Pendekar Naga Putih 06 Penghuni Rimba Gerantang Bagian 1
PENGHUNI RIM BA GERANTANG
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Penghuni Rmba Gerantang
128 hal. ; 12 x 18 cm
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Adnan S
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
1 Di bawah siraman cahaya sinar rembulan, tampak
sebuah iring-iringan bergerak keluar dari mulut sebuah desa. Beberapa orang di
antaranya tampak mengusung
tiga buah tandu yang dihias secantik mungkin. Lapatlapat tercium harum bunga-bungaan menyertai langkah
kaki mereka. Seorang lelaki setengah baya yang memimpin iringiringan itu tampak berjalan didepan, diapit dua orang berseragam hitam. Wajah
laki-laki setengah baya itu
tampak pucat dan tak bergairah. Garis-garis yang
seharusnya belum waktunya menghias wajah telah
membuatnya tampak jauh lebih tua dari usia sebenarnya.
Seolah dia mengalami tekanan batin yang berkepanjangan. Dua orang yang mengenakan seragam hitam di kiri
kanannya pun demikian. M ata mereka menatap kosong
ke depan, dengan bibir terkatup rapat tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
Padahal perjalanan itu sudah cukup jauh dan melelahkan.
Setelah cukup lama menempuh perjalanan yang
cukup berat karena harus melewati jalan berkelok dan mendaki, rombongan itu tiba
di mulut sebuah hutan.
Hembusan angin dingin dan lolongan anjing hutan
seolah-olah menyambut kedatangan mereka.
'Turunkan tandu-tandu, dan taruh dekat pohon besar
itu!" perintah laki-laki setengah baya sambil menolehkan kepala ke arah anak
buahnya yang menggotong tandu-tandu itu. Suara laki-laki setengah baya itu
terdengar berat dan parau.
"Baik, Ki!" sahut seorang pengusung tandu terdepan.
Kedua belas laki-laki yang mengusung tiga buah
tandu bergerak mengikuti arah yang ditunjukkan
pemimpinnya. Setelah meletakkan tandu-tandu, mereka
bergegas kembali ke arah rombongan. Wajah mereka
yang dipenuhi keringat itu tampak membayangkan
kengerian yang mendalam. Entah apa yang telah mereka alami sebelumnya.
"Ki., mestikah kita diamkan kejadian ini berlarut-larut?" bisik salah seorang
berseragam hitam yang berada di sebelah kirinya. Suaranya terdengar lirih dan
takut-takut. "Jaga mulutmu, Dumpa! Sadarkah kau, apa yang kau ucapkan itu" Kau akan...,"
belum lagi selesai ucapan laki-laki setengah baya itu, orang yang dipanggil
dengan nama Dumpa menjerit ngeri.
Tubuh orang itu ambruk dan berkelojotan meregang
nyawa. Kedua tangannya mencekik leher seolah-olah
Dumpa sedang membunuh dirinya sendiri. Wajahnya
langsung berubah kehijauan dan dari pori-pori kulit
mukanya tampak keluar bintik-bintik darah yang semakin lama semakin membanjiri
seluruh permukaan wajahnya.
"Dumpa! Dumpa! Kenapa..." Apa... ohhh...!" seorang laki-laki berseragam hitam
lainnya berteriak-teriak tanpa tahu harus berbuat apa.
"Ragas! Jangan sentuh, kalau kau masih ingin hidup!"
bentak laki-laki setengah baya itu sambil menarik tubuh orang berseragam hitam
yang dipanggil dengan nama
Ragas. Tangan Ragas yang sudah hampir menyentuh tubuh
kawannya tertarik ke belakang. Laki-laki itu menahan haru sambil menutupi
wajahnya. Ragas rupanya merasa
sangat terpukul melihat kematian kawannya yang sangat mengerikan itu.
"Ki! Berbuatlah sesuatu, jangan hanya diam saja!
Lebih baik mati terhormat daripada harus tersiksa dan terhina seperti ini! Hei,
kau Penghuni Rimba Gerantang!
Tunjukkan ujudmu, iblis! Aku hari ini akan mengadu
nyawa denganmu!" Ragas
berteriak bagai orang
kesetanan dan menantang-nantang sambil
meng- acungkan goloknya ke arah Rimba Gerantang. Sepertinya keselamatan dirinya sudah
tidak diperlukan lagi.
"Auuunggg...!" suara teriakan Ragas yang bergema dan menyelusup ke dalam rimba
disambut lolongan
anjing hutan yang bersahut-sahutan sehingga membuat
anggota rombongan itu menggigil ketakutan.
Puluhan orang desa yang tergabung dalam rombongan itu langsung menjatuhkan dirinya berlutut
mencium tanah berumput. Kepala mereka menganggukangguk sambil mengucapkan kata-kata permohonan
ampun berulang-ulang.
"Ampunkan, kami... ampunkan, kami...!" Laki-laki setengah baya yang mengepalai
rombongan menjadi
terkejut melihat perubahan yang mendadak itu. Beberapa saat lamanya ia hanya
dapat memandang bingung tanpa
tahu harus berbuat apa.
"Hei, orang-orang tolol! M engapa harus meminta ampun kepada iblis itu" M engapa
kalian begitu pengecut"
M ana keberanian kalian" Ayo bangkit! Kita lawan iblis itu
bersama-sama!"
Ragas memaki-maki anggota rombongannya yang bersujud ketakutan itu.
"Hentikan ucapanmu, Kakang Ragas! Engkau akan
dikutuk Penghuni Rimba Gerantang! Sadarlah, Kakang
Ragas!" sergah salah seorang dari anggota rombongan itu mencoba memperingatkan
Ragas. "Penghuni Rimba Gerantang! M aafkan orangorangku. M aafkan dan ampuni Ragas. la tidak sadar
dengan apa yang diucapkannya. Terimalah persmbahan
ini, dan kami mohon diri!" Tiba-tiba laki-laki setengah baya yang sejak tadi
hanya berdiam diri berseru lantang sambil menghadap ke hutan. Suaranya bergema
karena diucapkan dengan pengerahan tenaga dalam yang cukup
tinggi. Sejenak suasana jadi hening, seperti menunggu
jawaban Penghuni Rimba Gerantang.
"M ari kita kembali!" Perintah laki-laki setengah baya itu kepada seluruh
anggotanya. Sambil berkata demikian ditariknya tangan Ragas, lalu dibawa pergi.
"Tidak! Aku tidak ingin meninggalkan tempat ini!
Aku ingin melihat wujud iblis itu, dan akan mengadu
nyawa dengannya!" Tolak Ragas sambil menyentakkan tangannya hingga terlepas dari
pegangan laki-laki
setengah baya itu Dia melarikan diri ke dalam hutan.
"Kembali, kataku!"
'Tidak! Kalau Ki Rambing ingin pulang, pulanglah!
Aku akan tetap di sini menanti kedatangan iblis keparat itu!?"Keras kepala!"
Laki-laki setengah baya bernama Ki Rambing itu mengumpat gusar. Tiba-tiba
tubuhnya mencelat ke arah Ragas sambil melancarkan totokan.
"Hah!?"
Ragas yang sudah seperti kerasukan setan itu malah
menggerakkan goloknya menyambut
serangan Ki Rambing. Laki-laki setengah baya itu menarik pulang
serangan dan membarenginya dengan sebuah tendangan
kilat ke paha Ragas yang menjadi terkejut setengah mati.
Bergegas dilempar tubuhnya ke belakang untuk
menghindari tendangan Ki Rambing.
Sambil bergulingan, laki-laki berseragam hitam itu
mengobat-abitkan goloknya. Sedangkan Ki Rambing
terpaksa harus menahan serangan itu agar tubuhnya tidak menjadi sasaran golok.
"Ragas, dengar kataku! Kau hanya akan mengantar nyawa percuma! Lebih baik kita
kembali. Biar Ki Jatar yang akan mengurus persoalan ini. Ayolah," Ki Rambing
masih juga berusaha menenangkan Ragas. Jiwa laki-laki berseragam hitam itu
menjadi guncang akibat kematian saudara seperguruannya yang bernama Dumpa.
"Tidak, Ki! Jangan paksa aku. Lebih baik mati di tangan iblis itu daripada
ditertawakan arwah Kakang
Dumpa di alam sana!" sahut Ragas tetap keras kepala setelah menghentikan
serangannya. "Baiklah, kalau itu memang sudah menjadi keputusanmu. Aku tidak dapat berbuat apa-apa untuk
membantumu," ujar Ki Rambing tertunduk lesu. Sambil terus berkata, laki-laki
setengah baya itu melangkah mendekati Ragas yang menjadi lengah mendengar
ucapannya. Ki Rambing sadar sepenuhnya kalau kepandaian
mereka tidak berselisih jauh. Dan kalau pemuda itu diajak secara paksa akan
memakan banyak waktu dan tenaga.
Hingga akhirnya, harus berpura-pura menyerah kepada
kemauan pemuda itu. Karena dalam keadaan terguncang
seperti itu, Ragas akan menjadi lengah apabila diajak bicara baik-baik.
Namun, sebelum kaki Ki Rambing sempat mendekati
tubuh Ragas, tiba-tiba sesosok tubuh berkelebat dan
mendarat dekat Ragas berdiri. Sedangkan Ki Rambing
dan Ragas melompat mundur. Seluruh urat-urat di tubuh mereka menegang siap
menghadapi segala kemungkinan
yang bakal terjadi.
"Ki Jatar...!"
Keduanya berseru berbarengan ketika mengenali
sosok yang baru datang itu. Ketegangan yang
menyelimuti hati mereka segera saja lenyap, lalu sama-sama membungkuk hormat
kepada orang yang baru
datang itu. "Hm.... M engapa kalian masih berada di tempat ini"
Apakah hendak bunuh diri?" Tegur orang yang dipanggil Ki Jatar itu tak senang.
Kedua matanya memandang
berganti-ganti ke arah kedua orang itu, begitu tajam menusuk.
Setelah hening sesaat, Ki Rambing mengangkat
kepalanya menatap sosok tubuh tinggi kurus di
hadapannya. Laki-laki setengah baya itu menarik napas terlebih dahulu sebelum
menjawab pertanyaan Ki Jatar yang menjadi penguasa di Desa M uara Bening tempat
mereka tinggal.
"M aafkan aku, Ki. Kejadian ini benar-benar diluar dugaanku," jawab Ki Rambing
sambil menundukkan
kepala tak sanggup menatap mata kepala desanya yang
bagaikan mata elang itu.
"Benar begitu, Ragas?" Tanya Ki Jatar yang kini menatap wajah laki-laki muda
yang berseragam hitam itu.
"Lalu apa maksudmu dengan senjata itu" Apakah ingin menjadi pahlawan" Sarungkan
golok itu!" Perintah Ki Jatar tegas tanpa ingin dibantah.
'Tapi, Ki..! Kakang Dumpa telah dibunuh iblis itu.
Dan aku tidak bisa tinggal diam. Aku harus mengadu
nyawa dengan Penghuni Rimba Gerantang itu," jawab Ragas masih tetap pada
pendiriannya. Tekadnya sudah
benar-benar tak bisa dihalangi siapa pun, meski orang itu adalah kepala desanya
sendiri. "Kau tidak mendengar kata-kataku, Ragas"! Kau
berani membantahnya"!" Bentak Ki Jatar jengkel. Wajah Kepala Desa M uara Bening
itu memerah karena Ragas
membantah perintahnya. "Sarungkan golokmu, atau kau ingin mengalami nasib
seperti Dumpa?"
"Oooh...," Ragas mengeluh pendek. Tubuhnya yang tegap itu melorot jatuh ke atas
tanah berumput yang
mulai basah oleh butiran embun. Ia menekap wajah
dengan kedua tangannya. Sedangkan goloknya terjatuh di atas tanah.
Wajah Ki Jatar yang semula mengeras karena
kemarahan pelahan melembut. Dengan langkah gontai
dihampiri pembantunya itu. Ditepuknya bahu Ragas
lembut seolah-olah dengan berbuat begitu dapat memberi kekuatan kepadanya untuk
menghadapi masalah itu.
"M aafkan aku, Ragas. Tidak seharusnya aku bersikap kasar seperti tadi. Aku
mengerti perasaanmu. Sekarang marilah kita pukang," ajak Ki Jatar sambil
mengangkat bangkit tubuh orang itu. Tergambar perasaan sedih dan kesal yang
mendalam pada wajahnya.
'Tapi... tapi, Ki...."
"Sudahlah...," sahut Ki Jatar menghibur.
Ki Jatar membungkuk, memungut golok yang terlepas
dari tangan Ragas dan memberikan kepada pembantunya.
Ragas segera menerima, laki menyarungkan goloknya tak bersemangat. Lalu,
dibimbingnya laki-laki berseragam hitam itu meninggalkan tepi hutan.
Ki Rambing menarik napas lega ketika melihat
kejadian itu. Kemudian, dia bergegas meninggalkan
tempat itu mengikuti kepala desa yang berjalan sambil membimbing Ragas.
Rimba Gerantang kembali dicekam kesunyian dan
penuh misteri...
* * * Beberapa saat setelah kepergian ketiga orang pemuda
Desa M uara Bening itu, nampak belasan sosok yang
mengenakan seragam serba hitam berlompatan ke arah
pohon besar di mulut hutan. Dengan langkah ringan dan tanpa menimbulkan suara
Pendekar Naga Putih 06 Penghuni Rimba Gerantang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sedikit pun, belasan sosok
tubuh itu mulai mendekati tiga buah tandu yang
ditinggalkan penduduk.
"Hati-hati...!" Bisik seorang laki-laki yang berada paling depan sambil
menggerakkan tangan, menahan
langkah kawan-kawannya yang berada di belakang.
Belasan orang itu terdiam sejenak Bulu kuduk mereka
berdiri tegak ketika hembusan angin dingin dan lolongan anjing hutan seolah-olah
menyambut langkah kaki
mereka. "Aneh! M engapa hatiku tiba-tiba merasa tidak enak?" Bisik salah seorang.
Suaranya terdengar bergetar.
Entah karena hembusan angin dingin atau perasaan takut.
"Ya! Aku pun merasakannya," sahut kawannya yang juga ikut merasakan keanehan
itu. Sedang sang pemimpin yang berada paling depan,
mengedarkan pandangnya ke sekitar tempat
itu. Wajahnya terlihat menegang dan penuh kewaspadaan
seolah-olah tengah mencium sesuatu yang mencurigakan.
Setelah beberapa saat menanti dan merasa kecurigaannya tak beralasan, kembali dilangkahkan
kakinya yang kemudian diikuti belasan pengikutnya.
Ketika jarak antara tandu-tandu itu dan dirinya hanya tinggal sekitar dua tombak
lagi, tiba-tiba angin dingin berhembus keras, sehingga pakaian dan rambut
belasan orang itu berkibar dibuatnya.
Wrrr! Demikian dinginnya hembusan angin keras itu
sampai-sampai beberapa orang di antaranya menggigil
kedinginan. "Kurang ajar! Siapa yang berani main gila di hadapan Iblis Baju Hitam" Ayo,
tunjukkan batang hidungmu!"
pemimpin gerombolan yang berjuluk Iblis Baju Hitam itu berteriak gusar karena
merasa dipermainkan.
Namun, tiada satu suara pun yang menjawab
tantangannya kecuali gemerisik dedaunan yang dipermainkan angin. Sesaat kemudian, suasana pun
menjadi tenang kembali.
"Hm!" sambil mendengus kasar Iblis Baju Hitam kembali melangkah mendekati tiga
buah tandu itu. "Buka tirai penutup tandu itu. Cepat!" perintah Iblis Baju Hitam
tegas. Dua orang pengikutnya bergegas membuka tirai
penutup tandu yang terdekat. Tangan keduanya gemetar ketika menyentuh tirai itu.
Jelas, mereka masih
terpengaruh keanehan-keanehan yang dialami tadi.
Tiba-tiba kedua orang itu segera menarik tangannya
yang memegang tirai ketika merasakan sesuatu yang
dingin menyelusup melalui telapak tangan.
"Ah"!"
Kedua orang itu berteriak kaget bercampur heran
ketika mendapati sebuah bintik merah pada telapak
tangan masing-masing. Wajah mereka terlihat menegang karena merasakan sesuatu
berhawa dingin bergolak
dalam tubuh. Sesaat kemudian wajah keduanya berubah
pucat dan menggigil kedinginan hebat! Kemudian mereka jatuh dan berkelojotan di
atas rumput dalam keadaan
sekarat. Dan kini keduanya pun tewas setelah terlebih dahulu mengeluarkan buihbuih berwarna putih dan
berbau busuk dari mulut.
"Ihhh...!"
Iblis Baju Hitam dan para pengikutnya tersentak
mundur. Di wajah mereka terbayang kengerian yang
dalam ketika menyaksikan kematian kedua orang kawan
mereka dalam keadaan yang mengerikan itu.
"Bangsat! M anusia pengecut! Keluar kau, menusia curang! Jangan hanya berani
menyerang secara licik!"
teriak Iblis Baju Hitam yang begitu gusar melihat
kematian dua orang pengikutnya itu. Ia berteriak-teriak menantang sambil
mencabut senjatanya. Suaranya
bergema jauh karena didorong tenaga dalam tinggi.
Belasan orang pengikut Iblis Baju Hitam telah pula
mencabut senjata masing-masing, dan bersiap menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi.
Selama beberapa saat seluruh laki-laki berpakaian
hitam itu dicekam ketegangan yang sangat menyiksai
hari. Baru saja Iblis Baju Hitam hendak bersuara! tiba-tiba...
"Ha ha ha...!" terdengar tawa berkepanjangan yang dibarengi berkelebatnya dua
sosok bayangan putih. Tahu-tahu saja, dua tubuh telah berdiri tegak di dalam
jarak dua tombak di hadapan Iblis Baju Hitam.
Hati Iblis Baju Hitam berdebar ketika melihat wajah
kedua orang berjubah putih itu. Wajah mereka hanya
tampak bagian depannya saja. Sedang kepalanya tertutup kerudung yang juga
berwarna putih. Dan yang membuat
hati iblis itu berdebar, adalah wajah kedua orang itu yang tak ubahnya seperti
tengkorak! "Siapa kalian..."!" bentak Iblis Baju Hitam sambil menyilangkan
senjatanya di depan dada. Biar bagaimanapun, keadaan dua orang berjubah putih itu
sempat menggetarkan hatinya.
"Siapa pun kami, bukan urusanmu, Iblis Baju Hitam.
Tapi perbuatanmu yang ingin mencuri tiga buah tandu
itu, patut diberi hukuman," tegas salah satu dari dua orang berjubah putih itu
dingin dan bernada maut.
"Huh! Siapa pun kau adanya, jangan harap dapat
menakut-nakutiku! Topeng tengkorakmu itu hanya untuk menakut-nakuti anak kecil,
tahu"! Dan jangan sangka
Iblis Baju Hitam akan mudah ditundukkan! Nah,
majulah!" tantang Iblis Baju Hitam yang rupanya dapat segera mengetahui kalau
dua orang itu mengenakan
topeng. Keberaniannya pun kembali muncul ketika
mengetahui keadaan dua orang itu. Sambil tertawa
mengejek, Iblis Baju Hitam menggerakkan senjatanya
siap menghadapai pertarungan.
Kedua orang berjubah putih itu cukup terkejut
mendengar ucapan Iblis Baju Hitam. Diam-diam mereka
mengakui ketajaman mata lawannya yang dapat
menembus keremangan malam. Dari situ saja sudah dapat diduga kalau kepandaian
pemimpin perkumpulan Iblis
Baju Hitam memang tidak bisa dipandang rendah.
Demikian pula para pengikut Iblis Baju Hitam.
M endengar ucapan pemimpinnya serentak mereka maju
tanpa rasa takut lagi.
"Anak-anak, serang...!"
Begitu mendengar perintah pemimpinnya, belasan
orang anggota Iblis Baju Hitam itu serentak melompat maju. M ereka langsung
menerjang kedua orang berjubah putih dengan senjata di tangan.
Kedua orang berjubah putih itu mendengus mengejek.
Dengan gerakan yang sukar diikuti mata, keduanya
melesat bagai terbang ke arah belasan orang itu.
Terdengar teriakan ngeri yang susul-menyusul, maka
empat orang pengikut Iblis Baju Hitam terjungkal mandi darah! Kawan-kawannya
serentak berlompatan mundur
disertai wajah pucat. Bukan main marahnya Iblis Baju Hitam melihat dalam
segebrakan saja empat orang anak buahnya tewas di tangan dua orang berjubah
putih itu. Tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuhnya segera
melesat ke arena pertempuran dan langsung menyabetkan senjatanya.
Singgg! Suara golok panjang di tangan Iblis Baju Hitam
berdesing tajam pertanda kalau senjata itu digerakkan tenaga dalam tinggi.
Salah seorang lawan yang menjadi sasaran senjata
Iblis Baju Hitam melompat mundur menghindar serangan itu. Namun belum lagi kedua
kakinya sempat menginjak tanah, tahu-tahu golok panjang Iblis Baju Hitam kembali
mengancam batang lehernya. M enyadari kalau untuk
menghindar sudah terlambat, tangannya segera diangkat untuk menangkis
pergelangan lawan.
Dukkk! Orang berjubah putih itu terjajar mundur sejauh
delapan langkah karena posisinya memang lebih lemah
dari lawannya. Sekejap terlintas sinar berhawa maut
menyambar dari sepasang matanya.
Sementara itu setelah melakukan salto dua kali di
udara, Iblis Baju Hitam mendaratkan kakinya di atas
tanah berumput yang mulai berembun itu. Tangan
kanannya terasa nyeri akibat tangkisan lawan. Terpaksa dia harus mengakui
kehebatan tenaga dalam lawan yang wajahnya tersembunyi di balik topeng tengkorak
itu. "Siapa kau sebenarnya" Dan mengapa mencampuri
urusanku?"
Tanya Iblis Baju Hitam penasaran. Bagaimana tidak menjadi penasaran" Ia yang telah
malang melintang di daerah itu, sama sekali belum
pernah bertemu kedua orang berjubah putih yang kini
menjadi lawannya. Sama sekali tidak dapat diterka, siapa gerangan kedua orang
berjubah putih itu.
"Hm... mencampuri urusanmu! Tahukah kau, siapakah yang berhak atas tandu-tandu itu?"
"Aku tidak peduli siapa pemilik tiga tandu itu. Dan aku pun tidak peduli apakah
kau mau memperkenalkan
namamu atau tidak!" bentak Iblis Baju Hitam marah.
"Kau memang tidak tahu diri, Iblis Baju Hitam.
Hingga sampai sedemikian beraninya ingin mengambil
milik penghuni Rimba Gerantang."
"Penghuni Rimba Gerantang...?" gumam Iblis Baju Hitam heran." Hm... Jadi yang
disebut-sebut pengawal kepala desa ini benar adanya. Keparat! Rupanya tanpa
setahuku, di daerah ini telah kedatangan orang asing dan mencoba
menyebarkan pengaruhnya di wilayah kekuasaanku! Kalau begitu kaliankah yang dijuluki
Penghuni Rimba Gerantang itu"! Bagus! M arilah kita
tentukan, siapa di antara kita yang akan menjadi penguasa wilayah ini!"
"Kau salah, Iblis Baju Hitam. Kami berdua hanyalah pembantu-pembantu yang
ditugaskan untuk mengambil
tandu-tandu itu. Dan kami berdua dijuluki orang
Sepasang M ambang Lembah M aut," sahut salah seorang memperkenalkan diri.
M endengar siapa adanya kedua orang berjubah putih
itu saja sudah membuat Iblis Baju Hitam cukup terkejut, karena nama itu cukup
terkenal di kalangan dunia
persilatan. Namun karena mereka memang jarang muncul di dunia ramai, maka para
tokoh persilatan pun hampir tidak pernah berjumpa dengan mereka. Tapi kini tahutahu saja mereka muncul dan mengaku sebagai pembantu Penghuni Rimba Gerantang.
Entah, sampai di mana
kesaktian yang dimiliki sampai-sampai Sepasang M ambang Lembah M aut begitu merendahkan dirinya
untuk menjadi pembantu tokoh itu. Iblis Baju Hitam
benar-benar tak habis mengerti dibuatnya.
* * * 2 Pertarungan yang berlangsung antara para anggota
Iblis Baju Hitam melawan salah satu dari dua orang
berjubah putih semakin terlihat sengit. Para pengikut Iblis Baju Hitam itu
berusaha melawan dengan sekuat tenaga.
M ereka yang hanya tersisa tujuh orang itu tampak sudah tidak kuat untuk
bertahan lebih lama, akibat gempuran yang dilancarkan lawan.
Iblis Baju Hitam menolehkan kepalanya ketika untuk
kesekian kalinya mendengar jeritan kematian pengikutnya. Dua orang berseragam hitam itu terjungkal dengan kepala pecah. M
erasa tak tega melihat para
pengikutnya dibantai secara demikian, Iblis Baju Hitam cepat melesat membantu
para pengikutnya yang tinggal lima orang itu.
"Heaaattt...!" ditandai teriakan keras, Iblis Baju Hitam langsung melancarkan
serangan ke arah orang berjubah putih yang tengah bertarung melawan para
pengikutnya. Namun sebelum maksudnya tercapai, sebuah bayangan
putih lain melesat memotong serangannya. Akibatnya
Iblis Baju Hitam terpaksa membatalkan niatnya dan
bergegas menyambut serangan itu.
Sedetik kemudian keduanya kembali terlibat pertarungan sengit. Orang berjubah putih itu rupanya sudah memulai mengeluarkan
ilmu-ilmu andalan, setelah membaca kepandaian lawan. Tapi Iblis Baju Hitam
bukanlah orang lemah yang mudah ditaklukkan begitu
saja. Dalam kalangan perampok, Iblis Baju Hitam
Pendekar Naga Putih 06 Penghuni Rimba Gerantang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
termasuk rajanya perampok. Sehingga, kepandaiannya
pun tidak bisa dibuat main-main.
M emang, Iblis Baju Hitam sendiri sudah pula
mendengar nama besar Sepasang M ambang Lembah
M aut. Sepasang manusia kembar yang selalu menyembunyikan dirinya di balik topeng tengkorak itu bukan tokoh lemah. Banyak
tokoh persilatan baik dari golongan putih maupun golongan hitam enggan mencari
permusuhan dengannya. Karena selain berkepandaian
tinggi, Sepasang M ambang Lembah M aut tidak pernah
meninggalkan lawan dalam keadaan hidup.
Kini, keduanya betul-betul menemui lawan yang
seimbang! M eskipun segenap kemampuan telah dikerahkan, tetap saja keadaan mereka tidak berubah!
Puluhan jurus telah berlalu, namun belum ada yang
terdesak. Iblis Baju Hitam semakin kalap ketika lagi-lagi terdengar jerit
kematian para mengikutnya yang tengah bertarung melawan salah seorang dari
Sepasang M ambang Lembah M aut. Sambil berteriak keras, ia
melompat mundur.
"Hmh!"
Iblis Baju Hitam menggeram seraya mempersiapkan
Ilmu pamungkas, 'M enghalau Barisan Seratus Golok'.
Sebuah ilmu yang mengandalkan
kekuatan dan kecepatan. Kedua tangannya bersilangan dan membentuk lingkaran-lingkaran yang
sukar ditembus. Cepat sekali gerakan kedua tangannya sehingga membuat lawan
menjadi kerepotan.
Dan kini Sepasang M ambang Lembah M aut yang
bernama Jonggala, terdesak hebat! Hingga pada jurus
yang kelima puluh tiga, dia tidak sempat lagi
menghindari dari sergapan lawan.
Bukkk! "Ahhhkkk...!" tubuh Jonggala terpental akibat hantaman Iblis Baju Hitam yang
telak mengenai lambung. Darah segar muncrat dari mulutnya karena
hantaman itu begitu keras. Dan sebelum posisinya sempat diperbaiki, lawannya
sudah kembali menyerang.
Dengan gerakan sebisanya, Jonggala melempar
tubuhnya ke belakang untuk menghindari serangan
lawan. Tubuhnya terus bergulingan karena sepasang
tangan Iblis Baju Hitam tidak ingin melepaskan
kesempatan begitu saja. Keadaan orang tertua dari
Sepasang M ambang Lembah M aut itu benar-benar bagai telur di ujung tanduk.
Jonggali yang merupakan adik Jonggala menjadi
terkejut setengah mati, walaupun masih bertempur
dengan pengikut Iblis Baju Hitam. M atanya sempat
melihat kejadian yang dialami kakaknya itu. Hampirhampir ia tidak percaya pada penglihatannya sendiri. Tapi Jonggali tidak bisa
berpikir lebih lama lagi karena
keadaan kakaknya benar-benar dalam bahaya! Tanpa
membuang-buang waktu lagi ia pun segera melesat untuk membantu. Tapi sebelumnya
ia telah menghabisi nyawa
anak buah Iblis Baju Hitam yang masih ada. Ia pun
segera melesat untuk membantu.
Tubuh Jonggali melayang ke arah Iblis Baju Hitam
yang tengah mendesak lawannya. Kedua tangannya
terjulur kedepan, disertai hembusan angin keras pertanda bahwa seluruh tenaganya
tengah dikerahkan.
M erasakan sambaran angin kuat yang berhembus ke
arahnya, Iblis Baju Hitam menunda serangan dan bergegas menyambut serangan Jonggali. Kedua tangannya
didorong ke depan dengan mengerahkan tenaga dalam
sepenuhnya. Desss!" "Aaahhh...!"
Iblis Baju Hitam dan Jonggali berteriak melengking
ketika dua pasang lengan yang mengandung tenaga dalam tinggi itu saling
berbenturan di udara. Tubuh mereka terlontar ke belakang bagai disentakkan
tangan-tangan raksasa. M ereka sama-sama terbanting di atas tanah
berumput hingga menimbulkan bunyi berdebuk keras!
Keduanya kini berusaha bangkit sambil berusaha
menghilangkan rasa sesak di dada akibat benturan itu, lewat penyaluran hawa
murni. Cairan merah yang
mengalir dari sela-sela bibir mereka masing-masing
segera dihapus.
"Hhh... hhh.... Hebat kau, Iblis Baju Hitam. Pantas saja Kakang Jonggala sampai
terdesak. Ternyata nama
besarmu memang bukan sekadar nama kosong belakang,"
puji Jonggali tulus, walau dengan napas terengah-engah.
"Kau.... Kaupun hebat, Kisanak. Tak percuma nama kalian menjadi momok, bagi
orang-orang persilatan,"
Iblis Baju Hitam juga memuji sambil berusaha mengatur jalan napasnya.
"He he he.... Bersiaplah untuk melawat ke neraka Iblis Baju Hitam!" tiba-tiba
Jonggala yang keadaannya sudah pulih telah bersiap melancarkan pukulan maut ke
arah Iblis Baju Hitam.
Terdengar suara bergemelutuk dari lengan Jonggala
yang rupanya benar-benar ingin membuktikan ucapannya. Serangkum angin dingin bertiup
menandai kesungguhan Jonggala.
Tentu saja Iblis Baju Hitam tidak sudi menyerahkan
nyawanya begitu saja. Cepat-cepat dikempos semangatnya untuk mengumpulkan tenaga dalam dan
bersiap menyambut serangan Jonggala.
Tapi sebelum keduanya sempat saling bertumbukan,
mendadak berhembus angin keras yang membuat mereka
terpental balik. Dan tahu-tahu saja di tengah-tengah mereka telah berdiri
sesosok tubuh yang juga berjubah putih.
Sosok tubuh tinggi kurus itu berdiri angker sambil
menatap mereka dengan sinar mata tajam menusuk. Di
tangan kanannya tergenggam sebatang tongkat berkepala tengkorak yang juga
berwarna putih.
'Tongkat M aut Delapan Bayangan....'" Sepasang
M ambang Lembah M aut berseru sambil membungkukkan
tubuh dalam-dalam. Kelihatan sekali kalau dua orang
bersaudara itu merasa takut kepada orang yang baru
datang itu. 'Tongkat M aut Delapan Bayangan...!" gumam Iblis Baju Hitam terkejut "Gila!
Bagaimana mungkin tokoh itu bisa berada di tempat ini" Apa sebenarnya yang
terjadi di tempat ini" Siapa pula yang disebut sebagai Penghuni Rimbang
Gerantang itu" M ungkinkah tokoh sakti yang
telah lama menyembunyikan diri itu kini muncul dan
menjadi Penghuni Rimbang Gerantang?"
"Hm.... Sepasang M ambang, kalian pulanglah lebih dahulu dan bawa persembahan
itu kepada ketua. Biar aku yang akan mengurusi perampok baju hitam ini," dingin
dan tegas suara yang keluar dari mulut orang tua yang berjuluk Tongkat M aut
Delapan Bayangan itu. Dari kata-katanya, jelas kalau ia mem-punyai kedudukan
yang lebih tinggi dari Sepasang M ambang Lembah M aut itu.
"Baik! Kami permisi," jawab Jonggala dan Janggali sambil membungkukkan badan
bersikap hormat. Setelah
berkata demikian, Jonggala mengeluarkan siulan panjang yang bergema dan
menyelusup ke dalam Rimba
Gerantang. Tidak lama kemudian, terdengar siulan lain yang
semakin lama semakin dekat, disusul berloncatannya
beberapa sosok bayangan putih dari balik semak dan
pepohonan. "Angkat tandu-tandu itu!" Perintah Jonggala kepada dua belas orang berjubah
putih yang langsung mematuhi perintahnya.
Sepasang M ambang Lembah M aut melangkah
meninggalkan tepi hutan. Sedangkan kedua belas orang pengikutnya itu berjalan di
belakangnya sambil
menggotong tiga buah tandu itu.
M eskipun anak buahnya telah dibantai habis, namun
Iblis Baju Hitam sama sekali tidak gentar. Dipandanginya orang yang berjuluk
Tongkat M aut Delapan Bayangan itu lekat-lekat, seolah ingin menunjukkan
ketidaktakutannya terhadap orang sakti itu.
"Huh! Jangan kau pikir aku akan menjadi silau oleh nama besarmu, Tongkat M aut!
Aku tidak akan pernah
tunduk di bawah perintah siapa pun, seperti apa yang kau lakukan itu!" tegas
Iblis Baju Hitam dengan suara lantang.
"Hm.... Tahukah kau, Iblis Baju Hitam! Kedatanganku kemari atas perintah sang ketua untuk
menjemputmu agar kau bergabung bersama kami. Tapi
walau ketua menghendakimu, apakah kau pikir aku akan berpangku tangan saja
melihat kekurangajaranmu itu?"
jelas Tongkat M aut Delapan Bayangan bernada
mengancam. "Apapun alasanmu, aku tidak akan pernah tunduk
sebelum mengetahui seperti apa orang yang kau anggap sebagai ketua itu!"
"Jangan keras kepala, Iblis Baju Hitam! Apakah kau kira, kau dapat lolos dari
tanganku! Huh! Jangan harap, perampok tengik!" suara Tongkat M aut semakin
bergetar karena hawa marah yang semakin memuncak. Sepasang
matanya semakin mencorong tajam kalau saja tidak ingat akan pesan ketua, mungkin
nyawa Iblis Baju Hitam sudah sejak tadi meninggalkan raga.
'Tidak usah banyak bicara! Tangkaplah aku kalau
memang mampu, Tongkat M aut Delapan Bayangan!'
tantang Iblis Baju Hitam sambil menyilangkan goloknya di depan dada. Sadar kalau
kepandaian lawan sangat
tinggi, Iblis Baju Hitam segera menyiapkan ilmu
pamungkasnya. 'M enghalau Barisan Seratus Golok '.
"Ha ha ha.... Ilmu silat pasaran macam itu akan kau gunakan untuk menghadapiku,
Iblis Baju Hitam"
Lihatlah! Aku akan menundukkanmu tidak lebih dari
sepuluh jurus!" ejek Tongkat M aut Delapan Bayangan.
"Bangsat! Terimalah ini, hiaaattt...!"
Dengan kemarahan yang menggelegak, Iblis Baju
Hitam melompat ke arah Tongkat M aut Delapan
Bayangan. Golok panjangnya diputar sedemikian rupa
sehingga membentuk segunduk sinar yang membungkus
tubuhnya. Dan dari gundukan sinar itu, sesekali mencuat ujung-ujung golok yang
mengancam tubuh lawan.
Tongkat M aut Delapan Bayangan sama sekali tidak
menunjukkan sikap terkejut atas serangan lawan. Sambil tertawa, ditancapkan
tongkat itu langsung amblas sampai seperempatnya. Kemudian, Tongkat M aut
menggerakkan kedua tangannya bersilang di depan dada. Seketika
serangkum angin berhawa dingin menebar dari tubuhnya.
Dan pada saat serangan Iblis Baju Hitam meluncur,
Tongkat M aut hanya memiringkan tubuhnya ke kiri
dengan kedua tangan masih tetap bersilang didepan dada.
Gundukan sinar golok Iblis. Baju Hitam ternyata tak
mampu menipu mata lawannya. Karena setiap kali ujung goloknya mencuat, Tongkat M
aut Delapan Bayangan
selalu saja dapat mengelaknya. Dan hal itu benar-benar diluar dugaan Iblis Baju
Hitam. M elihat serangannya selalu dapat dielakkan lawan,
Iblis Baju Hitam semakin kalap saat melancarkan
serangan. Tanpa terasa pertarungan itu telah melewati delapan jurus, tapi ujung
golok Iblis Baju Hitam belum sempat menyentuh tubuh lawannya sedikit pun.
"Ha ha ha... ingat! Hanya tinggal dua jurus lagi Iblis Baju Hitam. Apakah kau
masih belum ingin menyerah"!"
Tongkat M aut Delapan Bayangan tertawa mengejek
mengingatkan lawannya.
"Huh! Jangan hanya pandai mengelak saja, Tongkat butut! Ayo, balas seranganku
kalau kau mampu," teriak Iblis Baju Hitam sambil terus mempergencar serangan.
"Sembilan! Ha ha ha.... Tinggal satu jurus lagi, Iblis Baju Hitam!"
"Bangsat!"
Pada jurus yang kesepuluh, Tongkat M aut Delapan
Bayangan berteriak sambil melempar tubuh ke belakang.
Kedua tangannya mendorong ke depan. Serangkum angin
dingin memapak serangan Iblis Baju Hitam.
Bresss! "Aaaahhh...!"
Iblis Baju Hitam berseru tertahan ketika tubuhnya
yang gemuk itu terlempar akibat pukulan tenaga dalam yang dilontarkan lawan.
Tapi, tidak percuma ia
mengepalai para perampok di wilayah itu. Dengan
gerakan manis, tubuhnya berputar di udara untuk
kemudian mendarat empuk di tanah berumput. M eski
agak sedikit goyah, namun sama sekali tidak menga-lami luka dalam berarti.
"Bagus...!" Tongkat M aut Delapan Bayangan terpaksa mengeluarkan pujian. Karena
apa yang dilakukan lawan benar-benar mengagumkan hatinya.
"Jangan takabur dulu, Tongkat M aut. Aku belum
kalah!" tegas
Iblis Baju Hitam sambil bersiap
melanjutkan pertarungan.
"Baik! Nah, coba kau sambut seranganku ini!"
Setelah berkata demikian, tubuh Tongkat M aut
Delapan Bayangan melayang bagai seekor burung besar.
Kedua tangannya terkembang siap menerkam tubuh
lawan. Sementara itu Iblis Baju Hitam menebaskan goloknya
ke arah lengan yang mencengkeram ubun-ubunnya.
Tongkat M aut cepat-cepat menarik pulang kedua
Pendekar Naga Putih 06 Penghuni Rimba Gerantang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tangannya, laki mengirimkan tendangan ke dada lawan.
Plakkk! Desss! Tubuh raja perampok itu terlempar bergulingan, la
memang berhasil menepak tendangan kaki kiri lawannya.
Namun tidak disangka kalau kaki kanan lawan tahu-tahu telah hinggap di dadanya.
Seketika darah segar
menyembur dari mulutnya karena tendangan itu demikian cepat dan kuat, sehingga
mengguncangkan isi dadanya.
Dan sebelum sempat melakukan sesuatu, tahu-tahu
telapak tangan lawan menghantam pipinya.
Demikian kuatnya tamparan Tongkat M aut Delapan
Bayangan menghantam, sehingga Iblis Baju Hitam
langsung terpelanting pingsan, setelah mengeluarkan
keluhan pendek dari kerongkongannya.
"Hmh!"
Tongkat M aut Delapan Bayangan mendengus pendek,
seraya menggerakkan kakinya mencongkel tubuh yang
tergolek lemah itu. Setelah mengambil tongkat berkepala tengkoraknya,
Tongkat M aut Delapan Bayangan bergegas meninggalkan tepi hutan sambil membawa
tubuh Iblis Baju Hitam di bahu.
Beberapa saat kemudian, suasana pun kembali hening
dan sunyi. Hanya suara binatang-binatang malam yang
terdengar bersahut-sahutan. Rimba Gerantang tetap
mencekam menyimpan seribu misteri...!
* * * Ki Jatar duduk termenung di kursi mendengarkan
penuturan Ragas. Kepala Desa M uara Bening itu
mengangguk-anggukkan
kepalanya seolah dapat menyelami perasaan pembantunya itu.
"Biar bagaimanapun, aku harus menuntut balas atas kematian kakak seperguruanku,
Ki!" Ragas menutup keterangannya sambil mengepalkan tinjunya. Wajahnya
terlihat mengeras, seolah-olah keputusan yang diambilnya itu sudah tidak dapat
ditawar lagi. "Aku mengerti perasaanmu, Ragas. Tapi dengan
kepandaian yang kau miliki itu, sama saja mengantarkan nyawa sia-sia.
Ketahuilah, Ragas. Orang yang kita hadapi ini bukan orang sembarangan. Entah itu
iblis atau manusia, kita belum mengetahui pasti. Karena, ia dapat muncul
tiba-tiba dan kemudian lenyap tanpa meninggalkan bekas sedikit pun!" sergah Ki Jatar sambil menasehati pembantunya.
"Aku tidak takut, Ki. M eskipun yang akan kuhadapi itu iblis peminum darah
sekalipun!" jawab Ragas membandel.
M endengar jawaban pembantunya, wajah Kepala
Desa M uara Bening itu memerah sekejap. Orang tua itu menghela napas berulangulang untuk menenangkan
hatinya yang berdebar. Pelahan-lahan Ki Jatar bangkit dari kursi, lalu melangkah
menghampiri jendela.
"Lalu, apa yang akan kau lakukan?" Tanya Ki Jatar tanpa melepaskan pandangannya
dari luar jendela.
Suaranya terdengar berat dan mengandung kesedihan.
"Aku akan meminta bantuan guruku untuk menumpas Penghuni Rimbang Gerantang itu!"
"M aksudmu, Resi Bagawa...?" Tanya Ki Jatar lagi.
Namun, sebelum Ragas menjawab pertanyaan itu, tibatiba seorang laki-laki melangkah tergopoh-gopoh masuk ke dalam ruangan itu.
"Ada apa...?" tegur Ki Jatar dingin.
"Anu... anu, Ki. Ki Dewana ingin meninggalkan
desa...," jawab orang itu terbata-bata.
"M aksudmu dia ingin mengungsi?"
"Iya! Betul, Ki...."
"Hm... di mana sekarang?" kelihatan sekali kalau Ki Jatar merasa gusar dengan
adanya kejadian itu.
"Di perbatasan desa, Ki. Sedang ditahan Ki
Rambing!" "M ari kita ke sana! Raga, ikut aku!" perintah Ki Jatar.
M eskipun langkahnya terlihat tak bersemangat,
namun Ragas tetap mematuhi perintah kepala desa itu.
Jelas sekali kalau dia mulai merasa tidak suka kepada Ki Jatar sejak kematian
kakak seperguruannya Itu.
Dan kini ketiga orang itu melarikan kudanya menuju
batas desa bagaikan dikejar setan. Debu mengepul tinggi ketika tiga ekor kuda
itu melintasi jalan berdebu. Tidak beberapa lama kemudian, mereka pun tiba di
perbatasan desa."Berhenti!"
Suara bentakan Ki Jatar membahana, memisahkan
orang-orang yang tengah bertempur sengit itu. M ereka pun segera melompat mundur
ketika mengenali orang
yang baru datang itu.
Ki Jatar melompat turun dari atas kudanya, kemudian
melangkahkan kakinya ke arah sebuah kereta kuda yang berada di tepi jalan.
Kepalanya digerakkan sebagai
isyarat agar keempat orang yang mengawal kereta kuda menyingkir dari tempat itu.
Empat orang tukang pukul Saudagar Dewana itu
sejenak ragu-ragu. M ereka berpaling sejenak ke arah laki-laki brewok yang
berada di dalam kereta kuda. Begitu si brewok menganggukkan kepalanya, keempat
orang itu segera menyingkir untuk memberi jalan kepada Ki Jatar yang segera meneruskan
langkah mendekati kereta.
* * * 3 Ki Dewana, saudagar kaya yang tinggal di Desa
M uara Bening itu segera keluar dari dalam kereta.
Wajahnya jelas menggambarkan perasaan tak suka
melihat kedatangan Ki Jatar.
"Ki Jatar! Apa maksudmu menyuruh orang-orangmu
untuk menghalangi kepergianku"!" Tanya Ki Dewana langsung menegur Ki Jatar,
yaitu kepala desanya keras.
Jelas sekali kalau sikapnya sudah tidak lagi menghormati kepala desa itu.
Padahal, keduanya sudah lama mengenal baik.
Ki Jatar tertegun mendengar perkataan Ki Dewana.
Untuk beberapa saat lamanya pertanyaan itu tidak dapat dijawab karena hatinya
terlalu terkejut akan perubahan sikap Ki Dewana. Pelahan ditarik napas panjang
sambil melepaskan pandangannya menatap cakrawala biru.
"Dewana! Seharusnya akulah yang bertanya kepadamu. M engapa kau berniat meninggalkan desa ini"
Apakah kau tidak mendengar kalau para pengungsi yang telah lebih dulu pergi,
telah ditemukan tewas di tengah perjalanan" Apakah kau memang berniat hendak
bunuh diri?" Tanya Ki Jatar bertubi-tubi. Suaranya terdengar pelan dan tak
bersemangat. "Bagiku hal ini lebih baik daripada menunggu giliran anakku yang akan kau bawa
untuk persembahan
Penghuni Rimba Gerantang itu! Sedangkan, kau tidak
pernah berbuat apa-apa untuk mencari selamat!" sahut Ki Dewana tegas hingga
membuat wajah Ki Jatar semakin
terlihat sedih dan kecewa.
Ki Jatar melemparkan pandangan ke dalam kereta
yang di situ terdapat istri dan anak gadis Ki Dewana.
Kedua orang wanita itu pun rupanya sedang menatapnya.
Dari sinar mata mereka, tergambar permohonan yang
mengharapkan pengertiannya. Hati orang tua itu tersentuh melihat sinar mata
bening gadis berusia enam belas tahun yang cantik dan manis itu. Tanpa berkata
apa-apa, Ki Jatar membalikkan tubuhnya meninggalkan Ki Dewana
yang tersenyum penuh kemenangan.
"Biarkan mereka lewat!" perintah Ki Jatar kepada penjaga perbatasan tanpa
menolehkan kepalanya lagi.
Setelah berkata demikian, Ki Jatar melompat ke atas
punggung kudanya dan meninggalkan tempat itu.
Kelihatan sekali kalau hatinya merasa terpukul atas
kejadian itu. Karena sebagai kepala desa, ia sudah
dianggap tidak mampu untuk melindungi warganya.
Ragas dan Ki Rambing ikut pula melompat ke atas
pelana kuda masing-masing. Kemudian mereka bergegas
menyusul Ki Jatar setelah terlebih dahulu berpesan
kepada yang lain untuk tetap tinggal menjaga perbatasan desa."Ki, apakah tidak
sebaiknya kita mengirim utusan lagi untuk menghadap adipati" Siapa tahu kali ini
bernasib mujur," usul Ragas ketika mereka sudah berjalan berdampingan.
Ki Jatar menolehkan kepalanya sejenak kepada Ragas
yang berada di sebelah kirinya. Kerangnya berkerut
seolah-olah sedang mempertimbangkan usul yang
dikemukakan pembantunya itu. Beberapa saat kemudian, dialihkan tatapannya ke
arah Ki Rambing yang berada di sebelah kanannya. Lalu, kembali menatap ke depan.
"Hhh.... Sudah dua kali utusan dikirim untuk
menghadap adipati, tapi kedua-duanya kembali dalam
keadaan sudah menjadi mayat. Entah, apakah ada lagi
orang yang bersedia diutus untuk melakukan tugas yang berbahaya ini?" desah Ki
Jatar seolah-olah berkata kepada diri sendiri.
"Aku bersedia melakukan tugas itu, Ki," jawab Ragas tanpa ragu-ragu lagi.
Sedikit pun tidak nampak
kekhawatiran pada wajah pemuda berusia sekitar dua
puluh lima tahun itu.
Ki Jatar dan Ki Rambing kelihatan cukup terkejut
mendengar kata-kata Ragas itu. Keduanya saling
berpandangan sejenak. Bagaikan diperintah, mereka
sama-sama menoleh ke arah Ragas berbarengan.
"Sudah dipikirkan, apa yang kau ucapkan itu, Ragas"
Apakah kau sadar bahwa dengan menerima tugas itu
berarti harus mempertaruhkan nyawamu" Pikirkanlah
sekali lagi, dan pergunakanlah akal sehatmu!" ujar Ki Jatar memberi nasehat.
"Sudah,. Ki. Dan aku rela mengorbankan nyawa demi ketentraman desa ini," sahut
Ragas mantap. "Baiklah, kalau memang itu sudah menjadi keputusanmu," kata Ki Jatar. Dan tanpa berkata apa-apa lagi, orang tua itu
segera menghentakkan kudanya
mendahului kedua pembantunya.
Sementara, Ki Rambing dan Ragas, bergegas pula
meng-hentakkan kudanya hingga menimbulkan kepulan
debu yang cukup pekat. Kini ketiga orang itu memacu
kudanya menuju rumah kediaman kepala desa.
Tidak lama kemudian mereka tiba di depan sebuah
rumah besar yang terletak dekat balai desa. Ki Jatar bergegas menambatkan
kudanya dan langsung memasuki
rumah besar tempat kediamannya.
"Ragas, kau berangkatlah esok pagi! Dan hari ini aku tidak ingin diganggu
persoalan apa pun!" tegas Ki Jatar.
Setelah berkata demikian ia pun langsung memasuki
kamar semadi. * * * M atahari semakin naik tinggi. Sinarnya yang
berwarna kuning keemasan itu memancar terik, hingga
terasa menyengat kulit. Dan dalam siraman sinar
matahari itu, tampak sebuah kereta kuda yang dikawal empat orang berkuda
melintas menyusuri jalan berbatu.
Suara roda kereta berderak-derak karena jalar yang dilalui itu benar-benar
sukar. "Laksa, mengapa kita tidak mengambil jalan lain saja?" Terdengar teguran serak
yang berasal dari dalam kereta.
Orang yang dipanggil Laksa itu bergegas menghampiri kereta. Ia adalah seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh
tahun. Wajahnya kemerahan dengan bintik-bintik keringat yang menghias dahi dan
pelipis. Sikapnya terlihat tenang sebagaimana sikap seorang yang penuh percaya diri.
"Hanya jalan inilah yang paling dekat, Tuan. Sedang jalan lain memakan waktu
berhari-hari untuk sampai ke tempat tujuan, Tuan," jawab Laksa ketika sudah
berada di samping jendela kereta.
"Berapa lama lagi akan sampai?" Tanya orang itu lagi sambil menjulurkan
kepalanya melalui jendela kereta.
Sejenak sepasang mata saudagar yang tak lain dari Ki Dewana itu merayapi
sekitarnya. "Kalau tidak ada halangan, paling tidak esok malam sudah sampai di tempat
tujuan, Tuan," jawab Laksa lagi.
"Apa maksudmu dengan halangan itu, Laksa?" Ki Dewana mengerutkan keningnya tak
senang mendengar
keterangan tukang pukulnya itu. Tampak kekhawatiran
terbayang di wajahnya yang bulat itu.
"Ah! M aaf, Tuan. M aksudku, apabila kereta ini tidak mengalami kerusakan atau
paling tidak seperti Itulah,"
sahut Laksa cepat. "Permisi, Tuan. Aku akan memeriksa jalan didepan."
Setelah berkata demikian, Laksa yang menjadi kepala
centeng Ki Dewana itu bergegas menghentak tali kekang kuda meninggalkan kereta.
Laksa melarikan kudanya hingga beberapa ratus
tombak didepan. Sepasang matanya berputar merayapi
sekitar tempat itu. Jalan didepan nampak lebih rata
meskipun masih banyak terdapat batu cadas berserakan.
Kepalanya menoleh ketika mendengar suara kaki kuda
mendatangi dari arah belakang.
"Ada apa, Gardi" Kau nampak gelisah?" tegur Laksa ketika penunggang kuda yang
tak lain adalah kawannya itu datang mendekat.
"Entahlah, Kakang. Rasanya perasaanku tidak enak sekali hari ini. Hm... Apakah
di daerah ini pernah terjadi perampokan?" entah kenapa, tiba-tiba saja orang
yang dipanggil Gardi itu bertanya demikian kepada Laksa.
Pertanyaan kawannya itu tidak langsung dijawab
Laksa, la hanya menatap wajah Gardi penuh selidik,
solah-olah ingin mencari apa yang telah menyebabkan
kawannya berpikir demikian. Sejurus
Pendekar Naga Putih 06 Penghuni Rimba Gerantang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kemudian, dialihkannya pandangannya disertai tarikan napas berat.
"Hm.... Sepanjang pengetahuanku, jalan ini termasuk yang paling aman di antara
jalan-jalan lain. Karena, jalan ini hampir tidak pernah dilalui pedagang atau
pun saudagar yang hendak bepergian. Itulah sebabnya,
mengapa aku lebih suka melewati jalan ini daripada jalan yang lain. Jadi,
rasanya pemikiranmu itu tidak beralasan,"
tegas Laksa menjawab pertanyaan kawannya. M eskipun
sebenarnya agak terpengaruhi ucapan Gardi, namun ia
berusaha menyembunyikannya.
Baru saja Laksa menyelesaikan kata-katanya, tibatiba terdengar lengkingan yang mirip siulan. Suara itu kemudian disusul siulansiulan lain sehingga suasana yang semula sunyi itu menjadi ramai.
"Suara apa itu, Kang?" Tanya Gardi yang tertihat semakin gelisah ketika
mendengar siulan yang bersahut-sahutan itu.
"Ah! M ungkin hanya suara binatang hutan saja. Ayo kita kembali!" sergah Laksa
yang segera memacu
kudanya ke arah kereta majikan mereka.
"Laksa! Kau dengar suara tadi?" Tanya Ki Dewana sambil menjulurkan kepala ketika
pengawalnya itu sudah berada di samping kereta.
"Hanya suara burung-burung hutan, Tuan."
"Hhh...," Ki Dewana menarik napas lega sambil menyenderkan kepalanya ke bantalan
tempat duduk kereta itu. Laki-laki gemuk brewok itu memejamkan
matanya, seolah-olah ingin menghilangkan pikiranpikiran buruk yang memenuhi benaknya.
"Kakang, lihat! Apa itu yang menghalangi jalan"!"
tiba-tiba Gardi berseru keras sambil menunjuk sebuah benda yang melintang
menghalangi jalan kira-kira dua ratus tombak di depan
"Biar kulihat!" sahut Laksa langsung menggeprak kudanya mendekati benda itu.
"Heran, mengapa aku tadi tidak melihatnya?" pikir Laksa ketika mendekati benda
melintang yang ternyata adalah sebuah pohon roboh yang menghalangi jalan.
Kepala centeng Ki Dewana itu bergegas melompat
turun dari atas punggung kuda, dan berdiri menanti yang lain. Laksa meneliti
keadaan sekitar, kalau-kalau dapat menemukan penyebab robohnya pohon besar itu.
Hatinya menjadi curiga ketika tidak melihat adanya sebuah pohon pun yang roboh.
Pohon yang berjajar di tepi jalan itu masih berbaris utuh dan tidak ada satu pun
yang tumbang. "Aneh! Kalau begitu, dari mana datangnya pohon
besar ini?" gumam Laksa tak habis mengerti. Wajahnya mendadak menegang merasakan
keanehan itu. Diam-diam tangannya bergerak meraba gagang pedang yang
tersembul dari batik bajunya. Nalurinya mengatakan
kalau ada bahaya mengancam sedang mengintainya.
Gardi yang telah sampai di tempat itu segera
membantu Laksa menyingkirkan batang pohon yang
menghalangi jalan. Sementara dua orang lainnya berjaga-jaga dengan senjata
terhunus. Namun sampai batang
pohon itu disingkirkan ke tepi jalan, tidak ada satu pun kejadian yang seperti
mereka pikirkan.
Kini kereta itu kembali melaju menapaki jalan yang
mulai rata dan berkelok-kelok. Sampai sejauh itu, mereka tetap aman tanpa
mengalami satu gangguan pun. Untuk
sementara rombongan kecil itu dapat menarik napas lega.
Baru sesaat merasa tenang, mendadak terdengar suara
mendesing tajam yang menuju arah mereka.
Cappp! Suara berdesing yang ternyata ditimbulkan sebatang
tombak itu dielakkan Laksa. Senjata itu tidak mengenai sasaran, dan menancap
pada sebatang pohon yang berada di sebelah kiri. Belum lagi mereka dapat berbuat
sesuatu, tiba-tiba kuda-kuda mereka tersungkur akibat tertancap anak panah pada
batang leher. M aka empat ekor kuda
yang ditunggangi centeng-centeng Ki Dewana, langsung mati.
Sementara empat centeng yang kudanya tersungkur
langsung melesat, dan melakukan salto di udara. Dan
mereka mendaratkan kaki di atas jalan berbatu itu tanpa mengalami cidera sedikit
pun, dan langsung menghunus senjata masing-masing. Gerakan mereka terlihat sigap
dan terlatih baik sebagaimana layaknya orang-orang yang memiliki kepandaian.
Diiringi siulan-siulan nyaring, enam sosok tubuh
berlompatan keluar dari balik semak-semak di tepi jalan.
M ereka yang rata-rata mengenakan baju dan celana
berwarna putih itu berdiri tegak dalam jarak tiga tombak di hadapan Laksa dan
kawan-kawannya.
"Ha ha ha...! Rupanya kalian ingin coba-coba
melarikan diri! Kalian keliru kalau berpikir dapat
menghindar dari kekuasaan Penghuni Rimba Gerantang!"
tiba-tiba terdengar suara tawa yang berkepanjangan.
Dan tahu-tahu dari arah belakang kereta berjalan
menghampiri seorang laki-laki gemuk dan agak pendek
yang mengenakan pakaian serba hitam. Orang itu tak lain adalah Iblis Baju Hitam
yang rupanya sudah menjadi kaki tangan Penghuni Rimba Gerantang.
"Ragapati! Apa maksudmu menghadang perjalanan
kami?" tegur Laksa yang rupanya sudah mengenal Iblis Baju Hitam itu.
"Ha ha ha.... Jangan berlagak bodoh, Laksa!
Bukankah kau sedang mengungsikan seorang dara cantik yang akan jadi persembahan
bagi Penghuni Rimba
Gerantang?" Iblis Baju Hitam yang ternyata bernama Ragapati itu tertawa
mengejek. Sementara, kakinya terus melangkah mendekati kereta tempat Ki Dewana
dan keluarganya berada.
"Bangsat! Tidak semudah itu untuk dapat mengganggu majikan kami, Iblis Baju Hitam. Langkahi dulu mayatku!" bentak Laksa
sambil melompat menghadang langkah Ragapati yang hendak mendekati kereta. Dan
tanpa banyak cakap lagi langsung digerakkan senjatanya seraya menerjang Iblis
Baju Hitam yang hanya tertawa penuh ejekan.
"Anak-anak! Rampas gadis anak saudagar itu, dan bawa menghadap ketua!" perintah
Ragapati kepada enam orang berseragam putih yang segera melompa mematuhi
perintah. "Jangan terburu nafsu, Kisanak!" tegas Gardi.
Pemuda itu bersama tiga orang lainnya serentak meng
hadang. Tanpa basa-basi lagi ketiga orang centeng Ki Dewana itu segera menerjang
enam orang berjubah putih yang mencoba mengganggu majikannya itu.
Sesaat kemudian, mereka pun segera terlibat dalam
pertarungan berat sebelah. Enam orang berseragam putih itu ternyata rata-rata
memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi. Dalam beberapa jurus saja tiga orang
centeng Ki Dewana itu terdesak hebat! Sehingga mereka harus
mengerahkan seluruh kemampuan untuk dapat mengimbangi permainan lawan.
Dua orang berseragam putih bergegas meninggalkan
tiga orang centeng yang tengah bertarung melawan empat orang lainnya. Kedua
orang itu melompat ke arah kereta.
Sang kusir yang mencoba menyelamatkan majikannya,
terpaksa harus rela melepaskan nyawa akibat tebasan
golok salah seorang berpakaian putih itu. Kusir yang gagah itu terguling roboh
bermandikan darah.
Salah seorang berseragam putih itu bergegas menarik
pintu kereta. Ki Dewana yang menyadari adanya bahaya, mencoba menyelamatkan
putrinya yang diseret keluar
oleh salah seorang dari mereka. Namun, saudagar itu
benar-benar tak berdaya karena sama sekali tidak
mengerti ilmu silat itu. Sekali orang berseragam putih itu menggerakkan
senjatanya, tubuh Ki Dewana langsung
terguling mandi darah. Di punggung saudagar itu terdapat luka memanjang akibat
tebasan pedang lawan.
"Ayah...! Oh... tolooonggg...! Lepaskan aku! Kalian manusia-manusia biadab!
Lepaskan! Paman Laksa,
tolooonggg...!" Putri Ki Dewana itu berteriak-teriak dan meronta-ronta dalam
pondongan orang itu.
Laksa menggigit bibirnya melihat kejadian itu.
Suling Emas Dan Naga Siluman 23 Jodoh Rajawali 11 Geger Perawan Siluman Si Kumbang Merah 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama