Pendekar Naga Putih 72 Pertarungan Dua Naga Bagian 1
PERTARUNGAN DUA NAGA
oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Turi S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Pertarungan Dua Naga
128 hal. ; 12 x 18 cm
1 "Hmmm..."
Pemuda tampan berpakaian serba merah itu menggumam sinis. Alis matanya yang
tebal dan berbentuk golok terangkat sebelah. Pandangannya tertuju pada sebuah
papan nama rumah judi, yang terletak di Desa Kedung Jati.
"Dari tempat inilah kita mulai...," ujar gadis cantik yang juga berpakaian
merah. Seperti halnya pemuda tampan itu, ia pun tengah memandang papan nama di
atas pintu gerbang yang cukup besar setinggi dua tombak itu.
Pemuda tampan beralis tebal mengalihkan pandangan matanya pada gadis di
sebelahnya. Terdengar suaranya yang berat.
"Kau yakin rumah judi ini miliknya, Savitri...?"
"Tentu saja aku yakin. Karena tempat kediaman tokoh itu agak sulit dicari, maka
aku mengambil jalan pintas dengan mendatangi salah satu rumah judinya. Seluruh
rumah judi di daerah ini adalah miliknya...," jawab gadis yang tidak lain
Savitri. Sedangkan pemuda tegap itu Kelana, yang dikenal dengan Petualang Sakti
(Untuk mengetahui lebih jelas mengenal kedua orang itu, silakan ikuti episode
"Petualang Sakti")
"Kalau begitu, tunggu apa lagi" Ayo kita segera masuk...," ajak Kelana.
Savitri tersenyum, mengangguk. Kemudian melangkah masuk seraya melingkarkan
lengannya ke pinggang Kelana. Sedangkan Kelana telah merangkul bahu gadis itu.
Sikap keduanya tampak sangat mesra menunjukkan adanya jalinan kasih di antara
mereka. "He he he.... Apakah Tuan dan Nyonya muda ingin mengadu nasib di tempat
kami...?" sambut seorang lelaki berwajah hitam dan berhidung besar. Sepasang matanya
menjorok keluar seperti melotot marah. Bibirnya yang tebal mengukir senyum,
kendati tidak sedap dipandang.
Kelana dan Savitri tidak segera masuk. Keduanya menatap lelaki bermuka hitam
yang bertubuh kekar. Kemudian beralih pada lelaki kedua yang tubuhnya tidak
kalah besar dan kekar. Sepertinya mereka tukang-tukang pukul rumah judi itu. Di
pinggang keduanya tampak gagang pedang. Kendati wajah dan perawakannya
menyeramkan, kedua orang itu selalu menyambut ramah setiap pengunjung. Tak
terkecuali Kelana dan Savitri yang dianggapnya pasangan suami istri muda.
Setelah puas menatap bagian luar bangunan dan kedua penjaganya, Kelana dan
Savitri menaiki anak tangga yang tersusun di dalam pintu. Kedua penjaga itu
membungkukkan tubuh ketika mereka melangkah masuk. Rupanya penjaga-penjaga itu
menduga Savitri dan Kelana orang-orang kaya yang hendak menghamburkan uang di
rumah judi itu.
Pasangan muda-mudi itu memang sangat menyolok. Terlebih pakaian yang mereka
kenakan, dari bahan dan warna yang sama. Sehingga saat mereka bergerak masuk,
banyak mata yang menyambutnya.
"Kau ingin mencoba main, Kelana...?" tanya Savitri setelah puas melihat-lihat
berbagai macam permainan di ruangan yang cukup luas itu.
"Mmm.... Boleh-boleh saja...," sahut Kelana segera menghampiri meja permainan
dadu. "Ah. Silakan..., silakan, Tuan Muda...," ujar bandar sambil memutar-mutar tempat
biji dadu. Gerakannya terlihat sangat mahir. Lelaki kurus bermuka mirip tikus
itu agaknya bandar judi yang berpengalaman.
"Hm...."
Kelana meletakkan beberapa keping uang di atas nomor yang tertulis di sehelai
kertas di atas meja. Beberapa orang mengikuti nomor yang dipasang pemuda tegap
berpakaian serba merah itu. Sehingga, nomor itu banyak dipenuhi kepingan uang
dibanding nomor-nomor lain.
"Nah, apakah semua sudah tetap dan tidak akan dipindah lagi" Kalau memang sudah,
nomor-nomor akan segera kami perlihatkan...," ujar lelaki kurus bermuka tikus
menunggu beberapa saat. Kedua telapak tangannya diletakkan di tepi meja.
Kelana yang saat itu memegang tepi meja kelihatan terkejut. Sebagai seorang
pesilat yang pandai, ia tahu ada orang yang tengah mengerahkan tenaga dalam pada
meja itu. Dan lebih terkejut lagi ketika telinganya menangkap guliran biji dadu
di dalam tempurung kelapa.
Sadar ada yang bermain curang, pemuda itu memperhatikan wajah bandar dadu yang
berdiri berseberangan dengannya.
"Hmmm...," Kelana bergumam pelan ketika mengetahui siapa yang telah berani
bermain curang di hadapannya. Tanpa berpikir dua kali, pemuda itu menekankan
telapak tangan kanannya pada meja. Dan mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya
untuk menggulirkan biji-biji ke nomor semula.
Lelaki kurus bermuka tikus kelihatan kaget. Ada orang pandai hendak membuatnya
bangkrut. Maka kekuatannya ditambah. Namun sampai keningnya berkeringat, ia
tidak mampu melawan kekuatan tenaga lawan. Sekali pandang tahulah lelaki kurus
itu siapa yang menjadi lawannya.
"Hei, mengapa lama sekali" Bukankah semua telah menetapkan pasangan...?" tegur
Kelana tersenyum mengejek.
Beberapa pengunjung yang memasang taruhan ikut berteriak menuntut. Maka dengan
wajah agak pucat, lelaki kurus itu menusukkan nomor-nomor dadunya. Dan....
"Wah, rupanya aku sedang beruntung...!" ujar Kelana tersenyum, membuat wajah
bandar dadu menjadi kelam. Jelas ia tahu pemuda tampan berpakaian serba merah
itu sengaja menggodanya.
Tapi lelaki berwajah tikus itu tidak berkata apa-apa. Matanya mengawasi Kelana
dengan tajam. Penjudi-penjudi lain yang ikut memasang taruhannya di nomor pasangan Kelana
bersorak senang. Kemenangan pertama itu membuat mereka yakin Kelana telah
mendatangkan keberuntungan. Sehingga, ketika Kelana kembali memasang taruhannya
pada salah satu nomor, penjudi lainnya segera memperhaturuhkan uang hasil
kemenangannya tadi. Akibatnya hanya satu nomor saja yang terpasang. Sedang nomor
lainnya tidak satu pun yang memasang.
"Celaka...!" desis lelaki bermuka tikus.
Butir-butir keringat dingin semakin banyak mengalir membasahi wajahnya. Kalau
sampai taruhan itu mengena, habislah ia. Majikannya pasti akan marah besar.
Meskipun yakin kemenangan akan berada di pihak para petaruh, lelaki bermuka
tikus tetap melaksanakan tugasnya dengan baik. Biji-biji dadu kembali diputar.
Dan.... "Horeee...!"
Para penjudi itu berteriak kegirangan! Beberapa di antara mereka melompat-lompat
seperti anak kecil. Kemenangan hari itu sungguh tidak pernah terbayang dalam
pikiran mereka.
Tentu saja tak seorang pun tahu kemenangan itu karena perbuatan Kelana. Hanya
bandar judi yang mengetahui. Setelah beberapa kali bermain dan selalu kalah,
akhirnya bandar dadu menutup permaianannya.
"Hei! Mengapa berhenti, Kisanak" Bukankah biasanya permainan ini sampai larut
malam...?" tegur seorang petaruh yang telah mendapat kemenangan cukup banyak.
Sehingga, kantung uang di pinggangnya penuh.
"Maaf, aku tiba-tiba merasa pusing. Kuharap kalian bermain di meja lain
saja...," jawab bandar dadau lalu beranjak pergi, dan lenyap di baik pintu
sebuah kamar. "Rupanya hari ini kau sedang beruntung, Kelana. Banyak sekali uang hasil
kemenanganmu...!" ujar Savitri tersenyum lebar. Gadis cantik itu tidak menyangka
Kelana pandai berjudi.
Kelana tersenyum tanpa menjawab sepatah pun. Pemuda itu merasakan banyak mata
mengawasinya dengan sorot mengancam. Tapi ia pura-pura tidak tahu.
"Hm..., sebaiknya kita tinggalkan tempat ini, Savitri. Kelihatannya orang yang
kita tunggu-tunggu tidak akan muncul...," ujar Kelana yang rupanya merasa bosan
berada lama-lama di tempat pengap seperti itu.
"Maaf Tuan dan Nyonya Muda. Majikan kami ingin berjumpa dengan kalian. Mungkin
hendak mengucapkan selamat atas keberuntungan kalian hari ini...!" tiba-tiba
seorang tukang pukul rumah judi berkata kepada Kelana dan Savitri.
"Hm.... Baik. Kami akan segera datang...," sahut Kelana. Kemudian mengikuti
langkah tukang pukul memasuki sebuah ruangan. Savitri yang sudah menerka apa
yang akan terjadi segera mengayunkan langkah mengikuti kedua orang itu.
"Harap Nisanak tetap di tempat. Majikan kami hanya mengundang Tuan Muda ini...,"
cegah tukang pukul kepada Savitri.
"Biarkan dia ikut. Aku tidak akan memenuhi undangan majikan kalian tanpa
istriku...,"
tukas Kelana terpaksa mengakui Savitri sebagai istrinya. Itu dilakukan agar
tidak menimbulkan kecurigaan.
Tukang pukul bertubuh gemuk dengan kumis tebal melintang kelihatan tertegun
sejenak. Kemudian menganggukkan kepala dan membawa kedua orang itu menemui
majikannya. Sebelum memasuki kamar tempat majikannya menunggu, dua orang tukang pukul yang
menyertai Kelana dan Savitri meminta agar uang yang dibawa Kelana dititipkan
kepada mereka. Setelah bertemu dengan pimpinannya, baru uang itu akan diserahkan
kembali. "Maaf. Biar aku saja yang membawanya...," bantah Kelana ingin mengetahui apa
yang akan dilakukan kedua tukang pukul itu bila ia membantah.
"Jangan khawatir, Tuan Muda. Kami akan menyimpannya baik-baik. Dan akan kami
berikan bila Tuan dan Nyonya Muda hendak meninggalkan tempat ini..," bujuk
tukang pukul gemuk berkumis tebal. Tangannya diulurkan hendak merampas kantung
besar yang dipegang Kelana. "Harap kalian jangan memaksa...."
Kelana bersikeras dan menarik kantung uang itu ke samping kirinya. Sehingga,
terkaman lelaki gemuk berkumis tebal luput. Tapi tukang pukul itu memaksa. Kali
ini ia benar-benar berusaha merampas kantung itu. Sayang terkamannya selalu
luput. "Kisanak! Uang ini hasil kemenanganku yang sah! Tak seorang pun kuizinkan
menyentuhnya!" bentak Kelana tidak sabar.
"Siapa bilang kau menang secara sah, Kisanak! Kemenangan itu kau peroleh dengan
cara yang curang...!" tiba-tiba terdengar sebuah suara. Muncullah lelaki bermuka
tikus yang tadi menjadi bandar dadu. Wajah lelaki itu kelihatan gelap
menyiratkan kemarahan yang siap ditumpahkan.
"Ooo.... Jadi kalian hendak merampas uang ini" Nah, silakan saja kalau memang
sanggup mengambilnya dari tanganku...!" tantang Kelana tersenyum sinis.
"Kurang ajar! Beri pelajaran kepada pemuda setan itu, agar lain kali bisa
berlaku lebih sopan...!" perintah lelaki bermuka tikus kepada tukang pukulnya.
Kemudian ia sendiri bergerak hendak merampas kantung uang di tangan Kelana.
Tapi.... "Makanlah uang ini oleh kalian...!" sambil berkata, Kelana mengayunkan kantung
uang yang besar dan berat itu.
Des! Desss...! "Augkhhh...!"
Kedua tukang pukul itu jatuh terjengkang seraya memegangi wajahnya. Keduanya
bergegas bangkit dengan hidung mengalirkan darah. Kemungkinan tulang hidungnya
patah terbentur kepingan uang yang berat itu. Rasa sakit malah membuat mereka
semakin garang!
Tapi Kelana tidak mau bertindak tanggung-tanggung. Sebelum kedua tukang pukul
itu kembali menerjang, tendangannya sudah datang menghempaskan tubuh mereka
hingga rebah tak berkutik. Dada mereka remuk terkena tendangan keras yang
dilancarkan Kelana.
"Pembunuh keji...!"
Lelaki bermuka tikus menjadi kalap. Ia berteriak-teriak dan menerjang dengan
serangan-serangan yang lebih terarah daripada kedua kawannya yang telah menjadi
mayat. "Hm...."
Kali ini Savitri yang mengambil tindakan. Belum lagi serangan lelaki bermuka
tikus tiba, Savitri melepaskan sebuah tamparan keras ke wajah lawan. Kemudian
menyusuli dengan tendangan keras!
Bukkk! "Huakhhh...!"
Tubuh lelaki bermuka tikus terlempar menjebol dinding papan di belakangnya.
Darah segar termuntah dari mulutnya. Nyawanya pun melayang. Tendangan Savitri
menghancurkan bagian dalam dadanya.
"Keparat! Siapa yang berani kurang ajar mengacau di tempat ini..."!"
Tiba-tiba terdengar bentakan keras dari dalam kamar majikan rumah judi. Seiring
dengan terkuaknya pintu kamar, muncul seorang lelaki berusia empat puluh tahun.
Sepasang matanya menyorot garang meneliti wajah Kelana dan Savitri. Bibirnya
menyunggingkan senyum penuh hasrat saat melihat wajah cantik Savitri. Bahkan
lelaki itu meneguk air liurnya beberapa kali. Agaknya sosok gadis cantik
berpakaian serba merah itu telah menerbitkan keinginan kotor di kepalanya.
Savitri sendiri malah tersenyum memikat. Sepasang matanya mengerjap jenaka.
Gadis itu sengaja memancing hasrat lawannya agar semakin menggebu. Rupanya
Savitri suka memikat laki-laki mabuk akan kecantikannya. Lain halnya dengan
Kelana. Pemuda itu menatap garang wajah lelaki berusia empat puluh tahun yang
bagai serigala lapar menemukan tulang-tulang lezat.
Tatapan tajam Kelana menyadarkan lelaki itu bahwa masih ada orang ketiga di
antara mereka, ia pun mengalihkan pandang pada sosok Kelana. Mereka saling
bertatapan beberapa saat.
*** "Kalian siapa...?" tegur lelaki dengan wajah terhias kumis tercukur rapi itu.
Sepasang matanya berkilat menyembunyikan kemarahan ketika melihat tiga mayat
anak buahnya. "Aku Kelana. Sedangkan gadisku bernama Savitri. Puas?" sahut Kelana tandas.
"Hm.... Kalian pasti datang ke tempat ini mempunyai maksud lain, bukan" Nah,
katakan apa maksud kalian sebenarnya...?" tanya lelaki itu dengan pandangan
menyelidik. "Hm.... Kabarnya rumah judi ini milik Raja Racun Muka Hitam. Dapatkah kau
memberitahu tempat kediaman tokoh itu...?" ujar Kelana mengutarakan maksud
kedatangan mereka. Paras majikan rumah judi berubah tegang. Kalau sampai ada
yang tahu siapa pemilik rumah judi ini, pasti orang itu bukan tokoh sembarangan.
Sebab, Raja Racun Muka Hitam jarang dikenal tokoh sembarangan. Hanya tokoh-tokoh
tertentu yang mengenal nama besar tokoh golongan sesat itu. Sadar kalau kedua
orang muda itu tengah memperhatikan perubahan wajahnya, majikan rumah judi
berusaha menyembunyikan keterkejutannya.
"Kalau begitu, kalian salah alamat. Aku sungguh tidak mengenal nama aneh yang
kalian sebutkan. Tapi meskipun begitu kalian tidak bisa meninggalkan tempat ini
begitu saja. Kematian kawan-kawanku harus ada tebusannya...," mata lelaki itu mengerling ke
arah Savitri. Savitri yang tahu maksud ucapan majikan rumah judi segera melangkah maju.
Ditatapnya wajah yang cukup gagah itu beberapa saat. Kemudian terdengar suaranya
yang merdu memikat.
"Apa yang kau kehendaki dari kami...?" tanya Savitri tersenyum manis. Hingga
lelaki itu menduga hasratnya mendapat sambutan gadis itu.
"Asal kau bersedia menemaniku beberapa hari, cukuplah hal itu kuanggap sebagai
balasannya...," tanpa malu-malu, majikan rumah judi mengutarakan keinginannya.
Senyumnya tersungging membayangkan kenikmatan yang akan didapatnya dari gadis
cantik itu. "Hm.... Baik! Kalau begitu, kita mulai saja sekarang...," jawab Savitri membuat
lelaki itu terhentak heran.
"Sekarang...?" ulangnya tak percaya.
"Ya. Sekarang! Bukankah kau ingin secepatnya...?" lanjut Savitri menegasi.
"Betul..., betul...!" tukas lelaki itu cepat dengan senyum semakin lebar, ia
benar-benar tidak menyangka akan begitu mudah memperoleh gadis cantik yang
menggiurkan itu.
"Kalau begitu, bersiaplah...!"
"Apa..., maksudmu...?"
Lelaki itu kelihatan kaget melihat Savitri melangkah maju. Kendati gadis itu
hanya berjalan biasa, namun ilmu meringankan tubuhnya yang tinggi membuat sosok
Savitri tahu-tahu telah berada di dekat majikan rumah judi. Dan....
Plakkk! "Aughhh...!"
Pendekar Naga Putih 72 Pertarungan Dua Naga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Majikan rumah judi memekik kesakitan! Tubuhnya terpelanting ke kanan. Darah
mengalir dari bibirnya yang pecah. Bahkan tamparan itu telah menanggalkan
beberapa giginya.
"Perempuan setan...!" maki lelaki itu sambil sesekali merintih dan menutup
mulutnya dengan telapak tangan. Terdengar teriakannya memanggil tukang-tukang
pukul. "Sekarang tunjukkan tempat kediaman Raja Racun Muka Hitam! Atau kau ingin
tanganku kembali menemanimu...?" bentak Savitri siap memberikan tamparan
berikutnya. Saat itu enam orang tukang pukul berlompatan masuk. Namun, Kelana segera
menyambut dengan menghantamkan kantung uangnya ke wajah dua orang tukang pukul.
Kali ini Kelana menyalurkan tenaga dalamnya. Sehingga....
Prakkk, prakkk!
Tanpa sempat berteriak, kedua tukang pukul itu langsung tewas. Kepala mereka
pecah oleh hantaman kantung yang berat itu. Dan selagi empat tukang pukul
lainnya tertegun, Kelana kembali mengayunkan kantung uangnya. Maka....
Kembali dua orang tukang pukul menyusul dengan kepala pecah. Meski mereka
berusaha mengelak, namun kecepatan gerak Kelana membuat mereka tidak sempat
menyelamatkan diri. Kejadian itu memaksa yang lainnya bergerak mundur dengan
wajah pucat. Empat orang kawan mereka dapat dirobohkan pemuda berpakaian serba merah itu
hanya dengan dua kali gebrakan. Tentu saja mereka tidak menyangka hal itu
terjadi demikian singkat.
"Hm.... Mengapa kalian tidak ikut maju...?" tantang pemuda tampan beralis tebal
dengan mengejek.
"Haaattt...!"
Merasa diremehkan, harga diri kedua tukang pukul itu pun bangkit. Keduanya
bergerak menerjang Kelana dengan putaran senjatanya yang men-aung tajam.
Bettt! Bettt...!
Kelana menarik kaki kanannya ke belakang. Kemudian berputar menghindari serangan
kedua orang itu. Dan terus menghindari sampai lima jurus. Baru kemudian Kelana
memberikan balasan dengan hangat!
Prakkk! Prakkk...!
Tidak sampai enam jurus tubuh kedua orang tukang pukul itu terjungkal roboh
mandi darah. Kepala kawan-kawannya pecah terhantam kantung uang yang besar dan
berat itu. Setelah menyelesaikan lawan-lawannya, Kelana bergerak menghampiri Savitri yang
sedang berhadapan dengan majikan rumah judi. Keduanya tampak bertarung cukup
seru dalam belasan jurus. Sejauh itu Savitri belum membalas. Kelihatannya gadis
cantik itu sengaja hendak mempermainkan lawan.
2 Kelana berdiri menonton perkelahian itu. Ia menyandarkan tubuhnya ke dinding.
Bibirnya tersenyum melihat gerakan mengelak Savitri yang luwes dan indah.
Baginya gadis cantik itu bukan sedang bermain silat. Tapi tengah mempertunjukkan
sebuah tarian yang indah. Sehingga Kelana tak bosan menikmati gerakan gadis
cantik itu. "Mampus...!"
Majikan rumah judi membentak sambil melancarkan pukulan lurus ke arah dada
Savitri. Namun, lagi-lagi gadis cantik itu dapat menghindari. Kali ini ia
melompat agak jauh ke belakang.
"Sekali lagi kuberi kesempatan padamu! Tunjukkan tempat kediaman Raja Racun Muka
Hitam, atau aku akan menghajarmu...!" ancam Savitri.
"Persetan denganmu! Haaattt...!"
Benar-benar keras kepala lelaki itu. Bukannya takut, malah ia kembali menerjang
dengan ganas. Sikap itu mengundang kemarahan Savitri!
"Hm...."
Kali ini Savitri tidak berusaha mengelak. Sambil menggumam dingin, tubuhnya
tegak menanti tibanya serangan lawan. Kemudian...
Plakkk! Majikan rumah judi memekik ketika serangannya disambut lengan Savitri. Tubuhnya
terjajar mundur dengan wajah berkerut menahan sakit. Ia merasa lengannya
membentur sebatang besi, bukan lengan manusia.
"Hendak kulihat sampai seberapa keras kulit tubuhmu...!"
Belum lagi majikan rumah judi sempat memperbaiki kedudukan, Savitri sudah
melayang dengan sebuah tamparan mengancam dadanya.
Plakkk! "Aughhh...!"
Tanpa ampun tubuh lelaki itu terjengkang membentur dinding di belakangnya.
Dinding batu itu jebol! Jelas itu menandakan betapa kuatnya tamparan Savitri.
"Uhhh...!"
Meski demikian, lelaki itu masih berusaha bangkit berdiri. Sekujur tubuhnya
terasa remuk. Dadanya sesak dan sulit sekali bernapas. Cairan merah semakin
banyak mengalir dari mulutnya.
Savitri tak merasa tergerak untuk mengasihani lelaki itu. Langkahnya yang
sengaja dihentakkan keras ke lantai membuat lelaki itu menengadah. Ada kilatan
ketakutan pada sepasang matanya ketika melihat Savitri datang menghampiri.
Jebolnya dinding itu ternyata terdengar sampai ke ruangan tempat bermain judi.
Beberapa pengunjung mendorong daun pintu ruangan itu hendak melihat apa yang
terjadi. "Hei! Kembali ke tempat kalian, atau kukirim ke neraka...!" Kelana langsung
membentak. Bahkan bukan hanya mulutnya yang berbicara. Saat itu juga kakinya
mengirim tendangan ke sosok paling depan.
Desss...! "Hukhhh...!"
Tubuh lelaki kurus itu terjengkang menimpa orang-orang di belakangnya. Mereka
jatuh saling tumpang tindih. Dan begitu bangkit langsung menghambur pergi. Bukan
cuma meninggalkan ruangan itu, tapi meninggalkan rumah judi.
Sepeninggal orang-orang itu, Kelana membalikkan tubuh. Sementara Savitri
mencekal leher baju majikan rumah judi dan memaksanya bangkit berdiri.
"Kuberi kau kesempatan terakhir. Kalau tidak, kulit tubuhmu akan kusayat-sayat
dengan ujung pedang...!" kembali Savitri mengancam.
Sekilas terbayang kilatan ngeri pada sepasang mata lelaki yang sudah tidak
berdaya itu. Namun ketika teringat siapa yang tengah dicari gadis cantik itu, hatinya menjadi
tenang. Dicobanya menggertak Savitri.
"Kalau kau sampai menyiksaku, itu sama artinya kau mencari mati, Perempuan Liar!
Raja Racun Muka Hitam tidak akan mendiamkan pengikutnya dipecundangi orang...!"
"Hik hik hik..!"
Savitri memperdengarkan tawanya mendengar ancaman itu, seperti merupakan sesuatu
yang lucu baginya. Hingga lelaki itu menjadi heran dan tidak mengerti.
"Kau benar-benar bodoh, Kisanak! Justru kedatanganku mencari Raja Racun Muka
Hitam untuk memberi pelajaran kepadanya. Boleh lihat nanti ia akan menurut
segala perintahku!" ujar Savitri tidak gentar. Bahkan sesumbar hendak menaklukan
Raja Racun Muka Hitam. Padahal siapa pun tahu tokoh itu merupakan datuk golongan
sesat di daerah utara.
"Dusta...! Justru kaulah yang akan dipermainkannya sampai puas!" bantah lelaki
itu tak percaya. "Hm.... Kalau begitu, aku akan menunjukkan bukti pertama...,"
tukas Savitri dingin.
Kemudian meloloskan pedangnya yang memancarkan sinar kemerahan dan berhawa panas
menyengat. "Kau...! Apa..., apa yang hendak kau lakukan...?"
"Hm.... Bukankah sudah kukatakan tadi" Apa kau tuli...?"
Savitri memperdengarkan kekehnya. Ujung pedangnya didekatkan ke tubuh majikan
rumah judi yang pucat selebar wajahnya.
"Kau tidak akan berani melakukannya...!"
Baru saja lelaki itu berteriak tidak percaya, tiba-tiba....
Srattt...! "Aaa...!"
Darah segar mengalir dari tubuh majikan rumah judi yang terkelupas kulitnya.
Lelaki itu menjerit-jerit kesakitan. Karena luka itu mendatangkan rasa nyeri dan
panas yang sangat menyiksa!
"Hm...."
Savitri hanya menggumam dingin. Ujung pedangnya kembali terjulur. Hawa panas
menyengat yang lebih dulu tiba membuat lelaki itu berteriak kepanasan.
"Aaa.... Tobaaat...!"
Srattt...!"
Kembali kulit tubuh lelaki itu tersayat ujung pedang. Karuan saja majikan rumah
judi itu meraung setinggi langit. Apa yang dirasakannya benar-benar sangat
menyakitkan. "Aku akan mengatakannya...! Aku menyerah...!" akhirnya keluar juga ucapan itu
dari mulut nya.
"Bagus...! Kalau saja sejak tadi kau mengatakannya, tentu tidak perlu merasakan
penderitaan seperti ini...," ujar Savitri tersenyum dingin. Ujung pedangnya
ditarik pulang meski, tetap tergenggam di tangan.
Dengan suara tersendat-sendat menahan sakit, majikan rumah judi memberikan
keterangan. Savitri mengangguk-angguk puas. Dan ketika semuanya telah jelas....
"Selamat jalan, Kisanak...."
Crakhhh...! Darah segar muncrat ketika pedang Savitri menebas putus leher orang itu.
Terdengar tawanya yang dingin mendirikan bulu roma. Kemudian menoleh ke arah
Kelana setelah menyarungkan senjatanya.
"Mari kita berkunjung ke tempat Raja Racun Muka Hitam...," ajak Savitri
mendahului berkelebat. Kelana mengikuti.
*** Setelah majikan rumah judi itu memberi keterangan, Savitri mengangguk-angguk
puas. Lalu.... "Selamat jalan, Kisanak...," ucap Savitri
Crakhhh...! Darah segar muncrat ketika pedang Savitri menebas putus leher orang itu. Lalu,
terdengar tawanya yang dingin mendirikan bulu roma.
Setelah menempuh perjalanan dua hari satu malam, tibalah Kelana dan Savitri di
Kota Kadipaten Tampak Serang. Saat itu senja mulai datang. Sinar kuning keemasan
menyemburat menghias cakrawala sebelah barat.
"Malam ini juga kita datangi Raja Racun Muka Hitam...," ujar Savitri tersenyum
membayangkan betapa terkejutnya tokoh sesat itu melihat kedatangan mereka.
"Kita harus hati-hati, Savitri. Raja Racun Muka Hitam tidak dapat disamakan
dengan tokoh-tokoh lainnya...," Kelana mengingatkan gadis cantik itu agar tidak
bertindak ceroboh. Kali ini yang dihadapi mereka adalah seorang datuk. Tentu
saja ilmunya tidak bisa dipandang ringan. "Hm.... Setelah menguasai ilmu 'Silat
Naga Merah', apalagi yang harus kita takuti, Kelana. Rimba persilatan akan kita
kuasai. Bukankah itu sudah menjadi tekad kita bersama...?"
kilah Savitri sangat yakin akan kepandaiannya. Gadis itu terkesan agak takabur.
"Tapi kau jangan lupa apa yang harus kita lakukan pada purnama mendatang...."
"Bereslah...," sahut Savitri tertawa renyah, membuat Kelana menjadi gemas. Dan
kegemasan itu tidak dapat ditahan lagi.
"Eh, apa-apaan ini...?" pekik manja Savitri ketika merasakan tubuhnya dirangkul
Kelana. Kendati demikian, gadis cantik itu tidak berusaha meronta. Bahkan tidak
melawan ketika Kelana memondong tubuh moleknya.
Kelana yang sudah dibakar nafsu merebahkan tubuh Savitri di atas rerumputan.
Hari memang telah gelap sehingga pemuda itu tidak khawatir akan ada yang melihat
perbuatannya. Meski mereka telah berada dekat dengan pintu gerbang Kadipaten Tampak Serang.
"Sabar dulu, Kelana...."
Saat nafsu dalam dada Kelana sudah mencapai puncak, Savitri tiba-tiba mendorong
tubuh Kelana yang menindihnya. Pakaian gadis cantik itu sudah tidak karuan.
"Mengapa, Savitri..." Kau tidak suka lagi kepadaku...?" Kelana yang sudah
dikuasai nafsu setan menatap wajah di bawahnya tajam-tajam. Kilatan tak senang
terpancar pada sepasang mata pemuda itu.
"Bukan begitu, Kelana. Tapi sebaiknya kita persiapkan tenaga untuk menghadapi
Raja Racun Muka Hitam. Aku tidak ingin menemui kegagalan...," sahut Savitri
memberi penjelasan atas penolakannya.
"Tapi aku sudah tidak bisa menahan lagi, Savitri...," Kelana masih membantah.
"Mengapa harus marah, Kelana" Bukankah selama ini aku tidak pernah menolak"
Kalau sekarang aku menolak, itu demi kepentingan kita berdua. Setelah urusan
dengan Raja Racun Muka Hitam selesai, terserah hendak kau apakan diriku...."
"Huhhh...!"
Kelana mendengus kesal seraya bangkit dan merapikan pakaiannya. Tampaknya ia
masih jengkel dengan penolakan Savitri, kendati maklum dengan alasan yang
diberikan gadis itu.
"Ayolah, Kelana. Mengapa mesti marah..." Bukankah aku sudah menyerahkan diriku
bulat-bulat kepadamu" Jangan buat aku sedih, Kelana...."
Savitri bergayut manja di bahu pemuda tegap itu. Kata-katanya yang mirip desahan
membuat hati Kelana tergelitik. Apalagi ia merasakan belaian jemari lembut di
wajahnya. Kalau sudah begitu, luluhlah kemarahan dan kejengkelan di hatinya.
"Nah, begitu baru betul...," seru Savitri tersenyum melihat wajah tampan itu
kembali cerah. Bahkan Kelana sudah tersenyum seperti sedia kala.
"Maafkan sikapku, Savitri. Marilah sekarang kita datangi Raja Racun Muka Hitam,
agar aku dapat bebas menumpahkan cintaku kepadamu...," ujar Kelana segera
mengajak Savitri meninggalkan tempat itu.
Begitu memasuki kota kadipaten, keduanya langsung menuju sebuah bangunan besar
yang di kiri-kanan gerbangnya terdapat patung ular kobra. Begitu menurut
keterangan yang didapat dari majikan rumah judi yang dibunuh Savitri.
Raja Racun Muka Hitam memang tidak dapat disamakan dengan datuk-datuk
persilatan lainnya. Kendati namanya telah menggetarkan rimba persilatan, namun
jarang orang pemah berjumpa atau melihat wajahnya. Bahkan tempat kediaman tokoh
itu tidak banyak yang tahu. Orang tidak akan pernah menyangka Raja Racun Muka
Hitam memiliki tempat di dalam Kota Kadipaten Tampak Serang. Bahkan merupakan
salah satu orang terkaya di kadipaten itu.
Savitri dan Kelana yang merasa yakin bangunan besar itu tempat kediaman Raja
Racun Muka Hitam, segera bergerak masuk melalui atap rumah-rumah penduduk.
Kemudian melayang turun di halaman belakang yang merupakan sebuah taman.
"Kau tunggu di sini. Biar aku yang menyelusup dan memberikan surat tantangan ini
kepada datuk sesat...," ujar Kelana tegas tanpa ingin mendengar bantahan
Savitri. "Baiklah. Hati-hati...," pesan Savitri sebelum Kelana melesat meninggalkan
taman. Dengan kepandaiannya yang tinggi, tentu tidak sulit bagi Kelana menyusup masuk
mencari Raja Racun Muka Hitam. Kalau melihat caranya bergerak, tampak jelas
kepandaian pemuda tegap itu telah maju pesat. Mungkin ilmu 'Silat Naga Merah'
yang disebut-sebut Savitri yang menjadi penyebabnya.
Saat itu Raja Racun Muka Hitam tengah terbahak bercengkerama dengan empat orang
gadis muda berwajah cantik. Tampaknya datuk sesat ini mengetahui dengan pasti
bagaimana menikmati kekayaan yang dimilikinya. Maka meskipun usianya telah
mencapai lima puluh lima tahun, namun semangat dan gairahnya tidak kalah dengan
pemuda dua puluh tahun. Benar-benar hebat datuk sesat itu.
Karena datuk sesat itu berada di tempat agak terbuka dan dapat terlihat dari
taman samping, tidak sulit bagi Kelana menemukannya. Apalagi tawa Raja Racun
Muka Hitam sering terdengar. Kelana menggeleng-geleng kepala melihat datuk sesat
itu tengah bergelimang kesenangan dunia. Cepat ia menyalurkan tenaga dalamnya
dan melemparkan gulungan surat ke arah Raja Racun Muka Hitam.
Wuttt...! Sambaran angin halus yang ditimbulkan gulungan surat sepanjang satu jengkal itu
membuat Raja Racun Muka Hitam tersentak. Wajahnya memperlihatkan ketidaksenangan
yang sangat. "Keparat...!" desisnya geram. Tanpa bergerak dari tempat duduknya, datuk sesat
itu mengulur tangan dengan telapak membuka. Dan....
Tappp! Enak saja gulungan surat itu tertanggap tangannya. Wajahnya yang hitam
menyiratkan kekagetan. Telapak tangan datuk sesat itu bergetar saat menerima
gulungan suarat. Tahulah Raja Racun Muka Hitam kalau pelempar surat itu bukan
orang sembarangan.
"Kembalilah ke tempat kalian...!" ujar Raja Racun Hitam kepada empat orang
wanita muda yang menemaninya.
Meskipun wajah keempatnya menggambarkan keheranan, namun perintah lelaki
bertubuh gendut itu tidak dibantah. Mereka beranjak bangkit dan meninggalkan
Raja Racun Muka Hitam seorang diri di tempat itu.
Sepeninggal keempat gundiknya, Raja Racun Muka Hitam membuka gulungan surat di
Pendekar Naga Putih 72 Pertarungan Dua Naga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tangannya. Wajah yang hitam itu tampak semakin gelap setelah membaca tulisan di
dalamnya. Raja Racun Muka Hitam! Kutunggu kedatanganmu di hutan sebelah utara kadipaten
ini. Datanglah jika tidak ingin kehidupanmu rusak!
Sepasang Naga Merah.
"Bedebah...!" desis Raja Racun Muka Hitam geram. Diremasnya pegangan kursi
panjang terbuat dari kayu jati pilihan yang didudukinya.
Kresss...! Hebat bukan main! Pegangan kursi yang kuat itu hancur. Dapat dibayangkan betapa
hebat kekuatan tenaga dalam kakek gendut bermuka hitam itu.
Kelana yang berada beberapa tombak dari tempat itu menatap takjub. Kepandaian
Raja Racun Muka Hitam ternyata memang sangat tinggi. Cepat Kelana melangkah
perlahan. Kemudian melesat meninggalkan tempat itu.
"Hm..."
Raja Racun Muka Hitam menangkap desiran angin halus. Tapi tokoh sesat itu tidak
berusaha mengejar, ia tahu orang itu akan ditemuinya malam ini. Selain itu,
calon lawannya berkapandaian tinggi. Alasan-alasan itu membuatnya tidak
berkeinginan untuk mengejar.
"Tunggulah! Kalian benar-benar mencari mati!" geram datuk sesat itu beranjak
bangkit untuk bersiap memenuhi undangan, ia sadar kehidupannya akan rusak bila
tantangan itu dipenuhi. Rahasia yang selama ini dipendamnya rapat-rapat akan
terbongkar. Dan tidak mungkin dapat tinggal di Kota Kadipaten Tampak Serang lagi
dengan bergelimang kesenangan.
"Sepasang Naga Merah..." Mungkin mereka tokoh baru dalam kalangan persilatan.
Aku belum pernah mendengar namanya...," gumam datuk sesat itu seraya melangkah
pergi. 3 Raja Racun Muka Hitam melesat meninggalkan tempat kediamannya. Tujuannya sebuah
hutan di utara Kadipaten Tampak Serang. Rupanya Raja Racun Muka Hitam tidak akan
membiarkan Sepasang Naga Merah merusak kehidupannya. Siapa yang berani
mengganggunya berarti kematian, begitu jalan pikiran datuk sesat itu.
Dengan ilmu lari cepatnya yang tinggi, sebentar saja Raja Racun Muka Hitam telah
berada di tempat yang dituju. Langkahnya diperlambat saat melihat dua sosok
tubuh menantinya di sebuah tempat yang agak terbuka.
"Hm...."
Terdengar suara gumaman dingin Raja Racun Muka Hitam. Tokoh sesat itu
menghentikan langkahnya satu tombak di depan dua sosok bayangan yang
menunggunya. Ditatapnya wajah kedua penantangnya. Kening Raja Racun Muka Hitam agak berkerut.
Kedua orang yang mengaku Sepasang Naga Merah ternyata masih sangat muda.
"Kaliankah yang berjuluk Sepasang Naga Merah...?" tegur datuk sesat itu dengan
suaranya yang parau dan berat.
"Bagus kau mau datang memenuhi undangan kami, Raja Racun Muka Hitam. Itu artinya
kau masih menginginkan kehidupan seperti yang sekarang kau jalani..." ucapan itu
dikeluarkan sosok ramping berpakaian serba merah. Siapa lagi orang itu kalau
bukan Savitri. Kelana yang berdiri di sebelah kanan Savitri diam mendengarkan. Pemuda itu belum
ingin mencampuri. Matanya menegasi sosok Raja Racun Muka Hitam. Dugaannya
tentang seorang lelaki tinggi besar dengan wajah penuh brewok ternyata meleset.
Sosok Raja Racun Muka Hitam jauh dari dugaannya.
"Hmh...!" Raja Racun Muka Hitam mendengus kasar.
"Jadi, kalian yang berjuluk Sepasang Naga Merah..?" tanyanya meyakinkan. Sebab
bukan mustahil kedua orang itu hanya pengikut.
"Benar. Dan kami sengaja mengundangmu ke tempat ini," kali ini Kelana yang
menyahuti. "Apakah kalian sadar bahwa mempermainkan Raja Racun Muka Hitam sama artinya
dengan bunuh diri...?" tukas Raja Racun Muka Hitam menatap wajah kedua orang itu
penuh ancaman. "Maksudku bukan hendak mempermainkanmu, Raja Racun Muka Hitam. Tapi untuk
mengajak bergabung dengan kami. Tentu saja kau harus berada di bawah perintah
kami...," lagi Kelana menyahuti. Rupanya Savitri telah menyerahkan segala
keputusan kepada pemuda tampan yang telah menjadi kekasihnya.
"Hua ha ha...!"
Raja Racun Muka Hitam tergelak sampai perut buncitnya berguncang-guncang, ia
merasa lucu dengan ucapan Kelana.
"Kalian benar-benar menggelikan! Anak masih bau kencur sudah mau bertingkah
macam-macam. Sampai-sampai berani menggertak Raja Racun Muka Hitam. Tapi ingin
kudengar rencana kalian. Nah, katakanlah...?" pinta Raja Racun Muka Hitam
bernada memerintah.
"Sudah kubilang kami ingin mengajakmu bergabung. Kami akan menjadi pimpinan
seluruh tokoh golongan hitam di negeri ini...," jelas Kelana lantang dan yakin
akan kemampuannya.
"Bagus... bagus! Jalan pikiran kalian memang sangat baik dan patut mendapat
dukungan. Tapi hendak kulihat apakah kemampuan kalian juga sebesar
sesumbarnya...! Nah, bersiaplah...!"
Selesai berkata. Raja Racun Muka Hitam menggeser langkahnya. Datuk sesat itu
melontarkan serangan. Sadar siapa lelaki gemuk bermuka hitam itu, Kelana dan
Savitri merenggang. Mereka siap menghadapi Raja Racun Muka Hitam bersama-sama.
Kelana bergerak dari sebelah kanan. Kedua lengannya diputar dan kaki kanan
diangkat setinggi lutut. Jurus yang digunakan tampak aneh. Perubahan geraknya
pun mengagumkan.
Raja Racun Muka Hitam sampai mengerutkan kening.
Savitri yang bergerak dari sebelah kiri juga melakukan gerakan serupa. Sehingga,
Raja Racun Muka Hitam yang menoleh ke arah gadis cantik itu mulai mengerti
lawannya menggunakan ilmu berpasangan.
"Hm.... Inikah ilmu 'Silat Naga Merah'...?" gumam Raja Racun Muka Hitam
menggeser tubuhnya ke kanan.
Raja Racun Muka Hitam sadar jurus yang dipergunakan kedua lawannya cukup ampuh
dan berbahaya. Tokoh sesat itu tidak berani memandang rendah. Itu dapat dilihat
dari gerak langkahnya yang hati-hati.
"Haiiittt...!"
Savitri memulai serangan dengan sebuah lengkingan panjang menggetarkan dada.
Gadis cantik itu mengerahkan tenaga dalamnya. Itu dilakukan untuk mengacaukan
pikiran lawan. Bettt, bettt...!
Sekali bergerak Savitri melancarkan serangkaian serangan. Bagian-bagian yang
menjadi sasaran adalah jalan darah yang berbahaya.
Raja Racun Muka Hitam maklum akan serangan maut itu. Kendati terlihat lambat,
Raja Racun Muka Hitam langsung membalas dengan tamparan-tamparan yang
mendatangkan sambaran angin tajam.
"Haaattt...!"
Belum lagi serangan datuk sesat itu tiba, terdengar teriakan nyaring. Disusul
dengan meluncurnya tubuh Kelana ke arena pertempuran. Raja Racun Muka Hitam
terpaksa menunda serangan. Serangan Kelana sangatlah berbahaya. Jauh lebih
berbahaya dari serangan yang dilancarkan Savitri.
Plakkk, plakkk!
Raja Racun Muka Hitam memutar serangannya untuk menyambut gempuran Kelana.
Tokoh sesat itu tergetar mundur beberapa langkah. Benturan ke dua pasang lengan
mereka membuat wajah datuk sesat itu berubah.
"Hebat..!" puji Raja Racun Muka Hitam. Mau tidak mau ia harus mengakui kekuatan
tenaga dalam pemuda tampan berpakaian serba merah itu.
"Kau pun hebat Raja Racun Muka Hitam...!" seru Kelana yang juga merasakan
kehebatan datuk sesat itu. Dalam hal kekuatan tenaga dalam tampaknya mereka
berimbang. "Tapi jangan merasa bangga dulu, Bocah! Lihat seranganku selanjutnya...!" baru
saja ucapannya selesai, Raja Racun Muka Hitam melesat dengan sangat cepat
laksana sambaran kilat. Bettt, bettt, bettt...!
Sepasang lengan datuk sesat itu bergerak susul-menyusul disertai decitan angin
tajam. Serangannya kali ini dilakukan dengan kekuatan penuh!
Namun Kelana sedikit pun tidak melayani. Savitri-lah yang datang menghadang dan
membendung gempuran lawan. Sesekali serangan balasan gadis cantik itu meluncur
dengan cepat. Tapi begitu Raja Racun Muka Hitam melancarkan serangan, Savitri
menghindar digantikan Kelana yang langsung melancarkan gempuran-gempuran maut.
Kerja sama yang baik itu membuat Raja Racun Muka Hitam kewalahan. Apalagi ketika
Kelana dan Savitri menyerbu bersamaan. Terpaksa Raja Racun Muka Hitam
berloncatan menghindar. Ia tidak diberi kesempatan untuk membalas. Datuk sesat
itu harus puas bermain mundur.
"Heyaaahhh...!"
Rasa panasaran membuat Raja Racun Muka Hitam berbuat nekat dengan mengerahkan
seluruh kekuatannya, datuk sesat itu membentak keras. Kedua tangannya
didorongkan ke depan hingga menimbulkan deruan angin keras yang sanggup
menghempaskan benda-benda di depannya. Tapi...
"Haiiit...!"
"Hahhh...!"
Bersamaan dengan dorongan kedua telapak tangan Raja Racun Muka Hitam, Kelana dan
Savitri memekik nyaring. Tubuh keduanya melenting ke udara. Serangan dahsyat pun
mengenai angin kosong! Bahkan....
Brertt...! Desss...!"
Raja Racun Muka Hitam mengeluh pendek. Kedua lawannya mengirim serangan telak
selagi mereka berada di udara. Akibatnya, tubuh gendut itu jatuh terguling. Bahu
kanannya berdarah terkena cakaran Savitri. Sedangkan punggungnya nyeri akibat
tendangan Kelana.
"Kurang ajar...!" Raja Racun Muka Hitam menggeram murka. Tubuhnya melenting
bangkit. Wajah hitam itu semakin bertambah hitam. Sepasang matanya menyiratkan
naisu membunuh.
"Itu belum seberapa. Raja Racun Muka Hitam! Kalau kau masih belum mau tunduk,
kami akan memberi pelajaran yang lebih berat...!" ujar Savitri dengan tawa
mengejek. Tentu saja ucapan itu membuat darah Raja Racun Muka Merah semakin
mendidih. "Hmh...!"
Sambil memperdengarkan dengusan mirip banteng marah, lelaki gemuk itu menyiapkan
jurus-jurus selanjutnya. Sepasang tangannya bergerak ke kiri dan kanan
menerbitkan hembusan angin keras hingga menggoyangkan dedaunan. Tampaknya amukan
Raja Racun Muka Hitam kali ini sangat berbahaya.
Kelana dan Savitri sadar betul akan kedahsyatan ilmu lawan. Mereka tidak
berpencar seperti tadi. Tapi memainkan jurus-jurus semula dengan tubuh agak
merapat saling baradu punggung.
"Jeaaahhh...!"
"Haaahhh...!"
Seiring dengan bentakan-bentakan keras, tubuh keduanya bergerak maju.
Kelihatannya mereka telah menyatukan kekuatan untuk menghadapi Raja Racun Muka
Hitam. Dan.... "Haaattt...!"
Raja Racun Muka Hitam datang menyerang dengan kedahsyatannya. Tanah di arena
pertarungan berguncang saat datuk sesat itu berlari. Daun-daun berguguran. Dan
angin puting beliung tercipta mengiringi serbuan Raja Racun Muka Hitam.
Wusss...! Serbuan angin dahsyat itu tidak membuat Kelana dan Savitri gentar. Mereka
menyambutnya dengan dorongan tangan mereka dalam kuda-kuda silang yang kokoh!
"Heaaa...!"
Blarrr...! Dua gelombang tenaga dalam tingkat tinggi saling berbenturan di udara. Ledakan
dahsyat laksana petir menggelegar. Tanah tempat terjadinya pertarungan bergetar
hebat digoncang gempa. Dan tubuh ketiga petarung terpental balik dua sampai tiga
tombak ke belakang!
Brukkk! Raja Racun Muka Hitam tak mampu menguasai keseimbangan tubuhnya. Tubuh gendutnya
terbanting ke tanah dengan keras. Kemudian....
"Huakh...!"
Darah kental termuntah dari mulutnya. Raja Racun Muka Hitam mengalami luka dalam
yang cukup parah!
Lain halnya dengan Kelana dan Savitri. Mereka dapat mengatasi daya lontar itu
dengan baik. Diiringi bentakan nyaring, keduanya berputaran beberapa kali. Dan
meluncur turun dengan kedua kaki lebih dulu. Dari sini dapat dilihat kekuatan
gabungan mereka jauh lebih hebat dari kekuatan lawan.
Melihat pasangan muda yang mengaku berjuluk Sepasang Naga Merah sedikit pun
tidak terluka, Raja Racun Muka Hitam melenggak kaget. Heran bukan main datuk
sesat itu. Dalam serangan terakhirnya ia kerahkan tenaga beracun. Tapi, Sepasang Naga Merah
tetap segar bugar!
"Kalian... memiliki ilmu penawar racun..."!" tanya Raja Racun Muka Hitam tidak
percaya dengan penglihatannya.
"Hm.... Tak ada satu racun pun mampu melukai kami, Raja Racun Muka Hitam. Kalau
tidak, untuk apa kami begitu tolol berani menentangmu yang terkenal sebagai raja
racun. Perlu kau ketahui bahwa jurus 'Naga Merah Bertapa' sanggup menawarkan
segala jenis racun! Jurus itulah yang kami pergunakan untuk menyambut
seranganmu...," jelas Savitri membuat kerutan pada kening Raja Racun Muka Hitam
semakin dalam. "Jurus 'Naga Merah Bertapa'...?" desis Raja Racun Muka Hitam mengulang ucapan
Savitri. "Rasanya aku pernah mendengar nama jurus itu..." Sayang aku lupa entah
kapan dan di mana...?"
"Hm.... Agar kau tidak penasaran, baiklah kami beritahu dari mana ilmu ini kami
dapat," lanjut Savitri tersenyum puas. "Kau pasti tahu sebuah perguruan besar
yang kabarnya merupakan pusat ilmu-ilmu tinggi, bukan...?"
"Perguruan Gunung Naga..."!"
Raja Racun Muka Hitam terkejut bukan main. Tentu saja ia mengenal dengan baik
nama perguruan itu. Bahkan hampir semua tokoh persilatan mengenalnya. Sayang
Perguruan Gunung Naga sangat tertutup bagi orang luar. Kebanyakan murid
perguruan itu pertapa-pertapa soleh. Mereka lebih suka mengucilkan diri daripada
mengurusi kehidupan dunia yang penuh kekerasan dan tipu muslihat.
Raja Racun Muka Hitam menatap tajam sepasang orang muda itu. Timbul satu dugaan
dalam pikirannya. Ilmu yang digunakan kedua orang berpakaian serba merah itu
memperkuat dugaannya.
"Kau kaget, Raja Racun Muka Hitam...?" tanya Kelana yang rupanya dapat menebak
jalan pikiran datuk sesat itu.
"Jadi kalian berdua...."
"Ya. Kami berhasil mencuri sebuah kitab ilmu silat yang sangat langka," potong
Kelana sebelum Raja Racun Muka Hitam menyelesaikan kalimatnya, "Itu membuktikan
kami pantas menjadi pimpinan golongan hitam...," tandas Kelana.
"Hua ha ha.... Hebat.., hebat...! Aku benar-benar kagum dengan keberanian
kalian! Aku yakin pertapa-pertapa tolol itu akan kelabakan...!" Raja Racun Muka
Hitam sangat puas dengan cerita yang dituturkan Kelana.
"Jadi kau menerima kalau aku menjadi pimpinan golongan kita yang selalu
dilecehkan golongan putih...?" kali ini Savitri yang bertanya.
"Hm.... Melihat kehebatan kalian memang tidak diragukan lagi masa kejayaan
golongan hitam akan segera tiba...," ujar Raja Racun Muka Hitam. "Aku siap bantu
mewujudkan cita-cita mulia itu...."
"Bagus! Memang begitulah seharusnya," tukas Kelana tersenyum.
"Lalu, apa yang akan kita lakukan selanjutnya...?" tanya Raja Racun Muka Hitam.
"Setelah kawan-kawan yang lain terkumpul, tujuan pertama adalah melenyapkan
Pendekar Naga Putih! Ia merupakan halangan terbesar cita-cita kita. Mulai hari
ini kumpulkan semua pengikutmu. Aku akan datang menghubungimu," jelas Kelana
memberi petunjuk.
"Baik," jawab Raja Racun Muka Hitam tanpa membantah.
"Sekarang kami akan pergi menundukkan tokoh-tokoh lain agar mereka mau bergabung
dengan kita. Laksanakan tugasmu dengan baik, Raja Racun Muka Hitam...!" ujar
Kelana. Kemudian melesat bersama Savitri meninggalkan tempat itu.
Raja Racun Muka Hitam mengangguk pasti. Tubuhnya baru bergerak setelah bayangan
Kelana dan Savitri lenyap ditelan kegelapan malam. Suasana di tempat itu kembali
hening dan sepi. Desiran angin lembut menemani nyanyian binatang-binatang malam.
*** "Ke mana kita, Kakang...?" tanya dara jelita berpakaian serba hijau yang
melangkah di samping pemuda tampan berjubah putih. Mereka sudah pasti Panji dan
Kenanga. "Mencari keterangan tentang pemuda berpakaian serba merah yang memusuhiku. Kalau
tidak salah namanya Kelana. Aku penasaran ingin mengetahui penyebab ia
memusuhiku...,"
Pendekar Naga Putih 72 Pertarungan Dua Naga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sahut Panji tanpa menghentikan langkahnya. Saat itu mereka tengah menelusuri
padang rumput yang cukup luas (Bagi pembaca yang belum mengetahui permusuhan
Panji dengan Kelana, silakan mengikuti episode "Petulang Sakti" yang merupakan
episode pertama "Sepasang Naga Merah").
"Hm...." Kenanga bergumam tak jelas. Kening gadis itu tampak berkerut.
"Ada apa, Kenanga" Sepertinya kau sedang memikirkan sesuatu?" tanya Panji
menoleh ketika mendengar Kenanga hanya bergumam menanggapi ucapannya.
"Aku memang sedang berpikir, Kakang. Rasanya ada yang janggal dalam diri
Kelana...,"
sahut Kenanga memandang kekasihnya.
"Maksudmu..., Kelana telah terpengaruh Savitri...?" tanya Panji, ia pun menduga
Kelana tidak sejahat seperti yang mereka hadapi. Kalau pemuda itu kelihatan
ganas, mungkin karena ingin membalas dendam atas kematian kedua orangtuanya.
"Aku tidak bisa memastikan. Tapi kelihatannya memang begitu. Orang yang tengah
dikuasai dendam seperti Kelana akan mudah terjebak orang-orang sesat. Mungkin
itu yang terjadi pada diri Kelana...," jelas Kenanga.
"Ha... Aku baru ingat sekarang...!" tiba-tiba Panji berkata agak keras.
"Apa yang kau ingat, Kakang...?" tanya Kenanga penasaran. Karena dilihatnya
wajah Panji berubah cerah.
"Bukankah belakangan ini muncul seorang tokoh yang berjuluk Petualang Sakti"
Nah, ciri-ciri Kelana sangat cocok. Kemungkinan besar dialah Petualang
Sakti...!" jawab Panji agak lega. Dengan mengenal siapa pemuda berpakaian merah
itu, ia akan lebih mudah mengusut asal-usul Kelana. Dengan begitu mungkin dapat
diketahui penyebab pemuda itu sangat memusuhinya.
"Ah. Kau benar, Kakang. Tapi julukan Petualang Sakti telah lenyap dan tidak akan
muncul lagi. Kau mungkin tahu sebabnya...," tukas Kenanga yang juga pernah
mendengar mengenai seorang pemuda tegap berpakaian merah yang dijuluki Petualang
Sakti. "Maksudmu mereka telah mempunyai julukan baru, yang saat ini tengah ramai
dibicarakan orang...?" tegas Panji menatap kekasihnya lekat-lekat.
"Tidak salah, Kakang. Pasti merekalah yang belakangan ini terkenal sebagai
Sepasang Naga Merah. Sebab kalau melihat warna pakaian mereka yang sama, jelas
mereka sangat tepat menggunakan julukan itu. Sepertinya Kelana telah terseret
semakin jauh...," tukas dara jelita itu membenarkan dugaan Panji. Belakangan ini
mereka memang sering mendengar tentang Sepasang Naga Merah yang kabarnya memang
sering banyak meminta korban.
"Hm..., Kalau begitu akan lebih mudah lagi kita mencari petunjuk asal-usul
Kelana...,"
ujar Panji semakin lega. Karena menurutnya cukup banyak tokoh sesat yang
mengenal pemuda berpakaian serba merah itu.
"Benar, Kakang...."
"Ayolah kita bergegas...!"
Tanpa banyak cakap, Kenanga segera melesat mengikuti langkah Panji yang sudah
lebih dulu. Sebentar saja bayangan keduanya lenyap di kejauhan.
4 Sang Dewi Malam baru saja usai menunaikan tugasnya. Semburat kemerahan menghiasi
cakrawala timur. Suara kokok ayam jantan terdengar saling bersahutan. Dan
hembusan angin bertiup lembut mempermainkan pucuk-pucuk dedaunan.
Saat itu, sesosok tubuh sedang terbungkus jubah panjang putih tampak berlari
cepat meninggalkan tepian sungai. Wajahnya yang segar dibasahi butiran air
bening. Agaknya sosok yang ternyata seorang pemuda tampan itu baru saja selesai
membersihkan tubuh. Gerakannya ringan saat ia berloncatan di atas jalan berbatu.
"Ada apa, Kakang" Mengapa berlari-lari seperti itu...?"
Seorang dara jelita berpakaian serba hijau menyambut kedatangan pemuda tampan
berjubah putih itu. Wajahnya yang segar menampakkan keheranan. Jelas sikap
pemuda itu lain dari biasanya. Kalau tidak, mana mungkin dara jelita itu merasa
heran. "Cepatlah ikut aku, Kenanga! Rasanya ada pertempuran di sekitar tempat ini...!"
sahut pemuda tampan berjubah putih yang tidak lain Panji atau Pendekar Naga
Putih. Meski gambaran keheranan masih terbayang di wajahnya, Kenanga tidak membantah.
Setelah menyambar buntalan pakaian, dara jelita itu melesat mengikuti langkah
Panji. "Di sebelah mana, Kakang...?" tanya dara jelita itu seraya mempercepat larinya
untuk menyejajari langkah Panji.
"Menurut perhitunganku mungkin berada di sebelah timur sungai...," sahut Panji
tanpa mengurangi kecepatan larinya.
Dengan ilmu meringankan tubuh yang tinggi, tidak sulit bagi pasangan pendekar
muda itu menemukan sumber suara pertempuran. Sebentar saja mereka telah tiba di
sebuah dataran yang agak tinggi. Di tanah yang tidak rata karena banyak bebatuan
itu sebuah pertempuran tengah berlangsung cukup seru. Panji dan Kenanga
menghentikan larinya. Lalu berdiri menonton dalam jarak dua tombak.
"Orang-orang kasar yang tengah melawan dua orang berpakaian pertapa itu jelas
bukan orang baik-baik, Kakang. Melihat buntalan-buntalan kain besar yang
tergeletak di atas tanah, tampaknya mereka baru saja menjarah desa. Mungkin dua
orang tua yang berpakaian pertapa itu memergokinya, kemudian mengejar sampat ke
tempat ini...," ujar Kenanga mereka-reka.
"Hm.... Kemungkinan besar memang begitu. Mari kita lihat lebih dekat...," ajak
Panji. Belum lagi mereka melangkah maju, tiba-tiba terdengar teriakan kesakitan. Salah
satu dari belasan orang kasar terpental dan melayang ke arah Panji dan Kenanga.
Meskipun tahu yang terpental bukan orang baik-baik, tapi Panji mengulurkan
tangan menangkap sosok itu agar tidak terbanting ke tanah.
"Huppp!"
Dengan jari-jari tangan kanannya, Panji menyambar leher baju bagian belakang
orang itu. Tangannya dilemaskan mengikuti daya lontar tubuh lelaki itu. Kemudian
menurunkannya dengan kedua kaki lebih dulu. Tapi, sosok tubuh itu melorot jatuh.
"Hm.... Rupanya ia pingsan...," gumam Panji. Melihat lelehan darah di sudut
bibir lelaki kasar itu, Panji tahu ia terluka dalam yang parah.
Tubuh yang tak sadarkan diri itu ditinggalkan begitu saja. Kemudian mereka
melangkah lebih dekat. Mendadak...
"Hm.... Rupanya masih ada kawan cecunguk-cecunguk ini yang hendak memberi
bantuan...!" ucapan perlahan salah seorang pertapa segera disusul dengan lesatan
tubuhnya. Tanpa banyak bicara, diserangnya Panji yang berada sedikit di depan kekasihnya.
"Hei, tunggu...!"
Panji berseru mencegah. Pemuda itu sempat terkejut melihat kehebatan serangan
pertapa. Sayang serangan itu tidak bisa dicegah Panji terpaksa mengangkat lengan
kanannya, lalu diputar untuk memapaki serangan itu.
Plakkk, plakkk...!
"Aihhh..."!"
Karena tidak ingin menderita kerugian, Panji mengerahkan setengah lebih tenaga
dalamnya. Pukulan pertapa pun membalik bagai membentur hendak kenyal. Wajah
pertapa itu tampak kaget merasakan tubuhnya terpental ke belakang.
"Haiiit...!"
Terdengar bentakan nyaring disusul berputarnya tubuh pertapa. Lalu meluncur
turun dengan kedua kaki lebih dulu. Ditatapnya sosok Panji dengan tajam.
"Hm.... Rupanya yang datang gembong perampok-perampok busuk itu! Tapi jangan
berbesar hati dulu. Lihat seranganku berikutnya...!" desis pertapa berusia enam
puluh lima tahun itu. la menyiapkan jurus-jurus barunya untuk menghadapi Panji
dan Kenanga yang dikiranya kawan perampok-perampok itu.
"Tunggu dulu, Ki! Kau salah paham...!" Panji berseru mencegah. Tangannya terulur
ke depan dengan telapak membuka. Maksudnya hendak memberi keterangan. Tapi....
Pertapa itu rupanya beranggapan lain. Dikiranya gerakan itu sebuah serangan.
Maka dengan cepat langkahnya digeser. Kemudian kembali melesat dengan serangan
yang jauh lebih hebat. "Haaat...!"
Bettt, bettt, bettt...!
Hebat dan cepat bukan main serangan pertapa itu. Panji terlihat agak kewalahan.
Satu dua pukulan dapat dielakkan. Tapi pada pukulan berikutnya....
Wuttt..., desss...!
"Uhhh...!"
Panji terjajar mundur setengah tombak. Wajah pemuda itu berkerut menahan sakit
pada dada kanannya. Untunglah pukulan itu tidak terlalu telak. Sehingga Panji
tidak sampai terluka dalam. Tapi darahnya sempat naik ke kepala.
"Eyang, sabarlah! Ini hanya salah paham saja...!" Panji kembali berseru
menyadarkan pertapa itu. Kendati kemarahannya sempat terpancing, ia masih
berusaha mengingatkan.
"Tidak perlu banyak cakap. Aku tahu akal licikmu, Manusia Bejat. Sebaiknya
siapkan saja ilmumu agar tidak menyesal bila sampai tewas di tanganku...!"
pertapa itu belum juga menyadari kekeliruannya, ia kembali menyiapkan seranganserangannya. "Pertapa keras kepala...!" Kenanga geram melihat kekasihnya terkena pukulan
lawan. Jurusnya disiapkan untuk menghadapi pertapa itu. Tapi Panji cepat mencegah.
Sehingga, Kenanga hanya bisa memendam kejengkelannya.
"Hmh...!"
Sadar kalau pertapa itu harus diingatkan dengan kekerasan, Panji segera
mengerahkan "Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. Dan saat serangan pertapa datang mengancam, ia
segera melayani dengan ilmu 'Silat Naga Putih'. Karena pertapa itu bukan orang
sembarangan. "Heaaat...!"
Panji berseru keras. Tubuhnya meluncur menyambut serangan lawan. Hawa dingin
yang menyebar dari tubuh maupun setiap gerakan tangannya membuat udara di
sekitar tempat itu berubah. Pancaran hangat sinar matahari pagi tidak lagi
terasa. Yang ada hanya hawa dingin mengigit tulang. Karuan saja pertapa itu
kaget bukan main!
"Pendekar Naga Putih..."!" desisnya ketika mengetahui siapa lawan yang dihadapi.
Sayang kesadaran itu agak terlambat datangnya. Saat itu jarak mereka sudah
sangat dekat. Serangan-serangan Panji datang laksana badai salju. Sehingga, pertapa itu harus
membagi tenaganya untuk melawan serbuan hawa dingin dan melancarkan serangan.
Akibatnya ia kerepotan sendiri. Sampai akhirnya....
Plakkk, plakkk, plakkk...!
"Aaakh...!"
Meski dapat menepiskan dua serangan pertama, namun hantaman telapak tangan kanan
Panji berhasil menggempur pertahanan lawan, dan langsung menghajar dada kanan
pertapa tua itu. Tubuh tinggi kurus itu pun terlempar ke belakang. Untunglah
Panji tidak berniat membunuh. Pertapa itu masih dapat berputaran dan jatuh ke
tanah dengan selamat, walau cairan merah meleleh dari sudut bibirnya.
"Kakang Sarwa Dipa..."!"
Pertapa lain yang bertubuh gemuk pendek berseru kaget. Tubuhnya mencelat
memburu, ia agak lega ketika melihat kawannya tidak mengalami luka parah.
Kendati demikian, rasa cemas masih membayang di wajahnya
"Kau tidak apa-apa, Kakang...?" tanya pertapa pendek gemuk itu kepada pertapa
tinggi kurus. "Tidak perlu khawatir. Adi Garma Dipa. Rupanya pemuda itu tidak bersungguhsungguh melancarkan serangannya. Kalau tidak, bukan mustahil aku sudah tidak
bisa bernapas lagi...," jawab Ki Sarwa Dipa agak terengah. Tapi, bibirnya
menyunggingkan senyum aneh.
Entah apa artinya"
Panji bergegas menghampiri kedua pertapa itu. Sekarang ia yakin mereka tidak
akan menyerangnya. Karena menurutnya mereka sudah dapat menduga siapa dirinya.
Tapi, Panji segera menahan langkahnya dengan sikap curiga. Dilihatnya kedua
pertapa itu menganggukkan kepala, kemudian bergerak merenggang. Sikap mereka
jelas bukan pertanda baik. Maka Panji segera menyiapkan 'Tenaga Sakti Gerhana
Bulan'nya untuk menghadapi segala kemungkinan.
"Eyang berdua harap bersabar. Percayalah ini hanya kesalahpahaman...," Panji
kembali berusaha menerangkan. Tapi kedua pertapa tua itu tidak peduli. Mereka
terus merenggang mengambil sikap mengeroyok. Hingga kening Panji berkerut dalam.
"Jaga saja serangan kami, Pendekar Naga Putih...," ujar Ki Sarwa Dipa
mengingatkan, ia sudah bersiap melancarkan serangannya.
Kening Panji semakin berkerut dalam mendengar pertapa tinggi kurus itu menyebut
julukannya. Sebab melihat penampilannya, Panji tahu kedua pertapa itu orangorang golongan putih. Yang membuat Panji tak habis mengerti, mengapa mereka
masih juga bersikap memusuhi setelah mengetahui siapa dirinya.
Tapi kedua pertapa itu tidak membiarkan Panji terlalu lama tenggelam dalam
pikirannya. Keduanya sudah memberi tanda mereka akan mulai menyerang. Sehingga,
Panji segera menepiskan semua yang menggangu pikirannya, dan mengerahkan tenaga
dalamnya untuk menghadapi mereka.
Sebentar saja, sekujur tubuh Panji dilapisi kabut bersinar putih keperakan. Hawa
dingin menggigit menyebar memenuhi arena pertarungan. Dan...
"Yeaaat...!"
"Haaat...!"
Dibarengi lengkingan panjang menggetarkan dada, kedua pertapa melesat bersamaan.
Angin keras yang menerbitkan suara mencicit tajam mengiringi datangnya serangan
mereka Tampaknya kedua pertapa itu tidak main-main melancarkan serangannya.
"Hmmm...."
Panji bergumam pelan melihat serangan lawan. Tubuhnya direndahkan dengan kedua
lutut menekuk. Sepasang tangannya yang membentuk cakar naga bergerak ke kiri dan
kanan. Pemuda itu menggeser langkahnya ketika serangan Ki Sarwa Dipa datang mengancaam.
Kemudian langsung membalas dengan serangakaian serangan yang cepat laksana
sambaran kilat. Ki Sarwa Dipa yang tahu betul siapa pemuda itu, tentu saja telah
memperhitungkan serangannya dengan baik. Sehingga, serangan balasan Panji dapat
dipatahkan dengan kelitan.
Bahkan masih sempat mengirimkan serangan lanjutan.
Selagi kedua tokoh itu saling gempur, Ki Garma Dipa memasuki arena. Seranganserangannya yang tidak kalah hebat dengan serangan Ki Sarwa Dipa sempat membuat
Panji bergerak mundur. Sehingga, pemuda itu kelihatan agak terdesak. Padahal itu
dilakukan dengan perhitungan yang matang, ia tidak ingin menanggung akibat.
Karena belum tahu maksud kedua pertapa itu mengeroyok dirinya.
"Yeaaah...!"
Ketika pertempuran memasuki jurus kelima puluh delapan, Pendekar Naga Putih
mengeluarkan 'Pekikan Naga Marah'nya yang sangat hebat. Hingga kedua pertapa itu
berlompatan mundur dengan wajah agak pucat. Pekikan itu telah mengguncangkan
bagian dalam dada mereka.
Kesempatan selagi kedua lawannya berlompatan mundur tidak disia-siakan begitu
saja oleh Panji. Tubuhnya segera mencelat ke depan. Sepasang tangannya
terkembang ke kiri dan kanan, untuk kemudian melakukan pukulan-pukulan lurus dan
menyilang. Kedua pertapa itu terkejut bukan main!
"Aaah..."!"
"Hem..."!"
Tanpa sadar mereka mengeluarkan pekik tertahan. Keduanya berlompatan menjauh.
Sebab saat itu tubuh Pendekar Naga Putih sukar dilihat. Pendaran sinar putih
keperakan menghalangi pandang mata mereka. Sehingga, mereka tidak dapat melihat
arah mana yang menjadi sasaran serangan lawan. Itu tidak aneh. Panji telah
menggunakan jurus 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi', yang merupakan salah satu
jurus terampuh dari rangkaian ilmu 'Silat Naga Putih'. Akibatnya....
Wuttt, desss, desss...!
"Hukh...!"
"Aaakh...!"
Tanpa ampun tubuh kedua pertapa itu jatuh bergulingan. Pukulan-pukulan Panji
telak menghantam tubuh mereka. Hingga kedua pertapa itu tidak sanggup
mempertahankan kuda-kudanya.
"Cukup, Pendekar Naga Putih...!" Ki Sarwa Dipa yang lebih dulu melompat bangkit
langsung berseru mencegah pemuda itu melanjutkan serangannya. Wajah orang tua
itu tampak pucat, ia berdiri sambil memegang perutnya yang terasa mual.
Panji sendiri memang tidak berniat melanjutkan serangan. Pemuda itu hanya
berdiri tegak menunggu kedua pertapa bangkit berdiri.
"Aku benar-benar puas dapat merasakan sendiri kehebatan pendekar muda yang telah
menggemparkan rimba persilatan. Aku bangga kepadamu, Pendekar Naga Putih,"
ucapan itu dikeluarkan Ki Garma Dipa. Pertapa gemuk pendek itu mengukir senyum
meski pada sudut bibirnya mengalir darah segar.
"Kuharap Eyang berdua memaafkan tindakanku yang kasar ini...," ujar Panji dengan
wajah penuh sesal. Sekarang ia baru tahu kedua pertapa itu hanya ingin menguji
kepandaiannya. Sebagai orang yang telah cukup lama berkecimpung dalam dunia persilatan. Panji
maklum akan sifat golongan tua. Mereka selalu haus ilmu silat. Dan selalu gatal
tangan ingin menguji tokoh-tokoh muda untuk mengetahui kemampuannya. Padahal
Pendekar Naga Putih 72 Pertarungan Dua Naga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak jarang tindakan itu menimbulkan korban nyawa. Tapi memang begitulah sifat
kaum rimba persilatan. Mereka lebih suka mati dalam pertempuran daripada
digergoti usia tua.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Pendekar Naga Putih. Sebagai kaum tua, kami
benar-benar puas dapat merasakan sendiri kelihaianmu. Orang-orang muda seperti
kaulah yang akan dapat menegakkan keadilan di atas muka bumi ini. Aku tahu kau
tidak menggunakan seluruh kekuatanmu saat menghadapi kami. Terutama saat
melancarkan pukulan ke tubuh kami tadi..,"
ujar Ki Sarwa Dipa sangat puas. Pertapa tua itu sedikit pun tidak menyalahkan
tindakan Panji.
"Tapi aku telah membuat Eyang berdua terluka. Kalau diizinkan, aku hendak
mengobati luka dalam itu. Meski aku yakin luka itu tidak berarti bagi Eyang...,"
lanjut Panji dengan tutur kata yang halus yang menandakan kerendahan hatinya.
Mendengar ucapan itu, Ki Sarwa Dipa dan Ki Garma Dipa menganggukkan kepala.
Mereka, yang telah banyak pengalaman dan berpandangan luas, benar-benar bangga
melihat pendekar muda itu yang tangguh dan rendah hati. Semua itu menambah
kekaguman mereka.
"Terima kasih, Pendekar Naga Putih. Tentu saja kami tidak menolak keinginanmu.
Kami dengar kau pun telah mewarisi ilmu pengobatan yang sangat langka. Sebab
kemahiran Dewa Obat mengatasi penyakit sudah bukan hal yang aneh lagi bagi
kami...," kali ini Ki Garma Dipa yang menyahuti. Tampaknya kedua pertapa itu
benar-benar telah tunduk kepada Pendekar Naga Putih. Bukan karena kepandaiannya
saja. Terutama sikap rendah hati dan tutur kata yang halus pemuda tampan itu.
"Terima kasih atas kepercayaan yang diberikan...," ujar Panji menarik napas
lega. Ia pun merasa kagum dan hormat kepada kedua pertapa itu. Mereka orangorang tua yang bijaksana dan mau menghormati orang muda seperti dirinya.
Ki Sarwa Dipa dan Ki Garma Dipa menerima pel yang diberikan Panji tanpa keraguan
sedikit pun. Ditelannya obat itu dengan penuh kepercayaan. Sikap yang amat
menggembirakan itu membuat Panji bertambah kagum.
"Hebat...! Ternyata kau benar-benar telah mewarisi kepandaian Dewa Obat. Kami
sungguh kagum dan menaruh hormat kepadamu, Pendekar Naga Putih...," ucap Ki
Sarwa Dipa tulus, setelah merasakan ada hawa hangat mengalir di dalam tubuhnya.
Rasa nyeri dalam dadanya lenyap. Sehingga jalan napasnya lancar kembali.
"Kau telah membuat kami yang tua-tua ini takluk, Pendekar Naga Putih. Lega
rasanya melihat orang muda sepertimu. Aku yakin dunia persilatan, khususnya kaum
golongan putih, bangga dengan kemunculanmu. Dengan begitu, orang-orang golongan
hitam tidak berkutik...,"
ujar Ki Garma Dipa yang juga telah merasakan khasiat pel yang diberikan Panji.
"Jangan terlalu memuji, Eyang. Aku khawatir beban berat ini tak sanggup
kupikul...,"
tukas Panji merendah, membuat kedua orang pertapa itu tertawa tergelak. Panji
sendiri hanya tersenyum tipis.
Kenanga yang mendengar kedua pertapa itu memuji-muji kekasihnya ikut bangga.
Dara jelita itu menghampiri ketiganya untuk bergabung.
5 "Kau dan tunanganmu hendak pergi ke mana, Pendekar Naga Putih?" tanya Ki Sarwa
Dipa setelah saling memperkenalkan diri. Kendati demikian, pertapa tua itu lebih
suka memanggil julukan daripada nama. Karena menurut mereka lebih menimbulkan
kesan dalam hati. Dan Panji tidak keberatan.
"Sebenarnya kami hendak menyelidiki asal-usul seseorang, Eyang Sarwa Dipa.
Secara kebetulan kami mendengar suara orang bertempur. Merasa penasaran, kami
mencari sumber suara itu. Lalu menemukan Eyang berdua tengah bertarung. Kalau
boleh tahu, siapa orang-orang kasar itu, Eyang" Dan mengapa sampai terjadi
perkelahian?" ujar Panji seraya menoleh ke arah tubuh-tubuh yang bergeletakan di
tanah. Panji memperkirakan orang-orang kasar itu berjumlah dua puluh orang lebih.
Beberapa di antara mereka tewas di tangan Ki Sarwa Dipa dan Ki Garma Dipa.
Sedang lainnya hanya pingsan. Panji menduga yang tewas itu merupakan pimpinan
atau pentolan-pentolan orang-orang kasar itu.
"Hm.... Kami secara tak sengaja memergoki mereka melakukan tindak kejahatan di
sebuah desa yang letaknya tidak seberapa jauh dari tempat ini. Mereka bukan cuma
merampok, bahkan juga membunuh beberapa keluarga. Itu sebabnya pemimpin-pemimpin
mereka terpaksa kami bunuh. Karena sudah tidak bisa disadarkan lagi. Belakangan
ini banyak sekali kami temukan tindak kejahatan. Menurutku ini semua ada
hubungannya dengan kemunculan Sepasang Naga Merah yang kami dengar hendak
menyatukan kaum golongan sesat.
Keberadaan kami di tempat ini pun karena tokoh yang meresahkan itu...," jelas Ki
Sarwa Dipa. Pasangan pendekar muda itu tampak mendengarkan dengan sungguh-sungguh.
"Apa yang telah dilakukan Sepasang Naga Merah sampai Eyang berdua harus turun
meninggalkan pertapaan...?" Kenanga yang ingin mengetahui penyebab kedua orang
tua itu meninggalkan pertapaannya langsung saja mengajukan pertanyaan.
"Hhh.... Tokoh yang mengaku berjuluk Sepasang Naga Merah memang keterlaluan
sekali. Mereka berani menyatroni tempat kami dan mencuri sebuah kitab pusaka
yang sangat berbahaya. Karena ilmu itu dapat menyesatkan pemiliknya. Terutama
pada bagian terakhir yang merupakan jurus pamungkas ilmu 'Silat Naga Merah'.
Maka kami berdua terpaksa meninggalkan pertapaan untuk mencari dan mengambil
kembali kitab pusaka itu...," papar Ki Sarwa Dipa.
"Kitab ilmu 'Silat Naga Merah'..."!" desis Panji mengulang nama kitab yang telah
dicuri itu. "Kalau tidak salah, guruku pernah bercerita tentang kitab itu.
Menurut beliau telah berumur ratusan tahun dan disimpan di dalam perpustakaan
Perguruan Gunung Naga. Kalau begitu, Eyang berdua pertapa-pertapa dari Gunung
Naga?" "Benar. Kami berdua pengurus-pengurus Perguruan Gunung Naga...," jawab Ki Sarwa
Dipa membuat Panji dan Kenanga kaget. Mereka telah lama mendengar tentang
perguruan yang tersembunyi dan tertutup itu dari guru-guru mereka.
"Lalu, bagaimana kitab itu sampai bisa tercuri, Eyang" Bukankah Perguruan Gunung
Naga tidak bisa didatangi orang luar" Bahkan kabarnya perguruan itu merupakan
pusat ilmu-ilmu silat yang ada di dunia ini...?" tanya Panji seperti tidak
percaya ada orang yang begitu berani menyatroni bahkan mencuri kitab dari
perguruan itu. "Sebenarnya kitab itu tidak akan dapat dicuri orang kalau saja kami dan para
tetua perguruan berada di tempat itu. Rupanya pencuri-pencuri itu sudah lama
mengintai kegiatan kami. Mereka datang tepat pada saat rumah perguruan kosong.
Kami dan para tetua perguruan tengah mengadakan pemakaman ketua kami yang
meninggal karena usia tua. Saat itu rumah perguruan hanya dihuni pelayan-pelayan
yang memiliki kepandaian tidak seberapa. Akibatnya mereka semua tewas oleh
pencuri laknat itu." Ki Sarwa Dipa menghela napas sedih. Tampaknya ia benarbenar terpukul dengan kejadian itu. Kakek itu menutup ceritanya dengan menggeleng perlahan.
"Pencurian itu terjadi karena keteledoran kami juga. Selama puluhan tahun tempat
kami tidak pernah didatangi orang. Itu membuat kami lengah. Sehingga tidak
menaruh kecurigaan akan ada orang yang berani datang mengacau. Ini merupakan
pelajaran yang sangat mahal bagi kami...," Ki Garma Dipa menyambung ketika
melihat Ki Sarwa Dipa tidak melanjutkan ceritanya.
"Hm.... Pantas julukan Sepasang Naga Merah baru terdengar belakangan ini.
Rupanya mereka baru memperkenalkan julukan setelah mempelajari ilmu 'Silat Naga
Merah'. Sungguh berbahaya sekali," ujar Panji menghela napas panjang. Salah satu
dari Sepasang Naga Merah adalah musuhnya. Jelas ia harus menghadapi lawan berat.
Karena setelah menguasai ilmu yang berbahaya itu, sudah pasti lawannya akan
bertambah lihai.
"Apa Eyang berdua sudah menyelidiki siapa tokoh yang berjuluk Sepasang Naga
Pedang Dewa Naga Sastra 5 Pendekar Wanita Buta Serial Tujuh Manusia Harimau (7) Karya Motinggo Busye Dendam Dukun Jalang 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama