Pendekar Naga Putih 97 Pembalasan Topeng Tengkorak Bagian 1
PEMBALASAN TOPENG TENGKORAK
oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Pembalasan Topeng Tengkorak
128 hal. ; 12 x is cm
1 Angin bertiup keras di atas puncak Bukit Guntar, berusaha menyapu dua sosok
tubuh yang tengah berdiri berhadapan saling menatap. Sorot mata masing-masing
begitu tajam, menunjukkan kalau mereka siap saling gebrak!
Yang seorang adalah kakek berusia sukar ditaksir. Wajahnya rusak berat! Kedua
matanya menjorok ke dalam. Bola matanya kecil, seperti titik. Yang terlihat
hanya dua kilatan sinar segi empat saja dan tampak mengerikan. Hidungnya hanya
tinggal batangnya saja, tanpa cuping. Demikian pula mulutnya. Jelasnya, hampir
seluruh daging di wajahnya habis, sehingga membuat sosok kakek ini seperti
tengkorak hidup!
Sementara, sosok yang satu lagi adalah laki-laki berusia setengah baya. Badannya
tinggi tegap, berpakaian abu-abu. Tangannya yang berotot kekar tampak mengepal,
siap melontarkan tinjunya yang dahsyat.
"Kau sudah siap menerima ganjaranmu, Tinju Gledek!" terdengar suara aneh dari
mulut kakek yang mirip tengkorak hidup. Meskipun tidak begitu jelas diucapkan,
namun bergaung memenuhi penjuru bukit tempat mereka berdiri berhadapan.
"Tidak perlu berbasa-basi lagi, Iblis Laknat!" sosok bertubuh tinggi tegap
berpakaian abu-abu yang dipanggil Tinju Gledek, menukas cepat "Dulu, nasib baik
mungkin masih berpihak kepadamu. Namun kini tidak mungkin bisa terulang lagi!"
"Bagus kalau kau menyadarinya!" suara si Muka Mengkorak kembali bergema, tajam
dan menggidikkan. "Karena, hari ini kau akan terbujur menjadi mayat!"
Belum lagi hilang suara aneh yang diucapkannya hilang, seketika tubuh kakek
berwajah tengkorak ini sudah melesat cepat bagai kilat. Sosoknya seakan lenyap,
berubah sinar hitam yang meluncur deras ke arah Tinju Gledek.
Tinju Gledek bukanlah tokoh bau kencur yang mudah begitu saja dikelabui.
Meskipun lawannya tidak terlihat jelas, namun dari sambaran angin yang datang
dia tahu bagian tubuhnya mana yang diincar.
Bwet! Bwet! Ketika senjata si Muka Tengkorak menyambar, tampak sinar hitam berkeredap
disertai sambaran angin bercuitan. Namun, Tinju Gledek telah menggeser tubuhnya.
Sehingga, senjata aneh berbentuk tombak yang ujungnya bercagak tiga mirip
trisula, hanya menyambar angin kosong. Dan sebelum serangan balasan dilancarkan
Tinju Gledek, si muka tengkorak telah memutar senjatanya. Lalu dengan kecepatan
tinggi langsung ditusukkannya ke tubuh lelaki berjuluk Tinju Gledek.
Karena untuk menghindar sudah tak mungkin, laki-laki tegap berpakaian abu-abu
cepat mengibaskan tangannya, memapak.
Plakkk! Tinju Gledek tak dapat menahan kagetnya, sehingga tergambar di wajahnya yang
tampak berkerut. Betapa tidak" Ternyata kibasan tangannya, justru membuat
tubuhnya terpental beberapa langkah. Kenyataan ini benar-benar di luar
perhitungannya.
"Gila...!" desis Tinju Gledek, dengan hati berdebar dan wajah menegang! "Sungguh
tidak kusangka kepandaiannya telah meningkat begitu pesat! Entah dari mana ilmuilmu tinggi luar biasa itu diperolehnya?"
"Sudah kubilang saat ini adalah hari kematianmu, Tinju Gledek!" ejek si Muka
Tengkorak. "Dewa Seribu Bayangan telah mendahuluimu kemarin. Dan aku yakin, kau
sudah tidak sabar lagi untuk menyusulnya!"
Tinju Gledek kembali menampakkan keterkejutan di wajahnya.
"Maksudmu...!"
"Hiaaat...!"
Kata-kata Tinju Gledek tertahan, begitu terdengar teriakan lantang menggelegar.
Secara licik, si Muka Tengkorak sudah menyerang dengan senjata terhunus.
Betapa geramnya hati Tinju Gledek menyaksikan kecurangan lawannya. Tapi dia
tidak bisa berlama-lama hanyut dalam kegeraman. Cepat bagai kilat tubuhnya
bersalto ke belakang. Lalu begitu kedua kakinya menjejak tanah langsung
dipersiapkannya 'Ilmu Tinju Gledek'.
"Haaat...!"
Disertai satu pekikan mengguntur, Tinju Gledek menyerang si Muka Tengkorak.
Kedua kepalannya terselimuti cahaya putih, menderu susul-menyusul. Sesekali dari
kepalanya berkelebat sinar putih disertai ledakan keras berhawa panas
menggiriskan. Cusss! Cusss! Begitu selesai mengirimkan serangan, rasa kaget muncul kembali di hati Tinju
Gledek. Ternyata senjata andalan yang berupa larikan-larikan cahaya putih yang
biasanya sanggup menghanguskan apa saja, kini sirna, begitu membentur salah satu
ujung senjata si Muka Tengkorak.
Dari kepulan asap kehitaman setiap kali benturan terjadi, si Tinju Gledek sadar
kalau senjata lawannya adalah pusaka langka yang mampu meredam pukulan-pukulan
sakti. Kenyataan ini membuat hatinya bergetar. Keampuhan pukulan yang selama ini
dibanggakan, ternyata sama sekali tidak berarti bagi si Muka Tengkorak. Ini
berarti nyawanya benar-benar dalam bahaya!
"Hiaaat...!"
Setelah pertarungan berlangsung hingga empat puluh jurus, si Muka Tengkorak
kembali membentak.
Serangan-serangan si Muka Tengkorak datang bagaikan gelombang air bah. Maka tiba
saatnya bagi Tinju Gledek untuk membangun pertahanan dengan mengerahkan seluruh
kemampuannya. Namun, usahanya ini agaknya tak mampu membendung rentetan serangan
si Muka Tengkorak, yang benar-benar dahsyat dan menggiriskan.
Sebisanya, Tinju Gledek berusaha mengibaskan tangannya.
Plak! Sambaran pertama masih dapat ditepis Tinju Gledek, kendati tubuhnya harus
terjajar limbung. Dan kesempatan ini segera digunakan si Muka Tengkorak
menyarangkan sebuah tendangan keras.
Desss...! "Huakh...!"
Tubuh Tinju Gledek terjengkang dan berguling-guling, begitu dadanya telak
terhajar tendangan si Muka Tengkorak. Segumpal darah kental keluar dari mulut
laki-laki tegap berpakaian abu-abu. Sesaat tubuhnya terduduk lemas di tanah.
Meskipun demikian, Tinju Gledek tidak mau menyerah begitu saja. Dengan sisa-sisa
kekuatan yang ada, dia berusaha bangkit melanjutkan pertarungan lagi. Namun
sebelum tubuhnya bangkit dengan tegak, ujung-ujung senjata si Muka Tengkorak
telah berdesing dan langsung menusuk tenggorokannya.
"Hehkh!"
Mata Tinju Gledek terbeliak seperti hendak terlompat dari rongganya. Wajahnya
merah kehitaman, merasakan sakit luar biasa.
"Chiaaa...!"
Setelah memperdengarkan tawa anehnya yang menggetarkan, si Muka Tengkorak
membentak sengau menyentakkan senjatanya. Dan ini membuat tubuh Tinju Gledek
ikut terlempar dan jatuh terguling-guling.
Tubuh Tinju Gledek baru terhenti ketika membentur sebuah batu besar. Sesaat
tubuhnya menggelepar bagai ayam disembelih, kemudian mengejang dan tewas dengan
mata terbeliak lebar.
"Ha... ha ha ha...!"
Si Muka Tengkorak kembali memperdengarkan tawanya yang menggiriskan.
Kepalanya mendongak ke atas, menatap langit yang beranjak sore. Beberapa saat
kemudian, tubuh tinggi kurus kering ini melesat pergi diiringi tawa bagai iblis
yang berkepanjangan.
*** Dua lelaki gagah berpakaian perwira tinggi kerajaan tampak melompat turun dari
punggung kuda. Setelah menambatkan kudanya pada batang pohon di bawah bukit,
bergegas mereka mendaki lereng. Jalan yang dilalui kedua lelaki ini memang sulit
bila menggunakan kuda.
Tiba di atas puncak bukit, keduanya berhenti sebentar. Dengan penuh kerinduan,
dipandanginya sekeliling puncak bukit itu. Beberapa kali kedua lelaki ini
menarik napas panjang, seolah hendak mengisi dadanya dengan hawa segar di puncak
ini. "Hhh...," desah lelaki yang berkumis tipis. "Setelah berada di sini, baru
kusadari betapa besarnya kerinduanku pada tempat ini. Betapa indah dan manis
masa-masa yang pernah kita lalui. Ah...! Betapa senang mengenang masa-masa itu,
Kangmas." Sementara lelaki yang tubuhnya lebih tinggi dan kekar daripada lelaki berkumis
tipis, hanya tertawa perlahan. Wajahnya berseri-seri. Pandangan matanya
berbinar, tanda tengah merasakan hal serupa.
Seketika tawa laki-laki tinggi kekar ini semakin tinggi. Dan akhirnya menjadi
gelak tawa berkepanjangan, bergaung memenuhi penjuru puncak bukit.
"Eh! Mengapa kau tertawa seperti itu, Kangmas Dinoyo..."!" tanya lelaki berkumis
tipis seraya menatap laki-laki tinggi tegap yang bernama Dinoyo penuh keheranan.
"Ha ha ha...! Lucu... lucu...!"
Dinoyo, malah menggeleng-geleng sambil menunjuk-nunjuk wajah kawannya.
Tawanya semakin keras, sehingga membuat tubuhnya berguncang-guncang.
"Eh, mengapa"! Ada apa dengan wajahku..."!"
Lelaki berkumis tipis itu semakin heran dan bingung. Merasa ada sesuatu yang
mengotori wajahnya, segera tangannya bergerak mengusap. Namun ini justru membuat
tawa Dinoyo semakin menjadi-jadi. Tubuhnya sampai terbungkuk-bungkuk sambil
memegangi perutnya yang mendadak mual, melihat tingkah kawannya yang semakin
menggelitik. "Bukan.... Bukan wajahmu yang lucu, Dimas Lugino. Tapi..., tapi...."
Dinoyo mengatur napasnya yang tersengal-senggal, sehingga ucapannya terpatahpatah. Ditariknya napas dalam-dalam, kemudian melanjutkan ucapannya.
"Masa kanak-kanak kita, Dimas! Ingatan itulah yang membuatku tertawa!" jelas
Dinoyo. Lelaki berkumis tipis yang bernama Lugino termangu dengan wajah
ketololan. Keningnya berkerut membayangkan masa lalunya semasa kanak-kanak. Dalam benak
mereka berdua memang banyak menyimpan kenangan manis dan kejadian menggelikan
yang pernah dilalui bersama. Tetapi peristiwa yang mana yang membuat Dinoyo
terpingkal-pingkal" Ini yang membuatnya bingung.
"Kau ingat kejadian di hutan sebelah selatan bukit ini, saat Guru pernah
menyuruh kita mencari kayu bakar?" pancing Dinoyo, membantu ingatan Lugino yang
sedang berpikir keras. "Peristiwa itu terjadi sewaktu kau berusia kira-kira
sembilan tahun. Ingat?"
"Mmm.... Kalau tidak salah, waktu itu kita bertemu harimau...," kata Lugino
sambil berpikir.
"Betul..., betul! Ha... ha... ha...!" sahut Dinoyo, membenarkan.
"Ha... ha... ha...!"
Dan tawanya kembali terdengar keras. Tanpa dapat ditahan lagi, Lugino pun
tergelak-gelak sampai mengeluarkan air mata. Peristiwa itu memang masih
terbayang jelas di benaknya. Betapa ia berdiri gemetar sampai terkencing-kencing
ketika seekor harimau menghadang mereka.
Binatang buas mengerikan itu tampak sangat kelaparan. Dia melangkah maju
disertai gerengannya yang menggetarkan jantung, menuju ke arah Dinoyo dan
Lugino. Lugino saat itu dibasahi keringat dingin. Jantungnya berdegup keras seperti mau
copot. Karena takutnya, seketika kayu bakar di tangan Lugino terjatuh. Badannya gemetar
sampai tak terasa terkencing-kencing di celana. Sedangkan Dinoyo hanya berdiri
gemetar dengan wajah memucat bagai mayat, tanpa tahu apa yang harus diperbuat.
"Untung saat itu Guru cepat menolong. Kalau tidak, mungkin hidup kita telah
tamat dimakan harimau itu," kenang Dinoyo.
"Tapi justru karena peristiwa itu, kita semakin giat berlatih. Jadi, sudah
sepatutnya kita berterima kasih kepada harimau itu. Bukan malah membunuhnya
setelah beberapa tahun kemudian," timpal Lugino, berkelakar.
Dinoyo mengangguk-angguk membenarkan. Tapi sesaat kemudian, keningnya berkerut.
Pandangannya dialihkan ke arah sebuah bangunan pondok sederhana, yang berjarak
beberapa tombak dari tempat mereka berdiri. Pondok itu berada di dataran yang
agak tinggi. Meskipun agak jauh dan tampak samar, namun itu dapat dilihat dengan
jelas. "Aneh..."!" bisik Dinoyo tiba-tiba penuh curiga. Kemudian kepalanya berpaling
kepada Lugino. "Telah cukup lama kita berdiri di sini sambil tertawa-tawa.
Mustahil jika Guru tidak mendengarnya...?"
Mendengar ucapan Dinoyo, seketika jantung Lugino berdebar lebih cepat dari
biasanya. Ada bias kecurigaan terlihat di wajahnya.
"Mungkin beliau sedang tak berada di pondok...," desah Lugino, menghibur hatinya
yang tiba-tiba timbul perasaan tak enak. "Mari kita lihat, Kangmas...!"
Tanpa menunggu jawaban lagi Lugino langsung melesat menuju pondok. Dinoyo segera
menyusul, hingga keduanya seperti berlomba untuk tiba lebih cepat di pondok
sederhana itu. *** "Guru...!"
Dinoyo yang tiba lebih dulu langsung memanggil gurunya. Kemudian tubuhnya
langsung menerobos masuk, ketika ternyata pintu tidak terkunci. Lugino menyusul,
melompat masuk ke dalam ruangan.
Dinoyo dan Lugino tertegun ketika mendapati pondok yang telah kosong. Bergegas
mereka menuju kamar yang cuma satu-satunya. Dan ternyata, juga kosong! Maka
Dinoyo dan Lugino segera keluar dari pondok.
"Kita berpencar...!" ujar Dinoyo. Kemudian tubuhnya bergerak ke arah utara.
Sedang Lugino melesat ke arah selatan.
Lugino segera memeriksa daerah yang cukup banyak ditumbuhi pepohonan.
Langkahnya dihentikan sambil memperhatikan sekelii.ngnya. Hatinya berdebar
tegang, ketika menemukan bekas-bekas pertarungan.
"Kangmas Dinoyo, cepat kemari...!"
Lugino memanggil Dinoyo, kakak seperguruannya, melalui suara yang mengandung
tenaga dalam. Suara Lugino, yang berkumandang ini, tertangkap pendengaran Dinoyo. Maka setelah
memutar tubuhnya, tubuhnya segera bergegas menuju ke tempat Lugino.
"Coba perhatikan di sekitar tempat ini, Kangmas...!"
Lugino langsung berseru sambil menunjuk ke bekas-bekas perkelahian, meskipun
Dinoyo belum sampai di tempat.
Adanya batang-batang pohon yang tumbang wperti terkena bekas pukulan, tanah yang
seolah habis diinjak-injak kerbau liar, membuat kening Dinoyo berkerut dalam.
Hatinya berdebar keras, membayangkan hal-hal yang tidak diinginkan.
"Melihat keadaan pohon ini," kata Dinoyo sambil memegang satu sisa dari pohon
yang tumbang. "Jelas, 'Tinju Gledek' milik Guru yang mematahkannya. Artinya
Gurulah yang telah bertarung di tempat ini!" Tentu saja, mereka berdua paham
betul dengan ilmu pukulan yang juga telah diwarisi guru mereka, yang tak lain
Tinju Gledek. "Kangmas, lihat...!"
Tiba-tiba saja, Lugino berseru sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah
sebuah batu besar. Lalu, tanpa menunggu lagi tubuhnya langsung melesat ke arah
batu itu. Dinoyo dan Lugino berdiri gemetar ketika melihat bercak-bercak darah pada batu
besar itu yang ternyata membentuk huruf-huruf, seperti sengaja ditinggalkan
orang. Tinju Gledek sudah kuhapus keberadaannya dari muka bumi ini!
Jejak ini sengaja kutinggalkan.
Bagi yang ingin membalaskan kemasannya, temui aku di Gunung Bromo!
Raja Ular Siluman
"Raja Ular Siluman...!"
Dinoyo dan Lugino saling bertukar pandang.
"Kita harus menuntut balas, Kangmas!" desis Lugino seraya mengepalkan tinjunya
erat-erat sehingga, kuku-kuku jarinya memperdengarkan suara berkerotokan.
"Pasti, Dimas! Pasti!" sahut Dinoyo dengan sorot mata berapi. "Tapi sebelumnya
kita harus dapat menemukan...."
Dinoyo tidak melanjutkan ucapannya. Dan saat itu matanya melihat Lugino tengah
memandang ke bawah tebing di balik batu. Segera dihampirinya Dinoyo.
"Guru...!" desis Dinoyo bergetar.
Sesosok tubuh bersimbah darah, tersangkut di antara akar pepohonan, yang
Pendekar Naga Putih 97 Pembalasan Topeng Tengkorak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
meranggas liar di dinding tebing, membuat Dinoyo tidak dapat menahan air matanya
lagi. Dinoyo merasa hatinya seperti disayat pisau tajam. Apalagi, sosok itu tidak lain
gurunya. Si Tinju Gledek!
Dengan akar pohon yang dijalin menjadi tali, Dinoyo berusaha menuruni tebing
yang tidak terlalu dalam. Langsung dihampirinya mayat si Tinju Gledek. Dengan
sebelah tangan dipanggulnya tubuh gurunya. Dinoyo segera bergerak naik dengan
cara berlompatan sambil melibat tali akar pohon itu dengan lengan kirinya.
Gerakannya demikian ringan, tanda ilmu meringankan tubuhnya sudah mencapai
tingkat tinggi. Dan beberapa saat saja, dia telah tiba kembali di atas tebing.
"Raja Ular Siluman...!" desis Dinoyo penuh dendam ketika teringat nama yang
tertera di atas batu, dan ditulis dengan darah gurunya. "Tunggulah pembalasan
kami...!" Suara Dinoyo terdengar menggeletar, terbawa perasaan dendam yang bergejolak
memenuhi dadanya.
"Kematian guruku harus ditebus dengan darahmu, Iblis Laknat...!"
Lugino pun menggeram dengan wajah membesi. Gambaran penyesalan tampak jelas di
wajahnya. Karena, dia belum sempat membalas kebaikan budi gurunya, yang telah
bersusah-payah mendidik dan membesarkan. Padahal kedatangan mereka berdua di
tempat ini adalah untuk membahagiakan gurunya. Tapi kini, semuanya kandas!
"Satu-satunya bakti yang bisa ditunjukkan sebagai tanda hormat dan cinta kita
kepada Guru adalah, dengan mencari manusia laknat berjuluk Raja Ular Siluman
itu. Sekaligus menuntut balas atas perbuatannya...," kata Dinoyo seolah mengetahui
jalan pikiran adik seperguruannya.
Hal ini memang tidak aneh. Karena baik Dinoyo maupun Lugino sudah bersepakat
untuk membawa guru mereka ke kotaraja.
Lugino menoleh. Tangannya diulurkan, menjabat erat tangan Dinoyo.
2 "Pendekar Naga Putih...!"
Sebuah suara panggilan, membuat sosok pemuda tampan berjubah putih yang tengah
melangkah, bergegas memutar tubuhnya. Sejak semula, pemuda yang dipanggil
Pendekar Naga Putih ini mendengar adanya suara langkah orang berlari dari
belakangnya. Namun, tak urung panggilan ini sempat membuat hatinya terkejut. Apalagi ketika
ternyata yang memanggilnya seorang gadis berwajah cantik.
Gadis muda ini mempercepat langkahnya, menghampiri pemuda yang memang Panji
alias Pendekar Naga Putih.
Setelah meninggalkan Gunung Tengger, Pendekar Naga Putih harus melakukan
perantauan seorang diri. Biasanya, dia memang ditemani Kenanga, kekasihnya. Tapi
karena gadis itu harus menemani pamannya, yang tengah melakukan tugas demi
kepentingan kadipaten, mereka terpaksa berpisah. Panji sendiri kini menempuh
menuju Pamotan.
Kening Panji berkerut melihat gadis yang berpakaian serba putih yang tengah
berlari menghampirinya. Terus-terang, dia memang tidak mengenal gadis itu.
"Kau..., kau Pendekar Naga Putih, bukan?" tanya gadis berpakaian serba putih itu
langsung, begitu tiba di hadapan Panji.
Pertanyaan itu diucapkan, hanya untuk meyakinkan kalau tidak salah mengenali
orang. Terdengar helaan napas lega gadis itu ketika melihat Panji mengangguk.
"Siapakah, adik ini sebenarnya" Maafkan ingatanku yang buruk ini," ucap Panji,
merasa tak mengenali gadis di hadapannya.
"Kita memang belum pernah berjumpa, Pendekar Naga Putih...."
"Panggil saja aku Panji, Dik," tukas Panji, memperkenalkan namanya. Memang,
gadis ini nampak canggung saat menyebut julukan Pendekar Naga Putih.
"Namaku Nurita," jawab gadis berpakaian serba putih, memperkenalkan diri.
Perlahan kepala gadis bernama Nurita ini merunduk. Ada pancaran kesedihan
mendalam yang tergambar di wajahnya. Hal ini membuat kening Panji berkerut.
"Ada apa, Dik" Apakah ada sesuatu yang bisa kubantu?" Panji menawarkan, menduga
kalau gadis ini tengah dilanda permasalahan rumit.
"Aku..., aku memang sedang membutuhkn bantuanmu, Pendek... eh. Panji," jawab
Nurita tergagap.
Kemudian, dengan menghela napas, Nurita langsung menceritakan apa saja yang
menjadi ganjalan hatinya. Sementara Panji mendengarkan penuh perhatian, tanpa
sekali pun ingin memotong. Sampai semua yang dipaparkan Nurita tuntas, kepala
Pendekar Naga Putih masih manggut-manggut.
"Raja Ular Siluman...!" desis Panji mengulang julukan yang diduga adalah tokoh
golongan hitam. "Apa alasan Raja Ular Siluman hendak membunuh ayahmu, Nurita?"
"Kurang lebih sepuluh tahun silam, Ayah bersama beberapa tokoh golongan putih
pernah mengeroyok Raja Ular Siluman. Akhirnya tokoh sesat itu tewas terjerumus
ke dalam jurang. Tapi belakangan, Ayah mendengar tokoh sesat itu muncul lagi.
Bahkan telah menewaskan dua orang sahabat Ayah, yang dulu ikut bersama
mengeroyok Raja Ular Siluman. Dan dengan sombong, si Iblis Jahat itu sengaja
meninggalkan jejak. Dia bermaksud menantang siapa saja yang bermaksud membalas
dendam, untuk datang ke Gunung Bromo. Demikian apa yang kuketahui dari Ayah,"
papar Nurita, disertai helaan napas panjang. Sebentar gadis itu menghentikan
ceritanya. Mungkin untuk sekadar menguatkan hatinya. "Setelah mendengar kabar
kemunculan iblis itu, Ayah lalu menyuruhku mencari dan meminta bantuan seorang
pendekar berjuluk Pendekar Naga Putih. Ayah bilang, kau pasti akan bersedia
menolong. Nama besarmu sudah terdengar hampir di tiap pelosok Jawa Timur ini.
Lalu, aku bermaksud pergi ke Gunung Tengger.
Karena belakangan ini, kudengar kabar kalau jejakmu berada di sekitar daerah
pegunungan itu. Namun tak disangka, nasibku mujur. Sehingga kita bisa bertemu di
sini," tutur Nurita sambi! mengawasi wajah Panji, yang membuat hatinya bergetar.
"Lalu mengapa tidak beliau saja yang mencariku?"
Pertanyaan itu diajukan Panji, sekadar untuk menghilangkan perasaan risih yang
menjalari hatinya, membuat Panji agak jengah.
"Waktu itu Ayah pergi untuk mencari Raja Ular Siluman. Menurut Ayah, lebih baik
mencari daripada menunggu, yang justru akan membuat hatinya tak tenang."
Sampai di sini Nurita berhenti. Kemudian kepalanya ditundukkan dalam-dalam.
Terdengai isak yang berusaha ditahan, namun tetap saja tertangkap telinga Panji.
"Jadi, kau menduga ayahmu sudah tewas...?" Innya Panji, hati-hati.
"Aku tidak tahu...," sahut Nurita menggeleng dungan suara terpatah-patah.
Ketika gadis itu mengangkat wajahnya, tampak butiran-butiran air bening
membasahi pipinya yang halus.
"Jejak Raja Ular Siluman sendiri tidak ada yang tahu. Malah sekarang, muncul
iblis lain yang lebih kejam daripada Raja Ular Siluman. Dari kabar yang
kudengar, tokoh iblis ini berwajah mengerikan. Sehingga dia dijuluki Iblis
Topeng Tengkorak! Kemunculannya memang belum lama. Tapi, keganasannya membuat
nama Iblis Topeng Tengkorak mencuat ke seantero dunia persilatan. Dia banyak
dibicarakan orang, karena membuat resah tokoh-tokoh golongan putih. Memang,
tampaknya Iblis Topeng Tengkorak mempunyai penyakit gila membunuh! Hhh....
Keadaan saat ini benar-benar kacau! Persoalan Raja Ular Siluman belum lagi
tuntas, kini muncul Iblis Topeng Tengkorak Bahkan lebih gila lagi!"
"Hm.... Apakah kau tahu, di mana tempat tinggal Raja Ular Siluman?" tanya Panji,
sambil menatap gadis itu penuh iba.
Panji memang lebih tertarik pada sepak terjang Raja Ular Siluman daripada Iblis
Topeng Tengkorak. Apalagi Nurita membutuhkan bantuannya untuk menghadapi Raja
Ular Siluman. Nurita menggeleng perlahan.
"Kalau begitu, kita harus menyelidikinya lebih dulu. Kita tidak boleh bertindak
ceroboh, sebelum tahu betul kekuatan lawan. Siapa tahu Raja Ular Siluman
mempunyai banyak pengikut. Dan mungkin saja, Iblis Topeng Tengkorak adalah salah
seorang pengikut Raja Ular Siluman yang sengaja diperintahkan untuk membuat
kacau suasana. Dengan demikian, Raja Ular Siluman akan lebih mudah menemukan musuh-musuhnya,"
papar Panji yang memang sudah mengambil keputusan untuk membantu Nurita. "Mudahmudahan saja ayahmu bukan salah satu di antara korban-korban keganasan Iblis
Topeng Tengkorak...."
"Kecil sekali kemungkinannya...," desah Nurita tersendat.
"Berdoalah...," ujar Panji berusaha menanamkan harapan di hati Nurita.
Nurita mengangguk lemah. Kakinya segera melangkah ketika Panji mengajaknya untuk
mencari tempat tinggal Raja Ular Siluman yang tengah mengganas ini
*** "Nurita," panggil Panji seraya menoleh tanpa menghentikan langkahnya.
"Bagaimana kau dapat langsung mengenaliku?"
"Apa sih sulitnya mencari orang terkenal seperti dirimu" Ciri-cirimu sangat
mudah kukenali. Meskipun sebenarnya masih ragu sewaktu melihatmu, namun ketika
kupanggil kau menoleh. Dari situ, aku yakin bahwa kau adalah orang yang selama
ini kucari-cari,"
jelas Nurita, sudah bisa tersenyum.
Entah mengapa, Nurita sendiri merasa heran dengan apa yang dirasakannya.
Berada dekat dengan Pendekar Naga Putih, hatinya merasa tenang, gembira, dan
terlindungi. Dan semua perasaan itu tidak berusaha disembunyikannya. Gadis ini
seperti tidak peduli, meskipun seandainya perasaan hatinya sampai diketahui
Pendekar Naga Putih. Malah, diam-diam ia mengharapkan hal itu.
"Kau tidak takut keliru?" tanya Panji sambil lalu. "Sebab, di dunia ini bukan
hanya satu orang yang memiliki ciri-ciri seperti aku."
"Tapi orang lain pasti belum tentu menoleh, jika kupanggil Pendekar Naga Putih,"
bantah Nurita, kembali tersenyum. Malah senyumnya sengaja dibuat semanis
mungkin, dengan harapan akan mendapat pujian Pendekar Naga Putih.
Tapi, tentu saja harapan itu tidak akan terwujud. Meskipun pada kenyataannya
Nurita memang memiliki senyum manis, namun Panji bukanlah jenis pemuda yang suka
mengumbar pujian. Hanya hatinya yang berbicara dan tidak sampai terucap keluar.
Mau tak mau, Nurita terpaksa harus menelan kekecewaan. Apa yang diharapkannya
ternyata tidak pernah terucap dari mulut Panji.
"Panji...."
Kata-kata Nurita terputus ketika Panji menghentikan langkah sambil menggenggam
pergelangan gadis itu. Dan ini membuat langkah Nurita tertahan.
"Ada orang sedang menguntit kita...!" bisik Panji, seraya menengadahkan wajahnya
menatap pepohonan.
Baru saja Pendekar Naga Putih selesai berbisik, tiba-tiba....
"Hih hih hih...!"
Panji secepatnya menarik Nurita mundur, ketika tiba-tiba dari salah satu pohon
melayang turun sesosok tubuh. Sosok berambut riap-riapan dan berpakaian compangcamping itu langsung dapat dikenali ketika berdiri sejarak satu tombak di
hadapan Panji. "Nenek Setan Gila...!" desis Panji, agak menegang.
Panji sadar. Kemunculan nenek ini berkaitan dengan dendam terhadapnya.
Terutama, setelah rencana Nenek Setan Gila yang akan membalas dendam kepada Ki
Trenggolo dan Pedang Bayangan Setan bisa digagalkan Panji. (Baca episode: Dendam
Biang-Biang Setan).
"Kau tak lupa padaku, kan?" tegur Nenek Setan Gila, seraya memperdengarkan
kekehnya yang berkepanjangan.
"Hm.... Apa maumu, Nenek Setan Gila?" tanya Panji.
"Hih hih hih...!"
Sambil tertawa mengikik, Nenek Setan Gila melompat-lompat seperti monyet. Wajah
dan suaranya kelihatan tidak menunjukkan rasa dendam atau pun marah. Kecuali,
tatapan matanya yang mengeluarkan kilatan api. Dan, ini cukup membuat Panji
waspada. "Kau masih juga berpura-pura bego, Pendekar Naga Putih!" ujar Nenek Setan Gila,
selalu mengawali dan mengakhiri ucapannya dengan tawa mengikik. "Atau
sebaliknya, julukanmu diganti saja jadi Pendekar Naga Bego. Menurutku, ini jauh
lebih bagus daripada julukan Pendekar Naga Putih."
'Terserah!" tukas Panji. "Aku tidak memusingkan soal julukan. Sebaiknya, katakan
segera apa maumu. Terus terang, banyak persoalan lain, yang harus kuselesaikan!"
"Bagus..., bagus!" kata Nenek Setan Gila mengacungkan ibu jarinya sambil
mengangguk-angguk. "Seorang pendekar yang merasa besar sepertimu, memang
seharusnya selalu punya persoalan. Ini wajar, karena kau terlalu usil dan sok
jago! Keusilan dan kesokjagoanmu itulah yang membuat aku benci kepadamu! Apalagi
usahaku di Gunung Tengger telah kau gagalkan. Persoalan itu belum selesai. Dan,
sekaranglah waktu yang tepat untuk menyelesaikannya!"
Selesai berkata demikian, kedua lengan Nenek Setan Gila segera dikembangkan.
Telapak tangannya yang terbuka diarahkan ke wajah Panji. Kedua telapak-tangannya
diputar perlahan-lahan, sementara bibirnya komat-kamit seperti membaca mantra,
Panji kembali menarik mundur Nurita. Terasa rangsangan hawa aneh membuat kepala
Pendekar Naga Putih mendadak pening. Panji sadar, Nenek Setan Gila tengah
mengerahkan ilmu sihir untuk melumpuhkan dirinya. Maka bergegas pandangannya
dialihkan dari telapak tangan Nenek Setan Gila, agar tidak terus terpengaruh.
Tapi, Panji lupa kalau di sebelahnya ada Nurita. Tentu saja, gadis, ini tidak
paham dengan maksud gerakan Nenek Setan Gila. Dan dia merasakan keganjilan pada
dirinya. Hanya saja Nurita tidak tahu mengapa kepalanya mendadak pening. Bahkan tanpa
sadar pikirannya terhanyut gerakan kedua telapak tangan Nenek Setan Gila. Dan
ketika rasa pusing itu kian kuat, sekujur tubuhnya terasa panas. Butir-butir
keringat mulai membasahi kening, ditingkahi desah napas yang ganjil.
Selanjutnya, Nurita mulai menggerak-gerakkan tubuhnya, membangkitkan daya pikat
luar biasa. "Panji...."
Dengan mata setengah terpejam, Nurita mendesah lirih. Seiring desahan, tanpa
sadar tangan kanannya terulur ke wajah Panji.
Tentu saja Pendekar Naga Putih kaget, ketika telapak tangan Nurita yang panas
ini membelai-belai wajahnya. Sadarlah Panji, apa maksud gerakan-gerakan yang
dilakukan Nenek Setan Gila.
"Keparat! Dia rupanya bermaksud mempermalukan diriku...!" dengus Panji
menggeram, wajahnya memerah.
Untung Pendekar Naga Putih cepat menyadari keanehan ini dan segera
mencegahnya. Kalau tidak, dia pasti juga akan terpengaruh oleh sihir Nenek Setan
Gila ini. "Kau benar-benar keji, Nenek Setan Gila...!" sentak Pendekar Naga Putih penuh
kemarahan, melihat tingkah Nurita yang semakin menjadi-jadi. "Nurita, hentikan!"
Bentakan Pendekar Naga Putih yang laksana ledakan guntur di siang hari bolong,
membuat tubuh Nurita tersentak. Bahkan nyaris terpelanting kalau saja Panji
tidak segera menangkap tubuhnya.
Seperti baru terbangun dari tidur, Nurita menunjukkan wajah bingung. Untung saja
kebingungannya berlangsung sesaat Dan kini pipi gadis itu terlihat bersemu merah
karena malu. "Gila...!" umpat Panji dalam hati.
"Hih hih hih...!" Nenek Setan Gila tertawa mengekeh melihat pertunjukan ini
"Balaslah pelukan pemuda tampan itu, Nurita. Jangan sia-siakan kesempatan baik
ini. Peluk, dan ciumlah pemuda pujaanmu itu...!"
Kata-kata Nenek Setan Gila ini menggeletar karena disertai pengerahan ilmu
sihir. Sehingga membuat Nurita terpengaruh.
Dalam cengkeraman pengaruh sihir, Nenek berjuluk Setan Gila ini, Nurita segera
melingkarkan kedua lengannya ke leher Panji. Kemudian wajahnya didekatkan
disertai desahan napas panas menggelora.
"Nenek laknat..! Kau benar-benar tidak tahu malu!"
Merasa tidak berdaya melepaskan Nurita dari cengkeraman ilmu sihir Nenek Setan
Gila, Panji terpaksa mendorong tubuh gadis ini hingga Nurita jatuh terjengkang.
Tanpa mempedulikan Nurita, Panji bermaksud melumpuhkan sumbernya. Untuk itu
segera seluruh kekuatan 'Tenaga Saka Gerhana Bulan' dikerahkan seketika. Maka,
tubuh Panji terselimuti kabut putih keperakan. Dan tak lama kemudian, Nenek
Setan Gila yang masih terkekeh-kekeh diterjangnya.
*** "Haaat..!"
Disertai sambaran hawa dingin menggigit, kedua tangan Panji yang membentuk cakar
naga meluncur ke arah Nenek Setan Gila.
Namun tanpa harus menghentikan kekehnya, Nenek Setan Gila menggeser tubuhnya
menghindari serangan ini. Langkahnya kelihatan sembarangan. Namun justru dengan
gerakan itu, dirinya terhindar dari ancaman Pendekar Naga Putih. Dan dengan
gerakan seperti itu pula, tubuhnya mampu menyelinap maju, seolah sengaja memapak
ancaman cakar-cakar naga yang masih berkelanjutan. Dan, setiap kali cakar naga
hampir mengenai tubuhnya, Nenek Setan Gila selalu dapat mengelaknya sambil terus
melangkah maju.
"Hiii...!"
Pendekar Naga Putih 97 Pembalasan Topeng Tengkorak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pada saat jarak mereka demikian dekat, Nenek Setan Gila membentak nyaring.
Lalu, sepasang tangannya yang berkuku panjang, hitam, dan runcing menyambar
tenggorokan dan lambung Pendekar Naga Putih!
Serangan ini demikian hebat! Dari sambaran angin yang mencicit tajam, Pendekar
Naga Putih pun sudah menyadarinya. Selanjutnya kaki Pendekar Naga Putih digeser
menyilang, kemudian bergerak ke samping disertai gerakan tubuhnya.
Cwit! Cwit! Cwit!
Tiga kali sambaran kuku-kuku runcing yang mengandung racun jahat ini, membeset
tempat kosong. Karena, tubuh Pendekar Naga Putih yang menjadi sasaran telah
lebih dulu menghindar. Tapi, Nenek Setan Gila tidak kehilangan akal. Dengan
gerakan cepat dan kuat, kedua tangannya diputar menyamping, ke arah lambung dan
iga. Duk! Duk! Kibasan lengan kiri Pendekar Naga Putih menggagalkan serangan maut Nenek Setan
Gila. Benturan keras terjadi, sehingga tubuh keduanya terhuyung mundur. Namun,
nenek itu lebih dulu dapat menguasai keseimbangan tubuhnya. Dan selagi Pendekar
Naga Putih masih terhuyung, dia sudah membentak. Tubuhnya meluncur dengan
kecepatan tinggi, sementara kedua cakarnya membeset menyilang.
Bret! Bret! Pendekar Naga Putih tak sempat lagi menyelimutkan dirinya. Sambaran kuku-kuku
beracun itu membuat tubuhnya terpelanting. Darah kental berwarna kehitaman
langsung mengucur dari luka-luka di dadanya. Tampak jubah Pendekar Naga Putih di
bagian dada terkoyak lebar oleh kuku-kuku runcing Nenek Setan Gila, sehingga
guratan panjang berdarah terlihat jelas.
"Hiii...!"
Nenek Setan Gila tampak bernafsu sekali melenyapkan Pendekar Naga Putih yang
sangat dibencinya itu. Maka tanpa memberi kesempatan, tubuhnya sudah meluncur
dengan cakar-cakarnya yang menebarkan bau busuk!
Bressssh...! Debu, rerumputan, dan bebatuan kecil beterbangan, seiring suara keras ketika
cakar-cakar Nenek Setan Gila membongkar tanah, tempat tubuh Pendekar Naga Putih
berdiri. Untungnya, pada saat berbahaya ini, Pendekar Naga Putih telah
menggulingkan tubuhnya. Maka selamatlah dirinya dari cakar-cakar maut Nenek
Setan Gila. Selagi Nenek Setan Gila mengebut-ngebut debu, rerumputan, dan bebatuan kecil
yang beterbangan menghalangi pandangannya. Pendekar Naga Putih segera
mengerahkan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi'. Seketika, tubuhnya terlapisi sinar kuning
keemasan, berpendar menyilaukan mata. Tenaga sakti ini langsung saja membakar
musnah racun yang masuk ke dalam tubuhnya.
'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' dirasakan aneh bagi Pendekar Naga Putih. Sebab
tenaga sakti yang biasanya langsung bekerja saat tubuhnya terkena racun, kali
ini baru bekerja setelah dikerahkan.
Pendekar Naga Putih maklum akan keganjilan itu. Lawannya, Nenek Setan Gila,
adalah seorang ahli sihir, tentu saja perempuan tua itu merasakan adanya hawa
sakti di dalam tubuh Pendekar Naga Putih. Maka sebelum pemuda berjubah putih ini
sempat mengerahkannya, dia sudah mengunci lebih dulu dengan mantra-mantra
sihirnya. Tapi sayang, Nenek Setan Gila hanya mampu membuat tenaga sakti Pendekar Naga
Putih kehilangan daya kerjanya bila tidak dikerahkan. Pendekar Naga Putih yakin,
mantra sihir pengunci yang digunakan Nenek Setan Gila mampu ditembus 'Tenaga
Sakti Inti Panas Bumi'. Itulah sebabnya tanaga sakti itu tidak menunjukkan
pengaruhnya, sewaktu Pendekar Naga Putih terkena racun Nenek Setan Gila.
3 Nenek Setan Gila terbelalak takjub, ketika debu yang menghalangi pandangannya
menipis. Di hadapannya terlihat tubuh Pendekar Naga Putih tengah terselimuti
sinar kuning keemasan. Tampak ada kepulan asap tipis kehitaman di bagian luka
bekas kuku-kukunya.
Setelah memperhatikan beberapa saat, mengertilah Nenek Setan Gila kalau sinar
kuning keemasan itu berasal dari hawa murni di dalam tubuh Pendekar Naga Putih.
Hawa aneh itulah yang dirasakannya maka tadi dikuncinya dengan mantra sihir.
"Benar-benar luar biasa...!" desis Nenek Setan Gila sambil berdecak dengan
kepala menggeleng. Ucapan dan sikapnya menunjukkan rasa kekagumannya. "Entah,
dari mana dia mendapatkan kekuatan sakti seperti itu" Pantas saja kalau sampai
saat ini, belum ada orang mampu mengalahkannya. Rupanya dia memiliki banyak ilmu
sakti." Saking takjub dengan kejadian yang baru disaksikannya, Nenek Setan Gila jadi
tidak sadar kalau saat itu sinar kuning keemasan sudah lenyap dari tubuh
Pendekar Naga Putih. Dia baru tersadar ketika terdengar teguran Pendekar Naga
Putih. "Apakah kau hendak melanjutkan perkelahian ini Nenek Setan Gila?"
"Heh!"
Nenek Setan Gila menyentak kepalanya ke belakang sambil mencibirkan bibirnya.
Lalu tangannya berusaha mengambil sesuatu dari balik pakaiannya. Benda yang
diambilnya ternyata berupa gulungan daun sirih, dan langsung dimasukkannya ke
dalam mulut. Bibir keriput Nenek Setan Gila tampak genyol-genyol beberapa saat.
Setelah itu, dia meludah beberapa kali ke kiri dan kanan. Akibatnya, tanah yang
terkena percikan air ludahnya mengepulkan asap tipis, meninggalkan bekas
berlubang. "Gila...!" desis Pendekar Naga Putih, tak dapat menyembunyikan perasaan
kagetnya. "Nenek gila ini ternyata bukan hanya biangnya ilmu sihir. Tapi, juga
ahli racun yang mengerikan! Hm.... Berbahaya sekali jika manusia seperti dia
dibiarkan hidup lama.
Keberadaannya di atas muka bumi ini hanya akan menimbulkan kesengsaraan orang
banyak!" Berpikir demikian, Pendekar Naga Putih tampak memusatkan pikiran, sekaligus
mengerahkan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi'-nya. Dan seiring bentakannya yang
mengguntur, di tangan kanannya telah tergenggam sebatang pedang besar.
Panjangnya, melebihi ukuran pedang biasa. Inilah Pedang Naga Langit! Sebuah
pusaka langka, yang tidak ada duanya!
Lagi-lagi Nenek Setan Gila dibuat kagum akan kesaktian Pendekar Naga Putih. Dia
sebenarnya tidak mengetahui secara pasti tentang Pedang Naga Langit ini.
Anggapannya, Pendekar Naga Putih sedang mempertunjukkan sihir yang sengaja
dipamrkan kepadanya.
"Hih hih hih...! Kepandaian sihir yang kau miliki hebat juga, Pendekar Naga
Putih...!" ujar Nenek Setan Gila, setengah mengejek. "Tapi, aku pun bisa
melakukan hal serupa!"
Usai berkata, Nenek Setan Gila segera menggosok-gosokkan kedua telapak
tangannya. Mulutnya komat-kamit, merapal mantra.
"Hiaaa...!"
Sesaat kemudian, Nenek Setan Gila mengeluarkan bentakan nyaring.
Tahu-tahu di tangan kanan Nenek Setan Gila sudah tergenggam sebatang pedang
besar dan pajangnya tidak beda dengan Pedang Naga Langit di tangan Pendekar Naga
Putih. Pedang di tangan Nenek Setan Gila sebenarnya hanya ciptaan ilmu sihir. Berbeda
dengan Pedang Naga Langit yang benar-benar nyata. Namun Nenek Setan Gila tak mau
tahu. Selanjutnya....
Bwet! Bwet! Sambil mengekeh panjang, Nenek Setan Gila mengebut-ngebutkan pedang ciptaannya
di sekeliling tubuhnya.
"Mari kita buktikan, pedang siapa yang lebih ampuh, Pendekar Naga Putih!"
tantang Nenek Setan Gila, penuh semangat.
"Baik!" sahut Pendekar Naga Putih, menerima tantangan. Lalu diputarnya Pedang
Naga Langitnya, sehingga tubuhnya seolah lenyap ditelan gulungan sinar kuning
keemasan yang memancarkan hawa panas menyengat.
"Hiii...?"
Nenek Setan Gila membuka serangan lebih dulu. Dan bila Panji tidak menggunakan
pedang saktinya, pastilah telah merasakan adanya hawa aneh mengiringi sambaran
pedang perempuan tua ini. Namun, karena Pendekar Naga Putih menggunakan Pedang
Naga Langit, maka pengaruh hawa sama sekali tak terasa. Karena keampuhan Pedang
Naga Langit, langsung menolak tebaran hawa aneh itu.
Bushhh...! Tak lazimnya dua benda logam yang saling berbenturan, bertemunya pedang Nenek
Setan Gila dengan Pedang Naga Langit, memperdengarkan suara aneh. Bahkan membuat
pedang di tangan Nenek Setan Gila lenyap, menjadi gumpalan asap putih tebal.
Kejadian ini berakibat, limbungnya tubuh Nenek Setan Gila. Wajahnya pucat.
Darah tampak mengucur deras dari lengan kanannya yang putus sebatas pergelangan.
Sebenarnya wujud pedang ini sama sekali tidal ada. Yang ada hanya pengaruh
sihirnya sehingga terlihat seperti pedang sungguhan. Padahal yang dikira pedang,
sesungguhnya tangan Nenek Setai Gila sendiri. Oleh sebab itu, ketika Pedang Naga
Langit membentur senjata Nenek Setan Gila, membuat tangan nenek tua ini putus
sebatas pergelangan.
Kenyataan ini membuat Nenek Setan Gila meraung bagai singa betina luka. Wanita
tua ini benar-benar tidak habis pikir, mengapa pedang di tangan Pendekar Naga
Putih yang diduganya hasil ciptaan sihir, benar-benar nyata! Bahkan terbukti
telah memapas putus pergelangan tangannya.
"Pedang ini memang benar-benar nyata, Nek. Sama sekali bukan hasil ciptaan sihir
seperti pedangmu," jelas Pendekar Naga Putih menjelaskan,
Si Nenek Setan Gila sama sekali tak berniat menanggapi kata-kata Pendekar Naga
Putih yang bernada ejekan. Hatinya saat ini benar-benar terselimuti benci
mendalam. Berikutnya disertai raungan panjang mendirikan bulu roma, diterjangnya Pendekar
Naga Putih menggunakan sebelah tangan dan disertai tendangan-tendangannya. Saat
itu pula, ludah sihirnya yang mengandung racun jahat diumbar dengan membabibuta. Kehilangan sebelah pergelangan tangan, membuat Nenek Setan Gila ini benar-benar
telah menjadi gila. Sehingga, membuat Pendekar Naga Putih kewalahan juga untuk
mengimbanginya.
Serangan bertubi-tubi yang dilancarkan Nenek Setan Gila memaksa Pendekar Naga
Putih bermain mundur. Pedang Naga Langit diputarnya sehingga membentuk gulungan
sinar menyilaukan, untuk membentengi tubuhnya dari percikan ludah-ludah sihir
beracun dan kuku-kuku hitam beracun Nenek Setan Gila.
Meskipun tangannya luka, namun Nenek Setan Gila masih gesit juga. Dan satu saat.
Pendekar Naga Putih kecolongan. Karena, satu tendangan perempuan tua ini sempat
bersarang di perutnya!
Desss! Meskipun telah terlindung 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan', tak urung tubuh Pendekar
Naga Putih terlempar sejauh satu tombak. Tampak sudut bibirnya mengalirkan
darah. Sementara, perempuan tua itu telah membangun serangan kembali. Sedangkan
Pendekar Naga Putih menggigit bibirnya kuat-kuat, berusaha melupakan rasa sakit
yang dideritanya. Kini tubuh Nenek Setan Gila telah meluncur dahsyat. Untuk
menahan serangan, Pendekar Naga Putih mengerahkan seluruh kecepatan dan kekuatan
yang dimilikinya! Begitu dibabatkan secara mendatar, senjata pusaka ini mengaung
dahsyat laksana dengung ratusan lebah murka! Begitu cepat gerakannya, sehingga
tak mampu dihindari Nenek Setan Gila. Dan...
Breeettt...! "Aaa...!"
Perempuan tua itu meraung keras! Babatan Pedang Naga Langit ternyata cepat
sekali merobek perutnya, dari pinggang kiri hingga pinggang kanan. Seketika
darah terhambur dari perut yang menganga lebar, memperlihatkan usus-ususnya yang
terburai. Tubuh Nenek Setan Gila terhempas deras, dan terbanting di tanah!
Pendekar Naga Putih berdiri goyah sambil mendekap perut dengan tangan kiri.
Pengerahan tenaga dalam serangannya tadi justru mengakibatkan luka di dalam
tubuhnya bertambah parah. Tapi belum juga sempat menarik napas lega, tubuh Nenek
Setan Gila ini bergerak bangkit.
Pendekar Naga Putih sampai membuang muka, tak sanggup menyaksikan sosok Nenek
Setan Gila yang melangkah ke arahnya dengan usus terburai dan darah berceceran
ke tanah. Pemandangan ini membuat mual Pendekar Naga Putih. Karena rasa mual ini
makin menjadi, tubuhnya sampai terhuyung dan muntah-muntah. Sedangkan Nenek
Setan Gila sudah menyiapkan jurus-jurus serangannya. Namun belum sempat
mendekati Pendekar Nnga Putih, tubuhnya sudah terjungkal roboh dengan napas
putus! Kendati demikian, kedua matanya tampak terbeliak lebar, menggambarkan
rata penasarannya yang dalam!
Nurita yang menyaksikan Nenek Setan Gila bangkit dan melangkah dengan usus
terburai, kontan menjerit. Pemandangan yang mengerikan ini membuat jiwanya
terguncang hebat. Rasa pening dan mual yang menyerang, membuatnya tak kuat
mempertahankan kesadarannya. Pingsan.
*** "Panji...."
Nama itulah yang pertama kali diucapkan Nurita, ketika sadarkan diri. Senyumnya
mengembara sewaktu melihat Panji tengah duduk di sampingnya. Ada keharuan di
hatinya. Sikap Panji yang menjaganya selama pingsan, ditanggapi lain oleh
Nurita. Apalagi, ketika tersadar tampak Panji sedang tersenyum kepadanya. Maka
kian berbungalah hati Nurita. "Apa yang kau rasakan, Nurita?" tanya Panji
lembut, tanpa perasaan lain. Kecuali, kekhawatiran. Memang secara tidak
langsung, keselamatan gadis itu telah menjadi tanggung jawabnya.
Tapi bagi Nurita, pertanyaan ini dianggap sebagai tanda kasih sayang Panji
kepadanya. Dugaan ini membuatnya seakan dibuai bayang-bayang indah, yang
bermain-main di benaknya. Dan sambil tersenyum lebar, tangannya diulurkan,
menggenggam hangat telapak tangan Panji.
"Tenggorokanku kering sekali, Kakang. Aku... aku haus...," suara Nurita demikian
lemah. Namun di dalam harinya Panji menangkap suara bernadi mesra dan manja.
Bahkan dia telah memanggi Panji dengan sebutan kakang.
Panji tidak ingin membiarkan Nurita terus dibuai perasaan yang tidak
dikehendaki. Bergegas dia bangkit dan melepaskan genggaman tangan gadis ini. Namun, Nurita
sendiri semakin mempererat genggamannya, seperti tidak ingin dilepaskan.
"Kau hendak ke mana..., Kakang...?" tanya Nurita lemah.
"Bukankah kaumemerlukan air?" Panji mengingatkan. "Aku hendak mencarinya.
Mudah-mudahan di sekitar tempat ini ada aliran sungai...." Perlahan-lahan
Pendekar Naga Putih berusaha melepaskan genggaman Nurita.
"Sebaiknya, bawalah aku ke sumber air itu, Kakang," pinta Nurita, mengharap,
"Kalau kau pergi dan sumber air itu ternyata jauh, lalu bagaimana diriku" Apa
kau tega meninggalkanku terbaring sendiri tanpa daya di tempat sepi seperti
ini...?" "Hm..., baiklah," desah Panji setelah berpikir sesaat. Dia merasa, apa yang
dikhawatirkan Nurita memang beralasan. "Bangunlah. Mari kita cari sumber air
itu," lanjut Panji.
Dan sebenarnya, Pendekar Naga Putih tidak pernah berpikir kalau harus memondong
gadis ini ke sumber air terdekat.
"Bagaimana aku bisa berdiri, Kakang" Rasanya aku sudah tak beda dengan sesosok
mayat. Sekujur tubuhku lemas. Seolah tulang-tulangku dilolosi. Aku... aku seperti
tidak mempunyai kekuatan lagi, Kakang...," kata Nurita setengah merengek manja.
Matanya yang sayu dan wajahnya yang pucat, memang sangat mendukung ucapannya.
Sehingga, untuk sesaat Panji menjadi bingung.
"Lalu..., bagaimana, Nurita?" tanya Pendekar Naga Putih. Menghadapi Nurita
seperti itu, mendadak saja Panji tiba-tiba menjadi bodoh.
"Bantulah aku berdiri, Kakang," pinta Nurita sambil menatap Panji dengan mata
sayu. "Akan kucoba untuk melangkah."
Panji jadi merasa lega. Maka segera diturutinya permintaan gadis ini. Namun,
setelah berdiri, gadis ini mengeluh tak bisa melangkah.
"Kedua kakiku tidak punya kekuatan lagi, Kakang. Jangankan untuk melangkah,
untuk berdiri saja, aku tak sanggup," keluh Nuiita. Tentu Panji semakin bingung
jadinya. Melihat Pendekar Naga Putih terdiam, Nurita menghela napas sambil
menundukkan wajahnya yang seketika diselimuti mendung.
"Jika kau merasa jijik untuk memondongku, tinggalkanlah aku di sini, Kakang.
Carilah sumber air itu. Aku akan menunggumu di sini...," kata Nurita, sehingga
membuat Panji serba salah.
Ucapan ini lebih menunjukkan kesedihan daripada kepasrahan. Apalagi ketika di
kulit wajah yang halus ini ada butiran air bening yang menggelincir, turun.
Tahulah Panji, gadis ini merasa terpukul. Mungkin menyangka, pemuda ini jijik
untuk bersentuhan dengannya.
"Bukan begitu, Nurita," sanggah Panji, merasa tidak enak. "Kau harus ingat, aku
adalah laki-laki. Selain itu, kau belum lama mengenalku. Belum tahu siapa aku
sebenarnya. Dan, bagaimana watak asliku. Apakah kau tidak merasa khawatir kalau
aku akan berbuat tidak sopan?"
Pendekar Naga Putih 97 Pembalasan Topeng Tengkorak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Meskipun belum lama kenal, tapi aku percaya sepenuhnya kepadamu, Kakang.
Aku tahu, kau orang baik, jujur, dan tidak segan-segan berkorban demi
kepentingan orang lain. Sekalipun orang itu belum kau kenal. Tapi, segalanya
memang bisa saja terjadi. Dan kalaupun benar demikian, aku tidak akan menyesal.
Itu adalah kesalahanku, yang telah menaruh kepercayaan kepadamu," kilah Nurita
panjang lebar. Dan Panji tidak bisa berkata apa-apa lagi.
"Kalau begitu, aku akan berusaha untuk tidak merusak kepercayaanmu, Nurita,"
ujar Panji, tak bisa mengelak lagi.
Maka, tanpa ragu-ragu lagi, Pendekar Naga Pulih memondong tubuh Nurita. Tapi,
dadanya tetap saja berdebar sewaktu gadis ini menggayutkan kedua lengan ke
lehernya. Panji terpaksa harus berjuang keras mengerahkan kekuatan batin, untuk mengusir
perasaan hatinya yang kacau.
*** Apa yang dirasakan Panji memang tidak terlalu berlebihan. Sebagai seorang lakilaki muda, wajar saja kalau hati dan pikirannya terangsang bila bersentuhan
dengan wanita. Lebih-lebih terhadap Nurita.
Nurita memang gadis cantik. Rambutnya hitam tebal dan agak bergelombang.
Sepasang matanya yang bulat dan indah tersembunyi di balik bulu mata lentik.
Hidungnya kecil mancung dengan bibir merah segar dan selalu basah. Belum lagi
tubuhnya yang hangat dan lembut, menebarkan bau harum yang khas. Inilah yang
lebih kuat membangkitkan rangsangan bagi laki-laki, tidak terkecuali Panji.
Ketika melihat air yang jernih dan menjanjikan kesegaran, Nurita minta agar
Panji menurunkan tubuhnya langsung di dalam air.
"Air sungai ini segar sekali. Aku jadi ingin mandi," ujar Nurita dengan wajah
mulai berseri "Tolong tinggalkan aku, Kakang...."
"Hati-hatilah," pesan Panji. "Aku menunggu mu di atas."
Pendekar Naga Putih segera naik ke tepian sungai. Di bawah sebatang pohon, dia
duduk bereteduh. Tanah tepian sungai cukup tinggi, sehingga Nurita tidak
terlihat dari tempatnya berteduh.
"Awww...!"
Baru saja beberapa tarikan napas Panji menghenyakkan pantatnya di atas
rerumputan, tiba-tiba terdengar jeritan Nurita. Dari nadanya, bisa ditangkap
gambaran ketakutan yang tidak dibuat-buat. Maka tanpa membuang waktu lagi,
Pendekar Naga Putih melompat dan lari ke arah Nurita disertai ilmu meringankan
tubuh yang sudah sangat tinggi.
"Ada ular...!" seru Nurita, begitu melihat Panji. Telunjuknya ditudingkan ke
benda panjang di dalam air.
Begitu mendaratkan kakinya di sungai yang tak begitu dalam, ternyata Panji hanya
berdiri tertegun! Sepasang matanya terbeliak lebar. Dadanya bergemuruh. Aliran
darahnya terasa terbalik, membuat napasnya tersengal.
Bukan ular yang ditunjuk Nurita, yang membuatnya seperti orang kehilangan
kesadaran. Namun, justru tubuh gadis itu yang membuat Panji terpaku.
Nurita beberapa saat tidak menyadari keadaan dirinya. Saat ini, tubuhnya hanya
terbungkus pakaian dalam tipis. Panjangnya hanya sebatas paha bagian atas.
Namun, pakaian dalamnya yang dalam keadaan basah, melekat ketat di tubuhnya.
Sehingga seluruh tubuh gadis ini membayang di depan Panji. Apalagi gadis ini
menghadap ke arahnya.
Bentuk tubuh itu benar-benar sebuah pemandangan yang sanggup melenyapkan
kesadaran lelaki sekuat apa pun! Tak terkecuali Panji sendiri yang kekuatan
batinnya telah mendapat gemblengan manusia sakti seperti Malaikat Petir. Sampaisampai kedua kakinya gemetar!
"Kakang, mengapa diam saja"!" sentak Nurita masih belum menyadari keadaannya.
Malah kedatangan Panji, langsung disongsong. Seketika, tubuhnya dijatuhkan ke
dalam pelukan pemuda perkasa yang tengah terbius pemandangan luar biasa indah di
hadapannya. Pelukan Nurita, membuat Panji semakin mabuk! Tubuh lembut itu melekat ketat di
tubuhnya. Terlebih ketika merasakan himpitan dada Nurita yang membusung indah.
Maka makin gemetar sekujur tubuh pemuda itu.
Kedua kaki Panji menjadi lemas. Secara bersamaan, Nurita semakin mempererat
pelukannya. Pemuda ini tak kuat berdiri lebih lama lagi. Tubuhnya! jatuh ke
dalam sungai yang dangkal ini. Demikian pula Nurita. Gadis itu ikut terjatuh
menindih Panji. Wajah keduanya saling lekat satu sama lain.
"Kakang...," bisik Nurita lirih dan bergetar.
Nurita yang belum sadar dengan keadaan dirinya, malah seperti tidak ingin
menarik wajahnya dari wajah Panji.
Sejak pertama kali berjumpa, gadis ini sudah merasa tertarik pada Pendekar Naga
Putih. Dan justru keadaan ini merupakan kesempatan baginya untuk menunjukkan
perasaannya. Sehingga tanpa ragu dan malu-malu lagi, dikecupnya bibir Panji
dengan segenap cintanya.
"Nurita..., ingatlah...."
Panji mencoba mengingatkan Nurita, meski suaranya sendiri terdengar parau dan
bergetar. Namun karena terdorong cintanya kepada Panji, gadis ini sama sekali tidak
menggubris. Malah nafsunya makin menggelora, membuat akal sehat Panji lenyap,
terbius perbuatan gadis yang tengah dimabuk asmara.
Panji pun mulai membalas perbuatan itu dengan hangat, membuat Nurita mengerang
dan semakin liar! Sama sekali tidak disadari bahwa saat itu tubuh mereka
terendam air! 4 Satu tubuh kurus tak berbaju tampak duduk pada salah satu cabang pohon sambil
memeluk lutut. Tubuhnya bersandar pada batang yang paling besar. Sebagian
wajahnya tersembunyi di balik rambut, kumis dan jenggot putih panjang menjuntai
dada. Dari sikapnya, dapat ditebak kalau sosok tubuh itu tengah tertidur.
Angin silir-silir lembut dan gemerisik dedaunan sama sekali tidak mengganggu
sosok tubuh kurus itu. Tubuhnya tidak bergerak, sampai akhirnya terusik
kehadiran pemuda tampan berjubah putih tengah memondong seorang gadis, yang juga
berpakaian serba putih. Meraka tidak lain adalah Panji dan Nurita!
Sosok kurus ini sudah berada di tempat itu, sebelum Panji dan Nurita datang.
Pembicaraan kedua anak muda itu membuat sosok kurus ini menyibakkan rambut yang
menutupi wajahnya. Dan sepasang mata yang semula redup, terbeliak lebar sewaktu
Nurita yang minta ditinggalkan Panji, melepas pakaian luarnya.
"Aha! Sungguh tidak kusangka kalau di tempat ini bakal ada tontonan
mengasyikkan...!" ujar sosok lubuh kurus itu dalam hati, sambil membuka matanya
lebar-lebar. Beberapa kali sosok kurus ini meneguk air liurnya menyaksikan pemandangan indah
yang tiada duanya. Dan seketika timbul keinginannya untuk menyergap gadis itu.
Namun.... "Kakang Panji...."
Terdengar teriakan Nurita, yang membuat keinginan sosok itu tertunda. Apalagi
ketika melihat sosok pemuda berjubah putih yang sebelumnya bersama gadis itu,
sudah melesat datang dengan kecepatan tinggi. Tentu saja sosok tubuh kurus di
atas pohon ini menjadi terbengong-bengong. Tampaknya sama sekali tidak disangka
kalau pemuda itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi.
"Setan keparat...!" maki sosok tubuh kurus itu dalam hati. "Rupanya mereka bukan
orang sembarangan! Dan kurasa, pemuda tampan berjubah pulih itu seorang tokoh
besar dunia persilatan. Ini dapat kutebak dari caranya bergerak dengan ilmu
meringankan tubuh yang tinggi...."
Ketika menyaksikan kejadian selanjutnya, mata sosok tubuh kurus kembali
terbelalak. Perbuatan Panji dan Nurita membuat tubuhnya menjadi panas terbakar.
Dadanya memukul keras. Dan terpaksa dia hanya bisa menelan air liurnya. Malah,
ada sebagian yang menetes jatuh.
"Gila..., gila...!" desis sosok tubuh kurus, kelabakan seperti kebakaran
jenggot. Tanpa sadar lelaki kurus ini menggeser tubuhnya, bergerak hingga ke ujung dahan.
Langkahnya agak gemetar, karena pemandangan yang disaksikan benar-benar
memancing nafsunya. Dan karena penasaran ingin melihat lebih dekat lagi agar
lebih jelas, kewaspadaannya jadi hilang. Tanpa disadari dirinya sudah berada di
ujung cabang pohon.
Sehingga.... Krakkk...! "Heh"!"
Karena tidak dapat menahan berat tubuhnya, cabang pohon itu pun patah!
Akibatnya, sosok di atas pohon kontan terpelanting jatuh berdebuk di tanah.
Justru keributan yang diakibatkan jatuhnya sosok tubuh kurus itu yang
menyelamatkan Panji yang tengah berjuang keras melawan bisikan iblis yang
menguasainya. Kesadaran Panji terbangkit. Maka cepat didorongnya tubuh Nurita
yang telah menindih tubuhnya.
Nurita pun tidak kalah kagetnya. Namun kesadaran gadis ini tidak seperti Panji.
Justru kesadarannya bangkit karena rasa malu begitu melihat tubuhnya yang nyaris
tanpa pakaian. Berbarengan dengan melompatnya Panji ke atas tepi sungai, Nurita berlari dan
menyambar pakaiannya. Lalu dia bersembunyi di balik batu besar dengan wajah
tampak pucat kemerahan.
*** "Kurang ajar kau, Pemuda Sinting!"
Kedatangan Panji langsung disambut makian oleh sosok tubuh kurus. Tentu saja
Pendekar Naga Putih merasa heran. Dia merasa tidak punya salah, tapi mengapa
kakek kurus tak berbaju itu, tiba-tiba marah kepadanya"
"Ada apa, Kek"! Mengapa tak ada angin dan tak ada hujan kau marah-marah
kepadaku?" tanya Panji penasaran.
"Kau lah gara-garanya, Pemuda Sinting! Perbuatanmu dengan gadis itu hampirhampir membuatku gila, tahu"! Untung aku hanya terjatuh ke tanah. Coba kalau ke
dalam jurang. Apa kau kira aku sekarang masih bisa hidup" Ayo, jawab!" dengus
kakek kurus ini.
Pertanyaan Panji memang malah seperti api disiram minyak. Kakek kurus tak
berbaju semakin gusar.
Ucapan yang tanpa tedeng aling-aling itu, langsung membuat selebar wajah Panji
merah. Pemuda berjubah putih itu merasa malu, karena perbuatannya bersama Nurita
tadi ternyata diketahui kakek kurus ini. Namun, harus diakuinya kalau kakek
kurus itu justru telah menyelamatkan dirinya hingga tidak sampai melakukan
perbuatan terkutuk.
Bergidik juga hatinya membayangkan jika itu terjadi. Pikiran itulah yang
membuatnya tidak merasa marah atau pun tersinggung. Justru sebaliknya, dia harus
berterima kasih.
"Sudahlah, Kek. Kalau memang dianggap salah, aku minta maaf...," ucap Panji.
Kemudian Pendekar Naga Putih memutar tubuhnya hendak meninggalkan kakek kurus
itu. "Hei, tunggu...!" seru kakek kurus mencegah.
Berbarengan dengan seruannya, tubuh kakek ini melambung melewati kepala Panji.
Setelah berputaran beberapa kali, kakinya mendarat menghadang jalan.
"Kau tidak bisa pergi bagitu saja, Pemuda Sinting! Perbuatanmu harus kubalas!"
lanjut kakek kurus itu lagi.
"Apa maksudmu, Kek...?" tanya Panji sambil memandang dengan kening berkerut.
"Kau telah telanjur membuatku mengilar, tahu"! Untuk itu, kuminta agar gadis
molek itu kau serahkan padaku. Perbuatanmu tadi sudah membuat hatiku terbakar
hangus. Aku harus menyiramnya biar dingin, dan itu hanya bisa kudapatkan dari
gadis yang bersamamu tadi," ujar kakek kurus ini. Tentu saja Panji jadi
terkejut! "Mana ada aturan begitu?" bantah Panji, "Kau sendiri yang salah, mengapa
melihatnya" Coba kalau matamu ditutup pasti akan lain jadinya."
"Tidak bisa..., tidak bisa...!" tukas kakek kurus itu bersikeras sambil
menggoyang-goyangkan telapak tangannya. "Aku sudah berada di sini jauh sebelum
kalian berdua datang. Aku sedang enak-enak tidur di atas pohon, ketika kalian
datang mengusik.
Bahkan, kalian dengan sengaja membuatku seperti kebakaran jenggot! Aku tidak
bisa terima! Aku menuntut segera, agar kau serahkan gadis itu sebagai ganti
ruginya!" Pendekar Naga Putih mengurungkan niatnya untuk menjawab, ketika melihat Nurita
sudah naik ke tepi sungai. Perubahan tatapan Panji, membuat kakek kurus menoleh.
Dan wajahnya langsung saja menyeringai, ketika melihat gadis yang membuatnya
mengilar tadi. "Nah, itu dia! Kau tidak perlu repot-repot, Pemuda Sinting. Biar aku yang
mengambilnya sendiri," ujar kakek kurus itu. Langsung saja langkahnya terayun
menghampiri Nurita.
"Tahan langkahmu, Kakek Gila...!"
Panji tentu saja tidak mungkin mendiamkan perbuatan kakek kurus itu. Sambil
berseru, tubuhnya melesat menghadang.
"Heh"! Kau masih juga hendak mempertahankan gadis itu" Apa kamu tadi masih belum
puas! Wah! Rakus betul kau, Pemuda Sinting!"
Dengan wajah merah menahan malu, Panji menghembuskan napasnya kuat-kuat.
Ditatapnya kakek kurus ini lekat-lekat. Sorot matanya berubah tajam dan keras.
"Eh! Kau marah, Pemuda Sinting?" ejek si kakek sambil menarik kepalanya dengan
sikap kaget. "Wah! Itu tandanya ucapanku tadi benar...."
"Maaf, kami ada urusan lain yang harus segera diselesaikan. Biarkan kami pergi
dari sini,?" pinta Panji, menahan sabar. Dan Pendekar Naga Putih dapat menduga
kalau si kakek tidak mungkin membiarkan begitu saja mereka berdua pergi dari
situ. "Sudah... sudah...! Aku tidak mau bertengkar mulut lagi! Capek, tahu"!" tukas
kakek kurus itu sambil mengibas-ngibaskan tangannya di udara. "Sebaiknya kau
menyingkir. Atau, terpaksa aku akan menghajarmu, Pemuda Sinting!"
"Maaf! Apa pun yang terjadi, gadis ini tak akan kuberikan kepadamu, Kakek
Gila...," tandas Panji, tetap pada pendiriannya.
"Hm.... Kau menantang, ya?" sepasang mata kakek kurus itu berkilat merah. "Kalau
begitu, kau memang benar-benar minta dihajar...!"
Belum lagi gema suaranya lenyap, tubuh kakek ini sudah melesat ke depan sambil
mengirimkan pukulan lurus ke dada Panji.
Beddd! Namun Panji lebih dulu menggeser tubuhnya ke samping sehingga pukulan kakek itu
luput. Kegagalan itu tentu saja semakin membakar kemarahan si kakek kurus.
Namun, Panji sudah kembali menggeser tubuhnya, siap menghadapi serangan berikut.
*** "Haaat...!"
Secepat kilat, kakek kurus ini kembali melesat menerjang Panji. Kali ini
langsung dilancarkannya tiga pukulan sekaligus! Sasarannya, bagian-bagian tubuh
Panji yang berbahaya!
Bet, bet, bet! Tiga pukulan cepat yang disertai deruan angin keras, sedikit pun tidak membuat
Panji gugup. Hanya menggeserkan kakinya yang diikuti gerakan tubuh, tiga
serangan beruntun ini kembali nihil. Dan sebelum kakek ini sempat melancarkan
serangan berikutnya, Pendekar Naga Putih sudah melontarkan balasan.
Dua sambaran pukulan Panji disambut kakek kurus dengan gerakan nyaris tak
tertangkap mata.
Duk! Plak! Benturan itu mengakibatkan tubuh mereka sama-sama terjajar mundur beberapa
langkah. Dan kenyataan ini, membuat si kakek kurus tak berbaju terkejut!
"Eh! Kau ternyata hebat juga, Pemuda Sinting...!" seru kakek kurus itu.
Keterkejutannya yang tadi terpancar di wajahnya hanya terlihat sekilas. Saat
berikutnya, wajah yang tersembunyi di balik rambut riap-riapan ini berubah
berseri-seri. Tampaknya kakek kurus tak berbaju justru senang setelah merasakan kalau lawan
yang dihadapinya ternyata mampu mengimbangi tenaga dalamnya. Sejak semula,
hatinya memang sudah yakin kalau pemuda yang dihadapinya bukan orang
sembarangan. Namun, sungguh tak disangka kalau pemuda ini begitu hebat.
Sehingga, mampu membuat tubuhnya terjajar mundur.
Melihat kakek kurus itu sudah menyiapkan jurus-jurus baru, Panji segera
menggeser langkahnya secara menyilang. 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' segera
dikerahkan sampai sepertiga bagian. Sehingga dalam sekejap tubuh Pendekar Naga
Putih telah terselimuti sinar putih keperakan.
"Kau..., kau Pendekar Naga Putih...!?"
Melihat sinar putih keperakan yang membungkus tubuh pemuda itu, kakek kurus ini
langsung berseru menyebut julukan Panji. Tampak jelas betapa wajahnya
memancarkan ketidakpercayaan.
"Benarkah kau Pendekar Naga Putih" Atau orang lain yang memiliki ciri serupa
dengannya?" tanya kakek kurus itu, menegasi karena kurang percaya.
Karena tidak menyangka kalau kakek kurus di hadapannya tahu julukannya, Panji
menjadi bungkam. Untuk beberapa saat pemuda ini dilanda kebingungan. Dia tidak
tahu harus menjawab apa. Dan akhirnya Panji sadar, mengapa kakek kurus itu
merasa ragu dengan dugaannya. Jelas, ini karena kakek itu melihat perbuatannya
bersama Nurita.
Pendekar Naga Putih 97 Pembalasan Topeng Tengkorak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jadi..., perempuan molek itu kekasihmu...?" tanya kakek kurus itu kembali,
ketika meiihat Pendekar Naga Putih masih diam.
"Kami hanya bersahabat," jawab Panji setelah menggeleng. "Dan apa yang kau
saksikan tadi, hanya kelalaian kami saja."
"Kelalaian"!" dengus si kakek kurus mengejek.
"Pendekar Naga Putih ternyata bisa juga lalai, ya?"
"Aku hanya manusia biasa, Kek! Dan aku juga mempunyai nafsu seperti manusiamanusia lain," ujar Panji, berusaha tidak terpancing oleh ejekan tadi.
"Terserah, bagaimana anggapanmu."
"Aku tidak peduli apa yang barusan kau lakukan, Pendekar Naga Putih. Jadi
sebaiknya, kau pun, tidak ambil peduli jika aku menghendaki gadis sahabatmu
ini," cetus kakek kurus tak berbaju, tetap menginginkan Nurita.
"Dan aku tetap mencegahmu!" tegas Panji mantap.
"Keparat sinting, cegahlah kalau kau mampu...!"
Bersamaan teriakannya si kakek kurus kembali menerjang Pendekar Naga Putih.
Kali ini serangannya benar-benar dahsyat. Kedua tangannya berputar cepat, seolah
berubah delapan! Sulit mengenali, mana tangan yang sesungguhnya dan mana yang
hanya bayangan.
Meskipun begitu, ketika kedepalan tangan kakek kurus ini mengancam jalan darah
di tubuhnya, Pendekar Naga Putih dapat mengatasinya dengan baik. Sambil
berlompatan menghindar, serangan-serangan balasannya dilontarkan untuk
mengimbangi serangan.
Diam-diam Panji merasa heran. Karena belum lama bertarung melawan Nenek Setan
Gila, sekarang muncul kakek kurus tak berbaju. Bahkan kepandaiannya setara
dengan Nenek Setan Gila. Kemunculan dua tokoh berkepandaian tinggi yang
ditemuinya dalam waktu singkat, membuat Panji bertanya-tanya. Pendekar Naga
Putih yakin, tokoh-tokoh sakti seperti Nenek Setan Gila dan kakek kurus itu
tentunya tidak akan menampakkan diri, apabila tidak ada penyebabnya.
Pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi benaknya, membuat perhatian Panji terganggu.
Akibatnya, dia jadi agak lengah. Dan kesempatan ini, dipergunakan si kakek kurus
dengan sebaik-baiknya. Lalu....
Buk! Buk! Dua kali pukulan telak bersarang di dada dan lambung, membuat tubuh Panji
terpental deras. Untungnya sewaktu tubuhnya hampir terpelanting, matanya masih
sempat melihat bayangan kakek kurus mengejarnya. Seketika, tubuhnya dilempar
bergulingan di atas tanah, menghindari serangan susulan. Selanjutnya tubuh Panji
baru melenting bangkit, setelah bergulingan cukup jauh.
Panji membesut lelehan darah di sudut bibir dengan punggung tangan kanan.
Pukulan tadi cukup membuat bagian dada dan lambungnya terasa seperti remuk.
Namun, rasa sakitnya dirasakan segera lenyap ketika 'Tenaga Sakti Inti Panas
Bumi' mulai bekerja.
"Gila!" Cahaya apa lagi itu..."!"
Cahaya kuning keemasan yang berpendar membungkus tubuh Pendekar Naga Putih,
membuat kakek kurus ini terbeliak takjub.
"Hebat sekali pemuda sinting berjuluk Pendekar Naga Putih itu! Ilmu yang
dimilikinya benar-benar sangat langka dan menakjubkan!" lanjut kakek kurus itu.
Setelah menyaksikan ilmu-ilmu sakti lawannya, kakak kurus ini sadar kalau pemuda
ini tidak bisa dianggap remeh. Menyadari hal itu, seketika timbul pikiran
liciknya. Tubuhnya segera melesat ke arah Nurita. Namun, niat licik si kakek kurus sudah
terbaca Panji. Maka langsung saja Pendekar Naga Putih melesat mencegahnya.
"Heaaat...!
Dengan 'Ilmu Silat Naga Sakti'nya, Panji melesat secepat kilat. Kakek kurus ini
terpaksa menunda niatnya, begitu langkahnya terpotong gerakan Pendekar Naga
Putih. Maka kini, keduanya kembali bertarung sengit.
Lewat enam puluh tiga jurus kemudian, Panji yang menggunakan 'Ilmu Silat Naga
Sakti'nya membuat si kakek kurus kewalahan dan terdesak. Kungkungan hawa dingin
yang menebar di sekeliling arena, membuat gerakan kakek kurus ini terganggu.
Bahkan tiga jurus berikutnya....
Buk! Desss...! Si kakek kurus menjerit lepas begitu pukulan dahsyat Pendekar Naga Putih
mendarat telak di tubuhnya yang terjengkang kencang laksana daun kerling
dihempaskan angin ribut. Tanpa ampun lagi, tubuh kurus tak berbaju itu jatuh
berdebuk, kontan muntah darah.
Meskipun hantaman Panji mengakibatkan luka dalam yang parah, kakek kurus ini
berusaha segera bangkit. Ditariknya napas berulang-ulang, sambil membuat
gerakan- gerakan dengan tangannya. Ini dilakukannya untuk melenyapkan serangan hawa
dingin yang merasuk tubuhnya.
"Kau benar-benar hebat, Pendekar Naga Pulih, " puji si kakek kurus, jujur.
'"Ilmu Delapan Lengan Dewa' milikku ternyata dapat kau kalahkan. Untuk kali ini,
aku mengakui keunggulanmu. Namun kelak, aku akan mencarimu untuk membuat
perhitungan. Camkan baik-baik!"
Usai berkata demikian, kakek kurus itu memutar tubuhnya. Seketika, dia berlari
terhuyung-huyung meninggalkan tempat perkelahian.
Panji menghempaskan napas kuat-kuat. Ucapan berbau dendam si kakek kurus sama
sekali tak menjadi ganjalan baginya. Sebagai seorang pendekar petualang, hal-hal
seperti ini sudah sering alaminya. Sehingga, Pendekar Naga Putih tidak merasa
terganggu atau menyesali.
"Mari kita lanjutkan perjalanan kita, Nurita...," ajak Panji tanpa menoleh
ketika mendengar adanya suara langkah halus di belakangnya.
Kini Pendekar Naga Putih melangkah lambat-lambat, sementara Nurita berjalan di
belakangnya tanpa kata. Sepertinya, apa yang terjadi di antara mereka tadi telah membuat keduanya merasa jengah. Sehingga
dalam perjalanan ke Gunung Bromo, mereka lebih banyak berdiam diri.
Misteri Tengkorak Berdarah 2 Mahesa Edan 4 Rahasia Ranjang Setan Hati Budha Tangan Berbisa 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama