Ceritasilat Novel Online

Partai Rimbah Hitam 3

Pendekar Naga Putih 04 Partai Rimbah Hitam Bagian 3


mengagumi sikap Panji yang demikian itu. Sama sekali amarahnya tidak terpancing,
walaupun dihina sedemikian rupa.
"Setelah kau tahu, bahwa aku yang mengucapkan, kau mau apa?" tantang Dewi Tangan
Merah tanpa rasa takut sedikit pun!
Memang, kejadian kejadian seperti ini sudah sering dialami Sundari. Dan
kebanyakan dari orang-orang kasar seperti itu, hanyalah gentong-gentong nasi
belaka. Mereka hanya mengandalkan sedikit kepandaian untuk memeras.
Dan hal itulah yang paling tidak disukai Sundari atau orang-orang golongan putih
umumnya. "Ha ha ha...! Tentu saja tidak apa apa, Manis," jawab Gambalang sambil berusaha
melemparkan senyum manis yang dimiliki. Tapi sayang, yang tampak hanyalah sebuah
seringai buas bagaikan serigala lapar. Sementara tangan lelaki itu sudah pula
terulur untuk menyentuh wajah Sundari.
Melihat sikap Gambalang yang semakin kurang ajar itu.
Sundari tak dapat lagi menahan luapan amarahnya. Hanya saja gadis itu masih
tetap berusaha bersikap masa bodoh, seolah-olah tidak mengetahui uluran tangan
kurang ajar itu.
Gubrakkk! "Waaa...!"
Gambalang berteriak ngeri ketika tahu-tahu tubuhnya terbanting ke lantai dengan
kepala terlebih dahulu!
Namun Gambalang bergegas bangkit sambil mengusap-usap dahinya yang terdapat dua
buah benjolan membiru akibat terbentur kaki meja.
"Bangsat! Rupanya ada yang ingin main-main dengan Gambalang! Hayo! Tunjukkan
wajahmu, pengecut!"
Gambalang berteriak-teriak menantang. Sedangkan kawan-kawannya sudah berdatangan
mendekatinya, setelah melihat Gambalang terjatuh tadi. Mereka tidak mengetahui,
siapa yang telah begitu berani membanting tubuh Gambalang itu.
"Eh, eh! Kau mencari siapa?" tegur Sundari sambil tersenyum mengejek. Kemudian,
gadis itu pun sudah bangkit berdiri sambil bertolak pinggang di hadapan
Gambalang dan kawan-kawannya.
"Huh! Aku hanya ingin tahu, bagaimana tampang orang yang telah menjatuhkan
diriku secara curang!" jawab Gambalang yang masih juga memandang berkeliling,
mencari orang yang dimaksud.
"Hei! Mengapa harus susah-susah mencarinya" Bukankah orang yang kau cari ada di
depan matamu?" jelas Dewi Tangan Merah lagi. Senyumnya semakin melebar karena
merasa geli melihat sikap Gambalang yang berdiri bengong bagai orang kehilangan
ingatan. "Apa... apa maksudmu, Nini" Jangan main-main,"
tegas Gambalang tak percaya pada ucapan Sundari.
Masalahnya, bagaimana mungkin gadis canbk itu dapat
menjatuhkannya, tanpa diketahui. Namun sebelum dia sadar akan keadaannya, tahutahu Sundari mengulurkan kedua tangannya cepat, sukar diikuti mata. Dan tibatiba tubuh Gambalang kembali terbanting keras!
"Bagaimana, apakah kau masih belum mempercayai ucapanku?" tanya Dewi Tangan
Merah lagi. Gambalang menjadi terkejut setengah mati. Lagi-lagi gadis jelita itu tahu-tahu
telah menjatuhkan dirinya.
Benar-benar dia tak mampu mencegahnya. Bagai orang yang masih belum mempercayai
apa yang terjadi.
Gambalang mengkerjap-kerjapkan kedua matanya seolah ingin menghilangkan mimpi
buruk dalam tidurnya. Dan ketika kesadarannya telah kembali, Gambalang menjadi
marah dan terhina sekali atas perlakuan Sundari.
"Hm..., iblis betina! Rupanya kau sengaja ingin mengacau di daerah kekuasaan
kami. Tangkap dia...!"
perintah Gambalang kepada belasan orang kawannya yang telah bersiap sejak tadi.
Kejadian selanjutnya, belasan orang itu segera bergerak mengurung Sundari yang
merasa belum perlu menggunakan pedangnya. Gadis jelita itu berdiri tegak di
tengah-tengah belasan laki-laki kasar yang mengurungnya.
Sementara Pendekar Tangan Sakti dan Pendekar Naga Putih telah menyingkir ke tepi
tanpa berusaha membantu Sundari. Mereka melihat, dari gerakan para pengepungnya
rasanya kekuatan lawan sudah dapat ditebak. Dengan demikian keduanya tidak
merasa perlu membantu Sundari.
"Hiaaa...!"
Diiringi teriakan-teriakan keras, belasan orang yang
dipimpin Gambalang segera menyerbu Sundari dengan senjata di tangan. Tubuh gadis
itu segera berkelebat di antara sambaran senjata lawan, dan langsung menuju
pintu keluar. "Kejar...! Jangan biarkan gadis liar itu lolos!"
Gambalang berteriak-teriak memberikan perintah.
Serentak kawan-kawan Gambalang berloncatan keluar mengejar Dewi Tangan Merah.
"Jangan lari kau, gadis liar!" seru Gambalang ketika tiba di hadapan Sundari
yang telah berdiri tegak, seolah-olah memang sengaja menantinya.
"Hm.... Siapa yang hendak melarikan diri, monyet kurap! Aku hanya tidak ingin
membuat seluruh isi kedai berantakan akibat ulah monyet-monyet kurap macam
kalian!" jawab Dewi Tangan Merah, menghina.
"Bangsat! Kubunuh kau perempuan setan...!" sambil berteriak-teriak marah,
Gambalang segera menerjang Sundari menghunus senjatanya yang berbentuk sebuah
tombak bergolok besar dan terlihat berat.
Wuttt! Wuttt! Suara desingan golok bergagang tombak itu, menderu-deru dan menyambar-nyambar di
sekitar tubuh Sundari.
Namun lewat sebuah gerakan indah, tahu-tahu tubuh Sundari telah berada di
belakang lawannya. Ini di-karenakan tingkat kepandaian Gambalang masih terlalu
rendah, sehingga Sundari dapat mudah mengatasinya!
Desss! "Ngggk...!"
Tubuh Gambalang terjajar ke depan ketika Sundari yang sudah berada di
belakangnya itu menyabetkan sisi
telapak tangannya ke tengkuk Gambalang. Tubuh laki-laki itu terbanting keras
tanpa mampu bangkit lagi. Rupanya akibat hantaman keras itu Gambalang pingsan
seketika. Menyaksikan pemimpin mereka dalam segebrakan saja tak berdaya, para pengikut
Gambalang kontan mengambil langkah seribu meninggalkan tempat itu. Diiringi
suara tawa merdu Dewi Tangan Merah, belasan orang itu pontang-panting
terkencing-kencing.
Wijasena dan Panji, segera melangkah menghampiri Sundari yang tengah berdiri
berkacak pinggang menanti kedatangan mereka berdua.
"Mengapa tidak kau bebaskan saja orang itu, Sundari?"
tegur Wijasena ketika melihat tubuh Gambalang yang masih tergeletak pingsan di
dekat gadis itu.
"Wah! Kakang Wija ini bagaimana"! Bukankah kita memerlukan orang seperti dia
untuk menunjukkan tempat kediaman Nenek Tongkat Maut yang menjadi datuk kaum
sesat di Selatan ini. Apakah perbuatanku salah?" bantah Dewi Tangan Merah,
ketus. "Hm..., benar! Mengapa aku menjadi pelupa sekali!
Bukankah orang ini sangat tepat. Memang kalau dilihat tingkah lakunya, pasti ia
salah seorang dari golongan hitam yang tengah beroperasi. Tapi sayang sekali,
kali ini ketemu batunya!" sahut Wijasena.
"Kalau begitu, mengapa tidak segera dibangunkan.
Tunggu apa lagi?" ujar Panji ikut menimpali.
"Tunggu...! Kakang Panji, apakah kau mengenal dua orang itu?" tanya Dewi Tangan
Merah ketika melihat dua sosok tubuh yang terpisah agak jauh dari tempat mereka.
Dua sosok tubuh itu tampak tengah memperhatikan tiga
orang pendekar itu tanpa berkedip.
Panji segera melayangkan pandangannya mengikuti jari-jari tentik Sundari yang
menunjuk ke satu arah.
Jaraknya kira-kira sejauh seratus tombak dari tempat mereka berada. Semakin
diperhatikan, semakin keras debaran dalam dada Panji. Mereka pun baru beberapa
hari kenal, namun sudah dihapalnya ciri-ciri kedua orang itu.
Namun Panji juga sedikit ragu-ragu masalahnya, jaraknya cukup jauh juga. Apalagi
tempat kedua orang Itu berdiri agak tertutup pepohonan sehingga semakin
meragukan hati pemuda itu
Karena rasa penasaran yang meluap-luap, maka Panji melangkahkan kakinya
mendekati dua sosok tubuh itu.
Dengan penuh ketegangan, Pendekar Naga Putih tersebut terus melangkahkan kakinya
menuju semak-semak tempat kedua orang itu berada. Belum lagi jauh Panji
melangkah, tiba-tiba dua sosok tubuh yang terlindung bayangan pepohonan itu
melesat dan menghilang di balik pepohonan. Cepat-cepat Panji mengerahkan
kemampuan ilmu meringankan tubuh untuk mengejar dua bayangan yang dicurigainya
itu. Namun sampai lelah mencari, kedua sosok bayangan itu tidak dapat ditemukan,
seolah-olah lenyap ditelan bumi.
"Siapakah mereka, Kakang" Mengapa terlihat begitu tegang?" tanya Dewi Tangan
Merah ketika pemuda itu telah tiba di tempat semula.
Pendekar Tangan Sakti diam-diam merasa heran melihat sikap Panji yang seolaholah seperti terpukul ketika tidak dapat menemukan dua orang yang belum
diketahui secara pasti itu.
"Aneh! Siapakah sebenarnya kedua orang tadi" Dan mengapa tiba-tiba saja pemuda
itu menjadi tegang, seolah-olah memang dapat menduga dua orang itu" Aneh, apa
sebenarnya yang terjadi terhadap pemuda digdaya yang mengagumkan itu?" gumam
Wijasena tak jelas.
"Entahlah, Sundari! Tapi sepertinya mereka itu...
aaahhh! Mana mungkin! Lagipula mengapa mereka seperti sengaja menghindar
dariku!" desah Panji, yang pikirannya menjadi kacau. Dan tanpa berkata-kata
lagi, pemuda itu melangkah melewati Sundari yang hanya memandang heran. Memang,
gadis itu tidak mengerti, apa yang tengah dialam pemuda yang menarik hatinya itu
sebenarnya. Dewi Tangan Merah dan Pendekar Tangan Sakti tidak bertanya-tanya lagi, karena
keduanya merasa maklum kalau saat-saat seperti ini, Panji benar-benar tidak
ingin diganggu berbagai macam pertanyaan. Dan, memang sebaiknya kalau pada saat
seperti itu adalah diam.
Ketiga orang pendekar itu kembali meneruskan niatnya semula untuk mengorek
keterangan dari Gambalang.
*** 7 Setelah mendapat keterangan dari Gambalang tentang kediaman Nyai Serondeng, maka
tiga pendekar itu bergegas mengunjunginya. Sedangkan Gambalang dilepaskan dengan
ancaman, apabila kembali melakukan kejahatan, Dewi Tangan Merah akan kembali
untuk mengambil kepalanya!
Dan Gambalang terpaksa harus menuruti kemauan Dewi Tangan Merah itu. Masalahnya,
dia telah merasakan bagaimana dibuat tak berdaya hanya dalam segebrakan saja.
Hal ini tentu saja membuat Gambalang tidak berani bertindak macam-macam.
"Apakah kita harus datang secara terus terang, Kakang?" tanya Dewi Tangan Merah
kepada Panji yang berjalan di sebelahnya.
"Entahlah. Menurutmu, bagaimana Sundari?" ujar Panji balik bertanya. Sehingga
untuk beberapa saat lamanya Dewi Tangan Merah terdiam untuk mencari jalan yang
terbaik bagi mereka semua.
"Lebih baik kita tidak datang secara terus terang, Panji.
Karena, kita belum tahu pasti, apakah di tempat itu telah menjadi pusat
perkumpulan Partai Rimba Hitam atau tidak?" sahut Pendekar Tangan Sakti yang
ikut pula menimpali.
"Ah! Mengapa kita tidak bertanya pada Gambalang tadi! Hhh..., mengapa kita
melupakannya?" sergah Dewi Tangan Merah. Suaranya mengandung penyesalan karena
kecerobohannya.
Memang, dia telah melupakan satu hal penting yang tak dapat dikesampingkan
begitu saja. Sebab, dengan diketahuinya keadaan kediaman Nyai Serondeng, berarti
mereka dapat mengambil keputusan. Apakah harus datang terang-terangan atau
sembunyi" Hal inilah yang kini mengganggu pikiran ketiga orang pendekar itu.
Akhirnya, karena belum tahu secara pasti, maka ketiganya memutuskan untuk
mendatangi kediaman Nyai Serondeng secara sembunyi. Hal itu dilakukan untuk
menjaga hal-hal yang tidak diinginkan.
Diiringi hembusan angin sore, ketiga pendekar itu meneruskan niatnya mendatangi
kediaman Nyai Serondeng yang terletak di atas Bukit Nirwana. Sebuah bukit yang
sangat indah, karena hampir di setiap sudutnya dipenuhi bunga yang bermekaran
dan menebarkan keharuman yang menyejukkan.
Cukup lama juga mereka melakukan perjalanan sambil mengerahkan ilmu meringankan
tubuh. Itu dilakukan apabila melewati tempat-tempat sepi. Dan kini tibalah
mereka di tempat yang dituju, Bukit Nirwana. Untuk beberapa saat lamanya, ketiga
pendekar itu hanya berdiri mematung memperhatikan puncak bukit yang menjadi
kediaman salah satu datuk kaum sesat di Selatan.
Kekejamannya tidak kalah dengan iblis!
Namun sebelum memutuskan untuk mendaki bukit itu, mendadak di hadapan mereka
telah berdiri dua sosok tubuh dalam jarak sekitar lima puluh tombak. Dua sosok
tubuh itu muncul begitu saja bagaikan iblis-iblis neraka yang ditugaskan untuk
menjemput Panji dan kawankawannya. "Suntara..., Rahayu...!" seru Panji. Suaranya terdengar bagaikan tercekat di
tenggorokan. Wajah pemuda itu kembali menegang karena masih belum dapat menduga,
apa yang tengah dialami dua orang itu sebenarnya"
Bukankah mereka dalam tawanan Setan Muka Seribu" Lalu mengapa dibebaskan begitu
saja" Dan mengapa mereka tidak menunjukkan sikap bersahabat. Panji tidak
meneruskan lamunannya, karena hal itu akan semakin menambah keruwetan pikirannya
saja. "Jadi, mereka itukah yang kau lihat di semak-semak samping kedai" Siapakah
mereka" Demikian berartikah mereka bagimu, Panji?" tegur Pendekar Tangan sakti
saat melihat wajah Panji, yang biasanya tenang itu tampak selalu tegang apabila
berjumpa dengan dua orang yang disebutnya Suntara dan Rahayu itu.
"Mereka adalah murid-murid kesayangan Ki Tunggul Jagad dan Ki Ageng Pandira yang
ditugaskan untuk menyelidiki kemelut Partai Gunung Salaka dan Partai Gunung
Sutra bersamaku. Kemudian keduanya menghilang dalam sebuah hutan tanpa aku mampu
menyelamatkannya. Dan kini tahu-tahu saja mereka telah terbebas. Namun dari
sinar mata mereka sama sekali tidak memancarkan rasa persahabatan! Entah apa
yang tengah dialami mereka" Sedangkan kedua guru mereka telah berpesan kepadaku
untuk menjaga mereka baik-baik.
Memang, keduanya sama sekali belum berpengalaman dalam menghadapi manusia yang
penuh berbagai tipu daya. Dan aku takut kalau Suntara dan Rahayu telah
dipengaruhi tokoh-tokoh sesat yang menawan mereka,"
Panji menghela napas berulang-ulang setelah mengakhiri ceritanya yang telah
membuat Pendekar Tangan Sakti ternganga penuh keheranan.
"Oh! Benarkah yang kau ceritakan itu, Panji! Aneh!
Bagaimana mungkin Guru Besar mempunyai murid yang masih demikian muda" Dan
mengapa pula aku tidak mengetahuinya?" ujar Pendekar Tangan Sakti dengan nada
seperti kurang percaya.
"Begitulah yang dikatakan Ki Sukma Kelana ketika melepaskan kepergian Suntara.
Jangankan dirimu yang selalu berada di luar. Bahkan para tokoh tingkat tiga
sekalipun tidak pernah mengetahui kalau Ki Tunggul Jagad mempunyai seorang murid
yang seumur Suntara. Namun, demikianlah kenyataan sebenarnya, Wijasena," jawab
Panji menerangkan.
"Lalu, apa yang harus kita perbuat terhadap mereka?"
tanya Dewi Tangan Merah tiba-tiba. Sehingga kedua orang pendekar itu kembali
teringat akan keadaan mereka.
Panji menatap kedua orang yang masih berdiri bagaikan sebuah patung batu saja.
Mereka sama sekali tak bergerak walaupun telah cukup lama berdiri.
"Kalian tetaplah di sini! Biar aku yang akan menghadapi, karena kalian belum
mengetahui apa yang telah terjadi dengan mereka," jelas Panji mengambil
keputusan. Ia memang tidak ingin mengikutsertakan Sundari atau Wijasena sebelum mengetahui
duduk persoalannya, yang membuat kedua orang itu seolah-olah tidak mengenalnya
sama sekali. Pendekar Naga Putih melangkah penuh kewaspadaan menghampiri dua sosok tubuh yang
memang Suntara dan
Rahayu itu. Namun, hati Panji terkejut ketika melihat wajah mereka berdua itu
pucat bagaikan mayat. Dan yang lebih mengejutkan hati, ketika Panji melihat
sinar mata Suntara dan Rahayu yang bagai hilang ingatan. Sinar mata itu begitu
dingin dan kosong. Diam-diam hati Pendekar Naga Putih terharu ketika melihat
keadaan mereka berdua yang bagaikan tak terurus.
Baru beberapa langkah Panji mendekat, tiba-tiba Suntara dan Rahayu mencabut
senjatanya masing-masing.
Dan tanpa basa-basi lagi, keduanya melesat ke arah Panji dengan serangan


Pendekar Naga Putih 04 Partai Rimbah Hitam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menderu-deru. Sepasang senjata muda-mudi itu meluncur deras ke arah Pendekar
Naga Putih, sehingga menimbulkan desingan angin tajam.
"Suntara, Rahayu...! Tahan! Ini aku, Panji! Apakah kalian lupa kepadaku!" cegah
Panji sambil melangkah mundur menghindari serangan dua orang yang memang sangat
berbahaya itu. Suntara dan Rahayu sama sekali tidak mengindahkan teriakanteriakan Panji yang mencoba mencegah terjadinya pertempuran di antara mereka.
Namun, wajah mereka tetap saja kaku tanpa perasaan.
Seolah-olah memang benar-benar tidak mengenal Panji sama sekali.
Hm..., pasti ada sesuatu yang tidak beres dalam diri mereka," gumam Panji pelan.
Semakin lama serangan Suntara dan Rahayu semakin ganas dan berbahaya! Kalau
sampai beberapa jurus lagi Panji masih saja tidak membalas serangan itu, dapat
dipastikan dirinya akan celaka! Karena sebagai murid-murid orang sakti, baik
Suntara dan Rahayu pasti telah dibekali ilmu-ilmu tinggi oleh guru mereka
berdua. Sehingga, kepandaian kedua orang itu tidak dapat dianggap main-main.
Dewi Tangan Merah dan Pendekar Tangan Sakti yang melihat keadaan Panji, sudah
tidak dapat lagi menahan diri. Keduanya segera melesat dan langsung menerjunkan
diri dalam kancah pertempuran. Begitu memasuki arena, Dewi Tangan Merah dan
Pendekar Tangan Sakti segera melancarkan serangan ke arah Suntara yang pada saat
itu dekat dengan mereka
Merasakan sambaran angin kuat yang keluar dari dua pasang lengan yang meluncur
ke arahnya, Suntara bukannya menghindar tapi malah memapaknya dengan
mendorongkan kedua telapak tangan disertai pengerahan tenaga dalam penuh.
"Sebelas Jurus Penahan Ombak..!" seru Pendekar Tangan Sakti ketika melihat
gerakan sepasang tangan Suntara yang menimbulkan desiran angin kuat. Pendekar
Tangan Sakti yang mengetahui kehebatan ilmu kebanggaan perguruannya itu, segera
mengerahkan seluruh tenaga dalam. Karena jelas-jelas untuk mengelak sudah terlambat! Darrr! "Aaahhh...!"
Terdengar bunyi ledakan keras di udara ketika dua gelombang bertenaga dalam
tinggi bertemu di udara!
Dewi Tangan Merah dan Pendekar Tangan Sakti memekik tertahan. Tubuh mereka
sampai terjengkang akibat benturan itu, kemudian terbanting di atas tanah
meskipun masih limbung. Dan dari celah-celah bibir mereka, nampak darah segar
merembes keluar! Rupanya benturan
tadi telah mengguncangkan isi dada mereka!
Di lain pihak, tubuh Suntara pun mengalami hal serupa. Gabungan tenaga lawannya
ternyata kuat sekali.
Walaupun dia telah mengeluarkan seluruh tenaganya, ternyata masih pula terdorong
dan terhuyung-huyung dengan dada terasa sesak. Tapi anehnya, Suntara seolah-olah
tidak merasakan akibat benturan tenaga dalam tadi.
Hanya wajahnya saja yang terlihat semakin pucat. Namun, pandangan matanya tetap
saja kosong dan tak memancarkan gairah kehidupan. Seakan-akan jiwa Suntara telah
mati, sementara raganya masih tetap utuh.
Panji yang tengah berhadapan dengan Rahayu, serentak meninggalkan gadis itu. Dia
berlari memburu Dewi Tangan Merah dan Pendekar Tangan Sakti yang tengah
melangkah tertatih-tatih.
"Sundari! Wija! Jangan ladeni, karena mereka berdua tidak menyadari apa-apa yang
dilakukan saat ini! Mereka sedang kehilangan ingatannya!" tegas Panji begitu
tiba di hadapan kedua orang kawannya yang sedang bersiap-siap bertarung kembali.
"Panji! Kepandaian kedua orang ini tidak bisa dibuat main-main! Dan kalau kami
terus mendiamkan, mereka pasti menyerangmu. Dan pasti kau berusaha untuk tidak
membalas. Bisa bisa kau akan celaka di tangan mereka, Panji!" sergah Pendekar
Tangan Sakti. Suaranya mengandung rasa penasaran dan kekhawatiran.
"Benar, Kakang Panji. Lakukanlah sesuatu kepada mereka. Jangan hanya menghindar
saja, karena hal itu sangat berbahaya!" Dewi Tangan Merah ikut pula memberikan
dorongan kepada Panji, karena sudah merasakan
bagaimana hebatnya kepandaian pemuda yang bernama Suntara itu. Padahal, dia tadi
telah mengerahkan seluruh tenaganya. Malah, masih pula dibantu Pendekar Tangan
Sakti. Tapi, toh mereka masih juga kalah tenaga. Dan hal itu benar-benar sukar
dipercaya bagi Dewi Tangan Merah yang selama ini belum pernah bertemu lawan
tangguh yang masih terlihat muda itu. Maka mau tidak mau ia harus mengakui
kehebatan lawannya.
Mendengar kata-kata kedua orang sahabatnya diam-diam Panji merasa terharu
sekali. Namun, perasaan itu cepat-cepat ditekan, karena tidak boleh terlihat
lemah di hadapan mereka
"Baiklah. Kalian tetaplah di sini! Aku akan mencoba untuk menundukkan mereka,"
jawab Panji. "Tapi bagaimana mungkin dapat menundukkan tanpa harus melukai mereka, Kakang"
Bukankah hal itu terlihat sulit sekali!" sahut Dewi Tangan Merah, bernada
khawatir. Sekejap sinar mata yang menyiratkan kecemasan itu meredup,
mengungkapkan perasaan hati Sundari yang selama ini, cepat-cepat dibuang
pandangannya dengan wajah kemerahan.
"Hati-hatilah, Kakang...!" ujar Sundari untuk menutupi rasa jengah dalam
hatinya. Panji yang dapat menduga apa yang telah dirasakan gadis itu, hanya mengangguk
tipis. Kemudian dia segera melangkah mendekati Suntara dan Rahayu yang telah
bersatu kembali. Untuk beberapa saat lamanya, Panji hanya berdiri sambil
memandang kedua orang itu dengan tatapan lembut Pendekar Naga Putih kini sudah
dapat bersikap tenang, kembali seperti biasanya. Dan ketika
melihat kedua orang itu sudah bersiap hendak menerjang, Panji segera mengempos
semangatnya. Ditariknya napas dalam-dalam. Sekejap kemudian, terdengar suara
tulang-tulang tubuhnya yang bergemerutuk karena dialiri 'Tenaga Dalam Gerhana
Bulan' yang merupakan warisan Eyang Tirtayasa.
Dalam sekejap saja, tubuh pemuda itu telah diselimuti selapis kabut bersinar
putih keperakan dan memancarkan hawa dingin yang menggigit kulit. Dan secara
mendadak, daerah di sekitarnya merubah menjadi dingin.
Suntara dan Rahayu tersentak mundur, ketika serangkum angin berhawa dingin
berhembus menerpa tubuh mereka. Ternyata biarpun kesadaran telah lenyap, namun
naluri mereka sebagai ahli silat telah memperingatkan akan bahaya mengancam.
Diiringi bentakan nyaring, Suntara dan Rahayu segera bersiap mengerahkan ilmu
andalan masing-masing.
Keduanya segera bergerak membentuk kuda-kuda yang sesuai dengan jurus jurus
mereka. "Yeeeaaattt...!"
Tiba-tiba tubuh sepasang muda mudi itu melayang cepat ke arah Panji yang memang
sudah bersiap menghadapinya. Angin keras berputar ketika kedua orang muda yang
berkepandaian tinggi itu mulai melancarkan serangan pukulan dan tendangan kilat
yang tidak terduga datangnya! Namun, meskipun mereka melancarkan serangan susulmenyusul, tetap saja hasilnya jadi berbalik.
Mereka seperti membentur sebuah dinding berhawa dingin yang selalu saja menolak
setiap pukulan yang datang ke tubuh pemuda itu.
Panji kini sudah pula membangun serangan dengan melakukan totokan-totokan yang
mengarah ke bagian-bagian terlemah di tubuh lawan-lawannya itu. Tapi sampai
jurus yang keempat puluh berlalu, Panji belum juga dapat menyentuh tubuh Suntara
maupun Rahayu yang ternyata memiliki kegesitan hebat. Dan sepertinya mereka tahu
kalau Panji hendak menotok roboh. Tentu saja baik Suntara dan Rahayu tidak ingin
tertotok begitu saja. Maka keduanya berusaha menghindarkan serangan-serangan
yang dilontarkan Panji.
Hingga pada jurus yang keempat puluh delapan, Panji yang rupanya merasa tidak
akan mampu menjatuhkan lawannya tanpa harus mencelakai, segera merubah
keputusannya. Tiba-tiba kedua tangan pemuda itu berputar dan membentuk cakar
naga. Dan dengan gerakan cepat luar biasa, Panji segera melakukan serangan lewat
jurus "Silat Naga Sakti" yang menjadi andalannya.
Bagaikan seekor naga putih yang sedang bermain di angkasa, tubuh pemuda itu
bergerak lincah sambil melontarkan serangan-serangan cepat luar biasa. Akibatnya
dalam beberapa jurus saja, kedua lawannya telah dibuat repot oleh pukulanpukulan yang datang bagai air bah itu. Sampai akhirnya, keduanya hanya dapat
bermain mundur. Memang, serlap kali mereka balas menyerang, selalu saja berbalik
dan kandas terdorong angin dingin yang mengelilingi tubuh mereka.
Wusss! Blarrr! Debu mengepul tinggi ketika pukulan yang dilontarkan Panji menghantam tanahtanah berumput. Kali ini kedua orang lawan Panji itu berhasil menyelamatkan
diri, dengan cara melemparkan tubuh ke belakang. Itu pun masih disambung beberapa kali salto
di udara. Dan kini mereka dapat mendaratkan kakinya manis dan indah, sejauh tiga
tombak dari tempat semula.
Namun Pendekar Naga Putih rupanya sudah tidak sabar untuk cepat-cepat
menyelesaikan pertarungan. Pada saat Suntara dan Rahayu tengah memperbaiki
posisi tahu-tahu serangan Panji sudah datang mengancam. Karena tidak mempunyai
kesempatan lagi untuk menghindar, maka mereka segera mendorongkan telapak
tangannya untuk memapak serangan itu!
Blanggg! "Aaakh...!"
Terdengar seruan tertahan yang keluar dari mulut ketiganya. Benturan dahsyat itu
telah menggetarkan udara di sekitar arena pertarungan. Akibatnya tubuh ketiga
orang yang berbenturan itu sama-sama terpental ke belakang.
Suntara dan Rahayu yang terbanting keras di tanah, untuk beberapa waktu belum
mampu bangkit berdiri!
Mereka rebah di atas hamparan rumput, dengan napas satu-satu. Sementara dari
sudut bibir mereka, terlihat cairan merah merembes keluar.
Pada saat keduanya dalam keadaan tidak berdaya itu, tiba-tiba dua sosok bayangan
melesat ke arah mereka disertai totokan yang mengancam. Tanpa dapat berbuat apaapa, keduanya langsung lemas terkena totokan yang dllakukan dua sosok bayangan
yang ternyata Dewi Tangan Merah dan Pendekar Tangan Sakti. Akibatnya kedua orang
Itu dapat dikuasai tanpa mengalami kesulitan berarti.
Sedangkan Panji yang terhempas akibat benturan dua gelombang tenaga dalam tinggi
tadi, dapat mendaratkan kakinya ringan tanpa mengalami luka sedikit pun. Hanya
saja, dadanya terasa agak sesak seakan akan dihimpit sebuah benda berat. Namun
rasa sesak itu pun tidak berlangsung terlalu lama, karena segera dikerahkan hawa
murni untuk menolak segala pengaruh yang mengeram dalam dirinya.
Panji yang semula sudah merasa lega ketika melihat Suntara dan Rahayu berhasil
ditawan Sundari dan Wijasena, menjadi tersentak. Dia memang melihat beberapa
sosok tubuh berkelebat ke arah Pendekar Tangan Sakti dan Dewi Tangan Merah.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Panji segera menggenjot tubuhnya, menyambut
sosok tubuh yang berada paling depan.
"Sundari! Wijasena! Awaaasss...!" teriak Panji sambil meluncur ke arah kedua
orang kawannya Sebenarnya tanpa diberitahu pun, Dewi Tangan Merah dan Pendekar Tangan Sakti
sudah pula mengetahui hal itu.
Maka ketika keduanya mendengar teriakan itu segera berlompatan mundur sambil
memondong tubuh Suntara dan Rahayu. Untunglah keduanya terbebas dan serangan
mendadak itu. Berbeda dengan bayangan yang meluncur paling depan.
Ternyata bayangan itu langsung berbentur dengan Panji yang memang hendak
menyambut serangan itu. Dan....
Plak! Bukkk! Desss!
"Ouggghhh...!"
Telapak tangan bayangan itu berhasil ditepis Panji yang langsung mengirimkan
sebuah tendangan dan pukulan
tepat mengenai lambung dan dada lawan. Orang itu langsung terjungkal sambil
memuntahkan darah segar dari mulutnya. Setelah menggigil karena disiksa hawa
dingin yang merasuk tubuhnya, orang itu tewas seketika akibat pukulan dan
tendangan Panji yang sangat kuat itu!
Sedangkan sosok-sosok tubuh lain langsung berhenti, tidak meneruskan serangannya
yang semula diarahkan ke Sundari dan Wijasena. Belasan orang itu tertegun ketika
menyaksikan pimpinan mereka tewas hanya dalam segebrakan saja. Tanpa sadar,
mereka yang semula hendak membunuh Panji, Dewi Tangan Merah dan Pendekar Tangan
Sakti, bergerak mundur dengan wajah pucat!
Namun seketika belasan orang itu bangkit setelah mendengar sebuah suara yang
rupanya sangat ditakuti.
"Mengapa diam saja, murid-murid goblok! Tunggu apa lagi, ayo cincang tubuh
mereka!" perintah sebuah suara yang melengking tinggi bagaikan dengingan nyamuk.
Belum lagi gema suaranya lenyap, tahu-tahu di tempat itu telah berdiri sesosok
tubuh kurus yang tak lain adatah Nyai Serondeng. Dialah yang menjadi majikan di Bukit Nirwana. Sementara di belakangnya
terlihat Setan Muka Kuning, yang rupanya sudah menjadi pengikut Nenek Tongkat
Maut dan tergabung dalam Partai Rimba Hitam!
"He he he.... Selamat bertemu lagi, Pendekar Naga Putih! Apakah kau ingin
melanjutkan pertandingan kita yang tertunda?" ejek Nyai Serondeng.
"Hm..., Nyai Serondeng! Di antara kita tidak terdapat permusuhan. Lalu mengapa
tak membiarkan kami meninggalkan tempat ini" Apakah memang sengaja hendak
mencari permusuhan?" tegas Panji. Wajah Panji terlihat
tegang, karena menyadari kalau di sekitar tempat itu telah dikurung sekitar lima
puluh orang anggota Partai Rimba Hitam. Belum lagi ditambah dengan nenek sakti
itu sendiri dan Setan Muka Seribu yang merupakan pentolan partai itu. Bahkan
masih ditambah lagi Ular Muka Kuning yang mempunyai kepandaian tidak rendah!
Maka dari itu, Panji berusaha untuk mengulur waktu sambil mencari-cari jalan
keluar. Rupanya Nyai Serondeng mengetahui apa yang tengah dipikirkan Panji saat itu.
Melihat sikap yang ditunjukkan Panji, diam-diam Nyai Serondeng merasa kagum
kepada pemuda itu.
"Hm... Entah murid siapa Anak Muda ini. Kepandaiannya hebat sekali dan tidak
berada di bawah kepandaianku!
Seorang pemuda yang hebat!" ujar nenek itu dalam hati.
Sesaat, Panji terdiam Matanya tetap mengawasi sekitarnya.
"He he he..., jangan harap dapat meloloskan diri kali ini Pendekar Naga Putih!
Hari Ini adalah hari penentuan bagi kita!" seru Nyai Serondeng diiringi suara
tawa yang mengikik.
"Hm.... Jadi rupanya kau yang menjadi pimpinan Partai Rimba Hitam?" tanya Panji
tanpa mempedulikan ocehan nenek itu.
"He he he.... Rupanya kau sudah tahu pula tentang partai itu! Memang akulah Nyai
Serondeng, Ketua Partai Rimba Hitam! Sudah puas, Anak Muda. "
"Hm..., kalau begitu kau harus mempertanggung-jawabkan segala perbuatanmu!" ujar
Panji geram. "Huh, sudahlah! Jangan banyak mulut Bersiaplah untuk
mampus! Heaattt...!" dibarengi sebuah teriakan menyakitkan anak telinga tubuh
nenek sakti itu meluncur sambil membabatkan tongkatnya ke tubuh Panji. Serangan
angin berhawa panas berhembus mengiringi datangnya hantaman tongkat yang
bertenaga tinggi itu.
Tranggg! "Aihhh...!" Nyai Serondeng menjerit tertahan, ketika tiba-tiba saja di tangan
Panji telah tergenggam sebatang pedang yang langsung digunakan untuk menangkis.
Keduanya terdorong mundur sejauh delapan langkah.
Ternyata dalam pertemuan tadi, tenaga mereka berimbang! Dan hal ini sangat
mengkhawatirkan Panji.
Karena, kalau bertarung melawan nenek itu, bagaimana ia dapat melindungi kawankawannya" Itulah yang menjadi beban pikiran Panji.
Nyai Serondeng dan Panji saling bertatapan seolah-olah tengah mempelajari
kekuatan tersembunyi yang ada dalam diri lawan masing-masing. Belum lagi
keduanya bergerak, tiba-tiba terdengar suara sorak-sorai bergemuruh! Dan tidak
lama kemudian, terlihat puluhan orang berlarian mendatangi tempat itu, sehingga
untuk beberapa saat lamanya pertempuran antara dua orang sakti itu terhenti!
"Hm..., Pendekar Kujang Emas. Rupanya kau ingin menuntut balas atas kematian
murid kesayanganmu itu, heh!" tegur Nyai Serondeng. Suaranya benar-benar tidak
enak didengar. "Benar! Nenek iblis! Aku dan murid-muridku lebih rela mati terhormat, daripada
hidup sebagai seorang pengecut!" seru orang yang disebut Pendekar Kujang Emas
itu tegas. Rupanya Pendekar Kujang Emas mempunyai urusan pula dengan Nyai Serondeng. Apalagi kalau bukan mengenai
terbunuhnya murid kesayangan Perguruan Kujang Emas. Perguruan itu memang
dipimpin langsung Pendekar Kujang Emas sendiri. Itulah sebabnya, mengapa tahutahu Pendekar Kujang Emas dan murid-muridnya sampai berada di sini.
*** 8 "Anak-anak, serbuuu...!" perintah Pendekar Kujang Emas sambil menggerakkan
tangannya ke depan. Sedangkan ia sendiri sudah mencabut senjatanya dan langsung
menerjang Nyai Serondeng.
Namun sebelum sampai ke tempat Nyai Serondeng berdiri, tiba-tiba Ular Muka
Kuning yang sejak tadi hanya berdiam diri saja, langsung melompat menyambut


Pendekar Naga Putih 04 Partai Rimbah Hitam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serangan Pendekar Kujang Emas.
Tranggg! Tubuh keduanya terdorong mundur ketika dua senjata sating bertemu hingga
menimbulkan pijaran bunga api.
Baik Pendekar Kujang Emas maupun Ular Muka Kuning sama-sama terkejut, ketika
merasakan getaran pada lengan mereka yang memegang senjata. Dan itu menandakan
kalau kekuatan keduanya berimbang. Setelah memeriksa senjata masing-masing,
mereka kembali saling menyerang.
Dan dalam waktu singkat saja, kedua tokoh itu telah terlibat pertempuran sengit.
Sementara itu, Anggota Partai Rimba Hitam yang berjumlah sekitar lima puluh
orang itu, sudah bertempur melawan murid-murid Perguruan Kujang Emas yang
berjumlah tujuh puluh orang lebih. Maka arena pertempuran semakin ramai.
Kilatan-kilatan senjata tajam membelah angkasa, kini telah dibasahi darah. Satu
persatu murid kedua belah pihak mulai berjatuhan! Dan dalam sekejap saja, tempat
itu telah dibanjiri darah segar!
Di tempat lain, Dewi Tangan Merah kini telah berpasangan dengan Pendekar Tangan
Sakti untuk menghadapi Setan Muka Seribu yang memiliki kepandaian di atas
mereka. Jadi wajar saja kalau keduanya bertempur berpasangan.
Ternyata dengan berpasangan dan saling mengisi, Dewi Tangan Merah dan Pendekar
Tangan Sakti mampu menghadapi Setan Muka Seribu yang terkenal lihai itu.
Bahkan mereka mampu pula memaksa Setan Muka Seribu untuk bermain mundur! Dan
keadaan itu memaksa lawan untuk mengerahkan seluruh kepandaiannya dalam
menghadapi gempuran kedua orang pendekar ternama itu.
Sedangkan datuk sesat yang berjuluk Nenek Tongkat Maut itu berhadapan melawan
Pendekar Naga Putih. Dari sekian banyaknya pertarungan yang sedang berlangsung,
pertarungan kedua orang inilah yang paling mendebarkan.
Untunglah pertarungan kedua orang sakti itu terpisah agak jauh dari yang lain.
Kalau tidak, tentu pertempuran lain akan berantakan terkena sambaran-sambaran
angin pukulan mereka yang mengandung hawa berlainan sifat itu. Hawa dingin dan
panas beganti-gantian menguasai arena pertarungan. Di saat Panji di atas angin,
maka udara di sekitar arena akan terasa dingin bagaikan es Tapi apabila dikuasai
Nyai Serondeng, maka udara sekitarnya pun berubah menjadi panas.
Panji yang sudah menggunakan pedang tipisnya, menyerang bagaikan seekor naga
murka. Gerakan-gerakan pemuda itu kini ditunjang 'Tenaga Dalam Gerhana Bulan'.
Bahkan kabut putih bersinar keperakan telah pula
menyelimuti tubuh Panji. Sehingga apabila orang melihat pertempuran itu dari
jarak jauh, pemuda itu benar-benar bagaikan seekor naga putih yang sesuai
julukannya. Setelah melewati tujuh puluh jurus, pertempuran tampak semakin meningkat!
Keduanya kini sudah tidak terlihat lagi bentuk tubuhnya. Yang terlihat kini
hanyalah dua buah bayangan berkelebat saling sambar dan saling desak. Dan memang
sulit untuk mengetahui mana bayangan Panji, dan mana Nyai Serondeng. Ini karena
demikian cepatnya kedua orang itu bergerak.
Pada jurus kedelapan puluh, Nyai Serondeng membabatkan tongkatnya secara
mendatar ke arah kepala Panji.
Namun pemuda itu segera menundukkan kepala dengan kuda-kuda rendah sambil
melontarkan pukulan tangan klrinya Tapi dengan mudah Nyai Serondeng mengelakkannya dengan sedikit menggeser kaki kanan ke samping. Kemudian perempuan
itu langsung melepaskan sebuah tendangan kilat menuju ulu hati Panji.
Melihat tendangan kilat yang muncul mendadak itu, Panji menggenjot tubuhnya
tinggi melambung ke udara sehingga tendangan itu lewat di bawah kakinya.
Dan dari udara Panji melontarkan tendangan berarti yang tepat mendarat di
punggung Nyai Serondeng.
Bukkk! "Oooggghhh...!"
Tubuh Nyai Serondeng langsung terjajar ke depan ketika dua buah tendangan Panji
mendarat di punggungnya. Disaat tubuhnya tengah terhuyung, tiba-tiba nenek itu
berbalik sambil mengkelebatkan tongkatnya untuk menjaga serangan susulan yang
mungkin dilakukan
lawannya. Ternyata dugaan Nyai Serondeng tepat sekali. Panji yang pada saat itu berniat
melakukan serangan susulan, segera mengurungkan niatnya. Kini dia harus melompat
mundur untuk menghindari sambaran tongkat yang berbahaya itu. Pemuda itu berdiri
tegak sambil memandang lawan yang tampaknya telah terluka dalam itu. Ini
terlihat ketika dari sela-sela bibir nenek itu merembes cairan merah! Namun,
Panji belum merasa bangga akan hasil serangannya tadi. Karena, ia pun menderita
rasa nyeri pada kakinya karena berbenturan dengan punggung Nyai Serondeng yang
telah dilindungi tenaga dalam tinggi!
Saat itu Nyai Serondeng kembali sudah menerjang dengan tongkat mautnya yang
berputar sehingga menimbulkan angin ribut. Maka kini keduanya kembali terlibat
pertempuran sengit dan menegangkan.
Di tempat lain, pertarungan Pendekar Kujang Emas yang melawan Ular Muka Kuning,
tampak telah sampai pada puncaknya. Pendekar Kujang Emas terus mendesak lawan
yang sudah mulai dapat dikuasainya itu. Senjatanya berkelebat mengurung tubuh
lawan yang tak mempunyai kesempatan untuk membalas. Hingga pada jurus yang
keempat puluh tiga, Ular Muka Kuning nekad untuk mengadu nyawa dengan lawannya.
Saat itu posisi Ular Muka Kuning benar benar sudah di ambang kematian. Senjata
lawan meluncur deras ke arah tenggorokannya melihat hal ini, Ular Muka Kuning
bukannya menghindar tapi malah segera melepaskan sebuah pukulan keras ke arah
dada Pendekar Kujang Emas. Namun pendekar itu rupanya tidak sudi mengadu
nyawa. Seketika pendekar itu menarik pulang senjatanya. Dan dengan sebuah liukan manis,
tubuhnya bergerak ke samping kiri lawan. Langsung saja dilepaskan sebuah tusukan
kilat ke arah lambung Ular Muka Kuning! Dengan demikian pendekar itu telah
memperoleh dua keuntungan. Sambil menghindari pukulan lawan, dan dapat pula
menusukkan senjatanya tanpa mendapat kesulitan.
Cappp! "Aaarrrggghhh...!"
Ular Muka Kuning meraung ketika kujang di tangan lawan menembus lambung, hingga
amblas sampai gagangnya. Tubuh Ular Muka Kuning melintir disertai semburan darah
saat Pendekar Kujang Emas mendorong senjatanya dan membeset tubuh lawan. Tak di
situ saja. Pada saat tubuh lawan terhuyung-huyung, Pendekar Kujang Emas langsung melompat
dan menjepit leher lawan dengan kakinya. Terdengar bunyi gemeretak dari tulang
leher yang patah ketika pendekar itu memutar badannya dengan kaki masih menjepit
leher lawan. Tubuh Ular Muka Kuning ambruk bersama tubuh lawannya. Tokoh sesat itu tewas
seketika! Sedangkan Pendekar Kujang Emas langsung bangkit, dan menggenjot
tubuhnya ke arena pertempuran lain. Pendekar itu langsung mengamuk hebat
sehingga dalam beberapa gebrak saja telah menewaskan enam orang murid Nyai
Serondeng. Tentu saja amukan pendekar itu membuat para murid Nyai Serondeng
marah. Dan beberapa orang dari mereka langsung memusatkan perhatiannya kepada
pendekar itu. Sedangkan pertarungan yang berlangsung antara Dewi Tangan Merah dan Pendekar
Tangan Sakti melawan Setan Muka Seribu masih berlangsung seru. Kedua belah pihak
telah sama sama terluka. Bahkan nampak gerakan mereka mulai lamban karena
terganggu rasa nyeri yang diderita.
Pertarungan yang berlangsung selama kurang lebih tujuh puluh jurus itu, ternyata
benar-benar telah menguras tenaga dua belah pihak. Sehingga tempo pertarungan
tidak lagi berlangsung mulus. Kadang-kadang berubah menjadi cepat, tapi dilain
saat menjadi lambat kembali.
Bukkk! Desss! Pendekar Tangan Sakti dan Setan Muka Seribu sama-sama terjungkal ketika keduanya
sama-sama menerima sebuah pukulan secara berbarengan. Setan Muka Seribu langsung
bangkit berdiri meskipun dadanya baru saja terkena pukulan lawan. Kekuatan tubuh
tokoh sesat yang satu ini memang hebat sekali! Padahal, batu pun akan hancur
apabila terkena pukulan Pendekar Tangan Sakti yang sangat kuat itu.
Berbeda dengan lawannya, sebaliknya Pendekar Tangan Sakti belum dapat bangkit.
Pendekar itu masih meringis menahan rasa mulas pada perutnya yang terkena
pukulan telapak tangan lawan. Baru setelah agak pulih, pendekar itu dapat
bangkit lagi. Sedangkan pada saat itu, keadaan Dewi Tangan Merah benar-benar
dalam bahaya! Karena biar bagaimanapun, kepandaian Setan Muka Seribu masih jauh
di atasnya. Cepat Pendekar Tangan Sakti bangkit tanpa mempedulikan rasa nyeri yang masih
terasa itu. Tubuhnya segera meluncur, dan kedua tangannya terkembang sambil
mengerahkan seluruh tenaga sakti. Jari-jari kedua tangan pendekar itu bergetar,
pertanda telah mengeluarkan seluruh tenaga sakti yang masih tersisa.
Sementara itu Setan Muka Seribu, melesat menyiapkan pukulan ke arah Dewi Tangan
Merah. Dan.... Desss! Prakkk! Buggg! Tubuh Dewi Tangan Merah terhempas bagai sehelai daun kering, ketika kepalan
Setan Muka Seribu menghantam lambungnya. Berbarengan dengan itu pedang sinar
hijaunya berhasil menggores dada lawan. Dan pada saat yang sama sepasang tangan
yang mengandung kekuatan hebat ternyata juga, menghantam kepala Setan Muka
Seribu. Pada saat yang tepat pula, tokoh sesat itu juga telah melepaskan
hantaman sisi telapak tangan ke arah Pendekar Tangan Sakti yang memiliki
sepasang tangan bertenaga kuat itu.
Setan Muka Seribu terhuyung-huyung dengan gerakan limbung. Darah mengucur deras
dari kepalanya yang retak akibat keprukkan sepasang tangan Pendekar Tangan Sakti
yang mengerahkan seluruh tenaga dalam tinggi. Beberapa saat kemudian, iblis itu
pun tewas menyedihkan.
Sedangkan Pendekar Tangan Sakti yang terkena hantaman sisi telapak tangan lawan,
tergeletak pingsan!
Darah segar mengalir dari celah-celah bibirnya. Dua buah tulang rusuknya telah
patah akibat hantaman lawan yang
sangat kuat itu. Sementara itu sesosok tubuh yang terbungkus pakaian merah telah
berada di sampingnya.
Dia tak lain adalah Dewi Tangan Merah yang bersandar pada sebatang pohon karena
telah pula menderita luka cukup parah akibat pukulan Setan Muka seribu pada
lambungnya. Di arena lain, Panji yang bertarung melawan Nyai Serondeng masih saja
berlangsung sengit! Padahal pertempuran itu sudah melewati seratus jurus! Namun
kekuatan masing-masing masih saja terlihat berimbang.
Diam-diam Panji harus mengakui kehebatan nenek kurus yang menjadi lawannya itu.
Di usianya yang telah melewati enam puluh tahun, ternyata kekuatan dan tenaganya
masih begitu dahsyat.
"Haaaiiittt...!"
Wusss! Dengan sebuah hentakkan nyaring, tiba-tiba saja Nyai Serondeng melompat tinggi
sambil mengayunkan tongkatnya dari atas ke bawah. Sambaran angin panas
mendahului luncuran tongkatnya. Bergegas Panji menggeser tubuhnya ke samping
disertai sabetan pedangnya ke pinggang nenek itu. Tapi, alangkah terkejutnya
Pendekar Naga Putih itu ketika tahu-tahu saja tongkat di tangan lawannya
berputar membabat lehernya. Cepat-cepat ditarik pulang senjatanya. Dan dengan
merendahkan kuda-kudanya, tubuh pemuda itu berputar disertai tendangan kaki
kanan sambil mengerahkan jurus 'Sabetan Ekor Naga Membelah Karang'. Jurus ini
adalah salah satu bagian dari jurus 'Naga Sakti' yang merupakan ilmu
kebanggaannya. Nyai Serondeng berseru kagum melihat kegesitan
Panji. Nenek itu segera menarik pulang tongkatnya dan langsung memapaki
tendangan Panji. Hal ini membuat pemuda itu menjadi terkejut setengah mati.
Karena untuk menarik kakinya sudah tidak mungkin lagi. Maka Panji pun
menyalurkan seluruh tenaga dalamnya ke arah kaki yang menendang itu.
Desss! "Uhhh...! "
Terdengar suara bagai bara dicelupkan dalam air ketika tongkat di tangan nenek
itu bertemu kaki Panji. Keduanya berseru kaget! Dan masing-masing mengakui
kehebatan lawannya. Panji yang mempunyai posisi lebih lemah itu cepat melempar
tubuhnya dan bergulingan mengikuti dorongan akibat benturan dahsyat itu. Dan
pemuda itu menjadi terkejut sekali ketika mendapati celana pada bagian betisnya
hancur, akibat benturan dua tenaga berlainan sifat itu. Ketika diperiksa bagian
kakinya, tidak terlihat luka sedikit pun. Maka hatinya menjadi lega.
Dipihak lain, Nyai Serondeng pun menjadi terkejut mendapati kenyataan kalau
tongkatnya sama sekali tidak mampu melukai lawannya yang masih sangat muda itu.
Dengan hati dipenuhi rasa malu dan penasaran, Nyai Serondeng segera melompat
mengejar Panji yang tengah bergulingan itu. Langsung dihantamkan tongkat
hitamnya sekuat tenaga ke punggung pemuda itu.
Panji yang merasakan ada sambaran angin panas menerpa punggung menjadi kaget!
Ketika dilirik, ternyata nenek kurus itu sedang mengayunkan tongkat mautnya.
Menghadapi serangan yang mematikan itu, tubuh Panji mendadak melenting
mengerahkan jurus 'Naga Sakti
Menggeliat' yang merupakan bagian ketujuh dari "Jurus Naga Sakti".
Hebat dan tak terduga sama sekali gerakan yang dilakukan Panji itu. Tubuh pemuda
itu tiba-tiba melenting ke udara dan langsung berputar di udara beberapa kali.
Itu pun disertai ayunan pedang untuk membabat tangan Nyai Serondeng yang
memegang tongkat hitam itu. Dan...
Wusss Crakkk! "Aaakh...!
Nyai Serondeng meraung tjnggi ketika pedang di tangan Panji menebas lengannya
sebatas siku! Darah seketika muncrat dari tangan yang buntung itu, tubuh nenek
itu terhuyung-huyung sambil memegangi lengan kanannya yang telah buntung itu.
Dan sebelum menyadari keadaannya, tubuh Panji meluruk sambil berputar
mengerahkan jurus 'Naga Sakti Kembali Kesarang'. Dan kini mata pedang meluncur
deras menuju ulu hati lawannya.
Cap! "Aaarrrggghhh...!"
Nyai Serondeng menjerit ngeri ketika pedang bersinar putih keperakan di tangan
Panji menancap di tubuhnya.
Seketika nenek itu terhempas ke belakang ketika pedang yang menancap di tubuhnya
disentakkan Panji dengan kuatnya! Tubuh Nyai Serondeng terbanting, dan tewas
seketika. Perutnya terkoyak lebar dan tangan kanannya buntung, kini tamatiah
riwayat datuk sesat dari Selatan itu di tangan Pendekar Naga Putih.
Setelah memastikan bahwa lawannya telah tewas, Panji
melangkah menghampiri Dewi Tangan Merah dan Pendekar Tangan Sakti yang tengah
mengawasinya. Tanpa berkata sepatah pun, pemuda itu segera menyerahkan sebutir
pil kepada kedua orang kawannya yang tengah terluka dalam itu.
Sementara pertempuran yang Iain seketika berakhir.
Para pengikut Partai Rimba Hitam yang masih hidup dibebaskan Pendekar Kujang
Emas. Mereka diberi peringatan agar meninggalkan kehidupan yang selama ini
dijalani Pendekar Kujang Emas melangkah menghampiri Panji, Sundari, dan Wijasena yang
berada tidak jauh dari tempatnya. Karena biar bagaimanapun, ia harus ber-terima
kasih kepada ketiga orang yang menurutnya telah ikut membantu dalam menumpas
Partai Rimba Hitam yang dipimpin Nyai Serondeng.
"Kisanak. Kalau mataku tidak salah menilai, bukankah kau yang berjuluk Pendekar
Naga Putih yang tersohor itu?" sapa Pendekar Kujang Emas ketika tiba di dekat
Panji. Ia menduga demikian, karena sepintas tadi melihat jalannya pertempuran
antara Nyai Serondeng melawan pendekar itu. Dan pada tubuh pemuda itu terlihat
adanya selapis kabut bersinar putih keperakan, yang menjadi ciri-ciri Pendekar
Naga Putih. Itulah ciri-ciri yang selama ini didengarnya.
"Ah! Sebuah julukan yang berlebihan, Paman!" jawab Panji yang menyebut paman
karena melihat pendekar itu paling tidak telah berumur sekitar empat puluh
tahun. "Oh ya, kenalkan kedua orang reman saya, Paman.
Mereka adalah Sundari dan Wijasena." ujar Panji
mengenalkan. Mereka pun saling berkenalan dan berbincang-bincang, sebelum akhirnya Panji
sadar "Eh! Kalian sembunyikan di mana Suntara dan Rahayu...?" tiba-tiba Panji berkata
sambil mencari-cari dua orang yang dimaksud Dan Pendekar Naga Putih terkejut
ketika melihat dua orang kakek tengah bersila dekat tubuh kedua orang kawannya
itu. "Hei, siapa pula kedua orang kakek itu?"
Sundari, Wijasena, dan Pendekar Kujang Emas serentak menolehkan kepalanya ke
arah yang ditunjuk Panji.
"Guru...!" Pendekar Tangan Sakti berseru gembira ketika mengenali salah seorang
dari kedua kakek itu.


Pendekar Naga Putih 04 Partai Rimbah Hitam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan langkah tertatih-tatih bergegas dihampirinya.
Sementara Panji, Sundari, dan Pendekar Kujang Emas ikut mendekati.
"Hm... Wijasena! Bagaimana kabarmu...?" ujar kakek tua yang tak tain adalah Ki
Tunggul Jagad ketua Perguruan Gunung Salaka. Orang tua sakti itu mengusap lembut
rambut kepala Wijasena yang bersujud di depannya.
"Ki Ageng Pandira. Apakah, Ki Ageng baik-baik saja?"
sapa Wijasena kepada kakek yang satunya lagi.
"Hm. Bersyukurlah kepada Tuhan yang telah menyelamatkan kita semua," kata kakek
itu yang ternyata adalah Ki Ageng Pandira, ketua Perguruan Gunung Sutra.
Kemudian secara berturut-turut Panji, Sundari, dan Pendekar Kujang Emas ikut
pula bertegur sapa dengan kedua orang tua sakti itu.
"Bagaimana keadaan Suntara dan Rahayu, Ki?" tanya
Panji ketika melihat kedua orang itu masih rebah tak sadarkan diri
"Hm... Kami baru saja mengobati mereka. Dan paling tidak, mereka harus
beristirahat sekitar dua pekan untuk memulihkan kesehatan akibat pengaruh racun
ganas yang dimasukkan Nyai Serondeng ke tubuh mereka," ujar Ki Ageng Pandira
memberi penjelasan.
"Terima kasih atas kesediaanmu yang telah bersusah payah menolong kami, Nak
Panji. Kami harus segera membawa pulang mereka ke perguruan. Mari Wijasena,"
ajak Ki Tunggul Jagad kepada muridnya.
Setelah saling berpamitan, kedua orang tua sakti itu pun berkelebat lenyap dari
pandangan ketiga orang itu.
"Kau akan pergi ke mana, Kakang...?" tanya Sundari ketika Panji ikut berpamitan
kepadanya dan kepada Pendekar Kujang Emas. Dari nada suaranya jelas sekali kalau
gadis itu terasa berat untuk berpisah dengan Panji.
"Entahlah, Sundari. Aku hanya mengikuti ke mana kakiku melangkah."
"Kalau begitu aku ikut, Kakang...," dan tanpa menunggu persetujuan Panji lagi,
Sundari sudah melangkah di samping Pendekar Naga Putih yang tidak kuasa untuk
mencegahnya. SELESAI Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr) Edit Teks (fujidenkikagawa)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com Thread Kaskus:
http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Pendekar Naga Mas 4 Dewa Linglung 5 Munculnya Pedang Mustika Naga Merah Bara Diatas Singgasana 28

Cari Blog Ini