Pendekar Naga Putih 72 Pertarungan Dua Naga Bagian 2
Merah itu...?" tanya Panji ingin mengetahui hasil penyelidikan Ki Sarwa Dipa dan
Ki Garma Dipa. Siapa tahu dengan begitu ia dapat mengungkapkan penyebab Kelana memusuhinya.
"Mmm.... Memang belum cukup banyak. Tapi, kami telah mengetahui salah satu dari
Sepasang Naga Merah pernah terkenal sebagai Petulang Sakti yang sering membela
kaum lemah. Tokoh itu berusia sekitar dua puluh lima tahun. Bernama Kelana. Dia
berasal dari sebuah desa dekat pegunungan. Desa Sendang Waringin. Di desa itu
kami mencari keterangan tentang orang tua Kelana...," jawab Ki Garma Dipa.
Sedangkan Ki Sarwa Dipa diam dan mendengarkan.
"Desa Sendang Waringin...?" gumam Panji mengulang nama desa tempat asal Kelana
yang memusuhinya mati-matian.
"Benar," sahut Ki Garma Dipa tanpa memperhatikan wajah maupun nada ucapan Panji.
Pertapa gemuk itu kembali melanjutkan. "Tapi Kelana tidak tinggal lama di desa
itu. Sejak berusia lima belas tahun ia telah pergi mengembara mencari guru-guru
pandai. Begitu keterangan yang kuperoleh di Desa Sendang Waringin. Kepala desa
itu sendiri yang menceritakan."
"Lalu, siapa yang telah mendidik Kelana, Eyang?" tanya Panji lagi.
"Menurut Kepala Desa Sedang Waringin, Kelana seorang pemuda yang sangat gemar
ilmu silat, ia tidak hanya belajar pada satu guru. Bahkan pemuda itu tidak
peduli apakah yang dipelajarinya ilmu golongan sesat. Kelana bertindak
menurutkan kata hatinya. Kalau sifat baiknya sedang timbul, ia akan melakukan
tindakan sebagaimana layaknya seorang pendekar.
Tapi, tidak jarang berbuat kejahatan dan menentang kaum golongan putih.
Sehingga, sulit dipastikan di pihak mana sebenarnya pemuda itu berdiri...."
"Mungkin itu sebabnya ia dijuluki Petualang Sakti...," gumam Kenanga kepada diri
sendiri. Ucapan itu dikeluarkan dengan perlahan. Namun terdengar oleh Panji dan
kedua pertapa itu.
"Menurut kami pun demikian...," tukas Ki Sarwa Dipa.
"Kalau begitu, siapa sebenarnya orangtua Kelana, Eyang...?" tanya Panji setelah
terdiam beberapa saat.
"Menurut Kepala Desa Sendang Waringin, orangtua Kelana bernama Jalak Pari. Ia
telah tewas sekitar dua tahun silam...," jawab Ki Sarwa Dipa mendahului. Karena
Ki Garma Dipa kelihatan agak sulit mengingat nama itu.
"Jalak Pari.... Jalak Pari...," Panji mengulang nama itu beberapa kali, membuat
Ki Sarwa Dipa dan Ki Garma Dipa mengerutkan kening melihat sikap pendekar muda
itu. "Ada apa, Pendekar Naga Putih" Apa kau mengenal nama itu...?" tanya KiSatwa Dipa
menegasi. "Hm.... Aku tidak begitu pasti, Eyang. Tapi, sepertinya aku pernah mendengar
namanya. Sayang aku lupa di mana dan kapan pernah berjumpa atau mendengar nama itu
disebut orang...," jawab Panji tidak ingin memberi kepastian, ia memang tidak
begitu ingat dengan nama Jalak Pari.
Ki Sarwa Dipa tidak mendesak. Pertapa itu percaya dengan kejujuran Pendekar Naga
Putih. Pemuda itu tentu tidak akan menyembunyikannya dari mereka jika memang
mengenal Jalak Pari.
Untuk beberapa saat lamanya pembicaraan terhenti. Mereka tercekam dalam kebisuan
mengikuti arus pikiran masing-masing. Tak lama kemudian, Ki Sarwa Dipa kembali
membuka suara memecah keheningan di antara mereka.
"Kami hendak melanjutkan perjalanan untuk merebut kembali kitab pusaka itu.
Kuharap kalian sudi mengembalikan barang-barang penduduk Desa Warang yang
letaknya di sebelah timur tempat ini. Tentunya kalau kalian memang tidak satu
arah dengan kami...," ujar Ki Sarwa Dipa meminta kesediaan Panji dan Kenanga.
"Tentu saja kami tidak keberatan, Eyang. Kami memang hendak melewati desa itu.
Eyang berdua tidak perlu khawatir. Kami pun akan berusaha menemukan kitab pusaka
Perguruan Gunung Naga, dan akan mengembalikannya kepada Eyang berdua...," sahut
Panji. Pemuda itu memang akan melalui Desa Warang. Tujuannya sendiri tetap ke Desa
Sendang Waringin tempat kelahiran Kelana. Karena Panji masih belum ingat tentang
Jalak Pari, orangtua Kelana. Sedangkan menurut Kelana dirinyalah yang telah
membunuh Jalak Pari. Panji merasa perlu untuk mengunjungi Desa Sendang Waringin.
Mungkin ia akan teringat bila telah berada di desa itu.
"Terima kasih, Pendekar Naga Putih. Kami menghargai niatmu yang luhur itu...,"
ujar Ki Sarwa Dipa kemudian mohon diri kepada Panji dan Kenanga. Sebentar saja
keduanya sudah melesat jauh. Tinggal dua sosok bayangan samar yang semakin
pudar. Lalu lenyap di kejauhan.
Panji dan Kenanga melambaikan tangan mengantar kepergian pertapa-pertapa
Perguruan Gunung Naga. Kemudian bergerak meninggalkan tempat itu dengan membawa
hasil rampokan yang telah diselamatkan Ki Sarwa Dipa dan Ki Garma Dipa.
*** Di sepanjang jalan menuju Desa Sendang Waringin, Panji dan Kenanga mendengar
tentang sepak terjang kaum golongan sesat yang semakin ganas. Semua itu
dikaitkan orang dengan kemunculan tokoh berjuluk Sepasang Naga Merah. Dari
pembicaraan-pembicaraan yang didengar, tahulah pasangan pendekar muda itu orang
yang berjuluk Sepasang Naga Merah masih muda dan mengenakan pakaian serba merah.
Semua itu semakin membuat mereka yakin Sepasang Naga Merah adalah Kelana dan
Savitri. Kedua orang itu mempunyai ciri-ciri sama dengan tokoh yang namanya
semakin menjulang itu.
"Tidak salah lagi, Kakang. Mereka Kelana dan Savitri. Tampaknya mereka hendak
menyatukan kaum golongan sesat setelah menguasai ilmu 'Silat Naga Merah' dari
kitab curian itu...," ujar Kenanga yang mulai berani memastikan siapa tokoh muda
yang berjujuk Sepasang Naga Merah.
"Kurasa memang merekalah orangnya. Selain ciri-cirinya sama dengan yang
dituturkan Pertapa Gunung Naga, memang hanya merekalah yang bernafsu ingin
melenyapkan diriku.
Dengan menguasai ilmu dalam kitab curian itu, mereka kembali muncul untuk
membalas dendam yang belum tuntas...," timpal Panji.
Kenanga mengangguk-angguk. Tatapannya lurus ke depan. Saat itu mereka tengah
melintasi sebuah hutan kecil yang tidak terlalu rapat ditumbuhi pepohonan.
"Kakang...," panggil Kenanga tiba-tiba seraya menatap wajah kekasihnya.
"Hm...," sahut Panji bergumam. Lalu menoleh dan balas menatap dara jelita itu.
Sekejap desiran halus menggetarkan dadanya saat Panji menatap sepasang mata yang
bagai bintang pagi itu.
"Apakah Kakang belum juga teringat tentang Jalak Pari...?" tanya Kenanga yang
ingin segera mengetahui penyebab kebencian Kelana terhadap kekasihnya.
"Rasanya belum, Kenanga. Selama dalam perjalanan aku berusaha mengingat-ingat
mengenai Jalak Pari. Tapi, belum seluruhnya dapat kuingat dengan baik. Aku masih
ragu mengutarakannya. Kalau sudah pasti, tentu kaulah orang pertama yang akan
kuberi tahu...,"
jawab Panji. Pemuda itu cukup sulit untuk dapat mengingatnya. Panji hanya bisa menerka Jalak
Pari bukanlah seorang tokoh besar. Sebab, setiap tokoh yang roboh di tangannya
diingatnya dengan baik. Di antara sekian banyak musuhnya yang tewas belum satu
pun yang diduga Panji sebagai orangtua Kelana. Kendati demikian ia terus
mengingatnya. Karena hal itu sangat penting baginya.
"Apakah mungkin Jalak Pari hanya salah seorang pengikut gerombolan atau anggota
perampok yang keberadaannya tidak begitu kita perhatikan...?"
"Mungkin saja begitu. Tapi seingatku tak ada gerombolan perampok di sekitar Desa
Sendang Waringin. Sebaiknya kita segera bergegas. Siapa tahu di desa itu kita
bisa mengingatnya dengan baik...," jawab Panji.
Kenanga menghela napas panjang. Karena sampai saat itu mereka belum, juga
menemukan siapa Jalak Pari, yang menurut Kelana telah dibunuh Pendekar Naga
Putih. "Mudah-mudahan saja begitu, Kakang...," gumam Kenanga penuh harap. Memang cukup
pusing memikirkan persoalan itu. Padahal masih banyak persoalan lain yang
menunggu. Sebentar kemudian, pasangan pendekar muda itu telah melesat secepat terbang.
Keduanya seperti berlomba untuk segera tiba di Desa Sendang Waringin. Untuk itu
mereka tidak memerlukan waktu lama. Tempat yang mereka tuju sudah tidak jauh
lagi. "Kita sudah hampir mencapai perbatasan Desa Sendang Waringin, Kakang...," ujar
Kenanga tanpa menghentikan larinya. Dara jelita itu melihat dua buah gapura di
kiri dan kanan jalan yang menjadi tanda perbatasan sebuah desa.
"Hm.... Desa ini kelihatannya sudah jauh lebih maju. Saat pertama kali singgah
di desa ini aku tidak melihat adanya gapura, kecuali sebuah batu setinggi dada
di tepi jalan...," tukas Panji ketika melihat gapura setinggi satu tombak yang
membentuk pintu gerbang. Tulisan pada gapura diberi warna yang menarik.
Tampaknya Desa Sendang Waringin telah mengalami kemajuan pesat.
Kenanga mengangguk membenarkan. Ia sendiri tidak begitu memperhatikan. Mungkin
kalau Panji tidak mengatakannya, Kenanga tidak akan menyadari perubahan itu.
Padahal saat pertama kali Panji singgah ia menyertai.
Pasangan pendekar muda itu menghentikan larinya dan melangkah biasa memasuki
mulut Desa Sendang Waringin. Jalan utama desa terlihat cukup bagus dan dilapisi
bebatuan yang ditata rapi. Rumah-rumah penduduk di kiri dan kanan jalan
kelihatan bersih dan terawat baik. Jarak antara rumah satu dengan rumah lainnya
tidak terlalu rapat. Jelasnya Desa Sendang Waringin telah berubah dari yang
disaksikan Panji dan Kenanga.
Saat itu, warga desa yang melintas di jalan utama tidak terlalu banyak.
Kebanyakan penduduk desa masih bekerja di sawah dan ladang. Yang ada di dalam
desa hanya perempuan dan anak-anak. Kalaupun ada kaum lelaki, sudah berusia
lanjut. Hingga Desa Sendang Waringin terlihat agak sunyi.
"Ah, aku ingat sekarang!" seru Panji ketika mereka melintas di depan sebuah
rumah judi. Panji berdiri saat memandang rumah judi yang cukup besar itu.
"Benar. Di tempat inilah dulu kita bertemu dengan orang yang bernama Jalak
Pari...!" Kenanga pun tampak gembira. Persoalan yang memusingkan itu telah mendapat
jawaban. "Hm.... Kiranya Kelana putra majikan rumah judi yang kita musnahkan dulu. Jalak
Pari terpaksa kubunuh. Lelaki bengis itu tidak sudi menutup rumah perjudian yang
akhirnya dibakar penduduk desa. Mayatnya terbakar hangus bersama rumah judi yang
dimilikinya. Tapi, kelihatannya tempat perjudian di desa ini ikut berkembang
pesat seiring dengan kemajuan desa. Entah kali ini siapa pemiliknya...?" gumam
Panji baru teringat siapa Jalak Pari. Orang itu adalah pemilik rumah perjudian
yang kejam dan bengis. Tidak sedikit sawah ladang maupun putri penduduk Desa
Sendang Waringin menjadi korban kekejamannya.
"Kalau saja Jalak Pari mau kembali ke jalan yang benar, tidak mungkin Kakang
sampai harus melenyapkannya. Selain itu, ia sudah sangat keterlaluan dan banyak
menyengsarakan penduduk desa. Rasanya memang sudah sepatutnya Jalak Pari
dibinasakan...," timpal Kenanga yang tentu saja ingat akan semua kejadian yang
mereka alami di desa itu.
"Sekarang semua sudah menjadi jelas. Sebaiknya kita segera mencari Sepasang Naga
Merah. Aku akan mencoba menyadarkan Kelana dari kesesatannya. Mudah-mudahan ia
mau mengerti tentang apa yang telah diperbuat orangtuanya...," lanjut Panji
penuh harap, ia memang lebih suka menyelesaikan persoalan dengan jalan damai
bila hal itu masih mungkin dilakukan. Kalau tidak, baru digunakan jalan
kekerasan. "Bagaimana dengan rumah perjudian ini, Kakang" Mungkin saja majikan tempat ini
tidak jauh berbeda dengan Jalak Pari...," ujar Kenanga yang memang membenci
segala bentuk perjudian. Karena menurutnya hanya akan menyengsarakan orang.
"Hm.... Biarlah lain kali saja kita lakukan. Yang penting sekarang adalah
mencari dan menghentikan Sepasang Naga Merah. Sebab, kaum golongan sesat sudah
semakin berani dalam bertindak. Jika dibiarkan bukan tidak mungkin gerombolan
perampok akan bebas berkeliaran di desa-desa pada siang hari seperti ini.
Menurutku yang menjadi biang keladi semua ini Sepasang Naga Merah. Kalau mereka
sudah dapat dihentikan, kejahatan-kejahatan lainnya akan reda...," ujar Panji.
"Baiklah, Kakang. Penduduk Desa Sendang Waringin pun tampak hidup dalam
ketenteraman dan jauh lebih baik dari yang kita lihat satu setengah tahu
silam...," Kenanga menurut saja apa yang dianggap paling penting oleh
kekasihnya. Karena ucapan itu pasti sudah diperhitungkan dengan matang. Panji
tidak pernah gegabah dalam bertindak.
Tidak berapa lama kemudian pasangan pendekar muda itu kembali melewati
perbatasan Desa Sendang Waringin. Saat semakin jauh meninggalkan batas desa
keduanya menggunakan ilmu lari cepat. Sebentar saja sosok mereka lenyap di
kejauhan. 6 "Bakaaar...!"
Teriakan keras itu menggema menyentakkan suasana pagi yang bening. Burung-burung
yang tengah bercanda di dahan-dahan pohon serentak beterbangan. Keremangan pagi
itu dipenuhi suara gemuruh kaki kuda yang diselingi pekikan-pekikan riuh-rendah.
Rombongan orang berkuda itu berderap memasuki mulut Desa Alur. Sebagian dari
anggota rombongan memegang obor.
"Heaaa...!"
"Haaa...!"
Disertai teriakan-teriakan ribut, obor-obor dilemparkan ke atap-atap rumah
penduduk. Sehingga.... Brrrlll...! Seketika itu juga lidah api berkobar di atas rumah-rumah penduduk. Sebentar saja
di kiri dan kanan jalan utama Desa Alur telah menjadi lautan api. Karuan saja
penduduk desa panik! "Kebakaran...! Kebakaran...!"
Belasan penduduk yang rumahnya dilalap si jago merah berlari keluar rumah
membawa harta bendanya. Tapi, justru kemalangan yang menyambut langkah mereka.
Brettt, brettt...!
"Aaa...!"
Lengkingan kematian yang panjang pun merobek suasana temaram. Darah segar tumpah
ke tanah. Tubuh-tubuh tanpa dosa berjatuhan dengan nyawa melayang. Mereka tewas
seketika di ujung senjata gerombolan berkuda.
"Kakaaang...!"
Perempuan-perempuan malang yang kehilangan kerabat atau suami memekik pilu.
Tapi, gerombolan berkuda sedikit pun tidak merasa iba. Bahkan pedang mereka
kembali berbicara menebas dan membeset wanita-wanita malang itu.
"Aaauuu...!"
Jeritan-jeritan menyayat terdengar di sana-sini mewarnai gemeretak atap-atap
rumah dilalap api. Suasana Desa Alur di pagi yang bening itu berubah seketika
menjadi ajang pembantaian dan kebuasan gerombolan berkuda. Tampaknya mereka
tidak peduli siapa yang menjadi korban selanjutnya. Demikian kejam dan ganas
mereka berbuat tanpa terbetik sedikit pun rasa iba di dalam hati mereka yang
hitam, sehitam pagi di Desa Alur.
Perbuatan gerombolan berkuda tidak berhenti sampai di situ. Sebagian dari mereka
berlompatan turun dan memasuki rumah-rumah. Kemudian keluar dengan membawa harta
benda yang ditinggal mati pemiliknya. Terdengar tawa iblis mereka meningkahi
jeritan tangis dan lengkingan kematian.
Bukan cuma itu. Mereka menyeret gadis-gadis dan ibu muda yang bersembunyi di
dalam rumah dengan bengisnya tanpa belas kasihan sedikit pun. Tak peduli wanita
yang diseretnya tengah menggendong banyi mungil.
"Lemparkan saja bayi keparat itu...!" bentak seorang lelaki bertubuh kekar. Dan
seketika melihat perintahnya tidak dituruti, tangan kekar berjari-jari kasar itu
merenggut bocah malang dalam pelukan ibunya.
"Haaahhh...!"
Benar-benar luar biasa kekejaman yang diperlihatkan lelaki kekar, salah satu
anggota gerombolan itu. Tanpa perasaan sedikit pun, bayi mungil yang menjeritjerit memilukan itu dilemparkan ke dalam kobaran api! Rasanya perbuatan itu
hanya pantas dilakukan iblis keji.
"Biadab...!" bentakan keras yang menggeletar yang menggambarkan kemarahan
menggelegak itu membuat anggota gerombolan menoleh. Seorang lelaki gagah
berpakaian serba hitam berdiri dengan sepasang mata berkilat-kilat. Tapi, lelaki
kekar yang bengis itu malah mendengus kasar. Tampaknya ia memandang remeh lelaki
gagah itu. "Mampus kau...!" pekik lelaki kekar sambil berteriak, tubuhnya meluncur dengan
sambaran pedang yang mengaung tajam! Tapi...
"Kaulah yang mampus, Bangsat..!" pekik lelaki gagah berpakaian serba hitam,
segera mengelak kemudian membacokkan pedangnya dari atas ke bawah. Sehingga....
Brettt...! "Aaa...!"
Anggota gerombolan yang naas itu menjerit setinggi langit tatkala mata pedang
lawan menyengat punggungnya, membuat belahan panjang yang dalam. Tanpa ampun
lagi, tubuhnya langsung roboh dengan nyawa meninggalkan raga.
"Nyai, pergilah. Selamatkan dirimu...!" ujar lelaki gagah mengangkat bangkit ibu
muda yang telah kehilangan bayi mungilnya.
Pendekar Naga Putih 72 Pertarungan Dua Naga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Anakku..., Kakang..... Anakku...!" rintih ibu muda itu memilukan. Hatinya
hancur luluh menyaksikan buah hatinya dilempar ke dalam kobaran api yang menelan
apa saja yang tanpa terkecuali.
"Anakmu tidak mungkin selamat, Nyai! Dan kalau kau tetap di sini, aku tidak bisa
menjamin kesemalatanmu. Mereka sangat kejam dan buas. Cepatlah pergi. Cari
perlindungan yang aman...!" tukas lelaki gagah. Lalu mendorong ibu muda itu
untuk pergi. Karena saat itu dua orang anggota gerombolan datang menerjang.
"Haaat...! Kubikin mampus kalian, Iblis-iblis Biadab...!" pekik lelaki gagah
seraya melesat disertai putaran pedangnya yang menerbitkan desingan angin tajam.
Dua orang anggota gerombolan itu kelihatan agak kaget juga. Serangan itu jelas
membuktikan pemiliknya memiliki kepandaian yang lumayan. Kendati demikian,
mereka tidak kelihatan gentar, dan segera menyambut bersama-sama.
Trang, trang...!
Terdengar suara berdentang nyaring disertai percikan bunga api saat ketiga
batang senjata itu berbenturan. Tapi, lelaki gagah itu dapat bergerak cepat.
Pedangnya segera diputar ke bawah. Kemudian menyambar datar mengancam tubuh
kedua lawannya. Dan...
Brettt, brettt...!
"Aaakh...!"
"Aaakh...!"
Tanpa sempat mengelak lagi, pedang lelaki gagah itu merobek perut mereka. Darah
segar membanjir dari luka menganga itu. Kedua orang anggota gerombolan itu roboh
ke tanah dengan mata mendelik!
"Pergilah kalian ke neraka, Manusia-manusia Keji...!" desis lelaki gagah dengan
hati puas. Kemudian bergerak meninggalkan korbannya. Sikapnya terlihat gagah dan
garang. Tampaknya ia benar-benar marah melihat kekejaman gerombolan berkuda itu.
Lelaki gagah berpakaian serba hitam yang menjadi Kepala Keamanan Desa Alur
ternyata tidak datang seorang diri. Di beberapa tempat pertarungan berlangsung
antara anggota gerombolan berkuda dengan keamanan desa yang berseragam serba
hitam. Agaknya orang-orang Desa Alur tak membiarkan tempat kelahirannya dirusak
gerombolan liar yang mereka pastikan gerombolan perampok itu.
"Heh heh heh...! Perlahan sedikit langkahmu, Kisanak! Kulihat kau cukup tangkas
dan sudah merobohkan tiga orang anggotaku..!" tegur sesosok tubuh yang melayang
turun menghadang jalan Kepala Keamanan Desa Alur.
Lelaki gagah itu segera menahan langkahnya. Agak terkejut juga ia melihat
gerakan lawan yang terlihat ringan itu. Sadarlah lelaki gagah itu kalau lawannya
tidak dapat disamakan dengan tiga orang yang baru saja menjadi korban
senjatanya. "Hm.... Rupanya kau yang memimpin orang-orang buas itu...!" desis lelaki gagah
itu menudingkan ujung senjatanya ke wajah lelaki tinggi kurus bermata sayu,
namun jelas menyiratkan kelicikan dan kekejaman hatinya.
"Heh heh heh...! Orang sepertiku belum pantas menjadi pimpinan. Aku salah
seorang pembantu dari calon penguasa rimba persilatan. Dan kau boleh puas dengan
menjadi salah satu penghuni akherat!" tukas lelaki tinggi kurus memperdengarkan
tawa iblisnya yang memuakkan.
"Keparat! Selama aku masih hidup tidak akan kubiarkan orang berani menggangu
ketenteraman desa ini...!" geram lelaki gagah. Dan tanpa banyak cakap lagi,
pedangnya disilangkan di depan dada. Kemudian....
"Haaat...!"
Wuttt...!"
Pedang lelaki gagah berpakaian serba hitam mendesing tajam mencari sasaran.
Gerakannya tangkas dan gesit. Tapi...
Trang...! "Uhhh...!"
Lelaki tinggi kurus bermata sayu ternyata bukan orang sembarangan! Sekali
menggerakkan pedang, tubuh lawan dipaksa terjajar mundur. Itu jelas menandakan
tenaga lelaki kurus itu jauh lebih kuat dari lawannya.
"Iblis keji...!" lelaki gagah itu menggeram. Terkejut bukan main merasakan
kekuatan lawan yang jauh berada di atasnya. Tapi, itu tidak membuatnya gentar.
Namun lelaki kurus bermata sayu kali ini tidak lagi hanya menunggu. Sebelum
lawannya bergerak, tubuhnya sudah melesat disertai kelebatan pedangnya yang
berdesingan membelah udara pagi.
Lelaki gagah itu pun tidak tinggal diam. Kendati sadar kekuatan lawan berada di
atasnya, ia tetap menyambut serangan lawan dengan kelebatan pedangnya. Sehingga,
keduanya segera terlibat pertempuran yang cukup seru!
Lelaki kurus bermata sayu ternyata memang hebat sekali. Serangannya sangat
gencar dan terarah dengan baik. Bahkan kecepatannya masih berada di atas lawan.
Sehingga, dalam lima belas jurus saja Kepala Keamanan Desa Alur dibuat tidak
berdaya dan hanya bermain mundur.
"Hiyaaat...!"
Melihat lawannya sudah tidak mampu membalas, lelaki tinggi kurus memekik keras.
Pedang di tangannya berkilat menyilaukan mata mengarah tenggorokan lawan.
"Putus kepalamu...!" serunya mengiringi sambaran pedang.
"Aaah..."!"
Lelaki gagah berpakaian serba hitam mengeluh putus asa. Matanya terbelalak
menunggu datangnya sinar putih memenggal batang lehernya. Tapi....
Saat nyawa lelaki gagah bagai telur di ujung tanduk, mendadak berkelebat sesosok
bayangan putih diserstai teriakannya yang menggetarkan jantung. Begitu tiba,
lengannya langsung menyampok mata pedang lelaki kurus. Sosok bayangan putih itu
menyampok mata pedang dengan lengan telanjang! Tapi, yang terjadi selanjutnya
benar-benar sukar dipercaya.
Plaggg...! Bukan lengan sosok bayangan putih yang tertebas putus. Tapi pedang di tangan
lelaki kurus yang terpental jauh lepas dari genggaman. Bahkan....
Bukkk...! Dengan sebuah gerakan manis yang sukar diikuti mata, lengan sosok itu berputar
dan bersarang di dada lelaki kurus dengan telak!
"Huakh...!"
Tanpa ampun lagi, lelaki tinggi kurus bermata sayu memuntahkan darah kental.
Tubuh kurusnya terlempar dan tertelan kobaran api! Terdengar lengking
kematiannya yang panjang.
"Aaa...!"
"Hm.... Kau memang pantas menerima kematian seperti itu, Manusia Biadab...!"
desis sosok tubuh sedang terbungkus jubah panjang putih. Sosoknya berdiri tegak
menatap kobaran api yang menelan tubuh anggota gerombolan itu.
*** "Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak yang gagah...," ujar lelaki gagah
berpakaian serba hitam dengan hati takjub. Hanya dengan sekali gebrakan tubuh
anggota gerombolan itu terlempar jauh ke atas rumah yang tengah berkobar.
Kenyataan itu membuatnya sadar seorang tokoh pandai telah menolongnya.
"Simpan ucapan terima kasihmu, Paman. Sebaiknya bergabunglah dengan kawankawanmu. Aku akan mencari biang keladi semua kejadian ini...," tukas sosok
berjubah putih dengan suara menyiratkan kegeraman hatinya. Agaknya ia marah
melihat pemandangan mengerikan di sekitarnya. Di mana-mana tubuh tak berdosa
bergeletakan bermandikan darah.
Kekejaman gerombolan itu telah membangkitkan kemarahannya.
"Baik..., baik...," ucap lelaki gagah. Kemudian ia bergerak meninggalkan sosok
berjubah putih. Tapi, baru beberapa langkah ia berlari angin keras bertiup
mengibarkan pakaian dan rambutnya. Ketika ia menoleh....
"Aaah..."!"
Lelaki gagah itu terpekik kaget. Sosok berjubah putih di belakangnya telah raib
entah ke mana. Bulu kuduk lelaki gagah itu berdiri seketika.
"Setankah dia..." Atau seorang tokoh sakti yang hanya ada dalam dongeng...?"
gumam lelaki gagah termangu-mangu bagai ayam sakit. Tapi, semua pikiran itu
dibuangnya jauh-jauh.
Kemudian bergerak untuk membantu kawan-kawannya yang sebagain masih bertarung
dengan gerombolan liar itu.
Sementara itu, sosok berjubah putih yang dikira setan oleh Kepala Keamanan Desa
Alur telah berada di antara gerombolan liar. Amukannya langsung membuat
gerombolan perampok dan pembunuh itu kalang-kabut!
"Aaa...!"
Lengkingan panjang jerit kematian terdengar susul-menyusul. Disertai dengan
tubuh-tubuh yang terlempar ke udara bagai diamuk angin topan. Tubuh orang-orang
liar itu terbanting jatuh dengan napas putus! Keributan itu membuat angota
gerombolan yang lainnya gentar. Tanpa mempedulikan perintah pimpinannya, mereka
bergerak mundur menjauhi sosok berjubah putih yang mengamuk seperti banteng
liar. Tapi, kejadian seperti itu rupanya bukan hanya terjadi di satu tempat. Di tempat
lain pun terjadi hal yang sama. Sosok tubuh ramping terbungkus pakaian serba
hijau mengamuk dengan pedang bersinar putih keperakan di tangan kanannya. Setiap
senjata itu bergerak terdengar jerit kematian anggota gerombolan yang
mengeroyoknya. Sehingga, sisanya yang masih selamat menjadi ragu untuk maju.
Mereka saling berpandangan satu sama lain.
Seolah hendak melihat siapa yang berani maju lebih dulu mengantarkan nyawa.
"Majulah, manusia-manusia berhati iblis! Kalian tidak pantas menghuni dunia ini.
Kalian lebih pantas menjadi penghuni neraka jahanam...!" desis sosok ramping
yang ternyata seorang gadis muda berparas jelita. Tapi, saat itu tak seorang pun
anggota gerombolan terpikat kejelitaannya. Sebab pedang di tangan dara jelita
itu siap mengantarkan nyawa siapa saja yang maju mendekat!
Tantangan dara jelita itu tidak mendapat sambutan. Anggota gerombolan hanya
berani memandang dengan wajah pucat. Meskipun demikian mereka tetap mengepung.
"Hm.... Jangan dikira aku akan membiarkan kalian bebas berkeliaran lagi.
Meskipun tidak ada yang berani mendekat, pedangku ini tetap akan merobek tubuh
kalian...!" geram dara jelita itu dengan kilatan mata menikam jantung. Usai
berkata, tubuhnya bergerak maju dengan perlahan laksana singa betina siap
menerkam mangsa. Dan....
"Yeaaa..!"
Dibarengi lengkingan panjang yang menggetarkan dada, tubuh ramping terbungkus
pakaian serba hijau itu melayang ke udara. Kemudian berputar dan meluncur turun.
Wuttt...! Angin dingin berhembus keras menyertai kelebatan sinar putih keperakan. Beberapa
anggota gerombolan yang tak sempat menyelamatkan diri terpental roboh
bermandikan darah.
Kejadian itu membuat kepungan menjadi berantakan. Anggota gerombolan berlarian
mencari keselamatan masing-masing.
Tapi, dara jelita itu tidak membiarkan mereka pergi begitu saja. Tubuhnya
kembali melayang disertai kelebatan pedang. Kembali empat orang anggota
gerombolan terlempar dengan luka menganga. Mereka tewas seketika itu juga.
"Kurang ajar...!" terdengar geraman keras yang membuat dara jelita itu menoleh
cepat. Sepasang matanya yang berkilat-kilat penuh kemarahan menyambar tajam sosok tubuh
yang bentuknya seperti kerbau dengan batok kepala mengkilat tertimpa nyala api.
"Hm.... Majulah, Kerbau Gundul! Pedangku siap menjagal lehermu...!" desis dara
jelita berpakaian serba hijau melangkah maju dengan perlahan. Kelihatan sekali
dara itu tidak bersikap ceroboh menghadapi lawannya kali ini.
"Hmhhh.... Kalau sampai tertangkap kau akan kupermainkan selama hidup, Perempuan
Liar...!" geram lelaki gemuk berkepala botak murka dimaki sebagai kerba gundul.
"Tidak perlu banyak bicara! Buktikan ucapanmu, Kerbau Buduk...!" kembali dara
jelita itu memaki lawannya.
"Hmhhh...!"
Murka bukan main lelaki gemuk berkepala botak itu. Ia segera bergerak maju
dengan langkah berdebum. Kapak bermata dua di tangan kanannya menyambar dengan
gerakan menyilang, menerbitkan sebentuk angin tajam.
"Haaaiiit...!"
Dara jelita itu rupanya tidak sabar menunggu kedatangan lawan. Tubuhnya melayang
ke udara. Dan baru meluncur turun setelah agak dekat dengan lawan. Pedang
berhawa dingin di tangan kanannya berkilau menggetarkan.
Bettt...! Lelaki gemuk berkepala botak mendengus kasar. Tangan kanannya bergerak ke depan
hendak menyambut sambaran pedang dengan kapak mata duanya. Kelihatannya ia
hendak melumpuhkan dara jelita itu dengan mengandalkan tenaganya yang besar.
Tapi... Trang...! "Aih..."!"
Terkejut bukan main lelaki botak itu mendapati kuda-kudanya tidak dapat
dipertahankan. Tubuhnya terjajar mundur terhuyung-huyung. Padahal semula ia
mengira tubuh dara itu yang akan terpelanting. Nyatanya dara jelita itu sedikit
pun tidak terpengaruh.
Bahkan segera menyusuli serangannya.
Wuttt...! Sinar putih yang disertai angin dingin menusuk tulang itu datang mengancam tubuh
gendut yang tengah sibuk memperbaiki kuda-kudanya. Karuan saja lelaki botak itu
kelabakan! Wukkk...! Dengan nekat lelaki botak itu mengelebatkan kapak mata duanya untuk membentur
pedang lawan. Namun dengan gerakan yang indah pedang dara jelita itu berputar.
Kemudian terangkat naik mengancam iganya. Dan....
Crasss...! "Aaakh...!"
Lelaki gemuk berkepala botak itu memekik kesakitan. Ujung pedang lawan yang
merobek iga kanannya membuat tubuh gemuk itu terjajar limbung. Sedangkan lawan
kembali meluncur dengan tusukan lurus ke arah jantung!
"Haiiit...!"
Lelaki botak itu hanya bisa memandang dengan penuh ngeri, ia tidak mungkin lagi
dapat menyelamatkan nyawanya. Sehingga....
Cappp...! "Aaakh...!"
Terdengar raung kematian saat pedang dara jelita itu tertancap hingga menembus
tubuh lawan. Darah menyembur keluar dari lubang luka itu saat pedang dicabut
dengan sentakan keras! Tanpa ampun lagi, tubuh gemuk itu menggelepar sekarat.
Beberapa saat kemudian diam tak bergerak lagi. Nyawanya telah terbang
meninggalkan raga.
Setelah mengakhiri nyawa lawannya, dara jelita itu kembali melesat menghajar
semua rombongan liar itu.
7 "Anak-anak, munduuur...!"
Tiba-tiba terdengar perintah seorang lelaki bertubuh gemuk yang mengenakan rompi
dari kulit buaya. Rupanya lelaki itu sadar pengikut-pengikutnya tidak akan mampu
menghadapi pemuda tampan berjubah putih itu. Maka, diperintahkannya agar mereka
segera mundur meninggalkan arena.
Sosok pemuda tampan berjubah putih yang tidak lain Panji kelihatannya telah
sejak tadi mengincar lelaki berompi kulit buaya. Ia memang tengah mencari-cari
pimpinan gerombolan liar itu. Tubuhnya segera melayang ke arah sosok yang
diincar. "Jangan harap dapat pergi dari tempat ini, Manusia-manusia Keparat...!" geram
Panji mengerahkan tenaga dalamnya. Sehingga, suaranya terdengar lantang dan
dapat ditangkap rombongan orang liar yang buas itu.
Lelaki gemuk pendek itu agak terkejut ketika melihat sesosok bayangan putih
melayang ke arahnya. Cepat ia bergerak menghindar saat merasakan ada sambaran
angin dingin yang amat kuat datang mengancam dirinya.
Bettt...! Kendati tubuhnya gemuk lelaki itu ternyata gesit juga. Serangan Panji dapat
dielakkannya dengan baik. Sehingga pukulan telapak tagnan Panji mengenai angin
kosong. "Terima pukulanku, Pendekar Naga Putih...!" seru lelaki gemuk itu yang ternyata
mengenali pemuda tampan berjubah putih itu. Belum lagi gema suaranya lenyap,
pukulannya datang bertubi-tubi.
"Hm...."
Panji hanya menggumam menyaksikan serangan lawan. Kedua kakinya yang baru saja
menyentuh tanah bergerak dengan tendangan berputar. Sehingga, lelaki gemuk itu
membatalkan serangannya. Kalau tidak, kepalanya akan menjadi sasaran tendangan
Panji. Bettt...! Tendangan Panji lewat sejengkal di atas kepala lawan. Begitu tendangan luput,
lelaki gemuk melangkahkan kaki kanannya ke depan sambil melontarkan dua buah
pukulan berturut-turut! "Bagus...!" seru Panji memuji.
Gerakan lawannya begitu cepat dan penuh perhitungan. Tapi pujian itu bukan
berarti Panji tidak bisa mengatasi serangan lawan. Tendangannya cepat ditarik
pulang. Kemudian menjejak tanah. Seketika itu juga tubuhnya melompat ke belakang
Pendekar Naga Putih 72 Pertarungan Dua Naga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seraya mengibaskan lengan kirinya dari atas ke bawah dengan gerakan menyilang.
Dan.... Plakkk, plakkk..!
"Aaakh..."!"
Lelaki gemuk terkejut merasakan tubuhnya tergetar saat menerima tangkisan
Pendekar Naga Putih. Kuda-kudanya tergempur hingga tubuhnya agak terhuyung,
meski cuma empat langkah. Ini menunjukkan betapa hebat tenaga dalam lelaki gemuk
itu. "Hm.... Kau memang hebat, Buaya Sakti...!" kembali Panji memuji lawannya. Pemuda
itu kagum akan kehebatan tenaga lawan yang diketahuinya berjuluk Buaya Sakti.
Lelaki gemuk berompi kulit buaya memperdengarkan dengusan tajam. Pujian Panji
dianggapnya sebagai hinaan. Karena tubuhnya terdorong oleh kibasan tangan pemuda
itu. "Bagus kau sudah mengenaliku, Pendekar Naga Putih! Nah, sekarang kau akan
melihat kehebatan Buaya Sakti yang lainnya...!" desis lelaki gemuk pendek geram.
Panji menggeser langkahnya ke kanan melihat Buaya Sakti mempersiapkan serangan
berikutnya. Kuda-kuda tokoh sesat yang terkenal sebagai raja begal itu tampak
kokoh dan kuat.
Kedua lengannya bergetar saat ia menyalurkan tenaganya. Agaknya lelaki gemuk itu
hendak mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menghadapi Pendekar Naga Putih.
"Tunggu dulu, Buaya Sakti...! Aku ingin menanyakan sesuatu kepadamu...," ujar
Panji sebelum lawannya bergerak menerjang.
"Hm... Apa yang ingin kau ketahui dariku...?" tukas Buaya Sakti dengan tajam dan
tidak menghilangkan kewaspadaan.
"Apa maksudmu membawa pasukan dalam jumlah cukup besar hanya untuk mengacau
sebuah desa seperti ini" Apakah di sungai-sungai tidak ada lagi mangsa yang
dapat kau makan...?" tanya Panji yang merasa agak heran dengan kejadian itu.
Sebab, Buaya Sakti biasanya melakukan aksi kejahatannya di sungai-sungai. Itu
sebabnya ia dijuluki Buaya Sakti.
"Heh heh heh...! Rupanya otakmu sudah tumpul, Pendekar Naga Putih. Apa yang kau
saksikan ini adalah pekerjaan kami sehari- hari. Mengapa heran...?" tanya Buaya
Sakti membuat pemuda itu termangu-mangu.
"Tapi tidak biasanya kau melakukan aksi di daratan. Bukankah wilayahmu ada di
sungai...?" desak Panji mencoba untuk mencari jawaban yang lebih jelas.
"Memang benar. Tapi, siapa yang berani mencegah kalau aku beraksi di daratan
seperti sekarang ini..?" ejek Buaya Sakti hingga Panji penasaran.
"Jadi penyerbuan ini atas kehendakmu sendiri...?"
"Heh heh heh...! Aku tahu apa yang kau inginkan. Pendekar Naga Putih. Tapi
supaya kau tidak penasaran, baiklah kukatakan bahwa kami memang bertindak atas
perintah pimpinan kami, kaum golongan hitam yang selalu dilecehkan kaum
pendekar. Syukurlah Sepasang Naga Merah muncul memimpin golongan hitam dan
membangkitkannya untuk menguasai dunia persilatan...," akhirnya Buaya Sakti
menjelaskan. Kelihatannya lelaki gemuk pendek itu sangat mendewa-dewakan
Sepasang Naga Merah, yang dalam waktu singkat namanya telah menjadi buah bibir
orang.. "Lagi-lagi Sepasang Naga Merah...," gumam Panji yang memang ingin berjumpa
dengan tokoh yang namanya kian menjulang menenggelamkan tokoh-tokoh sesat
lainnya. "Sudahlah! Aku tidak mempunyai banyak waktu. Sekarang bersiap-siaplah untuk
pergi ke akherat...!" Buaya Sakti memotong ketika melihat Pendekar Naga Putih
masih hendak berbicara. Bahkan begitu ucapannya selesai, tubuh gemuk itu
bergerak maju dengan geseran-geseran kaki yang cepat dan lihai.
"Haiiit...!"
Kali ini Panji tidak main-main lagi. Ia merasa sudah waktunya memberi pelajaran
kepada raja begal itu. Maka begitu serangan lawan datang, Panji membuka telapak
tangan kirinya untuk menyambut serangan Buaya Sakti.
Tappp...! Belum lagi Buaya Sakti sadar tangannya ditahan telapak tangan lawan, tahu-tahu
tangan kanan Pendekar Naga Putih bergerak cepat melakukan tamparan kilat!
Wuttt...! Lagi-lagi tamparan Panji mengenai angin kosong. Gerakan lawannya memang terbukti
cukup cepat. Tapi meskipun demikian, perubahan gerak Panji tidak diketahui
lawan. Akibatnya.... Bukkk...! Dengan kedudukan tubuh miring, Panji menyarangkan pukulan telapak tangan
kanannya ke dada Buaya Sakti. Tubuh gemuk itu terlempar ke belakang disertai
tetesan darah segar dari sudut bibirnya.
"Setan keparat...!" Buaya Sakti memaki geram. Tubuh gemuk itu melompat bangkit
siap melancarkan serangan. Dan...
"Haiiit...!"
Diam-diam Panji kagum akan kehebatan daya tahan Buaya Sakti. Pukulan yang
dilancarkannya tadi cukup keras, dan ia yakin lawan akan mengalami luka dalam
yang parah. Tapi, kenyataannya lelaki gemuk itu dapat segera bangkit dan kembali membangun
serangan. Serangkaian serangan Buaya Sakti dihindarkan Pendekar Naga Putih dengan
menggunakan kelincahan tubuhnya. Sesekali dibalasnya gempuran tokoh sesat itu
dengan sambaran kaki atau tamparan. Dan serangan balasan Panji bertambah gencar.
Bukkk, desss...!
"Aaakh...!"
Dua buah serangan Panji bersarang telak di tubuh Buaya Sakti. Hingga tubuh gemuk
itu terlempar dua tombak. Ketika bangkit darah kental kehitaman termuntah dari
mulut tokoh sesat itu. Tubuhnya kembali roboh ke tanah dan jatuh terduduk.
"Hm.... Sebaiknya kau segera angkat kaki dari tempat ini. Buaya Sakti. Jangan
sampai pikiranku berubah...!" perintah Panji.
Buaya Sakti bagai tak percaya dengan pendengarannya. Ia mengangkat kepala
memandang Pendekar Naga Putih, seperti hendak meminta kepastian.
"Pergilah! Bawa semua pengikutmu yang masih selamat..!" tandas Panji membuat
orang-orang yang berada di sekitar tempat itu heran. Terutama para keamanan desa
dan dara jelita berpakaian serba hijau yang tidak lain Kenanga.
Kenanga yang tahu sifat kekasihnya tak berkata apa-apa. Gadis itu yakin Panji
mempunyai rencana lain yang tidak diketahuinya. Dan Kenanga percaya dengan
kematangan perhitungan Panji.
"Kau tidak menyesal telah membebaskan aku, Pendekar Naga Putih...?" tegas Buaya
Sakti bergegas bangkit. Tentu saja ia masih ingin hidup lebih lama lagi.
"Hm...," Panji hanya mengangguk seraya bergumam tak jelas. Namun dapat
dipastikan ia memang hendak melepaskan raja begal itu.
Tanpa banyak cakap Buaya Sakti memerintahkan para pengikutnya meninggalkan
tempat itu. Ia sendiri sudah melompat ke atas punggung kuda. Diikuti para
pengikutnya yang meninggalkan barang rampokan. Karena tentu saja Panji tidak
akan membiarkan mereka pergi dengan membawa hasil rampokan.
Sepeninggal Buaya Sakti dan para pengikutnya, Kepala Keamanan Desa Alur
menghampiri Panji. Lelaki gagah itu sungguh tidak menyangka penolongnya seorang
pendekar besar yang namanya telah sering ia dengar. Baru kali ini ia mempunyai
kesempatan bertemu langsung dengan pendekar pujaan banyak orang itu.
"Sebaiknya tempat ini segera dibereskan, Paman. Kami berdua hendak pergi. Masih
banyak urusan yang harus kami selesaikan," ujar Panji kepada lelaki gagah itu.
"Tapi...."
Lelaki gagah berpakaian serba hitam itu tidak melanjutkan ucapannya. Tubuh Panji
dan Kenanga telah lenyap dari hadapannya diawali dengan hembusan angin keras.
"Hm.... Pendekar-pendekar gagah yang benar-benar sejati. Mereka tidak
mengharapkan balasan dari perbuatannya...," gumam lelaki gagah itu menatapi dua
sosok bayangan yang semakin samar. Lalu memerintah kawan-kawannya untuk
membereskan tempat itu setelah bayangan Panji dan Kenanga tidak terlihat lagi.
*** "Aku tahu kau mempunyai alasan dengan melepaskan mereka begitu saja, Kakang.
Coba katakan kepadaku, apa rencana yang ada dalam pikiranmu...," ujar Kenanga
saat mereka melangkah di tepian kali berair jernih. Matahari sudah naik tinggi.
"Hm.... Aku tahu kau pasti menanyakan hal itu, cepat atau lambat," tukas Panji
tanpa menghentikan langkahnya. Kemudian kembali melanjutkan.
"Kita belum tahu di mana Sepasang Naga Merah berada. Ia sengaja memerintahkan
para pengikutnya untuk membuat kekacauan, seperti yang dilakukan gerombolan
Buaya Sakti. Dengan membebaskan mereka, aku berharap dapat menemukan tempat persembunyian
Sepasang Naga Merah. Sebab, aku yakin Buaya Sakti akan datang menemui
pimpinannya..."
Kenanga mengangguk-angguk mengerti. Dara jelita itu merasa lega yang
diperkirakannya ternyata tepat. Panji mempunyai rencana tersendiri dengan
melepaskan lawan-lawannya.
"Lalu, bagaimana kita bisa tahu kalau Buaya Sakti akan menemui Sepasang Naga
Merah untuk melapor...?" tanya Kenanga.
"Hm... Bukankah jalan ini yang baru saja dilalui gerombolan Buaya Sakti" Nah,
kita tinggal mengikuti. Bila perlu dalam jarak yang agak dekat. Aku yakin Buaya
Sakti akan pergi menemui Sepasang Naga Merah. Apalagi setelah bertemu dengan
kita yang menggagalkan perbuatan mereka," jelas Panji.
"Jika memang demikian rencana Kakang, ada baiknya kita tidak berada terlalu jauh
dengan rombongan orang liar itu. Aku khawatir kita akan ketinggalan...," Kenanga
memberikan pendapat
"Semua itu sudah kurencanakan. Sekarang marilah kita membayangi Buaya Sakti dan
kawan-kawannya dari tempat agak jauh. Dengan begitu, tidak merasa curiga ada
orang yang menguntit pekerjaannya," lanjut Panji mengutarakan rencananya.
Keduanya lalu melesat menyusuri jalan yang dilalui Buaya Sakti dan kawankawannya. Tidak sulit bagi pasangan pendekar muda itu untuk menyusul. Beberapa saat saja
jarak antara mereka hanya elisih tiga tombak. Keduanya yakin Buaya Sakit tidak
mengetahui perbuatan mereka. Kenyataannya rombongan itu terus bergerak menuju
timur. Rombongan Buaya Sakti yang berjumlah kurang lebih delapan balas orang itu terus
bergerak tanpa tahu ada orang yang mengikuti perjalanan mereka. Itu terus
berlangsung sampai rombongan tiba di tepi sebuah sungai selebar delapan tombak
dan mempunyai arus cukup deras. Di tempat itu Buaya Sakti mengangkat tangan
kanannya ke atas sebagai isyarat berhenti.
"Mungkinkah mereka akan menyeberangi sungai itu Kakang...?" tanya Kenanga yang
bersembunyi bersama kekasihnya di atas sebatang pohon berdaun lebat.
"Entahlah. Kita lihat saja apa yang akan mereka lakukan...," sahut Panji.
Sampai beberapa saat lamanya rombongan itu belum juga bergerak. Beberapa di
antaranya berlompatan turun dari punggung kuda, termasuk Buaya Sakti. Tiba-tiba
lelaki gemuk berompi kulit buaya itu berbalik dan mengedarkan pandangan ke
sekitar tempat itu.
Kemudian kembali menghadap pengikut-pengikutnya. Terdengar suaranya yang
mengejutkan anggota rombongan.
"Kalian semua lanjutkan perjalanan ke hilir. Aku tidak bisa menyertai kalian.
Ada utusan penting yang harus kuselesaikan. Mungkin aku tidak akan kembali dalam
tiga hari...,"
ujar Buaya Sakti kepada anak buahnya.
"Lalu... Apa yang harus kami lakukan sebelum Ketua kembali..?" tanya seorang
anggota rombongan yang bingung mendengar keputusan Buaya Sakti.
"Kalian tidak perlu melakukan apa-apa selama aku belum kembali. Persediaan
makanan masih cukup untuk setengah bulan. Jadi, kalian tidak perlu mencari...,"
jawab Buaya Sakti membuat para pengikutnya tertunduk lesu.
Untuk beberapa saat suasana hening. Buaya Sakti menatap anggotanya satu persatu.
Kemudian melanjutkan ucapannya.
"Ingat! Tak seorang pun kuizinkan meninggalkan perkampungan sebelum aku kembali.
Barang siapa berani melanggar akan menerima hukuman sangat berat!" tandas lelaki
gemuk itu tanpa ingin mendengar bantahan.
Karena keputusan ketua mereka tidak bisa dirubah lagi, anggota rombongan pun
bergerak meninggalkan tempat itu. Mereka menuju perkampungan yang dibangun di
dalam sebuah hutan lebat. Buaya Sakti menghela napas panjang. Setelah bayangan
para pengikutnya tidak nampak lagi, lelaki gemuk itu melompat ke atas punggung
kuda dan melarikannya secepat setan! "Hm.... Mungkin ia hendak melapor kepada
pimpinannya yang berjuluk Sepasang Naga Merah...," gumam Panji. Lalu keluar dari
tempat persembunyian. Di kejauhan tampak bayangan samar kuda dan penunggangnya.
Kepulan debu tebal menggumpal di belakang binatang itu.
"Kita ikuti, Kakang..?" tanya Kenanga agak ragu. Sebab Panji belum bergerak
untuk melakukan pengejaran.
"Tentu..," sahut Panji segera menggenjot tubuhnya. Pendekar Naga Putih melesat
dengan ilmu lari cepatnya. Kenanga menyusul dengan menggenjot tubuhnya menjajari
langkah Panji. Buaya Sakti agaknya tidak sadar ia dikuntit pasangan pendekar
muda itu. Ia terus membedal binatang tunggangannya tanpa mengenal lelah. Raja
begal itu agak tergesa untuk bisa tiba di tempat tujuannya.
"Kelihatannya Buaya Sakti menuju Kadipaten Tampak Serang?" gumam Panji
mengerutkan kening. Kendati demikian, ia tidak mengurangi kecepatan larinya.
"Hm.... Ada urusan apa tokoh sesat itu memasuki kota kadipaten" Jangan-jangan
kita salah menduga, Kakang...?" timpal Kenanga melihat Buaya Sakti telah
melewati pintu gerbang kadipaten di bagian barat.
Kenyataan itu membuat mereka terpaksa memperlambat langkah. Akan sangat
mencurigakan bila mereka berlari-lari memasuki Kota Kadipaten Tampak Serang.
Keduanya melanjutkan dengan langkah-langkah yang agak bergegas.
Untung Buaya Sakti juga memperlambat lari kudanya saat melintas di jalan utama
kota kadipaten. Rupanya tokoh sesat itu pun tidak ingin mengundang perhatian.
Sehingga, Panji dan Kenanga tidak kehilangan jejak.
8 "Pendekar Naga Putih...!"
Panggilan itu terdengar jelas di telinga Panji, membuat langkahnya terhenti.
Namun ia agak heran melihat Kenanga terus melanjutkan langkahnya, seolah tidak
mendengar panggilan itu. Sadarlah Panji ada orang yang menggunakan ilmu
'Mengirim Suara dari Jauh' yang hanya ditujukan kepada dirinya.
"Ada apa, Kakang..?" tegur Kenanga melihat kekasihnya berhenti dan berdiri
dengan kening berkerut. Kelihatan sekali Panji tengah memikirkan sesuatu.
"Sebentar...," sahut Panji segera mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling
tempat itu. Kedai-kedai makan di seberang jalan pun tak lepas dari
pengamatannya. Kenanga yang tidak tahu mengapa kekasihnya tiba-tiba bersikap demikian aneh,
tanpa sadar mengikuti gerak-gerik Panji. Padahal dara jelita itu tidak tahu apa
yang dicari kekasihnya.
Tiba-tiba Panji tersenyum lebar. Di sebuah ruangan kedai dilihatnya Ki Sarwa
Dipa dan Ki Garma Dipa tengah duduk menikmati hidangan. Kedua pertapa itu
tersenyum ke arah Panji.
Panji pun segera dapat menduga orang yang memanggilnya kedua Pertapa Gunung Naga
itu. "Kenanga, mari kita singgih sebentar di kedai itu..," ajak Panji tanpa menunggu
jawaban lagi segera melangkahkan kaki.
"Kakang, bagaimana dengan buruan kita...?" Kenanga yang tidak mengerti dengan
tingkah kekasihnya mencoba mengingatkan.
Dara jelita itu tentu saja tidak ingin melepas buruannya setelah mengejar satu
hari penuh. Tapi, tahu-tahu Panji mengajaknya singgah di kedai. Padahal mereka
belum tahu ke mana tujuan Buaya Sakti. Kenanga pun menjadi kesal.
Panji yang sudah melangkah beberapa tindak segera menghentikan langkahnya, ia
merasa Kenanga tidak mengikuti. Ketika Panji menoleh, benar saja. Dara jelita
itu berdiri dengan wajah masam. Panji segera dapat menduga apa yang menjadi
penyebabnya. Bergegas pemuda itu menghampiri kekasihnya yang tengah merajuk.
"Jangan marah dulu, Kenanga. Coba kau lihat siapa yang duduk di kedai itu...,"
ujar Panji menggerakkan kepalanya seraya menyentuh lembut punggung dara jelita
itu. "Pertapa Gunung Naga..."!" desis Kenanga dengan kening berkerut ketika memandang
kedai yang ditunjuk Panji. Kenanga terpaksa tersenyum ketika melihat kedua kakek
itu melemparkan senyum ramah kepadanya.
"Nah, apakah kau sudah paham sekarang...?" tanya Panji.
"Tapi bagaimana dengan Buaya Sakti, Kakang" Bukankah kita belum tahu ke mana ia
akan pergi" Apakah tidak sebaiknya kita ikuti saja sampai raja begal itu tiba di
tempat tujuannya. Setelah itu, baru kita menemui Pertapa Gunung Naga...," ujar
Kenanga yang tidak ingin usaha yang telah mereka tempuh harus ditinggalkan
begitu saja. Padahal sudah hampir sampai pada tujuan.
"Ah, rupanya kau belum juga mengerti," tukas Panji menghela napas panjang.
"Dengar Kenanga. Kalau kedua pertapa itu berada di kota kadipaten ini, tentu ia
telah cukup banyak tahu apa yang mereka anggap penting untuk diketahui. Dan
kalau Sepasang Naga Merah tinggal di kota kadipaten ini, sudah pasti mereka
mengetahuinya. Itu sebabnya aku tidak merasa khawatir. Meski harus meninggalkan
buruan kita...."
Pendekar Naga Putih 72 Pertarungan Dua Naga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aiiih.... Mengapa aku menjadi tolol begini...?" desis Kenanga seraya menampar
keningnya perlahan. "Maafkan aku, Kakang. Mari kita temui mereka...," lanjut
dara jelita itu yang kekesalannya telah terbang entah ke mana.
Saat pasangan pendekar muda itu memasuki kedai dan menghampiri meja Ki Sarwa
Dipa dan Ki Garma Dipa, kedua pertapa itu bangkit menyambut Panji dan Kenanga.
Wajah keduanya terlihat cerah dan diwarnai senyum ramah.
"Silakan." ujar Ki Sarwa Dipa mempersilakan Panji dan Kenanga mengambil tempat
masing-masing. Setelah mengucapkan terima kasih, Panji menghempaskan tubuhnya di kursi.
Demikian pula Kenanga. Mereka memesan hidangan kepada pelayan kedai.
"Kelihatannya kalian begitu terburu-buru. Ada apa?" tanya Ki Sarwa Dipa setelah
mereka terdiam beberapa saat.
Tanpa ragu-ragu, Panji segera menceritakan pengalamannya. Sampai ia dan Kenanga
melakukan pengejaran terhadap Buaya Sakti.
"Melihat Eyang berdua berada di sini, kami ikut bergabung. Karena kami yakin
seluruh pelosok kota kadipaten ini telah Eyang selidiki. Apakah dugaanku
salah...?" tanya Panji menutup ceritanya, membuat pertapa itu tertawa pelan.
"Tajam sekali cara berpikirmu. Pendekar Naga Putih. Sekali pandang kau langsung
bisa menebak isi kepala yang sudah peot ini," tukas Ki Sarwa Dipa menggelenggelengkan kepala dengan penuh kagum.
"Bagaimana, Eyang" Apakah sudah mengetahui di mana Sepasang Naga Merah...?"
Panji langsung menukas ketika pertapa tua itu menyelesaikan ucapannya. Khawatir
Ki Sarwa Dipa akan terus memujinya. Maka Panji segera mengalihkan pembicaraan.
"Hm.... Tunggu saja malam nanti. Aku membuat kejutan untuk kalian berdua...,"
sahut Ki Sarwa Dipa berteka-teki membuat Panji dan Kenanga terpaksa melebarkan
senyum. "Itu berarti malam ini kita harus menginap di kota kadipaten?" tegas Panji
menatap Ki Sarwa Dipa dan Ki Garma Dipa bergantian.
"Bisa juga begitu....," sahut Ki Garma Dipa tersenyum. Sedangkan Ki Sarwa Dipa
memperdengarkan tawa halus.
Beberapa saat kemudian, mereka kembali terdiam. Pelayan kedai datang membawa
pesanan dan menata rapi di atas meja. Tak satu pun yang berbicara saat menikmati
hidangan. *** Semula Panji dan Kenanga tidak mengerti ketika malam tiba Ki Sarwa Dipa dan Ki
Garma Dipa mengajak mereka pergi ke hutan yang terletak di sebelah utara kota
kadipaten. Di sebuah tanah lapang yang cukup luas dan jauh dari perumahan
penduduk mereka berhenti.
"Jadi Eyang berdua telah mengirimkan surat tantangan kepada Sepasang Naga
Merah...?" tanya Panji yang segera dapat menduga maksud kedatangan mereka ke
tempat itu. "Bukan hanya Sepasang Naga Merah. Tapi dua orang datuk kaum sesat pun akan
datang ke tempat ini. Mereka telah bergabung dengan Sepasang Naga Merah...,"
sahut Ki Sarwa Dipa menambahkan tokoh-tokoh yang ditantangnya.
"Siapa saja mereka, Eyang...?" desak Panji ingin segera tahu.
"Sabarlah, Pendekar Naga Putih. Nanti pun kau akan mengetahui. Sebaiknya kalian
berdua sembunyi. Aku khawatir mereka akan pergi bila melihat kalian berada di
tempat ini...,"
tukas Ki Garma Dipa. Karena orang-orang yang mereka undang memiliki sifat licik
dan bisa saja tidak jadi datang jika melihat ada Pendekar Naga Putih di antara
mereka. Maklum akan kemungkinan itu, Panji tidak membantah. Pemuda itu segera mengajak
kekasihnya bersembunyi di balik sebatang pohon besar melebihi dua pelukan orang
dewasa. Dengan demikian, mereka berharap surat tantangan itu akan dipenuhi lawan.
Rupanya kedua Pertapa Gunung Naga itu tidak perlu menunggu lama. Beberapa saat
kemudian, tampak lima orang bergerak dari sebelah depan.
"Bagus! Kalian mau datang juga akhirnya...," sambut Ki Sarwa Dipa ketika kelima
orang itu telah berada lebih dekat, kira-kira dua tombak lebih.
"Hua ha ha...! Pertapa Gunung Naga, kalian berdua hanya mengantar nyawa jika
hendak mencariku. Selain itu kitab ilmu 'Silat Naga Merah' telah lama kami
musnahkan, begitu seluruh isinya kami kuasai dengan baik. Jelas perjalanan
kalian sia-sia...," ucap seorang pemuda tampan bertubuh tegap yang berpakaian
serba merah. Siapa lagi pemuda itu kalau bukan Kelana.
Di sebelah Kelana terlihat Savitri tersenyum mengejek. Kemudian Raja Racun Muka
Hitam, Cambuk Penakluk Naga, dan Buaya Sakti. Ketiga tokoh sesat itu rupanya
hadir memenuhi tantangan Pertapa Gunung Naga.
"Meskipun begitu kau harus menebus semua dosa-dosamu, Pencuri. Kau akan kami
hadapkan kepada pimpinan kami untuk diadili dan dijatuhkan hukuman yang seadiladilnya...,"
sahut Ki Sarwa Dipa agak kaget mendengar kitab ilmu 'Silat Naga Merah telah
dimusnahkan Kelana. Itu berarti mereka harus membawa salah satu dari Sepasang
Naga Merah sebagai bukti mereka telah melaksanakan tugas.
"Hm.... Sudahlah. Tidak perlu banyak cakap. Sebaiknya kalian bersiap untuk
menghadap raja maut...!" tukas Kelana tidak ingin berpanjang kata.
"Hiyaaat...!"
Disertai lengkingan panjang menyesakkan dada, tubuh Sepasang Naga Merah
berkelebat menerjang Ki Sarwa Dipa dan Ki Garma Dipa. Kedua pertapa itu pun
tidak tinggal diam. Meski mereka sadar ilmu 'Silat Naga Merah' sangat hebat dan
berbahaya, mereka tidak terlihat gentar. Mereka pun bersiap menyambut serangan
lawan! Perkataan Kelana seperti merupakan isyarat bagi kawan-kawannya. Raja Racun Muka
Hitam dan Cambuk Penakluk Naga sudah menyiapkan jurus-jurusnya.
"Tahan...!" Kelana tiba-tiba mencegah. Pemuda itu melangkah maju beberapa
tindak. "Mereka berdua bagianku. Sebaiknya kalian saksikan saja...," ujar Kelana segera
menyiapkan serangan.
Savitri yang menjadi pasangan Kelana tentu saja tidak berpangku tangan. Tubuhnya
bergerak ke depan menjajari Kelana. Kemudian membuka jurusnya yang mirip jurus
Kelana, bedanya mereka melakukan gerakan berlawanan. Satu ke kiri, satu ke
kanan. Ilmu yang mereka pergunakan memang merupakan ilmu berpasangan.
"Hiyaaat...!"
Disertai lengkingan panjang menyesakkan dada, tubuh Sepasang Naga Merah
berkelebat menerjang Ki Sarwa Dipa dan Ki Garma Dipa. Kedua pertapa itu pun
tidak tinggal diam. Meski mereka sadar ilmu 'Silat Naga Merah' sangat hebat dan
berbahaya, mereka tidak kelihatan gentar. Tampaknya kedua pertapa itu lebih suka
tewas dalam melaksanakan tugas daripada tewas karena usia tua.
Saat serangan lawan datang, kedua pertapa itu segera menyambut Sebentar saja
keempatnya telah terlibat dalam pertarungan sengit yang mendebarkan!
Kedua Pertapa Gunung Naga sadar betul akan kedahsyatan ilmu 'Sepasang Naga
Merah'. Untuk mengimbangi mereka harus menguras seluruh tenaga dan kepandaian.
Kalau tidak, mereka akan celaka dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Sepasang Naga Merah yang merasakan kedua lawannya melakukan gempuran mati-matian
tentu saja tidak tinggal diam. Dengan kerja sama yang baik sekali mereka mulai
memperlihatkan ketangguhannya. Sehingga saat pertarungan menginjak jurus keenam
puluh, kedua Pertapa Gunung Naga mulai merasakan betapa berat tekanan lawan.
Setiap kali mereka menangkis, tubuh tua pertapa-pertapa itu terjajar mundur.
Jelas sudah mereka tidak mungkin sanggup menghadapi Sepasang Naga Merah yang
tangguh dan kuat.
Panji yang sejak tadi bersembunyi di balik pohon tidak mau menunggu sampai kedua
pertapa itu celaka. Begitu melihat mereka terdesak, Panji melesat keluar dari
persembunyainnya dan memasuki arena pertempuran.
"Haiiit...!"
Kelana dan Savitri melompat mundur ketika serangkum angin dingin menusuk tulang
mendahului datangnya sesosok bayangan putih. Mereka terpaksa melepaskan kedua
pertapa yang sudah tidak sanggup lagi membangun serangan dan tinggal
menghabisinya saja. Sayang sosok berjubah putih datang mencegah. Mereka tidak
berani memandang remeh sambaran angin dingin yang sangat kuat itu.
"Pendekar Naga Putih..."!"
Hampir bersamaan Kelana dan Savitri berseru menyebut julukan Panji. Mereka kaget
karena tidak menyangka pendekar muda itu akan muncul. Tapi, keterkejutan itu
hanya berlangsung sesaat. Lalu berganti dengan kemarahan.
"Bagus kau muncul, Pendekar Naga Putih! Dengan begitu, aku sekaligus membalas
dendam orangtuaku...!" geram Kelana kembali teringat kematian ayahnya di tangan
Panji. Itu diketahui dari penduduk desa tempat kelahirannya.
"Hm.... Ayahmu seorang pemeras dan penipu, Kelana, ia tega menyengsarakan
penduduk Desa Sendang Waringin dengan membuka rumah judi. Padahal seharusnya ia
tahu judi akan menghancurkan kehidupan semua orang. Karena ia tak mau sadar,
terpaksa aku melenyapkannya demi ketenteraman penduduk desa," sahut Panji
membuat Kelana tersentak kaget. Panji ternyata telah mengetahui tempat
kelahirannya. Bukan tidak mungkin nama orangtuanya juga diketahui pemuda itu.
"Biar bagaimanapun, aku tetap membalaskan kematian ayahku!" tandas Kelana tak
mau tahu baik buruknya tindakan orangtuanya. Ia bersikeras tetap akan
membalaskan dendam orangtuanya.
"Itu hakmu, Kelana. Aku tidak bisa memaksa bila kau memang tidak ingin sadar
dari kesesatanmu...!" tukas Panji segera menyiapkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'
dan ilmu 'Silat Naga Sakti'. Karena baik Kelana maupun Savitri telah siap
menerjang. "Hiyaaat...!"
"Haiiit...!"
Sepasang Naga Merah bergerak bersamaan menerjang Panji yang saat itu telah
menggabungkan kedua tenaga mukjizatnya. Karena lawan yang dipahadapinya sangat
hebat! Dengan ilmu silatnya yang langka dan jarang menemui tandingan, Panji menyambut
serangan kedua lawannya. Kendati Kelana dan Savitri menerjang dengan hebat,
namun Panji selalu dapat mengatasi. Bahkan melontarkan serangan balasan yang
tidak kalah ampuh dan berbahayanya. Arena pertarungan menjadi porak-poranda
bagai diamuk angin ribut. Dalam jurus-jurus awal terlihat kedua belah pihak
masih seimbang. Sama-sama kuat dan sama gesitnya.
Sementara itu, Raja Racun Muka Hitam sudah gatal tangan ingin maju bertarung.
Begitu juga Cambuk Penakluk Naga. Mereka langsung dihadapi Ki Sarwa Dipa dan Ki
Garma Dipa. Keempat tokoh tua itu membuat arena lain berjarak enam tombak dari
pertempuran Pendekar Naga Putih.
Demikian juga Kenanga. Melihat Buaya Sakti melirik dirinya, Kenanga menghampiri
raja begal itu. Meski agak gentar Buaya Sakti terpaksa melayani seranganserangan dara jelita itu yang sudah menggunakan pedangnya untuk menghadapi
lawan. Mereka terlibat pertarungan sengit!
*** Saat itu, pertarungan Pendekar Naga Putih dan Sepasang Naga Merah berjalan
semakin cepat. Kedua belah pihak berusaha mendesak lawan. Terlebih Kelana yang
memang ingin melenyapkan Pendekar Naga Putih, yang merupakan penghalang terbesar
cita-citanya. "Yaaat...!"
Ketika pertempuran memasuki jurus yang keseratus lima puluh, Panji mengeluarkan
lengkingan panjang yang menggetarkan dada. Tubuh pemuda itu bergerak cepat
dengan sepasang lengan saling susul-menyusul mencari sasaran.
"Gila...!"
Kelana memekik kaget merasakan angin pukulan lawan berubah-ubah hawanya.
Terkadang dingin seperti salju. Di lain saat panas membakar seperti api tungku.
Hingga kedua lawannya terdesak. Terlebih lagi sambaran cakar yang datang tak
terduga dan memiliki perubahan gerak yang mengejutkan. Kenyataan itu membuat
Kelana dan Savitri penasaran!
Saat serangan Panji kembali datang bagai gelombang air laut yang susul-menyusul
tak pernah henti Kelana bertindak nekat. Sepasang tangannya diangkat ke atas
memapaki sepasang lengan Pendekar Naga Putih. Dan...
Plakkk, Plakkk...!
"Uhhh..."!"
Tangkisan itu justru mendatangkan kerugian bagi Kelana. Lengannya terasa linu
dan tubuhnya terjajar mundur setengah tombak. Meskipun begitu, Kelana masih
dapat mempertahankan kuda-kudanya dan tetap berdiri tegar.
Panji semula berniat menyusuli serangannya. Tapi niat itu ditunda ketika melihat
Savltri datang dengan serangan-serangan yang berbahaya. Hingga Panji terpaksa
menghadapi gadis cantik itu dan membalas setiap serangan Savitri. Bahkan dengan
kecepatan yang jauh melebihi gerak Savitri. Akibatnya, gadis cantik itu dipaksa
bermain mundur. Sampai akhirnya....
Bukkk...! "Aiiih...!"
Savitri terpekik kesakitan ketika telapak tangan Panji singgah di bahu kirinya.
Tubuh gadis cantik itu melintir seperti baling-baling.
"Haaat...!"
Bettt...! Kelana yang datang menyelamatkan Savitri melepaskan sebuah pukulan maut disertai
suara mencicit tajam. Cepat Pendekar Naga Putih menundukkan kepala. Kemudian
menggeser kaki kanannya ke belakang. Dan mengirimkan sikunya ke iga kiri Kelana.
Duggg! "Hikh...!"
Kelana terjajar limbung dengan wajah meringis menahan sakit. Saat itu Panji
melenting ke udara. Dari atas tubuhnya meluncur turun disertai sinar berpendar
pada sekujur tubuhnya, membuat lawan di bawahnya sukar untuk melihat dengan
jelas. Dan.... Bettt, desss...!
"Aaakh...!"
Tanpa ampun tubuh Kelana terpental. Cairan merah mengalir dari dada kirinya yang
robek oleh cakar naga Pendekar Naga Putih. Dan perutnya terasa mual terkena
tendangan telak. Tubuh pemuda itu menggeliat memuntahkan darah segar yang agak
kental. "Kelana..."!"
Savitri kaget bukan main melihat tubuh sekutu sekaligus kekasihnya terbanting ke
tanah. Cepat ia melesat menerjang Panji dengan kemarahan memuncak. Tapi, itu
justru merupakan peluang baik bagi Pendekar Naga Putih. Dengan merundukkan
kepala menghindari sambaran tangan lawan, Panji menggeser maju kaki kirinya.
Kemudian melepaskan dorongan kedua telapak tangan dengan menggunakan tenaga
gabungan. Bressshhh...! "Aaa...!"
Savitri terpental disertai jeritnya yang melengking tinggi. Gadis itu terbanting
ke tanah dengan sebelah tubuhnya hangus terbakar. Sedangkan sebagian lagi
membeku bagai orang yang menderita kedingin hebat.
"Savitri...!" Kelana bergegas bangkit.
"Kubunuh kau, Pendekar Naga Putih...!" pekiknya murka.
"Hiyaaahhhh...!"
Wukkk...! Panji menggeser tubuhnya satu langkah ke belakang. Begitu pukulan lawan luput,
kepalan kiri dan kanannya datang bertubi-tubi menghantam tubuh Kelana!
Bukkk, bukkk, bukkk...!
"Huakhhh...!"
Tanpa ampun tubuh Kelana terpental ke udara. Darah menyembur dari mulutnya.
Kemudian jatuh berdebuk di tanah. Kelana tewas persis seperti keadaan Savitri
yang terkena hantaman gabungan tenaga mukjizat Pendekar Naga Putih.
Rupanya pertempuran yang lainnya pun sudah pula berakhir. Cambuk Penakluk Naga
menggeletak di tanah dengan kepala pecah. Nampaknya pukulan Ki Garma Dipa
terlalu kuat, hingga meretakkan batok kepala tokoh sesat itu.
"Cambuk Penakluk Naga adalah guru Savitri. Ia membantu muridnya untuk menguasai
dunia persilatan...," jelas Ki Garma Dipa tanpa diminta Panji.
"Ke mana perginya Raja Racun Muka Hitam...?" tanya Panji yang tidak menemukan
mayat datuk sesat itu.
"Ia telah melarikan diri dengan sangat licik. Meskipun begitu datuk sesat itu
tidak akan berani muncul dalam waktu dekat..," Ki Sarwa Dipa yang menjadi lawan
Raja Racun Muka Hitam menjelaskan.
Kenanga sendiri sudah menamatkan riwayat Buaya Sakti. Dara jelita itu menggamit
lengan Panji. Lega hatinya melihat persoalan rumit yang memusingkan itu sudah
selesai. "Kita berpisah di sini, Eyang. Kami hendak melanjutkan perjalanan...," ujar
Panji mohon diri kepada kedua Pertapa Gunung Naga.
"Pendekar Naga Putih, tung..."!"
Ki Sarwa Dipa tidak menuntaskan kalimatnya, karena Pendekar Naga Putih telah
lenyap ditelan kegelapan malam. Semula dirinya hendak mengajak pendekar muda itu
singgah di Gunung Naga. Sayang, mereka telah lenyap. Sehingga kedua pertapa itu
hanya bisa termangu-mangu dalam kebisuan malam yang kian mencekam....
SELESAI
Pendekar Naga Putih 72 Pertarungan Dua Naga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewikz.byethost22.com/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode-episodenya yang menarik:
1. TIGA IBUS GUNUNG TANDUR
56. PEMBUNUH BAYARAN
2. DEDEMIT BUKIT IBLIS
57. PEMBURU NYAWA
3. ALGOJO GUNUNG SUTRA
58. MAJIKAN PULAU SETAN
4. PARTAI RIMBA HITAM
59. SEPASANG PEDANG IBLIS
5. JARI MAUT P. NYAWA
60. GOA LARANGAN
6. PENGHUNI R. GERANTANG
61. PEWARIS DENDAM SESAT
7. RAJA IBUS DARI UTARA
62. PENCULIK-PENCULIK MISTERIUS
8. PENJAGAL ALAM AKHERAT
63. DUEL JAGO-JAGO PERSILATAN
9. MENCARI JEJAK PEMBUNUH
64. GEROMBOLAN SETAN MERAH
10 BUNGA ABADI DI GUNUNG K
65. BERUANG GUNUNG ES
11. MEMBURU HARTA KARUN
66. SILUMAN GURUN SETAN
12. KELABANG HITAM
67. JERAT PERI KEMBANGAN
13. PENGGEMBALA MAYAT
68. WARISAN TERKUTUK
14. PUSAKA BERNODA DARAH
69. TOKOH BURONAN
15. PENDEKAR MURTAD
70. GENDRUWO RIMBA DANDANA
16. KECAPI PERAK D. SELATAN
71. PETUALANG SAKTI
17. SERIGALA SILUMAN
72. PERTARUNGAN DUA NAGA
18. DEWI BAJU MERAH 19. ASMARA DI UJUNG PEDANG
20. BENCANA DARI ALAM KUBUR
21. HILANGNYA P. KERAJAAN
22. TRAGEDI G. LANGKENG
23. DEWA TANGAN API 24. MACAN TUTUL L. DARU
25. MALAIKAT GERBANG NERAKA
26. RAHASIA PEDANG N. LANGIT
27. SENGKETA JAGO J. PEDANG
28. LABA-LABA HITAM
29. TERSESAT DI L. KEMATIAN
30. DENDAM PENDEKAR CACAT
31. TERDAMPAR DIPULAU ASING
32. KUMBANG MERAH
33. BIDADARI IBLIS
34. MUSTIKA NAGA HIJAU
35. PENDEKAR GILA
36. MISTERI DESA SILUMAN
37. KETURUNAN D. PERSILATAN
38. TEWASNYA R. RACUN MERAH
39. PUTRA HARIMAU
40. SEPASANG M. L MAUT
41. HANTU LAUT PAJANG
42. TERJEBAK DI PERUT BUMI
43. DARAH PERAWAN SUCI
44. PENGEMBAN DOSA TURUNAN
45. BADAI RIMBA PERSILATAN
46. PETUALANGAN DI ALAM ROH
47. BANGKITNYA MALAIKAT PETIR 48. MISTERI SELENDANG BIRU
49. TUMBAL PERKAWINAN 50. SANG PENGHANCUR 51. PETAKA KUIL TUA
52. PENYEMBAH DEWI MATAHARI
53. PASUKAN PEMBUNUH
54. RACUN ULAR KARANG
55. PANGGUNG KEMATIAN
Harpa Iblis Jari Sakti 2 Pedang Langit Dan Golok Naga Yi Tian Tu Long Ji Ie Thian To Liong Kie Karya Chin Yung Kembang Darah Setan 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama