dicatat sebagai orang pertama yang harus dicurigai.
"Kita tunggu saja perkembangan selanjutnya.
Setelah Somanggala siuman dan kesehatannya pulih kembali, baru kita tanyakan hal
itu kepadanya. Aku pun ingin tahu alasan pemuda itu mengikuti
pertarungan maut Panggung Kematian. Menurutku, orang-orang gagah seperti
Somanggala tidak akan sudi melakukan pertarungan itu. Lain halnya jika
pertarungan itu memperebutkan kedudukan atau mencari ketua suatu perkumpulan.
Tapi..., yang dilakukan Somanggala semata-mata karena bayaran, dan harus
membunuh lawan. Benar-benar sukar dimengerti...," papar Panji.
"Pasti ada alasan yang kuat, mengapa dia sampai melakukannya, Kakang," timpal
Kenanga. Kenanga pun tidak setuju dengan peraturan pertandingan Panggung Kematian. Dan
menurutnya, Somanggala bukan termasuk orang yang gila harta dan kehormatan.
Pasti ada alasan lain.
"Ya, itu pasti. Hm.... Mudah-mudahan dia mau menceritakannya kepada kita...,"
desah Panji penuh harap.
Rupanya Pendekar Naga Putih ragu kalau Somanggala akan menceritakan persoalan yang dihadapinya kepada mereka berdua.
Sikap pemuda itu tidak lepas dari pengawasan Kenanga, yang menatap kekasihnya
dengan heran. "Kelihatannya kau meragukan kejujuran Somanggala, Kakang?"
Akhirnya meluncur juga pertanyaan itu dari bibir Kenanga. Rupanya rasa ingin
tahunya lebih besar dari keheranannya.
"Tidak. Aku bukan meragukan kejujuran Somanggala, Kenanga. Tapi aku khawatir
kalau dia tidak mau menceritakan persoalannya kepada kita.
Melihat raut wajah dan pembawaannya, Somanggala orang yang tertutup dan lebih
suka memendam persoalan di dalam hatinya. Kalau dugaanku benar, kita akan
menemui kesulitan untuk mengetahui, bagaimana racun aneh itu bisa mengeram di
tubuhnya" Mesgapa orang pandai sepertinya sampai tidak mengetahui" Bukankah itu
berarti yang meracuni Somanggala orang yang dekat dengannya, dan
mungkin sangat dipercaya olehnya...," jawab Panji menjelaskan panjang lebar
kekhawatirannya.
Setelah mendengar ucapan kekasihnya, Kenanga menjadi bingung. Kalau dugaan
kekasihnya benar, mereka akan menemui kesulitan. Tidak mungkin mereka akan
memaksa Somanggala menceritakan persoalan yang mungkin sangat pribadi sifatnya.
"Hm.... Memang sulit juga, Kakang...," desah Kenanga. Pikirannya jadi buntu
setelah mendengar penjelasan Panji
"Jangan putus asa, Kenanga. Apa yang kukata-kan tadi baru dugaan, belum tentu
benar. Untuk mengetahuinya secara pasti, nanti setelah Somanggala siuman dan
kesehatannya pulih kembali," ujar Panji tersenyum melihat tingkah laku
kekasihnya. Mendengar nasihat kekasihnya, Kenanga merasa sedikit lega. Dara jelita itu
melemparkan pandang ke sekitar daerah itu yang banyak dipenuhi bebatuan.
Untuk beberapa saat lamanya keduanya membisu, menunggu Somanggala siuman dan
sembuh dari keracunan. Biasanya obat yang diberikan Panji sangat
manjur untuk mengobati luka dalam. Racun yang mengeram di tubuh Somanggala telah
dibakar habis oleh Panji dengan menggunakan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi'.
*** "Ouhhh...."
Sosok lelaki tegap berwajah tampan itu meng-geliat sambil mengeluh perlahan.
Kemudian bergerak bangkit dari atas batu besar, tempat
tubuhnya terbaring.
"Tahan...! Jangan banyak bergerak dulu, Somanggala. Sebaiknya tetap berbaring.
Atur napas-mu. Setelah merasa agak segar, cobalah mengerahkan tenaga dalam. Jika
semua berjalan baik, baru kau boleh bangkit dan bersemadi, untuk memulihkan
tenagamu kembali...," ujar Panji.
Pendekar Naga Putih menekan kedua bahu Somanggala perlahan-lahan, agar jangan bangkit dulu sebelum mengikuti petunjuknya.
"Siapa kau..." Dan..., di mana aku" Apa aku sudah mati, dan ini alam
akhirat...?" tanya Somanggala dengan wajah penuh tanda tanya.
Rupanya pemuda tegap berwajah tampan itu
tidak ingat dengan kejadian yang telah menimpa-nya beberapa saat lalu.
'Tenanglah, Somanggala. Kau masih berada di dunia nyata. Sebaiknya ikuti saja
petunjukku. Setelah itu, baru kita bicarakan semuanya," ujar Panji perlahan, namun terdengar
jelas di telinga Somanggala.
Somanggala tidak langsung mengikuti petunjuk Panji. Matanya menatap ke
sekeliling, hingga pandangannya bertumbukan dengan sosok Kenanga
yang berada beberapa langkah di sampingnya. Sepasang mata lelaki itu terbelalak
sekejap. Sebelum bibirnya mengucapkan sesuatu. Kenanga telah berkata lebih dulu.
'Turutilah apa yang dikatakannya, Somanggala.
Percayalah, kami tidak bermaksud mencelakakanmu. Kami hanya ingin
menolongmu...," ucap Kenanga seraya melangkah dua tindak menghampiri Somanggala.
Pemuda tegap berwajah tampan itu semakin
heran. Untuk sesaat lamanya, Somanggala terpaku dengan bermacam tanda tanya di
benaknya. Dan baru mengikuti petunjuk yang diberikan Panji setelah menatap kedua
penolongnya bergantian. Keduanya menganggukkan kepala, sebagai isyarat agar
mengikuti petunjuk Panji.
Panji dan Kenanga menghela napas lega melihat Somanggala kembali rebah dan
memejamkan mata.
Setelah Somanggala melakukan semua petunjuk pemuda itu, Panji dan Kenanga
menjauh, menunggu Somanggala menyelesaikan pemulihan tenaganya.
Tidak berapa lama kemudian, Somanggala selesai melakukan semua yang
diperintahkan kepadanya.
Pemuda itu bangkit perlahan-lahan. Wajahnya menyeringai, merasakan gigitan rasa
nyeri di beberapa bagian tubuhnya, yang terkena pukulan Garbanaka saat bertarung
di atas Panggung Kematian. Meskipun demikian, Panji dan Kenanga tidak berusaha
mencegah pemuda itu bangkit dan duduk dengan sikap semadi.
"Bersemadilah seperti yang biasa kau lakukan untuk memulihkan tenagamu...," ujar
Panji saat Somanggala menatapnya lekat-lekat.
"Hm..., aku ingat sekarang. Rupanya kau sosok berjubah putih yang telah
menyelamatkan aku.
Katakan, mengapa kau menolongku...?" tanya Somanggala, tidak sabar.
"Hhh...."
Panji menghela napas perlahan melihat rasa
penasaran yang terpancar dari sepasang mata lelaki muda itu. Tidak ada jalan
lain bagi Pendekar Naga Putih kecuali menjelaskan alasan perbuatannya.
"Jadi karena melihat keadaaanku yang tidak wajar saat bertanding, kalian turun
tangan menyelamatkanku?"
Somanggala ingin mempertegas penjelasan Panji.
Rupanya pemuda itu tidak menyadari pada saat bertarung dirinya telah keracunan.
"Begitulah, Somanggala. Sekarang bersemadilah.
Tenagamu belum pulih seluruhnya...," sahut Panji kembali mengingatkan Somanggala
untuk bersemadi guna memulihkan tenaganya.
Kali ini Somanggala tidak membantah ucapan
Panji. Melihat wajah pasangan pendekar muda itu, dirinya mulai menaruh
kepercayaan pada mereka.
Mulailah Somanggala bersemadi guna memulihkan kekuatannya.
* * * "Terima kasih atas pertolongan kalian. Kese-hatanku sudah pulih seperti semula.
Sekarang aku harus kembali untuk menjenguk kedua orang
tuaku. Maaf, kalau perbuatanku ini kalian anggap kurang sopan...," ujar
Somanggala setelah menyelesaikan semadinya.
Mendengar ucapan Somanggala. Panji dan Kenanga saling bertukar pandang sejenak. Lalu berpaling ke arah Somanggala yang
tengah bersiap kembali ke Desa Jati Mulya.
"Somanggala...," panggil Panji.
Pendekar Naga Putih tidak ingin pemuda itu pergi sebelum mengetahui persoalan
yang dihadapi Somanggala. Terutama mengenai keracunan yang diderita pemuda itu.
"Ada apa, Panji...?" tanya Somanggala menahan langkah.
Somanggala memanggil pemuda tampan berjubah putih hanya dengan nama saja. Itu
memang permintaan Panji, setelah dia dan Kenanga memperkenalkan diri.
"Hm.... Saat mengobati luka-lukamu, aku menemukan sejenis racun pelumpuh tenaga
mengeram di tubuhmu. Racun itu membuatmu lemah
hingga dapat dikalahkan dengan mudah oleh lawanmu. Kami ingin mengetahui,
bagaimana racun itu bisa mengeram di dalam tubuhmu" Apa kau tidak
menyadarinya...?" tanya Panji.
Somanggala tidak segera menjawab pertanyaan pemuda penolongnya. Otaknya
berpikir, seperti hendak mencari jawabannya.
"Hhh... Sayang aku tidak bisa mengingatnya dengan baik, Panji. Mungkin racun itu
telah berada di tubuhku sejak aku lahir. Maaf, kalau jawabanku tidak memuaskan
hatimu...," jawab Somanggala, membuat Panji menghela napas panjang.
"Somanggala...," panggil Kenanga tidak bisa menahan rasa penasaran di hatinya.
"Racun itu tidak mungkin ada sejak kau lahir. Jika benar demikian, kau sudah
tewas sejak belum sempat me-nikmati dunia lebih lama. Jawabanmu tidak masuk
akal, Somanggala. Kalau kau tidak ingin persoalan-mu diketahui, masih bisa
kumaklumi. Tapi jangan bohongi kami...."
Dara jelita mengucapkan kata-katanya dengan agak pedas. Jelas hatinya jengkel
mendengar jawaban Somanggala, yang menurutnya terlalu meng-ada-ada sehingga
menimbulkan kesan bohong.
"Maafkan aku, Kenanga. Bukan maksudku
membohongi kalian yang telah mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkanku. Tapi
aku memang tidak tahu. Aku hanya merasa lemas dan semakin lemas saat bertarung.
Hanya itu yang kutahu. Mengenai siapa yang meracuniku, aku tidak tahu.
Maaf, aku harus segera pergi. Sekali lagi, terima kasih ata pertolongan kalian
berdua...," jawab Somanggala dengan wajah penuh sesal.
Usai berkata demikian, pemuda gagah itu membalikkan tubuh dan bergerak
meninggalkan tempat itu.
Kenanga yang kejengkelannya belum lenyap,
bermaksud mencegah kepergian Somanggala. Tapi langkahnya terhenti saat merasakan
jemari tangan kekasihnya mencekal pergelangan tangannya.
"Mengapa, Kakang...?" tegur Kenanga dengan kerung berkerut.
Dara jelita itu merasa penasaran bercampur
heran dengari perbuatan Panji yang mencegahnya menahan Somanggala.
"Kenanga. Bukankah aku sudah menduganya sejak semula. Jadi percuma kau
memaksanya untuk bercerieta. Sebaiknya kita biarkan saja, dan mengikutinya diam-diam.
Menurutku dia akan
mencari orang yang telah meracuninya. Dengan begitu, kita tidak susah-susah
mengetahi persoalan yang dihadapinya. Aku pun ingin mengetahui
alasannya mempertaruhkan nyawa di Panggung
Kematian...," jelas Panji, melenyapkan rasa penasaran di hati kekasihnya.
Pendekar Naga Putih tersenyum melihat wajah dara jelita itu kembali cerah
seperti semula.
"Kakang...," panggil Kenanga perlahan, saat keduanya tengah melangkah
meninggalkan daerah perbukitan. Kepalanya menoleh sekejap, kemudian menatap
lurus ke depan.
"Hm...."
Panji hanya bergumam perlahan seraya menatap wajah kekasihnya yang tampak tengah
memikirkan sesuatu.
"Kalau benar Somanggala tidak ingin kita ketahui persoalannya, untuk apa kita
ikut campur" Biarkan saja dia mengurusi persoalan itu sendiri. Dengan
menyembunyikan persoalannya, bukankah sama
artinya dengan menolak bantuan yang akan kita berikan" Dari menganggap dirinya
paling hebat"
Sudahlah, Kakang. Lupakan saja pemuda sombong itu. Kita tinggalkan Desa Jati
Mulya dan melanjutkan perjalanan...," papar Kenanga menatap wajah kekasihnya
iekat-lekat. Ucapannya jelas menggambarkan kejengkelan hatinya.
Panji menarik napas panjang, dan menghembuskannya perlahan. Ucapan Kenanga membuatnya berpikir. Kalau Somanggala tidak
ingin urusannya dicampuri, untuk apa mereka bersusah payah menolongnya"
"Kenanga...," ucap Panji setelah terdiam beberapa saat memikirkan pendapat dara
jelita itu. "Bagaimana, _Kakang...?" sergah Kenanga ingin segera mendengar pendapat
kekasihnya. "Mungkin Somanggala mempunyai alasan ter-sendiri, hingga tidak ingin ada orang
lain mencampuri urusannya. Bisa saja karena dia tidak mau melihat kita celaka.
Jadi menurutku, apa pun yang tengah dihadapi Somanggala, kita harus bisa mengungkapkannya. Sebagai orang berilmu yang telah digembleng secara matang oleh
guru-guru kita, ketabahan dan kesabaran merupakan hal penting.
Jangankan menolak secara halus, walaupun dia mengusir dan memusuhi kita karena
mencampuri urusannya, kita harus tetap sabar. Anggaplah semua itu ujian bagi
kita...," jelas Panji mengingatkan Kenanga mengenai siapa mereka berdua, dan apa
tugas dan kewajiban mereka di dunia.
Mendengar jawaban Panji, Kenanga terdiam. Dara jelita itu tidak segera
menyetujui pendapat kekasihnya. Terlebih dulu, dipikirkannya kata-kata yang
merupakan sebuah nasihat bagi dirinya. Setelah beberapa saat lamanya mereka
membisu, Kenanga mengatakan pendapatnya.
"Maafkan aku, Kakang. Kata-kata Kakang tadi membuatku sadar. Kita memang harus
menahan sabar menghadapi hal-hal seperti itu. Baiklah, aku setuju membongkar rahasia
diri Somanggala dan pertarungan di Panggung Kematian yang akan terus berlangsung
meminta korban...," sahut Kenanga membuat Panji tersenyum.
Pendekar Naga Putih kemudian melingkarkan
tangannya ke bahu Kenanga. Dan keduanya berjalan sambil bergandengan tangan
menuju Desa Jati Mulya.
* * * 6 Somanggala melangkah tenang memasuki mulut
Desa Jati Mulya. Beberapa orang desa yang
kebetulan melihat kemunculannya, langsung me-nyelinap masuk ke dalam rumah, dan
cepat-cepat menutup pintu rapat-rapat. Seakan sosok pemuda tegap berwajah tampan
itu mengidap penyakit menular yang sangat berbahaya.
Kelakuan penduduk desa itu tentu saja membuat Somanggala heran. Dia merasa tidak
pernah berbuat salah atau menyakiti mereka dengan mengandalkan kepandaiannya.
Kepala pemuda itu jadi dipenuhi berbagai pertanyaan yang berdesakan di dalam
benaknya. "Aneh"! Apa sebenarnya yang sudah terjadi de-nganku" Mengapa mereka ketakutan
melihatku...?"
desis Somanggala.
Pemuda itu kian gelisah melihat jalan yang semula cukup ramai, mendadak sepi.
Langkahnya jadi ragu menyusuri jalan utama desa yang kini tampak lengang.
Somanggala mencoba mengusir semua kegundahan di hati. Tiba-tiba saja, perasaannya was-was saat teringat kedua
orangtuanya. Berbagai dugaan muncul di kepalanya. Cepat-cepat tubuhnya melesat
mengerahkan seluruh ilmu larinya ketika kece-masan semakin keras melecut
harinya. Bagai anak panah yang lepas dari busur, tubuh Somanggala meluncur membelah jalan
desa. Dan jarinya berhenti mendadak saat tiba di halaman rumahnya. Hati pemuda
itu berdebar tegang, ketika merasakan kesunyian aneh menyelimuti rumah
sederhana yang dibangun dengan cucuran darahnya.


Pendekar Naga Putih 55 Panggung Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ayah...! Ibu...!"
Sambil melesat ke dalam rumah, Somanggala
berseru memanggil kedua orangtuanya. Hatinya semakin tidak karuan melihat ruang
tengah sepi. Kecurigaannya semakin besar. Pada tengah hari menjelang sore seperti ini,
ayahnya biasa duduk di ruang tengah sambil menghisap pipa tembakau.
Tapi pemuda itu tidak mendapatkan ayahnya di tempat ini. Kenyataan itu membuat
hati Somanggala semakin kalang-kabut
Somanggala berlari ke kamar orangtuanya. Dan langsung berteriak seolah sudah
mencium petaka yang menimpa keluarganya. Dan..., ketika kaki Somanggala menjejak
kamar tidur mereka, mata pemuda itu terbelalak seperti hendak melompat ke luar!
"Ahhh..."!"
Somanggala menahan jeritan yang meluncur dari mulutnya. Kaki pemuda itu mendadak
gemetar menyaksikan pemandangan yang terpampang di depan mata. Napasnya memburu
bagai kerbau liar yang mengamuk
"Ayah..., Ibu.... Mengapa..., siapa yang melakukan perbuatan biadab ini...?"
desis Somanggala sambil melangkah dengan kaki gemetar, memasuki kamar.
Pemuda tegap berwajah tampan itu jatuh bertelekan kedua lututnya, persis di bawah tubuh kedua orangtuanya yang tewas
dengan lidah terjulur dan mata mendelik ke luar. Ayah dan ibu Somanggala tewas
seperti orang yang sengaja menggantung diri.
Somanggala tidak tahu lagi apa yang dirasakannya saat itu. Yang jelas, hatinya
sangat terpukul menyaksikan kematian orangtuanya dengan cara menyakitkan untuk
dipandang. Untuk beberapa sa-at lamanya, pemuda itu tidak mampu berkata-kata.
Dia hanya bisa menatap mayat kedua orangtuanya dengan mata basah.
Cukup lama Somanggala terdiam seperti patung batu. Setelah kesadarannya pulih,
pemuda itu berdiri dan menurunkan mayat orang tuanya, lalu merebahkannya di atas
pembaringan. Telapak tangannya disapukan ke wajah kedua orang yang sangat
dicintainya. Somanggala tidak ingin kedua orangtuanya meninggal dunia dengan
penasaran. Setelah mengangkat telapak tangannya, mata mereka dapat terpejam, sebagaimana
layaknya orang meninggal secara damai.
"Hm.... Kalau kedua orangtuaku terbunuh, pasti tetanggaku melihat siapa orang
yang datang ke rumah ini...!" desis Somanggala dengan mata liar penuh dendam.
Pemuda itu melesat ke luar, mendatangi rumah tetangga yang terpisah beberapa
belas tombak dari rumahnya.
Tapi yang ditemukan Somanggala makin membuat hatinya penasaran. Tetangga terdekatnya ternyata tidak berada di rumah.
Ketika mendapati rumah itu kosong, hampir saja dia mengamuk dan merobohkan rumah
itu. Untung segera teringat bahwa tetangganya telah pergi dua hari yang lalu.
Mereka sekeluarga menjenguk saudaranya yang tertimpa musibah di desa lain, yang
letaknya cukup jauh dari Desa Jati Mulya. Ingatan itu membuat Somanggala menunda
kemarahan yang membakar
dada. "Keparat! Buntu sudah jalanku! Entah bagaimana aku dapat menemukan orang yang
telah memaksa orangtuaku menggantung diri!" geram Somanggala sambil
menghantamkan kepalannya pada sebatang pohon besar tempat tubuhnya bersandar.
Dengan langkah gontai, Somanggala pulang ke rumahnya. Pemuda gagah itu duduk
dengan wajah murung di depan mayat orangtuanya. Pikirannya dibiarkan menerawang
ke masa silam, saat orangtua yang dicintainya masih hidup. Tanpa sadar, pikiran
itu membawa Somanggala pada saat pertama kali mengikuti pertandingan Panggung
Kematian. Ingatan itu membuatnya tersentak bangkit bagai disengat kalajengking.
"Ki Jarangka...! Yah, orang tua gendut yang tamak itu pasti tahu tentang
kematian orangtuaku!
Hm.... Aku harus minta penjelasan darinya...!"
geram Somanggala seraya mengepalkan tangannya kuat-kuat dengan gigi gemeretuk
menahan dendam.
Sesaat kemudian tubuh pemuda itu melesat ke luar, menuju tempat kediaman Ki
Jarangka yang letaknya di ujung Desa Jati Mulya.
*** "Hei, mau ke mana kau..."!"
Dua orang penjaga yang berada di gerbang depan membentak sambil melesat
menghadapi jalan. Saat itu mereka melihat sesosok bayangan bergerak cepat
memasuki pekarangan rumah besar yang kokoh dan dikelilingi tembok bata
"Eh..."! Bukankah dia si Jagoan Panggung yang tadi pagi hampir tewas di tangan
Garbanaka...?" se-ru penjaga ketika sosok tegap itu berhenti beberapa langkah di
depan keduanya.
"Hai, benar...!" seru penjaga bertubuh tinggi kurus dengan mata menjorok ke
dalam. Melihat senyum sinis yang selalu menghias
wajahnya, lelaki tinggi kurus itu mempunyai sifat tinggi hati, dan memandang
rendah orang lain. Begitu pun terhadap Somanggala. Senyum sinisnya tersungging,
menyiratkan ejekan. Lelaki itu tidak merasa gentar pada Somanggala, meskipun
pemuda itu telah banyak menewaskan lawan di panggung pertandingan.
"Aku memang Somanggala. Kedatanganku kemari mencari Ki Jarangka! Tolong beri
tahu kedatanganku padanya...," ujar Somanggala seraya menatap wajah kedua
penjaga dengan mata berapi.
"Hm.... Setelah kejadian di panggung tadi pagi, tidak kusangka kau berani
menemui Tuan Besar, apa kau tidak sadar kalau Tuan Besar menderita kerugian pada
pertarungan tadi pagi" Manusia tidak tahu malu...!" maki penjaga tinggi kurus
itu sambil menudingkan jarinya ke wajah Somanggala yang langsung memerah seperti
kepiting rebus.
"Banyak omong! Katakan di mana Tuan Besarmu sekarang" Atau !alian ingin
merasakan kerasnya kepalanku..."!" bentak Somanggala tidak lagi mengenal kata
sungkan dann gentar, meskipun harus menghadapi Ki Jarangka yang secara tidak
langsung majikannya.
"Kurang ajar! Berani kau mengancam kami!
Rupanya kau harus diajar adat agar bisa bersikap lebih sopan di tempat ini...!"
bentak lelaki tinggi kurus tidak mau kalah gertak.
Begitu ucapannya selesai, kepalan tangannya segera dilontarkan ke kepala
Somanggala. Wuttt! Somanggala hanya memiringkan kepala sedikit.
Begitu serangan lawan lewat di samping telinga, pemuda itu mengirimkan tusukan
jari-jari tangannya ke iga lawan. Tentu saja lelaki tinggi kurus itu terkejut,
dan cepat merendahkan tubuh dengan menggeser kaki kanannya. Sayang Somanggala
hanya melakukan serangan pancingan. Sebelum lawan menyadarinya, mendadak pemuda
itu menarik tangannya. Kemudian memutar tubuh disusul sebuah tebasan miring.
Desss...! "Hugkh...!"
Tubuh lelaki tinggi kurus yang banyak lagak itu tersungkur mencium tanah, ketika
telapak tangan miring Somanggala menghajar belakang lehernya.
Belum sempat lawannya bangkit, telapak kaki Somanggala telah menjejak punggung
lawan yang langsung muntah darah dan pingsan seketika.
"Huh! Kukira kepandaianmu sebesar mulutmu!
Tak tahunya hanya gentong kosong...!" desis Somanggala, kemudian berpaling pada
penjaga yang lain.
Sraaat! Sinar putih menyilaukan mata berkilau seiring dengan suara gemerincing senjata
Rupanya penjaga bertubuh sedang dan berkumis lebat telah meloloskan pedangnya,
ketika melihat rekannya dapat dirobohkan dengan mudah oleh Somanggala.
"Lebih baik kau menyingkir! Aku tidak punya urusan denganmu! Katakan kepada Ki
Jarangka, aku datang untuk membuat perhitungan dengannya...!" bentak Somanggala
seraya menatap tajam penjaga pintu gerbang itu.
Penjaga berkumis lebat itu agaknya lebih takut pada majikannya daripada
menghadapi Somanggala.
Lelaki Itu menggeser langkahnya ke samping sambil mengkelebatkan pedang.
Kemudian bersiul nyaring, sebagai isyarat kepada kawan-kawannya yang lain.
"Setan! Rupanya kau sudah bosan hidup lebih lama di dunia...!" geram Somanggala
jengkel melihat kebandelan penjaga itu.
Begitu ucapannya selesai, tubuh pemuda itu
melesat ke depan dengan tamparan yang menimbulkan deruan angin tajam.
Penjaga berkumis lebat tidak mau tinggal diam menanti serangan lawan. Pedangnya
langsung bergerak melingkar menyambut tamparan Somanggala.
"Bagus...!" puji Somanggala ketika melihat cara penjaga itu menyambut
tamparannya. Cepat tangannya ditarik pulang, disusul sebuah tendangan kilat
secara berputar!
Plakkk! Terdengar benturan cukup nyaring saat pergelangan kaki belakang Somanggala beradu dengan telapak tangan lawan. Penjaga
berkumis lebat itu masih sempat menyusuli tangkisannya dengan
tebasan pedang yang mengancam lambung Somanggala. Lagi-lagi Somanggala memuji tindakan lawan
yang cukup cekatan. Pemuda tegap itu melompat ke samping semakin mendekati
lawan. Sehingga
tebasan pedang lawan mengenai tempat kosong, dan gerakan pemuda itu membuat
lawannya gugup.
Kenyataan ini tidak disia-siakan Somanggala, yang segera menyarangkan pukulan
telak ke iga lawan!
Bukkkl "Huakkkh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh lawan langsung terjungkal ke belakang. Cepat Somanggala bergerak mengejar untuk menyusuli
serangan. Namun, pemuda itu segera menunda pukulannya saat mendengar suara
berdesingan yang datang mengancam tubuh.
Singgg, singgg...!
"Haiiit...!"
Somanggala sekilas melihat datangnya empat
batang benda berkilau. Pemuda itu langsung membentak sambil menjejak tanah kuatkuat. Saat itu juga tubuhnya melambung setinggi satu tombak lebih. Dengan sebuah
putaran manis, sepasang tangannya bergerak menangkap dua di antara benda
berkilau yang nyaris merenggut nyawanya.
"Bedebah licik...!" maki Somanggala sambil melontarkan kembali benda berkilau
yang ternyata pisau terbang.
Suttt! Suttt! Dua bilah pisau terbang yang dikembalikan Somanggala bergerak cepat, diiringi
suara bercuitan yang menyakitkan telinga. Terdengar jerit kematian ketika dua
senjata yang dikembalikan Somanggala, tepat menancap di dada dan tenggorokan dua
orang lawan yang baru tiba di tempat itu. Tanpa ampun lagi, tubuh kedua orang
malang itu ambruk dengan nyawa melayang.
Somanggala belum bisa menarik napas lega. Pada saat itu, dua sosok tubuh
berkelebat ke arahnya, disertai suara desingan yang berasal dari senjata-senjata
penyerangnya. "Yeaaah...!"
Dengan sebuah bentakan nyaring, tubuh Somanggala kembali berputar di udara. Namun ancaman kedua mata pedang lawan masih
menge- jarnya. Somanggala kembali melompat ke belakang untuk menyelamatkan diri dari
kematian. Srattt! Menyadari kedua lawan yang harus dihadapi
bukan orang-orang sembarangan, Somanggala meloloskan pedang di pinggangnya.
Kemudian memutar di depan tubuhnya dengan kekuatan tenaga dalam yang
menggetarkan! Whuttt.... Whuttt...!
Kilauan sinar putih berpendar diiringi suara mengaung tajam, pertanda kekuatan
yang dikerah-kan Somanggala tidak bisa dipandang remeh.
"Hm.... Majulah kalian. Anjing-anjing Jarangka...! Aku akan mengirim kalian ke
neraka, untuk menebus nyawa kedua orangtuaku yang telah kalian bunuh...!" desis
Somanggala dengan wajah gelap dan sepasang mata mencorong tajam.
"Keparat! Setelah menjadi pecundang di tangan Garbanaka, rupanya otakmu jadi
miring, Somanggala! Kalau begitu, biarlah kami yang akan menyelesaikan pekerjaan
Garbanaka pagi tadi..," sahut seorang dari dua lawan Somanggala.
"Haaat...!"
Tanpa memberi kesempatan kepada Somanggala
untuk mempersiapkan jurus-jurusnya, kedua orang itu menerjang maju dengan
serangan-serangan hebat dan menimbulkan deruan angin tajam.
"Hm...!"
Somanggala menggeram melihat kehebatan serangan kedua orang lawannya. Pedang di
tangannya bergerak ke kiri kanan dengan menyilang. Begitu serangan seorang
lawannya datang, pemuda bertubuh tegap itu mendoyongkan kaki kanannya
dengan kuda-kuda serong.
Syuuut...! Ujung pedang lawan meluncur deras lewat di sisi tubuh Somanggala. Saat itu juga,
Somanggala mengirimkan sebuah tendangan kilat dengan ujung sepatunya, mengarah
ulu hati lawan. Gerakan pemuda itu amat cepat dan kuat, membuat lawan agak
gugup. "Setan...!"
Lelaki bertubuh kekar yang sebelah matanya
cacat, mengumpat jengkel sambil menarik mundur tubuhnya. Sayangnya tendangan
Somanggala hanya sebuah pancingan, untuk melihat apa yang dilakukan lawan. Maka
begitu melihat lawannya bergerak mundur, Somanggala menarik lututnya dan
menjejakkan kakinya ke depan sambil mengibaskan pedangnya dengan gerakan
mendatar. Trahggg! Untunglah lawannya yang seorang lagi keburu datang menyelamatkan kawannya,
dengan cara memapak pedang Somanggala. Kalau tidak, mungkin mata pedang pemuda tegap itu
telah merobek perut lawan. Meskipun demikian, karena tenaga serangan yang
digunakan Somanggala sangat kuat, maka lawan yang membenturkan pedangnya pun
terhuyung ke belakang sejauh satu tombak. Sedang Somanggala terjajar dua langkah
ke belakang. Kenyataan Itu membuktikan kalau tenaga dalam Somanggala masih
berada di atas lawan-lawannya.
"Hmhhh...!"
Somanggala menggeram dengan wajah gusar.
Pedang kembali berputar menimbulkan gulungan sinar putih yang mengaung-ngaung
menulikan telinga.
"Haaat...!"
Dengan sebuah teriakan menggeledek, tubuh
Somanggala melesat ke depan laksana sambaran kilat. Pedang di tangannya masih
berputaran tanpa terlihat bentuk aslinya. Serangan yang dilancarkan Somanggala
sangat hebat dan mengejutkan hati lawan-lawannya.
Namun kedua orang itu rupanya memiliki sebuah ilmu pedang gabungan. Dapat
diketahui dari cara mereka bergerak, satu di depan dengan kedudukan rendah, dan
yang lain berdiri tegak dengan mata pedang menuding langit. Kemudian mereka
bergerak susul-menyusul menyambut datangnya serangan Somanggala.
"Yeaaat..!"
Sebentar saja ketiga lelaki itu terlibat dalam pertarungan yang sengit dan
mendebarkan! Terka-dang teriakan-teriakan mereka diselingi suara ber-dentingan
dan pijaran bunga api yang menyilaukan mata. Sehingga, di arena pertarungan
kelihatan seperti sedang terjadi pesta kembang api
Somanggala sangat terkejut dan harus mengakui kehebatan ilmu pedang lawan.
Berkali-kali pemuda tegap itu mencoba menerobos pertahanan lawan dengan
serangan-serangan gencar. Tapi setiap kali itu pula pedangnya terpental balik,
seperti menghantam dinding baja yang kokoh dan kenyal.
Kenyataan itu membuat hati Somanggala semakin penasaran.
Dan kedua lawannya benar-benar tidak ingin
memberi kesempatan Somanggala untuk berpikir.
Setiap kali pemuda tegap itu mengendurkan serangan, maka akan dihujani serangan
gencar oleh pengeroyoknya. Sehingga Somanggala harus benar-benar sigap
menghadapi serangan-serangan lawan.
"Haiiit...!"
"Yeaaah...!"
Ketika pertarungan memasuki jurus keempat
puluh tiga, mendadak kedua lawannya memekik susul-menyusul. Lalu, tubuh mereka
mencelat ke depan. Satu menyerang dari atas, sedang yang satunya menyerang
dengan cara bergulingan di tanah. Benar-benar sebuah serangan hebat dan sangat
berbahaya! Dengan sekuat tenaga, Somanggala berusaha keras menghalau serangan lawan.


Pendekar Naga Putih 55 Panggung Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pedangnya diputar sedemikian rupa membentuk gulungan sinar yang menyelimuti
sekujur tubuhnya. Tapi meskipun begitu, Somanggala tetap tak mampu melindungi
diri dari sengatan ujung pedang lawan.
Whuuut... crasss... brettt...! "Aaakh...!"
Somanggala memekik kesakitan saat pangkal
lengan serta pahanya tersayat pedang lawan. Tubuh pemuda tegap itu terhuyung
mundur. Darah segar langsung keluar dari lukanya.
"Haaat...!"
Kedua lawannya kembali menerjang ganas.
Agaknya mereka ingin melenyapkan pemuda itu secepat mungkin. Maka meluncurlah
kedua mata pedang yang membawa hawa maut, mengancam
tubuh Somanggala!
* * * 71 Menyadari dirinya terancam bahaya maut, Somanggala mengerahkan seluruh sisa kekuatannya untuk menyelamatkan diri. Pedang
di tangannya kembali mengaung dengan gerak melingkar-lingkar.
Dan... Tranggg! Tranggg!
"Uhhh...!"
Meskipun dua kali Somanggala berhasil mematahkan serangan pengeroyoknya, namun karena keadaannya lemah, benturan itu
membuat tubuhnya terjajar limbung. Kedua lawannya yang terjajar mundur beberapa
langkah, tidak menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Secepat kilat keduanya
melesat seiring dengan babatan senjata mereka.
"Aaah...!"
Somanggala terpekik ngeri melihat dua batang pedang meluncur mengancam leher dan
perutnya. Lengannya yang masih terasa ngilu akibat benturan tadi, membuat gerakan
pedangnya bertambah lemah dan lamban. Kendati demikian Somanggala berusaha
menyelamatkan nyawanya dari incaran pedang lawan-lawannya.
Brettt! Crattt!
"Aaa...!"
Untuk kesekian kalinya Somanggala menjerit
kesakitan. Tubuh tegap itu terjajar limbung. Darah kembali mengalir dari luka
memanjang di dada dan perutnya. Rupanya pemuda itu masih sempat
menghindar dari ancaman yang mematikan, meskipun harus mendapat tambahan luka di
tubuhnya. "Hm...! Keparat ini ternyata benar-benar alot...!"
geram lelaki bermata cacat.
"Tapi kali ini tidak akan bisa menghindar lagi, Kakang Duwarsa...," sahut
pengeroyok yang lain.
Orang itu sama tinggi dan kekarnya dengan
Duwarsa. Wajahnya pun terhias brewok lebat.
Hanya kedua matanya masih sempurna, tidak
seperti Duwarsa yang picak sebelah kanan,
Somanggala berusaha berdiri tegak, dan menatap kedua pengeroyoknya dengan penuh
kebencian. Meskipun keadaannya sangat lemah, dan berdiri pun tidak kokoh, tapi Somanggala
tetap ingin melakukan perlawanan sampai titik darah terakhir.
Saat itu kedua lawannya kembali menerjang
maju. Somanggala hanya berdiri menunggu dengan pedang di tangan. Pemuda itu
rupanya bertekad mengadu nyawa! Dan sebisa mungkin membawa
salah satu lawannya, walaupun untuk itu dia harus tewas. Maka pada saat serangan
lawan semakin dekat, Somanggala mengangkat pedangnya untuk
menerjang, bukan menyambut tebasan pedang lawan.
Kedua pengeroyok itu agaknya dapat membaca
pikiran Somanggala. Kelihatan keduanya semakin mempercepat gerakan. Perbuatan
itu membuat harapan Somanggala untuk mengadu nyawa dengan lawan, tidak mungkin terwujud.
Sebab lawan merubah permainan yang kecepatannya tidak bisa diikuti mata Somanggala yang
mulai kabur. Akibatnya....
"Yeaaah...!"
"Heaaah...!"
Seiring dengan bentakan-bentakan parau, kedua bilah pedang lawan meluncur
datang. Kali ini Somanggala tidak mungkin dapat menghindar dari kematian!
Whuttt! Bettt! Saat kedua batang pedang siap merenggut nyawanya, tiba-tiba berkelebat sesosok
bayangan putih memapaki luncuran pedang. Sehingga....
Plak! Plak! "Akh...!"
"Ughhh...!"
Akibatnya benar-benar mengejutkan! Tubuh Duwarsa dan kawannya terpental balik
bagai tersapu badai hebat. Keduanya jatuh berguling-guling sejauh dua tombak
lebih. Dan pedang mereka terpental entah ke mana.
"Bedebah...!" maki Duwarsa segera bergerak bangkit dengan wajah menyeringai.
Lelaki bermata picak itu memijit-mijit lengan kanannya yang sakit bukan main.
"Setan alas...!" umpat yang seorang lagi, juga mengalami hal yang serupa dengan
Duwarsa. Sosok bayangan putih yang menyelamatkan
Somanggala, tidak mempedulikan kedua orang itu.
Dan membalikkan tubuhnya menghampiri Somanggala. Kemudian memberikan sebutir pil
berwarna putih salju.
"Kau..."!" desis Somanggala setelah mengenal penolongnya. "Mengapa kau
menolongku lagi...?"
"Sudah menjadi kewajiban kita untuk saling tolong-menolong, Somanggala. Apalagi
kau sedang dalam kesulitan. Jadi tidak ada salahnya aku menolongmu...," sahut
sosok berjubah putih yang tidak lain Panji, seraya memberikan obat luka dalam
kepada Somanggala.
"Benar yang dikatakan Kakang Panji, Somanggala. Meskipun kau tidak menyukai
campur tangan kami, tapi sebagai orang gagah, kami berkewajiban menolong orang
yang teraniaya."
Tiba-tiba terdengar suara lain, membuat Somanggala menoleh mencarinya.
"Kenanga..."!" seru Somanggala ketika melihat sosok dara jelita berpakaian serba
hijau tengah melangkah menghampiri mereka.
"Dirimu dikelilingi banyak rahasia yang membuat kami penasaran, Somanggala. Itu
sebabnya mengapa kami mengikutimu. Menurut kami, kau membu-tuhkan
pertolongan...," timpal Panji, dengan senyum penuh persahabatan.
"Kalian tidak marah ketika aku menolak menceritakan persoalan yang tengah
kuhadapi...?" tanya Somanggala seolah tak percaya dalam dunia yang menurutnya
sangat keras dan kejam, ternyata masih ada orang yang peduli dengan nasibnya.
Sepanjang pengetahuannya, setiap pertolongan mempunyai pamrih tersembunyi. Tapi
melihat kejujuran pasangan pendekar muda itu, Somanggala yakin pertolongan yang
diberikan kepadanya sangat tulus, tanpa maksud-maksud lain di belakangnya.
Panji dan Kenanga menggeleng perlahan dengan bibir tersenyum. Sehingga hati
pemuda tegap yang hidupnya selalu bergelimang kekerasan itu terharu.
Tanpa banyak bicara lagi, diambilnya pil berwarna putih salju yang diulurkan
Panji. Somanggala tahu obat pemuda tampan berjubah putih itu sangat manjur untuk
menyembuhkan luka dalam yang
dideritanya. Tanpa ragu-ragu lagi, obat itu langsung ditelannya.
"Hm..,. Hendak pergi ke mana kalian, Pengacau-pengacau Tengik"!" bentak Duwarsa
segera memerintahkan kawan-kawannya untuk mengepung.
Panji yang memapah tubuh Somanggala, dan
Kenanga yang berjalan di belakang mereka, berhenti. Pemuda tampan berjubah putih
itu menatap Duwarsa yang diduga pimpinan tukang pukul Ki Jarangka.
"Kalau kau ingin menolongku, bawalah aku menemui Ki Jarangka, pemilik rumah
besar ini. Mereka telah membunuh kedua orangtuaku secara biadab,"
bisik Somanggala kepada Panji, saat teringat maksud kedatangannya ke tempat itu.
"Kau yakin kaiau Ki Jarangka yang telah membunuh kedua orangtuamu...?" tegas
Panji, Pendekar Naga Putih tidak terkejut mendengar kematian orangtua
Somanggala. Sejak semula dia sudah menduga kalau pemuda tegap berwajah tampan
itu tengah menghadapi kesulitan besar.
"Aku yakin, Panji. Karena sejak aku terjun dalam pertarungan di Panggung
Kematian, tidak ada pilihan lain bagiku. Sudah telanjur kata Ki Jarangka.
Aku harus terus bertarung jika tidak ingin melihat kedua orangtuaku celaka,"
jelas Somanggala membuka persoalan yang selama ini disimpannya.
"Lalu kau menyerah diperas Ki Jarangka,..?"
tanya Panji belum bisa menerima penjelasan Somanggala.
Pendekar Naga Putih melihat pemuda itu memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi. Sehingga sulit dipercaya kalau orang
seperti Somanggala takut pada ancaman.
"Tidak ada pilihan lain, Panji. Ki Jarangka mempunyai jagoan-jagoan tangguh.
Selain itu aku tidak ingin membuat kedua orangtuaku yang sepanjang hidupnya
miskin, bertambah susah. Aku melihat sebuah harapan lain dengan cara
mempertaruhkan nyawa di atas panggung. Dari sana aku bisa
mendapatkan banyak uang untuk membahagiakan kedua orangtuaku. Itu sebabnya,
mengapa aku mengikuti pertandingan-pertandingan yang dise-lenggarakan Ki
Jarangka...," jelas Somanggala dengan panjang lebar. Sehingga, Panji mulai memahami persoalan yang sedang dihadapinya.
"Hm.... Tapi meskipun demikian, kita tidak bisa melemparkan tuduhan kepada Ki
Jarangka. Harus diselidiki dulu kebenarannya. Apa kau mempunyai saksi yang
melihat kejadian itu...?" tanya Panji dengan hati-hati.
"Aku yakin orang-orang Ki Jarangka yang melakukannya. Karena pertandingan pagi
tadi telah membuatnya menderita kerugian yang tidak sedikit.
Dan orang-orang tidak akan percaya lagi, bila Ki Jarangka melaksanakan
pertandingan lain di panggung. Dia menimpakan kesalahan itu kepadaku. Itu
sebabnya kedua orangtuaku dibunuh, sebagai tanda ancamannya dahulu tidak mainmain...," jawab Somanggala, membuat Panji mengangguk-anggukkan kepala.
"Baiklah, kalau begitu. Aku akan membawamu menemui Ki Jarangka," sahut Panji
pasti. "Tapi.... Aku harap kau berhati-hati. Panji. Manusia tamak itu sangat licik dan
penuh tipu muslihat.
Belum lagi dua tukang pukul lainnya yang lebih lihai dari kedua lawanku
tadi...," ujar Somanggala.
Pemuda itu agaknya belum yakin akan kepandaian Panji maupun Kenanga. Kecuali ilmu pengo-batannya yang telah dirasakan
sangat manjur. Kalau soal kepandaian, Somanggala masih meragu-kannya. Apalagi usia Panji jauh
lebih muda darinya.
Panji hanya mengangguk perlahan seraya tersenyum. Pendekar Naga Putih menyadari kekhawatiran Somanggala. Karena meskipun
telah dua kali menolongnya, tapi Somanggala tidak melihat secara jelas. Panji
maklum akan perasaan pemuda itu.
Tanpa banyak cakap lagi, Pendekar Naga Putih membalikkan tubuhnya dan bergerak
memasuki bangunan induk setelah memberi isyarat pada Kenanga. Dara jelita itu segera
mengikuti tanpa banyak tanya lagi. Sebab Kenanga sempat mendengar pembicaraan
Panji dan Somanggala.
"Hei..."!"
Duwarsa yang melihat ketiga orang itu berbalik dan memasuki bangunan, menjadi
terkejut. Sambil berteriak, lelaki kekar bermata picak itu mengejar.
Diambilnya sebatang pedang dari seorang kawannya, kemudian melompat menghadang
jalan masuk ketiga tamu tak diundang itu.
*** Panji menghentikan langkahnya melihat Duwarsa dan kawan-kawannya bergerak
mengepung. Sehingga ketiga orang gagah itu berada dalam lingkaran kepungan
belasan orang lawan.
"Hm.... Katakan kepada majikanmu kami datang hendak menemuinya...!" perintah
Panji kepada lelaki kekar bermata picak itu seraya menentang pandang Duwarsa
yang melotot marah.
"Tidak bisa! Majikan kami tidak berada di tempat!
Lagi pula kau telah bertindak lancang mencampuri urusan ini, Bocah! Untuk itu
kau patut diberi ha-jaran seperti Somanggala!" sahut Duwarsa dengan wajah
berang. Setelah berkata demikian, Duwarsa bergerak
maju dari depan, diiringi empat tukang pukul lainnya. Kemudian, pedangnya
disilangkan di depan dada, dengan sikap jumawa.
"Julantara, jangan biarkan mereka lolos...!" lanjut Duwarsa kepada lelaki brewok
kekar yang lain.
Lelaki kekar berwajah brewok yang dipanggil Julantara, bergerak dari belakang
bersama empat orang di kanan kirinya. Sedang yang lain bergerak dari samping
kiri dan kanan Panji. Para pengeroyok itu bergerak serentak, siap melumatkan
tubuh ketiga pendekar itu.
"Hm...."
Panji bergumam perlahan melihat pengepungnya mulai bergerak. Pemuda itu menoleh
ke arah Somanggala yang masih dipapahnya.
"Kau sudah dapat memulihkan tenagamu, Somanggala?" tanya Panji perlahan.
"Jangan khawatir. Panji. Kalau hanya menghadapi cecunguk-cecunguk itu selain
Duwarsa dan Julantara, aku masih sanggup...," sahut Somanggala dan melepaskan
lengannya dari bahu Panji.
Kemudian pemuda tegap itu menarik napas
panjang-panjang. Seolah dengan berbuat demikian, Somanggala berharap dapat
mengembalikan kekuatannya.
Panji tersenyum melihat semangat Somanggala yang besar. Pemuda tampan itu
menoleh ke arah Kenanga dan menganggukkan kepala sebagai tanda mengizinkan
kekasihnya untuk bertindak. Kenanga tersenyum melihat anggukan kepala
kekasihnya. Langsung saja dara jelita itu membalikkan tubuh menghadapi pengeroyok yang
berada di kirinya.
"Serbuuu...!"
Duwarsa yang kelihatan tidak sabar lagi, segera memberikan perintah. Tubuhnya
segera melompat menerjang Panji yang dianggap telah mengacaukan pekerjaannya
yang hampir tuntas barusan. Kemarahan dan kebenciannya ditumpahkan melalui
serangan-serangan pedang yang ganas dan berbahaya.
Empat tukang pukul di kiri dan kanan Duwarsa pun tidak tinggal diam. Mereka ikut
menyertai lelaki kekar bermata picak itu untuk mencincang tubuh Panji.
Dan Pendekar Naga Putih tetap berdiri tegak, menanti datangnya serangan lima
orang pengeroyoknya. Gerakan lawan baginya terlalu lamban.
Hingga pemuda itu tidak perlu segera menghindarkan diri. Tubuhnya baru mengelak
saat pedang di tangan Duwarsa tinggal setengah jengkal dari sasaran. Whuttt..!
Tusukan pedang Duwarsa luput dari sasaran.
Panji melompat ke samping kanan, menghindari dua batang pedang yang mengancam
tubuhnya. Sepasang tangannya dikembangkan untuk memapaki
sambaran dua batang pedang lain yang menyambut tubuhnya.
Plak! Plak! Tanpa ampun lagi, kedua tukang pukul itu langsung terjengkang akibat kuatnya
tangkisan Pendekar Naga Putih. Dan sebelum mereka sempat mempersiapkan serangan
selanjutnya. Panji sudah mengirimkan dua buah tamparan ke pelipis lawan.
Tamparan yang dimaksudkan untuk memberi
pelajaran kepada lawan-lawannya, membuat tubuh kedua tukang pukul itu terbanting
pingsan! "Heaaah...!"
Marah dan terkejut bukan main Duwarsa menyaksikan kejadian itu. Sambil membentak marah tubuhnya melesat ke depan,
disertai tebasan pedang mengarah ke batang leher Panji. Namun pemuda itu dapat
menangkap gerakan Duwarsa, dan segera menggeser tubuhnya sambil memutar leher.
Bettt! Sambaran pedang Duwarsa lewat setengah
jengkal di atas kepala Pendekar Naga Putih. Tentu saja lelaki bermata picak itu
menjadi geram. Cepat senjatanya diputar kembali, meluncur mengancam leher Panji
untuk kedua kali.
"Bagus...!" seru Panji memuji kesigapan gerak lawan.
Sambil berkata demikian, Pendekar Naga Putih memutar tubuh. dan memapaki
serangan lawan dengan tepisan telapak tangan. Dan sekaligus me-nyertainya dengan bacokan sisi


Pendekar Naga Putih 55 Panggung Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telapak tangan miring
Plak! Desss...!
"Akhhh...!"
Bagaikan terkena hantaman palu, Duwarsa terpental akibat bacokan telapak tangan
Pendekar Naga Putih yang telak menghajar iga kanannya.
Belum lagi Duwarsa sadar apa yang menimpa dirinya, Panji sudah mengirimkan
sebuah tendangan kilat ke dada lelaki kekar itu.
Bukkk! "Huakhhh...!
Darah segar termuntah keluar seiring dengan terbantingnya tubuh Duwarsa ke
tanah. Tendangan yang keras itu, membuat Duwarsa tidak ingat lagi keadaan di
sekelilingnya. Karena pingsan saat itu juga.
Melihat pimpinannya menggeletak pingsan, pengeroyok yang lain bergerak mundur
dengan hati gentar. Kesempatan itu digunakan Panji untuk mengajak Somanggala dan
Kenanga menerobos
masuk ke dalam bangunan. Baik Somanggala maupun Kenanga berhasil membuat gentar
lawan- lawannya dengan merobohkan banyak kawan mereka. Bahkan Kenanga dapat menewaskan Julantara dengan sebatang pedang yang
direbut dari seorang pengeroyok. Sehingga mereka dapat leluasa menerobos masuk
ke dalam bangunan.
Somanggala yang berada di depan, membawa
Panji dan Kenanga menggeledah setiap tempat untuk mencari Ki Jarangka.
Sebenarnya Somanggala sudah curiga ketika tidak melihat Ki Jarangka muncul saat
keributan terjadi. Bahkan kedua orang jagoan lain tidak kelihatan. Maka ketika
tidak dapat menemukan Ki Jarangka di dalam bangunan,
Somanggafa tidak kaget. Ketidakberadaan Ki Jarangka membuat Somanggala semakin
bertambah yakin kalau kedua orangtuanya dibunuh Ki Jarangka dan begundalbegundalnya. Jengkel karena tidak menemukan orang yang
dicarinya, Somanggala menarik seorang pelayan yang gemetar ketakutan di sudut
ruang belakang.
"Katakan, di mana majikanmu" Kalau kau berbohong, kuparahkan batang lehermu...!"
ancam Somanggala sambil mencengkeram leher pelayan itu dengan jari-jari
tangannya yang kokoh bagai jepitan besi.
"Tuan Besar..., sedang pergi. Aku tidak tahu ke mana...," jawab pelayan itu
pucat ketakutan, bahkan sampai terkencing-kencing.
"Keparat! Rupanya kau ingin mampus...!" geram Somanggala tidak mempercayai
jawaban pelayan itu. Jari-jari tangannya siap meremas hancur tulang leher
pelayan malang itu.
'Tahan, Somanggala...!" seru Panji mencekal pergelangan tangan Somanggala dengan
mengerahkan tenaga dalam.
Akibatnya cekalan jari-jari tangan lelaki tegap berwajah tampan itu kendor.
Urat-urat lengannya terasa lumpuh akibat cekalan tangan Panji.
"Pelayan itu tidak berbohong. Sebaiknya kita selidiki ke mana perginya Ki
Jarangka...," lanjut Panji mengajak Somanggala dan Kenanga meninggalkan tempat
itu. Tanpa banyak cakap lagi keduanya mengikuti langkah Panji.
* * * 8 Panji, Somanggala, dan Kenanga segera meninggalkan tempat kediaman Ki Jarangka. Tak seorang pun dari tukang pukul di
rumah besar itu berani menghalangi kepergian mereka. Rupanya para pengawal Ki
Jarangka itu merasa gentar dan tidak ingin mencari penyakit
Saat ketiganya hendak menyeberangi sungai,
tiba-tiba Somanggala menghentikan langkah. Membuat Kenanga maupun Panji merasa
heran, dan menghentikan larinya.
"Ada apa, Somanggala...?" tanya Panji melihat Somanggala seperti memikirkan
sesuatu. "Aku baru ingat sekarang...!" seru pemuda tegap itu seperti baru terbangun dari
mimpi. "Apa yang kau ingat...?" tanya Panji lagi.
"Sehari sebelum pertandingan di atas panggung, aku menyelamatkan seorang gadis
dari ancaman dua lelaki kasar. Kemudian aku mengantarkannya pulang, dan disuguhi
teh dingin yang rasanya aneh tapi baunya menyegarkan," gumam pemuda itu, seolah
berkata pada diri sendiri.
"Hm.... Mungkin teh itu yang menyebabkan tenagamu lenyap perlahan-lahan, karena
telah dicampuri racun pelumpuh...," sergah Panji mencoba menduga ke mana arah
pembicaraan Somanggala.
"Kurang ajar! Pantas gadis itu berusaha mencegah ketika aku ingin menghabisi
nyawa kedua orang kasar itu. Kemungkinan besar mereka kaki tangan Garbanaka yang
sengaja memasang perangkap untukku. Sebab betapapun lihai Garbanaka, dalam
keadaan biasa aku sanggup menundukkannya. Keparat itu berbuat curang untuk
memperoleh kemenangan!" geram Somanggala, kemudian melesat menyusuri tepian
sungai. "Somanggala! Mau ke mana kau...?" seru Panji sambil bergerak mengejar pemuda
itu. Kenanga tidak mau ketinggalan. Dara jelita itu mengerahkan ilmu lari cepatnya
mengejar Panji dan Somanggala. Sebentar saja dia telah dapat mem-perpendek jarak
dan berlari di belakang kedua lelaki itu.
"Rumah gadis yang kutolong itu tidak jauh dari sini...!" jawab Somanggala tanpa
menghentikan larinya. Seruan itu merupakan jawaban pertanyaan Panji.
Pada saat hampir tiba di tempat tujuan, mendadak Somanggala menghentikan
larinya, dan me-runduk bersembunyi di semak-semak. Panji dan Kenanga yang
pendengarannya jauh lebih tajam, lebih dahulu mendengar tangisan yang membuat
Somanggala bersembunyi.
"Itu suara tangisan Seruni, gadis yang pernah kutolong...," bisik Somanggala
dengan wajah heran.
Di antara isak tangis itu terdengar bentakan dan makian kasar. Membuat ketiganya
saling berpan-dangan.
"Suara yang besar dan berat itu mungkin milik Garbanaka...," ujar Panji yang
pendengarannya lebih tajam dari Kenanga dan Somanggala. "Sepertinya dia sedang
menyiksa gadis yang bernama Seruni itu...?"
Tanpa menunggu persetujuan Somanggala,
Pendekar Naga Putih segera berkelebat ke tempat asal suara.
"Lepaskan aku...! Bukankah kau sudah berjanji tidak akan menggangguku lagi, bila
aku melaksanakan perintahmu meracuni Somanggala...!"
Setelah mendengar ucapan gadis yang membuka rencana jahat itu. Panji langsung
melayang ke tempat sosok Garbanaka berdiri tegak dengan tangan di pinggang. Di
dekat kaki lelaki kekar itu, tampak seorang gadis cantik bersimpuh dengan wajah
berurai air mata.
"Seruni...!"
Somanggala yang jatuh hati kepada dara cantik yang pernah ditolongnya, langsung
berseru memanggil. Kebenciannya lenyap saat mendengar pengakuan gadis itu. Dan
rasa cintanya bangkit kembali.
Garbanaka yang sebelum mendengar seruan
Somanggala telah menangkap desiran angin yang meluncur ke arahnya, langsung
menoleh dan mengirimkan pukulan jarak jauh. Samar-samar dia menangkap sosok
bayangan putih meluncur ke
arahnya. Pendekar Naga Putih tidak tinggal diam. Pukulan jarak jauh Garbanaka disambutnya
dengan kibasan lengan yang mengandung 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. Akibatnya,
dapat dibayangkan!
Bresssh...! "Aaakh-!"
Seiring dengan benturan itu, tubuh Garbanaka terlempar muntah darah! Kemudian
terbanting di tanah dengan dada sesak.
"Bangsat! Setan mana yang berani mati melukai muridku...!"
Tiba-tiba terdengar bentakan parau disusul berkelebatnya sosok seorang kakek
yang semula berada di kanan Garbanaka. Rupanya orang tua itu guru Garbanaka.
Merasakan adanya sambaran angin yang sangat kuat, Panji tidak ingin bertindak
ceroboh. Pemuda itu mendorong sepasang telapak tangannya menyambut serangan
lawan. Pada saat itu kedua kakinya belum menyentuh tanah.
Blarrr...! Terdengar benturan yang sangat hebat, membuat udara di sekitar tempat itu
bergetar. Tubuh Panji terdorong ke belakang. Hal itu dikarenakan kedu-dukannya
memang sangat lemah. Sedangkan kakek kurus itu berjumpalitan, kemudian meluncur
turun ke tanah dengan kuda-kuda goyah. Jelas, kakek itu pun terpengaruh benturan
tadi. "Ki Gending Sendapa..."!" seru Somanggala yang rupanya mengenali orang tua kurus
itu. Wajah pemuda tegap itu kelihatan cemas dan
agak pucat Jelas, hatinya gentar melihat orang tua sakti itu.
"Hm.... Rupanya gurumu takut menghadapiku, Somanggala. Sehingga menyuruhmu
mengundang Pendekar Naga Putih dalam persoalan ini...," sahut Ki Gending Sendapa.
Nada suara lelaki kurus itu demikian menghina Somanggala. Hebatnya dia dapat
menebak dengan pasti, siapa pemuda berjubah putih di hadapannya.
"Pendekar Naga Putih..."!" desis Somanggala dengan mata membelalak lebar.
Pemuda itu merasa dirinya benar-benar bodoh, tidak mengenali Pendekar Naga
Putih. Padahal bela-kangan ini dirinya cukup dekat dengan pemuda itu.
"Begitulah orang-orang rimba persilatan memberi julukan kepadaku,
Somanggala...," ujar Panji, mem-perjelas ucapan Ki Gendirg Sendapa.
Somanggala tidak tahu lagi apa yang dirasakannya saat itu. Malu, gembira, dan
entah apa lagi"
Somanggala sendiri tidak bisa mengartikannya satu persatu. Yang jelas, hatinya
gembira dapat bertemu bahkan mengenal Pendekar Naga Putih. Gurunya sering
menceritakan kegagahan dan kemuliaan pendekar muda itu.
"Ke mana gurumu, Bocah" Apa sudah tidak mampu bertarung lagi...?" ejek Ki
Gending Sendapa kepada Somanggala.
"Hm.... Guruku tidak sepertimu, Ki Gending Sendapa. Beliau tidak ingin
mencampuri urusan dunia karena merasa sudah tua. Sekarang beliau bertapa dan
menyepi di tempat kediamannya. Tidak sepertimu yang masih mengumbar nafsu, tidak
menyadari usia yang sudah terlalu tua dan bau tanah...," balas Somanggala, tidak
lagi merasa gentar pada Ki Gending Sendapa. Karena di pihak-nya ada Pendekar
Naga Putih yarg diyakini akan mampu menundukkan tokoh tua yang sakti itu.
"Bocah kurang ajar! Kau harus diberi pelajaran agar tidak kurang ajar kepada
orang tua...!"
Marah bukan main Ki Gending Sendapa, mendengar makian Somanggala. Secepat kilat tubuhnya melayang dengan tamparan maut
yang menerbitkan angin bercicitan.
Panji tentu saja tidak ingin Somanggala celaka.
Cepat tubuhnya melesat menyambut tamparan Ki Gending Sendapa. Sadar kalau orang
tua itu bukan tokoh sembarangan. Pendekar Naga Putih langsung menggunakan
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya yang terkenal ampuh dan mukjizat.
"Setan...!"
Ki Gending Sendapa mengumpat jengkel. Seraya menarik pulang tamparannya dan
ganti menerjang Panji dengan serangan-serangan maut. Sebentar saja kedua tokoh
itu terlibat dalam pertarungan sengit.
*** Melihat Pendekar Naga Putih bertarung dengan Ki Gending Sendapa, Somanggala
bergegas mendekati Seruni yang tengah menatapnya dengan penuh
penyesalan. "Berhenti...!"
Langkah Somanggala tertahan mendengar bentakan itu. Cepat kepalanya berpaling ke
arah dua lelaki kasar yang melompat menghadang jalannya.
Somanggala mengenali kedua lelaki itu sebagai orang yang pernah menjebaknya
bersama Seruni.
Maka tanpa banyak cakap lagi, Somanggala menghadapi kedua orang itu dengan sinar
mata penuh dendam.
"Somanggala, tahan...!" terdengar seruan merdu disusul berkelebatnya sesosok
bayangan hijau.
"Kenanga.... Mengapa kau mencegahku...?" tegur Somanggala tak mengerti akan
tindakan gadis jelita itu.
"Kau selamatkan Seruni. Biar aku yang menghadapi kedua cecunguk itu...," ujar
Kenanga seraya melangkah ke arah kedua lelaki kasar itu.
"Baiklah,, Kenanga. Terima kasih...," sahut Somanggala, gembira mendengar usul
dara jelita itu.
Tapi baru saja kakinya melangkah dan menarik bangkit tubuh Seruni, terdengar
bentakan parau yang mengejutkan.
"Jangan sentuh gadis itu, Somanggala! Seruni milikku...!" bentakan itu datangnya
dari Garbanaka yang rupanya telah dapat memulihkan tenaganya.
Lelaki kekar berwajah brewok itu berdiri tegak menatap Somanggala dengan mata
mencorong tajam.
Melihat Garbanaka berdiri dengan sikap menantang, Somanggala segera menyuruh Seruni menyingkir. Kemudian kakinya
melangkah maju beberapa tindak menghadapi Garbanaka.
"Hm.... Bagus, Garbanaka. Sekarang mari kita lanjutkan pertarungan di atas
panggung yang tertunda dulu...," tantang Somanggala tanpa rasa gentar sedikit
pun. Karena kali ini merasa yakin dapat menundukkan lawan.
"Hm...."
Garbanaka tidak menjawab. Lelaki kekar itu
menggeram sambil melolos pedang, siap bertarung mati-matian.
"Sambut seranganku, Somanggala...!" teriak Garbanaka seraya melesat maju
disertai putaran pedang yang mendatangkan angin menderu-deru.
Somanggala yang telah siap dengan senjata terhunus, langsung memapaki serangan
lawan. Pedangnya berkelebatan cepat membawa gumpalan sinar putih bergulunggulung laksana angin topan.
Sebentar saja keduanya terlibat dalam perkelahian sengit.
"Heaaah...!"
Garbanaka kelihatan sangat bernafsu untuk
dapat segera merobohkan lawan. Serangan pedangnya sangat ganas dan selalu mengarah pada bagian-bagian yang mematikan di
tubuh lawan. Meskipun demikian, Somanggala selalu dapat me-matahkan serangan lawan. Bahkan
mampu mem- balas dengan tidak kalah ganasnya.
"Yiaaat...!"
Breeet...! "Akh!"
Pada jurus keempat puluh, Somanggala berhasil menggoreskan ujung pedangnya ke
pangkal lengan kiri lawan. Meskipun luka itu tidak terlalu parah, namun cukup
membuat gerakan Garbanaka terganggu. Sehingga mulai dapat didesak dengan
serangan-serangan cepat Somanggala.
Di arena lain, Panji sedang berusaha mendesak lawan, Pendekar Naga Putih telah
mengeluarkan 'Ilmu Silat Naga Sakti'nya. Karena Ki Gending Sendapa bukan lawan yang ringan
bagi pemuda itu.
"Haiiit..!"
Ketika, pertarungan menginjak jurus kesembilan puluh dua, tiba-tiba Panji
berseru nyaring sambil melancarkan serangkaian serangan yang cepat bagai
sambaran kilat di angkasa.
"Aihhh...!"
Ki Gending Sendapa sempat dibuat gugup oleh kecepatan gerak lawan. Sehingga
ketika hantaman telapak tangan Pendekar Naga Putih meluncur datang, lelaki tua
itu tidak sempat menghindar.
Bukkk! "Huakhh...."
Darah segar termuntah keluar dari mulut Ki
Gending Sendapa. Hantaman yang amat kuat itu membuat tubuhnya terlempar sejauh
satu setengah tombak. Meskipun demikian, orang tua itu ternyata cukup lincah.
Tubuhnya dapat meluncur turun dengan selamat ke tanah. Sayangnya tokoh tua itu
masih kalah cepat dengan Pendekar Naga Putih.
Baru saja kakinya menjejak tanah, tubuhnya kembali terlempar akibat hantaman
sepasang telapak tangan Panji yang menyusuli serangannya.
Bresssh...! Tanpa ampun lagi, tubuh Ki Gending Sendapa
terlempar deras bagai daun kering tertiup angin.
Dan terus meluncur merobohkan sebatang pohon besar. Lalu melorot jatuh, dan
tidak mampu bangkit lagi. Bagian dalam dadanya hancur akibat pukulan Panji.
Mengetahui lawannya telah tewas, Pendekar Naga Putih bergerak mendekati Kenanga


Pendekar Naga Putih 55 Panggung Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sedang duduk di dekat Seruni. Rupanya dara jelita itu sudah menyelesaikan
pertarungannya. Tidak jauh darinya terlihat dua sosok tubuh menggeletak tewas.
"Kakang, Seruni korban kejahatan Garbanaka.
Gadis ini diculik oleh lelaki itu dengan janji akan dilepaskan bila Seruni mau
mengikuti perintahnya meracuni Somanggala," jelas Kenanga ketika Panji duduk di
dekat kedua gadis itu.
"Hm.... Apa Somanggala sudah tahu...?" tanya Panji sambil menatap wajah Seruni
lekat-lekat. Seolah pemuda itu ingin mencari kejujuran di mata Seruni. Sesaat kemudian
Pendekar Naga Putih kembali mengalihkan pandangannya, setelah melihat gadis itu
seorang yang jujur.
"Biar aku sendiri yang mengatakannya, Kakang Panji...," ucap Seruni dengan suara
agak serak, karena terlalu banyak menangis.
"Seruni juga mengatakan kalau pembunuh kedua orangtua Somanggala adalah Ki
Jarangka. Sedangkan Ki Jarangka dan dua orang pengawalnya telah dilenyapkan Ki
Gending Sendapa dan Garbanaka.
Karena Garbanaka tidak senang karena tidak di-bayar dalam pertandingannya
melawan Somanggala di atas Panggung Kematian...," jelas Kenanga lagi yang
rupanya telah banyak berbicara dengan Seruni. Sehingga, mengetahui persoalan
yang selama ini menjadi rahasia mereka bertiga.
"Syukurlah kalau segalanya telah terungkap...,"
ujar panji sambil memperhatikan jalannya pertarungan antara Somanggala melawan
Garbanaka. "Nampaknya mereka memiliki kepandaian yang seimbang, Kakang..," kata Kenanga,
ikut memperhatikan jalannya pertarungan.
"Yahhh.... Kalaupun Somanggala lebih unggul, hanya sedikit. Seandainya
Somanggala dapat menang, mungkin akan menderita luka...," sahut Panji mencoba
memberi penilaian.
Penilaian pemuda itu hampir dapat dipastikan kebenarannya. Karena secepat apa
pun gerakan mereka, mata Panji yang telah terlatih baik dapat mengikuti setiap
gerak Somanggala dan Garbanaka.
Sementara di arena pertempuran, Somanggala
sedang berusaha sekuat tenaga merobohkan lawan.
Pedang di tangannya selalu mengincar bagian-bagian mematikan di tubuh lawan.
Tapi walaupun telah terluka pada pangkal lengan kirinya, Garbanaka masih mampu
melakukan serangan-serangan balasan yang tidak bisa dianggap remeh Somanggala.
Akibatnya, pertempuran pun berlangsung seru dan mendebarkan.
Somanggala yang hanya menang kecepatan dari lawannya, berusaha menggunakan
kelebihan itu. Bahkan tidak jarang pemuda tegap itu merubah gerakannya secara mendadak, dengan
tujuan mengacaukan pikiran lawan. Taktik Somanggala ternyata berhasil. Beberapa
kali Garbanaka terpengaruh, dan melompat mundur memperbaiki kedudukan. Kemudian
kembali menerjang maju dengan sambaran dan tusukan pedang.
"Haaat...!"
Ketika pertarungan memasuki jurus ketujuh
puluh, Somanggala bertindak nekat. Pedangnya diputar sedemikian rupa, membentuk
gulungan sinar yang membuat wujud senjata itu lenyap. Kemudian meluncur ke depan
dengan serangkaian tusukan maut bertubi-tubi.
"Haiitt..!"
Garbanaka yang melihat kenekatan lawannya,
berseru nyaring sambil memutar pedang untuk membentengi dirinya. Sehingga setiap
kali ujung pedang lawan datang mengancam, selalu terpental balik terbentur
pedangnya. Sayang Somanggala kali ini mengerahkan segenap tenaganya, dan terus
mencecar tanpa mengenal putus asa. Sehingga beberapa tusukan pedangnya dapat
menerobos benteng pertahanan Garbanaka. Akibatnya....
Cappp! Cappp! "Aaakh...!"
Garbanaka menjerit kesakitan ketika ujung pedang lawan menyentuh tubuhnya. Darah
segar mengucur dari lubang-lubang di perut dan dadanya akibat tusukan pedang lawan.
"Haiiit...!"
Saat tubuh lawan terjajar mundur, mendadak
Somanggala membentak keras sambil melompat, disertai ayunan pedang membabat
leher lawan. Dan.... Crakkk...! Tanpa ampun lagi, putuslah batang leher Garbanaka terbabat pedang Somanggala!
Tubuh tinggi kekar itu ambruk dengan kepala terpisah dari badan! Darah segar
berceceran membasahi permukaan tanah lembab.
Somanggala jatuh terduduk lemas di dekat mayat Garbanaka. Pemuda itu telah
melakukan segalanya untuk memenangkan perkelahian itu.
"Kakang...."
Terdengar panggilan merdu yang membuat Somanggala mengangkat kepala. Dada pemuda itu berdebar keras melihat Seruni datang
mengham-pirinya dengan mata basah. Dan Somanggala merasa bermimpi ketika dara
cantik itu tanpa malu-malu memeluk tubuh tegap yang basah oleh keringat.
"Maafkan aku, Kakang Somanggala...," desah Seruni yang langsung menangis di dada
pemuda itu. Dengan jari-jari gemetar namun hati dipenuhi bunga-bunga kebahagiaan, Somanggala
membeiai rambut gadis cantik itu. hatinya benar-benar gembira tak terlukiskan.
Somanggala seolah bermimpi kejatuhan bulan ketika mendapati kenyataan dalam
dekapannya ada tubuh Seruni, yang kecantikannya membuat jantung Somanggala
melompat-lompat.
Apalagi tubuh lembut dan hangat itu kini berada dalam dekapannya. Sukar sekali
bagi Somanggala untuk mengungkapkan perasaannya saat itu.
Melihat kedua insan itu saling berpelukan seolah lupa dengan sekelilingnya,
Panji dan Kenanga bergegas meninggalkan tempat itu. Menurut keduanya persoalan
sudah selesai. Kalaupun Somanggala masih ingin mencari pembunuh kedua
orangtuanya. Seruni dapat menjelaskan. Dan ketika melihat Somanggala dan Seruni
saling jatuh cinta, pasangan pendekar muda itu tidak khawatir lagi dengan nasib
Seruni. Karena Somanggala pasti akan mengantarkan gadis itu ke rumah
orangtuanya. SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Adnan S
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/
http://dewikz.byethost22.com/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 20 Dewi Ular 62 Gadis Penyelamat Bumi Tiga Maha Besar 2

Cari Blog Ini